5 PEMBAHASAN 5.1 Analisis Sumber Daya Lestari Perikanan Gillnet

dokumen-dokumen yang mirip
6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

C E =... 8 FPI =... 9 P

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengumpulan Data

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

3 METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Proses produksi kopi luwak adalah suatu proses perubahan berbagai faktor

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28. Tengah Sumatera Utara

EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU. Oleh. T Ersti Yulika Sari ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

III KERANGKA PEMIKIRAN

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA SILO JAGUNG di GAPOKTAN RIDO MANAH KECAMATAN NAGREK KABUPATEN BANDUNG

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian

III. METODE KAJIAN. B. Pengolahan dan Analisis Data

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu B. Metode Kerja 1. Pengumpulan data

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Variabel. Konsep dasar dan definisi operasional variabel adalah pengertian yang

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan data di lapangan dilakukan pada bulan April Mei 2011.

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

VI. STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PDAM KABUPATEN SUKABUMI. Dari hasil penelitian pada PDAM Kabupaten Sukabumi yang didukung

VII. FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KARET

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV METODOLOGI 4.1 Metode Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengambilan Responden 3.5 Metode Pengumpulan Data

9.1 Pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan di Kota Tegal

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PPN Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' '

IV METODOLOGI PENELITIAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

docking kapal perikanan; (2) mengkaji kelayakan finansial di bidang usaha pelayanan jasa docking kapal perikanan sebagai bagian upaya dalam

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

VII. RENCANA KEUANGAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

A. Kerangka Pemikiran

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar ini mencakup pengertian yang digunakan untuk menunjang dan

METODE KAJIAN. 3.1 Kerangka Pemikiran

3. METODE PENELITIAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

VIII. ANALISIS FINANSIAL

III KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 10 Lokasi penelitian.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Metode Penelitian 4.3 Metode Pengambilan Sampel

ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. beroperasi di perairan sekitar Kabupaten Pekalongan dan menjadikan TPI

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014.

Transkripsi:

5 PEMBAHASAN 5.1 Analisis Sumber Daya Lestari Perikanan Gillnet Metode surplus produksi telah banyak diaplikasikan dalam pendugaan stok perikanan tangkap, karena metode ini menerapkan integrasi berbagai model sederhana yang saling berkaitan antara data-data kuantitatif dasar pada dinamika populasi dan data tersebut dapat diambil dari statistik catch dan effort pada rentang waktu tertentu (Shirakihara 1994). Upaya penangkapan gillnet pada kurun waktu tahun 2000-2009 berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat (Gambar 17). Upaya penangkapan terendah terjadi pada tahun 2000 sebesar 523 trip, dan upaya penangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 976 trip. Peningkatan upaya tangkap tersebut diduga karena penambahan jumlah armada gillnet dari tahun ke tahun sehingga mempengaruhi stok sumberdaya ikan yang ada. Pertambahan jumlah armada gillnet menunjukkan tingginya minat masyarakat Kabupaten Pontianak untuk berusaha di bidang ini. Trend produksi pada sepuluh tahun terakhir (Gambar 16), menunjukkan penurunan hasil tangkapan hal ini diduga karena penurunan jumlah stok alami akibat tingginya tingkat upaya penangkapan, serta penggunaan alat tangkap gillnet dengan ukuran mata jaring (mesh size) yang sangat kecil, sehingga menurunkan populasi ikan target. Nilai CPUE (catch per unit effort) digunakan untuk mengetahui kecendrungan produktivitas suatu alat tangkap dalam kurun waktu tertentu. Nilai CPUE ditentukan oleh jumlah hasil tangkapan dan jumlah upaya yang ditempuh oleh alat tangkap tersebut per satuan waktu. Grafik yang diperlihatkan pada Gambar 18 adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan (CPUE) dari alat tangkap gillnet di Kabupaten Pontianak dalam kurun waktu 2000-2009 yang menunjukkan kecenderungan penurunan. Hal ini diduga terjadi karena tingkat upaya yang cenderung meningkat sehingga target tangkapan berkurang jumlahnya. Penambahan effort untuk meningkatkan produksi tidak selalu menghasilkan hasil positif. Pada batas-batas tertentu penambahan effort akan menurunkan hasil tangkapan, hal tersebut terjadi karena pemanfaatan sumberdaya

