BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

pekerja normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam sistem

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada dasarnya pengumpulan data yang dilakukan pada lantai produksi trolly

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 3 LANDASAN TEORI. pengukuran kerja ( work measurement ) yang meliputi teknik-teknik pengukuran waktu

PENGUKURAN WAKTU KERJA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB VI LINE BALANCING

Pengukuran Kerja Langsung (Direct Work Measurement)

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

PENGUKURAN WAKTU. Nurjannah

BAB II LANDASAN TEORI

PENYESUAIAN DAN KELONGGARAN TEKNIK TATA CARA KERJA II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Studi Gerak dan Waktu Studi gerak dan waktu terdiri atas dua elemen penting, yaitu studi waktu dan studi gerakan.

PERBAIKAN LINI FINISHING DRIVE CHAIN AHM OEM PADA PT FEDERAL SUPERIOR CHAIN MANUFACTURING DENGAN METODE KESEIMBANGAN LINI DAN METHODS TIME MEASUREMENT

KESEIMBANGAN LINI PRODUKSI PADA PT PAI

BAB 3 LANGKAH PEMECAHAN MASALAH

BAB 3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

By: Amalia, S.T., M.T. PENGUKURAN KERJA: FAKTOR PENYESUAIAN DAN ALLOWANCE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam analisa dan pemecahan masalah secara sistematis dan teratur perlu

III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

PENENTUAN KESEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI DENGAN MENGGUNAKAN METODE HELGESON-BIRNIE

BAB VI LINE BALANCING

ANALISIS KESEIMBANGAN LINTASAN LINE PRODUKSI DRIVE ASSY DI PT. JIDECO INDONESIA

Rating Factor Masing-masing Stasiun Kerja

BAB III LANDASAN TEORI

BAB 4 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

Perhitungan Waktu Baku Menggunakan Motion And Time Study

PENENTUAN JUMLAH STASIUN KERJA DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KESEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI DI PT. MERCEDES BENZ INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. rupa sehingga tidak ada waktu dan tenaga yang terbuang sia-sia sehingga dapat

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

PENENTUAN JUMLAH TENAGA KERJA DENGAN METODE KESEIMBANGAN LINI PADA DIVISI PLASTIC PAINTING PT. XYZ

ABSTRAK. i Universitas Kristen Maranatha

BAB 4 PEMBAHASAN MASALAH DAN ANALISA

ERGONOMI & APK - I KULIAH 8: PENGUKURAN WAKTU KERJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. manajemen pemasaran, dan manajemen keuangan. Berikut ini merupakan

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH. 4.1 Model Rumusan Masalah dan Pengambilan Keputusan Keseimbangan Lini

ANALISIS METODE MOODIE YOUNG DALAM MENENTUKAN KESEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI

Dalam menjalankan proses ini permasalahan yang dihadapi adalah tidak adanya informasi tentang prediksi kebutuhan material yang diperlukan oleh produks

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

MENINGKATKAN EFISIENSI LINTASAN KERJA MENGGUNAKAN METODE RPW DAN KILLBRIDGE-WESTERN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. waktu dan perbandingan kerja mengenai unsur pekerjaan tertentu yang. tersebut pada tingkat prestasi tertentu (Barnes, 2001).

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALISA PENYEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI CELANA NIKE STYLE X BERDASARKAN PENGUKURAN WAKTU BAKU PADA PT. XYZ. Benny Winandri, M.

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

PENINGKATAN EFISIENSI STASIUN KERJA DENGAN PENDEKATAN REGION LINE BALANCING ( STUDI KASUS DI PT. TRIANGLE MOTORINDO )

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Journal Knowledge Industrial Engineering (JKIE)

PERANCANGAN SISTEM KESEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI UNTUK MENGURANGI BALANCE DELAY GUNA MENINGKATKAN OUTPUT PRODUKSI

Analisis Kebutuhan Man Power dan Line Balancing Jalur Supply Body 3 D01N PT. Astra Daihatsu Motor Karawang Assembly Plant (KAP)

MINIMALISASI BOTTLENECK PROSES PRODUKSI DENGAN MENGGUNAKAN METODE LINE BALANCING

BAB 3 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. selesai sesuai dengan kontrak. Disamping itu sumber-sumber daya yang tersedia

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA

BAB 3 LANDASAN TEORI

ANALISIS KESEIMBANGAN LINI PADA LINTASAN TRANSMISI MF06 DENGAN PENERAPAN METODE RANKED POSITIONAL WEIGHT

BAB III LANDASAN TEORI. pekerjaan yang dijalankan dalam sistem kerja terbaik.

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS

LAMPIRAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

PERENCANAAN JUMLAH OPERATOR PRODUKSI DENGAN METODE STUDI WAKTU (STUDI KASUS PADA INDUSTRI PENGOLAHAN PRODUK LAUT)

Lampiran Perhitungan Uji Keseragaman dan Kecukupan Data

BAB VII SIMULASI CONVEYOR

METODE REGION APPROACH UNTUK KESEIMBANGAN LINTASAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISA PENINGKATAN KAPASITAS PRODUKSI PADA LINE ASSEMBLING TRANSMISI PT. X DENGAN METODE LINE BALANCING SKRIPSI

Analisis Efisiensi Operator Pemanis CTP dengan Westing House System s Rating

BAB I PENDAHULUAN. dan juga hasil sampingannya, seperti limbah, informasi, dan sebagainya.

