Tata Kelola Yang Tak Kunjung Membaik: Penilaian Masyarakat Sipil Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Hutan Dan Lahan Di 16 Kabupaten

dokumen-dokumen yang mirip
Hidup dan Sumber Daya Alam

LIMA TAHUN PEMBERLAKUAN UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK:

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan gambaran pelaksanaan UU KIP oleh Pemkab Kediri selama

Policy Brief Tata Kelola Kehutanan

LAPORAN KOMISI INFORMASI PROVINSI JAWA BARAT Tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun evaluasi.

PROFIL KABUPATEN SAMPANG (2014) Tahun berdiri Jumlah penduduk Luas Wilayah km 2

Transparansi merupakan komponen kunci

LUAS KAWASAN (ha)

PELAYANAN INFORMASI PUBLIK

Rasionalisasi. Anggaran Prioritas Untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan di Provinsi Riau Tahun Anggaran 2016

Tata Kelola Hutan Yang Baik Membutuhkan Informasi Kehutanan Yang Baik

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

LAPORAN PERMOHONAN INFORMASI

`````````````````` LAPORAN TAHUNAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI (PPID) PEMBANTU PELAKSANA

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

Laporan Tahunan Layanan Informasi Publik Tahun 2015 PPID Pembantu Dinas PSDA Provinasi Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH Jl. Pahlawan No. 12 Semarang Telp

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Dinas Perkebunan KEGIATAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB V PENUTUP. pemerintahan daerah masih cukup rendah. Komitmen Pemkab Sleman baru hanya

INDEKS TATAKELOLA PEMERINTAHAN PROVINSI RIAU

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

SALINAN. Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887);

LAPORAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN Daerah Istimewa Yogyakarta

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

LAPORAN TAHUNAN KOMISI INFORMASI KOTA CIREBON Sekretariat ; Jl. ARAFURU (Komplek TNI-AL Dewa Ruci) Tlp/Fax. (0231) , Kota Cirebon 45131

LAPORAN TAHUNAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK

II. PELAKSANAAN PELAYANAN INFORMASI

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

BAB VI PENUTUP. dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan BAB III Urusan Desentralisasi

BAB I P E N D A H U L U A N

LAPORAN TAHUNAN PELAYANAN INFORMASI PUBLIK PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI TAHUN 2013

SAMBUTAN KEPALA PERWAKILAN BPK RI PROVINSI KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PENYERAHAN HASIL PEMANTAUAN TLHP DAN LHP SEMESTER II TAHUN 2011

Bab II Perencanaan Kinerja

Materi Teknis RTRW Kabupaten Pidie Jaya Bab VIII

BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 59 TAHUN 2014 TENTANG

Ringkasan Laporan Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Penerapan UU di Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

Laporan Pelaksanaan Rencana Aksi Open Government Indonesia 2015

Undang-undang Keterbukaan Infomasi

Pemantauan Pelaksanaan KIP di Institusi Polri

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 77 TAHUN 2016 TENTANG

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

BAB I PENDAHULUAN. 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

Standar Operasional Prosedur (SOP) Percepatan. Program Inovasi Desa (PID)

PEMERINTAH PROVINSI BANTEN PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI (PPID)

PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012

BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 44 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

POTRET KETIMPANGAN v. Konsentrasi Penguasaan Lahan ada di sektor pertambangan, perkebunan dan badan usaha lain

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015

PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANA KERJA BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DAN PENANAMAN MODAL KOTA SALATIGA

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROSEDUR TUGAS POKOK DAN FUNGSI PPID RUMAH SAKIT JIWA MENUR

PPID PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR TAHUN 2015

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH RANCANGAN PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

LAPORAN TAHUNAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Tahun 2016

I. PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks dan tuntutan

KOTA BANDUNG DOKUMEN RENCANA KINERJA TAHUNAN BAPPEDA KOTA BANDUNG TAHUN 2016

MEWUJUDKAN TATAKELOLA PEMERINTAHAN DESA

LAPKIN SEKRETARIAT DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2015 BAB II

BAHAN DAN METODE Kerangka Konsep Penelitian Variabel Penelitian Pelaku kebijakan

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU

CAPAIAN IMPLEMENTASI 4 FOKUS AREA RENCANA AKSI Gerakan Nasional Penyelamatan Sektor Kelautan Indonesia Provinsi Kalimantan Utara

BUPATI TANA TORAJA PROVINSI SULAWESI SELATAN

Laporan Pelaksanaan Open Government Indonesia 2015

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION KALIMANTAN

LAPORAN KINERJA PENGELOLA PELAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI PPID PEMBANTU KELURAHAN PANGONGANGAN TAHUN 2017

Rumusan Hasil-hasil Sosialisasi dan Lokakarya Nasional Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) yang diselenggarakan pada tanggal 26 sampai 29 April 2016.

