6. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
5. ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. lingkungan (Semiun, 2006). Penyesuaian diri diistilahkan sebagai adjustment.

4. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

2. TINJAUAN PUSTAKA. 9 Universitas Indonesia. Hubungan Antara..., Fia Silfia Luthfiani, F.PSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Hubungan Antara Kualitas Attachment dengan Ibu dan Motivasi Berprestasi pada Santri Pondok Modern Tingkat Pertama di Kota-Kabupaten Tasikmalaya

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelekatan. melekat pada diri individu meskipun figur lekatnya itu tidak tampak secara fisik.

Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy. Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari )

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri tanpa

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. besar siswa hanya berdiam diri saja ketika guru meminta komentar mereka mengenai

KELEKATAN PADA ANAK. Oleh : Sri Maslihah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Motivasi Dan Prestasi Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Ditinjau Dari Kelekatan Anak-Orang Tua

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB III METODE PENELITIAN

PROSES PEMBENTUKAN KELEKATAN PADA BAYI

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir

2015 HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT PADA PENGASUH DENGAN SELF-DISCLOSURE REMAJA DI PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK WISMA PUTRA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas di masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. paling menarik dari percepatan perkembangan seorang remaja adalah

semangat untuk menjadi lebih baik dari kegiatan belajar tersebut. Fenomena yang telah dilakukan oleh Triana, 2010, yaitu tentang keluarga

Psikologi Kepribadian I. Psikologi Psikologi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk menjelaskan atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. menghubungkan antara kelekatan pada guru ( X) dengan motivasi menghafal al-

HUBUNGAN KEDEKATAN EMOSIONAL ORANGTUA DENGAN PENGENDALIAN DIRI SISWA KELAS IX SMP NEGERI 17 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2014/ 2015.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bertempat di SDN Sukagalih Bandung yang berlokasi di Jalan Sukagalih No. 108, Bandung.

BAB I PENDAHULUAN. Masa bayi adalah periode dalam hidup yang dimulai setelah kelahiran dan

HUBUNGAN PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP MINAT BELAJAR SISWA KELAS 2 SD NEGERI 2 MIMBAAN SITUBONDO TAHUN PELAJARAN 2016/2017

PENGARUH INTENSITAS KOMUNIKASI ANAK DENGAN ORANG TUA TERHADAP REGULASI DIRI SISWI KELAS VIII MTS RAUDLATUL ULUM PUTRI GONDANGLEGI MALANG

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan

Perkembangan Remaja yang Positif

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini

BAB I PENDAHULUAN. masa anak-anak ke masa dewasa di mana pada masa-masa tersebut. sebagai masa-masa penuh tantangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan pengertiannya tentang fakta-fakta atau kenyataan. Untuk

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. Dari hasil analisa utama bab 4 dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial teman

BAB III METODE PENELITIAN. independent (bebas) dan variabel dependet (terikat). Variabel bebas yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari tahapan demi tahapan perkembangan yang harus dilalui. Perkembangan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. santri yang dengan awalan pe didepan dan akhiran an berarti tempat tinggal para

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

Nama : Wienda Tridimita Ayu NPM : Fakultas : Psikologi Jurusan : Psikologi Pembimbing : Prof. Hera Lestari Mikarsa, Ph.D

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif. Sugiyono (2012: 14) mengemukakan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

LAMPIRAN 1. Angket Pola Asuh Orangtua. 1. Nama : 2. Umur : 3. Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan 4. Kelas : 5. Pendidikan Orangtua :

HUBUNGAN ANTARA SECURE ATTACHMENT DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJADI SMAN 2 PADANG. Winda Sari Isna Asyri Syahrina

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V PEMBAHASAN. mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat

I. PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupannya. Pendidikan

Metode Penelitian Kuantitatif

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik korelasi.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesibukan dalam bekerja selalu menjadi kendala dalam membagi waktu untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Febi Rosalia Indah, 2014

xvi BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. bersifat deskriptif. Hal ini disebabkan karena data-data yang diperolah dalam