BAB 2 LANDASAN TEORI

Universitas Bina Nusantara. Jurusan Teknik Industri Skripsi Sarjana Teknik Industri Semester Genap tahun 2006/2007

Transkripsi:

8 BAB II LANDASAN TEORI Keseimbangan lini produksi bermula dari lini produksi masal, dimana tugas-tugas yang dikerjakan dalam proses harus dibagi kepada seluruh operator agar beban kerja dari para operator merata. Jadi masalah keseimbangan adalah bagaimana agar suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan beban kerja setiap stasiun kerja menjadi seimbang dan menghasilkan jumlah keluaran atau output yang hampir sama persatuan waktu (rata-rata). Dengan kata lain keseimbangan lini yang dimaksud adalah persamaan kapasitas keluaran atau output dari setiap operasi berikutnya dalam suatu lintasan. Dimana apabila semua kapasitas keluaran atau output tersebut sama, maka tercapailah keseimbangan yang sempurna. Namun jika kapasitas keluaran atau output tersebut tidak sama, maka keluaran maksimum yang mungkin tercapai untuk lintasan tersebut secara keseluruhan akan ditentukan oleh operasi yang paling lambat dalam runtunan tersebut. Operasi yang paling lambat atau yang mengalami kemacetan (bootle neck) itulah yang akan membatasi arus pada lintasan tersebut. 2.1. Definisi Line Balancing Istilah line balancing atau penyeimbangan lini atau dengan nama lain assembly line balancing adalah suatu metode penugasan terhadap sejumlah pekerjaan ke dalam

9 stasiun kerja yang saling berkaitan dalam satu lini produksi sehingga setiap stasiun kerja memiliki waktu kerja yang besarnya tidak melebihi waktu siklus dari stasiun kerja tersebut. Hubungan atau saling keterkaitan antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya digambarkan dalam suatu precedence diagram atau precedence network (Bedworth, 1987). 2.2. Tujuan Line Balancing Banyak pendapat yang dilontarkan mengenai tujuan keseimbangan lini, diantaranya adalah menurut James L. Rigg yang mengatakan: untuk meminimumkan waktu menganggur dari operasi yang ditetapkan adalah dengan bekerja menurut prosedur yang berurutan. Pendapat yang hampir sama pula dilontarkan oleh James M. Moore, yang mengatakan bahwa tujuan dari keseimbangan lini adalah untuk meminimumkan waktu menganggur pada suatu lini dari seluruh stasiun kerja dengan cara tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan dari keseimbangan lini adalah untuk menghindarkan adanya waktu menganggur dari satu tingkat proses ke tingkat proses lainnya, dengan cara mengefektifkan sejumlah mesin yang ada serta menghindari bertumpuknya bahan dalam proses-proses tertentu, yang pada akhirnya akan memperlancar jalannya proses produksi secara keseluruhan.

10 2.3. Metode Umum Line Balancing Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyeimbangkan lintasan produksi, yaitu : A. Metode Analitik (Matematik) Merupakan metode yang dapat menghasilkan suatu solusi optimal. Contoh : Branch and Bound. B. Metode Heuristik Heuristik berasal dari bahasa Yunani yang berarti menemukan. Model heuristik ini pertama kali digunakan oleh Simon dan Newil untuk menggambarkan pendekatan tertentu untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan. Model heuristik menggunakan aturan-aturan yang logis dalam memecahkan masalah. Inti dari pendekatan secara heuristik adalah untuk mengaplikasikan secara selektif segala sesuatu yang dapat mengurangi bentuk permasalahan. Sebagai contoh, masalah produksi line balancing yang dapat dipecahkan dengan mengurangi keseluruhan sistem menjadi rangkaian line balancing sederhana yang dapat dipelajari secara analitis. Model heuristik tidak menjamin hasil yang optimal, tetapi model ini dirancang untuk menghasilkan strategi yang relatif lebih baik dengan mengacu pada pembatas-pembatas tertentu. Model heuristik ini banyak dipakai dalam masalah line balancing.

11 Kriteria pokok pendekatan dengan metode ini adalah : a. Pemecahan yang lebih baik dan lebih cepat b. Lebih murah daripada metode lainnya c. Usaha yang dikeluarkan relatif lebih kecil Beberapa metode heuristik yang umum dikenal : 1. Metode Hegelson-Birnie atau metode Ranked Positional Weight (RPW) Penggunaan metode ini didasarkan dari jumlah waktu dari operasi-operasi yang terkontrol dari sebuah stasiun kerja dengan operasi tertentu yang disebut sebagai bobot posisi. Cara penentuan bobot dari precedence diagram : dimulai dari proses akhir. Bobot (RPW) = waktu proses operasi tersebut + waktu proses operasi-operasi berikutnya. Pengelompokan operasi ke dalam stasiun kerja dilakukan atas dasar urutan RPW (dari yang terbesar) dan juga memperhatikan pembatas berupa waktu siklus. Langkah-langkah yang dilakukan pada metode ini adalah : a) Tentukan precedence diagram sesuai dengan keadaan yang sebenarnya b) Tentukan Positional weight (bobot posisi) untuk setiap elemen pekerjaannya dari suatu operasi dengan memperhatikan precedence diagram. Berikut cara penentuan bobot posisinya : Bobot (RPW) = Waktu proses operasi tersebut + waktu proses operasi berikutnya

12 Contoh: 20 ' 10 ' 1 2 5 ' 3 35 ' 20 ' 4 5 Gambar 2.1 contoh precedence diagram Penentuan bobot posisi: Bobot posisi untuk operasi 1 = 20 + 10 + 35 + 20 = 85 Bobot posisi untuk operasi 2 = 10 + 35 + 20 = 65 Bobot posisi untuk operasi 3 = 5 + 35 + 20 = 60 Dan seterusnya. c) Urutkan elemen operasi berdasarkan bobot posisi yang telah didapatkan pada langkah kedua. Pengurutan dimulai dari elemen operasi yng memiliki bobot posisi terbesar. d) Jika pada stasiun kerja terdapat waktu yang berlebihan ( waktu stasiun kerja melebihi waktu maksimum yang telah ditetapkan), maka pindahkan elemen operasi terakhir ke stasiun berikutnya. e) Ulangi langkah ke 3 dan ke 4 diatas sampai seluruh elemen operasi telah ditempatkan ke dalam stasiun kerja

13 2. Region Approach Teknik ini mendapatkan perhatian yang besar serta telah digunakan untuk memecahkan beberapa masalah keseimbangan lini dengan baik. Teknik ini merupakan sebuah prosedur heuristik, dimana pemilihan elemen untuk ditempatkan pada sebuah stasiun kerja didasarkan pada posisi elemen pada precedence diagram. Elemen-elemen yang berada di depan diagram merupakan elemen-elemen yang menjadi solusi pertama. Dengan memegang prinsip yang didasari pada Operation Process Chart (OPC) atau peta proses operasi yang ditransformasikan menjadi precedence diagram, maka dalam pelaksanaan metode ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : a) Membagi operasi dalam precedence diagram dalam beberapa region/daerah dengan syarat: dalam satu daerah tidak boleh ada operasi yang saling bergantungan. b) Susun ranking operasi dalam tiap daerah (dari waktu proses yang terbesar). c) Tentukan waktu siklus bagi tiap stasiun kerja. d) Kelompokkan operasi dalam stasiun kerja, berdasarkan syarat di point b dan c. e) Susun pola aliran produksi. Kelebihan metode ini dibandingkan dengan metode yang akan dibahas beikutnya yaitu Largest Candidate Rule, adalah dalam proses penugasan

