METODOLOGI PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
VI. ANALISIS BIOEKONOMI

2 KERANGKA PEMIKIRAN

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

3 METODE PENELITIAN. 1. Pangkep 4 33' ' ' ' 2, Takalar , Bulukumba

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS KEBERLANJUTAN RAPFISH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA, IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) DI PERAIRAN TANJUNGPANDAN ABSTRAK

3 METODE UMUM PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODOLOGI KAJIAN

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

III METODE PENELITIAN

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

3. METODE PENELITIAN

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode Pengumpulan Data

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

3. METODE PENELITIAN

IV METODOLOGI 4.1 Metode Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

3 METODOLOGI. Laut Jawa. D K I J a k a r ta PULAU JAWA. Gambar 3. Lokasi Penelitian (Kabupaten Tangerang) S e l a t M a d u r a.

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

10 STATUS KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN SERANG DAN KABUPATEN TEGAL

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3.4 Jenis dan Sumber Data

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Metode Penelitian Metode Pengambilan Sampel

3. METODOLOGI PENELITIAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

C E =... 8 FPI =... 9 P

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

Produksi (Ton) Trip Produksi (Ton) Pukat Cincin ,

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

6 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI EKONOMI

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

III. METODE PENELITIAN

Transkripsi:

57 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus. Metode studi kasus adalah penelitian tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas (Maxfield dalam Nazir 2005). Penelitian ini mengambil kasus di Provinsi DKI Jakarta Jakarta. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui nilai optimal pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dan melihat status keberlanjutan dari pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta, dilihat dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan sekaligus strategi pengembangan pada saat sekarang dan sepuluh tahun mendatang sehingga dihasilkan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tangkap yang aplikatif dan berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta. 4.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah data deskriptif berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati (Taylor dan Bogdan 1984 diacu dalam Sitorus MTF 1998). Data kualitatif terbagi dalam tiga kategori yaitu hasil pengamatan, hasil pembicaraan dan bahan tertulis. Data kuantitatif adalah data yang nilainya berbentuk numerik atau angka, bersifat ringkas, sederhana, sistematis, terbakukan dan mudah disajikan (Sitorus MTF 1998). Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini berupa data-data cross section yang diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner kepada responden terpilih. Data yang dikumpulkan adalah data aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan para pelaku (nelayan, pemilik kapal, pengumpul, petugas TPI, dan stakeholders lainnya) dengan menggunakan instrumen terstruktur (kuesioner) dan pengamatan langsung di lokasi terpilih.

58 Data sekunder yang digunakan meliputi data produksi ikan dalam deret waktu tertentu, data karakteristik wilayah dan data pendukung lainnya dari BPS Provinsi DKI Jakarta, Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta dan Bappeda Provinsi DKI Jakarta dan penelusuran bahan tertulis (literature), hasil penelitian, jurnal, surat kabar, majalah, bulletin, dan lain sebagainya yang berhubungan dan menunjang kelengkapan data pada penelitian ini. 4.3 Metode Pengambilan Contoh Pengambilan sampel (sampling) pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling atau pemilihan responden dengan sengaja dan dengan pertimbangan status nelayan pemilik, perbedaan jenis alat tangkap dan kendala (waktu, tenaga dan biaya) tanpa mengurangi tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Responden pada penelitian ini adalah : 1) Kalangan nelayan dibagi berdasarkan jenis alat tangkapnya, yaitu payang, dogol, pancing, bouke ami, jaring insang, bubu dan jaring rampus. Jumlah responden tiap alat tangkap ditentukan berdasarkan kemampuan peneliti dalam melakukan identifikasi dan keberadaan serta kesediaan responden. Pemilihan responden tidak dilakukan secara acak melainkan responden yang diwawancarai ditentukan berdasarkan rekomendasi dari petugas lapangan dan keberadaan serta kesediaan responden. Nelayan yang menjadi responden adalah nelayan Muara Angke, nelayan Marunda, nelayan Cilincing, nelayan Kali Baru, nelayan Pulau Pramuka, nelayan Pulau Panggang, nelayan Pulau Pari dan nelayan Pulau Tidung Besar. Tabel 6. Jumlah responden menurut alat tangkap No Jenis Alat Tangkap Jumlah Responden 1 Payang 12 orang 2 Dogol 5 orang 3 Pancing 20 orang 4 Gill net 14 orang 5 Bouke ami (tmk bagan tancap dan sero) 20 orang 6 Bubu 11 orang 7 Jaring rampus 17 orang Total 99 orang Sumber : Data primer, 2013

59 2) Institusi terkait dengan perikanan tangkap yaitu Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Administrasi Jakarta Utara terkait, Seksi Kecamatan Peternakan, Perikanan dan Kelautan Cilincing, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), dan Koperasi Nelayan Pulau Tidung. 3) Pihak swasta yang terkait dengan kegiatan organisasi di wilayah pantai, seperti tengkulak. 4) Tokoh masyarakat setempat, seperti ketua KUB. 5) Key person lainnya yang relevan dengan aktivitas perikanan tangkap di lokasi penelitian. Untuk kemutahiran data dilakukan pula konsultasi ahli untuk mengklarifikasi kebenaran informasi. Verifikasi lapang dilakukan melalui berbagai cara diantaranya wawancara dengan pengambil kebijakan lokal (dinas terkait, pengayaan dengan fakta-fakta terbaru dengan perkembangan laporan atau dokumen dinas atau pengalaman lapang pejabat tertentu). 4.4 Metode Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan tiga metode, yakni : analisis bioekonomi, analisis degradasi dan depresiasi, analisis keberlanjutan dan analisis dinamik. 4.4.1 Metode Bioekonomi Sumberdaya Perikanan Pendugaan potensi sumberdaya ikan diperlukan untuk memberikan gambaran mengenai tingkatan dan batas maksimal dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan di suatu wilayah sehingga pembangunan perikanan dapat direncanakan sedemikian rupa untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Perikanan tangkap DKI Jakarta memiliki karakteristik perikanan yang multigears dan multispecies, yakni alat tangkap yang beroperasi di perairan Jakarta sangat beragan dan hampir semua jenis alat tangkap tersebut dapat menangkap beberapa jenis ikan dan semuanya mempunyai nilai ekonomis. Untuk memudahkan dalam melakukan analisis bioekonomi, penelitian ini membagi

