REKAYASA MATERIAL ABSORBER GELOMBANG MIKRO BERBASIS LANTANUM MANGANAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "REKAYASA MATERIAL ABSORBER GELOMBANG MIKRO BERBASIS LANTANUM MANGANAT"

Transkripsi

1 LAPORAN PENELITIAN KOLEKTIF REKAYASA MATERIAL ABSORBER GELOMBANG MIKRO BERBASIS LANTANUM MANGANAT PENELITI Ketua SITTI AHMIATRI SAPTARI Anggota PRIYAMBODO Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013

2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ii DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL v viii BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Batasan Penelitian Manfaat Penelitian 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Lantanum Manganat Struktur Kristal Lantanum Manganat Sifat Magnetik Lantanum Manganat Sifat Absorbsi Gelombang Elektromagnet Lantanum Manganat Struktur Kristal Kisi Kristal Parameter Kisi Sistem Kristal Indeks Miller Jarak Bidang Kristal Teori Dasar Sinar X 19

3 Brehmstrahlung Sinar X Karakteristik X Ray Diffractometer (XRD) Metode Analisis Rietveld Prinsip Dasar Persamaan Profil Pola Difraksi Magnetisasi Material Teori Double Exchange Teori Interaksi Superexchange Ligand Field Theory (LFT) Mechanical Alloying Mekanisme Absorpsi Gelombang Elektromagnet Gelombang Mikro Scanning Electron Microscope (SEM) 53 BAB 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Analisis Data Thermogravimetric Analysis (TGA) Difraksi Sinar X (XRD) SEM Permagraf VNA Diagram Alir Penelitian 63

4 3.5. Jadwal Penelitian 64 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi TGA Karakterisasi SEM Karakterisasi Difraksi Sinar X (XRD) XRD Sampel La 0,67 Ba 0,33 MnO XRD Sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0.98 Ni 0.02 O XRD Sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0.96 Ni 0.04 O XRD Sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0.94 Ni 0.06 O Karakterisasi Sifat Magnet Karakterisasi Sifat Absorpsi Sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0.94 Ni 0.06 O 3 82 BAB 5 KESIMPULAN 88 DAFTAR PUSTAKA 89 PEMAKAIAN ANGGARAN DANA 92 CURICULUM VITAE

5 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Struktur perovskite ideal 5 Gambar 2.2. Diagram fase La 1-x Ca x MnO 3 8 Gambar 2.3. Diagram fase La 1-x Ba x MnO 3 9 Gambar 2.4. Diagram fase La 1-x Sr x MnO 3 10 Gambar 2.5. Hubungan refletation loss dengan frekuensi gelombang mikro pada La 0,6 Sr 0,4 MnO 3 11 Gambar 2.6. Hubungan antara reflektansi dan frekuensi gelombang mikro pada La 0,8 Ba 0,2 MnO 3 12 Gambar 2.7. Sistem dan kisi kristal 13 Gambar 2.8. Parameter kisi 14 Gambar 2.9. Tujuh sistem kristal dan 14-kisi bravais 16 Gambar Bidang kristal pada berbagai indeks miller 18 Gambar Skema produksi sinar-x 21 Gambar Sinar-X bremsstarhlung 22 Gambar Sinar-X karakteristik 23 Gambar Berkas sinar-x konstruktif dan destruktif 25 Gambar Hamburan sinar-x pada kristal 26 Gambar Skema XRD 27 Gambar Kurva Histerisis 34

6 Gambar Skema Teori Double Exchange (DE) 37 Gambar Mekanisme interaksi superexchange 39 Gambar Perubahan energi elektronik selama proses pembentukan kompleks 40 Gambar Splitting octahedral pada level d 5 41 Gambar Spin state pada weak field dan strong field ligand untuk d 4 sistem 43 Gambar Struktur elektronik dari Mn 3+ dan Mn 4+ sebelum dan setelah adanya distorsi Jahn-Teller 45 Gambar Prinsip dan tahapan dari mechanical alloying 46 Gambar Aplikasi metode mechanical alloying 47 Gambar Parameter-parameter di dalam proses mechanical milling 48 Gambar Skema absorpsi gelombang electromagnet 49 Gambar Pengaruh medan listrik pada bahan dielektrik 50 Gambar Interaksi antara electron primer dengan benda 54 Gambar Skematis pembentukan citra pada SEM 56 Gambar 3.1. TGA 60 Gambar 3.2. Alat Difraksi sinar-x (XRD) Shimadzu Gambar 3.3. SEM 61 Gambar 3.4. Permagraf 62 Gambar 3.5. VNA 62 Gambar 4.1. Kurva TGA campuran bahan dasar setelah milling 66 Gambar 4.2. SEM sampel La 0,67 Ba 0,33 MnO 3 67 Gambar 4.3. SEM sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,98 Ni 0,02 O 3 67 Gambar 4.4. SEM sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,96 Ni 0,04 O 3 68

7 Gambar 4.5. SEM sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,94 Ni 0,06 O 3 68 Gambar 4.6. Pola difraksi sinar X sampel La 0,67 Ba 0,33 MnO 3 70 Gambar 4.7. Refinement sampel La 0,67 Ba 0,33 MnO 3 71 Gambar 4.8. Pola difraksi sinar X sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,98 Ni 0,02 O 3 72 Gambar 4.9. Refinement sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,98 Ni 0,02 O 3 73 Gambar Pola difraksi sinar X sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,96 Ni 0,04 O 3 75 Gambar Refinement sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,98 Ni 0,02 O 3 76 Gambar Pola difraksi sinar X sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,94 Ni 0,06 O 3 77 Gambar Refinement sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,94 Ni 0,06 O 3 78 Gambar Kurva histerisis sampel La 0,67 Ba 0,33 MnO 3 79 Gambar Kurva histerisis sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,96 Ni 0,04 O 3 81 Gambar Kurva histerisis sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,94 Ni 0,06 O 3 82 Gambar Skematik proses absorpsi gelombang elektomagnetik 83 Gambar Kurva RL sampel La 0,67 Ba 0,33 MnO 3 84 Gambar Kurva RL sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,98 Ni 0,02 O 3 85 Gambar Kurva RL sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,96 Ni 0,04 O 3 86 Gambar Kurva RL sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,94 Ni 0,06 O 3 87

8 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Tujuh sistem kristal 17 Tabel 2.2. Energi ionisasi beberapa atom ringan 20 Tabel 2.3. Pembagian daerah jangkauan gelombang mikro 53 Tabel 3.1. Bahan Dasar Penelitian 59

9 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini, polusi interferensi gelombang elektromagnet cukup serius muncul akibat perkembangan yang pesat dari bisnis alat komunikasi, seperti telepon selular dan sistem radar [1]. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya sistem peralatan berbasis elektronik dan sistem keamanan yang sangat vital. Diyakini pula bahwa radiasi gelombang mikro yang berasal dari sinyal telepon selular dapat memicu terjadinya sel kanker [2]. Fenomena tersebut menarik minat banyak peneliti untuk mengembangkan material yang mampu menyerap gelombang elektromagnet. Material absorber ini dapat mengubah energi gelombang elektromagnet menjadi energi panas sehingga material ini sangat bermanfaat untuk melindungi suatu objek dari gelombang elektromagnet yang tidak diinginkan [3]. Material absorber secara umum dibagi menjadi dua tipe yaitu material dielektrik dan material magnetik. Magnet lunak seperti ferit tipe spinel dan campuran feromagnet adalah material yang biasa digunakan sebagai absorber [4]. Namun pada umumnya saat daerah frekuensi 1-5 GHz, absorber seperti ferit tipe spinel tidak dapat berfungsi dengan baik karena permeabilitasnya menurun dengan drastis seperti yang ditentukan oleh Snoek (Snoek s limit) [5]. Oleh karena itu banyak peneliti melakukan riset untuk merekayasa atau pun mencari material baru yang memiliki permeabilitas tetap besar ketika daerah frekuensi tinggi.

10 Material lantanum manganat La 1-x A x MnO 3 (A : Sr, Ba, Ca) telah beberapa dekade ini menjadi topik riset yang menarik bagi para peneliti. Hal ini disebabkan karena sifat magnetik dan transport yang tidak biasa, serta adanya fenomena magnetoresistansi yakni perubahan resistansi listrik ketika ada medan magnet eksternal [6,7]. Sifat magnetoresistensi ini diaplikasikan untuk sensor magnetik dan juga penyimpanan data (data storage) [8]. Selain itu, ditemukan pula bahwa lantanum manganat dapat menjadi kandidat yang potensial sebagai material penyerap gelombang mikro pada frekuensi tinggi. Pada tahun 2002 Li dkk [9] mensintesis La 1-x Sr x MnO 3 dengan metode solid state reaction kemudian absorbsi gelombang mikronya dikarakterisasi pada rentang frekuensi 8-14 GHz. Selanjutnya terdapat penelitian yang mendoping material La 1-x Sr x MnO 3 dengan ion Fe sehingga menjadi La 1-x Sr x Mn 1-y Fe y O 3 [10-12]. Penelitian tersebut menggunakan metode sol-gel dan sifat absorbsi gelombang mikronya dipelajari dengan rentang frekuensi 2-18 GHz. Dari hasil pendopingan tersebut diperoleh bandwidth dan intensitas gelombang mikro yang lebih baik. Zhou dkk [13] melaporkan bahwa nanopartikel La 0,8 Ba 0,2 MnO 3 memiliki sifat absorbsi gelombang mikro pada frekuensi 2-18 GHz, dengan puncak 13 db pada frekuensi 6,7 GHz, dan bandwidth absorbing diatas 10 db pada frekuensi 1,8 GHz. Penelitian tentang material absorber gelombang mikro terus mengalami perkembangan dengan ditemukannya berbagai material baru atau pun rekayasa material. Berdasarkan deskripsi yang telah dipaparkan kami tertarik untuk melakukan sintesis La 0.67 Ba 0.33 Mn 1-x Ni x O 3.

11 1.2. Rumusan Masalah Kriteria sebuah material untuk dapat dijadikan material absorber gelombang elektromagnet salah satunya adalah bahan tersebut memililki nilai permeabilitas dan permitivitas setinggi mungkin dan saturasi magnet yang tinggi. Material lanthanum manganat diketahui memiliki criteria yang sesuai untuk keperluan sebagai bahan absorber gelombang elektromagnet terutama setelah adanya substitusi ion divalent terhadap La. Namun material ini masih memiliki permeabilitas yang rendah. Oleh karena itu masih diperlukan rekayasa material lanthanum manganat agar dapat menjadi material absorber gelombang electromagnet yang unggul Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan a. Untuk menganalisis proses pembentukan sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 1-x Ni x O 3. b. Untuk menganalisis struktur kristal sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 1-x Ni x O 3. c. Untuk menganalisis karakteristik magnetik sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 1-x Ni x O 3. d. Untuk menganalisis pengaruh dopan Ni pada sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 1- xni x O 3 terhadap kinerja sampel sebagai material absorber gelombang mikro Batasan Penelitian Kajian penelitian hanya dibatasi pada pembuatan sampel dengan variasi konsentrasi nilai x = 0 0,06. Selanjutnya sampel hanya dikarakterisasi dengan

12 TGA (Thermogravimetry Analyser), XRD (X Ray Diffraction), SEM (Scanning Electron Microscope), Permagraf, dan VNA (Vector Network Analyser) Manfaat Penelitian Penelitian ini di lakukan dengan harapan mendapatkan material berbasis lantanum manganat yakni La 0.67 Ba 0.33 Mn 1-x Ni x O 3 yang dapat diaplikasikan sebagai material penyerap gelombang mikro.

13 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lantanum Manganat Lantanum manganat, La 1-x A x MnO 3, dapat dianggap sebagai sistem biner yang terdiri dari larutan padat LaMnO3 dan AMnO3, untuk x = 0 dan x = 1. G.H Jonker dan J.H Van Saten [14] adalah pelopor penelitian bahan perovskite pada tahun 1950, dengan menerbitkan kilasan dari sistem biner bahan perovskite seperti LaMnO 3 CaMnO 3, LaMnO 3 SrMnO 3, dan LaMnO 3 BaMnO Struktur Kristal Lantanum Manganat Struktur kristal lantanum manganat merupakan turunan dari struktur perovskite, yang memiliki formula umum ABO 3. Gambar 2.1 menunjukkan struktur perovskite kubik yang ideal. Dalam lantanum manganat kedudukan A diisi oleh ion La 3+ dan jika x>0 maka disubstitusi kation Ca 2+, Sr 2+, Ba 2+, dan lain-lain. Sedangkan kedudukan B diisi oleh ion Mn. Gambar 2.1. Struktur perovskite ideal [15]

14 Kestabilan struktur perovskite tergantung pada ukuran ion kedudukan A dan B. Jika ada ketidakcocokan antara ukuran ion kedudukan A dan B dalam kisi dimana mereka berada maka stuktur perovskite akan mengalami distorsi. Goldschmidt [16] mendefinisikan faktor toleransi sebagai berikut (2.1) Dengan r A dan r B adalah jari-jari ion kedudukan A dan kedudukan B, secara bertuturut-turut., dan r O adalah jari-jari ion oksigen. Struktur perovskite kubik yang ideal didapatkan jika harga t*=1..norby dkk [17] melaporkan bahwa material dasar dari lantanum manganat, LaMnO 3, memiliki struktur ortorombik pada suhu ruang. Berbeda halnya dengan lanthanum manganat yang telah didoping oleh ion lain, strukturnya tergantung dari ion dopingnya, variasi konsentrasi ion doping, temperatur, dan lain-lain. Untuk La 1-x Sr x MnO 3 ketika harga x sekitar 0,1 memiki struktur ortorombik namun saat x=0,175 memiliki struktur rombohedral [18]. Ju dkk [19] memperoleh struktur La 0,62 Ba 0,38 MnO 3 adalah kubik dengan parameter kisinya 3,906 Å. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Sergei [20] La 1- xba x MnO 3, saat 0 x 0,05 memiliki struktur ortorombik, saat 0,1 x 0,25 strukturnya rombohedral sedangkan saat 0,27 x 0,5 strukturnya kubik. Transformasi fasa struktur ini biasanya disertai dengan perubahan fasa magnetik dan elektriknya.

15 Sifat Magnetik Lantanum Manganat Karakteristik mendasar dari manganat dengan valensi campuran adalah hubungan yang dekat antara transport elektronik dan kemagnetan. Ciri utamanya adalah transisi simultan dari antiferomagnetik dengan sifat isolator ke feromagnetik dengan sifat konduktor akibat adanya substitusi pada kedudukan A. Teori dasar dari fenomena ini telah dikemukan oleh Zener tahun 1951 [21], yang memperkenalkan konsep double exchange, yaitu terjadi karena transfer elektron yang bergantung pada spin dari ion Mn 3+ ke Mn 4+ pada tetangga terdekat melalui ion O 2-. Teori ini selanjutnya diperbarui oleh Anderson dan Hasegawa tahun 1953 [22] dan de Gennes tahun 1960 [23] yang melibatkan distorsi Jahn-Taller. Schiffer dan Ramirez [24] pada tahun 1995 melakukan penelitian tentang diagram fase magnetik dari La 1-x Ca x MnO 3 dengan variasi konsentrasi 0 x 1 (Gambar 2.2). Ketika x=0 dan x=0,1 bahan bersifat feromagneti isolator pada temperature rendah dengan temperature Currie sekitar 160K. Diantara x=0,2 dan x=0,45 bahan bersifat feromagnetik logam dan menunjukkan fenomena colossal magnetoresistance (CMR). Untuk x lebih besar dari 0,45 bahan bersifat antiferomanetik isolator.

16 Gambar 2.2. Diagram fase La 1-x Ca x MnO 3 [24] Penelitian diagram fase magnetik La 1-x Ba x MnO 3 (Gambar 2.3) dilakukan oleh Ju dkk [19]. Sampel keramik padatan La 1-x Ba x MnO 3 (x=0; 0,06; 0,13; 0,19; 0,25; 0,31; 0,38; 0,44; 0,5; 0,63; 0,75; 0,88; 1,0) dibuat dengan metode solid state reaction. Bahan La 2 O 3, BaCO 3, dan MnCO 3 dicampur selanjutnya dipanaskan pada suhu 1100 o C-1300 o C kemudian dikalsinasi pada suhu 1400 o C-1550 o C. Sifat magnetic dikarakterisasi dengan menggunakan SQUID (superconducting quantum interference device). Ditemukan bahwa bahan bersifat feromagnetik untuk seluruh harga x, namun terdapat tiga fase. Untuk wilayah konsentrasi doping yang rendah bahan bersifat feromagnetik isolator, wilayah 0,2 x 0,5 bahan bersifat feromagnetik logam, sedangkan untuk konsentrasi doping yang tinggi bahan bersifat feromagnetik dengan multiphase.

17 Gambar 2.3. Diagram fase La 1-x Ba x MnO 3 [19] Urushibara dkk [18] pada tahun 1995 melakukan pendopingan Sr terhadap LaMnO3, ketika doping Sr kecil bahan bersifat isolator. Saat x mencapai titik kritis yakni sekitar 0,17 bahan bersifat metalik diserta dengan munculnya sifat feromagnetik. Digram fase dari La 1-x Sr x MnO 3 dapat dilihat pada Gambar 2.4.

18 Gambar 2.4. Diagram fase La 1-x Sr x MnO 3 [18] Sifat Absorbsi Gelombang Elektromagnet Lantanum Manganat Penelitian yang dilakukan oleh Cheng dkk [25] menemukan bahwa nanopartikel La 0,6 Sr 0,4 MnO 3 yang dibuat dengan metode sol gel mampu menyerap gelombang mikro. Daerah frekuensi yang diamati dari 1 GHz sampai 12 GHz. Reflection loss (R L ) optimal -41,1 db pada frekuensi 8,2 GHz dengan ketebalan 2,2 mm, bandwidth dengan haga R L kurang dari -10 db dicapai pada daerah frekuensi 5,5-11,3 GHz (Gambar 2.5). Dalam laporannya Cheng juga mengungkapkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka sifat absorbsinya semakin baik.

19 Gambar 2.5. Hubungan refletation loss dengan frekuensi gelombang mikro pada La 0,6 Sr 0,4 MnO 3 [25] Zhou dkk pada tahun 2007 [13] melaporkan bahwa nanopartikel La 0,8 Ba 0,2 MnO 3 memiliki sifat absorbsi gelombang mikro pada frekuensi 2-18 GHz, dengan puncak 13 db pada frekuensi 6,7 GHz, dan bandwidth absorbing diatas 10 db pada frekuensi 1,8 GHz. Nanopartikel La 0,8 Ba 0,2 MnO 3 dibuat dengan metode sol-gel dari bahan dasar La 2 O3, Mn(C 2 H 4 O 2 ) 2, dan Ba(OH) 2 dengan berat fraksi mol 2:5:1. Bahan dasar tersebut dicampur bersama pada suhu 70 o C selama 6 jam dan selanjutnya dikalsinasi pada suhu 800 o C selama 2 jam. Kurva hubungan antara frekuensi dan flection lossnya dapat dilihat pada Gambar 2.6.

20 Gambar 2.6. Hubungan antara reflektansi dan frekuensi gelombang mikro pada La 0,8 Ba 0,2 MnO 3 [13] 2.2. Struktur Kristal Zat padat yang terdapat di alam ini bila ditinjau secara mikrostruktur dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu zat padat yang memiliki susunan atom tidak teratur ( non kristal ) dan zat padat yang memiliki susunan atom yang teratur (kristal) [26]. Kristal didefinisikan sebagai material padat yang letak atom-atomnya membentuk barisan yang teratur rapih secara periodik dalam pola tiga dimensi, sehingga memiliki sifat fisika maupun kimia serba sama di seluruh bagiannya, adapun yang termasuk bahan-bahan kristal seperti: semua logam, sebagian besar keramik dan beberapa polimer.

21 Kisi kristal Cara paling sederhana untuk memahami kisi kristal adalah dengan membayangkan atom-atom dalam kristal berupa titik-titik. Setiap titik-titik mempunyai lingkungan yang serba sama, sehingga satu sama lain tidak dapat dibedakan walaupun dipandang dari segala arah. Bila tiap-tiap titik tersebut dihubungkan maka akan diperoleh kisi-kisi yang teratur dan periodik memenuhi ruang. Gambar 2.1 adalah ilustrasi yang menunjukan kisi sebuah suatu sistem kristal [27]. Gambar 2.7 Sistem dan kisi kristal

22 Parameter Kisi Panjang tiap-tiap ruang sel yang searah dengan sumbu kristalografi disebut dengan tetapan kisi (lattice constant), dan dinamakan dengan parameter kisi sumbu a, b, dan c. Sudut yang dibentuk oleh garis bc, ac, dan ab berturut-turut disebut dengan α, β, γ. Gambar 2.8 adalah ilustrasi dari parameter kisi. Gambar 2.8 Parameter kisi

23 Sistem kristal Terdapat tujuh sistem kristal yang dikembangkan menjadi empat belas kisi bravais dalam pengelompokan struktur kristal. Pengelompokan ini berdasarkan pada karakteristik unit selnya, antara lain sifat-sifat vektor basis, sudut antar vektor basis dan karakteristik elemen simetrinya. Pada karakteristik unit sel terdapat sifat-sifat geometri kristal antara lain ; indeks Miller, bidang kristal (hkl) dan konstanta kisi. Pada gambar 2.9 ditunjukkan tujuh system krsital berikut pengembangan empat belas kisi bravaisnya.

24 Gambar 2.9 Tujuh sistem kristal dan 14-kisi bravais

25 Tabel 2.1 Tujuh sistem kristal Sistem Panjang sumbu dan Kisi Bravais Simbol Kristalografi sudut Kisi Triklinik a b c Simple P α β γ =90 0 Monoklinik a b c 5 Simple P α = β =90 0 γ ataua Base centered C b c α = γ = 90 0 β Ortorombik a b c Simple P α = β =γ =90 0 Base centered C Face centered F Body centered I Tetragonal a = b c Simple P α = β =γ =90 0 Body centered I Trigonal/ a = b = c Simple P Rombohedral α = β =γ 90 0 < Hexagonal a = b c Simple P α = β = 90 0 γ =120 0 Kubus a = b = c Simple P α = β =γ =90 0 Face centered F Body centered I

26 Indeks Miller Misalkan x adalah fraksi perkalian dari vektor basis a, y adalah fraksi perkalian dari vektor b dan z adalah perkalian dari vektor basis c, maka invers dari ketiga fraksi dapat dikalikan dengan suatu bilangan sedemikian rupa sehingga ketiga fraksi (triplet) menghasilkan bilangan bulat terkecil. Triplet atau set bilangan bulat ini disebut indeks miller, diberi simbol (hkl). Hubungan ketiga indeks miller ini akan membentuk bidang yang disebut dengan bidang Bragg. Gambar 2.10 Bidang kristal pada berbagai indeks miller

27 Jarak Bidang Kristal ( d ) Untuk mengetahui jarak antara bidang di dalam kristal adalah harus mengetahui indeks miller dari bidang-bidang tersebut. Misalkan jarak antar bilangan diberi symbol d hkl, maka secara matematis hubungan antara d hkl dengan indeks miller basis kostanta kisi untuk sistem orthorombik, dapat ditulis sebagai berikut: (2.2) dimana : h k l itu merupakan bidang kristalografi atau indeks miller Teori Dasar Sinar-X Sinar-X adalah salah satu bentuk dari radiasi gelombang elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang antara 0, Ǻ. Karena berbentuk gelombang maka energi yang dimiliki oleh foton sinar-x ini dapat dihitung dengan menggunakan persamaan [28] berikut: (2.3) Dengan h konstanta planck ( 6,626 x [J.s] ), c kecepatan cahaya ( 3 x 10 8 [m/s ) dan λ sebagai panjang gelombang [m]. Sehingga untuk sinar-x dengan panjang gelombang 1 Ǻ ( m ) akan memiliki energi sebesar 1,9898 x Joule atau 12400,8 ev. Dengan energi yang demikian besar, sinar-x dapat mengionisasi elektron terdalam dari beberapa unsur ringan seperti pada Tabel 2.2 [29]

28 Tabel 2.2 Energi ionisasi beberapa atom ringan Atom Energi Ionisasi (ev) I II III IV V VI VII H 14 1 He Li Be Be C N Sinar-x ditemukan dengan tidak sengaja oleh seorang professor Fisika Wilhelm K. Rontgen 8 November 1895 ketika sedang melakukan percobaan dalam laboratorium yang berada di lantai dua apartemennya di Würzburg, Bavaria (sekarang bagian dari German). Dia melakukan percobaan dengan menggunakan tabung sinar katoda dengan sumber tegangan DC sebesar 20 Volt dan dengan menggunakan koil dia dapat menaikan tegangan sampai Volt dengan cara memutus secara periodik aliran arus ke rangkaian sebanyak 8 kali per detik. Dia menyimpulkan bahwa radiasi dengan kemampuan tembus yang besar dapat ditimbulkan jika elektron dengan energi kinetik yang besar menumbuk materi. Radiasi ini dapat menembus bahan dengan mudah, menyebabkan bahan fosforesen berkilau dan menghitamkan plat foto. Karena sifat-sifat dari radiasi ini

29 belum diketahui maka pada saat itu dinamakan sinar-x. Daya tembus sinar-x akan bertambah dangan bertambahnya energi kinetik elektronnya, juga intensitas yang makin besar dengan bertambahnya jumlah elektron. Pada Gambar 2.11 diperlihatkan skema dari produksi sinar-x didalam sebuah tabung katoda. Beda potensial U a akan mempercepat gerakan elektron dari katoda ke target anoda, sedangkan U h menentukan banyaknya elektron yang terlepas dari katoda. Elektron yang terlepas akan menumbuk target anoda sehingga akan kehilangan sebagian besar atau seluruh energi kinetiknya ketika mengalami tumbukan dengan dengan atom target; energi inilah yang berubah menjadi sinar-x. Gambar 2.11 Skema produksi sinar-x

30 Brehmsstrahlung Elektron yang bergerak cepat dari katoda akan mengenai target anoda dan mengalami penghentian mendadak. Berdasarkan teori elektromagnetik, muatan listrik yang mengalami percepatan akan meradiasikan gelombang elektromagnetik dan elektron yang bergerak cepat yang tiba-tiba dihentikan jelas mengalami percepatan. Sinar-X brehmsstrahlung atau breaking radiation merupakan produksi sinar-x yang dihasilkan dari penghentian elektron yang bergerak dengan kecepatan yang tinggi oleh inti atom target. Kekuatan sinar-x yang dihasilkan merupakan selisih energi kinetik elektron mula-mula dan energi elektron setelah mengalami penghentian. Gambar 2.9 menjelaskan bagaimana proses terjadinya sinar-x bremsstarhlung dan spektrum sinar-x tungsten pada berbagai potensial pemercepat [29]. Gambar 2.12 Sinar-X bremsstarhlung

31 2.3.2 Sinar-X Karakteristik Pada gambar 2.13 terlihat dua puncak dengan intensitas yang tajam pada panjang gelombang tertentu dari target unsur molybdenum. Puncak-puncak ini timbul pada berbagai panjang gelombang tertentu untuk masing-masing bahan target dan asalnya adalah penataan kembali struktur elektron atom target setelah diganggu oleh tembakan elektron energi tinggi. Gambar 2.13 Sinar-X karakteristik Elektron dari katoda yang bergerak dengan percepatan yang cukup tinggi, dapat mengenai elektron dari atom target (anoda) sehingga menyebabkan elektron tereksitasi dari atom, selanjutnya elektron lain yang berada pada sub kulit yang lebih tinggi akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh elektron tersebut

32 dengan memancarkan sinar-x yang memiliki energi sebanding dengan selisih level energi elektronnya. Mekanisme munculnya K dan K adalah ketika kekosongan terjadi pada kulit kulit-k (n=1), elektron dari kulit di atasnya (L, M, N dst) akan turun mengisi kekosongan tersebut sambil memancarkan foton dengan energi yang merupakan selisih energi dari kulit elektron asal (L,M,N dst) dan kulit-k. Sinar-X yang dihasilkan oleh elektron dari L ke K dinamakan sinar-x K α dan sinar-x K β untuk dari M ke K. Sedangkan pada kulit-l akan menghasilkan sinar-x L α untuk transisi M ke L dan L β untuk transisi N ke L dan seterusnya. Sedangkan kekosongan pada kulit yang ditinggalkan elektron untuk mengisi level energi dibawahnya akan diisi oleh elektron dengan level energi yang ada diatasnya dan seterusnya sehingga dihasilkan sinar-x dengan berbagai panjang gelombang X-Ray Diffractometer (XRD) Pada tahun 1912, Max Von Laue menyatakan bahwa panjang gelombang sinar-x ternyata bersesuaian dengan jarak antar atom-atom dalam kristal. Dengan alasan itu dia mengusulkan untuk menggunakan kristal untuk mendifraksikan sinar-x dengan kisi kristal berlaku sebagai kisi tiga dimensi. Sebuah kristal terdiri dari deretan atom yang teratur letaknya, masingmasing atom dapat menghamburkan gelombang elektromagnetik yang mengenainya. Berkas sinar-x monokromatik yang jatuh pada sebuah kristal akan dihamburkan ke segala arah, tetapi karena keteraturan letak atom-atom, pada arah

33 tertentu gelombang hambur itu akan berineraksi konstruktif sedangkan yang lain berinteraksi destruktif. Atom-atom dalam kristal membentuk keluarga bidang datar dengan masing-masing keluarga mempunyai jarak tertentu untuk tiap komponen bidangnya. Analisis ini diusulkan oleh W. L. Bragg pada tahun 1913, yang kemudian bidang-bidang tersebut dinamai bidang Bragg. Ketika suatu bidang kristal disinari, maka akan terjadi dua kemungkinan interferensi akibat difraksi atom-atom penyusun kristalnya; pertama interferensi konstruktif: berkas sinar yang didifraksikan saling menguatkan karena mempunyai fasa yang sama dan kedua intrferensi destruktif: berkas sinar yang didifraksikan saling melemahkan. Kedua jenis interferensi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.14 Gambar 2.14 Berkas sinar-x konstruktif dan destruktif

34 Gambar 2.15 Hamburan sinar-x pada kristal Syarat yang diperlukan agar sinar-x membentuk interaksi konstruktif dapat dilihat pada Gambar 2.15 diatas. Suatu berkas sinar-x dengan panjang gelombang λ jatuh pada kristal dengan sudut θ terhadap permukaan bidang Bragg yang jarak diantaranya d. Berkas sinar mengenai atom Z pada bidang pertama dan atom B pada bidang berikutnya, dan masing-masing atom akan menghamburkan sebagian berkas tersebut pada arah rambang. Interferensi konstruktif hanya terjadi antara sinar yang terhambur sejajar dengan beda jarak jalannya tepat λ, 2 λ, 3 λ dan seterusnya. Jadi beda jarak jalan harus n λ, dengan n sebagai bilangan bulat. Maka syarat Bragg untuk berkas hamburan konstruktif adalah - Sudut jatuh dan sudut hambur kedua berkas harus sama - 2d sin θ = n λ ; n = 1, 2, 3,... dst karena sinar II harus menempuh 2d sin θ lebih jauh dari sinar I,

35 bilangan bulat n menyatakan orde berkas sinar yang dihamburkan. Gambar 2.16 Skema XRD 2.4. Metode Analisis Rietveld Metode tradisional untuk melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif pada teknik Difraksi sinar-x biasanya melibatkan pengukuran intensitas dari puncak yang terpilih dan membandingkannya dengan data standar seperti International Committee Difraction Data (ICDD). Bagaimanapun, metoda ini sangat membosankan, disamping memerlukan data standar yang sangat bervariasi pada saat muncul keganjilan intensitas yang disebabkan oleh penyimpangan sudut. Sehingga terkadang hasil analisisnya sulit untuk dipertanggungjawabkan.

36 Disamping itu pula metode ini tak dapat lagi memberikan hasil yang akurat jika terdapat banyak puncak-puncak yang saling tumpang tindih (overlap) sehingga akan menyebabkan hilangnya rincian informasi yang terkandung di dalam profil puncak difraksi tersebut. Dengan demikian diperkenalkan metode baru untuk menganalisis profil multifasa dari pola difraksi serbuk. Dasar untuk analisis profil multifasa dari pola difraksi serbuk secara lengkap pertama kali diperkenalkan oleh Rietveld tahun Rietveld menunjukkan bahwa kemungkinan mereplika hasil sebuah pengukuran pola difraksi dengan pola hitungan/kalkulasi. Kelebihannya adalah di kala terjadi kesalahan yang disebabkan oleh penyimpangan intensitas dari preparasi cuplikan atau ketidaksempurnaan model struktur cenderung akan meninggalkan sisa intensitas baik negative maupun positif selama factor-faktor dari kalkulasi tersebut tidak diubah oleh Taylor tahun Kemudian para peneliti lain seperti Hewat tahun 1973, Wiles & Young tahun 1981, Will, Huang dan Parrish tahun 1983, Hill dan Howard tahun 1986, dan Taylor tahun 1991 melengkapi hasil refinement program Rietveld ini dengan memberikan sebuah parameter kualitas. Setiap titik pada pola difraksi dipandang sebagai satu pengamatan tunggal yang kemungkinan mengandung kontribusi dari sejumlah refleksi Bragg yang berbeda. Pada setiap posisi sudut atau setiap titik pada profil pola difraksi, jumlah kontribusi intensitas akibat overlap dapat dihitung berdasarkan nilai parameterparameter yang didapat dengan asas perhitungan Siroquant. Siroquant adalah suatu program analisis multi fasa jenis Rietveld yang dapat mereplika pola difraksi hasil pengukuran/observasi dengan memanfaatkan least-square fitting routine, yaitu melakukan penyesuaian faktor skala sampai pola yang dihitung

37 terbaik mendekati pola difraksi yang terukur. Sehingga perbedaan yang dihasilkan dari pola difraksi observasi dan kalkulasi ditandai dengan derajat tingkat replikasinya. Derajat tingkat replika (degree of fit) dilambangkan dengan sebuah parameter statistik χ 2 (chi-squared). Idealnya nilai dari chi-squared χ 2 = 1. Namun nilai ini sangat sulit dicapai, umumnya kurang dari 3. Namun program Rietveld versi Izumi (1994) memberikan parameter lain, dimana goodness of fit yang dilambangkan dengan parameter S terbaik kurang dari 1,3 [30] Prinsip Dasar Prinsip dasar analisis Rietveld adalah mencocokkan (fitting) profil puncak perhitungan terhadap profil puncak pengamatan. Pencocokan profil tersebut dilakukan dengan menerapkan prosedur perhitungan kuadrat terkecil non linear yang diberi syarat batas. Jadi analisis Rietveld tidak lain adalah problem optimasi fungsi non linear dengan pembatas (constraints). Sehingga minimumkan fungsi obyektif dapat dinyatakan sebagai berikut : N 2 i i i (2.4) f ( x) w y ( o) y ( c) i 1 dengan w ( 1/ y ( o)) dan y ( o) berturut-turut adalah faktor bobot (weighting i i i factor) dan intensitas pengamatan (observation) pada posisi 2 i. Sedangkan yi(c) merupakan intensitas perhitungan (calculation).

38 Persamaan Profile Pola Difraksi Fungsi intensitas secara fisis yang dinyatakan : 2 I( ) s F ( hkl) ML( ) (2.5) k k k dengan s, F k (hkl), M, dan L berturut-turut adalah factor skala, factor struktur, multiplisitas, dan faktor Lorentz-polarization. Persamaan tersebut menyatakan bahwa banyaknya elektron akan didifraksikan hanya jika sudut hamburan ( ) sama dengan sudut Bragg ( k ). Jadi fungsi intensitas tidak lain adalah persamaan intensitas garis. Namun pada kenyataannya bahwa pengukuran intensitas difraksi tersebut tidak terbentuk garis tetapi berupa puncak-puncak Bragg yang melebar. Berdasarkan hasil pengembangan program analisis Rietveld ini bahwa fungsi bentuk puncak merupakan fungsi pseudo-voigt yang telah dimodifikasi, yakni kombinasi linear dari fungsi Gauss dan fungsi Lorentz dengan tinggi puncak dan lebar penuh setengah tinggi puncak maksimum (FWHM) tidak sama. Fungsi pseudo-voigt yang telah dimodifikasi dituliskan sebagai berikut : k G 2 C exp 4ln 2 Hk ( G) k k At Hk( L) tan k (2.6) dengan 1 2 (1 ) Hk ( L) C Hk ( G) 4ln (2.7)

39 1 2 2 k ( ) (tan k s) (tan k s) H G U C V C W (2.8) Hk ( G) Hk ( L) (2.9) Pada persamaan-persamaan (2.6) hingga (2.9) di atas, = fraksi komponen Gauss, Hk ( G ) = FWHM komponen Gauss, H ( L ) = FWHM k komponen Lorentz, 0 s 1 At tan k C atau 0,6 dan k = faktor koreksi bentuk puncak asimetris. Faktor koreksi bentuk asimetris perlu diberikan karena pada sudut hamburan yang sangat rendah dan sangat tinggi, puncak-puncak difraksi menjadi tidak simetris akibat terbatasnya divergensi vertikal berkas. A = parameter asimetris dan t = konstanta yang diberi nilai +1, 0 atau -1 tergantung pada apakah selisih (2 2 k ) berturut-turut positif, nol atau negatif. Persamaan (2.8) menyatakan ketergantungan Hk ( G ) pada k, U V dan W disebut parameter FWHM. Bila korelasi antara parameter-parameter FWHM sangat tinggi, maka C s sebaiknya diberi nilai 0,6. Dalam persamaan (2.6) terdapat lima buah parameter variabel yakni : U, V, W, dan. Fungsi bentuk puncak dapat diubah-ubah tergantung pada berapa nilai parameter. Jika = 1 bentuk puncak memenuhi fungsi Gauss dan bentuk puncak memenuhi fungsi Lorentz jika diberi nilai 0. Parameter variabel memiliki daerah nilai : 0 1.

40 Untuk pola difraksi neutron, profile puncak difraksinya tepat memenuhi fungsi Gauss ( = 1). Dengan demikian nilai intensitas profile pola difraksi pada posisi 2 i dapat dihitung dengan mengalikan persamaan (2.4) dengan persamaan (2.6), setelah dikoreksi dengan fungsi latar belakang y () c dan fungsi orientasi preferred P k, diperoleh : ib 2 i( ) k ( ) k k ( k ) (2 i) ib( ) (2.10) k y c s F hkl M P L G y c melambangkan penjumlahan jika terdapat puncak-puncak Bragg yang saling k tumpang tindih. Penjumlahan dilakukan terhadap semua refleksi yang dianggap masih dapat menyumbangkan intensitasnya pada yi () c [28] Magnetisasi Material Ketika suatu material ditempatkan pada medan magnet, maka material tersebut akan mengalami magnetisasi. Momen magnet persatuan volume yang terbentuk dalam material disebut magnetisasi M. Pada suatu material dengan n magnetic dipole atomic elementer persatuan volume dengan masing-masing m momen magnet, maka saat momen-momen ini tersusun secara paralel akan memiliki magnetisasi yang disebut magnetisasi saturasi M [31]. Parameter yang penting adalah suseptibilitas magnetic, yang menyatakan kualitas dari suatu material magnetic, yang dirumuskan :

41 (2.11) dimana H adalah kuat medan magnet eksternal. Medan magnet dapat di deskripsikan sebagai dua vektor, yaitu induksi magnet B dan medan magnet H yang memiliki hubungan seperti pada persamaan dalam kondisi vakum berikut ini (2.12) Dimana adalah permeabilitas pada ruang vakum (4 x 10-7 Hz/m) Ketika sebuah material diletakkan pada medan magnet, maka material tersebut akan mengalami magnetisasi. Magnetisasi ini dinyatakan dengan vektor M, yang menyatakan besaran momen magnet persatuan volume. Induksi magnetik didalam material dinyatakan dengan (2.13) Jika magnetisasi diinduksi oleh medan magnet H, maka magnetisasi yang ada akan berbanding lurus dengan medan magnet, yaitu : (2.14) Dimana koefisien disebut suseptibilitas magnetic material. Jadi persamaan B dan H dapat dinyatakan dengan

42 (2.15) Pada bahan ferromagnetic, nilai dan tidak memiliki nilai yang konstan. Permeabilitas dan suseptibilitas sangat dipengaruhi oleh medan magnet luar. Kurva magnetisasi mempresentasikan densitas fluks induksi magnet B terhadap kekuatan medan magnet luar untuk bahan ferromagnetic dapat dilihat pada Gambar Gambar Kurva Histerisis Kurva magnetisasi untuk bahan yang belum termagnetisasi disebut dengan initial curve magnetization. Kurva diawali dengan permeabilitas awal, dengan bertambahnya medan magnet H, induksi magnetic B dengan cepat naik (disebut dengan easy magnetization) dan selanjutnya menjadi menjadi lebih rendah hingga tercapai nilai maksimum tertentu atau disebut dengan saturasi magnetik. Jika medan magnet H diturunkan kembali, maka fluks induksi magnet B juga ikut turun, tetapi lebih pelan dari medan magnet H nya. Dengan kata lain, menurunnya kurva magnetisasi tidak mengikuti kurva ketika medan magnet dinaikkan pertama kali. Dengan demikian, terdapat sisa/residu induksi medan magnet B (remanen)

43 ketika medan magnet telah mencapai nol. Untuk mengembalikan B kembali ke nol, diperlukan medan magnet negative yang disebut dengan coercive force. Jika medan magnet negative terus dinaikkan, maka material akan termagnetisasi dengan arah polaritas kearah negative. Ketika medan magnet dinaikkan hingga nol, maka juga akan didapati residu induksi medan magnet B yang membutuhkan medan magnet positif untuk membuat induksi medan magnet menjadi nol kembali. Kurva seperti ini yang disebut dengan kurva loop histerisis [31]. Berdasarkan koersivitasnya, bahan magnetik dapat dibedakan menjadi soft magnetic dan hard magnetic. Untuk bahan yang memiliki koersivitas yang besar (di atas 10 ka/m) disebut hard magnetic, sedangkan untuk bahan yang memiliki koersivitas kecil (dibawah 1 ka/m) disebut soft magnetic [32] Teori Double Exchange (DE) Mekanisme Double Exchange (DE) merupakan tipe magnetik exchange yang muncul diantara ion yang berdekatan dengan keadaan oksidasi yang berbeda [33]. Teori ini pertama kali diajukan oleh Zener (1951) dan mempunyai implikasi yang penting dari sifat magnetik dari suatu material. Energi sistem berada pada nilai terendah jika spin inti yang bertetangga saling sejajar atau parallel. Demikian juga dengan keadaan spin elektron, energi akan menjadi lebih rendah ketika spin elektron parallel dengan spin inti ion Mn [34]. Teori ini sesuai dengan aturan Hund untuk membuat energi sistem menjadi seminimal mungkin. Aturan pertama Hund menyatakan bahwa energi akan minimum bila susunan spin-spin elektron saling sejajar satu dengan yang lainnya.

44 Teori Double Exchange (DE) merupakan salah satu dari sekian banyak teori pertukaran yang ada dalam material. Mekanisme Double Exchange (DE) pada material perovskite manganites terjadi perpindahan spin elektron yang parallel pada tetangga terdekat dengan melakukan dua kali hopping secara bersamaan dari Mn 3+ ke Mn 4+ melalui O 2-. Pada sistem sampel LaSrMnO 3, yang berperan sebagai ion ialah atom Mn karena atom Mn telah menjadi ion Mn 3+ dan Mn 4+ akibat adanya doping unsur Sr pada site La. Zener (1951) telah mendapatkan persamaan yang menggambarkan korelasi antara konduktivitas listrik terhadap sifat magnetiknya, yang dikaitkan terhadap temperatur Curie (T c ) ferromagnetik pada sistem sampel La 1-x A x MnO 3 (A = Ca atau Sr), tetapi hanya berlaku untuk variasi doping Berikut persamaan yang menyatakan hubungan tersebut (2.16) Dimana x adalah konsentrasi doping A (untuk ),, h = konstanta Planck, e = muatan elektron, T adalah temperature, dan T c adalah temperature Curie. Berdasarkan persamaan (2.16) dapat diketahui bahwa untuk sistem sampel La 1-x A x MnO 3 dimana membuka hubungan linier antara magnetoresistansi terhadap magnetisasi dari sampel, sehingga dapat disimpulkan konduktivitas listrik dan sifat magnetik sampel saling berhubungan.

45 Gambar Skema Teori Double Exchange (DE) [35] Gambar 2.18 mengilustrasikan mekanisme Double Exchange (DE) yang terjadi pada Mn 3+ -O-Mn 4+. Elektron dari orbital e g pada ion Mn 3+ melompat ke orbital O 2- dan secara bersamaan elektron pada orbital 2p O 2- melompat ke orbital e g ion Mn 4+ yang kosong. Kedua elektron yang terlibat dalam pertukaran harus memiliki spin yang sama (sesuai prinsip larangan pauli). Hal ini menyebabkan terjadinya sifat feromagnetik dari elektron e g [35]. Teori lebih lanjut telah dilakukan oleh Anderson & Hasegawa yang menyatakan bahwa sudut antara spin inti ion Mn tetangga terdekat turut mempengaruhi pada proses Double Exchange (DE) [22]. Hal ini diperkuat oleh de Gennes [23] membahas tentang batas besarnya coupling Hund (J H ), spin elektron pada e g terikat pada inti spin t 2g yang mengubah parameter hopping (t), yang dipenuhi oleh persamaan berikut : (2.17)

46 Dimana θ ij adalah sudut antara spin inti pada t 2g yang berdekatan dengan ion manganese, dan t ij hanya bergantung pada orientasi relatif pada dua spin. Energi kinetik pada elektron e g adalah sebanding terhadap t. Dengan demikian, jika spin tersusun secara feromagnetik (spin parallel) maka nilai t akan maksimum sehingga resistivitas sampel bernilai minimum [22] Teori Interaksi Superexchange Superexchange merupakan coupling kuat antara interaksi spin antiferomagnetik terhadap tetangga terdekat kation melalui anion non magnetik [36]. Gagasan bahwa pertukaran dapat dimediasi oleh sebuah atom non magnetik telah diajukan pada tahun 1934, dan secara resmi dikembangkan oleh Anderson pada tahun Pada superexchange, interaksi magnetik antara ion yang berdekatan di mediasi oleh ion non-magnetik dengan spin elektron yang berpasangan. Hal ini merupakan interaksi yang lazim terjadi pada oksida manganiat terisolasi, dimana ion penghubungnya adalah O 2-. Pada kasus manganat, orbital yang telibat adalah orbital e g yang kosong dari ion Mn dan orbital 2p pada O 2- yang terisi. Jadi elektron pada orbital 2p pada O 2- terbagi diantara dua ion Mn yang berdekatan yang mengisi orbital e g yang kosong. Ini merupakan transfer elektron secara tidak langsung yang menjadi ciri khas dari mekanisme interaksi superexchange [36]. Berikut gambar yang mengilustrasikan proses terjadinya interaksi superexchange.

47 Gambar Mekanisme interaksi superexchange (a) sesama ion Mn 3+ dan (b) sesama ion Mn 4+ [36] Ligand Field Theory (LFT) Ligand Field Theory (LFT) merupakan salah satu teori yang digunakan untuk menjelaskan struktur elektronik kompleks [37]. Awalnya teori ini adalah aplikasi dari Crystal Field Theory (CFT). Menurut LFT, interaksi antara metal transisi dan ligand muncul karena adanya gaya tarik antara muatan positif pada metal sebagai kation bebas dengan muatan negatif pada elektron yang tidak berikatan pada ligand. Ketika ligand tertarik mendekati ion metal, elektronelektron pada ligand juga akan semakin mendekati elektron-elektron yang ada pada orbital d, sehingga menghasilkan gaya tolak diantara kedua muatan yang sama tersebut. Elektron-elektron pada orbital d yang mempunyai jarak paling dekat dengan ligand akan memiliki energi yang lebih tinggi di bandingkan dengan

48 yang lain, sehingga akan terjadi perbedaan energi. Perbedaan energi ini disebut d- orbital splitting energy. Oktahedral kompleks merupakan bentuk paling umum yang membentuk ikatan dengan metal-metal transisi. Lima orbital d dalam kation logam transisi terdegenerasi dan memiliki energi yang sama, dimana probabilities density elektron berbanding lurus dengan satuan level energi yang akan ditempati elektron pada orbital d tersebut, dan adanya ligand akan menimbulkan pemisahan level energi pada beberapa sub orbitalnya. Gambar Perubahan energi elektronik selama proses pembentukan kompleks [37] Gambar 2.20 di atas menyatakan bahwa medan listrik negatif sferik di sekitar kation logam akan menghasilkan tingkat energi total yang lebih rendah dari tingkat energi kation bebas yang disebabkan karena adanya interaksi elektrostatis. Interaksi repulsif antara elektron dalam orbital logam dan medan listrik mendestabilkan sistem dan sedikit banyak mengkompensasi stabilisasinya.

49 Sekarang ion tidak berada dalam medan negatif yang seragam, tetapi dalam logam yang dihasilkan oleh enam ligand yang terkoordinasi secara octahedral pada atom logam. Medan negatif dari ligand disebut medan ligand. Level energi yang lebih rendah diberi simbol t 2g (triply degenerate orbital) dan level energi yang lebih tinggi diberi simbol e g (exited degenerate orbital). Bila ligand ditempatkan di sumbu, reaksi repulsifnya lebih besar untuk orbital e g dari pada untuk t 2g, dan orbital e g di stabilkan dan orbital t 2g distabilkan dengan penstabilan yang sama. Perbedaan energi antara orbital t 2g dan e g sangat penting dan energi rata-rata orbital-obital ini dianggap sebagai skala nol. Bila perbedaan energi dua orbital e g dan tiga orbital t 2g dianggap Δ o, tingkat energi e g adalah dan energi total t 2g adalah. Gambar Splitting octahedral pada level d 5 [37] Ion logam transisi memiliki 0 sampai 10 elektron d dan bila orbital d yang terbelah diisi dari tingkat energi rendah, konfigurasi elektron yang berkaitan dengan masing-masing ion didapatkan. Jika tingkat energi nol

50 ditentukan sebagai tingkat energi rata-rata, energi konfigurasi elektron relatif terhadap energi nol adalah (2.18) Nilai ini disebut energi penstabilan medan ligand (Ligand Field Stabilization Energy LFSE). Konfigurasi elektron dengan nilai LFSE lebih kecil (dengan memperhitungkan tanda minusnya). LFSE merupakan parameter penting untuk menjelaskan kompleks medan transisi. Syarat lain selain tingkat energi yang diperlukan untuk menjelaskan pengisian elektron dalam orbital t 2g dan e g adalah energi pemasangan (pairing energy P e ), yaitu energi yang diperlukan untuk memasangkan dua elektron dalam level energi yang sama namun dengan syarat spin berlawanan. Ada dua kemungkinan yang muncul bila ada 4 jumlah elektron di orbital d. orbital yang energinya lebih rendah t 2g lebih disukai, tetapi pengisian orbital ini akan memerlukan energi pemasangan (P e ). Energi totalnya menjadi (2.19) Bila elektron mengisi orbital yang energinya lebih tinggi e g, maka energi totalnya menjadi (2.20)

51 Dengan demikian, jelas bahwa untuk ion Mn yang terdapat pada material perovskite manganites lebih menyukai konfigurasi medan lemah (weak field) karena akan lebih stabil. Parameter pemisahan medan ligand O ditentukan oleh ligand dan logam, sedangkan energi pemasangan (P e ) hampir konstan dan menunjukkan sedikit ketergantungan pada identitas logam [37]. Pada keadaan high-spin state O > P e, konfigurasi t 4 2g lebih disukai dan konfigurasinya disebut medan kuat (strong field) karena gaya tolakan yang terjadi lebih besar dibandingkan pada kasus low-spin state. Sedangkan pada keadaan low-spin state O < P e yaitu konfigurasi t 2g 3 e g 1 lebih disukai dan disebut konfigurasi medan lemah (weak field) atau konfigurasi elektron spin tinggi. Gambar Spin state pada weak field dan strong field ligand untuk d 4 sistem [37] Dengan demikian, jelas bahwa untuk ion Mn yang terdapat pada material perovskite manganites lebih menyukai konfigurasi medan lemah (weak field) karena akan lebih stabil. Parameter pemisahan medan ligand O ditentukan oleh

52 ligand dan logam, sedangkan energi pemasangan (P e ) hampir konstan dan menunjukkan sedikit ketergantungan pada identitas logam [37]. Pada sifat elektrik dari lantanum manganat La 1-x Sr x MnO 3 sangat terkait dengan adanya ion manganese dengan valensi yang berbeda. Untuk x = 0 dan 1 ion manganese hanya memiliki satu jenis valensi dan biasanya bersifat antiferromagnetic-insulator (AF-I). Untuk konsentrasi doping intermediate, ion manganese muncul dengan valensi yang berbeda, dan mengubah sifatnya menjadi ferromagnetic- metallic (F-M). Orbital yang aktif secara elektronik adalah orbital d manganese, dimana konfigurasi keadaan dasar dari trivalent dan quadrivalent Mn adalah 3d 4 dan 3d 3. Kelima orbital d masing-masing dapat mengakomodasi elektron dengan satu spin up dan satu spin down akan terpecah (splitting) akibat adanya medan kristal octahedral yang berasal dari 6 atom oksigen yang berada disekeliling ion Mn. Pemisahan energi ini membagi orbital d menjadi tiga orbital pada energi rendah t 2g dan dua orbital pada level energi yang lebih tinggi e g. Terjadinya pemisahan orbital ini berada pada orde 1,5 ev, sehingga elektron mengisi pada keadaan orbital dengan spin maksimum sesuai dengan aturan Hund. Oleh karena itu, konfigurasi elektronik pada Mn 3+ adalah, dan Mn 4+ adalah [15].

53 Gambar Struktur elektronik dari Mn 3+ dan Mn 4+ sebelum dan setelah adanya distorsi Jahn-Teller [15] Gambar 2.23 mengilustrasikan splitting Jahn-Teller, energi dari Mn 3+ menjadi lebih rendah sekitar 0,6 ev, sedangkan Mn 4+ tidak mengalami apapun akibat distorsi octahedron oksigen [37] Mechanical Alloying Proses mechanical alloying dengan mekanisme mechanical milling atau pun dengan menggunakan high energy ball milling (HEBM) pada prinsipnya adalah pengurangan ukuran butir atau partikel dan proses substitusi yang diakibatkan oleh tumbukan yang terus menerus antar bola logam (ball mill) dan sampel di dalam alat milling, seperti pada Gambar Aplikasi metode mechanical alloying seperti pada Gambar 2.25 [38].

54 Gambar Prinsip dan tahapan dari mechanical alloying [39]

55 Gambar Aplikasi metode mechanical alloying [38] Parameter yang harus diperhatikan di dalam proses mechanical milling, yang akan mempengaruhi kualitas produk akhir dari serbuk yang dicampur adalah seperti pada Gambar 2.26 [40].

56 Gambar Parameter-parameter di dalam proses mechanical milling [40] Ball mill adalah alat yang baik untuk grinding banyak material menjadi bubuk halus. Ball Mill digunakan untuk menggiling berbagai jenis tambang dan bahan lainnya. Ada dua jenis proses grinding yaitu proses kering dan proses basah. Setelah bahan mengalami proses grinding maka bahan padat akan berubah: ukuran, bentuk partikelnya, dan lain-lainnya Mekanisme Absorpsi Gelombang Elektromagnet Pada dasarnya suatu material jika dikenai gelombang electromagnet maka akan mengalami interaksi antara material dengan gelombang electromagnet. Misalkan suatu bahan memiliki ketebalan x dikenai gelombang electromagnet dengan intensitas maka gelombang electromagnet akan mengalami attenuasi sehingga intensitas yang keluar dari material menjadi

57 (2.21) dengan µ adalah konstanta. Dari persamaan (2.21) terlihat semakin tebal bahan maka energi gelombang electromagnet semakin banyak yang diserap. x Gambar Skema absorpsi gelombang electromagnet Namun seiring dengan perkembangan zaman, material absorber yang dibutuhkan adalah bahan yang tipis tapi memiliki kemampuan absorpsi yang maksimal. Selain karena ketebalan suatu bahan, absorpsi gelombang elektomagnet juga terjadi akibat interaksi gelombang dengan material yang menghasilkan efek rugi-rugi energy yang umumnya didisipasikan dalam bentuk panas. Dalam hal ini material absorber dibagi menjadi dua yakni material dielektrik dan magnetic. Pada bahan dielektrik energy gelombang electromagnet diserap sehingga terjadi polarisasi yang mengikuti arah medan listrik. Ketika gelombang electromagnet berubah-ubah terhadap waktu maka arah polarisasi juga berubah-ubah sehingga terjadi gesekan antar molekul yang menimbulkan panas.

58 Gambar Pengaruh medan listrik pada bahan dielektrik (telah diolah kembali) Hal yang analog juga terjadi pada bahan ferromagnetik. Ketika medan magnet mengenai bahan ferromagnet maka energy gelombang electromagnet akan digunakan untuk menyearahkan momen magnet. Untuk material absorber yang baik dibutuhkan bahan magnetic yang memiliki koersifitas yang rendah. Karakteristik dielektrik dan magnetik suatu bahan direpresentasikan oleh permitifitas kompleks dan permeabilitas kompleks [41] (2.22) (2.23) Dimana, tanda dan bagian real dan imaginer. Impedansi yang tiba pada material ditunjukkan (2.24) Dimana d adalah ketebalan sampel, adalah faktor propagasi kompleks

59 (2.25) f adalah frekuensi dan c adalah kecepatan gelombang elektomagnet dalam ruang vakum. Reflektifitas radiasi electromagnet, Γ, dalam gelombang normal yang tiba pada permukaan material ditunjukkan (2.26) Dan reflection loss- nya, R (db), didefinisikan sebagai = (2.27) Dimana adalah bilangan kompleks dan adalah modulus dari. Sedangkan adalah impedansi pada ruang hampa. (2.28) Nilai H/m dan F/m, sehingga diperoleh. Kondisi impedansi yang cocok saat menunjukkan bahwa terjadi penyerapan yang sempurna. Secara umum criteria material absorber yang baik haruslah memiliki permeabilitas dan permitifitas yang tinggi. Selain itu diperlukan resistifitas yang tinggi dan saturasi magnet tinggi.

60 2.11. Gelombang Mikro Gelombang electromagnet ketika sampai pada material maka sebagian gelombang tersebut akan direfleksikan dan sebagian lagi diabsorpsi. Karakter ini bisa kita manfaatkan untuk mengurangi pantulan radiasi. Beberapa material memantulkan banyak radiasi namun ada juga yang hampir tidak memantulkan sama sekali. Sebagai contoh air, yang hampir tidak memantulkan radiasi sama sekali oleh karena itu air termasuk absorber yang bagus. Material magnetic misalnya ferit juga dapat menyerap gelombang electromagnet. Hal ini dikarenakan adanya perubahan arah momen magnetic ketika dikenai medan electromagnet [42]. Gelombang mikro adalah bagian dari gelombang electromagnet yang memiliki daerah frekuensi sekitar 0,3-300 GHz atau panjang gelombang 1m- 1mm. Gelombang mikro digunakan pertama kali untuk teknologi RADAR pada awal perang dunia kedua. Saat ini gelombang mikro umum digunakan sebagai oven microwave atau pun perangkat-perangkat komunikasi dan teknologi informasi. Gelombang mikro dibagi dalam beberapa daerah jangkauan yang telah ditetapkan secara internasional (Tabel 2.3).

61 Tabel 2.3. Pembagian daerah jangkauan gelombang mikro [43]. Simbol Daerah Frekuensi (GHz) L R S H C X Ku K Ka U E F G Scanning Electron Microscope (SEM) Scanning Electron Microscope (SEM) adalah suatu alat yang digunakan untuk mengamati dan menganalisis karakteristik strukturmikro dari material baik yang konduktif maupun non konduktif. Dibandingkan dengan MO, SEM mempunyai daya pisah (resolusi) yang lebih tinggi yaitu 5nm, sehingga SEM dapat menghasilkan perbesaran hingga kali. Perbedaan daya pisah ini ditimbulkan dari sumber radiasi yang berbeda. Elektron sebagai sumber radiasi

62 pada SEM mempunyai panjang gelombang yang jauh lebih pendek dari pada sinar foton pada MO. Berkas elektron primer yang datang mengenai permukaan benda uji akan berinteraksi dan menghasilkan berbagai macam sinyal secara serentak, sinyalsinyal tersebut diantaranya adalah elektron, sinar-x dan foton. Secara skematik ditunjukan pada Gambar Interaksi elektron primer dengan benda uji tersebut mengakibatkan hamburan elektron (elastic scattering) dan hamburan nonelastik (inelastic scattering). Gambar Interaksi antara electron primer dengan benda uji Hamburan elastik ditimbulkan akibat adanya tumbukan berkas elektron primer dengan inti atom benda uji (sampel) tanpa perubahan energi. Pada saat

63 terjadinya hamburan elastik, arah komponen kecepatan elektron, v, akan berubah, tetapi besarnya v relatif konstan, sehingga energi kinetik E = 1/2 m e v 2, dengan me adalah massa elektron, tidak berubah. Dalam hal ini energi sebesar <1eV dipindahkan dari elektron [primer ke benda uji, perpindahan energi ini relatif kecil bila dibandingkan dengan energi elektron primer sebesar 10 kev, karenanya perpindahan enrgi tersebut dapat diabaikan. Hamburan elektron dari permukaan benda uji setelah berkas elektron primer masuk ke dalam benda uji dan melintasi jarak beberapa nm dengan distribusi energi 0 E E o, dimana E o adalah energi elektron p[rimer, disebut sebagai backscattered electron (elektron terhambur balik BSE). Hamburan nonelastik (inelastic scattering) diakibatkan adanya tumbukan elektron primer dengan elektron benda uji. Dalam proses tumbukan ini terjadi perpindahan energi dari elektron primer ke atom dan elektron benda uji, sehingga terjadi penurunan energi kinetik dari berkas elektron. Energi yang berada dalam benda uji tersebut akan didistribusikan dan menghasilkan sinyal-sinyal yang digunakan untuk analisis mikro. Sinyal-sinyal tersebut adalah secondary electron (elektron sekunder SE), Auger electron, continuum X-ray atau bremsstrahlung, characteristic X-ray dan secondary fluorescence emission. Secondary electron (elektron sekunder) adalah elektron yang dipancarkan dari benda uji akibat dari interaksi antara berkas elektron primer dengan elektronelektron pada pita penghantar benda uji. Interaksi ini hanya menghasilkan perpindahan energi yang relatif rendah (3-5 ev) ke elektron pita penghantar. Karena elektron sekunder ini mempunyai energi rendah, maka elektron-elektron ini mudah dibelokan pada sudut tertentu dan menimbulkan bayangan topografi,

64 dengan kata lain elektron sekunder dari suatu area tertentu akan memberikan informasi benda uji pada area tersebut dalam bentuk image (citra). Mekanisme terbentuknya citra pada SEM meliputi beberapa hal penting diantaranya; sistem scanning untukpembentukan citra, mekanisme kontras sebagai hasil interaksi elektron dan benda uji, karakteristik detektor dan pengaruhnya terhadap kualitas citra, kualitas sinyal dan pengaruhnya terhadap kualitas citra dan proses pen-sinyal-an untuk tampilan pada layar monitor. Ilustrasi proses pembentukan citra pada SEM diilustrasikan pada Gambar Gambar Skematis pembentukan citra pada SEM

65 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni sampai November Untuk tahap preparasi/pembuatan sampel dilakukan di laboratorium Departemen Fisika FMIPA UI. Sedangkan tahap karakterisasi sampel dilaksanakan di PLT UIN Jakarta, Departemen Fisika FMIPA UI, dan LIPI Bandung Alat dan Bahan Alat yang digunakan sebagai berikut: a. Timbangan digital, digunakan untuk menimbang bahan dasar b. Spatula, beaker glass c. Dies (cetakan specimen/sampel) berbentuk silindris. d. Planetary Ball Milling untuk mencampur serbuk bahan dasar e. Bola baja (ball mill) digunakan untuk menumbuk campuran di dalam vial Planetary Ball Milling. f. Furnace (dapur pemanas) untuk men-sintering sampel g. Universal testing machine atau pressing mechine digunakan untuk membuat/mengkompaksi sampel (green body). h. Cawan kramik digunakan untuk tempat sampel ketika disintering i. Thermogravimetric Analyser (TGA) digunakan untuk mengetahui suhu kalsinasi yang tepat dalam pembuatan sampel

66 j. X Ray Diffraction (XRD) digunakan untuk melihat struktur kristal sampel k. Permagraph Magnet-Physic Dr. Steingroever GmbH digunakan untuk pengujian sifat magnetik sampel l. Vector Network Analyzer (VNA) digunakan untuk pengujian sifat absorber sampel. Bahan habis pakai yang digunakan sebagai berikut a. Serbuk bahan dasar La2O3, MnCO3, BaCO3, dan NiO selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.1 b. Tissue, aquabidest c. Serbuk karbon diunakan untuk membersihkan vial planetary ball mill d. PVAc, digunakan sebagai perekat pada saat mencetak spesimen dengan kompaksi. e. Sabun cream diunakan untuk membersihkan vial dan ball mill f. Aseton digunakan sebagai pembersih dan campuran proses milling.

67 Tabel 3.1 Bahan Dasar Penelitian No. Nama Formula Mr Produk Kemurnian Kimia 1. Lantanum La 2 O 3 325,79 Merck 99,5% oksida 2. Barium BaCO 3 197,35 Aldrich 99,0% karbonat 3. Manganis MnCO 3 114,95 Aldrich 99,9% carbonate 4. Nikel Oksida NiO 74,71 Merck 99,9% 3.3. Analisis Data Thermogravimetric analysis (TGA) Dasar dari TGA adalah mengamati perubahan massa sampel terhadap kenaikan temperatur. Kurva kontinu perubahan massa terhadap temperatur diperoleh ketika sampel dipanaskan dengan kecepatan yang seragam. Kurva thermogravimetric (TG) umumnya merupakan plot antara penurunan massa pada sumbu y (ordinat) dan kenaikan temperatur pada sumbu x (absis). Karakterisasi sampel dengan TGA dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta. TGA (TA Instrument) tersebut menggunakan gas oksigen dan nitrogen.

68 Gambar 3.1. TGA Difraksi Sinar-X (XRD) Analisa kuantitas dan kualitas fasa-fasa yang ada dalam sampel menggunakan XRD merek Shimadzu. Berkas sinar-x dihasilkan dari tube anode Cu, dengan panjang gelombang 1,5405Å, mode: continous-scan, step size: 0,2 dan timer per step 0,5 detik, dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta. Pola difraksi sinar X yang diperoleh selanjutnya di olah dengan program High Score Plus (HSP). Dari hasil pengolahan tersebut maka diperoleh informasi struktur kristal, parameter kisi, fasa yang terkandung pada sampel dan juga densitas sampel.

69 Gambar 3.2. Alat Difraksi sinar-x (XRD) Shimadzu SEM Karakterisasi dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan untuk mengetahui morfologi dari sampel. Karakterisasi SEM dilakukan di PTBIN BATAN, Serpong. Dengan spesifikasi alat Jeol JED Gambar 3.3. SEM

70 Permagraf Karakterisasi dengan permagraf dilakukan dengan tujuan mengetahui sifat magnetik dari sampel, seperti saturasi dan koersifitas magnet. Karakterisasi permagraf dilakukan di laboratorium UI Depok. Gambar 3.2. Permagraf VNA (Vector Network Analyser) Karakterisasi sampel dengan VNA betujuan untuk mengukur nilai absorbsi material dan juga nilai reflection loss. Pengukuran ini dilakukan di LIPI Bandung. Gambar 3.5. VNA

71 3.4. Diagram Alir Penelitian Preparasi Material Bahan-bahan dasar Pencampuran (Mixing) Proses mechanical milling, Kalsinasi Kompaksi Sintering Material absorber Karakterisasi Pengolahan data dan Analisis

72 3.5. Jadwal Penelitian Penelitian dilakukan selama enam bulan dari bulan Juni November 2013 Uraian Penelitian Juni Juli Ags Sept Okt Nov Studi literature Penyediaan bahan-bahan dan persiapan instrument Proses sintesis material absorber Karakterisasi material Analisis dan penulisan laporan

73 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakterisasi TGA (Thermogravimetric Analysis) Sampel La 0.67 Ba 0.33 Mn 1-x Ni x O 3 disintesa dari beberapa bahan dasar yaitu La 2 O 3, BaCO 3, MnCO 3, dan NiO yang memiliki tingkat kemurnian rata-rata diatas 99%. Seluruh bahan dasar tersebut dimilling dengan Planetary Ball Mill selama 25 jam. Hasil milling tersebut selanjutnya dikarakterisasi dengan alat TGA (Thermogravimetric Analysis) yang memliki kemampuan mengkarakterisasi sampel dari 0 o C sampai 1000 o C. Hasil TGA campuran bahan dasar yang selesai dimilling dapat dilihat dalam Gambar 4.1 Dari kurva TGA tersebut tampak adanya penurunan berat sampel ketika terjadi kenaikan suhu sekitar 50 o C 800 o C. Penurunan berat sampel dimungkinkan karena ada ion karbon yang berasal dari bahan dasar BaCO 3 mau pun MnCO 3 terbuang ketika terjadi pemanasan. Atas dasar inilah tahapan selanjutnya dilakukan kalsinasi pada suhu 800 o C selama 10 jam untuk menghilangkan impuritas-impuritas yang ada.

74 Gambar 4.1. Kurva TGA campuran bahan dasar setelah milling 4.2. Karakterisasi SEM Untuk mengetahui morfologi dari sampel, maka sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 1- xni x O 3 yang telah disintesa dikarakterisasi dengan SEM. Hasil SEM dapat di lihat pada Gambar 4.2 sampai Gambar 4.5.

75 Gambar 4.2. SEM sampel La 0,67 Ba 0,33 MnO 3 Gambar 4.3. SEM sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,98 Ni 0,02 O 3

76 Gambar 4.4. SEM sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,96 Ni 0,04 O 3 Gambar 4.5. SEM sampel La 0,67 Ba 0,33 Mn 0,94 Ni 0,06 O 3

Gambar 2.1. momen magnet yang berhubungan dengan (a) orbit elektron (b) perputaran elektron terhadap sumbunya [1]

Gambar 2.1. momen magnet yang berhubungan dengan (a) orbit elektron (b) perputaran elektron terhadap sumbunya [1] BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Momen Magnet Sifat magnetik makroskopik dari material adalah akibat dari momen momen magnet yang berkaitan dengan elektron-elektron individual. Setiap elektron dalam atom mempunyai

Lebih terperinci

DISAIN MATERIAL ABSORBER GELOMBANG MIKRO SENYAWA DASAR (La, Ba)(Mn, Ti)O 3 MELALUI PROSES PENGAHALUSAN MEKANIK DAN SONIKASI DAYA TINGGI

DISAIN MATERIAL ABSORBER GELOMBANG MIKRO SENYAWA DASAR (La, Ba)(Mn, Ti)O 3 MELALUI PROSES PENGAHALUSAN MEKANIK DAN SONIKASI DAYA TINGGI LAPORAN PENELITIAN BERBASIS PUBLIKASI INTERNASIONAL DISAIN MATERIAL ABSORBER GELOMBANG MIKRO SENYAWA DASAR (La, Ba)(Mn, Ti)O 3 MELALUI PROSES PENGAHALUSAN MEKANIK DAN SONIKASI DAYA TINGGI SITTI AHMIATRI

Lebih terperinci

MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER)

MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER) MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER) Oleh: Kusnanto Mukti / M0209031 Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta 2012 I. Pendahuluan

Lebih terperinci

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

Bab IV. Hasil dan Pembahasan Bab IV. Hasil dan Pembahasan Bab ini memaparkan hasil sintesis, karakterisasi konduktivitas listrik dan struktur kirstal dari senyawa perovskit La 1-x Sr x FeO 3-δ (LSFO) dengan x = 0,2 ; 0,4 ; 0,5 ; 0,6

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK DAN SERAPAN GELOMBANG MIKRO BARIUM M-HEKSAFERIT BaFe 12 O 19

KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK DAN SERAPAN GELOMBANG MIKRO BARIUM M-HEKSAFERIT BaFe 12 O 19 KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK DAN SERAPAN GELOMBANG MIKRO BARIUM M-HEKSAFERIT BaFe 12 O 19 NOER AF IDAH 1109201712 DOSEN PEMBIMBING Prof. Dr. Darminto, MSc Pendahuluan: Smart magnetic materials Barium M-Heksaferit

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) 39 HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) Hasil karakterisasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD) dilakukan untuk mengetahui jenis material yang dihasilkan disamping menentukan

Lebih terperinci

METODE X-RAY. Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :

METODE X-RAY. Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut : METODE X-RAY Kristalografi X-ray adalah metode untuk menentukan susunan atom-atom dalam kristal, di mana seberkas sinar-x menyerang kristal dan diffracts ke arah tertentu. Dari sudut dan intensitas difraksi

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Padatan TiO 2 Amorf Proses sintesis padatan TiO 2 amorf ini dimulai dengan melarutkan titanium isopropoksida (TTIP) ke dalam pelarut etanol. Pelarut etanol yang digunakan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK STRUKTUR KRISTAL PADA BAHAN Ni 0.3 Zn 0.7 Fe 2 O 4 DENGAN VARIASI LAMA MILLING

KARAKTERISTIK STRUKTUR KRISTAL PADA BAHAN Ni 0.3 Zn 0.7 Fe 2 O 4 DENGAN VARIASI LAMA MILLING LAPORAN HASIL PENELITIAN INDIVIDU KARAKTERISTIK STRUKTUR KRISTAL PADA BAHAN Ni 0.3 Zn 0.7 Fe 2 O 4 DENGAN VARIASI LAMA MILLING SITTI AHMIATRI SAPTARI 19770416 2005 01 2 008 PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nanomaterial memiliki sifat unik yang sangat cocok untuk diaplikasikan dalam bidang industri. Sebuah material dapat dikatakan sebagai nanomaterial jika salah satu

Lebih terperinci

Karakterisasi XRD. Pengukuran

Karakterisasi XRD. Pengukuran 11 Karakterisasi XRD Pengukuran XRD menggunakan alat XRD7000, kemudian dihubungkan dengan program dikomputer. Puncakpuncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. XRD Uji XRD menggunakan difraktometer type Phylips PW3710 BASED dilengkapi dengan perangkat software APD (Automatic Powder Difraction) yang ada di Laboratorium UI Salemba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Guimaraes, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Guimaraes, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nanoteknologi adalah teknologi pembuatan dan penggunaan material yang memiliki ukuran nanometer dengan skala (1-100 nm). Perubahan ukuran bulk ke nanomaterial mengakibatkan

Lebih terperinci

Spektroskopi Difraksi Sinar-X (X-ray difraction/xrd)

Spektroskopi Difraksi Sinar-X (X-ray difraction/xrd) Spektroskopi Difraksi Sinar-X (X-ray difraction/xrd) Spektroskopi difraksi sinar-x (X-ray difraction/xrd) merupakan salah satu metoda karakterisasi material yang paling tua dan paling sering digunakan

Lebih terperinci

Ringkasan Tugas Akhir. : Pengaruh Substitusi Bi Terhadap Spektrum Electron Spin Resonance

Ringkasan Tugas Akhir. : Pengaruh Substitusi Bi Terhadap Spektrum Electron Spin Resonance Ringkasan Tugas Akhir Nama, NPM : Siti Maryam, 0806326424 Pembimbing : Budhy Kurniawan Judul (Indonesia) : Pengaruh Substitusi Bi Terhadap Spektrum Electron Spin Resonance La 1-x Bi x MnO 3 Melalui Proses

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Waktu Milling dan Penambahan Silicon Carbide Terhadap Ukuran Kristal, Remanen, Koersivitas, dan Saturasi Pada Material Iron

Pengaruh Variasi Waktu Milling dan Penambahan Silicon Carbide Terhadap Ukuran Kristal, Remanen, Koersivitas, dan Saturasi Pada Material Iron 1 Pengaruh Variasi Waktu Milling dan Penambahan Silicon Carbide Terhadap Ukuran Kristal, Remanen, Koersivitas, dan Saturasi Pada Material Iron Luthfi Fajriani, Bambang Soegijono Departemen Fisika, Fakultas

Lebih terperinci

PR ONLINE MATA UJIAN: FISIKA (KODE A07)

PR ONLINE MATA UJIAN: FISIKA (KODE A07) PR ONLINE MATA UJIAN: FISIKA (KODE A07) 1. Gambar di samping ini menunjukkan hasil pengukuran tebal kertas karton dengan menggunakan mikrometer sekrup. Hasil pengukurannya adalah (A) 4,30 mm. (D) 4,18

Lebih terperinci

BAB 2 Teori Dasar 2.1 Konsep Dasar

BAB 2 Teori Dasar 2.1 Konsep Dasar BAB 2 Teori Dasar 2.1 Konsep Dasar 2.1.1 Momen Magnet Arus yang mengalir pada suatu kawat yang lurus akan menghasilkan medan magnet yang melingkar di sekitar kawat, dan apabila kawat tersebut dilingkarkan

Lebih terperinci

LATIHAN UJIAN NASIONAL

LATIHAN UJIAN NASIONAL LATIHAN UJIAN NASIONAL 1. Seorang siswa menghitung luas suatu lempengan logam kecil berbentuk persegi panjang. Siswa tersebut menggunakan mistar untuk mengukur panjang lempengan dan menggunakan jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanoteknologi merupakan penelitian dan pengembangan teknologi pada level atom, molekul dan makromolekul, dengan rentang skala 1-100 nm. Nanoteknologi dikembangkan

Lebih terperinci

Elektron Bebas. 1. Teori Drude Tentang Elektron Dalam Logam

Elektron Bebas. 1. Teori Drude Tentang Elektron Dalam Logam Elektron Bebas Beberapa teori tentang panas jenis zat padat yang telah dibahas dapat dengan baik menjelaskan sifat-sfat panas jenis zat padat yang tergolong non logam, akan tetapi untuk golongan logam

Lebih terperinci

Copyright all right reserved

Copyright  all right reserved Latihan Soal UN SMA / MA 2011 Program IPA Mata Ujian : Fisika Jumlah Soal : 20 1. Gas helium (A r = gram/mol) sebanyak 20 gram dan bersuhu 27 C berada dalam wadah yang volumenya 1,25 liter. Jika tetapan

Lebih terperinci

350 0 C 1 jam C. 10 jam. 20 jam. Pelet YBCO. Uji Konduktivitas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ba(NO 3 ) Cu(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2

350 0 C 1 jam C. 10 jam. 20 jam. Pelet YBCO. Uji Konduktivitas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ba(NO 3 ) Cu(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2 Pelarutan Pengendapan Evaporasi 350 0 C 1 jam 900 0 C 10 jam 940 0 C 20 jam Ba(NO 3 ) Pelarutan Pengendapan Evaporasi Pencampuran Pirolisis Kalsinasi Peletisasi Sintering Pelet YBCO Cu(NO 3

Lebih terperinci

4 Hasil dan pembahasan

4 Hasil dan pembahasan 4 Hasil dan pembahasan Bab ini memaparkan hasil dari sintesis dan karakterisasi konduktivitas listrik dan struktur kirstal dari senyawa perovskit Sr 2 Mg 1-X Fe x MoO 6-δ dengan x = 0,2; 0,5; 0,8; dan

Lebih terperinci

PREDIKSI 8 1. Tebal keping logam yang diukur dengan mikrometer sekrup diperlihatkan seperti gambar di bawah ini.

PREDIKSI 8 1. Tebal keping logam yang diukur dengan mikrometer sekrup diperlihatkan seperti gambar di bawah ini. PREDIKSI 8 1. Tebal keping logam yang diukur dengan mikrometer sekrup diperlihatkan seperti gambar di bawah ini. Dari gambar dapat disimpulkan bahwa tebal keping adalah... A. 4,30 mm B. 4,50 mm C. 4,70

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Kristal Bahan Kristal merupakan suatu bahan yang terdiri dari atom-atom yang tersusun secara berulang dalam pola tiga dimensi dengan rangkaian yang panjang (Callister

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sinar-X ditemukan pertama kali oleh Wilhelm Conrad Rontgen pada tahun 1895. Karena asalnya tidak diketahui waktu itu maka disebut sinar-x. Sinar-X digunakan untuk tujuan

Lebih terperinci

PAKET SOAL 1.c LATIHAN SOAL UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2011/2012

PAKET SOAL 1.c LATIHAN SOAL UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2011/2012 UJI COBA MATA PELAJARAN KELAS/PROGRAM ISIKA SMA www.rizky-catatanku.blogspot.com PAKET SOAL 1.c LATIHAN SOAL UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2011/2012 : FISIKA : XII (Dua belas )/IPA HARI/TANGGAL :.2012

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK UTARA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA MUSYAWARAH KERJA KEPALA SEKOLAH (MKKS) SMA TRY OUT UJIAN NASIONAL 2010

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK UTARA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA MUSYAWARAH KERJA KEPALA SEKOLAH (MKKS) SMA TRY OUT UJIAN NASIONAL 2010 PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK UTARA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA MUSYAWARAH KERJA KEPALA SEKOLAH (MKKS) SMA TRY OUT UJIAN NASIONAL 200 Mata Pelajaran : Fisika Kelas : XII IPA Alokasi Waktu : 20 menit

Lebih terperinci

4. Sebuah sistem benda terdiri atas balok A dan B seperti gambar. Pilihlah jawaban yang benar!

4. Sebuah sistem benda terdiri atas balok A dan B seperti gambar. Pilihlah jawaban yang benar! Pilihlah Jawaban yang Paling Tepat! Pilihlah jawaban yang benar!. Sebuah pelat logam diukur menggunakan mikrometer sekrup. Hasilnya ditampilkan pada gambar berikut. Tebal pelat logam... mm. 0,08 0.,0 C.,8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nanoteknologi terus mengalami perkembangan dengan semakin besar manfaat yang dapat dihasilkan seperti untuk kepentingan medis (pengembangan peralatan baru untuk

Lebih terperinci

KARAKTERISASI DIFRAKSI SINAR X DAN APLIKASINYA PADA DEFECT KRISTAL OLEH: MARIA OKTAFIANI JURUSAN FISIKA

KARAKTERISASI DIFRAKSI SINAR X DAN APLIKASINYA PADA DEFECT KRISTAL OLEH: MARIA OKTAFIANI JURUSAN FISIKA KARAKTERISASI DIFRAKSI SINAR X DAN APLIKASINYA PADA DEFECT KRISTAL OLEH: MARIA OKTAFIANI 140310110018 JURUSAN FISIKA OUTLINES : Sinar X Difraksi sinar X pada suatu material Karakteristik Sinar-X Prinsip

Lebih terperinci

SOAL UN FISIKA DAN PENYELESAIANNYA 2005

SOAL UN FISIKA DAN PENYELESAIANNYA 2005 2. 1. Seorang siswa melakukan percobaan di laboratorium, melakukan pengukuran pelat tipis dengan menggunakan jangka sorong. Dari hasil pengukuran diperoleh panjang 2,23 cm dan lebar 36 cm, maka luas pelat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam penciptaan material dan struktur fungsional dalam skala nanometer. Perkembangan nanoteknologi selalu dikaitkan

Lebih terperinci

D. I, U, X E. X, I, U. D. 5,59 x J E. 6,21 x J

D. I, U, X E. X, I, U. D. 5,59 x J E. 6,21 x J 1. Bila sinar ultra ungu, sinar inframerah, dan sinar X berturut-turut ditandai dengan U, I, dan X, maka urutan yang menunjukkan paket (kuantum) energi makin besar ialah : A. U, I, X B. U, X, I C. I, X,

Lebih terperinci

BAB FISIKA ATOM. a) Tetes minyak diam di antara pasangan keping sejajar karena berat minyak mg seimbang dengan gaya listrik qe.

BAB FISIKA ATOM. a) Tetes minyak diam di antara pasangan keping sejajar karena berat minyak mg seimbang dengan gaya listrik qe. BAB FISIKA ATOM Contoh 9. Hitungan mengenai percobaan Milikan. Sebuah tetes minyak yang beratnya,9-4 N diam di antara pasangan keping sejajar yang kuat medan listriknya 4, 4 N/C. a) Berapa besar muatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena optik dapat mendeskripsikan sifat medium dalam interaksinya dengan gelombang elekromagnetik. Hal tersebut ditentukan oleh beberapa parameter optik, yaitu indeks

Lebih terperinci

Struktur atom merupakan satuan dasar materi yang terdiri dari inti atom beserta awan elektron bermuatan negatif yang mengelilinginya.

Struktur atom merupakan satuan dasar materi yang terdiri dari inti atom beserta awan elektron bermuatan negatif yang mengelilinginya. Struktur atom merupakan satuan dasar materi yang terdiri dari inti atom beserta awan elektron bermuatan negatif yang mengelilinginya. Inti atom mengandung campuran proton (bermuatan positif) dan neutron

Lebih terperinci

PENDAHULUAN RADIOAKTIVITAS TUJUAN

PENDAHULUAN RADIOAKTIVITAS TUJUAN PENDAHULUAN RADIOAKTIVITAS TUJUAN Maksud dan tujuan kuliah ini adalah memberikan dasar-dasar dari fenomena radiaktivitas serta sumber radioaktif Diharapkan agar dengan pengetahuan dasar ini kita akan mempunyai

Lebih terperinci

Dualisme Partikel Gelombang

Dualisme Partikel Gelombang Dualisme Partikel Gelombang Agus Suroso Fisika Teoretik Energi Tinggi dan Instrumentasi, Institut Teknologi Bandung agussuroso10.wordpress.com, agussuroso@fi.itb.ac.id 19 April 017 Pada pekan ke-10 kuliah

Lebih terperinci

PELURUHAN GAMMA ( ) dengan memancarkan foton (gelombang elektromagnetik) yang dikenal dengan sinar gamma ( ).

PELURUHAN GAMMA ( ) dengan memancarkan foton (gelombang elektromagnetik) yang dikenal dengan sinar gamma ( ). PELURUHAN GAMMA ( ) Peluruhan inti yang memancarkan sebuah partikel seperti partikel alfa atau beta, selalu meninggalkan inti pada keadaan tereksitasi. Seperti halnya atom, inti akan mencapai keadaan dasar

Lebih terperinci

ARSIP SOAL UJIAN NASIONAL FISIKA (BESERA PEMBAHASANNYA) TAHUN 1996

ARSIP SOAL UJIAN NASIONAL FISIKA (BESERA PEMBAHASANNYA) TAHUN 1996 ARSIP SOAL UJIAN NASIONAL FISIKA (BESERA PEMBAHASANNYA) TAHUN 1996 BAGIAN KEARSIPAN SMA DWIJA PRAJA PEKALONGAN JALAN SRIWIJAYA NO. 7 TELP (0285) 426185) 1. Kelompok besaran berikut yang merupakan besaran

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Kurva histerisis (Anggraini dan Hikam, 2006)

Gambar 2.1. Kurva histerisis (Anggraini dan Hikam, 2006) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Material Feroelektrik Pada tahun 1920 Valasek menemukan fenomena feroelektrik dengan meneliti sifat garam Rochelle (NaKC 4 H 4 O 6.4H 2 O) (Rizky, 2012). Feroelektrik adalah

Lebih terperinci

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s)

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s) DAFTAR SIMBOL n κ α R μ m χ m c v F L q E B v F Ω ħ ω p K s k f α, β s-s V χ (0) : indeks bias : koefisien ekstinsi : koefisien absorpsi : reflektivitas : permeabilitas magnetik : suseptibilitas magnetik

Lebih terperinci

D. 30 newton E. 70 newton. D. momentum E. percepatan

D. 30 newton E. 70 newton. D. momentum E. percepatan 1. Sebuah benda dengan massa 5 kg yang diikat dengan tali, berputar dalam suatu bidang vertikal. Lintasan dalam bidang itu adalah suatu lingkaran dengan jari-jari 1,5 m Jika kecepatan sudut tetap 2 rad/s,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini peran nanoteknologi begitu penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan kehidupan manusia. Nanoteknologi merupakan bidang

Lebih terperinci

A. 100 N B. 200 N C. 250 N D. 400 N E. 500 N

A. 100 N B. 200 N C. 250 N D. 400 N E. 500 N 1. Sebuah lempeng besi tipis, tebalnya diukur dengan menggunakan mikrometer skrup. Skala bacaan hasil pengukurannya ditunjukkan pada gambar berikut. Hasilnya adalah... A. 3,11 mm B. 3,15 mm C. 3,61 mm

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanoteknologi merupakan ilmu dan rekayasa dalam penciptaan material, struktur fungsional, maupun piranti dalam skala nanometer (Abdullah & Khairurrijal, 2009). Material

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan dunia industri saat ini dan masa yang akan datang menekankan pada peningkatan sistem otomatisasi, keamanan, kenyamanan akan sangat bergantung pada suatu

Lebih terperinci

PETUNJUK PENGGUNAAN PROGRAM RIETICA UNTUK ANALISIS DATA DIFRAKSI DENGAN METODE RIETVELD

PETUNJUK PENGGUNAAN PROGRAM RIETICA UNTUK ANALISIS DATA DIFRAKSI DENGAN METODE RIETVELD PETUNJUK PENGGUNAAN PROGRAM RIETICA UNTUK ANALISIS DATA DIFRAKSI DENGAN METODE RIETVELD I. PENDAHULUAN Analisis Rietveld adalah sebuah metode pencocokan tak-linier kurva pola difraksi terhitung (model)

Lebih terperinci

Fisika EBTANAS Tahun 1996

Fisika EBTANAS Tahun 1996 Fisika EBTANAS Tahun 1996 EBTANAS-96-01 Di bawah ini yang merupakan kelompok besaran turunan A. momentum, waktu, kuat arus B. kecepatan, usaha, massa C. energi, usaha, waktu putar D. waktu putar, panjang,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk menampilkan bentuk struktur mikro sampel, cuplikan yang terdapat pada sample holder dietsa dengan larutan HCL yang telah diencerkan dengan aquades. Pengenceran dilakukan dengan mencampurkan HCL pekat

Lebih terperinci

+ + MODUL PRAKTIKUM FISIKA MODERN DIFRAKSI SINAR X

+ + MODUL PRAKTIKUM FISIKA MODERN DIFRAKSI SINAR X A. TUJUAN PERCOBAAN 1. Mempelajari karakteristik radiasi sinar-x 2. Mempelajari pengaruh tegangan terhadap intensitas sinar x terdifraksi 3. Mempelajari sifat difraksi sinar-x pada kristal 4. Menentukan

Lebih terperinci

Gabriella Permata W, Budhy Kurniawan Departemen Fisika, FMIPA-UI Kampus Baru UI, Depok ABSTRAK ANALISIS SISTEM DAN UKURAN KRISTAL PADA MATERIAL

Gabriella Permata W, Budhy Kurniawan Departemen Fisika, FMIPA-UI Kampus Baru UI, Depok ABSTRAK ANALISIS SISTEM DAN UKURAN KRISTAL PADA MATERIAL ANALISIS SISTEM DAN UKURAN KRISTAL PADA MATERIAL La 0.67 Ba 0.33 Mn 1-x Ti x O 3 DENGAN VARIASI X=0; 0.02; 0.04; 0.06 MELALUI PROSES MECHANICAL ALLOYING Gabriella Permata W, Budhy Kurniawan Departemen

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI PUSTAKA Magnet

BAB 2 STUDI PUSTAKA Magnet BAB 2 STUDI PUSTAKA 2.1. Magnet Magnet atau magnit adalah suatu obyek yang mempunyai suatu medan magnet. Magnet dapat dibuat dari bahan besi, baja, dan campuran logam serta telah banyak dimanfaatkan untuk

Lebih terperinci

Mata Pelajaran : FISIKA

Mata Pelajaran : FISIKA Mata Pelajaran : FISIKA Kelas/ Program : XII IPA Waktu : 90 menit Petunjuk Pilihlah jawaban yang dianggap paling benar pada lembar jawaban yang tersedia (LJK)! 1. Hasil pengukuran tebal meja menggunakan

Lebih terperinci

D. 6,25 x 10 5 J E. 4,00 x 10 6 J

D. 6,25 x 10 5 J E. 4,00 x 10 6 J 1. Besarnya usaha untuk menggerakkan mobil (massa mobil dan isinya adalah 1000 kg) dari keadaan diam hingga mencapai kecepatan 72 km/jam adalah... (gesekan diabaikan) A. 1,25 x 10 4 J B. 2,50 x 10 4 J

Lebih terperinci

BAB FISIKA ATOM I. SOAL PILIHAN GANDA

BAB FISIKA ATOM I. SOAL PILIHAN GANDA FISIK TOM I. SOL PILIHN GND 0. Pernyataan berikut yang termasuk teori atom menurut Dalton adala... agian terkecil suatu atom adala elektron. lektron dari suatu unsur sama dengan elektron dari unsure lain.

Lebih terperinci

Senyawa Koordinasi. Ion kompleks memiliki ciri khas yaitu bilangan koordinasi, geometri, dan donor atom:

Senyawa Koordinasi. Ion kompleks memiliki ciri khas yaitu bilangan koordinasi, geometri, dan donor atom: Senyawa Koordinasi Terdiri dari atom pusat (kation logam transisi), ligan(molekul yang terikat pada ion kompleks) dan di netralkan dengan bilangan koordinasi. Dari gambar [Co(NH 3 )6]CI 3, 6 molekul NH3

Lebih terperinci

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN ADITIF Ca DARI BATU KAPUR ALAM DENGAN METODE PENCAMPURAN LARUTAN

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN ADITIF Ca DARI BATU KAPUR ALAM DENGAN METODE PENCAMPURAN LARUTAN LAPORAN TUGAS AKHIR SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN ADITIF Ca DARI BATU KAPUR ALAM DENGAN METODE PENCAMPURAN LARUTAN Oleh: Lisma Dian K.S (1108 100 054) Pembimbing: Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D. 1

Lebih terperinci

MATERI II TINGKAT TENAGA DAN PITA TENAGA

MATERI II TINGKAT TENAGA DAN PITA TENAGA MATERI II TINGKAT TENAGA DAN PITA TENAGA A. Tujuan 1. Tujuan Umum Mahasiswa memahami konsep tingkat tenaga dan pita tenaga untuk menerangkan perbedaan daya hantar listrik.. Tujuan Khusus a. Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

KUMPULAN SOAL FISIKA KELAS XII

KUMPULAN SOAL FISIKA KELAS XII KUMPULAN SOAL FISIKA KELAS XII Nada-Nada Pipa Organa dan Dawai Soal No. 1 Sebuah pipa organa yang terbuka kedua ujungnya memiliki nada dasar dengan frekuensi sebesar 300 Hz. Tentukan besar frekuensi dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nano material memiliki sifat mekanik, optik, listrik, termal, dan magnetik yang unik. Sifat sifat unik tersebut tidak ditemukan pada material yang berukuran bulk

Lebih terperinci

D. 80,28 cm² E. 80,80cm²

D. 80,28 cm² E. 80,80cm² 1. Seorang siswa melakukan percobaan di laboratorium, melakukan pengukuran pelat tipis dengan menggunakan jangka sorong. Dari hasil pengukuran diperoleh panjang 2,23 cm dan lebar 36 cm, maka luas pelat

Lebih terperinci

STRUKTUR ATOM. Perkembangan Teori Atom

STRUKTUR ATOM. Perkembangan Teori Atom STRUKTUR ATOM Perkembangan Teori Atom 400 SM filsuf Yunani Demokritus materi terdiri dari beragam jenis partikel kecil 400 SM dan memiliki sifat dari materi yang ditentukan sifat partikel tersebut Dalton

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN BaTiO 3 merupakan senyawa oksida keramik yang dapat disintesis dari senyawaan titanium (IV) dan barium (II). Proses sintesis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, tekanan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh H.K Onnes pada tahun 1911 dengan mendinginkan merkuri (Hg) menggunakan helium cair pada temperatur 4,2 K (Darminto dkk, 1999).

I. PENDAHULUAN. oleh H.K Onnes pada tahun 1911 dengan mendinginkan merkuri (Hg) menggunakan helium cair pada temperatur 4,2 K (Darminto dkk, 1999). 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Superkonduktor merupakan material yang dapat mengalirkan arus listrik tanpa adanya hambatan atau resistansi (ρ = 0), sehingga dapat menghantarkan arus listrik tanpa kehilangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Magnet permanen adalah salah satu jenis material maju dengan aplikasi yang sangat luas dan strategis yang perlu dikembangkan di Indonesia. Efisiensi energi yang tinggi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Gas elektron bebas yang mencakup: Elektron

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Gas elektron bebas yang mencakup: Elektron PENDAHUUAN Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Gas elektron bebas yang mencakup: Elektron bebas dalam satu dimensi dan elektron bebas dalam tiga dimensi. Oleh karena itu, sebelum mempelajari modul

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian III. 1. Tahap Penelitian Penelitian ini terbagai dalam empat tahapan kerja, yaitu: a. Tahapan kerja pertama adalah persiapan bahan dasar pembuatan LSFO dan LSCFO yang terdiri

Lebih terperinci

U = Energi potensial. R = Jarak antara atom

U = Energi potensial. R = Jarak antara atom IKATAN KRISTAL Zat padat merupakan zat yang memiliki struktur yang stabil Kestabilan sruktur zat padat disebabkan oleh adanya interaksi antara atom membentuk suatu ikatan kristal Sebagai contoh: Kristal

Lebih terperinci

PREDIKSI UN FISIKA V (m.s -1 ) 20

PREDIKSI UN FISIKA V (m.s -1 ) 20 PREDIKSI UN FISIKA 2013 1. Perhatikan gambar berikut Hasil pengukuran yang bernar adalah. a. 1,23 cm b. 1,23 mm c. 1,52mm d. 1,73 cm e. 1,73 mm* 2. Panjang dan lebar lempeng logam diukur dengan jangka

Lebih terperinci

02 03 : CACAT KRISTAL LOGAM

02 03 : CACAT KRISTAL LOGAM 02 03 : CACAT KRISTAL LOGAM 2.1. Cacat Kristal Diperlukan berjuta-juta atom untuk membentuk satu kristal. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila terdapat cacat atau ketidakteraturan dalam tubuh kristal.

Lebih terperinci

B. HUKUM-HUKUM YANG BERLAKU UNTUK GAS IDEAL

B. HUKUM-HUKUM YANG BERLAKU UNTUK GAS IDEAL BAB V WUJUD ZAT A. Standar Kompetensi: Memahami tentang ilmu kimia dan dasar-dasarnya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan se-hari-hari terutama yang berhubungan langsung dengan kehidupan. B. Kompetensi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR-

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BATAN Bandung meliputi beberapa tahap yaitu tahap preparasi serbuk, tahap sintesis dan tahap analisis. Meakanisme

Lebih terperinci

SOAL DAN PEMBAHASAN FINAL SESI I LIGA FISIKA PIF XIX TINGKAT SMA/MA SEDERAJAT PAKET 1

SOAL DAN PEMBAHASAN FINAL SESI I LIGA FISIKA PIF XIX TINGKAT SMA/MA SEDERAJAT PAKET 1 SOAL DAN PEMBAHASAN FINAL SESI I LIGA FISIKA PIF XIX TINGKAT SMA/MA SEDERAJAT PAKET 1 1. Terhadap koordinat x horizontal dan y vertikal, sebuah benda yang bergerak mengikuti gerak peluru mempunyai komponen-komponen

Lebih terperinci

C20 FISIKA SMA/MA IPA. 1. Hasil pengukuran diameter suatu benda menggunakan jangka sorong ditunjukkan oleh gambar berikut.

C20 FISIKA SMA/MA IPA. 1. Hasil pengukuran diameter suatu benda menggunakan jangka sorong ditunjukkan oleh gambar berikut. 1 1. Hasil pengukuran diameter suatu benda menggunakan jangka sorong ditunjukkan oleh gambar berikut. Rentang hasil pengkuran diameter di atas yang memungkinkan adalah. A. 5,3 cm sampai dengan 5,35 cm

Lebih terperinci

SIMAK UI Fisika

SIMAK UI Fisika SIMAK UI 2016 - Fisika Soal Halaman 1 01. Fluida masuk melalui pipa berdiameter 20 mm yang memiliki cabang dua pipa berdiameter 10 mm dan 15 mm. Pipa 15 mm memiliki cabang lagi dua pipa berdiameter 8 mm.

Lebih terperinci

Xpedia Fisika. Soal Fismod 2

Xpedia Fisika. Soal Fismod 2 Xpedia Fisika Soal Fismod Doc. Name: XPPHY050 Version: 013-04 halaman 1 01. Peluruhan mana yang menyebabkan jumlah neutron di inti berkurang sebanyak satu? 0. Peluruhan mana yang menyebabkan identitas

Lebih terperinci

MOTTO DAN PERSEMBAHAN...

MOTTO DAN PERSEMBAHAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv PRAKATA... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xii INTISARI... xiii ABSTRACT...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Magnet Magnet merupakan benda yang terbuat dari bahan tertentu dengan sifat mampu menarik bahan ferromagnetik dan ferrimagnetik. Nama magnet diambil dari nama daerah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan yaitu eksperimen. Pembuatan serbuk CSZ menggunakan cara sol gel. Pembuatan pelet dilakukan dengan cara kompaksi dan penyinteran dari serbuk calcia-stabilized

Lebih terperinci

WUJUD ZAT. SP-Pertemuan 1

WUJUD ZAT. SP-Pertemuan 1 WUJUD ZAT SP-Pertemuan 1 WUJUD ZAT (PADATAN) SP-Pertemuan 1 Padatan: Suatu susunan satuan (atom atau molekul) yang tersusun sangat teratur dan diikat oleh gaya tertentu Tergantung sifat gaya: Ikatan kovalen:

Lebih terperinci

SOAL SELEKSI PENERIMAAN MAHASISWA BARU (BESERA PEMBAHASANNYA) TAHUN 1984

SOAL SELEKSI PENERIMAAN MAHASISWA BARU (BESERA PEMBAHASANNYA) TAHUN 1984 SOAL SELEKSI PENERIMAAN MAHASISWA BARU (BESERA PEMBAHASANNYA) TAHUN 1984 BAGIAN KEARSIPAN SMA DWIJA PRAJA PEKALONGAN JALAN SRIWIJAYA NO. 7 TELP (0285) 426185) 1. Besarnya usaha untuk menggerakkan mobil

Lebih terperinci

Dioda Semikonduktor dan Rangkaiannya

Dioda Semikonduktor dan Rangkaiannya - 2 Dioda Semikonduktor dan Rangkaiannya Missa Lamsani Hal 1 SAP Semikonduktor tipe P dan tipe N, pembawa mayoritas dan pembawa minoritas pada kedua jenis bahan tersebut. Sambungan P-N, daerah deplesi

Lebih terperinci

Bilangan Kuantum Utama (n)

Bilangan Kuantum Utama (n) Bilangan Kuantum Utama (n) Menyatakan nomer kulit tempat elektron berada atau bilangan ini juga menyatakan ukuran orbital/ jarak/ jari-jari atom. Dinyatakan dengan bilangan bulat positif. Mempunyai dua

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Aplikasi Superkoduktor yang mencakup:

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Aplikasi Superkoduktor yang mencakup: PENDAHULUAN Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Aplikasi Superkoduktor yang mencakup: Teknologi Superkomputer dan Teknologi Transmisi Daya Listrik serta Teknologi Kereta Api Berkecepatan Tinggi. Oleh

Lebih terperinci

Struktur Kristal Logam dan Keramik

Struktur Kristal Logam dan Keramik Struktur Kristal Logam dan Keramik 1. Selayang Pandang Muhammad Fauzi Mustamin [*] Jurusan Fisika, Universitas Hasanuddin Maret 2015 Material padat dapat diklasifikasi berdasarkan karakteristik atom atau

Lebih terperinci

FISIKA IPA SMA/MA 1 D Suatu pipa diukur diameter dalamnya menggunakan jangka sorong diperlihatkan pada gambar di bawah.

FISIKA IPA SMA/MA 1 D Suatu pipa diukur diameter dalamnya menggunakan jangka sorong diperlihatkan pada gambar di bawah. 1 D49 1. Suatu pipa diukur diameter dalamnya menggunakan jangka sorong diperlihatkan pada gambar di bawah. Hasil pengukuran adalah. A. 4,18 cm B. 4,13 cm C. 3,88 cm D. 3,81 cm E. 3,78 cm 2. Ayu melakukan

Lebih terperinci

Fungsi distribusi spektrum P (λ,t) dapat dihitung dari termodinamika klasik secara langsung, dan hasilnya dapat dibandingkan dengan Gambar 1.

Fungsi distribusi spektrum P (λ,t) dapat dihitung dari termodinamika klasik secara langsung, dan hasilnya dapat dibandingkan dengan Gambar 1. Fungsi distribusi spektrum P (λ,t) dapat dihitung dari termodinamika klasik secara langsung, dan hasilnya dapat dibandingkan dengan Gambar 1. Hasil perhitungan klasik ini dikenal sebagai Hukum Rayleigh-

Lebih terperinci

Antiremed Kelas 12 Fisika

Antiremed Kelas 12 Fisika Antiremed Kelas 12 Fisika Persiapan UAS 1 Doc. Name: AR12FIS01UAS Version: 2016-09 halaman 1 01. Sebuah bola lampu yang berdaya 120 watt meradiasikan gelombang elektromagnetik ke segala arah dengan sama

Lebih terperinci

PERTEMUAN KEEMPAT FISIKA MODERN TEORI KUANTUM TENTANG RADIASI ELEKTROMAGNET TEKNIK PERTAMBANGAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

PERTEMUAN KEEMPAT FISIKA MODERN TEORI KUANTUM TENTANG RADIASI ELEKTROMAGNET TEKNIK PERTAMBANGAN UNIVERSITAS MULAWARMAN PERTEMUAN KEEMPAT FISIKA MODERN TEORI KUANTUM TENTANG RADIASI ELEKTROMAGNET TEKNIK PERTAMBANGAN UNIVERSITAS MULAWARMAN TEORI FOTON Gelombang Elektromagnetik termasuk cahaya memiliki dwi-sifat (Dualisme)

Lebih terperinci

1. Diameter suatu benda diukur dengan jangka sorong seperti gambar berikut ini.

1. Diameter suatu benda diukur dengan jangka sorong seperti gambar berikut ini. 1. Diameter suatu benda diukur dengan jangka sorong seperti gambar berikut ini. 1 Diameter maksimum dari pengukuran benda di atas adalah. A. 2,199 cm B. 2,275 cm C. 2,285 cm D. 2,320 cm E. 2,375 cm 2.

Lebih terperinci

Pengaruh temperatur sintering terhadap struktur dan sifat magnetik La 3+ - barium nanoferit sebagai penyerap gelombang mikro

Pengaruh temperatur sintering terhadap struktur dan sifat magnetik La 3+ - barium nanoferit sebagai penyerap gelombang mikro ISSN: 2089 0133 Indonesian Journal of Applied Physics (2017) Vol.7 No.2 halaman 91 Oktober 2017 Pengaruh temperatur sintering terhadap struktur dan sifat magnetik La 3+ - barium nanoferit sebagai penyerap

Lebih terperinci

MODUL IV JUDUL : KRISTALOGRAFI I BAB I PENDAHULUAN

MODUL IV JUDUL : KRISTALOGRAFI I BAB I PENDAHULUAN MODUL IV JUDUL : KRISTALOGRAFI I BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Modul IV ini adalah modul yang akan memberikan gambaran umum tentang kristalografi, pengetahuan tentang kristalografi sangat penting

Lebih terperinci

BAGIAN 1 PITA ENERGI DALAM ZAT PADAT

BAGIAN 1 PITA ENERGI DALAM ZAT PADAT 1.1. Partikel bermuatan BAGIAN 1 PITA ENERGI DALAM ZAT PADAT - Muatan elektron : -1,6 x 10-19 C - Massa elektron : 9,11 x 10-31 kg - Jumlah elektron dalam setiap Coulomb sekitar 6 x 10 18 buah (resiprokal

Lebih terperinci

2. Sebuah partikel bergerak lurus ke timur sejauh 3 cm kemudian belok ke utara dengan sudut 37 o dari arah timur sejauh 5 cm. Jika sin 37 o = 3 5

2. Sebuah partikel bergerak lurus ke timur sejauh 3 cm kemudian belok ke utara dengan sudut 37 o dari arah timur sejauh 5 cm. Jika sin 37 o = 3 5 1 1. Hasil pengukuran diameter suatu benda menggunakan jangka sorong ditunjukkan oleh gambar berikut. Diameter minimum benda sebesar. A. 9,775 cm B. 9,778 cm C. 9,782 cm D. 9,785 cm E. 9,788 cm 2. Sebuah

Lebih terperinci

BAB I TEORI RANGKAIAN LISTRIK DASAR

BAB I TEORI RANGKAIAN LISTRIK DASAR BAB I TEORI RANGKAIAN LISTRIK DASAR I.1. MUATAN ELEKTRON Suatu materi tersusun dari berbagai jenis molekul. Suatu molekul tersusun dari atom-atom. Atom tersusun dari elektron (bermuatan negatif), proton

Lebih terperinci

01 : STRUKTUR MIKRO. perilaku gugus-gugus atom tersebut (mungkin mempunyai struktur kristalin yang teratur);

01 : STRUKTUR MIKRO. perilaku gugus-gugus atom tersebut (mungkin mempunyai struktur kristalin yang teratur); 01 : STRUKTUR MIKRO Data mengenai berbagai sifat logam yang mesti dipertimbangkan selama proses akan ditampilkan dalam berbagai sifat mekanik, fisik, dan kimiawi bahan pada kondisi tertentu. Untuk memanfaatkan

Lebih terperinci

1. Hasil pengukuran yang ditunjukkan oleh alat ukur dibawah ini adalah.

1. Hasil pengukuran yang ditunjukkan oleh alat ukur dibawah ini adalah. 1. Hasil pengukuran yang ditunjukkan oleh alat ukur dibawah ini adalah. 1 A. 5, 22 mm B. 5, 72 mm C. 6, 22 mm D. 6, 70 mm E. 6,72 mm 5 25 20 2. Dua buah vektor masing-masing 5 N dan 12 N. Resultan kedua

Lebih terperinci