SEBARAN TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KOTA MALANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SEBARAN TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KOTA MALANG"

Transkripsi

1 SEBARAN TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KOTA MALANG FANITA CAHYANING ARIE Jurusan Teknik Planologi, Institut Teknologi Nasional Malang fnita3pantimena@gmail.com Abstrak Salah satu dampak negatif dari perkembangan kota adalah masalah lingkungan, yaitu lebih panas dari kawasan sekitarnya yang lebih alami. Dalam perencanaan ruang, unsur iklim masih dianggap sebagai elemen statis yang diasumsikan tidak ada hubungan timbal balik antara iklim dan perubahan tutupan lahan. Penelitian ini berfokus pada dampak perubahan tutupan lahan terhadap sebaran temperatur permukaan lahan dengan menggabungkan teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografi (GIS) guna mendeteksi variasi spasial temperatur permukaan lahan.temperatur permukaan lahan dan tutupan lahan Kota Malang diperoleh dari citra Landsat 7 ETM+ (Enhancement Thematic Mapper +) tahun 2002 dan Hasil pengolahan citra menunjukkan pada kawasan lahan terbangun mengalami peningkatan temperatur tertinggi yaitu 3 0 C. Kawasan yang mengalami peningkatan sebaran vegetasi pada permukaan lahannya mengalami penurunan suhu sebesar 2 0 C. Peningkatan LST pada lahan terbangun menciptakan pulau-pulau panas dan membentuk pola cluster atau mengelompok di Malang. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang tahun 2029 menyebabkan peningkatan temperatur di Kota Malang yang disebabkan adanya perubahan tutupan vegetasi menjadi lahan terbangun. Faktor-faktor yang mempengaruhi temperatur permukaan lahan di Kota Malang adalah perubahan tutupan lahan menjadi kawasan lahan terbangun dan peningkatan sebaran vegetasi pada permukaan lahan. Hasil penelitian ini dapat diterapkan sebagai dasar teoritis guna mengevaluasi perencanaan kota untuk mengurangi efek peningkatan temperatur permukaan lahan. Kata kunci temperatur permukaan lahan, citra satelit, vegetasi. Pendahuluan Salah satu permasalahan kota yang membawa dampak negatif adalah masalah lingkungan kota. Kota menjadi tempat dimana ruang sebagai wadah berbagai aktivitas menjadi sangat terbatas. Kota dibangun dengan gedung-gedung bertingkat bahkan rumah sebagai tempat tinggal dibuat secara vertikal tidak hanya untuk memenuhi gaya hidup tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan populasi penduduk yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu, dengan adanya keterbatasan ruang mengakibatkan adanya perubahan penggunaan lahan kota yang menurunkan proporsi ruang hijau di kota. Perubahan unsur-unsur alami menjadi unsur buatan menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik iklim mikro (Susanti, 2006) [1]. Berbagai aktifitas manusia di perkotaan dianggap sebagai penyebab peningkatan temperatur ini seperti kegiatan industri dan transportasi, mengubah komposisi atmosfer yang berdampak pada perubahan komponen siklus air, siklus karbon dan perubahan ekosistem. Selain itu pula polusi udara Perencanaan Wilayah Kota G-23

2 menyebabkan perubahan visibilitas dan daya serap atmosfer terhadap radiasi matahari. Sementara itu radiasi matahari merupakan salah satu faktor utama yang menentukan karakteristik iklim di suatu daerah. dampak negatif lainnya dari adanya wilayah panas ini yaitu menimbulkan ketidaknyamanan termal. Temperatur yang lebih tinggi, kurangnya tempat yang teduh dan meningkatnya polusi udara mempunyai efek yang serius dalam meningkatkan angka kematian dan penyakit manusia. Temperatur permukaan lahan (Land Surface Temperatur) merupakan sebuah parameter penting dalam mempelajari perilaku termal dan lingkungan kota. Naik turunnya LST dalam temperatur udara di lapisan bawah atmosfer kota, merupakan faktor penting dalam menentukan radiasi permukaan serta pertukaran energi, iklim di dalam gedung dan kenyamanan manusia di kota (Voogt and Oke, 1998) [2]. Ciri-ciri fisik dari berbagai tipe permukaan lahan, warnanya, faktor pemandangan langit (sky view factor), geometri jalan, kemacetan lalu lintas dan aktivitas antropogenik merupakan faktor penting dalam menjelaskan temperatur permukaan lahan di lingkungan kota (Chudnovsky et al., 2004) [3]. Perubahan temperatur permukaan lahan saat ini belum menjadi parameter yang penting dalam merencanakan dan merancang pemanfaatan ruang di kota. Pemahaman mengenai urbanisasi yang menyebabkan peningkatan kebutuhan ruang dan ketersediaan lahan berdampak pada sistim iklim terutama di kota masih dirasa belum lengkap. Dalam hal ini pula, unsur iklim masih dianggap sebagai elemen statis yang diasumsikan bahwa tidak ada hubungan interaksi timbal balik antara iklim dengan perubahan guna lahan yang terjadi. Malang, telah mengalami perkembangan fisik yang cukup pesat dalam lima tahun terakhir ini. Sebagai kota besar, Kota Malang juga mengalami permasalahan sosial dan lingkungan yang semakin buruk kualitasnya. Kota yang dahulunya terkenal dengan kota sejuk dan pernah dianggap mempunyai tata kota terbaik di antara kotakota Hindia Belanda ini, kini banyak dikeluhkan warganya seperti kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas, suhu udara yang mulai panas, dan banjir ketika musim penghujan. Sementara itu perkembangan fisik kota seperti perumahan menginfiltrasi lahan kosong kota sehingga hampir disetiap sudut kota terdapat ruko dan perumahan dalam skala kecil maupun besar. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka studi ini memfokuskan pada mempelajari dan mengetahui tutupan lahan (land cover), sebaran temperatur permukaan lahan, pulau panas di kota (urban heat island), dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan LST di Kota Malang. Metode Penelitian 1. Temperatur Permukaan Lahan. Dalam memanfaatkan citra saluran 6 Landsat 7 ETM,, persoalan praktis yang dihadapi oleh para pengguna ialah mengubah nilai piksel yang tercatat pada citra menjadi nilai temperature obyek (temperature kinetik). Nilai piksel yang tercatat oleh sensor merupakan fungsi dari kemampuan bit-koding dari sensor dalam mengubah pancaran spektral obyek, dan pancaran spektral obyek merupakan fungsi dari temperatur radiannya. Markham dan Barker (1986) [4] memberikan perhitungan untuk memperoleh nilai radiansi spektral sembarang piksel L (λ) sebagai berikut: L (λ) = + Dimana: L (λ) = radiansi spektral yang diterima oleh sensor untuk piksel yang dianalisis. L min(λ) = radiansi spektral minimum yang tercatat pada scene (0,1238 m Wcm - 2 sr -1 µm -2 ) L max(λ) = radiansi spektral maksimum yang tercatat pada scene (1.56 m Wcm -2 sr - 1 µm -2 ) calmax = nilai piksel maksimum (dalam hal ini 255). = nilai piksel dianalisis cal Perencanaan Wilayah Kota G-24

3 Prakash et al. (1995) [4] mengajukan formulasi untuk mengubah nilai piksel menjadi nilai temperatur kinetik melalui penalaran sebagai berikut: T R = Dimana: T R = temperatur radian (dalam 0 K) untuk piksel yang dianalisis K 1 = konstanta kalibrasi (60,766 m Wcm -2 sr - 1 µm -2 ) K 2 = konstanta kalibrasi (1260,56 m Wcm -2 sr -1 µm -2 ) L (λ) = radiansi spektral untuk piksel yang dianalisis, diperoleh dari persamaan (1). Kedua, berdasarkan nilai temperatur radian hasil kalkulasi, nilai temperatur kinetik obyek dapat dihitung dengan persamaan berikut: ¼ TK T R = Dimana, pada perhitungan praktis nilai 0.95 dapat digunakan sebagai rata-rata. 2. NDVI (Normalized Differential Vegetation Index) Indeks vegetasi adalah pengukuran kuantitatif berdasarkan nilai digital dari data penginderaan jauh yang digunakan untuk mengukur biomass atau intensitas vegetasi dipermukaan bumi. Salah satu metode perhitungan indeks vegetasi yang umum digunakan adalah NDVI (Normalized Differential Vegetation Index). NDVI diperoleh berdasarkan perbandingan antara pantulan sinar merah dan infra merah dekat dari spectrum elektromagnetik. Kedua spectrum ini dipilih karena mempunyai kemampuan lebih dalam menyerap klorofil dan kepadatan vegetasi. Selain itu pada band sinar merah dan infra merah dekat vegetasi dan non-vegetasi dapat dibedakan secara jelas. Formula untuk menghitung NDVI adalah : NDVI = Nilai NDVI berkisar antara -1 hingga +1. Nilai NDVI yang rendah (negatif) menunjukkan tingkat vegetasi yang rendah seperti awan, air, tanah kosong, bangunan dan unsur non vegetasi lainnya. Sedangkan nilai NDVI yang tinggi (positif) menunjukkan tingkat vegetasi hijau yang tinggi. Jadi, nilai NDVI sebanding dengan kuantitas tutupan vegetasinya. Hasil dan Pembahasan 1. Tutupan lahan Kota Malang Klasifikasi tutupan lahan yang terdapat di Kota Malang terbagi dalam 4 jenis tutupan yaitu lahan terbangun, lahan tergenang, tanah terbuka dan vegetasi. Berdasarkan luas tutupan lahan pada tahun 2002 hingga tahun 2008 maka jenis tutupan lahan dengan luas perubahan terbesar adalah lahan terbangun yang pada tahun 2008 meningkat luasannya menjadi Ha atau meningkat 43 % dari luas sebelumnya. Lahan tergenang yang mengalami perubahan luas yaitu berkurang seluas 255 Ha atau berkurang luasnya sebesar 41 %. Berikut adalah tabel 1 tentang persentase perubahan perubahan tutupan lahan Tahun terhadap luas Kota Malang. jenis tutupan lahan tanah terbuka merupakan tutupan lahan yang mengalami perubahan paling besar menjadi lahan terbangun yaitu 8% dari luas Kota Malang. 2. Pola temperatur permukaan lahan berdasarkan suhu rata-rata dan kecenderungan perubahan temperatur di Kota Malang. Hasil pengolahan citra satelit Landsat 7 ETM pada band 6 (band termal), menunjukkan bahwa terdapat perubahan sebaran temperatur di Kota Malang pada tahun 2002 dan Berkenaan dengan hal tersebut, maka pada lokasi studi dilakukan pemilihan lokasi penampang yaitu: a) Penampang Tutupan lahan tanah terbuka menjadi lahan terbangun dengan lokasi perumahan Sawojajar I. b) Penampang kawasan lahan terbangun pada tahun 2002 hingga tahun 2008 di kawasan pusat kota. Perencanaan Wilayah Kota G-25