14 elemen kerja precedence constraints tidak diperhatikan karena otomatis ditangani dengan adanya pengelompokkan elemen-elemen tersebut untuk tiap kolom yang ada pada precedence diagram. 3. Largest Candidate Rule Prinsip dasar dari metode ini adalah menggabungkan proses-proses atas dasar pengurutan operasi dari waktu terbesar. Sebelum dilakukan penggabungan harus ditentukan dahulu, berapa waktu siklus yang akan dipakai. Waktu siklus ini akan dijadikan pembatas dalam penggabungan operasi dalam satu stasiun kerja. C. Metode Probabilistik Metode penyeimbangan lini yang menggunakan pendekatan ini kurang dapat diterapkan, karena sulit pemakaiannya dan membutuhkan waktu yang lama untuk mencari solusinya, sehingga metode ini jarang digunakan dalam memecahkan masalah penyeimbangan lintasan produksi. D. Metode COMSOAL (Computer Method of Sequencing for Assembly Lines) Metode penyeimbangan lini yang menggunakan pendekatan ini kurang dapat diterapkan, karena sulit pemakaiannya dan membutuhkan waktu yang lama untuk mencari solusinya, sehingga metode ini jarang digunakan dalam memecahkan masalah penyeimbangan lintasan produksi.

15 2.4. Pengukuran Kerja Pengukuran kerja digunakan sebagai parameter untuk menentukan apakah tata cara kerja yang diterapkan selama ini sudah yang paling efisien, sehingga waktu yang digunakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan kualifikasi cukup dapat digunakan sebagai standar. 2.4.1. Sasaran Pengukuran Kerja Pada penilaian pengukuran baik atau tidaknya suatu sistem kerja, diperlukan prinsip-prinsip pengukuran kerja (work measurement ) yang meliputi teknik-teknik pengukuran waktu, tenaga, akibat-akibat psikologis, dan fisiologis yang ditimbulkan. Pengukuran waktu kerja (time study) bertujuan untuk memperoleh waktu baku penyelesaian pekerjaan yang akan dijadikan standar, yaitu waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh seorang pekerja normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan. Pengertian dari waktu baku adalah waktu yang wajar, normal, dan terbaik dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa waktu baku yang dicari tidak pada waktu penyelesaian pekerjaan yang dilakukan secara tidak wajar (terlalu cepat atau lambat), dan tidak ada waktu penyelesaian pekerjaan dengan keterampilan istimewa. Manfaat dari diterapkannya waktu baku, adalah : 1. Memberikan keterangan sebagai dasar taksiran untuk penawaran harga penjualan serta janji penyampaian barang. 2. Memberikan informasi mengenai perencanaan dan pembagian waktu produksi, termasuk yang diperlukan oleh pabrik dan tenaga kerja dalam rangka pelaksanaan serta pemanfaatan kapasitas mesin yang tersedia.

16 3. Menetapkan standar penggunaan mesin juga presentasi kerja yang digunakan sebagai informasi yang disebut diatas dan sebagai dasar penentuan upah perangsang (incentive). 4. Memberikan keterangan untuk pengawasan biaya tenaga kerja operator dan untuk menetapkan serta mempertahankan biaya standar. 2.4.2 Pengukuran Waktu Menggunakan Jam Henti (stop watch) Metode ini menggunakan jam henti sebagai alat utamanya. Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan. Hal ini disebabkan karena kesederhanaan aturan-aturannya. Ada tiga metode dalam menggunakan jam henti, yaitu ; 1. Continuous Timing (Pengukuran yang berlanjut terus) Dalam pengukuran ini, jam henti dimulai ada saat awal elemen pekerjaan pertama dilakukan dan tidak dihentikan sampai elemen pekerjaan itu selesai. Waktu elemen secara individu diperoleh dengan pengukuran waktu selesai. 2. Repetitive/Snapback Timing (Pengukuran yang berulang) Dalam pengukuran ini jam henti dimulai pada saat elemen pekerjaan pertama dilakukan dan berhenti saat akhir elemen ini, lalu kembalikan ke posisi awal (posisi nol), demikian seterusnya. Jadi pengukuran ini berdasarkan elemen pekerjaan.

17 3. Accumulative Timing (Pengukuran akumulatif) Pengukuran akumulatif adalah suatu metode yang melibatkan dua atau tiga jam henti. Di sini dua jam henti disusun di suatu holder dengan adanya suatu hubungan secara mekanik di antara jam henti. Dalam continuous timing, hubungan ini digerakkan sehingga pada saat terakhir elemen pekerjaan jam henti yang satu ini berhenti dibaca dan waktu elemen diperoleh dengan mengurangi bacaan yang diganti. Dalam repetitive timing, jam henti dikembalikan ke posisi nol setelah dibaca dan waktu elemen dapat dibaca langsung. Demikian pula dengan yang tiga jam henti. 2.4.3 Langkah-langkah Sebelum Melakukan Pengukuran (Sutalaksana, 1979) Untuk mendapatkan waktu yang wajar pada setiap pengerjaan proses produksi, maka harus diperhatikan kondisi kerja, operator, cara pengukuran, dan lain-lain. Agar tujuan tercapai, maka hal-hal yang harus dilakukan adalah: 1. Menetapkan Tujuan Pengukuran Dalam pengukuran waktu, hal penting yang harus diketahui dan ditetapkan adalah untuk apa hasil pengukuran digunakan, berapa tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan yang diinginkan dalam pengukuran tersebut. 2. Melakukan Penelitian Pendahuluan Dalam melakukan pengukuran, waktu yang dicari adalah waktu yang pantas diberikan kepada pekerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

18 Hal ini harus sesuai dengan kondisi yang bersangkutan. Bila kondisi ini sudah baik, pengukuran waktu ini dapat dicari. Akan tetapi, bila kondisi tidak baik, hal ini harus diperbaiki terlebih dahulu agar waktu yang diperoleh adalah waktu yang pantas (Sutalaksana, 1979) 3. Memilih Operator Operator yang dipilih adalah operator yang berkemampuan normal dan dapat diajak bekerja sama. Berdasarkan penyelidikan, distribusi kemampuan pekerja akan mengikuti seperti yang diperlihatkan pada gambar dibawah ini. Terlihat bahwa orang-orang (pekerja) yang berkemampuan rendah dan berkemampuan tinggi jumlahnya hanya sedikit. Sedangkan yang bekemampuan rata-rata jumlahnya banyak, jadi yang dicari disini adalah waktu penyelesaian pekerjaan yang secara wajar diperlukan oleh pekerja-pekerja normal, yang merupakan orang-orang yang berkemampuan rata-rata. Adapun operator yang dipilih haruslah orang-orang yang pada saat pengukuran mau bekerja secara wajar. Jumlah Pekerja Rendah Rata-rata Tinggi Kemampuan Kerja Gambar 2.2 Distribusi Kemampuan Kerja

19 4. Melatih Operator Bila kondisi dan cara yang digunakan tidak sama dengan yang biasa dijalankan oleh operator, maka diperlukan latihan bagi operator tersebut. Hal ini dilakukan agar operator terbiasa dengan kondisi dan cara kerja yang ditetapkan. Karena pengukuran yang dicari adalah waktu penyelesaian pekerjaan yang diperoleh dari suatu penyelesaian yang wajar. Gambar berikut ini menunjukkan kurva perkembangan penguasaan pekerjaan oleh operator sejak mulai mengenalnya sampai terbiasa. Operator baru dapat diukur bila sudah berada pada tingkat penguasaan yang maksimum, pada kurva ditunjukkan oleh garis stabil yang mendatar. Di samping biasanya tercermin pada gerakan-gerakan yang halus (tidak kaku), berirama, dan tanpa banyak melakukan perencanaan-perencanaan gerakan. Tingkat Penguasaan Kurva Belajar Waktu Gambar 2.3 Kurva Belajar

20 5. Menguraikan Pekerjaan Atas Elemen-Elemen Pekerjaan Pekerjaan ini dipecah menjadi elemen-elemen pekerjaan (gerakan bagian dari pekerjaan yang bersangkutan) dimana elemen-elemen inilah yang diukur waktunya. Lalu diperoleh waktu siklus, adalah waktu penyelesaian satu satuan produk sejak bahan baku mulai diproses di tempat kerja. Penguraian pekerjaan atas elemen-elemen pekerjaan penting diharapkan : a) Untuk memperjelas catatan tentang cara kerja yang dibakukan. b) Untuk melakukan penyesuaian bagi setiap elemen c) Untuk memudahkan mengamati terjadinya elemen yang tidak baku yang mungkin dilakukan operator. d) Untuk memungkinkan dikembangkannya data Waktu Standar di tempat kerja yang bersangkutan. 6. Menyiapkan Alat-alat Pengukuran Ini merupakan langkah terakhir sebelum melakukan pengukuran dimana alat-alat pengukuran yang dibutuhkan harus disiapkan. Alat-alat tersebut adalah: a) Jam henti (stop watch) b) Lembaran pengamatan c) Pena atau pensil d) Papan pengamatan

21 2.5 Metode Pengujian Data 2.5.1 Pengukuran Pendahuluan (Sutalaksana, 1979) Tujuan melakukan pengukuran pendahuluan adalah untuk mengetahui berapa kali pengukuran harus dilakukan untuk tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan yang diinginkan. Tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan merupakan pencerminan tingkat kepastian yang diinginkan oleh pengukur setelah memutuskan tidak akan melakukan pengukuran yang banyak. Tingkat ketelitian menunjukkan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya (biasanya dinyatakan dalam persen). Tingkat keyakinan menunjukkan besarnya keyakinan pengukur bahwa hasil yang diperoleh memenuhi syarat penelitian tadi (dinyatakan dalam persen). Uji kenormalan Data Faktor penyesuaian Waktu Siklus Waktu Siklus Rata-rata Waktu Normal Waktu Standar (Baku) Uji Kecukupan dan Keseragaman Data Faktor Kelonggaran Gambar 2.4 Urutan Pengukuran Waktu Kerja

22 2.5.2. Uji Kenormalan Data Uji ini dilakukan terhadap data-data waktu yang sudah diperoleh untuk menentukan apakah suatu populasi mempunyai distribusi teoritis tertentu. Uji didasarkan atas kesesuaian frekuensi terjadinya amatan dalam sample yang diamati dengan frekuensi harapan yang diperoleh dari distribusi yang dihipotesiskan. Dalam melakukan pengujian kenormalan data, digunakan uji kebaikan sesuai chi square. Di bawah ini dapat dilihat langkah-langkah dalam melakukan uji kenormalan data (Walpole, 1993). a. Hitung rata-rata dan simpangan baku sample Rumus : N Σ xi i=1 x =... (2.1) N N S = Σ (xi x ) 2 i=1... (2.2) Dimana : x S Xi N N 1 = harga rata-rata sample = simpangan baku sample = data sample pengamatan ke-i = Jumlah pengamatan

23 b. Kelompokkan data ke dalam kelas-kelas dan hitung nilai z untuk masingmasing kelas. Rumus : K = 1 + 3.3 log N... (2.3) Dimana : K N = jumlah kelas = jumlah data pengamatan Nilai Z dapat dicari dengan rumus : BKB x Z 1 =... (2.4) S BKA x Z 2 =... (2.5) S Dimana : BKA = nilai batas kelas atas BKB = nilai batas kelas bawah Z = nilai standar normal c. Hitung luas area antara Z 1 dan Z 2 dari setiap interval kelas yang ada dengan menggunakan tabel kurva normal. Rumus : Luas = P(Z 1 <Z< Z 2 ) P (Z< Z 1 )... (2.6)

24 d. Hitung frekuensi harapan untuk tiap kelas. Rumus : E i = (Luas i ) x N... (2.7) Dimana : Luas I = luas area di bawah kurva normal untuk nilai Z dari kelas ke-i e. Hitung nilai X 2 dari data yang terkumpulkan dengan rumus : K (Oi Ei) 2 X 2 = Σ... (2.8) I=1 Ei Dimana : Oi X 2 = frekuensi teramati dari sample = nilai variable random yang distribusinya didekati dengan distribusi chi- square. Untuk taraf keberartian α, dicari nilai kritis X 2 α dari tabel distribusi chi Square dengan derajat kebebasan v sama dengan jumlah kelas interval hitungan k dikurangi jumlah besaran yang diperlukan untuk menghitung frekuensi harapan. Maka X 2 > X 2 α menyatakan daerah kritis. Teori ini berlaku dengan syarat frekuensi harapan Ei 5. Apabila X 2 > X 2 α, maka tidak ada alasan untuk menolak hipotesis nol dan disimpulkan bahwa data berdistribusi normal. Sebelum data awal ini terbukti normal, maka sebaiknya tidak dilanjutkan pada pengolahan selanjutnya

25 sebelum data yang ada diperbaiki dengan menambahkan data yang ada. Jika keseluruhan data berdistribusi normal, maka baru dilakukan pengujian validasi data yang meliputi pengujian keseragaman data dan pengujian kecukupan data. 2.5.3. Uji Keseragaman Data Pada proses uji keseragaman data ini, data yang telah dikumpulkan dari hasil pengukuran pendahuluan dikelompokkan ke dalam subgrup-subgrup. Setelah itu datadata dalam subgrup tersebut diuji keseragamannya dengan memperhatikan apakah subgrup data tersebut berada dalam batas kontrol. Langkah-langkah pengujian keseragaman data sebagai berikut : a. Kelompokkan data-data ke dalam subgrup. Data pengukuran waktu dikelompokkan ke dalam subgrup yang beranggotakan sama dan dilakukan secara berurutan Tabel 2.1 Pengelompokkan Data Waktu Penyelesaian No. Subgrup Waktu Penyelesaian Berturut-turut 1 X11 X12 X13 X1n 2 X21 X22 : X23 X2n : : :....: : : : :....: M Xm1 Xm2 Xm3.Xmn Jumlah Rata-rata Subgrup X1 X2 X3 X4 Xk Xi

26 Dimana: Xij m n = data ke-i pada subgrup ke-j = jumlah subgrup = banyak data dalam subgrup ke-j b. Hitung rata-rata dan simpangan baku subgrup. Menghitung rata-rata subgrup Dimana: _ x j n Σ x ij j=1 x j =... (2.9) n = harga rata-rata subgrup ke-j Menghitung harga rata-rata dari harga rata-rata subgroup m Σ x i _ i=1 x =... (2.10) m Dimana: _ x = harga rata-rata dari seluruh subgrup c. Menghitung simpangan baku sample N _ σ = Σ (xi x) 2 i=1. (2.11) N 1

27 Dimana: σ = simpangan baku sampel Menghitung simpangan baku dari distribusi harga rata-rata subgrup dengan : σ σ =... (2.12) n Dimana : σ x= standar deviasi dari distribusi harga rata-rata subgrup d. Menentukan batas kendali atas (BKA) dan batas kendali bawah (BKB) : BKA = x + Zσ 8... (2.13) BKB = x - Zσ 8... (2.14) Dimana: Z = nilai fungsi tingkat kepercayaan pada tabel normal e. Menentukan apakah harga rata-rata subgrup tersebut masuk ke dalam BKA dan BKB. Jika tidak maka subgrup tersebut harus dibuang, setelah itu melakukan pengulangan dari langkah di atas hingga data benar-benar seragam 2.5.4 Uji Kecukupan Data Pengujian ini dilakukan untuk menentukan apakah data yang diperoleh telah cukup untuk mewakili seluruh data yang ada, untuk melakukan perhitungan selanjutnya.

28 Data dapat dikatakan cukup apabila diperoleh N (jumlah data dari perhitungan) lebih kecil dari N (jumlah data yang telah ada). Dan sebaliknya bila data kurang (N >N) perlu ditambahkan data lagi sebanyak N N (Barnes, 1980). 2 Z x N x s N =... (2.15) N Σ xi ( % p) i=1 Dimana: x N = jumlah total waktu = banyak data sebenarnya N = banyak data yang dibutuhkan % p = tingkat ketelitian 2.6 Menghitung Waktu Baku (Sutalaksana, 1979) Kegiatan pengukuran waktu dikatakan selesai bila semua data yang diperoleh telah seragam dan jumlahnya telah memenuhi tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan yang diinginkan. Selanjutnya adalah mengolah data untuk menghitung waktu baku, yang diperoleh dengan langkah-langkah :

29 1. Menghitung waktu siklus N Σ xi ( % p) i=1 Ws = (2.16) N Dimana : Ws = waktu siklus rata-rata 2. Menghitung waktu normal Wn = Ws x p... (2.17) Dimana : Wn P = waktu normal = faktor penyesuaian Faktor ini diperhitungkan bila operator bekerja dengan tidak wajar, sehingga hasil perhitungan waktu perlu disesuaikan untuk mendapatkan waktu penyelesaian pekerjaan yang normal. p 1 bila operator bekerja dengan wajar p < 1 bila operator bekerja dengan lambat p > 1 bila operator bekerja dengan cepat 3. Menghitung waktu baku Wb = Wn x (1 + a). (2.18) Dimana : a = kelonggaran (allowance) yang diberikan kepada operator untuk menyelesaikan pekerjaannya.

