HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
LAMPIRAN KUESIONER ANALISIS PENGELUARAN DAN POLA KONSUMSI PANGAN SERTA HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZI MAHASISWA PENERIMA BEASISWA ETOS JAWA BARAT

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Kode Responden:

TINJAUAN PUSTAKA Beastudi Etos Karakteristik Individu Umur dan Jenis Kelamin

Ukuran rumah tangga dalam gram: 1 sdm gula pasir = 8 gram 1 sdm tepung susu = 5 gram 1 sdm tepung beras, tepung sagu. = 6 gram

DBMP DBMP Yetti Wira_Gizi_2014_Poltekkes Palangka Raya. Yetti Wira_Gizi_2014_Poltekkes Palangka Raya

PERENCANAAN DIET UNTUK PENDERITA DIABETES MELLITUS

Kuisioner Penelitian. Hubungan Pola Makan dengan Status Gizi Anak Kelas IV dan V di SDN Panunggangan 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KUESIONER PENELITIAN

ANGKET / KUESIONER PENELITIAN

LAMPIRAN 1 FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM

KUESIONER PENELITIAN

FORMAT PERSETUJUAN RESPONDEN

UNIVERSITAS INDONESIA KUESIONER PENELITIAN FREKUENSI KONSUMSI BAHAN MAKANAN SUMBER KALSIUM PADA REMAJA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI DEPOK

METODE PENELITIAN. n1 = = 35. n2 = = 32. n3 =

PENGETAHUAN, SIKAP, PRAKTEK KONSUMSI SUSU DAN STATUS GIZI IBU HAMIL

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan sebelum mengisi aktivitas yang lain setiap hari. Sarapan dibutuhkan

KUESIONER PENELITIAN PERILAKU DIET IBU NIFAS DI DESA TANJUNG SARI KECAMATAN BATANG KUIS KABUPATEN DELI SERDANG. 1. Nomor Responden :...

KONSUMSI MAKANAN ANAK BALITA DI DESA TANJUNG TANAH KECAMATAN DANAU KERINCI KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI

KUESIONER PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman langsung maupun dari pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2005, hal. 3

PENGENALAN MAKANAN BAYI DAN BALITA. Oleh: CICA YULIA S.Pd, M.Si

KATA PENGANTAR. Lampiran 1. Angket Penelitian

LAMPIRAN 1 KUESIONER

DIIT SERAT TINGGI. Deskripsi

Lampiran 1. Peta lokasi penelitian Puskesmas Putri Ayu Kecamatan Telanaipura

KUESIONER GAYA HIDUP DAN POLA KONSUMSI PENDERITA HIPERTENSI KARYAWAN PABRIK HOT STRIP MILL (HSM) PT. KRAKATAU STEEL CILEGON

Lampiran 1: Daftar Bahan Makanan Penukar RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

POLA MAKAN DAN STATUS GIZI SISWA KELAS X JASA BOGA DI SMK NEGERI 4 YOGYAKARTA

HUBUNGAN PERSEPSI BODY IMAGE DAN KEBIASAAN MAKAN DENGAN STATUS GIZI ATLET SENAM DAN ATLET RENANG DI SEKOLAH ATLET RAGUNAN JAKARTA

Pengetahuan Dasar Gizi Cica Yulia, S.Pd, M.Si

LAMPIRAN 1 UNIVERSITAS INDONESIA

LAMPIRAN 1 INSTRUMEN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. penambahan bahan-bahan lain. Bahkan fast food (makanan cepat saji) semakin

POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI PADA RUMAH TANGGA PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR

NAMA : UMUR : KELAS : No. Telpon : Alamat lengkap : Untuk pertanyaan di bawah ini, beri tanda X untuk jawaban yang kamu pilih

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan gizinya serta aktif dalam olahraga (Almatsier, 2011).

LAMPIRAN 1. Tanda tangan,

Lampiran 1 Pengetahuan gizi dan keamanan pangan wilayah Depok. Lampiran 2 Pengetahuan gizi dan keamanan pangan wilayah Sukabumi

Lampiran 1 Kategori pengukuran data penelitian. No. Variabel Kategori Pengukuran 1.

LAMPIRAN 1. Universitas Sumatera Utara

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

Program Studi S1 Ilmu Gizi Reguler Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul (UEU) Jl. Arjuna Utara No.9 Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510

Lampiran 1 FOOD FREQUENCY QUESTIONER (FFQ) Tidak pernah. Bahan makanan >1x/hr 1x/hr 4-6x/mg 1-3x/mg 1-3x/bln

POLA MAKAN SEHAT SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

DIIT GARAM RENDAH TUJUAN DIIT

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dengan ini saya bersedia mengikuti penelitian ini dan bersedia mengisi lembar kuesioner yang telah disediakan dibawah ini.

LEMBAR KESEDIAAN DALAM PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MAKANAN SEHAT DAN MAKANAN TIDAK SEHAT BAHAN AJAR MATA KULIAH KESEHATAN DAN GIZI I

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

HASIL DAN PEMBAHASAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Mata pelajaran

PENGENALAN DKBM (TKPI) & UKURAN RUMAH TANGGA (URT) Rizqie Auliana, M.Kes

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

BAB I KLARIFIKASI HASIL PERTANIAN

KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN PERILAKU KONSUMSI MAKANAN DENGAN STATUS GIZI PNS BAPPEDA KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2015

Lampiran 1 Kuesioner. Nama sheet : Coverld. 1. Tanggal wawancara : MK1. 2. Nama responden : MK2. 3. Nama balita : MK3. 4.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

Dari 60,7 gr protein nabati, 32,8 gr = 27,9 gr; bila protein nabati ini disumbang dari tempe 17,9 gram, dan tahu 10 gr.

PENINGKATAN PENGETAHUAN GIZI MASYARAKAT MELALUI PENDIDIKAN DAN LATIHAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar

Master Menu Rumah Sakit (siklus 10 hari) Hari ke-1 Porsi. Nasi merah Sop kacang merah. Sate jamur Empal genthong. Capcay basah Sate pusut tempe

Tabel 1. Data Profil Responden (n = 146) Profil responden Jumlah Persentase (%)

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

LembarObservasi Penelitian Pola Makan. Yang berhubungan dengan kadar gula darah pada Lansia

Kuesioner Food Frekuensi Semi Kuantitatif. 1-2x /mgg. 2 minggu sekali

PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi

HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gamping Kabupaten Sleman ini dilakukan terhadap 117 orang responden yang

12 PESAN DASAR NUTRISI SEIMBANG

KUESIONER SISWA LAMPIRAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II DATA DAN ANALISA

DIET RENDAH PURIN untuk penderita asam urat. Rizqie Auliana, M.Kes

DIET PASIEN HEMODIALISA (CUCI DARAH)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pertanian merupakan sektor yang mendapatkan perhatian cukup besar dari

LAMPIRAN 1. Surat Pernyataan Kesediaan Mengikuti Penelitian. Rawat Jalan di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum

EMPAT PILAR GIZI SEIMBANG

NASKAH PENJELASAN PENELITIAN

LAMPIRAN. Lampiran 1. Jumlah dan jenis pangan contoh PM dan Non PM di sekolah

Kebutuhan nutrisi dan cairan pada anak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. UPTD Pelayanan Terpadu Sosial Lanjut Usia Tresna Werdha di Jalan Sitara

FORMULIR PERSETUJUAN MENJADI PESERTA PENELITIAN

Lampiran 1. Siklus Menu 10 Hari Instalasi Gizi RSUD Kabanjahe

BAB I PENDAHULUAN. Makanan jajanan (street food) sudah menjadi bagian yang. pedesaan. Salah satu alasan tingginya tingkat kesukaan pada makanan adalah

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Informed Consent PENJELASAN PENELITIAN UNTUK BERPARTISIPASI SEBAGAI RESPONDEN

CATATAN PERKEMBANGAN. Dx Hari/Tanggal Pukul Tindakan Keperawatan Nutrisi Kamis, Menggali pengetahuan orang tua kurang dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KUESIONER PENILAIAN DAYA TERIMA MAKANAN PASIEN

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian FIK

MENU BERAGAM BERGIZI DAN BERIMBANG UNTUK HIDUP SEHAT. Nur Indrawaty Liputo. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

23 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Beastudi Etos adalah beasiswa untuk anak-anak muda lulusan SMA yang tengah memperjuangkan cita-citanya agar dapat kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) pilihan. Anak-anak muda ini tengah memperjuangkan masa depan mereka meski berangkat dari keterbatasan dan hambatan khususnya secara ekonomi. Beastudi Etos memiliki mimpi besar bagi perbaikan bangsa Indonesia melalui program pengembangan SDM. Oleh karena itu Beastudi Etos tidak hanya memberikan bantuan biaya pendidikan dan uang saku. Beastudi Etos juga melengkapinya dengan aktivitas pembinaan pengembangan diri dan kehidupan berasrama. Beastudi Etos dihadirkan untuk Indonesia yang lebih baik. Beastudi Etos memiliki visi : terdepan dalam membentuk SDM unggul dan mandiri. Beastudi Etos ingin melahirkan generasi-generasi excellent bagi bangsa ini. Beastudi Etos berusaha menghadirkan pejuang-pejuang baru yang gigih memperjuangkan masa depan bangsa ini, dengan keunggulan dan kemandirian yang mereka miliki. Demi menghasilkan generasi yang hebat ini, Beastudi Etos memiliki misi antara lain : menerapkan manajemen mutu Beastudi Etos, menerapkan kurikulum pembinaan Beastudi Etos yang berbasis kompetensi, membangun dan mengoptimalkan jaringan Beastudi Etos, serta mengoptimalkan peran SDM Beastudi Etos dalam aktivitas pemberdayaan masyarakat. Saat ini Beastudi Etos tersebar di 12 wilayah dan 14 PTN dengan penerima manfaat sebanyak 409 orang dan 477 alumni. Adapun 12 wilayah persebaran program Beastudi Etos adalah Aceh, Medan, Padang, Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Samarinda dan Makassar. Beastudi Etos terdapat di PTN antara lain : Universitas Syahkuala, Universitas Sumatera Utara, Universitas Andalas, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjajaran, Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Brawijaya, Universitas Mulawarman, dan Universitas Hassanudin. Adapun contoh yang dijadikan lokasi penelitian ini adalah mahasiswa Beastudi Etos wilayah Jawa Barat yang terdapat di Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran dan Institut Teknologi Bandung. Fasilitas yang diberikan kepada penerima program ini yaitu : penggantian biaya

24 masuk PTN, SPP semester I dan II, uang saku Rp. 450.000-Rp. 500.000 per bulan selama empat tahun, akomodasi asrama selama tiga tahun, serta pelatihan, pembinaan dan pendampingan 4 domain (spiritual, akademik, pengembangan diri, dan sosial) selama 4 tahun. Secara umum ada tiga bagian pembinaan, yaitu pembinaan asrama (harian), pembinaan rutin (pekanan) dan pembinaan nasional (tahunan). Pelatihan, pembinaan dan pendampingan ini dilakukan berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi untuk pengembangan prestasi. Umur Karakteristik Individu Setiap manusia mengkonsumsi makanan dalam jumlah dan jenis yang berbeda. Banyak hal yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang. Menurut Suhardjo (1989) ada tiga faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu karakteristik individu, karakteristik makanan dan karakterisitk lingkungan. Dalam penelitian ini, karakterisitk individu yang dimaksud antara lain umur, jenis kelamin, besaran uang saku dan suku bangsa. Pertambahan umur seseorang akan menyebabkan peningkatan jumlah energi yang dibutuhkan. Menurut Suhardjo (1989), pada masa anak-anak jumlah energi yang diperlukan oleh tubuh tidak sebesar jumlah energi yang diperlukan pada masa dewasa. Jumlah energi yang diperlukan akan mencapai puncaknya pada masa dewasa. Namun, kemudian jumlah energi yang diperlukan tubuh akan mengalami penurunan kembali pada saat lanjut usia. Menurut Santrock (2003) umur contoh dalam penelitian ini tergolong dewasa awal. Tabel berikut memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan umur : Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan umur Umur contoh (tahun) 19 13 35 11 33 7 50 31 37 >19 24 65 22 67 7 50 53 63 Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar umur contoh wilayah Bogor dan Depok berusia lebih dari 19 tahun (>60%), sedangkan untuk wilayah Bandung memiliki proporsi yang sama antara contoh yang berusia kurang dari atau sama dengan 19 tahun (50%) dengan contoh yang berusia lebih

25 dari 19 tahun (50%). Berdasarkan uji Kruskal Wallist Test, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.536) pada umur contoh di ketiga wilayah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur minimum contoh untuk wilayah Bogor adalah 18 tahun dengan umur maksimum 22 tahun. Umur minimum contoh untuk wilayah Depok adalah 17 tahun dengan umur maksimum 22 tahun. Umur minimum contoh wilayah Bandung adalah 17 tahun dengan umur maksimum 21 tahun. Rata-rata umur contoh di tiga wilayah tersebut adalah 20 tahun. Hal ini sesuai dengan karakteristik contoh yang sebagian besar berada di tingkat kedua di kampus masing-masing. Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah kebutuhan gizi antara pria dan wanita berbeda. Jenis kelamin merupakan salah satu dasar penentuan kecukupan gizi seseorang. Suhardjo (1989) menjelaskan bahwa tubuh yang besar memerlukan energi yang lebih banyak dibandingkan tubuh yang kecil. Berdasarkan tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004, kecukupan energi yang dianjurkan per orang per hari untuk usia 19-29 tahun pada laki-laki lebih besar yaitu 2550 kkal jika dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan untuk wanita yaitu 1900 kkal. Untuk melakukan kegiatan fisik yang sama, wanita dengan ukuran tubuh yang lebih kecil umumnya memerlukan energi yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Tabel berikut memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin : Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Laki-laki 20 54 16 48 7 50 43 51 Perempuan 17 46 17 52 7 50 41 49 Berdasarkan data pada tabel 4 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh (51%) contoh berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar (54%) contoh di wilayah Bogor berjenis kelamin laki-laki. Hal ini berbeda dengan wilayah Depok dimana sebagian besar contoh (52%) berjenis kelamin perempuan. Bandung memiliki jumlah yang sama (50%) antara contoh laki-laki dan perempuan. Uang Saku Uang saku merupakan banyaknya uang yang diterima contoh setiap bulan baik dari orang tua / seseorang yang mempunyai tanggungan terhadapnya ataupun dari hasil pendapatan sendiri seperti mengajar, berwirausaha dan

26 beasiswa yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun nonmakanan. Uang saku adalah total uang yang diterima seseorang baik mingguan atau bulanan yang diperuntukkan untuk keperluan sehari hari seperti makan dan keperluan lainnya (Sukandar 2007). Berdasarkan sebaran contoh maka uang saku contoh dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu kurang dari 500 ribu per bulan, antara 500 ribu sampai dengan satu juta per bulan dan lebih dari satu juta per bulan. Tabel berikut menyajikan sebaran uang saku yang diterima contoh setiap bulan : Tabel 5 Sebaran uang saku contoh per bulan Uang Saku (Rp/bulan) <500.000 10 27 4 12 3 21 17 20 500.000-1.000.000 25 68 17 52 8 58 50 60 >1.000.000 2 5 12 36 3 21 17 20 Rata-rata (rupiah) 637.973 985.909 821.429 Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa sebanyak 68% contoh wilayah Bogor memiliki uang saku antara Rp. 500.000-1.000.000. Hal ini sama seperti wilayah Depok dan Bandung yang sebagian besar (52%) dan (58%) contohnya memiliki uang saku antara Rp. 500.000-1.000.000. Jika dilihat dari rata-rata total uang saku per bulan, maka wilayah Depok memiliki nominal yang paling besar yaitu Rp. 985.909. Sementara untuk wilayah Bogor memiliki nominal paling kecil yaitu Rp. 637.973. Bandung memiliki nominal rata-rata sebesar Rp. 821.429. Berdasarkan hasil uji beda, terdapat perbedaan yang nyata (p=0.011) pada jumlah uang saku yang diterima contoh dalam sebulan di tiga daerah. Berdasarkan hasil wawancara, beberapa sumber pendapatan contoh selain berasal dari uang saku Etos adalah bersumber dari kiriman orangtua, berdagang, mengajar hingga mendirikan lembaga training. Uang saku yang diterima contoh setiap bulannya dialokasikan untuk berbagai keperluan hidup. Alokasi uang saku contoh antara lain untuk pengeluaran makanan dan nonmakanan. Gambar berikut menunjukkan proporsi alokasi uang saku ketiga daerah :

27 70% 60% 50% 40% 30% Makanan Non Makanan 20% 10% 0% Gambar 2 Perbandingan alokasi uang saku contoh Semakin besar pendapatan, maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Meningkatnya pendapatan perorangan maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui bahwa uang saku yang dikeluarkan untuk keperluan makanan pada contoh wilayah Bogor dan Bandung lebih besar yaitu 62% dan 52% dibandingkan dengan contoh wilayah Depok yang hanya mengeluarkan 44% uang sakunya untuk keperluan makanan. Menurut Sukandar (2007) kelompok yang berpendapatan rendah umumnya mempunyai proporsi paling besar untuk pengeluaran pangan. Begitu pula sebaliknya, kelompok yang berpendapatan tinggi umumnya mengalokasikan lebih banyak pendapatannya untuk keperluan non pangan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sabates (2001) bahwa proporsi pengeluaran terhadap pangan akan menurun jika pendapatan seseorang meningkat. Suku Bangsa Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda satu sama lain tanpa terkecuali dalam hal memilih dan mengolah makanan. Pola kebudayaan mempengaruhi orang dalam memilih makanan. Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi, bagaimana cara pengolahannya, penyalurannya, hingga penyajiannya (Sukandar 2007). Suku bangsa contoh dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 4 yaitu Sunda, Jawa, Betawi dan

28 lainnya seperti Minang, Bugis dan Batak. Gambar berikut memperlihatkan sebaran asal suku bangsa contoh : 70 60 50 40 30 20 Sunda Jawa Betawi Lainnya 10 0 Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan suku bangsa Berdasarkan gambar 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar (54%) contoh wilayah Bogor berasal dari suku Sunda. Suku Betawi memiliki persentase paling kecil yaitu 8% dari total contoh. Di wilayah Depok suku Jawa menempati persentase paling besar yaitu 58% dan suku Betawi menempati persentase paling kecil yaitu 9%. Berbeda dengan Bogor dan Depok, untuk wilayah Bandung terdapat dua suku yang memiliki kesamaan persentase. Sunda dan suku lainnya memiliki persentase 29%, sedangkan Jawa dan Betawi memiliki persentase sebesar 21%. Berdasarkan uji beda, terdapat perbedaan yang nyata (p=0.023) pada variabel suku bangsa di tiga wilayah. Karakteristik Keluarga Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan Ayah. Pekerjaan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi pola konsumsi individu (Suhardjo 1989). Menurut Sukandar (2007) pekerjaan seseorang merupakan faktor yang mempengaruhi pendapatan. Pendpatan merupakan salah satu faktor yang paling menentukan tentang kuantitas dan kualitas makanan. Dalam penelitian ini, pekerjaan ayah dikategorikan menjadi enam jenis pekerjaan. Data mengenai pekerjaan ayah ketiga daerah contoh disajikan pada tabel berikut :

29 Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah Pekerjaan Ayah Karyawan 4 11 3 9 5 36 12 14 Pegawai Desa/Guru 2 5 2 6 1 7 5 6 Wiraswasta 10 27 10 30 1 7 21 25 Petani 4 11 3 9 0 0 7 8 Buruh 11 30 7 21 6 43 24 29 Tidak Bekerja 6 16 8 25 1 7 15 18 Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa secara umum di tiga wilayah pekerjaan ayah contoh yang memiliki persentase terbesar adalah sebagai buruh (29%) dan hanya 6% ayah yang bekerja sebagai pegawai desa. Pekerjaan ayah contoh wilayah Bogor lebih banyak bekerja sebagai buruh yaitu 30% dan paling sedikit sebagai pegawai desa yaitu 5%. Hal ini juga sama dengan wilayah Bandung yang lebih banyak pekerjaan ayah contoh sebagai buruh yaitu 43%. Berbeda dengan wilayah Bogor dan Bandung, untuk wilayah Depok pekerjaan ayah lebih banyak sebagai wiraswasta yaitu 30%. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak manajemen, salah satu pertimbangan dalam penerimaan contoh sebagai penerima Beasiswa Etos adalah faktor ekonomi. Sehingga besarnya persentase pekerjaan ayah sebagai buruh dikatakan wajar karena dasar program Beasiswa Etos ini memang diperuntukkan bagi kelompok ekonomi lemah. Berdasarkan uji beda, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.079) pada sebaran pekerjaan ayah contoh di ketiga wilayah. Pekerjaan Ibu. Menurut Suhardjo (1989), ibu yang bekerja tidak lagi memiliki waktu untuk mempersiapkan makanan bagi keluarga. Namun ibu yang bekerja akan meningkatkan pendapatan keluarga. Tabel berikut memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ibu : Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ibu Pekerjaan ibu Petani 2 5 3 9 0 0 5 6 Pedagang 2 5 6 18 0 0 8 10 Penjahit 1 3 0 0 0 0 1 1 Buruh 2 5 1 3 0 0 3 4 Guru 1 3 2 6 1 7 4 5 Ibu Rumah Tangga 29 79 21 64 13 93 63 74

30 Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui sebagian besar (74%) pekerjaan ibu di ketiga wilayah adalah sebagai ibu rumah tangga. Di wilayah Bogor lebih dari separuh (79%) ibu contoh bekerja sebagai ibu rumah tangga. Hal yang sama juga dengan contoh di wilayah Depok dan Bandung dimana sebagian besar ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga dengan persentase 64% dan 93%. Berdasarkan uji beda, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.274) pada sebaran pekerjaan ibu contoh di ketiga wilayah. Pendapatan Keluarga Faktor pendapatan mempunyai peranan besar dalam masalah gizi dan kebisasaan makan masyarakat. Ketersediaan pangan suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga tersebut. Pendapatan dalam penelitian ini adalah pendapatan keluarga yang merupakan total pendapatan ayah, ibu, dan anggota keluarga lain guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pendapatan keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan yang secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan. Menurut Garcia (2009) pendapatan memiliki dampak terhadap jumlah konsumsi pangan. Pendapatan yang tinggi berarti memiliki kemampuan yang lebih dalam membeli barang ataupun makanan. Tingkat pendapatan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih besar dalam memilih makanan yang baik dalam jumlah dan jenis (Suhardjo 1989). Pendapatan dan harga pangan merupakan faktor penentu daya beli keluarga. Sehingga suatu keluarga akan memilih pangan untuk dikonsumsi sesuai dengan daya belinya. Tabel berikut memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan total pendapatan keluarga : Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga Pendapatan Keluarga (Rp/bulan) <1.000.000 19 51 17 52 5 36 41 49 1.000.000-2.000.000 14 38 12 36 6 43 32 38 >2.000.000 4 11 4 12 3 21 11 13 Rata-rata (rupiah) 1.117.027 1.177.576 1.353.571 Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa rata-rata pendapatan keluarga contoh wilayah Bandung paling tinggi (Rp. 1.353.571) jika dibandingkan dengan contoh wilayah Depok (Rp. 1.177.576). Rata-rata pendapatan keluarga contoh wilayah Bogor paling kecil (Rp. 1.117.027) jika dibandingkan dengan contoh wilayah Depok dan Bandung. Sebanyak 51% contoh wilayah Bogor

31 memiliki rentang pendapatan keluarga kurang dari satu juta rupiah. Begitu juga dengan contoh wilayah Depok, sebagian besar (52%) memiliki rentang pendapatan keluarga kurang dari satu juta rupiah. Berbeda dengan Bogor dan Depok, untuk rentang pendapatan keluarga contoh wilayah Bandung persentase terbesar (49%) yaitu antara 1-2 juta rupiah. Hal ini diduga karena sekitar 36% pekerjaan ayah contoh wilayah Bandung berprofesi sebagai karyawan atau pegawai swasta. Namun berdasarkan uji beda, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.342) pada variabel jumlah total pendapatan keluarga contoh di ketiga wilayah. Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama (Sukandar 2007). Sanjur (1982) menyatakan bahwa banyaknya anggota suatu keluarga dapat mempengaruhi pembagian makan di antara anggota keluarga sehingga dapat mempengaruhi konsumsi zat gizi dari jumlah yang dibutuhkan. Berg (1986) berpendapat bahwa kelaparan dapat terjadi pada keluarga yang mempunyai jumlah anggota empat kali lebih besar dibanding dengan keluarga yang mempunyai lebih sedikit anggota. Menurut Deskmukh (2007) besarnya jumlah populasi dalam keluarga akan berpengaruh pada semakin besarnya jumlah pangan yang harus tersedia. Keluarga dengan status ekonomi rendah dan memiliki banyak anak akan mengakibatkan kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak termasuk kebutuhan makan. Menurut Suhardjo (1989), keadaan tersebut tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi. Tabel berikut memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan besar keluarga : Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga 4 orang (kecil) 15 41 7 21 2 14 24 28 5-7 orang (sedang) 19 51 20 61 12 86 51 61 >7 orang (besar) 3 8 6 18 0 0 9 11 Menurut BKKBN (2004), besar keluarga dapat dikategorikan menjadi 3 yaitu keluarga kecil ( 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang) dan keluarga besar (>7 orang). Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa secara umum contoh di tiga wilayah adalah keluarga sedang dengan persentase rata-rata sebesar 61%. Berdasarkan pendapat Sanjur (1982) diketahui bahwa keluarga yang memiliki

32 jumlah anggota keluarga sedikit akan lebih mudah dalam hal pendistribusian makanan baik jenis maupun jumlah. Jika melihat persentase kategori keluarga contoh dan juga berdasarkan hasil uji beda, maka dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p=0.117) pada besarnya anggota keluarga contoh di antara ketiga wilayah tersebut. Pengeluaran Pangan Pengeluaran merupakan cermin dari pendapatan seseorang. Menurut Garcia (2009) pendapatan seseorang akan mempengaruhi konsumsi pangan. Pengeluaran contoh dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu pengeluaran pangan dan pengeluaran non-pangan. Pengeluaran pangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Pengeluaran non-pangan contoh merupakan sejumlah uang yang dikeluarkan untuk keperluan pendidikan, dan keperluan lainnya. Tabel berikut memperlihatkan pengeluaran pangan contoh : Tabel 10 Pengeluaran pangan contoh Pengeluaran Pangan (Rp/bulan) Minimal 200.000 130.000 85.000 Maksimal 450.000 900.000 600.000 Rata-rata 353.351 383.909 385.714 Besar Uang Etos 450000 450000 450000 % uang saku Etos 79% 85% 86% Pengeluaran pangan minimum contoh wilayah Bogor lebih tinggi yaitu Rp. 200.000 dibandingkan dengan pengeluaran pangan minimum contoh wilayah Depok ataupun Bandung. Pengeluaran pangan maksimum contoh wilayah Depok lebih tinggi yaitu Rp. 900.000 dibandingkan dengan pengeluaran pangan maksimum contoh wilayah Bandung dan Bogor yaitu Rp. 600.000 dan Rp. 450.000. Rata-rata pengeluaran pangan per bulan yang dikeluarkan oleh contoh di tiga wilayah cenderung memiliki besar yang sama yaitu sekitar ± 300 ribu rupiah. Berdasarkan tabel 10 di atas, dapat diketahui bahwa proporsi uang saku yang diterima dari Beasiswa Etos yaitu sekitar 350 ribu rupiah atau sekitar ±70%- 80% uang saku tersebut dikeluarkan untuk keperluan makanan. Dalam penelitian ini, besaran pendapatan contoh yang dialokasikan untuk pengeluaran pangan dibedakan menjadi 3 rentang yaitu kurang dari 300 ribu rupiah, 300-450 ribu rupiah dan lebih dari 450 ribu rupiah per bulan. Berikut merupakan sebaran contoh berdasarkan pengeluaran pangan per bulan :

33 Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran pangan <300.000 5 14 12 36 3 21 20 24 Pengeluaran Pangan (Rp/bulan) 300.000-450.000 32 86 14 43 7 50 53 63 >450.000 0 0 7 21 4 29 11 13 Rata-rata (rupiah) 353.351 383.909 385.714 Sebanyak 86% contoh wilayah Bogor mengalokasikan uang saku mereka untuk keperluan makanan antara 300-450 ribu rupiah per bulan. Begitu pula dengan contoh wilayah Bandung yang sebagian besar (50%) mengalokasikan uang saku untuk makanan antara 300-450 ribu rupiah per bulan. Di wilayah Depok, 43% contoh mengalokasikan uang saku untuk makanan antara 300-450 ribu rupiah per bulan. Rata-rata uang saku untuk makanan contoh wilayah Bandung lebih besar dibanding dengan wilayah Depok. Sementara itu, rata-rata uang saku untuk makanan contoh wilayah Depok lebih besar dibanding dengan wilayah Bogor. Berdasarkan uji beda terhadap uang saku yang dialokasikan untuk keperluan makanan, maka diketahui tidak terdapat perbedaan (p=0.635) yang nyata di antara ketiga daerah pada taraf 5%. Pola Konsumsi Pangan Menurut Suhardjo (1989) pola konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh suatu masyarakat pada waktu tertentu. Menurut Sukandar (2007) pola konsumsi pangan pada penelitian yang dilakukan di petani Banjar Jawa Barat mencakup jumlah frekuensi makan bersama serta prioritas dalam pembagian makan. Menurut Junaidi (1997) pola konsumsi merupakan banyaknya pangan yang dikonsumsi, ada tidaknya makanan pantangan, serta frekuensi makan seseorang. Menurut Gerbens (2001) pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang yang dilakukan berulang-ulang yang dipengaruhi beberapa faktor antara lain preferensi, ketersediaan, ekonomi, tradisi, agama serta kebutuhan gizi. Dalam penelitian ini pola konsumsi pangan adalah gambaran mengenai konsumsi yang meliputi jenis dan jumlah rata-rata makanan yang dikonsumsi serta kebiasaan makan yang meliputi ada tidaknya makanan pantangan, frekuensi makan utama, kebiasaan sarapan, kebiasaan jajan, konsumsi air putih, susunan menu makan, cara memperoleh makan dan frekuensi konsumsi pangan seseorang.

34 Kebiasaan Makan Menurut Suhardjo (1989) kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata karma, frekuensi makan, kepercayaan tentang makanan dan cara pemilihan bahan makan yang hendak dimakan. Dalam penelitian ini kebiasaan makan meliputi ada tidaknya makanan pantangan, frekuensi makan utama, kebiasaan sarapan, kebiasaan konsumsi air putih, kebiasaan jajan, susunan menu makan, cara memperoleh makan, dan frekuensi konsumsi pangan menurut jenis dan kelompok pangan. Makanan Pantangan. Pantangan atau tabu adalah suatu larangan untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu, karena terdapat ancaman bahaya atau hukuman terhadap yang melanggarnya. Beberapa pantangan atau tabu makanan dapat bersifat merugikan terhadap pemeliharaan bahan makanan yang dikonsumsi (Suhardjo 1989). Tabel 12 dan tabel 13 memperlihatkan data mengenai sebaran contoh berdasarkan ada tidaknya makanan pantangan dan jenis makanan pantangan. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah contoh wilayah Bandung mempunyai makanan pantangan lebih banyak (36%) jika dibandingkan contoh di wilayah Bogor (27%) dan Depok (12%). Jenis makanan pantangan contoh antara lain makanan laut, kacang tanah, terong, daging kambing, jeroan, dan lainnya. Berikut data tabel mengenai ada tidaknya makanan pantangan contoh di tiga wilayah : Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan makanan pantangan Makanan Pantangan Ada 10 27 4 12 5 36 19 23 Tidak 27 73 29 88 9 64 65 77 Berdasarkan data pada tabel 13 dapat diketahui bahwa sebagian besar (58%) contoh memiliki makanan pantangan makanan laut atau seafood seperti ikan laut, kepiting, udang dan sebagainya. Tabel berikut menyajikan sebaran contoh berdasarkan jenis makanan pantangan di tiga wilayah :

35 Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan jenis makanan pantangan Jenis Makanan Sea Food 7 70 2 50 2 40 11 58 Kacang Tanah 1 10 1 25 0 0 2 11 Terong 1 10 0 0 0 0 1 5 Bawang 1 10 0 0 0 0 1 5 Daging Kambing 0 0 1 25 1 20 2 11 Jeroan 0 0 0 0 1 20 1 5 Lainnya 0 0 0 0 1 20 1 5 Jumlah 10 100 4 100 5 100 19 100 Berdasarkan hasil wawancara diketahui, contoh memiliki pantangan mengkonsumsi daging kambing dan jeroan dengan alasan kesehatan yaitu menghindari hipertensi atau darah tinggi. Alasan contoh memiliki makanan pantangan seperti yang terdapat pada tabel 14 sangat beragam. Tabel 14 berikut akan memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan alasan menghindari makanan tertentu : Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan alasan menghindari makanan tertentu Jenis Makanan Alergi 6 60 2 50 2 40 10 53 Mual 1 10 0 0 0 0 1 5 Budaya 1 10 0 0 0 0 1 5 Jerawat 1 10 1 25 0 0 2 11 Makruh 1 10 0 0 0 0 1 5 Darah Tinggi 0 0 1 25 2 40 3 16 Lainnya 0 0 0 0 1 20 1 5 Jumlah 10 100 4 100 5 100 19 100 Data tersebut menunjukkan sebagian besar (60%) contoh wilayah Bogor menghindari makanan karena memiliki alergi terutama pada jenis makanan laut. Alasan yang sama juga didapat pada contoh wilayah Bandung dimana sebagian contoh (53%) memiliki alergi terhadap makanan laut. Sementara itu, untuk wilayah Depok, alasan alergi dan menghindari darah tinggi memiliki persentase yang sama besar (40%). Penelitian yang dilakukan Sukandar (2007) pada petani di Banjar Jawa Barat menunjukkan bahwa kelompok yang memiliki makanan pantangan/tabu adalah bayi, balita, wanita hamil dan menyusui serta orang yang sakit. Banyaknya makanan yang dianggap tabu untuk sebagian orang akan berpengaruh langsung terhadap konsumsi pangan. Secara umum, hasil

36 penelitian menunjukkan bahwa alasan lain contoh menghindari makanan tertentu adalah karena adanya budaya, menghindari jerawat dan lainnya. Dengan adanya pantangan atau tabu makanan, maka jumlah makanan yang dikonsumsi menjadi terbatas. Tidak ada satupun bahan makanan yang mampu menyediakan seluruh zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Ketika contoh memiliki pantangan terhadap suatu makanan maka tidak dapat dihindari contoh tersebut dapat mengalami kekurangan zat gizi tertentu yang terkandung di dalamnya. Namun, baik kita hayati bahwa tidak semua tabu itu merugikan atau tidak baik bagi kondisi gizi dan kesehatan (Suhardjo 1989). Frekuensi Makan Utama. Frekuensi makan bisa menjadi ukuran tingkat kecukupan konsumsi gizi, artinya dengan semakin tinggi frekuensi makan maka peluang untuk mencukupi kebutuhan gizi akan semakin besar (Khomsan 2002). Berdasarkan data yang disajikan pada tabel di bawah ini dapat dikatakan frekuensi makan di ketiga wilayah contoh adalah baik. Hal tersebut karena sebagian besar contoh di tiga wilayah tersebut memiliki frekuensi makan lengkap lebih dari atau sama dengan 3 kali. Berikut adalah tabel sebaran contoh berdasarkan frekuensi makan lengkap : Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makan lengkap Frekuensi 3 kali 24 65 22 67 6 43 52 62 <3 kali 13 35 11 33 8 57 32 38 Walaupun sebagian besar (62%) contoh telah memiliki frekuensi makan yang baik, namun berdasarkan tabel 15 di atas dapat diketahui bahwa masih ada contoh yang memiliki frekuensi makan kurang dari 3 kali. Hal ini dapat menyebabkan masalah dalam tingkat kecukupan gizi. Secara kuantitas dan kualitas rasanya sulit untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi apabila kita hanya makan satu atau dua kali dalam sehari. Keterbatasan volume lambung menyebabkan kita tidak bisa makan sekaligus dalam jumlah banyak. Itulah sebabnya sebaiknya makan dilakukan secara frekuentif yaitu tiga kali sehari termasuk sarapan (Khomsan 2002). Berikut adalah tabel mengenai sebaran contoh berdasarkan jenis makanan pokok yang biasa dikonsumsi :

37 Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan jenis makanan pokok Jenis Makanan Nasi 37 44 33 38 14 44 84 41 Jagung 4 5 4 5 0 0 8 4 Umbian 8 9 4 5 0 0 12 6 Mie 19 22 22 25 10 31 51 25 Roti 17 20 23 27 8 25 48 24 Jumlah 85 100 86 100 32 100 203 100 Berdasarkan tabel 16 dapat diketahui bahwa makanan pokok yang biasa dikonsumsi contoh masih didominasi oleh nasi yaitu sebesar 41%. Jenis makanan pokok lainnya yang biasa dikonsumsi contoh di tiga wilayah tersebut adalah mie dan roti. Secara keseluruhan, jenis makanan jagung serta umbi hanya dikonsumsi oleh sebagian kecil contoh yaitu tidak lebih dari 7% saja. Kebiasaan Sarapan. Khomsan (2002) menyatakan bahwa sarapan adalah suatu kegiatan yang penting sebelum melakukan aktivitas fisik pada pagi hari. Setidaknya ada dua manfaat yang bisa diambil jika kita melakukan sarapan. Pertama, sarapan dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan gula darah. Dengan kadar gula darah yang terjamin normal, maka gairah dan konsentrasi kerja bisa lebih baik sehingga berdampak positif terhadap peningkatan produktifitas. Kedua, pada dasarnya sarapan pagi akan memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin, dan mineral. Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat untuk berfungsinya proses fisiologis dalam tubuh. Sarapan pagi akan menyumbang gizi sekitar 25%. Ini adalah jumlah yang cukup signifikan. Apabila kecukupan energi sekitar 2000 kkal dan protein 50 gram sehari untuk orang dewasa, maka sarapan pagi menyumbangkan 500 kkal dan 12.5 gram protein. Sisa kebutuhan energi dan protein lainnya dipenuhi oleh makan siang, makan malam dan makanan selingan di antara waktu makan (Khomsan 2002). Berdasarkan tabel 17 berikut dapat diketahui bahwa semua contoh di ketiga wilayah memiliki kebiasaan sarapan setiap harinya. Hal ini perlu untuk dijadikan kebiasaan mengingat pentingnya fungsi sarapan bagi kesehatan dan aktiftas. Tabel berikut memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan kebiasaan sarapan :

38 Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan sarapan Sarapan Ya 37 100 33 100 14 100 84 100 Tidak 0 0 0 0 0 0 0 0 Secara umum, menu sarapan contoh di tiga wilayah tidak selalu sama setiap harinya. Contoh di wilayah Bogor lebih sering mengkonsumsi nasi uduk di menu sarapannya dengan persentase 28%. Berdasarkan hasil wawancara, besarnya persentase contoh wilayah Bogor yang mengkonsumsi nasi uduk di saat sarapaan disebabkan oleh faktor ketersediaan. Pada contoh wilayah Depok lebih sering mengkonsumsi sarapan nasi, lauk dan sayur dengan persentase sebesar 20%. Untuk contoh wilayah Bandung lebih sering mengkonsumsi menu sarapan nasi dan lauk dengan persentase 30%. Lauk nabati yang sering dikonsumsi contoh adalah tempe dan tahu goreng. Lauk hewani yang sering dikonsumsi contoh adalah telur dadar dan ceplok. Jenis sayur yang biasa di konsumsi adalah sayur bayam dan tumis kangkung. Perbedaan menu sarapan antara contoh wilayah Bogor dengan Depok dan Bandung disebabkan karena adanya jadwal piket memasak di wilayah Depok dan Bandung tersebut. Berikut adalah tabel yang menjelaskan tentang menu sarapan contoh : Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan menu sarapan Menu Sarapan Nasi, lauk, sayur, buah 3 3 3 3 0 0 6 2.5 Nasi, lauk, sayur 9 9 19 20 1 3 29 13 Nasi lauk, buah 1 1 0 0 0 0 1 0.5 Nasi, lauk 18 18 8 9 9 30 35 16 Nasi, sayur 0 0 2 2 2 7 4 2 Nasi goreng 10 10 5 5 0 0 15 6.5 Nasi uduk 27 28 16 17 8 27 51 23 Mie 7 7 7 8 4 13 18 8 Bubur Ayam 10 10 16 17 1 3 27 12 Roti 14 14 18 19 5 17 37 16.5 Jumlah 99 100 94 100 30 100 223 100 Bagi sebagian orang, sarapan sering dilupakan atau ditinggalkan karena keterbatasan waktu dan padatnya aktifitas. Sehingga banyak yang lebih memilih minum-minuman yang mengandung kalori, seperti teh manis, susu dan lainnya. Berikut adalah tabel mengenai minuman saat sarapan :

39 Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan minuman saat sarapan Jenis Minuman Teh manis 11 18 16 23 2 10 29 19 Susu 16 26 15 21 5 25 36 24 Kopi 2 3 7 10 1 5 10 7 Air putih 33 53 32 46 12 60 77 50 Jumlah 62 100 70 100 20 100 152 100 Gula yang digunakan dalam pembuatan teh dan kopi turut menyumbang energi walau jumlahnya tidak terlalu besar. Tabel 19 di atas memperlihatkan jenis minuman yang biasa dikonsumsi oleh contoh. Sebagian besar (50%) contoh di tiga daerah lebih banyak mengkonsumsi air putih saat sarapan. Besarnya persentase konsumsi air putih di Bogor, Depok dan Bandung berturut-turut adalah 53%, 46% dan 60%. Konsumsi susu secara umum di tiga daerah memiliki persentase terbesar kedua setelah air putih yaitu 24%. Menurut Almatsier (2001) susu merupakan salah satu bahan makanan yang banyak mengandung kalsium. Kalsium berfungsi untuk mengkatalis absorbsi vitamin dan sebagai pemecah lemak. Bila konsumsi kalsium rendah, maka seseorang dapat menderita kekurangan kalsium yang dapat menyebabkan osteomalacia dan osteoporosis. Konsumsi susu dengan persentase terbesar terdapat di contoh wilayah Bogor (26%). Konsumsi susu contoh wilayah Depok dan Bandung berturut-turut adalah 21% dan 25%. Jika dilihat secara umum di tiga wilayah contoh, maka konsumsi susu masih lebih besar jika dibandingkan dengan teh manis (19%) dan kopi (7%). Kebiasaan Konsumsi Air Putih. Air sangat dibutuhkan oleh manusia karena air merupakan kebutuhan dan bagian dari kehidupan manusia. Ketika konsumsi air seseorang kurang dari yang dianjurkan maka akan menimbulkan masalah. Berdasarkan WKNPG (2004), jumlah kecukupan air bagi orang indonesia usia 19-29 tahun adalah 2 liter untuk laki-laki dan 2.5 liter untuk perempuan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh The Indonesian Hydration Regional Study (THIRST) mengungkap bahwa 46.1% subyek yang diteliti mengalami kurang air. Kejadian ini lebih tinggi pada remaja (49.5%) dibanding pada orang dewasa (42.5%). Menurut Hardinsyah (1994) konsumsi air yang cukup pada orang dewasa dalam keadaan basal adalah sebanyak 2 liter dalam 24 jam atau sekitar 8 gelas

40 per hari. Berikut adalah tabel mengenai sebaran contoh berdasarkan konsumsi air putih : Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan jumlah konsumsi air putih Jumlah (gelas/hari) < 8 gelas 25 68 19 58 9 64 53 63 8 gelas 12 32 14 42 5 36 31 37 Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) bagi orang dewasa memiliki kecukupan air 2.2 liter. Tabel 20 di atas memperlihatkan sebaran konsumsi air putih contoh dalam sehari. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar (63%) contoh di tiga wilayah mengkonsumsi air putih kurang dari 8 gelas per hari. Konsumsi tersebut belum memenuhi angka kecukupan air bagi orang dewasa menurut AKG. Jika dilihat dari jumlah konsumsi yang sudah memenuhi standar kecukupan air menurut AKG, maka wilayah Depok memiliki persentase paling besar (42%) dibandingkan Bogor (32%) dan Bandung (36%). Sebagai zat gizi, air mempunyai fungsi penting bagi tubuh manusia yaitu sebagai pembentuk sel dan cairan tubuh, pengatur suhu tubuh, pelarut, pelumas, media trasnportasi serta sebagai media eliminasi toksin dan produk sisa metabolisme (Santoso et al. 2011). Kebiasaan Jajan. Penelitian yang dilakukan oleh Suhanda (2006), bahwa kontribusi makanan jajanan terhadap konsumsi remaja daerah perkotaan menyumbang 21% energi dan 16% protein. Kontribusi makanan jajanan terhadap konsumsi anak sekolah menyumbang 5.5% energi dan 4.2% protein. Oleh karena itu, peran makanan jajanan sebagai penunjang gizi dalam menu sehari hari tidak dapat dikesampingkan. Namun, tidak semua jajanan dapat memberikan kontribusi gizi yang baik. Makanan ringan atau snack yang biasanya dipilih berdasarkan kemudahan untuk mendapatkan makanan tersebut daripada kandungan gizi yang ada (Wong et al 2002). Tabel 21 di bawah ini memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makanan jajanan : Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan jajan Kebiasaan Jajan Tidak 2 5 1 3 0 0 3 4 Ya 35 95 32 97 14 100 81 96

41 Berdasarkan tabel 21 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar (96%) contoh di tiga wilayah biasa mengkonsumsi makanan jajanan setiap harinya. Sebanyak 4% saja contoh di ketiga wilayah yang tidak biasa mengkonsumsi makanan jajanan. Jumlah dan jenis makanan jajanan sebaiknya harus diimbangi dengan proporsi energi yang didapat dari makan utama agar tidak terjadi kelebihan atau kekurangan energi. Tabel berikut menggambarkan beberapa jenis makanan jajanan yang biasa dikonsumsi contoh : Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan jenis makanan jajanan Jenis Makanan Jajanan Siomai 9 11 12 15 2 7 23 12 Bakso 14 16 14 17 4 13 32 16 Batagor 7 8 5 6 4 13 16 8 Gorengan 28 33 28 34 6 20 62 31 Snack Ringan 21 25 21 26 11 37 53 27 Lainnya 6 7 2 2 3 10 11 6 Jumlah 85 100 82 100 30 100 197 100 Berdasarkan tabel 22 dapat diketahui bahwa jenis jajanan yang paling banyak dikonsumsi di tiga daerah adalah gorengan dengan rata rata persentase sebesar 31%. Selain itu, snack ringan dapat dikatakan sering dikonsumsi setelah gorengan di ketiga aerah dengan persentase 27%. Menurut tabel DKBM, kandungan energi dalam setiap 1 porsi gorengan (tempe goreng) sebesar 164 kkal. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa sebaiknya jumlah konsumsi gorengan yang dimakan saat waktu selingan atau jajan tidak lebih dari 2 buah. Persentase pembagian energi saat selingan adalah 10-15% dari total kebutuhan energi sehari seseorang. Tabel 23 di bawah ini menyajikan sebaran contoh berdasarkan alasan mengkonsumsi makanan jajanan : Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan alasan jajan Alasan Rasa lapar 20 54 15 45 8 57 43 51 Diajak teman 3 8 3 10 0 0 6 7 Mau saja 14 38 15 45 6 43 35 42 Tabel 23 menyajikan alasan mengapa contoh mengkonsumsi jajanan. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh di tiga wilayah (51%) merasa lapar sehingga mereka mengkonsumsi makanan jajanan.

42 Makanan jajanan seperti kue kue merupakan penyumbang energi yang mampu menggantikan energi yang hilang di jeda waktu makan utama. Skor Kebiasaan Makan. Skor kebiasaan makan dalam penelitian ini adalah ukuran nilai perilaku makan contoh yang meliputi makanan pantangan, frekuensi makan utama, kebiasaan sarapan, kebiasaan jajan dan konsumsi air putih yang dinyatakan dalam satuan skoring 0-1. Skor yang semakin besar menunjukkan semakin baik kebiasaan makan yang dilakukan oleh contoh. Berikut data yang menunjukkan sebaran contoh berdasarkan skor kebiasaan makan : Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan skor kebiasaan makan. Skor Kebiasaan Makan <60 (kurang) 1 3 9 27 1 7 11 13 60-80 (cukup) 29 78 23 70 13 93 65 77 >80 (baik) 7 19 1 3 0 0 8 10 Skor kebiasaan makan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu <60, 60-80, dan >80 (Khomsan 2002). Berdasarkan data pada tabel 24 diketahui bahwa secara umum contoh di ketiga wilayah memiliki kebiasaan makan cukup (77%). Lebih dari 90% contoh wilayah Bandung memiliki skor 60 80. Contoh yang memiliki skor 60 80 di wilayah Bogor dan Depok sebesar 78% dan 70%. Secara umum, rata rata skor kebiasaan makan contoh wilayah Bandung lebih baik jika dibandingkan dengan Bogor dan Depok. Berdasarkan uji beda, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.163) pada variabel skor kebiasaan makan pada contoh di ketiga wilayah. Susunan Menu Makan. Susunan menu makan adalah jenis pangan yang dipilih contoh untuk tiap waktu makan, meliputi nasi, lauk hewani dan nabati, sayur, buah dan susu serta olahannya. Tabel 25 dan tabel 26 menunjukkan susunan menu makan siang dan makan malam contoh di tiga wilayah. Berdasarkan susunan tersebut dapat diketahui bahwa variasi susunan menu makan malam ketiga kelompok contoh hampir sama jika dibandingkan dengan makan siang. Berdasarkan data pada tabel 25, ketiga kelompok contoh sebagian besar memiliki susunan menu makan siang seperti nasi, lauk hewani, lauk nabati dan sayur. Selain itu, dapat pula diketahui bahwa ada beberapa contoh yang tidak makan siang yaitu pada contoh wilayah Depok dan Bandung. Berikut tabel yang menggambarkan susunan menu makan siang contoh :

43 Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan susunan menu makan siang Susunan Menu Makanan Nasi, Lauk Hewani 1 3 2 6 0 0 3 4 Nasi, Lauk Hewani, Lauk Nabati 0 0 2 6 0 0 2 2 Nasi, Lauk Hewani, Lauk Nabati, Sayur 17 46 15 45 2 14 34 40 Nasi, Lauk Hewani, Lauk Nabati, Sayur, Buah 3 8 2 6 2 14 7 8 Nasi, Lauk Hewani, Lauk Nabati, Sayur, Buah, Susu 0 0 1 3 1 7 2 2 Nasi, Lauk Hewani, Lauk Nabati, Buah 0 0 2 6 1 7 3 4 Nasi, Lauk Hewani, Lauk Nabati, Sayur, Susu 1 3 0 0 0 0 1 1 Nasi, Lauk Hewani, Sayur 4 11 1 3 2 14 7 8 Nasi, Lauk Hewani, Sayur, Buah 3 8 0 0 0 0 3 4 Nasi, Lauk Hewani, Sayur, Susu 1 3 0 0 0 0 1 1 Nasi, Lauk Nabati 0 0 1 3 2 14 3 4 Nasi, Lauk Nabati, Buah 1 3 0 0 0 0 1 1 Nasi, Lauk Nabati, Sayur, Buah 1 3 0 0 0 0 1 1 Nasi, Lauk Nabati, Sayur 4 11 4 12 2 14 10 12 Nasi, Sayur, Buah, Susu 1 3 0 0 0 0 1 1 Nasi, Sayur, Buah 0 0 1 3 0 0 1 1 Tidak 0 0 2 6 2 14 4 5 Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan susunan menu makan malam Susunan Menu Makanan Nasi, Lauk Hewani 2 5 1 3 1 7 4 5 Nasi, Lauk Hewani, Lauk Nabati 3 8 3 9 0 0 6 7 Nasi, Lauk Hewani, Lauk Nabati, Sayur 11 30 5 15 3 21 19 23 Nasi, Lauk Hewani, Lauk Nabati, Sayur, Buah 0 0 1 3 1 7 2 2 Nasi, Lauk Hewani, Lauk Nabati, Sayur, Buah, Susu 0 0 0 0 1 7 1 1 Nasi, Lauk Hewani, Lauk Nabati, Sayur, Susu 1 3 3 9 1 7 5 6 Nasi, Lauk Hewani, Sayur 7 19 1 3 3 21 11 13 Nasi, Lauk Hewani, Susu 0 0 1 3 1 7 2 2 Nasi, Lauk Hewani, Sayur, Buah 1 3 0 0 0 0 1 1 Nasi, Lauk Nabati 0 0 2 6 0 0 2 2 Nasi, Lauk Nabati, Sayur 7 19 13 39 0 0 20 24 Nasi, Lauk Nabati, Susu 1 3 0 0 0 0 1 1 Nasi, Lauk Nabati, Sayur, Buah 2 5 0 0 0 0 2 2 Nasi, Lauk Nabati, Sayur, Susu 1 3 1 3 0 0 2 2 Nasi, Sayur 0 0 0 0 1 7 1 1 Nasi, Sayur, Susu 1 3 0 0 2 14 3 4 Susu 0 0 1 3 0 0 1 1 Tidak 0 0 1 3 0 0 1 1

44 Tabel 26 memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan susunan menu makan malam. Variasi susunan menu makan malam hampir sama bila dibandingkan dengan dengan variasi susunan menu makan siang. Sebagian besar contoh wilayah Bogor dan Bandung memiliki susunan menu yang sama dengan siang hari yaitu nasi, lauk, nabati, dan sayur. Contoh wilayah Depok sebanyak 25% memiliki susunan menu makan malam yaitu nasi, lauk nabati dan sayur. Selain itu, pada contoh wilayah Depok juga ditemukan contoh yang tidak makan malam sebanyak 1 orang. Cara Memperoleh Makanan. Cara memperoleh makanan di antara ketiga contoh cukup berbeda. Sebagian besar (87%) contoh Bogor memperoleh makanan dengan cara membeli. Contoh wilayah Depok dan Bandung sebagian besar (>50%) memperoleh makanan dengan cara memasak sendiri. Hal ini disebabkan pada contoh wilayah Depok dan Bandung mempunyai jadwal piket memasak yang digilir setiap harinya. Hal ini dilakukan untuk memperkecil biaya pengeluaran terutama untuk pangan. Tabel berikut menggambarkan sebaran contoh berdasarkan cara memperoleh makanan : Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan cara memperoleh makanan Cara Memperoleh Makanan Memasak sendiri 3 8 20 61 9 65 32 38 Dimasakkan 2 5 3 9 3 21 8 10 Membeli 32 87 10 30 2 14 44 52 Contoh yang memperoleh makanan dengan cara membeli memiliki perbedaan tempat dan lokasi. Tabel 28 di bawah ini menjelaskan tentang sebaran contoh berdasarkan tempat membeli makan : Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan tempat memperoleh makan Tempat Membeli Makan Rumah makan 1 3 0 0 0 0 1 2 Warnas/warteg 22 69 6 60 2 100 30 68 Kantin 9 28 4 40 0 0 13 30 Catering 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah 32 100 10 100 2 100 44 100 Berdasarkan tabel 28 di atas, dapat diketahui bahwa rata rata contoh diketiga daerah membeli makan di warung nasi. Pemilihan tempat membeli makan ini karena kemudahan akses dan juga faktor harga. Walaupun demikian,

45 ada juga contoh yang membeli makan di kantin. Pemilihan tempat ini dikarenakan kemudahan akses dan jarak terutama saat jam istirahat yang singkat. Banyak alasan atau pertimbangan seseorang dalam menentukan makanan yang dikonsumsinya. Tabel berikut menjelaskan tentang sebaran contoh berdasarkan alasan memilih makanan : Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan alasan memilih makanan Alasan Selera 16 43 14 42 6 43 36 43 Ketersediaan 0 0 1 3 0 0 1 1 Harga 7 19 10 30 1 7 18 21 Keamanan 0 0 0 0 0 0 0 0 Gizi 9 24 4 12 0 0 13 15 Kebersihan 2 5 0 0 5 36 7 8 Kebutuhan 3 8 4 12 2 14 9 11 Berdasarkan tabel 29 di atas, dapat diketahui bahwa rata-rata alasan contoh di ketiga daerah memilih suatu makanan adalah karena selera. Alasan biaya atau harga memiliki persentase terbesar kedua setelah selera yaitu 21%. Jika dilihat tiap wilayah, alasan gizi memiliki persentase terbesar kedua setelah selera yaitu 24%. Contoh wilayah Depok dan Bandung alasan harga menjadi faktor terbesar kedua dengan persentase 30% dan 18%. Frekuensi Konsumsi Pangan. Frekuensi konsumsi pangan dalam penelitian ini merupakan frekuensi dan jenis pangan yang dikonsumsi contoh rata-rata dalam satuan kali per bulan. Frekuensi dan jumlah dihitung untuk setiap jenis pangan. Jenis pangan yang dikonsumsi dikelompokkan ke dalam kelompok pangan seperti pangan pokok, pangan nabati, pangan hewani, sayuran, buah buan, susu, dan makanan jajanan. Pangan Pokok. Bila dilihat dari frekuensi pangan contoh, yang terdapat pada tabel 30, maka pangan pokok yang biasa dikonsumsi adalah nasi, mie dan roti. Nasi dikonsumsi oleh seluruh contoh sebagai pangan sumber energi seharihari, sedangkan untuk konsumsi pangan sumber energi lainnya seperti roti dan mie cukup banyak dikonsumsi namun hanya dikonsumsi sebagai tambahan atau selingan. Rata-rata konsumsi nasi per bulan pada contoh di wilayah Bogor paling banyak yaitu 88 kali jika dibandingkan dengan wilayah Depok (79 kali) dan Bandung (86 kali). Tabel berikut menggambarkan frekuensi beberapa jenis pangan pokok yang dikonsumsi contoh dalam satu bulan :

46 Tabel 30 Konsumsi pangan pokok contoh menurut frekuensi Jenis Pangan Pokok Rata rata frekuensi/bulan (kali) Nasi 88 79 86 Gandum 9 2 3 Jagung 5 3 1 Singkong 2 2 1 Kentang 5 4 3 Ubi jalar 2 2 1 Talas 3 1 1 Mie 12 6 13 Bihun 7 2 1 Lontong 9 3 1 Roti 15 10 7 Pangan Hewani. Pangan hewani seperti daging, ayam, ikan dan telur mengandung protein dengan nilai biologi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pangan nabati. Daging, hati, ayam, ikan dan telur merupakan sumber zat besi yang mudah diabsorpsi oleh tubuh. Menurut Gerbens (2001) konsumsi dagingdagingan atau pangan hewani akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan seseorang. Berdasarkan tabel 31 di bawah ini, dapat diketahui bahwa jenis pangan hewani yang biasa dikonsumsi contoh adalah telur ayam negeri, ikan laut, ikan tawar dan ayam. Frekuensi konsumsi telur ayam negeri pada contoh wilayah Bogor dan Bandung memiliki jumlah yang sama yaitu 22 kali. Contoh wilayah Depok memiliki frekuensi konsumsi telur ayam negeri sebanyak 18 kali. Tabel berikut menggambarkan frekuensi konsumsi beberapa pangan sumber protein hewani : Tabel 31 Konsumsi pangan hewani contoh menurut frekuensi Jenis Pangan Hewani Rata rata frekuensi/bulan (kali) Ayam 18 13 13 Daging 3 3 3 Ikan laut 13 5 7 Ikan tawar 14 5 8 Ikan asin 5 5 2 Telur kampung 6 2 1 Telur negeri 22 18 22 Telur puyuh 7 1 3 Telur asin 7 1 1 Sarden 2 3 1 Hati ayam 4 3 3 Udang 3 2 1 Pangan Nabati. Lauk pauk yang terdiri atas pangan nabati dan pangan hewani merupakan pangan sumber protein. Kacang kacangan dalam bentuk kering atau hasil olahannya merupakan sumber protein yang baik walaupun

47 kandungan nilai biologinya lebih rendah dibanding protein hewani. Berdasarkan data pada tabel 32 dapat diketahui bahwa pangan nabati yang paling sering dikonsumsi oleh contoh di ketiga wilayah adalah tempe dan tahu. Rata-rata frekuensi konsumsi tempe pada contoh wilayah Depok lebih tinggi (35 kali) jika dibandingkan dengan contoh wilayah Bogor (30 kali) dan Bandung (27 kali). Sama halnya dengan tempe, untuk rata-rata frekuensi konsumsi tahu pada contoh wilayah Depok juga lebih tinggi (43 kali) jika dibandingkan dengan contoh wilayah Bogor (36 kali) dan Bandung (32 kali). Lebih tingginya frekuensi konsumsi tempe dan tahu di ketiga wilayah dibandingkan dengan pangan nabati lainnya diduga karena alasan harga yang relatif murah dan juga alasan ketersediaan atau kemudahan didapatkan. Berikut adalah tabel frekuensi konsumsi beberapa pangan nabati yang dikonsumsi contoh : Tabel 32 Konsumsi pangan nabati contoh menurut frekuensi Jenis Pangan Nabati Rata rata frekuensi/bulan (kali) Tempe 30 35 27 Tahu 36 43 32 Oncom 3 2 1 K.tanah 6 2 2 K.hijau 9 3 2 K.kedelai 7 3 1 K.merah 1 1 1 Sayuran. Jenis sayuran yang paling banyak dikonsumi contoh di ketiga wilayah adalah wortel, kool, kangkung, bayam, dan sawi. Wotel dan kool biasa dikonsumsi dalam bentuk sayur sop. Berdasarkan tabel 33 di bawah ini, dapat diketahui bahwa frekuensi konsumsi wortel dan kool pada contoh wilayah Bogor paling tinggi yaitu 23 kali dan 17 kali jika dibandingkan dengan wilayah Depok (15 kali & 10 kali) dan Bandung (19 kali & 16 kali). Frekuensi konsumsi kangkung tertinggi terdapat pada contoh wilayah Depok yiatu 19 kali. Frekuensi sawi tertinggi terdapat pada contoh wilayah Bandung yaitu 19 kali. Tabel berikut menggambarkan frekuensi konsumsi sayur contoh di ketiga wilayah : Tabel 33 Konsumsi sayur contoh menurut frekuensi Jenis Sayuran Rata rata frekuensi/bulan (kali) Bayam 16 15 5 Kangkung 17 19 8 Sawi 14 17 19 Wortel 23 15 19 Kool 17 10 16 Daun singkong 5 5 3 Daun papaya 1 2 0

48 Tabel 33 Konsumsi sayur contoh menurut frekuensi (lanjutan) Jenis Sayuran Rata rata frekuensi/bulan (kali) Daun melinjo 3 2 1 Selada 2 3 4 Toge 8 6 4 Katuk 1 1 1 Labu siam 3 7 2 Tomat 10 9 7 Mentimun 12 7 5 Nangka muda 5 4 3 Papaya 4 2 1 Terong 6 7 3 K.panjang 11 15 4 Buncis 8 10 5 Pare 4 1 3 Buah buahan. Buah pada umumnya dimakan dalam bentuk mentah yang merupakan sumber vitamin dan mineral. Berdasarkan tabel 34 di bawah ini dapat diketahui bahwa jenis buah yang paling sering dikonsumsi adalah pisang dan semangka. Konsumsi pisang paling banyak dikonsumsi pada contoh wilayah Bogor yaitu 10 kali. Konsumsi semangka paling banyak ditemukan pada contoh wilayah Bandung yaitu 8 kali/bulan. Pada contoh wilayah Bogor konsumsi nangka dikatakan paling sering dibanding jenis buah lainnya yaitu 15 kali/bulan. Hal ini diduga karena contoh sering mengkonsumsi nangka yang terdapat di pekarangan asrama. Tabel 34 Konsumsi buah contoh menurut frekuensi Jenis Buah buahan Rata rata frekuensi/bulan (kali) Alpukat 3 6 4 Apel 3 2 2 Anggur 1 2 1 Belimbing 1 1 1 Jambu biji 7 2 2 Jambu air 1 2 1 Jambu bol 1 1 1 Duku 1 2 2 Durian 1 2 1 Jeruk 6 5 3 Kedondong 4 2 1 Mangga 5 3 7 Nanas 6 2 5 Nangka 15 3 7 Papaya 4 2 2 Pir 2 2 3 Pisang 10 4 9 Rambutan 4 3 1 Salak 4 2 3 Sawo 1 1 1 Sirsak 4 1 4 Semangka 6 4 8

49 Susu dan Olahannya. Lemak dan protein dapat digunakan sebagai sumber energi bagi tubuh apabila energi dari karbohidrat tidak mencukupi. Kegunaan utama protein bagi tubuh adalah sebagai zat pembangun tubuh, mengganti sel tubuh yang rusak, serta mempertahankan tubuh dari berbagai bakteri penyebab penyakit. Susu dan beberapa makanan jenis olahannya merupakan sumber protein yang tinggi. Berdasarkan data pada tabel 35, dapat diketahui bahwa contoh lebih sering mengkonsumsi susu dibanding dengan jenis olahannya. Jenis susu yang sering dikonsumsi adalah susu kental manis, susu bubuk dan susu segar. Jenis olahan susu yang sering dikonsumsi contoh adalah yoghurt terutama pada contoh wilayah Bandung yaitu dengan frekuensi 11 kali/bulan. Tabel berikut menggambarkan frekuensi konsumsi susu dan olahannya pada ketiga wilayah : Tabel 35 Konsumsi susu contoh menurut frekuensi Jenis Susu dan Olahannya Rata rata frekuensi/bulan (kali) Susu sapi 12 11 13 Susu kambing 3 2 0 SKM 12 6 4 Susu bubuk 10 2 2 Keju 5 3 6 Yoghurt 5 2 11 Es krim 5 3 4 Makanan Jajanan. Jenis makanan jajanan yang paling banyak dikonsumsi oleh contoh adalah gorengan. Frekuensi konsumsi gorengan pada contoh wilayah Bandung paling tinggi (18 kali) jika dibandingkan dengan contoh wilayah Bogor (16 kali) dan Depok (14 kali). Jenis makanan jajanan yang juga sering dikonsumsi contoh adalah jenis wafer. Tabel berikut menjelaskan tentang frekuensi konsumsi makanan jajanan contoh : Tabel 36 Konsumsi jajanan contoh menurut frekuensi Makanan Jananan Rata rata frekuensi/bulan (kali) Bakso 8 4 3 Mie ayam 7 5 3 Nuget 7 3 3 Sosis 6 3 2 Somai 4 4 2 Batagor 6 2 5 Gorengan 16 14 18 Ciki 9 9 14 Kue basah 9 7 7 Wafer 10 10 11