4 c) Penampang kawasan tanah terbuka menjadi vegetasi di Kawasan Buring Kecamatan Kedungkandang. d) Penampang Kota Malang Berikut gambar 2, sebaran temperatur permukaan lahan di Kota Malang tahun 2002 dan Analisis dilakukan dengan menumpangtindihkan antara peta tutupan lahan dengan temperatur permukaan lahan dengan hasil sebagai berikut : a. Pada lokasi Sawojajar 1 (tutupan tanah terbuka menjadi lahan terbangun), berdasarkan grafik perubahan temperatur pada gambar 1, diketahui bahwa terdapat pola perubahan temperatur pada kawasan dengan kecenderungan temperatur meningkat yaitu antara 6 0 hingga 9 0 C. Perubahan tutupan lahan tanah terbuka menjadi lahan terbangun menyebabkan kecenderungan peningkatan temperatur pada kawasan. b. Kawasan pusat kota yang merupakan kawasan dengan tutupan lahan terbangun pada tahun 2002 dan 2008, secara umum nampak pola grafik yang sama (lihat gambar 4), hal ini mengambarkan bahwa pola yang ditunjukkan oleh garis pada grafik di kawasan ini sama, namun kecenderungan perubahan temperatur menunjukkan peningkatan yaitu antara 6 0 hingga 9 C, bahkan terdapat lokasi dengan temperatur lebih panas dari tahun sebelumnya, sehingga tutupan lahan terbangun di pusat Kota Malang memiliki kecenderungan meningkat. c. Kawasan dengan tutupan lahan tanah terbuka menjadi lahan tertutup vegetasi dengan penampang pada kawasan Buring Kecamatan Kedungkandang. Peningkatan jumlah vegetasi akibat perubahan tutupan lahan dari tanah terbuka menjadi vegetasi mengakibatkan adanya penurunan suhu yang signifikan terutama pada beberapa lokasi yang memiliki perubahan suhu < 0 3 C dan terdapat pula kawasan yang memiliki temperatur melampaui batas suhu pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2002 (lihat gambar 5). Dengan demikian peran vegetasi sangat penting dalam penurunan temperatur permukaan lahan di Kota. d. Penampang Kota Malang, guna mengetahui gambaran temperatur permukaan lahan dalam lingkup kawasan yang lebih luas yaitu dari kawasan pinggiran kota yang masih didominasi kawasan pertanian dan bervegetasi, permukiman padat, area komersil hingga kawasan pusat kota maka perlu menarik penampang garis yang mampu mempresentasikan bagaimana perubahan tutupan lahan mempengaruhi temperatur permukaan lahan di Kota Malang. Berdasarkan pola grafik 2002 secara umum terlihat adanya persamaan dengan pola garis grafik temperatur Selain persamaan pola pada kawasan panas, yang menarik adalah pada kawasan dingin atau kawasan yang memiliki temperatur dibawah suhu rata-rata terdapat 2 area dimana menunjukkan garis temperatur yang saling bersinggungan antara garis temperatur tahun 2002 dan Hal ini berarti bahwa temperatur permukaan pada tahun 2008 sama dengan tahun Berdasarkan gambar tutupan lahan, kedua area ini berada pada kawasan pertanian di pedesaan pinggiran Kota. Pada gambar 6, grafik perubahan temperatur kawasan menunjukkan bahwa semakin mendekati kawasan pusat kota perubahan temperatur menjadi semakin meningkat dengan peningkatan suhu antara 6 hingga 9 0 C. Wilayah pinggiran kota yang masih pedesaan memiliki dua karakteristik yaitu terdapat area yang menunjukkan kecenderungan temperatur meningkat dan terdapat area yang mengalami penurunan suhu bahkan temperaturnya sama atau lebih rendah dari tahun Pulau-pulau panas di Kota Malang (urban heat island). Dalam peta temperatur permukaan lahan pada tahun 2002 dan 2008 terlihat kawasan-kawasan yang menunjukkan temperatur permukaan yang lebih panas bila dibandingkan dengan wilayah lainnya yang Perencanaan Wilayah Kota G-26

5 terdapat di Kota Malang. Wilayah yang memiliki temperatur yang paling panas di kota disebut dengan heat island atau pulau panas di kota. Pada peta temperatur permukaan lahan tahun 2002 terlihat pulaupulau panas sebagian besar menyebar di wilayah pinggiran bagian timur dan barat serta pusat Kota Malang. Sementara itu pada tahun 2008 kawasan pulau panas kota meningkat sebarannya dengan temperatur 40 hingga 45 0 C. Pola sebaran spasial pulau-pulau panas di Kota Malang diketahui melalui analisis tetangga terdekat yang menunjukkan bahwa pada tahun 2002 sebaran pulau panas kota dengan indeks 0,105 yang berarti bahwa sebarannya adalah clustered atau mengelompok. Sementara itu pada tahun 2008 sebaran pulau panas memiliki indeks 0,172 yang berarti pula bahwa pola sebarannya tetap menunjukkan pola clustered. Identifikasi pulau panas kota pada tahun 2008 melalui citra satelit Quickbird tahun 2007 diketahui bahwa peningkatan sebaran berada pada bagian wilayah tengah kota dimana tahun 2002 bukan merupakan wilayah panas. Hampir diseluruh kecamatan terdapat pulau-pulau panas. Adapun gambaran tutupan lahan pada pulau-pulau panas tahun 2008 adalah sebagai berikut: a) Di bagian barat kota, tutupan lahan yang terdapat pada pulau panasnya berupa lahan terbangun meliputi pengembangan perumahan baru di wilayah pinggiran sebelah barat dan permukiman padat di kawasan dinoyo dan industri. b) Di bagian timur kota, merupakan wilayah kecamatan Kedungkandang dengan tutupan lahan berupa lahan terbangun di kawasan perumahan sawojajar I. c) Dibagian utara yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Blimbing dan Lowokwaru, tutupan lahannya berupa lahan terbangun meliputi permukiman padat dan industri dalam kota. d) Bagian selatan kota dimana termasuk dalam bagian wilayah Kecamatan Sukun dan Klojen merupakan tutupan lahan berupa lahan terbangun meliputi permukiman padat dan industri dalam kota. Dengan demikian perkembangan pulaupulau panas dari tahun 2002 hingga 2008 mengalami perkembangan tidak hanya adanya peningkatan temperatur yang berkisar 9 0 C yaitu dari 36 0 C pada tahun 2002 menjadi 45 0 C di tahun 2008, namun juga pada sebaran dan luasan pulau panas kota. Sebaran pulau panas yang pada tahun 2002 tersebar hanya di pinggiran wilayah barat dan timur serta di bagian tengah wilayah kota, pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebaran hampir diseluruh bagian kota dengan pola sebaran mengelompok (clustered). 4. Peran sebaran vegetasi dalam perubahan temperatur permukaan lahan Kota Malang. Hasil analisa perubahan pola sebaran temperatur permukaan lahan dan tutupan lahan menunjukkan bahwa pada beberapa lokasi terutama pada wilayah pinggiran kota mengalami penurunan temperatur suhu terutama sebagian besar pada bagian wilayah timur kota. Temperatur pada tahun 2008 bahkan lebih rendah 2 0 C bila dibandingkan dengan suhu pada tahun sebelumnya. Berdasarkan identifikasi citra Quickbird 2007 wilayah bagian timur tersebut didominasi oleh tutupan lahan vegetasi. Guna mengetahui perkembangan lahan dengan tutupan vegetasi tersebut, maka dilakukan analisis NDVI (Normalized Differential Vegetation Index) untuk membuktikan bahwa pada wilayah tersebut terdapat peningkatan sebaran vegetasi di permukaan lahannya. Berdasarkan index vegetasi (lihat gambar 7), sebaran vegetasi pada tahun 2002 cenderung lebih sedikit bila dibandingkan dengan sebaran vegetasi pada tahun Diketahui bahwa area penelitian dengan luas Ha, pada tahun 2002 vegetasi menyebar seluas 3.078,5 Ha atau sekitar 27,7% diseluruh wilayahnya. Sementara itu pada tahun 2008, sebaran vegetasi Perencanaan Wilayah Kota G-27

6 mengalami peningkatan menjadi 4.911,3 Ha atau 44,3%, yang hal ini menunjukkan peningkatan sebaran sebesar 16,5% dari luasan sebelumnya. Peningkatan sebaran ini sebagian besar meningkat di kawasan timur Kota Malang tepatnya pada wilayah Kelurahan Buring Kecamatan Kedungkandang. Peningkatan sebaran vegetasi di wilayah ini mampu menurunkan suhu hingga 2 0 C (lihat pada pembahasan penampang tanah terbuka menjadi vegetasi). 5. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap temperatur permukaan lahan di Kota Malang Hasil pembahasan terkait sebaran temperatur permukaan lahan dan perubahan tutupan lahan di Kota Malang, diketahui bahwa faktor- faktor yang berpengaruh terhadap sebaran temperatur permukaan lahan yaitu, pertama, perubahan luas tutupan lahan terbangun, hal ini didasarkan pada hasil pengolahan citra satelit, menunjukkan bahwa persentase perubahan tutupan lahan terbangun yang besar sementara tutupan lahan lainnya justru persentasenya berkurang atau menurun. Dalam analisis penampang kawasan juga menunjukkan pola sebaran pada wilayah dengan kawasan yang mengalami perubahan menjadi lahan terbangun memiliki kecenderungan adanya peningkatan temperatur permukaan lahan dan menyebabkan terbentuknya titik-titik panas atau pulau panas di Kota Malang. Kedua, Peningkatan sebaran vegetasi. Berdasarkan hasil analisis penampang kawasan menunjukkan bahwa wilayah dengan perubahan tutupan menjadi vegetasi memiliki kecenderungan temperatur menjadi lebih dingin. Hal ini diperkuat dengan analisis index vegetasi yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sebaran vegetasi pada tahun 2008, sehingga di beberapa wilayah menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Faktor-faktor tersebut diatas, dapat dijadikan sebagai indikator adanya peningkatan atau penurunan temperatur permukaan lahan di Kota Malang, yang berarti bahwa apabila pengelolaan kota lebih banyak merubah tutupan lahan kota menjadi bangunan dengan lapisan permukaan buatan seperti beton, aspal atau membiarkan lahanlahan menjadi terbuka tanpa adanya vegetasi di permukaan maka peningkatan temperatur permukaan lahan pasti akan terjadi. 6. Implikasi hasil studi terhadap Rencana Penggunaan Lahan Kota Malang Tahun 2029 Berdasarkan hasil penelitian, maka untuk memperoleh gambaran kondisi termal dimasa mendatang (tahun 2029) maka sangat penting mengetahui kebijakan yang telah ditetapkan dan mengaitkannya dengan hasil penelitian sehingga evaluasi terhadap rencana yang telah tersusun. Adapun kebijakan yang terkait langsung dengan studi temperatur permukaan lahan di Kota Malang adalah : 1. Rencana pengembangan dan distribusi penduduk Dalam rencana tata ruang wilayah Kota Malang tahun 2029, beberapa catatan penting khususnya mengenai distribusi penduduk yaitu : a. Pendistribusian penduduk pada kecamatan dengan kepadatan penduduk tinggi diarahkan ke kecamatan dengan kepadatan rendah atau sedang. Dengan pertumbuhan penduduk di Kecamatan Klojen yang memiliki kepadatan tinggi diarahkan pendistribusian nya pada kecamatan dengan tingkat kepadatan yang rendah seperti Kecamatan Kedungkandang. b. Prioritas pendistribusian penduduk ke daerah dengan lahan kosong lebih banyak daripada daerah lain. Semakin besar luasan lahan kosong yang dapat dimanfaatkan, maka semakin besar jumlah penduduk yang dapat didistribusikan ke daerah tersebut. Pendistribusian penduduk akan diprioritaskan pada kecamatan tersebut dengan luasan lahan kosong lebih paling besar. Berdasarkan kebijakan tersebut, maka prediksi lahan terbangun sudah pasti akan Perencanaan Wilayah Kota G-28

7 mengikuti arah pengembangan distribusi penduduk hingga tahun Kawasan Kedungkandang berdasarkan analisa spasial tutupan lahan, temperatur pemukaan lahan dan sebaran vegetasi merupakan daerah yang memiliki temperatur paling rendah (sebagian besar tutupan vegetasi dan meningkat sebarannya) bila dibandingkan dengan bagian wilayah lainnya di Kota Malang dimasa mendatang temperaturnya akan meningkat (berdasarkan hasil penelitian bahwa perubahan tutupan lahan menjadi lahan terbangun menunjukkan peningkatan temperatur/suhu). 2. Rencana Struktur Ruang Tahun 2029 Rencana pusat pelayanan Kota Malang menetapkan beberapa sub pusat pelayanan kota yang dikembangkan untuk melayani kebutuhan ruang. Rencana penetapan fungsi utama pada bagian wilayah kota terutama Malang Timur dan Tenggara dengan mengalih fungsikan lahan eksisting yang merupakan sawah menjadi fungsi perdagangan, fasilitas umum dan sosial dan Malang Hall Convention Center. Perhatian utama terhadap penetapan ini adalah pertimbangan munculnya efek ganda (multiplier efect) yang meningkatkan sebaran lahan terbangun dan tentunya apabila dikaitkan dengan hasil penelitian bahwa lahan terbangun merupakan faktor yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap peningkatan temperatur permukaan lahan di Kota Malang. 3. Rencana Pola Ruang Kota Malang Tahun 2029 Rencana pola ruang Kota Malang meliputi rencana kawasan lindung dan kawasan budidaya. Penetapan kawasan lindung terkait pada kawasan perlindungan setempat saja yaitu sempadan sungai yang terdapat di Kota Malang dan ruang terbuka hijau. Pada kawasan ini terkait dengan hasil studi bahwa penetapan kawasan lindung tidak hanya pada daerah aliran sungai tetapi juga sebuah kawasan yang dapat mewujudkan lingkungan kota menuju pada kenyamanan termal. Lingkungan dimana vegetasi tersebar cukup banyak di kota. Berdasarkan penelitian wilayah dengan lahan terbangun yang dikelilingi vegetasi banyak lebih dingin menjadi dibandingkan wilayah dengan vegetasi acak dan sedikit (lihat peta temperatur permukaan lahan. Berdasarkan analisis tetangga terdekat bahwa pulau-pulau panas cenderung clustered maka hal ini dapat dijadikan referensi dalam penetapan lokasi ruang terbuka hijau ekologis di Kota Malang. Sementara pada kawasan budidaya penetapan kawasan pertanian, permukiman, industri dan non RTH lebih kepada alih fungsi kawasan yang sebagian besar menuju kepada kegiatan perkotaan. Sehingga apabila dikaitkan dengan hasil penelitian bahwa beberapa kawasan seperti kawasan pertanian harus dipertahankan keberadaannya karena kawasan pertanian tidak hanya merupakan kawasan produktif tetapi merupakan kawasan yang ditutupi dengan vegetasi yang tentunya memberikan kontribusi terhadap penurunan suhu di kota mengingat wilayah ini berada di pinggiran Kota Malang. Pada kawasan permukiman seperti yang diarahkan maka penetapan bangunan secara vertikal sebaiknya direalisasikan sebagai jawaban terhadap permasalahan kebutuhan lahan permukiman di Kota dengan pembatasan koefisien lantai bangunan (KLB). Kawasan industri besar yang ditetapkan di Wilayah Kecamatan Kedungkandang perlu strategi untuk mereduksi dampak termal yang ditimbulkan mengingat wilayah-wilayah panas yang terdapat di Kota Malang salah satunya merupakan kawasan industri ( dalam hasil analisis LST, pulau pulau panas terdapat di Kawasan Dinoyo, jalan Tenaga, industri Sukun dan Sanan). Lihat tabel 2. Perencanaan Wilayah Kota G-29

8 7. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka kesimpulannya adalah : 1. Karakteristik tutupan Lahan di Kota Malang berdasarkan pengolahan citra satelit meliputi tutupan lahan terbangun, tanah terbuka, lahan tergenang dan vegetasi. Pada tahun 2002 proporsi tanah terbuka mendominasi kawasan yaitu sebesar 33 %. Sementara pada tahun 2008 perkembangan tutupan lahan terbangun meningkat sebesar 44 % dari luas lahan Kota Malang. Perkembangan lahan terbangun ini sebagian besar terdapat di wilayah pinggiran Kota dan pada pusat Kota Malang. 2. Sebaran temperatur Kota Malang pada tahun 2002 dan 2008 menunjukkan peningkatan temperatur permukaan lahan sebesar 9 0 C dengan pola sebaran meningkat di wilayah pinggiran terutama pada pengembangan perumahan baru dan pada pusat kota yaitu kawasan permukiman padat dan industri. Sementara penurunan temperatur terjadi pada wilayah yang mengalami peningkatan sebaran vegetasi terutama di wilayah pinggiran kota bagian timur yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Kedungkandang. 3. Pulau panas (Urban Heat Island) di Kota Malang menunjukkan pola sebaran spasial mengelompok (clustered). Arah perkembangan pulau panas menyebar seiring perkembangan lahan terbangun di Kota Malang. Berdasarkan identifikasi citra Ikonos tahun 2002 dan Quickbird 2007 menunjukkan bahwa tutupan lahan pada pulau panas adalah lahan terbangun (permukiman padat dan industri dalam kota) dan tanah terbuka (lahan pertanian setelah panen dan lahan pengembangan perumahan). 4. Faktor yang mempengaruhi sebaran temperatur permukaan lahan di Kota Malang adalah perubahan tutupan lahan terutama perubahan menjadi lahan terbangun (meningkatkan temperatur permukaan lahan) dan peningkatan sebaran vegetasi (menurunkan temperatur permukaan lahan). 5. Implikasi hasil penelitian terhadap Rencana tata ruang wilayah Kota Malang tahun 2029 adalah diprediksikan akan meningkatkan sebaran temperatur permukaan lahan dan pulau-pulau panas di Kota seiring dengan kebijakan tata ruang yang meningkatkan sebaran kawasan terbangun perkotaan kearah pinggiran kota. Daftar Pustaka [1] Susanti, Indah, Aspek iklim dalam perencanaan perkotaan, jurnal PPI edisi Vol.8/ XVIII/November [2] Weng et al, The spatial variations of urban land surface temperaturs : pertinent factors, zoning effect, and seasonal variability, IEEE Journal of selected topics in applied earth observations and remote sensing, Vol.1 No.2 June [3] Gartland, Lisa, Heat Island : understanding and mitigating heat in urban areas, Earthscan UK, p [4] Suharjadi, Projo D, Retnadi Heru, Petunjuk Praktikum Penginderaan Jauh Dasar, jurusan Kartografi & Penginderaan Jauh Fakultas Geografi Universitas Gajahmada. Perencanaan Wilayah Kota G-30

9 Tahun 2002 Tahun 2008 Keterangan : Lahan terbangun Tanah Terbuka Vegetasi Lahan tergenang Gambar 4. Penampang Lahan Terbangun Gambar 1. Tutupan Lahan Tahun 2002 dan 2008 Citra 2002 Citra 2008 Gambar 5. Penampang Tanah Terbuka menjadi Vegetasi Gambar 2. Sebaran Temperatur Permukaan lahan Kota Malang tahun 2002 dan 2008 Tabel 1. Persentase perubahan tutupan lahan Tahun terhadap luas Kota Malang N Jenis Luas Perubahan Persentase o luas Perubahan 1 Lahan terbangun Lahan tergenang Tanah terbuka Vegetasi Jumlah Sumber : Hasil analisa Gambar 3. Penampang Tanah Terbuka menjadi Lahan Terbangun Perencanaan Wilayah Kota G-31

10 TEMPERATUR Daerah pedesaanlahan terbuka Wilayah utara Sukun dan Tunjung Sekar & sekitarnya Permukiman pinggiran kota Perumahan pisang candi & sekitarnya Area komersil Dieng & sekitarnya Pusat Kota Alun-Alun & sekitarnya Permukiman Padat Kota Kawasan Jodipan & sekitarnya Permukiman pinggiran kota Buring & sekitarnya Daerah pedesaanpertanian Kedungkandang bagian selatan Gambar 6. Penampang Kota Malang NDVI 2002 NDVI 2008 Gambar 7. Sebaran vegetasi Kota Malang tahun 2002 dan 2008 Perencanaan Wilayah Kota G-32

11 Tabel 2. Implikasi hasil studi terhadap rencana penggunaan lahan Kota Malang tahun 2029 Bagian Kecamatan Kelurahan Arahan pengembangan Implikasi wilayah Eksisting Rencana Utara Lowokwaru Tasikmadu Vegetasi Lahan terbangun Kecenderungan membentuk Tunjung sekar Vegetasi Lahan terbangun Kecenderungan membentuk Tunggul wulung Vegetasi Lahan terbangun Kecenderungan membentuk Merjosari Vegetasi Lahan terbangun Pengembangan dari wilayah panas yang telah ada/terbentuk Barat Sukun Karang besuki Vegetasi Lahan terbangun Pengembangan dari wilayah panas yang telah ada/terbentuk Timur Kedungkandang Cemorokandang Vegetasi Lahan terbangun Kecenderungan membentuk Madyopuro Vegetasi Lahan terbangun Kecenderungan membentuk Lesanpuro Vegetasi Lahan terbangun Kecenderungan membentuk Wonokoyo Vegetasi Lahan terbangun Kecenderungan membentuk Tenggara Bumiayu Vegetasi Lahan terbangun Kecenderungan membentuk Sumber : Hasil analisa Perencanaan Wilayah Kota G-33

12 Perencanaan Wilayah Kota G-34

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

PULAU BAHANG KOTA (URBAN HEAT ISLAND) DI YOGYAKARTA HASIL INTERPRETASI CITRA LANDSAT TM TANGGAL 28 MEI 2012

PULAU BAHANG KOTA (URBAN HEAT ISLAND) DI YOGYAKARTA HASIL INTERPRETASI CITRA LANDSAT TM TANGGAL 28 MEI 2012 PULAU BAHANG KOTA (URBAN HEAT ISLAND) DI YOGYAKARTA HASIL INTERPRETASI CITRA LANDSAT TM TANGGAL 28 MEI 2012 Oleh : Suksesi Wicahyani 1), Setia Budi sasongko 2), Munifatul Izzati 3) 1) Mahasiswa Magister

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada beberapa tahun terakhir, kegiatan urbanisasi semakin meningkat, tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan berdampak dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kenyamanan permukiman di kota dipengaruhi oleh keberadaan ruang terbuka hijau dan tata kelola kota. Pada tata kelola kota yang tidak baik yang ditunjukkan dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan.

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan. FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL Erwin Hermawan Abstrak Secara umum, UHI mengacu pada peningkatan suhu udara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh sistem satelit merupakan salah satu alat yang bermanfaat untuk mengukur struktur dan evolusi dari obyek ataupun fenomena yang ada di permukaan bumi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan-lahan untuk menyediakan permukiman, sarana penunjang ekonomi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang memerlukan banyak bangunan baru untuk mendukung

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang memerlukan banyak bangunan baru untuk mendukung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksistensi Penelitian Perkembangan dan pembangunan yang terjadi di perkotaan membuat kawasan kota menjadi semakin padat. Salah satu penyebabnya adalah pertambahan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan saat ini semakin meningkat. Salah satu masalah lingkungan global yang dihadapi banyak negara adalah terjadinya pulau bahang kota (urban heat island)

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) ANALISA RELASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN SUHU PERMUKAAN TANAH DI KOTA SURABAYA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTISPEKTRAL TAHUN 1994 2012 Dionysius Bryan S, Bangun Mulyo Sukotjo, Udiana Wahyu D Jurusan

Lebih terperinci

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya PEMBAHASAN 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya Pemetaan Geomorfologi,NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah Pemetaan Geomorfologi

Lebih terperinci

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak A123-04-1-JW Hatulesila Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon Jan Willem Hatulesila 1), Gun Mardiatmoko 1), Jusuph Wattimury 2) 1) Staf Pengajar Fakultas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR Cesaria Wahyu Lukita, 1, *), Joni Hermana 2) dan Rachmat Boedisantoso 3) 1) Environmental Engineering, FTSP Institut Teknologi

Lebih terperinci

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG Titik Poerwati Leonardus F. Dhari Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Nasional Malang ABSTRAKSI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... PARAKATA... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI... PARAKATA... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI PARAKATA... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vi viii x xi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 3 1.2 Rumusan Masalah... 8 1.3 Tujuan, Sasaran dan Manfaat... 8 1.3.1 Tujuan...

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Data Ada 3 data utama yang digunakan dalam penelitian ini. Data yang pertama adalah data citra satelit Landsat 7 ETM+ untuk daerah cekungan Bandung. Data yang

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kota adalah pusat pertumbuhan yang ditandai dengan perkembangan jumlah penduduk (baik karena proses alami maupun migrasi), serta pesatnya pembangunan sarana dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan perekonomian di kota-kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta diikuti pula dengan berkembangnya kegiatan atau aktivitas masyarakat perkotaan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari tahun 2009 hingga tahun 2011. Penelitian dibagi

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016 ANALISIS FENOMENA PULAU BAHANG (URBAN HEAT ISLAND) DI KOTA SEMARANG BERDASARKAN HUBUNGAN ANTARA PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DENGAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA MULTI TEMPORAL LANDSAT Almira Delarizka,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Metro adalah kota hasil pemekaran Kabupaten Lampung Tengah dan memperoleh otonomi daerah pada tanggal 27 April 1999 sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

ANALISIS URBAN HEAT ISLAND

ANALISIS URBAN HEAT ISLAND ANALISIS URBAN HEAT ISLAND DALAM KAITANNYA TERHADAP PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI KOTA PONTIANAK Indra Rukmana Ardi 1, Mira Sophia Lubis 2, Yulisa Fitrianingsih 1 1 Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi PERBANDINGAN EKSTRAKSI BRIGHTNESS TEMPERATUR LANDSAT 8 TIRS TANPA ATMOSPHERE CORRECTION DAN DENGAN MELIBATKAN ATMOSPHERIC CORRECTION UNTUK PENDUGAAN SUHU PERMUKAAN Farid Ibrahim 1, Fiqih Atriani 2, Th.

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi ANALISIS PRIORITAS PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DAERAH PERMUKIMAN MELALUI PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN KOTAGEDE SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

lib.archiplan.ugm.ac.id

lib.archiplan.ugm.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterbatasan lahan yang terjadi di perkotaan diiringi dengan tingginya kebutuhan penduduk akan hunian menjadikan kawasan kota berkembang menjadi kawasan yang padat

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Agustus 2013

Jurnal Geodesi Undip Agustus 2013 Analisis Pengaruh Perubahan NDVI dan Tutupan Lahan Terhadap Suhu Permukaan Di Kota Semarang Analysis of NDVI and Land Cover Changes Effect to Land Surface Temperatures In Semarang City Ayu Hapsari Aditiyanti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan

BAB I PENDAHULUAN Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan Pembangunan perkotaan membawa perubahan pada lingkungan fisikdan atmosfer kota. Pada lingukungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* PENENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN INDEX VEGETASI NDVI BERBASIS CITRA ALOS AVNIR -2 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI KOTA YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* Abstrak:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Urban Heat Island dan Kawasan Terbangun. terhadap lingkungan sekitarnya. Fenomena Urban Heat Island (UHI)

BAB 1 PENDAHULUAN Urban Heat Island dan Kawasan Terbangun. terhadap lingkungan sekitarnya. Fenomena Urban Heat Island (UHI) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Urban Heat Island dan Kawasan Terbangun. Pembangunan pada sebuah kawasan membawa perubahan terhadap lingkungan sekitarnya. Fenomena Urban Heat Island (UHI)

Lebih terperinci

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN:

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: 2460-6480 Kajian Upaya Penurunan Dampak Urban Heat Island di Kota Tanjungpinang The Study of The Reducing Effort on Urban Heat Island s Impact in Kota Tanjungpinang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Estimasi Suhu Permukaan Daratan di Kota Pekalongan

Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Estimasi Suhu Permukaan Daratan di Kota Pekalongan Conference on URBAN STUDIES AND DEVELOPMENT Pembangunan Inklusif: Menuju ruang dan lahan perkotaan yang berkeadilan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Estimasi Suhu Permukaan Daratan di

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah serta sistematika penulisan yang menjadi dasar dari Perbandingan Penggunaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA TAPAK

BAB IV ANALISA TAPAK BAB IV ANALISA TAPAK 4.1 Deskripsi Proyek 1. Nama proyek : Garuda Bandung Arena 2. Lokasi proyek : Jln Cikutra - Bandung 3. Luas lahan : 2,5 Ha 4. Peraturan daerah : KDB (50%), KLB (2) 5. Batas wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya tingkat

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN Media Konservasi Vol. 17, No. 3 Desember 2012 : 143 148 HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN (Correlation between Leaf Area Index with Micro Climate and Temperature

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

,Variasi Spasial Temporal Suhu Permukaan Daratan Kota Metropolitan Bandung Raya Tahun

,Variasi Spasial Temporal Suhu Permukaan Daratan Kota Metropolitan Bandung Raya Tahun ,Variasi Spasial Temporal Suhu Permukaan Daratan Kota Metropolitan Bandung Raya Tahun 2014 2016 Safirah Timami 1, Sobirin 2, Ratna Saraswati 3 1 Mahasiswa Departemen Geografi. Fakultas MIPA, Universitas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Diah Witarsih dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016 ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN TERHADAP DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN FENOMENA URBAN HEAT ISLAND Sendi Akhmad Al Mukmin, Arwan Putra Wijaya, Abdi Sukmono *) Program Studi

Lebih terperinci

MENGETAHUI HUBUNGAN LAHAN VEGETASI DAN LAHAN TERBANGUN (PEMUKIMAN) TERHADAP PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MEMANFAATKAN CITRA SATELIT

MENGETAHUI HUBUNGAN LAHAN VEGETASI DAN LAHAN TERBANGUN (PEMUKIMAN) TERHADAP PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MEMANFAATKAN CITRA SATELIT MENGETAHUI HUBUNGAN LAHAN VEGETASI DAN LAHAN TERBANGUN (PEMUKIMAN) TERHADAP PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MEMANFAATKAN CITRA SATELIT Dedy Kurnia Sunaryo Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil Dan

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERUBAHAN IKLIM KOTA MALANG

PERUBAHAN PENGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERUBAHAN IKLIM KOTA MALANG PERUBAHAN PENGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERUBAHAN IKLIM KOTA MALANG 1) Akhmad Faruq Hamdani; 2) Nelya Eka Susanti 1) 2) Universitas Kanjuruhan Malang Email: 1) a.faruqhamdani@unikama.ac.id;

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

BAB II. Analisa yang Mewujudkan Art Deco. Kegiatan survey lapangan yang telah penulis alami dan perolehan akan data

BAB II. Analisa yang Mewujudkan Art Deco. Kegiatan survey lapangan yang telah penulis alami dan perolehan akan data BAB II Analisa yang Mewujudkan Art Deco Kegiatan survey lapangan yang telah penulis alami dan perolehan akan data data yang telah lengkap dan akurat merupakan tahap tahap yang harus dilalui penulis sebelum

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERUBAHAN BATAS WILAYAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II MALANG DAN KABUPATEN DAERAH TINGKAT II MALANG Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1987 Tanggal 20 Juli 1987 Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya. Selain itu kota Malang juga memiliki letak yang sangat strategis ditengah-tengah wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan perwujudan aktivitas manusia yang berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial, ekonomi, pemerintahan, politik, dan pendidikan, serta penyedia fasilitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

Berkala Fisika ISSN : Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72

Berkala Fisika ISSN : Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72 Berkala Fisika ISSN : 1410-9662 Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72 ANALISIS DISTRIBUSI TEMPERATUR PERMUKAAN TANAH WILAYAH POTENSI PANAS BUMI MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DI GUNUNG LAMONGAN,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang harus ditanggulangi. Fenomena alam ini menjadi penyebab utama terbentuknya lahan kritis, terutama jika didukung

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian ini mencakup penggunaan lahan, faktorfaktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, dan dampak perubahan penggunaan lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci