BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir Menurut Goleman (2000) kecerdasan emosional adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Howes dan Herald (dalam Mu tadin, 2002) mengemukakan kecerdasan emosional sebagai komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi, lebih lanjut dikatakan bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, akan menghadirkan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sesndiri dan orang lain.menurut Salovey dan Mayer (dalam Goleman,2000) kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami, merasakan dan mengenali perasaan dirinya dan orang lain sehingga individu tersebut dapat mengendalikan perasaan yang ada dalam dirinya dan dapat memahami serta menjaga perasaan orang lain. Individu tersebut juga dapat memotivasi diri sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam kehidupan yang dijalani. Saphiro (1998) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional merupaka suatu himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan 1

2 informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Masa remaja akhir adalah masa yang paling kompleks dibandingkan dengan masa remaja lainnya. Di mana masa peralihan dari remaja ke dewasa awal, masa remaja akhir yaitu pada usia tahun, dengan ciri khas antara lain pengungkapan indentitas diri, lebih selektif dalam mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan rasa cinta, serta mampu berfikir abstrak (Monks, Knoers & Haditomo, 2002). Secara kognitif, remaja mengalami perubahan dalam proses berpikir dan kecerdasan (Santrock, 2003). meningkatnya kemampuan kognitif dan kesadaran diri remaja untuk mengatasi fluktuasi emosional secara lebih efektif Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa kecerdasan emosional pada remaja akhir yaitu mampu memahami, merasakan dan mengenali perasaan dirinya dan orang lain dan dapat memahami serta menjaga perasaan orang lain. Individu tersebut juga dapat memotivasi diri sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam kehidupan yang dijalani Kecerdasan emosional sebagai komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. 2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional Menurut Goleman (2000), aspek kecerdasan emosional terdiri dari lima, yaitu : a. Pengenalan diri yaitu mengenali perasaan sebagaimana yang terjadi, mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. b. Mengelola emosi dan pengendalian diri 2

3 Yaitu mengelola perasaan secara tepat, mengenali emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi. c. Memotivasi diri sendiri Yaitu menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak snagat efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. d. Mengenali emosi orang lain dan empati Yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif remaja, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. e. Membina hubungan atau keterampilan sosial Yaitu menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, bermusyawarah dan meyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerjasama dan bekerja dalam tim. Menurut Salovey dan Mayer (1990), mengungkapkan empat aspek kecerdasan emosional, yaitu: a. Persepsi Yaitu kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri dan dapat mengekspresikan kebutuhan emosionalnya. 3

4 b. Asimilasi Adalah suatu kemampuan untuk membedakan antara emosi-emosi yang berbeda, yang individu rasakan dan memilih mana di antara emosi-emosi tersebut yang dapat mempengaruhi proses berpikir. c. Pemahaman Yaitu kemampuan individu untuk memahami emosi yang kompleks seperti perasaan bersama dari kesetiaan dan pengkhianatan. Understanding adalah kemampuan untuk membedakan emosi-emosi yang muncul dari persepsi, pentingnya mengatasi respon emosi negatif, termasuk kemampuan untuk memahami ekspresi emosional dan tingkah laku lainnya. d. Pengelolaan Yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan atau tidak menghubungkan emosi-emosi, tergantung kegunaannya pada situasi yang dihadapi. Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa kecerdasan emosional terdiri dari beberapa aspek-aspek yaitu pengenalan diri, mengelola emosi atau pengendalian diri, memotivasi diri sendiri, Persepsi, asimilasi, pemahaman, pengelolaaan. Dari beberapa aspek-aspek kecerdasan emosional, peneliti mengambil aspek-aspek kecerdasan emosional menurut Goleman (2000), yaitu pengenalan diri, mengelola emosi atau pengendalian diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain atau empati, membina hubungan atau ketrampilan sosial. Alasan mengapa peneliti mengambil aspek-aspek menurut Goleman karena di dalam memasuki fase remaja akhir, diharapkan remaja bisa mengenali perasaan sebagaimana yang terjadi, merasa mantap mengambil keputusan dalam 4

5 kehidupannnya, bersikap hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan yang terkendali dan tujuannya untuk keseimbangan emosional, merasakan simpati dan perhatian kepada orang lain, dan mampu melakukan interaksi dengan orang lain dengan lancar dalam pergaulan sosial. 3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional menurut Goleman (2000) dan Hurlock (2004) yaitu : a. Lingkungan keluarga Menurut Goleman (2000) Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dalam mempelajari emosi, dan orang tualah yang sangat berperan. Kehidupan emosional yang dibangun di dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak, bagaimana anak dapat cerdas secara emosional. Perkembangan kecerdasan emosional remaja dipengaruhi oleh proses interaksi yang didapat remaja dengan orang tua dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman-pengalaman emosi yang terjadi setiap saat dan berkelanjutan. Pengalaman tersebut bisa remaja pelajari dari kelekatan remaja dengan orang tuanya, kelekatan merupakan ikatan emosional sebagai bentuk perilaku yang ditunjukkan oleh remaja dalam mencapai atau menjaga kedekatan dengan individu lain yang mempunyai kemampuan lebih baik dalam menghadapi hidup. Menurut Santrock (2003) di dalam kelekatan yang didapatkan remaja dari orang tua, ada salah satu jenis kelekatan yang disebut secure attachment, yang dimaksud dengan secure attachment yaitu pola yang terbentuk dari interaksi 5

6 orang tua dengan remaja, remaja merasa percaya terhadap orang tua sebagai figur yang selalu mendampingi, sensitif, dan responsif, penuh cinta serta kasih sayang saat remaja mencari perlindungan dan kenyamanan. Menurut Gordon (Saarni, 1999) kelekatan menjadi sumber informasi untuk individu belajar. Kelekatan aman yang remaja terima dari ibu akan membuat remaja menilai dan meberikan makna bahwa ibu adalah orang yang selalu mendampingi dan penuh cinta, dan remaja juga bisa lebih percaya diri dalam berekspolarasi di lingkungannya dan dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Oleh karena itu hal ini akan berpengaruh pada kualitas interaksional antara anak dengan orang tua dan antara anak dengan lingkungan sekitar, yang pada akhirnya akan mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosional pada anak. b. Faktor kematangan Menurut Hurlock (2004) faktor kematangan berkaitan dengan masa kritis perkembangan, perkembangan kelenjar endokrin penting untuk mematangkan perilaku emosional dan kelenjar adrenalin memainkan peran utama pada emosi. Kematangan terjadi pula pada psikis anak yang meliputi keadaan berpikir, rasa, kemauan, dan kematangan pada psikis ini diperlukan adanya latihan. Menurut La Dove (Goleman, 2000) psikis juga bisa mempengaruhi kercerdasan emosional, keadaan psikis yang didapatkan anak lingkungan keluarga maupun non lingkungan keluarga akan diperkuat dan dipupuk individu dalam diri remaja. c. Faktor belajar 6

7 Menurut Hurlock (2004) faktor belajar yang telah dicapai dapat dioptimalkan dengan pemberian ransangan yang tepat, pengendalian pola reaksi emosi yang diinginkan perlu diberikan kepada anak guna untuk mengganti pola emosi yang tidak diinginkan, apabila pola reaksi emosi yang tidak diinginkan dipelajari dan membaur dalam pola emosional akan semakin sulit mengubahnya karena adanya pertambahan usia yang dialami sampai individu memasuki masa remaja, pola reaksi emosional yang diberikan pada anak akan mempengaruhi kecerdasan emosional karena pola reaksi yang sudah tertanam akan remaja bawa. Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi adalah faktor lingkungan keluarga, faktor kematangan, dan yang terakhir yaitu faktor belajar. Dari beberapa faktor tersebut peneliti mengambil faktor keluarga. Alasan peneliti memilih faktor lingkungan keluarga karena Lingkungan keluarga merupakan tempat yang pertama remaja melakukan interaksi sosial yang paling mendalam dan mendasar. Dalam Saarni (1999) bahwa remaja memperoleh berbagai pengalaman emosi dari orangtuanya sejak usia anak-anak, figur yang memberikan bekal pengalaman pada anak disebut figur lekat. Ainsworth (1997) mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu. Menurut Bowlby (1982) di dalam kelekatan antara remaja dengan orang tua yang terjalin ada salah satu jenis kelekatan yang berhubungan dengan kecerdasan emosional remaja yaitu jenis secure attachment, Di mana pada jenis 7

8 kelekatan secure attachment, anak merasa percaya terhadap orang tua sebagai figur yang selalu mendampingi dan selalu memberikan cinta dan kasih sayang kepada remaja. Menurut Ainsworth (1997) dalam secure attachment, anak biasanya menggunakan ibunya sebagai landasan yang aman untuk mengeksplorasi lingkungannya. Dari kelekatan yang dijalin remaja dengan orang tua (terutama ibu) akan berpengaruh pada kualitas interaksional antara remaja dengan orang tua, dan antara remaja dengan lingkungan sekitar, yang pada akhirnya akan mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosional pada anak. Dalam hal ini kelekatan yang terjalin antara remaja dengan ibu akan menimbulkan persepsi anak terhadap rasa aman yang diberikan oleh ibu. Anak yang mempersepsikan positif terhadap secure attachment akan menunjukan sikap merasa nyaman bila di dekat ibu, ibu selalu mendampingi dan selalu memberikan kasih sayang. Sedangkan anak yang mempersepsikan negatif terhadap secure attachment akan menunjukan sikap yang sebaliknya. B. Persepsi terhadap Secure Attachment dari Ibu 1. Pengertian Persepsi Remaja terhadap Secure Attachment dari Ibu Menurut Walgito (2002) persepsi adalah suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya. Proses persepsi terjadi karena adanya stimulus atau ransangan dari luar diri individu yang berupa kenyataan sosial dan lingkungan. Stimulus atau ransangan tersebut diterima melalui alat indera kemudian diinterpretasikan sehingga mempunyai arti bagi individu. Adanya ransangan dari luar diri individu akan memyebabkan suatu proses dalam diri 8

9 individu tersebut yang akhirnya akan menimbulkan reaksi baik itu positif maupun negatif. Persepsi menurut Sumanto (2014) suatu kesadaran dan penilaian individu akan adanya orang lain atau perilaku orang lain yang terjadi di sekitarnya. (Santrock, 2003) mengatakan di dalam keseharian remaja banyak berinteraksi, mendapatkan rangsangan, dan melihat bagaimana perilaku yang terjalin dengan orang di sekitarnya, terutama di dalam lingkungan keluarga, adanya interaksi berupa sosialisasi timbal balik, kesesuaian, dan bersifat membangun suatu sistem yang utuh. Dalam Saarni (1999) mengatakan bahwa bagaiman acara orang tua mengenali, mengendalikan emosi, berempati dengan apa yang dialami orang lain serta cara orang tua berinteraksi sosilal dengan masyarakat dan berbagai macam pengalaman emosi lainnya akan menjadi sesuatu yang dipelajari remaja, dimaknai, dan si stimulasikan oleh mereka sendiri, yang kemudian remaja akan menerapkannya dalam menjalin hubungan dengan lingkungan sekitar. Di dalam lingkungan keluarga adanya kelekatan yang terjalin antara anggota keluarga, biasanya remaja menjadikan ibu sebagai figur lekat bagi diri remaja, karena remaja beranggapan bahwa ibu orang yang mampu memberikan perlindungan terutama saat remaja merasa takut, terancam, ataupun sakit. Remaja juga menilai bahwa ibu orang hangat dan selalu memberikan rasa aman, dan kasih sayang kepada remaja ( Ainsworth, 1997). Attachment dapat berarti bentuk atau kelekatan. Attachment didefinisikan oleh Feldman ( 1996) sebagai emosional yang positif yang berkembang anatara anak dan orang tua. dan menurut Seifert dan Hoffnung (1994) menyatakan bahwa attachment ialah 9

10 hubungan emosional yang inti antara dua orang ditandai dengan adanya timbal balik saling memberi kasih sayang, kedekatan fisik, dan keinginan untuk saling mempertahankan. Bowlby (1982) menyebutkan ada tiga jenis attachment yaitu secure attachment (aman), anxious resistant attachment (cemas ambivalen), dan anxious avoidant attachment (cemas menghindar). Menurut Ainsworth (1997) secure attachment adalah pola yang digambarkan sebagai individu yang mempunyai harga diri dan kepercayaan interpersonal yang tinggi, mempunyai pandangan yang positif tentang dirinya dan orang lain dan mampu membuat hubungan interpersonal berdasarkan rasa saling percaya.. Menurut Bowlby (1982) secure attachment adalah interaksi orang tua dengan anak, anak merasa percaya terhadap orang tua sebagai figur yang selalu mendampingi, sensitif, dan responsif, penuh cinta serta kasih sayang saat remaja mencari perlindungan dan kenyamanan, dan selalu membantu atau menolongnya dalam menghadapi situasi yang menakutkan dan mengancam. Remaja yang mempunyai pola ini percaya adanya responsivitas dan kesediaan orang tua bagi dirinya. Menurut Ainswoth (1997) Dalam secure attachment, anak biasanya menggunakan ibunya sebagai landasan yang aman untuk mengeksplorasi lingkungannya, keterikatan yang aman dalam tahun pertama kehidupan anak akan memberi suatu landasan yang penting bagi perkembangan psikologisnya dikemudian hari. Menurut Harlow (dalam Desmita, 2015) menyebutkan bahwa attachment berkembang dari waktu ke waktu sebagai hasil interaksi yang berulang-ulang antara bayi dengan ibunya, remaja juga percaya attachment terdiri 10

11 dari hubungan timbal balik yang sama kuat antara ibu dan anak, walaupun satu sama lain berbeda dalam memenuhi kebutuhan kedekatan fisik dan emosionalnya. Menurut Seiferd dan Hoffnung, (1994) semakin besar respon ibu terhadap sinyalsinyal, seperti tangisan, senyuman, sentuhan dan kelekatan yang diberikan anak, maka akan semakin kuat keterikatan di antara keduanya. Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa persepsi terhadap secure attachment dari ibu ialah suatu kesadaran dan penilaian individu akan adanya orang lain atau perilaku orang lain yang terjadi di sekitarnya, anak remaja menilai bahwa ibu sebagai orang yang bisa memberikan kenyamanan, rasa aman, dan selalu memberikan kasih sayang kepada anak. Dalam keterikatan yang aman remaja mampu melakukan hubungan interpersonal berdasarkan rasa saling percaya. Kelekatan ini akan memberikan suatu landasan yang penting bagi perkembangan psikologisnya dikemudian hari. 2. Aspek-Aspek Kelekatan (attachment) Kelekatan dibentuk dari aspek-aspek yang mendasarinya. Menurut Papalia dkk. (2008) aspek kelekatan antara lain: a. Sensitivitas figur Sensitivitas figur dapat berupa seberapa besar kepekaan figur terhadap kebutuhan individu atau sejauh mana figur lekat dapat mengetahui kebutuhan-kebutuhuan individu. b. Responsivitas figur Responsivitas adalah bagaimana figur lekat menanggapi kebutuhan individu. 11

12 Sementara menurut Ainsworth (1997) ada beberapa aspek-aspek yang membentuk kelekatan yaitu : a. Hangat (warm), Kehangatan yang ditunjukkan oleh individu yang menjadi figur lekat akan memberikan perasaan nyaman dan santai (relax). b. Sensitif (sensitive), figur lekat mampu menunjukkan rasa simpatik terhadap anak, mengerti kebutuhan anak. c. Responsif (responsive), figur lekat mampu menyikapi kebutuhana akan rasa nyaman, rasa ingin dilindungi, dan selalu memberikan respon terhadap keinginan remaja. d. Dapat diandalkan (dependable), tempat di mana individu menggantungkan harapan dan kebutuhannya akan rasa aman dan nyaman, orang tua dapat diandalkan oleh anak terutama ketika anak membutuhkan dukungan atau dalam keadaan tertekan. Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa kelekatan terdiri dari beberapa aspek yaitu sensitivitas figur, responsifitas figur, hangat, sensitif, responsif dan dapat diandalkan. Dari beberapa aspek kelekatan, peneliti mengambil aspek-aspek menurut Ainsworth (1997) yaitu hangat, sensitif, responsif, dan dapat diandalkan, alasan peneliti mengambil aspek-aspek menurut Ainsworth karena di dalam aspek-aspek kelekatan (attachment) semua mengarah pada kelekatan aman (secure attachment) seperti figur lekat menunjukkan, sikap antusiasme terhadap remaja, mampu menunjukkan pengertian simpatik terhadap remaja, mampu menyikapi kebutuhan akan rasa nyaman dan selalu memberikan respon terhadap keinginan remaja, individu dapat diandalkan oleh remaja 12

13 terutama ketika remaja membutuhkan dukungan. dan juga selalu memberikan rasa kasih sayang kepada remaja. C. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Secure Attachment dari Ibu dengan Kecerdasan Emosional Pada Remaja Akhir Kecerdasan emosional tidak terbentuk dengan sendirinya tetapi didapat melalui proses yang panjang. Proses ini berawal dari lingkungan sosial yang terkecil, yaitu keluarga. Menurut Goleman (2000) kehidupan keluarga merupakan sekolah yang pertama untuk mempelajari emosi, jadi dapat dikatakan bahwa orang tua memiliki peran dalam membantu terbangunnya kecerdasan emosional remaja. Lingkungan keluarga merupakan tempat remaja pertama kali menjalin interaksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya. di dalam keluarga anak banyak mendapatkan pengalaman, Saarni (1999) menyebutkan bahwa remaja memperoleh berbagai pengalaman emosional dari orang tua sejak usia masih anak-anak. Pengalaman-pengalaman emosi tersebut bisa remaja pelajari karena adanya kelekatan antara remaja dengan orang tuanya. Pengalaman kelekatan menjadi sumber informasi untuk belajar mengenai individu itu sendiri. Menurut Ainsworth (1997) mengatakan bahwa kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik dan mengikat remaja dalam suatu kedekatan. Anak cenderung mencari figur lekat yang memberikan remaja rasa aman dan hal ini menjadikan remaja memilih ibu sebagai figur lekat. Kelekatan yang diterima oleh remaja akan membentuk sebuah penilaian atau persepsi anak terhadap figur lekatnya. Pada 13

14 kelekatan secure attachment, remaja merasa percaya terhadap orang tua sebagai figur yang selalu mendampingi, sensitif, dan responsif, penuh cinta serta kasih sayang saat remaja mencari perlindungan dan kenyamanan, dan selalu membantu atau menolongnya dalam menghadapi situasi yang menakutkan dan mengancam. Biasanya remaja menggunakan ibunya sebagai landasan yang aman untuk mengeksplorasi lingkungannya. Kelekatan (Attachment) yang terjalin antara remaja dengan ibu memiliki beberapa aspek yaikni : hangat, sensitif, responsif, dan dapat diandalkan (Ainsworth, 1997). Aspek-aspek tersebut akan dipersepsikan remaja, kemudian persepsi remaja terhadap secure attachment yang terjalin antara remaja dengan ibu akan mempengaruhi kecerdasan emosional pada remaja akhir. Menurut (Ainsworth, 1997), dari kehangatan dan rasa nyaman yang diberikan oleh ibu akan menjadikan remaja aman ketika berada di dekat ibunya, dan remaja menjadi lebih bisa mengendalikan diri remaja ketika remaja sedang marah (Desmita, 2015). Menurut Goleman (2000) mengendalikan diri atau mengelola emosi merupakan kemampuan yang diperlukan untuk mengenali perasaan secara tepat. Hasil penelitian Lubis (2011) membuktikan bahwa adanya attachment yang diberikan orang tua terhadap remaja dapat membantu remaja dalam pengendalian diri, mengontrol diri dan mengurangi kenakalan pada remaja. Menurut Mussen P.H (1989) remaja yang tidak memiliki rasa nyaman dengan figur lekatnya akan memiliki harga diri, mudah merasa cemas, dan potensi perasaan depresi, dan keadaan emosional yang kurang baik. 14

15 Figur lekat juga mampu menunjukkan rasa simpatik terhadap anak mengerti kebutuhan anak (Ainsworth, 1997). Ibu merupakan orang yang cenderung memiliki perasaan yang lebih peka dan sensitif terhadap rangsangan yang diberikan oleh remaja, dari sikap ibu yang seperti ini maka remaja akan menilai bahwa ibu adalah orang yang selalu mengerti atau memahami diri remaja, dan juga anak bisa menjadi lebih empati kepada orang lain. Menurut De vito ( 2011) empati yaitu persepsi remaja terhadap kemampuan orang tua dalam merasakan perasaan orang lain. Menurut Goleman (2000) empatik atau mengenali emosi orang lain merupakan dasar dari keterampilan pribadi. Orang-orang yang empatik lebih peka dalam menangkap isyarat-isyarat sosial yang menindikasikan apa yang dibutuhkan dan diinginkan orang lain. Figur lekat seseorang yang responsif, mampu menyikapi kebutuhan akan rasa aman, rasa ingin dilindungi, dan selalu memberikan respon terhadap keinginan remaja (Ainsworth, 1997). Dari sikap ibu yang responsif terhadap tingkah laku yang ditunjukkkan oleh remaja, remaja menilai bahwa remaja cukup percaya diri untuk melibatkan diri dalam lingkungan sekitarnya (Papalia dkk, 2008). Dengan rasa aman yang juga diterima oleh remaja dari ibunya membuat remaja lebih bisa untuk bereksplorasi dengan lingkungannya, dan remaja merasa keterikatan ini membentuk dasar hubungan baik dengan lingkungan sosialnya. Menurut Goleman (2000) membina hubungan baik dengan lingkungan sosial merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain, orang-orang yang unggul dalam keterampilan ini dapat melakukan segala sesuatu dengan baik, remaja dapat melakukan interaksi dengan orang lain dengan lancar dalam pergaulan sosial. 15

16 Hasil penelitian Maentiningsih (2008) remaja yang mendapat dukungan dan kasih sayang orang tua dalam bentuk kelekatan yang aman (secure attachment) remaja akan mampu mencapai kebutuhan, aktualisasi diri, pengenalan diri dan membina hubungan baik dengan orang lain. Figur lekat orang dapat diandalkan, tempat di mana individu menggantungkan harapan dan kebutuhannya akan rasa aman dan nyaman, orang tua dapat diandalkan oleh anak terutama ketika anak membutuhkan dukungan atau dalam keadaan tertekan (Ainsworth, 1997). Ibu berusaha memberikan perhatian, pengertian dan pelukan ketika remaja merasakan membutuhkan dukungan, dengan sikap ibu yang dapat diandalkan remaja menjadi melekat erat pada ibunya, dan remaja menilai ketika remaja merasakan ketakutan atau mengira akan ditinggalkan ibu akan memberikan pelukan juga pengertian kepada remaja (Desmita, 2015). Monks dkk (2002) mengungkapkan, bahwa kelekatan individu dengan figur lekat menjadi awal kemampuan individu dalam kemampuan sosial dan menjadi dasar perkembangan individu pada setiap masa pertumbuhan. dari secure attachment pada akhirnya akan mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosional pada remaja akhir. Mu tadin (2002) menyebutkan bahwa kecerdasan emosional dipandang sebagai suatu aspek psikis yang sangat menentukan reaksi individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut peneliti sebelumnya yang dilakukan oleh Hermasanti (2009) membuktikan bahwa dari beberapa bentukbentuk kelekatan yang terjalin antara ibu dan remaja, secure attachment yang paling berpengaruh tinggi terhadap kecerdasan emosional pada remaja. 16

17 Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, maka disimpulkan bahwa ada hubungan antara persepsi remaja terhadap secure attachment dari ibu dengan kecerdasan emosional pada remaja akhir. D. Hipotesis Hipotesisi dalam penelitian ini yaitu ada hubungan positif antara persepsi terhadap secure attachment dari ibu dengan kecerdasan emosional pada remaja akhir. Artinya semakin tinggi persepsi terhadap secure attachment dari ibu, maka kecerdasan emosional remaja akhir akan semakin tinggi. Sebaliknya semakin rendah persepsi terhadap secure attachment dari ibu, maka kecerdasan emosional remaja akhir akan semakin rendah. 17

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan dari masa kanak-kanak menuju dewasa ditandai dengan adanya masa transisi yang dikenal dengan masa remaja. Remaja berasal dari kata latin adolensence,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelekatan. melekat pada diri individu meskipun figur lekatnya itu tidak tampak secara fisik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelekatan. melekat pada diri individu meskipun figur lekatnya itu tidak tampak secara fisik. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kelekatan 1. Defenisi Kelekatan (attachment) Menurut Bashori (2006) kelekatan adalah ikatan kasih sayang antara anak dengan pengasuhnya. Ikatan ini bersifat afeksional, maka

Lebih terperinci

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang HUBUNGAN KELEKATAN DAN KECERDASAN EMOSI PADA ANAK USIA DINI Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang ABSTRAK. Kelekatan (Attachment) merupakan hubungan emosional antara seorang anak dengan pengasuhnya

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SECURE ATTACHMENT DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJADI SMAN 2 PADANG. Winda Sari Isna Asyri Syahrina

HUBUNGAN ANTARA SECURE ATTACHMENT DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJADI SMAN 2 PADANG. Winda Sari Isna Asyri Syahrina HUBUNGAN ANTARA SECURE ATTACHMENT DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJADI SMAN 2 PADANG Winda Sari Isna Asyri Syahrina Fakultas Psikologi Universitas Putra Indonesia ABSTRAK Tujuan penelitian ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi BAB I PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa peralihan atau masa transisi dari masa anakanak ke masa dewasa yang disertai dengan perubahan (Gunarsa, 2003). Remaja akan mengalami berbagai perubahan dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB II LANDASAN TEORITIK BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1. Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan gabungan dari prestasi belajar dan pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi. Prestasi dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertama kalinya. resiprokal antara bayi dan pengasuhnya, yang sama-sama memberikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertama kalinya. resiprokal antara bayi dan pengasuhnya, yang sama-sama memberikan BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kelekatan 1. Pengertian kelekatan Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Keterikatan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Penyesuaian Sosial 2.1.1. Pengertian Penyesuaian Sosial Schneider (1964) mengemukakan tentang penyesuaian sosial bahwa, Sosial adjustment signifies the capacity to react affectively

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas di masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas di masyarakat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan bersosialisasi dengan lingkungannya, keluarga, sekolah, tempat les, komunitas, dan lainlain. Manusia pada hakikatnya

Lebih terperinci

TUGAS 2 STANDAR LAYANAN PEMBELAJARAN. OLEH : LENI YUMIATI, S.Kom., M.Kom UNIVERSITAS ANDALAS

TUGAS 2 STANDAR LAYANAN PEMBELAJARAN. OLEH : LENI YUMIATI, S.Kom., M.Kom UNIVERSITAS ANDALAS TUGAS 2 STANDAR LAYANAN PEMBELAJARAN OLEH : LENI YUMIATI, S.Kom., M.Kom UNIVERSITAS ANDALAS Carilah dan jelaskan klasifikasi karakteristik peserta didik didasarkan pada: a. Kecerdasan emosional b. teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterampilan sosial (social skill) adalah kemampuan untuk dapat berhubungan dan bekerjasama dengan orang lain. Keterampilan sosial meliputi beberapa hal, diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Hurlock,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional Pada tahun 1990 psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire pertama kali melontarkan istilah kecerdasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tidak mungkin dapat hidup sendiri. Di sepanjang rentang kehidupan, setiap manusia membutuhkan manusia lainnya untuk

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Makna kecerdasan emosional oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer

II. TINJAUAN PUSTAKA. Makna kecerdasan emosional oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KECERDASAN EMOSIONAL Makna kecerdasan emosional oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer pada Tahun 1990 (dalam Shapiro, 2001: 8), mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional ialah

Lebih terperinci

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. 1 BAB 1 PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. Dimulai dari masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan masa tua. Pada setiap masa pertumbuhan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Di usia remaja antara 10-13 tahun hingga 18-22 tahun (Santrock, 1998), secara

Lebih terperinci

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA PANTI ASUHAN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perkembangan merupakan perubahan ke arah kemajuan menuju terwujudnya hakekat manusia yang bermartabat atau berkualitas. Usia lahir sampai dengan pra sekolah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Musik Dalam Kehidupan Sehari-Hari 1. Definisi Musik Musik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu atau seni menyusun nada atau suara di urutan, kombinasi, dan hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian perilaku bullying Randall (2002) berpendapat bahwa Bullying dapat didefinisikan sebagai tindakan atau perilaku agresif yang disengaja untuk menyebabkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Altruis 2.1.1 Pengertian Altruis adalah suatu bentuk perilaku menolong berupa kepedulian untuk menolong orang lain dengan sukarela tanpa mengharapkan adanya imbalan atau balasan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

Seorang wanita yang telah berkeluarga dan memiliki anak, secara otomatis. memegang tanggung j awab membantu anak dalam mengembangkan semua

Seorang wanita yang telah berkeluarga dan memiliki anak, secara otomatis. memegang tanggung j awab membantu anak dalam mengembangkan semua BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. La tar Belakang Seorang wanita yang telah berkeluarga dan memiliki anak, secara otomatis memegang tanggung j awab membantu anak dalam mengembangkan semua potensi

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. KECERDASAN EMOSI a. Definisi Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Attachment Attachment atau kelekatan merupakan teori yang diungkapkan pertama kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969. Ketika seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk mampu mengatasi segala masalah yang timbul sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungan sosial dan harus mampu menampilkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

TINJAUAN PUSTAKA Remaja TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescent yang mempunyai arti tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki 5 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakekat Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional bukanlah merupakan lawan dari kecerdasan intelektual yang biasa kita kenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia hidup selalu dipenuhi oleh kebutuhan dan keinginan. Seringkali kebutuhan dan keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera. Selain itu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada hakekatnya manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat lepas berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk berkomunikasi atau bergaul dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian

BAB II LANDASAN TEORI. psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian BAB II LANDASAN TEORI A. Attachment 1. Pengertian Attachment Istilah attachment (kelekatan) pertama kali dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian formulasi

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu

BAB V PEMBAHASAN. program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu BAB V PEMBAHASAN Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistimatis melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu mengembangkan potensinya,

Lebih terperinci

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR Laelasari 1 1. Dosen FKIP Unswagati Cirebon Abstrak Pendidikan merupakan kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih jauh mengenai teori-teori yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih jauh mengenai teori-teori yang BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih jauh mengenai teori-teori yang menjelaskan mengenai pengertian perkembangan, pengertian emosi, dan pengertian pendidikan anak usia dini. A. Pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelegensi atau akademiknya saja, tapi juga ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa usia dini anak mengalami masa keemasan (the golden age)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa usia dini anak mengalami masa keemasan (the golden age) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa usia dini anak mengalami masa keemasan (the golden age) yang merupakan masa dimana anak mulai peka dan sensitif untuk menerima berbagai rangsangan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan dan Emosi Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi: kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang merupakan keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat kecerdasan intelektual atau Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. tingkat kecerdasan intelektual atau Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual atau Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Semangat Kerja 1. Definisi Semangat Kerja Davis & Newstrom (2000) menyebutkan bahwa semangat kerja adalah kesediaan perasaan maupun perilaku yang memungkinkan seseorang bekerja

Lebih terperinci

Psikologi Kepribadian I. Psikologi Psikologi

Psikologi Kepribadian I. Psikologi Psikologi MODUL PERKULIAHAN Psikologi Kepribadian I Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 06 61101 Abstract Dalam perkuliahan ini akan didiskusikan pembahasan teori attachment

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

Perkembangan dari Attachment (kelekatan) Kita harus memakai orang yang khusus di dalam kehidupan yang dapat membimbing anak-anak untuk merasakan rasa

Perkembangan dari Attachment (kelekatan) Kita harus memakai orang yang khusus di dalam kehidupan yang dapat membimbing anak-anak untuk merasakan rasa PERKEMBANGAN ATTACHMENT (KELEKATAN) Perkembangan dari Attachment (kelekatan) Kita harus memakai orang yang khusus di dalam kehidupan yang dapat membimbing anak-anak untuk merasakan rasa senang. Apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress (santrock, 2007 : 200). Masa remaja adalah masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak selalu membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, kehidupan yang semakin kompleks dengan tingkat stressor

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA KELEKATAN DENGAN KECERDASAN EMOSI PADA REMAJA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 KARANGANYAR SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA POLA KELEKATAN DENGAN KECERDASAN EMOSI PADA REMAJA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 KARANGANYAR SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA POLA KELEKATAN DENGAN KECERDASAN EMOSI PADA REMAJA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 KARANGANYAR SKRIPSI Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Keterampilan Sosial 2.1.1. Pengertian Keterampilan Sosial Penyesuaian sosial merupakan salah satu aspek psikologis yang perlu dikembangkan dalam kehidupan individu, mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. E. Latar Belakang Masalah. Remaja biasanya mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat

BAB I PENDAHULUAN. E. Latar Belakang Masalah. Remaja biasanya mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat BAB I PENDAHULUAN E. Latar Belakang Masalah Remaja biasanya mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat dalam kehidupannya. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan yang begitu pesat dan perkembangan mental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang kerap muncul dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan formal di Indonesia merupakan rangkaian jenjang pendidikan yang wajib dilakukan oleh seluruh warga Negara Indonesia, di mulai dari Sekolah Dasar

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI KEIKUTSERTAAN DALAM EKSTRAKURIKULER BOLA BASKET DENGAN TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL

HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI KEIKUTSERTAAN DALAM EKSTRAKURIKULER BOLA BASKET DENGAN TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan jasmani merupakan bagian dari proses pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan manusia karena banyak perubahan-perubahan yang dialami di dalam dirinya. Seperti yang diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja selalu menjadi perbincangan yang sangat menarik, orang tua sibuk memikirkan anaknya menginjak masa remaja. Berbicara tentang remaja sangat menarik karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial, dimana mereka tidak dapat hidup seorang diri. Manusia selalu membutuhkan orang lain, baik untuk saling membantu, bekerja sama, bahkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merantau merupakan salah satu fenomena sosial yang memiliki dampak luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong seseorang untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses

BAB I PENDAHULUAN. Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses tumbuh kembang dengan pesat di berbagai aspek perkembangan. Salah satunya adalah aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ainsworth (dalam Helmi, 2004) mengartikan kelekatan sebagai ikatan afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini berlangsung lama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Berdasarkan sensus penduduk terbaru yang dilaksanakan pada tahun 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju. dewasa. Dimana pada masa ini banyak terjadi berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. dimana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju. dewasa. Dimana pada masa ini banyak terjadi berbagai macam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam perjalanan hidup manusia pasti akan mengalami suatu masa yang disebut dengan masa remaja. Masa remaja merupakan suatu masa dimana individu mengalami perubahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Remaja Karakteristik Remaja Jenis Kelamin

TINJAUAN PUSTAKA Remaja Karakteristik Remaja Jenis Kelamin 9 TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja merupakan masa transisi dari periode anak ke periode dewasa. Secara psikologi, kedewasaan adalah keadaan berupa sudah terdapatnya ciri-ciri psikologis pada diri seseorang.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Gelar Sarjana S-1 Psikologi Oleh : Nina Prasetyowati F

Lebih terperinci

MODUL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH ( PROBLEM-BASED INSTRUCTION) DILIHAT DARI GAYA BELAJAR DAN KECERDASAN EMOSIONAL

MODUL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH ( PROBLEM-BASED INSTRUCTION) DILIHAT DARI GAYA BELAJAR DAN KECERDASAN EMOSIONAL MODUL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH ( PROBLEM-BASED INSTRUCTION) DILIHAT DARI GAYA BELAJAR DAN KECERDASAN EMOSIONAL RATRI CANDRA HASTARI 1 1 STKIP PGRI TULUNGAGUNG 1 ratricandrahastari@gmail.com Abstrak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Proses kehidupan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN. Program PLPG PAUD UAD 2017

PENGEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN. Program PLPG PAUD UAD 2017 PENGEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN Program PLPG PAUD UAD 2017 PENTINGNYA PENGEMBANGAN SOSIAL 1. Anak perlu distimulasi dan difasilitasi, sehingga perkembangan sosialnya dapat berkembang dengan baik. Anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Beberapa pasangan suami istri menginginkan keturunan sebagai bagian dari keluarga mereka. Pasangan suami istri pasti berharap untuk mendapatkan anak yang sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang harus hidup di tengah lingkungan sosial. Melalui proses sosialisasi. mengadakan interaksi sosial dalam pergaulannya.

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang harus hidup di tengah lingkungan sosial. Melalui proses sosialisasi. mengadakan interaksi sosial dalam pergaulannya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada dasarnya sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau selalu membutuhkan orang lain dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Anak merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan dipelihara karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peneliti menganggap bahwa penelitian tentang kecerdasan emosional pada mahasiswa yang bekerja sangat penting, karena siapa pun dapat mengalami emosi, tak terkecuali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan dengan sempurna dan berbeda dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Manusia dilengkapi dengan akal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan suatu proses yang berlangsung secara aktif dan integratif untuk mencapai suatu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan suatu proses yang berlangsung secara aktif dan integratif untuk mencapai suatu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan suatu proses yang berlangsung secara aktif dan integratif untuk mencapai suatu tujuan. Salah satu tujuannya adalah pencapaian hasil belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku asertif sangat penting bagi setiap orang guna memenuhi segala kebutuhan dan keinginan, terutama pada mahasiswa, dimana harus menyelesaikan tugas perkembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga terdiri dari beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang menyenangkan dan nyaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi harapan orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sebagai orang tua harus mempersiapkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605). BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Kontrol Diri 1. Pengertian Kontrol Diri Kontrol diri adalah kemampuan untuk menekan atau untuk mencegah tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia 4-6 tahun merupakan waktu paling efektif dalam kehidupan manusia untuk mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. perasaan dan pendapat kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan orang itu,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. perasaan dan pendapat kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan orang itu, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Asertif 2.1.1 Pengertian Asertif Individu yang asertif menurut Sumihardja (Prabowo 2000) mempunyai pengucapan verbal yang jelas, spesifik dan langsung mampu mengungkap

Lebih terperinci

KELEKATAN PADA ANAK. Oleh : Sri Maslihah

KELEKATAN PADA ANAK. Oleh : Sri Maslihah KELEKATAN PADA ANAK Oleh : Sri Maslihah Anak yang satu tetap nempel pada bundanya padahal sudah saatnya masuk ke kelas, ada juga anak lain menangis begitu melihat ibunya harus keluar dari kelasnya sementara

Lebih terperinci

Perkembangan Emosi Anak

Perkembangan Emosi Anak Perkembangan Emosi Anak Pengembangan Kemampuan Emosi Anak Usia Dini oleh Setyawan Pujiono Perkembangan Bahasa Anak Usia Dini Universitas Negeri Yogyakarta PEDOMAN MERANGSANG PERKEMBANGAN EMOSI ANAK 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri tanpa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri tanpa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan individu lain. Interaksi antar individu terjadi sejak awal kehidupan seseorang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang dalam menjalankan kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usia sekolah menengah pertama pada umumnya berada pada usia remaja awal yaitu berkisar antara 12-15 tahun. Santrock (2005) (dalam http:// renika.bolgspot.com/perkembangan-remaja.html,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi, terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Emosi remaja sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Attachment merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh seorang psikolog dari Inggris John Bowlby pada tahun 1958 mengenai gambaran ikatan antara

Lebih terperinci

Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa

Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa 125120307111012 Pendahuluan Kemandirian merupakan salah satu aspek terpenting yang harus dimiliki setiap individu dan anak. Karena

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tahun Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tahun Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kecerdasan Emosi 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosional diperkenalkan oleh Salovey dan Mayer pada tahun 1990. Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbukanya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasar kan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasar kan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasar kan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, yaitu: 1. Nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,270; p= 0,003 (p

Lebih terperinci