1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang memerlukan banyak bangunan baru untuk mendukung

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS URBAN HEAT ISLAND

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

ix

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan.

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV ANALISA TAPAK

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi

Pola Spasial Suhu Permukaan Daratan di Kota Malang Raya, Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gambar 1. Peta Prakiraan Cuaca Hujan Mei 2018 (Sumber : Stasiun Klimatologi Karangploso Malang)

lib.archiplan.ugm.ac.id

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

Analisis Perubahan Lahan Tambak Di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PULAU BAHANG KOTA (URBAN HEAT ISLAND) DI YOGYAKARTA HASIL INTERPRETASI CITRA LANDSAT TM TANGGAL 28 MEI 2012

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup. Peningkatan kualitas hidup

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

TERMINAL BUS TIPE A DI SURAKARTA

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kecenderungan terjadinya penurunan kwantitas ruang terbuka publik,

Menghitung Debit Aliran Permukaan Di Kecamatan Serengan Tahun 2008

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota

SEBARAN TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KOTA MALANG

Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur L/O/G/O

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. repository.unisba.ac.id

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan Citra Landsat 7 ETM+ untuk Menganalisa Kelembaban Hutan Berdasarkan Nilai Indeks Kekeringan (Studi Kasus : Hutan KPH Banyuwangi Utara)

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Ayesa Pitra Andina JURUSAN TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014

TUGAS AKHIR. Oleh: MELANIA DAMAR IRIYANTI L2D

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

tahun ke tahun. Demand bidang perdagangan dan perekonomian kota Sragen dalam kurun waktu mencapai peningkatan 60%. Namun perkembangan yang

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 5.1 Kesimpulan. terhadap perekonomian kota surakarta. Analisis

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, perkembangan ilmu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

BAB III BAHAN DAN METODE

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan ruang sebagai wadah berbagai aktivitas dan pelayanan, baik bagi penduduk kota itu sendiri maupun daerah lain di sekitar kota tersebut. Aktivitas dan pelayanan penduduk mengakibatkan kota mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini sangat terkait dengan karakteristik kawasan perkotaan yang mempunyai fungsi sebagai pusat pemukiman, pendidikan, perdagangan, industri, pelayanan dan jasa, pemerintahan serta wahana peningkatan kualitas hidup. Besarnya peluang untuk meningkatkan kualitas hidup, menjadikan kawasan perkotaan semakin padat oleh masyarakat dari wilayah di sekitar kota tersebut. Akibatnya terjadi peningkatan drastis dalam populasi dunia pada beberapa tahun terakhir (Aftriana & others, 2013; Al Mukmin, Wijaya, & Sukmono, 2016; Badriyah, 2014; Pontoh & Kustiwan, 2009). Secara fisik, perkembangan perkotaan dapat terlihat dari kota-kota baru yang lahir dan kota-kota besar yang sudah ada penduduknya menjadi semakin bertambah dan semakin padat (Mirzaei, 2015; Sobirin & Fatimah, 2015). Pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang pesat di kawasan perkotaan akan menyebabkan terjadinya salah satu permasalahan kota yang membawa dampak negatif yaitu masalah lingkungan kota, dimana pertambahan jumlah penduduk perkotaan berakibat pada meningkatnya kebutuhan tempat tinggal dan berbagai sarana untuk menunjang aktifitas penduduk. Hal itu tentunya menyebabkan peningkatan terhadap area terbangun seperti gedung-gedung bertingkat untuk perkantoran, perumahan, jalan raya dan sebagainya. Selain itu, dengan adanya keterbatasan ruang maka akan memicu terjadinya perubahan penggunaan lahan. (Aftriana & others, 2013; Al Mukmin et al., 2016; Arie, 2012; Delarizka, Sasmito, & others, 2016; Jatmiko, Hartono, & others, 2016; Sri Adiningsih, Hartati, Mujiasih, & others, 2010). Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari (Fawzi & Naharil, 2013). Bahkan seringkali mengakibatkan benturan kepentingan atas penggunaan lahan serta terjadinya ketidaksesuaian antara penggunaan lahan dengan rencana peruntukannya dan dapat mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan. Menurunnya kualitas lingkungan ini disebabkan karena semakin terdesaknya alokasi ruang untuk vegetasi di perkotaan demi terciptanya lahan terbangun yang lebih luas (Aftriana &

others, 2013; Eko & Rahayu, 2012; Jatmiko et al., 2016; S. A. Nugroho, Wijaya, & Sukmono, 2016). Vegetasi merupakan salah satu unsur penyusun keruangan perkotaan yang bermanfaat guna meningkatkan kualitas lingkungan hidup terutama di wilayah perkotaan baik secara ekologis, estetika dan sosial. Kumpulan dari berbagai vegetasi yang beranekaragam akan menghasilkan kerapatan vegetasi yang berbeda-beda pada setiap penggunaan lahan di suatu daerah. Oleh karena itu, berkurangnya lahan vegetasi di perkotaan dapat juga berpengaruh terhadap kerapatan vegetasi (Aftriana & others, 2013; S. A. Nugroho et al., 2016; Sukristiyanti & Marganingrum, 2008; Wahyuni, Arini, & Ahmad, 2017). Informasi mengenai data kerapatan vegetasi dapat dideteksi menggunakan citra satelit dengan memanfaatkan teknik penginderaan jauh. Pendeteksian tersebut dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan serta perubahan kerapatan vegetasi di kawasan perkotaan (Aftriana & others, 2013). Kerapatan vegetasi juga dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh suhu permukaan suatu daerah dimana semakin tinggi kerapatan vegetasi pada suatu lahan, maka akan semakin rendah suhu permukaan di sekitar lahan tersebut, begitu juga sebaliknya (Sukristiyanti & Marganingrum, 2008). Suhu permukaan yang tinggi banyak ditemui di daerah perkotaan, karena penggunaan lahannya seringkali mempunyai kerapatan vegetasi yang rendah (Aftriana & others, 2013). Hal itu dikarenakan lahan vegetasi yang tergantikan oleh aspal dan beton untuk jalan, bangunan dan struktur lain yang diperlukan untuk mengakomodasikan tingginya pertumbuhan jumlah penduduk. Akibatnya lahan yang tergantikan tersebut akan lebih banyak menyerap panas matahari dan memantulkannya, sehingga menyebabkan suhu permukaan di kota itu naik (Hardyanti, Sobirin, & Wibowo, 2017; Sobirin & Fatimah, 2015). Suhu permukaan merupakan parameter penting dalam mempelajari perilaku termal dan lingkungan kota. Maka dari itu, salah satu cara untuk mengetahui tentang besar perubahan dan penyebaran suhu yaitu dengan menggunakan citra yang direkam dalam berbagai waktu perekaman (multitemporal) dengan memanfaatkan saluran termal (Jatmiko et al., 2016). Peningkatan suhu permukaan di kawasan perkotaan dapat menyebabkan terbentuknya titik-titik panas kota (Arie, 2012), dimana semakin banyaknya titik-titik panas yang terbentuk maka akan menyebabkan terjadinya perubahan unsur-unsur cuaca dan iklim. Kondisi tersebut akan menyebabkan suhu permukaan di pusat kota akan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara di sekitarnya. Umumnya, suhu tahunan rata-rata di kota lebih besar sekitar 3 C dibandingkan dengan pinggir kota. Fenomena seperti itu sering disebut sebagai fenomena Urban Heat Island (Belgaman, Lestari, & Lestiana, 2012; Sri 2

Adiningsih et al., 2010; Tursilowati, 2010; Wicahyani, Izzati, & others, 2013). Urban Heat Island (UHI) bagaikan kubah raksasa yang memerangkapkan panas pada suatu kota yang memiliki kepadatan lahan terbangun (built environment) yang tinggi (Badriyah, 2014; Delarizka et al., 2016). Fenomena Urban Heat Island sudah terjadi di beberapa kota-kota besar di dunia contohnya London, Inggris; Bozhou, China; Toronto, Canada; dan juga beberapa kota-kota besar di Indonesia seperti Surabaya, Jakarta, Semarang, Bandung, Yogyakarta dan Bogor (Atianta, Sudibyakto, & Jatmiko, 2017; Delarizka et al., 2016; Jatmiko et al., 2016; Liu & Zhang, 2011; Sobirin & Fatimah, 2015; Tursilowati, 2010; Wang, Berardi, & Akbari, 2015; Yang, Qian, Song, & Zheng, 2016). Salah satu wilayah yang berpotensi mengalami fenomena Urban Heat Island adalah Kota Surakarta. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan kota ini merupakan salah satu kota besar di Jawa Tengah yang menunjang kota-kota lainnya seperti Semarang dan Yogyakarta. Selain itu, Kota Surakarta merupakan pusat pelayanan kawasan andalan Subosuko-Wonosraten dalam peningkatan ekonomi masyarakat kota (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 2012). Hal tersebut tentunya menyebabkan Kota Surakarta banyak dijadikan tujuan bagi masyarakat pinggiran kota maupun masyarakat desa untuk meningkatkan kualitas hidup. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Kota Surakarta sebanyak 550.251 jiwa pada tahun 2000 dan bertambah ±32.487 jiwa hingga tahun 2016. Bertambahnya jumlah penduduk tersebut berbanding lurus terhadap berkurangnya jumlah luasan vegetasi yang berganti menjadi lahan terbangun. Diketahui bahwa lahan vegetasi yang terdapat di Kota Surakarta pada tahun 2000 memiliki luas 357,8 Ha dan berkurang ±121,42 Ha di tahun 2016 (Badan Pusat Statistik, 2012, 2017). Perubahan penggunaan lahan terbangun yang menyebabkan berkurangnya alokasi lahan vegetasi itulah yang akan mengakibatkan masalah perubahan suhu yang cenderung meningkat sehingga memicu terjadinya Urban Heat Island (Arie, 2012; Delarizka et al., 2016; Jatmiko et al., 2016; Sobirin & Fatimah, 2015). Apabila dilihat dari perubahan suhu yang terjadi di Kota Surakarta, dapat diketahui bahwa dalam rentang waktu 10 tahun (tahun 2000 2016) suhu di kota ini mengalami perubahan yang bervariasi nilainya. Tercatat, pada tahun 2000 2001 suhu udara memiliki nilai yang tetap yaitu sebesar 26,6 C. Kemudian di tahun 2002 2005 nilai ini mengalami peningkatan namun tidak terlalu signifikan yaitu sekitar ±0,3-0,4 C. Lalu pada rentang waktu 3 tahun berikutnya, suhu udara di Kota Surakarta mengalami penurunan sekitar ±0,7 C, dan kemudian meningkat dalam waktu 2 tahun yang semula suhu 26,3 C kemudian menjadi 27,1 C di tahun 2010. Namun, di tahun 2011 nilai suhu udara kembali turun menjadi 26,3 C dan meningkat ±1,1 C setelah 4 tahun 3

kemudian yaitu tahun 2015. Namun, memasuki tahun 2016, rata-rata suhu udara kota menurun ±0,2 C yang semula suhu 27,4 C kemudian menjadi 27,2 C. Sumber : Badan Pusat Statistik 2000 2017 Gambar 1.1 Grafik Perubahan Suhu Udara di Kota Surakarta tahun 2000 2016 Variasi perubahan suhu udara selama 10 tahun tersebut juga berpengaruh kepada kelembaban udara kota. Dimana, kelembaban udara sangat penting karena banyak atau sedikitnya uap air dalam udara dapat mempercepat ataupun memperlambat hilangnya panas dari bumi sehingga dengan sendirinya dapat mengatur suhu udara. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa nilai kelembaban udara berbanding terbalik dengan suhu udara (Sri Adiningsih et al., 2010). 84 82 82 81 83 80 78 77 79 77 78 79 78 77 79 79 79 76 75 76 75 75 74 72 70 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Sumber : Badan Pusat Statistik 2000 2017 Gambar 1.2 Grafik Perubahan Kelembaban Udara di Kota Surakarta tahun 2000 2016 4

Menurut grafik kelembaban udara di Kota Surakarta tahun 2000 2016 dapat dilihat bahwa, kelembaban udara di kota ini pada tahun 2001 meningkat cukup besar yaitu 5% dari tahun sebelumnya. Kemudian nilai tersebut mengalami penurunan dalam waktu 4 tahun berikutnya sehingga nilai kelembaban udara sama dengan nilai pada tahun 2000 yaitu sebesar 77%. Lalu di tahun 2005, nilai kelembaban meningkat hanya sekitar 1%, dan nilainya kembali mengalami penurunan sebesar 2-3% selama 4 tahun. Lalu di tahun 2010 nilai kelembaban naik sebesar 4% dan kembali turun nilainya sampai dengan tahun 2012 sebesar 2%. Selanjutnya, terjadi peningkatan ±2% di tahun 2013 dan selama tahun 2013 2015 nilai kelambaban udara cenderung tetap yaitu 79%. Dan di tahun 2016 kelembaban udara kembali meningkat ±4% sehingga nilai kelembaban udara di Kota Surakarta menjadi 83%. Berdasarkan gambaran mengenai perubahan lahan, pengurangan terhadap lahan vegetasi dan perubahan nilai suhu udara, maka untuk menghindari serta mengantisipasi hal-hal yang menjadi pemicu terjadinya Urban Heat Island sehingga diperlukan identifikasi dan analisis secara jelas mengenai perubahan penutup lahan dan perubahan kerapatan vegetasi serta distribusi spasial suhu permukaan di Kota Surakarta. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil topik tentang Perubahan Penggunaan Lahan dan Kerapatan Vegetasi terhadap Urban Heat Island di Kota Surakarta. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat bermanfaat bagi perencana kota, pengelola lingkungan, dan penentu kebijaksanaan dalam proses perencanaan penggunaan lahan dan wilayah distribusi spasial yang akan mempengaruhi dampak lebih jauh pada kondisi iklim dan lingkungan wilayah perkotaan. 1.2 Perumusan Masalah Kota sebagai suatu bentuk ruang dan ekosistem yang bertujuan untuk melayani kebutuhan penduduk kota harus selalu berkembang menyesuaikan dengan tingkatan sosio-ekonomi dan budayanya serta interaksinya dengan kota-kota lain dan atau daerah di sekitarnya (S. A. Nugroho et al., 2016; Sobirin & Fatimah, 2015). Sebagai sebuah kota, Surakarta mengalami pertumbuhan penduduk yang terbilang pesat akibat perannya sebagai pusat pelayanan dalam peningkatan ekonomi masyarakat kota di kawasan Subosuko-Wonosraten yang tentunya membuat aktivitas penduduk semakin padat (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 2012; Fawzi & Naharil, 2013). Aktivitas penduduk yang semakin padat ini dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk pada wilayah Kota Surakarta. Tercatat menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk di Kota Surakarta pada tahun 2000 sebesar 490.214 jiwa dan meningkat 5

±23.957 jiwa di tahun 2016. Peningkatan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh aktivitas pekerjaan seperti di bidang pemerintahan, industri, perdagangan dan lainnya yang menyebabkan kebutuhan terhadap fasilitas publik meningkat (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 2012; Badan Pusat Statistik, 2012, 2017; Fawzi & Naharil, 2013). Dalam proses untuk mendukung aktivitas inilah maka diperlukan pembangunan lahan terbangun berupa permukiman, fasilitas infrastruktur dan transportasi. Proses pembangunan tersebut harus dioptimalkan guna mendukung kegiatan sosial dan ekonomi di perkotaan, akan tetapi tetap harus memperhatikan keseimbangan ekosistem dan kualitas lingkungan yang baik sehingga menghasilkan kenyamanan bagi kehidupan masyarakat di perkotaaan (Ikhwan & Hadinoto, 2015; Jatmiko et al., 2016; Sobirin & Fatimah, 2015). Namun, pada kenyataannya pembangunan kota yang memperhatikan keseimbangan ekosistem dan kualitas lingkungan yang baik tidak pernah dijumpai dalam proses kegiatan perkembangan kota (Ikhwan & Hadinoto, 2015). Pembangunan fisik yang semakin banyak dilakukan serta wilayah perkotaan yang sudah tidak bisa menampung kehidupan manusia menyebabkan kota cenderung lebih berkembang hanya secara ekonomis saja, dan menjadikan perkembangan menurun secara ekologis (S. A. Nugroho et al., 2016; Sundari, 2010). Menurunnya perkembangan kota secara ekologis ini disebabkan karena adanya perubahan yang cepat dalam struktur penggunaan lahan yang mengakibatkan lahan untuk vegetasi di wilayah perkotaan berkurang (Arie, 2012). Perubahan penggunaan lahan dari penggunaan lahan vegetasi menjadi penggunaan lahan terbangun di Kota Surakarta mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2000 tercatat sekitar 79,01% dari luas wilayah merupakan lahan terbangun, kemudian perubahan ini terus meningkat hingga tahun 2016 dimana 82,15% dari luas wilayah adalah lahan terbangun. Lahan vegetasi yang tergantikan oleh permukiman, gedung-gedung, dan industri untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota yang jumlahnya cenderung meningkat seiring berjalannya waktu dapat mengakibatkan peningkatan suhu udara kota. Suhu udara rata-rata tahunan di Kota Surakarta berdasarkan Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2000 berkisar antara 26,6 C dan meningkat menjadi 27,2 C di tahun 2016. Hal itu dikarenakan area terbangun yang meluas akan menyimpan dan melepaskan panas di siang hari dan malam hari. Pada malam hari kota menjadi lebih panas dibanding daerah sekitarnya (Badan Pusat Statistik, 2000, 2017; Fawzi & Naharil, 2013). Sesuai dengan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tingginya jumlah penduduk Kota Surakarta tentunya tidak terlepas dari padatnya aktivitas kota di dalamnya yang dapat menyebabkan peningkatan intensitas perubahan penggunaan lahan. Hal itu tentunya akan memicu semakin rendahnya kerapatan vegetasi yang akan mengakibatkan 6

suhu permukaan di Kota Surakarta meningkat dan menimbulkan efek negatif berupa terjadinya fenomena Urban Heat Island (Delarizka et al., 2016; Hardyanti et al., 2017). Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dapat dirumuskan masalah yaitu Bagaimana perubahan penutup lahan dan kerapatan vegetasi terhadap Urban Heat Island di Kota Surakarta? 1.3 Tujuan dan Sasaran 1.3.1 Tujuan Tujuan dari penelitian adalah untuk menganalisis perubahan penutup lahan dan kerapatan vegetasi terhadap Urban Heat Island di Kota Surakarta. 1.3.2 Sasaran Terdapat beberapa sasaran yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian, antara lain : 1. Pra-pengolahan citra Kota Surakarta 2. Mengklasifikasikan penutup lahan di Kota Surakarta 3. Menganalisis perubahan penutup lahan di Kota Surakarta 4. Menganalisis kerapatan vegetasi di Kota Surakarta 5. Menganalisis perubahan kerapatan vegetasi di Kota Surakarta 6. Menganalisis distribusi suhu permukaan di Kota Surakarta 7. Menganalisis Urban Heat Island di Kota Surakarta 8. Menganalisis perubahan penggunaan lahan dan perubahan kerapatan vegetasi terhadap Urban Heat Island di Kota Surakarta 1.4 Ruang Lingkup Lingkup dalam laporan proyek akhir ini terbagi menjadi dua yaitu ruang lingkup wilayah yang bertujuan membatasi wilayah studi yang menjadi objek penelitian dan ruang lingkup materi yang bertujuan membatasi materi-materi yang akan dibahas. Adapun penjabaran ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah Ruang lingkup wilayah penelitian mencakup Kota Surakarta dengan luas wilayah mencapai 44,04 Km 2 yang terbagi dalam 5 kecamatan, yaitu : Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, dan Banjarsari. Berdasarkan tinjauan administrasi, Kota Surakarta memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara : Kabupaten Boyolali 7

Sebelah Timur Sebelah Selatan Sebelah Barat : Kabupaten Karanganyar : Kabupaten Sukoharjo : Kabupaten Sukoharjo Sumber : RTRW Kota Surakarta 2011-2031 1.4.2 Ruang Lingkup Materi Gambar 1.3 Peta Administrasi Kota Surakarta Lingkup materi yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Pengolahan Citra Pembahasan pengolahan citra yaitu mengenai proses pengolahan data yang terdiri dari pra-pengolahan dan pengolahan. Pra-pengolahan citra meliputi penggabungan band, komposit band, koreksi geometrik, koreksi radiometrik, dan cropping citra. Dan pengolahan citra digunakan untuk mengolah citra landsat guna mendapatkan informasi mengenai penutup lahan, kerapatan vegetasi dan suhu permukaan. b. Penutup Lahan Aspek penutup lahan akan membahas tentang klasifikasi penutup lahan dan perubahannya. Klasifikasi penutup lahan dilakukan pada citra dengan tahun yang berbeda diantaranya tahun 1994, 2000, dan 2017. Sistem klasifikasi yang digunakan yaitu jenis penutup lahannya mengacu pada SNI No. 7645 tahun 2010 yang telah disesuaikan dengan keadaan eksisting di wilayah studi. Hasil dari 8

klasifikasi penutup lahan pada citra yang berbeda-beda tahunnya kemudian dilakukan analisis untuk mengetahui perubahan penutup lahannya. c. Kerapatan Vegetasi Kerapatan vegetasi akan membahas mengenai tinggi rendahnya kerapatan vegetasi di wilayah studi serta mengetahui perubahan tingkat kerapatannya. Nilai dari kerapatan vegetasi dapat diketahui dari indeks vegetasi yang didapatkan dengan metode NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) pada citra multi temporal (tahun 1994, 2000,dan 2017). Dan hasil dari nilai kerapatan vegetasi diklafisikasikan menjadi lima kelas yaitu kerapatan sangat jarang, jarang, sedang, rapat dan sangat rapat. d. Suhu Permukaan Pembahasan mengenai suhu permukaan guna melihat distribusi suhu permukaan kota serta intensitasnya pada kurun waktu yang berbeda. Nilai suhu permukaan diperoleh melalui pengolahan Land Surface Temperature pada citra multi temporal (tahun 1994, 2000, dan 2017). e. Urban Heat Island Urban Heat Island membahas mengenai ada tidaknya fenomena tersebut di wilayah studi pada kurun waktu tahun 1994, 2000, dan 2017. Urban Heat Island merupakan perbedaan antara suhu di pusat kota yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan di daerah sekitarnya. Fenomena ini dilihat dari selisih suhu yang terdapat di pusat kota dengan di pinggiran kota dimana secara horizontal mengasumsikan suhu yang bernilai maksimal sebagai suhu dari pusat kota dengan suhu yang bernilai minimum sebagai suhu pinggiran dikarenakan Kota Surakarta seluruhnya termasuk ke dalam wilayah perkotaan, dan tidak terdapat wilayah pinggiran (pedesaan). 9

1.5 Kerangka Pikir Keterbatasan Ruang/ Lahan Peningkatan Populasi Penduduk Kota Surakarta Kota Surakarta sebagai pusat pelayanan dalam peningkatan ekonomi masyarakat kota di kawasan Subosuko-Wonosraten Aktivitas dan Pelayanan Penduduk Meningkat Kebutuhan Sarana dan Prasarana Meningkat Perkembangan Kota Pesat Peningkatan Lahan Terbangun Alokasi Lahan Vegetasi Berkurang Perubahan Penggunaan Lahan Kerapatan Vegetasi Rendah Panas Matahari Terserap dan Terpantulkan Penggunaan Lahan Tidak Sesuai Peruntukan Masalah Lingkungan Kota Penurunan Kualitas Lingkungan Terjadi Perubahan Unsur Cuaca & Iklim Terbentuk Titik-Titik Panas Kota Suhu Permukaan Kota Naik Bagaimana Perubahan Penutup Lahan & Kerapatan Vegetasi terhadap Distribusi Suhu Permukaan Kota Surakarta? Analisis Perubahan Penutup Lahan & Kerapatan Vegetasi terhadap Urban Heat Island Kota Surakarta Pra-Pengolahan Citra Klasifikasi Penutup Lahan Kerapatan Vegetasi Suhu Permukaan Uji Validasi Lapangan Analisis Perubahan Penutup Lahan Analisis Perubahan Kerapatan Vegetasi Analisis Distribusi Suhu Permukaan Analisis Urban Heat Island Perubahan Penutup Lahan Dan Kerapatan Vegetasi Terhadap Urban Heat Island Di Kota Surakarta Sumber : Peneliti, 2018 Gambar 1.4 Kerangka Pikir 10

1.6 Sistematika Penulisan Laporan ini disusun dengan menggunakan sistematika yang urut dan teratur. Adapun sistematika penulisan laporan ini secara umum adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini mencakup latar belakang isu yang diangkat sebagai penelitian dalam proyek akhir, rumusan masalah, tujuan dan sasaran, ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup materi, kerangka pikir, serta sistematika pembahasan pada laporan. BAB II KAJIAN LITERATUR Berisi tentang bahasan literatur yang terkait dengan pemahaman mengenai perkembangan kota, perubahan demografi, perubahan dan penggunaan lahan, kerapatan vegetasi, suhu permukaan, Urban Heat Island, serta penginderaan jauh dan citra satelit. BAB III METODE PERENCANAAN Berisi tentang metode yang dilakukan dalam kegiatan penelitian, dan mengacu pada teknik analisis yang akan digunakan dalam menjawab persoalan terkait isu yang diangkat. Bab ini meliputi metode pengumpulan data, kebutuhan data, metode pengolahan data, teknik analisis data, dan kerangka analisis. BAB IV GAMBARAN UMUM Bab ini berisi tentang gambaran umum wilayah studi penelitian yang terdiri dari curah hujan, suhu dan kelembaban udara, penutup lahan, kerapatan vegetasi, dan kependudukan serta dilengkapi dengan peta dan tabel. BAB V ANALISIS Bab ini menjelaskan tentang analisis data yang dilakukan untuk mengetahui perubahan penutup lahan dan kerapatan vegetasi terhadap Urban Heat Island di Kota Surakarta. BAB VI KESIMPULAN Berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian secara ringkas dan rekomendasi dari perubahan penutup lahan dan kerapatan vegetasi terhadap Urban Heat Island. 11