INTENSITAS IKATAN NON-LINIER FONON-FRAKTON DALAM JARING PERKOLASI DUA DIMENSI. Heri Jodi *



dokumen-dokumen yang mirip
(2) dengan adalah komponen normal dari suatu kecepatan partikel yang berhubungan langsung dengan tekanan yang diakibatkan oleh suara dengan persamaan

TUGAS MATA KULIAH ILMU MATERIAL UMUM THERMAL PROPERTIES

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Kristal Semikonduktor yang mencakup:

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah informasi dan referensi mengenai interaksi nukleon-nukleon

PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D

Getaran Dalam Zat Padat BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Gas elektron bebas yang mencakup: Elektron

Elektron Bebas. 1. Teori Drude Tentang Elektron Dalam Logam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SIFAT LISTRIK SUPERKONDUKTOR Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ (ECCO) UNTUK UNDER-DOPED

GETARAN DAN GELOMBANG

Untai Elektrik I. Waveforms & Signals. Dr. Iwan Setyawan. Fakultas Teknik Universitas Kristen Satya Wacana. Untai 1. I. Setyawan.

FONON I : GETARAN KRISTAL

Bab II. Prinsip Fundamental Simulasi Monte Carlo

Mesin Carnot Kuantum Berbasis Partikel Dua Tingkat di dalam Kotak Potensial Satu Dimensi

Experiment indonesian (Indonesia) Loncatan manik-manik - Sebuah model transisi fase dan ketidak-stabilan (10 poin)

PARTIKEL DALAM SUATU KOTAK SATU DIMENSI

FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON

IPA KESEHATAN: Fisika. Dr. Zaroh Irayani, M.Si.

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR

FISIKA FMIPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 Alfan Muttaqin/M

PROBABILITAS PARTIKEL DALAM KOTAK TIGA DIMENSI PADA BILANGAN KUANTUM n 5. Indah Kharismawati, Bambang Supriadi, Rif ati Dina Handayani

The Forced Oscillator

DAN TEGANGAN LISTRIK

C.1 OSILASI GANDENG PEGAS

Probabilitas dan Statistika Fungsi Distribusi Peluang Kontinyu. Adam Hendra Brata

GETARAN DAN GELOMBANG

MODUL 1 KULIAH SEMIKONDUKTOR

ARUS LISTRIK. Di dalam konduktor / penghantar terdapat elektron bebas (muatan negatif) yang bergerak dalam arah sembarang (random motion)

Fisika Dasar I (FI-321)

LATIHAN UJIAN NASIONAL

Gelombang sferis (bola) dan Radiasi suara

Catatan Kuliah FI1101 Fisika Dasar IA Pekan #8: Osilasi

VI. Teori Kinetika Gas

GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN (GBPP)

MEKANIKA KUANTUM DALAM TIGA DIMENSI

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai.

Gelombang FIS 3 A. PENDAHULUAN C. GELOMBANG BERJALAN B. ISTILAH GELOMBANG. θ = 2π ( t T + x λ ) Δφ = x GELOMBANG. materi78.co.nr

GERAK HARMONIK SEDERHANA

BAB II LANDASAN TEORI

MAKALAH PITA ENERGI. Di susun oleh, Pradita Ajeng Wiguna ( ) Rombel 1. Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fisika dan Teknologi Semikonduktor

IKATAN KIMIA DALAM BAHAN

MOLEKUL, ZAT PADAT DAN PITA ENERGI MOLEKUL ZAT PADAT PITA ENERGI

BAB III ALAT PENGUKUR ALIRAN BERDASARKAN WAKTU TEMPUH GELOMBANG ULTRASONIK. Gelombang ultrasonik adalah salah satu jenis gelombang akustik atau

(6.38) Memasukkan ini ke persamaan (6.14) (dengan θ = 0) membawa kita ke faktor refleksi dari lapisan

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Mengenal Sifat Material. Teori Pita Energi

Hasil dan Pembahasan

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK

BAB II PENERAPAN HUKUM THERMODINAMIKA

PENDAHULUAN Anda harus dapat

II LANDASAN TEORI. Besaran merupakan frekuensi sudut, merupakan amplitudo, merupakan konstanta fase, dan, merupakan konstanta sembarang.

Dibuat oleh invir.com, dibikin pdf oleh

PR ONLINE MATA UJIAN: FISIKA (KODE A07)

Bab 6. Elektron Dalam Zat Padat (Teori Pita Energi)

Teori Kinetik & Interpretasi molekular dari Suhu. FI-1101: Teori Kinetik Gas, Hal 1

KARAKTERISTIK SYMMETRIC NUCLEAR MATTER PADA TEMPERATUR NOL

TEORI KINETIK GAS (II) Dr. Ifa Puspasari

PEMBANGKIT RANDOM VARIATE

D. I, U, X E. X, I, U. D. 5,59 x J E. 6,21 x J

GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN (GBPP) UNIVERSITAS DIPONEGORO

Getaran sistem pegas berbeban dengan massa yang berubah terhadap waktu

4 Hasil dan Pembahasan

GETARAN DAN GELOMBANG STAF PENGAJAR FISIKA DEP. FISIKA IPB

Studi Komputasi Gerak Bouncing Ball pada Vibrasi Permukaan Pantul

ANALISIS LANJUTAN. Tingkat Energi & Orbit Elektron. Pita Energi Semikonduktor Intrinsik. Pita Energi Pada Semikonduktor Ter-Doping

Yang akan dibahas: 1. Kristal dan Ikatan pada zat Padat 2. Teori Pita Zat Padat

IX. Aplikasi Mekanika Statistik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

DETEKTOR RADIASI INTI. Sulistyani, M.Si.

STurn SIFAT VIBRASI LOKAL SEMIKONDUKTOR AMORF SILIKON KARBON (a-sic:h)1

BAB III. Proses Fisis Penyebab Fluktuasi Temperatur CMB

BAB IV OSILATOR HARMONIS

BAB 2 DATA DAN METODA

Sidang Tugas Akhir - Juli 2013

MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

4. Buku teks: Introduction to solid state physics, Charles Kittel, John Willey & Sons, Inc.

1. Sekumpulan angka untuk menerangkan sesuatu, baik angka yang belum tersusun maupun angka angka yang sudah tersusun dalam suatu daftar atau grafik.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MODUL V FISIKA MODERN RADIASI BENDA HITAM

PENGARUH IRADIASI-γ TERHADAP REGANGAN KISI DAN KONDUKTIVITAS IONIK PADA KOMPOSIT PADAT (LiI) 0,5 (Al 2 O 3.4SiO 2 ) 0,5

3. Termodinamika Statistik

PAKET SOAL 1.c LATIHAN SOAL UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2011/2012

Kajian Sistem Terfrustasi pada Bahan Antiferromagnet dengan Model Ising 2D

BAB III. KECEPATAN GRUP DAN RAPAT KEADAAN BAB IV. SUHU KRITIS...52 BAB VI. DAFTAR PUSTAKA...61

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Mata Kuliah GELOMBANG OPTIK TOPIK I OSILASI. andhysetiawan

BAB II DASAR TEORI. A. Kemagnetan Bahan. Secara garis besar, semua bahan dapat dikelompokkan ke dalam bahan magnet. seperti terlihat pada Gambar 2.

DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA

PEMBAHASAN SOAL PRA UAN SOAL PAKET 2

Termodinamika. Energi dan Hukum 1 Termodinamika

Simulasi Sifat Fisis Model Molekuler Dinamik Gas Argon dengan Potensial Lennard-Jones

Bab VIII Teori Kinetik Gas

T 19 Kerapatan Keadaan pada Struktur Nano Berbentuk Sumur Nano, Kawat Nano dan Titik Nano

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

Copyright all right reserved

BAB III KONDUKSI ALIRAN STEDI - DIMENSI BANYAK

ANALISIS POLA INTERFERENSI CELAH BANYAK UNTUK MENENTUKAN PANJANG GELOMBANG LASER He-Ne DAN LASER DIODA

Transkripsi:

INTENSITAS IKATAN NON-LINIER FONON-FRAKTON DALAM JARING PERKOLASI DUA DIMENSI Heri Jodi * ABSTRAK INTENSITAS IKATAN NON-LINEAR FONON-FRAKTON DALAM JARING PERKOLASI DUA DIMENSI. Kelakuan panas bahan amorf sangatlah spesifik dan berbeda dengan kristal biasa. Setelah membentuk daerah datar, konduktivitas panas bahan ini naik kembali pada temperatur diatas 10 K. Fenomena ini diperkirakan terjadi karena adanya ikatan non-linier antara fonon dengan moda yang terlokalisasi kuat. Dengan asumsi bahwa moda tersebut adalah frakton, telah dihitung intensitas ikatan fonon-frakton dalam sebuah jaring perkolasi dua dimensi. Didapatkan koefisien ikatan fonon-frakton dalam jaring perkolasi lebih besar puluhan kali lipat dibandingkan dengan harganya untuk ikatan fonon-fonon. Disimpulkan bahwa frakton merupakan model yang efektif untuk menerangkan kelakuan konduktivitas panas bahan amorf pada suhu rendah. Kata-kata kunci : konduktivitas panas, frakton, jaring perkolasi, koefisien ikatan non-linier ABSTRACT THE INTENSITY OF PHONON-FRACTON AN-HARMONIC COUPLING IN A 2-D PERCOLATION NET. Thermal conductivity of amorphous materials such as glasses has a very specific feature which is different from common crystals. The thermal conductivity has a plateau area around 10 K and increases again from the plateau area just above 10 K. This phenomenon may be resulted from the presence of an-harmonic coupling between vibrational mode called phonon with another vibrational mode which is strongly localized. Assuming that the strongly localized mode is fracton, we calculated the intensity of phonon-fracton coupling in a 2-D percolation net. The result is that the magnitude of an-harmonic phonon-fracton coupling arises to several ten times larger than that of phonon-phonon coupling. It is concluded that fracton is an effective model to explain the feature of thermal conductivity of amorphous material at low temperature. Keywords : thermal conductivity, fracton, percolation net, anharmonic coupling coefficient. PENDAHULUAN Bahan-bahan amorf seperti gelas banyak digunakan dalam dunia teknologi sekarang. Silikon amorf misalnya, banyak digunakan sebagai baterai tenaga surya dengan biaya produksi lebih murah dibandingkan dengan kristal tunggal Silikon. Bahan-bahan ini tidak mempunyai keteraturan (periodisitas) dalam strukturnya. * Pusat Penelitian dan Pengembangan Ilmu Bahan BATAN

Kelakuan panas bahan amorf pada suhu rendah berbeda dengan kristal biasa. Pada suhu dibawah 10 K, amorf mempunyai konduktivitas panas sebanding dengan T 2. Pada suhu sekitar 10 K, konduktivitas panas membentuk daerah datar (plateau), dan kemudian naik lagi di atas suhu 10 K. Kelakuan panas ini sangatlah spesifik dan merupakan kelakuan yang universal dari semua bahan gelas dan makromolekul [1]. Gambar 1 menunjukkan konduktivitas panas beberapa bahan gelas yang diambil dari hasil penelitian R.C. Zeller dkk. [1]. Gambar 1. Konduktivitas panas beberapa bahan gelas naik sebanding dengan T 2 pada suhu dibawah 10 K, membentuk daerah datar pada suhu sekitar 10 K dan naik kembali di atas 10 K[1]. Kenaikan konduktivitas panas gelas dari daerah datar dihubungkan dengan kemunculan moda vibrasi yang terlokalisasi dengan kuat dalam daerah temperatur tersebut. Moda terlokalisasi kuat itu adalah moda vibrasi yang terikat dalam daerah yang sempit yang dibangkitkan dari sistem acak (random) dengan korelasi yang kuat. Misalnya frakton, moda karakteristik dari sebuah sistem dengan simetri kesamaan diri (disebut fraktal), merupakan moda yang terlokalisasi kuat dengan ciri khas hanya memiliki satu skala besaran yaitu panjang korelasi. Frakton mempunyai besaran dimensi yang bukan bilangan rasional yang disebut dimensi frakton ð, dan rapat keadaan D(ω) ω ð-1 [2,3,4]. Sebagian besar sistem acak yang ada di alam ini dalam

arti statistik merupakan bentuk fraktal (fraktal acak). Bahan gelas yang memiliki struktur fraktal adalah Silica-aerogels [5]. Diperkirakan ada interaksi non-linear antara moda fonon dengan moda terlokalisasi kuat dalam bahan amorf yang menyebabkan konduktivitas panas bahan ini naik kembali dari daerah datar. Untuk melihat berapa besar intensitas ikatan tersebut, dilakukan penghitungan numerik dalam sebuah model fraktal acak yang disebut jaring perkolasi dua dimensi. Hasil penghitungan tersebut akan memberi pertimbangan tentang efektivitas model frakton sebagai model mikroskopik untuk menerangkan kelakuan konduktivitas panas gelas. TEORI Dalam percobaan menggunakan hamburan neutron inelastik pada silika amorf ditemukan puncak moda vibrasi baru yang bukan fonon. Dari perhitungan dengan menggunakan model SiO 4, diketahui moda tersebut merupakan moda terlokalisasi kuat dalam daerah penyebaran sekitar 10Å, dengan frekuensi sekitar 200 GHz atau setara dengan suhu 10 K[6]. Hal ini mengindikasikan bahwa moda terlokalisasi kuat mempunyai peranan yang penting terhadap kelakuan panas gelas pada temperatur rendah. Indikasi ini diperkuat oleh keberhasilan sebuah model menggambarkan konduktivitas panas gelas dalam daerah jangkauan suhu yang yang cukup lebar. Yang menjadi perhatian adalah model ini bekerja atas dasar asumsi bahwa di dalam bahan gelas terdapat moda terlokalisasi kuat, dan bahwa setiap moda mempunyai potensial yang merupakan fungsi non-linier[7]. Sehingga disimpulkan bahwa untuk melihat fenomena konduktivitas panas bahan gelas, perlu dipertimbangkan hadirnya moda terlokalisasi kuat pada suhu sekitar 10 K. Pada suhu rendah moda terlokalisasi kuat sangat sedikit jumlahnya, dan tidak mempunyai kontribusi pada penghantaran panas. Ketika T >10 K, energi serta amplitudo vibrasi tiap atom semakin besar, sehingga terjadi interaksi (ikatan) diantara moda yang ada. Ikatan antara moda fonon dengan moda terlokalisasi kuat mengakibatkan loncatan (hopping) pusat lokalisasi moda, dan terus bertambah seiring dengan kenaikan temperatur. Hal inilah yang diperkirakan membawa aliran panas dan mengakibatkan naiknya konduktivitas panas[8,9]. Probabilitas transisi moda λ ke moda λ ( W λλ ) dari hukum emas (Golden Rule) dari Fermi, mengisyaratkan bahwa W λλ (C eff ) 2, di mana C eff adalah koefisien efektif ikatan non-linier (intensitas ikatan moda). W λλ = (2π/h) <λ H anh λ> 2 δ(e λ - E λ ) H anh = C eff [ u(r)] 3 d 3 r : Hamiltonian anharmonik

Setelah probabilitas tersebut dijumlahkan untuk seluruh moda λ, akan diperoleh umur moda λ (life time τ λ ) sebagai berikut. 1/τ λ (C eff ) 2. (1) Bila konduktivitas panas terjadi karena proses fonon + frakton frakton, maka κ hopping Σ λ (fn,fr1 fr2) (1/τ λ ) T. Sehingga setelah daerah datar, konduktivitas panas menjadi κ = κ plateau + αt, (α adalah konstanta). Ketergantungan konduktivitas panas terhadap temperatur ini telah dibuktikan dalam eksperimen menggunakan resin epoxy[10]. Bahan gelas memiliki struktur tidak teratur (acak), akan tetapi belum tentu merupakan sistem fraktal. Bahan ini mempunyai banyak panjang korelasi dalam skala 5~20 Å, tetapi kelakuan panasnya tidak tergantung pada ragam panjang korelasi tersebut[11]. Bahan ini juga mempunyai moda yang terlokalisasi kuat. Sehingga dengan menganggap salah satu panjang korelasinya sebagai korelasi fraktal dan moda terlokalisasi kuatnya sebagai moda frakton, menjadikan fraktal sebagai model untuk mengetahui kelakuan panas gelas tidak akan memberikan gambaran yang salah. Dalam percobaan yang menggunakan resin epoxy dengan struktur tatanan Cantor, ditemukan bahwa harga intensitas ikatan fonon-frakton lebih besar lima kali lipat dibandingkan dengan harganya untuk ikatan fonon-fonon[12]. Untuk menghitung intensitas ikatan fonon-frakton tersebut, kali ini digunakan model jaring perkolasi, sebuah bentuk fraktal acak yang mempunyai ikatan-ikatan lemah dalam strukturnya yang tidak terdapat dalam struktur tatanan Cantor[3,13]. Ikatan-ikatan ini diharapkan memberikan efek non-linieritas yang lebih besar sehingga didapatkan harga intensitas ikatan fonon-frakton yang lebih besar. METODA PENGHITUNGAN Dalam sebuah sistem kisi yang terbentuk dari N buah partikel bermassa m yang saling berikatan, keseluruhan energi sistem dapat dituliskan sebagai berikut, E = (1/2) m Σ i (u i ) 2 + (1/2) Σ i,j k ij u i u j + (1/3) Σ i,j,k l ijk u i u j u k di mana u l adalah besar amplitudo getaran (jarak pergeseran) partikel ke l, k ij adalah konstanta pegas yang menghubungkan partikel ke i dengan partikel ke j, di mana

berlaku (k ij = k ji ). Sedangkan l ijk adalah variabel yang berharga konstan untuk setiap ijk tertentu. Bila pada kondisi awal moda λ 0 mempunyai energi sebesar E 0, maka seiring dengan bertambahnya waktu t, energinya akan berkurang oleh interaksi energi dengan moda lain. Sehingga energi sistem pada saat t bisa dituliskan sebagai berikut. E λo (t) = E 0 exp (- t / τ λ ). (2) Energi moda E λo akan berkurang dengan cepat seiring dengan menguatnya intensitas interaksi antar moda, dan mengakibatkan umur moda (life-time) τ λo menjadi pendek. Ini berarti bila harga C eff semakin besar, maka harga τ λo akan menjadi kecil. Oleh karena itu dengan mencari besarnya energi, maka akan didapatkan harga τ dan C eff. Rasio (perbandingan) intensitas ikatan fonon-frakton dengan intensitas ikatan fonon-fonon bisa dihitung dari persamaan (1). ( C eff ) ph-fr / ( C eff ) ph-ph [τ ph / τ fr ] (3) Urutan penghitungan kali ini adalah sebagai berikut: Menghitung pola moda (mode pattern) frakton dalam jaring perkolasi. Menghitung energi sistem dengan persamaan gerak yang memiliki suku non-linear dengan menggunakan metoda ekspansi waktu. Jarak pergeseran awal partikel diperoleh dari hasil penghitungan pola moda. Mendapatkan harga τ (umur moda) frakton dari energi moda. Dengan urutan yang sama melakukan penghitungan untuk moda fonon. Menghitung rasio intensitas ikatan fonon-frakton dengan ikatan fonon-fonon. Metoda penghitungan yang dipakai untuk menghitung rapat keadaan (DOS) sistem dan pola modanya adalah Metoda Gaya Penggetar Luar (Forced Oscillator Method) yaitu dengan memanfaatkan gejala resonansi yang diakibatkan oleh pemberian gaya luar yang periodik secara terus-menerus pada setiap titik kisi[4,14]. Ketika ke dalam sebuah sistem kisi diberikan sebuah gaya luar yang periodik, persamaan gerak kisi tersebut adalah M j (u j ) (t) = -Σ k Φ jk u k (t) + F j cos(ω t) (4) di mana F j = F o cos(φ j ) m j ; adalah gaya luar yang berikan pada titik kisi j, F o adalah konstanta dan φ j adalah bilangan acak pada daerah [0;2π]. Jarak pergeseran titik kisi u j (t) merupakan penjumlahan dari amplitudo moda-moda standar Q λ (t). u j (t) = Σ λ Q λ (t) e j (λ)/ m j. (5)

Bila solusi persamaan (4) mempunyai ketergantungan waktu sebesar ~ exp(iωt), maka persamaan gerak kisi sebagai fungsi amplitudo moda Q λ (t) adalah Q λ (t) + ω λ 2 Q λ (t) = Σ j F j cos (Ωt) e j (λ)/ m j. (6) Bila penambahan gaya luar tersebut dilakukan terus menerus dalam waktu yang relatif panjang, energi rata-rata sistem yang diakibatkannya adalah <E> = (1/8)πtF o 2 Σ λ δ(ω λ - Ω) sehingga dengan membandingkan persamaan tersebut terhadap rumus umum kerapatan keadaan, diperoleh rapat keadaan (DOS) sistem dengan N buah titik kisi adalah sebagai berikut. D(Ω) = 8 <E> / πtf o 2 N. (7) Solusi persamaan (6) dengan kondisi awal Q λ (t=0) = 0 adalah Q λ (t) = 2 Σ j F j e j (λ) /( m j ) [2 sin (Ω+ω λ )t/2 sin (Ω-ω λ )t/2] / (Ω 2 - ω λ 2 ). Ketika ke dalam sistem diberikan gaya luar selama selang satuan waktu t pertama, amplitudo titik kisi ke j adalah merupakan penjumlahan amplitudo moda-moda yang mempengaruhinya, dan menjadi sebagai berikut. u (1) j (t) = 1/( m j ) Σ λ F λ h(ω,ω λ,t) e j (λ) F λ = Σ j F j e j (λ) / m j h(ω,ω λ,t) = [2 sin (Ω+ω λ )t/2 sin (Ω-ω λ )t/2] / (Ω 2 - ω 2 λ ). Dengan berlandaskan pada besar pergeseran tiap titik kisi ini, ditetapkan besar amplitudo gaya luar periodik yang diberikan pada tiap titik kisi pada putaran waktu t selanjutnya sebagai berikut. F j (1) = m j u j (1) (t) Setelah sistem dikembalikan ke dalam kondisi awal, maka diberikan lagi gaya (1) luar periodik F j cos(ωt) selama selang satuan waktu t selanjutnya. Angka dalam kurung superskrip menunjukkan jumlah proses pemberian gaya luar yang telah diberikan. Setelah proses tersebut dilakukan p kali, pergeseran tiap titik kisi akan menjadi

u j (p) (t) = 1/( m j ) Σ λ F λ h p (Ω,ω λ,t) e j (λ). (8) Jika pengulangan di atas dilakukan dengan cukup, maka akan terdapat sebuah moda (misal λ 1 ) yang mempunyai amplitudo sangat besar dibandingkan dengan modamoda lain. Moda ini mempunyai frekuensi ω λ memberikan harga yang paling besar pada harga mutlak dari fungsi-h persamaan (8). Dengan cara ini dihitung pola-pola moda frekuensi tertentu. Terhadap pola-pola moda yang dihitung, diperlukan penilaian atas ketunggalannya. Untuk itu telah digunakan sebuah indeks δ l yang merupakan parameter pencampuran moda pada titik kisi j. δ j = - (1/ m j ) {Σ k φ jk u k + ϖ 2 m j u j } δ l akan berharga =0 jika dan hanya jika pada titik kisi j terdapat hanya satu-satunya moda yang terbentuk (λ o ), jadi pada saat ϖ = ω λo. Bila u j merupakan pola moda lain yang mempunyai frekuensi yang dekat dengan Ω, maka ϖ ω λo dan δ l akan mempunyai harga yang kecil. Jaring perkolasi kisi segi empat dua dimensi yang digunakan, memiliki tingkat non-linieritas orde empat dengan Hamiltonian sebagai berikut. H = Σ j (p j ) 2 /2m + (1/2) Σ jj' k jj' ( u j' u j ) 2 + (1/4) Σ jj' β jj' ( u j' u j ) 4 k jj adalah konstanta pegas yang menghubungkan titik ke j dengan titik ke j (k jj = 1), dan β jj' adalah konstanta pegas non-linier. Di antara keduanya berlaku hubungan β jj' = α k jj' di mana α<< 1. Titik-titik kisi yang diperhitungkan hanyalah titik-titik kisi terdekat (4 buah) di sekeliling titik kisi acuan. Semua massa partikel pada tiap titik kisi dimuat m = 1, dan setiap konstanta pegas (non-linier) dikalikan dengan sebuah indeks c = 1 bila di antara kedua titik kisi terdapat ikatan dan c = 0 bila diantaranya tidak terdapat ikatan. Kondisi awal tiap titik kisi ditetapkan menggunakan pola moda e j (λ o ) yang telah dihitung pada proses sebelumnya. u j (0) = C e j (λ o ) ; v j (0) = 0 C adalah konstanta yang tak bergantung pada waktu dan koordinat titik kisi. Energi moda λ o ditulis sebagai fungsi amplitudo moda. E λo (t) = (1/2) { (Q λo (t)) 2 + (ω λo Q λo (t)) 2 } Q λo (t) diperoleh dengan cara mengalikan persamaan (5) dengan e j (λ o ) m j dan hasilnya dijumlahkan untuk seluruh titik kisi.

Σ j u j (t) e j (λ o ) m j = Σ λ Q λ (t) Σ j e j (λ) e j (λ o ) = Q λo (t) Semua penghitungan dijalankan dengan program komputer menggunakan bahasa pemograman FORTRAN, dilakukan dengan cara mengubah parameter kontinyu waktu t menjadi parameter diskrit dengan interval t. HASIL DAN PEMBAHASAN Jaring perkolasi yang digunakan berbentuk kisi segi empat dua dimensi ukuran 200 x 200 titik kisi, dibuat dengan cara menghilangkan ikatan dari kisi normal secara acak dengan probabilitas 1-p. Harga probabilitas pengikatan p = 0,6 dan harga dimensi frakton ð = 4/3. Tahap pertama dihitung rapat keadaan (Density Of States/DOS) sistem. Dari hasil penghitungan didapatkan bahwa daerah frekuensi frakton meliputi daerah sekitar ω 0,2 0,7 (s -1 ) -- daerah di mana D(ω) ω ð-1. Daerah frekuensi yang lebih rendah dari daerah tersebut adalah daerah fonon (Gambar 2). Gambar 2. Rapat Keadaan (DOS) dari sistem jaring perkolasi ikatan dengan harga p=0,6. Daerah frekuensi frakton terdapat pada daerah frekuensi ω 0,2 0,7 (s -1 ) Selanjutnya dihitung pola moda untuk frakton pada tiga buah frekuensi eigen yang berbeda, masing-masing ω 1 =0,2 s -1, 0,3 s -1 dan 0,4 s -1. Gambar pola moda-moda disekitar pusat lokalisasi moda disajikan pada Gambar 3. Rasio pengotoran moda

untuk semua pola moda yang dihitung adalah δ l < 10-5 sehingga bisa dikatakan modamoda tersebut merupakan moda-moda frakton murni. Dengan cara yang sama telah dihitung pula pola moda untuk sistem kisi teratur (p=1). Kondisi batas sistem ini telah dibuat mengikuti kondisi batas periodik. Gambar 3. Pola moda jaring perkolasi ikatan dua dimensi di sekitar pusat lokalisasi, dari kiri ke kanan masing-masing ω 1 = 0,2 s -1, ω 2 = 0,3 s -1, ω 3 = 0,4 s -1. Probabilitas pengikatan p=0,6. Dengan menggunakan harga pola moda, dihitung energi moda untuk setiap tahapan waktu. Harga konstanta non-linieritas adalah α= 0,2 (untuk ω=0,2 s -1 ), α= 0,05 (ω=0,3 s -1 ), α= 0,02 (ω=0,4 s -1 ). Hasil penghitungan energi moda ini disajikan pada gambar 4. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam setiap kasus yang dihitung, energi frakton berkurang dengan cepat jauh dibandingkan dengan energi fonon (p=1), yakni berkurang mendekati aturan ~ exp (-t/τ). Gambar 4. Grafik ketergantungan energi moda terhadap waktu (s), dinormalisasikan terhadap E λo (0)=1. Frekuensi karakteristiknya ω = 0,2 s -1, ω = 0,3 s -1 dan ω = 0,4 s -1

Hasil penghitungan umur moda dan perbandingan koefisien intensitas ikatan non-linier fonon-frakton, dirangkum dalam tabel dibawah ini. ω (s -1 ) τ ph (s) τ fr (s) C eff (ph-fr) / C eff (ph-ph) 0,2 0,3 0,4 24912 95504 261364 77 40 43 18 49 78 Harga rasio koefisien ikatan semakin besar seiring dengan naiknya frekuensi yang dipakai. Hal ini sesuai dengan penghitungan bahwa besaran (panjang) lokalisasi frakton bergantung pada frekuensi sesuai aturan Λ(ω) ω -(γ) (γ : konstan). Ini berarti bahwa besaran lokalisasi akan mengecil bila frekuensinya bertambah besar. Hal tersebut mengakibatkan amplitudo vibrasi di sekitar pusat lokalisasi menjadi besar dan menambah efek non-linieritas dalam sistem. Dari data di atas diketahui bahwa intensitas ikatan fonon-frakton dalam jaring perkolasi lebih kuat puluhan kali lipat dibandingkan dengan intensitas ikatan fononfonon. Hasil ini menunjukkan bahwa intensitas ikatan fonon-frakton dalam jaring perkolasi cukup besar bila dibandingkan dengan intensitasnya dalam sistem yang berstruktur tatanan Cantor. Dengan membandingkan model ini dengan model tatanan Cantor, hasil penghitungan intensitas ikatan non-linier fonon-frakton kali ini membuktikan bahwa frakton sebagai moda terlokalisasi kuat cukup efektif sebagai sebuah model untuk menerangkan kelakuan panas gelas pada suhu rendah terutama fenomena naiknya konduktivitas panas dari daerah datar. Tatanan Cantor adalah fraktal yang mempunyai struktur ketidakteraturan dalam satu dimensi, sedangkan dalam jaring perkolasi struktur ketidakteraturan terdistribusi dalam dua dimensi. Jaring perkolasi mempunyai ikatan-ikatan lemah yang tidak dimiliki oleh tatanan Cantor. Saat bergetar, ikatan-ikatan lemah ini akan mempunyai amplitudo yang lebih besar, sehingga akan berpengaruh besar terhadap peningkatan efek non-linieritas dalam sistemnya. KESIMPULAN Menghitung perbandingan harga intensitas ikatan fonon-frakton dengan ikatan fonon-fonon sangatlah penting artinya untuk menjelaskan efektif atau tidaknya moda terlokalisasi kuat seperti frakton untuk dijadikan model yang menerangkan kelakuan panas gelas pada suhu rendah terutama kelakuan konduktivitas panas gelas pada daerah suhu di atas 10 K.

Ikatan-ikatan lemah dalam suatu sistem mempunyai kontribusi yang sangat besar untuk terjadinya interaksi non-linier antara moda terlokalisasi kuat dengan moda fonon. Jaring perkolasi sebagai salah satu contoh sistem fraktal juga mengandung ikatan-ikatan lemah. Sehingga, terdapat harapan untuk mendapatkan harga intensitas ikatan non-linier fonon-frakton yang besar dalam sistem tersebut. Telah dihitung perbandingan intensitas ikatan non-linier fonon-frakton dengan harga intensitas ikatan fonon-fonon di dalam jaring perkolasi dua dimensi yang mempunyai bentuk kisi segi empat dengan probabilitas p=0,6. Dari hasil penghitungan tersebut diketahui hal-hal berikut. 1. Intensitas ikatan non-linier fonon-frakton, lebih besar 15-70 kali lipat dibandingkan dengan intensitas ikatan fonon-fonon. 2. Ikatan-ikatan lemah dalam jaring perkolasi menyebabkan amplitudo vibrasi menjadi besar, mengakibatkan naiknya efek non-linieritas. Hasil-hasil di atas sangat penting untuk memberikan bukti bahwa naiknya konduktivitas panas dari daerah datar disebabkan oleh adanya kontribusi dari moda terlokalisasi kuat seperti halnya frakton. Sehingga bisa disimpulkan bahwa model frakton merupakan model yang efektif untuk menerangkan kelakuan panas gelas pada suhu rendah terutama fenomena naiknya konduktivitas panas dari daerah datar. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Bapak Professor T. Nakayama, K. Yakubo serta Sdr. M. Nemoto atas diskusi-diskusinya yang berharga yang menjadi dasar acuan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. R.C. ZELLER, R.O. POHL: Phys. Rev. B 4, 2029 (1971) 2. S. ALEXANDER AND R. ORBACH: J. Phys. Lett. 43, L-625 (1982) 3. Y.GEFEN, A. AHARONY, S. ALEXANDER: Phys. Rev. Lett. 50, 77 (1983) 4. B. B. MANDELBROT, The Fractal Geometry of Nature, W. H. Freeman & Co., San Francisco (1983) 5. K.YAKUBO, T. NAKAYAMA: Phys. Rev. B 36, 8933 (1987)

6. K. YAKUBO, T. NAKAYAMA: Phys. Rev. B 40, 517 (1989) 7. J. FRICKE: Scientific American 258, 68 (1988) 8. U. BUCHENAU, N. NUCKER AND A.J. DIANOUX: Phys. Rev. Lett. 53, 2316 (1984); 9. U. BUCHENAU, H.M. ZHOU, N. NUCKER, K.S. GILROY AND W.A. PHILIPS: Phys. Rev. Lett. 60, 1318 (1988) 10. V. G. KARPOV, M. I. KLINGER, F. N. IGNAT EV: Sov. Phys. JETP 57, 499 (1983) 11. L. GIL, M.A. RAMOS, A. BRINGER, U. BUCHENAU: Phys. Rev. Lett. 70, 182 (1993) 12 J. MICHALSKI: Phys. Rev. B 45, 7054 (1992) 13 S. ALEXANDER, O. ENTIN-WOHLMAN AND R. ORBACH: Phys. Rev. B 34, 2726 (1986) 14 A. JAGANNATHAN, R. ORBACH AND O. ENTIN-WOHLMAN: Phys. Rev. B 39, 13465 (1989) 15. E. de Oliveira, J.N. Page and H.M. Rosenberg: Phys. Rev. Lett. 62, 780 (1989) 16. S. R. ELLIOTT: Physics of Amorphous Materials, 2 nd Ed., (Longman Scientific & Technical, 1990) 17. A.ALIPPI, G.SCKERDIN, A.BETTUCCI, F.CRACIUN, E.MOLINARI AND A. PETRI, Phys. Rev. Lett. 69, 3318 (1992) 18. F. GRACIUN, A. BETTUCCI, A. PETRI AND A. ALIPPI; Phys. Rev. Lett. 68, 1555 (1992) 19. D. STAUFER: Introduction to Percolation Theory (Taylor & Francis, London 1985) 20. M. L. WILLIAMS AND H. J. MARIS: Phys. Rev. B 31, 4505 (1985)

21. K. YAKUBO, T. NAKAYAMA, H. J. MARIS: J. Phys. Soc. Jpn. 60, 3249 (1991) 22. T. NAKAYAMA, K. YAKUBO, R. L. ORBACH: Rev. Mod. Phys. 66, 381 (1994)