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi

Setelah beberapa lama, Kau mengerti bahwa sinar mentari pun akan membakarmu kalau berlebihan,

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi, tahapan, dan faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran peserta didik yang dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

NASKAH PUBLIKASI PERAN AYAH DALAM PENGASUHAN DAN KELEKATAN REMAJA PADA AYAH

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

HUBUNGAN ANTARA TASK VALUE DENGAN SELF-REGULATION OF LEARNING PADA MAHASISWA YANG TINGGAL DI PONDOK PESANTREN SINDANGSARI AL-JAWAMI

BAB III METODE PENELITIAN

Modul ke: Riset Penelitian. Uji Validitas dan Reabilitas. Fakultas Ilmu Komunikasi. Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si. Program Studi Periklanan

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

Perkembangan dari Attachment (kelekatan) Kita harus memakai orang yang khusus di dalam kehidupan yang dapat membimbing anak-anak untuk merasakan rasa

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969.

Bab V Simpulan, Disuksi dan Saran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kualitas sumber daya manusia sangat diperlukan untuk menunjang

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Transkripsi:

6. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN Pada bab ini akan disampaikan kesimpulan dari penelitian ini, diskusi mengenai hasil yang disampaikan pada kesimpulan, dan beberapa saran untuk penelitian selanjutnya selanjutnya dalam bidang yang serupa, serta saran praktis bagi pihak-pihak yang terkait dengan santri Pondok Modern. Ketiga hal tersebut didasarkan pada hasil analisis terhadap data yang diperoleh dalam penelitian. 6.1. Kesimpulan Berikut ini adalah kesimpulan yang menjawab pertanyaan penelitian dan kesimpulan tambahan yang dapat memperkaya penelitian ini. 6.1.1. Kesimpulan Utama Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan halhal sebagai berikut: 1. Secara umum kualitas attachment denga ibu pada santri Pondok Modern tingkat pertama di Kota-Kabupaten Tasikmalaya berada pada tingkat sedang dan dapat digolongkan ke dalam secure attachment. 2. Sebagian besar santri Pondok Modern tingkat pertama di Kota Kabupaten Tasikmalata memiliki motivasi berprestasi yang cukup tinggi. 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas attachment dengan ibu dan motivasi berprestasi pada santri Pondok Modern tingkat pertama di Kota- Kabupaten Tasikmalaya 6.1.2. Kesimpulan Tambahan Selain menjawab permasalahan utama, peneliti juga melakukan perhitungan untuk mendapatkan informasi-informasi tambahan yang dapat memperkaya hasil penelitian, yaitu: 1. Terdapat perbedaan skor kualitas attachment dengan ibu yang tidak signifikan antara santri Pondok Pesantren Al-Furqon dan Pondok Pesantren Amanah. 73

74 2. Terdapat perbedaan skor motivasi berprestasi yang signifikan antara santri Pondok Pesantren Al-Furqon dan Pondok Pesantren Amanah. 3. Terdapat perbedaan skor kualitas attachment dengan ibu yang tidak signifikan antara santri yang merasa betah dan tidak betah tinggal di Pondok 4. Terdapat perbedaan skor motivasi berprestasi yang signifikan antara santri yang merasa betah dan tidak betah tinggal di Pondok 5. Sebagian besar alasan dari betahnya santri di Pondok, secara berturut-turut adalah sebagai berikut: a. Banyak teman b. Banyak dapat pengalaman baru dan belajar untk dapat lebih mandiri c. Menyukai aktivitas dan kegiatan-kegiatan yang ada di Pondok 6. Sebagian besar alasan dari perasaan tidak betah pada santri di Pondok, secara berturut-turut adalah sebagai berikut: a. Kangen dengan orang tua, keluarga, dan suasana rumah b. Menemukan banyak masalah c. Keberadaan teman-teman atau pembina yang dirasa kurang cocok 6.1.3. Kesimpulan Hasil Wawancara Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Hal yang paling membuat partisipan ingin berprestasi adalah keinginan untuk membahagiakan orang tua 2. Terdapat stabilitas kualitas attachment dengan ibu dari masa kecil hingga saat ini. 3. Rendahnya skor motivasi berprestasi disebabkan oleh ketertarikan yang lebih besar untuk menghabiskan waktu bersama teman sebaya dan faktor orang tua yang selalu mengabulkan setiap permintaan partisipan 6.2. Diskusi Koefisien korelasi yang diperoleh dari hasil perhitungan pearson product moment terhadap skor kualitas attachment dengan ibu dan skor motivasi

75 berprestasi sebesar 0, 194 dengan p = 0.013 menunjukan adanya korelasi yang kecil namun signifikan. Kecilnya angka koefisien korelasi tersebut menunjukan sedikitnya ruang interaksi (kontribusi) antara variabel kualitas attachment dengan ibu dan motivasi berprestasi yaitu sebesar kuadrat dari koefisien korelasi antar-keduanya (Guilford dan Fruchter, 1978), yaitu 0,194 2. Angka tersebut menunjukan hanya 37,64% dari kedua variabel yang saling berhubungan seperti diilustrasikan dalam gambar berikut: Gambar 1: Area Kontribusi Kualitas Atachment dengan ibu dan Motivasi Berprestasi Kualitas Attachment dengan ibu Motivasi Berprestai Sedikitnya wilayah kontribusi dari kedua variabel yang saling berhubungan tersebut dapat disebabkan oleh banyakanya faktor yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, motivasi berprestasi dapat dipengaruhi oleh Tingkat energi umum (faktor biologis) yang dimiliki individu, kebudayaan, Pengasuhan anak (McClelland, 1953, dalam Syafhan, 2003), nilai yang dikaitkan dengan prestasi, harapan atas kesuksesan, dan atribusi atas kesuksesan dan kegagalan (Siegelman, 1999). Sedangkan kualitas attachment dengan ibu hanya terhubung melalui harapan atas kesuksesan itu pun hanya melalui self-efficacy, sedangkan harapan akan kesuksesan juga dipengaruhi oleh persepsi mengenai usaha yang dibutuhkan untuk dapat sukse. Latta (1974, dalam Zenzen, 2002) menyatakan bahwa selain besarnya keyakinan individu mengenai kemampuan yang dimiliki oleh individu, persepsi mengenai usaha yang diperlukan untuk sukses dalam suatu tugas juga dapat mempengarahi harapan atas kesuksesan yang kemudian berpengaruh terhadap motivasi berprestasi. Selain itu, kualitas attachment juga memiliki dampak yang sangat luas pada perkembangan manusia. Hetherington dan Parke (1993) menyebutkan bahwa interaki sosial yang terjadi pada awal kehidupan akan membentuk sikap dan tingkah laku anak di masa yang akan datang. Sikap dan tingkah laku anak di masa

76 yang akan datang tersebut mencakup sense of self, serta seberapa baik perkembangna kognitif dan sosialnya di masa yang akan datang. Sedangkan hal yang menghubungkan antara kualitas attachment dan motivasi berprestasi adalah self-efficacy yang hanya merupakan salah satu aspek dari sense of self. Namun, walau bagaimanapun, hasil dalam penelitian ini menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Hal yang menarik dalam penelitian ini adalah ditemukannya skor motivasi yang berbeda antara santri yang lebih sering izin pulang (santri Pondok pesantren Amanah) dan santri yang lebih jarang pulang (santri Pondok Pesantren Al- Furqon). Hal tersebut menjadi menarik karena tidak ditemukannya perbedaan skor kualitas attachment yang signifikan antara santri yang lebih sering pulang dan santri yang lebih jarang pulang. Padahal, para santri yang lebih sering pulang menunjukan tingkah laku attachment yang lebih sering dari santri yang jarang pulang. Siegelman (1999) menyatakan bahwa tingkah laku attachment yang diperlihatkan oleh remaja yang tinggal terpisah dari orang tua adalah pulang ke rumah orang tua pada setiap akhir pekan. Bowlby (1969 dalam Davies, 1999) menyatakan bahwa anak yang secure tidak akan memperlihatkan perilaku attachment selama melakukan tingkah laku eksplorasi. Hal tersebut menunjukan bahwa para santri yang lebih sering pulang ke rumah orang tua memiliki kualitas attachment yang lebih rendah daripada para santri yang lebih jarang pulang, sehinggga perbedaan skor yang signifikan dapat terjadi pada kedua variabel. Namun, hasil yang ditemukan adalah tidak adanya perbedaan yang signifikan pada skor kualitas attachment dengan ibu antara santri yang lebih sering pulang dan santri yang lebih jarang pulang. Temuan tersebut menunjukan bahwa bisa jadi pulangnya para santri bukan merupakan tingkah laku attachment, atau kedua frekuensi tersebut tidak dapat dibandingkan untuk dapat disimpulkan sebagai tingkah laku attachment. Hal tersebut dikarenakan peraturan berbeda yang diterapkan pada kedua Pondok Pesantren yang menjadikan santri dari salah satu Pondok Pesantren dapat lebih sering pulang dibandingkan dengan santri dari Pondok Pesantren yang lainnya. Ditemukannya perbedaan skor motivasi berprestasi yang signifikan tanpa ditemukannya perbedaan skor kualitas attachment dengan ibu yang signifikan

77 menunjukan bahwa dalam hal ini tidak ada keterhubungan antara kedua variabel tersebut. Perbedaan skor motivasi berprestasi yang signifikan dalam hal ini dapat terjadi karena perbedaan persepsi mengenai besarnya usaha yang harus dilakukan untuk dapat sukses antara santri Pondok Pesantren Al-Furqon dan santri Pondok Pesantren Amanah yang disebabkan oleh perbedaan jumlah mata pelajaran pada kedua pondok tersebut seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal yang sama juga terjadi dalam perbandingan skor kualitas attachment denagn ibu dan skor motivasi berprestasi antara santri yang merasa betah dan santri yang merasa tidak betah. Perbedaan yang signifikan ditemukan pada skor motivasi berprestasi namun tidak ditmukan pada skor kualitas attachment. Hal ini juga menunjukan bahwa dalam hal ini kedua variabel tersebut tidak terhubung. Tidak ditemukannya perbedaan skor kualitas attachment pada santri yang merasa betah dan tidak betah menunjukan bahwa perasaan betah dan tidak betah tersebut tidak dipengaruhi oleh kualitas attachment, walaupun kebanyakan santri mengaku tidak betah karena rindu dengan orang tua. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan santri belum terbiasa tinggal terpisah dari orang tua dan mengatur segalanya sendiri. Namun, penjelasan yang tepat baru dapat diketahui dengan melakukan penelitian lebih lanjut. Sementara itu, perbedaan skor motivasi berprestasi yang signifikan antara santri yang merasa betah dan tidak tinggal di Pondok dapat terjadi karena santri yang tidak betah sering pulang dan tertinggal pelajaran seperti yang dikemukakan oleh salah saeorang Pembina (Fauzi, 2008). Hal tersebut dapat terjadi karena santri yang tertinggal banyak pelajaran bisa jadi merasa teman-temanya telah memiki kemampuan yang lebih dibandingkan mereka sehingga diperlukan usaha yang lebih besar untuk dapat sukses dalam bersaing. Seperti yang telah dikemukan sebelumnya, persepsi mengenai besarnya usaha yang diperlukan untuk sukses dalam suatu tugas juga dapat mempengarahi harapan atas kesuksesan yang kemudian berpengaruh terhadap motivasi berprestasi (Latta, 1974, dalam Zenzen, 2002). Berdasarkan data yang diperoleh dari seluruh partisipan mengenai alasan mereka merasa betah atau tidak di Pondok, diketahui beberapa hal yang banyak dikemukan sebagai alasan dari perasaan betah atau tidak betah tersebut. Hal yang

78 paling banyak dikemukakan sebagai alasan dari perasaan betah di Pondok secara berturut-turut adalah adanya banyak teman, banyaknya pengalaman baru yang didapat, berbagai aktivitas Pondok yang menurut mereka seru dan menyenangkan, serta suasana Pondok yang nyaman untuk belajar dan menuntut ilmu. Sedangkan hal yang paling banyak dikemukakan sebagai alasan atas perasaan tidak betah mereka di Pondok secara berturut-turut adalah ingin selalu dekat dengan keluarga dan merindukan suasana rumah, merasa mendapatkan banyak masalah, adanya masalah dengan teman atau pembina di Pondok, dan berbagai peraturan Pondok yang dirasa mengekang. Berdasarkan data di atas, serta hipotesis yang diajukan peneliti bahwa santri yang memilki kualitas attachment dengan ibu yang rendah tidak dapat fokus dalam beraktivitas, menunjukan bahwa alasan-alasan yang dikemukakan atas perasaan betah merupakan hal-hal yang terjadi pada partisipan dengan skor kualitas attachment dengan ibu di atas rata-rata. Mereka akan mudah mendapatkan banyak teman karena mereka memiliki dasar yang secure dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Hetherington & Parke (1993) menyebutkan bahwa kualitas attachment pada masa bayi berkaitan dengan hubungan pertemanan anak selanjutnya. Selain itu, keterbukaan mereka untuk melihat berbagai aktivitas dan suasana Pondok sebagai hal yang dapat mereka ambil manfaatnya untuk meningkatkan prestasi menunjukan bahwa mereka merasa bebas dan leluasa untuk melakukan berbagai tingkah laku eksplorasi. Bowlby (1969, dalam Davies, 1999) menyatakan bahwa anak dengan dasar secure attachment akan merasa bebas dalam melakukan eksplorasi pada lingkungan. Sebaliknya, peneliti menduga bahwa alasan-alasan yang dikemukakan atas perasaan tidak betah merupakan hal-hal yang terjadi pada partisipan dengan skor kualitas attachment dengan ibu di bawah rata-rata. Keinginan mereka untuk selalu berada dekat dengan keluarga menunjukan adanya ketidakyakinan atas ketersediaan mereka. Ketidakyakinan tersebutlah yang menjadikan mereka secara emosional tetap berusaha meyakinkan diri bahwa ibunya akan selalu ada. Usaha meyakinkan diri yang selalu mereka lakukan tersebut cukup menghabiskan banyak energi sehingga mereka tidak dapat melakukan penyesuaian terhadap lingkungan Pondok dengan baik seperti yang dapat dilakukan oleh santri yang

79 memperoleh skor kualitas attachment dengan ibu di atas rata-rata. Kegagalan dalam hal penyesuaian itulah yang kemudian menjadikan santri merasa mendapat banyak masalah, baik yang berhubungan dengan ketidakcocokan dengan teman, pembina atau yang lainnya, dan merasa dikekang oleh berbagai peraturan Pondok. Namun, pemaparan tersebut belum teruji kebenarannya karena peneliti tidak menemukan adanya perbedaan skor kualitas attachment dengan ibu yang signifikan antara santri yang meresa betah dan santri yang merasa tidak betah di Pondok. Selain itu, dari gambaran kualitas attachment para santri diketahui bahwa hampir seluruh santri yang merupakan partisipan dalam penelitian ini memiliki hubungan attachment yang secure dengan ibu. Berdasarkan hal tersebut, bisa jadi peran alasanalasan lain (selain kengen dengan orang tua) merupakan alasan yang sebenarnya dari tidak betahnya para santri tinggal di Pondok, seperti kemampuan santri dalam hal manajemen, perbedaan budaya serta fasilitas antara yang ada di rumah dan di Pondok, atau kualitas dari hubungan attachment santri yang dijalin baik dengan sesama santri ataupun para pembina di Pondok. Temuan lain yang menarik ditemukan pada saat peneliti melakukan wawancara terhadap salah seorang santri yang memperoleh skor motivasi di atas rata-rata, namun skor kualitas attachment denga nibu yang diperoleh justru berada di bawah rata-rata yaitu 2,06. Walaupun skor tersebut masih tergolong kepada secure attachment karena lebih besar dari 2, namun peneliti melihat beberapa hal dalam partispan yang dapat menggolongkannya pada insecure attachment. Kata ingin memuaskan orang tua digunakan oleh partisiapn tersebut untuk menggambarkan alasan dibalik usaha-usaha yang dilakukannya untuk mencapai prestasi. Partisipan tersebut mengaku bahwa sejak kecil, ia sering dititipkan di rumah nenek karena kedua orangtuanya bekerja. Selain itu, ia juga mengakui bahwa ibunya mudah marah, walaupun kemudian ia berdalih hal tersebut wajar karena ibunya lelah bekerja. Berdasarkan skor kualitas attachmentnya dengan ibu yang hanya memiliki selisih 0,06 dari batas cut off point untuk insecure attachment (2), juga berbagai pengakuan dari partisipan, peneliti memperkirakan bahwa parisipan tersebut memiliki hubungan attachment yang insecure dengan ibu. Secara tidak sadar, partisipan tersebut merasa ditolak oleh ibu. Hal tersebut terkuatkan dengan pengakuannya bahwa sejak kecil ia sering dititipkan di

80 rumah nenek hingga larut malam. Selain itu, partisipan tersebut juga mengaku bahwa ibunya sering marah padanya. Sampai sekarang, partisipan tersebut masih ingat pengalamannya ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, saat ibunya marah selama berhari-hari karena nilai raportnya turun. Tingginya skor motivasi berprestasi yang diperolehnya yang juga beriringan dengan adanya perasaan ditolak oleh ibu seakan menguatkan apa yang telah ditemukan oleh McClellan et al. (1953). McClellan et al. (1953) menemukan bahwa motivasi berprestasi seseorang berhubungan dengan persepsi anak bahwa apa yang ditampilkan orang tua kepadanya adalah sebuah penolakan. Namun, dalam kasus partisipan tersebut, peneliti menemukan hal lain yang tidak sesuai dengan apa yang telah ditemukan McClelland et al. (1953) di atas. Kata ingin memuaskan orang tua yang digunakannya sebagai alasan atas usaha mencapai prestasi, serta alasan kedua yang juga dikemukakan partisipan atas usahanya dalam mencapai prestasi menunjukan adanya indikasi lain yang tidak mengarah pada tingginya skor motivasi berprestasi. Partispan tersebut mengatakan bahwa alasan kedua dari usaha mencapai prestasi yang dilakukannya adalah untuk menjaga nama baiknya. Peneliti melihat adanya kecenderungan untuk menghindari kegagalan yang lebih besar dari kecenderungan untuk mencapai prestasi itu sendiri. Dalam hal ini, kegagalan yang dimaksud adalah kemarahan atau kekecewaan orang tua serta jatuhnya nama baik partisipan. Atkinson (1964) mengemukakan bahwa terdapat dua hal yang menjadi tujuan dari ditampilkannya suatu tingkah laku, yaitu mancapai kesuksesan atau prestasi, dan menghindari kegagalan. Sedangkan arah atau tujuan ditampilkannya suatu perilaku oleh individu dengan motivasi berprestasi tinggi adalah untuk mencapai kesuksesan atau prestasi. Fenomena di atas dapat dijelaskan dengan pemaparan mengenai karakteristik dari individu dengan insecure attachment pada tipe avoidant. Dalih yang disampaikan partisipan tersebut bahwa kemarahan yang sering ditampilkan ibu merupakan hal yang wajar karena kesibukannya, menunjukan bahwa hingga kini partisipan tersebut masih terus berusaha meyakinkan diri akan penerimaan ibu atasnya. Lieberman (199tersebut, dalam Davies, 1999) menyebutkan bahwa individu dengan insecure attachment, secara emosional terus berusaha untuk

81 meyakinkan diri bahwa figur attachment-nya akan selalu ada untuknya. Selain itu, Partisipan tersebut mengaku lebih suka menjalin hubungan dekat dengan sedikit orang saja dari pada berhubungan dengan banyak orang. Perilaku yang ditampilkan oleh partisipan tersebut dapat dikatakan sebagai perilaku acuh tak acuh dan menghindar dari orang lain dikarenakan khawatir akan kembali mengalami penolakan. Davies (1999) menyatakan bahwa perilaku acuh tak acuh atau menghindar yang ditampilkan merupakan suatu strategi defense yang dikembangkan oleh anak dengan avoidant attachment. Kekhawatiran akan sebuah penolakan itu juga tercermin dari kata-kata menjaga nama baik yang disampaikan oleh partisipan tersebut. Ungkapan menjaga nama baik tersebut sangatlah mencerminkan perilaku menjaga diri agar selalu sempurna sehingga tidak ada alasan bagi orang lain untuk menolak -nya. Mengenai hal ini, Cassidy (1988, dalam Hetherington & Parke, 1993) menyatakan bahwa anak yang tergololong avoidant attachment akan menampilkan dirinya dengan sempurna. Berdasarkan pemaparan di atas, juga berdasarkan temuan dalam penelitian ini yang menyatakan adanya hubungan yang positif antara motivasi berprestasi dan kualitas attachment dengan ibu, peneliti menyimpulkan bahwa munculnya skor kualitas attachment dengan ibu yang rendah dan diikuti dengan skor motivasi berprestasi yang tinggi menunjukan bahwa alat ukur motivasi berprestasi yang digunakan dalam penelitian ini belum dapat mengukur arah dan tujuan dari ditampilkannnya suatu tingkah laku seperti yang telah dikemukakan oleh Atkinson (1964). Walaupun peneliti telah menyertakan item-item yang mengukur arah atau tujuan dari ditampilkannya suatu tingkah laku, namun arah dan tujuan tersebut tidak terukur oleh item-item lain yang disusun untuk mengukur indikatorindikator perilaku lain dari motivasi berprestasi. 6.3. Saran 6.3.1. Saran Metodologis Saran yang diajukan peneliti untuk penelitian selanjutnya dalam bidang yang sama adalah sebagai berikut :

82 a. Untuk mendapapatkan data yang lebih valid, proses pengadministrasian kuesioner pada remaja awal dilakukan dengan pendampingan terhadap maksimal 10 orang partisipan oleh satu orang administrator. Hal tersebut dikarenakan dalam penelitian ini, peneliti menemukan banyak kendala yang dihadapi oleh partisipan saat pengisian kuesioner. b. Mengujicobakan serta merivisi alat ukur tersebut secara berulang dengan sampel yang lebih banyak demi mendapatkan alat ukur yang valid reliabel. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa alat ukur motivasi berprestasi yang digunakan kurang baik dalam mengukur arah atau tujuan dari ditampilkannya suatu tingkah laku. c. Melakukan wawancara tatap muka dengan partisipan untuk mendapatkan informasi yang lebih valid. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan banyak hambatan dari wawancara yang dilakukan melalui telepon. d. Diadakan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dari kualitas attachment terhadap motivasi berprestasi. e. Diadakan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara motivasi berprestasi dengan kualitas dari berbagai hubungan attachment yang tengah dijalin oleh para santri, baik dengan keluarganya ataupun orangorang yang baru ditemuinya di Pondok pada seluruh santri Pondok Modern. 6.3.1. Saran Praktis Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, peneliti mengajukan beberapa saran terhadap para orangtua santri dan pihak pengelola pondok, sebagai berikut: 1. Walaupun tinggal terpisah, orang tua harus selalu menjaga komunikasi dengan anak baik dengan melakukan kunjungan ke Pondok ataupun menghubunginya melalui telepon secara rutin. Selain itu, orang tua juga diharapkan untuk selalu menunjukan kepedulian dan perhatian serta bersikap responsif terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan anak. Hal tersebut ditujukan agar santri dapat selalu yakin bahwa orang tua mereka selalu ada dan tersedia untuk mereka. Bowlby (1987, dalam

83 Ainsworth, 1990, dalam Kerns, Klepac, dan Cole, 1996) menyatakan bahwa ketersediaan figur attachment ditentukan oleh keterbukaannya untuk berkomunikasi, kemudahan untuk diakses secara fisik (physically accessible), dan responsif saat dimintai pertolongan oleh anak. Selain itu, keyakinan anak atas ketersediaan orang tua dapat menjadikannya bebas dan tenang dalam beraktivitas di Pondok. Sroufe dan Waters (1977, dalam Kerns, Klepac, dan Cole, 1996) menyatakan bahwa ketersediaan figur attachment yang tergolong secure dapat mendukung tingkah laku eksplorasi anak terhadap lingkungan. 2. Orang tua juga diharapkan untuk selalu memberikan hadiah berupa dukungan yang juga diberikan secara fisik seperti sentuhan dan pelukan setiap kali anak berhasil mencapai suatu prestasi. Hal tersebut dapat menjadikan anak lebih termotivasi untuk terus berprestasi. McClelland et al. (1953) menemukan bahwa ibu yang memberikan reward (hadiah) secara fisik (seperti pelukan dan ciuman) atas keberhasilan anaknya memilki anak dengan rata-rata skor motivasi berprestasi dua kali lebih besar dari anak yang ibunya tidak memberikan reward dalam bentuk fisik. 3. Para pengelola Pondok hendaknya berusaha untuk dapat membina hubungan yang secure dengan para santrinya serta menjaga hubungan antar-sesama santri agar dapat selalu terjalin dengan baik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membangun kepercayaan antara santri dan pembina yang tidak melulu dilatarbelakangi atau disampaikan dengan bahasa peraturan pondok. Eccles et al. (1993, dalam Sigelman, 1999) menyatakan bahwa untuk dapat meningkatkan motivasi berprestasi siswa, pendidikan sekolah menengah harus menyediakan kehangatan hubungan antara siswa dan guru yang suportif. Dengan adanya hubungan attachment yang secure antara pengelola pondok dengan para santri, kehangatan hubungan dan suportivitas akan lebih mudah terbangun. Dengan demikian para santri akan lebih termotivasi untuk terus berprestasi.

84 4. Para pengelola pondok diharapkan untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan suasana di lingkungan Pondok yang dapat meningkatkan motivasi berprestasi dari para santrinya, seperti penanaman nilai penting dari prestasi dan penyediaan berbagai program yang meningkatkan kesempatan bagi para santri untuk menampilkan diri. John Atkinson (1964: Wigfield dan eccles, 1992), dalam Sigelman, 1999) menyatakan dengan tegas bahwa nilai atas kesuksesan bagi seorang individu, memiliki pengaruh yang penting terhadap motivasi. Selain itu, Eccles et al. (199tersebut, dalam Sigelman, 1999) keberadaan tantangan intelektual yang dapat meningkatkan kesempatan siswa untuk menampilkan diri dapat meningkatkan motivasi berprestasi pada siswa. Dengan tingginya motivasi berprestasi yang dimiliki, para santri diramalkan akan memperoleh prestasi yang juga tinggi di masa yang akan datang. 5. Mengenalkan berbagai budaya serta disiplin Pondok pada awal masa penerimaan santri dengan bahasa dan metode yang sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dipahami oleh santri sebagai sesuatu yang memang baik dan benar sehingga dapat lebih menyiapkan para santri untuk dapat menjalaninya.