O L E H : M A H Y U D I N Y U S D A R

BAB I PENDAHULUAN. Page 1

Rencana kerja Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik Kabupaten Sumbawa Tahun 2017 disusun sebagai bahan acuan penyelenggaraan program dan

Laporan Tahunan Layanan Informasi Publik Tahun 2016 PPID Pembantu Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Jawa Tengah

Kebebasan dan keterbukaan tentu merupakan anugrah yang diharapkan. banyak pihak, terutama dalam iklim demokrasi yang ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

LAPORAN TAHUNAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK

Laporan Tahunan Layanan Informasi Publik Tahun Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Laporan Tahunan LAYANAN INFORMASI PUBLIK

Pemerintahan terbuka (Open Government) menjadi pondasi penting bagi penyelenggaraan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN INOVASI DAN DAYA SAING DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAH DAERAH

PERATURAN BUPATI KUNINGAN NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG

Untuk Kebutuhan Advokasi Pembaharuan Tata Kelola Hutan dan Lahan Tingkat Kabupaten

Penguatan Kapasitas Kelembagaan Melalui Kebijakan Insentif Anggaran Program DMO Kemenpar Terhadap Forum Tata Kelola Pariwisata di Kawasan Destinasi.

Kebebasan dan keterbukaan tentu merupakan anugrah yang diharapkan. banyak pihak, terutama dalam iklim demokrasi yang ditandai dengan adanya

LAPORAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK TAHUN 2014

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

Transkripsi:

Tata Kelola Yang Tak Kunjung Membaik: Penilaian Masyarakat Sipil Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Hutan Dan Lahan Di 16 Kabupaten Kondisi tutupan hutan di Kalimantan Barat, diambil dari udara pada tanggal 31 Mei 2014

Kredit Foto: Armin Hari A. Pengantar Dengan kawasan hutan di seluruh Indonesia sebanyak ± 120 juta Ha atau setara dengan 60% seluruh daratan di Indonesia, tata kelola kehutanan dan lahan serta tambang menjadi aspek yang perlu untuk diperhatikan. Studi Indeks Kelola Hutan dan Lahan (IKHL) ini dimaksudkan sebagai alat untuk mengukur tata kelola hutan dan lahan di tingkat kabupaten. Studi ini akan melihat kekurangan yang paling penting untuk ditangani dalam tiap sektor, serta membandingkannya antara daerah. Indeks ini juga mengukur perkembangan tata kelola hutan dan lahan di masing-masing kabupaten dalam kurun waktu 2012-2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana praktek tata kelola hutan dan lahan di tingkat kabupaten berjalan berdasarkan empat komponen tata kelola pemerintahan yang baik, yakni transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan koordinasi. Tata kelola hutan dan lahan di Indonesia terkait dengan beberapa keberadaan hukum yang memberikan jaminan legal sebagai landasan bagi pemerintah dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Salah satu indikator dalam tata kelola hutan, lahan dan tambang yang baik dapat dilihat dari partisipasi publik yang baik dan signifikan, baik dari proses perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan. Keterbukaan informasi merupakan sarana dalam prinsip transparansi dan partisipasi publik dalam proses tata kelola baik. Studi ini merupakan bagian penting dari keterlibatan masyarakat sipil dalam tata kelola, khususnya di tingkat daerah. Akan tetapi, partisipasi publik tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan informasi publik dan peranan aktif pemerintah. Bagaimanakah pemerintah daerah merespon terhadap keterbukaan informasi ini? Ketika transparansi dimaknai sebagai upaya pemerintah dalam menyediakan dan membuka akses informasi pada setiap tahapan pengelolaan sektor hutan dan lahan, apakah pemerintah telah bersikap proaktif, responsif atau malah mempersulit proses keterbukaan informasi ini? Apakah keterbukaan sudah diterapkan secara kelembagaan atau hanya sekedar menjadi pemenuhan prosedur? Studi ini juga akan memotret lebih jauh mengenai kondisi keterbukaan informasi baik di sisi pemerintah dan kelembagaannya, partisipasi serta permintaan masyarakat, jenis informasi hingga target penerima informasi.

