BAB 2 LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
Rating Factor Masing-masing Stasiun Kerja

LAMPIRAN Universitas Sumatera Utara

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENYESUAIAN DAN KELONGGARAN TEKNIK TATA CARA KERJA II

BAB 2 LANDASAN TEORI

By: Amalia, S.T., M.T. PENGUKURAN KERJA: FAKTOR PENYESUAIAN DAN ALLOWANCE

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

Tugas dari Presiden Direktur, antara lain : Adapun tanggung jawab dari Presiden Direktur adalah:

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

Evaluasi Perencanaan Tata Letak Fasilitas Peleburan dan Pencetakan Terhadap Optimasi Proses Aliran Material pada PT. PANGERAN KARANG MURNI

BAB II. Activity-Based Management. Activity Based Management (ABM) adalah suatu pendekatan di seluruh

FISIOLOGI DAN PENGUKURAN KERJA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

PANDUAN PRAKTIKUM PENANGANAN BAHAN DAN PERENCANAAN TATA LETAK FASILITAS

BAB II ACTIVITY BASED MANAGEMENT

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

pekerja normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam sistem

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Lampiran-1: Tabel Westinghouse System's Rating A1 Superskill 0.13 A A B1 Excellent 0.08 B B C1 Good 0.03 C2 0.

USULAN PERBAIKAN LAYOUT PRODUKSI OBLONG PADA DIVISI GARMEN LOKAL DI PT MKF, LTD.

Perhitungan Waktu Baku Menggunakan Motion And Time Study

Dalam menjalankan proses ini permasalahan yang dihadapi adalah tidak adanya informasi tentang prediksi kebutuhan material yang diperlukan oleh produks

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Studi Gerak dan Waktu Studi gerak dan waktu terdiri atas dua elemen penting, yaitu studi waktu dan studi gerakan.

Analisis Efisiensi Operator Pemanis CTP dengan Westing House System s Rating

BAB II LANDASAN TEORI

PENGUKURAN WAKTU. Nurjannah

BAB III LANDASAN TEORI. pekerjaan yang dijalankan dalam sistem kerja terbaik.

PEMBUATAN ACTIVITY RELATION CHART (ARC)

WORK SAMPLING. Modul Work Sampling Praktikum Genap 2011/2012 I. TUJUAN PRAKTIKUM

FISIOLOGI DAN PENGUKURAN KERJA. tutorial 8 STOPWATCH

BAB II LANDASAN TEORI

Perancangan Tata Letak

FISIOLOGI DAN PENGUKURAN KERJA. tutorial 7. work sampling

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ERGONOMI & APK - I KULIAH 8: PENGUKURAN WAKTU KERJA

PENGUKURAN WAKTU KERJA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Industri Tugas Akhir Sarjana Semester Genap tahun 2006/2007

SYSTEMATIC LAYOUT PLANNING (SLP) PERTEMUAN #3 TKT TAUFIQUR RACHMAN PERANCANGAN TATA LETAK FASILITAS

BAB V HASIL DAN ANALISA

Systematic Layout Planning

PERANCANGAN TATA LETAK FASILITAS PERTEMUAN #2 TKT TAUFIQUR RACHMAN PERANCANGAN TATA LETAK FASILITAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Pengukuran waktu ini akan berhubungan dengan usaha-usaha untuk

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS PERANCANGAN TATA LETAK DAN FASILITAS DALAM UPAYA MENINGKATKAN KAPASITAS PRODUKSI PADA OLT. METAL WORKS SKRIPSI. Oleh: Victor

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

Pengukuran Kerja Langsung (Direct Work Measurement)

BAB 2 LANDASAN TEORI

Perancangan Tata Letak

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB II LANDASAN TEORI

PETA DARI KE & ONGKOS MATERIAL HANDLING PRAKTIKUM VI TIM ASISTEN PLO 2015

BAB V HASIL DAN ANALISIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Landasan Teori BAB II

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang, yang biasanya memiliki salah satu ciri

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

PERENCANAAN JUMLAH OPERATOR PRODUKSI DENGAN METODE STUDI WAKTU (STUDI KASUS PADA INDUSTRI PENGOLAHAN PRODUK LAUT)

practicum apk industrial engineering 2012

PERANCANGAN ULANG TATA LETAK FASILITAS PABRIK PEMBUATAN RANGKA MEJA PING-PONG PADA CV SHIAMIQ TERANG ABADI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada dasarnya pengumpulan data yang dilakukan pada lantai produksi trolly

TATA LETAK PABRIK KULIAH 2: PERENCANAAN LAYOUT

BAB II LANDASAN TEORI

Pembahasan Materi #6

USULAN PERANCANGAN TATA LETAK PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN METODE SYSTEMATIC LAYOUT PLANNING (STUDI KASUS: PT. Kencana Andalan Nusantara) TUGAS AKHIR

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II OPC, APC, STRUKTUR PRODUK, DAN BOM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

ERGONOMI & APK - I KULIAH 4: PETA KERJA

BAB 2 LANDASAN TEORI

PERBAIKAN SISTEM PRODUKSI DI PT. X DENGAN MEMPERHATIKAN LINTASAN PERAKITAN DAN TATA LETAK FASILITAS

USULAN PERBAIKAN TATA LETAK FASILITAS LANTAI PRODUKSI PRODUK SEPATU PERLENGKAPAN DINAS HARIAN (STUDI KASUS PADA CV. MULIA)

TIN314 - Perancangan Tata Letak Fasilitas Materi #5 Genap 2015/2106. TIN314 - Perancangan Tata Letak Fasilitas

MODUL 1 PERANCANGAN PRODUK MODUL 1 ANALISA DAN PERANCANGAN KERJA (MOTION AND WORK MEASUREMENT)

Transkripsi:

29 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Definisi Perancangan Tata Letak Salah satu kegiatan rekayasa industri yang paling tua adalah menata letak fasilitas. Dan tata letak yang baik selalu mengarah kepada perbaikan-perbaikan yang semakin memudahkan manusia dalam melaksanakan proses produksi tersebut. Di bawah ini dikemukakan pendapat dari beberapa pakar: Menurut Apple (1990, p1), definisi Perancangan Tata Letak Fasilitas adalah: Kegiatan yang selalu berhubungan dengan perancangan susunan unsur fisik suatu kegiatan. Menurut Tompkins (1996, p1), definisi Perancangan Tata Letak Fasilitas adalah: Menentukan bagaimana suatu kegiatan dari aset tetap memberikan dukungan terbaik dalam mencapai obyektifitas kegiatan. Menurut Meyers (Plant Layout and Material Handling, p1), definisi Plant Layout adalah: Pengaturan dari fasilitas-fasilitas fisik perusahaan untuk menghasilkan penggunaan peralatan, material, tenaga kerja, dan energi secara efisien. Plant layout merupakan bagian dari subyek yang lebih luas yang disebut dengan Perancangan Fasilitas. Dari pendefinisian yang dikemukakan oleh para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa, perancangan tata letak adalah

30 kegiatan yang berkaitan dengan pengaturan penempatan dan penggunaan fasilitas-fasilitas dengan lebih baik, tepat dan efisien untuk mencapai hasil yang lebih baik. Secara hirarki, perancangan tata letak fasilitas dapat dilihat pada gambar sebagai berikut: Gambar 2.1 Hirarki Perancangan Fasilitas Yang dimaksud dengan lokasi fasilitas adalah: Menentukan bagaimana lokasi dari suatu kegiatan mendukung terpenuhinya obyektifitas kegiatan. Hal ini menyangkut receiving, raw material storage, production, assembly, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan perancangan fasilitas adalah: Penentuan bagaimana komponen atau bagian dari suatu kegiatan mendukung tercapainya obyektifitas kegiatan. Hal ini menyangkut mesin dan stasiun kerja.

31 Perancangan tata letak berdasarkan atas: 1. Tata letak ruangan dan fasilitas, menyangkut fungsi/jenis, ukuran, bentuk, letak, dan jumlah. 2. Aliran material, menyangkut metoda, urutan, posisi, alat, dan tempat. 2.1.1 Tujuan Perancangan Tata Letak Secara umum, tujuan perancangan fasilitas adalah membawa masukan (bahan, pasokan, dan lain-lain) melalui fasilitas dalam waktu tersingkat yang memungkinkan, dengan menggunakan biaya yang wajar. Selain itu tujuan utamanya adalah: 1. Menaikkan output produksi 2. Mengurangi waktu tunggu (delay) dan kemacetan. 3. Mengurangi proses pemindahan bahan (material handling). 4. Pengoptimalan penggunaan area untuk produksi, gudang, dan servis. 5. Proses manufaktur yang lebih singkat. 6. Mengurangi resiko bagi kesehatan dan keselamatan kerja dari operator. 7. Mempermudah aktivitas pengawasan (supervision) 8. Mengurangi kemacetan pada aliran produksi, dan lain-lain.

32 2.1.2 Jenis-jenis Persoalan Tata Letak Persoalan tata letak bukanlah hanya terbatas pada perancangan fasilitas baru. Masalah yang timbul sering kali adalah perbaikan atau perubahan terhadap tata letak yang sudah ada. Jenis-jenis masalah tata letak: - perubahan rancangan - penambahan departemen baru - pengurangan departemen - perluasan departemen - penambahan produk baru - peremajaan peralatan yang baru - perubahan metode produksi - penurunan biaya - perencanaan fasilitas baru 2.1.3 Merancang Aliran Bahan Salah satu cara untuk dapat meningkatkan produktifitas perusahaan adalah dengan melakukan perencanaan tata letak yang baik. Karena salah satu tujuan tata letak adalah menghasilkan aliran bahan yang baik (sedekat dan sesingkat mungkin dalam lintasan produksi). Dengan aliran bahan yang baik, maka akan dihasilkan waktu produksi yang lebih cepat sehingga produktifitas dapat dipicu.

33 Keuntungan aliran bahan yang terencana: 1. Menaikkan efisiensi produksi 2. Pemanfaatan ruangan pabrik yang lebih baik. 3. Kegiatan pemindahan yang lebih sederhana. 4. Pemanfaatan peralatan yang lebih baik. 5. Mengurangi waktu dalam proses. 6. Pemanfaatan tenaga kerja lebih efisien. 7. Mengurangi jarak tempuh pekerja. 8. Mengurangi kemacetan aliran di gang. 9. Meminimasi langkah balik. 2.2 Teknik-teknik Konvensional Untuk Menganalisa Aliran Barang Teknik-teknik ini dititik-beratkan pada cara grafis dan mudah untuk digunakan serta secara keseluruhan, teknik ini merupakan alat terbaik untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Di antara teknik-teknik umum yang digunakan dalam merencanakan aliran, beberapa khusus digunakan dalam perencanaan tata letak fasilitas, beberapa lagi digunakan dalam tahap pemindahan bahan, dan beberapa teknik diturunkan dari bidang ekonomi gerakan dan penyerdehanaan kerja (teknik tata cara kerja).

34 Meskipun kebanyakan teknik semula ditujukan untuk analitis, teknikteknik tersebut juga berguna untuk perencanaan. Teknik yang paling umum digunakan antara lain adalah peta proses operasi. 2.2.1 Peta Proses Operasi (Operation Process Chart / OPC) Peta proses produksi merupakan salah satu teknik yang paling berguna dalam perencanaan produksi. Peta ini adalah diagram tentang proses dan telah digunakan sebagai alat untuk pengendalian dan perencanaan (Apple, 1990, p140). Peta operasi merupakan suatu diagram yang menggambarkan langkahlangkah proses yang akan dialami bahan baku mulai dari awal (raw material) sampai menjadi produk akhir (finished goods products). Kegunaan Peta Proses Operasi (I.Z. Sutalaksana, 1979, p21): - dapat mengetahui kebutuhan akan mesin dan penganggarannya - bisa memperkirakan kebutuhan akan bahan baku - sebagai alat untuk menentukan tata letak pabrik - sebagai alat untuk melakukan perbaikan cara kerja yang dipakai - sebagai alat untuk latihan/simulasi kerja

35 Dasar bagi peta ini adalah lambang proses, yang dikembangkan oleh F.B. Gilbreth pada tahun 1920. Berikut adalah lambang-lambang tersebut: Operasi Suatu operasi terjadi jika sebuah obyek: - diubah sifat fisiknya atau sifat kimianya - dirakit atau diuraikan dari obyek lainnya - diubah untuk operasi lainnya baik pengangkutan, pemeriksaan atau penyimpanan Suatu operasi dapat juga terjadi jika informasi diberikan atau diterima, atau jika perencanaan atau perhitungan dilakukan. Lambang operasi juga digunakan untuk menunjukkan orang yang sedang bekerja. Pengangkutan (Transportasi) Suatu pengangkutan terjadi jika sebuah objek dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain, kecuali jika perpindahan ini merupakan bagian dari operasi atau disebabkan oleh operator pada sebuah tempat kerja selama suatu operasi atau pemeriksaan. Pemeriksaan Sebuah pemeriksaan terjadi pada suatu objek jika keadaan tidak mengijinkan atau sifat proses menuntut pelaksanaan kegiatan selanjutnya tidak boleh segera dilakukan.

36 Keterlambatan (Delay) Ini terjadi pada suatu objek jika keadaan tidak mengijinkan atau sifat proses yang menuntut pelaksanaan kegiatan selanjutnya tidak boleh segera dilakukan. Penyimpanan (Storage) Sebuah penyimpanan terjadi jika sebuah objek disimpan dan juga dari pemindahan yang tidak dibenarkan. Kegiatan Gabungan Digunakan untuk menunjukkan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan baik bersamaan maupun kegiatan yang dilakukan oleh operator yang sama pada suatu tempat kerja yang sama.

37 2.2.2 Perhitungan Waktu Baku Menurut Wignjosubroto (1995, p174), waktu baku merupakan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, yang dijalankan dengan sistem kerja yang baik. Waktu baku di sini harus sudah meliputi kelonggaran waktu yang diberikan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pekerjaan yang harus diselesaikan, dengan demikian maka waktu baku yang dihasilkan dalam aktifitas pengukuran kerja ini akan dapat digunakan sebagai alat untuk membuat rencana penjadwalan kerja yang menyatakan berapa lama suatu kegiatan harus berlangsung dan berapa output yang dihasilkan, serta berapa pula jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Waktu normal untuk suatu elemen operasi kerja adalah semata-mata menunjukkan bahwa seorang operator yang berkualifikasi baik akan dapat menyelesaikan pekerjaannya pada kecepatan/tempo kerja yang normal. Walaupun demikian pada prakteknya kita akan melihat bahwa tidak selamanya operator tersebut akan mampu bekerja secara terus menerus sepanjang hari tanpa adanya interupsi sama sekali. Di sini pada kenyataannya operator akan sering menghentikan kerja dan membutuhkan waktu-waktu khusus untuk keperluan seperti personal needs, istirahat melepas lelah, dan alasan-alasan lain yang di luar kontrolnya. Waktu longgar yang dibutuhkan dan dapat menginterupsi proses produksi ini bisa diklasifikasikan sebagai

38 personal allowance, fatique allowance, dan delay allowance. Dengan demikian waktu baku sudah termasuk dengan kelonggaran-kelonggaran (allowance) yang diperlukan. Oleh karena itu, maka waktu baku adalah sama dengan waktu kerja normal dengan waktu kelonggaran (Wignjosoebroto, 1995, p207). Berikut adalah perhitungan waktu baku yang dapat diperoleh dengan menggunakan rumus: Wn = Ws p = Ws ( 1 + Westinghouse ) Wb = Wn + ( k Wn ) = Wn ( 1 + k ) dimana: Wb = waktu baku Wn = waktu normal Ws = waktu siklus p k = penyesuaian = 1 + Westinghouse = kelonggaran Sutalaksana Untuk mengukur nilai p (penyesuaian), sistem yang digunakan adalah sistem Westinghouse. Dan untuk mengukur nilai k (kelonggaran), digunakan tabel Besarnya kelonggaran berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh.

39 Rating Performance (penyesuaian = p) dengan sistem Westinghouse menurut Barnes (1980, p377) adalah seperti berikut. Tabel 2.1 Tabel Performance Ratings dengan sistem Westinghouse SKILL EFFORT + 0,15 A1 Superskill + 0,13 A1 Superskill + 0,13 A2 + 0,12 A2 + 0,11 B1 Excellent + 0,10 B1 Excellent + 0,08 B2 + 0,08 B2 + 0,06 C1 Good + 0,05 C1 Good + 0,03 C2 + 0,02 C2 0,00 D Average 0,00 D Average - 0,05 E1 Fair - 0,04 E1 Fair - 0,10 E2-0,08 E2-0,16 F1 Poor - 0,12 F1 Poor - 0,22 F2-0,17 F2 CONDITION CONSISTENCY + 0,06 A Ideal + 0,04 A Ideal + 0,04 B Excellent + 0,03 B Excellent + 0,02 C Good + 0,01 C Good 0 00 D Average 0 00 D Average - 0,03 E Fair - 0,02 E Fair - 0,07 F Poor - 0,04 F Poor 2.2.2.1 Menentukan Faktor Penyesuaian Menurut I.Z. Sutalaksana (1979, p138), setelah pengukuran berlangsung, pengukur harus mengamati kewajaran kerja yang ditunjukan operator. Ketidakwajaran dapat mempengaruhi kewajaran kerja yang ditunjukan operator. Ketidakwajaran dapat mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu singkat atau terlalu panjangnya waktu penyelesaian

40 pekerjaan itu. Hal ini jelas tidak diinginkan karena waktu baku yang dicari adalah waktu yang diperoleh dari kondisi atau cara kerja baku yand diselesaikan secara wajar. Jika pengukur mendapatkan harga rata-rata siklus atau elemen yang diselesaikan dengan kecepatan tidak wajar oleh operator, maka pengukur harus menormalkannya dengan melakukan penyesuaian. Besarnya harga p tentunya sedemikian rupa sehingga hasil perkalian yang diperoleh mencerminkan waktu yang sewajarnya atau waktu normal, oleh karena itu: - apabila operator dinyatakan bekerja terlalu cepat, maka harga p > 1 - apabila operator dinyatakan bekerja terlalu lambat, maka harga p < 1 - apabila operator dinyatakan bekerja secara normal, maka harga p = 1 Cara Westinghouse mengarahkan penilaian pada 4 faktor yang dianggap menentukan kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja adalah pada keterampilan, usaha, kondisi kerja, dan konsistensi. Setiap faktor terbagi ke dalam kelas-kelas dengan nilainya masing-masing. Menurut I.Z. Sutalaksana (1979, p140-144), keterampilan (skill) didefinisikan sebagai kemampuan mengikuti cara kerja yang ditetapkan. Untuk keperluan penyesuaian, keterampilan dibagi menjadi enam kelas dengan ciri-ciri dari setiap kelas seperti yang dikemukakan berikut:

41 A. Super Skill 1. Secara bawaan, cocok sekali dengan pekerjaannya. 2. Bekerja dengan sempurna. 3. Tampak seperti terlatih dengan baik. 4. Gerakan-gerakannya halus tetapi sangat cepat sehingga sangat sulit diikuti. 5. Kadang-kadang terkesan tidak berbeda dengan gerakan-gerakan mesin. 6. Perpindahan dari suatu elemen pekerjaan ke elemen pekerjaan lainnya tidak terlampau terlihat karena lancarnya. 7. Tidak terkesan adanya gerakan-gerakan berpikir dan merencanakan tentang apa yang dikerjakan (sudah sangat otomatis). 8. Secara umum dapat dikatakan bahwa pekerja yang bersangkutan adalah pekerja yang baik. B. Excellent Skill 1. Percaya pada diri sendiri. 2. Tampak cocok dengan pekerjaannya. 3. Terlihat telah terlatih dengan baik. 4. Bekerja teliti dengan tidak banyak melakukan pengukuran-pengukuran atau pemeriksaan-pemeriksaan. 5. Gerakan-gerakan kerjanya beserta urutan-urutannya dijalankan tanpa kesalahan. 6. Menggunakan peralatan dengan baik.

42 7. Bekerja dengan cepat tanpa harus mengorbankan mutu. 8. Bekerja dengan cepat namun halus. 9. Bekerja berirama dan terkoordinasi. C. Good Skill 1. Kualitas hasil baik. 2. Tampak bekerja dengan lebih baik dibandingkan kebanyakan pekerja pada umumnya. 3. Dapat memberi petunjuk-petunjuk pada pekerja lain yang keterampilannya lebih rendah. 4. Tampak jelas sebagai pekerja yang cakap. 5. Tidak memerlukan banyak pengawasan. 6. Tidak memiliki keragu-raguan. 7. Bekerja dengan stabil. 8. Gerakan-gerakannya terkoordinasi dengan baik. 9. Gerakan-gerakannya cepat D. Average Skill 1. Tampak adanya kepercayaan pada diri sendiri. 2. Gerakannya cukup cepat tapi tidak lambat. 3. Terlihat adanya pekerjaan-pekerjaan yang terencana. 4. Tampak sebagai pekerja yang cakap. 5. Gerakan-gerakannya cukup menunjukkan tidak adanya keraguan. 6. Mengkoordinasikan tangan dan pikiran dengan cukup baik.

43 7. Tampak cukup terlatih sehingga mengetahui seluk beluk pekerjaan. 8. Bekerja dengan cukup teliti. 9. Secara keseluruhan cukup memuaskan. E. Fair Skill 1. Tampak terlatih tetapi belum cukup baik. 2. Mengenal peralatan dan lingkungan secukupnya. 3. Terlihat adanya perencanaan sebelum melakukan gerakan. 4. Tidak punya kepercayaan diri yang cukup. 5. Tampaknya seperti tidak cocok dengan pekerjaanya tetapi telah ditempatkan pada pekerjaan itu sejak lama. 6. Mengetahui apa yang dilakukan dan harus dilakukan akan tetapi tidak begitu yakin. 7. Sebagian waktu terbuang karena kesalahan-kesalahan sendiri. 8. Jika tidak bekerja dengan serius, outputnya akan sangat rendah. 9. Biasanya tidak ragu-ragu dalam menjalankan gerakan-gerakannya. F. Poor Skill 1. Tidak bisa mengkoordinasikan tangan dan pikiran. 2. Gerakan-gerakannya kaku. 3. Terlihat ketidakyakinan pada urutan-urutan gerakan. 4. Seperti tidak terlatih untuk pekerjaannya. 5. Tidak terlihat adanya kecocokan dengan pekerjaanya. 6. Ragu-ragu dalam menjalankan gerakan-gerakan kerja.

44 7. Sering melakukan kesalahan-kesalahan. 8. Tidak adanya kepercayaan pada diri sendiri. 9. Tidak bisa mengambil inisiatif sendiri. Usaha (effort) didefinisikan sebagai kesungguhan yang ditujukan atau diberikan operator ketika melakukan pekerjaanya. Usaha juga terbagi dalam kelas-kelas dengan ciri-ciri masing-masing yang berbeda, yaitu: A. Super Effort 1. Kecepatan sangat berlebihan. 2. Usahanya sangat bersungguh-sungguh tetapi dapat membahayakan kesehatannya. 3. Kecepatan yang ditimbulkannya tidak dapat dipertahankan sepanjang hari kerja. B. Excellent Effort 1. Jelas terlihat kecepatan kerjanya yang tinggi. 2. Gerakan-gerakan lebih ekonomis daripada operator-operator biasa. 3. Penuh perhatian pada pekerjaannya. 4. Banyak memberi saran-saran. 5. Menerima saran dan petunjuk dengan senang. 6. Tidak dapat bertahan lebih dari beberapa hari. 7. Bangga atas kelebihannya. 8. Gerakan-gerakan yang salah sangat jarang terjadi.

45 9. Bekerjanya sistematis. 10. Karena lancarnya, perpindahan dari suatu elemen ke elemen lain tidak terlihat. C. Good Effort 1. Bekerja berirama. 2. Saat menganggur sangat sedikit, bahkan kadang-kadang tidak ada. 3. Penuh perhatian pada pekerjaannya. 4. Senang pada pekerjaannnya. 5. Kecepatan baik dan dapat dipertahankan sepanjang hari. 6. Percaya pada kebaikan maksud pengukuran waktu. 7. Menerima saran dan petunjuk dengan senang. 8. Dapat memberikan saran untuk perbaikan kerja. 9. Tempat kerjanya diatur dengan baik dan rapi. 10. Menggunakan alat-alat yang tepat dengan baik. 11. Memelihara kondisi peralatan dengan baik. D. Average Effort 1. Tidak sebaik good, tetapi lebih baik dari poor. 2. Bekerja dengan stabil. 3. Menerima saran-saran tetapi tidak melaksanakannya. 4. Set up dilaksanakan dengan baik. 5. Melakukan kegiatan-kegiatan perencanaan.

46 E. Fair Effort 1. Saran perbaikan diterima dengan kesal. 2. Kadang-kadang perhatian tidak ditunjukkan pada pekerjaannya. 3. Kurang sungguh-sungguh. 4. Tidak mengeluarkan tenaga dengan secukupnya. 5. Terjadi sedikit penyimpangan dari cara kerja baku. 6. Alat-alat yang dipakainya tidak selalu yang terbaik. 7. Terlihat adanya kecenderungan kurang perhatian pada pekerjaannya. 8. Terlampau hati-hati. 9. Sistematika kerjanya sedang-sedang saja. 10. Gerakan-gerakannya kurang terencana. F. Poor Effort 1. Banyak membuang-buang waktu. 2. Tidak memperlihatkan adanya minat kerja. 3. Tidak mau menerima saran. 4. Tampak malas dan lambat dalam bekerja. 5. Melakukan gerakan-gerakan yang tidak perlu untuk mengambil alat dan bahan. 6. Tempat kerjanya tidak diatur dengan rapi. 7. Tidak peduli pada cocok/baik tidaknya peralatan yang dipakai. 8. Mengubah tata letak tempat kerja yang telah diatur. 9. Set up kerjanya terlihat tidak baik.

47 Kondisi kerja pada cara Westinghouse adalah kondisi fisik lingkungannya seperti keadaan pencahayaan, temperatur, dan kebisingan ruangan. Sehingga, kondisi kerja merupakan sesuatu di luar operator yang diterima apa adanya tanpa banyak kemampuan untuk merubahnya. Kondisi kerja dibagi menjadi enam kelas, yaitu: Ideal, Excellent, Good, Average, Fair, dan Poor. Faktor terakhir adalah consistensy. Consistency perlu diperhatikan, karena pada kenyataannya bahwa pada setiap pengukuran waktu, angkaangka yang dicatat besarnya tidak akan pernah sama. Waktu penyelesaian yang ditunjukkan pekerja selalu berubah-ubah dari satu siklus ke siklus lainnya, dari hari ke hari, bahkan dari jam ke jam. Selama masih dalam batas-batas kewajaran, hal tersebut tidak akan menimbulkan masalah. Akan tetapi jika variabilitasnya tinggi maka hal tersebut haruslah diperhatikan. Sebagaimana faktor-faktor lain, consistency juga dibagi menjadi enam kelas, yaitu : Ideal, Excellent, Good, Average, Fair, dan Poor. 2.2.2.2 Menentukan Faktor Kelonggaran Pada kenyataannya, kita akan melihat bahwa tidaklah bisa diharapkan operator akan mampu bekerja secara terus menerus sepanjang hari tanpa adanya interupsi sama sekali. Operator akan sering menghentikan kerja dan membutuhkan waktu-waktu khusus untuk keperluan seperti personal needs, istirahat melepas lelah, dan alasan-alasan lain di luar kontrolnya.

48 Untuk itu kelonggaran diberikan untuk tiga hal yaitu: 1. Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi Yang termasuk dalam kebituhan pribadi adalah hal-hal seperti minum sekedarnya untuk menghilangkan rasa haus, ke kamar kecil, becakapcakap dengan teman sekerja sekedar untuk menghilangkan ketegangan atau kejemuan dalam kerja. Besarnya kelonggaran yang diberikan untuk kebutuhan pribadi seperti itu berbeda-beda dari satu pekerja ke pekerja lainnya karena setiap pekerjaan mempunyai karakteristik tersendiri dengan tuntutan yang berbeda pula. Berdasarkan penelitian, ternyata besarnya kelonggaran bagi pekerja pria dan wanita sebesar 2 hingga 2,5% untuk pria dan 5% untuk wanita dengan asumsi pekerjaan yang dilakukan adalah ringan (persentase ini berdasarkan pada waktu normal). 2. Kelonggaran untuk menghilangkan rasa lelah (fatique) Rasa fatique tercermin antara lain dari menurunnya hasil produksi baik jumlah maupun kualitas. Karenanya salah satu cara untuk menentukan besarnya kelonggaran ini adalah dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja dan mencatat pada saat-saat dimana hasil produksi menurun. Tetapi masalahnya adalah kesulitas menentuka saat-saat dimana hasil produksi menurun karena disebabkan oleh timbulnya rasa fatique karena masih banyak kemungkinan lain yang dapat menyebabkannya.

49 Jika rasa fatique telah datang dan pekerja harus bekerja untuk menghasilkan performance normalnya, maka usaha yang dikeluarkan pekerja lebih besar dari normal dan ini akan menambah rasa fatique. Bila hal ini berlangsung terus menerus pada akhirnya akan terjadi fatique total yaitu jika anggota badan yang bersangkutan sudah tidak dapat melakukan gerakan kerja sama sekali walaupun sangat dikehendaki. Hal demikian jarang terjadi karena berdasarkan pengalamannya, pekerja dapat mengatur kecepatan kerjanya sedemikian rupa, sehingga lambatnya gerakan-gerakan kerja ditujukan untuk menghilanghkan rasa fatique ini. 3. Kelonggaran untuk hambatan-hambatan tidak terhindarkan Dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerja tidak akan lepas dari berbagai hambatan. Ada hambatan yang dapat dihindarkan seperti mengobrol yang berlebihan dan menganggur dengan sengaja. Ada pula hambatan yang tidak dapat dihindarkan karena berada di luar kekuasaan pekerja untuk mengendalikannya. Bagi hambatan yang pertama jelas tidak ada pilihan lain selain menghilangkannya, sedangkan bagi yang terakhir walaupun harus diusahakan serendah mungkin, hambatan akan tetap ada dan karenanya harus diperhitungkan dalam perhitungan waktu baku.

50 2.2.3 Perhitungan Routing Sheet Routing sheet merupakan tabel perhitungan kebutuhan material atau bahan baku serta jumlah mesin yang dibutuhkan untuk membuat sejumlah produk tertentu dan dalam satuan waktu tertentu pula. Data yang diperlukan untuk perhitungan routing sheet ini adalah urutan proses operasi dari setiap komponen, nama atau jenis peralatan yang digunakan, waktu baku proses, kapasitas produksi yang diinginkan, persentase scrap dan efisiensi pabrik. Urutan operasi pada routing sheet ini didasarkan pada urutan operasi yang ada pada peta operasi dan informasi yang didapat melalui perhitungan routing sheet ini adalah: 1. Kapasitas alat teoritis (unit/jam) kapasitas alat teoritis = 3600 waktu baku 2. Jumlah yang disiapkan (unit) jumlah yang disiapkan = jumlah yang diharapkan 100 - % scrap 100 3. Produksi dengan efisiensi (unit) produksi dengan efisiensi = jumlah yang disiapkan % efisiensi 100 4. Jumlah mesin teoritis jumlah mesin teoritis = produksi dengan efisiensi kapasitas alat teoritis reliabilitas mesin 100

51 2.2.4 Perhitungan Tabel Kebutuhan Jumlah Mesin Setelah diperoleh perhitungan jumlah mesin teoritis dari perhitungan routing sheet, selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah mesin sebenarnya dengan melakukan pembulatan nilai di belakang koma. Pada umumnya pembulatan dilakukan ke atas secara mutlak dan tanpa koma karena pembulatan ke bawah dapat berarti pengurangan kebutuhan jumlah mesin yang dapat berpengaruh pada kapasitas produksi. Hal ini biasanya diterapkan pada sistem produksi by product. Akan tetapi apabila sistem produksi menggunakan by process, jumlah mesin teoritis tiap part dijumlahkan terlebih dahulu sebelum dibulatkan karena sifat dari sistem produksi by process yang mengenal pemakaian mesin secara bersama. 2.2.5 Perhitungan Luas Lantai Produksi Perhitungan luas lantai produksi digunakan untuk mengetahui luas area yang dibutuhkan untuk produksi yang menyangkut area penempatan kelompok mesin produksi. Ada dua istilah yang digunakan yaitu allowance yang merupakan ruang keleluasaan dari mesin dan kelonggaran gang yang merupakan besarnya gang yang diperlukan agar lalu lintas material maupun pekerja dapat berjalan dengan lancar.

52 Adapun perhitungan luas lantai produksi adalah sebagai berikut: 1. Luas seluruh mesin (m luas seluruh mesin = luas per mesin 2 ) 1 + % kelonggaran antar mesin jumlah mesin sebenarnya 100 2. Luas total mesin (m 2 ) luas total mesin = luas seluruh mesin 1 + % kelonggaran gang 100 2.2.6 Material Handling Planning Sheet (MHPS) Material Handling Planning Sheet (MHPS) merupakan suatu tabel yang digunakan untuk menghitung biaya penanganan bahan, yang mana umumnya adalah penanganan aliran bahan yang ada pada sebuah lantai produksi. Dalam pembuatan Material Handling Planning Sheet (MHPS), data yang dibutuhkan antara lain kapasitas produksi, luas mesin, data proses, dan data mesin yang digunakan. Perhitungan pada Material Handling Planning Sheet (MHPS) adalah sebagai berikut: 1. Distance (meter) distance = 0,5 ( luas mesin from + luas mesin to ) 2. Unit disiapkan didapat dari unit yang disiapkan pada routing sheet 3. Berat total (Kg) berat total = ( unit yang disiapkan berat per unit [gr] ) / 1000

53 4. Biaya per meter dalam penggunaan peralatan (cost per meter equipment) UMP per jam cost per m eter equipment = jam kerja 3600 lama equipment berpindah per meter 5. Cost cost = jarak (m) cost per meter equipment frekuensi per jam 2.2.7 From To Chart Frekuensi From To Chart (FTC) ini merupakan salah satu metode konvensional yang digunakan untuk menganalisa aliran bahan. Pada From To Chart frekuensi, matriks diisi dengan frekuensi perpindahan. From To Chart Inflow dibuat dari sudut pandang yang mementingkan hubungan masukan yang terjadi antar mesin, sehingga penentuan derajat kedekatan yang dilakukan didasarkan pada mesin-mesin asal bahan. From To Chart Outflow dibuat dengan pandangan yang mementingkan hubungan tujuan aliran dari bahan baku mesin tersebut, sehingga penentuan derajat kedekatan yang dilakukan didasarkan pada mesin asal dari bahan tersebut. From To Chart Inflow/Outflow dibuat berdasarkan perhitungan From To Chart frekuensi dengan rumus (yang dimasukkan ke dalam kotak matriks) sebagai berikut:

54 From To Chart Inflow nilai pada kotak matriks yang terisi (dari total kolom di mana From To Chart frekuensi) kotak tersebut berada From To Chart Outflow nilai pada kotak matriks yang terisi pada kolom X (dari total nilai pada baris X From To Chart frekuensi) Skala prioritas hubungan antar mesin skala prioritas berdasarkan inflow atau outflow, dipilih berdasarkan jumlah biaya yang lebih kecil) merupakan skala yang digunakan untuk mengetahui derajat kepentingan hubungan antara mesin-mesin produksi, di mana tingkat kedekatan hubungannya dapat dilihat pada From To Chart Inflow dan Outlflow. Di sini angka yang paling besar yang terdapat pada kedua peta tersebut menunjukkan hubungan yang paling dekat. Adapun tanda dari derajat kedekatan tersebut adalah sebagai berikut (Apple, 1990, p227): A : hubungan mutlak diperlukan (untuk aktifitas yang dipertimbangkan saling berkelanjutan) E : hubungan sangat penting (untuk aktifitas yang saling berhubungan) I : hubungan penting (untuk aktifitas yang berdampingan) O : hubungan biasa/umum (untuk aktifitas yang mempunyai hubungan biasa) U : hubungan tidak penting (untuk hubungan geografis)

55 Angka-angka pada From To Chart Inflow atau Outflow diurutkan mulai dari yang paling besar hingga yang paling kecil, kemudian dikelompokkan untuk masuk pada hubungan A, E, I, O, U. Apabila terdapat angka yang bernilai sama, maka angka tersebut dimasukkan berderet pada hubungan yang sama. 2.2.8 Peta Keterkaitan Kegiatan (Activity Relationship Chart / ARC) Activity Relationship Chart / ARC merupakan peta yang digunakan untuk merencanakan keterkaitan antara setiap kelompok kegiatan yang saling berkaitan yang terdapat di dalam suatu pabrik. pengelompokan dan tandatanda yang digunakan dalam Activity Relationship Chart dikembangkan oleh Richard Muther. Activity Relationship Chart serupa dengan tabel jarak sebuah peta jalan, di mana jaraknya digantikan dengan huruf sandi kualitatif dan kode angka yang menunjukkan alasan bagi huruf sandi tadi. Sandi keterkaitan menunjukkan keterkaitan satu kegiatan dengan yang lainnya serta seberapa penting setiap kedekatan hubungan yang ada. Huruf-huruf diletakkan pada bagian atas kotak. Adakalanya digunakan juga warna untuk menunjukkan derajat kedekatan ini. Kode angka dimasukkan di kotak bawah, menunjukkan alasan yang mendukung setiap kedekatan hubungan.

56 Sandi huruf yang digunakan: A : mutlak perlu (merah) E : sangat penting (jingga) I : penting (hijau) O : kedekatan biasa (biru) U : tidak perlu (tidak berwarna) X : tidak diharapkan (coklat) 2.2.9 Diagram Keterkaitan Kegiatan (Activity Relationship Diagram / ARD) Activity Relationship Diagram / ARD adalah diagram balok yang menunjukkan keterkaitan kegiatan, dimana setiap kegiatan merupakan suatu model kegiatan tunggal (tidak ada penekanan ruang). Diagram Keterkaitan Kegiatan dalam kenyataannya merupakan diagram balok yang menunjukkan pendekatan keterkaitan kegiatan, yang menunjukkan setiap kegiatan sebagai suatu model kegiatan tunggal. Tujuan dari Diagram Keterkaitan Kegiatan adalah sebagai dasar perencanaan keterkaitan antara pola aliran barang dan lokasi kegiatan pelayanan yang dihubungkan dengan kegiatan produksi. Penempatan balok sesuai dengan tingkat kepentingan / derajat kedekatan, di mana hubungan kedekatannya bersumber pada skala prioritas.

57 Jarak untuk tiap hubungan adalah sebagai berikut: Untuk hubungan A : mutlak perlu, satu kotak berada di sekelilingnya Untuk hubungan E : sangat penting, berjarak maksimum satu kotak Untuk hubungan I : penting, berjarak maksimum dua kotak Untuk hubungan O : kedekatan biasa, berjarak tiga kotak Untuk hubungan U : tidak perlu, berjarak empat kotak 2.2.10 Material Handling Evaluation Sheet (MHES) Material Handling Evaluation Sheet (MHES) adalah suatu tabel yang digunakan untuk menghitung biaya penanganan bahan. Perbedaannya dari adalah jika pada Material Handling Planning Sheet (MHPS) digunakan jarak dengan metode titik berat, yaitu dengan mendekatkan posisi dua area yang akan dihitung, maka pada Material Handling Evaluation Sheet (MHES) ini digunakan jarak (distance) sesungguhnya yang diukur pada template. Selebihnya rumus yang digunakan pada Material Handling Evaluation Sheet (MHES) sama dengan rumus perhitungan pada Material Handling Planning Sheet (MHPS).