Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan

II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

HASIL DAN PEMBAHASAN. (CH 2 O)n + n O 2 n CO 2 + n H 2 O + e - (1) mikrob (CH 2 O)n + nh 2 O nco 2 + 4n e - + 4n H + (2)

1.PENDAHULUAN. Salah satu pupuk organik yang dapat digunakan oleh petani

II.TINJAUAN PUSTAKA Emisi Metana dan Nitrous Oksida dari Tanah Pertanian

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

PEMBAHASAN UMUM. Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Beberapa Macam Sistem Budidaya. Methane Flux and Soil Characteristic in Several Cropping Systems

TINJAUAN PUSTAKA. Produksi dan Emisi CO 2. lingkungan yang belum ada mekanisme pasarnya. Jenis barang dan jasa yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Terlibat langsung dalam fungsi metabolisme tanaman (involved in plant metabolic functions).

I. PENDAHULUAN. Tanaman kubis (Brasica oleraceae L.) adalah salah satu tanaman sayuran yang

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain :

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

TINJAUAN PUSTAKA. kalium dari kerak bumi diperkirakan lebih dari 3,11% K 2 O, sedangkan air laut

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Produksi dan Emisi Metan Dari Lahan Sawah. dan sisanya (Sekitar 30%) berasal dari sumber-sumber alami (Mudiyarso and

BAB. VII. PEMBAHASAN UMUM. Konsentrasi Fe dalam Tanah dan Larutan Hara Keracunan Fe pada Padi

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tanah Ultisol mencakup 25% dari total daratan Indonesia. Penampang tanah

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Tinggi tanaman padi akibat penambahan jenis dan dosis amelioran.

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

TINJAUAN PUSTAKA. survei dan pemetaan tanah menghasilkan laporan dan peta-peta. Laporan survei

I. PENDAHULUAN. tidak berkelanjutan. Pertanian dengan olah tanah intensif di lahan kering merusak

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lubang Resapan Biopori

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di dunia. Hal itu dikarenakan jagung memiliki nilai gizi yang

BAB VIII UDARA TANAH

TINJAUAN PUSTAKA. Padi IP 400. Padi IP 400 merupakan salah satu jenis program penanam padi yang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab V Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian Kotoran Kambing Terhadap Sifat Tanah. Tabel 4.1. Karakteristik Tanah Awal Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan bijibijian

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.

Lestari Alamku, Produktif Lahanku

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global dan Pertanian Sawah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PEMBAHASAN UMUM. Sedangkan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan kedelai 25 sampai 30 c

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari pertanian organik itu sendiri diantaranya untuk menghasilkan produk

HASIL DAN PEMBAHASAN

KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistematika hasil dan pembahasan disajikan dalam beberapa sub bagian yaitu Fluks metana dan karakteristik tanah pada budidaya lima macam tanaman; Pengaruh pengelolaan air terhadap populasi mikroba tanah pada tanah sawah; dan Pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap populasi mikroba tanah, fluks metana serta nitrous oksida pada tanah sawah serta Pembahasan umum. Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman Dari kelima macam budidaya yang diamati, tanah pada tanaman padi mempunyai kadar air yang paling tinggi 112.97 ± 2.85%, ph tanah yang lebih tinggi 6.65 ±.2 serta potensial redoks yang paling rendah -158.5 ± 2.5 mv dibanding tanah pada macam budidaya yang lain (Tabel 4.1.). Hal ini berkaitan erat dengan penyiapan lahan pada padi sawah yaitu adanya perlakuan penggenangan dan pelumpuran. Dengan pelumpuran terjadi pemecahan agregat dan penggenangan menghambat suplai oksigen dari permukaan ke tubuh tanah. Penurunan ketersediaan oksigen dalam tanah memicu respirasi mikroba secara anaerobik yang diikuti dengan penurunan potensial redoks. Pada budidaya padi sawah tanah bersifat reduktif, sementara keempat macam budidaya yang lain tanah bersifat oksidatif. Terdapat keseimbangan antara potensial elektron dan potensial hidrogen dalam larutan tanah, penurunan potensial redoks pada tanah sawah diikuti dengan peningkatan ph tanah. Pada keempat budidaya lain yang bersifat oksidatif ph tanahnya terukur lebih rendah. Dari aspek komposisi bentuk nitrogen, tanah sawah didominasi oleh bentuk amonium 48.6 ± 3.95 ppm N dibanding bentuk nitrat sebesar 3.3 ±.33 ppm N. Hal ini mengindikasikan bahwa proses mineralisasi N pada tanah tersebut didominasi oleh tahap amonifikasi dan laju nitrifikasi yang terhambat. Pada keempat macam budidaya yang lain dominasi amonium terhadap nitrat tanah semakin berkurang dibanding pada tanah sawah, hal ini menunjukkan pada tanah tersebut proses nitrifikasi tidak terhambat. Peningkatan ketersediaan oksigen pada kadar air tanah yang lebih rendah memacu aktivitas nitrifier.

31 Tabel 4.1. Karakteristik tanah pada budidaya lima macam tanaman Budidaya Kadar Air Tanah (%) ph Tanah Eh (mv) Nitrat (ppm N) Amonium (ppm N) Nisbah amonium /nitrat Sayuran 36.91 ±.38 4.72 ±.5 293. ± 23. 12.8 ±.14 8.87 ±.61.73 Ubi jalar 43.97 ±.9 5.39 ±.1 294. ± 6. 31.78 ±.27 31.85 ± 1.82 1. Padi sawah 112.97 ± 2.85 6.65 ±.2-158.5 ± 2.5 3.3 ±.33 48.6 ± 3.95 16.4 Bengkuang 45.61 ± 1.24 4.38 ±.6 312.5 ± 6.5 36.24 ± 2.16 32.39 ±.38.89 Jagung 36.53 ±.16 5.21 ±.15 278. ± 8. 4.78±.69 26.55 ± 3.79 5.55 Fluks CH 4 pada Budidaya Lima Macam Tanaman Tanaman padi sawah menghasilkan fluks metana paling tinggi (7.5 ±.53 mg CH 4 -C m -2 jam -1 ) dibanding tanaman lain yang berkisar antara -.77 ±.64 hingga.46 ±.53 mg CH 4 -C m -2 jam -1 (Gambar 4.1). Tingginya fluks CH 4 pada tanah sawah dipengaruhi oleh aktivitas mikroba penghasil dan pengoksidasi CH 4 serta kondisi lingkungan yang menstimulasinya. Potensial redoks tanah yang rendah akibat penggenangan dan ketersediaan substrat organik merupakan prasyarat lingkungan pembentukan metana. Seluruh ruang pori tanah terisi air bahkan kadar air pada kondisi jenuh. Aktivitas metanotrof pengoksidasi CH 4 pada pertanaman padi terbatas pada daerah rizosfer yang bersifat oksidatif. Dominasi bakteri metanogen terhadap bakteri metanotrof pada lahan sawah menyebabkan tingginya fluks metana (Watanabe et al.,1997). Pada keempat pertanaman yang lain produksi CH 4 selain rendah juga diimbangi oleh aktivitas mikroba pengoksidasi CH 4 yang lebih tinggi sehingga fluks CH 4 lebih rendah dibanding pada padi sawah. Budidaya sayuran dan jagung menghasilkan fluks CH 4 yang jauh lebih rendah dibanding padi sawah, masing-masing sebesar.46 ±.53 dan.16 ±.18 mg CH 4 -C m -2 jam -1. Sedangkan ubi jalar dan bengkuang menghasilkan fluks CH 4 negatif, masingmasing sebesar -.77 ±.64 dan -.39 ±.51 mg CH 4 -C m -2 jam -1, yang berarti budidaya tersebut bersifat netto sink CH 4. Pada keempat pertanaman ini ruang pori terisi air mencapai 61.9 hingga 77.3%. Masih tersedia ruang pori tanah yang terisi udara yang memungkinkan proses oksidasi CH 4. Perbedaan teknik budidaya berupa penambahan pupuk kandang pada pertanaman sayuran dan jagung, menghasilkan fluks CH 4 yang lebih tinggi dibanding pada ubi jalar dan bengkuang. Perlakuan pembumbunan dan pembalikan tanaman serta tanpa