65 ikan yang ada sangat intensif sehingga mempengaruhi stok alami bahkan sangat dirasakan oleh para nelayan. Keseimbangan MSY menggambarkan kondisi maksimum lestari sumberdaya secara biologi (Dinarwan 1993). Dari grafik hubungan antara hasil tangkapan lestari dengan upaya penangkapan lestari perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak tahun 2000-2009 (Gambar 20) dapat dilihat bahwa effort dan hasil tangkapan tahun 2001-2009 telah melewati batas upaya penangkapan MSY, ini berarti perairan tempat beroperasinya armada gillnet tersebut telah sangat jenuh, dan apabila tidak dikendalikan maka akan terjadi pengurasan terhadap sumber daya ikan yang ada (biological overfishing). Pengendalian effort dapat dilakukan dengan pengelolaan trip, closed and open system pada daerah tangkapan tertentu dan pengembangan teknologi kapal ikan yang lebih modern sehingga usaha penangkapan menjadi lebih effektif dan efisien. 5.2 Analisis Bio-Ekonomi Perikanan Gillnet Keluaran model bioekonomi meliputi empat kondisi keseimbangan pengelolaan (Tabel 2), yaitu : (1) kondisi pengelolan rerata aktual, (2) kondisi pengelolaan MSY, (3) kondisi pengelolaan MEY, dan (4) kondisi pengelolaan open acces. Tingkat upaya penangkapan kondisi rata-rata aktual yaitu sebesar 756 trip per tahun telah melewati tingkat pengupayaan MSY yaitu sebesar 547 trip per tahun (Gambar 21). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat upaya yang dilakukan telah melewati tingkat optimum sehingga diperlukan upaya pengendalian jumlah trip atau armada agar nelayan mendapatkan manfaat dari hasil tangkapan yang lebih baik. Tingkat upaya terbesar terdapat pada pengelolaan yang open access, hal ini karena para pelaku usaha (nelayan) dibebaskan untuk secara terbuka memanfaatkan sumberdaya yang ada sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan upaya penangkapan mereka masing-masing dan saling bersaing untuk mendapatkan produksi maksimal dengan nelayan yang lain. Pada model pengelolaan MEY upaya penangkapan paling sedikit, sehingga biaya pengeluaran akan dapat ditekan semaksimal mungkin, akan tetapi hasil rente ekonomi yang didapat akan menjadi maksimal. Tingkat produksi tertinggi terjadi pada pola pengelolaan MSY dan MEY (Gambar 22) sedangkan

66 tingkat produksi aktual masih dapat dikembangkan. Dengan pendekatan bioekonomi dapat dilihat bahwa pada kondisi rata-rata aktual, produksi perikanan gillnet adalah sebesar 635 079.8 kg per tahun dan masih dapat ditingkatkan hingga mencapai MEY yaitu sebesar 783 400.52 kg per tahun sehingga peluang peningkatan produksi masih dapat dilakukan yaitu sekitar 148 320.72 kg per tahun. Pada kondisi pengelolaan MSY produksi yang diperoleh sebesar 789 665.3 kg per tahun dan pada kondisi open access produksinya menurun hingga sebesar 256 282.68 kg per tahun. Produksi yang rendah pada kondisi open access dipengaruhi oleh tingkat eksploitasi yang berlebihan (effort tidak terkendali) sehingga memacu penurunan stok yang berpengaruh menurunnya hasil tangkapan nelayan. Dalam penelitian ini manfaat ekonomi diperoleh pada kondisi MEY sebesar Rp7 250 442 807.00 per tahun (Gambar 23). Rente ekonomi diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan oleh setiap unit penangkapan per tahun. Jumlah effort yang digunakan pada kondisi MEY adalah paling sedikit dibandingkan dengan kondisi pengelolaan lainnya (Gambar 21), tetapi produksinya tertinggi (Gambar 22), sehingga manfaat ekonominya akan diperoleh secara maksimum (Gambar 23). Kondisi MEY merupakan keseimbangan bio-ekonomi di mana manfaat sumberdaya menghasilkan produksi maksimum secara ekonomi dan tingkat upaya optimal secara sosial. Kondisi MEY ini merupakan kondisi ideal dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Tingkat rente ekonomi pada kondisi open access tidak akan diperoleh karena total penerimaan sama dengan total biaya yang dikeluarkan, dan telah melampaui kondisi MSY. Pada upaya yang lebih rendah dari E msy pendapatan nelayan akan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan sehingga sangat menguntungkan dan memacu mereka untuk meningkatkan effortnya. Apabila effort pada posisi lebih besar dari E msy (tidak terkontrol) maka usaha akan merugi atau telah terbentuk titik keseimbangan open access di mana total penerimaan sama dengan total pengeluaran upaya sehingga akan terjadi alokasi sumberdaya yang tidak tepat (missalocation) karena kelebihan faktor produksi. Perikanan yang

67 open access ini menurut Fauzi dan Anna (2004) dapat menimbulkan kondisi economic overfishing. Dengan penerapan konsep model keseimbangan bio-ekonomi seperti ini, sumber daya ikan dapat terjaga kelestariannya dan di sisi lain pelaku usaha seperti nelayan dapat terus mendapatkan keuntungan secara finansial dari usahanya. Dari penelitian ini keseimbangan bio-ekonomi dicapai pada kondisi produksi 783 400.52 kg per tahun dengan tingkat upaya 498 trip per tahun dan dengan rente ekonomi sebesar Rp7 250 442 807.00 per tahun. 5.3 Analisis Fungsi Produksi Perikanan Gillnet Uji F digunakan untuk menilai ketujuh faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap produktivitas hasil tangkapan gillnet secara bersama-sama. Hasilnya menunjukkan terdapat pengaruh nyata pada taraf α 0.05 (Tabel 3) antara faktor produksi yang diduga dengan produktivitas hasil tangkapan. Hal ini menunjukkan bahwa input faktor produksi sangat mempengaruhi keberhasilan upaya penangkapan. Penilaian lanjutan secara parsial tidak menunjukkan hasil yang serupa (Tabel 4), dimana hanya faktor kekuatan mesin kapal (PK), panjang jaring (m), dan tinggi jaring (m) yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan pada tingkat α 0.01. Sedangkan faktor ukuran kapal, jumlah BBM, jumlah ABK dan lama operasi tidak berpengaruh nyata terhadap hasil produksi karena nilai t hitung yang diperoleh lebih kecil dari nilai t tabel pada tingkat selang kepercayaan α 0.1. Kekuatan mesin berpengaruh pada daya dorong (gerak) dari kapal, semakin baik kekuatan mesin maka semakin baik pula kecepatan dan akselerasi kapal. Kekuatan mesin kapal akan sangat menentukan kecepatan kapal sampai mencapai fishing ground dan menuju tempat di mana ikan banyak terdapat. Berdasarkan Gambar 24 terlihat bahwa dengan penambahan kekuatan mesin maka produksi juga akan naik secara linier, sehingga dapat diasumsikan bahwa tingkat kekuatan mesin kapal gillnet yang paling optimal di Kabupaten Pontianak adalah 360 PK dengan merek mesin Fuso. Dengan kapal yang relatif bergerak cepat, maka efisiensi dalam setting alat tangkap gillnet juga sangat baik. Kekuatan mesin yang besar juga perlu didukung

68 oleh ukuran kapal dan jumlah pemakaian BBM yang seimbang, dengan kata lain secara tidak langsung ukuran kapal dan konsumsi BBM juga mempengaruhi hasil tangkapan. Cara operasi kapal gillnet adalah dimana saat setting jaring gillnet mesin dihidupkan dan kapal berjalan mundur, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk efisiensi waktu setting dan agar jaring gillnet yang terbentang dapat tegak lurus melawan arus. Dari sini terlihat bahwa bila jumlah jaring yang dipakai semakin banyak (panjang) maka diperlukan kekuatan mesin yang lebih besar pula untuk mengimbangi cara pengoperasian alat tangkap tersebut. Panjang jaring gillnet yang dioperasikan oleh nelayan di Kabupaten Pontianak adalah berkisar antara 3 600-7 200 meter. Panjang jaring optimum adalah 7 200 meter. Terlihat bahwa hasil tangkapan akan meningkat seiring dengan peningkatan panjang jaring (Gambar 25). Panjang jaring berpengaruh terhadap banyaknya hasil tangkapan, dengan dugaan bahwa semakin panjang jaring maka akan semakin besar pula luasan jaring (catch able area) yang terbentang sehingga kemungkinan peluang tertangkapnya ikan semakin besar. Jika dibandingkan dengan ukuran panjang jaring yang lebih kecil, maka luas cakupan jaring lebih kecil pula, sehingga kemungkinan ikan untuk meloloskan diri juga semakin besar. Panjang jaring menentukan besar dari indeks fishing power sebuah unit penangkapan. Panjang jaring yang lebih besar serta ukuran yang lebih besar dengan waktu operasi yang lebih lama diharapkan mempunyai kekuatan untuk menangkap ikan yang lebih optimal. Tinggi jaring gillnet yang dioperasikan oleh nelayan di Kabupaten Pontianak adalah berkisar antara 16.2-19.8 meter. Tinggi jaring optimum adalah 19.8 meter. Dari Gambar 26 terlihat bahwa semakin tinggi jaring gillnet maka akan semakin banyak pula ikan yang tertangkap. Hal tersebut berkaitan dengan swimming layer ikan yang menjadi target penangkapan. Ikan-ikan yang tertangkap adalah ikan pelagis besar dan kecil yang memiliki daya jelajah ruaya pada kedalaman 10-30 meter, sehingga penambahan tinggi jaring akan menambah peluang ikan untuk tertangkap selain dari luasan jaring yang menjadi bertambah besar.

69 Formula fungsi produksi perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda adalah dirumuskan sebagai berikut : Y = 3 300 + 125 GT + 10.8 PK 5.91 BBM + 0.441 Panjang + 102 lebar 921 ABK 361 Hari Nilai intersept yang diperoleh adalah sebesar 3 300 yang menunjukkan bahwa titik potong garis regresi terletak pada sumbu Y positif. Ukuran kapal, kekuatan mesin, panjang dan lebar jaring memiliki nilai koefisien yang positif, ini berarti bahwa penambahan seluruh faktor produksi tersebut akan meningkatkan produksi alat tangkap gillnet, demikian juga sebaliknya. 5.4 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Perikanan Gillnet Hasil analisis finansial usaha perikanan gillnet menunjukkan bahwa nilai NPV adalah sebesar Rp192 365 576.02. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa pada tingkat suku bunga 6% nilai NPV masih menunjukkan nilai positif (NPV>0) sehingga pada tingkat opportunity (discount rate) 6% investasi di usaha perikanan gillnet ini layak untuk dilakukan. Alat analisis lain yang dapat digunakan untuk menentukan kriteria layak tidaknya suatu usaha untuk dijalankan adalah dengan menghitung net B/C ratio. Bila net B/C ratio > 1 maka usaha tersebut dapat dilakukan, sedangkan bila net B/C ratio < 1, maka usaha tersebut tidak layak dilaksanakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai net B/C ratio sebesar 1.47 (lebih besar dari 1) yang berarti bahwa setiap biaya Rp1.00 yang dikeluarkan akan dapat dikembalikan sebesar Rp1.47, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa investasi usaha perikanan gillnet layak untuk dilaksanakan. IRR menunjukkan persentase keuntungan yang akan diperoleh tiap tahun atau merupakan kemampuan usaha dalam mengembalikan bunga bank. Hal ini berarti IRR sama dengan tingkat bunga discount factor (DF) pada waktu NPV=0. Menghitung besarnya IRR dilakukan dengan mencari nilai NPV positif dan negatif yang kemudian dilakukan interpolasi. Apabila IRR > tingkat suku bunga bank, maka usaha tersebut layak dilakukan dan apabila IRR < tingkat suku bunga bank, maka usaha tersebut tidak layak dilakukan. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai IRR sebesar 38% yang berarti bahwa bila dibandingakan dengan

70 tingkat bunga bank sebesar 6%, investasi usaha perikanan gillnet ini masih jauh lebih menguntungkan. Kapasitas produksi minimum yang harus diproduksi dihitung dengan menggunakan analisis titik impas break even point (BEP). Analisis BEP dapat merumuskan pada titik mana tercapai penerimaan sama dengan biaya. Skala atau volume usaha yang dilakukan harus di atas titik impas. Perhitungan titik impas usaha perikanan gillnet menunjukkan produksi minimum yang harus dicapai adalah sebesar hasil tangkapan 16 ton atau pada nilai penjualan sebesar Rp107 366 802.47 per tahun. Apabila dibandingkan dengan kapasitas produksi yang direncanakan maka hal ini akan lebih kecil, sehingga layak untuk diusahakan. Dari hasil perhitungan PBP, usaha ini menunjukkan waktu pengembalian modal investasi selama 2.55 tahun. Hal ini berarti investasi yang dikeluarkan akan kembali pada tahun ke-3 umur investasi. Dengan melihat hasil perhitungan analisis finansial (Tabel 6) dapat direkomendasikan bahwa usaha perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak layak untuk dikembangkan. 5.5 Analisis Pengambangan Perikanan Gillnet melalui SWOT dan QSPM 5.5.1 Faktor Strategis Internal Beberapa faktor strategis internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan dalam pengembangan perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak adalah sebagai berikut : a. Faktor Kekuatan 1. Kelembagaan Nelayan Dilihat dari aspek kelembagaan nelayan, nelayan di Kabupaten Pontianak sebagian besar telah tergabung dalam kelompok-kelompok nelayan yang selama ini dibina oleh Dinas Perikanan dan Kelautan setempat. Selain itu mereka juga mempunyai wadah penyalur aspirasi dan perkumpulan yaitu Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dalam hal ini cabang Kabupaten Pontianak. Kelembagaan ini dinilai cukup baik dalam sumbangannya untuk pengembangan perikanan gillnet khususnya dan perikanan tangkap pada umumnya.

71 2. Motivasi Nelayan Motivasi adalah kondisi dalam diri individu yang berhubungan dengan rangsangan sehingga mendorong seseorang bertindak untuk mencapai tujuan. Sahlan (2002) mengemukakan bahwa ada tiga motivasi yang sering dijumpai pada kehidupan manusia yaitu : motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi dan motivasi berkuasa. Dengan demikian motivasi berperan dalam menentukan perkembangan dan keberhasilan suatu usaha. Dikaitkan dengan keragaan usaha perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak, motivasi tersebut pada nelayan masih terlihat, hal ini dapat dibuktikan dengan semakin berkembangnya usaha perikanan mereka. 3. Informasi Pasar Cukup dekatnya jarak antara pelaku usaha dengan pasar di Kabupaten Pontianak yaitu letak pasar di Kota Pontianak dan Mempawah membuat para pelaku usaha dengan cepat dapat mengetahui dan menjangkau informasi setiap waktu. Dengan demikian peluang ini merupakan kesempatan untuk mengembangkan usaha dan mensuplai komoditas sesuai kebutuhan masyarakat konsumen. 4. Keuntungan Usaha Tingkat keuntungan usaha merupakan suatu pertimbangan bagi para pengusaha untuk menekuni suatu usaha. Selama ini secara umum masyarakat masih beranggapan bahwa usaha perikanan merupakan usaha yang high risk low return tetapi sangat menjanjikan. 5. Jaringan Pemasaran Dalam Daerah Sifat umum konsumen yang kadangkala menghadapi ketidakpastian tentang informasi suatu produk yang sama tetapi ditawarkan oleh produsen yang berbeda dan umumnya konsumen lebih suka menghindari resiko, menyebabkan konsumen lebih menyukai pilihan pasti. Hal ini dapat menjadi keunggulan nelayan di daerah ini dalam memasarkan produknya, karena dekatnya jarak antar produsen dan konsumen produk perikanan di Kabupaten Pontianak memberikan tingkat kepercayaan konsumen menjadi lebih baik kepada produsen dalam daerah. Seperti alasan keamanan pangan, produk perikanan di daerah ini dapat langsung diketahui dan dinilai keamanannya oleh konsumen.

72 6. Komoditas Hasil Tangkapan Hasil tangkapan nelayan gillnet di Kabupaten Pontianak merupakan ikanikan pelagis yang bernilai ekonomis tinggi. Hasil tangkapan ini memberi kekuatan untuk menambah peluang pengembangan perikanan gillnet di masa yang akan datang. b. Faktor Kelemahan 1. Sumber Daya Manusia Salah satu sumber inefisiensi dalam pengusahaan pengembangan perikanan adalah kurangnya kualitas sumberdaya manusia. Masih lemahnya sumberdaya manusia akan menjadi hambatan dalam percepatan proses transfer teknologi dan pengetahuan dalam memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya yang tersedia. Dari hasil wawancara yang dilakukan di lokasi penelitian diketahui bahwa sebagian besar nelayan responden berpendidikan sekolah dasar atau sederajat dan bahkan ada yang tidak tamat pendidikan dasar tersebut. 2. Pembinaan Pembinaan seharusnya tidak hanya dilakukan dalam hal teknis saja namun juga pada masalah manajemen usaha, pemasaran dan kelembagaan. Pelaksanaan pembinaan yang dilakukan oleh instansi terkait selama ini dirasakan masih kurang optimal dan masih tergantung pada proyek, sehingga pembinaan hanya dilaksanakan selama anggaran proyek berjalan. 3. Kebijakan Pemerintah Kebijakan adalah suatu keputusan yang memberikan arahan untuk mencari solusi terhadap permasalahan khusus yang berkembang di masyarakat. Kebijakan yang tepat akan memberikan dampak positif sesuai dengan apa yang diharapkan. 4. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana di bidang perikanan tangkap belum sepenuhnya memadai, walaupun dalam waktu dekat akan dibangun pelabuhan perikanan yang representatif. Untuk meningkatkan produktivitas nelayan perlu dibenahi sarana dan prasarana yang ada baik pasar ikan, pelabuhan perikanan, akses jalan dan angkutan serta yang tidak kalah penting adalah sarana armada yang baik.

73 5. Jaringan Pemasaran Luar Daerah Peluang pemasaran ke luar daerah sebenarnya sangat terbuka lebar, tetapi sampai saat ini masih terfokus di dalam Provinsi Kalimantan Barat saja. Ini merupakan kelemahan pelaku usaha di daerah ini, untuk itu perlu dilakukan terobosan oleh steakholder yang terkait agar produk hasil perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak dapat dipasarkan juga di luar provinsi. 6. Modal Usaha Lemahnya akses permodalan memperlemah posisi nelayan untuk mengembangkan usahanya. Hal ini disebabkan oleh tingkat kepercayaan bank sebagai institusi permodalan terhadap sektor perikanan sangat rendah. Untuk bisa mengakses modal nelayan harus menyiapkan agunan yang rata-rata tidak dapat mereka penuhi. 7. Keterampilan Nelayan Dalam pengembangan perikanan gillnet, keterampilan nelayan sangat memegang peran penting termasuk penguasaan teknologi tepat guna dan efektif. Pelatihan-pelatihan yang dilakukan diarahkan agar nelayan dapat menguasai teknologi baru. 5.5.2 Faktor Strategis Eksternal Faktor strategis eksternal terdiri dari peluang yang dapat dimanfatkan dan ancaman yang harus dihindari untuk mencapai keberhasilan dalam upaya pengembangan usaha perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak. a. Faktor Peluang 1. Sumber Daya Ikan Sumber daya ikan merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan, karena sumber daya ikan yang tertangkap oleh alat tangkap gillnet sangat melimpah keberadaannya di perairan Kabupaten Pontianak, hal ini terbukti dari meningkatnya produktivitas alat tangkap tersebut dari tahun ke tahun. 2. Otonomi Daerah Diberlakukannya otonomi daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kesempatan kepada masyarakat di daerah untuk mengatur diri sendiri melalui local government dan melaksanakan pembangunan termasuk pembangunan perikanan

74 sesuai prakarsa dan karakteristik daerah (kondisi geografis, sumber daya alam, dan sosial budaya masyarakat masing-masing). 3. Ketersediaan Kredit Ketersediaan kredit dari lembaga keuangan yang ada di Kabupaten Pontianak seperti BRI dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR), Bank Pembangunan Daerah (Bank Kalbar), Koperasi simpan pinjam dan Koperasi Mina merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan dalam menyediakan modal dan kesempatan mengembangkan usaha. 4. Harga Jual Harga komoditas ikan hasil tangkapan nelayan gillnet di Kabupaten Pontianak sangat baik dan menjanjikan. Perminataan masyarakat juga sangat baik karena sebagian besar masyarakat di Kalimantan Barat sangat menyenangi makan ikan laut. 5. Potensi Pasar Potensi pasar perikanan di Kalimantan Barat khususnya di Kabupaten Pontianak sangat baik karena letak geografis yang berdekatan dengan negara tetangga dan pasar internasional. Selain itu ibu kota Kabupaten Pontianak yaitu Mempawah dekat dengan Kota Pontianak yang merupakan pasar lokal yang baik. 6. Pertumbuhan Ekonomi Besarnya laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pontianak dapat dilihat berdasarkan kenaikan PDRB setiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pontianak selama periode tahun 2003-2007 telah tumbuh dengan rata-rata kenaikan per tahun sebesar 3.68%. Dengan semakin baiknya pertumbuhan ekonomi tersebut maka akan meningkatkan daya beli masyarakat, dengan demikian permintaan komoditas perikanan dalam rangka pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat akan semakin baik pula. 7. Teknologi Alat Tangkap dan Armada Kapal Pengembangan teknologi alat tangkap dan penambahan kapasitas armada kapal terus dilakukan oleh pemerintah setempat. Apabila kekuatan armada sangat baik dan memiliki daya jelajah yang relatif jauh maka dapat diharapkan hasil tangkapan nelayan juga akan maksimal.

75 b. Faktor Ancaman 1. Harga BBM Harga BBM khususnya solar dan minyak tanah merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan usaha perikanan tangkap, hal ini karena BBM merupakan komponen oprasional yang paling besar pada setiap operasi penangkapan. Dari tahun ke tahun kecenderungan harga BBM akan naik sejalan dengan naiknya harga minyak dunia. 2. Tuntutan Produk Ikan Segar Selain tuntutan kuantitas, saat ini masyarakat telah mulai sadar akan pentingnya kualitas mutu produk perikanan. Penanganan produk perikanan selama ini dilakukan dengan metode sederhana dan tradisional yang mungkin dapat terkontaminasi oleh cemaran biologi, kimia, atau benda-benda lain yang membahayakan kesehatan. Pada era dewasa ini kualitas ditentukan oleh konsumen, hal ini akan menyebabkan penyempitan pasar bagi produk perikanan yang tidak ditangani secara baik. 3. Hasil Tangkapan dari Daerah Lain Faktor ancaman yang lain adalah masuknya hasil tangkapan dari daerah lain, terutama produk perikanan dari negara tetangga. 4. Infrastruktur Penunjang Infrastruktur penunjang yang belum memadai dapat menjadi ancaman bagi pengembangan usaha perikanan gillnet, terutama pangkalan pendaratan, fasilitas pabrik es, bangunan pasar maupun pabrik pengolahan termasuk sarana jalan dan transportasi. 5. Kondisi Cuaca Kondisi cuaca sangat menentukan keberhasilan operasi penangkapan, hal ini merupakan ancaman bagi nelayan apabila musim ikan yang dipengaruhi cuaca tersebut menjadi kejadian yang jarang terjadi akibat cuaca buruk. 6. Pabrik Pengolahan (Pasca Panen) Pabrik pengolahan yang ada saat ini berada di luar Kabupaten Pontianak, hal ini menjadi ancaman bagi pengembangan usaha selanjutnya dikarenakan serapan pasar terhadap komoditas menjadi berkurang.

76 5.5.3 Evaluasi Faktor-Faktor Strategis 1. Elemen Kekuatan Elemen kekuatan terdiri dari enam faktor strategis internal yakni kelembagaan nelayan, motivasi nelayan, informasi pasar, keuntungan usaha, jaringan pemasaran dalam daerah, dan komoditas hasil tangkapan. Bobot masing-masing faktor kekuatan tersebut adalah kelembagaan nelayan 0.070, motivasi nelayan 0.082, informasi pasar 0.068, keuntungan usaha 0.080, jaringan pemasaran dalam daerah 0.070, dan komoditas hasil tangkapan 0.077 (Tabel 7). Kekuatan utama dalam pengembangan perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak adalah motivasi nelayan, keuntungan usaha dan komoditas hasil tangkapan. Hal ini dapat dilihat dari nilai rating 4 yang diberikan responden terhadap faktor-faktor tersebut. Sedangkan faktor kekuatan lainnya memiliki rating 3 yang berarti bahwa faktor tersebut merupakan kekuatan kecil. 2. Elemen Kelemahan. Terdapat tujuh faktor strategis internal dalam elemen kelemahan yang mempengaruhi pengembangan perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak, yaitu sumberdaya manusia, pembinaan, kebijakan pemerintah, sarana dan prasarana, jaringan pemasaran luar daerah, modal usaha dan keterampilan nelayan. Bobot masing-masing faktor tersebut adalah sumberdaya manusia 0.089, pembinaan 0.070, kebijakan pemerintah 0.082, sarana dan prasarana 0.080, jaringan pemasaran luar daerah 0.070, modal usaha 0.077, dan keterampilan nelayan 0.084 (Tabel 7). Dari semua faktor tersebut, faktor sumberdaya manusia, kebijakan pemerintah, sarana prasarana, modal usaha dan keterampilan nelayan yang merupakan kelemahan utama dengan nilai rating 1. Sedangkan faktor yang lain adalah sebagai kelemahan kecil. Secara keseluruhan faktor strategis internal yang paling penting untuk dicermati adalah faktor sumberdaya manusia dan keterampilan nelayan jika dibandingkan dengan faktor strategis lainnya, kedua faktor tersebut memiliki bobot paling besar, artinya tingkat kepentingan relatif dari kedua faktor ini adalah

77 sangat mementukan keberhasilan pengembangan perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak. Dilihat dari jumlah skor total elemen kekuatan dan kelemahan sebesar 2.272 yang berada di bawah rata-rata 2.308, berarti bahwa Kabupaten Pontianak berada di bawah rata-rata dalam kekuatan internal keseluruhannya untuk pengembangan perikanan gillnet, untuk itu diperlukan upaya menambah kekuatan internal yang ada dan meminimalkan kelemahan. Respon elemen kekuatan (total skor 1.580) lebih tinggi daripada total elemen kelemahannya (total skor 0.692). 3. Elemen Peluang Elemen peluang terdiri dari tujuh faktor strategis eksternal yaitu sumberdaya ikan, otonomi daerah, ketersediaan kredit, harga jual, potensi pasar, pertumbuhan ekonomi dan teknologi alat tangkap dan armada kapal gillnet dengan masing-masing memiliki bobot berturut-turut adalah 0.095, 0.063, 0.074, 0.091, 0.081, 0.067 dan 0.086 (Tabel 8). Peluang yang dapat direspon dengan baik adalah otonomi daerah, ketersediaan kredit, harga jual dan teknologi alat tangkap dan armada kapal gillnet, hal ini dilihat dari nilai rating 3 yang diberikan responden terhadap keempat faktor peluang tersebut. Dari ketiga faktor peluang tersebut, peluang harga jual memiliki bobot yang tertinggi yakni 0.091 berarti peluang harga jual dampaknya dapat sangat menentukan keberhasilan pengembangan perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak. 4. Elemen Ancaman. Terdapat enam faktor strategis di dalam elemen ancaman yaitu harga BBM, tuntutan produk ikan segar, hasil tangkapan dari daerah lain, infrastruktur penunjang, kondisi cuaca serta pabrik pengolahan (pasca panen) yang masingmasing bobotnya dapat dilihat pada Tabel 8. Dari enam faktor strategis eksternal tersebut terdapat tiga faktor ancaman yang mempunyai pengaruh kuat terhadap pengembangan perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak yaitu tuntutan produk ikan segar, hasil tangkapan dari daerah lain dan pasca panen (pabrik pengolah), hal ini dapat dilihat dari pemberian nilai rating 3 oleh responden terhadap faktor-faktor tersebut, sedangkan faktor lainnya kurang kuat pengaruhnya.

78 Faktor strategis eksternal yang paling penting untuk dicermati dalam pengembangan perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak adalah adanya peluang otonomi daerah, ketersediaan kredit, harga jual dan teknologi alat tangkap dan armada kapal gillnet, serta ancaman dari tuntutan masyarakat terhadap produk ikan segar, hasil tangkapan dari daerah lain dan belum adanya pabrik pengolah ikan hasil tangkapan nelayan. Respon terhadap elemen peluang (total skor 1.428), lebih tinggi dari elemen ancaman. Ini berarti bahwa peluang yang ada telah dapat dimanfaatkan dengan maksimal dan ancaman telah dapat diminimalisir secara keseluruhan. 5.5.4 Matriks Internal Eksternal Skor total evaluasi faktor internal pengembangan usaha perikaanan gillnet di Kabupaten Pontianak berada pada posisi internal rata-rata dan skor total evaluasi faktor eksternal berada pada posisi eksternal menengah. Dengan demikian posisi pengembangan usaha perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak berada pada posisi sel V seperti pada Gambar 27. Posisi V berarti bahwa pengembangan usaha perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak termasuk dalam divisi pertahankan dan pelihara. Dalam posisi pertahankan dan pelihara, strategi yang bisa diterapkan adalah optimalisasi produksi dan efektifitas serta efisiensi usaha perikanan. Strategi ini dapat dilakukan dengan meningkatkan daya jangkau operasi kapal, penambahan dan peremajaan alat tangkap serta peningkatan kualitas dan mutu produk agar dapat bersaing dengan baik. Dari matrik evaluasi internal-eksternal tersebut kemudian disusunlah alternatif strategi pengembangan perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak (Gambar 28) berdasarkan analisis SWOT terdiri dari empat set strategi yang dijelaskan sebagai berikut : 1. Strategi S-O (Strength-Opportunities) Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada dengan cara memperkuat kelembagaan nelayan dan jaminan kredit lunak dari pemerintah. Kelembagaan nelayan dalam hal ini baik dalam bentuk organisasi HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) maupun kelompok-kelompok

79 nelayan dapat menjadi wadah bagi nelayan maupun pengusaha perikanan gillnet dalam berinteraksi maupun mendapatkan informasi jaringan pasar dan pemasaran. Secara umum usaha perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak ini didominasi oleh usaha perikanan skala kecil, sehingga tingkat keuntungan yang diterima nelayan masih tergolong kecil. Pada kondisi ini usaha perikanan gillnet masih dipandang sebagai usaha sampingan dan umumnya bersifat subsisten. Dalam rangka meningkatkan pendapatan usaha maka perlu dilakukan strategi yaitu memperkuat kelembagaan nelayan dan jaminan kredit lunak dari pemerintah. Selama ini belum banyak nelayan di Kabupaten Pontianak yang memanfaatkan kelembagaan yang mereka miliki untuk mendapatkan akses permodalan dan kredit dari perbankan, karena mereka masih dianggap belum memenuhi syarat (bankable). Dengan adanya akses permodalan dan kredit lunak untuk usaha perikanan gillnet diharapkan usaha masyarakat akan berkembang sehingga berdampak positif bagi pendapatan mereka dan pertumbuhan ekonomi daerah. 2. Strategi S-T (Strength-Threat) Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang ada, dapat diwujudkan melalui strategi pengembangan jaringan pasar dan sarana prasarana pasca panen termasuk pabrik pengolah. Kegiatan perikanan gillnet selama ini belum dapat memberikan kehidupan yang layak, disebabkan oleh belum baiknya jaringan pemasaran terutama pasar luar daerah serta belum terdapatnya sarana prasarana pasca panen yang memadai sehingga produk yang dijual belum dapat mencapai mutu dan harga yang kompetitif. Pembangunan pabrik pengolah hasil tangkapan nelayan gillnet dapat dijadikan salah satu alternatif solusi agar produk memiliki nilai tambah dan daya saing serta mendorong proses industrialisasi perikanan pedesaan. 3. Strategi W-O (Weakness-Oppurtunities) Meminimalkan kelemahan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada, untuk mewujudkan hal tersebut dapat dilakukan dengan langkahlangkah antara lain dengan pembinaan dan pengembangan keterampilan nelayan serta sarana dan prasarana alat tangkap dan armada kapal gillnet.

80 Kondisi sumberdaya manusia yang masih rendah menjadi kendala, dalam rangka memberdayakan nelayan dan pengusaha perikanan gillnet, maka dapat dilakukan dengan cara pembinaan dan pelatihan keterampilan serta manajemen usaha oleh pemerintah daerah. Selain itu diperlukan pula peremajaan sarana dan prasarana alat tangkap jaring gillnet dan armada kapal gillnet agar menjadi lebih baik. 4. Strategi W-T (Weakness-Treats) Meminimalkan kelemahan untuk menghadapi ancaman, dengan : (1) penerapan sistem rantai dingin terhadap hasil tangkapan dan (2) penerapan subsidi BBM perikanan. Strategi penerapan rantai dingin terhadap produk perikanan diperlukan mengingat produk perikanan sangat mudah rusak dan terutama tuntutan konsumen yang saat ini semakin jeli menginginkan kualitas produk yang baik. Naiknya harga BBM juga berdampak negatif terhadap nelayan gillnet di Kabupaten Pontianak, oleh karena itu penerapan subsidi BBM khususnya nelayan oleh pemerintah diharapkan dapat membantu meringankan biaya operasional yang dikeluarkan, karena komponen BBM merupakan komponen terbesar dalam biaya operasional nelayan gillnet. Berdasarkan analisis QSPM seperti dapat dilihat pada Tabel 9, bahwa strategi yang memiliki TNDT tertinggi adalah strategi pembinaan dan pengembangan keterampilan nelayan serta sarana dan prasarana alat tangkap dan armada kapal gillnet (5.991). Hal ini menunjukkan bahwa strategi prioritas untuk pengembangan perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak dapat dilakukan melalui strategi pembinaan dan pengembangan keterampilan nelayan serta sarana dan prasarana alat tangkap dan armada kapal gillnet. Pemilihan strategi ini sangat beralasan karena selama ini pembinaan terhadap nelayan baik dari segi penyuluhan keterampilan, adopsi teknologi baru dan sistem manajemen usaha dirasakan sangat kurang. Demikian pula halnya dengan peremajaan alat tangkap gillnet dan armada kapal, apabila kedua hal ini dilakukan dengan konsisten maka diharapkan usaha perikanan gillnet masyarakat di Kabupaten Pontianak akan semakin baik.