30 Kelonggaran ini diberikan untuk hal-hal seperti kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatique, dan gangguan yang mungkin terjadi yang tidak dapat dihindarkan oleh operator (Sutalaksana, 1979). 2.6.1 Faktor Penyesuaian Penyesuaian adalah proses dimana analisa pengukuran waktu membandingkan penampilan operator (kecepatan atau tempo) dalam pengamatan dengan konsep pengukur sendiri tentang bekerja secara wajar (Sutalaksana, 1979). Selama pengukuran berlangsung, pengukur harus mengamati kewajaran kerja yang ditunjukkan operator. Ketidakwajaran dapat saja terjadi misalnya bekerja tanpa kesungguhan, sangat lambat karena disengaja, sangat cepat karena seolah dikejar waktu, atau menjumpai kesulitan seperti kondisi ruangan yang buruk. Hal-hal inilah yang mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu cepat atau terlalu lambat dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Waktu baku yang telah kita cari adalah waktu yang diperoleh dari kondisi dan cara kerja yang diselesaikan secara wajar dan benar oleh operator. Bila ketidakwajaran terjadi, maka pengukur harus menilainya dan berdasarkan penilaian inilah penyesuaian dilakukan. 2.6.1.1 Beberapa Metode Dalam Menentukan Faktor Penyesuaian Beberapa metode yang digunakan dalam menentukan faktor penyesuaian adalah : a. Metode Persentase Metode ini merupakan cara yang paling awal digunakan dalam melakukan penyesuaian dan merupakan cara yang paling mudah dan sederhana.

31 Kelemahan cara ini adalah mudah terlihat kekurangtelitian sebagai akibat dari kasarnya cara penilaian. Pada metode ini, faktor penyesuaian sepenuhnya ditentukan oleh si pengukur melalui pengamatannya selama melakukan pengukuran. Waktu normal diperoleh dengan mengalihkan waktu siklus dengan faktor penyesuainnya (dalam persentase). b. Metode Schumard Schumard memberikan batasan penilaian melalui kelas-kelas performansi kerja dimana setiap kelas mempunyai nilai sendiri-sendiri. Tabel berikut ini merupakan tabel Schumard yang menunjukkan besarnya penyesuaian masingmasing kelas. Tabel 2.2 Penyesuaian Schumard Superfast Fast + Fast Fast Excellent Good + Good 100 95 90 85 80 75 70 Good Normal Fair + Fair Fair Poor 65 60 55 50 45 40 Seseorang dianggap bekerja normal diberi nilai 60, dengan mana performance kerja yang lain dibandingkan untuk menghitung faktor penyesuaian.

32 Misal performance seorang operator adalah good, maka ia diberi nilai 70, dan faktor penyesuaiannya adalah 70/60 = 1,167. Jika waktu siklus pekerjaan terhitung 50,4 detik, maka waktu normalnya: Wn = 50,4 x 1,167 = 58,8168 c. Metode Westinghouse Pada metode ini terdiri dari 4 faktor yang menentukan kewajaran dan ketidakwajaran dalam bekerja, yaitu keterampilan, usaha, kondisi kerja serta konsistensi. Keterampilan atau skill adalah mengikuti cara kerja yang ditetapkan. Latihan dapat meningkatkan keterampilan kerja tingkat tertentu. Keterampilan dapat menurun bila terlalu lama tidak menangani pekerjaan tersebut, kesehatan terganggu, rasa fatique berlebihan, dan lain-lain.

33 Tabel 2.3. Penyesuaian Menurut Westinghouse FAKTOR KELAS LAMBANG PENYESUAIAN Superskill A1 0.15 A2 0.13 Excellent B1 0.11 B2 0.08 C1 0.06 Good KETERAMPILAN C2 0.03 Average D 0 Fair E1-0.05 E2-0.1 Poor F1-0.16 F2-0.22 Excessive A1 0.13 A2 0.12 Excellent B1 0.1 B2 0.08 C1 0.05 Good USAHA C2 0.02 Average D 0 Fair E1-0.04 E2-0.08 Poor F1-0.12 F2-0.17 Ideal A 0.06 Excellent B 0.04 KONDISI KERJA Good C 0.02 Average D 0 Fair E - 0.03 Poor F - 0.07 Perfect A 0.04 Excellent B 0.03 KONSISTENSI Good C 0.01 Average D 0 Fair E - 0.02 Usaha atau effort merupakan kesungguhan yang diberikan atau ditunjukkan operator dalam melakukan pekerjaannya. Kondisi kerja merupakan kondisi fisik lingkungannya seperti keadaan pencahayaan, temperatur dan kebisingan

34 ruangan. Faktor ini disebut faktor manajemen karena pihak ini yang berwenang mengubah dan memperbaikinya. Tabel 2.1 diatas ini merupakan tabel Westinghouse yang menunjukkan angka-angka yang diberikan bagi setiap kelas dari faktor-faktor di atas. Dalam keadaan wajar faktor p = 1, sedangkan terhadap penyimpangan dari keadaan ini harga p ditambah dengan angka-angka yang sesuai dengan keempat faktor di atas. Misalnya waktu siklus rata-rata = 110,15 dan waktu ini dicapai dengan keterampilan pekerja yang dinilai fair ( E1 ), usaha good ( C1 ), kondisi good ( C ) dan konsistensi poor ( F ), maka tambahan terhadap p = 1 adalah: Keterampilan : Fair E1 = -0,05 Usaha : Good C1 = +0,05 Kondisi : Good C = +0,02 Konsistensi : Poor F = -0,04 + Jumlah = -0,02 Jadi p = 1-0,02 = 0,98 = 98,147 detik. d. Metode Objektif Metode ini memperhatikan 2 faktor yaitu : kecepatan dan tingkat kesulitan pekerjaan. Kecepatan kerja adalah kecepatan dalam melakukan pekerjaan dalam pengertian biasa. Jika operator bekerja normal maka p = 1. Kecepatannya terlalu tinggi p > 1 dan kecepatan terlalu lambat p < 1. Cara menentukan p ini sama dengan cara menentukan faktor penyesuaian dengan persentase.

35 Untuk tingkat kesulitan kerja, faktor penyesuaian disebut p2. Tabel berikut ini merupakan tabel objektif yang menunjukkan berbagai keadaan kesulitan kerja. Misalnya bila untuk suatu pekerjaan diperlukan gerakan-gerakan lengan bagian atas, siku, pergelangan tangan dan jari ( C ), tidak ada pedal kaki ( F ), kedua tangan bekerja bergantian ( L ), alat yang dipakai hanya memerlukan sedikit kontrol ( O ) dan berat benda yang ditangani 1,38 kg, maka : Bagian badan yang dipakai : C = 2 Pedal kaki : F = 0 Cara menggunakan kekuatan tangan : H = 0 Koordinasi mata dengan tangan : L = 7 Peralatan : O = 1 Berat : B-3 = 6 + Jumlah : 16 Sehingga p2 = (1 + 0,16) = 1,16. Faktor penyesuaian dihitung p1 x p2, jika p1 = 0,9 dan p2 = 1,16, maka faktor penyesuaian operator yang bersangkutan adalah 0,9 x 1,16 = 1,044. 2.6.2. Faktor Kelonggaran Waktu normal suatu pekerjaan tidak terdiri atas kelonggaran. Suatu hal yang tidak mungkin bahwa seseorang terus-menerus bekerja seharian tanpa gangguan. Operator mungkin mengambil waktu untuk kebutuhan pribadi, untuk istirahat, dan hambatanhambatan yang tidak dapat dihindarkan.

36 Terdapat 3 macam faktor kelonggaran, yaitu : 1. Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi Yang termasuk dalam kelonggaran pribadi adalah hal-hal seperti minum sekedar hanya untuk menghilangkan rasa haus, untuk menghilangkan ketegangan atau kejemuan dalam bekerja. Kebutuhan seperti ini adalah hal yang mutlak, bila dilarang akan mengakibatkan pekerja stress dan tidak dapat bekerja dengan baik. 2. Kelonggaran untuk menghilangkan rasa fatique Rasa fatique tercermin bila menurunnya hasil produksi baik jumlah maupun kualitas. Bila rasa fatique telah datang dan pekerja harus bekerja untuk menghasilkan performance normalnya, maka usaha yang dikeluarkan pekerja lebih besar dari keadaan normal dan hal ini akan menambahkan rasa fatique. 3. Kelonggaran untuk hambatan yang tak terhindarkan Dalam melaksanakan pekerjaan, pekerja pasti mendapatkan hambatanhambatan. Hambatan-hambatan ini terbagi atas hambatan yang dapat dihindarkan dan hambatan yang tidak dapat dihindarkan. Hambatan yang dapat dihindarkan seperti mengobrol yang berlebihan dan mengganggur dengan sengaja. Hal-hal seperti ini dapat dihilangkan. Yang termasuk dalam hambatan yang tidak terhindarkan adalah menerima atau meminta petunjuk pengawas, melakukan penyesuaian mesin, memperbaiki kemacetan-kemacetan singkat,

37 mengasah peralatan gerinda, dan lain-lain. Hal-hal seperti ini hanya dapat diusahakan serendah mungkin. 2.6.2.1 Perhitungan Waktu Menggunakan Faktor Kelonggaran Langkah pertama adalah menentukan besarnya kelonggaran untuk ketiga hal di atas yaitu untuk kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa lelah dan hambatan yang tidak terhindarkan. Dua hal pertama antara lain dapat diperoleh dari tabel kelonggaran yang dilampirkan yaitu dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang sesuai dengan pekerjaan yang bersangkutan. Untuk yang ketiga dapat diperoleh melalui pengukuran khusus seperti sampling pekerjaan. Kesemuanya, yang biasanya masing-masing dinyatakan dalam persentase dijumlahkan dan kemudian mengalihkan jumlah ini dengan waktu normal yang telah dihitung sebelumnya. Misalnya suatu pekerjaan yang sangat ringan yang dilakukan sambil duduk dengan gerakan-gerakan yang terbatas, membutuhkan pengawasan mata terus menerus dengan pencahayaan yang kurang memadai, temperatur dan kelembaban ruangan normal, sirkulasi udara yang baik, tidak bising. Dari tabel didapat persentase kelonggaran untuk kebutuhan pribadi dan untuk rasa fatique sebagai berikut: (7 + 0 + 3+ 5 + 2,5 + 2) % = 19,5% Jika dari sampling pekerjaan didapat bahwa kelonggaran untuk hambatan yang tidak terhindarkan adalah 5%, maka kelonggaran total yang harus diberikan untuk pekerjaan itu adalah (19,5 + 5)% = 24,5%.

38 Jika waktu normalnya telah dihitung sama dengan 5,5 menit, maka waktu bakunya adalah: 5,5 x (1 + 0,245) = 6,85 menit. 2.7 Peta Proses Operasi (Sutalaksana, 1979) Peta proses operasi merupakan suatu diagram yang memberikan gambaran mengenai langkah-langkah proses yang dialami bahan baku mengenai urutan-urutan operasi dan pemeriksaan, mulai dari awal hingga menjadi produk jadi ataupun sebagai komponen. Jadi yang akan dibahas dalam suatu peta proses operasi hanya mengenai kegiatan-kegiatan operasi dan pemeriksaan saja, hanya saja kadang-kadang pada akhir dari proses dicatat mengenai proses penyimpanan. Dengan adanya informasi-informasi yang dapat dicatat melalui peta proses operasi, maka kita dapat memperoleh manfaatnya, yaitu: 1. Dapat mengetahui kebutuhan akan mesin dan penganggarannya. 2. Dapat memperkirakan kebutuhan akan bahan baku (dengan memperhitungkan efisiensi tiap operasi/pemeriksaan). 3. Sebagai alat untuk menentukan letak pabrik. 4. Sebagai alat untuk melakukan perbaikan cara kerja yang sedang dipakai. 5. Sebagai alat untuk latihan kerja. Untuk dapat membuat (menggambarkan) suatu peta proses operasi dengan baik, terdapat beberapa prinsip yang penting untuk diikuti:

39 1. Pertama-tama pada baris bagian atas dinyatakan Peta Proses Operasi yang diikuti oleh identifikasi lain seperti: nama objek, nama pembuat peta, tanggal dipetakan, nomor peta dan nomor gambar. 2. Material yang akan diproses diletakkan di atas garis horizontal, yang menunjukkan bahwa material tersebut masuk ke dalam proses. 3. Lambang-lambang ditempatkan dalam arah vertikal, yang menunjukkan terjadinya perubahan proses. 4. Pencatatan nomor terhadap suatu kegiatan operasi diberikan secara berurutan sesuai dengan urutan operasi yang dibutuhkan untuk pembuatan produk tersebut atau sesuai dengan proses yang terjadi. 5. Pencatatan nomor terhadap suatu kegiatan pemeriksaan diberikan secara tersendiri dan prinsipnya sama dengan pencatatan nomor untuk kegiatan operasi. 2.8 Faktor Pembatas Bagi Pengalokasian Elemen Kerja Dalam melakukan pengalokasian elemen-elemen kerja untuk tiap stasiun kerja terdapat beberapa faktor pembatas yang perlu dipahami, yaitu : 1. Precedence Constraints Dalam suatu proses perakitan terdapat dua kemungkinan yang ada, yaitu ada dan tidak adanya saling ketergantungan antar komponen-komponen dalam proses pengerjaannya. Apabila tidak ada ketergantungan antar komponen berarti setiap komponen mempunyai kesempatan untuk dilaksanakan pertama kali dan

40 dibutuhkan prosedur penyelesaian untuk menentukan prioritas komponen yang akan dikerjakan lebih dahulu. Sedangkan apabila terdapat ketergantungan antar komponen berarti komponen yang satu baru dapat dikerjakan jika komponen sebelumnya telah selesai dikerjakan. Pembatas ketergantungan inilah yang dinamakan precedence constraints. Urutan proses dan ketergantungan dapat digambarkan dalam suatu diagram yang dinamakan precedence diagram. 2. Zoning Constraints Zoning Constraints atau pembatas daerah yang dimaksud ini terdiri atas : a. Positive Zoning Constraints (pembatas daerah positif) berarti elemen pekerjaan tertentu harus diletakkan secara berdekatan b. Negative Zoning Constraints (pembatas daerah negative) menyatakan apabila satu elemen pekerjaan lain sifatnya saling menggangu, maka sebaiknya tidak diletakkan saling berdekatan. 3. Positional Restrictions Pembatas posisi ini membatasi pengelompokkan elemen-elemen pekerjaan, karena orientasi produk terhadap operator yang sudah tertentu. 4. Facility Restrictions Pembatas fasilitas dilakukan akibat adanya suatu fasilitas atau mesin yang tidak dapat dipindahkan atau sudah merupakan fasilitas tetap.

41 2.9 Bagian-Bagian Penting Dari Line Balancing (Elsayed, 1994) Dalam definisi line balancing akan dijelaskan bagian-bagian yang perlu diketahui dalam line balancing, yaitu : a. Assembled Product Produk yang melewati suatu urutan stasiun kerja dimana pekerjaan-pekerjaan diatur, dan mencapai stasiun kerja akhir. b. Work Element Bagian dari keseluruhan pekerjaan dalam proses assembly. Jika didefenisikan N sebagai jumlah total dari elemen kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu assembly dan I adalah elemen kerja I dalam suatu proses dengan ketentuan I<1<N c. Work Station (WS) Lokasi pada assembly line dimana terdapat elemen-elemen kerja yang mendukung dalam assembly atau pembuatan suatu produk. Jumlah minimum dari stasiun kerja adalah K, dimana K harus >1. d. Cycle Time (CT) Cycle Time atau disebut juga waktu siklus merupakan waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk menyelesaikan dua assembly secara berturut-turut, dengan asumsi setiap assembly mempunyai kecepatan yang konstan. Nilai minimum dari waktu siklus suatu stasiun kerja harus lebih besar atau sama dengan waktu siklus keseluruhan proses produksi.

42 e. Balance Delay (BD) Adalah perbedaan antara waktu stasiun dengan waktu siklus, atau dapat disebut juga dengan idle time. f. Precedence Diagram (PD) Diagram yang menggambarkan urutan-urutan pekerjaan yang harus diselesaikan. Diagram ini juga menggambarkan saling ketergantungan pekerjaan antara elemen pekerjaan yang satu dengan elemen pekerjaan yang lain, dimana elemen pekerjaan yang mendahului tidak dapat dikerjakan sebelum elemen pekerjaan yang didahului dikerjakan lebih dahulu. Dalam line balancing (keseimbangan lintasan), faktor-faktor yang diperhatikan adalah (Elsayed, 1994) : Line Efficiency (Efisiensi Lini) Rasio dari total waktu stasiun terhadap keterkaitan waktu siklus dengan jumlah stasiun kerja yang dinyatakan dalam presentase. k ΣSTi i=1 LE = x 100%... (2.19) (k)(ct) Dimana : Sti k CT = Station Time atau waktu stasiun ke-i = Jumlah total stasiun kerja = Cycle Time atau waktu siklus terpanjang

43 Balance Delay (BD) Merupakan selisih antara waktu siklus dengan stasiun atau dengan kata lain jumlah antara balance delay dan line efficiency sama dengan 1. BD = 1 LE. (2.20) Smoothness Index (SI) Merupakan suatu index yang menunjukkan pencaran relatif dari suatu keseimbangan lini. Smoothness index sempurna jika nilainya 0 atau disebut keseimbangan yang sempurna (perfect balance). k SI = Σ (ST max Sti ) 2. (2.21) i=1 dimana : Stmax = waktu stasiun kerja terlama Sti k = waktu stasiun kerja ke-i = jumlah total stasiun kerja 2.10 Urutan Langkah Dalam Line Balancing (Dilworth, 1992) Urutan-urutan langkah yang perlu diketahui dalam melakukan penyeimbangan lini adalah : 1. Tentukan hubungan antara pekerjaan-pekerjaan yang terlibat dalam suatu lini produksi dan hubungan atau keterkaitan antara pekerjaan tersebut seperti digambarkan dalam precedence diagram.

44 2. Menentukan waktu siklus yang dibutuhkan dengan menggunakan rumus. Production time per hari CT =... (2.22) Output per hari (dalam unit ) Dimana : CT = cycle time atau waktu siklus Production time = waktu kerja efektif Output = kapasitas produksi 3. Menentukan jumlah minimum stasiun kerja teoritis yang dibutuhkan untuk memenuhi pembatas waktu siklus dengan menggunakan rumus : Jumlah total dari waktu pekerjaan tiap elemen N =. (2.23) Waktu siklus 4. Memilih metode untuk penyeimbangan lini. 5. Menghitung efisiensi stasiun kerja, efisiensi lini dan kehilangan keseimbangan lini berdasarkan metode yang dipilih untuk melihat performansi keseimbangan lintasan produksi. Rumus efisiensi stasiun kerja adalah : Efisiensi stasiun kerja = (Ti/Tmax) x 100%... (2.24) Dimana: Ti = waktu proses stasiun kerja Tmax = waktu proses stasiun kerja yang terlama