TAJEN TRADISI SABUNG AYAM DALAM MASYARAKAT HINDU OLEH : 1. Candra Valentina M. U. ( ) 2. Gst. Ayu Khrisna Saraswati M.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TAJEN TRADISI SABUNG AYAM DALAM MASYARAKAT HINDU OLEH : 1. Candra Valentina M. U. ( ) 2. Gst. Ayu Khrisna Saraswati M."

Transkripsi

1 MAKALAH AGAMA HINDU TAJEN TRADISI SABUNG AYAM DALAM MASYARAKAT HINDU OLEH : 1. Candra Valentina M. U. ( ) 2. Gst. Ayu Khrisna Saraswati M. ( ) 3. Putu Winda Aryantini ( ) 4. I. A Irawati Diah Ratna P. ( ) 5. Ni Luh Made Asri Mulyasari ( ) INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER 2014 KATA PENGANTAR Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat Sang Hyang Widhi Wasa, karena anugerah-nya yang tiada hentinya kami dapat menyelesaikan tugas makalah agama dengan tema Tanggung Jawab Umat Beragama dalam Memajukan Budaya Hukum dan Moralitas Wasyarakat Modern. Dari tema tersebut kami mengambil judul Tajen, Tradisi Sabung Ayam Dalam Masyarakat Hindu. Kami ucapkan terima kasih juga kepada dosen mata kuliah agama Hindu kami, yaitu Ibu Dra Ni Wayan Suarmini,M.Sc yang telah memberikan tugas dan membimbing kami dalam menyelesaikan tugas laporan ini sehingga kami dapat lebih memahami apa yang telah diajarkan dalam mata kuliah agama Hindu. Makalah ini disusun sebagai tugas dan secara garis besar memuat tentang bagaimana umat beragama, khususnya umat Hindu dalam memajukan budaya hukum dan moralitas masyarakat di tengah-tengah kondisi zaman yang mengalami modernisasi. Selain itu, kami membahas aspekaspek yang terlibat dan saling ketergantungan untuk memahami kondisi dan cara beradaptasi yang tidak melupakan latar belakang agama. Demikian makalah ini kami susun, terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu memberikan bahan-bahan atau referensi yang terkait sehingga membantu selesainta penyusunan makalah ini. Disamping itu, kami juga menyadari bahwa makalh ini masih terdapat banyak

2 kekurangan, bahkan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan. Terima Kasih. Surabaya, 02 April 2014 Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI..iii BAB I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG RUMUSAN MASALAH TUJUAN MANFAAT..2 BAB II. DASAR TEORI 2.1.Sejarah Tajen (sabung ayam) Pengertian Tajen 2

3 2.1.2 Tajen Pada Masa Lalu dan Kini Sudut Pandang Mengenai Tajen Sudut Pandang Hindu Pandangan Sosial Pro-Kontra Terhadap Tajen Tajen dan Pembangunan Berbudaya..10 BAB III. PEMBAHASAN 3.1 Tajen: Judi, Budaya, atau Yadnya Tajen Menyebabkan Pergeseran Moral masyarakat..13 BAB IV. PENUTUP 4.1 Kesimpulan Saran 16 DAFTAR PUSTAKA Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Masalah judi adalah masalah yang menyangkut kehidupan masyarakat (walau tidak seluruhnya), dan jika tidak ditangani dengan serius akan dapat menimbulan berbagai masalah spiritual, sosial, keamanan baik untuk pribadi pelaku maupun berdampak kepada lingkungan sosial yang lebih luas. Di Bali judian dalam bentuk sabungan ayam, sejak jaman Bali Kuno (abad ke 8 Masehi) telah dikenal. Penjelasan tersebut dapat dijumpai dalam prasasto Sukawana A.I, berangka tahun 804 Śaka (882 M), pada prasasti itu dikenal dengan istilah blindarah. Pada prasastri Abang A

4 berangka tahun 933 Śaka (1011 M) disebutkan tiga sehet (makantang tlung prahatan) dan tidak perlu minta ijin kepada pemerintah. Selanjutnya pada prasasti Batuan tahun 944 Śaka (1022 M) disebutkan bila mengadu ayam di tempat suci, tiga sehet tidak dikenakan pajak (I B.Purwita, 1978: 9). Namun kini di lingkungan masyarakat Bali telah terjadi pergeseran dari ritual yang bersifat sakral, berubah menjadi judi dengan dalih tabuh rah. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah tradisi Tajen masyarakat Hindu di Bali itu merupakan wujud Yadnya, Judi, atau Budaya? 2. Bagaimana dampak dari tradisi Tajen tersebut terhadap moralitas masyarakat Hindu? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui apakah tradisi Tajen masyarakat Hindu di Bali itu merupakan wujud Yadnya, Judi, atau Budaya. 2. Untuk mengetahui dampak dari tradisi Tajen tersebut terhadap moralitas masyarakat Hindu. 1.4 Manfaat 1. Untuk penulis: Dapat menambah pengetahuan tentang seluk- beluk tajen dalam tradisi Yadnya. 2. Untuk pembaca: Dapat menambah wawasan pembaca tentang keberadaan tajen di masyarakat Hindu. 2.1 Sejarah Tajen (sabung ayam) Pengertian Tajen BAB II DASAR TEORI Tajen adalah suatu permainan adu ayam atau sabung ayam dengan mengikatkan taji pada kaki ayam itu serta mengadunya, sebagai salah satu bentuk hiburan yang disertai taruhan uang.taruhan uang itu sendiri adalah judi atau dyuta, sedang menyebabkan matinya ayam/mahluk utnuk kesenangan semata-mata didalam ajaran Agama Hindu dinamai Himsa Karma yang tidak baik dilakukan oleh setiap orang yang berusaha untuk mengamalkan Dharma. Tabuh Rah atau tabuh getih adalah taburan darah binatang utnuk persembahan dalam upacara Agama (Panca Yadnya) sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Tattwa- Tattwa tentang mpulutuk bebanten (sesaji) dan beberapa Prasasti Bali Kuno. Tentang Tabuh

5 Rah ini sesungguhnya rakyat telah memaklumi dan melaksanakan sebagaimana mestinya, akan tetapi kadangkala pengertian Tabuh Rah disamakan saja dengan pengertian Tajen, sehingga lama-kelamaan sukar dibedakan mana yang Tabuh Rah dan mana yang disebut Tajen. Sabung ayam atau tajen nyaris tak dapat dilepaskan dari kehidupan orang Bali-Hindu. Adanya larangan tajen kerena sering dikaitkan dengan judi sejak tahun 1981, dimana acara tajen tak lagi dilakukan secara terbuka di wantilan yaitu bangunan tradisonal yang umum yang terdapat di desa. Acara tajen kemudian dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh warga Bali. Namun Belakangan, sejak era reformasi acara tajen dilakukan untuk penggalangan dana. Acara tajen di Bali sudah dikenal sejak zaman majapahit, konon tajen sangat dekat dengan tradisi tabuh rah.sehingga tajen dianggap sebuah proyeksi profan dari salah satu upacara yadnya di Bali yang bernama tabuh rah. Tabuh rah merupakan sebuah upacara suci yang dilangsungkan sebagai kelengkapan saat upacara macaru atau bhuta yadnya. Upacara tabuh rah biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, sampai salah satu ayam meneteskan darah ke tanah. Darah yang menetes ketanah dinggap sebagai yadnya yang dipersembahkan kepada bhuta, lalu pada akhirnya binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan mengalami proses peningkatan jiwa pada reinkarnasi selanjutnya menjadi binatang lain dengan derajad lebih tinggi atau manusia. Matabuh darah binatang dengan warna merah inilah yang konon akhirnya melahirkan budaya judi menyabung ayam yang bernama tajen. Namun yang membedakan tabuh rah dengan tajen adalah, diamana dalam tajen dua ayam jantan diadu oleh para bebotoh sampai mati, jarang sekali terjadi sapih atau imbang dan menggunakan media uang sebagi taruhan. Sedangkan tabuh rah bersifat sakral dan merupakan bangian dari persyaratan yadnya Tajen Pada Masa Lalu dan Kini Tajen sebagai fenomena kultural pada masa lalu terutama diarahkan untuk memenuhi fungsi yadnya, berupa tabuh rah, antara lain tajen nyuh (kelapa) dan tajen taluh (telur). Tajen jenis ini dilaksanakan setelah tari kincang-kincung, berupa tarian dengan sarana tombak dan keris (kadutan) pada menjelang upacara piodalan selesai. Tari dan tajen jenis ini merupakan ekspresi kekerasan dalam bentuk pertarungan hingga menang-kalah karena kekalahan (kematian) pada satu pihak bermakna memberi kemenangan (kehidupan) pada pihak lain. Perang dan kematian adalah kebutuhan rohani, kebutuhan religi. Religi selalu berhubungan dengan metakosmos dan menghadirkan yang yang di luar sana itu dalam dunia manusia, agar berkah transenden lebih menghidupkan manusia. Pada dasarnya mereka juga tidak menyukai kematian dan perang. Akan tetapi hidup harus dilakukan seperti itu karena hanya dengan cara itulah hidup ini dimungkinkan. Dengan demikian kehidupan dapat berjalan normal kembali tanpa tekanan, baik fisik maupun psikis. Ini mengandaikan bahwa setiap orang termasuk orang Bali dalam dirinya telah terkandung unsur-unsur kekerasan, bahkan ketegangan-ketegangan yang secara normal harus mendapat saluran pelepasan. Melalui upacara keagamaan yang ditautkan pada kesenian dan tradisi lainnya rupanya, orang Bali memperoleh penyaluran kekerasan dan pelepasan ketegangan hidup yang dialami sehari-hari. Itu sebabnya sabung ayam yang pertama senantiasa dilaksanakan di areal pura. Jika dipandang perlu dilanjutkan maka hal itu

6 diselenggarakan di jabaan pura dengan tetap diikat oleh tata krama yang semestinya berlaku dalam areal pura. Kalaupun tajen dilaksanakan bukan di kekeran tempat suci dan dalam konteks upacara (dan umumnya dilaksanakan enam bulan sekali) maka sebelum dilaksanakan sambung ayam dapat dipastikan selalu akan didahului dengan upacara keagamaan. Setidaknya dalam areal itu akan dipasang sanggah cucuk yang salah satu maknanya mengingatkan manusia agar dalam menjalani kehidupan yang sarat dengan aspek gambling, senantiasa tetap berada pada koridor kejujuran, etika, sopan-santun, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pemantapan makna itu. Artinya, sekalipun disadari ada unsur judi yang melekat pada pelaksanaan tabuh rah, tetapi unsur-unsur judi senantiasa dicoba diminimalkan dengan proses ritual dan simbolis. Sebaliknya, saat ini tajen cenderung dilaksanakan sepanjang waktu lepas dari konteks upacara. Jikapun dilaksanakan dalam konteks upacara, acapkali hal itu dilaksanakan sebagai kamuflase dari sebuah upacara tertentu, yang boleh jadi tidak apa-apa jika tidak diisi dengan tajen. Tajen pada masa yang lalu umumnya dilaksanakan oleh desa dan atau banjar adat dengan berbagai prosedur, ketaatan warga untuk mentaati perarem yang telah mereka rumuskan, percayai, dan dijadikan pedoman bertingkah laku. Jikapun karena kemampuannya seorang warga diminta mengkoordinasikan pelaksanaan tajen maka orang itu tetap tunduk pada desa dan banjar adat yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan tejen. Jadi, segala hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukan sebagai koordinator pelaksanaan tajen, bukan merupakan hak dan kewajiban individu. Belakangan ini malahan tajen acapkali diselenggarakan oleh individu dan atau kelompok orang dengan hak-hak dan kewajiban yang diklaim sebagai hak individu atau kelompok, lepas dari tanggung jawab desa atau banjar adat. Tentu yang lebih memprihatinkan lagi jika betul adanya sinyalemen keterlibatan oknum aparat dalam penyelenggaraan tajen misalnya, dengan meminta hasil satu kali putaran dari siklus yang disepakati. Pola ini membawa konskuensi yang amat luas secara sosiologis. Jika pada masa lalu, tajen tidak dapat dihindarkan pelaksanaan maupun unsur judinya, tetapi tajen tetap dapat dikendalikan dan diisolir secara relatif. Sirkulasi kekayaan warga, juga bergerak di sekitar itu dengan nilai yang relatif terjangkau. Sebaliknya, dengan network individu atau kelompok penyelenggara semakin luas, semakin terbuka pula adanya kapital asing masuk ke dalam tataran ekonomi lokal sehingga keseimbangan sirkulasi ekonomi kerakyatan tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi rekreasi, releksasi, dan pelepasan dari berbagai kesuntukan sebagaimana dinyatakan Geertz tidak lagi dapat dipenuhi, malahan ketegangan-ketegangan baru mulai tercipta. Ketegangan-ketegangan itu merupakan wujud awal dari sebuah pertikaian. Dalam upacara keagamaan, justru pertikaian itulah yang membuat pasangan oposisi. Dalam pertikaian, dalam perang, dan dalam kematian yang diakibatkannya, hadir suatu yang transenden. Daya-daya hidup ini justru hadir dalam bentuk kematian. Kematian adalah kehidupan. Perang adalah syarat perdamaian, kemakmuran, dan kesuburan. Bagi si pemenang dan yang dikalahkan kematian diperlukan agar hidup dapat dilanjutkan. Ini bukan berarti masyarakat tidak menjalanan hidup dalam kelompok-kelompok sosial. Hidup bersama dalam satu kelompok itu kodrati karena manusia memang makhluk sosial. Manusia tidak mungkin hidup sendirian. Akan tetapi kesosialan ini juga tetap berpegang teguh pada prinsip pemisahan. Setiap banjar atau desa pakraman mempunyai pasangan banjar atau desa pakraman masing-masing. Pasangan-pasangan

7 itu, bahkan membentuk federasi banjar atau desa pakraman. Namun pasangan-pasangan banjar atau desa pakraman tadi bukan dalam arti perkawinan, melainkan pasangan perang. Pasangan persaingan. Pasangan tetap dalam perseteruan. Ini memungkikan kehidupan tetap belangsung. Dalam pasangan oposisi laki-laki versus perempuan dalam budaya perang, tentu saja laki-laki yang mengalahkan perempuan. Suami-istri juga harus dipisahkan. Ada rumah perempuan dan ada rumah lelaki. Ada ruang perempuan dan ada ruang lelaki dalam satu rumah. Garis pemisahnya harus jelas. Pemisahan dan jarak itulah yang baik. Lelaki lebih berkuasa daripada perempuan. Lelaki adalah hidup itu sendiri. Pemujaan lelaki, pemujaan phalus, pemujaan kelamin lelaki menguasai kehidupan. Anak laki-laki lebih diharapkan karena memungkinkan hidup kolektif terus berlangsung. Perempuan bukan tidak diperlukan, tetapi dikalahkan. Perempuan kelas dua. Pemujaan lelaki, pemujaan pahlawan yang gugur dalam perang mendapat tempat terhormat dalam etika sosial. Mereka adalah manusia-manusia berjasa bagi kelompok. Apabila benar ini pola pikir yang mendasari kelahiran tajen di Bali maka fenomena tajen itu pada prinsipnya sejalan dengan gagasan Jakob Sumardjo tentang masyarakat yang membangun budayanya berdasarkan berpikir pola dua, yakni bahwa hidup itu pemisahan. Hidup itu persaingan; hidup itu konflik; dan konflik itu adalah perang. Adanya pasangan oposisi semua hal harus dipecahkan dengan mengalahkan salah satu. Jikalau pasangannya kalah, lenyap, dan mati maka hidup dimungkinkan. Kematian satu pihak memungkinkan pihak lain itu hidup. Kondisi hidup ini mau tak mau harus diterima seperti itu. Hidup itu pemisahan karena penyatuan tidak menyenangkan. Dalam masyarakat berpola dua jumlah kelompok sosial bukan semakin menyatu, tetapi semakin terpisah-pisah. Semakin lama jumlah suku semakin banyak. Bahasa semakin bervarian dan sengaja membedakan diri dengan kelompok lain yang jelas dipandang sebagai pesaingnya. Ini sebabnya pro-kontra dan pertikaian menjadi warna kehidupan budaya masyarakat. 2.2 Sudut Pandang Mengenai Tajen Sudut Pandang Hindu Kebenaran konteks pengertian pertaruhan dalam tajen tentunya masih dapat dilihat dan dikaji dari berbagai pandangan selain dari sudut pandang etika sosial masyarakat Bali dan hukum positif.sedangkan dari perspektif agama Hindu sendiri, seperti tertera dalam Manawa Dharmasastra V.45, yaitu Yo himsakaani bhuutani hina. Tyaatmasukheashayaa, sa jiwamsca mritascaiva na, Kvacitsukhamedhate artinya: Ia yang menyiksa mahluk hidup yang tidak berbahaya dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan nafsu untuk diri sendiri, orang itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Ia selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak pula mati. Demikian juga ketika dikembalikan pada hakikat yadnya dan tabuh rah. Di dalam tabuh rah terkandung makna mengenai etika upacara demi menjaga kesucian yadnya. Yandnya yang dipersembahkan secara suci untuk sebuah kesucian yang lebih hakiki. Dimana upacara yang suci menjadi media yang berada pada realitas ambang antara yang partikular, yaitu buana alit, yaitu jiwa kecil atau manuasia dan yang lebih universal yaitu bhuana agung atau alam semesta.

8 Orang Bali berprinsip harus terjadi keseimbangan diantara keduanya. Selain itu masih dalam kitab suci Manawa Dharmasastra Buku IX (Atha Nawano Dyayah) sloka 221 sampai 228 dengan jelas menyebutkan adanya larangan mengenai judi. Sloka 223 membedakan antara perjudian dengan pertaruhan. Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut perjudian. Misalnya uang, mobil, tanah dan rumah. Sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan. Misalnya, binatang peliharaan,manusia, bahkan istri sendiri. Seperti yang dilakukan oleh panca pandawa dalam epos Bharata Yudha ketika Dewi Drupadi yang dijadikan objek pertaruhan melawan Korawa. Selain itu dalam kitab suci Rg Veda Mandala X. Sukta 34. Mantra 3,10 dan 13 dengan tegas melarang orang berjudi. Berjudi itu dapat menyengsarakan keluarga. Kerjakanlah sawah ladang cukupkan serta puaskanlah penghasilan itu. Demikian antara lain isi Mantara Veda tersebut. Sangat jelaslah bahwa dalam ajaran Hindupun menentang keras adanya penyiksaan mahluk hidup, yang digunakan sebagai media dalam tajen dan perjudian yang menggunakan benda hidup maupun non hidup. Bukan bermaksud untuk menakut-nakuti masyarakat yang senang berjudi namun sebaliknya memberikan masukan, bahwa apa yang dilakukan tersebut tidak sepatutnya terus dikembangkan hingga anak cucu kita dan menjadi budaya yang merugikat masyarakat Bali- Hindu khususnnya Pandangan Sosial Bila boleh menyimpulkan secara pragmatis dalam kasus tajen di Bali telah terjadi keracunan berpikir(jalaludin 2000:17) Argumetum ad Verecundiam yaitu beragumen dengan menggunakan otoritas yang tidak relevan atau ambigu. Ada orang yang terkadang secara berpihak berusaha memebenarkan paham dan kepentingannya dengan menggunakan satu otoritas atau pembenar tertentu. Dalam kasus tajen, adat dapat diindikasikan sebagai suatu otoritas pembenar untuk sebagi argumen bahwa tajen dapat dibenarkan. Selain itu uang merupakan menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan tajen masih eksis.di wilayah agama uang memiliki makna simbolik yang sangat kuat baik secara denotatif maupun konotatif.dalam judi tajen konteks pengertian fungsi simbolik uang tanpa didasari alasan untuk resistensi adat dan resistensi kolektifitas mabanjar. Dengan melihat budaya Bali termasuk tajen didalamnya yang telah melekat dihati masyarakat sampai sekarang, tentunya merupakan sebuah budaya yang luar biasa tanpa menyalah artikan dan maksud dari tajen tersebut. Memandang bahwa tajen adalah aset yang perlu dilestarikan untuk menunjang pariwisata budaya tanpa menggunakan budaya tersebut sebagi ajang untuk berjudi Pro-Kontra terhadap Tajen Dari fenomena terurai di atas dalam berbagai diskursus maupun pembicaraan di lingkungan masyarakat kebanyakan telah berkembang dua pemikiran utama dalam menyikapi masalah tajen, yaitu sebagai berikut.

9 Pertama, perspektif ini lebih bertitik tolak dari pemikiran idealisme-normatif. Termasuk dalam kelompok ini juga mereka yang menganut paham teologis. Argumentasi mereka adalah tajen berbeda dengan tabuh rah. Tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah yang notabenanya sarat dengan nuansa ritual-religius. Tabuh rah adalah sebuah proses awal dari rangkaian ritual berikutnya. Tabuh rah berhubungan dengan upaya manusia untuk memelihara hubungan baik dengan dunia bawah, dunia yang memerlukan kurban, binatang, dan darah yang langsung mengalir dari tubuh koban. Jadi, tabuh rah berfungsi menetralkan hubungan manusia dengan dunia bawah, sebelum menapak dunia tengah dan atas. Oleh karena tajen merupakan bias dari konsepsi tabuh rah, dan cendrung telah menjadi sebuah game yang mengandung unsur spekulasi dan taruhan dengan harapan memperoleh keuntungan maka tajen bukanlah sesuatu yang patut dilestarikan, melainkan sebaiknya diminimalkan keberadaannya. Penganut pemikiran ini beranggapan bahwa tajen sebagai fenomena judi merupakan candu bagi masyarakat. Ia hanya menjajikan kebahagiaan, membawa orang ke alam hampa udara dan tidak pernah dapat berdiri dengan tegak. Malahan pandangan yang agak sinis dilontarkan untuk itu dengan menyatakan bahwa tidak ada orang yang kaya karena judi, tetapi sebaliknya banyak dijumpai orang menjadi miskin dan menderita karena judi. Sebab itu, judi dalam segala bentuknya harus dihindarkan. Pandangan ini cendrung berpretensi puritanisme yang dibawa oleh nasionalisme radikal. Penganut paham ini cenderung khawatir akan petani miskin, orang yang tidak terdidik mempertaruhkan seluruh harta mereka dalam game itu. Mereka juga khawatir terhadap adanya perilaku menyia-nyiaan waktu, padahal sebagai bangsa yang sedang membangun memanfaatkan waktu secara baik merupakan awal dari kesuksesan. Dalam pernyataan yang agak sinis, para penganut paham ini kembali melontarkan pernyataan: bagaimana mungkin kita akan masuk ke dalam setting global, jika sebagian besar waktu yang ada dimanfaatkan hanya untuk memelihara jago dan mengadunya? Kedua, kelompok ini disebut dengan emperisme-pragmatis karena argumentasi yang dilontarkannya senantiasa berdimensi empiris dan pragmatis. Bagi mereka tajen adalah sebuah wadah bagi orang Bali dalam mengekspresikan berbagai emosi dan sebagai perwujudan karakter mereka. Tajen sebagai sesuatu fakta, ia ada dan tidak mungkin dinisbikan hanya oleh kekuasaan birokrasi, terlebih hal itu merupakan keinginan masyarakat. Dalam proses historis, sekalipun pada masa pemerintahan Belanda dan Republik, tajen dilarang toh dalam kenyataannya tajen tetap ada dan semakin semarak saja. Tajen tidak saja telah memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sektor informal dalam arena pertandingan jago, seperti saya, tukang taji, pekembar, dan sebagainya; tetapi ia telah mampu memberi kehidupan bagi lingkungan yang lebih luas di luar arena. Dalam aspek emperis, terbukti terdapat banyak infrastruktur desa yang dibangun dari hasil tajen, tidak terbatas hanya pada bangunan sekuler, tetapi juga bangunan yang disucikan. Oleh karena itu, menisbikan tajen sama artinya dengan tidak mau tahu dengan kenyataan yang ada. Malahan para penganut paham ini menyatakan: mengapa kita harus takut dengan judi, bukankah hidup kita ini sesungguhnya sebuah permainan atau gambling? Tajen dan Pembangunan Berbudaya

10 Komitmen pembangunan Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu memiliki implikasi luas, termasuk dalam upaya memahami dan menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya. Jika kita konsisten terhadap makna teologis pembangunan berbudaya maka seharusnya menjadi komitmen bersama untuk meminimalkan segala bentuk judi. Artinya, jikapun tajen belakangan ini kelihatan semakin marak di Bali, bukan merupakan sebuah pembenar untuk melegalkan hal itu. Sebab, pengalaman teologis sebagaimana digambarkan dalam kisah Mahabharata telah memberikan cukup bekal kepada kita bahwa: (1) judi telah membuat orang menderita dalam kurun waktu yang cukup lama dengan berbagai cobaannya; (2) judi telah menimbulkan adanya berbagai konflik kepentingan di dalam lingkungan keluarga; (3) judi telah menyebabkan runtuhnya etika dan sopan santun. Jika karena semakin maraknya tajen kemudian dilegalkan maka logika yang sama tidak dapat dihindarkan ketika kita mencoba memahami dan mengkaji patologis sosial lainnya, seperti pelacuran. Bukankah pelacuran telah ada bersamaan dengan adanya manusia, dan bukankah pula realitas menunjukkan bahwa belakangan ini hal seperti itu juga semakin marak? Konskuensinya kita juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan ini, dan bagaimana dengan judi lainnya, seperti bola adil, blok kiu, spirit, dan sejenisnya. Semakin maraknya tajen, metuakan, dan patologis sosial lainnya seperti prostitusi juga tidak mengharuskan untuk melegalkannya. Krisis ekonomi berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, masih terbatasnya lapangan kerja produktif, dan karena itu mengakibatkan waktu senggang menjadi sedemikian banyaknya, merupakan sebab yang harus dicari jalan keluarnya. Jadi, maraknya persoalan tajen, metuakan, dan prostitusi tidak mengharuskan kita mengambil kebijakan yang bertentangan dengan pertimbangan teologis dan kultural. Pendapat saya (boleh setuju maupun tidak), semakin maraknya judi dalam segala bentuknya terkait dengan banyaknya waktu luang yang belum dimanfaatkan secara efektif. Jika saja setiap orang telah memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan dan kewajiban sosial lainnya maka tindakan ke arah itu (judi) tentu akan dapat diminimalkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah ke arah optimalisasi peran, seperti memanfaatkan potensi pemuda untuk mengaktifkan kembali pekan olahraga dan seni desa, melaksanakan lomba sekaa teruna, dan melaksanakan berbagai bentuk pendalaman sradha pada seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, untuk melepaskan diri kita dari tarikan semacam itu maka kita harus kembali ke jalan dharma. Bukankah kita telah diajarkan oleh para leluhur untuk menikmati kesenangan (khama) berdasarkan dharma, demikian pula dalam rangka menghasilkan artha harus dilandasi oleh dharma. Jika ini tetap menjadi pegangan pembangunan berwawasan budaya bernafaskan agama Hindu maka tampaknya kita harus bersama-sama berusaha ke arah itu. Proses ke arah itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ia memerlukan kesungguhan hati, niat yang luar biasa, ketabahan, dan latihan terus-menerus. Dalam menapaki proses ke arah itu, kita akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan, malahan pengucilan-pengucilan tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan opini yang berlaku saat itu. Sekalipun demikian,

11 kami akan berusaha tetap melaksanakan amanat pembangunan berbudaya bernafaskan agama Hindu dengan tidak menutup mata pada kenyataan bahwa masih ada banyak persoalan kemanusiaan, adat, agama, dan lingkungan yang memerlukan perhatian lebih serius 3.1 Tajen: Judi, Budaya atau Yadnya BAB III PEMBAHASAN Dalam perkembangannya, ritual suci tabuh rah mengalami pergeseran makna. Seni pertarungan ayam yang seru dan mengasyikan kemudian sering di salah gunakan. Berbicara tentang tajen dimana, merupakan metamarfosa dari tabuh rah sendiri memang sulit dipahami apakah termasuk judi murni, budaya (adat-istiadat) atau yadya? Banyak sekali persepsi masyarakat Bali-Hindu yang memandang bahwa tajen merupakan, budaya yang tidak bisa dipisahkan dengan tatanan kehidupan masyarakat Bali, dan ada juga yang memberikan pandangan tajen merupakan persayaratan dari yadnya. Memang tidak bisa dipungkiri dari sudut pandang berbagai kalangan masyarakat Bali mengenai tajen antara budaya dan yadnya (agama) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainya. Bila kita amati apabila ada upacar-upacara yadya disuatu daerah atau banjar-banjar di Bali, tajen tak lepas dari kegiatan tersebut, karena tajen merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari sebuah upacara, meskipun terkadang orientasinya bukan hanya sekedar upacara namun dijadikan sebagai wadah hiburan oleh masyarakat Bali dan identik dengan sebuah taruhan sebagi bumbubumbu untuk lebih menarik. Secara logika sebenarnya tabuh rah tidak sama dengan tajen. Tabuh rah adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pacaruan (bhuta yadya). Setelah berabad-abad dimana seiring perubahan pola pikir manusia dan budaya tabuh rah mengalami pergeseran makna dan tujuannya menjadi tajen. Sedangkan tajen yang kita kenal di msyarakat sekarang ini adalah tajen yang bernuansa judi dan menjadi sebuah taruhan dengan menggunakn materi atau uang, sehingga tajen yang sekarang dilakukan masyarakat Bali merupakan perjudian murni bukan yadnya. Namun, tajen memiliki satu-kesatuan sudut pandang dari masyarakat bahwa aktivitas tersebut masih merupakan bagian dari yadnya dan budaya yang ada sejak terdahulu. 3.2 Tajen Menyebabkan Pergeseran Moral Masyarakat Dari jaman dulu tajen sulit dipisahkan dari masyarakat Bali, karena selalu dikaitkan dengan upacara agama. Tajen merupakan bagian dari acara ritual keagamaan tabuh rah atau perang sata dalam masyarakat Hindu di Bali. Yang mana tabuh rah ini mempersyaratkan adanya darah yang menetes sebagai symbol/syarat menyucikan umat manusia dari keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh rah juga bermakna sebagai upacara ritual Bhuta Yadnya yang

12 mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya. Tetapi, bagi sebagian besar orang tajen telah dijadikan sebagai media mengadu nasib untuk mengadu keberuntungan. Tetapi banyak juga yang menjadikan tajen sebagai sarana hiburan khususnya bagi kalangan yang berduit karena mereka ke tajen hanya untuk mencari kesenangan saja dan sama sekali bukan untuk mencari kemenangan dalam bentuk uang. Jika dilihat saat ini tajen tidak lagi sesuai dengan realitas jaman dulu yang menganggap tajen sebagai sebuah ritual dalam upacara agama yang disebut dengan tabuh rah. Namun sekarang tajen lebih identik dengan judi yang menyebabkan berbagai pergeseran moral dalam masyarakat. Pergeseran moral yang dimaksud dalam masyarakat ini seperti, banyak masyarakat yang jatuh miskin sampai-sampai ada yang menjual tanahnya untuk bias bermain tajen. Kejahatan seperti perkelahian, kerusuhan, KDRT pun sering terjadi akibat adanya tajen. Seperti, yang terjadi di masyarakat Bali saat ini, banyak para ibu rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh sang suami. Ini disebabkan karena sang suami yang sering ke tajen mengalami kekalahan dan akhirnya dilampiaskan di rumah terutama kepada sang istri. Pelampiasan ini dapat berupa tekana psikologis, pemukulan dan sebagainya. Bahkan kekerasan dalam rumah tangga ini sampai merembet ke keluarga sang istri yang tidak terima oleh perlakuan sang suami. Akhirnya pertengkaran antar dua pihak keluarga pun bias terjadi. Fakta lainnya, tajen menyebabkan beberapa anggota masyarakat menjual tanahnya. Namun apa daya, uang hasil penjulan yang seharusnya dapat lebih bermanfaatmalah dihabiskan di arena tajen. Akhirnya uang yang diharapkan bisa membuat si bebotoh 9orng yang bermain tajen) menjadi kaya tersebut malah sebaliknya, membuat ia mengalami kemiskinan. Masalah seperti ini, mungkin terjadi karena hobi seseorang terhadap bermain tajen yang terlalu berlebihan atau keren aberhutang yang cukup besar kepada salah satu temannya saat bermain tajen. Tajen juga menyebakan perkelahian atau kerusuhan antar dua kelompok banjar bahkan desa. Ini bisa terjadi, karena masyarakat yang bermain tajen dalam satu arena tersebut bukan cuma dri satu banjar atau desa saja bahkan dari lain banjar atau desa. Hal-hal seperti ini harus segera disadari oleh masyarakat maupun pemerintah. Masyarakat perlu mengingat kembali bahwa sebenarnya tajen/judi itu tidak baik bagi siapapun yang melakukannya. Karena agama manapun tidak ada yang mengajari judi tersebut. Pemerintah pun harus segera mengantisipasi atau membuat peraturan untuk melarang adanya tajen yang sudah kelewatan batas ini. Dengan begitu, pergeseran moral masyarakat yang disebabkan oleh adanya tajen tersebut bisa diminimalisir dan tidak akan ada lagi.

13 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN: Berdasarkan uraian itu dapat kami simpulan, bahwa tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah. Sebagai suatu game yang mengandung spikulasi dan harapan untung rugi, tajen hendaknya dikembalikan kepada konsepsi dasar, yaitu tabuh rah sebuah sarana persembahan kepada Tuhan dalam rangka memelihara hubungan harmonis dengan tuhan, alam, dan manusia. Artinya, saat ini telah terjadi pergeseran makna sabungan ayam pada masyarakat Bali, dari memenuhi fungsi ritual, sosial, emosional ke arah fungsi spekualisi dan judi. SARAN : Setelah membuat makalah ini diharapkan masyarakat Hindu di Bali agar memahami peran tajen sebagai rangkaian upacara yadnya dan tidak di salah gunakan ke arah yang berbau perjudian. DAFTAR PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan dan kebiasaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas atau jatidiri mereka. Kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Bali merupakan salah satu pulau yang dikenal dengan beragam tradisi yang dimilikinya. Hal tersebut menjadikan Bali memiliki daya tarik tersendiri di mata pariwisata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi yang cukup terkenal di Indonesia karena merupakan salah satu asset devisa Negara Indonesia yang cukup tinggi di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Penelitian Sabung ayam merupakan tradisi pertarungan antara dua ayam jantan pada suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat dipisahkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH 2.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Tabuh Rah dan Sabungan Ayam (Tajen) Hubungan tabuh rah dengan sabungan ayam terdapat pandangan semu dari sebagian masyarakat awam,

Lebih terperinci

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 2018 Visi Terwujudnya Kudus Yang Semakin Sejahtera Visi tersebut mengandung kata kunci yang dapat diuraikan sebagai berikut: Semakin sejahtera mengandung makna lebih

Lebih terperinci

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar KAJIAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM TRADISI NGAYAH DI TENGAH AKSI DAN INTERAKSI UMAT HINDU DI DESA ADAT ANGGUNGAN KELURAHAN LUKLUK KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni :

BAB III PENUTUP. dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni : BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dalam penjelasan yang tertuang dalam bab-bab terdahulu permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni : Berdasarkan uraian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. multikultural yang tidak akan sama dengan kelompok sosial lainnya yang dimana Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. multikultural yang tidak akan sama dengan kelompok sosial lainnya yang dimana Kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakikatnya kelompok sosial itu ada karena ingin mempertahankan hidup mereka. Kelompok sosial selalu mengalami perubahan dan perkembangan dalam masyarakat multikultural

Lebih terperinci

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masyarakat Sunda Ciamis mempunyai kesenian yang khas dalam segi tarian yaitu tarian Ronggeng Gunung. Ronggeng Gunung merupakan sebuah bentuk kesenian tradisional

Lebih terperinci

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis.

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN TAJEN: JUDI VERSUS SARANA PEMASUKAN BAGI DESA ADAT DAN MASYARAKAT

PENYELENGGARAAN TAJEN: JUDI VERSUS SARANA PEMASUKAN BAGI DESA ADAT DAN MASYARAKAT PENYELENGGARAAN TAJEN: JUDI VERSUS SARANA PEMASUKAN BAGI DESA ADAT DAN MASYARAKAT K.Vimala Kairavani 1021005004 Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Email: vimalakairavani@ymail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa di dunia yang mendiami suatu daerah tertentu memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, setiap bangsa memiliki

Lebih terperinci

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan)

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan) Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar Kelas 1 Kompetensi Inti KD Lama KD Baru 1. Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya Menunjukkan contoh-contoh ciptaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekitarnya karena sejak lahir lingkungan akan membentuk kepribadian individu dan

BAB I PENDAHULUAN. sekitarnya karena sejak lahir lingkungan akan membentuk kepribadian individu dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk hidup selalu berkeinginan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Eksistensinya sangat bergantung pada lingkungan di sekitarnya

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA : Balinese Lamak PENCIPTA : Ni Luh Desi In Diana Sari, S.Sn.,M.Sn PAMERAN The Aesthetic Of Prasi 23 rd September 5 th October 2013 Cullity Gallery ALVA

Lebih terperinci

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA TUGAS AGAMA DEWA YADNYA NAMA ANGGOTA KELOMPOK 7 KETUT ALIT WIRA ADI KUSUMA (05) ( KETUA ) NI LUH LINA ANGGRENI (27) ( SEKETARIS ) NI LUH DIAH CITRA URMILA DEWI (14) I PUTU PARWATA (33) SMP N 2 RENDANG

Lebih terperinci

PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN TERKAIT SABUNG AYAM DI PROVINSI BALI

PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN TERKAIT SABUNG AYAM DI PROVINSI BALI PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN TERKAIT SABUNG AYAM DI PROVINSI BALI Oleh : I Ketut Adhi Erawan I Wayan Parsa Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai

I. PENDAHULUAN. suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakatmasyarakat suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa atau nasion (nation),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang ada di Indonesia dan masih terjaga kelestariannya. Kampung ini merupakan kampung adat yang secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya ini pemerintah berupaya mencerdaskan anak bangsa melalui proses pendidikan di jalur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, kebudayaan ini tersebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra tradisional yang tersimpan dalam naskah lontar banyak dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan yang berhubungan

Lebih terperinci

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD 27. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD KELAS: I Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan

Lebih terperinci

Moral Akhir Hidup Manusia

Moral Akhir Hidup Manusia Modul ke: 07Fakultas Psikologi Pendidikan Agama Katolik Moral Akhir Hidup Manusia Oleh : Drs. Sugeng Baskoro, M.M Program Studi Psikologi Bagian Isi TINJAUAN MORAL KRISTIANI AKHIR HIDUP MANUSIA (HUKUMAN

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Musik dipergunakan untuk memuja dewa-dewi yang mereka percaya sebagai. acara-acara besar dan hiburan untuk kerajaan.

BAB I PENDAHULUAN. Musik dipergunakan untuk memuja dewa-dewi yang mereka percaya sebagai. acara-acara besar dan hiburan untuk kerajaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara tentang musik tidak akan pernah ada habisnya, karena musik begitu melekat, begitu dekat dengan kehidupan manusia. Musik telah ada sejak sebelum Masehi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

BAB I PENDAHULUAN. [Type text] BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tari adalah suatu pertunjukan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat pendukungnya. Tari merupakan warisan budaya leluhur dari beberapa abad yang lampau. Tari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan,

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008 DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008 Oleh: I Gede Oka Surya Negara, SST.,MSn JURUSAN SENI TARI

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS Salah satu adat perkawinan di Paperu adalah adat meja gandong. Gandong menjadi penekanan utama. Artinya bahwa nilai kebersamaan atau persekutuan atau persaudaraan antar keluarga/gandong

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi Bersyukur kepada sang pencipta tentang apa yang telah di anugerahkan kepada seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, manusia mempunyai banyak kelebihan. Inilah yang disebut potensi positif, yakni suatu potensi yang menentukan eksistensinya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia hidup juga berbeda. Kemajemukan suku bangsa yang berjumlah. 300 suku hidup di wilayah Indonesia membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia hidup juga berbeda. Kemajemukan suku bangsa yang berjumlah. 300 suku hidup di wilayah Indonesia membawa konsekuensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berbhineka, baik suku bangsa, ras, agama, dan budaya. Selain itu, kondisi geografis dimana bangsa Indonesia hidup juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP Kesimpulan

BAB VIII PENUTUP Kesimpulan BAB VIII PENUTUP Bab VIII memaparkan pembahasan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian, serta implikasi dan saran dalam ranah akademik dan praktis sesuai dengan kesimpulan hasil penelitian. Pada bagian

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data. 219 BAB VI PENUTUP Dari hasil analisa terhadap ulos dalam konsep nilai inti berdasarkan konteks sosio-historis dan perkawinan adat Batak bagi orang Batak Toba di Jakarta. Juga analisa terhadap ulos dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan norma hukum. Salah satu dari pelanggaran hukum yang terjadi di masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Bali selama ini dikenal dengan kebudayaannya yang khas. Beragam tradisi yang mencerminkan adat Bali menarik banyak orang luar untuk melihat lebih dekat keunikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan baik secara jasmani maupun rohani dimana kita lahir secara turun-temurun, membawa

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan 533 BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan sebagai landasan relasi manusia-tuhan-alam semesta.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ritual merupakan suatu proses pelaksanaan tradisi. Meskipun sudah ada ritual tanpa mitos-mitos dalam beberapa periode jaman kuno. Dalam tingkah laku manusia,

Lebih terperinci

Munculnya Sebuah Keluarga

Munculnya Sebuah Keluarga Munculnya Sebuah Keluarga Berbicara tentang cinta tidak pernah akan habis. Hal ini merupakan itrah manusia, tinggal kadarnya saja perlu kita ketahui lebih mendalam. Maka untuk itu marilah kita bersama-sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu budaya penting bagi masyarakat Islam Jawa, baik yang masih berdomisili di

BAB I PENDAHULUAN. satu budaya penting bagi masyarakat Islam Jawa, baik yang masih berdomisili di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi menyambut bulan Suro merupakan hal yang sudah menjadi salah satu budaya penting bagi masyarakat Islam Jawa, baik yang masih berdomisili di Jawa maupun yang

Lebih terperinci

2. Macam-Macam Norma. a. Norma Kesusilaan

2. Macam-Macam Norma. a. Norma Kesusilaan Sumber: ibnulkhattab.blogspot.com Gambar 4.3 Masyarakat yang sedang Melakukan Kegiatan Musyawarah untuk Menentukan Suatu Peraturan. 2. Macam-Macam Norma a. Norma Kesusilaan Ketika seseorang akan berbohong,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia juga memiliki keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa dan sub-suku

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Restu Rahayu Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan Raman Utara, Kabupaten Lampung Timur. Wilayah Kecamatan Raman Utara memiliki

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam perkawinan yang memiliki makna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam perkawinan yang memiliki makna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah kepuasan perkawinan, ialah sesuatu yang merujuk pada sebuah perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam perkawinan yang memiliki makna lebih luas daripada

Lebih terperinci

KELUARGA ADALAH MINIATUR PERILAKU BUDAYA. Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar Dosen : Muhammad Burhan Amin

KELUARGA ADALAH MINIATUR PERILAKU BUDAYA. Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar Dosen : Muhammad Burhan Amin KELUARGA ADALAH MINIATUR PERILAKU BUDAYA Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar Dosen : Muhammad Burhan Amin i Topik Makalah Keluarga Adalah Miniatur Perilaku Budaya Kelas : 1-ID08 Tanggal Penyerahan Makalah

Lebih terperinci

Modul 7 PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA USIA DEWASA

Modul 7 PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA USIA DEWASA Perkembangan Jiwa Agama Pada Usia Dewasa Modul 7 PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA USIA DEWASA PENDAHULUAN Psikologi Agama pada jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) disajikan untuk membantu mahasiswa memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya suatu sejarah kebudayaan yang beragam. Keberagaman yang tercipta merupakan hasil dari adanya berbagai

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1 Modul ke: 05Fakultas Gunawan EKONOMI PENDIDIKAN PANCASILA Pancasila Sebagai Ideologi Negara Wibisono SH MSi Program Studi Manajemen S1 Tujuan Perkuliahan Menjelaskan: Pengertian Ideologi Pancasila dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gawok. Pasar yang menjual beraneka macam hewan, tumbuhan, perkakas dapur, pakaian, hingga

BAB 1 PENDAHULUAN. Gawok. Pasar yang menjual beraneka macam hewan, tumbuhan, perkakas dapur, pakaian, hingga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hari minggu pon, dimana beberapa lelaki desa Sangkal sudah siap dengan sepeda motornya saat jam masih menunjukkan pukul 8 pagi. Seperti biasa, mereka berangkat ke pasar

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian mengenai Tinjauan Filsafat Nilai Max Scheler terhadap Tarian

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian mengenai Tinjauan Filsafat Nilai Max Scheler terhadap Tarian BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian mengenai Tinjauan Filsafat Nilai Max Scheler terhadap Tarian Rakyat Ebleg Kebumen, dapat diambil kesimpulan berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hari suci tersebut seperti yang dikemukakan Oka (2009:171), yaitu. Hal ini didukung oleh penjelasan Ghazali (2011:63) bahwa dalam

BAB I PENDAHULUAN. hari suci tersebut seperti yang dikemukakan Oka (2009:171), yaitu. Hal ini didukung oleh penjelasan Ghazali (2011:63) bahwa dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya, seluruh umat beragama memiliki hari suci. Makna hari suci tersebut seperti yang dikemukakan Oka (2009:171), yaitu memperingati suatu kejadian yang sangat

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA I GUSTI NGURAH WIRAWAN, S.Sn., M.Sn NIP : 198204012014041001 INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2016 ABSTRAK Saradpulagembal, seperti halnya sesajen

Lebih terperinci

PENGERTIAN ETIKA ETIKA,

PENGERTIAN ETIKA ETIKA, PENGERTIAN ETIKA ETIKA, berasal dari kata ethos, salahsatu cabang ilmu filsafat oksiologi yang membahas tentang: 1. nilai keutamaan dan bidang estetika 2. nilai-nilai keindahan, 3. pemilihan nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali telah terkenal dengan kebudayaannya yang unik, khas, dan tumbuh dari jiwa Agama Hindu, yang tidak dapat dipisahkan dari keseniannya dalam masyarakat yang berciri

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN YUSUF QARDAWI DAN MASDAR FARID MAS UDI MENGENAI PENYATUAN ZAKAT DAN PAJAK SEBAGAI INSTRUMEN UNTUK KEMASLAHATAN UMAT

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN YUSUF QARDAWI DAN MASDAR FARID MAS UDI MENGENAI PENYATUAN ZAKAT DAN PAJAK SEBAGAI INSTRUMEN UNTUK KEMASLAHATAN UMAT BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN YUSUF QARDAWI DAN MASDAR FARID MAS UDI MENGENAI PENYATUAN ZAKAT DAN PAJAK SEBAGAI INSTRUMEN UNTUK KEMASLAHATAN UMAT Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, kebudayaan pada umumnya tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, kebudayaan pada umumnya tumbuh dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kehidupan bermasyarakat, kebudayaan pada umumnya tumbuh dan berkembang sebagai suatu hal yang diterima oleh setiap anggota masyarakat bersangkutan, yang dipegang

Lebih terperinci

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi:

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi: Saat ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah meluas dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sebagian masyarakat memandang bahwa perjudian sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Selain merubah status seseorang dalam masyarakat, pernikahan juga merupakan hal yang

Lebih terperinci

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada KESIMPULAN UMUM 303 Setelah pembahasan dengan menggunakan metode tiga telaah, deskriptif-konseptual-normatif, pada bagian akhir ini, akan disampaikan kesimpulan akhir. Tujuannya adalah untuk menyajikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, tarian dan adat istiadat yang dimiliki oleh setiap suku bangsa juga sangat beragam. Keanekaragaman

Lebih terperinci

sebagai penjembatan dalam berinteraksi dan berfungsi untuk

sebagai penjembatan dalam berinteraksi dan berfungsi untuk BAB IV ANALISIS DATA A. Temuan Penelitian Dalam penelitian kualitatif teknik analisis dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data yang di peroleh dari berbagai macam sumber, baik itu pengamatan, wawancara,

Lebih terperinci

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh: Chandra Dewi Puspitasari Pendahuluan Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang menggambarkan ciri khas daerah tersebut. Seperti halnya Indonesia yang banyak memiliki pulau,

Lebih terperinci

Telaah Budi Pekerti dalam Pembelajaran di Sekolah (Implementasi Konsep dan Prinsip Tatakrama dalam Kehidupan Berbasis Akademis) Oleh: Yaya S.

Telaah Budi Pekerti dalam Pembelajaran di Sekolah (Implementasi Konsep dan Prinsip Tatakrama dalam Kehidupan Berbasis Akademis) Oleh: Yaya S. Telaah Budi Pekerti dalam Pembelajaran di Sekolah (Implementasi Konsep dan Prinsip Tatakrama dalam Kehidupan Berbasis Akademis) Oleh: Yaya S. Kusumah Pendahuluan Pergeseran tata nilai dalam kehidupan sehari-hari

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. revolusi 1952 dalam novel al-lish-shu wal-kila b karya Najib Machfuzh, maka

BAB V PENUTUP. revolusi 1952 dalam novel al-lish-shu wal-kila b karya Najib Machfuzh, maka 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP Berdasarkan analisis data yang telah diuraikan dan dijabarkan, dalam kaitannya dengan kemiskinan dan pertentangan kelas masayarakat Mesir pasca revolusi 1952 dalam novel al-lish-shu

Lebih terperinci

IPTEK DAN SENI DALAM ISLAM

IPTEK DAN SENI DALAM ISLAM IPTEK DAN SENI DALAM ISLAM KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, berkah, dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul IPTEK

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I hingga V penulis menyimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, bahwa tidur tanpa kasur di dusun Kasuran

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah BAB V KESIMPULAN 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual Kuningan Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah merupakan seni pertunjukan yang biasa tetapi merupakan pertunjukan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang

1. PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamnnya serta menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menanamkan nilai-nilai karakter dalam kehidupan. Dasar dari pengembangan pendidikan karakter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Oleh: Dyah Kustiyanti Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan pemikiran, pandangan hidup, kebiasaan,

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN V.1. Visi Menuju Surabaya Lebih Baik merupakan kata yang memiliki makna strategis dan cerminan aspirasi masyarakat yang ingin perubahan sesuai dengan kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yang isinya disebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yang isinya disebutkan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara kita (Indonesia) tentang pendidikan juga diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yang isinya disebutkan bahwa Pendidikan

Lebih terperinci

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo)

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo) JURNAL SKRIPSI MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo) SKRIPSI Oleh: DESI WIDYASTUTI K8409015 FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. 1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. Dorongan beragama merupakan dorongan psikis yang merupakan landasan ilmiah dalam

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian yang mengkaji atau menganalisis fenomena di masyarakat mengenai

METODE PENELITIAN. Penelitian yang mengkaji atau menganalisis fenomena di masyarakat mengenai III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian yang mengkaji atau menganalisis fenomena di masyarakat mengenai ritual keagamaan dan perjudian yang dilakukan oleh masyarakat etnis Bali ini menggunakan

Lebih terperinci

Menurut kamus bahasa Indonesia, Karakter memiliki arti sifat-sifat. Negara dan bangsa akan maju jika ada prinsip kejujuran. Salah satu bangsa yang

Menurut kamus bahasa Indonesia, Karakter memiliki arti sifat-sifat. Negara dan bangsa akan maju jika ada prinsip kejujuran. Salah satu bangsa yang BAB II GAMBARAN UMUM PRODUKTIFITAS ORANG JEPANG 2.1 Pengertian Karakter Menurut kamus bahasa Indonesia, Karakter memiliki arti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari

Lebih terperinci

BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN. Om Swastyastu, Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah, (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru)

BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN. Om Swastyastu, Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah, (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru) BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN Om Swastyastu, Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah, (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru) Puja dan puji syukur saya panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang

Lebih terperinci

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNANETRA

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNANETRA - 446 - E. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNANETRA KELAS : I Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI SITEM ETIKA (LANJUTAN)

PANCASILA SEBAGAI SITEM ETIKA (LANJUTAN) PANCASILA SEBAGAI SITEM ETIKA (LANJUTAN) Modul ke: 9 Udjiani Fakultas Ekonomi dan Bisnis C. Pancasila Sebagai Solusi Problem Bangsa seperti Korupsi, Kerusakan Lingkungan, Dekadensi Moral, dan lain-lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu)

UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu) UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu) Oleh Ni Luh Setiani Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar niluhsetiani833@gmail.com

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang

BAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang 220 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa krisis spiritual manusia modern dalam perspektif filsafat Perennial Huston Smith dapat dilihat dalam tiga

Lebih terperinci

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat budaya. Setiap suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. 1 Dalam kaitannya

BAB I PENDAHULUAN. sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. 1 Dalam kaitannya BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. 1 Dalam kaitannya dengan

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI DISUSUN OLEH: GUSPI AKHBAR PUTRA RIZKI SAHPUTRA M. FAJAR MAULANA RYAN ANDRYAN PUTRA RANGGA FERNANDO

PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI DISUSUN OLEH: GUSPI AKHBAR PUTRA RIZKI SAHPUTRA M. FAJAR MAULANA RYAN ANDRYAN PUTRA RANGGA FERNANDO PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI DISUSUN OLEH: GUSPI AKHBAR PUTRA RIZKI SAHPUTRA M. FAJAR MAULANA RYAN ANDRYAN PUTRA RANGGA FERNANDO PENGERTIAN NILAI Nilai pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang

Lebih terperinci

1) Nilai Religius. Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan. Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan

1) Nilai Religius. Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan. Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan Realisasi pelestarian nilai-nilai tradisi dalam berkesenian, bersinergi dengan

Lebih terperinci

ETIKA BISNIS FAKULTAS HUKUM UPN JATIM. 10 Maret 2011 By. Fauzul

ETIKA BISNIS FAKULTAS HUKUM UPN JATIM. 10 Maret 2011 By. Fauzul ETIKA BISNIS FAKULTAS HUKUM UPN JATIM 10 Maret 2011 By. Fauzul PEMBAHASAN PENGERTIAN ETIKA 1. ETIKA, berasal dari kata ethos, salah satu cabang ilmu filsafat oksiologi membahas bidang etika yaitu, tentang:

Lebih terperinci

2. Fungsi tari. a. Fungsi tari primitif

2. Fungsi tari. a. Fungsi tari primitif 2. Fungsi tari Tumbuh dan berkembangnya berbagai jenis tari dalam kategori tari tradisional dan tari non trasional disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor ekternal. Faktor internal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tahap Pengembangan Masyarakat Masyarakat senantiasa akan mengalami perubahan dikarenakan masyarakat adalah mahluk yang tidak statis melainkan selalu berubah secara dinamis.

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya BAB V ANALISA DATA A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya Upacara kematian ini bersifat wajib bagi keluarga yang telah ditinggal mati. Dalam proses upacara kematian, ada yang

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku masyarakat. Perilaku ini tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Indonesia

Lebih terperinci