Penyusunan skoring di atas dilakukan dengan menggunakan metode expert judgement. Expert judgement dalam pengertian praktisnya adalah pertimbangan/ pendapat ahli/ orang yang berpengalaman. Expert judgement digunakan untuk menguji validitas dan reliabilitas sebuah instrumen penelitian Dalam hal ini, Expert judgement-nya adalah orang yang ahli dan berpengalaman di bidang tata kelola hutan dan lahan. Secara spesifik, tim peneliti menjawab setiap pertanyaan dalam instrumen untuk menentukan jawaban yang diharapkan untuk diraih oleh setiap daerah dalam setiap kategori. Sebagai contoh, pertanyaan untuk menguji aksesibilitas dokumen/informasi, pada daerah yang dokumen/informasinya dapat diperoleh dalam jangka waktu <10 hari kerja maka daerah ini bisa dikategorikan sangat baik ; jika jangka waktu perolehan data/informasinya diantara 11-17 hari kerja maka dikategorikan baik, jika dalam jangka waktu > 17 hari kerja maka dikategorikan sedang, dan jika permintaan tidak direspon maka dikategorikan buruk. Pembagian hari kerja tersebut dilakukan mendasarkan pada peraturan terkait dengan standar minimum layanan informasi. Metode ini dipandang lebih baik daripada melakukan ketegorisasi dengan menetapkan nilai secara acak (arbitrary). Dengan metode ini, peneliti dapat menerapkan pengetahuannya akan kondisi lapangan dan mengkombinasikannya dengan pemahaman akan ketentuan regulasi. Kelemahan metode ini adalah sulitnya menemukan pakar atau orang yang tepat untuk menguji instrumen penelitian yang sesuai dengan kompetensi yang diharapkan pembuat instrumen. C. Overview Agregat Indeks IKHL 2012-2014 Indeks Agregat IKHL 2012-2014 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 20.7 39.9 21.4 38.3 50.8 38.1 33.4 32.0 5 24.4 16.1 24.1 16.1 23.9 10 22.5 19 21.1 23.4 20.5 14.5 18.7 18.2 18.6 13.1 12.6 8.2 8.8 8.4 22.7 18.7 0.00 Kubu Raya Malinau Kutai Kapuas Hulu Kayong Utara Muara Enim Ketapang OKI Paser Sintang Bulungan Rawas Berau Melawi 15.5 12.1 12.2 2012 2014 rerata 2012 rerata 2014 Kinerja pengelolaan hutan dan lahan di daerah studi masih buruk, hal ini terlihat dari perbandingan rata-rata indeks IKHL tahun 2012 dimana skornya hanya 18,7 (kategori buruk) dan skor indeks IKHL 2014 hanya 22,7 (kategori buruk). Pada pengukuran indeks tahun 2012, hanya satu kabupaten yang masuk kategori baik dan satu Kabupaten masuk kategori sedang, sedangkan pada pengukuran indeks tahun 2014, tidak satupun daerah studi yang masuk kedalam kategori baik. Hal ini menunjukkan lemahnya pelaksanaan prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan koordinasi dalam pengelolaan hutan dan lahan daerah. Jika dilihat lebih dalam lagi, Indeks transparansi mengalami kenaikan, begitu juga dengan indeks partisipasi dan akuntabilitas. Walaupun mengalami kenaikan, namun masih masuk dalam kategori buruk. Tergambar dalam tabel berikut Indeks Prinsip IKHL 2012 2014 Prinsip Good Governance Indeks 2012 Indeks 2014 Transparansi 15,4 20,9 Partisipasi 19,7 21,5 Koordinasi 28,0 27,6 Akuntabilitas 21,2 26,3 4

Sekalipun indeks IKHL mengalami peningkatan, namun tidak satupun wilayah studi yang masuk kategori baik, hal ini dikarenakan: 1.Pengelolaan hutan dan lahan masih belum transparan, partisipatif, dan akuntabel. Dalam hal transpransi terlihat dari minimnya ketersediaan data. Kalaupun adanya ketersediaan data, namun tidak disertai dengan aksesibilitas dan kelembagaan yang memadai. Dalam hal partisipasi, penyelenggaraan pengelolaan hutan dan lahan di daerah juga masih jauh dari jangkauan masyarakat terdampak dan potensial terkena dampak. Dalam hal akuntabilitas, Pemkab belum menyediakan mekanisme dan prosedur bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan terkait pemberian izin di sektor hutan, kebun, dan tambang. Pemerintah Kabupaten cenderung untuk sekedar memenuhi kewajiban prosedural dibanding meningkatkan kualitas pertanggungjawabannya kepada publik. 