32 penambahan pupuk kandang pada budidaya ubi jalar dan bengkuang diduga sebagai penyebab rendahnya fluks CH 4 pada kedua budidaya tersebut. 12 Fluks metana (mg CH 4-C m -2 jam -1 ) dan WFPS (x2% volum) 1 8 6 4 2-2 Sayuran Ubi jalar Padi Tanaman Bengkuang Jagung Fluks metana mg CH4- C/m2/jam WFPS (% volum) Gambar 4.1. Fluks CH 4 dan ruang pori tanah terisi air pada budidaya lima macam tanaman (error bar menunjukkan standar deviasi) Mikroba Fungsional pada Budidaya Lima Macam Tanaman Nitrosomonas dan nitrobacter selaku bakteri pengoksidasi amonium dan nitrat dijumpai pada semua jenis budidaya (Tabel 4.2.). Nitrosomonas dan nitrobacter termasuk nitrifier yang bertanggung jawab atas proses nitrifikasi dalam tanah. Keberadaan mikroba tersebut dipengaruhi oleh kadar amonium, nitrat dan tingkat oksidasi tanah. Pada umumnya nitrifier banyak dijumpai pada kondisi tanah aerob, seperti pada budidaya sayuran, ubi jalar, bengkuang dan jagung. Pada tanah sawah ternyata keberadaan bakteri tersebut cukup menonjol jumlahnya, hal ini disebabkan oleh kemampuan akar tanaman padi menyediakan oksigen pada rizosfernya. Populasi nitrifier pada pertanaman yang diamati berkisar antara 3.13x1 3 hingga 3.18x1 4 MPN g -1 tanah (BKM, berat kering mutlak/oven 15 o C). Denitrifier selaku mikroba pereduksi nitrat dijumpai pada semua jenis pertanaman. Keberadaan mikroba tersebut dipengaruhi oleh jumlah nitrat dalam tanah dan tingkat oksidasi tanah. Pada umumnya denitrifier banyak dijumpai pada kondisi tanah anaerob, seperti pada budidaya padi sawah. Pada tanaman non padi pada kondisi tidak tergenang, keberadaan denitrifier terdapat pada sitesite yang bersifat lokal anaerob. Beberapa jenis fungi pada tanah ternyata mampu menggunakan nitrat sebagai alternatif akseptor elektron pada proses

33 respirasinya (Laughlin dan Stevens, 22), hal ini mampu menjelaskan mengapa pada tanaman non padi seperti pada ubi jalar, bengkuang dan jagung, keberadaan denitrifier juga cukup tinggi. Populasi denitrifier pada pertanaman yang diamati berkisar antara 3.77x1 3 hingga 1.17x1 5 MPN g -1 BKM tanah. Antar jenis pertanaman sayuran, ubi jalar, padi sawah, bengkuang dan jagung. tidak dijumpai proporsi total propagul, nitrosomonas, nitrobacter dan denitrifier yang spesifik. Perbedaan budidaya (jenis tanaman dan teknis budidaya) belum mampu menjawab variabilitas komposisi mikroba fungsional tanah yang diamati. Tabel 4.2. Mikroba fungsional pada budidaya lima macam tanaman Budidaya Total propagul (spk g -1 BKM tanah) Nitrosomonas (MPN g -1 BKM tanah) Nitrobacter (MPN g -1 BKM tanah) Nitrifier (MPN g -1 BKM tanah) Denitrifier (MPN g -1 BKM tanah) Sayuran 1.41 1 6 3.42 1 3 1.51 1 4 1.85 1 4 3.77 1 3 Ubi jalar 1.2 1 6.65 1 3 2.48 1 3 3.13 1 3 1.22 1 4 Padi sawah 2.75 1 5 5.21 1 3 2.66 1 4 3.18 1 4 1. 1 4 Bengkuang 2.45 1 6 1.78 1 3 2.4 1 4 2.2 1 4 1.17 1 5 Jagung 3.1 1 6.48 1 3 1.71 1 4 1.76 1 4 1.1 1 5 Korelasi CH 4, Mikroba Tanah dan Sifat Tanah Kadar air nyata berkorelasi negatif terhadap potensial redoks (r=-.981), nyata berkorelasi positif terhadap ph (r=.862), konsentrasi amonium (r=.787) dan fluks CH 4 (r=.951). Reaksi tanah nyata berkorelasi positif dengan fluks CH 4 (r=.852) dan amonium (r=.687) serta nyata berkorelasi negatif terhadap Eh (r=-.91) dan denitrifier (r=-.635). Potensial redoks nyata berkorelasi negatif terhadap fluks CH 4 (r=-.982)dan amonium (r=-.71). Amonium nyata berkorelasi negatif terhadap denitrifier (r=-.681) (Tabel 4.3). Peningkatan kadar air menyebabkan berkurangnya oksigen bebas dalam tanah. Penggunaan substrat yang mengandung oksigen oleh mikroba sebagai akseptor elektron dalam proses respirasi menyebabkan penurunan potensial redoks. Kondisi ini menjelaskan korelasi negatif yang nyata antara kadar air tanah dengan potensial redoks. Hubungan antara kadar air tanah dengan Eh dapat dinyatakan dengan persamaan Y = -6.12 X + 541.53 (Y=Eh mv dan X=KA %, R 2 =.962). Peningkatan kelembaban tanah hingga batas tertentu mampu menghambat laju nitrifikasi dan mempertahankan bentuk nitrogen sebagai amonium. Oksidasi amonium menjadi nitrat berlangsung dalam suasana aerob, sehingga

34 kelembaban tanah nyata berkorelasi positif terhadap kadar amonium dalam tanah. Potensial redoks berkeseimbangan dengan potensial hidrogen, penurunan potensial redoks akan menyebabkan peningkatan ph. Peningkatan kelembaban tanah yang diikuti oleh penurunan potensial redoks menstimulir peningkatan ph tanah, sehingga kelembaban tanah juga nyata berkorelasi positif dengan ph. Terhadap fluks CH 4, kelembaban tanah nyata berkorelasi positif, yang berarti peningkatan kelembaban tanah memacu pembentukan CH 4 dalam tanah. Hubungan antara kadar air tanah dengan fluks CH 4 dapat dinyatakan dengan persamaan Y =.14 X - 5.64 (Y= fluks CH 4 dalam mg CH 4 -C m -2 jam -1 dan X=KA %, R 2 =.95, berlaku pada kisaran KA 36.4 115.8%). Hal ini berkaitan erat dengan perilaku potensial redoks, mengingat reaksi pembentukan CH 4 sangat erat dikendalikan oleh potensial redoks (Minamikawa dan Sakai, 25). Penurunan potensial redoks meningkatkan fluks CH 4. Hubungan antara Eh tanah dengan fluks CH 4 dapat dinyatakan dengan persamaan Y = -.2 X + 6.44 (Y=fluks CH 4 dalam mg CH 4 -C m -2 jam -1 dan X=Eh mv, R 2 =.9648). Keberadaan amonium dalam tanah erat berkaitan dengan laju nitrifikasi, bila amonium banyak dijumpai dalam tanah mengindikasilan oksidasi amonium menjadi nitrat berlangsung lebih lambat. Penghambatan pembentukan nitrat mempunyai aspek praktikal penting bagi bidang pertanian, karena jumlah nitrat yang melebihi kemampuan serap tanaman yang dibudidayakan akan tercuci ataupun menjadi substrat denitrifier pada kondisi anoksik. Pencucian nitrat menjadi penyebab utama kontaminasi air tanah oleh nitrat terlarut. Aktivitas denitrifier akan membebaskan N baik dalam bentuk N 2 maupun N 2 O ke atmosfer. Selain meningkatkan efisiensi pemupukan N, penghambatan laju nitrifikasi hingga batas tertentu juga berpengaruh positif terhadap lingkungan, dengan pengurangan pencemaran nitrat terlarut serta emisi N 2 O sebagai salah satu komponen GRK. Dominasi amonium terhadap nitrat menyebabkan populasi denitrifier tertekan. Dinamika nitrogen terutama aspek nitrifikasi-denitrifikasi inilah yang mampu menjelaskan mengapa amonium nyata berkorelasi negatif dengan denitrifier. Berdasarkan keterkaitan antar parameter tersebut dapat dikatakan bahwa pengelolaan air merupakan salah satu kunci utama pengendalian potensial redoks yang berkenaan dengan reaksi tanah, konsentrasi amonium dan laju nitrifikasi, aktivitas denitrifikasi dan pembentukan serta emisi CH 4.

35 Tabel 4.3. Tabel korelasi antar parameter karakteristik tanah, mikroba dan fluks CH 4 Parameter KA Eh ph CH 4 Propa gul Nitroso monas Nitrobac ter Denitri fier ph.862** CH 4.951** -.982** Eh -.981** 1. -.91** Propagul -.453.49 -.432 -.364 -.414.565 -.572 -.62.182 -.493 -.128.3 - NO 3 + NH 4 NO 3 -.787** -.71*.687*.614 -.172.116 -.113 -.681* -.49 Keterangan: *, ** = berkorelasi nyata pada taraf 95% dan 99% Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Fluks Metana dan Populasi Mikroba Tanah pada Tanah Sawah Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Fluks CH 4 Variasi dua mingguan fluks CH 4 dipengaruhi oleh perlakuan pengelolaan air (Gambar 4.2.). Fluktuasi fluks CH 4 berkisar antara -4.63 hingga 12.37 mg CH 4 m -2 jam -1. Fluks CH 4 yang tinggi dijumpai pada stadia awal pertumbuhan (2 minggu setelah pindah tanam/mst) dipengaruhi oleh rendahnya potensial redoks yang disebabkan oleh penggenangan kontinyu selama penyiapan lahan yang dilaksanakan 3 minggu sebelum pindah tanam. Pada bulan pertama setelah pindah tanam, dekomposisi bahan organik yang berupa residu dari penanaman sebelumnya berlangsung aktif dan menstimulir kondisi yang menunjang aktivitas metanogen. Fluks CH 4 pada 2 8 MST dipengaruhi oleh fase pertumbuhan cepat, tanaman padi membebaskan banyak eksudat akar yang mengandung senyawa karbon mudah larut dalam air seperti gula, asam amino serta asam organik yang sangat cepat terdekomposisi oleh mikroba menjadi H 2, CO 2, metanol dan asetat. Bahan-bahan ini bertindak sebagai substrat bagi metanogen yang mengkonversinya menjadi CH 4. Fluks CH 4 yang rendah pada 6 MST disebabkan oleh drainase singkat selama 4 5 hari untuk pemupukan kedua dan penyiangan yang dilakukan beberapa hari menjelang pengambilan contoh gas. Drainase akan menekan aktivitas metanogen dan meningkatkan oksidasi CH 4. Stadia pembungaan terjadi pada 8 MST sebagai puncak fase pertumbuhan vegetatif. Penurunan fluks CH 4 pada 12 MST disebabkan oleh drainase total selama fase pematangan. Drainase total diikuti dengan peningkatan Eh dan oksidasi CH 4 menekan produksi CH 4 (Hou et al., 2a).

36 Fluks metana (mg CH 4 -C m -2 jam -1 ) 1 8 6 4 2-2 -4-6 Macak-macak Intermiten Penggenangan 5 cm Penggenangan 1 cm 2 4 6 8 1 12 Minggu setelah tanam (a) Fluks metana (mg CH 4-C m -2 jam -1 ) 14 12 1 8 6 4 2-2 -4 2 4 6 8 1 12 Minggu setelah tanam (b) Gambar 4.2. Variasi fluks CH 4 dua mingguan: (a) antara perlakuan pengelolaan air, (b) rata-rata antar perlakuan pengelolaan air, error bar menunjukkan standar deviasi (n=2) Kondisi macak-macak menghasilkan fluks CH 4 yang lebih rendah dibanding perlakuan lain (Gambar 4.3). Ekosistem sawah juga mampu berperan sebagai sink CH 4 yang disebabkan oleh kehadiran dan aktivitas mikroba pengoksidasi CH 4 (metanotrof) pada lapisan tanah oksidatif dan pada site rizosfer. Intermiten, drainase periodik menjelang pemupukan pada sistem penanaman padi sawah di Indonesia mampu menghambat emisi CH 4 melalui mekanisme peningkatan oksidasi CH 4 serta penurunan aktivitas metanogen

37 selama siklus penggenangan terputus. Perlakuan drainase dan pengairan intermiten secara nyata mampu menurunkan emisi CH 4 pada tanah andisol dan gleysol di Jepang (Minamikawa dan Sakai, 25). Namun dalam penelitian ini perlakuan intermiten tidak mampu menurunkan fluk CH 4. Hal ini senada dengan hasil penelitian Nugroho et al. (1994a) yang mencatat bahwa fluks CH 4 pada perlakuan intermiten tidak berbeda dengan perlakuan penggenangan. Dengan demikian pengaruh perlakuan irigasi terputus terhadap fluks CH 4 tidak nyata pada lahan sawah yang dicobakan. 15 Fluks metana (mg CH 4 -C m -2 jam -1 ) 1 5-5 Macak-macak Intermiten Penggenangan 5 cm Pengelolaan air Penggenangan 1 cm Gambar 4.3. Fluks metana antar perlakuan pengelolaan air, error bar menunjukkan standar deviasi (n=3) Penggenangan menghasilkan fluks CH 4 yang lebih tinggi dibanding dengan kondisi macak-macak. Penggenangan menghambat difusi oksigen dari atmosfer ke dalam lapisan tanah dan menurunkan potensial redoks tanah. Kondisi ini menstimulir aktivitas metanogen untuk memproduksi CH 4. Hasil penelitian Husin et al. (1995) juga menunjukkan bahwa fluks CH 4 pada kondisi penggenangan secara kontinyu lebih tinggi dibanding dengan pada keadaan macak-macak. Dinamika fluks CH 4 pada tanah sawah berkaitan erat dengan potensial redoks tanah yang dipengaruhi oleh pengelolaan air (Hou et al., 2a). Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Populasi Mikroba Tanah Dinamika fluks CH 4 pada lahan sawah erat berkaitan dengan populasi mikroba. Pada penelitian ini, total propagul pada 4 dan 8 MST lebih rendah

38 dibanding pada 12 MST dan populasi terendah terjadi pada 8 MST (Gambar 4.4). Total mikroba tertekan pertumbuhannya selama penggenangan. Pada 12 MST, total mikroba meningkat seiring dengan drainase yang menyebabkan pengurangan kadar air dan peningkatan potensial redoks. Peningkatan kandungan oksigen tanah mendukung kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Jumlah propagul (1 6 g -1 ) 8 6 4 2 Macak-macak Intermiten Penggenangan 5 cm Penggenangan 1 cm 4 8 12 Minggu setelah tanam Gambar 4.4. Populasi total mikroba pada empat macam pengelolaan air, error bar menunjukkan standar deviasi (n=5) Produksi CH 4 merupakan hasil dari aktivitas sejumlah kelompok mikroba meliputi bakteri zymogenik, pengguna H 2 - asam asetat serta metanogen. Metabolisme dari kelompok mikroba yang berbeda akan mendekomposisi karbon organik dari senyawa yang sangat kompleks dengan berat molekul yang tinggi menjadi senyawa karbon yang paling sederhana misalnya CH 4 (Hou et al., 2a). Sebagian dari CH 4 yang diproduksi pada tanah sawah akan dioksidasi oleh mikroba pengoksidasi CH 4 menjadi CO 2 sebelum dibebaskan ke atmosfer (Watanabe et al., 1997). Dengan demikian fluks CH 4 merupakan hasil keseimbangan antara proses produksi dan oksidasinya, dan inilah yang menjadi alasan mengapa korelasi antara antara total mikroba dengan fluks CH 4 sangat rendah (r =.31). fluks CH 4 berkaitan erat dengan mikroba spesifik dari kelompok metanogen dan metanotrof. Perubahan musiman dari populasi nitrifier disajikan pada gambar 4.5. Rata-rata pupolasi nitrifier pada 4, 8 dan 12 MST secara berurutan adalah 9.75 x 1 3 g -1, 2.35 x 1 3 g -1, 2.46 x 1 3 g -1. Tingginya jumlah nitrifier pada 4 MST berkaitan dengan tingginya ketersediaan amonium yang disebabkan oleh

39 pemupukan nitrogen, sementara pada 8 dan 12 MST ketersediaan amonium dari tanah telah menurun oleh serapan tanaman padi. Irigasi intermiten menyebabkan jumlah nitrifier yang lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh drainase secara periodik pada saat pengeringan yang akan meningkatkan masukan oksigen yang mendukung keberadaan nitrifier. Nitrifier (x 1 3 MPN g -1 ) 18 16 14 12 1 8 6 4 2 4 8 12 Macak-macak Intermiten Penggenangan 5 cm Penggenangan 1 cm Minggu setelah tanam Gambar 4.5. Populasi nitrifier pada empat macam pengelolaan air Denitrifier merupakan mikroba yang dominan pada proses transformasi nitrogen pada tanah sawah (Gambar 4.6.). Penggenangan dan potensial redoks tanah yang rendah merupakan kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan denitrifier (Hou et al., 2a dan b). Tidak dijumpai korelasi yang erat baik antara nitrifier maupun denitrifier terhadap fluks CH 4, berturut-turut r =.56,.32, karena fluks CH 4 lebih berhubungan dengan aktivitas metanogen serta pengoksidasi CH 4. 3 Macak-macak Populasi (x1 3 MPN g -1 ) 25 2 15 1 5 Nitrifier Denitrifier Intermiten Penggenangan 5 cm Penggenangan 1 cm Gambar 4.6. Pengaruh pengelolaan air terhadap populasi nitrifier dan denitrifier pada 4 minggu setelah tanam

4 Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Komposisi N Tanah Pengelolaan air pada tanah sawah berpengaruh terhadap transformasi nitrogen (Gambar 4.7.). Konsentrasi amonium tanah berkisar antara 23.5 47.4 mg N-NH + 4 kg -1 berat kering mutlak tanah. Ammonium merupakan bentuk nitrogen tanah yang dominan (18.6 32 kali lebih tinggi dibanding N-NO - 3 ) pada tanah sawah, kondisi anaerob menghambat laju nitrifikasi. Konsentrasi nitrat pada tanah sawah relatif sangat kecil, berkisar antara 1.22 1.48 mg N-NO - 3 kg -1 berat kering mutlak tanah, nitrat tersebut merupakan produk dari aktivitas bakteri nitrifikasi yang mengubah amonium menjadi nitrat pada kondisi oksidasi terutama pada daerah rizosfer. Perakaran padi mempunyai kemampuan untuk mengoksidasi tanah di sekitar akar rambutnya. Kondisi tergenang menghasilkan amonium yang lebih tinggi dibanding perlakuan pengelolaan air yang lain. Tidak dijumpai hubungan yang spesifik antara nitrifier dan denitrifier terhadap kandungan amonium dan nitrat tanah. 7 NO3-N 4 MST NO3-N 8 MS T NH4-N 4 MST NH4-N 8 MST 6 mg N kg -1 BKM tanah 5 4 3 2 1 Macak-macak Intermiten Penggenangan 5 cm Penggenangan 1 cm Pengelolaan air Gambar 4.7. Pengaruh pengelolaan air terhadap konsentrasi amonium dan nitrat tanah pada 4 dan 8 MST, error bar menunjukkan standar deviasi (n=5) Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Hasil Padi Perlakuan penggenangan menghasilkan anakan lebih banyak dibanding perlakuan yang lain. Jumlah anakan berkisar antara 23.8 hingga 25.3 (Gambar 4.8.). Tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan intermiten, penggenangan 5 cm dan penggenangan 1 cm terhadap jumlah anakan. Penggenangan 5 cm bertendensi menghasilkan jumlah anakan dan bobot jerami yang lebih banyak dibanding perlakuan macak-macak. Nampaknya perlakuan

41 tersebut mampu memberikan lingkungan yang seimbang yang mampu secara optimal mendukung pertumbuhan tanaman padi. Antar perlakuan pengelolaan air tidak terdapat perbedaan bobot gabah yang nyata. Hal ini berarti bahwa pengurangan pemberian air dengan perlakuan macak-macak maupun intermiten tidak diikuti oleh penurunan hasil padi. Perlakuan macak-macak dan intermiten mampu meningkatkan efisiensi penggunaan air pada sistem penanaman padi sawah. Berdasarkan hasil penelitian ini perlakuan pengelolaan air dengan cara macak-macak dapat disarankan untuk mengurangi fluks CH 4 tanpa menurunkan hasil padi. Perlakuan pengelolaan air macak-macak menurunkan fluks CH 4 pada tanah sawah hingga sekitar 25% dibanding perlakuan penggenangan sebagai perlakuan kontrol tanpa mengurangi bobot gabah yang dihasilkan. 26 25 Jumlah anakan 24 23 22 21 2 Macak-macak Intermiten Penggenangan 5 cm Penggenangan 1 cm Pengelolaan air (a) 18 Jerami Gabah Berat jerami dan gabah (kg petak -1 ) 16 14 12 1 8 6 4 2 Macak-macak Intermiten Penggenangan 5 cm Penggenangan 1 cm Pengelolaan air (b) Gambar 4.8. Pengaruh pengelolaan air terhadap hasil tanaman: (a) jumlah anakan, (b) bobot jerami dan gabah, error bar menunjukkan standar deviasi (n=5)

42 Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Populasi Mikroba Tanah, Fluks Metana serta Nitrous Oksida pada Tanah Sawah Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Sifat Kimia Tanah Selama pertumbuhan tanaman padi potensial redoks tanah berada pada nilai negatif, baru pada minggu ke 1 Eh tanah menjadi positif dan meningkat hingga minggu ke 12 (Gambar 4.9.). Fenomena umum pada tanah sawah, dengan kegiatan pelumpuran dan penggenangan menstimulir kondisi reduktif yang dicirikan oleh Eh negatif. Tindakan drainase yang menyebabkan masuknya oksigen akan meningkatkan Eh tanah. Antar perlakuan pengelolaan air tidak dijumpai perbedaan potensial redoks. Artinya perlakuan penggenangan terus menerus maupun macak-macak tidak berpengaruh terhadap Eh tanah. Pengurangan tinggi muka air dengan cara perlakuan macak-macak mampu meningkatkan difusi udara dari atmosfer ke lapisan tanah sawah, namun pada percobaan ini tidak berpengaruh terhadap Eh tanah. Hal ini dipengaruhi oleh musim, percobaan ini berlangsung pada musim penghujan. Penurunan nilai Eh mencapai nilai 15 mv. Kondisi tersebut berada pada selang pengontrolan Eh untuk menekan emisi CH 4, menurut Minamikawa dan Sakai (25) pengelolaan Eh diperlukan bila Eh tanah mencapai nilai di bawah 15 mv. Sedangkan Hou et al. (2a) menyarankan pengelolaan Eh pada batas nilai -1 mv untuk menekan emisi CH 4. Potensial redoks antar perlakuan bahan organik tidak berbeda nyata. Walaupun pada perlakuan pemberian bahan organik 6 ton ha -1 menunjukkan Eh yang lebih rendah dibanding tanpa pengembalian jerami. Nilai Eh terendah pada perlakuan pembenaman jerami mencapai -157 mv, sedangkan tanpa jerami mencapai -136 mv. Nisbah C/N jerami yang digunakan adalah 34.9. Hasil penelitian Wihardjaka (21) dengan pengembalian jerami ber C/N 32.11 ratarata Eh tanah mencapai -152 mv dan aplikasi kompos jerami ber C/N 11.98 rata-rata Eh tanah mencapai -12mV. Respon perubahan Eh tanah terhadap tindakan penggenangan erat berkaitan dengan status kandungan bahan organik tanah (Gao et al., 22). Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah, Eh tanah akan turun secara tajam oleh perlakuan penggenangan. Pada tanah percobaan dengan kandungan C organik tanah 1.45 %, penambahan bahan organik segar berupa jerami tidak berdampak terhadap penurunan Eh secara drastis.

43 Pengaruh pengelolaan (a) air terhadap Eh 2 Pengaruh bahan (b) organik terhadap Eh 2 Eh (mv) 1-1 2 4 6 8 1 12 Eh (mv) 1-1 2 4 6 8 1 12-2 Minggu setelah tanam Tergenang Macak-macak -2 Minggu setelah tanam ton ha-1 6 ton ha-1 Pengaruh pupuk (c) nitrogen terhadap Eh 2 Eh (mv) 1-1 2 4 6 8 1 12-2 Minggu setelah tanam Urea CRF3 CRF5 Gambar 4.9. Pengaruh pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) terhadap Eh tanah Pengembalian jerami ke tanah sawah relatif lebih kecil dibanding pengembalian secara alami dari akar dan tunggul tanaman. Dari pengamatan selintas diperkirakan 15 ton ha -1 berat kering mutlak bahan organik asal akar dan tunggul jerami dikembalikan ke tanah sawah setiap musim tanam. Hal tersebut senada dengan penelitian Sudarsono (2) yang menyatakan bahwa pengembalian bahan organik secara alami melalui akar tanaman padi memegang peranan penting dalam pemeliharaan keseimbangan bahan organik tanah. Dampak penurunan Eh secara drastis oleh pembenaman jerami segar terjadi pada penanaman padi sawah berikutnya (Wihardjaka, 21). Peningkatan konsentrasi carbon mudah larut dalam air dari sisa jerami yang terdekomposisi lebih lanjut menopang penurunan Eh. Aspek praktikal dari informasi tersebut,

44 pembenaman jerami untuk pemeliharaan produktivitas tanah dilakukan pada penanaman padi dan pada rotasi berikutnya lahan tersebut digunakan untuk pertanaman tanpa penggenangan. Dekomposisi sisa jerami secara anaerob pada pertanaman berikutnya diharapkan mampu meningkatkan kapasitas produksi tanah. Antar pemupukan nitrogen tidak menghasilkan Eh tanah yang berbeda nyata. Pemberian Urea cenderung menurunkan Eh tanah lebih besar dibanding pupuk CRF. Pelepasan amonium yang lebih cepat pada urea dibanding dengan CRF berpengaruh terhadap penurunan nilai Eh tanah. Ketersediaan amonium meningkatkan aktivitas mikroba nitrifier di daerah rizosfer dan meningkatkan persaingan penggunaan oksigen antar mikroba. Kondisi tersebut menstimulir kelangkaan oksigen yang memicu respirasi secara anaerob dan diikuti dengan penurunan Eh. Dinamika Eh tanah sawah percobaan antar perlakuan yang dicobakan pada hingga 1 MST disajikan pada Gambar 4.1. Pada hingga 8 MST nilai Eh tanah negatif, sedangkan pada 1 MST nilai Eh tanah positif karena adanya drainase. Selama periode penanaman padi ph tanah meningkat dibanding ph awal. Penggenangan menyebabkan ph tanah sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan macak-macak walau tidak berbeda nyata. Pemberian bahan organik tidak berpengaruh terhadap ph. Antar perlakuan jenis pupuk N tidak terdapat perbedaan ph tanah. Variasi ph tanah oleh lama penggenangan. Pada saat pindah tanam ( MST) ph tanah sekitar 6 kemudian meningkat menjadi ph 7 pada 2 MST kemudian relatif konstan hingga 8 MST. Pada minggu ke 1 turun karena drainase dan minggu ke 12 kembali ke ph awal oleh drainase permanen (Gambar 4.11.). Pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap kadar amonium tanah disajikan pada gambar 4.12. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap kadar amonium tanah pada, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan kadar amonium tanah secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap kadar amonium tanah pada berbagai waktu pengamatan.

45 Dinamika Eh Tanah pada MST Dinamika Eh Tanah pada 2 MST Eh (mv) -5-1 -15-2 Pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N Tergenang Macak-macak t on ha-1 6 t on ha-1 Urea CRF3 CRF5 Eh (mv) -5-1 -15-2 Pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N Tergenang Macak-macak t on ha-1 6 t on ha-1 Urea CRF3 CRF5 Dinamika Eh Tanah pada 4 MST Dinamika Eh Tanah pada 6 MST Eh (mv) -5-1 -15-2 Pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N Tergenang M acak-macak t o n ha-1 6 t o n ha-1 Urea CRF3 CRF5 Eh (mv) -5-1 -15-2 Pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N Terg enang M acak-macak ton ha-1 6 ton ha-1 Urea CRF3 CRF5 Dinamika Eh Tanah pada 8 MST Dinamika Eh Tanah pada 1 MST Tergenang M acak-macak 1 Tergenang M acak-macak Eh (m V) -5-1 -15 Pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N ton ha-1 6 ton ha-1 Urea CRF3 CRF5 Eh (mv) 5-5 Pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N t on ha-1 6 t on ha-1 Urea CRF3 CRF5 Gambar 4.1. Dinamika Eh tanah sawah antar perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N

7. 5 7.5 46 (a) (b) ph 7,5 7 6,5 6 5,5 (c) 2 4 6 8 1 12 Minggu setelah tanam Urea CRF-3 CRF-5 Gambar 4.11. Pengaruh pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) terhadap ph tanah Pada perlakuan pengelolaan air, kadar amonium tanah pada MST dengan perlakuan macak-macak sedikit lebih rendah dibanding perlakuan penggenangan. Hal tersebut disebabkan oleh sebagian amonium pada perlakuan tersebut mengalami nitrifikasi. Dengan suasana macak-macak, amonium dioksidasi oleh nitrifier menjadi nitrat, dugaan tersebut diperkuat data kadar nitrat pada waktu pengamatan tersebut sedikit lebih tinggi dibanding kadar nitrat tanah pada perlakuan penggenangan. Pada pengamatan amonium 4 dan 8 MST, amonium terukur pada perlakuan macak-macak sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan penggenangan. Kadar amonium yang sedikit lebih tinggi tersebut berasal dari mineralisasi N dari bahan organik. Pada suasana macak-macak aktivitas dekomposisi jerami sedikit lebih aktif dibanding suasana tergenang. Dengan kelembaban tanah yang tinggi tahap mineralisasi N dari bahan organik berada pada tahap aminisasi dan amonifikasi dengan produk terminal berupa amonium. Sedangkan pada waktu pengamatan terakhir yaitu 12 MST, kembali kadar amonium pada perlakuan macak-macak sedikit lebih rendah dibanding

47 perlakuan tergenang. Sejak tanaman berumur 9 MST drainase secara berangsur dilaksanakan, kondisi tersebut menyebabkan oksidasi amonium menjadi nitrat pada tanah dengan perlakuan macak-macak. (a) (b) 15 15 NH 4 + -N (ppm) 1 5 4 8 12 Minggu setelah tanam Tergenang NH 4 + -N (ppm) 1 5 4 8 12 Minggu setelah tanam ton ha-1 6 ton ha-1 (c) 15 NH 4 + -N (ppm) 1 5 4 8 12 Minggu setelah tanam Urea CRF3 CRF5 Gambar 4.12. Pengaruh pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) terhadap amonium tanah Pada perlakuan penambahan bahan organik, kadar amonium pada MST pada perlakuan pembenaman jerami sedikit lebih tinggi dibanding dibanding perlakuan tanpa penambahan jerami. Pembenaman jerami selama masa penyiapan lahan telah mampu membebaskan N dari senyawa yang mengandung N mudah larut dalam air. Pada pengamatan amonium 4 dan 8 MST, amonium terukur antar perlakuan bahan organik menunjukkan perbedaan hasil yang tidak

48 berarti. Sedangkan pada waktu pengamatan terakhir yaitu 12 MST, kembali kadar amonium pada perlakuan pembenaman jerami sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan tanpa jerami. Sejak tanaman berumur 9 MST drainase secara berangsur dilaksanakan, kondisi tersebut memacu dekomposisi bahan organik yang membebaskan amonium ke dalam tanah. Takaran jerami padi yang dibenamkan setara dengan 6 ton BKM per hektar dengan kandungan N sebesar.98% yang berarti pengembalian sebesar 58.8 kg N per hektar. Berdasarkan penelitian Bird et al. (21) pembenaman jerami mampu meningkatkan C mic dan N mic lebih tinggi dibanding dengan perlakuan pembenaman abu jerami setelah pembakaran di lapang. Dengan waktu paruh N mic yang berkisar antara.55 hingga.87 tahun, dalam jangka panjang pembenaman jerami akan meningkatkan recovery pupuk N. Pembenaman jerami meningkatkan pool N baik yang aktif maupun yang labil, dan berindikasi menurunkan ketergantungan budidaya padi sawah terhadap penambahan input pupuk N. Pemahaman tersebut semakin memperkuat pentingnya pengelolaan jerami pada budidaya padi sawah. Pengelolaan jerami pada budidaya padi sawah di Indonesia cukup beragam, pada beberapa tempat dibenamkan secara langsung, di tempat lain jerami dibakar terlebih dahulu baru dibenamkan, sementara di lokasi lain jerami ditumpuk pada pematang sawah. Pembenaman jerami dengan cara dicacah kasar dan diaplikasikan bersamaan dengan penggaruan seperti yang dilaksanakan pada penelitian ini merupakan perpaduan memaksimalkan pemanfaatan jerami dengan teknik yang relatif sederhana. Pada perlakuan pupuk nitrogen, kadar amonium tanah pada dan 4 MST pada perlakuan urea sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan CRF. Hal tersebut dapat dimengerti karena urea didisain mempunyai kecepatan larut yang lebih tinggi, sedangkan CRF kelarutannya lebih lambat. Baru pada pengamatan 8 MST, kadar amonium antar perlakuan urea dan CRF tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Kadar amonium yang terukur adalah amonium tersedia dalam tanah setelah penyerapan oleh tanaman. Sedangkan pada pengamatan kadar amonium pada 12 MST, amonium pada perlakuan CRF menjadi sedikit lebih tinggi dibanding urea, residu N yang lebih lambat tersedia pada CRF menjadi tersedia. Dominasi amonium terhadap nitrat antar perlakuan disajikan pada gambar 4.13. Bird et al. (21) menyatakan amonium merupakan bentuk N

49 anorganik terekstrak selama periode penggenangan. Keberadaan nitrat pada tanah sawah menunjukkan bahwa proses nitrifikasi pada tanah sawah dengan kelembaban air yang tinggi tetap terjadi. Kemampuan tanaman padi mentranlokasikan oksigen ke daerah rizosfer, menopang aktivitas nitrifier untuk mengoksidasi amonium menjadi nitrat. Nitrat yang tersedia berpeluang diserap oleh tanaman, diimobilisasi oleh mikroba, tercuci ke lapisan tanah yang lebih rendah yang pada tanah sawah akan terhambat oleh keberadaan lapisan bajak serta mengalami denitrifikasi pada lapisan reduktif menjadi N 2 O dan N 2. Dinamika ammonium dan nitrat pada pengelolaan (a) air 12 12 Dinamika ammonium dan nitrat pada pengelolaan bahan (b) organik ppm-n 8 4 ppm-n 8 4 4 8 12 Minggu setelah tanam 4 8 12 Minggu setelah tanam Ammonium, Tergenang Ammonium, Macak-macak Ammonium, ton ha-1 Ammonium, 6 ton ha-1 Nitrat, Tergenang Nitrat, M acak-macak Nitrat, ton ha-1 Nitrat, 6 ton ha-1 16 Dinamika ammonium dan nitrat pada (c) pengelolaan pupuk nitrogen ppm-n 12 8 4 4 8 12 Minggu setelah tanam Ammonium, Urea Ammonium, CRF3 Ammonium, CRF5 Nitrat, Urea Nitrat, CRF3 Nitrat, CRF5 Gambar 4.13. Kadar amonium dan nitrat tanah pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada, 4, 8 dan 12 MST Tanaman padi menyerap N terutama dalam bentuk amonium, keberadaan nitrat pada tanah sawah tidak terlalu bermanfaat bagi tanaman justru menjadi peluang terjadinya denitrifikasi yang berdampak pada penurunan efisiensi pemupukan N maupun emisi N 2 O. Konsentrasi nitrat tanah tertinggi dijumpai pada pengamatan MST, pada saat tanam difusi oksigen dari atmosfer

5 ke lapisan tanah cukup tinggi dan memacu oksidasi amonium menjadi nitrat. Keberadaan nitrat pada tanah sawah sangat dipengaruhi oleh panjang waktu, frekuensi dan tingkat drainase. Data komposisi N pada kombinasi perlakuan disajikan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Kadar N tanah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N pada, 4, 8 dan 12 MST Perlakuan NH 4 + Kadar N Tanah (ppm N) pada MST 4 MST 8MST 12MST NO 3 - NH 4 + NO 3 - NH 4 + NO 3 - NH 4 + NO 3 - W1B1N1 14 3 95.6 8 1.6 33.3 W1B1N2 3 2 75.6 97 1.1 39 3.5 W1B1N3 69 11 61 1.9 75.5 73.6 W1B2N1 16 3 135 4.8 97 1.8 5 2. W1B2N2 117 16 67.7 83 2.1 54 5.6 W1B2N3 55 6 83 1. 66 2.8 5.2 W2B1N1 49 8 155.2 83.7 28 5.2 W2B1N2 31 4 152.5 93 2. 33 4.6 W2B1N3 39 3 35 1.5 11 2.3 5.6 W2B2N1 78 11 114.3 92 4.8 35.4 W2B2N2 47 12 67 1.6 81 2.9 5 2.1 W2B2N3 99 8 61 3.4 81 2.4 42 2.1 Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Populasi Mikroba Tanah Pengaruh kombinasi perlakuan pengelolan air, bahan organik dan pupuk N terhadap populasi mikroba tanah yaitu mikroba total, nitrobacter, nitrosomonas dan denitrifier disajikan pada Tabel 4.5. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap jumlah total mikroba disajikan pada gambar 4.14. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap jumlah total mikroba tanah pada, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan jumlah total mikroba tanah secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap jumlah total mikroba tanah pada berbagai waktu pengamatan. Pada perlakuan pengelolaan air, jumlah total mikroba tanah pada saat MST antara penggenangan dan macak-macak hampir sama. Penyiapan lahan sebelum tanam dilakukan dengan pengelolaan air yang sama dan tidak mempengaruhi jumlah total mikroba pada saat tanam. Pada pengamatan 4, 8 dan 12 MST, jumlah total mikroba pada perlakuan penggenangan sedikit lebih

51 banyak dibanding pada perlakuan macak-macak. Nampaknya mikroba in situ / tempatan lebih adaptif terhadap perlakuan penggenangan seperti yang biasa diterapkan oleh petani setempat. Perlakuan macak-macak mengubah kondisi lingkungan bagi mikroba tempatan sehingga populasinya belum bisa menyamai pada kondisi yang sudah biasa terjadi. Tabel 4.5. Populasi mikroba tanah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N Perlaku an MT Nitrobacter 1 3 MPN Populasi Mikroba tanah pada MST 4 MST Nitrosomo nas 1 3 Denitrifier Nitrobacter 1 4 MT MPN 1 3 MPN MPN Nitrosomo nas 1 3 MPN Denitrifier 1 4 MPN g -1 BKM tanah) g -1 BKM tanah) W1B1N1 1.1.5.2 2.1 22.3.8 2.9 18.7 W1B1N2 1. 4.5.3 5.4 17.2.5 24.6 4.7 W1B1N3.7.9.9 2.8 5. 1.3 12. 19.2 W1B2N1.2.5.9 2.8 2.6.2 27.4 157.3 W1B2N2 1.6.5 5.1 5.1 23.4.8 17.4 5.2 W1B2N3.8.1.2 6.9 26.6 1.1 23.2 5.5 W2B1N1 1.7.5 4.5 36.1 22.7 1.4 18.1 37.1 W2B1N2 1.3.4.1 6.3 14.1 5.2 17.7 165.9 W2B1N3 1.6 2.2.8 56.1 11.9.8 1.1 132. W2B2N1.7.5.3 48.3 23.5.1 2.4 141.9 W2B2N2.7.8.4 6.1 16.8.3 15. 142.8 W2B2N3.7.4.4 3.6 15.5.3 3.7 194.4 Perlaku an MT Nitrobacter 1 3 MPN Populasi Mikroba tanah pada 8 MST 12 MST Nitrosomo nas 1 3 Denitrifier Nitrobacter 1 4 MT MPN 1 3 MPN MPN Nitrosomo nas 1 3 MPN Denitrifier 1 4 MPN g -1 BKM tanah) g -1 BKM tanah) W1B1N1 3.1.2.6 25.5 39. 1.8 16.8 152. W1B1N2 16.8.6 1.6 311.2 25.2 3.9 23.7 272.1 W1B1N3 11.1 4.3 26.5 157.4 22.4 13.9 24.1 135.7 W1B2N1 8.9 1.2 16.5 115.5 6.2.6 14.5 4.3 W1B2N2 2.5.8 15.2 8.8 17.5 6.7 23.9 268.2 W1B2N3 3.9 2.5 16. 255.1 32.7.6 6.7 266.1 W2B1N1 2.9.5 12.7 115.3 33..3 1.5 127. W2B1N2 7.5.7 18.1 164.5 7. 4.9 21.3 135.2 W2B1N3 7.3 3.4 9.1 154.8 17.1.5 14.1 236. W2B2N1 6.8.7 15.7 41.8 26.7 1.1 16. 115.5 W2B2N2 11.4 1. 24.3 139.9 7.6 1.6 5.8 124.7 W2B2N3 4.4 1.5 3.3 126. 3.8 3.1 13.8 2.3 Keterangan: MT: Mikroba total x 1 7 SPK Pada perlakuan bahan organik, jumlah total mikroba tanah pada saat MST antara perlakuan pembenaman jerami dan tanpa jerami hampir sama. Pembenaman bahan organik jerami yang ber C/N 34.9 selama masa penyiapan lahan belum mampu menyediakan tambahan energi dan tidak mempengaruhi jumlah total mikroba pada saat tanam. Pada pengamatan 4 MST total mikroba pada perlakuan jerami sedikit lebih tinggi dibanding pada perlakuan tanpa jerami. Pada saat tersebut jerami yang dibenamkam telah mengalami dekomposisi yang

52 lebih lanjut dan mampu membebaskan senyawa-senyawa sederhana yang mudah larut dalam air dan mendukung pertumbuhan mikroba. Zaman et al. (22) menyatakan bahwa penambahan bahan organik meningkatkan aktivitas enzimatik dan biomasa mikroba tanah. Begitu pula pada pengamatan 12 MST, total mikroba pada perlakuan jerami sedikit lebih tinggi dibanding pada tanpa jerami. Drainase yang dilaksanakan sebelumnya mampu meningkatkan dekomposisi bahan organik secara aerobik dan mendukung pertumbuhan mikroba heterotrof. (a) (b) Populasi (x 1 7 spk g -1 BKM tanah) 3 25 2 15 1 5 4 8 12 Minggu setelah tanam Populasi (x 1 7 spk g -1 BKM tanah) 3 25 2 15 1 5 Minggu 4 setelah tanam 8 12 Tergenang Macak-macak ton/ha 6 ton/ha (c) Populasi (x 1 7 spk g -1 BKM tanah) 3 25 2 15 1 5 4 8 12 Minggu setelah tanam Ure CRF-3 CRF-5 Gambar 4.14. Jumlah total mikroba tanah pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada, 4, 8 dan 12 MST Populasi total mikroba tanah pada perlakuan pupuk nitrogen menunjukkan pola yang sejalan dengan perlakuan bahan organik. Pada pengamatan MSPT, antar perlakuan pupuk N menghasilkan total mikroba yang hampir sama. Penyiapan lahan dengan pengelolaan air yang sama, serta belum mampunya jerami memberikan tambahan energi bagi mikroba, menyebabkan

53 total mikroba antar perlakuan pupuk N pada saat tanam tidak berbeda. Pada pengamatan 4 MST total mikroba pada perlakuan Urea sedikit lebih tinggi dibanding pada perlakuan CRF, dengan urutan urea, CRF 3 dan CRF 5. Hal ini berkenaan dengan perbedaan tingkat penyediaan hara dari pupuk yaitu berturutturut urea, CRF 3 dan CRF 5 membebaskan hara nitrogen dan menstimulir pertumbuhan mikroba. Begitu pula pada pengamatan 12 MST, total mikroba pada perlakuan urea sedikit lebih tinggi dibanding CRF, dengan urutan urea, CRF 5 dan CRF 3. Drainase yang dilaksanakan sebelumnya mampu meningkatkan pertumbuhan mikroba autotrof. Kesamaan pola dinamika total mikroba pada perlakuan bahan organik dan pupuk nitrogen, menunjukkan kemiripan respon mikroba baik autotrof maupun heterotrof pada tanah sawah terhadap masukan energi. Secara umum pola populasi mikroba pada seluruh perlakuan yang dicobakan terhadap umur tanaman adalah meningkat pada 4 MST seiring dengan kurva pertumbuhan cepat pada tanaman padi. Menurun pada 8 MST yang karena faktor eksternal, beberapa hari sebelum pengamatan dilaksanakan drainase pada seluruh perlakuan karena tanaman menunjukkan gejala keracunan besi. Dan kembali meningkat drastis pada 12 MST pada saat tanaman memasuki fase pengisian biji. Ada korelasi positif antara pertumbuhan tanaman di atas tanah dengan eksudat akar yang dibebaskan. Eksudat tersebut merupakan sumber energi bagi pertumbuhan mikroba tanah. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap nitrosomonas disajikan pada gambar 4.15. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap jumlah nitrosomonas pada, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan jumlah nitrosomonas secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap jumlah nitrosomonas pada berbagai waktu pengamatan. Pada perlakuan pengelolaan air, jumlah nitrosomonas pada saat MST antara penggenangan dan macak-macak hampir sama. Penyiapan lahan sebelum tanam dilakukan dengan pengelolaan air yang sama dan tidak mempengaruhi jumlah nitrosomonas pada saat tanam. Nitrosomonas merupakan mikroba pengoksidasi amonium menjadi nitrit yang juga disebut nitritasi, sebagai reaksi tahap pertama dari proses nitrifikasi. Keberadaan mikroba tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan amonium dan aerasi tanah. Pada pengamatan 4

54 MST, jumlah nitrosomonas pada perlakuan penggenangan sedikit lebih banyak dibanding pada perlakuan macak-macak. Ketersediaan amonium pada 4 MST yang berasal dari hidrolisis pupuk pada perlakuan penggenangan lebih banyak dibanding pada perlakuan macak-macak. Kondisi tergenang yang menghambat pertumbuhan nitrosomonas nampaknya dapat ditolerir oleh mikroba tersebut. Pengaliran air secara berkala untuk mempertahankan kondisi tergenang secara kontinyu, mampu juga meningkatkan oksigen terlarut dalam air sehingga mampu menopang pertumbuhan nitrosomonas. Pada pengamatan 8 MST jumlah nitrosomonas pada perlakuan tergenang sedikit lebih rendah dibanding pada perlakuan macak-macak. Pada saat pengamatan tersebut kadar amonium antara perlakuan penggenangan dan macak-macak hampir sama dan penggenangan berdampak sedikit menekan pertumbuhan nitrosomonas. Pada akhir pengamatan 12 MST kembali nitrosomonas pada perlakuan penggenangan sedikit lebih banyak dibanding macak-macak. Secara umum perlakuan penggenangan tidak berdampak terhadap penghambatan nitrosomonas. Respon nitrosomonas terhadap penambahan bahan organik, ternyata pada masa pengamatan dan 4 MST, nitrosomonas pada perlakuan bahan organik hampir sama dengan tanpa bahan organik. Perlakuan jerami hingga 4 MST belum berpengaruh terhadap ketersediaan substrat maupun lingkungan pertumbuhan nitrosomonas. Baru pada 8 MST, nitrosomonas pada perlakuan jerami sedikit lebih banyak dibanding tanpa jerami, pada saat tersebut hasil dekomposisi bahan organik telah membebaskan sejumlah amonium sebagai sumber energi nitrosomonas. Namun pada akhir pengamatan 12 MST, nitrosomonas pada perlakuan jerami sedikit lebih rendah dibanding tanpa jerami. Pengembalian jerami berpengaruh terhadap perbaikan lingkungan pertumbuhan nitrosomonas. Populasi nitrosomonas terhadap perlakuan pupuk nitrogen baru nampak pada 4 MST. Pada saat tersebut jumlah nitrosomonas pada perlakuan urea dan CRF 3 sedikit lebih tinggi dibanding pada CRF 5. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa pelepasan N dari urea yang relatif cepat dan cukup banyak N telah dibebaskan dari CRF 3 karena pupuk tersebut mampu melepaskan 8% N pada 3 hari setelah aplikasi. Pada pengamatan nitrosomonas 8 MST, sebaliknya nitrosomonas pada perlakuan CRF 5 sedikit lebih banyak dibanding pupuk N lain, karena pada saat tersebut telah lebih dari 8% N dibebaskan oleh pupuk tersebut.

55 (a) (b) (c) Nitrosomonas (x 1 3 MPN g -1 BKM tanah) 25 2 15 1 5 4 8 12 Minggu setelah tanam Ure CRF-3 Gambar 4.15. Jumlah nitrosomonas pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada, 4, 8 dan 12 MST Terdapat korelasi yang erat antara nitrosomonas dengan total mikroba tanah (r=.646) pada MST, yang bermakna sekitar 41.7% variasi perubahan total mikroba dapat dijelaskan oleh variasi perubahan nitrosomonas. Sedangkan korelasi antara nitrosomonas dengan nitrifier pada, 4, 8 dan 12 MST berturutturut mencapai sebesar r=.7841,.9884,.9929, dan.9147, dengan korelasi secara keseluruhan -12 MST sebesar.9669, n=84. Berarti sekitar hampir 93.5% variasi perubahan nitrifier dapat dijelaskan oleh variasi perubahan nitrosomonas. Hubungan antara nitrosomonas dengan nitrifier dapat dinyatakan dengan persamaan y = 1.93x +.5225, R =.9339, di mana y adalah populasi nitrifier dan x adalah populasi nitrosomonas. Informasi tersebut juga mengindikasikan dominansi peran nitrosomonas dalam proses nitrifikasi, kondisi ini berbeda dengan lahan kering dimana populasi nitrobacter lebih dominan sebagai nitrifier seperti ditunjukkan pada Tabel 4.2.

56 Korelasi antara nitrosomonas dengan nitrobacter pada, 4, 8 dan 12 MST berturut-turut mencapai sebesar r=-.1743,.3319,.3526, dan.425, dengan korelasi secara keseluruhan -12 MST sebesar.347, n=84. Pada MST antara populasi nitrosomonas dengan populasi nitrobacter tidak berkorelasi dan menunjukkan gejala saling berkompetisi, dengan meningkatnya waktu dari 4 ke 12 MST peningkatan populasi nitrosomonas diikuti dengan peningkatan populasi nitrobacter. Oksidasi amonium menjadi nitrit oleh nitrosomonas menyediakan sumber energi bagi nitrobacter untuk mengoksidasi nitrit menjadi nitrat. Sayangnya korelasi antara nitrosomonas dengan kadar amonium tanah (sebagai sumber energi) dan kadar nitrat (hasil akhir nitrifikasi) tidak menunjukkan angka yang tinggi. Hal ini dapat dipahami bahwa amonium dan nitrat tanah yang diukur adalah pada kondisi amonium dan nitrat telah dimanfaatkan oleh tanaman maupun mikroba. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap nitrobacter disajikan pada Gambar 4.16. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap jumlah nitrobacter pada, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan jumlah nitrobacter secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap jumlah nitrobacter pada berbagai waktu pengamatan. Nitrobacter merupakan mikroba pengoksidasi nitrit menjadi nitrat atau proses nitratasi, sebagai reaksi tahap kedua dalam nitrifikasi. Dari aspek mata rantai makanan, keberadaan nitrobacter merupakan kelanjutan dari nitrosomonas. Kehadirannya sangat dibutuhkan karena peningkatan konsentrasi nitrit sebagai hasil antara proses nitrifikasi yang dilakukan oleh nitrosomonas, bersifat toksik bagi tanaman budidaya. Aktivitas mikroba ini dipengaruhi oleh konsentrasi nitrit dalam substrat dan aerasi. Respon Nitrobacter terhadap perlakuan pengelolaan air, hampir pada seluruh waktu pengamatan (, 8 dan 12 MST), nitrobacter pada perlakuan penggenangan sedikit lebih tinggi dibanding dengan macak-macak. Hal ini berkaitan dengan hasil aktivitas oksidasi amonium pada kondisi tergenang, keberadaan nitrit yang lebih banyak pada suasana tergenang menjadi sumber energi bagi pertumbuhan nitrobacter.

5 5 57 (a) (b) Populasi Nitrobacter (x 1 3 MPN g -1 ) 5 4 3 2 1 (c) 4 8 12 Minggu setelah tanam Urea CRF-3 CRF-5 Gambar 4.16. Jumlah nitrobacter pada perlakuan pengelolaan air (a), bahan organik (b) dan pupuk nitrogen (c) pada, 4, 8 dan 12 MST Pada seluruh waktu pengamatan, nitrobacter pada perlakuan jerami sedikit lebih rendah dibanding tanpa jerami. Dekomposisi jerami menghasilkan sejumlah substrat organik yang siap dioksidasikan. Terjadi peluang persaingan antara mikroba pengoksidasi nitrit (nitrobacter) yang bersifat autotrof dengan pengoksidasi senyawa organik yang bersifat heterotrof. Perlakuan pupuk CRF menyebabkan populasi nitrobacter yang sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan urea, pada seluruh waktu pengamatan (, 4, 8 dan 12 MST). Pengaruh CRF terhadap populasi nitrobacter semakin menguat dengan umur tanaman. Hal ini berkaitan dengan waktu tunda kelarutan hara pada pupuk CRF. Pada keseluruhan waktu pengamatan tidak didapat korelasi yang nyata antara nitrobacter dengan total mikroba. Nitrobacter berkorelasi sangat nyata terhadap total nitrifier dengan nilai korelasi r =.5393 (p.1) dengan n=84. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam proses nitrifikasi peran nitrobacter kurang menonjol dibanding nitrosomonas. Lebih kecilnya populasi nitrobacter dibanding

58 nitrosomonas terhadap keseluruhan nitrifier, perlu dikaji lebih cermat. Karena kelebihan nitrit hasil kerja nitrosomonas yang tidak mampu seluruhnya dimanfaatkan oleh nitrobacter, potensial di denitrifikasi menjadi N 2 O. Memang pendekatan populasi tidak sepenuhnya akurat untuk memprediksi aktivitas nitrosomonas maupun nitrobacter, karena seringkali populasi tidak mencerminkan aktivitas mikroba. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap denitrifier disajikan pada Gambar 4.17. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap jumlah denitrifier pada, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan jumlah denitrifier secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap jumlah denitrifier pada berbagai waktu pengamatan. Denitrifier berperan dalam reaksi reduksi nitrat menjadi nitrit, kemudian menjadi N 2 O dan atau N 2 yang dibebaskan ke atmosfer dalam bentuk gas. Berdasarkan kiprah kerja denitrifier, keberadaan mikroba tersebut erat berkaitan dengan ketersediaan nitrat serta suasana reduktif dalam tanah. Dalam siklus nitrogen secara utuh, keberadaan denitrifier merupakan bagian dari nitrifikasi, sebagian nitrat hasil nitrifikasi menjadi sumber energi bagi denitrifier. Reaksi denitrifikasi yang secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut: - - NO 3 NO 2 NO N 2 O N 2 Jumlah denitrifier pada dan 4 MST pada perlakuan penggenangan sedikit lebih rendah dibanding pada perlakuan macak-macak. Pada 8 dan 12 MST, denitrifier pada perlakuan penggenangan sedikit lebih banyak dibanding pada perlakuan macak-macak. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa bahwa respon denitrifier terhadap pengelolaan air sangat fleksibel. Pada kondisi macakmacak dukungan lingkungan tumbuh denitrifier setara dengan pada kondisi tergenang. Respon denitrifier terhadap penambahan bahan organik baru nampak pada 8 dan 12 MST, dimana penambahan jerami justru sedikit menekan pertumbuhan denitrifier. Pendapat secara umum penambahan jerami menstimulir suasana reduktif yang mendukung pertumbuhan denitrifier. Keberadaan denitrifier merupakan resultante sejumlah faktor meliputi kandungan air tanah, kandungan bahan organik tanah, potensial redoks, respirasi tanah. Nampaknya