BAB 2 LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

pekerja normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam sistem

BAB VI LINE BALANCING

PERBAIKAN LINI FINISHING DRIVE CHAIN AHM OEM PADA PT FEDERAL SUPERIOR CHAIN MANUFACTURING DENGAN METODE KESEIMBANGAN LINI DAN METHODS TIME MEASUREMENT

KESEIMBANGAN LINI PRODUKSI PADA PT PAI

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB VI LINE BALANCING

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 3 LANGKAH PEMECAHAN MASALAH

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Studi Gerak dan Waktu Studi gerak dan waktu terdiri atas dua elemen penting, yaitu studi waktu dan studi gerakan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

MINIMALISASI BOTTLENECK PROSES PRODUKSI DENGAN MENGGUNAKAN METODE LINE BALANCING

BAB II LANDASAN TEORI

ERGONOMI & APK - I KULIAH 8: PENGUKURAN WAKTU KERJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

PENENTUAN JUMLAH TENAGA KERJA DENGAN METODE KESEIMBANGAN LINI PADA DIVISI PLASTIC PAINTING PT. XYZ

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada dasarnya pengumpulan data yang dilakukan pada lantai produksi trolly

BAB 2 LANDASAN TEORI

ANALISIS ASSEMBLY LINE BALANCING PRODUK HEAD LAMP TYPE K59A DENGAN PENDEKATAN METODE HELGESON-BIRNIE Studi Kasus PT. Indonesia Stanley electric

BAB 3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

BAB 4 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBAIKAN SISTEM PRODUKSI DI PT. X DENGAN MEMPERHATIKAN LINTASAN PERAKITAN DAN TATA LETAK FASILITAS

ANALISIS PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN EFISIENSI KERJA DENGAN PENERAPAN KAIZEN (Studi Kasus pada PT Beiersdorf Indonesia PC Malang)

PENINGKATAN EFISIENSI STASIUN KERJA DENGAN PENDEKATAN REGION LINE BALANCING ( STUDI KASUS DI PT. TRIANGLE MOTORINDO )

MENINGKATKAN EFISIENSI LINTASAN KERJA MENGGUNAKAN METODE RPW DAN KILLBRIDGE-WESTERN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Penerapan Metode Line Balancing Produk Tall Boy Cleopatra dan Aplikasinya pada Tata Letak Mesin PT. Funisia Perkasa

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. manajemen pemasaran, dan manajemen keuangan. Berikut ini merupakan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 4 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH. 4.1 Model Rumusan Masalah dan Pengambilan Keputusan Keseimbangan Lini

PENENTUAN JUMLAH STASIUN KERJA DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KESEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI DI PT. MERCEDES BENZ INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. rupa sehingga tidak ada waktu dan tenaga yang terbuang sia-sia sehingga dapat

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISA PENYEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI CELANA NIKE STYLE X BERDASARKAN PENGUKURAN WAKTU BAKU PADA PT. XYZ. Benny Winandri, M.

BAB 2 LANDASAN TEORI

Analisa Keseimbangan Lintasan Dengan Menggunakan Metode Helgeson-Birnie (Ranked Positional Weight) Studi Kasus PT. D

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dan juga hasil sampingannya, seperti limbah, informasi, dan sebagainya.

Perancangan Keseimbangan Lintasan Produksi untuk Mengurangi Balance Delay dan Meningkatkan Efisiensi Kerja


PENGUKURAN WAKTU. Nurjannah

PERANCANGAN SISTEM KESEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI UNTUK MENGURANGI BALANCE DELAY GUNA MENINGKATKAN OUTPUT PRODUKSI

ANALISIS METODE MOODIE YOUNG DALAM MENENTUKAN KESEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI

PENENTUAN KESEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI DENGAN MENGGUNAKAN METODE HELGESON-BIRNIE

ANALISIS KESEIMBANGAN LINTASAN LINE PRODUKSI DRIVE ASSY DI PT. JIDECO INDONESIA

BAB VII SIMULASI CONVEYOR

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB V ANALISIS HASIL

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III LANDASAN TEORI

BAB 3 METODE PENELITIAN. Berikut ini adalah diagram alir yang digunakan dalam penyelesaian studi kasus ini: Mulai

Analisis Line Balancing dengan RPW pada Departemen Sewing Assembly Line Style F1625W404 di PT. Pan Brothers, Boyolali

PENENTUAN JUMLAH TENAGA KERJA DAN STANDARD PENUGASAN BAGIAN PENGEPAKAN PADA PT X DENGAN METODA LINI KESEIMBANGAN KILBRIDGE DAN WESTER

APLIKASI PREDETERMINED TIME SYSTEM DAN RANKED POSITIONAL WEIGHT PADA OPTIMALISASI LINTASAN PRODUKSI UPPER-SHOE DI PT. ECCO INDONESIA, SIDOARJO

Seminar Nasional IENACO ISSN PENGELOMPOKAN STASIUN KERJA UNTUK MENYEIMBANGKAN BEBAN KERJA DENGAN METODE LINE BALANCING

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

BAB 3 LANDASAN TEORI. pengukuran kerja ( work measurement ) yang meliputi teknik-teknik pengukuran waktu

PENENTUAN KESEIMBANGAN LINTASAN OPTIMAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE HEURISTIK

BAB 2 LANDASAN TEORI

PENYEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI DENGAN METODE HEURISTIK (STUDI KASUS PT XYZ MAKASSAR)

PENENTUAN WAKTU BAKU PRODUKSI KERUPUK RAMBAK IKAN LAUT SARI ENAK DI SUKOHARJO

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PERTEMUAN #13 UJI PETIK PEKERJAAN (WORK SAMPLING) TKT TAUFIQUR RACHMAN ERGONOMI DAN PERANCANGAN SISTEM KERJA

Analisis Kebutuhan Man Power dan Line Balancing Jalur Supply Body 3 D01N PT. Astra Daihatsu Motor Karawang Assembly Plant (KAP)

ANALISIS KESEIMBANGAN LINI PADA LINTASAN TRANSMISI MF06 DENGAN PENERAPAN METODE RANKED POSITIONAL WEIGHT

Perbaikan Lintasan CU dengan Metode Line Balancing

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan produksi dan operasi merupakan kegiatan yang paling pokok

ANALISA PENINGKATAN EFISIENSI ASSEMBLY LINE B PADA BAGIAN MAIN LINE DENGAN METODE RANKED POSITIONAL WEIGHTS DI PT. X

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

PERENCANAAN JUMLAH OPERATOR PRODUKSI DENGAN METODE STUDI WAKTU (STUDI KASUS PADA INDUSTRI PENGOLAHAN PRODUK LAUT)

PENINGKATAN EFSIENSI DAN PRODUKTIVITAS KINERJA MELALUI PENDEKATAN ANALISIS RANGKED POSITIONAL WEIGHT METHOD PT. X

BAB II LANDASAN TEORI

Journal Knowledge Industrial Engineering (JKIE)

BAB 4 PEMBAHASAN MASALAH DAN ANALISA

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

ABSTRAK. i Universitas Kristen Maranatha

Transkripsi:

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Waktu Pengukuran waktu kerja dengan jam henti (stop watch time study) diperkenalkan pertama kali oleh Frederick W. Taylor sekitar abad 19 yang lalu. Metoda ini terutama sekali baik diaplikasikan untuk pekerjaan-pekerjaan yang berlangsung singkat dan berulang-ulang (repetitive). Dari hasil pengukuran maka akan diperoleh waktu baku untuk menyelesaikan suatu siklus pekerjaan, yang mana waktu ini akan dipergunakan sebagai standar penyelesaian pekerjaan bagi semua pekerja yang akan melaksanakan pekerjaan yang sama seperti itu. Menurut Sritomo Wignjosoebroto dalam buku Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu (2003, p171) secara garis besar, langkah-langkah untuk pelaksanaan pengukuran waktu kerja dengan jam henti ini dapat diuraikan sebagai berikut: Definisi pekerjaan yang akan diteliti untuk diukur waktunya dan beritahukan maksud dan tujuan pengukuran ini kepada pekerja yang dipilih untuk diamati dan supervisor yang ada. Catat semua informasi yang berkaitan erat dengan penyelesaian pekerjaan seperti lay out, karakteristik/ spesifikasi mesain atau peralatan kerja lain yang digunakan dan lain-lain.

20 Amati, ukur dan catat waktu yang dibutuhkan oleh operator untuk menyelesaikan elemen-elemen kerja tersebut. Tetapkan jumlah siklus kerja yang harus diukur dan dicatat. Teliti apakah jumlah siklus kerja yang dilaksanakan ini sudah memenuhi syarat atau tidak? Test pula keseragaman data yang diperoleh. Sesuaikan waktu pengamatan berdasarkan performance yang ditunjukkan oleh operator tersebut sehingga akhirnya akan diperoleh waktu kerja normal. Tetapkan waktu longgar (allowance time) guna memberikan fleksibilitas. Waktu longgar yang akan diberikan ini guna menghadapi kondisi-kondisi seperti kebutuhan personil yang bersifat pribadi, faktor kelelahan, keterlambatan material, dan lain-lainnya. Berdasarkan langkah-langkah terlihat bahwa pengukuran kerja dengan jam henti ini merupakan cara pengukuran yang obyektif karena disini waktu ditetapkan berdasarkan fakta yang terjadi dan tidak hanya sekedar diestimasi secara subyektif. Dalam hal ini berlaku juga asumsi-asumsi dasar sebagai berikut: Metoda dan fasilitas untuk menyelesaikan pekerjaan harus sama dan dibakukan terlebih dahulu sebelum kita mengaplikasikan waktu baku ini untuk pekerjaan serupa. Operator harus memahami benar prosedur dan metoda pelaksanaan kerja sebelum dilakukan pengukuran kerja. Operator-operator yang akan dibebani dengan waktu baku ini diasumsikan memiliki tingkat keterampilan dan

21 kemampuan yang sama dan sesuai untuk pekerjaan tersebut. Untuk ini persyaratan mutlak pada waktu memilih operator yang akan dianalisis waktu kerjanya benar-benar memiliki tingkat kemampuan yang rata-rata. Kondisi lingkungan fisik pekerjaan juga relatif tidak jauh berbeda dengan kondisi fisik pada saat pengukuran kerja dilakukan. Performance kerja mampu dikendalikan pada tingkat yang sesuai untuk seluruh periode kerja yang ada. Peralatan yang dibutuhkan untuk aktivitas pengukuran kerja dengan jam henti ini adalah antara lain jam henti (stop-watch), papan pengamatan, lembar pengamatan, dan alat tulis serta penghitung (calculator). Setelah semua pengukuran telah selesai dan data yang diinginkan telah ada, maka langkah berikutnya adalah perhitungan waktu baku. Cara untuk mendapatkan waktu baku dari data-data tersebut adalah : a. Hitung Waktu Siklus Waktu Siklus merupakan waktu yang diperlukan dalam membuat satu produk. b. Hitung Waktu Normal Wn = Ws x p Wn = Waktu Normal Ws = Waktu Siklus p = Faktor Penyesuaian

22 c. Hitung Waktu Baku Setelah perhitungan diatas selesai, waktu baku bagi penyelesaian pekerjaan didapatkan dengan : Wb = Wn + l 2.1.1 Penyesuaian Menurut Sritomo Wignjosoebroto dalam buku Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu (2003, p196), penyesuaian adalah proses dimana penganalisis pengukuran waktu membandingkan penampilan operator (kecepatan atau tempo) dalam pengamatan dengan konsep pengukur sendiri tentang bekerja secara wajar. Selama pengukuran berlangsung, pengukur harus mengamati kewajaran kerja yang ditunjukkan operator. Ketidakwajaran dapat saja terjadi misalnya bekerja tanpa kesungguhan, sangat lambat karena disengaja, sangat cepat seolah dikejar waktu, atau menjumpai kesulitan seperti kondisi ruangan yang buruk. Hal-hal inilah yang mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu cepat atau lambat dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.waktu siklus yang telah kita cari adalah waktu yang diperoleh dari kondisi dan cara kerja yang diselesaikan secara wajar dan benar oleh operator. Bila ketidakwajaran terjadi, maka pengukur harus menilainya dan berdasarkan penilaian inilah penyesuaian dilakukan. Westing house company (1927) memperkenalkan sistem penyesuaian yang lebih lengkap dibandingkan dengan sistem yang telah ada, seperti sistem Bedaux. Pada

23 sistem Westinghouse, selain kecakapan (skill) dan usaha (effort) yang telah dinyatakan oleh Bedaux sebagai faktor yang memperngaruhi performance manusia, Westinghouse juga menambahkan dengan kondisi kerja (working condition) dan keajegan (consistency) dari operator dalam melakukan kerja. Untuk ini Westinghouse telah berhasil membuat suatu tabel penyesuaian yang berisikan nilai-nilai angka yang berdasarkan tingkatan yang ada untuk masing-masing faktor tersebut. Untuk menormalkan waktu yang diperoleh dari pengukuran kerja dengan jumlah ke empat rating faktor yang dipilih sesuai dengan performance yang ditunjukkan oleh operator. Keterampilan atau skill didefinisikan sebagai kemampuan mengikuti cara kerja yang ditetapkan. Latihan dapat meningkatkan keterampilan, tetapi hanya sampai ke tingkat tertentu saja, tingkat mana merupakan kemampuan maksimal yang dapat diberikan pekerja yang bersangkutan. Secara psikologis keterampilan merupakan aptitude untuk pekerjaan yang bersangkutan. Untuk usaha atau effort cara Westinghouse membagi juga atas kelas-kelas dengan tabel masing-masing. Yang dimaksud usaha disini adalah kesungguhan yang ditunjukkan atau diberikan operator ketika melakukan pekerjaannya. Yang dimaksud dengan kondisi kerja atau condition pada cara Westinghouse adalah kondisi fisik lingkungannya seperti keadaan pencahayaan, temperatur, dan kebisingan ruangan. Bila tiga faktor lainnya yaitu keterampilan, usaha, dan konsistensi merupakan apa yang dicerminkan operator, maka kondisi kerja merupakan sesuatu diluar operator yang diterima apa adanya oleh operator tanpa banyak kemampuan merubahnya.

24 Faktor konsistensi atau consistency perlu diperhatikan karena kenyataan bahwa pada setiap pengukuran waktu angka-angka yang dicatat tidak pernah semuanya sama, waktu penyelesaiaan yang ditunjukkan pekerja selalu berubah-ubah dari satu siklus ke siklus lainnya, dari jam ke jam, bahkan dari hari ke hari. Selama ini masih dalam batas-batas kewajaran masalah tidak timbul, tetapi jika variabilitasnya tinggi maka hal tersebut harus diperhatikan. 2.1.2 Kelonggaran Menurut Sritomo Wignjosoebroto dalam buku Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu (2003, p201), waktu normal untuk suatu elemen operasi kerja adalah semata-mata menunjukkan bahwa seorang operator yang berkualifikasi baik bekerja menyelesaikan pekerjaan pada kecepatan/ tempo kerja yang normal. Walaupun demikian pada prakteknya kita akan melihat bahwa tidaklah mungkin operator tersebut akan mampu bekerja secara terus-menerus sepanjang hari tanpa adanya interupsi sama sekali. Kenyataan yang terjadi adalah operator akan sering menghentikan kerja dan membutuhkan waktu-waktu khusus untuk keperluan seperti personal needs, istirahat melepas lelah, dan alasan-alasan lain yang di luar kontrolnya. Kelonggaran yang dibutuhkan yang akan menginterupsi proses produksi ini dapat diklasifikasikan menjadi personal allowance, fatique allowance, dan delay allowance. Waktu baku yang akan ditetapkan merupakan besar waktu normal dengan kelonggaran-kelonggaran yang dibutuhkan.

25 1. Kelonggaran untuk Kebutuhan Pribadi (Personal Allowance) Yang termasuk dalam kelonggaran pribadi adalah hal-hal seperti minum sekedar hanya untuk menghilangkan rasa haus, untuk menghilangkan ketegangan atau kejemuan dalam bekerja. Kebutuhan seperti ini adalah hal yang mutlak, bila dilarang akan mengakibatkan pekerja stress dan tidak dapat bekerja dengan baik sehingga produktivitas menurun. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang relatif ringan- dimana operator bekerja selama 8 jam per hari tanpa jam istirahat yang resmi, sekitar 2 sampai 5% (atau 10 sampai 24 menit) setiap jari akan dipergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan yang bersifat personil ini. Meskipun jumlah waktu longgar untuk kebutuhan personil yang diperlukan ini akan bervariasi tergantung pada individu pekerjanya dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dilaksanakan, akan tetapi kenyataannya untuk pekerjaanpekerjaan yang berat dan kondisi kerja yang tidak enak (terutama untuk temperatur tinggi) akan menyebabkan kebutuhan waktu untuk personil ini lebih besar lagi. Allowance untuk hal ini dapat lebih besar dari 5%. 2. Kelonggaran untuk Menghilangkan Rasa Fatique (Fatique Allowance) Rasa fatique tercermin bila menurunnya hasil produksi baik jumlah maupun kualitas. Bila rasa fatique telah datang dan pekerja harus bekerja untuk menghasilkan performance normalnya maka usaha yang dikeluarkan pekerja lebih besar dari keadaan normal dan hal ini akan menambahkan rasa fatique.

26 Dalam hal ini waktu yang dibutuhkan untuk keperluan istirahat akan sangat tergantung pada individu yang bersangkutan, interval waktu dari siklus kerja dimana pekerja akan memikul beban kerja secara penuh, kondisi lingkungan fisik pekerjaan, dan faktor-faktor lainnya. 3. Kelonggaran untuk Hambatan-Hambatan yang Tak Terhindarkan (Delay Allowance) Yang termasuk dalam hambatan yang tak terhindarkan adalah menerima atau meminta petunjuk pengawas, melakukan penyesuaian mesin, memperbaiki kemacetan-kemacetan singkat, mengasah peralatan gerinda, dan lain-lain. Hal-hal seperti ini hanya dapat diusahakan serendah mungkin. Langkah pertama menentukan waktu longgar adalah menentukan besarnya kelonggaran untuk ketiga hal di atas yaitu untuk kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa lelah dan hambatan yang tidak terhindarkan. Kesemuanya, yang biasanya masing-masing dinyatakan dalam persentase dijumlahkan dan kemudian mengalikan jumlah ini dengan waktu normal yang telah dihitung sebelumnya. Misalnya suatu pekerjaan yang sangat ringan yang dilakukan sambil duduk dengan gerakan-gerakan yang terbatas, membutuhkan pengawasan mata terusmenerus dengan pencahayaan yang kurang memadai, temperatur dan kelembaban ruangan normal, sirkulasi udara yang baik, tidak bising. Dapat diketahui kelonggaran yang dibutuhkan adalah 5 + 4 + 3 % = 12 %.

27 Jika waktu normalnya adalah 5.6 menit, maka waktu bakunya adalah: Waktu baku = 5.6 menit + 1 = 6.74 menit 1 0.12 2.2 Pengujian Kenormalan dan Keseragaman Data Menurut Ronald E. Walpole dalam buku Pengantar Statistika Edisi-3 (1996, p179), sebaran Normal digunakan sebagai landasan untuk suatu ruang contoh yang kontinu. Data yang kontinu yang dimaksudkan ini adalah data yang berasal dari suatu pekerjaan yang terus-menerus dilakukan, seperti dalam industri dan penelitian. Selanjutnya adalah uji keseragaman data. Menurut Sritomo Wignjosoebroto dalam buku Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu (2003, p194), uji ini perlu dilakukan sebelum menggunakan data yang diperoleh guna menetapkan waktu standar. Uji keseragaman data dapat dilakukan dengan cara visual atau mengaplikasikan program komputer. Uji keseragaman data secara visual dilakukan secara sederhana, mudah dan cepat. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan adalah sekedar melihat data yang terkumpul dan seterusnya mengidentifikasikan data yang terlalu ekstrim, yaitu data yang terlalu besar atau terlalu kecil dan jauh menyimpang dari trend rata-ratanya. Data yang terlalu ekstrim ini sewajarnya dipisahkan dan tidak dipergunakan dalam data standar. Adapun cara kedua adalah dengan menggunakan pemrograman komputer, yakni dengan program SPSS 12.0. Dengan program ini, kedua pengujian data yang dibutuhkan dapat diselesaikan dengan mudah. Pengujian data dapat dilakukan dengan

28 Kolmogorov Smirnov Test. Menurut J.A White dalam buku Analysis of Queueing Systems (2000, p332) Kolmogorov Smirnov Test merupakan uji yang lebih akurat dibandingkan dengan Chi-Square Test, karena uji ini lebih memperhatikan maksimum deviasi dan perbedaan-perbedaan mendasar pada data. Menurut Tim Andi dalam buku Pengolahan Data Statistik dengan SPSS 12.0 (2004, p162), uji Kolmogorov digunakan untuk membandingkan tingkat kesesuaian sampel dengan suatu distribusi tertentu, yaitu normal, uniform, poisson, atau eksponensial. Langkah-langkah pengerjaan uji kenormalan dan keseragaman data dengan Kolmogorov Smirnov Test sebagai berikut: Definisikan variabel data waktu Name : DATA_WAKTU Width : 10 Decimal : 2 Measure : Scale Setelah itu masukkan data waktu baku ke dalam kolom DATA WAKTU Setelah itu klik menu Analyze, pilih Nonparametric Tests Dari berbagai pilihan yang ada, pilih 1-Sample K-S Setelah itu akan muncul kotak dialog 1-Sample K-S Test. Masukkan variabel DATA WAKTU ke kotak Test Variable List. Aktifkan Normal dan Uniform pada pilihan Test Distribution. Abaikan pilihan yang lain, selanjutnya klik OK.

29 2.3 Line Balancing 2.3.1 Definisi Keseimbangan Lini Menurut David D. Bedworth dan James E. Baley dalam buku Integrated Production Control Systems (1987, p361), istilah Keseimbangan Lini merupakan suatu metode penugasan sejumlah pekerjaan ke dalam stasiun kerja-stasiun kerja yang saling berkaitan dalam satu lini produksi sehingga setiap stasiun kerja memiliki waktu yang tidak melebihi waktu siklus dari stasiun kerja tersebut. Keterkaitan sejumlah pekerjaan dalam suatu lini produksi harus dipertimbangkan dalam menentukan pembagian pekerjaan ke dalam masing-masing stasiun kerja. Hubungan atau saling keterkaitan antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya digambarkan dalam suatu precedence diagram atau diagram pendahuluan, sedangkan hubungan itu disebut precedence job atau precedence network. 2.3.2 Permasalahan Keseimbangan Lintasan Produksi Menurut Mikell P. Groover dalam buku Automation, Production Systems, and Computer-Integrated Manufacturing (2001, p529), dalam suatu perusahaan yang mempunyai tipe produksi massa yang melibatkan sejumlah besar komponen yang harus dirakit, perencanaan produksi memegang peranan yang penting dalam membuat penjadwalan produksi, terutama dalam pengaturan operasi-operasi atau penugasan kerja yang harus dilakukan. Bila pengaturan dan perencanaannya tidak tepat, maka setiap stasiun kerja di lintas perakitan mempunyai kecepatan produksi yang berbeda. Hal ini akan

30 mengakibatkan lintas perakitan tersebut tidak efisien karena terjadi penumpukkan material/ produk setengah jadi di antara stasiun kerja yang tidak berimbang kecepatan produksinya. Akibat sampingan lainnya adalah kompensasi biaya-biaya yang hilang serta akibat psikologis yang negatif bagi si pekerja. Persoalan keseimbangan lintasan perakitan bermula dari adanya kombinasi penugasan kerja kepada operator atau grup operator yang menempati tempat kerja tertentu. Karena penugasan elemen kerja (work element) yang berbeda akan menyebabkan perbedaan dalam sejumlah waktu yang tidak produktif dan variasi jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan output produksi tertentu di dalam suatu lintas perakitan. Masalah kombinasi tersebut menjadi masalah penyeimbangan lintas perakitan, penyeimbangan operasi atau stasiun kerja dengan tujuan untuk mendapatkan waktu yang sama di setiap stasiun kerja sesuai dengan kecepatan produksi yang diinginkan. Menurut Richard B. Chase dan Nicholas J. Aquilano dalam buku Production and Operation Management (1995, p405), masalah utama yang dihadapi dalam lintasan produksi adalah : 1. Kendala sistem, yang erat kaitannya dengan maintenance (perawatan). 2. Menyeimbangkan beban kerja pada beberapa stasiun kerja (work station) untuk : Mencapai suatu efisiensi yang tinggi. Memenuhi rencana produksi yang telah dibuat.

31 Gejala ketidakseimbangan lintasan produksi : Adanya stasiun kerja yang sibuk dan idle yang menyolok. Adanya work in process (produk setengah jadi) di beberapa stasiun kerja. Sedangkan hal-hal yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan pada lintasan produksi antara lain : Rancangan lintasan yang salah. Peralatan atau mesin sudah tua sehingga seringkali break down dan perlu di-set-up ulang. Operator yang kurang terampil. Metode kerja yang kurang baik. Rancangan lintasan produksi yang seimbang bertujuan : 1. Untuk menyeimbangkan beban kerja yang dialokasi pada setiap stasiun kerja sehingga pekerjaan dapat selesai dalam waktu yang seimbang dan mencegah terjadinya bottleneck. 2. Menjaga lini perakitan agar tetap lancar dan kontinu berlangsung. Menurut Elwood S. Buffa dalam buku Modern Production/ Operation Management (1987, p213), pada usaha pencapaian keseimbangan lini terdapat beberapa cara yang dikenal antara lain :

32 1. Penumpukan material Caranya dengan membuat tumpukan material pada stasiun kerja yang lambat. Kemudian pada stasiun kerja ini harus melakukan kerja lembur atau menambah tenaga kerja. Cara ini merupakan cara yang paling mudah, tetapi tidak menjadikan lebih baik karena dengan adanya penumpukan material akan mengakibatkan pemborosan waktu pada stasiun kerja yang lain dan pemborosan ruangan yang dipakai. 2. Pergerakan operator Caranya adalah apabila seorang operator mempunyai waktu operasi yang lebih cepat dari operator lainnya, ia dapat bergerak sepanjang lini produksi tersebut untuk membantu operator lainnya yang waktu operasinya lebih lama. 3. Pemecahan elemen pekerjaan Cara ini dilakukan jika suatu operasi membutuhkan waktu yang lebih singkat daripada stasiun kerja lainnya. Operator tersebut dapat menangani lebih dari satu operasi, misalnya menyusun sub rakitan jika operasi ini dilakukan di luar lininya atau membantu operasi lainnya maupun bekerja pada lini yang lain. 4. Perbaikan operasi Cara ini harus ditempuh melalui perbaikan metode kerja khususnya jika terdapat operasi yang lebih lama dibandingkan dengan yang lainnya dan

33 memerlukan waktu setup yang lama. Studi gerakan akan selalu menghasilkan cara yang lebih baik untuk melakukan pekerjaan dan akan mengurangi waktu kerja yang dibutuhkan. 5. Perbaikan performansi operator Pada umumnya operasi yang mengalami kemacetan (bottleneck) dapat diseimbangkan melalui penambahan latihan pada operator yang bersangkutan atau pergantian operator dengan operator yang bekerja lebih cepat atau lebih baik. Performansi keseimbangan lini produksi yang baik dapat diketahui melalui efisiensi lini dan efisiensi dari stasiun kerja. Semakin tinggi efisiensinya berarti performansi keseimbangan lini produksi juga semakin baik. 6. Pengelompokkan operasi Cara ini berusaha untuk mengelompokkan beberapa operasi atau elemen kerja hasil pembagian ke dalam grup-grup atau stasiun-stasiun kerja secara seimbang, sehingga setiap grup memiliki waktu kerja yang sama panjang. Pada umumnya, merencanakan suatu keseimbangan di dalam sebuah lintas perakitan meliputi usaha yang bertujuan untuk mencapai suatu kapasitas optimal, dimana tidak terjadi penghamburan fasilitas.

34 Tujuan tersebut dapat tercapai bila : 1. Lintas perakitan bersifat seimbang, setiap stasiun kerja mendapat tugas yang sama nilainya diukur dengan waktu. 2. Stasiun-stasiun kerja berjumlah minimum. 3. Jumlah waktu menganggur di setiap stasiun kerja sepanjang lintas perakitan minimum. Dengan demikian, kriteria yang umum digunakan dalam suatu keseimbangan lintas perakitan adalah : Minimum waktu menganggur. Minimum keseimbangan waktu senggang (balance delay). Selain itu ada pula yang menggunakan maksimum efisiensi, tetapi pada prinsipnya ketiga hal tersebut sama. Waktu menganggur biasanya digunakan untuk menyatakan ukuran ketidakseimbangan suatu lintas produksi. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa keseimbangan lintas perakitan tersebut didasarkan pada hubungan antara: 1. Kecepatan produksi (production rate). 2. Operasi-operasi yang diperlukan dan urut-urutan kebergantungan (sequence). 3. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap operasi. 4. Jumlah operator/ pekerja yang melakukan operasi tersebut.

35 2.3.3 Terminologi Keseimbangan Lini Menurut Elsayed dalam buku Analysis and Control of Production Systems (1994, p345), terminologi keseimbangan lini antara lain: 1. Work Element Bagian dari keseluruhan pekerjaan dalam proses assembly. Umumnya, N didefinisikan sebagai jumlah total dari elemen kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu assembly dan i adalah elemen kerja. 2. Workstation (WS) Lokasi pada lini assembly atau pembuatan suatu produk dimana pekerjaan diselesaikan baik manual maupun otomatis. Jumlah minimum dari stasiun kerja adalah K, dimana K harus i. 3. Minimum Rational Work Element (Elemen Kerja Terkecil) Untuk menyeimbangkan pekerjaan dalam setiap stasiun yang ada maka pekerjaan tersebut harus dipecah menjadi elemen-elemen pekerjaan. Elemen kerja minimum adalah elemen pekerjaan terkecil dari suatu pekerjaan yang tidak dapat dibagi lagi. 4. Total Work Content (Total Waktu Pengerjaan) Jumlah dari seluruh waktu pengerjaan setiap elemen pekerjaan dari suatu lini. 5. Workstation Process Time (Waktu Proses Stasiun Kerja) Elemen pekerjaan yang diselesaikan dalam satu stasiun kerja (work station) dapat terdiri dari satu elemen pekerjaan atau lebih.

36 Waktu proses dalam stasiun kerja merupakan penjumlahan dari seluruh waktu pengerjaan setiap elemen kerja yang berada di dalam stasiun kerja tersebut. 6. Precedence Constraints (Pembatas Pendahulu) Dalam menyelesaikan suatu elemen pekerjaan seringkali terdapat urutanurutan teknologi yang harus terpenuhi sebelumnya agar elemen itu dapat dijalankan. Contoh: saklar harus dipasang pada bracket motor sebelum dipasang penutupnya. Beberapa tipe pembatas dalam keseimbangan lini adalah : Pembatas teknologi (technological restriction) Pembatas ini disebut juga precedence constraints dalam bahasa keseimbangan lintasan. Yang dimaksud dengan pembatas teknologi adalah proses pengerjaan yang sudah tertentu, misalnya suatu proses tidak mungkin dikerjakan bila proses sebelumnya belum dikerjakan, atau suatu proses harus dilakukan langsung segera setelah penyelesaian suatu proses tertentu. Urutan proses serta ketergantungannya digambarkan dalam suatu diagram ketergantungan (precedence diagram) dan operating process chart (OPC).

37 Pembatas fasilitas (facility restriction) Pembatas di sini adalah akibat adanya fasilitas / mesin yang tidak dapat dipindahkan (fasilitas tetap). Pembatas posisi (positional restriction) Membatasi pengelompokkan elemen-elemen kerja karena orientasi produk terhadap operator yang sudah tertentu. Zoning constraint Zoning constraint terdiri atas Positive Zoning Constraint dan Negative Zoning Constraint. Positive Zoning Constraint berarti bahwa elemenelemen pekerjaan tertentu harus ditempatkan saling berdekatan dalam stasiun kerja yang sama. Negative Zoning Constraints menyatakan bahwa jika satu elemen pekerjaan dengan elemen pekerjaan lain sifatnya saling mengganggu maka sebaiknya tidak ditempatkan saling berdekatan. Sebagai ilustrasi, suatu elemen pekerjaan membutuhkan koordinasi yang baik dan hati-hati sebaiknya tidak ditempatkan berdekatan dengan stasiun kerja yang menimbulkan kegaduhan dan getaran keras / berat.

38 7. Precedence Diagram (Diagram Pendahuluan) Diagram pendahuluan adalah suatu gambaran secara grafis dari suatu urutan pekerjaan yang memperlihatkan keseluruhan operasi pekerjaan dan ketergantungan masing-masing operasi pekerjaan tersebut dimana elemen pekerjaan tertentu tidak dapat dikerjakan sebelum elemen pekerjaan yang mendahuluinya dikerjakan lebih dulu. Diagram pendahuluan dapat dibuat dengan 2 alternatif, yaitu : Diagram AOA (Activity on Arrow) Dimana setiap aktivitas digambarkan sebagai anak panah yang menghubungkan 2 node. Pada jaringan ini hanya ada satu node pada awal dan akhir proyek sehingga aktivitas semu (dummy) hanya terdapat pada jaringan AOA. Diagram AON (Activity on Node) Diagram dimana setiap aktivitas digambarkan dalam bentuk lingkaran (node), sedangkan tanda panah menunjukkan aliran aktivitas. Pada jaringan ini tidak terdapat aktivitas semu (dummy). 8. Balance Delay Merupakan rasio dari total waktu menganggur dengan keterkaitan waktu siklus dan jumlah stasiun kerja atau dengan kata lain jumlah antara balance delay dan line efficiency sama dengan 1.

39 Secara matematis, dapat dituliskan sebagai berikut : k CT Wbi Keseimbangan waktu senggang = 100% k CT dimana : keseimbangan waktu senggang = balance delay k CT Wbi i = jumlah stasiun kerja. = waktu stasiun terbesar / waktu daur (cycle time). = waktu sebenarnya pada setiap stasiun. = 1, 2, 3,..., n atau BD = 100% - LE 9. Assembled Product Produk yang melewati suatu urutan stasiun kerja dimana pekerjaan-pekerjaan diatur dan mencapai pada stasiun akhir. 10. Cycle Time (CT) Waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk menyelesaikan produk dari lini perakitan dengan asumsi setiap assembly mempunyai kecepatan yang konstan. Nilai minimum dari waktu siklus waktu stasiun yang terpanjang. CT max Tsi

40 11. Delay Time of A Station Merupakan selisih antara waktu siklus dengan waktu stasiun. Perbedaan antara waktu stasiun dengan waktu siklus atau disebut juga idle time. Waktu Menganggur Stasiun = Wd Wi Total Waktu Menganggur = k.ct - Wb i n i1 12. Line Efficiency (Efisiensi Lini) Rasio dari total waktu stasiun terhadap keterkaitan waktu siklus dengan jumlah stasiun kerja yang dinyatakan dalam persentase. ST k LE = x 100% k CT dimana : TSi = station time atau waktu stasiun ke-i K = jumlah total stasiun kerja CT = cycle time atau waktu siklus terpanjang 13. Station Efficiency (Efisiensi Stasiun Kerja) Rasio dari waktu stasiun kerja terhadap waktu siklus atau waktu stasiun kerja terbesar. ST SE = k 100% CT

41 14. Smoothness Index (SI) Merupakan suatu index yang menunjukkan kelancaran relatif dari suatu keseimbangan lini assembly. Suatu smoothness index sempurna jika nilainya 0 atau disebut perfect balance. SI = ( CT Wbi ) 2 dimana : CT Wbi = waktu stasiun maksimum = waktu stasiun ke-i 2.3.4 Langkah-Langkah Dalam Keseimbangan Lini Menurut Richard B. Chase dan Nicholas J. Aquilano dalam buku Production and Operation Management (1995, p407), langkah-langkah yang perlu diketahui dalam melakukan penyeimbangan lini adalah : 1. Tentukan hubungan antara pekerjaan-pekerjaan yang terlibat dalam suatu lini produksi dan hubungan atau keterkaitan antara pekerjaan tersebut digambarkan dalam precedence diagram. 2. Menentukan waktu siklus yang dibutuhkan dengan menggunakan rumus: Jam Kerja Efektif/ hari x Jumlah Lini Produksi CT = Kapasitas Produksi

42 3. Menentukan jumlah minimum stasiun kerja teoritis yang dibutuhkan untuk memenuhi pembatas waktu siklus dengan menggunakan rumus : N = jumlah total dari waktu pekerjaan setiap elemen waktu siklus (CT ) 4. Memilih metode untuk melakukan penyeimbangan lini. 5. Menghitung efisiensi lini, efisiensi stasiun kerja, waktu menganggur dan balance delay berdasarkan metode yang dipilih untuk melihat performansi keseimbangan lintasan produksi. 6. Menghitung kapasitas produksi (production output) yang dihasilkan. Kapasitas produksi = waktu produksi waktu siklus (CT ) 2.3.5 Metode Keseimbangan Lini Produksi Menurut David D. Bedworth dan James E. Baley dalam buku Integrated Production Control Systems (1987, p363), terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyeimbangkan lintasan produksi. Secara umum terdapat tiga metode dasar, yaitu : A. Metode Analitik (matematik) Merupakan metode yang dapat menghasilkan suatu solusi optimal. Contoh: Branch and Bound (kajian penelitian operasional).

43 B. Metode Heuristic Heuristic berasal dari bahasa Yunani yang berarti menemukan. Metode Heuristic ini pertama kali digunakan oleh Simon and Newll untuk menggambarkan pendekatan tertentu untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan. Model Heuristic menggunakan aturan-aturan yang logis dalam memecahkan masalah. Inti dari pendekatan secara heuristic adalah untuk mengaplikasikan rutin secara selektif yang mengurangi bentuk permasalahan. Sebagai contoh, masalah produksi yaitu line balancing yang dapat dipecahkan dengan mengurangi keseluruhan sistem menjadi rangkaian line balancing sederhana yang dapat dipelajari secara analitis. Bentuk lain dari pengurangan adalah digunakan pada aturan yang relatif sederhana yaitu diterapkan secara berulang sampai semua hasil keputusan telah dibuat. Model heuristic tidak menjamin hasil yang optimal, tetapi model ini dirancang untuk menghasilkan strategi yang relatif lebih baik dengan mengacu pada pembatas-pembatas tertentu. Model Heuristic ini banyak dipakai dalam masalah line balancing. Kriteria pokok pendekatan dengan metode ini adalah : Pemecahan yang lebih baik dan lebih cepat. Lebih murah daripada metode yang lainnya. Usaha yang dikeluarkan relatif lebih kecil.

44 Beberapa metode heuristik yang umum dikenal : a. Metode Ranked Positional Weight (RPW) Menurut Elsayed dalam buku Analysis and Control of Production Systems (1994, p360), RPW merupakan salah satu teknik heuristik yang diperkenalkan oleh Helgeson & Bernie. Pada metode ini, nilai ranked positional weight dihitung dari waktu proses masing-masing operasi yang mengikutinya. Cara penentuan bobot dari precedence diagram dimulai dari proses akhir. Bobot (RPW) = waktu proses operasi tersebut + waktu proses operasioperasi yang berikutnya. 4' 1 3' 2 4' 5' 3 4 Diagram 2.1 Contoh Precedence Diagram RPW Keterangan : bobot untuk operasi 4 adalah 5 bobot untuk operasi 3 adalah 4 + RPW(4) = 4 + 5 = 9 bobot untuk operasi 2 adalah 3 + RPW(3) = 3 + 9 = 12, dan seterusnya.

45 Pengelompokkan operasi ke dalam stasiun kerja dilakukan atas dasar urutan RPW (dari yang terbesar) dan juga memperhatikan pembatas berupa waktu siklus. Metode Heuristic ini mengutamakan waktu elemen kerja yang terpanjang, dimana elemen kerja ini akan diprioritaskan terlebih dahulu untuk ditempatkan dalam stasiun kerja dan diikuti oleh elemen kerja yang lain yang memiliki waktu elemen yang lebih rendah. Proses ini dilakukan dengan memberikan bobot. Bobot ini diberikan pada setiap elemen kerja dengan memperhatikan diagram precedence. Dengan sendirinya elemen pekerjaan yang memiliki ketergantungan yang besar akan memiliki bobot yang semakin besar pula, dengan kata lain akan lebih diprioritaskan. Langkah-langkah metode RPW dengan perhitungan manual: 1. Gambar jaringan precedence sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. 2. Tentukan positional weight (bobot posisi) untuk setiap elemen pekerjaan dari suatu operasi yang memiliki waktu penyelesaian (waktu baku) terpanjang mulai dari awal pekerjaan hingga ke akhir elemen pekerjaan yang memiliki waktu penyelesaian (waktu baku) terendah. 3. Urutkan elemen pekerjaan berdasarkan positional weight pada langkah ke-2 di atas. Elemen pekerjaan yang memiliki positional weight tertinggi diurutkan pertama kali.

46 4. Lanjutkan dengan menempatkan elemen pekerjaan yang memiliki positional weight tertinggi hingga ke yang terendah ke setiap stasiun kerja. 5. Jika pada setiap stasiun kerja terdapat kelebihan waktu dalam hal ini waktu stasiun melebihi waktu siklus, tukar atau ganti elemen pekerjaan yang ada dalam stasiun kerja tersebut ke stasiun kerja berikutnya selama tidak menyalahi diagram precedence. 6. Ulangi langkah ke-4 dan ke-5 di atas sampai seluruh elemen pekerjaan sudah ditempatkan ke dalam stasiun kerja. b. Metode Moodie Young Langkah penugasan pekerjaan pada stasiun kerja dengan menggunakan metode ini berbeda pada urutan prioritas pembebanan pekerjaan. Langkahlangkah penyelesaian dengan menggunakan metode pembebanan berurut ini adalah sebagai berikut: 1. Hitung waktu siklus yang diinginkan. Waktu siklus aktual adalah waktu siklus yang diinginkan atau waktu operasi terbesar jika waktu operasi terbesar itu lebih besar dari waktu siklus yang diinginkan. 2. Buat matriks operasi pendahulu (P) dan operasi pengikut (F) untuk tiap operasi berdasarkan jaringan kerja perakitan. 3. Perhatikan baris di matriks kegiatan pendahuluan P yang semuanya terdiri dari angka 0, dan bebankan elemen pekerjaan terbesar yang

47 mungkin terjadi, jika ada lebih dari 1 baris yang dimiliki seluruh elemen sama dengan nol. 4. Perhatikan nomon elemen dibaris matriks kegiatan pengikut F yang bersesuaian dengan elemen yang telah ditugaskan. 5. Lanjutkan penugasan elemen-elemen pekerjaan itu pada tiap stasiun kerja dengan ketentuan bahwa waktu total operasi tidak melebihi waktu siklus. 6. Hitung efisiensi rata-rata stasiun kerja yang terbentuk. 7. Gunakan prosedur trial and error untuk mencari pembebanan yang akan menghasikan efisiensi rata-rata lebih besar dari efisiensi rata-rata pada langkah 6 di atas. 8. Ulangi langkah 6 dan 7. c. Metode Largest Candidate Rule (LCR) Menurut Mikell P. Groover dalam buku Automation, Production Systems, and Computer-Integrated Manufacturing (2001, p535), merupakan metode yang paling sederhana. Adapun prosedur tersebut secara detil dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Urutkan semua elemen kerja dari yang paling besar waktunya hingga yang paling kecil.

48 2. Elemen kerja pada stasiun kerja pertama diambil dari urutan yang paling atas. Elemen kerja pindah ke stasiun kerja berikutnya, apabila jumlah elemen kerja telah melebihi waktu siklus. 3. Lanjutkan proses langkah 2, hingga semua elemen kerja telah berada dalam stasiun kerja dan memenuhi waktu siklus (cycle time). d. Metode J-Wagon Menurut Richard B. Chase dan Nicholas J. Aquilano dalam buku Production and Operation Management (1995, p407), metode heuristic ini mengutamakan jumlah elemen kerja yang terbanyak, dimana elemen kerja tersebut akan diprioritaskan terlebih dahulu untuk ditempatkan dalam stasiun kerja dan diikuti oleh elemen kerja lain yang memiliki jumlah elemen kerja yang lebih sedikit. Apabila terdapat dua elemen kerja yang memiliki nilai bobot yang sama, maka prioritas akan diberikan kepada elemen kerja yang memiliki waktu pengerjaan lebih besar. Sedangkan prosedur selanjutnya, sama dengan metode Helgesson-Birnie (Ranked Positional Weight), hanya saja dalam menentukan bobot yang dihitung adalah jumlah operasi (bukan waktu operasi). Bobot (J-Wagon) = jumlah proses operasi-operasi yang bergantung pada operasi tersebut

49 1 3 4 2 Diagram 2.2 Contoh Precedence Diagram J-Wagon Keterangan : bobot untuk operasi 4 adalah 0 bobot untuk operasi 3 adalah 1 yaitu operasi 4 bobot untuk operasi 2 adalah 2 yaitu operasi 3 dan 4 bobot untuk operasi 1 adalah 2 yaitu operasi 3 dan 4 e. Metode Kilbridge & Wester Menurut Elsayed dalam buku Analysis and Control of Production Systems (1994, p353), prosedur pengelompokkan operasi menurut metode yang dikemukakan oleh Kilbridge-Wester adalah sebagai berikut : 1. Buat diagram precedence untuk masing-masing operasi. 2. Kelompokkan operasi-opersai ke dalam region/kolom, tampilan dalam kolom I semua oprasi yang tidak memiliki precedence. Dalam kolom II menampilkan operasi-operasi yang mengikuti

50 operasi di kolom I dan seterusnya, dengan cara yang sama untuk kolom-kolom berikutnya (jadi semua elemen dibuat rapat kiri). 3. Tugas/ kelompokkan operasi-operasi ke dalam stasiun kerja dengan jumlah waktu operasi tidak melebihi waktu siklus. 4. Jika waktu stasiun kerja ke-i melebihi waktu siklus maka operasi terakhir yang masuk dalam stasiun kerja tersebut harus ditugaskan dalam stasiun kerja berikutnya. 5. Ulangi Langkah 4 dan 5 sampai semua operasi sudah dikelompokkan dalam stasiun kerja. f. Metode Reversed Ranked Positional Weight (Reversed RPW) Menurut David D. Bedworth dan James E. Baley dalam buku Integrated Production Control Systems (1987, p364), sebelum masuk ke metode Reverse RPW, kita harus mengenal Metode RPW terlebih dahulu. Cara penentuan bobot dari precedence diagram dimulai dari proses akhir. Bobot RPW = waktu proses operasi tersebut + waktu proses operasi-operasi yang mengikutinya. Pengelompokkan operasi ke dalam stasiun kerja dilakukan berdasarkan urutan RPW (dari yang terbesar) dan juga memperhatikan pembatas berupa waktu siklus dan elemen pendahulunya. Metode Heuristic ini mengutamakan waktu elemen kerja yang terpanjang, dimana elemen kerja ini akan diprioritaskan terlebih dahulu untuk ditempatkan

51 dalam stasiun kerja dan diikuti oleh elemen kerja yang lain yang memiliki waktu elemen yang lebih rendah. Proses ini dilakukan dengan memberikan bobot. Bobot ini diberikan pada setiap elemen kerja dengan memperhatikan diagram precedence. Dengan sendirinya elemen pekerjaan yang memiliki ketergantungan yang besar akan memiliki bobot yang semakin besar pula, dengan kata lain akan lebih diprioritaskan. Metode Reversed RPW memiliki cara pengerjaan yang hampir sama dengan metode RPW. Hanya saja pengerjaannya dibalik. Metode ini memberikan prioritas bagi operasi-operasi kerja yang lebih lama berada di lintasan lini. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat cara pengerjaannya sebagai berikut: 1. Gambar jaringan precedence sesuai dengan keadaan sebenarnya. Kemudian diagram precedence dibalik atau dicerminkan dengan urutan sebagai berikut : Elemen kerja terakhir menjadi elemen kerja pertama pada diagram precedence baru. Elemen kerja terakhir kedua menjadi elemen kerja kedua pada diagram baru, dan seterusnya.

52 2. Tentukan positional weight (bobot posisi) untuk setiap elemen pada diagram precedence baru sesuai aturan rumus yang telah dipaparkan di atas. 3. Urutkan elemen pekerjaan berdasarkan positional weight pada langkah kedua di atas. Elemen pekerjaan yang memiliki positional weight tertinggi diurutkan pertama kali. 4. Lanjutkan dengan menempatkan elemen pekerjaan yang memiliki positional weight tertinggi hingga yang terendah di setiap stasiun kerja. 5. Jika pada setiap stasiun kerja terdapat kelebihan waktu, dalam hal ini waktu stasiun kerja melebihi waktu siklus, tukar atau ganti elemen pekerjaan yang berada dalam staiun kerja tersebut ke staiun kerja berikutnya. Selama tidak menyalahi diagram precedence. 6. Ulangi langkah ke-4 dan 5 di atas sampai seluruh elemen pekerjaan sudah ditempatkan ke dalam stasiun kerja. 7. Setelah didapatkan pembagian stasiun kerja yang baru, kemudian stasiun kerja yang ada dibalik posisinya. Stasiun kerja pertama menjadi terakhir, stasiun kerja kedua menjadi terakhir, dan seterusnya. Elemen-elemen kerja yang ada di dalamnya juga dikembalikan ke posisi awal.

53 g. COMSOAL (Computer Method for Sequencing Operations for Assembly Lines) Menurut A. L. Arcus dalam buku COMSOAL - A Computer Method of Sequencing Operations for Assembly Lines (1997, p259), metodologi dasar COMSOAL didasarkan pada berkembangnya sejumlah besar pemecahan yang layak bagi keseimbangan lini dengan metode biased sampling. Pemecahan alternatif untuk masalah keseimbangan lini tertentu kemudian didasarkan pada pemecahan terbaik yang dihasilkan. Metodologi yang dikembangkan ini dilakukan dengan pembobotan untuk memilih tugas yang sesuai dengan precedence diagram melalui hasil perkalian lima bobot dasar. Lima bobot dasar tersebut sebagai berikut: a. Bobotlah tugas yang sesuai dengan proporsi waktu tugas. b. Bobotlah tugas yang sesuai dengan 1/X, dimana X adalah sama dengan jumlah total tugas yang belum terpilih ke dalam stasiun dikurangi 1, dikurangi dengan jumlah semua tugas yang mengikuti tugas yang sedang dipertimbangkan. c. Bobotlah tugas yang sesuai dengan jumlah total semua tugas yang mengikutinya ditambah 1. d. Bobotlah tugas yang sesuai dengan waktu tugas tersebut dan waktu semua tugas yang mengikutinya.

54 e. Bobotlah tugas yang sesuai dengan jumlah total yang mengikutinya ditambah 1, dibagi dengan jumlah tingkat (level) yang ditempati oleh elemen tersebut. f. Hitunglah rasio yang diperoleh dari perkalian faktor-faktor di atas sehingga elemen yang memiliki rasio terbesar dapat masuk ke dalam pembagian stasiun. Namun yang perlu diingat bahwa suatu elemen dapat masuk ke dalam stasiun bila elemen-elemen yang mendahuluinya sudah lebih dahulu ditugaskan dan waktu siklus yang tersisa masih mencukupi. 2.4 Perancangan Tata Letak Mesin 2.4.1 Definisi dan Tujuan Perancangan Tata Letak Mesin Menurut Sritomo Wignjosoebroto dalam buku Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan (1997, p108), pemilihan dan penetapan alternatif layout -dalam hal ini disebut tata letak fasilitas produksi/ mesin (machine layout)- merupakan langkah yang kritis dalam proses perencanaan tata letak dan proses pemindahan bahan. Pengaturan tersebut akan mencoba menggunakan luas area untuk penempatan mesin atau fasilitas penunjang produksi lainnya, kelancaran gerakan-gerakan material baik yang bersifat temporer maupun permanen, personil pekerja dan sebagainya. Pada umumnya, tata letak mesin yang terencana dengan baik akan menentukan efisiensi dan dalam beberapa hal akan juga menjaga kelangsungan hidup ataupun kesuksesan kerja suatu industri. Peralatan industri yang mahal harganya, peralatan

55 yang canggih, dan suatu desain produk yang bagus akan tidak ada artinya akibat perencanaan layout yang sembarangan saja. Karena aktivitas produksi suatu industri secara normalnya harus berlangsung lama dengan tata letak yang tidak selalu berubah-ubah, maka setiap kekeliruan yang dibuat di dalam perencanaan tata letak ini akan menyebabkan kerugian-kerugian yang tidak kecil. Tujuan utama di dalam desain tata letak mesin pada dasarnya adalah untuk meminimalkan total biaya yang antara lain menyangkut elemen-elemen biaya sebagai berikut: Biaya untuk konstruksi dan instalasi baik untuk bangunan mesin, maupun fasilitas produksi lainnya. Biaya pemindahan bahan (material handling costs) Biaya produksi, maintenance, safety, dan in-process storage cost. 2.4.2 Permasalahan dalam Penetapan Tata Letak Mesin Menurut Sritomo Wignjosoebroto dalam buku Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan (1997, p108), berikut adalah beberapa permasalahan sering baik langsung maupun tidak langsung- yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan berkaitan dengan sistem pemindahan bahan akan mempengaruhi machine layout yang ada: Kebijaksanaan sentralisasi atau desentralisasi dari gudang barang setengah jadi (work-in-process storage), perkakas atau komponen-komponen perakitan lainnya.

56 Keputusan untuk menggunakan lintasan tetap (fixed path) atau lintasan variabel (variable path) dalam menangani pemindahan bahan. Besarnya beban (unit load) yang harus dipindahkan dalam sistem produksi yang berlangsung. Derajat ataupun tingkatan teknologi yang dipakai dalam proses pemindahan. Tingkat pengendalian persediaan bahan yang ada di gudang. Banyak orang cenderung memusatkan perhatian terlebih dahulu pada machine layout baru kemudian proses pemindahan bahannya. Hal ini dilandasi dengan satu alasan kuat dimana penekanan ada pada proses manufakturing yang berlangsung. Sebagai contoh, akan sangat logis menempatkan Departemen B setelah Departemen A apabila proses B terjadi segera setelah proses A. Dalam kasus ini, permasalahan pemindahan bahan adalah untuk mencari cara yang terbaik untuk menekan/ mengurangi biaya pemindahan bahan dari A ke B. Kebijaksanaan yang umum diterapkan akan menyarankan untuk memecahkan masalah pemindahan bahan setelah proses perencanaan tata letak dilakukan. Di dalam menganalisa aktivitas pemindahan bahan (material) maka hal tersebut harus ditinjau terhadap frekuensi maupun jarak perpindahannya. Dengan demikian sistem pemindahan bahan dan tata letak fasilitas produksi harus direncanakan secara serentak.

57 2.4.3 Tata Letak Mesin Berdasarkan Kelompok Produk Menurut Sritomo Wignjosoebroto dalam buku Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan (1997, p113), tata letak ini didasarkan pada pengelonpokkan produk atau komponen yang akan dibuat. Produk-produk yang tidak identik dikelompok-kelompokkan berdasarkan langkah-langkah pemrosesan, bentuk mesin atau peralatan yang dipakai dan sebagainya. Dalam hal ini pengelompokkan tidak didasarkan pada kesamaan jenis produk akhir seperti halnya pada tipe produk layout. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pengaturan tata letak fasilitas produksi ini antara lain: Pendayagunaan mesin yang maksimal Lintasan aliran kerja menjadi lebih lancar dan jarak pemindahan material menjadi minimal. Memiliki keuntungan-keuntungan dari tipe product loyout dan process layout Memiliki efisiensi yang tinggi karena setiap kelompok produk memiliki urutan yang sama Selain keuntungan yang bisa diperoleh, maka layout ini juga memiliki beberapa keterbatasan dalam hal: Diperlukan tenaga kerja dengan keterampilan tinggi Kelancaran kerja bergantung pada keseimbangan aliran kerja Beberapa kerugian dan tipe product loyout dan process layout juga didapati disini