2.Pemkab tidak memiliki Political will untuk meningkatkan perbaikan tatakelola, misalnya Kab Malinau dan Kabupaten Musi Rawas yang sampai saat ini belum menunjuk Pejabat Pengelolala Informasi dan Dokumentasi (PPID) meskipun sudah 5 (lima) tahun yang lalu dimandatkan oleh UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 3.Kapasitas kinerja birokrasi di Pemerintah Kabupaten masih belum memadai dalam melakukan perbaikan tata kelola hutan dan lahan, baik dari segi ketersediaan staf, kualitas staf, minimnya inovasi, dan pendanaan. Pemerintah Kabupaten belum memiliki agenda prioritas dalam melakukan pembenahan tata kelola, kegiatan pengelolaan hutan dan lahan hanya sebatas business as usual. Di Kabupaten Kapuas Hulu misalnya, pasca ditetapkan sebagai kabupaten konservasi, sampai saat ini belum ada kebijakan atau intervensi konkrit untuk menindaklanjuti komitmen tersebut. 4.Belum terkonsolidasinya gerakan Masyarakat Sipil sebagai effective pressure group dalam mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan daerah. D. Sektor Hutan Dan Lahan Tak Kunjung Transparan 60.00 Indeks Transparansi IKHL 2012-2014 50.00 55 Baik: 46.7 - [VALUE] 40.00 30.00 39 Sedang: 23.4 - [VALUE] 20.00 Buruk: 0 - [VALUE] 10.00 0.00 Kutai Kertanegara Kapuas Hulu Muara Enim Bulungan 37 36 27 27 23 17 18 8 8 28 29 19 16 15 14 12 11 10 15 8 12 12 13 12 13 7 18 11 5 2 Rawas Kubu Raya Malinau Melawi Sintang Ketapang Paser Berau OKI Kayong Utara 2012 2014 Skor transparansi sektor hutan dan lahan meningkat, tetapi masih buruk. Hasil pengukuran indeks transparansi di 16 kabupaten menunjukan peningkatan 5.5 poin, dari skor 15.4 pada 2012 menjadi 20.9 pada 2014 dari skor maksimum 100 poin. Tetapi peningkatan skor tersebut tidak mengubah kategorisasi dari indeks tersebut, masih berada pada kategori buruk. Pada tahun 2014 ada 12 daerah mengalami peningkatan, dan 4 daerah lainnya mengalami penurunan. Pada 12 daerah yang mengalami peningkatan, hanya 4 daerah yang upgrade kategori dari buruk menjadi sedang, seperti Kubu Raya, Malinau, Ketapang dan Muara Enim. Untuk meningkatkan transparansi pemerintah daerah harus membuka dokumen kunci sektor hutan dan lahan kepada publik, seperti dokumen perizinan, laporan ketaatan internal perusahaan, amdal, dan lain sebagainya. Akses dokumen publik melalui permintaan informasi sangat buruk, bahkan ada lima daerah yang tidak memberikan sama sekali. Indikator aksesibilitas menjadi salah satu indikator utama dalam mengukur indeks transparansi. Dari 559 dokumen yang diuji hanya 17 persen atau 95 dokumen yang diperoleh. Hanya 35 atau 37 persen dokumen yang diperoleh dari 95 dokumen diminta setelah diajukan surat keberatan oleh pemohon informasi. Meskipun sedikit, tetapi masih ada 10 dokumen yang tanpa diminta sudah dipublikasikan. 5

Skor indikator aksesibilitas terhadap dokumen kunci 1/8 kali lebih rendah dari skor indeks transparansi. Dari 35 dokumen kunci dalam studi IKHL ini, terdapat 2 dokumen yang tidak diperoleh yaitu: Laporan pemantauan ketaatan internal perusahaan tahun 2012, baik sektor hutan maupun tambang. Bahkan, 5 dari 16 daerah studi tidak memperoleh dokumen dalam proses permintaan 35 dokumen tersebut. Lima daerah tersebut adalah Berau, Kubu Raya, Musi Rawas, Melawi, dan Malinau. Pemerintah daerah seharusnya membuka akses informasi sektor hutan dan lahan kepada masyarakat, bukan sebaliknya menutup informasi yang seharusnya dibuka. Karena informasi tersebut adalah hak bagi masyarakat, dan dengan dibukanya akses semakin meningkatkan partisipasi dan pengawasan publik sebagai wujud tata kelola pemerintahan yang baik. Kelembagaan PPID dan SOP Informasi belum efektif. Keberadaan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan Standar Operasional Prosedur (SOP) informasi belum efektif. Walaupun sebagian besar daerah sudah memiliki (13) PPID dan (10) SOP informasi, tetapi implementasi permohonan informasi pada daerah tersebut masih sangat rendah. Perbandingan Efektivitas Kelembagaan dan SOP Informasi Daerah PPID SOP Dipublish Via Website Status Dokumen Bisa Diakses Dengan Permintaan Tidak Diperoleh/ Tidak Direspon Ada Ada 0 7 28 Musi Ada Ada 0 5 30 Musi Rawas Tidak Ada Tidak Ada 0 0 35 OKI Ada Ada 0 11 24 Muara Enim Ada Ada 0 15 20 Kayong Utara Ada Ada 0 19 16 Kubu Raya Ada Ada 0 0 35 Sintang Ada Ada 1 0 34 Ketapang Ada Tidak Ada 0 16 19 Melawi Ada Tidak Ada 0 0 35 Kapuas Hulu Tidak Ada Tidak Ada 1 6 28 Berau Ada Tidak Ada 0 0 35 Bulungan Ada Ada 1 0 34 Paser Ada Ada 0 6 29 Kutai Kartanegara Ada Ada 7 0 28 Malinau Tidak Ada Tidak Ada 0 0 34 Jumlah 13/16 10/16 10 85 464 Tabel di atas menunjukkan masih ada daerah yang memiliki alat kelengkapan dan kelembagaan transparansi tetapi belum terbuka dalam implementasi keterbukaan informasi. Sebaliknya, ada juga yang tidak menjalankan amanat dari UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Seharusnya, kelembagaan dan SOP informasi menjadi alat pendukung dalam mengelola dan melayani permohonan informasi, baik untuk masyarakat ataupun untuk analisa pengambil kebijakan. E. Partisipasi Semu Kinerja partisipasi publik pada sektor hutan dan lahan (kehutanan, perkebunan, dan pertambangan) meningkat meskipun masih dalam kategori buruk. Pada penilaian tahun 2012, rerata indeks partisipasi publik pada 16 Kabupaten adalah 19,7 dari 100,0 dan pada saat penilaian tahun 2014 meningkat menjadi 21,5 meskipun masih dalam kategori buruk. Selain itu, 8 kabupaten mengalami peningkatan indeks dimana peningkatan tertinggi terjadi pada Kabupaten Malinau dan Kayong Utara. Buruknya kondisi partisipasi publik disebabkan oleh: (i) minimnya wahana partisipai bagi publik, (ii) partisipasi publik belum diselenggarakan pada setiap tahapan pengambilan keputusan, (iii) rendahnya keragaman partisipan dalam penyelenggaran partisipasi publik terutama masyarakat yang terkena dampak, dan (iv) minimnya kebijakan atau regulasi yang menjamin penyelenggaran partisipasi secara terstandar dan ajeg. Keterlibatan masyarakat terkena dampak tidak diprioritaskan dalam pengambilan kebijakan. Pada banyak proses partisipasi, masyarakat terdampak mendapatkan porsi yang minim (14%) dibandingkan dengan perwakilan masyarakat (36%), pelaku usaha (21%), dan LSM (16%). Pelibatan masyarakat terdampak seharusnya mendapatkan prioritas dan porsi yang lebih besar dibandingkan yang lainnya. Partisipasi publik diselenggarakan secara setengah hati. Dari tiga level partisipasi publik, umumnya pemerintah kabupaten masih banyak menyelenggarakan sosialisasi (48%) daripada konsultasi publik (43%), terlebih lagi permintaan persetujuan (37%). Hal ini berpengaruh pada minimnya masukan masyarakat yang diakomodir dalam pengambilan keputusan. 6

Indeks Partisipasi IKHL 2012-2014 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Kutai Kapuas Hulu Muara Enim Bulungan Rawas 55.3 48.0 35.7 Kubu Raya Malinau Melawi Sintang Ketapang Paser 30.0 20.5 11.8 16.4 13.9 21.3 6.7 11.1 21.8 14.3 20.1 34.6 34.9 6.6 5.1 23.9 19.5 12.6 28.8 30.1 14.1 26.0 34.0 5.0 3.7 8.2 6.0 9.2 29.6 Berau OKI Kayong Utara 2012 2014 Penyelenggaraan partisipasi belum memiliki dasar hukum yang memadahi dan dapat dijadikan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengelola partisipasi. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pada umumnya hanya berpedoman pada kebijakan nasional yang bersifat umum dalam menyelenggarakan partisipasi. Hal ini mengakibatkan lemahnya standar (NSPK) pelaksanaan partisipasi sehingga tidak dapat diterapkan secara seragam dari waktu ke waktu. Tujuh dari 16 Kabupaten justru mendapatkan penurunan skor pada pengukuran tahun 2012. Pada studi lainya dalam LBI menemukan bahwa meskipun terdapat perda partisipasi, namun tidak menjamin partisipasi di daerah tersebut meningkat. Hal ini dikarenakan kualitas perda partisipasi masih bersifat umum dan belum mengarah kepada standar yang dapat dijadikan pedoman dalam pengelolaan partisipasi secara baik. Partisipasi masyarakat dalam pemberian izin masih lemah. Kondisi ini berbeda dengan proses partisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kebijakan yang bersifat umum, misalnya perencanaan tata ruang wilayah serta rencana rehabilitasi hutan dan lahan. Pada proses pengambilan keputusan pemberian izin, pelaksanaan partisipasi banyak diinisiasi kerena dorongan atau tuntutan masyarakat, umumnya karena mereka tidak setuju atau menolak rencana pemberian izin yang dikhawatirkan dapat merugikan kepentingannya. Ragam Partisipan Akademisi 13% Pelaku Usaha 21% Perwakilan Masyarakat 36% LSM 16% Masyarakat Terdampak 21% 7