60 sumberdaya ikan menjadi dua kelompok besar, yaitu sumberdaya ikan pelagis dan sumberdaya ikan demersal. Sumberdaya ikan pelagis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah semua ikan yang termasuk dalam kelompok ikan pelagis besar dan pelagis kecil menurut Naamin (1987). Adanya keterbatasan data dan kesulitan di daerah penelitian, dimana alat tangkap yang beroperasi tidak hanya menangkap ikan berdasarkan kelompok sumberdaya maka untuk analisis bioekonomi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan alat tangkap. Untuk sumberdaya ikan pelagis maka jumlah produksi ikan yang akan dianalisis adalah jumlah produksi ikan yang ditangkap oleh alat tangkap gill net, pancing dan payang sedangkan untuk sumberdaya ikan demersal adalah jumlah produksi ikan yang ditangkap oleh bouke ami (termasuk bagan tancap dan sero), bubu, rampus dan dogol. Pemilihan alat tangkap ini didasarkan pada pertimbangan bahwa alat tangkap ini masih dominan digunakan oleh nelayan Jakarta dan sebagian besar hasil tangkapannya bersumber dari perairan Jakarta. Standarisasi pada alat tangkap diperlukan untuk menyeragamkan satuan upaya penangkapan dari berbagai jenis alat tangkap dengan mengunakan salah satu alat tangkap yang dominan dalam menangkap ikan. Pada sumberdaya ikan pelagis, alat tangkap yang dijadikan standar adalah jaring insang sedangkan pada sumberdaya ikan demersal, alat tangkap yang dijadikan standar adalah alat tangkap bouke ami. Pemilihan alat tangkap standar ini dengan pertimbangan bahwa alat tangkap ini memiliki jumlah trip terbanyak dibandingkan dengan alat tangkap lain dan dioperasikan sepanjang tahun Dalam penilaian sumberdaya perikanan, hal terpenting yang perlu diketahui adalah nilai estimasi tangkapan lestari dan stok ikan yang idealnya dilakukan pada setiap spesies ikan. Untuk mengetahui nilai estimasi tangkapan lestari dapat diketahui dengan lebih dahulu mengetahui produktivitas dari stok ikan yang biasanya di estimasi dengan model kualitatif. Produktivitas stok ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor biologi, iklim maupun aktivitas manusia yang menyebabkan turunnya kualitas perairan (pencemaran), perusakan ekosistem pesisir serta pemutusan mata rantai makanan.

61 Pengkajian bioekonomi dalam penelitian ini dilakukan terhadap seluruh alat tangkap yang digunakan nelayan kemudian melakukan standarisasi alat tangkap. Langkah ini diperlukan karena ada variasi atau keragaman dari kekuatan alat tangkap. Unit penangkapan yang dijadikan standar adalah jenis unit penangkapan yang paling dominan menangkap ikan jenis-jenis tertentu di perairan DKI Jakarta dan memiliki faktor daya tangkap (fishing power indeks) sama dengan satu. Perhitungan fishing power indeks (FPI) adalah sebagai berikut : Upaya standarisasi diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Gulland 1983), yaitu : dimana : CPUE s = catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya unit penangkapan standar pada tahun ke-i; CPUE i = catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya jenis penangkapan yang akan distandarisasi; HTs = jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang dijadikan standar pada tahun ke-i; HTi = jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i; FE FE s i = jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan yang dijadikan standar pada tahun ke-i; = jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i; FPIs = fishing power indeks atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan standar pada tahun ke-i;

62 FPI i = fishing power indeks atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i; SE = Upaya penangkapan (effort) hasil standarisasi pada tahun ke-i. Estimasi stok ikan menggunakan model surplus produksi CYP untuk sumberdaya perikanan pelagis dan model surplus produksi Schnute untuk sumberdaya ikan demersal Pemilihan model tersebut berdasarkan hasil evaluasi model yang sesuai dengan apriori teori kemudian didasarkan pada hasil analisis statistiknya. Data sekunder sebagai rujukan analisis data diperoleh dari buku statistik perikanan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012. Data produksi dan jumlah alat tangkap yang diperoleh yakni selama 15 tahun, mulai dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2011. Data effort diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah alat tangkap dengan rata-rata jumlah trip nelayan Jakarta per tahun. Data jumlah trip nelayan diperoleh berdasarkan wawancara langsung dengan nelayan terpilih. Sebelum melakukan analisis optimasi terlebih dahulu dilakukan perhitungan catch per unit effort (CPUE). Perhitungan CPUE sebagai dasar perhitungan fungsi lestari dan analisis maximum economic yield (MEY). Berdasarkan estimasi parameter-parameter biologi yang dihasilkan dari model yang memenuhi kriteria statistik, ekonomi dan ekonometrika dapat diketahui pula pengelolaan sumberdaya perikanan di Provinsi DKI Jakarta pada kondisi Maximum Sustainable Yield (MSY). dimana : = hasil tangkapan spesies ke-n maksimum lestari = biomass spesies ke-n maksimum lestari = effort spesies ke-n maksimum lestari

63 Parameter ekonomi yang digunakan dalam analisis bioekonomi adalah rata-rata harga ikan per ton dan rata-rata biaya per trip penangkapan. Biaya per trip penangkapan didapat dari hasil wawacara dengan nelayan terpilih kemudian diambil rata-rata biaya per trip dari setiap unit penangkapan. Komponen biaya merupakan faktor penting dalam usaha perikanan tangkap karena besarnya biaya akan mempengaruhi efisiensi dari usaha tersebut. Untuk mendapatkan rata-rata harga ikan per ton digunakan metode ratarata tertimbang, yaitu : dimana : p Na,b,c,..,n Va,b,c,...n = rata-rata harga ikan per ton = nilai ikan a, b, c,...n = volume produksi ikan a,b,c,...n 4.4.2 Analisis Degradasi dan Depresiasi Degradasi dan depresiasi sumberdaya dapat diartikan sebagai penurunan nilai dari sumberdaya baik secara kuantitas maupun kualitas dan manfaat secara ekonomi sebagai dampak dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Jika nilai koefisien degradasi dan depresiasi suatu sumberdaya berada pada kisaran nilai toleransi yaitu 0-0,5 maka sumberdaya tersebut belum mengalami degradasi dan depresiasi. 4.4.2.1 Analisis Laju Degradasi Menurut Fauzi A dan S Anna (2005), degradasi dapat diartikan sebagai tingkat atau laju penurunan kualitas atau kuantitas sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) atau dengan kata lain, kemampuan alami sumberdaya alam dapat diperbaharukan untuk melakukan regenerasi sesuai kapasitas produksinya berkurang. Kondisi ini dapat terjadi baik karena kondisi alam maupun karena pengaruh aktivitas manusia. Degradasi sumberdaya alam dapat dihitung berdasarkan Anna S (2003) :

64 dimana : = laju degradasi h = produksi lestari pada periode t h 0 = produksi aktual pada periode t 4.4.4.2 Analisis Laju Depresiasi Analisis depresiasi sumberdaya ditujukan untuk mengukur perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam, atau dengan kata lain depresiasi merupakan pengukuran degradasi yang dirupiahkan. Menurut Anna S (2003) formula pengukuran depresiasi sumberdaya dapat dinotasikan sebagai berikut : dimana : = laju degradasi π = keuntungan lestari pada periode t π 0 = keuntungan aktual pada periode t 4.4.3 Analisis Keberlanjutan 4.4.3.1 Dimensi Keberlanjutan Berbeda dengan sumberdaya daratan (terresterial), sumberdaya perikanan tangkap bersifat migratif, open access dan common property, yaitu sumberdaya tidak menetap pada suatu kawasan saja, pemanfaatannya bersifat terbuka dan kepemilikannya bersifat umum. Oleh sebab itu pembangunan sumberdaya ikan berkelanjutan berarti pembangunan yang tidak hanya mampu menciptakan kegiatan penangkapan sumberdaya perikanan tangkap yang kompetitif dan menguntungkan sehingga menciptakan kehidupan yang baik bagi masyarakat perikanan dan menjamin ketahanan pangan yang bersumber dari protein hewani khususnya ikan tetapi juga mampu menjamin kelangsungan dari lingkungan perairan dan sumberdaya alam didalamnya yang mendukung kegiatan perikanan tangkap. Analisis keberlanjutan untuk sumberdaya perikanan pada penelitian ini terdiri atas lima dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan sumberdaya ikan pada dimensi ekologi, keberlanjutan sumberdaya ikan pada dimensi ekonomi, keberlanjutan sumberdaya ikan pada dimensi teknologi, keberlanjutan

65 sumberdaya ikan pada dimensi sosial dan keberlanjutan sumberdaya ikan pada dimensi kelembagaan. A. Keberlanjutan Sumberdaya Ikan pada Dimensi Ekologi Beberapa atribut keberlanjutan dari dimensi ekologi yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan tangkap Provinsi DKI Jakarta adalah tingkat eksploitasi, tekanan pemanfaatan perairan, proporsi ikan yang dibuang, tingkatan kolaps, dan perubahan ukuran dan jenis ikan tertangkap dalam sepuluh tahun terakhir. Penyusunan skor status keberlanjutan pada dimensi ekologi perikanan di Provinsi DKI Jakarta dilakukan berdasarkan acuan dari studi terdahulu. 1) Atribut ekologi tentang tingkat eksploitasi diperoleh berdasarkan kajian dengan menggunakan metode analisis bioekonomi. Analisis bioekonomi akan menghasilkan parameter pendugaan tingkat dan batas maksimal pemanfaatan lestari sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta. Penilaian atribut tingkat eksploitasi didasarkan pada perbandingan tingkat eksploitasi aktual terhadapt tingkat eksploitasi lestari (MSY). Semakin rendah tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan di unit analisis maka risiko/ancaman bagi keberlanjutan perikanan di unit analisis akan semakin kecil (Hartono et.al 2005). 2) Atribut tekanan pemafaatan perairan menggambarkan intensitas pemanfaatan perairan oleh berbagai kegiatan yang secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi aktivitas perikanan tangkap. Tekanan pemanfaatan perairan dapat berupa pemanfaatan wilayah pesisir dan laut sebagai lahan budidaya, jalur transportasi laut, pariwisata, maupun aktivitas di daratan yang secara langsung mempengaruhi kondisi ekologis perairan seperti buangan sampah dan limbah yang berasal dari wilayah pesisir maupun daratan. Semakin tinggi tingkat pemanfaatan perairan maka akan menyebabkan semakin menurunnya kualitas perairan tersebut yang akan berdampak pada semakin menurunnya kondisi ekologi wilayah perairan. Penilaian pada atribut ini didapat berdasarkan hasil pengamatan langsung dan hasil wawancara dengan nelayan terpilih, petugas lapangan, dan para pakar di DKP Provinsi DKI Jakarta. 3) Perubahan ukuran ikan tertangkap dalam sepuluh tahun terakhir akan menggambarkan dampak akibat terjadinya perubahan ekologi. Ukuran ikan

66 yang semakin mengecil dapat mengindikasikan telah terjadi degradasi pada perairan tersebut. Kondisi tersebut juga dapat mengindikasikan telah terjadinya overfishing karena stok ikan tertangkap rata-rata ukurannya lebih kecil daripada yang seharusnya untuk berproduksi pada tingkat yield per recruit yang maksimum (Fauzi 2005). Penilaian pada atribut ini diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan terpilih dan petugas lapangan. Tetapnya ukuran rata-rata ikan yang tertangkap dalam sepuluh tahun terakhir mengindikasikan bahwa ada cukup waktu bagi ikan tersebut untuk dewasa sebelum tertangkap. Hal ini menunjukkan kecilnya risiko/ancaman bagi keberlanjutan usaha perikanan di unit analisis (Hartono et. al 2005). 4) Perubahan jenis ikan tertangkap dalam sepuluh tahun terakhir. Rendahnya perubahan jenis ikan yang tertangkap dalam sepuluh tahun terakhir mengindikasikan bahwa fungsi ekosistem masih berjalan dengan baik, dimana tingkat pemulihan dari jenis-jenis ikan tesebut masih berjalan baik. Semakin baik fungsi ekosistem maka secara tidak langsung risiko/ancaman bagi kebelanjutan semakin kecil (Hartono et. al 2005). Penilaian pada atribut ini diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan terpilih. 5) Proporsi ikan yang dibuang menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya perikanan. semakin sedikit ikan non target yang tertangkap dan dibuang berarti semakin efisien penggunaan/pemanfaatan sumberdaya perikanan. yang berimplikasi pada semakin terjaminnya keberlanjutan usaha perikanan di lokasi penelitian (Hartono et al 2005). Proporsi ikan yang dibuang adalah jumlah ikan tangkapan nelayan yang tidak mempunyai nilai ekonomis dan tidak dimanfaatkan nelayan. Pemanfaatan ikan hasil tangkapan nelayan dapat dilakukan dalam bentuk dijual, diolah atau dikonsumsi oleh nelayan sendiri. Penilaian pada atribut ini diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan terpilih. 6) Atribut tingkatan kolaps/pengurangan lokasi tangkap mengindikasikan bahwa semakin sedikit atau tidak adanya gejala penurunan jumlah ikan dalam geografis/cakupan area tertentu menunjukkan ekosistem yang baik. Dengan demikian semakin kecil pula risiko/ancaman terhadap keberlanjutan di unit

67 analisis. Penilaian pada atribut ini diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan terpilih. B. Keberlanjutan Sumberdaya Ikan pada Dimensi Ekonomi Kajian ekonomi sangat penting mengingat berbagai interaksi dalam kegiatan perikanan tangkap seperti interaksi teknologi dan sosial selalu terkait dengan alasan dan tujuan ekonomi atau keuntungan ekonomi secara maksimal dalam waktu yang relatif lama. Keberlanjutan ekonomi terwujud jika aktivitas perikanan tangkap mempunyai daya saing yang tinggi dan mampu bersaing secara kompetitif di pasaran sehingga akan memberikan manfaat bagi masyarakat nelayan. Penentuan atribut pada dimensi ekonomi dalam penelitian ini menggunakan indikator yang digunakan penelitian terdahulu dan ada satu atribut yang disesuaikan dengan kondisi rill daerah penelitian. Atribut-atribut pada dimensi ekonomi pada penelitian ini adalah keuntungan, kontribusi sektor perikanan terhadap total PDRB, kepemilikan, sumberdaya ikan luar Jakarta yang didaratkan di Jakarta, other income, orientasi pemasaran, dan penyerapan tenaga kerja. 1) Keuntungan Dalam atribut dimensi ekonomi, keuntungan adalah faktor yang paling penting. Faktor keuntungan inilah yang akan menentukan apakah seseorang akan bertahan atau berhenti dari usaha perikanan tangkap. Jika tingkat keuntungan hasil tangkapan per trip dalam volume dan jenis tangkapan yang sama semakin tinggi maka tingkat eksploitasi per trip akan cenderung menurun sehingga berakibat pada semakin kecilnya ancaman terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap (Hartono et al 2005). Penilaian skor pada atribut keuntungan didasarkan pada analisis kelayakan investasi pada setiap jenis alat tangkap dan hasil perhitungan keuntungan pada analisis bioekonomi. 2) Kontribusi sektor perikanan terhadap total PDRB Prestasi ekonomi suatu negara atau daerah dapat dinilai dengan berbagai ukuran agregat. Salah satu indikator yang ideal untuk mengukur tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah adalah pendapatan regional. Dalam kaitan prestasi ekonomi suatu daerah alat ukurnya adalah PDRB yang merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah yang mampu diciptakan akibat

68 timbulnya berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu daerah. Pendapatan regional pada dasarnya merupakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dikurangi penyusutan pajak tak langsung dan ditambah pendapatan netto yang mengalir dari daerah lain. Aspek yang perlu diperhatikan dalam PDRB adalah struktur (sebaran sektor) ekonominya. Struktur ekonomi dipandang sangat penting karena bisa melihat seberapa besar tiap sektor berperan dalam menghasilkan total nilai tambah, sektor-sektor mana yang tumbuh dan sektor apa saja yang mempunyai peluang untuk dikembangkan. Perkembangan atau dinamika sektor perikanan dapat dilihat dari kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta. Jika dalam wilayah/unit yang dianalisis sektor perikanan relatif memberikan kontribusi terhadap perekonomian yang lebih besar (tampak dari kontribusi terhadap PDRB) maka perhatian stakeholder terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap akan semakin tinggi (Hartono et.al 2005). Sumber data untuk atribut ini adalah Badan Pusat Statistik dan penilaian pada atribut ini didapatkan berdasarkan perbandingan antara PDRB sektor perikanan terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta dalam kurun waktu 1997 sampai 2011. 3) Kepemilikan Sifat kepemilikan sarana penangkapan berhubungan dengan penerimaan keuntungan dari usaha perikanan. Kepemilikan sarana penangkapan ada yang dimiliki pemilik lokal, campuran antara pemilik lokal dan non lokal maupun pemilik non lokal yang menanamkan modalnya di usaha perikanan pada suatu wilayah. Sifat kepemilikan sarana penangkapan ini selain menunjukkan penerimaan keuntungan juga menunjukkan tingkat kemandirian penduduk sekitar terhadap kepemilikan aset usaha perikanan yang tidak tergantung pada pihak luar. Jika keuntungan lebih banyak dinikmati oleh penduduk lokal maka kecenderungan penduduk lokal akan lebih mendukung keberlanjutan usaha perikanan tangkap (risiko/ancaman terhadap kelestarian sumberdaya perikanan tangkap akan semakin kecil) (Hartono et.al 2005). Penilaian untuk atribut kepemilikan didapatkan melaui hasil wawancara dengan responden terpilih.

69 4) Sumber Pendapatan Lain (Other Income) Kebijakan yang mampu menciptakan kebijakan lapangan pekerjaan di luar perikanan serta alternatif pendapatan lain mampu meningkatkan status keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap yang mendekati/sudah overfishing. Semakin sedikit masyarakat perikanan yang dianalisis melakukan kegiatan di sektor perikanan sebagai pekerjaan utama maka risiko/ancaman terhadap keberlanjutan usaha perikanan (terjadinya eksploitasi sumberdaya perikanan yang yang berlebihan akan semakin rendah) (Hartono et. al 2005). Penilaian untuk atribut ini didapatkan melaui hasil wawancara dengan responden terpilih. 5) Orientasi Pasar Pasar atau pengguna lokal cenderung akan lebih peduli/bersahabat terhadap sumberdaya perikanan di wilayahnya sehingga keberlanjutan usaha perikanan di wilayahnya akan semakin tinggi (Hartono et. al 2005). Jakarta merupakan ibu kota negara dan pusat niaga untuk wilayah Indonesia Barat sehingga ikan yang didaratkan di TPI-TPI Jakarta tidak hanya bersumber dari perairan Jakarta tapi juga dari wilayah perairan lain. Kebutuhan ikan untuk daerah Jakarta tidak hanya untuk kebutuhan konsumsi masyarakat Jakarta yang berjumlah lebih dari sembilan juta orang tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan yang orientasi pasarnya tidak hanyak lokal tetapi juga luar daerah dan internasional.penilaian untuk atribut ini didapatkan melaui hasil wawancara dengan responden terpilih dan expert meeting. 6) Sumberdaya Ikan luar Jakarta yang didaratkan di Jakarta Proporsi sumberdaya ikan luar Jakarta yang didaratkan di Jakarta dibandingkan dengan ikan lokal menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumberdaya ikan luar. Atribut ini merupakan atribut yang muncul karena adanya kekhasan daerah penelitian. Jika propsorsi ikan lokal lebih banyak dibandingkan ikan luar maka kecenderungan untuk menjaga keberlanjutan usaha perikanan tangkap akan semakin tinggi. Penilaian untuk atribut ini didasarkan pada data ikan lokal dan ikan luar daerah yang didaratkan di Jakarta yang terdapat didalam buku statistik perikanan dan kelautan Provinsi DKI Jakarta

70 7) Penyerapan tenaga kerja Penyerapan tenaga kerja dalam kegiatan perikanan tangkap tergantung dari ukuran perahu atau perahu, jenis alat tangkap dan jumlah waktu penangkapan dalam satu trip penangkapan. Penilaian pada atribut ini didasarkan pada hasil wawancara dengan responden terpilih mengenai rata-rata jumlah tenaga kerja yang digunakan per trip. C. Keberlanjutan Sumberdaya Ikan pada Dimensi Sosial Keberlanjutan sosial terwujud apabila aktivitas perikanan tangkap mampu mendistribusikan keuntungan ekonomi yang diterimanya untuk peningkatan sumberdaya dan kesejahteraan tenaga kerja secara terus menerus (Kennedy 2002). Keberlanjutan sosial akan semakin tinggi apabila keberlanjutan ekonomi dapat dicapai. Dimensi sosial merupakan cerminan dari bagaimana sistem sosial manusia (masyarakat perikanan tangkap) yang terjadi dan berlangsung dapat/tidak dapat mendukung berlangsungnya pembangunan perikanan tangkap dalam jangka panjang dan secara berkelanjutan. Kajian keberlanjutan perikanan tangkap pada dimensi sosial dilakukan untuk menggambarkan kehidupan nelayan sebagai manusia yang harus beradaptasi dengan lingkungan sosial dan sumberdaya perikanan sebagai sumber kehidupannya. Pengertian dimensi ini dalam bingkai pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta diterjemahkan dalam sepuluh atribut, yaitu pertumbuhan jumlah RTP dalam sepuluh tahun terakhir, tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan nelayan (formal) dibandingkan dengan rata-rata tingkat pendidikan penduduk Jakarta, status dan frekuensi konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan hasil sumberdaya perikanan, socialisation of fishing (tingkat hubungan sosial dalam masyarakat perikanan), frekuensi penyuluhan dan pelatihan untuk nelayan, fishing sector, pengaruh nelayan, dan rata-rata keuntungan per bulan terhadap UMR. 1) Jumlah RTP dibandingkan jumlah penduduk DKI Jakarta Peningkatan jumlah penduduk yang memanfaatkan sumberdaya perikanan menyebabkan semakin tingginya tekanan pemanfaatan sumberdaya perikanan. semakin kecil tingkat pertumbuhan jumlah masyarakat yang bergerak di bidang perikanan maka semakin kecil penambahan tingkat

71 kebutuhan akan sumberdaya perikanan (memperkecil risiko/ancaman terhadap keberlanjutan usaha perikanan di unti analisis (Hartono et.al). 2) Tingkat pendidikan Pencapaian pendidikan merupakan salah satu ukuran untuk menilai kemajuan suatu masyarakat. Masyarakat berpendidikan tinggi akan lebih mudah menyerap informasi-informasi kemajuan peradaban sehingga dapat meningkatkan kualitas penduduk daerah yang bersangkutan. Pendidikan mempunyai korelasi yang kuat dengan berbagai aspek sosial ekonomi. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang kuat dengan kualitas hidup dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Menurut Hartono et al (2005), semakin tinggi pendidikan masyarakat perikanan maka cenderung akan semakin meningkatkan kepedulian masyarakat (public awareness) terhadap keberlanjutan usaha perikanan di wilayah/unit analisis. 3) Tingkat pengetahuan Tingkat pengetahuan nelayan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan nelayan mengenai isu-isu lingkungan, seperti ilegal fishing, pencemaran, kerusakan terumbu karang, dsb). Pengetahuan atau pemahaman tentang lingkungan hidup secara tidak langsung mengindikasikan tingkat kepedulian nelayan terhadap keberlanjutan usaha perikanan di walayahnya (Hartono et. al 2005). 4) Status atau frekuensi konflik Umumnya kelestarian usaha perikanan akan lebih terjamin jika tidak pernah terjadi konflik, baik konflik antar stakeholder yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap usaha perikanan maupun konflik antara stakeholder dengan masyarakat diluar usaha perikanan tangkap (Hartono et al 2005). Konflik yang terjadi dapat berupa konflik pemanfaatan ruang/perebutan DPI baik antar nelayan maupun dengan sektor lain, seperti perhubungan laut, budidaya dan lain sebagainya. 5) Partisipasi keluarga dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan Semakin banyak anggota keluarga yang terlibat dalam usaha perikanan maka semakin tinggi perhatian akan diberikan kepada keberlanjutan pengelolaan

72 sumberdaya perikanan (Hartono et. al 2005). Partisipasi keluarga dalam mendukung usaha perikanan memang sangat dibutuhkan untuk menunjang pendapatan kepala keluarga. Partisipasi ini dapat berupa peran istri dalam menjual maupun mengolah hasil tangkapan. 6) Frekuensi pertemuan antar warga Pertemuan antar warga nelayan sangat penting dilakukan mengingat sangat kompleksnya penanganan dan pengelolaan sumberdaya perikanan laut. 7) Tingkat hubungan sosial masyarakat perikanan (socialisation of fishing) Socialisation of fishing yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat hubungan sosial yang terjadi dalam masyarakat perikanan. Sosialisasi dapat dilakukan secara individu, kerjasama hanya dalam satu keluarga maupun kerjasama antar kelompok masyarakat nelayan 8) Pengaruh nelayan Pengaruh nelayan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keterkaitan nelayan dalam proses penyusunan regulasi pengelolaan perikanan. Semakin besar tingkat partisipasi (keterlibatan/pengaruh) masyarakat nelayan/ perikanan dengan pengetahuan tradisionalnya dalam pengambilan keputusan dibidang pengelolaan sumberdaya perikanan maka akan mendukung kelestarian sumberdaya perikanan (risiko/ancaman terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan semakin kecil) (Hartono et.al 2005). 9) Pendapatan hasil perikanan (fishing income) Fishing income yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persentase pendapatan dari sektor perikanan tangkap terhadap total pendalapan keluarga. Semakin besar persentase/bagian pendapatan nelayan dari total pendapatan keluarga berasal dari usaha perikanan maka semakin tinggi tingkat kepedulian terhadap upaya pelestarian/keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan (Hartono et.al 2005). 10) Keuntungan usaha tangkap per bulan (KUT) dibanding UMR Pendapatan nelayan merupakan indikator penting untuk menilai potensi keberlanjutan usaha perikanan tangkap. Pendapatan yang rendah mengindikasikan bahwa potensi nelayan untuk mendapatkan kehidupan yang layak semakin tidak terpenuhi. Sebagai pembanding untuk mengukur tingkat

73 pendapatan nelayan digunakan nilai UMR sehingga dapat dinilai apakah pendapatan nelayan telah sesuai dengan rata-rata pendapatan pekerja pada industri kecil dan menengah. Pendapatan nelayan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapatan nelayan tanpa mempertimbangkan statusnya. Hal ini dikarenakan pendapatan nelayan pemilik kapal dan pekerja di Jakarta ralatif sama. Pendapatan nelayan dipengaruhi oleh keuntungan per upaya tangkap. Menurut model produksi surplus, kegiatan upaya tangkap akan terus meningkat sampai batas tertentu hingga keuntungan tangkap sama dengan nol (Purnomo 2012). Mengacu kepada prinsip tersebut, terjadinya peningkatan upaya tangkap setelah tingkat eksploitasi optimal (MSY) akan mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan. Kondisi seperti ini saat ini terjadi pada kawasan penelitian sehingga apabila upaya tangkap (effort) meningkat pendapatan nelayan akan terus menurun. Pendapatan nelayan nilainya dipengaruhi oleh keuntungan per upaya tangkap (KUT) dan jumlah upaya tangkap per bulan. Keuntungan per upaya tangkap (KUT) didapatkan melalui persamaan sebagai berikut (Purnomo 2012) : dimana : C t P E t t = biaya produksi riil = harga rill = effort Perhitungan UMR didasarkan pada kebutuhan hidup minimal (KHM) daerah oleh sebab itu perhitungan rata-rata keuntungan per bulan nelayan dibandingkan UMR dapat menggambarkan kemampuan nelayan dalam mendistribusikan keuntungan ekonomi yang diterimanya untuk peningkatan sumberdaya dan kesejahteraan keluarganya. Keberlanjutan sosial akan semakin tinggi apabila keberlanjutan ekonomi dapat dicapai. D. Keberlanjutan Sumberdaya Ikan pada Dimensi Teknologi Keberlanjutan teknologi terkait erat dengan keberlanjutan ekonomi dan kelembangaan. Menurut Dunlop et al. (2004) teknologi merupakan faktor pendorong (driver of change) bagi tercapainya efisiensi produksi sehingga

74 mengurangi tingkat kebahayaannya terhadap lingkungan. Porter (1993) menyatakan bahwa pembaharuan teknologi diperlukan apabila secara nyata mampu menekan biaya produksi. Dengan demikian teknologi yang berkelanjutan dapat diartikan sebagai teknologi yang mampu meningkatkan keuntungan menyeluruh bagi usaha perikanan baik dari segi peningkatan efisiensi dan produktivitas produksi maupun penurunan limbah dan dampak buruknya terhadap lingkungan. Pada umumnya, pengembangan teknologi dibidang penangkapan ikan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas penangkapan untuk memenuhi permintaan konsumsi yang semakin meningkat dan/atau untuk meningkatkan daya saing sesama nelayan karena semakin terbatasnya sumberdaya ikan. Perkembangan teknologi yang semakin efektif seperti memperkecil ukuran mata jaring dan menambah kedalaman jaring bisa berdampak pada menurunnya ketersediaan sumberdaya ikan sehingga persaingan dalam memperebukan sumberdaya ikan yang terbatas akan terjadi. Persaingan dalam teknologi penangkapan biasanya ditandai dengan dioperasikannya alat penangkpan ikan yang makin produktif namun kurang ramah lingkungan bahkan bersifat destruktif. Dimensi teknologi merupakan cerminan dari pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dengan menggunakan suatu teknologi. Teknologi yang baik adalah teknologi yang dapat mendukung keberlanjutan setiap aktivitas ekonomi dalam sektor perikanan tangkap. Kajian dimensi teknologi ini sangat penting karena aplikasi teknologi dapat menggambarkan tingkat serapan teknologi oleh masyarakat penggunanya. Pada aktivitas perikanan tangkap, penggunaan teknologi dapat menggambarkan skala usahanya. Interaksi dimensi teknologi dengan dimensi lainnya, seperti dimensi ekonomi dan sosial dapat berdampak langsung maupun jangka panjang terhadap kondisi dimensi ekologi. Dalam perikanan tangkap, penggunaan teknologi juga dapat mengindikasikan etika pengelola perikanan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan. Penggunaan teknologi yang tidak tepat dapat memicu terjadinya kerusakan lingkungan atau dapat menimbulkan konflik sosial antar pemanfaat sumberdaya ikan. Beberapa kriteria untuk teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yaitu selektifitas tinggi, tidak destruktif terhadap habitat, tidak membahayakan nelayan,

75 menghasilkan ikan bermutu baik, produk tidak membahayakan kesehatan konsumen, hasil tangkapan ikan yang dibuang minimum, mempunyai dampak minimum terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati, tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah, dan diterima secara sosial (Monintja dalam Bengen 2000). Pengertian dimensi ini dalam bingkai pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan di perairan Jakarta diterjemahkan ke dalam sembilan atribut yang secara operasional dapat menggambarkan status keberlanjutan perikanan tangkap yang dianalisis menurut dimensi teknologi. Atribut dalam dimensi teknologi dalam penelitian ini antara lain, pilihan terhadap tempat pendaratan ikan, lama trip penangkapan, jenis/sifat alat tangkap, selektifitas alat tangkap, penanganan di kapal sebelum didaratkan, ukuran kapal penangkapan, penanganan pasca panen, penggunaan alat bantu destruktif dan perubahan daya tangkap. 1) Pilihan terhadap Tempat Pendaratan Ikan Tempat pendaratan ikan yang menyebar atau berjumlah banyak secara langsung mempercepat waktu penurunan ikan sehingga meningkatkan keuntungan nelayan (Hartono et.al 2005). Provinsi DKI Jakarta mempunyai tiga belas tempat pendaratan ikan, yaitu enam berada di wilayah pesisir Jakarta dan tujuh berada di wilayah Kepulauan Seribu. 2) Lama Trip Penangkapan Atribut lama trip penangkapan menggambarkan jarak fishing ground keberadaan sumberdaya perikanan. Kemampuan lama melaut secara tidak langsung menunjukkan kemampuan mengeksploitasi sumberdaya perikanan. Semakin singkat waktu melaut makan semakin kecil kemampuan mengeksploitasi sumberdaya perikanan. 3) Jenis/Sifat Alat Tangkap Alat tangkap ikan pelagis seperti gill net dan payang dikategorikan sebagai alat tangkap yang aktif sedangkan alat tangkap pancing dikategorikan alat tangkap pasif. Alat tangkap ikan demersal seperti bubu dan rampus dikategorikan sebagai alat tangkap yang pasif sedangkan bouke ami dan dogol dapar dikategorikan sebagai alat tangkap yang aktif.

76 4) Selektifitas Alat Tangkap Peningkatan selektifitas penangkapan sangat terkait dengan efisiensi penggunaan sumberdaya perikanan. Semakin selektif maka sumberdaya perikanan akan semakin berkelanjutan. Nelayan Jakarta umumnya dapat menyiapkan alat tangkap yang digunakan secara mandiri. Kemampuan pengadaan alat tangkap secara mandiri memberi keuntungan bagi nelayan untuk menekan biaya produksi. Selama ini nelayan tersebut hanya tinggal membeli bahan yang diperlukan (meskipun tidak semua) dan bila ada waktu tidak melaut, beberapa nelayan terkadang menyibukan diri dengan membuat alat tangkap baik untuk kepentingan sendiri maunpun untuk nelayan lainnya. Selain kemampuan pengadaan alat tangkap secara mandiri, para nelayan di perairan Jakarta telah mampu memodifikasi alat tangkapnya untuk disesuaikan dengan fishing ground dan sebagian sudah mulai memperbesar mata jaringnnya untuk kepentingan kelestarian SDI. 5) Penanganan di kapal sebelum didaratkan Semakin baik penanganan ikan di atas kapal maka semakin memperkecil terjadinya penurunan kualitas ikan pada saat didaratkan/dijual sehingga meningkatkan keuntungan nelayan. Semakin baik penanganan ikan di atas kapal maka semakin memperkecil risiko/ancaman terhadap keberlanjutan usahan perikanan tangkap. 6) Ukuran kapal penangkapan Semakin besar ukuran kapal maka semakin tinggi kemampuan nelayan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan, yang berarti semakin tinggi ancaman terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap. 7) Penanganan pasca panen Atribut penanganan pasca panen untuk melihat kemampuan nelayan memperoleh nilai tambah (value added) dari perikanan. Semakin baik penanganan ikan sebelum dijual maka secara tidak langsung semakin meningkatkan keuntungan nelayan dan memperkecil risiko terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap.

77 8) Penggunaan alat bantu yang destruktif Alat bantu perikanan yang destruktif dapat dideskripsikan sebagai alat yang dapat menimbulkan kerusakan sumberdaya perikanan, misalnya penangkapan ikan dengan bom, bius atau tenaga listrik. Dengan penggunaan alat bantu yang destruktif ini ikan akan lebih mudah tertangkap tetapi dapat berampak negatif seperti rusaknya mata rantai kehidupan yang ada di sekitar wilayah penangkapan tersebut. 9) Perubahan daya tangkap Semakin meningkatnya kemampuan alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan (peningkatan upaya tangkap) maka semakin tinggi ancaman/risiko terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan. E. Keberlanjutan Sumberdaya Ikan pada Dimensi Kelembagaan Kelembagaan adalah salah satu kriteria dan indikator sistem perikanan berkelanjutan (Charles 2004). Dimensi ini merupakan cerminan dari derajat pengaturan kegiatan ekonomi manusia terhadap lingkungan perairan laut dan sumberdaya perikanan tangkap yang terkandung didalamnya. Semakin baik derajat pengaturan yang dilakukan maka semakin dapat menjamin setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam sektor perikanan tangkap dapat berjalan dalam jangka panjang dan berkesinambungan. Untuk mewujudkan, pengaturan kegiatan ekonomi tersebut harus berlandaskan etika lingkungan. Maksud kalimat tesebut adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia harus disertai dengan pertimbangan terhadap terciptanya keberlangsungan fungsi lingkungan beserta keberadaan sumberdaya lama (dapat pulih) didalamnya (Hartono et.al 2005). Pada tingkat provinsi, kelembagaan formal yang berwenang untuk mengelola perikanan di Provinsi DKI Jakarta adalah Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta yang secara langsung membawahi kelembagaan formal tingkat kota/kabupaten yang juga berwenang mengelola perikanan yaitu Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Adminstrasi Jakarta Utara. Dalam bingkai pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan, dimensi ini diterjemahkan dalam tujuh atribut yang diharapkan dapat menggambarkan kondisi

78 perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta. Ketujuh atribut tersebut, yaitu ketersediaan peraturan formal, just management, ilegal fishing, adjacency and reliance, equity in entry to fishery,alternatives, dan peran lembaga formal. Definisi ketujuh atribut tersebut adalah menurut Hartono et.al (2005) adalah sebagai berikut : 1) Ketersediaan peraturan formal Semakin banyak peraturan perundangan yang telah dibuat maka pengelolaan sumberdaya perikanan akan lebih mudah diatur/dikelola. 2) Posisi nelayan (just management) Proses pengambilan keputusan serta pelaksanaan peraturan yang semakin melibatkan seluruh stakeholders termasuk nelayan dalam posisi yang seimbang akan lebih dapat menghasilkan mekanisme pengaturan sumberdaya perikanan yang baik. 3) Ilegal fishing Pemanfaat sumberdaya perikanan akan lebih patuh pada aturan pengelolaan sumberdaya perikanan pada saat kepedulaian masyrakat terhadap segala kegiatan penangkapan ikan tinggi (adanya tekanan publik). 4) Kedekatan nelayan secara geografis/sejarah dalam pengelolaan perikanan (adjacency and reliance) Nelayan yang hidup berdekatan dengan area penangkapannya (dan telah dilakukan selama beberapa generasi) serta sangat tergantung kehidupannya pada usaha perikanan maka cenderung akan mempertahankan kelestarian area penangkapan tersebut. 5) Kedekatan hubungan tradisional (equity in entry to fishery) Semakin dibatasi akses ke usaha perikanan serta pengaturan tersebut berdasarkan pada sejarah/tradisi yang telah berlangsung turun temurun maka umumnya keputusan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan semakin bijak. Disamping itu juga akan mengurangi potensi terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut. 6) Pekerjaan di luar perikanan tangkap (alternatives) Semakin banyak pekerjaan di luar perikanan secara tidak langsung menurunkan tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan.

79 7) Peranan lembaga formal Lembaga formal yang paling berwenang dalam kebijakan pengelolaan aktivitas perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta adalah Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Semakin besar peranan lembaga ini dalam mengelola perikanan tangkap maupun aktivitas lain di kawasan pesisir dan laut yang secara langsung mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan tangkap maka keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap akan semakin tinggi. 4.4.3.2 Teknik Rapfish Penelitian ini menggunakan perangkat lunak (software) RAPFISH untuk menganalisis keberlanjutan sumberdaya perikanan yang diteliti. Analisis keberlanjutan dengan menggunakan Teknik Rapfish dimulai dengan me-review atribut dan mendefinisikan atribut perikanan yang akan dianalisis, mengidentifikasi dan melakukan penilaian (scoring) perikanan yang akan dianalisis (Pitcher 1999). Prosedur analisis dengan teknik Rapfish pada penelitian ini akan melalui beberapa tahapan sebagai berikut : 1) Mengevaluasi dan menetapkan atribut dari kelima dimensi (review atribut). Atribut merupakan parameter dari dimensi yang mewakili kondisi sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta. Atribut yang telah disusun kemudian dilakukan evaluasi untuk dilihat hubungan antar atribut, apakah memiliki hubungan linier atau tidak. Jika terdapat hubungan linier maka disatukan menjadi satu atribut. Evaluasi dan penetapan atribut dilakukan dengan pendekatan scientific judgement berdasarkan pendekatan keilmuan yang sesuai baik berdasarkan hasil kajian maupun penelitian maupun sumber pustaka lainnya. Penetapan atribut juga dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan data dari atribut tersebut. Atribut yang dipilih dalam penelitian ini diharapkan dapat mencerminkan tingkat keberlanjutan di setiap dimensi dan dan disesuaikan dengan ketersediaan informasi yang dapat diperoleh dari karakter sumberdaya yang dikaji (Pitcher dan preikshot. 2) Analisis terhadap data perikanan lokasi studi melalui data statistik. 3) Analisis data pengamatan lapangan dan studi literatur.

80 4) Melakukan skoring aspek keberlanjutan perikanan. Penilaian terhadap keseluruhan atribut dari masing-masing dimensi keberlanjutan dalam pengelolaan perikanan tangkap Provinsi DKI Jakarta dikategorikan ke dalam baik, cukup baik, kurang baik, dan buruk. Seluruh atribut yang diperoleh dari hasil pengamatan akan dianalisis dengan teknik Rapfish. Pengolahan data dengan menggunakan teknik Rapfish terjadi dalam tiap modul VBA (Visual Basic Applications) yang masing-masing terhubung pada g77alscal.dll untuk operasi multi-dimensional scalling (MDS), analisis leverage (JackKnife), dan analisis Monte Carlo. A. Analisis MDS (multi-dimensional scalling) Analisis multidimensi ini digunakan untuk menentukan titik-titik dalam Rapfish yang dikaji relatif terhadap dua titik yang menjadi acuan. Titik yang menjadi acuan tersebut adalah baik (good) dan buruk (bad). Posisi titik-titik dalam Rapfish sangat banyak dan sangat sulit untuk digambarkan sehingga diperlukan suatu teknik dalam penentuan posisi titik-titik tersebut secara visual yang dikenal dengan metode multidimensional scalling (MDS) (Fauzi dan Anna 2005). Teknik ordinasi (penentuan jarak) di dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut : Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atau titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan dengan meregresikan jarak Euclidian (d ij ) dari titik i ke titik j dengan titik asal (δ ij ) sebagaimana persamaan berikut : (dij) = α + βδ ij + ε Metode ALSCAL mengoptimasi jarak kuadrat (squared distance = d terhadap data kuadrat (titik asal = O ijk ) yang dalam tiga dimensi (i, j, k) ditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut : ijk )

81 Di mana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot, atau ditulis: Pada setiap pengukuran yang bersifat mengukur (metric) seberapa fit (goodness of fit), jarak titik pendugaan dengan titik asal, menjadi sangat penting. Goodness of fit dalam MDS tidak lain mengukur seberapa tepat (how well) konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya. Goodness of fit ini dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S di atas. Nilai stress yang rendah menunjukan good fit sementara nilai S yang tinggi sebaliknya. Di dalam Rapfish, model yang baik ditunjukan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 (S < 0,25) (Fauzi dan Anna 2005). Microsoft Excell digunakan untuk melakukan analisis MDS berikut dengan algoritma ALSCAL. Metode MDS merupakan salah satu metode ordinasi pada ruang (dimensi) yang diperkecil. Ordinasi suatu obyek pengamatan yang diukur dengan menggunakan banyak variable sulit dilihat secara visual mengingat bahwa posisi obyek di dalam ruang berdimensi lebih dari tiga yang tidak mungkin digambarkan. Analisis multidimensional diterapkan untuk mentrasnformasikan skor dari keseluruhan atribut keberlanjutan perikanan menurut dimensinya pada ordinasi antara 0 (buruk) dan 100 (baik) (Kavanagh dan Pitcher 2004). Ketepatan tranformasi tersebut dikontrol oleh statistik stress dan koefisien determinasi. Asumsi bahwa kinerja pengelolaan terletak antara 0 sampai 100 persen atau buruk sampai ke baik sekali. Diantara nilai buruk sampai baik maka ada interval nilai kinerja yaitu cukup dan kurang, sehingga diperoleh empat tingkatan kinerja yaitu buruk, kurang, sedang dan baik. Tingkatan kinerja dibagi menjadi 4 tingkat sehingga diperoleh interval 0, 25 persen, 50 persen, 75 persen, dan 100 persen. Hasil penilaian kinerja atribut dari masing-masing dimensi dipetakan ke dalam dua titik acuan yang merupakan titik buruk (bad) dan titik baik (good). Kategori hasil penilaian atribut disajikan pada Tabel 7.

82 Tabel 7. Kategori penilaian status keberlanjutan No Nilai Indeks Dimensi Kategori Keterangan 1 0,00 24,99 Buruk Tidak berkelanjutan 2 25,00 49,99 Kurang Kurang berkelanjutan 3 50,00 74,99 Cukup Cukup berkelanjutan 4 75,00 100,00 Baik Berkelanjutan Sumber : Nurmalina, 2008 Posisi titik keberlanjutan dapat digambarkan dalam bentuk garis sumbu vertikal ataupun sumbu horisontal. Nilai indeks keberlanjutan berada pada nilai 0 persen (buruk) sampai 100 persen (baik). Jika dimensi yang dinilai dengan nilai indeksnya berada di bawah 50 persen maka mempunyai nilai yang kurang atau kurang berkeberlanjutan (unsustainable), dan jika dimensi yang dinilai berada di atas nilai 50 persen maka dimensi dari sistem yang dinilai dapat dikatakan berkelanjutan (sustainable). Penilaian ini dapat diilustrasikan pada Gambar 12. 0% 50% 100% Buruk (unsustainable) Baik (sustainable) Gambar 12. Posisi titik keberlanjutan B. Analisis leverage/jacknife Setelah nilai ordinasi (indeks) keberlanjutan ditemukan melalui ordinasi RAPFISH (Hasil MDS), maka analisis leverage dilakukan untuk melihat atribut apa yang paling sensitif berpengaruh dalam memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan. Selain itu, analisis ini dilakukan untuk memperhitungkan sensitivitas setiap atribut dalam menentukan ordinasi status keberlanjutan perikanan. Pengolahan datanya dilakukan secara berulang yaitu direduksi satu per satu atribut dari dimensi keberlanjutan perikanan yang ditelaah. Untuk setiap dimensi keberlanjutan perikanan, setiap reduksi satu atributnya diproses dalam 'g77alscal.dll' untuk menghasilkan ordinasi status keberlanjutan, dan selanjutnya diterima sebagai masukan oleh modul 'levereging'. Dalam analisis ini ini, pengaruh setiap reduksi atribut diperhitungkan melalui akar kuadrat nilai tengah (RMS) ordinasi status keberlanjutan perikanan mengikuti persamaan umum: