BAB II LANDASAN TEORI A. Employee Engagement 1. Pengertian Employee Engagement Kahn (1990) mendefenisikan employee engagement sebagai keadaan dimana anggota dari sebuah organisasi mengidentifikasi dirinya dengan pekerjaannya serta mengekspresikan diri mereka secara fisik, kognitif, dan emosional selama menunjukkan performa mereka. Aspek kognitif mencakup keyakinan yang dimiliki karyawan mengenai organisasi tersebut, para pemimpinnya, dan kondisi kerja. Aspek emosional melingkupi bagaimana perasaan karyawan terhadap organisasi dan para pemimpinnya. Sedangkan aspek fisik melingkupi energi fisik yang dikeluarkan karyawan dalam melaksanakan tugas di organisasi. Berbeda dengan Kahn, Schaufeli ( 2002 ) lebih menekankan pada konsep work engagement dimana ia mendefenisikannya sebagai keadaan motivasionl yang positif yang dikarakteristikkan dengan vigor (semangat), dedication (dedikasi) dan absorption (penyerapan). Vigor dikarakteristikan dengan energi dan resiliensi yang tinggi serta adanya kemauan untuk investasi tenaga, presistensi dan tidak mudah lelah. Sementara dedication dikarakteristikan dengan keterlibatan yang kuat yang ditandai dengan antusiasme dan rasa bangga serta inspirasi. Lebih lanjut absorption ditunjukkan dengan keadaan terjun total yang dikarakteristikan dengan perasaan bahwa waktu sangat cepat berlalu dan sulitnya memisahkan seseorang dari pekerjaanya. Menurut Kahn ( 1990 ) dimensi pada work engagement ini akan
mendorong terciptanya keterikatan personal yang nantinya juga akan mendorong ke arah employee engagement. Sementara Frank (2004) dalam Saks (2006) mendefenisikan employee engagement sebagai sejumlah usaha yang diberikan melebihi apa yang diharapkan perusahaan dalam bekerja. Dari hasil penjabaran diatas peneliti menyimpulkan bahwa employee engagement adalah keadaan dimana anggota suatu organisasi memberikan usahanya dalam bekerja melebihi dari apa yang diharapkan organisasi yang dikarakteristikkan oleh level energi dan resiliensi yang tinggi, adanya kemauan untuk investasi tenaga, presistensi, tidak mudah lelah, dan ditandai juga dengan antusiasme yang kuat serta keadaan terjun total yang dikarakteristikan dengan perasaan waktu yang cepat berlalu. 2. Dimensi Employee Engagement Menurut Schaufeli (2002) ada tiga dimensi work engagement yang akan mengarah pada employee engagement yaitu: 1. Vigor. Vigor adalah level energi dan resiliensi yang tinggi serta adanya kemauan untuk investasi tenaga, presistensi dan tidak mudah lelah. 2. Dedication. Dedication adalah keterlibatan yang kuat ditandai dengan antusiasme dan rasa bangga serta inspirasi.
3. Absorption Absorption adalah keadaan totalitas dalam bekerja yang dikarakteristikan dengan perasaan bahwa waktu sangat cepat berlalu dan sulitnya memisahkan seseorang dari pekerjaanya. 3. Faktor yang mempengaruhi employee engagement Adapun faktor yang mempengaruhi employee engagement menurut Mc Bean (2007) : 1. Organisasi Hal hal yang mempengaruhi employee engagement salah satunya meliputi visi dan nilai yang dianut, budaya organisasi dan brand organisasi tersebut. Budaya organisasi yang dimaksud adalah budaya organisasi yang memiliki keterbukaan dan sikap suportif dan komunikasi yang baik antar rekan kerja. 2. Gaya Kepemimpinan: Hal selanjutnya yang mempengaruhi employee engagement meliputi gaya kepemimpinan. Faktor ini dibangun melalui proses dan waktu yang panjang serta komitmen yang tinggi dari pemimpin. Adapun keterampilan yang sebaiknya dimiliki pemimpin dalam menciptakan employee engagement yaitu teknik komunikasi yang baik, teknik memberikan feedback dan teknik penilaian kerja.
3. Lingkungan kerja: Hal terakhir yang mempengaruhi employee engagement meliputi kondisi lingkungan kerja yang nyaman. Kondisi kerja yang nyaman dapat menjadi pemicu teciptanya employee engagement. Beberapa kondisi lingkungan kerja yang diharapkan dapat mendorong terciptanya employee engagement yaitu: a. Lingkungan kerja yang memiliki keadilan distributif dan prosedural. Pegawai yang berpersepsi memperoleh keadilan tersebut akan berlaku adil pada organisasi dengan cara membangun ikatan emosi yang mendalam pada organisasi. b. Lingkungan kerja yang melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan. Hal ini akan mempengaruhi karyawan secara psikologis dan menganggap dirinya berhrga bagi organisasi. c. Organisasi yang memperhatikan keseimbangan antara kehidupan kerja dan keluarga. B. Gaya Kepemimpinan A. Gaya Kepemimpinan Transformasional 1. Pengertian Gaya Kepemimpinan Transformasional Burns (1978) pada hakekatnya menekankan bahwa gaya kepemimpinan transformasional lebih kepada seorang pemimpin yang memotivasi bawahannya untuk melakukan tanggung jawabnya lebih dari yang diharapkan perusahaan.
Sementara Bass dan Ringio (2006) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinn yang mampu mendorong dan menginspirasi para pengikutnya untuk mencapai kinerja luar biasa dengan cara memberdayakan dan menyelaraskan antara tujuan individu, tujuan kelompok serta tujuan organisasi atau perusahaan. Lebih lanjut Robbins (1998) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan yang menginspirasi para pengikutnya untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi mereka dan memiliki kemampuan mempegaruhi yang luar biasa. Untuk memotivasi karyawan, pemimpin transformasional berusaha mendorong dan menginspirasi para karyawannya agar mampu mengembangkan kemampuan yang mereka miliki. Jadi berdasarkan penjabaran diatas, gaya kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu mendorong, menginspirasi dan memotivasi karyawan untuk melakukan tanggung jawabnya melebihi yang diharapkan perusahaan sehingga mencapai kinerja yang luar biasa. 2. Dimensi Gaya Kepemimpinan Transformasional Menurut Bass (1990) ada beberapa dimensi dari gaya kepemimpinan transformasional adalah sebagai berikut. Yang pertama adalah Idealize Influence Charisma. Idealize Influence Charisma adalah perilaku yang memberikan wawasan serta kesadaran akan misi, menanamkan kebanggan serta mendapatkan sikap hormat dan kepercayaan dari bawahannya. Dimensi ini dikenal dengan pemimpin yang menjadi panutan, dihormati dan dikagumi oleh bawahannya. Idealize Influence Charisma di bagi menjadi dua yaitu:
a. Idealized Influence Attribute : Karisma sosial seorang pemimpin yang dipersepsikan sebagai pemimpin yang berkuasa dan percaya diri, serta fokus pada tujuan. Pemimpin seperti ini menunjukkan kebanggaan, rasa hormat dan kepercayaan dari karyawannya. b. Idealized Influence Behavior: Tindakan karismatik dari seseorang pemimpin yang mengacu pada misi dan nilai nilai serta keyakinan yang dianut. Pemimpin ini memiliki prinsip, etika serta moral yang baik serta mengkomunikasikan nilai dan tujuan organisasi secara meyakinkan. Dimensi gaya kepemimpinan transformasional yang kedua adalah Inspirational Motivation. Inspirational Motivation terbentuk ketika pemimpin menunjukkan antusiasme dan optimisme serta menciptakan suasana kerja yang berkomitmen mencapai tujuan dan visi organisasi. Selain itu pemimpin yang memiliki karakteristik ini adalah pemimpin yang mampu mengkomunikasikan harapan harapan tinggi yang fokus terhadap usaha atau upaya dan mengekspresikan tujuan penting dengan cara yang sederhana. Selanjutnya dimensi gaya kepemimpinan transformasional yang ketiga adalah Intellectual Stimulation. Intellectual Stimulation adalah perilaku yang meningkatkan kecerdasan, rasionalitas dan pemecahan masalah yang cermat dan seksama dengan cara mendorong kreatifitas pengikutnya. Dan yang terakhir adalah dimensi Individualized Consideration. Individualized Conscideration adalah perilaku yang memberikan perhatian, membina, melatih dan membimbing karyawan secara individual dan juga diikuti dengan pemberian
saran. Pemimpin yang memiliki karakteristik ini adalah pendengar dan memiliki interaksi yang baik dengan karyawannya. Umumnya para karyawan dengan pemimpin berkarakteristik seperti ini berkembang mejadi individu yang berpotensi tinggi. B. Gaya Kepemimpinan Transaksional 1. Pengertian Gaya Kepemimpinan Transaksional Menurut Bass (1990) gaya kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang didasari pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi Sedangkan menurut Robbins (2008) gaya kepemimpinan transaksional adalah pemimpin yang membimbing dan memotivasi para pengikut mereka pada arah tujuan yang telah ditetapkan dengan cara memperjelas peran dan tugas mereka. Jadi menurut penjabaran diatas gaya kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi dimana pemimpin cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas tugas dan untuk memotivasi bawahannya dengan mengandalkan sistem pemberian penghargaan ataupun hukuman. 2. Dimensi Gaya Kepemimpinan Transaksional Menurut Bass (1990) adapun dimensi gaya kepemimpinan transaksional adalah sebagai berikut. Yang pertama adalah contingensi reward. Contingensi reward mengarah pada pemimpin yang fokus pada pencapaian prestasi dan menjanjikan penghargaan bisa berupa pujian, rekomendasi, kenaikan gaji ataupun promosi. Sebaliknya hukuman dapat berupa teguran, menunjukkan ketidak setujuan bahkan
menghalangi kesempatan karyawan untuk menjadi pemimpin di dalam tim. Dimensi yang kedua adalah Manajemen by Exception. Manajemen by exception mengarah pada pemimpin yang memantau, mengamati dan mencari penyimpangan dari aturan aturan dan standar serta melakukan tindakan perbaikan. Manajemen by Exception dibagi menjadi dua yaitu: a. Manajemen by Exception Active: Pemimpin secara aktif mencari atau menangkap kesalahan- kesalahan yang terjadi di dalam divisinya, untuk kemudian diperbaiki secara terus menerus. Dan terus melakukan intervensi apabila hal hal tersebut tidak sesuai dengan standar dan aturan yang ada. b. Manajemen by Exception Passive: Pemimpin hanya memberikan standar standar tertentu untuk diraih oleh karyawan dan kemudian memberikan penilaian dengan atau tanpa mengkomunikasikan dengan karyawan. Pemimpin dengan karakteristik ini terkesan menunggu masalah atau bahkan tidak melakukan tindakan apapun dalam menghadapi masalah tersebut. C. Dinamika perbedaan employee engagement ditinjau dari gaya kepemimpinan transformasional dan gaya kepemimpinan transaksional. Menurut Hockey dan Ley (2008) gaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor pembentuk employee engagement, selain faktor lain seperti budaya dan iklim organisasi, job factors serta adanya perasaan dihargai dan dilibatkan. Karyawan akan memberikan respon positif dan menghasilkan kinerja yang lebih
baik ketika karyawan tersebut memiliki keterikatan emosi maupun kognitif pada pimpinannya. Dan sejalan dengan pendapat Mc Bean (2004) bahwa salah satu faktor yang mengarahkan seorang karyawan menjadi terikat adalah manajemen yang didalamnya lebih difokuskan kepada kepemimpinan. Gaya kepemimpinan yang dimaksud disini adalah atasan yang memiliki teknik yang baik dalam hal pengambilan keputusan, pola komunikasi yang baik serta atasan yang baik dalam sistem pemberian penilaian kerja kepada karyawannya. Menurut Gomes (2003) pengambilan keputusan yang baik adalah pengambilan keputusan yang diambil secara tidak kebetulan, serta didasarkan pada pemilihan alternatif terbaik dari alternatif yang ada. Sementara pola komunikasi yang baik adalah komunikasi dua arah. Dimana komunikasi ini memungkinkan terjadinya arus balik dari atasan ke pada bawahan, dan bawahan ke atasan serta komunikasi ini akan menghasilkan umpan balik. Sementara penilaian kerja yang baik adalah penilaian kerja yang dilakukan secara sistematis, adil dan objektif. Lebih khusus Bass (1998) mengatakan dengan karakteristik gaya kepemimpinan transformasional pemimpin bisa memotivasi karyawan untuk bekerja diatas espektasi dan mengorbankan kepentingan pribadi mereka demi kepentingan organisasi. Keempat dimensi transformasional yaitu individualized influence charisma, inspirational motivation, intellectual stimulation dan individualized conscideration seluruhnya mendorong karyawan untuk bekerja lebih keras, meningkatkan produktifitas, memiliki moril kerja serta kepuasan kerja yang lebih tinggi, meningkatkan efektivitas organisasi, meminimalkan pertukaran
karyawan, menurunkan tingkat kehadiran, dan memiliki kemampuan menyesuaikan diri secara organisasional yang lebih tinggi. Dibley, J.E ( 2009 ) menjelaskan mengenai bagaimana kepemimpinan transformasional itu mengarah pada employee engagement. Dimensi individualized charisma dan inspirational motivation mampu memberikan contoh positif kepada bawahan, sehingga bawahan akan mengidentifikasi perilaku positif tersebut. Sedangkan dimensi intellectual stimulation dan individualized conscideration mampu menstimulasi bawahan untuk mencapai tujuan kerja bersama, serta mendorong karyawan untuk meningkatkan kinerja melebihi dari apa yang diharapkan perusahaan. Sementara Robbin dan Judge ( 2007) menjelaskan alasan mengapa gaya kepemimpinan transaksional tidak berkorelasi dengan employee engagement. Dimensi contingent reward yang cenderung menekankan pada sistem punishment dan reward akan menunurunkan semangat ( vigor ) serta dedikasi ( dedication ) karyawan. Bagi karyawan kondisi tersebut merupakan kondisi yang mengikat dan memaksa. Tetapi dari sumber sumber yang ada, tidak ada yang menjelaskan mengenai bagaimana employee engagement pada perusahaan yang ketat dalam hal standar operasional kerja, dan fokus pada penerapan tugas dan deadline. Sehingga belum bisa dipastikan bagaimana employee engagement ditinju dari gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional pada perusahaan yang memiliki karakteristik seperti yang dikemukakan diatas. Karakteristik seperti ketat dalam hal standar
operasional kerja, fokus pada penerapan tugas dan deadline ada pada lokasi penelitian ini yaitu pada perusahaan pembangkit jarigan transmisi PLN. D. Hipotesa Penelitian Hipotesa penelitian adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya harus diuji secara empiris ( Suryabrata, 1983). Adapun hipotesis yag diajukan pada penelitian ini adalah : Ada perbedaan employee engagement ditinjau dari gaya kepemimpinan tranformasional dan transaksional