BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT"

Transkripsi

1 BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT Pada bab ini akan dijelaskan penentuan batas wilayah adat menurut hukum adat. Karena sebagian wilayah Kasepuhan Ciptagelar terdapat di dalam TNGHS, maka perlu dijelaskan mengenai penetapan batas wilayah adat oleh Kasepuhan Ciptagelar (Bab 3.1) serta oleh TNGHS (Bab 3.2). 3.1 Kasepuhan Ciptagelar Di Indonesia, terdapat berbagai macam masyarakat adat. Diantara masyarakat adat tersebut terdapat sebuah komunitas adat di Jawa Barat yang unik karena cara hidupnya yang semi nomaden. Komunitas adat tersebut bertempat tinggal di Kasepuhan Ciptagelar. Kasepuhan Ciptagelar merupakan wilayah studi yang dipilih dalam penyusunan tugas akhir ini. Pada selanjutnya akan dijelaskan mengenai gambaran umum Kasepuhan Ciptagelar (Bab 3.1.1) serta wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar dari sudut pandang masyarakatnya (Bab 3.1.2) Gambaran Umum Kasepuhan Ciptagelar Masyarakat Kasepuhan Kasepuhan Ciptagelar adalah salah satu Kasepuhan yang dihuni oleh masyarakat adat yang masih memegang teguh tradisinya secara turun temurun. Masyarakat yang tinggal di Kasepuhan Ciptagelar disebut masyarakat kasepuhan. Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan ka- dan akhiran -an. Dalam bahasa Sunda, kata sepuh berarti 'kolot' atau 'tua' dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, muncullah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model sistem kepemimpinan dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Kasepuhan berarti 'adat kebiasaan tua' atau 'adat kebiasaan nenek 30

2 moyang'. Nama kasepuhan hanya merupakan istilah atau sebutan orang luar terhadap kelompok sosial ini yang pada masa lalu kelompok ini menamakan dirinya dengan istilah keturunan Pancer Pangawinan (Djatisunda A., 1984). Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh ketua adat Encup Sucipta, yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Anom. Kasepuhan yang merupakan bagian dari Kasepuhan Banten Kidul adalah Sirnaresmi, Ciptamulya, Cisungsang, Cisitu, Cikarucung dan Citorek. Kasepuhan Ciptagelar merupakan pusat pemerintahan dari Kasepuhan Banten Kidul, dan merupakan ibukota bagi Kasepuhan lainnya. Nama Ciptagelar memiliki arti yaitu Cipta yang menggelar yang artinya sang ketua adat bernama Encup Sucipta yang mendirikan/menggelar Kasepuhan Ciptagelar. Nama Ciptagelar diciptakan ketika pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul berpindah dari Ciptarasa ke Ciptagelar. Awalnya, Kasepuhan Banten Kidul bernama Kasepuhan Ciptarasa ketika pusat pemerintahannya masih berada di Ciptarasa, kemudian berubah nama menjadi Kasepuhan Ciptagelar ketika berpindah menuju Cicemet. Jadi, sebenarnya Kasepuhan Ciptagelar adalah sebutan lain dari Kasepuhan Banten Kidul. Nama Kasepuhan Ciptagelar muncul setelah pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul berpindah dari Ciptarasa menuju Ciptagelar. Secara administratif, Ciptagelar terletak di wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Sukabumi. Jarak Kasepuhan Ciptagelar dari Desa Sirnaresmi adalah 14 km. Sedangkan Ciptagelar berjarak 27 km dari cisolok, 103 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi dan 203 km dari Bandung Pola Hidup Masyarakat Komunitas adat Kasepuhan Ciptagelar sudah ada sejak sekitar 1300an tahun yang lalu (Kuntari dan Badil, 2005). Dalam penerapan tradisi adat pada kehidupan sehari-harinya, komunitas adat Kasepuhan Ciptagelar mendapatkan pengaruh dari kerajaan Pajajaran, terutama dalam pengelolaan lahan pertanian. Beberapa pengaruh nyata dari Kerajaan Pajajaran adalah adanya tradisi seren taun, adanya bentuk pamali dalam mengolah tanah garapan, adanya penghormatan kepada Dewi Sri yang 31

3 diwujudkan dalam bentuk pemanfaatan padi serta adanya aturan-aturan adat mengenai hutan titipan, tutupan dan garapan yang sangat berkaitan dengan pertanian masyarakat Ciptagelar (Karma, 2007). Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masih menerapkan aturan adat dan tradisi leluhur dalam kehidupan sehari-harinya. Salah satu tradisi Kasepuhan Ciptagelar yang memiliki keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan Kasepuhan lainnya di Indonesia adalah kehidupan masyarakatnya yang semi-nomaden. Yang dimaksud dengan semi nomaden adalah tradisi Kasepuhan Ciptagelar yang berpindah-pindah dalam jangka waktu tertentu. Selama sekitar 1387 tahun, pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul telah berpindah sebanyak 11 kali. Pemindahan lokasi tersebut dilakukan sesuai wangsit yang diterima oleh sesepuh girang, yaitu pemimpin atau ketua adat. Meski berdasar wangsit, tempat kepindahan mereka masih sebatas pada tanah adat (Kuntari dan Badil, 2005). Secara berurut, lokasi perpindahan Kasepuhan Ciptagelar adalah sebagai berikut: 1. Lebak Parang 2. Lebak Pinoh 3. Tegal Lumbuh 4. Pasir Talaga 5. Desa Bojong Cisono 6. Cicemet 7. Desa Cicadas 8. Desa Ciganas 9. Desa Linggarjati 10. Ciptarasa 11. Ciptagelar Pendapat berbeda disampaikan oleh Ayatrohaedi (2003). Menurut Ayatrohaedi (2003), kepindahan lokasi pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul berkaitan erat dengan masalah kesuburan tanah. Perpindahan Kasepuhan Ciptagelar secara keilmuan dapat ditafsirkan sebagai perpindahan penduduk yang lebih disebabkan oleh berkurangnya jumlah air tanah, sumber daya alam serta tingkat 32

4 kesuburan tanah. Hal-hal tersebut diatas merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi terjadinya proses perpindahan pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul. Hal ini terlihat dari proses perpindahannya menuju lokasi yang lebih subur dan memiliki ketinggian lebih tinggi dibandingkan lokasi sebelumnya. Tetapi teori tersebut dibantah oleh masyarakat Ciptagelar. Perpindahan tersebut semata-mata dilakukan karena wangsit yang diterima oleh ketua adat. Wangsit merupakan perintah leluhur yang didapat melalui mimpi. Tidak ada alasan lain dibalik perpindahan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya variasi selang waktu antar perpindahan, ada selang waktu yang sangat lama dan ada juga selang waktu yang hanya beberapa tahun. Adanya selang waktu tersebut membuktikan bahwa perpindahan tersebut bukan karena kesuburan tanah. Selain itu, lokasi yang baru terkadang berada di atas lahan garapan dan sawah milik masyarakat yang tingkat produktivitas tanahnya sudah berkurang. Perpindahan tersebut harus dilakukan karena taruhannya adalah nyawa (Upat, 2007). Penduduk di Kasepuhan Ciptagelar pada umumnya memiliki mata pencaharian petani dan pekerjaan lain dalam bidang agrikultur. Hal ini terlihat dari wilayah Ciptagelar yang sebagian besar merupakan sawah dan ladang. Wilayah persawahan dan ladang tersebut terdiri dari 85% sawah, 10% ladang, dan 5% kebun (wikipedia, 2006). Gambar 3.1 Perbandingan pemanfaatan lahan pertanian Ciptagelar 33

5 Sehari-harinya, penduduk Ciptagelar menanam padi, sayur-sayuran, buahbuahan, serta memelihara hewan ternak untuk memenuhi kebutuhannya. Para penduduk Ciptagelar menanam padi di dalam sawah pribadi serta sawah komunal yang telah dibagi-bagi penggarapannya. Sebagai rasa tanggung jawab kepada Kasepuhan Ciptagelar, mereka selalu menyisihkan sebagian kecil dari hasil panennya untuk disimpan di dalam leuit (lumbung padi) Pelestarian Lingkungan Masyarakat Ciptagelar merupakan masyarakat adat yang sangat menjaga kelestarian alam serta menghormati lingkungan. Hal itu terlihat dari tradisi dan budaya mereka, diantaranya adalah larangan menebang pohon di tempat-tempat tertentu, larangan mengambil kayu bakar langsung dari pohonnya serta gerakan penanaman bibit pohon yang jumlahnya mencapai pohon di hutan sekitar Kasepuhan Ciptagelar. Sebagai masyarakat yang menggantungkan dirinya pada sumber daya alam dan hutan disekelilingnya, mereka percaya bahwa dengan adanya keselarasan kehidupan antara manusia dengan alam sekitar akan menjadikan kehidupan bahagia dan sejahtera. Tata cara kehidupan yang sangat menghormati alam terlihat dari aturan adat dan larangan-larangan (pamali) dalam kehidupan Ciptagelar. Berdasarkan wawancara terhadap Abah Anom serta penduduk di Ciptagelar, terdapat beberapa pamali yang sangat ditaati oleh penduduknya. Diantara pamali tersebut adalah: - Dilarang memperjualbelikan beras dan produk-produk yang terbuat dari beras. Maksudnya adalah, agar masyarakat Ciptagelar tidak kekurangan makanan dan tidak melakukan pembukaan hutan menjadi sawah dengan semena-mena. - Adanya larangan untuk menjadikan lokasi-lokasi tertentu sebagai tempat tinggal, lokasi tersebut adalah: a. Sirah Cai, merupakan hulu dari sebuah mata air. b. Lemah Gunting, merupakan pertemuan dua sungai kecil. Penduduk Ciptagelar percaya bahwa adanya pertemuan dua sungai kecil 34

6 merupakan pertemuan dari dua kekuatan mistis, dan hal itu sangat berbahaya bagi yang menempatinya. c. Pamatangan, merupakan gundukan tanah atau jalan kecil yang biasanya terletak di tengah ladang/sawah. d. Tempat-tempat angker yang mengandung unsur gaib. - Mipit amit ngala menta, mangan halal, make kudu anu suci, kudu bagus tekad, ucap jeung lampah, perkataan Abah Anom tersebut mengandung arti filosofi kehidupan manusia harus mengutamakan kebaikan dalam hidupnya. - Tidak boleh memasuki serta menebang pohon di dalam hutan-hutan tertentu yang dianggap angker. Hutan-hutan tersebut adalah hutan titipan dan hutan tutupan. Semua pamali tersebut berasal dari dua buah sumber aturan. Yang pertama adalah aturan tersebut merupakan adat istiadat yang memang sudah ada sejak lama dan turun-menurun diwariskan dalam kehidupan masyarakat. Contohnya adalah adanya larangan untuk memasuki wilayah hutan tutupan. Sedangkan yang kedua adalah aturan tersebut berasal dari kebijaksanan Abah Anom selaku ketua adat yang sangat dihormati oleh masyarakatnya, baik itu dari wangsit ataupun dari hasil pemikiran Abah Anom sendiri. Contohnya adalah aturan Abah Anom yang mengharuskan warganya menyumbangkan satu ikat padi untuk disimpan di leuit si jimat (lumbung bersama). Disini terlihat peran Abah Anom sangat besar dalam proses kehidupan masyarakatnya, peran Abah Anom tersebut biasanya sering dikaitkan dengan wangsit. Secara harfiah, wangsit berarti bisikan atau imbauan yang bersifat gaib. Menurut kepercayaan penduduk setempat, wangsit berasal dari leluhur atau nenek moyang. Penduduk Kasepuhan Ciptagelar sangat memegang teguh adat istiadatnya. Mereka mempercayai adanya pamali serta hal-hal gaib di dalam kehidupan sehari-harinya Struktur Pemerintahan Adat Sebagai wilayah yang berbentuk kasepuhan, Ciptagelar memiliki sistem administrasi pemerintahannya sendiri. Sistem pemerintahan tersebut sudah ada turun-temurun dari dulu hingga sekarang. Di Kasepuhan Ciptagelar, kolot girang 35

7 (ketua adat) merupakan jabatan paling tinggi dan memiliki peranan utama dalam menjalankan Kasepuhan. Namun, bukan berarti sifat kepemimpinan Abah Anom bersifat diktator. Abah Anom sebagai kolot girang sangat memperhatikan aspirasi serta keadaan para warganya. Warga Ciptagelar pun yakin bahwa Abah telah memikirkan kesejahteraan warganya. Abah memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat hingga berbagai daerah. Secara struktural, kasepuhan ini dipimpin oleh kolot girang. Kolot girang didampingi sesepuh induk (baris kolot induk) yang saat ini dijabat oleh Ki Karma. Ki Karma merupakan ketua dari para baris kolot yang memiliki tugas sebagai penasehat serta sesepuh dari Ciptagelar. Selain itu, Ki Karma merupakan mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan Abah Anom. Kolot lembur merupakan pemimpin dari kampung-kampung yang terdapat didalam Kasepuhan. Jika ada persoalan adat atau persoalan warga, seperti konflik tanah, umumnya akan ditangani terlebih dulu oleh kolot lembur didaerah. Jika usaha tersebut gagal, masalah tersebut dapat dibawa ke sesepuh induk. Ki Karma sebagai sesepuh induk akan berusaha menyelesaikan persoalan itu. Jika tidak bisa, maka Abah Anom yang akan menjadi penentu. Di tingkat pusat maupun daerah, terdapat pula pejabat-pejabat yang turut berperan dalam menjalankan roda tata kelola adat. Jabatan-jabatan yang biasanya ada di antaranya adalah mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian secara gaib dari serangan hama), juru doa, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani dan juru sawer untuk menjalankan fungsi keamanan atau ronda. Di beberapa kampung juga terdapat pengawal atau ajudan yang berfungsi untuk membantu membawakan barang bawaan kolot lembur jika bepergian dinas (Ruhiyat, 2005). Lihat Gambar 3.2 untuk struktur pemerintahan kasepuhan ciptagelar. 36

8 Gambar 3.2 Struktur Pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki pujangga keraton yang bertugas untuk membunyikan kecapi buhun sambil berpantun untuk menuturkan asal-usul perjalanan hidup Kasepuhan Banten Kidul dari Bogor hingga di kaki hutan Taman Nasional Gunung Halimun. Dari pantun-pantunnya, dipercaya terlantun doa agar desa itu terlindungi dan dibebaskan dari segala malapetaka. Isi pantun yang dilantunkan oleh pujangga keraton Kasepuhan Ciptagelar merupakan refleksi untuk mengingatkan identitas etnis serta sistem religi masyarakat Kasepuhan Banten Kidul. Sistem refleksi itu telah menjadi alat penyembuh sosial (social healing) atau biasa disebut ruwatan terhadap desa tersebut. Yang sangat menarik dari sistem pemerintahan di Kasepuhan Ciptagelar adalah adanya kerelaan dan keikhlasan dari setiap orang yang ditugaskan oleh Ketua Adat. Setiap orang yang ditunjuk, secara sukarela akan menjalankan tugasnya secara setia. 37

9 3.1.2 Batas Wilayah Adat Ciptagelar Dalam Perspektif Adat Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah Adat Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam sub-bab sebelumnya, Kasepuhan Ciptagelar merupakan sebuah komunitas adat yang sangat unik. Keunikan ini terutama terlihat dari tata-cara kehidupan mereka yang semi nomaden. Selama sekitar 1387 tahun, pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul telah berpindah sebanyak 11 kali (Kuntari dan Badil, 2005). Kehidupan yang semi nomaden ini merupakan kehidupan yang sudah menjadi tradisi Kasepuhan Ciptagelar dari dulu hingga sekarang. Lokasi pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul awalnya terletak di wilayah Bogor. Dari Bogor, mereka melakukan perpindahan beberapa kali. Berawal dari daerah Lebak Parang, lalu berpindah menuju daerah Lebak Pinoh, berpindah kembali menuju daerah Tegal Lumbuh, lalu berpindah kembali menuju daerah Pasir Talaga hingga akhirnya mereka tercatat menetap di Desa Bojong Cisono, Banten, yang terletak di wilayah Selatan Gunung Halimun dengan dipimpin oleh Aki Rusdi. Kepindahan berikutnya yang tercatat adalah perpindahan menuju daerah Cicemet. Lalu dengan dipimpin oleh Abah Arjo, mereka melakukan perpindahan menuju desa Cicadas yang terletak di daerah Sirnaresmi. Selama beberapa waktu mereka menetap, hingga pada akhirnya dengan dipimpin oleh Abah Arjo pula, mereka melakukan perpindahan menuju Desa Ciganas. Selanjutnya mereka melakukan perpindahan kembali menuju Desa Linggarjati, sebuah desa yang terletak di dekat Desa Cisarua. Abah Arjo menikah sebanyak empat kali dan dikaruniai 3 orang anak. Anak tertua Abah Arjo bernama Encup Sucipta. Abah Arjo meninggal pada tahun 1982 dan dimakamkan di Desa Linggarjati. Sebelum meninggalnya, Abah Arjo mewariskan tahta pemimpin adat Kasepuhan kepada anak tertuanya yang bernama Encup Sucipta. Karena usianya yang masih muda pada waktu itu (sekitar 16 tahun), Encup Sucipta pun lebih dijuluki Abah Anom, yang pada akhirnya julukannya itulah yang lebih dikenal oleh masyarakat dibandingkan dengan nama aslinya. 38

10 Pada tahun yang sama (1982), Abah Anom sebagai pemimpin baru Kasepuhan memindahkan letak Kasepuhan menuju Desa Ciptarasa. Di kampung ini, Abah Anom bersama penduduknya membangun Imah Gede (Rumah Abah Anom sekaligus rumah penerima tamu), leuit (tempat menampung padi), lesung (tempat menumbuk padi) dan ajeng (tempat menyimpan alat musik tradisional). Selanjutnya mereka membangun rumah penduduk serta mushola. Pada tahun 2001, 18 tahun setelah Abah Anom dan Kasepuhan menetap di Ciptarasa, mereka berpindah menuju Desa Ciptagelar yang merupakan desa terakhir hingga kini dalam serangkaian proses perpindahan pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul. Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 3.3, 3.4 dan 3.5. Gambar 3.3 Leuit si Jimat Gambar 3.4 Mushola Ciptagelar Gambar 3.5 Imah Gede 39

11 Dalam proses perpindahan tersebut, terlihat bahwa setiap kali terjadi perpindahan maka akan timbul satu desa baru dan desa itulah yang menjadi letak dari pusat pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar. Walaupun Ciptarasa serta desa-desa lainnya yang telah ditinggalkan Abah Anom sudah tidak menjadi pusat Kasepuhan, tetapi desa-desa tersebut masih termasuk kedalam wilayah Kasepuhan Ciptagelar. Jadi dapat dikatakan bahwa setiap kali Kasepuhan Ciptagelar melakukan perpindahan, maka akan timbul sebuah pemukiman baru. Itu berarti semakin banyak terjadi perpindahan, semakin luas pula wilayah pemukiman dan garapan masyarakat adat tersebut. Komunitas Adat Banten Kidul membuka lahan dan menetap pertama kali di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) antara tahun 1902 hingga Sebelumnya, mereka menetap di luar TNGHS. Pembukaan lahan ini dilakukan oleh generasi pertama dari Kasepuhan Ciptagelar yang berada di daerah TNGHS (Sucipta, 2007). Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Jawatan Kehutanan pada tahun 1973, jumlah lahan bukaan yang telah dikuasai oleh Komunitas Adat Banten Kidul yang mencakup daerah Bogor, Lebak dan Sukabumi, seluruhnya seluas kurang lebih Ha (Sucipta, 2007). Jumlah lahan bukaan tersebut adalah keseluruhan lahan adat yang berada diluar dan didalam TNGHS. Diantara Ha lahan bukaan tersebut, 6 Ha diantaranya adalah wilayah pemukiman Kasepuhan Ciptagelar dengan jumlah penduduk ± 160 kepala keluarga serta ratusan hektar diantaranya adalah wilayah bukaan yang dikuasai masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Perpindahan pemukiman Kasepuhan Ciptagelar, dilakukan berdasarkan wangsit yang diterima oleh sesepuh girang. Perpindahan tersebut masih dalam ruang lingkup tanah adat (Sucipta, 2007). Dari pernyataan ketua adat Ciptagelar tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya, tanah adat kasepuhan sudah ada sejak Kasepuhan Banten Kidul pertama kali didirikan. Dalam tata hukum dan aturan adat di Kasepuhan Ciptagelar, terdapat klasifikasi dari penguasaan tanah adat yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu wilayah olahan (cultivation area) serta wilayah non olahan (non-cultivation area). Wilayah 40

12 non olahan terdiri dari daerah-daerah yang sama sekali tidak boleh digarap dan ditempati oleh masyarakat dan pihak adat (daerah pamali) serta wilayah hutan diluar ha tanah adat Kasepuhan Banten Kidul yang telah disebutkan sebelumnya. Daerah pamali tersebut diantaranya adalah pamatang (gundukan tanah), sirah cai (sumber mata air), lemah gunting (pertemuan dua sungai kecil) dan tempat-tempat yang menjadi pamali (larangan) serta angker. Wilayah hutan diluar ha tanah adat Kasepuhan tersebut terdiri dari tiga buah jenis leuweung (hutan), yaitu leuweung titipan (hutan kepercayaan), leuweung tutupan (hutan larangan) dan leuweung garapan (hutan produksi) (Abdulharis, 2007). Yang dimaksud dengan leuweung titipan, tutupan dan garapan adalah: - Leuweung tutupan, adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang sama sekali tidak boleh dimasuki dan diganggu oleh manusia. Seluruh warga kasepuhan dan pemangku adat kasepuhan tidak boleh memasuki hutan ini. Bagi masyarakat kasepuhan, leuweung tutupan bukan hanya sebagai hutan lindung, tetapi juga merupakan hutan perlindungan alam mutlak yang tidak boleh diganggu gugat dari awal sampai akhir. Leuweung tutupan menunjukkan keanekaragaman hayati yang tinggi, berfungsi sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai) dan sebagai pusat keseimbangan ekosistem. Keberadaan leuweung tutupan ini ditandai dengan adanya larangan untuk masuk ke dalamnya secara adat (Saptariani N., 2003). - Leuweung titipan, adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang tidak boleh dimasuki oleh penduduk adat dan tidak boleh dipakai kayunya kecuali untuk keperluan adat. Leuweung titipan juga merupakan kawasan hutan yg dicadangkan untuk daerah pemukiman masyarakat adat Kasepuhan dimasa mendatang (awisan) dan alokasi lahan garapan (untuk huma dan kebun). Di dalam hutan ini, hanya para pemangku adat yang boleh masuk dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalamnya, itupun untuk keperluan adat. Aturan adat mengharuskan dalam setiap penebangan satu batang pohon, harus diganti dengan pohon yang baru. Penebangan pohon dan penggunaan sumber daya alam hutan titipan tersebut pun dapat dilakukan setelah 41

13 mendapatkan ijin dari ketua adat, dan hanya untuk keperluan pembuatan rumah adat serta keperluan adat lainnya (Saptariani N., 2003). - Leuweung garapan, adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang terbuka untuk aktivitas masyarakat dan keperluan adat serta boleh dimanfaatkan hasil hutannya untuk keperluan apapun. Konsep reboisasi seperti hutan titipan, diterapkan disini. Aturan adat mengharuskan dalam setiap penebangan satu batang pohon, harus diganti dengan pohon yang baru. Klasifikasi yang kedua adalah wilayah olahan (cultivation area). Wilayah olahan terbagi menjadi dua kelas, yang pertama adalah wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar sendiri dan yang kedua adalah wilayah yang tidak dimiliki oleh adat (sudah menjadi milik luar adat). Wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar, terbagi kembali menjadi tiga buah subkelas (Abdulharis, 2007). Subkelas yang pertama adalah wilayah adat yang dialokasikan untuk aktivitas adat Kasepuhan. Salah satunya adalah pusat Kasepuhan Ciptagelar. Subkelas yang kedua adalah wilayah adat yang diolah oleh masyarakat adat, yang hasilnya digunakan untuk keperluan adat. Contohnya adalah sawah dan ladang milik adat. Subkelas yang ketiga adalah wilayah adat yang dipergunakan untuk kepentingan penduduk adat, contohnya adalah pemukiman dan lahan garapan. Untuk subkelas ini, penduduk adat berhak membangun rumah dan mempergunakan lahan yang dikuasainya. Hak tersebut dalam UUPA disebut hak pakai dan hak guna bangunan. Untuk lebih jelasnya lihat gambar

14 Gambar 3.6 Bagan alir penguasaan tanah adat Kasepuhan Ciptagelar Konsep Batas Adat Ciptagelar Secara fisik, letak Kasepuhan Ciptagelar dikelilingi oleh hutan titipan, tutupan dan garapan. Dalam konsep adat, ketiga hutan ini merupakan batas wilayah adat Ciptagelar. Secara keilmuan, batas tersebut merupakan batas umum (general boundary). General boundary merupakan suatu bentuk batas yang hanya memperlihatkan suatu batas melalui pendekatan yang tidak presisi, contohnya adalah 43

15 batas yang didefinisikan dalam objek natural seperti hutan (Dale dan McLaughlin, 1999). Setiap hutan tersebut, memiliki wilayah masing-masing. Hutan-hutan inilah yang menjadi pembatas wilayah bukaan penduduk Ciptagelar. Batas antara hutan dengan wilayah bukaan masyarakat biasanya ditandai dengan adanya jalan setapak atau langsung berbatasan antara tepi hutan dengan tepi wilayah garapan dan pemukiman. Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 3.7 dan 3.8. Sedangkan batas antara wilayah garapan warga dengan hutan ditandai dengan adanya pamatang atau timbunan tanah di sisi terluar lahan garapan. Lihat Gambar 3.9. Gambar 3. 7 Batas antara hutan titipan dengan wilayah bukaan 44

16 Gambar 3. 8 Batas antara hutan titipan dengan pemukiman Secara fisik, antara hutan yang satu dengan hutan lainnya dibatasi oleh objek batas yang berupa pohon tertentu, arca, batu ataupun situs. Objek batas pohon yang biasa dipakai oleh penduduk Ciptagelar berupa pohon Hanjuang (Cordyline sp) dan pohon Botol (Mascarena lagenicaulis). Pohon tersebut dijadikan batas dengan cara ditanam pada batas yang telah ditentukan. Alasan digunakannya pohon tersebut karena selain batangnya tegak, juga karena pohon tersebut jika sudah ditebang sampai habis, suatu saat pasti akan tumbuh kembali, sehingga batas tersebut tidak akan hilang (Sucipta, 2007). 45

17 Gambar 3. 9 Batas antara hutan dengan lahan garapan warga Selain sebagai objek yang sering dipakai untuk mewakili salah satu titik batas, pohon hanjuang dan pohon botol juga biasanya dipergunakan penduduk adat untuk menolak bala. Pohon tersebut ditanam di sekeliling rumah warga, walaupun tidak semua warga menanamnya. Secara tidak langsung, pohon tersebut membatasi wilayah garapannya. Untuk lebih jelasnya, lihat Gambar 3.10 dan

18 Gambar 3.10 Pohon Hanjuang sebagai batas pemukiman Gambar 3.11 Pohon Hanjuang sebagai batas wilayah garapan 3.2 Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) merupakan taman nasional yang di dalamnya terdapat beberapa kasepuhan, diantaranya Kasepuhan 47

19 Ciptagelar. Secara geografis, TNGHS terletak pada BT BT dan LS LS. Secara administratif, wilayah kerja TNGHS meliputi tiga wilayah administrasi pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan. Dari 26 kecamatan tersebut, 9 kecamatan merupakan bagian dari kabupaten Bogor, 8 kecamatan bagian dari Kabupaten Sukabumi, 9 kecamatan merupakan bagian dari Kabupaten Lebak dan 101 desa yang berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS. Pada tahun 2005, tercatat ada 314 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS dengan jiwa di dalamnya (survey TNGHSNP dan MP-JICA, 2005). Dengan banyaknya desa di TNGHS, maka secara langsung akan timbul suatu pertampalan kepentingan antara masyarakat adat serta pihak TNGHS. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu pengembangan wilayah taman nasional yang berwawasan lingkungan, sosial, dan budaya. Pada subbab selanjutnya akan dipaparkan mengenai sejarah umum TNGHS dan kewenangan TNGHS atas wilayahnya (Bab 3.2.1), serta pandangan TNGHS terhadap Kasepuhan Ciptagelar dan batas wilayah adatnya (Bab 3.2.2) Sejarah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Sebagai salah satu kawasan taman nasional yang cukup tua di Indonesia, TNGHS memiliki sejarah panjang yang secara langsung berkaitan dengan kondisi lingkungan serta perkembangan masyarakat di dalamnya, termasuk juga masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Berdasarkan sejarah, TNGHS sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Belanda tahun , kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas ha di bawah pengelolaan Pemerintah Hindia Belanda. Hutan Lindung Gunung Halimun diubah statusnya menjadi cagar alam pada tahun di bawah pengelolaan Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/Djawatan Kehutanan Jawa Barat. Pada tahun 1977, semua hutan lindung di Jabar seharusnya diserahkan kepada Balai PPA (Balai Perlindungan dan Pelestarian Alam). Namun, ketentuan tersebut 48

20 pada saat itu belum dilaksanakan karena belum kuatnya aturan tertulis mengenai pergantian penguasaan TNGHS. Kawasan Cagar Alam Gunung Halimun kemudian diperluas menjadi ha pada tahun Pengelolaannya berada di bawah PPA. Hingga pada tanggal 26 Februari 1992, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-II/1992, kawasan yang sebelumnya merupakan Cagar Alam Gunung Halimun ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor 1544/DJ-VI/TN/1992, pada masa tersebut tanggung jawab pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) untuk sementara diserahkan kepada Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Pada tanggal 10 Juni 2003, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tentang penunjukan kawasan TNGH dan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak yang dikelola oleh Perum Perhutani, maka Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang memiliki luas sebesar ha. Sebelum keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts- II/2003, luas kawasan TNGH adalah hektar. Kawasan TNGH yang sebelumnya bernama Cagar Alam Gunung Halimun, meliputi sebagian besar kompleks hutan Gunung Halimun, Gunung Kendang Kulon, Gunung Sanggabuana, Gunung Nanggung, Jasinga dan Ciampea yang terletak di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak. Setelah keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts- II/2003, luas kawasan TNGHS menjadi ha. Perubahan fungsi hutan negara eks Perhutani menjadi TNGHS di Kabupaten Sukabumi adalah seluas ,22 ha, di Kabupaten Bogor seluas ,68 ha dan di Kabupaten Lebak seluas ,04 ha. Dengan adanya SK Menteri tersebut, maka ada perubahan fungsi kawasan hutan dari hutan lindung dan hutan produksi menjadi hutan konservasi TNGHS. Sedangkan status kawasan hutan TNGHS tetap sebagai hutan negara dengan tidak mengakui 49

21 adanya tanah hak di dalamnya (Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Yogyakarta, 2006). Sebelum keluarnya SK Menteri Kehutanan No. 175/Ktps-II/2003, luas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun adalah hektar. Kawasan tersebut meliputi sebagian kompleks hutan Gunung Halimun, Gunung Kendang Kulon, Gunung Sanggabuana, Gunung Nanggung, Jasinga I dan Ciampea yang terletak di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak. Panjang keseluruhan batas TNGHS adalah ± 1280 km, 1170 km diantaranya sudah dilakukan delineasi batas (TNGHS, 2007). Gambar 3.12 Patok batas wilayah TNGHS Setelah keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Ktps-II/2003 pada tanggal 10 Juni 2003, luas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadi hektar. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan tersebut maka kawasan hutan negara seluas hektar yang merupakan kawasan hutan lindung dan hutan produksi pada Kelompok Hutan Gunung Halimun serta Kelompok Hutan Gunung Salak yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani, berubah fungsi menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun. Perubahan fungsi hutan negara bekas Perhutani 50

22 menjadi TNGHS di Kabupaten Sukabumi adalah seluas ,22 ha, di Kabupaten Bogor seluas ,68 ha dan di Kabupaten Lebak seluas ,04 ha. Kawasan TNGHS tetap sebagai hutan negara dengan tidak memasukkan tanah hak (Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Yogyakarta, 2006). Luas kawasan serta batas wilayah TNGHS yang berubah setelah keluarnya SK tersebut diperlihatkan dalam gambar berikut: Gambar 3.13 Kawasan lama dan baru TNGHS Batas Wilayah Kasepuhan Ciptagelar Menurut TNGHS Kasepuhan Ciptagelar terletak didalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Letak Kasepuhan Ciptagelar berada di Barat Laut Gunung Halimun Selatan. Mereka memiliki kebiasaan hidup berpindah-pindah (semi nomaden). Kasepuhan Ciptagelar memiliki pandangan yang berbeda dengan TNGHS dalam hal batas wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Kasepuhan Ciptagelar memiliki lahan cadangan sebagai lokasi perpindahan mereka di masa yang akan datang. Pihak 51

23 TNGHS meyakini bahwa pada suatu saat mereka akan berpindah ke lahan cadangan tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pihak TNGHS melakukan pembagian zona dan pendekatan terhadap kasepuhan dengan harapan pihak kasepuhan terus berada di dalam zona tersebut (Kuswara, 2007). Diantaranya adalah zona tradisional dan zona untuk tujuan sosial budaya. Penempatan Kasepuhan Ciptagelar dalam zona tradisional tersebut dilakukan oleh pihak TNGHS dengan mengusahakan MoU (Memorandum of Understanding) antara TNGHS dan Kasepuhan Ciptagelar. Dalam pembicaraan terakhir, disepakati luas wilayah Kasepuhan Ciptagelar sekitar ha (Kuswara, 2007). Kasepuhan Ciptagelar merupakan sebuah wilayah tradisional yang memiliki kebudayaan dan kehidupan sosial yang baik. Atas dasar itulah pihak TNGHS untuk sementara memasukkan Kasepuhan Ciptagelar kedalam zona tradisional. Untuk lebih jelasnya lihat Gambar Gambar 3.14 Rancangan Zonasi wilayah TNGHS Untuk dapat mengetahui letak zona tradisional yang dilakukan oleh pihak TNGHS dilakukan overlay antara peta topografi Jabar-Banten dengan peta lokasi TNGHS serta rancangan zonasi yang dilakukan oleh pihak TNGHS. Setelah dilakukan overlay didapatkan hasil yang ditampilkan dalam Gambar

24 Gambar 3.15 Wilayah TNGHS (batas coklat) dan zona tradisional (batas merah muda) Pembuatan zona tradisional untuk masyarakat Kasepuhan tersebut bertujuan agar masyarakat Kasepuhan tidak menempati zona selain yang telah ditetapkan, sehingga proses perpindahan dan pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat tidak mempengaruhi ekosistem dan lingkungan TNGHS (Kuswara, 2007). Dengan adanya zona tradisonal yang merupakan gambaran wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar, maka secara tidak langsung pihak TNGHS mengakui adanya penguasaan sebagian wilayah TNGHS oleh pihak Kasepuhan Ciptagelar. 53

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dari 4 ( empat ) aspek, yaitu : 1. Aspek Yuridis 2. Aspek Teknis 3. Pranata Adat 4. Penguatan Status

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat BAB IV ANALISIS Dalam Bab IV ini akan disampaikan analisis data-data serta informasi yang telah didapat. Bab ini terbagi menjadi 3 sub-bab. Bab 4.1 berisi tata cara dan aturan adat dalam penentuan batas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi Penelitian dalam tugas akhir ini meliputi, persiapan, pengumpulan data dan pengolahan data yang terdiri dari subbab masing-masing. Untuk lebih jelas alur penelitian

Lebih terperinci

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar merupakan komunitas masyarakat yang masih memegang teguh adatnya yaitu adat Banten Kidul. Dan Ciptagelar bisa dikatakan sebagai

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA DAFTAR PUSTAKA 1. Abdulharis, R., K. Sarah, S. Hendriatiningsih, dan A. Hernandi. 2007. The Initial Model of Integration of the Customary Land Tenure System into the Indonesian Land Tenure System: the

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 11 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Taman Nasional Gunung Halimun Salak 3.1.1 Sejarah, letak, dan luas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Artawilaga, R. Rustandi Hukum Agraria Indonesia dalam Teori dan Praktek. NV Masa Baru. Jakarta

DAFTAR PUSTAKA. Artawilaga, R. Rustandi Hukum Agraria Indonesia dalam Teori dan Praktek. NV Masa Baru. Jakarta DAFTAR PUSTAKA Abdulharis, R., 2005: Land Administration in Post Disaster Areas: The Case Study of Banda Aceh, Indonesia, M.Sc Thesis, Delft, Delft University of Technology Abdulharis, R., Sarah, K., Hendriatiningsih,

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak 4.1.1. Sejarah, Letak, dan Luas Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan Surat Keputusan

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Lokasi Kasepuhan Ciptagelar (Google Earth, 2008)

Gambar 3.1 Lokasi Kasepuhan Ciptagelar (Google Earth, 2008) BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana penelitian ini dilakukan hingga didapatkan karakteristik sistem kepemilikan lahan yang berlaku dalam hukum pertanahan adat di wilayah

Lebih terperinci

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 7.1. Persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap Keberadaan Hutan Penilaian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

TATA CARA DAN ATURAN PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BERDASARKAN HUKUM ADAT: Studi Kasus Kasepuhan Ciptagelar

TATA CARA DAN ATURAN PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BERDASARKAN HUKUM ADAT: Studi Kasus Kasepuhan Ciptagelar TATA CARA DAN ATURAN PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BERDASARKAN HUKUM ADAT: Studi Kasus Kasepuhan Ciptagelar TUGAS AKHIR Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Oleh Eko Wahyu

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang berbeda-beda. Berbagai macam suku bangsa tersebut tersebar kedalam berbagai wilayah adat

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang Hukum tanah adat merupakan hukum tidak tertulis yang mengurusi masalah pertanahan adat yang dipegang teguh dan dilaksanakan oleh komunitas atau masyarakat adat. Hukum

Lebih terperinci

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI 6.1. Riwayat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Taman Nasional Gunung

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. BT dan LS. Suhu rata-rata pada musim kemarau antara 28 C

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. BT dan LS. Suhu rata-rata pada musim kemarau antara 28 C V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Desa Sirna Resmi terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis desa ini terletak antara 106 27-106

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Dale and McLaughlin, 1999: Land Administration, Oxford Press, New York, USA

DAFTAR PUSTAKA. Dale and McLaughlin, 1999: Land Administration, Oxford Press, New York, USA DAFTAR PUSTAKA Abdulharis, R., 2005: Land Administration in Post Disaster Areas: The Case Study of Banda Aceh, Indonesia, M.Sc Thesis, Delft, Delft University of Technology Abdulharis, R., Sarah, K., Hendriatiningsih,

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunitas Kasatuan Adat Banten Kidul merupakan sekelompok masyarakat yang mendiami kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Merupakan bagian dari etnik

Lebih terperinci

Bab IV Analisis. Batas

Bab IV Analisis. Batas Bab IV Analisis IV.1 Analisis Batas Tanah Garapan Dikaitkan Dengan Konsep Batas Mengacu pada penjelesan mengenai batas suatu bidang tanah garapan warga Kasepuhan Ciptagelar dan dikaitkan dengan konsep

Lebih terperinci

Tabel -10 Kebutuhan Data Metode, Jenis, dan Sumber Data

Tabel -10 Kebutuhan Data Metode, Jenis, dan Sumber Data LAMPIRAN 103 Lampiran 1. Tabel -10 Kebutuhan Data Metode, Jenis, dan Sumber Data No Kebutuhan Data Metode Jenis Data Sumber Data 1 Kondisi umum lokasi Studi dokumen, wawancara, pengamatan berperan serta

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Desa 4.1.1 Kondisi Topografi Desa Sinar Resmi merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai sejak tahun 1970- an, ketika hak pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dari masa ke masa semakin canggih dan mudah untuk diakses. Kita sebagai manusia tidak dapat menghindari perkembangan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan yang didapat merupakan jawaban dari pertanyaan (research question) yang

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 22 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak, Luas, dan Wilayah Secara administratif Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi termasuk dalam wilayah "Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hukum adat telah ada di Indonesia jauh sebelum hukum nasional dibentuk. Aturan dan hukum yang dilaksanakan oleh masyarakat adat, baik itu di bidang pertanahan

Lebih terperinci

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN 89 BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN Rumusan standar minimal pengelolaan pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya disusun sebagai acuan bagi terjaminnya keberlangsungan manfaat

Lebih terperinci

FORMAT KASUS KOMPREHENSIF

FORMAT KASUS KOMPREHENSIF FORMAT KASUS KOMPREHENSIF NO. REC. : 12 KASUS DESKRIPSI : MASYARAKAT KASEPUHAN CIBEDUG VS. TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUM SALAK : Keberadaan warga Cibedug di kawasan ekosistem Halimun sejak jaman Belanda-Jepang

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian

Bab I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian Bab I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, juga dikenal sebagai negara " multi cultural " yang memiliki lebih dari 250 kelompok

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL Oleh: Gurniwan Kamil Pasya ABSTRAK Kerusakan hutan di Indonesia sudah sangat parah sebagai akibat banyak perusahaan kayu yang membabat hutan secara besar-besaran,

Lebih terperinci

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 9.1. Kondisi Ekonomi Perluasan kawasan TNGHS telah mengakibatkan kondisi

Lebih terperinci

2016 KAJIAN PEWARISAN PENGETAHUAN SANITASI LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT KAMPUNG ADAT KASEPUHAN CIPTARASA KECAMATAN CIKAKAK KABUPATEN SUKABUMI

2016 KAJIAN PEWARISAN PENGETAHUAN SANITASI LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT KAMPUNG ADAT KASEPUHAN CIPTARASA KECAMATAN CIKAKAK KABUPATEN SUKABUMI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antara lingkungan dan kesehatan memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Kesehatan lingkungan merupakan salah satu aspek dalam kesehatan masyarakat yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. terlepas dari hasil kegiatan, atau budaya yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh

BAB I PENGANTAR. terlepas dari hasil kegiatan, atau budaya yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kondisi kehidupan masyarakat di Jawa Barat, atau suku Sunda tidak terlepas dari hasil kegiatan, atau budaya yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh para leluhur mereka.

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Berawal dari Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR

TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR TUGAS AKHIR Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat baik bila industri ini dapat dikelola dan dikembangkan secara

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat baik bila industri ini dapat dikelola dan dikembangkan secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu industri terbesar yang paling banyak dilirik sebagai salah satu sektor andalan bagi negara dewasa ini, terutama bila dilihat

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 15 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Kabupaten Lebak secara geografis terletak antara 6º18'-7º00' Lintang Selatan dan 105º25'-106º30' Bujur Timur, dengan luas wilayah 304.472 Ha atau 3.044,72 km².

Lebih terperinci

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY 117 BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY Desa Cipeuteuy merupakan desa baru pengembangan dari Desa Kabandungan tahun 1985 yang pada awalnya adalah komunitas pendatang yang berasal dari beberapa daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak hutan tropis, dan bahkan hutan tropis di Indonesia merupakan yang terluas ke dua di dunia setelah negara Brazil

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk keperluan penelitian dilakukan di Kasepuhan Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Taman Nasional Gunung Halimun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. (1968) disebut sebagai tragedi barang milik bersama. Menurutnya, barang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. (1968) disebut sebagai tragedi barang milik bersama. Menurutnya, barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan komponen yang sangat penting dalam kehidupan makhluk hidup di alam ini. Selain itu, air juga merupakan barang milik umum, sehingga air dapat mengalami

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 34 BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 4.1. Desa Karimunjawa 4.1.1. Kondisi Geografis Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) secara geografis terletak pada koordinat 5 0 40 39-5 0 55 00 LS dan 110 0 05 57-110

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masyarakat dan kebudayaan merupakan hubungan yang sangat sulit dipisahkan. Sebab masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan anugerah Tuhan yang memiliki dan fungsi yang sangat besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat menjaga kesegaran udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Suaka margasatwa merupakan salah satu bentuk kawasan suaka alam. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah kawasan yang mempunyai fungsi

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Harahap, B., Rangkuti, S., Batubara, K. dan Siregar, A., 2005: Tanah Ulayat dalam Sistem Pertanahan Nasional, CV Yani s, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Harahap, B., Rangkuti, S., Batubara, K. dan Siregar, A., 2005: Tanah Ulayat dalam Sistem Pertanahan Nasional, CV Yani s, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Abdulharis, R., 2005: Land Administration in Post Disaster Areas: The Case Study of Banda Aceh, Indonesia, M.Sc Thesis, Delft, Delft University of Technology. Abdulharis, R., Sarah, K.,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017 Website : IMPLIKASI PUTUSAN MK NO.35/PUU-X/2012 TERHADAP EKSISTENSI HUTAN ADAT MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTAGELAR YANG TUMPANG TINDIH DENGAN HUTAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK Sitta Nabilla Maisara

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49 29 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang masih banyak memperlihatkan unsur persamaannya, salah satunya adalah suku Sunda, suku yang memiliki

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. bahwa Taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bagian ini diuraikan (1) latar belakang, (2) masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian,dan (5) sistematika penulisan. Adapun uraiannya sebagai berikut. A. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN 23 Gambaran penelitian yang dimuat dalam bab ini merupakan karakteristik dari sistem pertanian yang ada di Desa Cipeuteuy. Informasi mengenai pemerintahan

Lebih terperinci

Kosmologi dalam Arsitektur Masyarakat Kasepuhan Banten Kiduldi Lebak Sibedug

Kosmologi dalam Arsitektur Masyarakat Kasepuhan Banten Kiduldi Lebak Sibedug TEMU ILMIAH IPLBI 2017 Kosmologi dalam Arsitektur Masyarakat Kasepuhan Banten Kiduldi Lebak Sibedug Ratu Arum Kusumawardhani (1), Ryan Hidayat (2) arum_q@yahoo.com (1) Program Studi Arsitektur/Fakultas

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IJIN PEMANFAATAN KAYU PADA AREAL PENGGUNAAN LAIN ATAU KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI

BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI 4.1 Letak Geografis Komunitas adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional

Lebih terperinci

KEHIDUPAN Di Punggungan Halimun Oleh: Reni, Sumatera Utara

KEHIDUPAN Di Punggungan Halimun Oleh: Reni, Sumatera Utara KEHIDUPAN Di Punggungan Halimun Oleh: Reni, Sumatera Utara 15 Januari 2016: Desa Cisarua, Kampung Parigi Kampung Parigi, Desa Cisarua berada di salah satu punggung pegunungan Halimun. Pada awalnya penduduk

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD)

III. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD) 3.1. Kerangka Teoritis III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.1. Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD) Analisis ini digunakan untuk mengetahui siapa saja pihak-pihak yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN KEHUTANAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia dan tanah tidak dapat dipisahkan. Manusia diciptakan dari tanah, hidup

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 9 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Umum Kecamatan Megamendung Kondisi Geografis Kecamatan Megamendung Kecamatan Megamendung adalah salah satu organisasi perangkat daerah Kabupaten Bogor yang terletak

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perubahan Pola Interaksi Masyarakat Dengan Hutan 5.1.1 Karakteristik Responden Rumah tangga petani mempunyai heterogenitas dalam status sosial ekonomi mereka, terlebih

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Asal-Usul Masyarakat Desa Cirompang Menurut sejarah yang terdapat dalam Peta Wilayah Administratif Desa Cirompang, masyarakat yang bermukim di Desa Cirompang

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak, Luas dan Batas Administratif Seperti yang dijelaskan pada Bab III Metode Penelitian, berdasarkan pertimbangan status kawasan, proses penataan batas dan ketersediaan

Lebih terperinci

BAB III OBJEK PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN Sejarah Kampung Adat Ciptagelar

BAB III OBJEK PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN Sejarah Kampung Adat Ciptagelar BAB III OBJEK PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 OBJEK PENELITIAN 3.1.1 Sejarah Kampung Adat Ciptagelar Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar adalah sebuah kampung adat yang mempunyai ciri khas dalam lokasi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI KAWASAN KONSERVASI

ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI KAWASAN KONSERVASI ISSN : 1978-4333, Vol. 05, No. 01 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI KAWASAN KONSERVASI ABSTRACT Analysis of Resource Forest Conflict in Conservation Area Ina Marina *) dan Arya Hadi Dharmawan Departemen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Hutan Hutan dapat didefinisikan sebagai tempat berupa lahan yang luas yang terdiri dari komponen-komponen biotik dan abiotik yang di dalamnya terdapat ekosistem yang

Lebih terperinci

REUSAM KAMPUNG BATU BEDULANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : 147 TAHUN 2010

REUSAM KAMPUNG BATU BEDULANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : 147 TAHUN 2010 REUSAM KAMPUNG BATU BEDULANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : 147 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM ( ADAT MERAGREH UTEN ) BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili 4.2 Tanah dan Geologi

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili 4.2 Tanah dan Geologi BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili Secara administratif pemerintah, areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili dibagi menjadi dua blok, yaitu di kelompok Hutan Sungai Serawai

Lebih terperinci

NORHADIE KARBEN, GIGIH UPAYAKAN PERTANIAN TANPA BAKAR DI LAHAN GAMBUT

NORHADIE KARBEN, GIGIH UPAYAKAN PERTANIAN TANPA BAKAR DI LAHAN GAMBUT USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN NORHADIE KARBEN, GIGIH UPAYAKAN PERTANIAN TANPA BAKAR DI LAHAN GAMBUT Oleh: Indra Nugraha Ketika pemerintah melarang membakar seharusnya pemerintah juga memberikan solusi

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 26 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Lokasi kawasan Gunung Endut secara administratif terletak pada wilayah Kecamatan Lebakgedong, Kecamatan Sajira, Kecamatan Sobang dan Kecamatan Muncang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena akhir-akhir ini eksploitasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Ronggeng Kaleran Dalam Upacara Adat Nyuguh di Kampung Adat Kuta Ciamis dapat disimpulkan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Manusia dengan Lingkungan Interaksi merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : 54 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Tata Guna Lahan Kabupaten Serang Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : a. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan pertanian lahan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Kesatuan adat Kasepuhan Banten Kidul terletak di wilayah Taman Nasional

BAB IV PEMBAHASAN. Kesatuan adat Kasepuhan Banten Kidul terletak di wilayah Taman Nasional BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Kasepuhan Ciptagelar 4.1.1 Letak Geografis Kesatuan adat Kasepuhan Banten Kidul terletak di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun yang merupakan wilayah hutan konservasi,

Lebih terperinci

ANALISIS KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ANALISIS KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 3 No. 1 (Juli 2013): 23-30 ANALISIS KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK Landuse Conflicts Analysis at Mount Halimun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk di dalamnya berupa sumberdaya hutan. Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati yang tersimpan di

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 31 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Bio-Fisik Kawasan Karst Citatah Kawasan Karst Citatah masuk dalam wilayah Kecamatan Cipatat. Secara geografis, Kecamatan Cipatat merupakan pintu gerbang Kabupaten

Lebih terperinci

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT 6.1 Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

HALIMUN & HARAPAN PENYELAMATAN KAMPUNG HALAMAN Oleh: Tina, Medan

HALIMUN & HARAPAN PENYELAMATAN KAMPUNG HALAMAN Oleh: Tina, Medan HALIMUN & HARAPAN PENYELAMATAN KAMPUNG HALAMAN Oleh: Tina, Medan Masyarakat kawasan Gunung Halimun dahulunya memegang tradisi masyarakat Kasepuhan dengan pola kehidupan unik dan memiliki kearifan mengelola

Lebih terperinci

STUDI LANSKAP BUDAYA KAMPUNG CIPTAGELAR, KABUPATEN SUKABUMI DAN UPAYA PELESTARIANNYA ALMAVIVA NURJANAH A

STUDI LANSKAP BUDAYA KAMPUNG CIPTAGELAR, KABUPATEN SUKABUMI DAN UPAYA PELESTARIANNYA ALMAVIVA NURJANAH A STUDI LANSKAP BUDAYA KAMPUNG CIPTAGELAR, KABUPATEN SUKABUMI DAN UPAYA PELESTARIANNYA ALMAVIVA NURJANAH A34201039 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah BAB II TEORI DASAR Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Sistem Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah (Bab 2.1) Sistem Kepemilikan Tanah (Bab 2.2), Hukum Pertanahan Adat (Bab 2.3), dan Kedudukan Hukum Adat

Lebih terperinci