F. Terjebak Dalam Akuntabilitas Prosedural Indeks Akuntabilitas IKHL 2012-2014 70.00 60.00 58.2 60.8 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 19.2 48.1 31.2 45.6 5.8 43.5 0.00 OKI Kutai Kubu Raya Kayong Utara 37.5 43.3 Kapuas Hulu 21.1 35.7 Malinau 20.1 31.9 12.1 14.7 Paser 11.6 20.2 39.4 18.2 Ketapang 14.7 14.4 Sintang 13.5 15.7 Rawas 15.4 11.2 Bulungan 16.4 8.9 Melawi 6.7 5.8 Muara Enim 14.3 5.5 Berau 2012 2014 Rerata indeks akuntabilitas tahun 2012 dan 2015 kenaikannya belum cukup signifikan, yaitu dari 21,2 (kategori buruk) menjadi 26,3 (kategori sedang). Perbaikan akuntabilitas dalam pengelolaan sektor hutan dan lahan terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir, dari buruk menjadi baik, kemudian diikuti oleh Kabupaten Kayong Utara yang semula indeks akuntabilitasnya masuk kategori buruk naik menjadi sedang. Kabupaten Kubu Raya masih stagnan, sebaliknya Kabupaten Sintang yang semula indeks akuntabilitasnya masuk kategori Sedang pada fase 2012, saat ini masuk kategori buruk, begitu juga dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, terjadi penurunan dari Baik menjadi Sedang. Indeks akuntabilitas dihasilkan dari penjumlahan skoring akuntabilitas internal dan akuntabilitas eksternal. Akuntabilitas internal mengukur sejauh mana Pemerintah Kabupaten dapat mempertanggungjawabkan pengelolaan hutan dan lahan kepada institusi pemerintah lainnya, baik secara vertical maupun horizontal. Akuntabilitas eksternal mengukur sejauh mana Pemerintah Kabupaten dapat mempertanggungjawabkan pengelolaan hutan dan lahan kepada publik. Indeks Pembangun Prinsip Akuntabilitas 60.00 52.6 50.00 40.00 40.9 30.00 35 23.3 30.4 31.7 28.2 20.00 10.00 0.00 Kutai Kertanegara Paser Kubu Raya Kayong Utara Sintang Ketapang Kapuas Hulu 13.4 Rawas Malinau 5.3 Melawi 13.5 OKI 12.2 Muara Enim 11.3 Bulungan 10.8 Berau 10.7 7.4 10.5 2.6 10.2 2.6 10.1 9.5 4.6 6.9 6.9 2.0 5.6 5.1 0.7 2.5 8.7 1.9 3.3 Eksternal Internal 8

Pemerintah daerah cenderung untuk sekedar memenuhi kewajiban procedural dibanding meningkatkan kualitas pertanggungjawabannya kepada publik. Hal ini terlihat dari skor akuntabilitas internal yang jauh lebih tinggi dari skor akuntabilitas eksternal. Dalam hal tata ruang misalnya, UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang memandatkan setiap Pemerintah Daerah Provinsi dan Kab/Kota untuk melakukan revisi Perda RTRW, studi IKHL tahun 2015 menemukan bahwa terdapat 9 (sembilan) Kabupaten yang sudah melakukan revisi Perda RTRW, selebihnya masih tahap pembahasan di DPRD, menunggu persetujuan dari pusat, dan belum melakukan revisi sama sekali dikarenakan menunggu Pemerintah Provinsi yang belum melakukan revisi Perda RTRW. Mekanisme insentif dan disinsentif yang dikembangkan oleh pemerintah pusat, memicu Pemerintah Daerah untuk menjadi lebih bertanggungjawab. Hal ini terlihat dari beberapa pemerintah kabupaten yang sudah melakukan revisi RTRW kabupaten, walaupun di tingkat provinsi belum dilakukan. Pemkab, Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai salah santu contoh Pemkab yang sudah melakukan revisi RTRW, meskipun Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur belum merampungkan Perda RTRW nya. Pertanggungjawaban pemerintah daerah terhadap publik mulai meningkat, meskipun masih ditemukan beberapa kebijakan yang kurang akuntabel. Hal ini terlihat dari mayoritas daerah studi yang masih belum memiliki lembaga yang bertanggungjawab mengelola pengaduan dan penyelesaian sengketa dari masyarakat, misalnya dalam hal pemberian izin usaha pertambangan, pemberian rekomendasi izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan, pemberian izin usaha perkebunan, pemberian Pertek untuk IUPHHK, dan pemberian IPK di APL. Dari 16 (enambelas) Kabupaten wilayah studi, hanya Kabupaten OKI, Kabupaten Kapuas Hulu, dan Kabupaten Bulungan saja yang pemerintah dearah membentuk lembaga khusus yang menangani penganduan masyarakat terkait kebijakan TKHL. Pemerintah Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir misalnya, telah mengeluarkan SK Bupati No 29/KEP/III/2014 tentang Pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian Sengketa Lahan, kemudian Pemerintah Kabupaten Bulungan dengan SK Bupati Bulungan No 98/ II/540/2015 tentang Pembentukan Tim Pembina Pembangunan Perkebunan. Namun, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi mengenai kinerja lembaga ini, apakah pengaduan masyarakat tersebut ditindaklanjuti atau keberadaaan lembaga hanya sekedar formalitas saja. G. Koordinasi Sebatas Mandatori Indeks Koordinasi IKHL 2012-2014 100.00 88.5 80.00 70.8 70.8 60.00 40.00 20.00 12.5 12.5 29.2 4.2 7.1 62.5 54.2 14.4 13.8 29.1 40.7 30.8 12.5 20.8 19.4 18.3 19.2 16.4 18.6 19 14.2 19.7 38.9 21.4 34.9 20.8 20.8 12.5 20.8 0.00 Berau Bulungan Kayong Utara Kubu Raya Rawas Paser Sintang Ketapang 2012 2014 Melawi Kapuas Hulu Kutai Kertanegara Malinau OKI Muara Enim Tidak berbeda dari IKHL 2012, kinerja koordinasi pemerintah kabupaten di bidang pengelolaan hutan dan lahan (TKHL) masuk kategori sedang. Nilai rata-rata koordinasi TKHL menurun dari skor 28, 0 menjadi 27,6 di IKHL 2015. Angka indeks tertinggi didapatkan oleh Kabupaten Kubu Raya sedangkan yang terendah dimiliki oleh Kabupaten Berau. Ada sekitar lima kabupaten seperti Kabupaten Bulungan 1, Kayong Utara, Musi Rawas, Musi, dan Kubu Raya yang menganggarkan APBDnya untuk membetuk lembaga koordinasi lintas sektor, namun kebanyakan hanya terbatas di sektor perkebunan 2. Di lain sisi, sebelas kabupaten lainnya belum memiliki lembaga koordinasi lintas sektoral terkait perizinan hutan hutan dan lahan. 9

IKHL 2012 dan 2015 menampilkan skor indeks yang berbeda. Beberapa kabupaten mengalami kenaikan dan beberapa daerah mengalami penurunan. Kenaikan signifikan dialami Kabupaten Kubu Raya dan Malinau. Pada aspek koordinasi, Kabupaten Kubu Raya menempati posisi teratas dengan prolehan skor 88,5 atau sangat baik yang mana sebelumnya kabupaten tersebut hanya memperoleh skor sedang dengan angka 29,2. Posisi kedua ditempati oleh Malinau dengan perolehan skor 54,2 dengan kategori skor baik yang sebelumnya memperoleh skor dengan kategori sedang. Pada IKHL 2015 di bagian koordinasi, faktor utama yang membuat skor Kabupaten Kubu Raya menjadi tinggi yaitu ditandai dengan adanya SK Bupati tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) No. 310 Tahun 2014 yang mempunyai tupoksi untuk mengkoordinasikan hal-hal yang terkait tata kelola hutan dan lahan (TKHL) seperti pemberian izin usaha perkebunan dan pertambangan, koordinasi data spasial dalam pembuatan rencana tata ruang dan wilayah, serta IPK, IPHHK, dan IUPHHK. Kegiatan TKHL yang tidak dikoordinasikan badan ini hanya Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RTnRHL) dan proses reklamasi hutan dan lahan. Sedangkan di Malinau, lembaga formal yang dibentuk hanya di bidang perencanaan tata ruang berdasarkan kewenangan atributif dari pasal 13 ayat (2) Permendagri No. 50 Tahun 2009 dan lembaga koordinasi terkait perizinan hutan dan lahan yang sifatnya adhoc yang dibentuk oleh bupati namun tidak mendapat dukungan APBD. Kabupaten yang perolehan skor terendah yaitu Kabupaten Berau dengan skor 13,8 dengan kategori skor buruk, sama seperti perolehan IKHL 2012 di angka 4,2 karena tidak memiliki lembaga koordinasi lintas sektoral di berbagai sektor, termasuk tata ruang. menjadi kabupaten yang menempati posisi kedua terbawah dengan perolehan skor 14,4 dengan kategori buruk dan diikuti oleh Ketapang dengan perolehan 19,2. Kesimpulannya, skor rerata dengan kategori sedang yang diperoleh pada prinsip koordinasi hanya didapatkan dari koordinasi perencanaan karena adanya mandat peraturan tingkat nasional untuk membentuk BKPRD tingkat kabupaten/kota. Berbeda dengan tahap perencanaan, pada tahap kebijakan terkait izin, koordinasi antar SKPD tidak dilakukan, termasuk di dalamya proses reklamasi hutan. Rendahnya koordinasi menunjukan pemda belum berkomitmen penuh dalam melakukan pengelolaan hutan dan lahan karena koordinasi yang dilakukan sifatnya masih mandatori dari peraturan pusat dan bukan dari inisiatif pemda untuk membuat peraturan. 1 Tim koordinasi di sektor perkebunan di Kabupten Bulungan dihadirkan melalui Keputusan Bupati Bulungan Nomor 98/K-II/540/2015. 2 Empat kabupaten yang membuat lembaga koordinasi sektor perkebunan yaitu Bulungan, Musi Rawas, Musi, dan Kayong Utara sedangkan Kubu Raya ada di beberapa sektor. H. Rekomendasi 1. Rekomendasi Bagi Pemerintah Daerah a. Membuka akses informasi sektor hutan dan lahan kepada masyarakat luas, khususnya masyarakat terkena dampak. b. Membentuk alat kelengkapan (PPID dan SOP informasi) bagi daerah yang belum menjalankan mandat dari UU 14/2008 tentang KIP. c. Mengevaluasi kinerja alat kelengkapan (PPID dan SOP informasi) dalam menjalan mandat dari UU 14/2008 tentang KIP. d. Adanya publikasi proaktif terkait data/informasi pengelolaan hutan dan lahan. e. Membangun sistem informasi lingkungan hidup dan kehutanan yang terintegrasi guna mendorong ketersediaan dan pertukaran data/informasi antar instansi. f. Memprioritaskan keterlibatan kelompok terdampak (masyarakat lokal, masyarakat adat) dalam pengambilan keputusan di sektor hutan dan lahan. g. Menyediakan wahana partisipasi yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan sampai dengan pengambilan keputusan. h. Mengembangkan sistem pengawasan internal dan penjatuhan sanksi administrasi bagi pelanggaran yang dilakukan oleh petugas. i. Mengkaji ulang kebijakan dan prosedur penerbitan izin guna meminimalisir pelanggaran dalam penerbitan izin dan memperkuat pengawasan masyarakat. j. Mengembangkan lembaga dan mekanisme pengaduan serta penyelesaian sengketa yang murah, cepat, dan sederhana bagi masyarakat. k. Mengembangkan kelembagaan dan mekanisme koordinasi yang tercermin dalam prosedur operasional dengan dukungan struktur, sumber daya manusia, sarana prasarana, dan pendanaan yang memadai terkait perizinan di sektor tata kelola hutan dan lahan. 10

2. Rekomendasi Bagi Pemerintah Pusat a. Mengasistensi, memonitor, dan mengevaluasi kinerja pemerintah Daerah dalam pelaksanaan UU KIP b. Membangun sistem informasi lingkungan hidup dan kehutanan yang terintegrasi secara nasional maupun daerah guna mendorong ketersediaan dan pertukaran data/informasi antar instansi. c. Menjadikan indikator pengelolaan hutan dan lahan sebagai mekanisme pemberian insentif dan disinsentif bagi Pemerintah Daerah. 3. Rekomendasi bagi Masyarakat Sipil a. Menggunakan UU KIP sebagai instrumen untuk memperoleh data/informasi terkait pengelolaan hutan dan lahan, seperti informasi tata ruang, perizinan sektor hutan, kebun, dan tambang, dan lain-lain. b. Melakukan asistensi kepada Pemerintah Kabupaten dalam melaksanakan mandat UU KIP, antara lain penunjukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), SOP PPID, dan Daftar Informasi Publik (DIP). c. Mengembangkan best practice atau success story melalui pendampingan masyarakat terdampak dan potensial terdampak dalam melakukan partisipasi publik. d. Melakukan pengawaan terhadap kinerja pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan dan lahan, misalnya melakukan review perizinan terkait hutan dan lahan. e. Membentuk posko pengaduan masyarakat yang diinisiasi oleh masyarakat sipil. f. Melakukan advokasi atas pelanggaran dan kejahatan terkait hutan dan lahan, baik litigasi dan non litigasi. g. Melakukan konsolidasi gerakan Masyarakat Sipil sebagai effective pressure group dalam mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan daerah. 11

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Jl. Dempo II No 21, Kebayoran Baru Jakarta, 12120. Indonesia. Phone : (62-21) 7262740, 7233390 Fax : (62-21) 7269331 www.icel.or.id Seknas Fitra MampangPrapatan IV. Jl. K No. 37 Jakarta 12710. Indonesia Tel: +62 (21) 7947608 Fax: +62 (21) 7947608 Didukung oleh: