ANALISIS STRUKTUR KRISTAL DAN SIFAT KELISTRIKAN BAHAN La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 DENGAN METODE SOL-GEL

dokumen-dokumen yang mirip
Bab IV. Hasil dan Pembahasan

Bab III Metodologi Penelitian

Ringkasan Tugas Akhir. : Pengaruh Substitusi Bi Terhadap Spektrum Electron Spin Resonance

4 Hasil dan Pembahasan

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di

HASIL DAN PEMBAHASAN

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN ADITIF Ca DARI BATU KAPUR ALAM DENGAN METODE PENCAMPURAN LARUTAN

I. PENDAHULUAN. oleh H.K Onnes pada tahun 1911 dengan mendinginkan merkuri (Hg) menggunakan helium cair pada temperatur 4,2 K (Darminto dkk, 1999).

SINTESIS DAN KARAKTERISASI CORE-SHELL ZnO/TiO2 SEBAGAI MATERIAL FOTOANODA PADA DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) SKRIPSI

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

METODE SOL-GEL RISDIYANI CHASANAH M

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA

PENGARUH DOPING NI TERHADAP RESISTIVITAS SENYAWA LA0.67SR0.33MN1-XNIXO3

Bab 3 Metodologi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gabriella Permata W, Budhy Kurniawan Departemen Fisika, FMIPA-UI Kampus Baru UI, Depok ABSTRAK ANALISIS SISTEM DAN UKURAN KRISTAL PADA MATERIAL

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi

SINTESIS DAN STRUKTUR KRISTAL BAHAN LaMnO 3 DAN La 0,7 Er 0,3 MnO 3 PEROVSKITE SKRIPSI

4 Hasil dan pembahasan

MOTTO DAN PERSEMBAHAN...

PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2013 di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

ASPEK STRUKTUR DAN KONDUKTIVITAS La 1-x (Sr,Ca) x FeO 3-δ SEBAGAI BAHAN KATODA PADA SEL BAHAN BAKAR PADATAN TESIS

BAB IV ANALISA DATA & PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen yang dilakukan di

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Mulai. Persiapan alat dan bahan. Meshing AAS. Kalsinasi + AAS. Pembuatan spesimen

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR-

LOGO. STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 PRESENTASI TESIS. Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit CSZ-Ni dengan

Metodologi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Telah disadari bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Superkonduktor merupakan suatu bahan dengan konduktivitas tak hingga, karena

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dihasilkan sebanyak 5 gram. Perbandingan ini dipilih karena peneliti ingin

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. sol-gel, dan mempelajari aktivitas katalitik Fe 3 O 4 untuk reaksi konversi gas

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material, Jurusan

SINTESIS SUPERKONDUKTOR BSCCO DENGAN VARIASI Bi DAN Pb MELALUI METODE SOL GEL DAN ANALISIS POLA DIFRAKSI SINAR X MENGGUNAKAN METODE RIETVELD FULLPROF

350 0 C 1 jam C. 10 jam. 20 jam. Pelet YBCO. Uji Konduktivitas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ba(NO 3 ) Cu(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2

BAB 2 Teori Dasar 2.1 Konsep Dasar

Bab III Metodologi Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas

BAB 3 METODE PENELITIAN. Neraca Digital AS 220/C/2 Radwag Furnace Control Indicator Universal

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH KONDISI ANNEALING TERHADAP PARAMETER KISI KRISTAL BAHAN SUPERKONDUKTOR OPTIMUM DOPED DOPING ELEKTRON Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ

MODUL IV JUDUL : KRISTALOGRAFI I BAB I PENDAHULUAN

Pengaruh Temperatur Leleh Terhadap Rapat Arus Kritis Pada Kristal Superkonduktor Bi-2223 Dengan Menggunakan Metode Self-Fluks SKRIPSI

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SIDANG TUGAS AKHIR JURUSAN TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014

Bab III Metoda Penelitian

Superkonduktor Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian

PEMBUATAN ALUMINIUM BUSA MELALUI PROSES SINTER DAN PELARUTAN SKRIPSI

METODE X-RAY. Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :

PENGARUH WAKTU MILLING TERHADAP SIFAT FISIS, SIFAT MAGNET DAN STRUKTUR KRISTAL PADA MAGNET BARIUM HEKSAFERIT SKRIPSI EKA F RAHMADHANI

Efek Atmosfer Udara dan Oksigen Terhadap Struktur Kristal dan Kristalografi Material Superkonduktor (Bi0,40Pb0,45)Sr2(Ca0,40Y0,70)Cu2Oz

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan penelitian ini maka dipilih

METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik Universitas

I. PENDAHULUAN. kinerjanya adalah pemrosesan, modifikasi struktur dan sifat-sifat material.

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SIFAT LISTRIK SUPERKONDUKTOR Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ (ECCO) UNTUK UNDER-DOPED

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

dengan panjang a. Ukuran kristal dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan Debye Scherrer. Dilanjutkan dengan sintering pada suhu

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS

III. METODOLOGI PENELITIAN. analisis komposisi unsur (EDX) dilakukan di. Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan Serpong,

KARAKTERISASI DIFRAKSI SINAR X DAN APLIKASINYA PADA DEFECT KRISTAL OLEH: MARIA OKTAFIANI JURUSAN FISIKA

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SENYAWA PEROVSKIT GANDA Sr 2 Mg 1-X Fe X MoO 6-δ SEBAGAI MATERIAL ANODA PADA SEL BAHAN BAKAR DENGAN METODA SOL-GEL

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Sejak ditemukan oleh ilmuwan berkebangsaan Jerman Christian Friedrich

Tabel 3.1 Efisiensi proses kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1000 o C selama 5 jam Massa cangkang telur ayam. Sesudah kalsinasi (g)

SINTESIS DAN KARAKTERISASI UNDER-DOPED SUPERKONDUKTOR DOPING ELEKTRON Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk

MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER)

KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK DAN SERAPAN GELOMBANG MIKRO BARIUM M-HEKSAFERIT BaFe 12 O 19

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda eksperimen.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab IV Hasil Dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan. IV.1 Sintesis dan karaktrisasi garam rangkap CaCu(CH 3 COO) 4.6H 2 O

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

METODA FOTO BACK-REFLECTION LAUE UNTUK MENENTUKAN ARAH SUMBU KRISTAL TUNGGAL La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (x=0,4)

PERFORMA SEL SURYA TERSENSITASI ZAT PEWARNA (DSSC) BERBASIS ZnO DENGAN VARIASI TINGKAT PENGISIAN DAN BESAR KRISTALIT TiO 2 SKRIPSI

01 : STRUKTUR MIKRO. perilaku gugus-gugus atom tersebut (mungkin mempunyai struktur kristalin yang teratur);

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

IDENTIFIKASI Fase KOMPOSIT OKSIDA BESI - ZEOLIT ALAM

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK BARIUM M-HEKSAFERRIT DENGAN DOPING ION Zn PADA VARIASI TEMPERATUR RENDAH

PEMBUATAN BATANG PELET La 2-2X Sr 1+2X Mn 2 O7 SEBAGAI BAHAN PENUMBUH KRISTAL TUNGGAL

REKAYASA MATERIAL ABSORBER GELOMBANG MIKRO BERBASIS LANTANUM MANGANAT

Transkripsi:

ANALISIS STRUKTUR KRISTAL DAN SIFAT KELISTRIKAN BAHAN La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 DENGAN METODE SOL-GEL Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si) Oleh JULI HARTATI NIM: 11150970000013 PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H / 2019 M

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ANALISIS STRUKTUR KRISTAL DAN SIFAT KELISTRIKAN BAHAN La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 DENGAN METODE SOL-GEL Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si) JULI HARTATI NIM: 11150970000013 Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Sitti Ahmiatri Saptari, M.Si NIP. 19770416 200501 2 008 Arif Tjahjono, M.Si NIP. 19751107 200701 1 015 Mengetahui, Ketua Program Studi Fisika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tati Zera, M.Si NIP. 19696082 200501 2 002 ii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN Skripsi dengan judul Analisis Struktur Kristal dan Sifat Kelistrikan Bahan La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 dengan Metode Sol-Gel yang ditulis oleh Juli Hartati dengan NIM 11150970000013 telah diuji dan dinyatakan lulus dalam sidang Munaqasah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 1 Oktober 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Strata satu (S1) Program Studi Fisika. iii

LEMBAR PERNYATAAN Yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Juli Hartati NIM : 11150970000013 Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis Struktur Kristal dan Sifat Kelistrikan Bahan La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 dengan Metode Sol-Gel adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari orang lain. Jakarta, 1 Oktober 2019 Juli Hartati NIM 11150970000013 iv

ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenai struktur kristal dan sifat kelistrikan bahan La 0.7 (Ba 1-x Sr x )MnO 3 (x= 0, 0.2, 0.3, dan 0.5) dengan metode sol-gel. Senyawa yang digunakan dicampurkan di atas hot plate sampai mencapai ph 7 saat ditetesi ammonia solution kemudian didiamkan sampai berubah menjadi gel. Gel didehidrasi pada suhu 120 C, pra-kalsinasi 650 C selama 6 jam, kalsinasi 1000 C selama 12 jam, dan sintering 1200 C selama 12 jam. Hasil analisis XRD menunjukkan bahwa struktur kristal La 0.7 (Ba 1-x Sr x )MnO 3 adalah rombohedral dengan space grup R-3c. Dengan meningkatnya substitusi ion Sr 2+, terjadi penurunan intensitas dan pergeseran puncak ke arah sudut yang lebih besar karena pengaruh jari-jari ion Sr 2+ (1.44 ) lebih kecil dibandingkan dengan jari-jari ion Ba 2+ (1.61 ). Sifat kelistrikan bahan La 0.7 (Ba 1-x Sr x )MnO 3 diukur dengan cryogenic magnetometer dan diolah menggunakan metode regresi linier, hasilnya diketahui bahwa ketika x = 0.2 memiliki resistivitas yang tinggi yaitu 130.678 Ωmm, sedangkan ketika x = 0.3 memiliki resisivitas yang rendah yaitu 5.914 Ωmm. Kata kunci: La 0.7 (Ba 1-x Sr x )MnO 3, struktur kristal, resistivitas v

ABSTRACT Analysis crystal structure and electrical properties of La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 compound (x = 0, 0.2, 0.3, and 0.5) by sol-gel method has been investigated. The compound used is mixed on a hot plate until reached a ph 7 when dropped ammonia solution, then let stand until turn into a gel. Dehydrated gel at 120 C, pre-calcination at 650 C for 6 hours, calcination at 1000 C for 12 hours, and sintering at 1200 C for 12 hours. The result of refinement XRD pattern shown that samples are single phase with rhombohedral crystal structure with R-3c space group. The intensity decrease and peak list shift to larger angle when Srsubstitution increased, it s caused ionic radii of Sr 2+ (1.44 ) is smaller than Ba 2+ (1.61 ). The resistivity at x = 0.2 is higest (130.678 Ωmm) and x = 0.3 is lowest (5.914 Ωmm). Key words: : La 0.7 (Ba 1-x Sr x )MnO 3, crystal structure, resistivity vi

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu wa Ta ala yang telah memberikan karunia-nya sehingga penyusunan tugas akhir ini dapat selesai pada waktunya dengan judul Analisis Struktur Kristal dan Sifat Kelistrikan Bahan La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 dengan Metode Sol-gel. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Sallallahu alaihi wa Sallam beserta keluarga dan sahabatnya. Dalam kegiatan penelitan maupun penyusunan laporan tugas akhir ini, penulis banyak sekali mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orang tua tersayang yang senantiasi mendoakan setiap kegiatan yang penulis lakukan. 2. Ibu Dr. Tati Zera, M.Si selaku kepala Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Dr. Sitti Ahmiatri Saptari, M.Si selaku pembimbing pertama 4. Bapak Arif Tjahjono, S.T., M.Si, selaku pembimbing kedua. 5. Ibu Prof. Dr. Lily Surraya Eka Putri, M.Env.Stud., selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Bapak Dr. Ambran Hartono, M.Si selaku penguji pertama. 7. Bapak Dr. Sutrisno, M.Si selaku penguji kedua. vii

8. Ikhwan Nur Rahman, M.Si yang membantu penulis dalam proses sintesis sampel dan penyusunan laporan tugas akhir ini. 9. Seluruh teman-teman program studi Fisika UIN Jakarta tahun angkatan 2015. Penulis menyadari dalam penyusunan laporan ini masih terdapat kekurangan, karenanya kritik dan saran dari penyusunan laporan tugas akhir ini sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan pada penyusunan laporan selanjutnya. Kritik dan saran tersebut dapat dikirim melalui email juli.hartati15@mhs.uinjkt.ac.id. Jakarta, Juli 2019 Penulis viii

DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN... iii LEMBAR PERNYATAAN... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang Penelitian... 1 1.2 Perumusan Masalah Penelitian... 4 1.3 Tujuan Penelitian... 4 1.4 Batasan Masalah... 4 1.5 Manfaat Penelitian... 5 1.6 Sistematika Penulisan... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 7 2.1 Struktur Perovskite... 7 ix

2.2 Teori Medan Kristal dan Efek Jahn-Teller... 9 2.3 Double Exchange (DE)... 12 2.4 Diagram Fasa La 1-x (Ba, Sr) x MnO 3... 13 2.5 Sistem Kristal... 15 2.6 Identifikasi X-ray Diffraction (XRD)... 15 2.7 Pengaruh Substitusi Ion Ba dan Sr pada LaMnO 3... 20 2.8 HukumOhm dan Hambatan Jenis (Resistivitas)... 24 2.9 Metode Sol-Gel... 27 BAB III METODE PENELITIAN... 29 3.1 Waktu dan Tempat... 29 3.2 Alat dan Bahan... 29 3.3 Tahapan Penelitian... 30 3.4 Prosedur Penelitian... 31 3.4.1 Persamaan Stokiometri dan Komposisi Bahan... 31 3.4.2 Sintesis La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3... 38 3.5 Karakterisasi... 40 3.5.1 X-ray Diffractometer (XRD)... 41 3.5.2 Cryogenic Magnetometer... 41 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 43 4.1 Hasil Karakterisasi X-ray Diffractometer (XRD)... 43 x

4.2 Resistivitas La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3... 53 BAB V PENUTUP... 57 5.1 Kesimpulan... 57 5.2 Saran... 58 DAFTAR PUSTAKA... 59 LAMPIRAN... 66 xi

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Struktur kubus perovskite. 7 Gambar 2.2. Bentuk orbital d dalam medan oktahedral... 10 Gambar 2.3. Pembelahan medan kristal pada five-fold degenerasi atom 3d pada energi rendah t 2g dan energi tinggi e g.... 11 Gambar 2.4. Skema mekanisme double exchange 13 Gambar 2.5. Diagram fasa LBMO 14 Gambar 2.6. Diagram fasa LSMO.... 15 Gambar 2.7. Sistem kristal beserta kisi bravais 16 Gambar 2.8. Skema Bragg 18 Gambar 2.9. Distribusi intensitas pada detektor sinar-x... 19 Gambar 2.10. Perbedaan pola imtensitas sinar-x, kristal (hijau) dan amorf (biru).. 20 Gambar 2.11. Pola difraksi sinar-x LBMO.. 22 Gambar 2.12. Pola difraksi sinar-x La 0.67Sr0.33 MnO 3 23 Gambar 2.13. Pola difraksi sinar-x pada LBSMO.. 24 Gambar 2.14. Grafik arus dan tegangan untuk (a) konduktor yang mengikuti hokum Ohm, dan (b) alat nonohmik, dalam hal ini dioda. 25 Gambar 2.15. Grafik I-V characteristic untuk (a) resistansi besar, (b) resistansi kecil, (c) dioda, dan (d) baterai... 26 Gambar 2.16. Skema sintesis metode sol-gel.. 28 Gambar 3.1. Tahapan Penelitian... 30 xii

Gambar 3.2. (a) La 2 O 3 dilarutkan dengan aquabidest, (b) La 2 O 3 setelah ditetesi nitrit acid, (c) Larutan prekusor setelah ditetesi ammonia solution dengan ph = 2, dan (d) Larutan prekusor ketika ph =7..... 39 Gambar 3.3. (a) Prekusor yang telah menjadi gel, (b) Hasil proses dehidrasi, (c) Sampel yang telah ditumbuk, (d) Sampel yang telah dikalsinasi, dan (e) Sampel yang telah disintering 40 Gambar 3.4. Alat karakterisasi X-ray Diffractometer... 41 Gambar 3.5. Cryogenic Magnetometer. 42 Gambar 4.1. Pola difraksi sinar-x La 0.7 Ba 0.3 MnO 3... 44 Gambar 4.2. Pola difraksi sinar-x La 0.7 Ba 0.24 Sr 0.06 MnO 3. 44 Gambar 4.3. Pola difraksi sinar-x La 0.7 Ba 0.21 Sr 0.09 MnO 3. 45 Gambar 4.4.. Pola difraksi sinar-x La 0.7 Ba 0.15 Sr 0.15 MnO 3... 45 Gambar 4.5. Gabungan pola difraksi sinar-x La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3.. 46 Gambar 4.6. Volume cell terhadap nilai x. 48 Gambar 4.7. Pergeseran puncak pola difraksi sinar-x La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3... 49 Gambar 4.8. Ukuran rata-rata polikristal LBSMO... 50 Gambar 4.9. Panjang ikatan d Mn-O dan sudut Mn-O-Mn.. 52 Gambar 4.10. Visualisasi polikristal La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 52 Gambar 4.11. Grafik hubungan antara beda potensial terhadap arus 53 Gambar 4.12. Regresi linier antara beda potensial dengan arus pada La 0.7 Ba 0.3 MnO 3... 54 xiii

Gambar 4.13. Regresi linier antara beda potensial dengan arus pada La 0.7 Ba 0.24 Sr 0.06 MnO 3... 54 Gambar 4.14. Regresi linier antara beda potensial dengan arus pada La 0.7 Ba 0.21 Sr 0.09 MnO 3... 55 Gambar 4.15. Regresi linier antara beda potensial dengan arus pada La 0.7 Ba 0.15 Sr 0.15 MnO 3... 55 xiv

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Jari-jari ion pada senyawa La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 9 Tabel 2.2. Sistem kristal 16 Tabel 3.1. Spesifikasi prekursor yang digunakan..... 32 Tabel 3.2. Atom relatif dari masing-masing ion pada senyawa La 0.7 (Ba 1- xsr x ) 0.3 MnO 3... 33 Tabel 3.3. Massa molekul relatif masing-masing prekursor... 33 Tabel 3.4. Wt% masing-masing ion pada senyawa La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3... 34 Tabel 3.5. Massa masing-masing ion 34 Tabel 3.6. Wt% ion metal.. 35 Tabel 3.7. Massa prekursor... 35 Tabel 3.8. Massa prekursor yang digunakan. 35 Tabel 3.9. Mol masing-masing ion 36 Tabel 3.10. Mol C 6 H 8 O 7 36 Tabel 3.11. Massa C 6 H 8 O 7 37 Tabel 3.12. Massa timbang C 6 H 8 O 7. H 2 O.. 37 Tabel 3.13. Massa prekursor yang digunakan untuk membuat senyawa La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3... 38 Tabel 4.1 Parameter struktur kristal La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3... 47 Tabel 4.2. Ukuran rata-rata kristal La 0.7 Ba0.3 MnO 3 50 Tabel 4.3. Ukuran rata-rata kristal La 0.7 Ba 0.24 Sr 0.06 MnO 3. 51 Tabel 4.4. Ukuran rata-rata kristal La 0.7 Ba 0.21 Sr 0.09 MnO 3 51 xv

Tabel 4.5. Ukuran rata-rata kristal La 0.7 Ba 0.15 Sr 0.15 MnO 3 51 Tabel 4.6. Nilai resistansi dan resistivitas material La 0.7 (Ba 1x Sr x ) 0.3 MnO 3... 56 xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Terdapat empat jenis material yang telah diketahui saat ini, yaitu logam, polimer, komposit dan ceramic. Setiap material tersebut memiliki karakteristik kelistrikan yang berbeda, misalnya material logam merupakan konduktor listrik yang baik, polimer sebagian besar merupakan insulator listrik, komposit dan ceramic merupakan material yang memiliki sifat kelistrikan yang bervariasi, baik insulator, semikonduktor, maupun superkonduktor. Perbedaan sifat kelistrikan pada masing-masing material ini disebabkan karena setiap material terdiri dari atom penyusun yang memiliki elektron. Elektron tersebut mengalami pergerakan sehingga dapat menimbulkan aliran listrik pada suatu material. Sifat kelistrikan mencakup resistivitas, konduktivitas, permitivitas atau tetapan dielektrik, dan kebocoran arus listrik (electrical-loss properties). Sifat-sifat tersebut salah satunya dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang elektronika. Misalnya, untuk material yang mampu menyimpan muatan listrik harus memiliki sifat dielektrik, material yang mampu menghantarkan arus listrik dengan baik harus memiliki sifat konduktivitas yang tinggi, dan material yang mampu menahan arus listrik harus memiliki resistivitas yang tinggi. Untuk mendapatkan suatu material dengan sifat-sifat tertentu yang diinginkan, dapat dilakukan dengan cara merekayasa material. 1

Salah satu rekayasa material yang menarik perhatian para peneliti dalam beberapa dekade terakhir ini adalah rekayasa material terhadap oksida perovskite, terutama lantanum manganit perovskite (LaMnO 3 ). LaMnO 3 menunjukkan fenomena-fenomena yang berhubungan dengan kelistrikan dan kemagnetan apabila ion La 3+ disubstitusikan dengan ion divalent seperti Ba 2+, Sr 2+, dan Ca 2+ dan ion Mn 3+ disubstitusikan dengan ion logam transisi seperti Fe dan Ni. Dengan adanya substitusi ion tersebut dapat menyebabkan adanya interaksi antara ion Mn 3+ dan Mn 4+ yang dapat menentukan sifat magnetik dan listrik [1]. Fenomena yang ditunjukkan pada perovskite manganit berupa efek magnetoresistansi, magnetokalorik, penyerap gelombang elektromagnetik, perpindahan muatan, transisi fasa metal-insulator, dan resistance switching [2, 3]. Efek magnetoresistansi pada struktur manganit perovskite dapat diaplikasikan pada magnetic recording, aktuator, dan sensor [2], sedangkan sifat resistance switching dapat diaplikasikan pada Random Access Memory (RAM) dan flash memory. Selain dapat mempengaruhi karakteristik dari LaMnO 3, mensubstitusikan ion divalent seperti Ba 2+ dan Sr 2+ dapat mengubah struktur kubus perovskite menjadi struktur lain seperti ortorombik maupun rombohedral. Hal ini dapat disebabkan karena adanya distrosi Jahn-Teller. Distrosi ini dapat disebabkan karena perbedaan ukuran jari-jari ion yang disubstitusikan, dimana ion Ba 2+ memiliki ukuran jari-jari ion lebih besar dibandingkan dengan ion Sr 2+, sehingga struktur senyawa induk LaMnO 3 akan terdistorsi. 2

Nilai substitusi x akan mempengaruhi sifat dan karakteristik kelistrikan dan magnetik material manganit. Misalnya, senyawa La 1-x Ba x MnO 3 dengan x = 0.33 menunjukkan transisi fasa dari ferromagnetik metalik ke paramagnetik insulator pada suhu 340 K, x = 0.44 dan 0.38 senyawa ini menunjukkan transisi metal insulator pada suhu currie T C dengan resistivitas sebesar 10-3 (Ω cm) [3]. Pada senyawa La 1-x Sr x MnO 3 dengan x = 0.33 memiliki suhu currie T C sebesar 370 K [4]. Pada penelitian ini digunakan senyawa induk La 1-x Ba x MnO 3 (LBMO) yang disubstitusikan dengan ion Sr dengan x = 0, 0.2, 0.3, dan 0.5. Dengan akan terbentuk senyawa dasar LBMO, pada penelitian Sergei et al. terjadi transisi fasa paramagnetik karena mensubstitusikan ion Ba 2+, menunjukkan efek magnetoresistan yang besar pada LBMO, sedangkan pada LSMO menunjukkan nilai resistivitas minimum disekitar T C [2] [5] dan besar atomik ion Ba 2+ dan Sr 2+ akan sama pada struktur La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 sesuai dengan perhitungan stokiometri sehingga menarik perhatian untuk diteliti. Pada penelitian ini digunakan senyawa induk LBMO yang akan disubstitusikan dengan ion Sr 2+. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyintesis LBSMO, antara lain metode solid-state, reaksi garam cair, sol-gel, dan sintesis hidrotermal. Pada penelitian ini digunakan metode sol-gel. Metode ini cocok digunakan untuk skala laboratorium karena relatif mudah, dapat dilakukan perlakuan panas pada suhu rendah dan tinggi, dan lebih ekonomis. Selain itu, untuk mendapat fasa tunggal lebih mudah dibandingkan dengan metode solid state dimana lebih sukar 3

untuk mendapatkan fasa tunggal karena selama proses eksperimen kemungkinan terdapat pengotor akan lebih besar. 1.2 Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaruh substitusi ion Sr 2+ terhadap struktur kristal bahan La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3? (x = 0, 0.2, 0.3, dan 0.5) 2. Bagaimana pengaruh substitusi ion Sr 2+ terhadap sifat kelistrikan bahan La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3? (x = 0, 0.2, 0.3, dan 0.5) 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah ditentukan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menentukan pengaruh substitusi ion Sr 2+ terhadap struktur kristal bahan La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3. 2. Menentukan pengaruh substitusi ion Sr 2+ terhadap sifat kelistrikan bahan La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3. 1.4 Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Metode sintesis sampel menggunakan metode sol-gel. 2. Sampel yang dibuat memiliki senyawa La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 dengan besar substitusi x = 0, 0.2, 0.3, dan 0.5. 4

3. Analisis struktur kristal bahan La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 menggunakan X-Ray Diffractometer (XRD), untuk mengetahui sifat kelistrikan bahan La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 menggunakan Cryogenic Magnetometer dengan metode Four Point Probe (FPP). 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk mengkaji keilmuan mengenai pengaruh substitusi ion Sr terhadap struktur mikro dan sifat kelistrikan bahan La 0.7 (Ba 1- xsr x ) 0.3 MnO 3 dengan variasi substitusi x = 0, 0.2, 0.3, dan 0.5 sehingga dapat menambah wawasan peneliti dan para pembaca. 1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan laporan tugas akhir ini terdiri dari lima bab, antara lain: BAB I Pendahuluan Pada bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, permasalahan penelitian, batasan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan penelitian. BAB II Tinjauan Pustaka Pada bab ini berisi tentang teori-teori dan penelitian sebelumnya yang menjadi landasan teori dalam penelitian tugas akhir ini. BAB III Metode Penelitian Pada bab ini berisi tentang gambaran umum proses penelitian yang dilakukan, seperti waktu dan tempat, alat dan bahan, serta tahapan penelitian. 5

BAB IV Hasil dan Pembahasan Pada bab ini berisi hasil dan pembahasan penelitian yang telah dilakukan. BAB V Kesimpulan dan Saran Pada bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian serta saran yang diberikan untuk penelitian selanjutnya. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Perovskite Struktur perovskite pertama kali ditemukan pada mineral perovskite kalsium titanat (CaTiO 3 ). Struktur perovskite memiliki formula umum ABO 3, dimana A dan B merupakan kation dan O adalah anion. Pada struktur ini, ion site A berada di sudut-sudut kisi, biasanya merupakan unsur alkali atau tanah jarang (La, Pr, Nd) yang berdekatan dengan ion oksigen. Ion site B, berada di tengah kisi, dapat berupa logam transisi 3d hingga 5d (Mn, Fe, Cu) yang berdekatan dengan enam ion oksigen, dan O merupakan oksigen yang menempati facecentered sebagaimana diperlihatkan pada gambar 2.1. [46] Gambar 2.1. Struktur kubus perovskite [6] 7

Salah satu struktur perovskite ABO 3 yang banyak diteliti adalah lantanum manganit (LaMnO 3 ) yang dapat didoping atau disubstitusikan pada ion La 3+ sebagai site A. LaMnO 3 menunjukkan fenomena colossal magnetoresistance (CMR), magnetocaloric effect (CME), feromagnetisme dengan konduksi metal, charge atau orbital ordering dan katoda dalam solid oxide fuel cells (SOFCs) [1], [6]. Ion La 3+ dapat disubstitusikan dengan ion divalent (Ba, Sr, dan Ca) sehingga dapat mengubah kandungan ion mangan pada LaMnO 3, dari Mn 3+ menjadi Mn 4+. Interaksi antara ion Mn 3+ dan Mn 4+ dapat menentukan sifat magnetik dan sifat kelistrikan pada oksida mangan sebagai akibat adanya double exchange (DE) [1], [7]. Adanya substitusi pada site A dan site B membuat struktur kubus perovskite mengalami perubahan atau distrosi. Distorsi pada struktur perovskite dapat disebabkan karena adanya perbedaan ukuran jari-jari ion yang disubstitusikan dan efek Jahn-Teller. Distorsi pada struktur perovskite ABO 3 dapat ditentukan dengan rasio ukuran jari-jari ion site A dan ion site B. Hubungan antara ion tersebut dinyatakan sebagai faktor toleransi Goldschmidt (t) dengan persamaan [8]: dimana dan merupakan jari-jari kation site A dan site B dan adalah jarijari oksigen (O). Faktor toleransi Goldschmidt s (t) untuk struktur perovskite berada pada 0,86 dengan memiliki struktur kristal orthorombik, memiliki struktur kristal rombohedral, dan memiliki struktur kristal kubus. 8

Untuk menghitung faktor toleransi pada persamaan 2.1, harus diketahui ukuran jari-jari masing-masing ion pada stuktur perovskite. Tabel 2.1 menunjukkan ukuran jari-jari dari masing-masing ion yang digunakan pada La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 [8][9]. Tabel 2.1 Jari-jari Ion pada Struktur La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 Ion Jari-jari Ion Jari-jari ( La 3+ 1.36 Mn 3+ 0.645 Ba 2+ 1.61 Mn 4+ 0.53 Sr 2+ 1.44 O 2-1.32 2.2 Teori Medan Kristal dan Efek Jahn-Teller Crystal Field Theory (CFT) atau teori medan kristal merupakan metode yang dapat menjelaskan lokalisasi pada orbital elektron 3d [10]. CFT dapat menjelaskan sifat magnet dan spektrum absorbsi dari transisi metal maupun senyawa lain [11]. Sifat fisik perovskite manganit (LaMnO 3 ) dipengaruhi oleh spin elektron, muatan, dan derajat kebebasan orbital [12]. Mangan (Mn) memiliki dasar oktahedral MnO 6. Pada struktur kubik oktahedral MnO 6, hibridasi dan interaksi elektrostatik dengan oksigen elektron 2p akan menyebabkan medan kristal elektron 3d pada Mn 3+. Kerangka bentuk medan oktahedral (bilangan koordinasi 6) ditunjukkan pada gambar 2.2. 9

Gambar 2.2. Bentuk orbital d dalam medan oktahedral [12] Dalam oktahedral MnO 6 terdapat tiga orbital degenerasi (d xy, d yz, dan d zx ) dengan orbital e g yang terdiri atas orbital dan memiliki energi lebih tinggi dan orbital t 2g yang terdiri atas orbital dan memiliki energi yang lebih rendah [12, 13]. Semua elektron dalam tingkat energi ini dalam keadaan sejajar satu sama lain karena kopling Hund s inter-atomik yang kuat, mengarah ke spin S = 2 untuk ion Mn 3+ dan S = 3/2 untuk ion Mn 4+. Tiga elektron Mn 4+ menempati keadaan t 2g, sedangkan elektron keempat Mn 3+ menuju ke keadaan e g. Elektron pada e g lebih mudah bergerak dibandingkan elektron pada t 2g dan dapat melompat dari site Mn ke site lainnya. Berdasarkan teori Jahn-Teller, konfigurasi ini tidak stabil dan degenerasi pada tingkat e g akan menghilang [13]. Ion oksigen disekitar ion Mn 3+ dapat menyesuaikan tempatnya, membentuk asimetri antara arah yang berbeda yang dapat menghilangkan degenerasi. Keadaan degenerasi ini terjadi karena adanya interaksi orbital dengan kisi yang disebut sebagai distorsi Jahn-Teller. Distorsi Jahn-Tellar merupakan fenomena yang 10

terjadi dalam suatu sistem karena adanya degenerasi keadaan suatu elektron. Elektron tersebut dapat terdistorsi dengan spontan menjadi simetri terendah sehingga menghilangkan degenerasi dan membuat tingkat energi yang lebih stabil [14]. Terdapat dua jenis distrosi untuk pembelahan pada tingkat e g yaitu Q 2 dan Q 3. Q 2 merupakan distorsi bidang dasar, dimana satu pasangan ion oksigen diagonal dipindahkan ke dalam dan pasangan ion oksigen lainnya dipindahkan keluar. Sedangkan Q 3 merupakan distorsi tetragonal yang menghasilkan elongasi atau perpanjangan atau distorsi oktahedron MnO 6 [13]. Gambar 2.3. Pembelahan medan kristal pada five-fold degenerasi atom 3d pada energi rendah t 2g dan energi tinggi e g [13] Besarnya efek Jahn-Tellar pada LaMnO 3 mengartikan lompatan elektron keluar orbital antara dua site Mn yang dipengaruhi oleh penyelarasan relatif dari spin inti sehingga menjadi maksimum ketika dalam keadaan parallel dan minimum dalam keadaan antiparallel [15] [16]. 11

Distorsi Jahn-Teller pada oktahedral MnO 6 perovskite manganit memberikan efek terhadap kelistrikan dan magnetik. Tipe sederhana dari distori ini adalah oktahedral memanjang sepanjang arah orbital dan berkontraksi ke arah orbital [17]. Dengan meningkatnya distorsi pada kisi, struktur kristal akan berubah dari orthorombik ke rhombohedral bergantung variasi x. Distorsi struktur ini mengindikasikan perubahan pada konduksi listrik yang bergantung pada panjang ikatan d Mn-O dan besar ikatan sudut Mn-O-Mn [18]. 2.3 Double Exchange (DE) Double exchange (DE) merupakan mekanisme interaksi spin elektron yang menyebabkan adanya feromagnetisme dan konduksi metalik pada perovskite manganit [19], akibat adanya hoping elektron mangan pada orbital 3d [20]. Pada senyawa LaMnO 3 ion Mn dalam keadaan 3+ dengan konfigurasi 3d 4 dengan tiga elektron menempati tingkat energi t 2g yang membentuk spin inti yang besarnya S = 3/2 oleh kopling Hunds intraatomik yang kuat dan elektron keempat menempati salah satu orbital e g yang mengalami degenerasi energi [21]. Berdasarkan aturan Hunds, pembawa elektron tidak mengubah orientasi spin elektron ketika terjadi lompatan dari ion satu ke ion berikutnya, sehingga elektron-elektron tersebut hanya dapat melompat jika spin dari dua ion paralel [22]. Proses dasar dalam mekanisme DE ini adalah elektron melompati kulit d dari Mn 4+ (d 3, ke Mn 3+ (d 4, melewati oksigen atau dari ion Mn 3+ ke ion Mn 4+ sehingga ion Mn 4+ dan ion Mn 3+ bertukar tempat [23]. 12

Gambar 2.4. Skema mekanisme double exchange [24] Dalam kasus atom magnetik, konfigurasi Mn 3+ O 2- Mn 4+ dan Mn 4+ O 2 Mn 3+ mengalami degenerasi jika spin di kedua kulit d adalah paralel. DE selalu bersifat ferromagnetik, tidak seperti superexchange yang melibatkan transfer elektron dan bersifat antiferomagnetik. Jika spin Mn tidak paralel atau jika ikatan Mn-O-Mn tertekuk, transfer elektron akan lebih sulit dan menurunkan mobilitas elektron. Hal ini dapat mempengaruhi kondutivitas, ferromagnetism, dan suhu Currie [22]. 2.4 Diagram Fasa La 1-x (Ba, Sr) x MnO 3 Lantanum manganit banyak mendapat perhatian dari peneliti salah satunya karena fenomena magnetoresistan. Selain itu, terjadi fenomena transisi fasa dari metal ke insulator pada T MI yang disertai dengan adanya transisi fasa magnetik dari ferromagnetik ke paramagnetik pada suhu currie T C. Besarnya nilai substitusi dapat menentukan transisi fasa pada La 1-x (Ba, Sr) x MnO 3. Maka dari itu, sangat perlu mengetahui diagram fasa La 1-x (Ba, Sr) x MnO 3 untuk mendapatkan hasil rekayasa material yang diinginkan. Gambar 2.5 berikut merupakan diagram fasa LBMO. Sergei et al [2] melakukan substitusi ion Ba pada LaMnO 3, dari hasil penelitian tersebut 13

diketahui bahwa ketika substitusi ion Ba kecil (x = 0 0.2) bersifat ferromagnetik insulator. Perubahan transisi fasa ferromagnetik ke paramagnetik (T C ) terjadi pada suhu 340 K saat substitusi ion Ba x = 0.5. Gambar 2.5. Diagram fasa LBMO [2] Rao et al melakukan substitusi ion Sr terhadap LaMnO 3 [25], berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa ketika nilai substitusi ion Sr kecil, LSMO akan bersifat insulator. Suhu currie (T C ) LSMO berada sekitar 350 K saat substitusi x mencapai 0.3. 14

Gambar 2.6. Diagram fasa LSMO [25] 2.5 Sistem Kristal Kristal merupakan susunan atom-atom yang teratur dalam ruang tiga dimensi. Keteraturan susunan atom-atom tersebut terjadi karena harus memenuhi bentuk geometris, ikatan atom, serta susunan atom yang rapat. Struktur kristal terdiri dari sel unit, yaitu unit pengulangan terkecil dari kristal dengan vektor dasarnya Berdasarkan dimensi dan posisi sudut vektor-vektor basis tersebut, kristal dapat dibedakan menjadi tujuh macam sistem kristal [26, 27]. ]Ketujuh sistem kristal tersebut memiiliki kisi bravais, yaitu titik-titik dalam ruang tiga dimensi yang memiliki lingkungan yang serupa. Adapun ketujuh sistem kristal beserta kisi bravaisnya dapat ditunjukkan pada tabel 2.2 berikut [28]. 15

Kubus Tabel 2.2. Sistem kristal Sistem Parameter Kisi Kisi Bravais Simbol Simpel P a = b = c Pusat badan I = 90 Pusat muka C Tetragonal Trigonal/ Rombohedral Heksagonal/ Rombus Ortorhombik Monoklinik Triklinik a = b c a = b = c = 90 Simple Pusat badan 90 < 120 Simpel a = b c = 120 Simpel Simpel a b c Pusat dasar = 90 Pusat badan Pusat muka a b c Simpel Pusat dasar a b c 90 Simple P I P P P C I F P C P Gambar 2.7. Sistem kristal beserta kisi bravais [26] Sistem kristal heksagonal dan trigonal memerlukan sumbu a = b c = 120. Keduanya dapat dideskripsikan dengan sumbu 6-fold dari 16

kisi parallel ke sumbu c. Oleh karena itu, pada beberapa tulisan hanya disebutkan enam sistem kristal dengan sistem trigonal merupakan bagian dari heksagonal. Trigonal memiliki keunikan yaitu sel unit trigonal adalah rombohedral [27]. 2.6 Identifikasi X-ray Diffraction (XRD) X-ray Diffraction (XRD) merupakan metode yang tepat untuk mempelajari struktur kristal dengan memanfaatkan interaksi antara sinar-x dengan atom yang tersusun dalam sebuah sistem kristal. Metode ini bersifat tidak merusak dan dapat memberikan informasi struktural pada skala atom [29, 30]. XRD dapat digunakan untuk melihat material kristal tunggal maupun polikristal. Selain itu, Prinsip kerja XRD yaitu seberkas sinar-x ditembakkan pada sampel kemudian berkas tersebut akan dihamburkan oleh atom-atom pada jalur sinar-x yang sedang diukur. Sebaran sinar-x membentuk interferensi konstruktif satu sama lain. Interferensi ini dapat dipelajari dengan menggunakan hukum Bragg untuk menentukan karakteristik material kristal maupun polikristal [31]. Hukum Bragg tersebut dapat dituliskan dengan persamaan 2.2 berikut. dengan adalah panjang gelombang sinar-x, d adalah jarak dan adalah posisi sudut Bragg. Konsep hukum Bragg mengansumsikan bahwa hamburan sinar-x terkonsentrasi pada titk-titik diskrit dan interferensi yang terjadi tidak memberikan hamburan yang signifikan [31]. 17

Gambar 2.8. Skema Bragg [31] Dengan XRD juga dapat menentukan ukuran rata-rata dari ukuran kristalin. Paul Scherrer merupakan seorang saintis yang dalam tulisannya mempublikasikan persamaan untuk menentukan rata-rata ukuran kristal, yang mana saat ini dikenal sebagai persamaan Scherrer. Persamaan Scherrer dituliskan dalam bentuk persamaan 2.3 berikut [32] dengan D adalah ukuran kristal, adalah panjang gelombang sinar-x yang diradiasikan, B adalah nilai FWHM dan adalah sudut Bragg. Analisis X-ray Diffraction dapat berupa beberapa parameter, seperti informasi struktur yang berupa sistem kristal dan parameter kisi, karakteristik sampel dan kemurnian sampel. Data hasil pengujian XRD dapat dianalisis dengan berbagai teknik numerik, salah satunya dengan metode rietveld refinements. Metode ini mencocokan (fitting) pola difraksi eksperimental dengan profil kalkulasi dan background. Fit terbaik dicari dari fitting kuadrat terkecil pada semua intensitas secara simultan. Proses rietveld akan terus mengubah parameter 18

sampai mencapai ftting terbaik yaitu ketika seluruh pola terhitung (calculation) dan seluruh pola observasi tercapai [33]. Profil puncak menentukan distribusi intensitas pada sistem pendeteksi selama pengukuran. Intensitas kalkulasi (I calc ) sebagai fungsi koordinat sudut mempengaruhi distribusi pencahayaan sepanjang detektor. Distribusi intensitas padadetektor diperlihatkan pada gambar 2.9, dalam kasus spesimen datar dan silindris [34]. Gambar 2.9. Sudut pendeteksi [34] Gambar tersebut menunjukkan bahwa distribusi intensitas menunjukkan asimetris yang melebar ke arah sudut yang lebih rendah. Distribusi intensitas kalkulasi mengindikasikan bahwa terjadi perubahan profil puncak bahkan pada sudut yang relatif tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kelengkungan tersebut berperan dalam membentuk profil puncak [34]. 19

Distribusi intensitas puncak sinar-x dapat menentukan kekristalan material, kristal dan amorf. Gambar 2.10 menunjukkan perbedaan intensitas antara kristal (hijau) memiliki intensitas lebih tinggi dibandingkan dengan amorf (biru). Moreau et al mengungkapkan bahwa ukuran butir pada material dengan intensitas rendah memiliki ukuran rata-rata kristal lebih kecil. Sedangkan material dengan intensitas tinggi, pola puncak difraksi lebih tajam dan menunjukkan ukuran rata-rata kristal lebih besar dibandingkan intensitas puncak difraksi yang rendah dan melebar [35]. Gambar 2.10. Perbedaan pola intensitas sinar-x, kristal (hijau) dan amorf (biru) [35] 2.7 Pengaruh Substitusi Ion Ba dan Sr pada LaMnO 3 Lantanum manganit (LaMnO 3 ), substitusi Barium lantanum manganit (La 1-x Ba x MnO 3 ), dan substitusi Stronsium lantanum manganit (La 1-x Sr x MnO 3 ) merupakan turunan dari struktur perovskite ABO 3. Struktur kristal LaMnO 3 dapat mengalami distorsi apabila disubtitusikan dengan ion lain karena tiga macam distorsi, yaitu 1) ketidakcocokan antara ukuran kation dengan rongga yang ditempati, 2) kemiringan oktahedral MnO 6 dimana sudut Mn-O-Mn kurang dari 180 dan 3) distorsi Jahn-Teller [36, 37]. 20

LaMnO 3 tanpa disubstitusi ion divalent akan memiliki struktur orthorombik pada suhu ruang dan akan menunjukkan transformasi orthorombik atau rombohedral pada suhu 600 o C. Transformasi ini dikaitkan dengan perubahan ion Mn 3+ menjadi ion Mn 4+ ketika LaMnO 3 disubstitusikan dengan ion divalent (Sr 2+, Ba 2+, dan Ca 2+ ). Transisi orthorombik atau rombohedral bergantung pada jumlah Mn 4+ dan pengaruh stokiometri material yang digunakan [10]. Senyawa LaMnO 3 merupakan material antiferomagnetik insulator. Ketika disubstitusikan dengan ion divalent seperti Ba 2+ dan Sr 2+, senyawa tersebut dapat menjadi feromagnetik-metalik ketika berada di bawah suhu Currie T C [38]. Dengan mensubstitusikan ion Ba 2+ pada manganit dapat menunjukkan tatanan feromagnetik dan magnetoresistansi di atas suhu ruang, misalnya senyawa La 0.65 Ba 0.35 MnO 3 (LBMO) memiliki suhu currie T C 362 K [39]. Pada senyawa LSMO keadaan feromagnetik-metal terjadi karena perpindahan pasangan elektron pada orbital e g dengan spin lokal orbital t 2g [40]. Mohamed et al. mensubstitusikan ion Ba 2+ pada senyawa LaMnO 3 kemudian dilakukan X-ray Diffractometer (XRD) untuk mengetahui struktur dan parameter krsital pada senyawa LBMO. Dari hasil XRD tersebut diketahui bahwa senyawa LBMO memiliki pola difraksi sinar-x seperti ditunjukkan pada gambar 2.11. Adapun struktur kristal yang terbentuk merupakan struktur rhombohedral dengan space group R-3c dan parameter kisi dan. [41] 21

Gambar 2.11. Pola difraksi sinar-x pada LBMO [41] A. Rostamnejadi et al. mensubstitusikan ion Sr 2+ pada senyawa LaMnO 3 dan dihasilkan pola difraksi sinar-x seperti ditunjukkan pada gambar 2.12. Struktur yang terbentuk yaitu rhombohedral dengan space group R-3c pada suhu ruang dan parameter kisi dan [4]. 22

Gambar 2.12. Pola difrkasi sinar-x dari La 0.67 Sr 0.33 MnO 3 [4] Gambar 2.13 merupakan hasil pola difraksi sinar-x senyawa La 0.67 Ba 0.22 Sr 0.11 MnO 3 dari hasil penelitian yang dilakukan oleh F. Ben Jemma et al [42]. Berdasarkan gambar 2.7 dan gambar 2.8, pola difraksi sinar-x untuk LBSMO memiliki kecenderungan puncak difraksi yang berada pada posisi 2 yang sama. 23

Gambar 2.13. Pola difraksi sinar-x pada LBSMO [42] 2.8 Hukum Ohm dan Hambatan Jenis (Resistivitas) Dalam arus listrik terdapat hambatan listrik yang menentukan besar kecilnya arus listrik. Semakin besar hambatan listrik maka arus listrik yang mengalir semakin kecil untuk suatu beda potensial V. Hal tersebut disebabkan karena adanya interaksi antara elektron dengan atom-atom suatu bahan. George Simon Ohm (1789-1854) menjelaskan hubungan antara kuat arus listrik (I), beda potensial (V), dan hambatan atau resistansi (R) dengan persamaan 2.4 [43]. 24

Hubungan antara kuat arus (I) dengan beda potensial (V), serta hubungan antara kuat arus (I) dengan hambatan (R) ditunjukkan dengan grafik pada gambar 2.14 berikut. (a) (b) Gambar 2.14. Grafik arus dan tegangan untuk (a) konduktor yang mengikuti hukum Ohm, dan (b) alat nonohmik, dalam hal ini dioda [telah diolah kembali] Hubungan antara arus dan beda potensial menunjukkan karakteristik tertentu dari suatu bahan atau benda. Hubungan arus dan beda potensial tersebut disebut dengan current-voltage characteristic atau I-V characteristic yang dapat dibedakan dengan empat jenis seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.15 [44, 45]. 25

(a) (b) (c) (d) Gambar 2.15. Grafik I-V characteristic untuk (a) resistansi besar, (b) resistansi kecil, (c) dioda, dan (d) baterai [telah diolah kembali] Ketika elektron mengalir dalam suatu bahan, elektron tersebut akan mengalami rintangan dari molekul-molekul dan ion-ion dalam konduktor tersebut, sehingga aliran listrik akan mengalami hambatan [45]. Hambatan suatu bahan dengan luas penampang (A) dan panjang (l) serta besar hambatan jenis (resistivitas) suatu bahan dapat dinyatakan dengan persamaan 2.4. 26

2.9 Metode Sol-Gel Sol-gel merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk sintesis lantanum manganit selain metode solid state. Metode ini telah dilakukan pada pertengahan tahun 1800 dalam penelitian yang dilakukan oleh Ebelman dan Graham mengenai silika gel. Sol adalah suspensi koloid partikel didalam cairan atau larutan [46], sedangkan gel adalah campuran suspensi partikel dengan cairan lain sehingga jaringan sol akan menkadi jaringan gel. Suspensi dari partikel padat atau molekul-molekul koloid dalam larutan dibuat dengan metal alkoksi dan dihidrolisis dengan air sehingga menghasilkan partikel padatan metal hidroksida dalam larutan, dan reaksinya merupakan reaksi hidrolisi [47]. Dengan metode sol-gel campuran berbagai komponen pada tingkat molekular dapat dengan mudah dicapai dalam larutan. Beberapa keuntungan metode ini antara lain kemurnian tinggi, homogenitas dan suhu yang digunakan lebih rendah dan hasilnya dapat diperoses untuk membentuk kristal [46]. Terdapat tiga pendekatan untuk untuk membuat sol-gel, metode pertama yaitu gelasi larutan serbuk koloid, metode kedua yaitu hidrolisis dan polikondensasi alkoksi atau perkurosr nitrat dengan pengeringan hypercritical, dan metode ketiga yaitu hidrolisis dan polikondensasi perkusor alkoksi dengan pengeringan di bawah suhu ruang [48]. 27

Gambar 2.16. Skema sintesis metode sol-gel [49] 28

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada tanggal Maret s/d Juni 2019 di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) Fakultas Sains dan Teknologi Univerisitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Laboratorium Milling dan Laboratorium Furnace Departemen Fisika Universitas Indonesia, Pusat Penelitian Metalurgi dan Material Puspiptek Serpong. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain breaker glass, timbangan digital, spatula, batang pengaduk, pipet, magnetic strirer, ph indikator, aluminium foil, hot plate, ovev, furnace, krusibel, mortal, termometer, gelas stainless steel, dan alat karakterisasi sampel berupa X-Ray Diffractometer (XRD) dan Cryogenic Magnetocaloric (CM). Adapun bahan-bahan yang digunakan antara lain Lanthanum (III) oxide (La 2 O 3 ), Manganese nitrat tetrahydrate (Mn(NO 3 ) 2.4H 2 O), Barium nitrate (Ba(NO 3 ) 2 ), Strontium nitrate (Sr(NO 3 ) 2 ), Citric acid monohydrate (C 6 H 8 O 7 H 2 O), Nitric acid (HNO 3 ), ammonia solution, dan aquabidest. 29

3.3 Tahapan Penelitian Studi literatur Semua prekursor ditimbang sesuai dengan perhitungan stokiometri Prekusor La 2 O 3 ditambahkan aquabidest kemudian ditetesi HNO 3 sambil dipanaskan sampai bening Prekusor (Ba(NO 3 ) 2, Sr(NO 3 ) 2, Mn(NO 3 ) 2.4H2O, C 6 H 8 O 7. H 2 O) dilarutkan dengan aquabidest Campurkan prekusor menjadi satu larutan Panaskan sambil diaduk sampai ± 80 C Tambahkan ammonia solution sampai ph 7 kemudian tunggu hingga terbentuk gel Proses dehidrasi 120 C sampai gel mengering Pra-kalsinasi 650 C selama 6 jam Kalsinasi 1000 C selama 12 jam Kompaksi 10 ton Sintering pada 1200 C selama 12 jam Kesimpulan Analisa dan pembahasan Karakterisasi XRD dan CM Gambar 3.1 Tahapan Penelitian 30

1.4 Prosedur Penelitian Pada penelitian ini dilakukan sintesis lantanum barium manganit dengan mensubstitusikan ion ion Strontium (Sr) dengan persamaan La 0.7 (Ba 1- xsr x ) 0.3 MnO 3 (x = 0; 0,2; 0,3; dan 0,5) menggunakan metode sol-gel. Sebelum disintesis, semua prekusor dihitung menggunakan persamaan stokiometri untuk masing-masing nilai x sehingga didapat massa prekursor yang digunakan. Setelah semua sampel disintesis, selanjutnya dilakukan proses dehidrasi untuk menghilangkan kadar air pada sampel, proses kalsinasi untuk menghilangkan unsur-unsur organik, dan proses heat treatment sintering selama 12 jam untuk penumbuhan kristal. Setelah sampel selesai disintering, kemudian sampel dikaraterisasi menggunakan X-ray Diffractometer (XRD) untuk mengetahui fasa yang terbentuk serta parameter kristal pada sampel, cryogenic magnetocaloric dengan metode Four Point Probe untuk mengetahui resistansi dan konduktivitas dari material, dan Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk menganalisa morfologi sampel. 1.4.1 Persamaan Stokiometri dan Komposisi Bahan Proses sintesis sampel menggunakan prekursor dengan produk Merck dengan sampel LBSMO memenuhi persamaan umum yaitu La 0.7 (Ba 1- xsr x ) 0.3 MnO 3 dengan masing-masing susbtitusi x = 0; 0.2; 0.3; dan 0.5. Masingmasing spesifikasi prekursor diperlihatkan pada tabel 3.1 berikut. 31

Tabel 3.1. Spesifikasi Prekursor yang digunakan No 1 Nama Senyawa Lanthanum (III) oxide (La 2 O 3 ) Mr (gram/mol) 325,809 Produk Kemurnian Merck 99,99% Manganese nitrat tetrahydrate 2 (Mn(NO 3 ) 2.4H 2 O) 251,0046 Merck 98,5% 3 4 Barium nitrate (Ba(NO 3 ) 2 ) Strontium nitrate (Sr(NO 3 ) 2 ) Citric acid monohydrate 261,3344 Merck 99% 211,6274 Merck 99% 5 (C 6 H 8 O 7.H 2 O) 210,1352 Merck 99.5% Maka berdasarkan bahan-bahan yang digunakan yaitu senyawa La 0.7 (Ba 1- xsr x ) 0.3 MnO 3 memenuhi persamaan reaksi sebagai berikut. A La(NO 3 ) 3 + B Ba(NO 3 ) 2 + C Sr(NO 3 ) 2 + D Mn(NO 3 ) 2.4H 2 O + E C 6 H 8 O 7.H 2 O F La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 + G H 2 O + H CO 2 + I N 2 + J NO 2 Diketahui massa atom relatif dari masing-masing ion pada senyawa La 0.7 (Ba 1- xsr x ) 0.3 MnO 3 adalah sebagai berikut: 32

Tabel 3.2. Atom relatif dari masing-masing ion pada senyawa La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 Ion La Mn Ba Sr C H O Ar 138.906 54.938 137.327 87.62 12.0107 1.0079 15.999 Kemudian dicari besar massa molekul relatif (Mr) dari prekursor yang digunakan seperti berikut: Tabel 3.3. Massa molekul relatif masing-masing prekursor Prekursor Mr Prekursor Mr La 2 O 3 325,809 Sr(NO 3 ) 2 211,6274 Mn(NO 3 ) 2.4H 2 O 251,0046 C 6 H 8 O 7 H 2 O 210,1352 Ba(NO 3 ) 2 261,3344 Setelah diketahui Mr masing-masing ion, maka selanjutnya menghitung Mr senyawa La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 sesuai dengan nilai x (x=0, 0.2, 0.3, dan 0.5). x = 0 x = 0.2 x = 0.3 x = 0.5 33

Selanjutnya yaitu menghitung wt% masing-masing ion dengan persamaan: Sehingga wt% yang diperoleh untuk masing-masing ion adalah: Tabel 3.4. wt% masing-masing ion pada senyawa La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 X Wt% La Wt% Ba Wt% Sr Wt% Mn Wt% O 0 40.285 17.069 0 22.761 19.886 0.2 40.789 13.826 2.205 23.046 20.134 0.3 41.046 12.174 3.329 23.191 20.261 0.5 41.569 8.806 5.619 23.487 20.519 Massa La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 yang dibuat sebanyak 12 gram, sehingga untuk menghitung masing-masing massa ion ditentukan dengan persamaan: Setelah menghitung dengan persamaan 3.2, maka didapatkan massa masingmasing ion sebagai berikut: Tabel 3.5. Massa masing-masing ion X gram La gram Ba gram Sr gram Mn gram O 0 4.834 2.048 0 2.731 2.386 0.2 4.895 1.659 0.265 2.766 2.416 0.3 4.925 1.461 0.399 2.783 2.431 0.5 4.988 1.057 0.674 2.818 2.462 Selanjutnya menghitung wt% ion metal untuk menentukan massa prekursor yang digunakan. Wt% ion metal tersebut dapat ditentukan dengan persamaan: 34

Tabel 3.6. wt% ion metal Prekursor Wt% Ion Metal Prekursor Wt% Ion Metal La 2 O 3 85.268 Sr(NO 3 ) 2 41.403 Ba(NO 3 ) 2 52.548 Mn(NO 3 ) 2.4H 2 O 21.887 Selanjutnya menghitung massa prekursor dapat ditentukan dengan persamaan: Tabel 3.7. Massa prekursor wt% Ion metal x gr La 2 O 3 gr Ba(NO 3 ) 2 gr Sr(NO 3 ) 2 Mn(NO 3 ) 2.4H 2 O 85.268 0 5.669 3.898 0 12.479 52.548 0.2 5.741 3.157 0.639 12.635 41.403 0.3 5.776 2.779 0.965 12.715 21.887 0.5 5.851 2.0110 1.628 12.877 Selanjutnya massa timbang prekursor dapat ditentukan dengan persamaan: Sehingga didapat massa prekursor yang digunakan yaitu: Tabel 3.8. Massa prekursor yang digunakan x gr La 2 O 3 gr Ba(NO 3 ) 2 gr Sr(NO 3 ) 2 Mn(NO 3 ) 2.4H 2 O 0 5.6751 3.9378 0 12.6693 0.2 5.7461 3.1892 0.6456 12.7648 0.3 5.7832 2.8081 0.9745 12.7795 0.5 5.8562 2.0315 1.6456 13.074 35

Untuk menghitung massa C 6 H 8 O 7.H 2 O dihitung mol masing-masing ion dengan persamaan: Sehingga didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 3.9. Mol masing-masing ion x mol La mol Ba mol Sr mol Mn total mol logam 0 0.034801732 0.014915028 0 0.049716759 0.099433519 0.2 0.035237134 0.012081303 0.003020326 0.050338763 0.100677526 0.3 0.035458947 0.010637684 0.004559007 0.050655638 0.101311276 0.5 0.035911056 0.007695226 0.007695226 0.051301509 0.102603017 Mol sitrat adalah 1.2, Untuk menghitung mol C 6 H 8 O 7 dapat ditentukan dengan persamaan: sehingga didapatkan hasil: Tabel 3.10. mol C 6 H 8 O 7 x Mol C 6 H 8 O 7 0 0.119320223 0.2 0.120813031 0.3 0.121573531 0.5 0.123123621 Untuk menghitung massa C 6 H 8 O 7 dapat ditentukan dengan persamaan: sehingga didapat: 36

Tabel 3.11. Massa C 6 H 8 O 7 X Massa C 6 H 8 O 7 (gram) 0 22.92384892 0.2 23.21064792 0.3 23.35675546 0.5 23.65455924 Untuk menentukan massa timbang C 6 H 8 O 7. H 2 O yang digunakan, terlebih dahulu harus diketahui wt% C 6 H 8 O 7, massa C 6 H 8 O 7. H 2 O dengan persamaan: sehingga didapat: Tabel 3.12. Massa timbang C 6 H 8 O 7.H 2 O massa x timbang wt% C 6 H 8 O 7 gr C 6 H 8 O 7.H 2 O C 6 H 8 O 7.H2 O 0 91.42704316 25.07337887 25.19937575 0.2 25.38707052 25.51464374 0.3 25.54687831 25.67525458 0.5 25.87260664 26.00261974 Massa masing-masing prekursor yang digunakan untuk membuat senyawa La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 diperlihatkan pada tabel 3.13 berikut: 37

Tabel 3.13. Massa prekursor yang digunakan untuk membuat senyawa La 0.7 (Ba 1- xsr x ) 0.3 MnO 3 X La 2 O 3 (gram) Ba(NO 3 ) 2 (gram) Sr(NO 3 ) 2 (gram) Mn(NO 3 ) 2.4H 2 O (gram) C 6 H 8 O 7.H 2 O (gram) 0 5,6751 3,9378 0 12,6693 25,1994 0.2 5,7461 3,1892 0,6456 12,7648 25,5149 0.3 5,7832 2,8081 0,9745 12,7795 25,6759 0.5 5,8562 2,0315 1,6456 13,074 26,6755 3.4.2 Sintesis La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 Proses sintesis La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 dengan variasi substitusi x = 0; 0.2; 0.3; dan 0.5 dilakukan menggunakan metode sol-gel. Pertama, semua bahan prekursor ditimbang sesuai dengan perhitungan stokiometri yang diperlihatkan pada tabel 3.13 menggunakan timbangan digital dan breaker glass sebagai wadah. Kemudian semua bahan dilarutkan menggunakan aquabidest. La 2 O 3 ditempatkan pada breaker glass ukuran 250 ml. Setelah itu, panaskan La 2 O 3 dengan hot plate kemudian tetesi dengan nitrid acid sampai berubah warna menjadi bening. Kemudian semua bahan prekursor yang telah dilarutkan dengan aquabidest dicampurkan ke dalam larutan La 2 O 3 sampai suhu larutan mencapai 80 C kemudian tetesi ammonia solution sampai ph 7. Selanjutnya, tunggu larutan tersebut hingga menjadi - gel yang ditandai dengan magnetic bar yang tidak bergerak. 38

a b c d Gambar 3.2 (a) La 2 O 3 dilarutkan dengan aquabidest, (b) La 2 O 3 setelah ditetesi nitrit acid, (c) Larutan prekusor setelah ditetesi ammonia solution dengan ph = 2, dan (d) Larutan prekusor ketika ph = 7 [Dokumen pribadi] Setelah sampel selesai disintesis, selanjutnya sampel dioven sampai mengering pada suhu 120 C untuk menghilangkan kadar air sehinggal gel menjadi padatan, proses ini disebut sebagai dehidrasi. Kemudian sampel ditumbuk menggunakan mortar dan dilakukan pra-kalsinasi pada suhu 650 C selama 6 jam untuk menghilangkan unsur-unsur organik. Selanjutnya dilakukan kalsinasi selama 12 jam pada suhu 1000 C. Kemudian dilakukan sintering pada suhu 1200 C selama 12 jam yang bertujuan untuk membentuk kristalin pada sampel. 39

a b c d Gambar 3.3 (a) Prekusor yang telah menjadi gel, (b) Hasil proses dehidrasi, (c) Sampel yang telah ditumbuk, (d) Sampel yang telah dikalsinasi, dan (e) Sampel yang telah disintering [dokumen pribadi] e 3.5 Karakterisasi Karakterisasi pada penilitian ini menggunakan X-ray Diffractometer (XRD), Scanning Electron Microscope (SEM), dan Crygonecic magnetocaloric dengan metode four point probe (FPP). 40

3.5.1 X-ray Diffractometer (XRD) X-ray Diffractometer (XRD) adalah alat karakterisasi yang digunakan untuk menganalisis fasa yang terbentuk pada sampel dengan memanfaatkan difraksi sinar-x. Selain itu, dapat diketahui pula parameter kristal dari sampel. Suatu sampel apabila ditembak menggunakan sinar-x maka akan terbentuk pola difraksi yang kemudian pola tersebut akan direfinement. Karakterisasi X- ray Diffractometer (XRD) dilakukan di LAB UPP IPD Fakultas MIPA Universitas Indonesia. Gambar 3.4. Alat karakterisasi X-ray Diffractometer [doumentasi pribadi] 41

3.5.2 Cryogenic Magnetometer Untuk mengukur resistivitas sampel, dilakukan pengukuran dengan cryogenic magnetometer dengan metode four point probe (FPP) pada suhu ruang. Hasilnya diperoleh data tegangan sebagai fungsi arus. Pengukuran ini dilakukan di Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI Puspiptek Serpong. Gambar 3.6 Cryogenic Magnetometer [dokumentasi pribadi] 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Karakterisasi X-ray Diffractometer (XRD) Karakterisasi sampel dengan X-ray Diffractometer (XRD) dilakukan dengan meradiasikan Cu K ( ) untuk mengidentifikasi fasa yang terbentuk pada sampel La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 (x = 0; 0.2; 0.3; dan 0.5) serta untuk mengetahui parameter struktur kristal yang terbentuk seperti struktur kristal, space grup, unit cell volume, ukuran kristal dan lainnya. Prinsip kerja XRD yaitu sinar-x dikenakan pada sampel dengan panjang gelombang tertentu sehingga akan terjadi difraksi gelombang yang berjarak d dan sudut 2 yang memenuhi difraksi Bragg. Gambar 4.1 sampai dengan gambar 4.4 menunjukkan pola difraksi sinar-x dari keempat sampel, dan gambar 4.5 menunjukkan gabungan pola difraksi sinarx dari keempat sampel. 43

Gambar 4.1. Pola difraksi sinar-x La 0.7 Ba 0.3 MnO 3 Gambar 4.2. Pola difraksi sinar-x La 0.7 Ba 0.24 Sr 0.06 MnO 3 44

Gambar 4.3. Pola difraksi sinar-x La 0.7 Ba 0.21 Sr 0.09 MnO 3 Gambar 4.4. Pola difraksi sinar-x La 0.7 Ba 0.15 Sr 0.15 MnO 3 45

Gambar 4.5. Gabungan pola difraksi sinar-x La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 (x = 0; 0.2; 0.3; dan 0.5) Gambar 4.5 merupakan gabungan dari pola difraksi sinar-x La 0.7 (Ba 1- xsr x ) 0.3 MnO 3 (x = 0; 0.2; 0.3; dan 0.5). Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam membandingkan keempat sampel. Gambar 4.5 menunjukkan adanya perbedaan nilai intensitas yang muncul pada tiap puncak. Intensitas pada sinar-x menunjukkan keteraturan atom-atom pada kristal. Semakin tinggi intensitas yang dihasilkan, maka semakin baik keteraturan atom-atom pada La 0.7 (Ba 1- xsr x ) 0.3 MnO 3. Berdasarkan gambar 4.5, ketika x = 0 memiliki intensitas tertinggi, dimana senyawa yang terbentuk adalah La 0.7 Ba 0.3 MnO 3. Sedangkan ketika disubstitusikan dengan ion Sr 2+ (x= 0.2, 0.3, dan 0.5), intensitas menunjukkan adanya penurunan. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketika x = 0 memiliki keteraturan atom paling baik, artinya sampel tersebut bersifat kristalin, dan ketika 46

disubstitusikan dengan ion Sr 2+ (x= 0.2, 0.3, dan 0.5) dapat dikatakan bahwa sampel bersifat amorf. Analisis data menggunakan metode rietveld refinement menunjukkan bahwa sampel LBSMO untuk semua nilai x memiliki fasa tunggal dengan struktur rombohedral dan space group R-3c. Tabel 4.1 berikut menunjukkan parameter struktur kristal La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3. Tabel 4.1 Parameter struktur kristal La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 Parameter Kisi x = 0 x = 0.2 x = 0.3 x = 0.5 Struktur Kristal Rombohedral Rombohedral Rombohedral Rombohedral Space grup R-3c R-3c R-3c R-3c a = b ) 5.538 5.544 5.540 5.543 c ) 13.501 13.465 13.475 13.425 Volume sel ( ) 358.59 358.41 358.16 357.22 Discrepancy Factors Rp 6.0042 6.0145 6.1213 6.336 Wrp 7.852 8.067 8.121 8.392 GoF 1.18 1.204 1.31 1.35 Bond length ( d Mn-O 1.9626 1.9634 1.9636 1.9641 Bond angle ( ) <Mn-O-Mn> 170.45 168.03 168.02 165.78 Bandwidth (u.a) W (10-2 ) 9.4098 9.3777 9.3747 9.3449 Toleransi Goldscmidth T 0.9885 0.9848 0.9832 0.9794 Sampel x = 0 merupakan sampel LBMO tanpa ada subtitusi ion Sr 2+. Dengan bertambahnya substitusi ion Sr 2+ membuat volume sel polikristal 47

La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3. mengalami penurunan seperti ditunjukkan pada gambar 4.6. Penurunan ini dapat terjadi karena ion Sr 2+ memiliki jari-jari ion lebih kecil dibandingkan jari-jari ion Ba 2+ sehingga menurunkan jarak antar kisi. Selain itu, perbedaan jari-jari ion juga mempengaruhi besar toleransi Goldscmidth (t) sebagai akibat adanya distorsi pada struktur LaMnO 3 yang disebabkan karena ketidak cocokan antara ukuran jari-jari ion yang disubstitusikan dengan jari-jari ion La. Ukuran jari-jari ion Ba 2+ (1.61 dan ion Sr 2+ (1..44 terlalu besar untuk menempati site-a yaitu La 3+ (1.172. Dengan meningkatnya nilai subtitusi x pada site La 3+, nilai faktor toleransi Goldschmidt s (t) menurun. Hal ini karena ketika nilai substitusi x meningkat, jumlah jari-jari ion pada site A La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 akan menurun dari 1.435 ke 1.4025. Perbedaan jari-jari ion juga dapat menyebabkan adanya pergeseran puncak dari pola difraksi sinar-x. Gambar 4.7 menunjukkan pergeseran puncak untuk setiap x. Gambar 4.6. Volume cell terhadap substitusi x 48

Gambar 4.7. Pergeseran puncak pola difraksi sinar-x La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 Dari gambar 4.7 diketahui bahwa puncak dari pola difraksi sinar-x mengalami pergeseran ke arah sudut yang lebih besar. Pergeseran ini mengindikasikan bahwa sampel LBMO memiliki jarak antar kisi d lebih besar dibandingkan ketika disubstitusi dengan ion Sr 2+ sehingga jarak d mengecil karena kandungan ion Ba 2+ pada senyawa LBSMO berkurang dari senyawa LBMO. Hasil refinement juga menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan ukuran rata-rata kristal seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.8. Ukuran ratarata kristal dihitung menggunakan metode Scherrer yang memenuhi persamaan 2.2. Berdasarkan hasil perhitungan ukuran rata-rata kristal, ketika nilai substitusi x = 0.2 memiliki ukuran rata-rata kristal tertinggi, kemudian akan berkurang ketika substitusi ion Sr 2+ meningkat. 49

Gambar 4.8. Ukuran rata-rata polikristal La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 Perhitungan ukuran rata-rata kristal dengan metode Scherrer dapat ditentukan dengan diketahui nilai k = 0.94, panjang gelombang sinar-x yang diradiasikan ( 1.5406 ), FWHM atau B dan cos dari hasil rietveld refinement. Hasil rietveld refinement dan perhitungan ukuran rata-rata kristal dapat diketahui pada tabel 4.2 sampai dengan tabel 4.5 sebagai berikut: Tabel 4.2. Ukuran rata-rata kristal La 0.7 Ba0.3 MnO 3 2 cos FWHM FWHM (deg) (rad) D (nm) 32.434 16.217 0.96021 0.1305 0.002278 63.3984 46.532 23.266 0.9187 0.1385 0.002417 62.4368 57.793 28.896 0.8755 0.1468 0.002562 61.8124 Rata-rata 62.55 50

Tabel 4.3. Ukuran rata-rata kristal La 0.7 Ba 0.24 Sr 0.06 MnO 3 2 cos FWHM FWHM (deg) (rad) D (nm) 32.4089 16.2045 0.96027 0.1191 0.00208 69.4623 46.5409 23.2705 0.91865 0.1285 0.00224 67.2979 57.8183 28.9092 0.87539 0.1382 0.00241 65.6669 Rata-rata 67.48 Tabel 4.4. Ukuran rata-rata kristal La 0.7 Ba 0.21 Sr 0.09 MnO 3 2 cos FWHM FWHM (deg) (rad) D (nm) 32.4196 16.2098 0.960246 0.1274 0.002224 64.9386 46.5815 23.2908 0.91851 0.1393 0.002431 62.0896 57.8558 28.9279 0.875229 0.1516 0.002646 59.8734 Rata-rata 62.31 Tabel 4.5. Ukuran rata-rata kristal La 0.7 Ba 0.15 Sr 0.15 MnO 3 2 cos FWHM FWHM (deg) (rad) D (nm) 32.5012 16.2506 0.960047 0.1898 0.003313 43.5979 46.6789 23.3395 0.918174 0.1881 0.003283 45.9983 57.8804 28.9402 0.875125 0.1909 0.003332 47.5531 Rata-rata 45.72 Substitusi ion Sr 2+ pada bahan La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 tidak mengubah sistem kristal senyawa LBMO, akan tetapi mengubah parameter kisi sehingga menyebabkan adanya distorsi pada MnO 6. Oleh karena itu, panjang ikatan d Mn-O dan sudut Mn-O-Mn akan mengalami perubahan. Gambar 4.9 menunjukkan perubahan panjang ikatan d Mn-O dan sudut Mn-O-Mn. Semakin besar susbtitusi x, panjang ikatan d Mn-O semakin meningkat dan sudut Mn-O-Mn akan menurun. 51

Gambar 4.9. Panjang ikatan d Mn-O dan sudut Mn-O-Mn Sebagaimana yang telah diketahui dari refinement dan nilai faktor toleransi Goldscmidht t (tabel 4.1) bahwa material La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 memiliki sistem kristal rombohedral, maka visualisasi sistem kristal material La 0.7 (Ba 1- xsr x ) 0.3 MnO 3 ditunjukkan pada gambar 4.10 sebagai berikut. Gambar 4.10. Visualisasi kristal La 0.7 (Ba 1-x Sr x ) 0.3 MnO 3 52