HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. lingkungan atau perlakuan. Berdasarkan hasil sidik ragam 5% (lampiran 3A)

I. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Vegetatif. Hasil sidik ragam variabel pertumbuhan vegetatif tanaman yang meliputi tinggi

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE

STUDI KONSUMSI AIR, RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI DUA VARIETAS PADI PADA BEBERAPA SISTEM PENGAIRAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Juli 2017 memiliki suhu harian rata-rata pada pagi hari sekitar 27,3 0 C dan rata rata

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

III. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

III. BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit saninten

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN FISIOLOGI KOMPETISI ANTARA TANAMAN PADI SAWAH DENGAN GULMA Echinochloa crus-galli

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1 Hasil analisis tanah sawah Babakan Dramaga (SBD), University Farm Institut Pertanian Bogor

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Sifat Kimia dan Fisik Latosol sebelum Percobaan serta Komposisi Kimia Pupuk Organik

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tinggi Tanaman (cm) ciherang pada minggu ke-10 menunjukkan bahwa umur kelapa sawit memberikan

UJI ADAPTASI BEBERAPA PADI HIBRIDA DI LAHAN SAWAH IRIGASI BARITO TIMUR, KALIMANTAN TENGAH

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU PADA LAHAN RAWA PASANG SURUT DI PROVINSI BENGKULU ABSTRAK

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dari tabel sidik ragam parameter tinggi tanaman menunjukkan beda. nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5 % (lampiran 8) Hasil rerata tinggi tanaman

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses yang dialami oleh setiap

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Hari Hujan Gerimis Gerimis-deras Total September. Rata-rata Suhu ( o C) Oktober '13 23,79 13,25 18, November

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pertumbuhan tanaman padi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan makro antaralain

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa

BAB IV METODE PENELITIAN. (RAK) faktor tunggal dengan perlakuan galur mutan padi gogo. Galur mutan yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar

: Kasar pada sebelah bawah daun

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto,

HASIL DAN PEMBAHASAN. kompos limbah tembakau memberikan pengaruh nyata terhadap berat buah per

Transkripsi:

17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Sebelum penanaman dilakukan pengambilan contoh tanah untuk dianalisis. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah memiliki tekstur 20% pasir : 24% debu: 56% liat. Menurut Hardjowigeno (2007) jenis tanah tersebut termasuk ke dalam tanah berliat (halus). Tekstur tanah yang demikian sesuai untuk dijadikan lahan sawah (Djaenudin et al. 2003). Tanah memiliki ph (H 2 O) 4.7 (masam) dan kandungan bahan organik (C/N ratio) sedang (11%). Kandungan N-total rendah (0.15%), P 2 O 5 sangat tinggi (Bray 1; 37.6 ppm), K 2 O 17 mg/100 g (HCl) berstatus rendah; kapasitas tukar kation (KTK) termasuk rendah (15.54 me/100g) dengan kejenuhan basa (KB) yang tinggi (64%). Hasil analisis tanah lahan penelitian disajikan pada Lampiran 4. Penelitian ini dilakukan pada petakan di dalam rumah plastik berukuran 30 m x 12 m x 4.5 m. Kondisi iklim mikro di dalam rumah plastik yaitu suhu udara rata-rata pada pagi, siang, dan sore adalah 30 0 C, 39 0 C, dan 31 0 C. Peningkatan suhu diikuti oleh menurunnya kelembaban relatif. Selama penelitian rata-rata kelembaban relatif pada pagi, siang, dan sore hari adalah 57%, 46%, dan 58%. Rekapitulasi suhu dan kelembaban di dalam rumah plastik selama penelitian disajikan pada Lampiran 5. Menurut Yoshida (1981), suhu antara 30-31 0 C bukan merupakan suhu optimum tetapi juga bukan merupakan suhu maksimum untuk pertumbuhan padi. Suhu yang tinggi pada siang hari dikarenakan pada saat penelitian masuk musim kemarau. Suhu tinggi mempengaruhi laju pertumbuhan tanaman, proses pembungaan, penyerbukan dan produksi menurun. Sumber air untuk perlakuan pengairan berasal dari reservoar yang dibangun di samping rumah plastik. Air masuk dialirkan melalui pipa saluran berdiameter 2 inchi. Tiap-tiap pipa di masing - masing petakan terpasang flowmeter berdiameter ½ inchi untuk mengukur konsumsi air. Ketersediaan air mengalami defisit pada fase vegetatif maksimum (7-8 MST) karena curah hujan selama hampir satu musim tanam sangat sedikit. Data curah hujan dari Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor menunjukkan bahwa pada bulan Agustus - September curah hujan di lokasi penelitian kurang dari 200 mm. Bahkan pada bulan September (saat masuk fase pengisian gabah) curah hujan hanya 105.9 mm

18 (Lampiran 6). Rendahnya curah hujan ini menyebabkan pasokan air di bak penampungan semakin sedikit. Terdapat serangan hama pada penelitian ini. Pada awal tanam, terjadi serangan hama keong di beberapa petakan. Keong ini merusak tanaman pada awal pertumbuhan sehingga dilakukan penyulaman. Pada saat menjelang panen terjadi serangan hama walang sangit. Hama walang sangit menyerang sebagian besar perlakuan sistem gogo. Kerusakan yang ditimbulkan dari serangan hama ini adalah bulir gabah menjadi cokelat dan banyak gabah yang hampa. Tidak ada serangan penyakit selama satu musim tanam. Keragaan perlakuan sistem pengairan ditunjukkan pada Gambar 1. a b c d Gambar 1. Keragaan masing - masing perlakuan sistem pengairan : a. Konvensional; b. Jenuh air; c. Intermittent; d. Gogo

19 Konsumsi Air Perhitungan konsumsi air untuk satu musim tanam padi dilakukan sejak awal penugalan (tanam benih langsung) untuk sistem gogo dan sejak transplanting untuk sistem konvensional, intermittent, dan jenuh air. Pencatatan volume air dilakukan satu minggu sekali sampai menjelang panen. Berdasarkan Gambar 2 (a), banyaknya air yang dibutuhkan untuk masing - masing sistem pengairan berbeda. Di akhir pengamatan atau menjelang panen, sistem pengairan yang paling banyak membutuhkan air adalah sistem konvensional. Kebutuhan air tersebut berbeda nyata dengan kebutuhan air pada sistem lainnya. Pemberian air yang konstan pada sistem gogo, memberikan jumlah kebutuhan air paling sedikit bila dibandingkan sistem lainnya. Kebutuhan air untuk sistem intermittent jauh lebih hemat dari sistem konvensional dan jenuh air. Sistem Intermittent hanya mengkonsumsi sekitar 37.9% dan sistem jenuh air sekitar 74.3% dari total konsumsi pengairan konvensional. Selama satu musim tanam, pengairan konvensional mengkonsumsi air sebanyak 426 768 liter, pengairan jenuh air sebanyak 317 106 liter, pengairan intermittent 161 882 liter, dan metode gogo mengkonsumsi air sebanyak 3 883 liter. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pengairan tanaman padi dengan sistem sawah pada kondisi air terbatas dapat digunakan sistem pengairan intermittent. a b Gambar 2. Konsumsi air kumulatif sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b) selama satu musim tanam Konsumsi air untuk dua varietas padi (IR-64 dan Jatiluhur) secara statistik tidak berbeda secara nyata (disajikan pada Gambar 2 (b)). Namun di akhir pengamatan, varietas Jatiluhur yang merupakan varietas padi untuk lahan kering (upland rice) mengkonsumsi air sebanyak 232 906 liter, varietas IR-64 (lowland

20 rice) mengkonsumsi 221 913 liter air. Meskipun secara statistik tidak berbeda, namun terdapat selisih konsumsi air antara dua varietas. Varietas Jatiluhur mengkonsumsi air hampir 11 000 liter lebih banyak dibandingkan IR-64. Fakta tersebut menunjukkan bahwa, varietas padi lahan kering, meskipun memiliki kemampuan berproduksi baik pada kondisi air terbatas, ternyata jika ditanam pada lahan basah/sawah akan mengkonsumsi air lebih banyak dibandingkan varietas padi lahan basah. Hal ini sesuai dengan penelitian Supijatno et al. (2012), bahwa Jatiluhur mengkonsumsi air lebih banyak daripada varietas lain ketika dibudidayakan dengan cara penggenangan. Besarnya konsumsi air dari setiap perlakuan diduga karena tingkat perkolasi dan perembesan yang sangat tinggi. Air yang masuk ke petakan cepat meresap ke dalam tanah sehingga air tidak bertahan lama dapat menggenangi petakan. Selain itu, lahan yang digunakan merupakan lahan sawah bukaan baru artinya lahan sawah yang dikonversi dari lahan kering dan belum ada lapisan tapak bajak (hard pan) yang terbentuk (Suriadikarta & Hartatik 2004). Lapisan tapak bajak ini berfungsi untuk menahan air pada tanah - tanah yang disawahkan sehingga air dapat terus menggenangi tanah selama produksi padi. Menurut Ritung dan Suharta (2007), lapisan tapak bajak terbentuk di bawah lapisan olah yang terjadi melalui reaksi kimia tanah dan diendapkan pada horizon di bawahnya. Pembentukan lapisan tapak bajak ini membutuhkan waktu yang lama tergantung dari sifat fisik dan kimia tanah. Pengolahan tanah dilakukan sebanyak tiga kali dengan tujuan untuk melumpurkan tanah. Pelumpuran tanah membentuk tanah menjadi butiran - butiran halus yang dapat menahan air lebih lama sehingga mampu menjaga kondisi tanah tetap jenuh air. Akan tetapi pengolahan tanah dan pelumpuran memerlukan air yang cukup banyak. Dari hasil penelitian ini, untuk tiga kali pengolahan tanah sampai menjadi lumpur rata - rata mengkonsumsi air sebesar 9 983 liter air (9.9 m 3 ) per luasan petak atau sekitar 11 000 m 3 /ha. Menurut Setiobudi dan Fagi (2009), untuk mengolah tanah sampai melumpur, petani yang hemat air membutuhkan 1 450 m 3 /ha dan petani yang boros air membutuhkan air sampai 2 730 m 3 /ha. Penerapan sistem gogo yang tidak memerlukan pelumpuran maupun penggenangan mampu menghemat air lebih besar.

21 Berdasarkan hasil penelitian ini, sistem pengairan intermittent dapat dijadikan alternatif dalam budidaya padi di lahan basah karena air yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan pengairan konvensional. Penghematan ini memberikan peluang untuk memperbaiki distribusi air irigasi ke sawah - sawah petani yang menggunakan air irigasi. Dengan penghematan air tersebut, sawah para petani pengguna air irigasi dapat terairi secara merata. Selain itu, pengurangan penggunaan air pada budidaya padi sawah akan memberikan peluang penggunaan air bagi sektor lain. Tinggi Tanaman Faktor tunggal perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing menunjukkan pengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman, namun interaksinya tidak berpengaruh nyata (Lampiran 7). Gambar 3 (a & b) menunjukkan pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap pertambahan tinggi tanaman padi. Pada Gambar 3a, sistem konvensional, jenuh air, dan intermittent tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman. Tinggi tanaman di akhir pengamatan pada sistem konvensional, jenuh air, dan intermittent masing masing adalah 127.0 cm, 114.5 cm, dan 119.8 cm. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Darmadi (2011) yang menunjukkan bahwa sistem pengairan konvensional dan intermittent memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada tinggi padi varietas unggul baru (VUB). Perbedaan tinggi yang nyata ditunjukkan pada sistem gogo yaitu 106.8 cm, tinggi ini lebih pendek dari tiga sistem lainnya. Menurut Manurung (2002), secara umum kondisi anaerob mampu meningkatkan rata - rata tinggi tanaman untuk semua varietas padi yang diuji (Jatiluhur, Mentaya, Ciherang, IR-64, dan Lariang). Tinggi tanaman secara substansi berkurang oleh kekeringan daripada oleh pengairan yang teratur (Farooq et al. 2010). Gambar 3b menunjukkan pertambahan tinggi tanaman pada varietas IR-64 dan Jatiluhur. Tinggi tanaman berbeda nyata antara kedua varietas tersebut. Jatiluhur memiliki rata-rata tinggi mencapai 136.2 cm sedangkan IR-64 memiliki rata-rata tinggi hanya 97.9 cm. Hasil yang sama juga pernah dilaporkan oleh Manurung (2002) yang menyebutkan bahwa varietas Jatiluhur memilki tinggi

22 tanaman lebih tinggi dibandingkan varietas IR-64 baik pada kondisi aerob maupun anaerob. Varietas IR-64 menunjukkan tinggi maksimum pada saat diairi secara teratur sedangkan tinggi minimum pada kondisi kekeringan (Farooq et al. 2010). a a b Gambar 3. Pertumbuhan tinggi tanaman pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b) Jumlah Anakan dan Jumlah Anakan Produktif Pengamatan jumlah anakan mulai dilakukan pada saat tanaman berumur dua minggu setelah tanam sampai berumur 10 MST. Pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali. Sidik ragam peubah jumlah anakan menunjukkan perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing berbeda nyata, dan interaksinya hanya berbeda nyata pada 5 MST (Lampiran 7). Sedangkan pada peubah jumlah anakan produktif, perlakuan sistem pengairan, varietas dan interaksinya menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 8). Banyaknya jumlah anakan yang dihasilkan tanaman padi pada setiap sistem pengairan dan varietas padi ditunjukkan pada Gambar 4. Perbedaan jumlah anakan pada setiap sistem pengairan ditunjukkan pada Gambar 4a. Sistem gogo menghasilkan jumlah anakan paling banyak dengan 12.6 anakan per rumpun pada saat tanaman berumur delapan minggu sementara tiga sistem lainnya tidak menunjukkan perbedaan jumlah anakan yang nyata sampai umur 10 minggu. Banyaknya jumlah anakan pada sistem gogo terkait dengan jumlah benih yang ditanam pada awal penanaman.

23 a b Gambar 4. Pertambahan jumlah anakan tanaman padi pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b) Meskipun terjadi penurunan jumlah anakan pada 9 dan 10 MST pada sistem gogo, tetapi jumlah anakan pada akhir pengamatan (10 MST) tetap paling banyak diantara sistem yang lain. Jumlah anakan pada 10 MST untuk sistem konvensional, jenuh air dan intermittent masing - masing adalah 7.4, 7.9, dan 8.3 anakan per rumpun. Namun demikian terlihat bahwa masih terjadi pertambahan jumlah anakan untuk sistem lahan basah setelah 10 MST. Darmadi (2011) melaporkan bahwa pengairan konvensional dan pengairan intermittent menghasilkan jumlah anakan total yang tidak berbeda secara statistik. Secara umum, tanaman padi yang ditanam pada lahan basah menghasilkan pertumbuhan jumlah anakan yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang ditanam pada lahan kering. Gambar 4b menunjukkan jumlah anakan yang dihasilkan oleh dua varietas padi. Varietas padi sawah (IR-64) memberikan jumlah anakan lebih banyak dibandingkan varietas Jatiluhur (padi gogo). Rata-rata jumlah anakan yang dihasilkan pada akhir pengamatan (10 MST) yaitu 10.3 anakan per rumpun untuk IR-64 dan 7.1 anakan per rumpun untuk Jatiluhur. Interaksi pada peubah jumlah anakan per rumpun terjadi pada 5 MST (Tabel 1). Jumlah anakan terbanyak dihasilkan oleh varietas IR-64 pada sistem gogo dengan 13.3 anakan per rumpun dan terendah dihasilkan oleh varietas Jatiluhur pada sistem konvensional dengan 4.7. Informasi yang diperoleh dari hasil ini adalah baik IR-64 maupun Jatiluhur, pertumbuhan anakan terbanyak diperoleh dengan menggunakan sistem gogo. Hal ini selaras dengan hasil

24 penelitian Santosa (2002) yang menyebutkan bahwa genotipe Jatiluhur pada perlakuan digenangi menghasilkan anakan yang lebih rendah 10% - 23% dibandingkan dengan perlakuan kering. Tabel 1. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap jumlah anakan dan jumlah anakan produktif Sistem Pengairan Jumlah anakan per rumpun 5 MST Jumlah anakan produktif per rumpun IR-64 Jatiluhur IR-64 Jatiluhur Konvensional 7.3 bc 4.7 d 8.4 ab 5.1 b Jenuh Air 5.6 cd 6.5 cd 7.1 ab 6.8 ab Intermittent 6.5 cd 4.9 cd 9.3 a 7.2 ab Gogo 13.3 a 9.7 b 9.9 a 8.0 ab Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada masing - masing peubah pengamatan menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Interaksi pada peubah jumlah anakan produktif menunjukkan bahwa jumlah anakan produktif terbanyak diperoleh dari varietas IR-64 pada sistem gogo dengan rata-rata 9.9 anakan/rumpun (Tabel 1). Hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain kecuali pada varietas Jatiluhur dengan sistem pengairan konvensional yaitu 5.1 anakan/rumpun. Hasil ini memberikan informasi bahwa varietas padi lahan basah maupun lahan kering mempunyai daya kemampuan yang sama untuk menghasilkan anakan produktif apabila ditanam pada kondisi kering maupun tergenang. Sedangkan hasil penelitian Manurung (2002) juga menunjukkan bahwa jumlah anakan produktif varietas IR-64 dan Jatiluhur tidak berbeda nyata baik ditanam pada kondisi aerob maupun anaerob. Jumlah Daun Perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah daun, namun interaksinya tidak berbeda nyata (Lampiran 7). Pertumbuhan jumlah daun tanaman padi pada empat sistem pengairan dan dua varietas ditunjukkan pada Gambar 5. Jumlah daun maksimum pada semua perlakuan terjadi pada minggu ke delapan setelah tanam. Sistem gogo memberikan jumlah daun terbanyak dengan 57.6 helai daun per rumpun. Varietas IR-64 memiliki jumlah daun lebih banyak (44.4 helai) dari varietas Jatiluhur (32.2 helai). Banyaknya jumlah daun ini berkaitan dengan banyaknya jumlah anakan

25 yang dihasilkan setiap varietas. Pengurangan jumlah daun pada sistem gogo mengindikasikan bahwa tanaman beradaptasi di lingkungan yang terbatas pengairannya dengan mengurangi kehilangan air yang lebih besar akibat transpirasi. Keragaan pertumbuhan tanaman padi pada penelitian ini disajikan pada Gambar 6. Jumlah Daun 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0 a Konvensio nal Jenuh Air Intermitte nt 2 4 6 8 10 Gogo Umur Tanaman (MST) Jumlah Daun 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 b IR64 Jatiluhur 2 4 6 8 10 Umur Tanaman (MST) Gambar 5. Pertumbuhan jumlah daun tanaman padi pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b) Berdasarkan respon pertumbuhan yang ditunjukkan pada Gambar 3, 4, dan 5 memperlihatkan bahwa air mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan tanaman padi. Secara umum, pertumbuhan tanaman pada peubah jumlah anakan dan jumlah daun pada kondisi kering (sistem gogo) lebih baik dibandingkan pada lahan basah. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan fase perkecambahan dimana benih mengalami stres anaerob pada kondisi basah (Santosa 2002). Pada tahap pertumbuhan vegetatif, air digunakan oleh tanaman untuk pembelahan dan pembesaran sel yang terwujud dalam pertambahan tinggi tanaman, perbanyakan daun dan pertumbuhan akar (Kramer 1969). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman padi yang ditanam pada lahan basah menunjukkan respon yang lebih baik pada karakter tinggi tanaman. Tinggi tanaman varietas padi pada sistem konvensional, jenuh air, dan intermittent lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditanam pada sistem gogo. Respon yang berbeda ditunjukkan pada peubah jumlah anakan dan jumlah daun. Padi yang ditanam pada kondisi air terbatas menghasilkan jumlah anakan dan jumlah daun paling banyak jika dibandingkan dengan padi yang ditanam pada lahan yang basah selama pengamatan. Akan tetapi kecenderungan yang ditunjukkan adalah terjadi penurunan jumlah anakan dan jumlah daun sejak 8

26 MST sampai akhir pengamatan. Pengairan yang terbatas tidak mampu mendukung tanaman padi mempertahankan pertumbuhannya sampai menjelang panen. a b c d Gambar 6. Keragaan pertumbuhan tanaman padi pada sistem pengairan berbeda : (a & b) fase vegetatif (5 MST) pada lahan basah (lowland) & lahan kering (upland); (c & d) fase generatif (11 MST) pada lahan basah (lowland) & lahan kering (upland) Penurunan respon pertumbuhan ini menyebabkan menurunnya aktivitas fotosintesis yang pada akhirnya akan menurunkan produksi tanaman. Kekurangan air akan mempengaruhi fotosintesis tanaman akibatnya dapat mengganggu produksi karbohidrat (Kramer 1969; Tisdale & Nelson 1975; Fitter & Hay 1991; Gerik et al. 1996). Tanaman yang hanya toleran genangan apabila ditanam pada kondisi tidak tergenang maka akan mengalami gangguan fisiologis (Manurung 2002).

27 Kerapatan Stomata, Kerapatan Trikoma dan Warna Daun (SPAD) Perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing menunjukkan pengaruh nyata terhadap peubah kerapatan stomata, namun interaksinya tidak berbeda nyata. Varietas berpengaruh nyata terhadap peubah kerapatan trikoma, namun perlakuan pengairan dan interaksi pengairan dengan varietas tidak berbeda nyata (Lampiran 8). Berdasarkan Tabel 2, kerapatan stomata karena pengaruh sistem pengairan berkisar antara 278 436 stomata/mm 2 dan kerapatan trikoma berkisar antara 74-96 trikoma/mm 2. Varietas IR-64 mempunyai kerapatan stomata dan trikoma tertinggi dengan 417.3 stomata dan 99.6 trikoma per mm 2. Sedangkan varietas Jatiluhur memiliki kerapatan 353.1 stomata/mm 2 dan 75.2 trikoma/mm 2. Distribusi stomata sangat berhubungan dengan kecepatan dan intensitas transpirasi pada daun. Haryanti (2010) menyatakan bahwa jumlah stomata/mm 2 dan banyak sedikitnya jumlah trikoma daun merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya transpirasi pada tanaman. Tabel 2. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap kerapatan stomata, kerapatan trikoma dan warna daun Perlakuan Kerapatan Kerapatan Warna Daun Stomata Trikoma (stomata/mm 2 ) (trikoma/mm 2 (SPAD) ) Sistem Pengairan Konvensional 402.5 a 91.7 38.7 Jenuh Air 424.5 a 87.8 39.9 Intermittent 436.2 a 96.0 39.0 Gogo 277.7 b 74.2 38.3 Varietas IR-64 417.3 a 99.6 a 40.5 a Jatiluhur 353.1 b 75.2 b 37.5 b Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk perlakuan sistem pengairan atau varietas menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Farooq et al. (2009) menjelaskan bahwa stomata memainkan peranan penting dalam proses fotosintesis dan transpirasi tanaman. Varietas yang berbeda memiliki stomata yang berbeda baik dalam segi ukuran, kerapatan, dan morfologinya. Besarnya konsumsi air tanaman dipengaruhi juga oleh besarnya transpirasi tanaman. Kehilangan air tanaman melalui transpirasi terjadi melalui

28 stomata di daun. Tanaman kehilangan banyak air ketika terjadi transpirasi berlebihan melalui stomata sehingga jaringan tanaman mengalami defisit air ketika air yang diberikan tidak cukup (Kramer 1969). Rendahnya kerapatan stomata pada sistem gogo merupakan cara tanaman mempertahankan hidupnya pada kondisi lingkungan yang kurang air melalui pengurangan kerapatan stomata untuk mengurangi transpirasi yang berlebihan. Dengan demikian mekanisme yang terjadi adalah tanaman mengoptimalkan peranan stomata untuk mencegah kehilangan air dari daun (Nguyen et al. 1997). Perlakuan sistem pengairan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peubah warna daun (SPAD), sedangkan varietas berbeda nyata dan tidak terjadi interaksi yang nyata antara sistem pengairan dan varietas (Lampiran 8). Pengukuran warna daun dilakukan menggunakan chlorophyll meter (SPAD Minolta). Nilai SPAD (warna daun) secara langsung berhubungan dengan konsentrasi N dalam daun (Cho et al. 2006; Fen et al. 2010) dan dapat mengindikasikan kandungan klorofil dalam daun (Li et al. 2009; Kumagai et al. 2009). Kumagai et al. (2009) juga menyebutkan bahwa SPAD digunakan untuk memprediksi kandungan dari ribulose 1,5 bisphospate carboxylase (Rubisco). Pengukuran tingkat kehijauan daun (Tabel 4) pada penelitian ini dilakukan pada saat tanaman berumur 8 MST. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 2, sistem pengairan tidak mempengaruhi tingkat kehijauan daun. Tingkat kehijauan daun tanaman padi berkisar antara 38-40. Tidak adanya pengaruh ini dikarenakan pada penelitian ini pemberian pupuk N dilakukan dengan dosis dan pada waktu yang sama untuk semua perlakuan. Sementara untuk varietas, tingkat kehijauan daun IR-64 (40.5) berbeda nyata dengan Jatiluhur (37.5). Hasil penelitian Li et al. (2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai yang terbaca pada SPAD, semakin tinggi pula konsentrasi N dan kandungan klorofil dalam daun. Hal ini berarti, varietas IR-64 lebih baik dalam penyerapan N dalam tanah dan memiliki kemampuan berfotosintesis lebih baik dari Jatiluhur. Kumagai et al. (2009) melaporkan bahwa terdapat korelasi yang sangat nyata antara pembacaan SPAD dengan kandungan klorofil daun, kandungan Rubisco, tingkat fotosintesis dan maximum quantum yield di fotosistem II (PSII).

29 Semakin tinggi nilai SPAD yang terbaca semakin tinggi pula nilai komponen - komponen tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun tidak berbeda secara statistik, namun tanaman padi yang ditanam pada lahan basah memilik nilai SPAD yang lebih tinggi dibanding tanaman padi yang ditanam pada lahan kering. Artinya bahwa pada sistem lahan basah, kandungan klorofil dan Rubisco padi lebih banyak. Hal ini juga mengindikasikan bahwa terjadi reaksi fotokimia pada PSII dan asimilasi CO 2 yang kuat akibat adanya Rubisco sehingga akan meningkatkan laju fotosintesis tanaman. Umur Berbunga, Komponen Hasil dan Hasil Sidik ragam peubah umur berbunga menunjukkan hanya perlakuan sistem pengairan yang memberikan pengaruh berbeda nyata sedangkan perlakuan varietas dan interaksinya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (Lampiran 8). Umur berbunga ditentukan pada saat 50% populasi telah mengeluarkan malai. Berdasarkan Tabel 3, tanaman padi lebih cepat berbunga pada sistem gogo yaitu sekitar 80 hari setelah penanaman benih atau bersamaan dengan hari semai pada sistem pengairan lainnya, pada sistem pengairan lainnya umur berbunga tanaman padi pada sekitar 85-86 HSS. Menurut Santosa (2002), secara umum, penggenangan menyebabkan umur berbunga genotipe padi gogo toleran naungan lebih lambat 7-10 hari dibandingkan dengan perlakuan kering. Umur berbunga kedua varietas serempak sekitar 84 hari setelah semai. Umur berbunga galur - galur padi gogo pada pertanaman monokultur berkisar antara 72-85 hari setelah tanam (Sasmita et al. 2006) sedangkan galur-galur padi sawah berbunga pada umur 84-100 hari setelah tanam (Sukirman 2005). Cepatnya umur berbunga tanaman padi pada sistem gogo terkait dengan mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Tanaman akan cepat menyelesaikan siklus hidupnya sebelum datang kelangkaan air atau tingkat kekeringan yang lebih parah. Mekanisme ini salah satu diantaranya adalah dengan mempercepat umur berbunga dan umur panen (Fukai & Cooper 1995).

30 Tabel 3. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap umur berbunga, panjang malai, jumlah gabah malai -1, dan kepadatan malai Umur Jumlah Kepadatan Panjang Perlakuan Berbunga Gabah Malai Malai (cm) (HSS) Malai -1 (butir/cm) Sistem Pengairan Konvensional 86.0 a 26.7 174.9 6.5 Jenuh Air 85.5 a 22.4 172.6 7.7 Intermittent 84.7 a 22.4 167.7 7.5 Gogo 80.5 b 23.0 148.6 6.5 Varietas IR-64 84.6 24.6 119.1 b 15.4 b Jatiluhur 83.8 22.7 212.7 a 19.7 a Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama (sesuai faktor perlakuan) menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Sidik ragam peubah panjang malai menunjukkan baik perlakuan sistem pengairan, varietas dan interaksi keduanya memberikan pengaruh tidak berbeda nyata. Sidik ragam peubah jumlah gabah malai -1 dan kepadatan malai menunjukkan hanya perlakuan varietas yang memberikan pengaruh berbeda nyata sedangkan sistem pengairan dan interaksinya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (Lampiran 8). Berdasarkan Tabel 3, sistem pengairan tidak berpengaruh nyata terhadap peubah panjang malai, jumlah gabah malai -1, dan kepadatan malai. Hal ini menunjukkan bahwa penghematan air tidak menurunkan kuantitas komponen produksi padi. Sehingga padi yang pengairannya hemat mempunyai potensi produksi yang sama besar dengan yang pengairannya terus - menerus. Varietas IR-64 dan Jatiluhur mempunyai panjang malai yang tidak berbeda tetapi berbeda nyata untuk jumlah gabah malai -1 dan kepadatan malai. Kepadatan malai yang tinggi pada varietas Jatiluhur tidak lepas dari banyaknya jumlah gabah yang dihasilkan setiap malai. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan Supijatno et al. (2012) bahwa meskipun panjang malai varietas Jatiluhur tidak berbeda nyata dengan varietas IR-64 tetapi Jatiluhur menghasilkan jumlah gabah malai -1 dan kepadatan malai lebih tinggi dibandingkan IR-64. Sistem pengairan memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap bobot kering akar dan nisbah tajuk/akar tetapi memberikan pengaruh nyata terhadap

31 peubah bobot kering tajuk. Varietas hanya berpengaruh terhada peubah nisbah tajuk/akar (Tabel 4). Sistem gogo memberikan bobot kering tajuk sebesar 17.1 g atau lebih tinggi dibandingkan sistem pengairan lain. Hal ini selaras dengan hasil yang diperoleh Santosa (2002) bahwa padi gogo yang ditanam pada perlakuan kering menghasilkan bobot kering tajuk yang lebih besar dibandingkan pada perlakuan penggenangan. Diduga bahwa pada pertanaman padi di sistem gogo, translokasi fotosintat dialirkan ke organ akar serta organ - organ tanaman lainnya dan hanya sedikit yang menuju biji. Ini terlihat dari rendahnya jumlah gabah malai -1 (Tabel 3), jumlah gabah isi rumpun -1 dan bobot gabah per 1000 butir (Tabel 5). Biomass per tanaman lebih meningkat selama periode ripening pada kondisi aerobik dibandingkan pada kondisi tergenang (Katsura & Nakaide 2011). Pengairan konvensional, jenuh air, dan intermittent menghasilkan bobot kering tajuk yang hampir sama. Seperti yang ditunjukkan Tabel 4, terjadi perubahan alokasi fotosintat ke tajuk dan akar. Diduga alokasi fotosintat lebih banyak dialokasikan ke biji. Hal ini terbukti dari jumlah gabah dan bobot gabah per 1000 butir (Tabel 3 & 5) yang lebih besar dibandingkan tanaman padi yang ditanam pada sistem gogo. Tabel 4. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan nisbah tajuk/akar. Bobot Kering Bobot Kering Nisbah Perlakuan Tajuk Akar Tajuk/Akar (g) (g) Sistem Pengairan Konvensional 14.4 b 2.5 7.1 Jenuh Air 14.5 b 2.1 7.7 Intermittent 14.5 b 1.8 10.3 Gogo 17.1 a 2.6 8.2 Varietas IR-64 14.4 2.5 7.0 b Jatiluhur 15.8 2.0 7.9 a Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama (sesuai faktor perlakuan) menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Perubahan partisi fotosintat juga terjadi pada varietas Jatiluhur dan IR-64. Hal ini terlihat pada perbedaan nisbah antara tajuk dan akar (Tabel 4). Nisbah tajuk/akar varietas Jatiluhur lebih tinggi dari IR-64. Hasil menunjukkan bahwa

32 translokasi fotosintat pada varietas Jatiluhur lebih banyak ke tajuk. Fotosintat yang tertimbun di tajuk akan ditranlokasikan ke biji sebagai sink yang paling kuat. Penumpukan hasil fotosintesis itu tercermin dari jumlah gabah isi yang tinggi (Tabel 5) dan produksi gabah (Tabel 6) yang lebih besar dibanding IR-64. Berat kering tanaman mencerminkan akumulasi senyawa organik yang disintesis dari senyawa anorganik, terutama air dan CO 2. Menurut Makarim dan Suhartatik (2009), tingginya produksi biomass belum menggambarkan tingginya hasil gabah. Indikator yang digunakan untuk mengukur pengaruh biomass terhadap hasil adalah indeks panen (harvest index). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks panen dari sistem pengairan konvensional, jenuh air, dan intermittent lebih tinggi dari sistem gogo. Begitu juga varietas Jatiluhur memiliki nilai indeks panen lebih tinggi dari IR-64. Nilai indeks panen ini tersaji pada Tabel 5. Tingginya nilai indeks panen ini menandakan bahwa translokasi asimilat lebih banyak tertuju ke biji sehingga bobot biji kering yang dihasilkan besar. Sistem gogo memiliki jumlah gabah isi per rumpun paling rendah (Tabel 5). Rendahnya gabah yang dihasilkan sistem gogo disebabkan menurunnya jumlah daun pada saat memasuki fase generatif dan rendahnya stomata/mm 2 daun sehingga menghambat masuknya CO 2 didalam ruang interseluler daun yang secara langsung mengurangi aktivitas fotosintesis. Menurunnya aktivitas fotosintesis tersebut menyebabkan menurunnya translokasi asimilat ke biji (sink). Tabel 5. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap jumlah gabah isi rumpun -1, persentase gabah isi, bobot 1000 butir gabah, dan indeks panen Perlakuan Jumlah Gabah Isi per Rumpun Persentase Gabah Isi Bobot 1000 Butir Gabah Indeks Panen (Butir) (%) (g) Sistem Pengairan Konvensional 569.6 a 71.7 a 24.6 a 0.5 a Jenuh Air 552.3 a 71.9 a 22.6 c 0.5 a Intermittent 489.7 a 73.7 a 23.9 b 0.5 a Gogo 108.2 b 65.4 b 22.3 c 0.4 b Varietas IR-64 362.7 b 70.8 23.7 a 0.4 b Jatiluhur 497.2 a 70.6 23.0 b 0.5 a Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama (sesuai faktor perlakuan) menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

33 Jumlah gabah isi yang dihasilkan sistem intermittent tidak berbeda nyata dengan sistem konvensional dan jenuh air. Borrell et al. (1997) menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara metode jenuh air dengan pengairan konvensional terhadap hasil dan komponen kualitas hasil, sehingga hal ini mengindikasikan bahwa penghematan pemberian air tidak menurunkan kualitas hasil tanaman padi. Hasil ini juga menunjukkan bahwa sistem pengairan intermittent, selain menghemat penggunaan air, sistem ini juga memberikan hasil panen yang tidak jauh berbeda dengan sistem yang membutuhkan banyak air seperti sistem konvensional. Varietas Jatiluhur memberikan hasil jumlah gabah isi per rumpun yang lebih banyak dibandingkan varietas IR-64. Sasmita et al. (2006) melaporkan bahwa pada pertanaman monokultur, varietas Jatiluhur mampu menghasilkan produktivitas sebesar 3.72 ton/ha. Hasil ini menunjukkan bahwa varietas Jatiluhur tidak hanya mampu berproduksi baik di lahan kering, tetapi juga mampu berproduksi baik pada lahan basah. Secara genetik, varietas Jatiluhur dirakit untuk ditanam pada lahan-lahan yang terbatas sumberdaya airnya. Menurut Toha dan Daradjat (2008), semua varietas padi gogo apabila dibudidayakan sebagai padi sawah hasilnya akan meningkat tetapi semua varietas asal padi sawah bila dibudidayakan sebagai padi gogo hasilnya akan menurun. Kato dan Katsura (2010) membuktikan adanya hubungan antara faktor pertumbuhan dan malai, termasuk jumlah gabah per unit area, yang diidentifikasi pada budidaya di bawah penggenangan dan aerobik. Dilaporkan bahwa perbedaan jumlah gabah per unit area pada pemberian air yang berbeda terkait dengan perbedaan produksi biomass dan atau penyerapan N. Sistem pengairan dan varietas memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap peubah bobot 1000 butir gabah, namun interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata. Bobot 1000 butir gabah terbesar diperoleh dari sistem pengairan konvensional dengan 24.6 g, diikuti oleh intermittent dengan 23.9 g, serta jenuh air dan sistem gogo (22.6 g dan 22.3 g). Sedangkan untuk varietas, IR-64 memberikan bobot 1000 butir gabah lebih besar (23.7 g) dibandingkan Jatiluhur (23.0 g). Hasil ini tidak sejalan dengan yang dilaporkan oleh Toha dan Daradjat (2008) serta Supijatno et al. (2012).

34 Rendahnya bobot 1000 butir gabah varietas Jatiluhur ini dikarenakan pada saat pengisian dan pematangan gabah, terjadi kerebahan. Kerebahan ini diduga karena Jatiluhur memiliki batang yang tinggi dan lemah. Kerebahan ini menyebabkan rusaknya jaringan xylem dan floem, akibatnya translokasi fotosintat menjadi terhambat (Makarim & Suhartatik 2009). Hal ini kemungkinan menyebabkan biji belum terisi penuh. Sidik ragam peubah indeks panen menunjukkan baik perlakuan sistem pengairan dan varietas memberikan pengaruh berbeda nyata sedangkan interaksi keduanya memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (Lampiran 8). Nilai indeks panen (Tabel 5) pada sistem konvensional, jenuh air, dan intermittent nyata lebih tinggi dari sistem gogo. Nilai indeks panen ketiga sistem lahan basah sama yaitu 0.5 sedangkan untuk sistem gogo (lahan kering) adalah 0.4. Nilai indeks panen ini merupakan perbandingan antara produksi gabah kering dengan total biomass. Dengan demikian semakin tinggi indeks panen menandakan produksi gabah juga tinggi. Begitu juga dengan varietas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produksi gabah Jatiluhur lebih besar dibandingkan IR-64 sehingga nilai indeks panennya lebih tinggi dari IR-64. Kato et al. (2011) melaporkan bahwa pengairan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap indeks panen dibandingkan terhadap biomass tajuk. Sidik ragam peubah produksi gabah per rumpun menunjukkan interaksi antara perlakuan sistem pengairan dan varietas memberikan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 8). Interaksi antara sistem pengairan dengan varietas pada peubah produksi gabah per rumpun disajikan pada Tabel 6. Produksi gabah terbesar diperoleh dari interaksi pada sistem gogo dengan varietas Jatiluhur yang menghasilkan 16.77 g gabah kering per rumpun. Produksi gabah terendah diperoleh pada sistem gogo dengan varietas IR-64 yang menghasilkan 7.67 g gabah kering per rumpun. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 6, terlihat bahwa varietas IR-64 yang merupakan padi sawah, menghasilkan produksi yang rendah ketika ditanam pada lahan kering. Hal ini sesuai dengan deskripsinya yang menyatakan bahwa varietas IR-64 tumbuh baik pada kondisi basah atau tergenang. Sementara varietas Jatiluhur mampu menghasilkan produksi yang sama besar ketika ditanam pada

35 lahan basah maupun lahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Jatiluhur (padi gogo) tidak hanya baik ditanam pada lahan kering tetapi juga baik ditanam di lahan basah. Tabel 6. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap produksi gabah per rumpun Sistem Pengairan Varietas IR-64 Jatiluhur... g / rumpun... Konvensional 13.36 ab 14.86 a Jenuh Air 10.70 bc 16.25 a Intermittent 13.45 ab 13.41 ab Gogo 7.67 c 16.77 a Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Faktor lingkungan yang menguntungkan bagi tanaman mendukung dalam proses fotosintesis, sehingga dapat menghasilkan asimilat yang lebih banyak untuk ditranslokasikan ke biji. Kemampuan tersebut tergantung pada tanaman untuk mengadaptasikan diri terhadap lingkungannya. Tanaman padi secara genetik merupakan tanaman semi akuatik, jadi sejak awal pertumbuhan tanaman padi di lahan kering telah dihadapkan pada lingkungan tumbuh yang tidak sesuai dengan sifat genetiknya, sehingga kemampuannya untuk berproduksi tinggi menjadi terbatas (Toha & Daradjat 2008). Efisiensi Konsumsi Air Berdasarkan Tabel 7, sistem pengairan konvensional merupakan yang terbanyak mengkonsumsi air. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsumsi air untuk sistem jenuh air dan intermittent hanya 74.3% dan 37.9% dari konsumsi air sistem konvensional, sedangkan gabah yang dihasilkan dari sistem intermittent tidak jauh berbeda dengan pengairan konvensional. Perbedaan konsumsi air yang cukup besar tersebut, pengairan intermittent memberikan nilai efisiensi konsumsi air yang lebih tinggi (0.020 g/l) dari pengairan konvensional dan jenuh air (0.008 g/l). Sistem gogo memberikan nilai efisiensi yang paling tinggi diantara sistem pengairan lainnya sebesar 0.531 g/l. Hal ini dikarenakan

36 jumlah air yang dikonsumsi sedikit naun demikian produktivitas yang diperoleh juga sedikit. Konsumsi air untuk varietas IR-64 dan Jatiluhur tidak berbeda nyata, akan tetapi gabah yang dihasilkan berbeda antara kedua varietas (Tabel 7). Jatiluhur mengkonsumsi air sama banyaknya dengan konsumsi air IR-64 dan menghasilkan gabah yang lebih besar dibandingkan IR-64. Efisiensi konsumsi air varietas Jatiluhur adalah 0.0144 g/liter air sedangkan efisiensi varietas IR-64 adalah 0.0109 g/liter air. Data tersebut menunjukkan bahwa varietas Jatiluhur memiliki efisiensi yang lebih baik dalam mengkonsumsi air. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Supijatno et al. (2012) yang melaporkan bahwa Jatiluhur merupakan varietas yang paling efisien dalam menggunakan air dengan efisiensi sebesar 0.997 g gabah/liter air. Hasil gabah yang tidak proporsional dengan konsumsi air dari varietas IR-64, maka efisiensi konsumsi air menjadi rendah (Supijatno et al. 2012; Setiobudi & Fagi 2009). Tabel 7. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap efisiensi konsumsi air tanaman Perlakuan Produksi Gabah Petak -1 * (g) Konsumsi Air Tanpa Pengolahan (l) Efisiensi Konsumsi Air Tanpa Pengolahan (g/l) Konsumsi Air dengan Pengolahan (l) Efisiensi Konsumsi Air dengan Pengolahan (g/l) Sistem Pengairan Konvensional 3 631.12 a 426 768 0.0085 436 924 0.0083 Jenuh Air 2 613.38 b 317 106 0.0082 327 620 0.0080 Intermittent 3 253.12 a 161 882 0.0201 171 161 0.0190 Gogo 2 061.00 c 3 883 0.5308 4 363 0.4724 Varietas IR-64 2 429.82 b 221 913 0.0109 229 505 0.0106 Jatiluhur 3 349.51 a 232 906 0.0144 240 528 0.0139 Keterangan : *angka yang diikuti huruf yang sama untuk perlakuan sistem pengairan atau varietas menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% Meskipun demikian, menurut Bouman (2006) hubungan mengenai penggunaan air yang terintegrasi dalam teknologi budidaya masih perlu dikaji lagi karena hal tersebut berhubungan dengan peningkatan hasil yang dipengaruhi oleh

37 peningkatan transpirasi serta adanya penurunan tingkat evaporasi, perembesan dan perkolasi. Produktivitas dari total penggunaan air ini dapat ditingkatkan melalui praktik agronomi dalam mengurangi evaporasi atau transpirasi yang berlebihan seperti pengelolaan gulma dan hara serta peningkatan proporsi air yang digunakan untuk transpirasi tanaman (Bouman et al. 2007). Tingginya efisiensi konsumsi air tidak hanya dilihat dari banyaknya hasil yang didapat karena dengan hasil yang sedikit nilai efisiensi konsumsi air akan tinggi apabila konsumsi airnya rendah. Pada penelitian ini ditunjukkan oleh sistem gogo. Peningkatan efisiensi konsumsi air tidak selalu dengan merakit tanaman yang berdaya hasil tinggi tetapi juga mempunyai karakter yang adaptif terhadap kondisi kelangkaan air. Proses adaptasi ini dapat dilakukan dengan pengelolaan pengairan yang hemat, tepat, dan efektif sehingga tanaman tetap mampu berproduksi tinggi. Menurut Gani (2001), pengairan untuk produksi padi membutuhkan air banyak tetapi kurang efisien dalam penggunaannya. Untuk menghasilkan 1 kg gabah diperlukan air sebanyak 5 000 liter. Pengairan tersebut dinilai belum efektif dalam penerapannya. Dengan penerapan teknologi pengairan yang tepat diharapkan tidak hanya mampu meningkatkan efisiensi penggunaan air tetapi juga mampu menghemat air sehingga air yang seharusnya digunakan untuk produksi padi dapat digunakan oleh sektor lain. Berdasarkan hasil penelitian ini, meskipun konsumsi air antara IR-64 dan Jatiluhur tidak berbeda nyata, namun terdapat selisih konsumsi air antar keduanya. Selisih konsumsi antar dua varietas tersebut yaitu 10 993 liter air untuk luasan 9 m 2. Apabila selisih tersebut dikonversikan ke luasan 10 000 m 2 (1 ha), maka akan ada selisih sebesar 12.2 x 10 6 liter air (12 200 m 3 ). Selisih tersebut menunjukkan perbedaan konsumsi air yang cukup besar antara padi gogo dengan padi sawah. Hal ini menegaskan kembali bahwa varietas Jatiluhur (padi gogo) akan mengkonsumsi air lebih banyak apabila dibudidayakan dengan sistem sawah. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Supijatno et al. (2012) yang melaporkan bahwa varietas Jatiluhur merupakan varietas yang paling banyak mengkonsumsi air pada lahan sawah dibandingkan dengan varietas lain yang diuji.