Jurnal KELAUTAN, Volume 6, No.1 April 2013 ISSN :

dokumen-dokumen yang mirip
Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar

3. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

Kata kunci : pencahayaan matahari, E. cottonii, pertumbuhan

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA

Pertumbuhan Rumput Laut

KETEKNIKAN SISTEM RUMPUT LAUT DAN PROSES PENGOLAHANNYA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Budidaya Laut (BBL) stasiun

BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO

Laju Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp dengan Metode Rak Bertingkat di Perairan Kalianda, Lampung Selatan

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

KANDUNGAN KLOROFIL, FIKOERITRIN DAN KARAGINAN PADA RUMPUT LAUT Eucheuma spinosum YANG DITANAM PADA KEDALAMAN YANG BERBEDA

STUDI LAJU PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Euchema spinosum DAN Eucheuma cottoni DI PERAIRAN DESA KUTUH, KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG-BALI

Produksi bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 1: Metode lepas dasar

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk

The growth of regenerated tissue culture of Kappaphycus alvarezii with different planting spaces

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line

Laju Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp. dengan Metode Penanaman yang Berbeda di Perairan Kalianda, Lampung Selatan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober - Desember 2009, di Balai Besar

Pengaruh Berat Bibit Awal Berbeda terhadap Pertumbuhan Kappaphycus alvarezii di Perairan Teluk Tomini

II. TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Budidaya Rumput Laut Desa Ketapang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia.

Produksi bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) - Bagian 2: Metode longline

II. METODE PENELITIAN

Studi Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan Berbagai Metode Penanaman yang berbeda di Perairan Kalianda, Lampung Selatan

PENGARUH PEMBERIAN NITROGEN DAN KOMPOS TERHADAP KOMPONEN PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera)

PRODUKSI Gracilaria verrucosa YANG DIBUDIDAYAKAN DI TAMBAK DENGAN BERAT BIBIT DAN JARAK TANAM YANG BERBEDA

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN:

PENINGKATAN LAJU PERTUMBUHAN THALLUS RUMPUT LAUT

MATERI DAN METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Budidaya rumput laut K. alvarezii dilakukan di Desa Ketapang Kecamatan

Pertumbuhan Gracilaria Dengan Jarak Tanam Berbeda Di Tambak. Growth of Gracilaria under Different Planting Distances in Pond

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN KARAGINAN RUMPUT LAUT Eucheuma cotnnii YANG DIBUDIDAYAKAN PADA JARAK DARI DASAR PERAIRAN YANG BERBEDA Burhanuddin

Lampiran 1. Sketsa lokasi tambak penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

MANAJEMEN KUALITAS AIR

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume II, Nomor 1, Maret 2014

HASIL DAN PEMBAHASAN

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

Rencana Kegiatan panen

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

III. METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar

II. METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

II. METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah rumput laut. Menurut Istini (1985) dan Anggraini (2004),

II. TINJAUAN PUSTAKA. kali di terjemahkan seaweed bukan sea grass yang sering di sebut dengan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

METODE PENELITIAN. A. Materi, Waktu dan Lokasi Penelitian. 1. Materi. 2. Lokasi dan Waktu Penelitian

II. METODE PENELITIAN

PERTUMBUHAN Kappaphycus alvarezii DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK Sargassum aquifolium

PENERAPAN TEKNOLOGI BERBASIS SUMBER ENERGI TERBARUKAN SETEMPAT DALAM RANGKA PEMBANGUNAN SEKTOR PERIKANAN DI DESA TABLOLONG, NTT

PERBANDINGAN PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN KARAGINAN RUMPUT LAUT

I. PENDAHULUAN. Rumput laut atau seaweeds adalah tanaman air dikenal dengan istilah alga atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

BAB I PENDAHULUAN. Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT

IDENTIFIKASI SPESIES ALGA KOMPETITOR Eucheuma cottonii PADA LOKASI YANG BERBEDA DI KABUPATEN SUMENEP

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 32 meter di atas permukaan

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DAN PEMBAHASAN

Effect of NPK ferlilizer (nitrogen, phosphorus, potassium) on seaweed, Kappaphycus alvarezii, growth and white spot desease prevention

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan rumput laut (Kappaphycus alvarezii) yang dibudidaya dalam kantong jaring dengan berat awal berbeda di Teluk Talengen Kepulauan Sangihe

BAB III BAHAN DAN METODE

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

PERFORMA PRODUKSI RUMPUT LAUT Euchema cottonii YANG DIBUDIDAYAKAN MENGGUNAKAN METODE LONG-LINE VERTIKAL DAN HORISONTAL

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian tingkat kesesuaian lahan dilakukan di Teluk Cikunyinyi,

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN AIR DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM PADA PERTUMBUHAN BIBIT TEBU BUCHIP (Saccharum officinarum L.

Bab V Hasil dan Pembahasan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

02. Jika laju fotosintesis (v) digambarkan terhadap suhu (T), maka grafik yang sesuai dengan bacaan di atas adalah (A) (C)

Air dalam atmosfer hanya merupakan sebagian kecil air yang ada di bumi (0.001%) dari seluruh air.

III. TATA CARA PENELITIAN

Transkripsi:

Pengaruh Kedalaman Tanam Terhadap Pertumbuhan Eucheuma spinosum Pada Budidaya dengan Metode Rawai Yuniarlin Hilmi Farnani, Nunik Cokrowati, Nihla Farida Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Mataram Jl. Pendidikan No. 37 Mataram Lombok NTB Telp.085239808281. e-mail: n_cokrowati@yahoo.com ABSTRAK Eucheuma spinosum merupakan algae makro bentik yang dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan tepung agar-agar, keraginan dan alginat. Bahan baku tersebut dimanfaatkan dalam industri tekstil, kosmetik, dan makanan. Luasnya pemanfaatan hasil olahan rumput laut dalam berbagai industri, mengakibatkan peningkatan kebutuhan Eucheuma spinosum. Budidaya Eucheuma spinosum yang sudah dilakukan oleh pembudidaya adalah menggunakan metode rakit apung (floating raft method), metode lepas dasar (off bottom method) dan metode rawai (long line method). Namun dari ketiga metode ini yang lebih memberikan keuntungan dan lebih digemari oleh petani adalah metode rawai. Sehingga perlu dilakukan penelitian Pengaruh Beberapa Kedalaman Penanaman Terhadap Pertumbuhan Eucheuma spinosum pada Budidaya dengan Metode Rawai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kedalaman penanaman terhadap pertumbuhan Eucheuma spinosum pada budidaya dengan metode rawai. Penelitian dilaksanakan di Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok Desa Gerupuk Lombok Tengah Agustus 2010 hingga Oktober 2010. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri atas 4 perlakuan kedalaman penanaman yakni A (25 cm), B (35 cm), C (45 cm) dan D (55 cm). Setiap perlakuan terdiri 4 ulangan dalam enam sisi karena akan dilakukan pengamatan destruktif sebanyak enam kali, sehingga diperoleh 96 plot percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perlakuan kedalaman penanaman Eucheuma spinosum berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan berdasarkan berat basah, berat komersil dan berat kering. Pada kedalaman penanaman 45 cm memberikan hasil pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kedalaman lainnya. Kata Kunci: Budidaya, Eucheuma spinosum, kedalaman, pertumbuhan, metode rawai 75

PENDAHULUAN Eucheuma spinosum merupakan rumput laut telah dibudidayakan di Indonesia. Rumput laut dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan tepung agar-agar, keraginan dan alginat. (Aslan, 2005). Agar-agar, karaginan dan algin (alginat) banyak dimanfaatkan dalam industri tekstil, kosmetik, dan lain-lain. Fungsi utamanya adalah sebagai bahan pemantap, bahan pengemulsi, bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pembuat gel. Dalam industri makanan, ketiga produk tersebut (agar-agar, karaginan dan algin/alginat) banyak digunakan untuk pembuatan roti, sup, saus, es krim, jelly, permen, keju, puding, selai, bir, anggur, kopi dan cokelat. Dalam industri farmasi bermanfaat sebagai obat pencahar atau peluntur, bahan tambahan pada pembuatan obat-obatan dan pasta gigi serta bahan campuran pencetak contoh gigi. Dalam industri tekstil dapat digunakan untuk melindungi kemilau sutera. Dalam industri kosmetik bermanfaat dalam pembuatan salep, krem, lotion, lipstik, shampoo, cat rambut dan sabun (http://id.wikipedia.org/wiki/rumput_laut). Potensi areal budidaya rumput laut di Nusa Tenggara Barat adalah 5.910 ha dengan potensi produksi 59.100 ton/tahun. Namun baru sebagian kecil dari luas areal potensial yang diusahakan, sehingga masih ada peluang untuk pengembangan budidaya dan produksi rumput laut. Beberapa lokasi perairan pantai yang telah cukup berkembang budidaya rumput laut di NTB adalah Sekotong, Gerupuk, Labuan Kuris, Labuan Mapin, Alas, Sape, Waworada dan Kwangko. Sebagai gambaran produksi rumput laut di NTB tahun 2002 adalah sebanyak 22.793 ton dan tahun 2008 sebanyak 36.617 ton (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2008). Budidaya Eucheuma spinosum yang biasa dilakukan oleh pembudidaya adalah menggunakan metode rakit apung (floating raft method), metode lepas dasar (off bottom method) dan metode rawai (long line method). Namun dari ketiga metode ini yang lebih memberikan keuntungan dan lebih digemari oleh petani adalah metode rawai. Metode rawai pada prinsipnya hampir sama dengan metode rakit apung, tetapi tidak menggunakan bambu sebagai rakit pengapung, melainkan menggunakan pelampung botol plastik. Kelebihan dari 76

metode ini adalah pertumbuhan Eucheuma spinosum lebih cepat dan lebih hemat material. Selain itu budidaya Eucheuma spinosum dengan metode rawai yang tidak berbasis substrat dasar perairan, memungkinkan Eucheuma spinosum ini terbebas dari hama bulu babi, karena hama ini hidup pada dasar perairan berlumpur dan berkarang. Metode rawai tepat diterapkan pada wilayah pantai yang ketika air surut terendah, dasar perairannya masih terendam air. Saat ini hampir semua perairan Indonesia cocok untuk budidaya menggunakan metode rawai untuk budidaya Eucheuma spinosum (Soegiarto, 2005). Eucheuma spinosum biasanya ditemukan tumbuh pada kedalaman yang berkisar antara 10 50 m ( Noor, 2006). Namun sejauh ini informasi tentang kedalaman yang optimal untuk pertumbuhan Eucheuma spinosum yang dibudidayakan menggunakan metode rawai (long line method) masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa kedalaman penanaman terhadap pertumbuhan rumput laut (Eucheuma spinosum) pada budidaya dengan metode rawai. METODE PENELITIAN Penelitian ini ditata menurut rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 (empat) perlakuan kedalaman penanaman Eucheuma spinosum, sebagai berikut :A = kedalaman 25 cm; B = kedalaman 35 cm; C = kedalaman 45 cm; D = kedalaman 55 cm. Masing-masing perlakuan dibuat dalam empat ulangan dengan enam sisi, karena pengamatan dilakukan dengan cara destruktif sebanyak enam kali pengamatan, maka tiap ulangan dari masing-masing perlakuan disiapkan sebanyak enam bibit. Dengan demikian total jumlah tanaman rumput laut adalah 96 tanaman. Penelitian ini dilaksanakan di Perairan sekitar BBL (Balai Budidaya Laut) Lombok Desa Gerupuk Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan lama pemeliharaan 42 hari. Berikut ini adalah desain konstruksi budidaya Eucheuma spinosum 77

Pelampung Induk Pelampung botol plastik Tali Induk cm 25 35 cm 45 cm 55 cm Pemberat 50 m Tali ris Dasar perairan Gambar 1. Desain Konstruksi Budidaya Eucheuma spinosum Parameter utama dalam penelitian ini adalah pertumbuhan Eucheuma spinosum, sedangkan parameter penunjang adalah kondisi kualitas air di lokasi penelitian. Pertumbuhan Eucheuma spinosum diamati dengan mengukur (menimbang) berat basah, berat komersial dan berat kering, dilakukan setiap interval tujuh hari. Laju pertumbuhan harian spesifik dihitung berdasarkan rumus yang dikembangkan oleh Effendi (2004) : LPR = Ln(B 6 ) Ln(B1) t Dimana: LPR = Laju pertumbuhan relatif B = Berat rumput laut t = Umur tanaman Dari hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis of variance (anova) pada taraf nyata 5% dengan menggunakan program Statistica for Windosw/Costat. Untuk mengetahui perlakuan yang berbeda nyata akan di uji lanjut dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf nyata 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Hasil analisis ragam semua parameter menunjukkan bahwa perlakuan kedalaman berpengaruh nyata terhadap semua parameter pengamatan. Hasil uji lanjut semua parameter pertumbuhan menunjukkan bahwa perlakuan C (kedalaman 25 cm) menghasilkan laju 78

Berat (g) Berat (g) Jurnal KELAUTAN, Volume 6, No.1 April 2013 ISSN : 1907-9931 pertumbuhan berat basah, berat komersil dan berat kering yang nyata lebih tinggi. Berat Basah perlakuan A perlakuan B perlakuan C perlakuan D Minggu Ke Gambar 2. Grafik Berat Basah Eucheuma spinosum Gambar 2 menunjukkan pertumbuhan dalam bentuk penambahan berat basah Eucheuma spinosum selama lima minggu pengamatan. Pertumbuhan berat basah Eucheuma spinosum tertinggi adalah perlakuan C (kedalaman 45 cm), diikuti secara berurutan oleh perlakuan B (kedalaman 35 cm), D (kedalaman 55 cm) dan A (kedalaman 25 cm). Pada minggu kelima, perlakuan C (kedalaman 45 cm) mengalami penurunan berat basah disebabkan oleh adanya batang yang patah dan hanyut terbawa air. Berat Kering Komersil perlakuan A perlakuan B perlakuan C perlakuan D Minggu Ke Gambar 3. Grafik Berat Kering Komersil Eucheuma spinosum 79

Pertumbuhan Eucheuma spinosum berdasarkan pengamatan berat komersil dan berat kering menunjukkan pola peningkatan berat yang relatif sama (Gambar 3). Berdasarkan hasil analisis ragam dan uji lanjut BNJ pada semua parameter, perlakuan kedalaman penanamaan Eucheuma spinosum berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan relatif. Laju pertumbuhan relatif Eucheuma spinosum berdasarkan tiga jenis pengamatan berat tersebut menunjukkan pola yang hampir sama. Perlakuan C (kedalaman 45 cm) nyata lebih tinggi laju pertumbuhan relatifnya berdasarkan pengukuran berat basah, berat komersil maupun berat keringnya dibandingkan perlakuan A (kedalaman 25 cm) yang terendah. Perlakuan B (kedalaman 35 cm) dan D (kedalaman 55 cm) menunjukkan tingkat pertumbuhan yang sedang dan tidak berbeda nyata dengan pertumbuhan pada kedalaman A (kedalaman 25 cm) maupun B (kedalaman 35 cm). Hasil ini mengindikasikan bahwa pada budidaya sistem rawai, Eucheuma spinosum menghendaki lokasi atau daerah pada kedalaman 45 cm untuk pertumbuhan yang optimal sehingga diperoleh hasil panen yang signifikan tingginya, baik dari pengukuran laju pertumbuhan berdasarkan peningkatan berat basah, berat komersil maupun berat kering. Sebaliknya, kedalaman penanaman 25 cm (A) bukanlah lokasi yang ideal untuk pertumbuhannya. Faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan laju pertumbuhan Eucheuma spinosum pada empat kedalaman yang berbeda, meliputi intersepsi cahaya, temperatur, gelombang laut, kecepatan arus laut dan kadar oksigen terlarut di masing-masing kedalaman penanaman. Intersepsi radiasi matahari serta temperatur sampai di kedalaman 25 cm (perlakuan A) lebih tinggi dibandingkan kedalaman perlakuan B, C dan D. Intersepsi radiasi matahari cukup untuk kebutuhan aktivitas fotosintesis tanaman Eucheuma spinosum pada kedalaman 25 cm bahkan tingkat radiasi matahari yang diterima tanaman sudah melampaui kebutuhannya. Radiasi matahari yang tidak digunakan tanaman (di atas titik jenuh) umumnya akan berubah menjadi panas yang akan menambah temperatur di sekitar tanaman, sebagaimana pernyataan Robert, Hay and Walker (1992) bahwa hanya sekitar 50% dari radiasi matahari yang dimanfaatkan oleh 80

organel fotosintesis di dalam tubuh tanaman, terutama tanaman darat, yaitu pada kisaran panjang gelombang 400-700 nm, suatu kisaran yang dikenal dengan istilah photosynthetically-active radiation (PAR). Selebihnya dari energi ini tidak bernilai, jika diserap hanya akan meningkatkan temperatur tanaman. Dalam hal ini, Eucheuma spinosum membutuhkan PAR yang lebih rendah daripada vegetasi di daratan. Temperatur yang diterima Eucheuma spinosum pada kedalaman 25 cm di siang hari lebih tinggi, menjadi semakin tinggi akibat tambahan panas dari konversi kelebihan energi PAR Eucheuma spinosum. Selain itu fluktuasi temperatur siang-malam pada kedalaman 25 cm lebih besar dibandingkan di lapisan lebih dalam. Berdasarkan hal ini, faktor temperatur yang tinggi berpengaruh besar dalam mereduksi pertumbuhan rumput laut pada kedalaman 25 cm. Suhu perairan di lokasi penelitian berkisar antara 27-29ºC. Menurut Puslitbangkan (1991), suhu perairan yang baik untuk budidaya Eucheuma spinosum adalah 20-28ºC. Sedangkan menurut Ambas (2006), suhu perairan penting dalam proses fotosintesa rumput laut. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan Eucheuma spinosum berkisar antara 25-30ºC. Pengaruh temperatur maupun fluktuasinya masih dialami oleh Eucheuma spinosum pada kedalaman penanaman 35 cm (perlakuan B), sehingga hasilnya lebih tinggi dibandingkan dengan hasil tanaman pada kedalaman penanaman terendah (25 cm). Eucheuma spinosum pada kedalaman penanaman 45 cm (perlakuan C) menerima intersepsi radiasi matahari yang lebih rendah dibandingkan pada kedalaman A maupun B, namun tingkat radiasi tersebut diduga optimal untuk kebutuhan fotosintesisnya (sesuai PAR optimum). Jika melampaui titik jenuh cahaya, nilai energinya tidak menyebabkan peningkatan temperatur yang berarti bagi tanaman sehingga tidak mengganggu pertumbuhan. Adanya pengaruh dorongan angin di atmosfer menyebabkan gelombang dan kecepatan arus laut di dekat permukaan lebih besar, dan akan menurun meskipun sangat perlahan dengan semakin dalamnya laut. Hembusan angin di permukaan laut sekaligus menimbulkan turbulensi udara di daerah sekitar permukaan laut, memperbesar proses difusi oksigen ke air laut sehingga kadar oksigen terlarut lebih tinggi pada lapisan atas dibandingkan lapisan lebih dalam. Hasil Eucheuma spinosum pada daerah yang lebih dekat dengan permukaan air 81

laut (kedalaman 25 cm) menunjukkan laju pertumbuhan terendah, namun hasil tertinggi diperoleh pada kedalaman penanaman C (45 cm), kemudian pertumbuhan menurun pada kedalaman D (55 cm). Hal ini mengindikasikan bahwa pada kedalaman terendah (25 cm) Eucheuma spinosum lebih rentan gelombang dan arus laut yang deras. Pada kedalaman C (45 cm) besar gelombang dan kekuatan arus laut agak menurun, suatu keadaan yang optimal untuk pertumbuhan Eucheuma spinosum. Menurut Hidayat (1990), tingkat hempasan gelombang mempengaruhi pertumbuhan Eucheuma spinosum, semakin dalam perairan akan semakin kecil hempasan gelombang. Lebih jauh, Sudino (2004) menyatakan bahwa arus berperan penting dalam pertumbuhan Eucheuma spinosum, karena arus laut membawa zat hara yang merupakan bahan makanan bagi thallus. Makin besar gerakan air, makin banyak difusi oksigen yang dapat dimanfaatkan untuk respirasi tanaman. Selain itu arus berfungsi menghomogenkan masa air sehingga fluktuasi salinitas, suhu, ph dan zat-zat terlarut dapat dihindari. Kecepatan arus di lokasi penelitian berkisar antara 0,2-0,4 m/dtk. Menurut Ambas (2006) kecepatan arus yang ideal untuk budidaya Eucheuma spinosum berkisar antara 0,1-0,3 m/dtk. Walaupun faktor gangguan gelombang dan kekuatan arus laut yang lebih besar relatif tidak dialami oleh Eucheuma spinosum di kedalaman penanaman terdalam (D = 55 cm), sehingga tidak menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhannya, namun pada kenyataannya tanaman ini mengalami hambatan pertumbuhan. Diduga pada kedalaman ini kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk respirasi sel tanaman menurun, semakin memperparah kondisi tanaman yang juga mengalami kekurangan intersepsi cahaya untuk fotosintesis. Jadi, bertambahnya kedalaman akan menurunkan tingkat respirasi sel sehingga energi untuk proses fisiologi tanaman tidak optimal, serta menurunkan hasil fotosintesis sehingga translokasi fotosintat untuk pertumbuhan thallus serta untuk substrat respirasi juga berkurang dan menyebabkan pertumbuhan Eucheuma spinosum tidak optimal. Berdasarkan hasil pengamatan tiap 7 (tujuh) hari, pertumbuhan Eucheuma 82

spinosum di setiap kedalaman penanaman menunjukkan peningkatan pertumbuhan yang tidak sama. Pada umur 7 hari (satu minggu), berat Eucheuma spinosum perlakuan A (kedalaman 25 cm), B (kedalaman 35 cm), C (kedalaman 45 cm) dan D (kedalaman 55 cm) hampir sama, hanya perlakuan B (kedalaman 35 cm) yang sedikit lebih tinggi dari tiga perlakuan lainnya. Ini mengindikasikan bahwa bibit Eucheuma spinosum selama satu minggu awal masih dalam proses adaptasi dengan lingkungan baru sehingga belum menunjukkan perbedaan akibat variasi kedalaman penanaman. Akan tetapi, mulai umur 14 hari (dua minggu) perlakuan C (kedalaman 45 cm) menunjukkan peningkatan berat komersil dan berat kering yang lebih pesat dibandingkan peningkatan pada tiga perlakuan kedalaman lainnya. Hasil ini sejalan dengan hasil penghitungan laju pertumbuhan beratnya. Pada pengamatan umur tiga minggu, berat basah Eucheuma spinosum mengalami peningkatan pada semua perlakuan, namun berat keringnya lebih rendah daripada berat kering pada umur dua minggu untuk semua perlakuan. Fenomena ini diduga akibat kadar air yang dikandung oleh Eucheuma spinosum pada semua perlakuan di minggu ke tiga lebih tinggi dibandingkan dengan pada waktu-waktu pengamatan lainnya. Kadar air Eucheuma spinosum pada pengamatan minggu ketiga berkisar antara 0,95% - 0,97%, sedangkan pada minggu kedua berkisar antara 0,76% - 0,96% dan pada minggu keempat berkisar antara 0,90% - 0,97%. Pada umur lima minggu, terjadinya penurunan berat kering Eucheuma spinosum di kedalaman penanaman C (45 cm), hal ini disebabkan oleh pertumbuhan thallus yang pesat sehingga thallus menjadi berat dan tidak mampu bertahan dari arus, akibatnya ada bagian yang patah dan hanyut terbawa arus. Thallus Eucheuma spinosum ini memiliki tekstur yang lunak dan berair (sukulen) sehingga mudah patah. Di daerah sekitar lokasi penelitian ini, umumnya rumput laut jenis Eucheuma spinosum dipanen ± pada umur 30 hari, sedangkan rumput laut jenis Eucheuma cottoni dipanen umur 45 hari. Berdasarkan kenyaatan ini, umur panen Eucheuma spinosum lebih singkat (± umur 30 hari) karena yang mengalami pertumbuhan bagus tidak mampu mempertahankan thallus yang semakin berat setelah melewati umur 30 hari, sebagaimana pada penelitian ini thallus yang subur (pada kedalaman 45 cm) patah di beberapa bagian. Pemanenan lebih awal (di 83

umur 30 hari) lebih menguntungkan karena thallus Eucheuma spinosum masih utuh. Kualitas Air Suhu pada lokasi penelitian ini berkisar antara 27-29 C dengan rata-rata 28,5 C. Menurut Afrianto dan Liviawati (2001) Rumput laut Eucheuma spinosum dapat tumbuh dengan baik di daerah yang mempunyai suhu antara 26-30 o C (Afrianto dan Liviawaty, 2001). Pada lokasi penelitian kecepatan arus berkisar antara 0,2-0,4 m/dtk dengan rata-rata 0,3 m/dtk, kisaran tersebut baik untuk budidaya Eucheuma spinosum. Menurut Soegiarto (2005) pergerakan air laut yang ideal berkisar antara 0,2 0,4 m/detik. Dengan kondisi seperti ini akan mempermudah penggantian dan penyerapan hara yang diperlukan oleh tanaman, tetapi tidak sampai merusak tanaman. Oksigen terlarut pada lokasi penelitian berkisar antara 6 8 ppm dengan rata-rata 6,7 ppm. Blink (2004) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam air yang ideal untuk pertumbuhan Eucheuma spinoum berkisar antara 3-8 ppm. Ini menunjukkan bahwa DO pada lokasi penelitian baik untuk pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma spinosum. Kecerahan pada lokasi penelitian berkisar antara 1-3 m dengan rata-rata 2 m, kecerahan dengan kisaran 1-3 m dianggap kurang ideal untuk pertumbuhan Eucheuma spinosum. Menurut Papalia (2005) rumput laut dapat tumbuh dengan baik pada perairan yang mempunyai tingkat kecerahan berkisar antara 5 10 m. Kandungan nitrat pada lokasi penelitian 0,364 µg/l. Menurut Blink (2004) Kandungan nitrogen yang aman pada perairan untuk pertumbuhan Eucheuma spinosum adalah pada kisaran antara 0,32-1,10 µg/l. Hal ini mengindikasikan bahwa pada lokasi budidaya Eucheuma spinosum kandungan nitratnya masih baik untuk budidaya rumput laut jenis Eucheuma spinosum. Kandungan pospat pada lokasi budidaya Eucheuma spinosum 0,0302 µg/l. Menurut Blink (2004) kandungan phosphat di perairan yang baik untuk pertumbuhan Eucheuma spinosum berkisar antara 0,032-0,096 µg/l. Kandungan pospat di lokasi penelitian masih baik untuk budidaya rumput laut jenis Eucheuma spinosum. Dari hasil pengamatan kualitas air di lokasi penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas air di lokasi penelitian ini masih baik untuk pertumbuhan rumput laut 84

jenis Eucheuma spinosum, hanya saja kecerahan pada lokasi penelitian masih rendah yang dikarenakan sering turunnya hujan pada saat penelitian. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedalaman penanaman Eucheuma spinosum berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan berdasarkan berat basah, berat komersil dan berat kering. Kedalaman penanaman 45 cm memberikan hasil pertumbuhan yang lebih tinggi. DAFTAR PUSTAKA Afrianto E dan E Liviawaty., 2001. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Bathara. Jakarta. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, 2008. Profil Rumput laut Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Effendi, 2004. Budidaya Rumput Laut. Usaha Nasional. Surakarta. Noor, J.W., 2006. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Saunder Com. Philadelphia 125 pp. Papalia, S., 2005. Ocean Life. The Book Company. Sidney. Soegiarto, F., 2005. Budidaya Rumput Laut Euchema cottonii di Perairan Pantai. Deputi Bidang Pengkajian Ilmu Dasar dan Terapan BPPT. Jakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/rumput_laut Diakses tanggal 26 Juni 2010. Ambas, 2006. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. Aslan, 2005. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta. Barraka, R.T., 2004. Performance of Euchema (Seeweed) in Indonesia : Part 1 Agronomic Characters. FMC Marine (Colloids Division) Philipines. Blink, L.R., 2004. Physiology and Biochemistry of Algae. In Manual of Physiology. Academic Press. New York. 85

86