LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2011

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2011"

Transkripsi

1 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2011

2 Daftar Isi i Kata Pengantar ii Ringkasan Eksekutif iv Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah 2011 v BAB I Pendahuluan 1 A. Latar Belakang 2 B. Tugas, Fungsi, dan Struktur Organisasi 3 C. Mandat dan Peran Strategis Kementerian Keuangan 5 D. Sistematika Laporan 6 BAB II Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian kinerja 9 A. Rencana Strategis 10 B. Road Map Kementerian Keuangan C. Penetapan/Perjanjian Kinerja 17 D. Pengukuran Kinerja 20 BAB III Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan 23 A. Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU) 24 B. Evaluasi dan Analisis Kinerja 25 1 Sasaran Strategis 1: pendapatan negara yang optimal (KK-1) Sasaran Strategis 2: pelaksanaan belanja negara yang optimal (KK-2) Sasaran Strategis 3: Pembiayaan dalam jumlah yang cukup efisien dan aman bagi kesinambungan fiskal 40 (KK-3). 4 Sasaran Strategis 4: Utilisasi Kekayaan Negara yang optimal (KK-4) Sasaran Strategis 5: Hubungan keuangan pusat - daerah yang optimal (KK-5) Sasaran Strategis 6: Pengelolaan keuangan negara yang akuntabel (KK-6) Sasaran Strategis 7: Industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil, tahan uji dan likuid 71 8 Sasaran Strategis 8 adalah Tingkat Kepuasan pengguna layanan yang tinggi (KK-8) Sasaran Strategis 9: Kajian dan rumusan kebijakan yang berkualitas (KK-9) Sasaran Strategis 10: Pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang efektif dan efisien (KK-10) Sasaran Strategis 12: Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif (KK-12) Sasaran Strategis 13: Pembentukan SDM yang berkompetensi tinggi (KK-13) Sasaran Strategis 14: Penataan organisasi yang andal (KK-14) Sasaran Strategis 15: Perwujudan TIK yang terintegrasi (KK-15) Sasaran Strategis 16: Pengelolaan anggaran yang optimal (KK-16). 121 C. Kinerja Lainnya 123 D. Akuntabilitas Keuangan. 138 BAB IV Penutup 141

3 NILAI- NILAI KEMENTERIAN KEUANGAN integritas Berpikir, berkata, berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral. profesionalisme Bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi. sinergi Membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan, untuk menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas. pelayanan Memberikan layanan yang memenuhi kepuasan pemangku kepentingan yang dilakukan dengan sepenuh hati, transparan, cepat, akurat dan aman. kesempurnaan Senantiasa melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk menjadi dan memberikan yang terbaik. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2011 i

4 Kata Pengantar Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kementerian Keuangan ini merupakan perwujudan pertanggungjawaban atas kinerja pencapaian visi dan misi Kementerian Keuangan pada Tahun Anggaran LAKIP Kementerian Keuangan Tahun 2011 merupakan LAKIP tahun kedua pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun Penyusunan LAKIP Kementerian Keuangan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, dan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, serta Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.01/2010. LAKIP mempunyai beberapa fungsi, antara lain merupakan alat penilai kinerja secara kuantitatif, sebagai wujud akuntabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan menuju terwujudnya good governance, dan sebagai wujud transparansi serta pertanggungjawaban kepada masyarakat di satu sisi, dan di sisi lain, LAKIP merupakan alat kendali dan alat pemacu peningkatan kinerja setiap unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan. Selanjutnya sejalan dengan pelaksanaan reformasi birokrasi, Kementerian Keuangan telah menerapkan metode Balanced Scorecard (BSC) sebagai alat manajemen kinerja. Performance Kementerian Keuangan diukur atas dasar penilaian indikator kinerja utama (IKU) yang merupakan indikator keberhasilan pencapaian sasaran-sasaran strategis (SS) sebagaimana telah ditetapkan pada Peta Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2011 sebagai kontrak kinerja Kementerian Keuangan Tahun Kementerian Keuangan sebagai unsur pelaksana pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2010, mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kementerian Keuangan menetapkan visi: Menjadi Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara yang Dipercaya dan Akuntabel untuk Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan. Selanjutnya dalam rangka mencapai visi di atas, Kementerian Keuangan menetapkan 4 (empat) misi, yaitu (1) misi fiskal, (2) misi kekayaan negara, (3) misi pasar modal dan lembaga keuangan, dan (4) misi penguatan kelembagaan. Pelaksanaan dari keempat misi tersebut berpedoman pada RPJMN Tahun , Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2011 yang didalamnya memuat Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun ii KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

5 MENTERI KEUANGAN AGUS D.W. MARTOWARDOJO Misi tersebut selanjutnya dirinci dalam Rencana Strategi (Renstra) Kementerian Keuangan Tahun yang digunakan sebagai landasan penyusunan Rencana Kinerja Tahunan (RKT). RKT berfungsi sebagai rencana kerja operasional secara kuantitatif, yang pada intinya merupakan implementasi pelaksanaan tugas yang sangat strategis dalam bidang pengelolaan keuangan dan kekayaan negara, mulai dari penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), melaksanakan APBN dengan menghimpun penerimaan dan menyalurkan dana APBN, dan akhirnya mempertanggungjawabkan melalui Perhitungan Anggaran Negara (PAN). Dalam situasi dan kondisi perekonomian yang sangat fluktuatif, serta tuntutan masyarakat yang sangat dinamis, tugas pengelolaan keuangan dan kekayaan negara dirasakan semakin berat dan penuh tantangan. Walaupun demikian, dengan dimotivasi oleh visi dan misi yang telah ditetapkan, secara umum aparatur Kementerian Keuangan telah berhasil mengatasinya, sehingga tugas yang diemban dapat diselesaikan sesuai dengan harapan. Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang masih harus ditingkatkan yang dalam LAKIP Tahun 2011 ini kami nyatakan sebagai tidak tercapainya target-target tertentu yang dapat dikatakan sebagai masih dalam batas kewajaran. Penyusunan LAKIP Tahun 2011 ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang jelas dan transparan serta sekaligus sebagai pertanggungjawaban atas pencapaian visi dan misi yang diamanatkan kepada Kementerian Keuangan. MENTERI KEUANGAN AGUS D.W. MARTOWARDOJO LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2011 iii

6 Ringkasan Eksekutif Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kementerian Keuangan Tahun 2011, merupakan wujud dari pertanggungjawaban atas kinerja yang dilaksanakan, juga sebagai alat kendali dan alat penilai kinerja secara kuantitatif dan perwujudan akuntabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian menuju terwujudnya good governance yang didasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku, kebijakan yang transparan dan dapat dipertanggung jawabkan. LAKIP juga merupakan alat untuk memacu peningkatan kinerja dan pelayanan kepada stakeholders pada setiap unit di lingkungan Kementerian Keuangan. LAKIP Kementerian Keuangan merupakan wujud dari pertanggungjawaban atas kinerja pencapaian visi dan misi yang dijabarkan dalam tujuan/sasaran strategis. Tujuan/sasaran strategis dalam LAKIP tersebut mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Visi Kementerian Keuangan adalah Menjadi Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara yang Dipercaya dan Akuntabel untuk Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan. Dalam mencapai visi tersebut Kementerian Keuangan sebagai lembaga/institusi yang mempunyai tugas menghimpun dan mengalokasikan keuangan negara serta mengelola kekayaan negara dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, yang berlandaskan asas profesionalitas, proporsionalitas, dan keterbukaan. Untuk mewujudkan visi tersebut, Kementerian Keuangan mempunyai empat misi yaitu (1) Misi Fiskal yaitu mengembangkan kebijakan fiskal yang sehat, berkelanjutan, hati-hati dan bertanggungjawab (2) Misi Keka yaan Negara yaitu mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal sesuai dengan asas fungsional, kepastian hukum, transparan, efisien, dan bertanggung jawab; (3) Misi Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yaitu mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai penggerak dan penguat perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global; dan (4) Misi Penguatan Kelembagaan yang meliputi (i) membangun dan mengembangkan organisasi berlandaskan administrasi publik sesuai dengan tuntutan masyarakat; (ii) membangun dan mengembangkan SDM yang amanah, profesional, berintegritas tinggi dan bertanggung jawab; (iii) membangun dan mengembangkan teknologi informasi keuangan yang modern dan terintegrasi serta sarana dan prasarana strategis lainnya. Dalam mencapai misi dan visi, Kementerian Keuangan menetapkan 6 tujuan strategis yang akan dicapai dalam Tahun yaitu: (i) meningkatkan dan mengamankan pendapatan negara dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan keadilan masyarakat; (ii) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan belanja negara untuk mendukung penyelenggaraan tugas K/L dan pelaksanaan desentralisasi fiskal; (iii) mewujudkan kapasitas pembiayaan yang mampu memberikan daya dukung bagi kesinambungan fiskal; (iv) pengelolaan perbendaharaan negara yang profesional dan akuntabel serta mengedepankan kepuasan stakeholders iv KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

7 KEMENTERIAN KEUANGAN LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2011 Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah 2011 atas kinerja perbendaharaan negara; (v) mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal serta menjadikan nilai kekayaan negara sebagai acuan dalam berbagai keperluan; dan (vi) membangun otoritas pasar modal dan lembaga keuangan yang amanah dan profesional, yang mampu mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai penggerak perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global. Untuk menunjang pencapaian tujuan strategis tersebut disusunlah sasaran strategis Kementerian Keuangan yang pada hakekatnya merupakan pilar-pilar reformasi birokrasi Kementerian Keuangan yang menyangkut penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, peningkatan disiplin dan manajemen SDM. Sasaran strategis tersebut diemplementasikan dalam enam belas sasaran strategis, 7 sasaran diantaranya merupakan bagian dari stakeholder perspective, yaitu 1) Pendapatan negara yang optimal; (2) Pelaksanaan belanja negara yang optimal; (3) Pembiayaan dalam jumlah yang cukup efisien dan aman bagi kesinambungan fiskal; (4) Utilisasi kekayaan negara yang optimal; (5) Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang optimal; (6) Pengelolaan keuangan negara yang akuntabel; (7) Industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil, tahan uji, dan likuid. Penilaian terhadap keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan pencapaian sasaran yang ditetapkan, diukur dengan Indikator Kinerja Utama (IKU). Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, bangsa Indonesia telah melakukan perubahan mendasar pada tata kelola pemerintahan. Reformasi birokrasi yang dilandasi oleh prinsip-prinsip good and clean governance untuk melahirkan aparatur pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel, terus bergulir reformasi gelombang pertama, utamanya dalam lima tahun terakhir telah memajukan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Indonesia pada ranah ekonomi telah tampil sebagai salah satu kekuatan ekonomi, bahkan ikut serta memberikan alternatif solusi bagi berbagai krisis dunia. Di tengah-tengah situasi dan kondisi ekonomi global yang mulai membaik sejalan dengan proses pemulihan ekonomi yang semakin menguat, masih terdapat kekhawatiran akan terjadinya krisis keuangan di Eropa. Semua negara masih mencemaskan krisis utang dan keuangan di Yunani. Sejalan dengan perkembangan positif ekonomi global. Kinerja perekonomian domestik juga menunjukkan perbaikan yang signifikan, perekonomian nasional mampu tumbuh 6,5%, nilai tukar rata-rata sebesar Rp8.988/ US$ dan IHSG mencapai 3.752,24. Dengan kondisi tersebut, nilai capaian sasaran strategis utama Kementerian Keuangan sudah sesuai dengan yang direncanakan. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2011 v

8 Pencapaian ketujuh sasaran strategis dalam stakeholder perspective adalah sebagai berikut: (1) Pendapatan negara yang optimal nilai capaiannya sebesar Rp ,08 Miliar atau sebesar 102,55% lebih tinggi dari target yang ditetapkan, (2) Pelaksanaan belanja negara yang optimal nilai capaiannya sebesar 108,76%, (3) Pembiayaan dalam jumlah yang cukup efisien dan aman bagi kesinambungan fiskal nilai capaiannya sebesar 116,35%, (4) Utilisasi Kekayaan Negara yang optimal nilai capaiannya sebesar Rp102,45 Triliun atau sebesar 100,06% dari target yang ditetapkan, (5) Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang optimal nilai capaiannya sebesar 111,41%, (6) Pengelolaan keuangan negara yang akuntabel nilai capaiannya sebesar 99,62%, (7) Industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank yang stabil, tahan uji dan likuid nilai capaiannya sebesar 106,71%. Sedangkan untuk customer perspective, sasaran strategis tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi memiliki nilai capaian sebesar 98,72%. Di samping sasaran strategis tersebut di atas, terdapat sasaran strategis lainnya yang merupakan bagian dari internal process perspective dan learning and growth perspective. Untuk sasaran strategis dalam internal process perspective terdiri atas (1) Kajian dan rumusan kebijakan yang berkualitas, (2) Pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang efektif dan efisien, (3) Peningkatan edukasi masyarakat dan pelaku ekonomi, dan (4) Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif. Sedangkan untuk learning and growth perspective terdapat sasaran strategis sebagai berikut: (1) Pembentukan SDM yang berkompetensi tinggi, (2) Penataan organisasi yang handal, dan (3) Perwujudan Teknologi Informasi Keuangan (TIK) yang terintegrasi, dan (4) Pengelolaan anggaran yang optimal. Nilai capaian sasaran strategis Pendapatan negara yang optimal sebesar 102,55% bersumber dari Penerimaan Pajak sebesar 97,25%, Penerimaan Bea dan Cukai sebesar 113,99%, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 112,09%. Tingginya nilai capaian penerimaan Bea dan Cukai didukung oleh menguatnya nilai tukar Rupiah sehingga mendorong kegiatan ekonomi dalam negeri, kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau, dan meningkatnya harga Crude Premium Oil (CPO) di pasar global. Di sisi lain, belum tercapainya nilai sasaran optimalisasi penerimaan perpajakan antara lain dipengaruhi oleh belum optimalnya capaian PPN dan PPNBM dimana masih terdapat WP sektor retail yang belum memenuhi kewajiban penyetoran PPN. Namun demikian, dari sisi pertumbuhan, kinerja PPN dan PPNBM mengalami pertumbuhan sebesar 20,45% dan relatif cukup baik. - Sasaran Strategis Pelaksanaan belanja negara yang optimal dengan nilai capaian sebesar 108,76% diidentifikasikan pada IKU Persentase penyerapan belanja negara dalam DIPA K/L dengan nilai capaian sebesar 97,51% dan Persentase ketepatan pola penarikan dana DIPA K/L dengan nilai capaian sebesar 120%. Untuk mengoptimalkan target penyerapan belanja negara dalam DIPA K/L dan memperbaiki pola penarikan dana DIPA K/L, Kementerian Keuangan melakukan upaya (1) optimalisasi pelayanan dalam proses penelaahan dan penyelesaian DIPA/Revisi DIPA secara tepat waktu, (2) optimalisasi sosialisasi segala ketentuan dan prosedur pelaksanaan anggaran kepada Kementerian Negara/Lembaga atau satker, (3) optimalisasi penyerapan anggaran, (4) menerbitkan ketentuan-ketentuan terkait percepatan penyerapan anggaran, (5) Melakukan penyusunan proyeksi penyerapan anggaran berdasarkan rencana pencairan dana pada Halaman III DIPA (Disbursement), (6) Pemantauan dan penyesuaian rencana pencairan dana, (7) Evaluasi pola penarikan dana DIPA K/L secara berkala (triwulanan). vi KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

9 - Sasaran strategis Pembiayaan dalam jumlah yang cukup efisien dan aman bagi kesinambungan fiskal dengan nilai capaian 116,35%, diidentifikasikan pada tiga (3) IKU yaitu (1) Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang cukup, efisien, dan aman dengan capaian sebesar 118,34%, (2) Persentase pencapaian target effective cost dengan capaian sebesar 116,5%, dan (3) Persentase pemenuhan struktur portofolio utang sesuai dengan strategi dengan capaian sebesar 113,6%. Pembiayaan defisit APBN melalui utang harus disediakan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu, dan dengan biaya yang efisien serta pengelolaan berbagai risiko, sehingga berhasil menurunkan risiko refinancing. - Sasaran Strategis Utilisasi Kekayaan Negara yang optimal, diidentifikasikan dengan IKU Nilai kekayaan negara yang diutilisasi. Nilai capaian IKU tersebut mencapai sebesar Rp102,45 Triliun atau sebesar 100,06% lebih tinggi dari target yang ditetapkan sebesar Rp102,39 Triliun. Tujuan dari pelaksanaan utilisasi kekayaan negara adalah mengoptimalkan pengelolaan kekayaan negara dalam rangka pengelolaan APBN yang efisien, efektif dan optimal melalui (1) penghematan anggaran untuk belanja modal dan anggaran untuk pemeliharaan aset melalui pemanfaatan aset, (2) peningkatan PNBP melalui optimalisasi aset negara, dan (3) peningkatan pembiayaan dalam negeri melalui instrumen Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan aset negara sebagai underlying asset. - Sasaran Strategis Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang optimal dengan nilai capaian 111,41% diidentifikasikan pada dua (2) IKU, yaitu (1) Persentase ketepatan jumlah penyaluran dana transfer ke daerah dengan nilai capaian 100,18%, dan (2) Persentase Perda PDRD yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan nilai capaian 120%. Pada tahun 2011, Perda PDRD yang sudah dievaluasi sebanyak Perda. Dari evaluasi yang dilakukan, Perda yang sesuai peraturan perundangan, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, sebanyak atau 98,04% sedangkan Perda PDRD yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebesar 1,96% atau sebanyak 30 Perda. - Sasaran Strategis pengelolaan keuangan negara yang akuntabel dengan nilai capaian 99,62% diidentifikasikan pada dua (2) IKU yaitu (1) Indeks jumlah LK K/L dan LK BUN yang andal dengan opini audit yang baik dengan persentase capaian sebesar 100,75%, dan (2) Indeks opini BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 dengan persentase capaian sebesar 98,15%. Untuk target Indeks opini BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 yang tidak tercapai disebabkan oleh opini BPK atas Laporan Keuangan Belanja Subsidi (BA ) adalah WDP, sedangkan target yang ditetapkan adalah WTP-DPP. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan pemerintah dengan persetujuan DPR dalam Undang-Undang APBN/APBN-P Tahun Anggaran 2010 berupa pengakuan belanja subsidi PPN DTP sejumlah Rp11,28 Triliun yang tidak diakui oleh BPK. Dengan demikian, tidak tercapainya indikator kinerja tersebut bukan karena kualitas Laporan Keuangan. - Sasaran Strategis Industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil, tahan uji dan likuid, diidentifikasikan pada lima (5) Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut: (1) Perusahaan efek yang memenuhi persyaratan minimum Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) dengan nilai capaian 110,88%, (2) Persentase nilai transaksi perusahaan efek yang tidak memenuhi persyaratan minimum MKBD yang berpotensi mengganggu perdagangan saham di Bursa dengan nilai capaian 120%, (3) Perusahaan asuransi dan reasuransi yang memenuhi persyaratan minimum RBC (Risk Based Capital) dengan nilai capaian 103,15%, (4) Tingkat Penetrasi Asuransi dengan nilai capaian 100% (5) Perusahaan Pembiayaan yang Memenuhi Rasio LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2011 vii

10 Permodalan dengan nilai capaian 101,6%. Sasaran strategis ini bertujuan untuk mendukung terciptanya industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang mampu menjaga kestabilan pertumbuhan industri terhadap fluktuasi perkembangan ekonomi serta mampu menghasilkan keuntungan/manfaat tertentu dengan biaya minimal. Untuk mewujudkan hal tersebut, langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: (i) meningkatkan kualitas pelaku industri, (ii) meningkatkan basis investor domestik, (iii) meningkatkan kemampuan industri dalam mengelola risiko, (iv) mendorong peningkatan kualitas tata kelola perusahaan yang baik, dan (v) meningkatkan kapasitas pengawasan terhadap pelaku industri. - Sasaran Strategis Tingkat Kepuasan pengguna layanan yang tinggi, diidentifikasikan dengan IKU Indeks Kepuasan Pengguna Layanan dengan nilai capaian 98,72%. Kepuasan stakeholders merupakan salah satu indikator dari kinerja pelayanan dan pencapaian program peningkatan kinerja Kementerian Keuangan. Secara umum, skor kepuasan stakeholders terhadap kinerja layanan pada tahun 2011 adalah sebesar 3,86, tidak jauh berbeda dengan tahun 2010 (3,87) dan sedikit lebih rendah dari sasaran yang ditetapkan yaitu 3,92. Namun demikian, capaian tersebut masih menunjukkan tingkat kepuasan stakeholders yang cukup tinggi. Adapun capaian sasaran strategis lainnya yang merupakan bagian dari internal process perspective adalah sebagai berikut: (1) Kajian dan rumusan kebijakan yang berkualitas dengan nilai capaian sebesar 117,08%, (2) Pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang efektif dan efisien dengan nilai capaian sebesar 106,50%, (3) Peningkatan edukasi masyarakat dan pelaku ekonomi dengan nilai capaian sebesar 107,84%, dan (4) Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif dengan nilai capaian sebesar 116,10%. - Sasaran Strategis Kajian dan rumusan kebijakan yang berkualitas mempunyai IKU sebagai berikut: Deviasi proyeksi indikator ekonomi makro, (2) Deviasi proyeksi APBN, (3) Tingkat akurasi exercise I-account, dan (4) Penyelesaian LKPP dan Rancangan UU PPAPBN secara tepat waktu. Nilai capaian seluruh IKU tersebut sudah sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Masing-masing indikator kinerja tersebut nilai capaiannya berturutturut sebesar 120%, sebesar 120%, sebesar 106%, dan sebesar 120%. - Sasaran Strategis Pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang efektif dan efisien, dengan nilai capaian 106,5%, diidentifikasikan pada lima (5) IKU sebagai berikut: (1) Rata-rata persentase realisasi janji layanan unggulan, (2) Persentase tingkat akurasi perencanaan kas, (3) Rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang, (4) Akurasi Penetapan yield/imbalan SBN dan biaya pinjaman terhadap benchmark, dan (5) Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri. Pada umunya nilai capaian IKU pada sasaran strategis ini sudah sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. - Sasaran Strategis Peningkatan edukasi masyarakat dan pelaku ekonomi diidentifikasikan pada IKU yaitu Tingkat efektivitas edukasi dan komunikasi, dengan nilai capaian sebesar 107,84%. IKU ini ditetapkan dalam rangka untuk mengetahui tingkat pemahaman stakeholders akan fungsi Kementerian Keuangan sebagai pengelola keuangan dan kekayaan negara. viii KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

11 - Sasaran Strategis Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif diidentifikasikan dalam beberapa IKU yaitu Rata-rata persentase kepatuhan dan penegakan hukum, dan Jumlah policy recommendation hasil pengawasan. Kedua IKU tersebut memiliki nilai capaian sesuai dengan sasaran yang ditetapkan, dengan nilai capaian masingmasing sebesar 112,80%, dan sebesar 120%. Untuk learning and growth perspective, tiga (3) sasaran strategis yang telah ditetapkan memperoleh nilai capaian sebagai berikut: (1) Pembentukan SDM yang berkompetensi tinggi, dengan nilai capaian sebesar 113,34% (2) Penataan organisasi yang andal, nilai capaiannya sebesar 109,17% (3) Perwujudan TIK yang terintegrasi, dengan nilai capaian sebesar 100% dan (4) Pengelolaan anggaran yang optimal dengan nilai capaian sebesar 98,08%. - Sasaran Strategis Pembentukan SDM yang berkompetensi tinggi diidentifikasikan pada tiga (3) Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut: (1) Persentase pejabat yang telah memenuhi standar kompetensi jabatannya, (2) Rasio jam pelatihan pegawai dibandingkan jam kerja, dan (3) Persentase diklat yang berkontribusi terhadap peningkatan kompetensi. Nilai capaian IKU masing-masing sebesar 102,08%, sebesar 120%, dan sebesar 120%. - Sasaran Strategis Penataan organisasi yang andal diidentifikasikan pada Indikator Kinerja Utama (IKU) Persentase Penyelesaian penataan/modernisasi organisasi, dan Persentase UPR yang menerapkan manajemen risiko, dengan nilai capaian IKU masing-masing sebesar 100%, dan sebesar 120%. - Sasaran Strategis Perwujudan TIK yang terintegrasi diidentifikasikan pada Indikator Kinerja Utama (IKU) yaitu Persentase integrasi TIK Kementerian Keuangan dengan nilai capaian sebesar 100%. - Sasaran Strategis Pengelolaan anggaran yang optimal diidentifikasikan pada Indikator Kinerja Utama (IKU) yaitu Persentase Penyerapan DIPA Kementerian Keuangan (non belanja pegawai). Penyerapan DIPA Kementerian Keuangan (non-belanja pegawai) yang semula ditergetkan terserap sebesar 80% pada Tahun Anggaran 2011 telah terserap 78,80%. Penyerapan yang belum memenuhi target ini antara lain disebabkan oleh (i) efisiensi pengadaan barang dan jasa (belanja barang/modal) karena pelelangan dilaksanakan melalui pengadaan secara elektronik, dimana sasaran sudah tercapai dengan harga di bawah pagu, (ii) terjadinya gagal lelang pada pengadaan barang dan jasa, dan (iii) proses penghapusan BMN memakan waktu yang lama dan menyebabkan pembangunan fisik yang telah ditetapkan di tahun 2011 tidak dapat dilaksanakan proses pengerjaannya. Secara umum pencapaian sasaran strategis yang telah ditetapkan dalam tahun 2011 telah sesuai dengan yang ditargetkan, bahkan diantara sasaran strategis tersebut memperoleh nilai capaian lebih dari 100 persen. Namun demikian, masih terdapat beberapa IKU yang masih belum mencapai target yang ditentukan. Untuk itu, Kementerian Keuangan akan senantiasa berupaya dan bekerja lebih keras lagi, serta menyempurnakan kebijakan yang ada untuk lebih mengoptimalkan pencapaian sasaran strategis, sehingga diharapkan di masa yang akan datang capaian semua sasaran strategis dapat lebih optimal. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2011 ix

12

13 Bab 1 Pendahuluan Pelaksanaan APBN 2011 harus bisa menjadi momentum positif bagi tercapainya akselerasi ekonomi di tanah air LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

14 A. Latar Belakang Di dalam setiap aspek kehidupan, apalagi kehidupan bernegara yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, diperlukan berbagai sumber daya. Salah satu sumber daya yang menjadi darah setiap organisasi adalah keuangan. Namun disadari bahwa sumber daya keuangan ini, sebagaimana sumber daya yang lain yang bersifat ekonomis, ketersediannya sangat terbatas. Oleh karena itu, sumber daya yang terbatas ini perlu dikelola dengan sebaikbaiknya agar perolehan maupun penggunaannya dapat dilakukan dengan cara yang baik dan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Kementerian Keuangan berdasarkan Perpres Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta tugas dan fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2010, mempunyai tugas yang sangat strategis, yaitu melaksanakan tugas pengelolaan keuangan dan kekayaan negara. Dalam melaksanakan tugas pengelolaan keuangan dan kekayaan negara tersebut, Kementerian Keuangan dituntut untuk melaksanakannya dengan prudent, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien. Dalam rangka melaksanakan tugas yang sangat strategis dan dengan cara-cara yang baik tersebut, Kementerian Keuangan menetapkan visi: Menjadi Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara yang Dipercaya dan Akuntabel untuk Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan. Untuk mencapai visi tersebut, Kementerian Keuangan menetapkan misi, rencana strategis, tujuan, sasaran, program serta rencana kerja yang terukur dan dilaksanakan setiap tahun. Selanjutnya, sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, pelaksanaan rencana kerja tersebut harus dipertanggungjawabkan setiap tahun dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). LAKIP Tahun 2011 ini disusun sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas dan fungsi selama Tahun 2011, dalam rangka melaksanakan misi dan mencapai visi tersebut. Di samping itu, LAKIP ini juga dimaksudkan sebagai wujud akuntabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan menuju terwujudnya good governance, wujud transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat, dan sekaligus sebagai alat kendali dan pemacu peningkatan kinerja setiap unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan, serta sebagai salah satu alat untuk mendapatkan masukan bagi stakeholders demi perbaikan kinerja Kementerian Keuangan. 2 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

15 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup B. Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi Dalam melaksanakan peran strategis seperti diuraikan di atas, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, Kementerian Keuangan mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara. Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Keuangan mempunyai fungsi: (a) perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan dan kekayaan negara; (b) pengelolaan Barang Milik/ Kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan; (c) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Keuangan; (d) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Keuangan di daerah; (e) pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; dan (f) pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah. Dalam menjalankan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan dibantu oleh unit unit sebagai berikut: 1. Wakil Menteri Keuangan; 2. Sekretariat Jenderal; 3. Direktorat Jenderal Anggaran; 4. Direktorat Jenderal Pajak; 5. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; 6. Direktorat Jenderal Perbendaharaan; 7. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara; 8. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan; 9. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang; 10. Inspektorat Jenderal; 11. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; 12. Badan Kebijakan Fiskal; 13. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan; 14. Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara; 15. Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara; 16. Staf Ahli Bidang Makro Ekonomi dan Keuangan Internasional; 17. Staf Ahli Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal; 18. Staf Ahli Bidang Organisasi, Birokrasi, dan Teknologi Informasi; 19. Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan; 20. Pusat Sistem Informasi dan Teknologi Keuangan; 21. Pusat Investasi Pemerintah; 22. Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai; 23. Sekretariat Pengadilan Pajak; 24. Sekretariat Komisi Pengawas Perpajakan; 25. Pusat Layanan Pengadaan Secara Elektronik; dan 26. Pusat Kepatuhan Internal Kepabeanan dan Cukai. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

16 Dalam menjalankan tugasnya, Kementerian Keuangan didukung oleh orang pegawai dari berbagai bidang keahlian seperti ekonomi, keuangan, bisnis, hukum, teknis, administrasi, dan sebagainya. Komposisi pegawai Kementerian Keuangan dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini: Tabel 1.1 Statistik Pegawai Kementerian Keuangan Berdasarkan Pendidikan Unit Eselon I SD SMP SMA D1 D2 D3 D4 S1 S2 S3 Total Wakil Menteri Setjen DJA DJP DJBC DJPB DJKN DJPK DJPU Itjen Bapepam LK BKF BPPK Staf Ahli Bid.Makro Ekonomi Keuangan Internasional Staf Ahli Bid.Penerimaan Negara Staf Ahli Bid.Pengeluaran Negara Staf Ahli Bid.Organisasi Birokrasi dan TI Total KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

17 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup C. Mandat dan Peran Strategis Kementerian Keuangan Kementerian Keuangan mempunyai peran yang strategis yaitu pengelola keuangan dan kekayaan negara. Sebagaimana diamatkan dalam UU nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara memberi kuasa kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO), sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Dengan demikian Menteri Keuangan adalah CFO sekaligus sebagai COO. Prinsip ini harus dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Gambar 1.1 Alur Mandat dan Peran Strategis Kementerian Keuangan Presiden Chief Financial Officer (CFO) Bendahara Umum Negara Chief Operational Officer (COO) Pengguna Anggaran/Barang Menteri Keuangan Menteri Teknis (termasuk Menteri Keuangan) Dalam rangka melaksanakan kekuasaan sebagai pengelola fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut: 1. menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro; 2. menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN; 3. mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran; 4. melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan; 5. melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang; 6. melaksanakan fungsi bendahara umum negara; 7. menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban APBN; 8. melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan Undang-Undang. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

18 Dalam rangka melaksanakan kekuasaan sebagai pengelola kekayaan negara, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut: 1. Merumuskan kebijakan di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang; 2. Melaksanakan kebijakan di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang; 3. Menyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang; D. Sistematika Laporan Sistematika penyajian LAKIP Kementerian Keuangan Tahun 2011 adalah sebagai berikut: 1. Ikhtisar Eksekutif. Bagian ini menguraikan secara singkat tentang tujuan dan sasaran yang akan dicapai beserta hasil capaian, kendala-kendala yang dihadapi dalam mencapai tujuan dan sasaran, langkah-langkah yang diambil, serta langkah antisipatifnya. 2. Bab I. Pendahuluan. Bagian ini menguraikan tentang tugas, fungsi dan struktur organisasi, mandat dan peran srategis Kementerian Keuangan, serta sistematika laporan. 3. Bab II. Bagian ini menguraikan tentang rencana strategis dan penetapan/perjanjian kinerja Kementerian Keuangan Tahun Bab III. Bagian ini menguraikan tentang pengukuran, sasaran dan akuntabilitas pencapaian sasaran strategis Kementerian Keuangan tahun Bab IV. Bagian ini menguraikan tentang keberhasilan dan kegagalan pencapaian sasaran yang telah ditetapkan, permasalahan dan kendala, serta strategi pemecahannya untuk tahun mendatang. 6 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

19 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Penyusunan LAKIP Kementerian Keuangan Tahun 2011 dengan sistematika tersebut menggunakan alur pikir yang dapat digambarkan sebagaimana tampak pada Gambar 1.2 pada halaman berikut ini. Gambar 1.2 Alur Pikir Penyusunan LAKIP Kementerian Keuangan Tahun 2011 LANDASAN Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Paket Undang-Undang Bidang Keuangan Negara (UU No.17 Tahun 2003, UU No.1 Tahun 2004, UU No.15 Tahun 2004) RPJM Nasional APBN Tahun Anggaran 2011 TUGAS KEMENTERIAN KEUANGAN Membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara VISI MISI Faktor Kunci Penentu Keberhasilan TUJUAN SASARAN KEBIJAKAN Umpan Balik LAKIP Umpan Balik LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

20

21 Bab2 Bab 2 Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian kinerja LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

22 A. Rencana Strategis Perencanaan strategis (Renstra) merupakan serangkaian rencana tindakan dan kegiatan yang bersifat mendasar dan dibuat secara integral, efisien dan koordinatif serta disusun mengikuti alur pikir sebagaimana tampak pada Gambar 1.2, dalam hal ini Kementerian Keuangan bertugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara. Dalam kurun waktu dengan berorientasi kepada hasil yang ingin dicapai selama 5 (lima) tahun dan memperhitungkan potensi, peluang, serta kendala yang ada maupun tantangan yang mungkin terjadi, Kementerian Keuangan dituntut berpandangan jauh ke depan, serta berupaya meningkatkan kualitas agar lebih profesional dan mampu mencapai tingkat kesetaraan di pasar global. Berkaitan dengan itu, setiap aparatur Kementerian Keuangan didorong untuk lebih meningkatkan integritas dan kredibilitasnya sehingga dipercaya dan dibanggakan masyarakat serta bekerja secara profesional dan efisien untuk mendukung tercapainya masyarakat adil dan makmur. Pengertian pengelola keuangan dan kekayaan negara dalam visi tersebut bermakna bahwa Kementerian Keuangan adalah lembaga/institusi yang mempunyai tugas menghimpun dan mengalokasikan keuangan negara dan sekaligus mengelola kekayaan negara. Dipercaya berarti Kementerian Keuangan adalah institusi yang kredibel karena pengelolaan keuangan dan kekayaan negara dilakukan secara transparan, yaitu semua penerimaan negara, belanja negara dan pembiayaan defisit anggaran dilakukan melalui mekanisme APBN. Akuntabel artinya pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang mengacu pada praktik terbaik internasional yang berlandaskan asas profesionalitas, proporsionalitas, dan keterbukaan. Untuk mencapai visi tersebut Kementerian Keuangan menetapkan misi, rencana strategis, tujuan, dan sasaran serta rencana kerja yang terukur dan dilaksanakan setiap tahun. Selanjutnya, sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, pelaksanaan rencana kerja tersebut harus dipertanggungjawabkan setiap tahun dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). LAKIP ini disusun sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas dan fungsi selama Tahun 2011, dalam rangka melaksanakan misi dan mencapai visi tersebut. Di samping itu, LAKIP ini juga dimaksudkan sebagai wujud akuntabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan menuju terwujudnya good governance, wujud transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat, dan sekaligus sebagai alat kendali dan pemacu peningkatan kinerja setiap unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan, serta sebagai salah satu alat untuk mendapatkan masukan bagi stakeholders demi perbaikan kinerja Kementerian Keuangan. 10 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

23 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Dalam rangka pencapaian visi, Kementerian Keuangan menetapkan 4 (empat) misi sebagai berikut: 1. Misi Fiskal, yaitu mengembangkan kebijakan fiskal yang sehat, berkelanjutan, hati-hati (prudent), dan bertanggung jawab. 2. Misi Kekayaan Negara, yaitu mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal sesuai dengan asas fungsional, kepastian hukum, transparan, efisien, dan bertanggungjawab. 3. Misi Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, yaitu mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai penggerak dan penguat perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global. 4. Misi Penguatan Kelembagaan, yang meliputi tiga hal sebagai berikut: a. Membangun dan mengembangkan organisasi berlandaskan administrasi publik sesuai dengan tuntutan masyarakat. b. Membangun dan mengembangkan SDM yang amanah, profesional, berintegritas tinggi, dan bertanggungjawab. c. Membangun dan mengembangkan teknologi informasi keuangan yang modern dan terintegrasi serta sarana dan prasarana strategis lainnya. Dalam rangka implementasi atau penjabaran dari misi, ditetapkan tujuan yang merupakan sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan pada kurun waktu tertentu, yaitu satu sampai dengan lima tahun ke depan dalam tahun , serta menggambarkan arah strategik organisasi, perbaikan-perbaikan yang ingin diciptakan sesuai dengan tugas dan fungsi, serta meletakkan kerangka prioritas untuk memfokuskan program dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Tujuan Kementerian Keuangan untuk periode dikelompokkan ke dalam 6 tema pokok sebagai berikut: 1. Tujuan dalam tema pendapatan negara adalah meningkatkan dan mengamankan pendapatan negara dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan keadilan masyarakat. 2. Tujuan dalam tema belanja negara adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan belanja negara untuk mendukung penyelenggaraan tugas K/L dan pelaksanaan desentralisasi fiskal. 3. Tujuan dalam tema pembiayaan APBN adalah mewujudkan kapasitas pembiayaan yang mampu memberikan daya dukung bagi kesinambungan fiskal. 4. Tujuan dalam tema perbendaharaan negara adalah pengelolaan perbendaharaan negara yang profesional dan akuntabel serta mengedepankan kepuasan stakeholders atas kinerja perbendaharaan negara. 5. Tujuan dalam tema kekayaan negara adalah mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal serta menjadikan nilai kekayaan negara sebagai acuan dalam berbagai keperluan. 6. Tujuan dalam tema pasar modal dan lembaga keuangan non bank adalah membangun otoritas pasar modal dan lembaga keuangan yang amanah dan profesional, yang mampu mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai penggerak perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

24 Untuk menjabarkan tujuan agar terukur dan dapat dicapai secara nyata, Kementerian Keuangan menyusun sasaran strategis. Sasaran strategis Kementerian Keuangan untuk tahun adalah sebagai berikut: 1. Sasaran strategis untuk Tema Pendapatan Negara: a. Tingkat pendapatan yang optimal. Tingkat pendapatan yang optimal adalah tingkat pencapaian penerimaan dalam negeri yang sesuai dengan target sebagaimana tercantum dalam APBN atau APBN-P. b. Tingkat kepercayaan stakeholders yang tinggi dan citra yang meningkat yang didukung oleh tingkat pelayanan yang handal. Tingkat kepercayaan stakeholders yang tinggi diukur berdasarkan hasil survei kepuasan stakeholder oleh lembaga independen. Hasil survei yang positif akan meningkatkan citra Kementerian Keuangan di mata stakeholder. c. Tingkat kepatuhan wajib pajak, kepabeanan, dan cukai yang tinggi. Tingkat kepatuhan wajib pajak, kepabeanan, dan cukai terhadap peraturan perundang-undangan pada akhirnya menentukan potensi dan realisasi pendapatan pajak, kepabeanan dan cukai. 2. Sasaran strategis dalam Tema Belanja Negara: a. Alokasi belanja negara yang tepat sasaran, tepat waktu, efektif, efisien dan akuntabel. Sasaran strategis ini mencakup empat hal sebagai berikut: i. Alokasi belanja negara yang tepat sasaran, yaitu alokasi anggaran yang dapat mencapai kinerja program dan kegiatan kementerian negara/lembaga yang telah ditetapkan dalam APBN. ii. Alokasi belanja negara yang tepat waktu, yaitu pengesahan DIPA yang dapat diselesaikan sesuai jadwal yang ditetapkan. iii. Alokasi belanja negara yang efisien, yaitu penuangan anggaran pada DIPA yang dapat digunakan untuk mendukung pencapaian sasaran yang ditetapkan. iv. Alokasi belanja negara yang akuntabel, yaitu alokasi belanja negara yang proporsional sesuai dengan prioritas rencana kerja pemerintah dan dapat dipertanggungjawabkan pelaksanaannya. b. Tata kelola yang yang tertib, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan belanja negara. Sasaran strategis ini mencakup hal-hal sebagai berikut: i. Tata kelola yang tertib, yaitu pengelolaan belanja negara sesuai dengan sistem dan prosedur yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. ii. Tata kelola yang transparan dan akuntabel, yaitu pengelolaan belanja negara yang dilakukan secara terbuka sehingga proses pengelolaannya dapat diketahui oleh stakeholder dan dapat dipertanggungjawabkan. c. Peningkatan efektivitas dan efisiensi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Sasaran strategis ini mencakup pelaksanaan kebijakan hubungan keuangan pusat dan daerah yang dapat menjamin keseimbangan keuangan terkait dengan besarnya beban, tanggung jawab, dan kewenangan yang dimiliki oleh pusat maupun daerah sesuai dengan norma dan standar yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. 12 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

25 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup d. Terciptanya tata kelola yang tertib sesuai peraturan perundang-undangan, transparan, kredibel, akuntabel, dan profesional dalam pelaksanaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Sasaran strategis ini mencakup tiga hal sebagai berikut: i. Tata kelola yang tertib, yaitu pengelolaan transfer ke daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. ii. Transparan, artinya pelaksanaan kebijakan transfer ke daerah dapat diakses oleh seluruh stakeholder. iii. Akuntabel, artinya pelaksanaan kebijakan transfer ke daerah dapat dipertanggungjawabkan. 3. Sasaran strategis dalam Tema Pembiayaan APBN adalah sebagai berikut: a. Terpenuhinya pembiayaan APBN melalui utang secara tepat waktu, cukup, dan efisien. Target pembiayaan APBN dapat dipenuhi melalui utang yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri, dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) dan Pinjaman, dengan mempertimbangkan biaya dan risiko untuk mendukung kesinambungan fiskal. b. Terciptanya kepercayaan para pemangku kepentingan (investor, kreditor, dan pelaku pasar lainnya) terhadap pengelolaan utang yang transparan, akuntabel, dan kredibel. Sasaran strategis ini mencakup tersedianya informasi yang terkait pengelolaan utang kepada publik secara transparan dan akurat, dan terjaganya kredibilitas pengelolaan utang dengan melakukan pembayaran kewajiban secara tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat sasaran. c. Terciptanya struktur portofolio utang yang optimal. Sasaran strategis ini mencakup optimalisasi struktur SBN yang jatuh tempo dengan memperhatikan jenis, tingkat bunga, tenor, serta kondisi pasar keuangan. d. Terciptanya pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid. Sasaran strategis ini mencakup pengembangan pasar SBN dengan menyediakan alternatif instrumen SBN yang variatif serta meningkatkan sebaran investor. 4. Sasaran strategis dalam Tema Perbendaharaan Negara: a. Efisiensi dan akurasi pelaksanaan belanja negara. Sasaran strategis ini berupa penyaluran belanja negara untuk mendukung pencapaian sasaran yang ditetapkan secara akurat dan tepat waktu, yang berarti pelaksanaan penyaluran belanja dilakukan sesuai dengan norma waktu yang ditetapkan. b. Optimalisasi pengelolaan kas. Sasaran strategis ini berupa optimalisasi pengelolaan kas negara meliputi dalam hal perencanaan kas, pengendalian kas dan pemanfaatan idle cash, yang dilaksanakan untuk menjamin ketersediaan kas dalam jumlah yang cukup. Optimalisasi pengelolaan kas negara dilakukan dalam rangka mewujudkan efisiensi pengelolaan kas dengan mengedepankan prinsip meminimumkan biaya dan memaksimalkan manfaat bila terjadi kekurangan kas (cash mismatch) atau kelebihan kas (idle cash). LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

26 c. Optimalisasi tingkat pengembalian dana di bidang investasi dan pembiayaan lainnya. Salah satu bagian dari pengembalian dana di bidang investasi dan pembiayaan lainnya adalah pengembalian penerusan pinjaman. Dana penerusan pinjaman tersebut harus dioptimalkan pengembalian dan penyetorannya kembali ke APBN sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Hal ini dikarenakan pengembalian dana tersebut mempunyai kontribusi dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri dan penerimaan defisit APBN. d. Peningkatan pelayanan masyarakat melalui penyempurnaan pengelolaan BLU. Sasaran strategis ini dilakukan melalui penyempurnaan regulasi terkait dengan pengelolaan BLU, peningkatan penilaian kinerja satker BLU serta pembinaan yang berkelanjutan, sehingga diharapkan satker yang menerapkan Pengelolaan Keuangan BLU akan dapat melaksanakan fungsinya secara lebih efektif dan efisien. Hal tersebut dapat dilihat dari kinerja keuangan pada satker BLU, yang pada akhirnya akan dapat mendorong peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. e. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Salah satu kebijakan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah melalui penerapan akuntansi pemerintah modern sebagai dasar penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Sampai dengan saat ini LKPP yang telah disusun masih berdasarkan basis Kas Menuju Akrual. Selanjutnya secara bertahap LKPP akan disusun berdasarkan basis akrual, sehingga diharapkan akan terwujud peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara serta peningkatan opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi Wajar Tanpa Pengecualian dapat segera terealisasikan. f. Terciptanya sistem perbendaharaan negara yang modern, handal dan terpadu. Untuk menciptakan sistem perbendaharaan negara yang modern, handal dan terpadu, mulai tahun anggaran 2009 telah dilaksanakan proyek penyempurnaan sistem perbendaharaan dan anggaran negara yang dikenal dengan nama Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN). Proyek SPAN merupakan langkah awal untuk mewujudkan sistem perbendaharaan yang modern, didukung oleh sistem informasi keuangan yang terpadu (Integrated Financial Management and Information System) dengan karakteristik antara lain sebagai berikut: i. terintegrasi/terotomasi, yang sangat mendukung proses pelaksanaan anggaran, optimalisasi manajemen kas, serta pencatatan, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan negara; ii. database yang terpusat dan memungkinkan perekaman data hanya dilakukan satu kali saja (single entry); iii. memungkinkan dilakukannya what if analysis ; iv. penerapan proses bisnis yang mengacu pada best practice; serta v. menghubungkan secara on-line baik melalui satelit, dial-up dan sistem jaringan lainnya unit-unit di lingkungan Kementerian Keuangan khususnya Ditjen Anggaran, Ditjen Perbendaharaan, 30 Kanwil Ditjen Perbendaharaan, serta 178 KPPN dengan seluruh Kementerian Negara/Lembaga. 14 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

27 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup 5. Sasaran strategis dalam Tema Kekayaan Negara adalah sebagai berikut: a. Terlaksananya perencanaan kebutuhan barang milik negara yang optimal. Sasaran strategis ini dilakukan dengan mengkoordinasikan pemberian data dan informasi keberadaan aset idle Kementerian/Lembaga dalam rangka perencanaan pengadaan belanja modal dari Kementerian/ Lembaga serta penghematan penggunaan anggaran dengan mengoptimalkan BMN idle yang ada di Kementerian/Lembaga. b. Terlaksananya penatausahaan kekayaan negara yang handal dan akuntabel. Sasaran strategis ini berarti bahwa penatausahaan kekayaan negara yang handal dan akuntabel, yaitu dengan tercatatnya seluruh kekayaan negara/bmn dalam daftar barang baik di Kementerian/Lembaga sebagai pengguna maupun di Kementerian Keuangan sebagai pengelola. c. Terwujudnya pemanfaatan BMN berdasarkan prinsip the highest and best use. Pemanfaatan BMN adalah upaya penggunaan secara maksimal seluruh BMN untuk mendukung penyelenggaraan tugas dan fungsi penyelenggaraan negara. d. Tercapainya peningkatan kualitas pelayanan pengelolaan kekayaan negara. Sasaran strategis ini berupa pelayanan pengelolaan kekayaan negara, yang meliputi pelayanan permohonan penetapan status pemanfaatan, penggunaan, penghapusan dan pemindahtanganan barang milik negara. e. Terwujudnya database nilai kekayaan negara yang kredibel. Sasaran strategis ini berupa perolehan, pengumpulan dan pengolahan data kekayaan negara sehingga menjadi informasi eksekutif yang utuh, tepat waktu, akurat, dan dapat digunakan untuk proses pengambilan keputusan bagi pimpinan Kementerian Keuangan. 6. Sasaran strategis dalam Tema Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank: a. Terwujudnya regulator bidang pasar modal dan lembaga keuangan yang amanah dan profesional. b. Terwujudnya pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai sumber pendanaan yang mudah diakses, efisien dan kompetitif. c. Terwujudnya pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai sarana investasi yang menarik dan kondusif dan sarana pengelolaan risiko yang handal. d. Terwujudnya industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank yang stabil, resilience dan likuid. e. Tersedianya kerangka regulasi yang menjamin adanya kepastian hukum, keadilan dan keterbukaan (fairness and transparency). f. Tersedianya infrastruktur pasar modal dan lembaga keuangan non bank yang kredibel, dapat diandalkan dan berstandar internasional. Sasaran strategis untuk menunjang pencapaian tujuan strategis 6 (enam) tema pokok sebagaimana disebutkan sebelumnya dikelompokkan ke dalam perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan, yang mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Terwujudnya SDM yang berintegritas dan berkompetensi tinggi. Sasaran strategis ini mencakup sistem rekrutmen yang kredibel dan pengembangan SDM yang tertata dan berkelanjutan, yang dengan itu diharapkan dapat menghasilkan SDM yang memiliki integritas dan kompetensi tinggi dalam mengelola Keuangan Negara. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

28 2. Terwujudnya organisasi yang handal dan modern. Pengembangan organisasi dilakukan berdasarkan fungsi masing-masing unit organisasi dan Standard Operating Procedures (SOP)/Prosedur Operasi Standar yang dimiliki. Fungsi unit organisasi dalam hal ini berarti fungsi yang telah disusun berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, sedangkan SOP adalah standar yang dijadikan panduan bagaimana suatu kegiatan dilaksanakan, dengan tujuan untuk memberikan kepastian mengenai apa yang harus dilaksanakan, waktu penyelesaian, dan biaya (bila ada) yang menjadi beban pengguna jasa Kementerian Keuangan. SOP yang disusun harus memenuhi prinsip efisiensi, dan dalam beberapa hal satu SOP dibuat untuk beberapa unit yang disebut SOP link. 3. Terwujudnya good governance. Good Governance dalam hal ini berarti terciptanya tata kelola pemerintahan dalam menerapkan prinsipprinsip transparansi, akuntabilitas, responsiveness, responsibilitas, efektifitas, dan efisien. 4. Terwujudnya dan termanfaatkannya TIK yang terintegrasi. Sistem informasi/aplikasi yang ada di seluruh lingkungan Kementerian Keuangan diupayakan terintegrasi dengan didukung kualitas layanan infrastruktur yang prima. 5. Tercapainya akuntabilitas laporan keuangan. Sasaran strategis ini terkait dengan product/service yang dihasilkan oleh Inspektorat Jenderal yang difokuskan pada hasil pengawasan yang dapat memberikan nilai tambah bagi kinerja Kementerian Keuangan melalui asistensi, monitoring dan review penyusunan Laporan Keuangan pada unit-unit di lingkungan Kementerian Keuangan dan Laporan Keuangan Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP). Untuk mencapai visinya, Kementerian Keuangan menetapkan misi, rencana strategis, tujuan, sasaran, program serta rencana kerja yang terukur dan dilaksanakan setiap tahun. Program adalah kumpulan kegiatan nyata, sistematis dan terpadu yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan untuk mendapatkan suatu hasil. Program-program yang telah ditetapkan dalam Tahun 2011 adalah sebagai berikut: 1. Program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya. 2. Program pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur Kementerian Keuangan. 3. Program pengelolaan anggaran negara. 4. Program peningkatan dan pengamanan penerimaan pajak. 5. Program pengawasan, pelayanan, dan penerimaan di bidang kepabeanan dan cukai. 6. Program peningkatan pengelolaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 7. Program pengelolaan dan pembiayaan utang. 8. Program pengelolaan perbendaharaan negara. 9. Program pengelolaan kekayaan negara, penyelesaian pengurusan piutang negara, dan pelayanan lelang. 10. Program pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan non bank. 11. Program pendidikan dan pelatihan aparatur Kementerian Keuangan. 12. Program perumusan kebijakan fiskal. 16 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

29 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup B. Road Map Kementerian Keuangan Road Map Kementerian Keuangan Tahun merupakan penjabaran lebih lanjut dari Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan Tahun , sebagaimana telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 40/KMK.01/2010 tanggal 29 Januari 2010 merupakan dokumen yang menjadi acuan dalam penyusunan Road Map. Road Map dan Renstra merupakan dokumen perencanaan yang digunakan Kementerian Keuangan untuk periode Antara Road Map dan Renstra terdapat perbedaan, dimana Road Map lebih menjelaskan secara detail mengenai pelaksanaan program/kegiatan sampai level sub kegiatan (yang merupakan pelaksanaan tugas dan fungsi untuk unit setingkat Eselon III) yang dilengkapi dengan informasi mengenai milestone tahunan mulai dari tahun 2010 sampai dengan 2014, dan merupakan ukuran untuk melihat tingkat keberhasilan kinerja suatu unit selama kurun waktu 5 (lima) tahun. Penjabaran sasaran strategis dalam Renstra ke dalam dokumen perencanaan tahunan, Road Map, dapat ditabulasikan dalam bentuk matriks sebagaimana tampak pada lampiran 1. C. Penetapan/Perjanjian Kinerja Penetapan/perjanjian kinerja merupakan pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, dan sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 29 Tahun Sementara itu dokumen Penetapan Kinerja/perjanjian kinerja merupakan suatu dokumen pernyataan kinerja/kesepakatan kinerja/perjanjian kinerja antara atasan dan bawahan untuk mewujudkan target kinerja tertentu berdasarkan pada sumber daya yang dimiliki oleh instansi. Untuk menjamin tercapainya sasaran dan target secara optimal dan tepat waktu, visi dan misi Kementerian Keuangan harus menjadi acuan sekaligus landasan penyusunan strategi. Dari visi dan misi tersebut kemudian dirumuskan sasaran strategis Kementerian Keuangan (KK). Sasaran Strategis (SS/KK) Kementerian Keuangan tahun 2011 telah ditetapkan dan dikelompokkan sebagaimana tertuang dalam Peta Strategi Kementerian Keuangan. Peta Strategi Kementerian Keuangan 2011 memuat 16 Sasaran Strategis. Sasaran-sasaran strategis tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pendapatan negara yang optimal; (2) Pelaksanaan belanja negara yang optimal; (3) Pembiayaan dalam jumlah yang cukup efisien dan aman bagi kesinambungan fiskal; (4) Utilisasi kekayaan negara yang optimal; (5) Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang optimal; (6) Pengelolaan keuangan negara yang akuntabel; (7) Industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil, tahan uji, dan likuid; (8) Tingkat Kepuasan pengguna layanan yang tinggi; (9) Kajian dan rumusan kebijakan yang berkualitas; (10) Pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang efektif dan efisien; (11) Peningkatan edukasi masyarakat dan pelaku ekonomi; (12) Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif; (13) Pembentukan SDM yang berkompetensi tinggi; (14) Penataan organisasi yang andal; (15) Perwujudan TIK yang terintegrasi; dan (16) Pengelolaan anggaran yang optimal. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

30 Peta Strategi Visi Menjadi Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara yang Dipercaya dan Akuntabel KK1 Pendapatan negara KK-2 Pelaksanaan belanja negara yang KK-3 Pembiayaan dalam jumlah yang cukup, aman, dan efisien bagi kesinambungan fiskal KK-4 negara yang KK-5 Hubungan keuangan pusat - daerah yang KK-6 Pengelolaan keuangan negara yang akuntabel KK-7 Indusri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil, tahan uji dan likuid KK-8 Tingkat kepuasan pengguna Perumusan KK-9 Kajian dan rumusan kebijakan yang berkualitas Pengelolaan dan Pengembangan KK-10 Pengelolaan keuangan dan kekayaan negara efisien KK-11 Peningkatan edukasi masyarakat dan pelaku ekonomi Pengawasan dan penegakan hukum KK-12 Pengawasan dan penegakan hukum SDM Perumusan Perumusan Perumusan KK-13 Pembentukan SDM yang berkompetensi KK-14 Penataan organisasi yang andal KK-15 Perwujudan TIK yang terintegrasi KK-16 Pengelolaan anggaran yang Peta strategi Kementerian Keuangan di atas menerapkan 4 perspektif, yaitu: stakeholders perspective, customers perspective, internal process perspective dan learning and growth perspective. Dari Peta Strategi Kementerian Keuangan Tahun 2011 tersebut diketahui bahwa jumlah sasaran strategis yang dikembangkan oleh Kementerian Keuangan mencapai 16 (enam belas) sasaran strategis (SS/KK) dan Indikator Kinerja Utama (IKU) yang diidentifikasi sebanyak 36 IKU. Selanjutnya keterkaitan antara sasaran strategis dan IKU dapat disajikan dalam tabel berikut. 18 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

31 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Sasaran Strategis Indikator Kinerja Satuan Target Sasaran Strategis 1: Pendapatan negara yang optimal Sasaran Strategis 2: Pelaksanaan belanja negara yang optimal Sasaran Strategis 3: Pembiayaan dalam jumlah yang cukup efisien dan aman bagi kesinambungan fiskal Sasaran Strategis 4: Utilisasi kekayaan negara yang optimal Sasaran Strategis 5: Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang optimal Sasaran Strategis 6: Pengelolaan keuangan negara yang akuntabel Sasaran Strategis 7: Industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil, tahan uji, dan likuid Sasaran Strategis 8: Tingkat kepuasan pengguna layanan yang tinggi Sasaran Strategis 9: Kajian dan rumusan kebijakan yang berkualitas Sasaran Strategis 10: Pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang efektif dan efisien 1 Jumlah pendapatan negara Miliar ,53 2 Persentase penyerapan belanja negara % 90 dalam DIPA K/L 3 Persentase ketepatan pola penarikan dana DIPA K/L % 50 4 Persentase pemenuhan target pembiayaan % 100 melalui utang yang cukup, efisien, dan aman 5 Persentase pencapaian target effective % 100 cost 6 Persentase pemenuhan struktur portofolio % 100 utang sesuai dengan strategi 7 Nilai kekayaan negara yang diutilisasi Triliun 102,39 8 Persentase ketepatan jumlah penyaluran dana transfer ke daerah 9 Persentase Perda PDRD yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan 10 Indeks jumlah LK K/L dan LK BUN yang andal dengan opini audit yang baik 11 Indeks opini BPK dengan LK BA 15, LK BUN, dan LK BA Perusahaan efek yang memenuhi persyaratan minimum MKBD 13 Persentase nilai transaksi efek yang tidak memenuhi persyaratan minimum MKBD yang berpotensi mengganggu perdagangan saham di bursa 14 Perusahaan asuransi dan reasuransi yang memenuhi persyaratan minimum RBC % 100 % 70 WTP 53 WDP 27-3,25 % 90% % 10% % 93% 15 Tingkat penetrasi asuransi % 1,8% 16 Perusahaan pembiayaan yang memenuhi rasio permodalan % 95% 17 Indeks kepuasan pengguna layanan - 3,92 18 Deviasi proyeksi indikator ekonomi makro % 8,75 19 Deviasi proyeksi APBN % 8,17 20 Tingkat akurasi exercise I-account % Penyelesaian LKPP dan Rancangan UU PPAPBN secara tepat waktu Rata-rata persentase realisasi janji layanan % 100 unggulan 23 Persentase tingkat akurasi perencanaan % 85 kas 24 Rasio beban bunga terhadap rata-rata % 6,6 outstanding utang 25 Akurasi penetapan yield/imbalan SBN dan % 100 biaya pinjaman terhadap benchmark 26 Persentase pemenuhan target pembiayaan % 100 melalui utang yang bersumber dari dalam negeri LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

32 Sasaran Strategis Indikator Kinerja Satuan Target Sasaran Strategis 11: Peningkatan edukasi 27 Tingkat efektivitas edukasi dan komunikasi - 72 masyarakat dan pelaku ekonomi Sasaran Strategis 12: Pengawasan dan 28 Rata-rata persentase kepatuhan dan % 65,1 penegakan hukum yang efektif penegakan hukum 29 Jumlah policy recommendation hasil pengawasan buah 32 Sasaran Strategis 13: Pembentukan SDM yang berkompetensi tinggi Sasaran Strategis 14: Penataan organisasi yang andal Sasaran Strategis 15: Perwujudan TIK yang terintegrasi Sasaran Strategis 16: Pengelolaan anggaran yang optimal 30 Persentase pejabat yang telah memenuhi standar kompetensi jabatannya 31 Rasio jam pelatihan pegawai dibandingkan jam kerja 32 Persentase diklat yang berkontribusi terhadap peningkatan kompetensi 33 Persentase penyelesaian penataan/ modernisasi organisasi 34 Persentase UPR yang menerapkan manajemen risiko 35 Persentase integrasi TIK Kementerian Keuangan 36 Persentase penyerapan DIPA Kementerian Keuangan (non belanja pegawai) % 80 % 2 % 80 % 100 % 60 % 40 % 80 D. Pengukuran Kinerja Dalam rangka mengukur capaian indikator kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2011, Kementerian Keuangan berpedoman kepada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan. Pengukuran capaian Indikator Kinerja Utama (IKU) ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagai berikut: 1. Angka maksimum indeks capaian setiap IKU ditetapkan sebesar 120%; 2. Indeks capaian IKU dikonversikan menjadi maximize semua agar sebanding dengan yang lainnya; 3. Status capaian IKU yang ditunjukkan dengan warna merah/kuning/hijau, ditentukan oleh Indeks Capaian IKU; 4. IKU yang ditetapkan diupayakan realisasi pencapaiannya memungkinkan melebihi target; 5. Untuk IKU yang capaiannya tidak memungkinkan melebihi target, maka capaiannya ditetapkan sebagai berikut: a. Apabila realisasi pecapaiannya sama dengan target, maka indeks capaian IKU tersebut dikonversi menjadi 120%; b. Apabila realisasi pencapaiannya tidak memenuhi target, maka indeks capaian IKU tersebut tidak dilakukan konversi Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung persentase pencapaian target indikator kinerja terdiri dari tiga (3) jenis, yaitu: 1. Perhitungan untuk Indikator Kinerja Utama (IKU) yang memiliki polarisasi Maximize Indeks Capaian = Realisasi / Target X 100% IKU polarisasi maximize 20 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

33 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup IKU yang memiliki polarisasi maximize, merupakan indikator kinerja yang menunjukkan ekspektasi arah pencapaian indikator kinerja lebih tinggi dari nilai target yang ditetapkan. 2. Perhitungan untuk Indikator Kinerja Utama (IKU) yang memiliki polarisasi Minimize Indeks Capaian = [1 + (1 Realisasi / Target )] X 100% IKU polarisasi minimize IKU yang memiliki polarisasi minimize, merupakan indikator kinerja yang menunjukkan ekspektasi arah pencapaian indikator kinerja lebih kecil dari nilai target yang ditetapkan. 3. Perhitungan untuk Indikator Kinerja Utama (IKU) yang memiliki polarisasi Stabilize I = I a + (I n+1 - I n ) / (C a+1 - C n ) (C - C n ) IKU polarisasi stabilize I = Indeks capaian C n = Capaian, dengan ketentuan: I n = Indeks capaian di bawahnya Apabila Realisasi > Target, maka: I n+1 = Indeks capaian di atasnya C n = 100 (Ca 100), Ca = Capaian awal dimana Ca maksimum adalah 200% Ca = Realisasi/Target X 100% Apabila Realisasi < Target, maka C n = Ca C n-1 = Capaian di bawahnya C n+1 = Capaian di atasnya Capaian Grafik: Indeks Capaian , , IKU yang memiliki polarisasi stabilize, merupakan indikator kinerja yang menunjukkan ekspektasi arah pencapaian indikator kinerja diharapkan berada dalam suatu rentang target tertentu. Apabila hasil perhitungan nilai capaian IKU melampaui target, akan menghasilkan nilai maksimal 120%. Karena IKU stabilize mengharapkan capaian dalam rentang tertentu di sekitar target, maka capaian yang dianggap paling baik adalah capaian yang tepat sesuai dengan target. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

34

35 Bab 3 Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

36 A. Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU) Pada tahun 2011, Kementerian Keuangan menetapkan 16 (enam belas) Sasaran Strategis (SS) dimana 7 (tujuh) diantaranya merupakan sasaran dalam stakeholder perspective yang menjadi fokus penyajian dalam LAKIP Kementerian Keuangan Tahun Setiap SS memuat IKU, yang pencapaian dari ketujuh sasaran dalam stakeholder perspective tersebut dapat ditabulasikan menjadi sebagai berikut: Sasaran Strategis (SS) Pendapatan negara yang optimal Pelaksanaan belanja negara yang optimal Pembiayaan dalam jumlah yang cukup efisien dan aman bagi kesinambungan fiskal Utilisasi Kekayaan Negara yang optimal H u b u n g a n keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang optimal Pengelolaan keuangan negara yang akuntabel Industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil, tahan uji dan likuid Kode IKU KK-1.1 KK-2.1 KK-2.2 KK-3.1 KK-3.2 KK-3.3 KK-4.1 KK-5.1 KK-5.2 KK-6.1 KK-6.2 KK-7.1 KK-7.2 KK-7.3 Jumlah pendapatan negara IKU Target Realisasi % Kategori IKU ,53M ,08M 102,55 maximize Persentase penyerapan belanja negara dalam DIPA K/L 90,00% 87,76% 97,51 maximize Persentase ketepatan pola penarikan dana DIPA K/L 50,00% 89,58% 120,00 maximize Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang 100,00% 99,17% 118,34 stabilize cukup, efisien, dan aman Persentase pencapaian target effective cost 100,00% 83,50% 116,50 minimize Persentase pemenuhan struktur portofolio utang sesuai dengan 100,00% 96,80% 113,60 stabilize strategi Nilai kekayaan negara yang diutilisasi Rp102,39 T Rp102,45 T 100,06 maximize Persentase ketepatan jumlah penyaluran dana transfer ke daerah Persentase Perda PDRD yang sesuai dengan peraturan perundangundangan Indeks jumlah LK K/L dan LK BUN yang andal dengan opini audit yang baik Indeks opini BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 Perusahaan efek yang memenuhi persyaratan minimum MKBD Persentase nilai transaksi perusahaan efek yang tidak memenuhi persyaratan minimum MKBD yang berpotensi mengganggu perdagangan saham di bursa Perusahaan asuransi dan reasuransi yang memenuhi persyaratan minimum RBC 100,00% 100,18% 100,18 maximize 70,00% 95,92% 120,00 maximize 53 WTP 27 WDP (indeks 83,13) 53 WTP 28 WDP (indeks 83,75) 100,75 maximize 3,25 3,19 98,15 maximize 90,00% 99,79% 110,88 maximize 10,00% 0,03% 120,00 minimize 93,00% 95,93% 103,15 maximize KK-7.4 Tingkat penetrasi asuransi 1,80% 1,80% 100,00 maximize KK-7.5 Perusahaan pembiayaan yang memenuhi rasio permodalan 95,00% 96,52% 101,60 maximize 24 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

37 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup B. Evaluasi dan Analisis Kinerja Pelaksanaan evaluasi dan analisis kinerja dilakukan melalui pengukuran kinerja dengan menggunakan formulir pengukuran kinerja sesuai Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 29 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan program sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi Kementerian Keuangan. Pengukuran kinerja dimaksud merupakan hasil dari suatu penilaian yang didasarkan pada IKU yang telah diidentifikasi agar sasaran-sasaran strategis dan tujuan strategis sebagaimana telah ditetapkan dalam Peta Strategi Kementerian Keuangan yang menjadi kontrak kinerja pada Tahun 2011 dapat tercapai. 1. Sasaran Strategis 1: pendapatan negara yang optimal (KK-1). Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 1 (satu) IKU, yaitu IKU pendapatan negara yang optimal. IKU ini dijabarkan ke dalam 3 (tiga) sub IKU yang masing-masing pencapaiannya ditabulasikan sebagai berikut: KK 1. Pendapatan negara yang optimal (dalam Miliar Rupiah) Indikator Kinerja Target Realisasi % Jumlah pendapatan negara , ,08 102,55 a. Jumlah penerimaan pajak , ,12 97,25 b. Jumlah penerimaan Bea dan Cukai , ,88 113,99 c. Jumlah PNBP nasional , ,08 112,09 Dilihat dari sumbernya, pendapatan negara dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu penerimaan dalam negeri dan hibah. Dari kedua sumber tersebut, pendapatan negara yang dikelola oleh Kementerian Keuangan adalah penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Unit yang bertugas mengelola penerimaan di bidang perpajakan adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Sedangkan unit yang mengelola Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Uraian sub IKU pendapatan negara yang dilaksanakan oleh masing-masing unit tampak berikut ini. 1. Jumlah penerimaan pajak. Yang dimaksud sebagai target penerimaan pajak dalam IKU ini adalah penerimaan pajak pusat, tidak termasuk pajak daerah. Target penerimaan pajak untuk tahun 2011 adalah Rp763,67 Triliun (naik 21,70% dari realisasi penerimaan pajak pada APBN-P Tahun 2010 sebesar Rp627,46 Triliun). Kinerja penerimaan pajak per jenis pajak sebagaimana tampak pada tabel 3.1. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

38 No. Jenis Pajak APBN-P 2011 Tabel 3.1. Kinerja Penerimaan Pajak per Jenis Pajak Tahun 2011 (Miliar rupiah) Realisasi % Growth (%) Perencanaan 2011 (1) (2) (3) (4) (5) (8)=(5):(3) A. PPh Non Migas , , ,84 20,19 97,61 1. PPh Ps , , ,94 20,93 107,48 2. PPh Ps , , ,72 4,31 101,19 3. PPh Ps. 22 Impor , , ,84 19,90 90,81 4. PPh Ps , , ,31 14,62 98,05 5. PPh Ps. 25/29 OP 3.575, , ,19 92,08 6. PPh Ps. 25/29 Badan , , ,08 17,85 93,91 7. PPh Ps , , ,84 29,12 92,29 8. PPh Final , , ,52 26,65 105,41 9. PPh Fiskal Luar Negeri 0,00 4,06 11,47 (64,59) PPh Non Migas Lainnya 28,94 40,59 31,54 28,72 140,28 B. PPN & PPNBM , , ,04 20,45 93,06 1. PPN Dalam Negeri , , ,59 17,37 82,22 2. PPN Impor , , ,28 27,15 112,00 3. PPNBM Dalam Negeri 7.893, , ,49 5,66 101,86 4. PPNBM Impor 3.563, , ,57 12,19 150,82 5. PPN/PPNBM Lainnya 366,66 207, ,31 56,61 C. PBB , , ,61 4,58 102,86 1. PBB , , ,61 4,58 102,86 PBB Perdesaan 788, , ,69 (1,06) 148,92 PBB Perkotaan 6.028, , ,79 3,24 109,55 PBB Perkebunan 1.015,80 986,10 905,43 8,91 97,08 PBB Kehutanan 409,80 250,66 203,92 22,92 61,17 PBB Pertambangan Non Migas 479,00 497,30 506,28 (1,77) 103,82 PBB Pertambangan Migas , , ,50 5,39 100,21 PBB Lainnya 0,00 0,00 0, BPHTB 0,00 (0,73) D. Pajak Lainnya 4.193, , ,34 (1,06) 93,63 1. Bea Meterai 1.279, ,00 952,37 11,41 82,90 2. Penjualan Benda Meterai 2.805, , ,87 6,65 90,78 3. PTLL 2,03 1,92 0,91 110,13 94,50 4. Bunga Penagihan PPh 43,54 84,73 365,67 (76,83) 194,61 5. Bunga Penagihan PPN 60,61 224,21 260,98 (14,09) 369,95 6. Bunga Penagihan PPNBM 0,01 0,20 0, ,19 7. Bunga Penagihan PTLL 2,38 7,57 0, ,21 317,78 26 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

39 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Realisasi % No. Jenis Pajak APBN-P 2011 Perencanaan Growth (%) 2011 (1) (2) (3) (4) (5) (8)=(5):(3) Penerimaan DJP Tanpa Migas , , ,84 19,35 95,86 E. PPh Migas , , ,74 24,16 112,06 Penerimaan DJP Termasuk Migas , , ,58 19,81 97,25 Sumber: Laporan Realisasi Perpajakan Tahun 2011 DJPB dan UU APBN Realisasi penerimaan pajak termasuk PPh Migas periode Januari s.d. Desember 2011 sebesar Rp742,63 Triliun atau sebesar 97,25%. Jika dibandingkan dengan realiasi penerimaan periode yang sama tahun 2010 sebesar Rp627,46 Triliun, maka terdapat pertumbuhan sebesar 18,35%. Rincian penerimaan pajak sepanjang tahun 2011 per periode bulan tampak pada tabel 3.2. Bulan PPh Non Migas Tabel 3.2 Realisasi Penerimaan Pajak Tahun 2011 per Periode Bulan Penerimaan Neto Migas PPN dan PPNBM PBB (1) (2) (3) (4) (5) (6) PL Total Non Migas (7)=(2)+(4) +(5)+(6) Total Penerimaan (8)=(3)+(7) Januari , , ,59 120,47 258, , ,02 Februari ,53 0, ,85 134,37 281, , ,40 Maret , , ,76 265,90 331, , ,38 April , , ,67 460,88 318, , ,65 Mei , , ,13 560,57 352, , ,38 Juni , , ,61 684,32 322, , ,66 Juli ,75 0, ,90 1,065,99 383, , ,73 Agustus , , , ,33 363, ,51 70,695,08 September , , , ,18 292, , ,43 Oktober , , , ,84 316, , ,54 November , , , ,39 338, , ,16 Desember , , , ,59 367, , ,70 Realisasi Tahun , , , , , , ,13 APBN , , , , , , ,01 % Realisasi 2011 thd Rencana 97,61 112,06 93,06 102,86 93,62 95,56 97, Realisasi s.d 31 Desember , , , , , , ,58 APBN-P , , , , , , ,09 % Realisasi 2010 thd Rencana 97,07 106,30 87,69 112,88 103,29 93,66 94,73 APBN-P 2010 Pertumbuhan ,19% 24,16% 20,45% 4,58% -1,06% 19,35% 19,81% Sumber: Laporan Realisasi Pajak Tahun Anggaran DJPb Catatan: Di dalam pen. PBB 2011 termasuk pen. Neto BPHTB sebesar (Rp730,15juta) LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

40 Tidak tercapainya target Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPNBM), yaitu Rp277,733 Triliun, kurang Rp21 Triliun dari target sebesar Rp298,44 Triliun. Rendahnya capaian PPN ini disebabkan karena seharusnya PPN dikenakan pada semua transaksi keuangan. Tetapi pada kenyataannya, banyak transaksi yang tidak tercatat atau yang dikenal dengan istilah ekonomi bawah tanah (underground economy) seperti transaksi oleh pedagang kaki lima. Meskipun demikian, dari sisi pertumbuhan, kinerja PPN dan PPNBM mengalami pertumbuhan sebesar 20,45%. Ke depan, Kementerian Keuangan akan lebih fokus pada usaha perbaikan administrasi perpajakan dan pengawasan, termasuk mendata Wajib Pajak seperti dalam Sensus Pajak, sehingga tidak ada lagi potensi PPN yang luput dari pengenaan pajak ini. Rencana penerimaan perpajakan tahun 2012 adalah sebesar Rp1.032,57 Triliun atau memberikan kontribusi sebesar 78,74% dari rencana penerimaan negara tahun 2012 sebesar Rp1.311,38 Triliun. Untuk mengamankan rencana penerimaan perpajakan Tahun 2012 tersebut, maka telah disusun langkah-langkah strategis sebagai berikut: 1) Penyempurnaan sistem administrasi pajak Sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang dilakukan melalui beberapa hal sebagai berikut. a) Reviu ulang kebijakan pemberian Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP). b) Penelitian ulang efektivitas Pengusaha Kena Pajak (PKP) dimana PKP yang sudah tidak efektif lagi akan dicabut NPPKP-nya. c) Penyempurnaan sistem Teknologi Informasi yang berkaitan dengan konfirmasi Pajak Keluaran Pajak Masukan (PK-PM). 2) Pengawasan secara lebih intensif pada sektor usaha tertentu yang memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan perpajakan. 3) Pembinaan dan pemberian fasilitas perpajakan untuk sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). 4) Peningkatan Penegakan Hukum di Bidang Perpajakan dan Penyempurnaan Sistem Piutang Pajak Secara On-line. 5) Pelaksanaan program Sensus Pajak Nasional yang lebih terencana, terarah, dan terukur. 6) Peningkatan kualitas SDM khususnya Account Representative, Pemeriksa Pajak, dan Juru Sita. 7) Penyempurnaan sistem pengendalian internal melalui peningkatan fungsi kepatuhan internal, implementasi nilai-nilai Kementerian Keuangan dan Peningkatan Efektifitas Whistle Blowing System. Selain dari langkah strategis tersebut, penggalian potensi pajak juga dilakukan dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi merupakan penggalian potensi pajak dengan menambah jumlah Wajib Pajak, sedangkan intensifikasi adalah penggalian potensi pajak dengan mengoptimalkan penerimaan pajak dari Wajib Pajak yang terdaftar. Mapping, profiling, dan benchmarking merupakan kegiatan intesifikasi penggalian potensi penerimaan pajak yang telah dituangkan dalam Nota Keuangan APBN 2011, yang menyebutkan:...program intensifikasi atau penggalian potensi perpajakan dari Wajib Pajak yang telah terdaftar dilaksanakan melalui: 1) Kegiatan mapping dan benchmarking. 2) Pemantapan profil seluruh Wajib Pajak. 28 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

41 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Mapping adalah kegiatan pemetaan yang menggambarkan potensi perpajakan dan keunggulan fiskal yang terdapat di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak (KPP)/Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak. Pembuatan mapping bertujuan untuk memperoleh informasi berupa gambaran umum potensi perpajakan dan keunggulan fiskal masing-masing wilayah kerja KPP/Kanwil. Profiling merupakan kegiatan penyusunan profil Wajib Pajak yang berisi rangkaian data dan informasi fiskal Wajib Pajak, yang antara lain memuat identitas, kegiatan usaha, serta riwayat perpajakan Wajib Pajak secara berkesinambungan. Profiling menjadi dasar bagi pihak KPP untuk melakukan analisis sehingga dapat memperkirakan besarnya potensi pajak dari masing-masing Wajib Pajak. Selain itu, profiling juga berfungsi untuk perbaikan sistem administrasi perpajakan dalam melakukan pengawasan kepatuhan formal maupun material Wajib Pajak serta sebagai alat pengawasan kinerja KPP. Adapun benchmarking adalah proses pembuatan acuan (benchmark) dengan membandingkan performa rasio-rasio keuangan suatu Wajib Pajak dengan performa keuangan Wajib Pajak-Wajib Pajak lainnya. Performa keuangan tersebut terkait antara lain dengan tingkat omset, laba perusahaan, berbagai input dalam kegiatan usaha, serta biaya-biaya untuk melihat kewajaran performa keuangan tersebut dengan rasio-rasio yang dilaporkan oleh Wajib Pajak-Wajib Pajak lain yang dianggap setara/sekelompok. Proses ini juga dapat digunakan untuk menilai risiko kewajaran laporan kinerja perusahaan serta pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Pada tahun 2009, Kementerian Keuangan telah mulai menggunakan metode total benchmarking. Sampai dengan akhir 2010 dihasilkan benchmark untuk 115 Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dan sejak awal 2011 mulai dilaksanakan penyempurnaan metodologi pembuatan benchmark, yaitu benchmark behavior model. Saat ini pengembangan benchmark behavior model telah menghasilkan benchmark yang sedang diuji coba kegunaannya oleh KPP. Metode mapping, profiling, dan benchmarking sebenarnya telah dilaksanakan sejak tahun 2007, seiring dengan reformasi di bidang perpajakan yang meliputi pengawasan dan penggalian potensi penerimaan pajak yang dilakukan dengan cara yang terstruktur, terukur, sistematis, standar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Saat ini program tersebut terus diperbaiki dan diperdalam, antara lain dengan penggunaan aplikasi teknologi informasi seperti Approweb (Aplikasi Profile Wajib Pajak berbasis Web) dan program feeding (pertukaran data). Kegiatan mapping, profiling dan benchmarking merupakan kegiatan yang dilakukan secara simultan dan merupakan suatu rangkaian dalam alur penggalian potensi pajak. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

42 2. Jumlah penerimaan Bea dan Cukai. Tabel 3.3. Realisasi Penerimaan Bea dan Cukai Per 31 Desember 2011 (Juta Rupiah) No. Jenis Penerimaan Target APBN-P Realisasi % Surplus (Defisit) Per 30 Desember Nominal % (4/3) 6(4-3) 7(6/3) 1. BEA MASUK , ,47 117,39% ,27 17,39% Bea masuk Rill , ,93 119,95% ,72 19,95% Bea masuk DTP , ,54 9,47% ( ,46) -90,53% 2. CUKAI , ,32 113,12% ,22 13,12% 3. BEA KELUAR , ,54 113,43% ,62 13,43% Total , ,33 113,99% ,11 13,99% Keterangan: 1. Data Bea Masuk dan Cukai termasuk pendapatan DA dan sudah dikurangi restitusi 2. Sumber data :Direktorat Pengelolaan Kas Negara- Ditjen Perbendaharaan Total realisasi penerimaan Bea Masuk, Cukai dan Bea keluar (termasuk Bea Masuk Ditanggung Pemerintah-BM DTP) sampai dengan 31 Desember 2011 adalah sebesar Rp ,89Miliar (lihat tabel 3.3.), yang terdiri atas: 1) Bea Masuk. Penerimaan Bea Masuk terdiri dari Bea Masuk Riil dan BM-DTP. Realisasi penerimaan Bea Masuk sampai dengan 31 Desember 2011 sebesar Rp25.238,84 Miliar (117,39% dari target), yaitu Bea Masuk Riil Rp25.191,49 Miliar (119,95% dari target) dan BM-DTP Rp47,3 Miliar (9,47% dari target). 2) Cukai. Realisasi penerimaan Cukai sampai dengan 31 Desember 2011 sebesar Rp77.009,46 Miliar atau (113,12% dari target APBN-P), yang terdiri atas Cukai Hasil Tembakau, Cukai Mengandung Etil Alkohol, dan Cukai Etil Alkohol. 3) Bea Keluar. Realisasi penerimaan Bea Keluar sampai dengan 31 Desember 2011 sebesar Rp28.855,58 Miliar atau (113,43% dari target APBN-P). Jika tidak memasukkan unsur BM-DTP, jumlah penerimaan Bea dan Cukai sampai dengan akhir Desember 2011 sebesar Rp ,53 Miliar atau sebesar 114,44% dibandingkan target APBN-P 2011 (Non BM DTP). Realisasi penerimaan Bea dan Cukai pada tahun 2011 mengalami peningkatan dibandingkan dengan realisasi penerimaan Bea dan Cukai tahun 2010, terdiri dari kenaikan jenis penerimaan Bea Masuk sebesar Rp5.431,06 Miliar (naik 27,48%), Cukai sebesar Rp10.844,17 Miliar (naik 16,39%), dan Bea Keluar sebesar Rp19.957,80 Miliar (naik 224,30%). Perbandingan realisasi penerimaan Bea Masuk, Cukai, dan Bea Keluar tahun 2010 dan 2011 adalah sebagaimana tampak pada tabel KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

43 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Tabel 3.4 Perbandingan Capaian Penerimaan DJBC Non BM-DTP Tahun 2010 dan 2011 (Miliar rupiah) Jenis Growth Penerimaan APBN-P Realiasai % APBN-P Realiasai % Nominal % Bea Masuk , ,43 130, , ,49 119, ,06 27,48 Bea Keluar 5.545, ,78 164, , ,58 113, ,80 224,30 Cukai , ,29 111, , ,46 113, ,17 16,39 Total , ,50 118, , ,53 114, ,03 38,21 Ket: Target dan realisasi BM tidak termasuk BM DTP Secara keseluruhan penerimaan Bea dan Cukai pada tahun 2011 mengalami peningkatan 38,2% dibandingkan periode yang sama tahun Penerimaan Bea Keluar merupakan sektor yang meningkat sangat signifikan yaitu sebesar 224,30%. Di samping melaksanakan pemungutan terhadap pungutan negara di bidang Kepabeanan dan Cukai, Kementerian Keuangan juga melaksanakan pemungutan di bidang perpajakan lainnya yaitu pemungutan terhadap Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang meliputi PPN Impor, PPNBM Impor dan PPh pasal 22 Impor serta pemungutan terhadap PPN Hasil Tembakau. Selama tahun 2011 berhasil dicapai penerimaan dari PDRI dan PPN Hasil Tembakau sebesar Rp ,47 Miliar atau naik 25,26% dibandingkan tahun 2010 (lihat tabel 3.5.). Tabel 3.5 Realisasi Penerimaan PDRI dan PPN HT Tahun 2010 dan 2011 (Miliar rupiah) Growth Jenis Penerimaan Nominal % PPN Impor , , ,73 29,39 PPh BM Impor 4.791, ,48 583,90 12,19 PPh psl 22 Impor , , ,66 19,90 Sub total PDRI , , ,64 PPN Cukai HT , , ,48 11,94 Total Pajak , , ,77 25,26 Baik kenaikan bea cukai maupun penerimaan yang terkait impor disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1) Bea Masuk. Tercapainya target penerimaan bea masuk per 31 Desember 2011 antara lain disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: a) Nilai tukar Rupiah yang mengalami penguatan, mendorong tingkat importasi sehingga meningkatkan dutiable import. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

44 Nilai Kurs Rata-rata sampai dengan Desember 2011 sebesar Rp8.775,21 menguat sebesar Rp324,64 (3,6%) dibanding periode yang sama tahun 2010 dan berada di bawah Kurs asumsi makro APBN-P 2011 sebesar Rp Devisa impor Bayar sampai dengan Desember sebesar US$ 141,04 Miliar, meningkat 27,8% dibandingkan periode yang sama tahun 2010 sebesar US$ 110,4 Miliar. b) Tarif efektif rata-rata yang berada di atas tarif yang diasumsikan. Tarif efektif rata-rata, sampai dengan periode Desember 2011 sebesar 2,04%, naik 3,57% dari periode yang sama tahun 2010 sebesar 1,97% meskipun masih berada di atas tarif yang diasumsikan dalam APBN-P pada tahun 2011 sebesar 1,93%. c) Internal effort dalam peningkatan pelayanan dan pengawasan di bidang kepabeanan seperti intensifikasi pemeriksaan dokumen dan fisik barang, pemberantasan penyelundupan, temuan hasil audit dan lain-lain. 2) Cukai. Dapat terlampauinya penerimaan Cukai sampai dengan 31 Desember 2011, antara lain disebabkan oleh -faktorfaktor sebagai berikut: a) Dampak kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau mulai Januari Sebagai antisipasi kenaikan Tarif Cukai pada Januari 2011 terjadi peningkatan pesanan pita cukai di akhir tahun 2010 yang pelunasannya dilakukan Bulan Januari dan Februari Penurunan penerimaan cukai pada bulan Maret dikarenakan nilai pesanan pita cukai bulan Januari dan Februari yang pembayarannya jatuh tempo bulan maret relatif sedikit/menurun karena dampak kenaikan tarif cukai di Namun demikian untuk bulan April, penerimaan cukai kembali normal. b) Internal effort dalam pemberantasan rokok ilegal, mengintensifkan kegiatan pemantauan kepatuhan pengusaha antara lain dalam hal: produksi, pelekatan, maupun pencatatan, memaksimalkan penagihan cukai, dan optimalisasi sosialisasi di bidang Cukai. Dari sisi produksi Hasil Tembakau s.d. Desember 2011 dihasilkan produksi Hasil Tembakau sebesar 319,6 Miliar batang atau mengalami kenaikan sebesar 7,98% dibandingkan dengan produksi Hasil Tembakau pada periode yang sama tahun 2010 sebanyak 295,9 Miliar batang. Kenaikan produksi Hasil Tembakau tersebut, lebih disebabkan adanya effort internal dalam pemberantasan peredaran rokok ilegal. 3) Bea Keluar. Tercapainya penerimaan Bea Keluar sampai dengan 31 Desember 2011 disebabkan antara lain oleh faktor-faktor sebagai berikut: a) Tingginya Tarif Bea Keluar dan Harga Patokan Ekspor Crude Palm Oil (CPO). Pengenaan Bea Keluar atas ekspor beberapa komoditi seperti CPO, Rotan, Kayu, Kulit, dan Kakao sangat tergantung pada kebijakan pemerintah terkait dengan penetapan Harga Referensi yang menentukan tarif dan Harga Patokan Ekspor. 32 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

45 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Sejak bulan September 2010 harga Referensi CPO meningkat seiring naiknya harga minyak mentah dunia. Memasuki awal tahun 2011, tarif Bea Keluar CPO bulan Januari menjadi 20%, bulan Februari dan Maret kembali meningkat menjadi 25% karena harga referensi yang sudah berada di atas US$ 1.250/ton, sedangkan untuk tarif Bea Keluar Kakao masih 10%. Penerimaan Bea Keluar Bulan Agustus 2011 kembali meningkat dibanding bulan sebelumnya karena volume ekspor CPO yang tinggi dan tarif Bea Keluar Bulan Agustus menjadi 15%. b) Internal effort. Dengan meningkatnya harga minyak dunia, harga CPO dan turunannya yang menjadi komoditi substitusi minyak menjadi naik. Tingginya harga CPO dipasaran internasional mendorong tingginya tingkat eksportasi sehingga menghasilkan Bea Keluar yang cukup tinggi untuk mencegah penyelundupan ke luar negeri, Kementerian Keuangan meningkatkan pengawasan yang lebih efektif terhadap lalu lintas komoditi CPO dan turunannya. Berkaitan hal tersebut telah dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor SE-2/BC/2011 tanggal 21 Maret 2011 tentang optimalisasi pengawasan pengangkutan ekspor dan/atau antar pulau, kelapa sawit, CPO, dan Produk turunannya. Meskipun terjadi peningkatan penerimaan bea masuk dan cukai serta penerimaan dari aktivitas ekspor dan impor, Kementerian Keuangan masih menghadapi beberapa kendala dan risiko fiskal dalam pencapaian target penerimaan tahun Uraian tentang kendala dan risiko fiskal tersebut tampak berikut ini. 1) Sektor Bea Masuk, yaitu antara lain: a) Konsekuensi Kerjasama Perdagangan Internasional melalui skema FTA (IJ-EPA, China, Korea, India, AANZ). b) Fasilitas Pembebasan dan Keringanan Bea Masuk. c) Tarif umum Bea Masuk/Most Favourable Nations (MFN) cenderung menurunkan tarif efektif ratarata Bea Masuk. d) Kebijakan non tarif yang berorientasi pada pengendalian barang impor dan penggunaan produksi dalam negeri. 2) Sektor Cukai, yaitu antara lain: a) Konsisten dengan Road Map Hasil Tembakau. b) Larangan merokok di tempat umum. 3) Sektor Bea Keluar, yaitu antara lain: a) Bea Keluar bukan merupakan instrumen penerimaan negara, karena tujuan penerapan Bea Keluar adalah untuk mengantisipasi lonjakan harga yang tinggi, ketersediaan bahan baku dalam negeri, kelestarian SDA, dan menjaga kestabilan harga komoditas dalam negeri (Pasal 2A UU Kepabeanan). b) Harga internasional CPO cenderung fluktuatif, yang berpengaruh pada penerimaan Bea Keluar. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

46 Strategi yang dilakukan Kementerian Keuangan dalam pencapaian target penerimaan tahun 2011 antara lain adalah sebagai berikut: 1) Optimalisasi di bidang Kepabeanan, yang meliputi hal-hal sebagai berikut: a) Peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi barang impor dan peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik barang. b) Optimalisasi fungsi unit pengawasan melalui peningkatan patroli darat dan laut dan peningkatan pengawasan di daerah perbatasan terutama jalur rawan penyelundupan dan post audit. 2) Optimalisasi di bidang Cukai, yang meliputi hal-hal sebagai berikut: a) Kenaikan tarif cukai Hasil Tembakau. b) Optimalisasi Pengawasan peredaran Barang Kena Cukai (BKC). c) Pembinaan kepatuhan pengguna jasa terhadap ketentuan di bidang cukai. d) Penerapan manajemen risiko dalam pelayanan dan pengawasan di bidang cukai. 3) Peningkatan sektor Pelayanan, yang meliputi hal-hal sebagai berikut: a) Penyempurnaan implementasi Indonesia National Single Windows (INSW) dalam rangka menyongsong ASEAN Single Windows (ASW). b) Pelayanan Kepabeanan 24 Jam sehari 7 hari seminggu di pelabuhan-pelabuhan utama. c) Pengembangan otomatisasi pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai. d) Transformasi Kelembagaan dalam bentuk penetapan Kantor Modern Bea dan Cukai (2009/2010: 28 Kantor, 2011: 11 Kantor, dan 2012 direncanakan 76 kantor). 3. Jumlah penerimaan PNBP. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan, jumlah PNBP secara nasional sebagaimana tercantum dalam APBN atau APBN-P. Sementara itu, pencapaian penerimaan PNBP adalah realisasi penerimaan PNBP sesuai dengan Modul Penerimaan Negara. Jumlah penerimaan negara yang termasuk dalam kelompok PNBP meliputi: 1) penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah. 2) penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam. 3) penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. 4) penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah. 5) penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi. 6) penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah. 7) penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri. Total realisasi PNBP pada tahun 2011 berdasarkan MPN adalah sebesar Rp321,28 Triliun atau 112,09% dari target PNBP dalam APBN-P sebesar Rp286,57 Triliun. Realisasi tersebut antara lain berasal dari: 1) Penerimaan Sumber Daya Alam sebesar Rp214,11 Triliun; 2) Penerimaan PNBP dari Bagian Pemerintah atas Laba BUMN yang sebesar Rp28,18 Triliun; 3) PNBP Lainnya sebesar Rp68,59 Triliun; 4) Pendapatan BLU sebesar Rp10,39 Triliun. 34 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

47 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Visualisasi realisasi PNBP secara nasional dari 4 (empat) komponen tersebut tampak pada gambar 3.1. Gambar 3.1 Realisasi PNBP Nasional 21% 3% 9% 67% SDA Laba BUMN PNBP Lainnya BLU Capaian tahun 2011 mengalami peningkatan dari capaian tahun 2010 sebesar Rp51,91 Triliun atau 108,98% dari target APBN-P 2010 yaitu sebesar Rp247,18 Triliun. Terlampauinya target PNBP yang ditetapkan dalam APBN-P terutama disebabkan oleh realisasi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price - ICP) yang rata-ratanya mencapai U$D 109,94 per barrel. Hal ini berarti realisasi ICP tersebut jauh di atas asumsi ekonomi makro dalam APBN yang ditetapkan sebesar U$D 95 per barrel. Perkembangan realisasi PNBP dari tahun 2010 ke 2011 tersebut tampak pada tabel 3.6. MAP Keterangan Tabel 3.6 Perkembangan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penerimaan Migas Tahun Anggaran 2011 (Miliar rupiah) Realisasi LKPP 2010 APBN 2011 APBN-P 2011 Buku Merah 2) % Realisasi Buku Merah thd APBN % Realisasi Buku Merah thd APBN-P APBN 2012 I. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) , , , ,29 127,97 122, , A Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) , , , ,24 131,21 111, ,35 1 SDA Migas , , , ,21 129,52 111, , a. Minyak Bumi , , , ,12 131,34 114, , b. Gas Alam , , , ,09 124,85 104, ,40 2 SDA Non Migas , , , ,03 149,50 109, , a. Pertambangan Umum , , , ,47 160,65 108, , Iuran Tetap 160,83 168,48 273,16 287,33 170,55 105,19 158, Royalti , , , ,14 160,48 108, , b. Kehutanan 3.009, , , ,02 110,11 110, , Dana Reboisasi 1.764, , , ,35 140,35 140, , Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) 797, , ,05 855,04 62,91 62, ,89 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

48 MAP Keterangan Realisasi LKPP 2010 APBN 2011 APBN-P 2011 Buku Merah 2) % Realisasi Buku Merah thd APBN % Realisasi Buku Merah thd APBN-P APBN 2012 I. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) , , , ,29 127,97 122, ,38 Iuran Hak Pengusaha Hutan 271,54 94,89 94,89 119,08 125,48 125,48 12,55 (HPH) Pendapatan Penggunaan Kawasan Hutan 175,85 175,02 175,02 432,55 247,15 247,15 227, c. Perikanan 92,00 150,00 150,00 183,84 122,56 122,56 150, d. Pertambangan Panas Bumi 343,79 356,11 356,11 562,70 158,01 158,01 233, B Bagian Laba BUMN , , , ,44 102,11 97, , C PNPB Lainnya , , , ,26 151,65 136, , Pendapatan Penjualan dan Sewa , , , ,76 127,65 122, ,25 - Pendapatan Penjualan Hasil Produksi/Sitaan 6.304, , , ,80 149,30 149, ,22 Pendapatan - Penjualan Hasil 5.905, , , ,32 123,72 123, ,73 Tambang - Pendapatan Penjualan Aset 263,88 28,18 28,18 134,29 476,55 476,55 5,19 - Pendapatan Sewa 147,50 84,61 84,61 195,10 230,58 230,58 142,81 - Pendapatan Bersih Hasil Penjualan BBM 401,66 0,02 - Pendapatan Minyak mentah DMO 9.225, , , ,36 112,59 105, ,03 - Pendapatan Lainnya dari Keg. Hulu Migas 156,10 46,19 2 Pendapatan Jasa , , , ,70 123,22 121, ,02 3 Pendapatan Bunga 7.352, , , ,83 233,09 233, ,31 4 Pendapatan Kejaksaan dan Peradilan 166,61 36,54 36,54 240,81 659,08 659,08 98,72 5 Pendapatan Pendidikan 2.983, , , ,05 79,49 78, ,47 6 Pendapatan Gratifikasi dan Uang Sitaan Hasil Korupsi 213,77 47,80 47,80 92,86 194,26 194,26 62,25 7 Pendapatan Iuran dan Denda 704,80 467,53 467, ,34 281,55 281,55 474,35 8 Pendapatan Lain-lain 6.092,15 18, , , ,03 260,52 30,93 Pendapatan dari - Penerimaan Kembali 5.763,38 11, , , ,41 196,60 6,35 TAYL 424 D Pendapatan BLU , , , ,36 69,13 67, ,45 II. Penerimaan Migas (SDA + PPh) , , , ,33 129,25 111, ,49 1 SDA Migas , , , ,21 129,52 111, , PPh Migas , , , ,58 131,58 112, , Pen. Minyak mentah DMO 9.225, , , ,36 112,59 105, , Pendapatan Lainnya dari Keg. Hulu Migas 156,10 0,00 0,00 46,19 0,00 Sumber: Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak 1) Data Realisasi Sementara per 30 Desember 2011 berdasarkan pencatatan Dit. PNBP 2) Data Realisasi Sementara per 30 Desember 2011 berdasarkan Buku Merah 36 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

49 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Pencapaian target PNBP pada tahun 2011 tersebut sekaligus memecahkan rekor pencapaian PNBP yang sebelumnya dicetak pada tahun 2008 yakni Rp320,60 Triliun dengan ICP sebesar USD101,31 per barrel. Perkembangan realisasi PNBP dan ICP dalam lima tahun terakhir tersaji dalam grafik 3.1 berikut. Grafik 3.1 Perkembangan Realisasi PNBP dan ICP Tahun RP Triliyun USD/barrel Di samping oleh variabel ekonomi makro, tercapainya target PNBP juga disebabkan oleh upaya ekstensifikasi dan intensifikasi yang dilakukan. Ekstensifikasi PNBP dilakukan dengan mempercepat penyelesaian Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif PNBP. Hal ini ditempuh dalam rangka menginventarisasi berbagai jenis PNBP baru yang potensial untuk dipungut oleh Kementerian/Lembaga. Adapun intensifikasi dilakukan antara lain dengan melakukan penagihan secara intensif atas piutang PNBP, terutama yang berasal dari piutang migas. Strategi Pengelolaan PNBP dilakukan dengan melakukan revisi atas Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP, melakukan evaluasi ijin penggunaan PNBP secara menyeluruh, dan pembangunan aplikasi on-line billing system dalam rangka menatausahakan penyetoran PNBP. 2. Sasaran Strategis 2: pelaksanaan belanja negara yang optimal (KK-2). Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut: KK 2. Pelaksanaan belanja negara yang optimal Indikator Kinerja Target Realisasi % 1. Persentase penyerapan belanja negara dalam DIPA K/L 90% 87,76% 97,51 2. Persentase ketepatan pola penarikan dana DIPA K/L 50% 89,58% 120,00 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

50 Uraian mengenai kedua IKU tersebut tampak berikut ini. a. Persentase penyerapan belanja negara dalam DIPA K/L (KK-2.1). Realisasi penyerapan anggaran K/L sampai dengan triwulan IV tahun anggaran 2011 adalah sebesar Rp414,35 Triliun (87,76%) dari pagu dalam tahun anggaran 2011 sebesar Rp472,13 Triliun (data per tanggal 20 Januari 2012). Jika di bandingkan dengan rata-rata penyerapan anggaran K/L pada triwulan IV tahun anggaran 2009 dan 2010 yang mencapai 88,91%, maka persentase penyerapan belanja negara dalam DIPA K/L di tahun 2011 tidak mencapai target. Secara lengkap penyerapan dana dalam DIPA K/L dapat ditabulasikan dalam tabel 3.7 pada halaman berikut ini: Tabel 3.7 Realisasi penyerapan belanja negara dalam DIPA Kementerian/Lembaga Tahun 2011 (Triliun) No Periode Pagu (Rp) Realisasi % 1. Triwulan I 433,24 47,29 10,93 2. Triwulan II 434,90 60,28 13,81 3. Triwulan III 438,72 100,25 22,85 4. Triwulan IV 472,13 414,35 87,76 Target tersebut tidak tercapai dikarenakan beberapa hal, antara lain terdapatnya pemblokiran dana belanja modal dan belanja barang dalam DIPA Kementerian/Lembaga serta terlambatnya pengajuan proses penyelesaian blokir dalam DIPA yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga. Hal lain yang mengakibatkan tidak tercapainya target adalah lambatnya penyelesaian APBN-P sehingga Kementerian/Lembaga tidak mempunyai waktu yang cukup untuk melaksanakan kegiatan yang dananya tersedia dalam APBN-P. Selain itu beberapa Kementerian/Lembaga tidak dapat memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam memperoleh persetujuan Menteri Keuangan dan dokumen clearance (persetujuan prinsip) dari Kementerian Pekerjaan Umum sebagai persyaratan pelaksanaan kontrak tahun jamak (multiyears) dan nilainya di atas Rp10 Miliar. Lambatnya pertanggungjawaban satuan kerja terhadap Uang Persediaan dan Tambahan Uang Persediaan pada seluruh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan juga merupakan faktor yang menyebabkan realisasi penyerapan belanja negara dalam DIPA tidak mencapai target yang ditetapkan. Penyebab lain rendahnya penyerapan belanja Kementerian/Lembaga adalah sebagai berikut: 1) Terlambatnya pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pada K/L, yang antara lain disebabkan oleh: a) Kurangnya SDM/panitia pengadaan yang memiliki sertifikat pengadaan barang dan jasa; b) Terlalu berhati-hatinya SDM K/L dalam pengadaan barang dan jasa; c) Keengganan SDM K/L untuk ditunjuk sebagai panitia lelang, mengingat tidak seimbangnya antara risiko dengan imbalan yang diterima. 38 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

51 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup 2) Kurangnya koordinasi antara bagian perencanaan dengan bagian pelaksanaan anggaran pada K/L. 3) Terlambatnya penunjukkan pengelola keuangan (KPA, PPK, Bendahara Pengeluaran) pada K/L. 4) Pengelola keuangan pada K/L kurang memahami sepenuhnya proses pengelolaan keuangan (pencairan APBN). Dalam rangka melakukan perbaikan atas penyerapan belanja negara dalam DIPA K/L, pada tahun 2012 direncanakan akan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Percepatan penyelesaian peraturan mengenai ketentuan revisi DIPA, 2) Percepatan penerbitan peraturan tentang pembayaran dan pencairan dana, 3) Monitoring dan evaluasi penyerapan anggaran, 4) Perumusan langkah-langkah percepatan penyerapan anggaran. Di sisi pelaksanaan anggaran belanja, Kementerian Keuangan telah menyelesaikan pembayaran subsidi energi sesuai dengan kebutuhan. Berbeda dengan jenis belanja lain yang realisasinya tidak boleh melebih pagu, anggaran untuk pembayaran subsidi energi lebih fleksibel. Artinya, sesuai dengan Undang-Undang APBN-P 2011, belanja subsidi BBM, LPG tabung 3 kg, dan subsidi listrik tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan untuk mengantisipasi deviasi realisasi asumsi ekonomi makro dan perubahan parameter subsidi, berdasarkan kemampuan keuangan negara. Selama tahun 2011, nilai subsidi energi yang berhasil dikucurkan adalah Rp255,61 Triliun. Angka tersebut berasal dari pembayaran subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg sebesar Rp165,16 Triliun (127,32% dari pagu APBN-P) dan subsidi listrik Rp90,45 Triliun (137,95% dari pagu APBN-P). b. Persentase ketepatan pola penarikan dana DIPA K/L (KK-2.2). IKU ini diukur secara semesteran, berdasarkan trend pola penarikan dana DIPA K/L dua tahun yang lalu. Target capaian IKU pada tahun 2011 sebesar 50% adalah dikarenakan IKU ini merupakan IKU baru pada tahun Pada triwulan IV tahun 2011, realisasi capaian ketepatan pola penarikan dana DIPA K/L sebesar 96,17% berdasarkan persentase realisasi triwulan IV tahun anggaran 2011 sebesar 85,51% dibanding dengan realisasi triwulan IV periode tahun sebesar 88,91% sehingga pada tahun 2011 realisasi capaian IKU ini adalah 89,58% yang merupakan rata-rata realisasi triwulan II dan triwulan IV. Persentase ketepatan pola penarikan dana DIPA K/L selain merupakan IKU baru di tahun 2011, IKU ini juga menggambarkan tingkat kedisiplinan K/L dalam melakukan penarikan dana yang merupakan salah satu faktor strategis dalam kaitannya dengan fungsi APBN sebagai penggerak pembangunan nasional, sehingga walaupun sudah melampaui target, akan tetapi masih perlu dilakukan peningkatan. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

52 Persentase penyerapan anggaran untuk masing-masing triwulan dalam tabulasi pada halaman 36 juga menunjukkan bahwa pola penarikan dana DIPA umumnya kecil pada triwulan I dan II, dan semakin membesar pada triwulan terakhir tahun anggaran. Untuk meningkatkan penyerapan anggaran yang sekaligus memperbaiki pola penarikan dana DIPA K/L, berbagai upaya yang telah dilakukan untuk mengoptimalkan tingkat penyerapan DIPA K/L adalah sebagai berikut: 1) Melakukan optimalisasi pelayanan dalam proses penelaahan dan penyelesaian DIPA/revisi DIPA secara tepat waktu. 2) Melakukan optimalisasi sosialisasi segala ketentuan dan prosedur pelaksanaan anggaran kepada K/L atau satker. 3) Melakukan optimalisasi monitoring penyerapan anggaran. 4) Menerbitkan ketentuan-ketentuan terkait percepatan penyerapan anggaran. 5) Melakukan penyusunan proyeksi penyerapan anggaran berdasarkan rencana pencairan dana pada Halaman III DIPA (Disbursement). 6) Melakukan pemantauan dan penyesuaian rencana pencairan dana. 7) Evaluasi pola penarikan dana DIPA K/L secara berkala (triwulanan). 3. Sasaran Strategis 3: Pembiayaan dalam jumlah yang cukup efisien dan aman bagi kesinambungan fiskal (KK-3). Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasi 3 (tiga) Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut: KK 3. Pembiayaan dalam jumlah yang cukup efisien dan aman bagi kesinambungan fiskal Indikator Kinerja Target Realisasi % 1. Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang cukup, efisien, dan aman 100,00% 99,17% 118,34 2. Persentase pencapaian target effective cost 100,00% 83,50% 116,50 3. Persentase pemenuhan struktur portofolio utang sesuai dengan strategi 100,00% 96,80% 113,60 Uraian mengenai ketiga IKU tersebut tampak berikut ini. a. Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang cukup, efisien, dan aman (KK-3.1) Pembiayaan APBN harus dapat disediakan dalam jumlah yang cukup, dan tersedia pada saat diperlukan dengan biaya yang efisien dan tingkat risiko terkendali. Pembiayaan meliputi pembiayaan defisit (deficit financing), dan pembayaran kembali utang jatuh tempo (debt refinancing). Sebagaimana tampak pada IKU 1 di atas, target pencapaian indikator persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang cukup, efisien, dan aman pada tahun 2011 dapat tercapai dengan baik. Sumber pembiayaan dari utang meliputi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yaitu Surat Utang Negara (SUN), Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dan pengadaan Pinjaman Luar Negeri (Pinjaman Program, Pinjaman Proyek), serta Pinjaman Dalam Negeri. 40 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

53 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Debt refinancing terutama dilakukan melalui penerbitan utang baru dengan terms and conditions (biaya dan tingkat risiko) yang lebih baik. Penerbitan SUN dan SBSN serta pengadaan pinjaman dilakukan di pasar keuangan domestik maupun internasional dari investor individu dan institusi, kreditor multilateral, kreditor bilateral, dan kreditor komersial. Penerbitan SUN dan SBSN harus didukung terutama oleh upaya pengembangan pasar domestik SBN yang dalam (deep), likuid, dan aktif melalui diversifikasi instrumen SBN, dan penggunaan metode penerbitan/penjualan SBN yang transparan dan efektif (private placement, book building, dan lelang), serta pembangunan infrastruktur pasar sekunder (primary dealership, pengembangan benchmark yield curve, dan mekanisme pembentukan harga yang efisien). Sedangkan pengadaan pinjaman harus didukung oleh penerapan readiness criteria yang ketat dan aktivitas monitoring dan evaluasi pinjaman proyek yang efektif. Pembiayaan APBN melalui utang harus didukung dengan pengelolaan berbagai risiko (risiko mata uang, risiko suku bunga, dan risiko refinancing) dengan upaya mitigasi risiko. Hal tersebut bisa dilakukan dengan misalnya, debt securities buyback, loan prepayment, debt-switch/reprofiling, debt swap, restrukturisasi pinjaman, dan hedging. Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang cukup, efisien, dan aman yang menjadi IKU unit pengelola utang dihitung dari realisasi penerbitan SBN dan pengadaan pinjaman program. Pemenuhan pembiayaan dari pinjaman yang digunakan sebagai komponen IKU hanya yang berasal dari pinjaman program dan tidak termasuk pinjaman proyek karena sifat pinjaman program yang relatif sama dengan SBN dalam hal pola penarikannya. Pinjaman proyek tidak dimasukkan ke dalam komponen IKU karena penyerapan pinjaman proyek sangat dipengaruhi Kementerian/Lembaga sebagai Executing Agency. Dalam memenuhi target pembiayaan melalui utang, realisasi penerbitan SBN/pengadaan pinjaman program dilakukan dengan menggunakan konsep gross agar lebih mencerminkan upaya/kinerja Pemerintah dalam memenuhi total kebutuhan pembiayaan APBN yang berasal dari utang. Terdapat perubahan target pembiayaan melalui utang dari semula Rp220,46 Triliun (dalam strategi pembiayaan tahunan melalui utang tahun 2011) menjadi Rp219,96 Triliun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1) Perubahan strategi pembiayaan tahunan melalui utang pada bulan November 2011 yang disebabkan terdapat perubahan pada APBN-P berupa penambahan target utang sebesar Rp9,92 Triliun (bruto). 2) Pengurangan target utang sebesar Rp10,42 Triliun dengan rincian sebagai berikut: a) sesuai arahan Presiden untuk tidak meneruskan/membatalkan pinjaman program Climate Change Program Loan sebesar Rp3,87 Triliun equivalen USD400 juta; b) Penerbitan SBN sebesar Rp6,55 Triliun pada bulan Desember 2011 tidak dilaksanakan (penghentian penerbitan SBN), karena proyeksi saldo kas Pemerintah s.d. akhir tahun 2011 dan awal Januari 2012 masih cukup besar untuk membiayai belanja Pemerintah. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

54 IKU ini menggunakan polarisasi stabilize, dimana capaian yang diharapkan adalah sesuai atau mendekati target yang ditetapkan. Pada tahun 2011, persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang cukup, efisien, dan aman ditargetkan sebesar 100% (Rp219,96 Triliun), dengan realisasi sebesar 99,17% (Rp218,13 Triliun), sehingga terdapat kekurangan pembiayaan sebesar 0,83% (Rp1,83 Triliun), dengan rincian sebagai berikut: 1) kekurangan realisasi penerbitan SBN sebesar Rp0,03 Triliun. 2) kekurangan penarikan pinjaman program Bantuan Operasional Sekolah-Knowledge Improvement Transparency and Accountability (BOS-KITA) Refinancing 2 dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Refinancing-World Bank sebesar Rp1,80 Triliun equivalen USD230,74 juta, dengan rincian: a) sebesar USD218,5 juta, karena Withdrawal Application yang telah diajukan masih diproses oleh lender, dan b) sebesar USD12,24 juta karena Executing Agency belum mengajukan Withdrawal Application kepada lender untuk penarikan pinjaman. Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang cukup, efisien, dan aman ditargetkan sebesar 100% (Rp219,96 Triliun) dengan realisasi sebesar 99,17% (Rp218,13 Triliun), yang terdiri dari: 1) Pinjaman Program. Dalam rangka memenuhi pembiayaan APBN, pada tahun 2011 dilakukan perjanjian Pinjaman Program dengan pemberi pinjaman multilateral dan bilateral yaitu World Bank, Asian Development Bank dan JICA. Selama tahun 2011 telah ditandatangani tiga perjanjian Pinjaman Program (LGFGR, PNPM Rural IV, dan DPL 8) dengan target penarikan (APBN-P 2011) sebesar USD2.141,9 juta (lihat tabel 3.8). Realisasi penarikan Pinjaman Program tahun 2011 adalah sebesar USD1.511,16 juta (sekitar Rp13.532,47 Miliar) atau 88,28% dari target sebesar USD1.741,9 (setelah disesuaikan dengan adanya pembatalan pinjaman program CCPL sesuai dengan instruksi Presiden). Target Pinjaman Program yang tidak direalisasikan adalah sebesar USD230,74 juta antara lain disebabkan karena Withdrawal Application (WA) atas pinjaman dengan refinancing modality (PNPM dan BOSKITA) yang masih diproses Lender dan belum di-reimburse sampai dengan akhir tahun Selain itu terdapat sejumlah pinjaman program dengan refinancing modality yang belum diajukan WA-nya oleh Executing Agency (PNPM Urban dan Rural). 42 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

55 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Tabel 3.8 Sumber, Target, dan Realisasi Pinjaman Program Tahun 2011 (dalam USD) 2011 No. Lender Nama Program Realisasi s.d. 30 APBN-P (USD) Des WB 1. Development Policy Loan (DPL) 8 200,000, ,000, Local Government Decentralization Project (LGDP) - DAK Reimbursement 14,200,000 15,105, BOS-KITA Refinancing 2 328,700, ,208, PNPM Refinancing 499,000, ,613, Climate Change 2 200,000, Sub Total WB 1,241,900,000 1,010,927,276 2 ADB 1. Development Policy Support Program (DPSP) 6 200,000, ,000, Low Carbon and Resilient Development Program (LCRDP) 100,000, Local Government Finance Reform dan Governance Reform (LGFGR) 2 200,000, ,000, Sub Total ADB 500,000, ,000,000 3 JICA 1. Infrastructure Reform Sector Development Program 3 100,000, ,229, Climate Change Program Loan III 200,000, Sub Total JICA 300,000, ,229,661 4 France Climate Change Program Loan 3 100,000, Sub Total France 100,000,000 0 TOTAL 2,141,900,000 1,511,156, TOTAL setelah disesuaikan dengan Cancellation 1,741,900,000 1,511,156, % 2) Surat Berharga Negara (SBN). Dalam APBN Tahun 2011 telah ditetapkan bahwa target pembiayaan dari Surat Berharga Negara (SBN) Neto yang terdiri atas Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) adalah sebesar Rp126,6 Triliun (lihat tabel 3.9) dengan realisasi sebesar Rp119,86 Triliun (memperhitungkan accrued interest). Tabel 3.9 Target dan Realisasi SBN Tahun 2011 (dalam jutaan rupiah) Target APBN Realisasi % realisasi (Target APBN) SBN jatuh tempo ,00 SBN Netto (APBN) ,64 Rencana Buyback ,00 Kebutuhan Penerbitan ,88 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

56 Target APBN Realisasi % realisasi (Target APBN) SUN ,17 SUN Domestik ON SPN ORI SUN Valas SBSN ,71% SBSN Domestik IFR SBSN Ritel SDHI SPN-S SBSN Valas Uraian mengenai penerbitan SUN dan SBSN tampak berikut ini. a) Penerbitan SUN. Pada awal tahun 2011 ditetapkan target penerbitan SUN bruto sebesar Rp173,154 Triliun. Seiring dengan perkembangan realisasi APBN, maka target penerbitan SUN bruto diubah sesuai dengan revisi strategi pembiayaan tahunan menjadi Rp178,1 Triliun (Tabel 3.9). Penerbitan SBN bulan Desember 2011 dihentikan mengingat saldo kas Pemerintah dalam kondisi aman untuk pembiayaan APBN pada awal tahun 2012, sehingga target penerbitan SUN bruto menjadi Rp171,56 Triliun. Realisasi penerbitan SUN bruto pada tahun 2011 adalah sebesar Rp171,29 Triliun di bawah target. Kekurangan tersebut disebabkan antara lain karena adanya kehilangan potensi upsize lelang SUN yang diberhentikan. Selain itu dalam Undang-Undang tentang SUN disebutkan bahwa target penerbitan SUN Neto merupakan jumlah maksimal, yang realisasinya bisa saja lebih kecil sesuai kebutuhan pembiayaan APBN dan kondisi pasar keuangan. Pencapaian indikator Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui SUN yang cukup, efisien dan aman didukung dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) Penerbitan SUN dalam mata uang rupiah. Tahun 2011, target penerbitan SUN dalam mata uang rupiah adalah sebesar Rp148,05 Triliun (belum memperhitungkan rencana penerbitan Surat Perbendaharaan Negara-SPN 3 bulan) sedangkan realisasinya sampai dengan 31 Desember 2011 adalah sebesar Rp149,85 Triliun dengan jumlah penawaran yang masuk sebesar Rp405,7 Triliun. Jumlah penerbitan tersebut terdiri dari: 44 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

57 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup (a) (b) (c) Penerbitan Obligasi Negara (ON) dalam denominasi Rupiah (tidak termasuk ORI) sebesar Rp393,4 Triliun. Penerbitan Obligasi Negara secara reguler dilakukan dengan cara lelang di pasar perdana. Pada setiap penerbitan, jumlah penawaran yang masuk lebih besar dibandingkan dengan penawaran yang dimenangkan dengan bid to cover ratio berkisar dari 1,02 kali sampai 56,63 kali. Hal ini mencerminkan permintaan pasar atas SUN yang cukup baik meskipun fluktuatif, dan dalam setiap penerbitan SUN, Pemerintah selalu memperhatikan cost and risk of borrowing (tidak serta merta memenangkan seluruh bid yang masuk). Pada lelang SUN di pasar perdana tanggal 9 Agustus 2011, Pemerintah tidak memenangkan semua penawaran yang masuk, dikarenakan beban yang harus ditanggung Pemerintah terlalu tinggi. Selama tahun 2011, Pemerintah menerbitkan Obligasi Negara (ON) dengan jenis Fixed Rate yang mempunyai struktur jatuh tempo berjangka pendek, menengah dan panjang, yaitu antara tahun 2016 dan Penerbitan ON dalam denominasi Rupiah mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain: (i) struktur jatuh tempo utang yang sudah ada, (ii) pengembangan pasar sekunder SUN, (iii) usulan seri SUN yang akan menjadi seri benchmark pada tahun 2012, dan (iv) analisis cost and risk. Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) selama tahun 2011 adalah sebesar Rp40 Triliun. Selama tahun 2011, Pemerintah melakukan lelang penerbitan SPN bersamaan dengan penerbitan ON secara reguler sebanyak 22 kali dari target sebanyak 23 frekuensi dengan menerbitkan seri-seri baru sekaligus juga reopening atas seri SPN tersebut. Pada tahun 2011 ini Pemerintah untuk pertama kalinya melakukan lelang penerbitan SPN tenor 3 bulan. Penjualan Obligasi Negara Ritel (ORI) tahun 2011 yaitu seri ORI008 sebesar Rp11 Triliun. Penjualan ORI dalam tahun 2011 ditargetkan sebanyak 1 frekuensi dengan target awal nominal penerbitan sebesar Rp7 Triliun. Penjualan ORI merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk memperluas basis investor SUN, karena penjualan ORI ditujukan untuk investor individu/perorangan dan berstatus sebagai Warga Negara Indonesia. ORI008 diterbitkan pada tanggal 26 Oktober 2011 dengan nilai nominal Rp11 Triliun dan kupon sebesar 7,3% per tahun yang dibayar secara bulanan. ORI008 memiliki tenor selama 3 tahun dengan jatuh tempo pada tanggal 15 Oktober Penerbitan ORI ini dilaksanakan dengan cara bookbuilding melalui Agen Penjual. Dalam rangka mendukung program pelestarian lingkungan hidup, pada penerbitan ORI008 mengangkat tema ORI008 Investasi Hijau Untuk Negeri, dimana beberapa Agen Penjual akan mendonasikan sebagian keuntungan penjualan ORI008 untuk mendukung program pelestarian lingkungan hidup. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

58 (2) Penerbitan Surat Utang Negara dalam Valuta Asing di Pasar Perdana Internasional (Global Bonds). Penerbitan Global Bonds dalam tahun 2011 ditargetkan sebanyak 2 (dua) frekuensi dengan realisasi penerbitan sampai dengan 31 Desember 2011 sebanyak 1 (satu) frekuensi. (a) Dokumentasi penerbitan tidak banyak berbeda dengan program stand alone yang selama ini telah digunakan Pemerintah. (b) Waktu pelaksanaan transaksi lebih singkat, sehingga Pemerintah dapat menerbitkan SUN valas secara cepat dengan memanfaatkan peluang yang ada. (c) Pemerintah mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam penerbitan SUN valas, antara lain dalam penentuan waktu pelaksanaan transaksi serta dalam merespon minat beli investor individual (private placement). (d) Biaya dan dokumentasi penerbitan yang cenderung lebih ringan dibandingkan dengan format SEC Shelf Registration. (e) Distribusi penjualan yang mencakup seluruh dunia (termasuk Qualified Institutional Buyers [QIBs] di Amerika Serikat). (f) Dapat digunakan untuk penerbitan dengan metode private placement dengan jumlah investor terbatas. Penerbitan SUN dalam denominasi US Dollar melalui program GMTN terlaksana pada bulan April 2011 dan setelmen pada bulan Mei 2011, dengan nominal penerbitan sebesar USD 2,5 Miliar. Sebagaimana penerbitan sebelumnya, penerbitan pada tahun 2011 ini juga mendapatkan sambutan yang baik di pasar internasional. Total volume pemesanan yang masuk mencapai USD6,9 Miliar, dimana ± USD3,3 Miliar dari wilayah Amerika Serikat, ± USD1,5 Miliar dari wilayah Eropa dan ± USD2 Miliar dari wilayah Asia. Hasil penerbitan Global Bonds ini menunjukkan kepercayaan yang tinggi dari para investor internasional terhadap manajemen fiskal dan prospek ekonomi Indonesia jangka panjang. Pada penerbitan SUN dalam denominasi US Dollar tahun 2011, Pemerintah terlebih dahulu melakukan upsizing GMTN Program dari yang semula USD4 Miliar menjadi USD9 Miliar. Upsizing dilakukan mengingat terhadap jumlah program awal sebesar USD4 Miliar, Pemerintah telah menerbitkan SUN valas dengan program GMTN sebesar USD3 Miliar pada tahun 2009, sehingga tersisa USD1 Miliar. Untuk mengakomodasi penerbitan SUN valas tahun 2010 dan tahun-tahun selanjutnya, perlu dilakukan upsizing GMTN Program, dalam hal ini upsizing dilakukan hingga keseluruhan program menjadi sebesar USD9 Miliar (naik USD5 Miliar). Pada tahun 2011, Pemerintah membatalkan penerbitan SUN dalam denominasi Yen atau lebih dikenal dengan nama Samurai Bonds/Shibosai. Hal ini dikarenakan kurang kondusifnya Jepang setelah bencana gempa bumi dan tsunami. b) Penerbitan SBSN. 46 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

59 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Target penerbitan SBSN sesuai dengan strategi utang tahunan tahun 2011 sebesar Rp33,071 Triliun, sedangkan realisasi penerbitan SBSN sampai dengan akhir tahun 2011 sebesar Rp33,306 Triliun atau mencapai 100,71%. Kelebihan realisasi penerbitan SBSN sebesar Rp235 Miliar disebabkan oleh perbedaan kurs pada saat penerbitan SBSN dalam valuta asing. Adapun rincian realisasi penerbitan SBSN tersebut adalah sebagai berikut: (1) Penerbitan SBSN dalam mata uang rupiah sebesar Rp24,271 Triliun yang terdiri atas: (a) Penerbitan SBSN melalui metode lelang di pasar perdana dalam negeri. Realisasi penerbitan SBSN seri IFR dengan metode lelang di pasar perdana dalam negeri yang dilakukan secara reguler selama tahun 2011 sebesar Rp4,61 Triliun dengan frekuensi pelaksanaan lelang sebanyak 8 kali. Jumlah penawaran pembelian yang disampaikan oleh investor melalui lelang SBSN tahun 2011 cukup besar, yaitu mencapai Rp33,706 Triliun dengan rata-rata mencapai 480,31% di atas target indikatif setiap penerbitan. Jumlah penawaran yang masuk lebih besar dibandingkan dengan penawaran yang dimenangkan dengan bid to cover ratio berkisar antara 1,25 kali sampai 15,82 kali, di samping terdapat 4 (empat) seri yang tidak diambil oleh Pemerintah. Hal ini mencerminkan permintaan pasar atas SBSN yang cukup baik meskipun fluktuatif, dan dalam setiap penerbitan SBSN, Pemerintah selalu memperhatikan cost and risk of borrowing, sehingga tidak selalu memenangkan seluruh bid yang masuk. Sebagian besar penawaran pembelian disampaikan oleh Bank dan Dana Pensiun, masing-masing mencapai 58,62% dan 15,88%. Sementara itu, penawaran pembelian oleh investor syariah masih relatif terbatas, yaitu hanya mencapai 2,88%. Meskipun belum merefleksikan harga wajar, penawaran yield yang disampaikan oleh investor semakin rasional, cenderung menurun mendekati owner estimate yang ditetapkan Pemerintah, yaitu dari rata-rata 49,91 basis points di atas yield SUN seri benchmark pada tahun 2010, menjadi rata-rata 45,71 basis points di atas yield SUN seri benchmark pada tahun (b) Penerbitan SBSN melalui metode Private Placement. Penerbitan SBSN melalui metode Private Placement selama tahun 2011 dilakukan dengan seri Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) yang merupakan bentuk kerjasama antara Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan Kementerian Agama Republik Indonesia. Realisasi penerbitan SBSN seri SDHI selama tahun 2011 sebesar Rp11 Triliun dengan frekuensi penerbitan sebanyak 3 kali. Penerbitan SBSN seri SDHI tersebut menggunakan akad Ijarah Al-Khadamat, dengan tingkat imbal hasil tetap yang mempunyai struktur jatuh tempo berjangka pendek dan jangka menengah. Penerbitan SDHI dimaksud merupakan tindak lanjut dari nota kesepahaman yang dilakukan pada tahun 2009 antara Menteri Keuangan dengan Menteri Agama mengenai sinergi kebijakan pengelolaan SBSN oleh Kementerian Keuangan dan pengelolaan dana haji dan dana abadi umat oleh Kementerian Agama. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

60 Prinsip-prinsip dalam penempatan dana haji dan dana abadi umat dalam SBSN adalah sebagai berikut: (i) Semaksimal mungkin memberikan manfaat bagi pengelolaan Dana Haji dan Dana Abadi Umat (DAU), melalui penyediaan instrumen investasi yang aman dengan imbal-hasil yang kompetitif serta proses penempatan yang hati-hati, transparan, dan akuntabel. (ii) Semaksimal mungkin memberikan manfaat bagi pembiayaan APBN, melalui penyediaan sumber pembiayaan pembangunan yang aman dan berkelanjutan. Sampai dengan saat ini, total penerbitan SDHI mencapai Rp26,469 Triliun. Namun sudah terbit 3 (tiga) seri SDHI yang jatuh tempo pada tahun 2010 dengan nilai nominal mencapai Rp2,686 Triliun. Dengan demikian total outstanding SDHI per akhir tahun 2011 mencapai Rp23,783 Triliun (lihat grafik 3.2). Grafik 3.2 Perkembangan Penerbitan SDHI Tahun Jumlah Nominal Jumlah Nominal Jumlah Seri Total Penerbitan Total Outsanding KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

61 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup (c) Penerbitan SBSN/Sukuk Negara Ritel melalui metode bookbuilding di pasar perdana dalam negeri. Sukuk Negara Ritel ini adalah salah satu jenis Sukuk Negara yang didesain khusus untuk investor individu Warga Negara Indonesia di pasar perdana. Sampai dengan tahun 2011, Pemerintah telah melakukan penerbitan Sukuk Negara Ritel sebanyak tiga kali, yaitu Sukuk Negara Ritel seri SR-001 dan SR-002 yang diterbitkan masing-masing pada tahun 2009 dan 2010, serta SR-003 pada tahun Realisasi penjualan Sukuk Negara Ritel seri SR003 di pasar perdana dalam negeri melalui metode bookbuilding pada tahun 2011 sebesar Rp7,341 Triliun. Adapun manfaat dari penerbitan Sukuk Ritel ini, selain untuk pemenuhan kebutuhan pembiayaan APBN, juga antara lain sebagai berikut: (i) Diversifikasi sumber pembiayaan APBN. (ii) Memperluas basis investor Surat Berharga Negara di pasar domestik. (iii) Memberikan alternatif instrumen ritel yang berbasis syariah bagi investor. (iv) Mendukung pengembangan pasar keuangan syariah. (v) Memberikan kesempatan kepada investor kecil untuk berinvestasi dalam instrumen pasar modal yang amanah dan menguntungkan. (vi) Memperkuat pasar modal Indonesia dengan mendorong transformasi dari savings-oriented society menjadi investment-oriented society. Dari pengalaman penerbitan dan penjualan Sukuk Negara Ritel tersebut, terlihat bahwa Sukuk Negara Ritel sangat diminati oleh masyarakat khususnya investor individu yang tercermin dari: (i) Permintaan tambahan kuota penjualan hampir dari seluruh Agen Penjual pada setiap kali penerbitan Sukuk Negara Ritel, sehingga terdapat pemesanan pembelian dari beberapa Agen Penjual yang tidak disetujui oleh Pemerintah karena jumlah pemesanan telah melampaui kuota penjualan. (ii) Total pemesanan pembelian pada setiap kali penerbitan Sukuk Negara Ritel jauh lebih tinggi dibandingkan indikasi awal dari seluruh Agen Penjual, masingmasing mencapai SR-001 = 213,9%, SR-002 = 184,69% dan SR-003 = 103,84%. (iii) Besarnya jumlah investor yang menyampaikan pemesanan pembelian Sukuk Ritel masing-masing investor pada penerbitan SR-001 meningkat menjadi investor pada penerbitan SR-002, serta investor pada SR-003. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

62 Tabel 3.10 dan 3.11 menggambarkan perbandingan persentase volume pembelian dan persentase jumlah investor untuk sukuk ritelseri SR-001, SR-002, dan SR-003. Terkait penerbitan Sukuk Ritel, Pemerintah menetapkan kebijakan penerbitan hanya 1 kali untuk setiap tahun, yaitu mempertimbangkan daya serap investor ritel yang masih terbatas dan untuk memberikan ruang waktu bagi penerbitan intrumen ritel lainnya (ORI). Tabel 3.10 Perbandingan Distribusi Investor Sukuk Ritel Berdasarkan Wilayah Volume Pembelian (%) Jumlah Investor (%) No Deskripsi SR-001 SR-002 sr-003 SR-001 SR-002 SR DKI 53,41 52,32 55,4 41,53 41,58 41,17 2 Indonesia Barat Selain DKI 42,84 44,19 40,33 51,65 52,41 52,32 3 Indonesia Tengah 2,55 2,43 2,97 4,41 4,40 4,62 4 Indonesia Timur 1,11 1,06 1,30 2,41 1,61 1,89 Total Tabel 3.11 Perbandingan Distribusi Investor Sukuk Ritel Berdasarkan Profesi No Deskripsi Volume Pembelian (%) Jumlah Investor (%) SR-001 SR-002 SR-003 SR-001 SR-002 SR PNS 24,61 11,81 12,77 11,33 22,06 22,94 2 Pegawai Swasta 21,54 34,07 31,05 39,02 23,79 23,74 3 Ibu Rumah Tangga 17,01 15,46 15,24 10,91 19,89 18,38 4 Wiraswasta 13,88 23,69 22,91 16,93 19,00 19,09 5 TNI/Polri 0,42 0,22 0,33 0,28 0,46 0,41 6 Lainnya 22,54 14,76 17,70 21,53 14,8 15,44 Total (d) Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPN-S) melalui metode lelang. Pada tahun 2011 dilakukan penerbitan instrumen SBSN baru berupa Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPN-S) tenor 6 (enam) bulan yang dilaksanakan dengan metode lelang. Instrumen SBSN baru tersebut selain berfungsi sebagai instrumen dalam rangka pengelolaan cash mismatch, juga dapat digunakan untuk mendukung pelaksanaan operasi moneter oleh Bank Indonesia (market-based monetary policy). 50 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

63 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Selain itu, penerbitan SPN-S akan mendorong pengembangan pasar keuangan, khususnya pasar uang syariah, optimalisasi operasional pengelolaan kas Negara dan penyediaan instrumen untuk mendukung pengelolaan likuiditas bagi perbankan syariah. Realisasi penerbitan SPN-S melalui metode lelang selama tahun 2011 sebesar Rp1,32 Triliun. (2) Penerbitan SBSN dalam valuta asing di pasar internasional melalui metode bookbuilding 2. Pada tahun 2011 dilakukan penerbitan SBSN dalam valuta asing sebesar USD1 Miliar atau ekuivalen Rp9,035 Triliun. Penerbitan SBSN dalam valuta asing seri SNI melalui metode bookbuilding di pasar perdana internasional yang dilakukan pada tahun 2011, dengan pertimbangan sebagai berikut: (a) Menciptakan benchmark di pasar keuangan syariah internasional. (b) Perluasan basis investor, khususnya Islamic Investors dari pasar internasional. (c) Menjaga kontinuitas eksistensi dan kehadiran Indonesia di pasar keuangan syariah internasional. (d) Menghindari terjadinya crowding out di pasar dalam negeri. (e) Mengurangi tekanan terhadap kondisi pasar Surat Berharga Negara (SBN) di dalam negeri. (f) Memanfaatkan momentum potensi permintaan investor internasional yang cukup besar terhadap Sukuk Global Indonesia, mengingat pada tahun 2010 Indonesia tidak melakukan penerbitan Sukuk Global. Meskipun IKU ini berhasil dicapai, ada beberapa tantangan dalam pemenuhan pembiayaan melalui utang yaitu sebagai berikut: 1) Pembiayaan melalui utang khususnya SBN perlu memperhatikan keseimbangan antara realisasi penyerapan/belanja pada APBN dan kondisi saldo kas pemerintah dengan keteraturan penerbitan SBN di pasar keuangan. 2) Proyeksi realisasi defisit APBN tidak dapat diketahui secara akurat lebih awal sehingga berdampak pada operasi penerbitan dan buyback SBN. 3) Potensi daya serap pasar SBN domestik relatif masih terbatas, yang disebabkan antara lain tingginya tingkat imbal hasil/return yang diharapkan oleh institusi keuangan domestik, termasuk masih rendahnya partisipasi investor terhadap instrumen yang berbasis syariah. 4) Risiko nilai tukar cukup tinggi mengingat penerbitan SBN valas masih diperlukan akibat pasar SBN domestik yang masih terbatas, serta untuk menghindari crowding out effect. 5) Tingginya kepemilikan asing pada portofolio SBN mengakibatkan terjadinya peningkatan volatilitas pasar SBN domestik sehingga menghambat upaya Pemerintah untuk menyediakan pembiayaan APBN melalui penerbitan SBN dengan tingkat biaya yang wajar. 6) Terbatasnya dana yang tersedia untuk melakukan upaya stabilisasi pasar SBN saat terjadi krisis. 7) Terbatasnya sumber pembiayaan dalam bentuk pinjaman lunak seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian Indonesia yang ditunjukkan oleh meningkatnya GDP per Kapita. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

64 8) Krisis keuangan yang dialami negara-negara zona eropa turut memberikan ketidakpastian antar pelaku pasar. Situasi yang serba sulit akibat beban utang yang tinggi di negara-negara zona eropa tersebut berpotensi mempengaruhi arus dana masuk dan keluar dari dan ke Indonesia yang berdampak pada pasar keuangan di Indonesia. 9) Keterbatasan jumlah dan jenis underlying assets yang siap digunakan untuk penerbitan SBSN. 10) Belum tersedianya Islamic-benchmark yang reliable di pasar sehingga mendorong investor dan pelaku pasar menerapkan tambahan premium pada instrumen syariah dibanding instrumen konvensional. Langkah-langkah yang diambil dalam rangka menghadapi tantangan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan koordinasi antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. 2) Meningkatkan akurasi proyeksi kas pemerintah oleh tim Cash Planning Information Network (CPIN). 3) Bekerjasama dengan lembaga terkait (antara lain SRO, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan) dalam mengupayakan pengembangan pasar SBN domestik antara lain melalui deregulasi aturan terkait investasi oleh lembaga keuangan domestik, memperluas basis investor SBN domestik, dan mengembangkan instrumen SBN. 4) Mengembangkan strategi pengelolaan risiko nilai tukar melalui instrumen derivatif (hedging) dan penerapan konsep asset liability management antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (natural hedging). 5) Meningkatkan koordinasi dengan lembaga keuangan baik domestik maupun internasional dalam rangka mendapatkan sumber pembiayaan utang alternatif. 6) Mempersiapkan infrastruktur dalam rangka menjaga stabilitas pasar SBN dari potensi sudden reversal, melalui penyiapan bond stabilization fund dan mengefektifkan pelaksanaan transaksi langsung SBN dalam kerangka CMP (Crisis Management Protocol). 7) Mengoptimalkan penggunaan pinjaman secara efektif yang didukung pemanfaatan pemberi pinjaman sesuai dengan expertise dan spesialisasinya. Dengan fokus kegiatan yang sesuai dengan spesialisasinya, pemberi pinjaman menurunkan kebutuhan untuk tambahan biaya pendampingan dan supervisi kegiatan yang pada akhirnya akan ditransmisikan ke biaya pinjaman. Selain itu, pemberi pinjaman juga dapat dipastikan telah memiliki pengalaman untuk mengerjakan sebuah kegiatan tertentu sehingga kemampuan menganalisa pada saat perencanaan lebih terjamin kualitasnya dan kemungkinan gagal dalam pelaksanaan relatif kecil. Dua hal ini akan mengurangi beban biaya baik bagi pemberi pinjaman (overhead cost) maupun bagi Pemerintah (cost of capital). 8) Mengingat pasar SBSN domestik baru mulai terbentuk dan masih dalam tahap pengembangan, maka secara konsisten akan terus melakukan berbagai aktivitas meliputi, Penyempurnaan mekanisme penerbitan SBSN, Penguatan infrastruktur dalam rangka peningkatan kinerja pasar sekunder SBSN dan transparansi harga SBSN. 9) Menjamin ketersediaan Underlying Asset sesuai dengan jumlah kebutuhan penerbitan, dengan terus melakukan kajian diversifikasi Aset SBSN dan mengembangkan instrumen SBSN baru menggunakan underlying selain Barang Milik Negara seperti proyek-proyek pada APBN. 52 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

65 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup b. Persentase pencapaian target effective cost (KK-3.2). Effective cost merefleksikan biaya riil yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah dalam menerbitkan/ menarik utang. IKU ini bertujuan supaya Pemerintah dalam menerbitkan/menarik utang mengeluarkan biaya utang yang wajar sesuai target yang ditetapkan. Pencapaian target effective cost berarti kombinasi tingkat biaya utang yang diterbitkan dalam satu tahun sama dengan atau di bawah target effective cost yang ditetapkan. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang lebih rendah dari target (minimize), dimana capaian yang makin rendah dari target adalah capaian yang diharapkan. Pada tahun 2011, pencapaian target effective cost ditargetkan sebesar 100% dengan realisasi sebesar 83,50%. Adapun rincian pencapaian effective cost berdasarkan mata uang sampai dengan kuartal lv tahun 2011 tampak pada tabel 3.12 sebagai berikut: Tabel 3.12 Rincian Pencapaian Effective Cost Berdasarkan Mata Uang Tahun 2011 Jenis mata uang Target Realisasi % Rupiah (IDR) 9,27 7,48 80,68 Dolar Amerika (USD) 6,13 4,82 79,18 Yen Jepang (JPY) 3,21 2,91 90,65 Keberhasilan penurunan biaya utang (target effective cost) disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1) Pemilihan instrumen pembiayaan melalui SBN yang tepat dengan adanya kombinasi penerbitan SPN yang memiliki biaya yang rendah serta kombinasi pengelolaan risiko yang optimal melalui penerbitan SBN jangka panjang. 2) Strategi komunikasi yang efektif dengan pelaku pasar saat lelang SBN dan kreditor dalam melakukan negosiasi sehingga mendapatkan biaya pinjaman yang lebih rendah. 3) Kondisi fundamental Ekonomi Indonesia yang baik, yang ditunjukkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan mencapai 6,5%, tingkat inflasi yang berada pada tingkat 3,79% (yang kedua terendah dalam dekade terakhir), serta penurunan BI rate sebesar 75 basis points menjadi 6% dalam 3 bulan terakhir di tahun Kondisi tersebut mendorong turunnya tingkat bunga dan menambah kepercayaan dari investor domestik dan asing. 4) Likuiditas Pasar SBN yang meningkat di Pasar Perdana (lelang) maupun Pasar Sekunder mendorong turunnya yield penerbitan SBN. Meningkatnya likuiditas disebabkan semakin tingginya appetite investor asing masuk ke pasar SBN Domestik dan pertumbuhan investor domestik yang semakin tinggi. Tingginya capital inflow mendorong turunnya yield SBN domestik dan kepemilikan asing pun meningkat dari Rp196,76T (30,53%) di awal Desember 2011 menjadi Rp222,86T (30,8%) pada akhir Desember LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

66 5) Penerbitan SBN Valas dengan yield yang lebih rendah dari sebelumnya yang mencerminkan baiknya persepsi investor internasional terhadap risiko kredit indonesia di tengah adanya krisis utang di zona Euro. Membaiknya kondisi risiko kredit Indonesia dibuktikan dengan naiknya credit rating Indonesia menjadi Investment Grade (BBB- dari Fitch) dan outlook positif dari lembaga rating lainnya. Meskipun IKU ini berhasil dicapai, ada dua tantangan yang dihadapi dalam mencapai target effective cost tersebut, yaitu: 1) Kondisi pasar keuangan yang fluktuatif yang berpotensi dapat meningkatkan yield SBN, sehingga biaya utang yang ditanggung pemerintah bisa meningkat. 2) Tingginya biaya utang melalui pinjaman komersial yang disebabkan adanya tambahan biayabiaya terkait penarikan utang. Upaya yang dilakukan dalam menghadapi tantangan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Memperhatikan kondisi pasar keuangan untuk menentukan waktu penerbitan SBN yang optimal sehingga dapat menurunkan yield penerbitan SBN. 2) Meningkatkan usaha negosiasi terms and conditions pinjaman untuk menekan/mengurangi biayabiaya terkait penarikan pinjaman komersial. Dengan demikian, target pencapaian indikator persentase pencapaian target effective cost pada tahun 2011 dapat tercapai dengan baik. c. Persentase pemenuhan struktur portofolio utang sesuai dengan strategi (KK-3.3). Pencapaian IKU ini merefleksikan komposisi instrumen utang yang memiliki tingkat risiko yang terkendali dan diarahkan kepada ketepatan atas target (stabilize), dimana capaian yang makin mendekati target adalah capaian yang diharapkan. Pada tahun 2011, persentase pemenuhan struktur portofolio utang sesuai dengan strategi pada tahun 2011 direncanakan sebesar 100%, dengan realisasi sebesar 96,80%. Realisasi tersebut disebabkan karena pengelolaan portofolio utang telah mengikuti strategi pengelolaan utang, dengan perincian seperti terlihat pada tabel Tabel 3.13 Realisasi Pangsa Portofolio Utang Tahun 2011 Realisasi pangsa portofolio Target Realisasi % Utang valas 45,90 45,43 117,96 Utang VR 18,62 17,23 105,06 STD 7,20 6,97 113,62 54 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

67 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Struktur portofolio utang relatif mendekati target strategi, dimana pencapaian struktur tersebut dilakukan melalui penerbitan/pengadaan utang baru serta transaksi pasar sekunder seperti buyback & debt switch. Secara keseluruhan risiko utang yang dicapai lebih rendah dari yang ditargetkan tanpa meningkatkan biaya utang secara signifikan. Keberhasilan indikator ini didukung dengan kegiatan: 1) Restrukturisasi utang melalui pembelian kembali sebelum jatuh tempo (buyback); dan 2) Pengurangan utang melalui skema debt switching. Tantangan yang dihadapi dalam rangka pencapaian target indikator persentase pemenuhan struktur portofolio utang sesuai dengan strategi antara lain: 1) Penerbitan SPN meskipun menguntungkan sehingga membuat target sasaran strategis dapat tercapai, tetapi karena besarnya jumlah utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek yang disebabkan penerbitan SPN 3 bulan untuk acuan bunga obligasi variable rate, hal ini ternyata menyebabkan risiko refinancing. 2) Melemahnya rupiah terhadap USD pada akhir tahun yang disebabkan krisis keuangan di Eropa. Upaya yang dilakukan menghadapi tantangan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Melakukan debt switching dengan menukar utang yang jatuh tempo dalam 5 tahun dengan utang yang memiliki jangka waktu pelunasan lebih panjang. 2) Menjaga penerbitan SBN valas dalam jumlah yang terkendali. Dengan demikian, target pencapaian persentase pemenuhan struktur portofolio utang hampir sesuai dengan strategi pada tahun 2011 yaitu 96,80%. Jika pola penarikan dana Kementerian/Lembaga sudah lebih baik, diharapkan tantangan yang dihadapi sebagaimana disebutkan sebelumnya tidak menjadi sulit untuk di atasi. 4. Sasaran Strategis 4: Utilisasi Kekayaan Negara yang optimal (KK-4). Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 1 (satu) Indikator Kinerja Utama (IKU), yaitu: KK 4. Utilisasi Kekayaan Negara yang optimal Indikator Kinerja Target Realisasi % Nilai kekayaan negara yang diutilisasi Rp102,39 T Rp102,45 T 100,06 Utilisasi kekayaan negara adalah optimalisasi pendayagunaan kekayaan negara melalui pemanfaatan, penetapan status penggunaan, tukar-menukar dan penyertaan modal pemerintah. Nilai kekayaan negara yang diutilisasi diperoleh dari nilai aset yang ditetapkan utilisasinya melalui: a. pemanfaatan kekayaan negara melalui sewa, kerja sama pemanfaatan, bangun serah guna, bangun guna serah, dan pinjam pakai; LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

68 b. penetapan status penggunaan BMN, penetapan status penggunaan BMN untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang bersangkutan, penetapan status BMN karena hibah masuk, dan penetapan status yang berasal dari aset KKKS, aset eks kelolaan PT. PPA, dan aset eks BPPN; c. penetapan BMN sebagai underlying asset dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN); d. tukar menukar yang diperoleh dari nilai aset baru hasil tukar-menukar; dan e. penyertaan modal pemerintah yang diperoleh dari konversi aset. Utilisasi kekayaan negara merupakan bagian dari siklus pengelolaan BMN yang meliputi perencanaan, penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan dan pengawasan/pengendalian. Pada dasarnya semua barang yang telah dibeli atau diperoleh secara sah wajib untuk ditetapkan status penggunaannya dan digunakan untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga. Setelah ditetapkan statusnya, BMN tersebut dapat digunakan, dimanfaatkan, dipindahtangankan atau dihapuskan sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Tujuan dari pelaksanaan utilisasi kekayaan negara adalah untuk mengetahui optimalisasi pengelolaan kekayaan negara dalam rangka pengelolaan APBN yang efisien, efektif dan optimal melalui: a. penghematan anggaran untuk belanja modal dan anggaran untuk pemeliharaan aset melalui pemanfaatan aset. b. peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui optimalisasi aset negara. c. peningkatan pembiayaan dalam negeri melalui instrumen Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan aset negara sebagai underlying assets. Kekayaan negara yang dapat diutilisasi meliputi BMN, aset eks kelolaan PT. PPA, aset eks BPPN, aset eks KKKS dan aset eks Pertamina. Salah satu persyaratan agar suatu aset dapat diutilisasi adalah aset tersebut berstatus free and clear, dalam arti memiliki dokumen kepemilikan, tidak dalam sengketa, dan tidak dikuasai pihak lain. Dengan demikian proses utilisasi kekayaan negara perlu didukung dengan kesadaran K/L untuk mengelola kekayaan negara sesuai ketentuan dengan prinsip 3 T (tertib hukum, tertib administasi dan tertib fisik). Meskipun demikian, dalam proses penyelesaian permohonan utilisasi kekayaan negara tersebut ditemukan masih adanya BMN yang belum berstatus free and clear, hal tersebut secara otomatis menghambat proses penetapan utilisasi kekayaan negara. Untuk itu diperlukan kerjasama dari pihak-pihak terkait seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pengadilan, dan Kementerian/Lembaga lainnya untuk menyelesaikan aset-aset yang bermasalah tersebut. 56 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

69 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Dari hasil pelaksanaan penertiban BMN, upaya jemput bola untuk menggali potensi utilisasi kekayaan negara dan penyelesaian permohonan pengelolaan kekayaan negara, diperoleh nilai kekayaan negara yang diutilisasi tahun 2011 sebesar Rp102,45 Triliun atau sebesar 100,05% dari target tahun 2011 sebesar Rp102,39 Triliun, yang menunjukkan trend yang meningkat dari tahun-tahun sebelumnya (lihat grafik 3.3). Target dapat tercapai karena: a. Dari hasil pelaksanaan penggalian potensi utilisasi dan penyelesaian permohonan utlisasi kekayaan negara, terdapat penetapan utilisasi kekayaan negara dengan nilai yang cukup signifikan. b. Adanya dukungan pencapaian utilisasi kekayaan negara dari hasil pelaksanaan penertiban BMN dan upaya tindak lanjut hasil penertiban BMN yang telah dilakukan oleh K/L dengan berpedoman pada KMK nomor 271/KMK.06/2011. Grafik 3.3 Utilisasi Kekayaan Negara Sasaran Strategis 5: Hubungan keuangan pusat - daerah yang optimal (KK-5). Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut: KK 5. Hubungan keuangan pusat - daerah yang optimal Indikator Kinerja Target Realisasi % 1. Persentase ketepatan jumlah penyaluran dana transfer ke daerah 100,00% 100,18% 100,18 2. Persentase Perda PDRD yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan 70,00% 95,92% 120,00 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

70 Uraian mengenai kedua IKU tersebut tampak berikut ini. a. Persentase ketepatan jumlah penyaluran dana transfer ke daerah (KK-5.1). Transfer ke Daerah merupakan dana desentralisasi yang bersumber dari APBN dan dialokasikan kepada daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (Dana Perimbangan), Dana Otonomi Khusus, Dana Penyesuaian, dan Hibah ke Daerah. Pelaksanaan Belanja Transfer ke Daerah terkait dengan penyaluran dana-dana tersebut dari rekening Bendahara Umum Negara (BUN) ke rekening Bendahara Umum Daerah yang dilakukan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang mengaturnya. Tanggung jawab DJPK dalam hal ini hanya terbatas pada penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) Transfer ke Daerah. Pelaksanaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah selama tahun anggaran 2011 dilakukan berdasarkan PMK No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Secara singkat mekanisme penyaluran dana diuraikan dalam tabel Tabel 3.14 Mekanisme Pola Penyaluran Anggaran Transfer ke Daerah No Uraian Transfer Pola Penyaluran 1. a. Dana Bagi Hasil Pajak 1) DBH PBB a) DBH PBB Bagian Pusat (10%) Tahap I : 25%; Tahap II : 50%; Tahap III : selisih alokasi definitif dengan yang telah disalurkan b) DBH PBB Bagian Daerah (81%) Setiap minggu yaitu sebesar 81% (64,8 % untuk Kabupaten/ Kota; 16,2% untuk Provinsi) dari realisasi penerimaan secara mingguan c) DBH Biaya Pemungutan PBB Bagian Daerah (9%) 2) DBH PPh Setiap minggu, yaitu sebesar 9 % dari realisasi penerimaan secara mingguan a) DBH PPh Pasal 21 Triwulan I : 20%; Triwulan II : 20%; Triwulan III : 20%; Triwulan IV : selisih definitif dengan yang telah disalurkan b) DBH PPh Pasal 25/29 Triwulan I : 20%; Triwulan II : 20%; Triwulan III : 20%; Triwulan IV : selisih definitif dengan yang telah disalurkan b. DBH Cukai Hasil Tembakau Triwulan I : 15%; Triwulan II : 15%; Triwulan III dan Triwulan IV : selisih alokasi definitif dengan yang telah disalurkan 2. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam a. Minyak dan Gas Bumi Migas dan Pabum Triwulan I : 20%; Triwulan II : b. Pertambangan Umum 20%Perikanan dan Kehutanan Tw I : 15 %; Tw II : 15 % Pertambangan Umum Tw I : 20% ; Tw II : 15% c. Kehutanan Triwulan III &IV : selisih masing-masing dengan realisasi d. Perikanan penyaluran triwulan-triwulan sebelumnya. e. Panas Bumi f. Alokasi kurang bayar DBH SDA Pertambangan MIGAS TA 2008 Diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku 3. Dana Alokasi Umum Tiap bulan sebesar 1/12 dari alokasi 4. Dana Alokasi Khusus 58 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

71 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup No Uraian Transfer Pola Penyaluran 5. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian a. Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur 1. Penyaluran tahap I (30% dari total DAK) Dilaksanakan setelah daerah-daerah menyampaikan Perda APBD tahun 2011, Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahun sebelumnya dan Surat Pernyataan Dana Pendamping DAK TA Penyaluran Tahap II (45%) dan Tahap III (25%) Dilaksanakan setelah menyampaikan Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahap sebelumnya yang secara kumulatif telah mencapai 90% Penyaluran dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan dari Mendagri - Tahap I (Maret) : 15%; Tahap II (Juni) : 30%; Tahap III (September) : 40%; Tahap IV (November) : 15% b. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD Penyaluran dilakukan per triwulan, masing-masing sebesar c. Tunjangan Profesi Guru 25%; tahap/triwulan IIsyarat menyampaikan laporan realisasi Smt II tahun sebelumnya, tahap/ triwulan IV syarat laporan realisasi tahun berjalan Penyaluran dalam 2 tahap per semester d. Dana Insentif Daerah Penyaluran dilaksanakan jika daerah sudah menyampaikan perda APBD 2011 dan surat pernyataan, disalurkan sekaligus e. Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID) f. Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD) Penyaluran tahap I (45%) dari total pagu) Dilaksanakan setelah daerah-daerah menyampaikan Surat Pernyataan telah/akan memasukkan kegiatan yang didanai dalam Perda APBD /APBD-Perubahan tahun 2011 dan Time schedule pelaksanaan kegiatan Penyaluran tahap II sebesar 45% dan/atau tahap III sebesar 10%, setelah daerah menyampaikan laporan realisasi penyerapan tahap sebelumnya Perkembangan alokasi Dana Transfer ke Daerah selama lima tahun terakhir telah mencapai sasaran sesuai Renstra tahun dan mengalami kemajuan yang signifikan (lihat tabel 3.15). Perumusan kebijakan, perhitungan, penetapan alokasi, dan penyaluran telah dilaksanakan dengan baik. Norma dan standarisasi kebijakan telah diselaraskan dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, Undang-undang APBN Tahun 2011 dan Undang-undang APBN-P Tahun 2011, serta Kesepakatan Panitia Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah sebagai bagian tak terpisahkan dari Undang-undang APBN. Perhitungan dan pengalokasian diberlakukan secara keseluruhan daerah berdasarkan perhitungan tertentu. DBH dengan persentase tertentu, DAU dengan formula, DAK dengan kriteria, Dana Otsus dan Penyesuiaan berdasarkan undang-undang terkait. Di sisi lain, perkembangan jumlah daerah penerima Dana Transfer ke Daerah dari tahun 2006 sebanyak 467 menjadi 524 pada tahun 2011, atau meningkat 58 daerah selama 6 tahun, sebagaimana pada tabel LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

72 Tabel 3.15 Perkembangan Jumlah Daerah dan Besaran Transfer Tahun 2006 s/d 2011 No Daerah Provinsi Kabupaten/Kota Jumlah Realisasi Transfer (Triliun 226,2 253,3 292,6 303,1 344,6 411,2 rupiah) 5 % Kenaikan 50,30 11,98 15,51 3, Sebagaimana tampak pada tabel 3.14, penyaluran dana ke daerah meliputi 5 (lima) komponen. Uraian tentang kelima komponen tersebut tampak berikut ini. 1) Dana Bagi Hasil. DBH telah mencapai sasaran sesuai dengan Renstra tahun dan dalam pelaksanaannya mengacu pada kebijakan yang ditetapkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 yang mengatur bagian Pemerintah Pusat dan bagian Pemerintah Daerah dengan persentase tertentu dari realisasi penyetoran ke kas negara dari Penerimaan Negara Pajak (PNP) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jenis DBH dalam undang-undang tersebut sebanyak 8 (delapan) jenis yang dalam tahun 2005 s/d 2008 telah dilaksanakan 7 jenis sedangkan satu jenis DBH, yaitu Panas Bumi dilaksanakan mulai tahun Untuk pertama kalinya DBH Panas Bumi pada tahun 2009 dibagikan kepada daerah di wilayah Provinsi Jawa Barat, yaitu DBH dari PNBP tahun 2006 s/d Adapun perkembangan alokasi DBH SDA dan Pajak selama kurun waktu sebagaimana tabel Tabel 3.16 Perkembangan Alokasi DBH per Komponen Tahun 2006 s/d 2011 (Triliun rupiah) No Komponen A Pajak 1 PBB 18,73 21,79 22,37 22,8 27,12 27,59 2 BPHTB 3,08 4,29 7,35 7,65 7,69-3 PPh 6,07 7,94 9,98 10,09 10,93 13,16 4 Cukai HT 0,2 0,96 1,2 1,35 Sub jumlah (A) 27,88 34,02 39,9 41,5 46,94 42,10 % kenaikan 19,30% 22,02% 17,28% 4,01% 13.11% - B Sumber Daya Alam 1 Pertambangan Umum 2,39 2,85 4,24 6,98 7,79 15,14 2 Kehutanan 1,16 1,52 1,71 1,51 1,75 1,75 3 Minyak & Gas 27,13 24,46 23,44 17,6 35,196 37,306 4 Perikanan 0,33 0,20 0,16 0,12 0,12 0,12 5 Panas Bumi ,26 0,305 0,351 Sub jumlah (B) 31,01 29,03 29,55 26,82 45,165 54,673 % kenaikan 167,56% -6,39% 1,79% - 68,4% 21,05% C Total (A+B) 58,89 63,05 69,45 68, ,77 % Kenaikan 68,45% 7,06% 10,15% - 34,81% 4,98% Catatan : DBH SDA TA 2010 mengacu pada APBN Perubahan 2010 DBH SDA TA 2011 mengacu pada APBN Perubahan 2011 DBH Pajak TA 2008, 2009 dan 2010 belum termasuk Biaya Pemungutan PBB bagian Daerah 60 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

73 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 35 UU No 33 Tahun 2004, DBH SDA Migas dibagikan kepada daerah dengan porsi 15,5% dari PNBP Minyak Bumi dan 30,5% dari PNBP Gas Bumi. Porsi tambahan 0,5% tersebut sebagai specific grant yang harus dimanfaatkan untuk menambah anggaran pendidikan dasar di daerah dengan pembagian untuk provinsi/daerah penghasil/daerah lainnya masing-masing sebesar 0,1%, 0,2% dan 0,2%. Perkembangan alokasi DBH Pajak dan DBH SDA tampak pada tabel Mengingat ketentuan mengenai perhitungan DBH dan penetapan alokasinya kepada daerah telah diatur secara jelas dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, maka kebijakan pengalokasian dari tahun ke tahun adalah menyempurnakan proses perhitungan, penetapan alokasi dan ketepatan waktu penyaluran melalui peningkatan koordinasi dengan institusi pengelola PNBP seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, dan unit-unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan (DJA, DJP, dan DJPB) dalam rangka menyediaan data yang lebih akurat. Koordinasi tersebut dilakukan melalui: a) Konsultasi regional untuk semua komponen DBH-SDA yang dihadiri pengelola DBH-SDA Kementerian/Lembaga dengan daerah penghasil dengan tujuan antara lain agar daerah turut berperan dalam optimalisasi penyetoran PNBP dan menghimpun data setoran supaya daerah dapat berperan aktif dalam acara rekonsiliasi PPNBP/DBH, agar setoran PNBP per daerah dapat dibagikan secara optimal. b) Rekonsiliasi data PNBP dan perhitungan DBH yang dilakukan bersama institusi pengelola PNBP/DBH SDA dengan daerah penghasil dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyaluran DBH SDA. c) Rapat kerja antara unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mengelola penerimaan pajak dan cukai hasil tembakau dengan daerah penghasil. Sementara itu pola penyaluran DBH SDA berdasarkan pola penggabungan antara penetapan persentase dengan realisasi penyetoran PNBP dilakukan melalui rekonsiliasi. Realisasi DBH Pajak yang terdiri DBH PPh, DBH PBB, dan DBH BPHTB mencapai Rp ,- atau 103,65% dari pagu alokasi Rp ,- sedangkan Realisasi DBH CHT pada tahun 2011 mencapai Rp ,- atau 99,47% dari alokasi DBH CHT sebesar Rp ,-. Rincian atas realisasi DBH Pajak tersebut adalah sebagaimana tampak pada tabel LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

74 Tabel 3.17 Penyaluran DBH Pajak Tahun 2011 Jenis dana Pagu Realisasi % DBH PPh ,00 % DBH PBB % DBH CHT % Total ,65% Realisasi untuk semua jenis DBH SDA baik DBH SDA Migas, Pertambangan Umum, Kehutanan, Perikanan, maupun Panas Bumi mencapai 100% atau sama dengan pagu alokasi sebesar Rp ,-, rincian selengkapnya tampak pada tabel Tabel 3.18 Penyaluran DBH SDA Tahun 2011 Jenis dana Pagu Realisasi % DBH Migas ,00 % DBH Pertambangan Umum ,00 % DBH Kehutanan ,00 % DBH Perikanan ,00 % DBH Panas Bumi ,00 % Total ,00 % 2) Dana Alokasi Umum. Capaian sasaran selama antara lain dengan diterbitkannya beberapa peraturan baik Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri Keuangan, dimana dengan peraturan-peraturan tersebut dana berhasil dialokasikan ke Pemerintah Daerah sebagaimana tampak pada tabel 3.19 berikut ini. Alokasi Tahun Tabel 3.19 Perpres Alokasi DAU dan Permenkeu Dana Penyeimbang Yang Diterbitkan Tahun Anggaran Perpres (Miliar Rp) Peraturan Menteri Keuangan (Miliar Rp) Jumlah Daerah , Provinsi Perpres 74 Tahun 2005 PMK No. 123 Tahun Kab/Kota ,40 842,91 33 Provinsi Perpres 104 Tahun 2006 PMK No. 129 Tahun Kab/Kota ,14 242,84 33 Provinsi Perpres 110 Tahun 2007 PMK No. 172 Tahun Kab/Kota ,1-33 Provinsi Perpres 74 Tahun Kab/Kota ,34 187,35 33 Provinsi Perpres 53 Tahun 2009 PMK No. 225 Tahun Kab/Kota ,83 0,89 33 Provinsi Perpres Nomor 6 Tahun 2011 PMK No.73 Tahun Kab/Kota ,4-33 Provinsi Perpres Nomor 96 Tahun Kab/Kota 62 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

75 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Tahun anggaran 2011 Total alokasi DAU adalah sebesar Rp , yang terdiri dari DAU (murni) sebesar Rp ,- dan koreksi posistif DAU sebesar Rp ,-. Dari alokasi pagu tersebut telah diterbitkan sebanyak SPM dengan nilai sebesar Rp ,- atau 100%, dan DAU Murni juga telah disalurkan seluruhnya atau 100% dan koreksi positif DAU juga telah disalurkan sebesar 100% (lihat tabel 3.20). Tabel 3.20 Penyaluran DAU Tahun 2011 Jenis dana Pagu Realisasi % DAU Propinsi (murni) 2,255,328,248,250 2,255,328,248, ,00% DAU Kabupaten/Kota (murni) 223,277,496,576, ,277,496,576, ,00% Koreksi positif DAU 887,223, ,223, ,00% Total 225,533,712,048, ,533,712,048, % 3) Dana Alokasi Khusus. Sejak tahun 2007 s.d 2011 telah terjadi perkembangan jumlah bidang dalam DAK dari mulai sebanyak 10 bidang menjadi 19 bidang pada tahun 2011 sebagaimana pada tabel Tabel 3.21 Perkembangan Jumlah bidang-bidang DAK 2008 s.d APBN LKPP APBN APBN-P LKPP APBN APBN-P LKPP APBN APBN-P RAPBN APBN A. Dana Alokasi Khusus (DAK) , , , , , , , , , , , ,90 1 Pendidikan 7.015, , , , , , , , ,30 2 Kesehatan 3.817, , , , , , , , ,90 3 Jalan 4.044, , , , , , , , ,80 4 Irigasi 1.497, , ,00-968,40 968, , , , ,50 Air Minum dan Sanitasi 1.142, , , *) Air Minum ,20 357,20 419,60 419,60 502,50 502,50 6 Sanitasi ,20 357,20 419,60 419,60 463,70 463,70 7 Prasarana Pemerintahan 362,00-562,00 562,00-386,30 386,30 400,00 400,00 444,50 444,50 8 Kelautan dan Perikanan 1.100, , , , , , , , ,10 9 Pertanian 1.492, , , , , , , , ,60 10 Lingkungan Hidup 351,60-351,60 351,60-351,60 351,60 400,00 400,00 479,70 479,70 11 Kehutanan 100,00-100,00 100,00-250,00 250,00 400,00 400,00 489,80 489,80 12 Keluarga Berencana 279,00-329,00 329,00-329,00 329,00 368,10 368,10 392,30 392,30 13 Sarana dan Prasarana Pedesaan ,00 190,00-300,00 300,00 315,50 315,50 345,10 345,10 14 Perdagangan ,00 150,00-107,30 107,30 300,00 300,00 356,90 356,90 15 Listrik Pedesaan - 150,00 150,00 190,60 190,60 16 Perumahan dan Permukiman - 150,00 150,00 191,20 191,20 17 Keselamatan Transportasi Darat - 100,00 100,00 131,60 131,60 18 Tranportasi Pedesaan - 100,00 100,00 171,40 171,40 19 Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan - 150,00 150,00 121,40 121,40 B. Koreksi Alokasi Kabupaten Indramayu ,00 0,00 0,00 Total , , , , , , , , , , , ,90 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

76 Pada tahun 2008 hingga 2011 penambahan bidang DAK dikaitkan dengan pelaksaan Pasal 108 UU Nomor 33 Tahun 2008 bahwa kegiatan Kementerian/Lembaga yang sebenarnya merupakan kegiatan kewenangan daerah dialihkan secara bertahap ke DAK. Penambahan bidang DAK pada tahun 2008 ditandai dengan pengalihan anggaran K/L dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) dan Departemen Kehutanan, sedangkan pada tahun 2009 dialihkan anggaran K/L dari Departemen Perdagangan dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dan pada tahun 2010 dialihkan anggaran K/L dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Sejak tahun 2006 pola perhitungan DAK per daerah dilakukan dengan menggunakan Kriteria Umum, Kriteria Khusus, dan Kriteria Teknis yang dari tahun ke tahun diupayakan untuk disempurnakan dalam rangka memperbaiki aspek keadilan pengalokasian sesuai dengan kondisi daerah. Kriteria Umum mencerminkan kondisi keuangan daerah, kriteria khusus menggambarkan kondisi kekhususan wilayah yang diasumsikan menjadi beban daerah dalam pengelolaan wilayah, dan kriteria teknis menunjukkan kondisi sarana prasarana dasar di daerah. Dari tahun 2006 s.d 2008 perhitungan DAK per daerah lebih banyak ditentukan oleh Kriteria Umum dan Kriteria Khusus. Kriteria Teknis lebih banyak digunakan untuk mengukur alokasi bagi daerahdaerah yang dinyatakan layak mendapatkan DAK berdasarkan Kriteria Umum dan Kriteria Khusus. Perkembangan pola perhitungan terjadi pada DAK Tahun 2011, dengan menggunakan secara bersama-sama ketiga kriteria tersebut, baik dalam menentukan kelayakan daerah penerima DAK, maupun besaran alokasinya. Pola ini memungkinkan daerah yang tidak layak dari kriteria umum dan kriteria khusus mendapatkan DAK sepanjang indeks teknisnya cukup tinggi untuk dapat menjadi layak mendapatkan DAK pada bidang tertentu. Selanjutnya pencapaian yang cukup penting dari pengelolaan DAK adalah sebagai berikut a) Menggunakan kebijakan penyaluran DAK Tahap I untuk mendorong percepatan penyelesaian Perda tentang APBD. Strategi tersebut dituangkan dalam ketentuan bahwa bagi daerah yang belum menyampaikan Perda APBD kepada Kementerian Keuangan maka DAK Tahap I sebesar 30% belum dapat disalurkan. b) Menggunakan kebijakan laporan penyerapan DAK untuk mendorong percepatan penyerapan dan pelaksanaan kegiatan fisik DAK. Bagi daerah yang cepat menyerap DAK Tahap I dengan menyampaikan laporan penyerapan hingga 90% maka Tahap II sebesar 45% akan disalurkan, demikian seterusnya sampai tahap akhir pernyaluran, yaitu sebesar 25% pada Tahap III. c) Menggunakan kebijakan laporan pelaksanaan DAK dalam satu tahun (tahunan) untuk mendorong kelengkapan sistem informasi keuangan daerah (SIKD) di Kementerian Keuangan dari mulai alokasi, penyaluran, sampai realisasi penyerapan DAK per bidang. Alokasi DAK untuk tahun anggaran 2011 adalah sebesar Rp ,- yang terdiri atas DAK Murni sebesar Rp ,- dan Koreksi positif DAK sebesar Rp ,-. 64 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

77 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Total alokasi DAK ini jika dibandingkan dengan alokasi tahun 2010 sebesar Rp ,- berarti mengalami kenaikan sebesar Rp ,- atau naik sebesar 19,40% persen dari tahun anggaran sebelumnya. Penyaluran DAK dilakukan dalam 3 (tiga) tahap yaitu masing-masing sebesar 30%, 45% dan 25%. Dari alokasi pagu tersebut telah diterbitkan SPM dengan nilai sebesar Rp ,- atau 98,30% (lihat tabel 3.22). Tabel 3.22 Penyaluran DAK Tahun 2011 Tahap Pagu Realisasi (RP) % Jml daerah DAK I (30%) ,00% 520 DAK II (45%) ,00% 520 DAK III (25%) ,19% 486 Total ,30% Dalam rangka percepatan penyerapan alokasi DAK oleh daerah-daerah penerima DAK, dilakukan upaya inisiatif strategis antara lain dengan menerbitkan Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.07/2011 tentang Pelaksanaan Penyaluran Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan Tahun PMK ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada daerah bahwa dana DAK Pendidikan yang telah dialokasikan akan tersalur lebih cepat dengan mempertimbangkan kinerja laporan realisasi penyerapan DAK dari bidang-bidang lainnya. 4) Penyaluran Dana Otsus dan Penyesuaian tahun Pada tahun 2011, total pagu Dana Otsus dan Penyesuaian sebesar Rp ,- telah dapat diterbitkan SPM dengan nilai sebesar Rp ,- atau 99,48%, dengan rincian sebagaimana tampak pada tabel Tabel 3.23 Penyaluran Dana Otsus dan Penyesuaian Jenis Dana Pagu Realisasi % Dana Otonomi Khusus u/ PAPUA ,00% Dana Otonomi Khusus u/ PAPUA BARAT ,00% Dana Otonomi Khusus u/ NAD ,00% Dana Otonomi Khusus T. Infras u/ Papua ,00% Transfer Dana Tamb. Infras. Papua Barat ,00% Tunjangan Profesi Guru ,00% Bantuan Operasional Sekolah ,00% Tambahan Penghasilan Guru PNSD ,60% Dana Insentif Daerah ,00% Dana Penyesuaian Insentif Daerah ,85% Kurang Bayar Sarpras Infra.Papua Barat ,00% Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) ,55% Total ,48% LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

78 Uraian tentang jenis-jenis dana yang termasuk dalam kategori Dana Otsus tersebut tampak berikut ini. a) Dana Tunjangan Profesi Guru. Tunjangan Profesi Guru Tahun 2011 ditetapkan alokasinya sebesar Rp ,- dan telah diterbitkan SPM dengan total nilai sebesar Rp ,- atau mencapai 100% dari yang direncanakan. b) Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD. Dari pagu alokasi Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD Tahun 2011 sebesar Rp ,- telah diterbitkan SPM dengan total nilai sebesar Rp ,- atau mencapai 99,60% dari yang direncanakan. Realisasi capaian Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD dipengaruhi oleh kinerja daerah dalam menyampaikan laporan realisasi semester II TA 2010 untuk penyaluran Triwulan I, dan Triwulan IV disalurkan setelah daerah menyampaikan laporan realisasi semester I Tambahan Penghasilan Guru PNSD tahun anggaran berjalan (TA 2011). c) Dana Insentif Daerah (DID). Dari pagu alokasi Dana Insentif Daerah Tahun 2011 sebesar Rp ,- telah diterbitkan SPM dengan total nilai sebesar Rp ,- atau 100%. Capaian tersebut terkait dengan persyaratan administrasi yang harus dipenuhi oleh masingmasing daerah penerima DID terkait pelaksanaan anggaran Transfer ke Daerah yaitu kewajiban daerah untuk menyampaikan Perda APBD TA 2011, Surat Pernyataan Kesediaan Pencantuman DID dalam APBD/APBD-P 2011, dan Rencana Penggunaan Dana Insentif Daerah. d) Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dari pagu alokasi BOS sebesar Rp ,- telah diterbitkan SPM dengan total nilai sebesar Rp ,- atau telah tercapai sebesar 100%. e) Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID). Dari pagu alokasi DPID sebesar Rp ,- telah diterbitkan SPM dengan total nilai sebesar Rp ,- atau realisasinya mencapai 97,85%. Pencapaian yang mendekati 100% tersebut terkait dengan kinerja daerah yang menyampaikan persyaratan administrasi penyaluran yaitu pada Tahap I dapat disalurkan apabila Kementerian Keuangan menerima Perda APBD TA 2011 dan Surat Pernyataan Kesediaan Pencantuman DPID dalam APBD/APBD-P 2011, sedangkan penyaluran Tahap III dilakukan setelah Kementerian Keuangan menerima laporan DPID tahap sebelumnya yang secara kumulatif telah mencapai 90% dan daftar Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang diterbitkan untuk program/kegiatan yang didanai DPID. f) Dana Penguatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID). Dari pagu alokasi DPIPD sebesar Rp ,- telah diterbitkan SPM dengan total nilai sebesar Rp ,- atau 97.55%. 66 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

79 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Pencapaian tersebut dipegaruhi oleh kinerja daerah yang menyampaikan persyaratan administrasi penyaluran yaitu Tahap I disalurkan 50% dengan syarat daerah telah menyampaikan Surat Pernyataan Kesediaan Pencantuman DPPID dalam APBD-P 2011, sedangkan penyaluran Tahap II sebesar 50% dilakukan setelah Kementerian Keuangan menerima laporan realisasi DPPID tahap sebelumnya yang telah mencapai 30% dari Tahap I yang diterima RKUD dan daftar Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang diterbitkan untuk program/kegiatan yang didanai DPPID. g) Kurang Bayar Dana Sarana dan Prasarana Infrastruktur Daerah. Dari pagu alokasi Kurang Bayar Dana Sarana dan Prasarana Infrastruktur Daerah sebesar Rp ,- telah diterbitkan sebanyak SPM dengan total nilai sebesar Rp ,- atau tercapai secara keseluruhan sebesar 100%. Berdasarkan tabel 3.23 serta uraian tersebut tampak bahwa realisasi pencapaian sasaran berdasarkan IKU sebesar 100,18% terhadap pagu alokasi dalam Peraturan Presiden untuk alokasi DAU dan Peraturan Menteri Keuangan untuk DBH, DAK, Dana Otsus, dan Dana Penyesuaian. Realisasi Transfer ke Daerah dapat dilihat pada tabel Tabel 3.24 menjelaskan mengenai capaian masing-masing jenis anggaran untuk seluruh transfer daerah. Tabel 3.24 Realisasi Transfer ke Daerah s.d. 31 Desember 2011 Realisasi Penyaluran s.d. No Jenis Anggaran Alokasi Perpres/PMK 31 Desember 2011 % thd Alokasi 1 Dana Bagi Hasil (DBH) ,58% a. DBH Pajak ,65% b. DBH Cukai Hasil Tembakau ,47% c. DBH SDA ,00% 2 Dana Alokasi Umum (DAU) 225,533,712,048, ,533,712,048, ,00% 3 Dana Alokasi Khusus (DAK) ,00% 4 Dana Otonomi Khusus ,00% 5 Dana Penyesuaian ,38% Total ,18% d. Persentase Perda PDRD yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan (KK-5.2). Penetapan perubahan UU Nomor 34 Tahun 2000 menjadi UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menuntut Pemerintah Pusat untuk segera menyelesaikan evaluasi Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Perda PDRD yang dibuat berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000 hanya berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2011 dan jumlah Perda PDRD berdasarkan UU Nomor 34 tahun 2000 yang telah diterima oleh Pemerintah Pusat namun belum dievaluasi masih cukup besar sehingga diperlukan percepatan evaluasi. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

80 Pada tahun 2009, Kementerian Keuangan telah melakukan percepatan evaluasi melalui task force yang telah berhasil menyelesaikan evaluasi Perda sebanyak 1984 Perda melebihi target yang telah ditetapkan sebanyak 1600 Perda. Dan pada tahun 2010, Perda yang belum dievaluasi hanya sebanyak 545 Perda karena dengan diberlakukannya UU 28 Tahun 2009 telah memberikan dampak yang cukup signifikan terkait dengan kebijakan PDRD yang mengharuskan Pemerintah Daerah untuk melakukan penggantian Peraturan Daerah tentang PDRD yang masih menggunakan dasar hukum UU Nomor 34 Tahun 2000 dengan Peraturan Daerah yang sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun Tabel 3.25 Jumlah Perda yang dievaluasi tahun Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Pada tahun 2011 penetapan target IKU Persentase evaluasi Perda sesuai peraturan perundangan sebesar 70% dengan dasar bahwa sebelum diterapkannya UU No. 28 Tahun 2009 (masih menggunakan Undangundang No. 34 Tahun 2000) terdapat 33% Perda yang direkomendasikan oleh Menteri Keuangan untuk dibatalkan/direvisi kepada Menteri Dalam Negeri sehingga target IKU persentase perda PDRD sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009 pada tahun 2011 ditetapkan sebesar 70%. Dengan memperhatikan perkembangan setiap triwulan, Perda PDRD yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau sesuai hasil evaluasi Raperda PDRD mengalami kecenderungan meningkat. Jumlah Perda PDRD yang sudah dievaluasi pada tahun 2011 sebanyak Perda. Dari evaluasi yang dilakukan, Perda yang sesuai peraturan perundangan sebanyak atau 98,04% sedangkan Perda PDRD yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebesar 1,96% atau sebanyak 30 Perda. 6. Sasaran Strategis 6: Pengelolaan keuangan negara yang akuntabel (KK-6). Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja Utama (IKU), yaitu: KK 6. Pengelolaan keuangan negara yang akuntabel Indikator Kinerja Target Realisasi % 1. Indeks jumlah LK K/L dan LK BUN yang andal dengan opini audit yang baik 2. Indeks opini BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 WTP=53 WDP=27 Index=83,13 WTP=53 WDP=28 Index=83,75 100,75 3,25 3,19 98,15 68 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

81 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Uraian mengenai kedua IKU tersebut tampak berikut ini. a. Indeks jumlah LK K/L dan LK BUN yang andal dengan opini audit yang baik (KK-6.1). Transparansi pengelolaan keuangan negara terwujud dalam penyusunan laporan keuangan yang memiliki opini audit yang baik, dimana Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) adalah kompilasi data Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LK KL) dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LK BUN) serta data perbendaharaan lainnya dari seluruh Kementerian/Lembaga dan Unit Akuntansi Pembantu (UAP) BUN. Sesuai UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, LK KL disampaikan oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan (akhir bulan Februari). Setelah itu tahap berikutnya adalah pengkonsolidasian seluruh data dari LK KL dan LK BUN menjadi LKPP yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. Pada semester I tahun 2011, IKU ini telah terealisasi melebihi target yang ditentukan yaitu jumlah Kementerian/Lembaga yang mendapatkan opini WTP sebanyak 53, WDP sebanyak 28, disclaimer sebanyak 2 Kementerian/Lembaga dan Index=83,75 yang menunjukkan peningkatan. Indeks tersebut diperhitungkan dari nilai Index WTP sebesar 100 dan WDP sebesar 50. Rincian opini BPK atas Laporan Keuangan Kementerian Lembaga dapat ditabulasikan menjadi sebagaimana tampak pada tabel Tabel 3.26 Hasil Opini BPK terhadap LK K/L dan LK BUN 2011 No Opini KL BUN Jumlah Index 1. WTP ,75 2. WDP Disclaimer 2-2 Jumlah KL dan BUN Meskipun capaian target tersebut melebihi 100%, masih terdapat 3 (tiga) Kementerian/Lembaga yang opini BPK menurun dari WTP ke WDP, dan 1 (satu) Kementerian/Lembaga yang menurun dari WDP ke disclaimer. Dalam rangka perbaikan di tahun 2012, langkah-langkah yang akan diambil adalah peningkatan kualitas penyusunan LKPP terutama pada 4 (empat) Kementerian/Lembaga yang mengalami penurunan opini BPK tersebut, dan melakukan koordinasi serta konsolidasi pengelolaan pertanggungjawaban dan pelaporan keuangan. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

82 b. Indeks opini BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 (KK-6.2). Melanjutkan upaya sebagaimana telah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya, dalam rangka peningkatan kualitas Laporan Keuangan BA 15, LK BUN, dan LK BA 999, telah direalisasikan berbagai kegiatan monitoring, reviu, kajian, pembahasan, dan pendampingan audit BPK selama tahun 2011 atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 tahun Terkait hal ini telah diperoleh hasil opini BPK terhadap Laporan Keuangan BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 tahun 2010 tersebut, dengan nilai indeks opini senilai 3,19 dari 3,25 yang ditargetkan dengan rincian sebagaimana tampak pada tabel Tabel 3.27 Daftar Opini BPK atas LK Kementerian/Lembaga Kode Nama Laporan Keuangan Opini LK 2010 Opini LK target realisasi 2009 Opini LK 2008 BA 15 Kementerian Keuangan WDP WDP WDP WDP BUN WDP WDP N/A N/A BA Pembiayaan Biaya Pinjaman dan Bunga serta Cicilan Pokok Utang WTP WTP WTP WTP BA Penerimaan Hibah WDP WDP WDP TMP BA Penanaman Modal Negara WTP WTP-DPP WTP WTP BA Penerusan Pinjaman WDP WDP TMP TMP BA Transfer Dana Daerah WTP-DPP WTP-DPP WTP-DPP WDP untuk Dana Perimbangan dan WTP untuk Otonomi Khusus BA * Belanja Subsidi dan Belanja Lain- Lain N/A N/A WDP TMP untuk Belanja Lain-Lain; WTP-DPP untuk Belanja Subsidi BA Belanja Subsidi WTP-DPP WDP N/A N/A BA Belanja Lain-Lain WDP WDP N/A N/A Sesuai dengan pembobotan yang dilakukan untuk LK TA 2010 (50% untuk BA 15 dan 50% untuk LK BUN dan BA 999), maka didapatkan indeks dengan skor 3,19. * Untuk LK BA pada TA 2010 dipecah menjadi BA dan BA Realisasi IKU indeks opini BPK di atas tidak mencapai target disebabkan opini BPK atas Laporan Keuangan Belanja Subsidi (BA ) adalah WDP, sedangkan targetnya adalah WTP-DPP. Target tidak tercapai disebabkan adanya kebijakan pemerintah dengan persetujuan DPR dalam Undang-Undang APBN/ APBNP Tahun Anggaran 2010 berupa pengakuan belanja subsidi PPN DTP sejumlah Rp11,28 Triliun yang tidak diakui oleh BPK, bukan karena kualitas Laporan Keuangan. Jika dilihat dari opini BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 sejak tahun 2008, tampak bahwa secara umum telah terjadi peningkatan opini BPK yang cukup signifikan atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 tersebut. Untuk Tahun Anggaran 2010, keseluruhan LK BA 15, LK BUN, dan LK 999 telah dilakukan audit oleh BPK dengan opini minimal Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Kegiatan monitoring, reviu, kajian, dan pendampingan audit BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK 999 oleh Itjen selaku Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) di lingkungan Kementerian Keuangan, ikut mendorong peningkatan kualitas Laporan Keuangan sebagaimana tergambar dalam peningkatan opini BPK-RI tersebut. 70 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

83 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Untuk Laporan Keuangan Kementerian Keuangan (BA 15), reviu dilakukan mulai Tahun Anggaran 2008 yang dilaksanakan secara paralel dengan pelaksanaan anggaran dan penyusunan Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga. Peningkatan kualitas LK BA 15 antara lain dikarenakan perubahan pendekatan reviu dari hanya menunggu LK Kementerian di akhir tahun menjadi pengawalan atau pendampingan proses LK dari tahap penyusunan sampai dengan pemeriksaan oleh BPK RI. Kegiatan monitoring, reviu, kajian, pembahasan, dan pendampingan audit BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 ini masih akan terus dilanjutkan dalam rangka perbaikan dan peningkatan kualitas laporan keuangan sebagai salah satu instrumen perwujudan public trust dalam pengelolaan Keuangan Negara yang akuntabel. Adapun, rencana untuk meningkatkan kualitas LK BA 15 telah dibahas dalam rapat teknis dan telah dituangkan dalam matriks rencana kegiatan pemantauan tindak lanjut temuan BPK RI atas LK BA 15. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencapai opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK atas LK BA 15 dalam rangka memenuhi kontrak kinerja Menteri Keuangan kepada Presiden RI. 7. Sasaran Strategis 7: Industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil, tahan uji dan likuid (KK-7). Industri pasar modal dan jasa keuangan nonbank yang stabil, tahan uji, dan likuid adalah industri pasar modal dan jasa keuangan nonbank yang mampu menjaga kestabilan pertumbuhan industrinya terhadap fluktuasi perkembangan ekonomi serta mampu menghasilkan keuntungan/manfaat tertentu dengan biaya minimal. Untuk mewujudkan kebijakan dimaksud, strategi yang ditetapkan adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan kualitas pelaku industri. b. Meningkatkan basis investor domestik. c. Meningkatkan kemampuan industri dalam mengelola risiko. d. Mendorong peningkatan kualitas tata kelola perusahaan yang baik. e. Meningkatkan kapasitas pengawasan terhadap pelaku industri. Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 5 (lima) Indikator Kinerja Utama (IKU), yaitu: KK 7. Industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil, tahan uji dan likuid Indikator Kinerja Target Realisasi % 1. Perusahaan efek yang memenuhi persyaratan minimum Modal Kerja Bersih 90,00% 99,79% 110,88 Disesuaikan (MKBD) 2. Persentase nilai transaksi perusahaan efek yang tidak memenuhi 10,00% 0,03% 120,00 persyaratan minimum MKBD yang berpotensi mengganggu perdagangan saham di Bursa 3. Perusahaan asuransi dan reasuransi yang memenuhi persyaratan minimum 93,00% 95,93% 103,15 RBC (Risk Based Capital) 4. Tingkat Penetrasi Asuransi 1,80% 1,80% 100,00 5. Perusahaan Pembiayaan yang Memenuhi Rasio Permodalan 95,00% 96,52% 101,60 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

84 Uraian atas kelima IKU tersebut tampak berikut ini. a. Perusahaan efek yang memenuhi persyaratan minimum Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) (KK-7.1). Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) adalah jumlah kas dan bank, portofolio efek, dan aktiva lancar lainnya yang dimiliki oleh perusahaan efek dikurangi dengan seluruh utang perusahaan efek serta penyesuaian-penyesuaian lainnya sehingga mencerminkan kondisi likuiditas perusahaan efek. Ketentuan mengenai MKBD tersebut telah diatur dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor V.D.5, yang diantaranya yaitu: 1) Perusahaan efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek (PPE) wajib memiliki MKBD paling sedikit Rp25 Miliar. 2) Perusahaan efek yang menjalankan kegiatan sebagai PPE dan Manajer Investasi wajib memiliki MKBD paling sedikit Rp25,2 Miliar. Selain itu, nilai MKBD tersebut juga dilaporkan setiap hari kerja. Di samping itu, untuk menghitung capaian indikatir sasaran tersebut di atas, nilai MKBD juga diukur dalam periode triwulanan sebagaimana tampak pada tabel Tabel 3.28 Jumlah Perusahaan Efek yang Memenuhi MKBD Tahun 2011 Kuartal I Kuartal II Kuartal III Kuartal IV Jumlah Perusahaan Efek Perusahaan Efek Yang Memenuhi MKBD Realisasi 100% 100% 100% 99,15% Rata-rata Capaian 99,79% Pada tahun 2011, Kementerian Keuangan telah menetapkan target untuk jumlah perusahaan efek yang memenuhi MKBD adalah sebesar 90%. Berdasarkan capaian kinerja untuk indikator sasaran dari triwulan 1 s.d triwulan 4 pada tabel di atas, target 90% tersebut telah terpenuhi walaupun pada triwulan 4, dari 117 Perusahaan Efek Anggota Bursa terdapat 1 (satu) perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan kecukupan MKBD. Meskipun demikian, penurunan capaian pada akhir triwulan 4 tersebut tidak mempengaruhi penurunan capaian secara signifikan, dan pada akhir tahun 2011 indikator ini memperoleh nilai capaian sebesar 111%. Pencapaian IKU ini menggambarkan hasil kerja keras Kementerian Keuangan dalam mensosialisasikan investasi di pasar modal dan edukasi kepada calon investor yang mencakup ketentuan mengenai pemenuhan MKBD oleh Perusahaan Efek. b. Persentase nilai transaksi perusahaan efek yang tidak memenuhi persyaratan minimum MKBD yang berpotensi mengganggu perdagangan saham di Bursa (KK-7.2). Sepanjang triwulan I sampai dengan triwulan III tahun 2011, tidak terdapat nilai transaksi Perusahaan Efek yang tidak memenuhi persyaratan minimum MKBD yang berpotensi mengganggu perdagangan 72 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

85 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup saham di Bursa. Namun demikian, pada triwulan IV terdapat transaksi perusahaan efek yang tidak memenuhi MKBD dan berpotensi mengganggu perdagangan Bursa dengan nilai sebesar Rp4,7 Miliar atau sebesar 0,13% dari total nilai transaksi Bursa yang mencapai Rp3.614 Miliar. Hal ini karena terdapat 1 (satu) perusahaan efek anggota bursa yang tidak memenuhi MKBD. Namun demikian, nilai capaian indikator ini pada akhir triwulan 4 tahun 2011 yaitu sebesar 0,03%. Dengan mempertimbangkan target nilai transaksi perusahaan efek yang tidak memenuhi persyaratan minimum MKBD yang berpotensi mengganggu perdagangan saham di Bursa sebesar 10%, maka dapat disimpulkan bahwa untuk tahun 2011 pencapaiannya telah melampaui target, dengan nilai pencapaian sebesar 120%. Pencapaian IKU ini juga menggambarkan hasil kerja keras Kementerian Keuangan dalam mensosialisasikan investasi di pasar modal dan edukasi kepada calon investor yang mencakup ketentuan mengenai pemenuhan MKBD oleh perusahaan efek. c. Perusahaan asuransi dan reasuransi yang memenuhi persyaratan minimum RBC (Risk Based Capital) (KK-7.3). Berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (2) huruf c KMK No.424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, persyaratan minimum RBC (Risk Based Capital) perusahaan asuransi dan reasuransi ditetapkan sebesar 120% dari batas tingkat solvabilitas minimum yaitu sebesar jumlah dana yang dibutuhkan untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban. Jumlah perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang memenuhi persyaratan minimum RBC selama tahun 2011 tampak pada tabel Tabel 3.29 Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang Memenuhi Persyaratan Minimum RBC Tahun 2011 Kuartal I Kuartal II Kuartal III Kuartal IV Jumlah Perusahaan Perasuransian Perusahaan yang memenuhi persyaratan minimum RBC Rasio 94,89% 97,06% 94,78% 95,52% Rata-rata sampai dengan triwulan IV ,93% Pada tahun 2011, Kementerian Keuangan telah menetapkan target untuk jumlah perusahaan perasuransian yang memenuhi persyaratan minimum RBC di tahun 2011 adalah sebesar 93%, sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk tahun 2011 pencapaiannya telah melampaui target, dengan nilai pencapaian sebesar 103%. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

86 Pencapaian IKU ini tidak terlepas dari upaya Kementerian Keuangan dalam melaksanakan: 1) Penelaahan atau pelaksanaan analisis atas laporan berkala perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. 2) Pemeriksaan langsung terhadap perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. 3) Penegakan hukum atas pelanggaran yang ditemukan dengan pemberian/pengenaan sanksi. d. Tingkat Penetrasi Asuransi (KK-7.4). Tingkat penetrasi asuransi merupakan rasio jumlah premi terhadap Gross Domestic Product (GDP) dalam kurun waktu tertentu. Pada triwulan I tahun 2011, tingkat penetrasi asuransi mencapai 2,11%, meningkat sebesar 29% dibandingkan periode triwulan IV tahun 2010 sebesar 1,63% (lihat tabel 3.30). Hal ini dikarenakan kenaikan premi bruto mencapai 21% pada triwulan I tahun 2011, sementara GDP mengalami penurunan sebesar 6%. Namun, di saat terjadi kenaikan GDP sebesar 12% pada triwulan II tahun 2011, tingkat premi bruto mengalami penurunan sebesar 7% menjadi sebesar 1,75%. Pada triwulan ini, tingkat penetrasi asuransi mulai mengalami penurunan hingga triwulan IV tahun 2011, sehingga tingkat penetrasi asuransi pada triwulan III dan IV tahun 2011 mengalami penurunan dibandingkan tingkat penetrasi asuransi triwulan sebelumnya karena pertumbuhan GDP pada periode yang sama masih lebih besar dari pada pertumbuhan jumlah premi bruto. Jumlah premi bruto perusahaan perasuransian diantaranya dipengaruhi oleh kebijakan penurunan target penjualan produk investasi oleh perusahaan dan penurunan premi unit link. Premi Bruto (dalam Triliun rupiah) GDP (dalam Triliun rupiah) Rasio (Premi Bruto/GDP) Rata-rata sampai dengan triwulan IV 2011 Tabel 3.30 Tingkat Penetrasi Asuransi Per Kuartal IV-2010 I-2011 II-2011 III-2011 IV ,96 32,62 30,29 31,12 31, , , , , ,60 1,63 % 2,11% 1,75% 1,72% 1,64% 1,80% Target tingkat penetrasi asuransi di tahun 2011 adalah sebesar 1,8%. Dengan mempertimbangkan pencapaian pada akhir triwulan 4 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa untuk tahun 2011 pencapaiannya telah melampaui target, dengan nilai pencapaian sebesar 101%. Pencapaian IKU ini tidak terlepas dari upaya sebagai berikut: 1) Melakukan penyusunan regulasi di bidang asuransi yang menjamin kepastian hukum dan keadilan. Untuk meningkatkan efektivitas pemeriksaan, pada tahun 2011 mulai diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.010/2010 tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian untuk menggantikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 423/KMK.06/2003 tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian. 74 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

87 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Adapun penyempurnaan yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/ PMK.010/2010 adalah: a) Menambah frekuensi pemeriksaan terhadap perusahaan asuransi dari sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun menjadi sekali dalam setahun. Terhadap pemeriksaan terhadap perusahaan penunjang usaha perasuransian ditambah dari sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun menjadi sekurang-kurangnya sekali dalam tiga tahun. b) Menambah jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan di Kementerian Keuangan untuk melengkapi jenis pemeriksaan yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu hanya pemeriksaan di kantor perusahaan. c) Menyempurnakan tujuan pemeriksaan menjadi: i. Memperoleh keyakinan mengenai kondisi perusahaan perasuransian yang sebenarnya. ii. Meneliti kesesuaian kondisi perusahaan perasuransian dengan peraturan perundangundangan serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat. iii. Memastikan bahwa perusahaan perasuransian telah menerapkan manajemen risiko dengan baik yang meliputi risiko tata kelola dan kepengurusan, risiko strategi dan perencanaan, risiko kepatuhan, risiko operasional, risiko asuransi, risiko likuiditas, risiko pasar dan investasi, serta risiko modal. iv. Memastikan bahwa perusahaan perasuransian telah melakukan upaya untuk dapat memenuhi kewajiban kepada tertanggung atau pemegang polis. 2) Melaksanakan program sosialisasi dan edukasi masyarakat tentang asuransi. 3) Mendukung setiap upaya industri dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat tentang asuransi. e Perusahaan Pembiayaan yang Memenuhi Rasio Permodalan (KK-7-5 ). Perusahaan pembiayaan yang memenuhi rasio permodalan merupakan jumlah perusahaan pembiayaan yang memiliki ekuitas dibanding dengan modal disetornya minimal 50% dalam upaya untuk meningkatkan kestabilan industri pembiayaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Hingga Triwulan IV tahun 2011, jumlah perusahaan yang telah memenuhi kriteria ini mencapai 190 atau rata-rata 96,52% dari seluruh perusahaan pembiayaan sebagaimana tampak pada tabel Tabel 3.31 Perusahaan Pembiayaan yang Memenuhi Rasio Permodalan I-2011 II-2011 III-2011 IV-2011 Jumlah Perusahaan Pembiayaan Perusahaan yang memenuhi rasio permodalan Rasio 96,88% 96,39% 95,38% 97,44% Rata-rata sampai dengan triwulan IV ,52% LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

88 Target jumlah Perusahaan Pembiayaan yang memenuhi rasio permodalan di tahun 2011 adalah sebesar 95%, sedangkan sampai dengan triwulan IV 2011 Perusahaan Pembiayaan yang memenuhi rasio permodalan rata-rata mencapai 96,52%. Mempertimbangkan pencapaian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa untuk tahun 2011 pencapaiannya telah melampaui target, dengan nilai pencapaian sebesar 101,6%. Pencapaian IKU ini tidak terlepas dari ketegasan dalam menetapkan sanksi kepada perusahaan pembiayaan yang belum memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Adapun indikator yang digunakan dalam menilai kepatuhan perusahaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 adalah sebagai berikut: 1) Perusahaan pembiayaan wajib memiliki piutang pembiayaan sekurang-kurangnya sebesar 40% dari total Aktiva. 2) Bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum, jumlah penyertaan modal pada perusahaan pembiayaan ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 50% dari modal sendiri. 3) Jumlah pinjaman bagi setiap perusahaan pembiayaan dibandingkan jumlah modal sendiri (networth) dan pinjaman subordinasi dikurangi penyertaan (gearing ratio) ditetapkan setinggitingginya sebesar 10 kali. 4) Pinjaman subordinasi yang dapat diperhitungkan dalam perhitungan gearing ratio sebanyakbanyaknya sebesar 50 % (lima puluh per seratus) dari modal disetor. Penelaahan tersebut dilakukan terhadap penyampaian laporan bulanan perusahaan pembiayaan. Selanjutnya atas penelaahan tersebut, Kementerian Keuangan dapat melaksanakan pemeriksaan terhadap Perusahaan Pembiayaan. Pemeriksaan secara langsung dilakukan terhadap Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan rasio permodalan. Sebagai tindak lanjut atas pemeriksaan yang telah dilakukan selama tahun 2011, telah diberikan sanksi berupa Surat Peringatan Pertama sampai dengan Ketiga, Pembekuan Kegiatan Usaha, dan/atau Pencabutan Izin Usaha. 8. Sasaran Strategis 8 adalah Tingkat Kepuasan pengguna layanan yang tinggi (KK-8). Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 1 (satu) Indikator Kinerja Utama (IKU), yaitu: KK 8. Tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi Indikator Kinerja Target Realisasi % Indeks Kepuasan Pengguna Layanan 3,92 3,87 98,72 76 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

89 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Kepuasan stakeholder merupakan salah satu indikator dari kinerja pelayanan dan pencapaian program peningkatan kinerja Kementerian Keuangan. Kepuasan masyarakat terhadap layanan yang diberikan merupakan suatu keadaan dimana keinginan, harapan, dan keperluan pengguna jasa dapat dipenuhi dengan baik. Suatu pelayanan dinilai memuaskan apabila dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pengguna jasa. Dengan diketahuinya tingkat kepuasan stakeholder, maka hal tersebut dapat dijadikan umpan balik (feedback) bagi unit-unit layanan dalam lingkup Kementerian Keuangan dalam rangka perbaikan pelayanan secara terusmenerus ke arah yang lebih baik (continuous improvement) jika hal tersebut masih di bawah target, atau untuk tetap menjaga kualitas pelayanan jika hal tersebut telah memenuhi target, atau bahkan untuk meningkatkan target di masa-masa yang akan datang. Unsur/dimensi layanan yang dinilai adalah sebagai berikut: a. Waktu penyelesaian. b. Keterbukaan. c. Informasi persyaratan. d. Kemampuan. e. Kesesuaian prosedur. f. Sikap petugas/pegawai. g. Akses terhadap Kantor Layanan. h. Lingkungan pendukung. i. Pengenaan sanksi. j. Kesesuaian pembayaran. Adapun indeks tingkat kepuasan pengguna layanan adalah sebagai berikut: a. 0 < x 1 berarti tidak puas; b. 1 < x 2 berarti kurang puas; c. 2 < x 3 berarti cukup puas; d. 3 < x 4 berarti puas; e. 4 < x 5 berarti sangat puas; Meskipun IKU untuk sasaran strategis ini hanya satu, karena Kementerian Keuangan memiliki 12 (dua belas) unit eselon I maka pada dasarnya IKU ini merupakan rata-rata dari capaian 12 (dua belas) unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan, dan Indeks Kepuasan Pengguna Layanan diukur melalui survei opini stakeholder terhadap layanan unggulan pada dua belas (12) unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan tersebut yang dilakukan oleh peneliti independen. Pada tahun 2007 hingga 2009 dilakukan oleh Universitas Indonesia, sedangkan pada tahun 2010 dan 2011 dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB). Populasi dalam survei opini ini adalah seluruh Kementerian/Lembaga, perusahaan (BUMN maupun Swasta), individu (WNI maupun non WNI) yang pernah menerima pelayanan dari 12 (dua belas) unit layanan Eselon I Kementerian Keuangan yang dianalisis dalam satu tahun terakhir (2010/2011). Sebaran responden dalam survei ini adalah meliputi enam kota di Indonesia yang disesuaikan dengan wilayah layanan Eselon I masingmasing yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Batam, Balikpapan, dan Makassar. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

90 Untuk menjamin keterwakilan responden terhadap keseluruhan populasi digunakan teknik probability sampling di mana pelaksanaannya menggunakan multi-stage random sampling. Data primer diperoleh melalui survei lapangan untuk memotret persepsi stakeholder Kementerian Keuangan. Data dikumpulkan melalui kuesioner, in depth interview, dan Focus Group Discussion (FGD) dengan perwakilan stakeholder (akademisi, DPR, wartawan, pengusaha) Kementerian Keuangan. FGD dilakukan sebagai bentuk klarifikasi dan crosscheck atas informasi yang diperoleh dari proses wawancara maupun menangkap opini yang berkembang di masyarakat dari berbagai kalangan. Perencanaan survei opini stakeholders telah dilakukan sejak Agustus 2011 dan pelaksanaan surveynya dilakukan sejak tanggal 1 hingga 30 November Berdasarkan hasil survei diperoleh nilai indeks kepuasan pengguna layanan Kementerian Keuangan tahun 2011 adalah sebesar 3,86 dengan rincian nilai indeks untuk masing-masing unit Eselon I tampak pada tabel 3.32 sebagai berikut: Tabel 3.32 Nilai Indeks Kepuasan Pengguna Layanan Kementerian Keuangan Tahun 2011 No. Satuan Kerja Nilai 1. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Sekretariat Jenderal (SETJEN) Inspektorat Jenderal (ITJEN) Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) 3.60 Rata-rata 3.86 Secara umum skor kepuasan stakeholder Kementerian Keuangan terhadap kinerja layanan pada tahun 2011 ini tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun 2010, yaitu sebesar 3,87. Capaian ini meskipun lebih rendah dari target yang ditetapkan, namun masih menunjukkan tingkat kepuasan stakeholder yang cukup tinggi yaitu masih di atas 3,5 dari skala 1-5 atau berarti pengguna merasa puas dengan layanan yang diberikan oleh Kementerian Keuangan (3 < x 4 berarti puas). Bila dilihat antar unit eselon I, ada sebagian unit eselon I yang mengalami peningkatan dan ada yang mengalami penurunan. Skor kepuasan stakeholder terhadap kinerja layanan antar unit Eselon I pada tahun 2011 berkisar antara 3,6 di BKF dan 4,10 di Itjen. Peningkatan skor kepuasan antara lain terjadi di DJA, Bapepam-LK, dan DJPK. Namun demikian, penurunan skor kepuasan stakeholder ini tidak serta merta menunjukkan penurunan kinerja layanan. Penurunan skor kepuasan dapat terjadi karena tuntutan peningkatan layanan dan harapan masyarakat terhadap kinerja yang terus meningkat, sementara perbaikan kinerja yang dilakukan dinilai belum mampu memenuhi tuntutan masyarakat. Hal ini akan dijadikan sebagai umpan balik untuk perbaikan kinerja di tahun-tahun mendatang. 78 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

91 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Variasi skor kepuasan stakeholder terhadap layanan pada unit kerja eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan, di samping dipengaruhi oleh kinerja layanan masing-masing unit eselon I, juga sangat dipengaruhi oleh karakteristik layanan unggulan yang diberikan, termasuk di dalamnya proses bisnisnya dan karakteristik stakeholder yang dilayaninya. Dengan demikian, nilai skor kepuasan terhadap kinerja layanan antar unit kerja eselon I sebenarnya tidak bisa diperbandingkan begitu saja satu dengan lainnya karena masing-masing unit memiliki karakteristik yang berbeda. Berdasarkan hasil survei tahun 2010 dan 2011, diperkirakan nilai skor kinerja tidak akan beranjak jauh melebihi nilai 4,00. Hal ini disebabkan karena tuntutan layanan masyarakat yang terus meningkat, sehingga meskipun sebagian besar responden menyatakan ada perbaikan kinerja layanan, penilaian terhadap kinerja tidak meningkat. Faktor psikologis responden juga turut berpengaruh, yaitu agak berat untuk memberikan nilai maksimum (5) dari suatu kinerja. Tidak banyak responden yang memberikan skor maksimum untuk suatu kinerja layanan, meskipun dalam survei tersebut responden banyak yang menyatakan sangat puas. 9. Sasaran Strategis 9: Kajian dan rumusan kebijakan yang berkualitas (KK-9). Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 4 (empat) Indikator Kinerja Utama (IKU), yaitu: KK 9. Kajian dan perumusan kebijakan yang berkualitas Indikator Kinerja Target Realisasi % 1. Deviasi proyeksi indikator ekonomi makro 8,75% 3,48% 120,00 2. Deviasi proyeksi APBN 8,17% 4,75% 120,00 3. Tingkat akurasi exercise I-account 92,00% 98,20% 106,74 4. Penyelesaian LKPP dan Rancangan UU PPAPBN secara tepat waktu 3 (Tepat Waktu) 4 (Lebih Awal) 120,00 Uraian mengenai keempat IKU tersebut tampak berikut ini. a. Deviasi proyeksi indikator ekonomi makro (KK-9.1). Indikator ekonomi makro yang akurat sangat penting karena merupakan dasar bagi penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN dan merupakan gambaran kinerja perekonomian domestik selama tahun Indikator ini terdiri dari empat variable, yaitu pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah terhadap US Dollar, tingkat inflasi, dan suku bunga. Indikator ekonomi makro tersebut merupakan proyeksi yang disampaikan pada paparan pemantauan dini perekonomian Indonesia dalam Rapat Pimpinan Kementerian Keuangan. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

92 Berdasarkan empat variabel ekonomi tersebut, IKU Deviasi proyeksi indikator ekonomi makro diuraikan menjadi empat sub IKU sebagai berikut: 1) Deviasi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi. 2) Deviasi Proyeksi Inflasi. 3) Deviasi proyeksi nilai tukar. 4) Deviasi proyeksi suku bunga SBI 3 bulan. Penyusunan proyeksi asumsi dasar makro pada tahun 2011 mempertimbangkan berbagai faktor baik eksternal maupun internal, antara lain (i) seberapa dalam dan lama krisis perekonomian global akan berlangsung; (ii) efektivitas kerja sama global dalam mengatasi krisis dunia; dan (iii) efektivitas langkahlangkah kebijakan yang ditempuh Pemerintah untuk mengatasi dan memulihkan perekonomian nasional, dan (iv) perkembangan harga minyak dunia. Sementara itu perhitungan asumsi makro dilakukan dengan menggunakan ModeI Auto Regressive Integrated Moving Average (ARIMA). Capaian deviasi proyeksi indikator ekonomi makro pada tahun 2011 adalah sebesar 3,48% (dari target sebesar 8,75%). Capaian ini sedikit mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2010 yaitu sebesar 2,13% (dari target sebesar target 11%) meskipun masih di atas target yang telah ditetapkan. Capaian atas sub indikator kinerja utama pada kuartal IV 2011 adalah sebagaimana tampak pada Tabel Tabel 3.33 Capaian Sub Indikator Kinerja Utama Kuartal IV Tahun 2011 No Proyeksi Target Realisasi Deviasi Keterangan 1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 6.6% 6.5% 1.5% Perhitungan [( )/6.6] Pertumbuhan ekonomi sesuai dengan harapan seiring dengan membaiknya kondisi makro ekonomi Indonesia 2. Proyeksi Inflasi 4.00% 3.79% 5.25% Perhitungan :[( )/4.00] Stabilnya harga beras mendorong penurunan laju inflasi tahunan sehingga realisasi inflasi lebih rendah dibandingkan proyeksi 3. Proyeksi nilai tukar % Perhitungan : [ )/9011] Arus modal masuk (capital inflow) yang lebih besar daripada perkiraan dan pemulihan ekonomi AS yang tidak pasti menyebabkan realisasi nilai tukar lebih rendah dari proyeksi 4. Proyeksi suku bunga SPN 5% 4.8% 4% Perhitungan :( 5-4.8)/5 Deviasi proyeksi indikator ekonomi makro 2.76% Perhitungan: [(1.5% % % + 4%)/4] 80 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

93 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup b. Deviasi proyeksi APBN (KK-9.2). Ketepatan proyeksi APBN tampak pada Tabel Sebagaimana tampak pada Tabel 3.34, realisasi deviasi defisit APBN sebesar 10,7% terjadi karena realisasi belanja lebih rendah dari perkiraan, sedangkan realisasi penerimaan lebih tinggi dari yang diperkirakan. Adapun realiasi proyeksi penerimaan perpajakan dan proyeksi belanja K/L masih sesuai dengan targetnya. Meskipun demikian, secara total realisasi deviasi proyeksi APBN masih sesuai dengan targetnya yaitu sebesar 4,7 % (lebih rendah dari target sebesar 8,3%). Tabel 3.34 Ketepatan Proyeksi APBN No Proyeksi Target Realisasi Deviasi Keterangan 1. Proyeksi Defisit APBN (Miliar rupiah) 2. Proyeksi Penerimaan Perpajakan (juta rupiah) 3. Proyeksi Belanja K/L (Miliar rupiah) 8.934, ,4 10,7% Perhitungan: (7.975, ,3) / 8.934,3 Realisasi defisit lebih rendah dari proyeksi karena: 1. Realisasi belanja negara lebih rendah dari yang diproyeksikan 2. Realisasi penerimaan lebih tinggi dari yang diproyeksikan, terutama disebabkan oleh kinerja penerimaan pajakyang lebih baik dari tahun sebelumnya pada kuartal III ini , ,2 3,1% Perhitungan: ( , ,8)/ ,8 Realisai penerimaan perpajakan lebih tinggi dari proyeksinya disebabkan oleh peningkatan kinerja dari penerimaan pajak perdagangan internasional, PPh Non Migas, dan PPN Impor , ,5 0,3% Perhitungan: (99.883, ,1) / 8.934,3 Proyeksi belanja K/L didasarkan pola realisasi beberapa tahun sebelumnya dengan mempertimbangkan perubahan mekanisme penganggaran dan upaya optimalisasi penyerapan anggaran dari K/L Deviasi proyeksi APBN 4,7% c. Tingkat akurasi exercise I-account (KK-9.3). Exercise I-account adalah perhitungan perkiraan besaran APBN yang tertuang dalam tabel I-account (pagu indikatif, pagu sementara/rapbn, RAPBN-P, dan perkiraan realisasi) yang disusun berdasarkan asumsi dasar ekonomi makro dan arah kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Akurat maksudnya kesesuaian dan ketepatan antara angka dalam RUU APBN yang disusun berdasarkan formula yang berlaku dan masukan-masukan dari stakeholders terkait, dengan angka dalam Undang-undang APBN hasil keputusan rapat pimpinan Kementerian Keuangan dengan DPR tentang penyusunan APBN. Pencapaian target IKU tingkat akurasi exercise I-account adalah sebesar 99,93% yang berasal dari capaian realisasi akurasi exercise resource envelope Pagu Indikatif dan Pagu Anggaran/ RAPBN terhadap target, dengan rinci sebagai berikut: 1) Akurasi exercise pendapatan negara dan hibah tercapai akurasi sebesar 100 %. 2) Akurasi exercise belanja negara tercapai akurasi sebesar 100%. 3) Akurasi exercise pembiayaan anggaran tercapai akurasi sebesar 99,8%. Pencapaian IKU tingkat exercise I-Account tahun 2011 sebesar 99,93% lebih baik daripada pencapaian tahun 2010 yang sebesar 99,7 %. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

94 d. Penyelesaian LKPP dan Rancangan UU PPAPBN secara tepat waktu (KK-9.4). Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan anggaran yang terdiri dari LRA, Neraca, LAK, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Sampai dengan triwulan IV, penyelesaian LKPP (unaudited) dan penyelesaian Rancangan Undang-Undang PP APBN direalisasikan 7 hari lebih awal dari waktu yang telah ditetapkan yaitu pada tanggal 30 Juni 2011 (indeks = 4). Pada semester I tahun 2011, LKPP semester I tahun 2011 telah diselesaikan dan ditandatangani oleh Menteri Keuangan pada tanggal 25 Agustus 2011 sesuai dengan Pernyataan Tanggung Jawab LKPP semester I Tahun 2011 tertanggal 25 Agustus Penyampaian RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN TA 2010 oleh Presiden kepada DPR telah dilakukan pada tanggal 23 Juni 2011 sesuai surat Presiden Republik Indonesia nomor R-30/ Pres/06/2011 tanggal 23 Juni Pada tahun 2012, dalam rangka penyusunan LKPP dan Rancangan Undang-undang Pelaksanaan Pertanggungjawaban APBN secara tepat waktu, beberapa kegiatan telah direncanakan untuk dilaksanakan, yaitu: 1) Konsolidasi laporan Keuangan Kementerian/Lembaga dan Bendahara Umum Negara (BUN) termasuk laporan keuangan Transaksi Khusus. 2) Melakukan pengumpulan atas Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga dan Bendahara Umum Negara. 3) Penyusunan LKPP dan LK BUN Semester I Tahun Anggaran ) Pembahasan RUU PP APBN bersama DPR. 5) Penyelesaian RUU PP APBN. 10. Sasaran Strategis 10: Pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang efektif dan efisien (KK-10) Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 5 (lima) Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut: KK 10. Pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang efektif dan efisien Indikator Kinerja Target Realisasi % 1. Rata-rata persentase realisasi janji layanan unggulan 100,00% 97,40% 97,40 2. Persentase tingkat akurasi perencanaan kas 85,00% 86,55% 101,82 3. Rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang 6,60% 5,30% 119,70 4. Akurasi Penetapan yield/imbalan SBN dan biaya pinjaman 100,00% 95,56% 111,12 terhadap benchmark 5. Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri 100,00% 101,08% 101,08 82 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

95 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Uraian mengenai kelima IKU tersebut tampak berikut ini. a. Rata-rata persentase realisasi janji layanan unggulan (KK-10.1). IKU rata-rata persentase realisasi janji layanan unggulan mengukur layanan unggulan yang disampaikan ke pihak eksternal Kementerian Keuangan sebagai pengguna jasa telah sesuai dengan Quick Win Standard Operating Procedures (SOP). IKU ini dilaksanakan oleh delapan unit Eselon I yang memiliki SOP pelayanan kepada masyarakat. Uraian mengenai realisasi janji layanan unggulan setiap unit tersebut tampak berikut ini. 1) Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Rata-rata persentase realisasi janji layanan unggulan DJA adalah 95,08% dengan target pencapaian sebesar 100%. Capaian masing-masing layanan unggulan DJA tampak pada tabel 3.35 berikut ini. Tabel 3.35 Layanan Unggulan Direktorat Jenderal Anggaran No. Layanan Unggulan Target Capaian % 1. Realisasi persentase penyelesaian SBK tepat waktu 2. Realisasi persentase penyelesaian SP RKA-KL tepat waktu 3. Realisasi persentase penyelesaian RPP tentang Jenis dan tarif atas Jenis PNBP atau Revisi yang berlaku pada K/L 4. Realisasi persentase ketepatan waktu penyusunan target dan pagu PNBP 5. Realisasi persentase penyelesaian Revisi RKA-KL tepat waktu Bulan Agustus Bulan November N/A Ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.02/2011 tanggal 1 Agustus 2011 (Tepat waktu) Tepat waktu 100% bulan November 2011 Ditetapkan RPP Jenis dan Tarif PNBP pada 3 K/L, yaitu pada Setneg, BMKG, dan BKN 71 K/L tepat waktu Dari total 71 KL, 20 KL terlambat menyampaikan (Juni) 5 hari kerja Dari total 1228 revisi terdapat 60 revisi yang melebihi 5 hari kerja Dari 5 (lima) layanan unggulan DJA, 2 (dua) layanan belum dapat diselesaikan tepat waktu yaitu ketepatan waktu penyusunan target dan pagu PNBP serta penyelesaian revisi RKA-KL tepat waktu. Hal ini disebabkan oleh: a) Berita Acara Pembahasan dari Kementerian/Lembaga terlambat disampaikan, yaitu yang seharusnya pada bulan Mei disampaikan bulan Juni. b) Revisi yang melebihi 5 (lima) hari kerja disebabkan oleh proses administrasi, yaitu penyampaian data dukung dari Kementerian/Lembaga yang belum disertai surat pengantar sehingga harus diminta kembali. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

96 2) Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Untuk kinerja pelayanan, pelayanan tepat waktu ditargetkan sebesar 100% dari seluruh pelayanan unggulan. Selama tahun 2011, tercatat sebanyak permohonan WP atas 16 layanan unggulan, sejumlah (95,29%) permohonan WP layanan unggulan yang diproses memenuhi jangka waktu yang telah ditetapkan. Nilai capaian yang berada di bawah target ini disebabkan pengukuran kinerja masih didasarkan pada produk dan bukan didasarkan pada kecepatan, sehingga dengan banyaknya unit vertikal di lingkungan DJP, maka capaian 100% tidak dapat terpenuhi. Action plan yang akan dilakukan pada tahun 2012 atas capaian tahun 2011 adalah sebagai berikut: a) Melakukan evaluasi dan monitoring terhadap 16 layanan unggulan, termasuk menyusun rapor kinerja layanan unggulan secara nasional. b) Melakukan evaluasi dan monitoring terhadap layanan perpajakan lainnya yang mencakup pengamatan langsung (site visit) untuk memperoleh informasi tentang hambatan yang dihadapi dalam pemberian layanan prima. c) Melakukan pemantauan atas pengisian laporan melalui aplikasi pengukuran kinerja atas layanan unggulan, termasuk pemberian teguran bagi unit yang terlambat/tidak memasukkan laporan. d) Menyusun panduan pengisian aplikasi pengukuran kinerja layanan unggulan untuk menyeragamkan pemahaman tentang sumber data pengukuran kinerja. 3) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Pada tahun 2011, capaian IKU Janji Layanan Unggulan DJBC diukur dari 6 (enam) jenis layanan yaitu Pelayanan Permohonan Penyediaan Pita Cukai MMEA Asal Impor (P3C MMEA), Pelayanan Penyelesaian Barang Impor untuk Dipakai Jalur MITA Prioritas, Pelayanan Penyelesaian Barang Impor untuk Dipakai Jalur Hijau, Pelayanan Permohonan Penyediaan Pita Cukai Hasil Tembakau (P3C) Pengajuan Awal Secara Elektronik, Pelayanan Permohonan Penyediaan Pita Cukai Hasil Tembakau (P3C) Pengajuan Tambahan Secara Elektronik, serta Pelayanan Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau (CK-1) Secara Elektronik. Data capaian kinerja janji layanan unggulan untuk tahun 2011 sebagaimana Tabel KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

97 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Tabel 3.36 Data Realisasi Janji Layanan Unggulan DJBC Tahun 2011 No Janji layanan unggulan PIC S.d. Bulan Desember Jumlah Memenuhi Target Dokumen Dokumen % 1 Pelayanan Permohonan Penyediaan ,00% Pita Cukai MMEA Asal Impor (P3C Dit. Cukai MMEA) [11 (sebelas) hari kerja] 2 Pelayanan Penyelesaian Barang Impor untuk Dipakai Jalur MITA Prioritas ,996% [20 (dua puluh) menit] KPU Priok 3 Pelayanan Penyelesaian Barang Impor ,993% untuk Dipakai Jalur Hijau [30 (tiga puluh) menit] 4 Pelayanan Permohonan Penyediaan ,925% Pita Cukai Hasil Tembakau (P3C) Pengajuan Awal Secara Elektronik [1 (satu) jam] 5 Pelayanan Permohonan Penyediaan ,00% Pita Cukai Hasil Tembakau (P3C) KPPBC Kudus Pengajuan Tambahan Secara Elektronik [1 (satu) jam] 6 Pelayanan Pemesanan Pita Cukai Hasil ,598% Tembakau (CK-1) Secara Elektronik [20 (dua puluh) menit] Total ,92% Sampai dengan bulan Desember 2011, capaian untuk janji layanan unggulan secara keseluruhan adalah sebesar 99,92% dari target yang ditetapkan sebesar 100%. Dari data capaian tersebut, jumlah dokumen yang tidak mencapai target waktu janji layanan adalah 51 dari total dokumen (0,01%). Faktor penyebab tidak tercapainya beberapa dokumen sesuai janji layanan antara lain adalah sebagai berikut: a) Faktor yang di luar kontrol DJBC, yaitu diperlukannya waktu untuk menunggu konfirmasi dari pihak bank pada saat verifikasi dokumen di mana hal tersebut di luar jangkauan sistem Bea dan Cukai. b) Pemeliharaan server yang dilakukan secara rutin yang mengharuskan server untuk dimatikan. c) Adanya perbaikan/pergantian hardware sistem yang rutin maupun dalam hal force majeure. Langkah-langkah yang sudah dilakukan untuk mengoptimalkan capaian kinerja layanan unggulan yaitu: a) Berkoordinasi dengan Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai khususnya untuk masalah yang terkait dengan terjadinya kesalahan pada sistem pelayanan. b) Melakukan pembinaan secara personal kepada para pegawai untuk mencegah terhambatnya pelayanan terhadap dokumen. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

98 4) Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb). IKU rata-rata persentase realisasi janji layanan unggulan DJPB terdiri dari 4 Sub IKU, yaitu: a) Persentase jumlah Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang diselesaikan secara tepat waktu dari target sebesar 100% terealisasi 98,66%. Pada tahun 2011, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara seluruh Indonesia menerbitkan sebanyak SP2D. Dari jumlah tersebut, sebanyak SP2D diterbitkan secara tepat waktu atau dapat diterbitkan sesuai batas waktu yang ditetapkan yaitu satu jam. Realisasi sebesar 98,66% tersebut dicapai dikarenakan adanya Surat Perintah Membayar (SPM) belanja pegawai yang dimasukkan dalam perhitungan, dimana SP2D Belanja Pegawai tidak termasuk kategori SP2D yang wajib diselesaikan dalam waktu satu jam. Selain itu masih ada pula SPM yang memerlukan penelitian secara lebih mendalam sehingga penerbitan SP2D melebihi batas waktu yang ditetapkan. b) Pada tahun 2011, untuk sub IKU berupa persentase jumlah satuan kerja yang dokumen pelaksanaan anggarannya diselesaikan secara tepat waktu dari target sebesar 100% dapat direalisasikan sebesar 100%. Target dapat tercapai karena dari sebanyak dokumen pelaksanaan anggaran yang diverifikasi, keseluruhannya dapat diselesaikan secara tepat waktu. c) Dokumen pelaksanaan anggaran yang perlu dilakukan revisi pada tahun 2011 berjumlah dokumen. Dari jumlah tersebut seluruhnya dapat diselesaikan tepat waktu (100%). d) Hambatan jarak dan sarana transportasi khususnya untuk satuan kerja yang berlokasi di daerah terpencil, menyebabkan realisasi sebesar 97,58% dari target sebesar 100% untuk sub IKU berupa persentase rekonsiliasi realisasi APBN yang handal dan tepat waktu. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan kepada stakeholder, untuk tahun 2012 akan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: a) Melibatkan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk melakukan pembinaan dan pemantauan kepada KPPN terhadap ketepatan waktu penerbitan SP2D. b) Menjamin kebenaran dan kelengkapan dokumen atau persyaratan lainnya dalam pengajuan SPM. c) Melakukan sosialisasi aplikasi revisi DIPA kepada satuan kerja. d) Mengefektifkan pelaksanaan rekonsiliasi melalui media elektronik ( ) seperti yang telah diterapkan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 5) Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). SOP layanan unggulan di lingkungan DJKN mengatur kesesuaian prosedur dan batas waktu penyelesaian yang sesuai dengan janji layanan dalam SOP layanan unggulan. Penyelesaian permohonan dihitung sejak dokumen permohonan dinyatakan lengkap. Selama tahun 2011, persentase realisasi yang sesuai dengan SOP layanan unggulan tercapai sebesar 97,47% atau 2,53% lebih rendah dari target 86 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

99 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup SOP atas janji layanan unggulan tersebut belum dapat tercapai sebesar target karena terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan layanan. Kendala tersebut diantaranya karena terdapat aktivitas yang bukan merupakan otoritas internal DJKN c.q KPKNL misalnya di bidang lelang, yaitu aktivitas penetapan nilai limit dan pengumuman lelang. Hal ini membuat DJKN tidak bisa menetapkan patokan waktu penyelesaian. Untuk mengatasi kendala tersebut, telah dilakukan evaluasi dan pembahasan bersama. Salah satu solusinya adalah dengan melakukan perubahan SOP layanan unggulan, yaitu SOP layanan unggulan bidang lelang dipecah menjadi 7 (tujuh) SOP sebagai berikut (SOP Link): a) SOP Penetapan Jadwal Lelang. b) SOP Pelaksanaan Lelang. c) SOP Pelayanan Kuitansi Pembayaran Harga Lelang. d) SOP Pelayanan Dokumen Kepemilikan Barang. e) SOP Pelayanan Kutipan Risalah Lelang. f) SOP Pelayanan Salinan Risalah Lelang. g) SOP Pengembalian Uang Jaminan Lelang. 6) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). SOP dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan untuk kinerja utamanya mencakup hal-hal sebagai berikut: a) Pengalokasian DAU, target tahunan diselesaikan pada Akhir Oktober setiap tahunnya. b) Pengalokasian DAK, target tahunan diselesaikan pada Akhir Oktober setiap tahunnya. c) Pengalokasian DBH Pajak, target tahunan diselesaikan pada Akhir Oktober setiap tahunnya. d) Pengalokasian DBH Sumber Daya Alam, target tahunan diselesaikan pada Akhir Oktober setiap tahunnya. e) Penyaluran Dana Transfer ke Daerah, penerbitan SPP dan SPM paling lama 4 hari setelah syarat administrasi dipenuhi. f) Evaluasi Perda/Raperda PDRD, pelaksanaan evaluasi maksimal 15 hari kerja. Pengalokasian DAU, DAK, dan DBH telah memenuhi norma waktu yang telah ditentukan dalam SOP yaitu setelah diterimanya data dari instansi teknis terkait dan mengikuti proses siklus pembahasan APBN dengan DPR-RI (lihat uraiannya pada Tabel 3.37). Hasilnya ditindaklanjuti dengan penerbitan UU APBN, Perpres, dan PMK/KMK. Sementara ada 2 (dua) SOP quick win terkait penyaluran transfer ke daerah telah menyelesaikan proses penerbitan dokumen transfer mulai dari DIPA, SKTRD, sampai dengan SPM, sesuai dengan norma waktu dalam SOP, yaitu maksimal 4 hari setelah dokumen diterima lengkap di DJPK. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

100 Tabel 3.37 Capaian Kinerja Layanan Unggulan DJPK No. Layanan Unggulan Target Capaian % 1. Pengalokasian DAU Akhir Oktober telah memenuhi norma waktu yang 100 % telah ditentukan dalam SOP yaitu setelah diterimanya data dari instansi teknis terkait dan mengikuti proses siklus pembahasan APBN dengan DPR-RI. 2. Pengalokasian DAK Akhir Oktober telah memenuhi norma waktu yang 100 % telah ditentukan dalam SOP yaitu setelah diterimanya data dari instansi teknis terkait dan mengikuti proses siklus pembahasan APBN dengan DPR-RI. 3. Pengalokasian DBH Akhir Oktober telah memenuhi norma waktu yang 100 % Pajak telah ditentukan dalam SOP yaitu setelah diterimanya data dari instansi teknis terkait dan mengikuti proses siklus pembahasan APBN dengan DPR-RI. 4. Pengalokasian DBH Sumber Daya Alam 5. Penyaluran Dana Transfer ke Daerah 6 Evaluasi Perda/ Raperda PDRD Akhir Oktober telah memenuhi norma waktu yang telah ditentukan dalam SOP yaitu setelah diterimanya data dari instansi teknis terkait dan mengikuti proses siklus pembahasan APBN dengan DPR-RI paling lama 4 hari setelah syarat administrasi dipenuhi maksimal 15 hari kerja. telah menyelesaikan proses penerbitan dokument transfer mulai dari DIPA, SKTRD, sampai dengan SPM, sesuai dengan norma waktu dalam SOP, yaitu maksimal 4 hari setelah dokumen diterima lengkap Penyaluran dana transfer ke 524 daerah dilaksanakan tepat waktu Dari 3297 Raperda, 2770 Raperda diselesaikan tepat waktu sedangkan 527 Raperda tidak tepat waktu 100% 100 % 84,02% Janji layanan unggulan Evaluasi Raperda PDRD adalah paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat koordinasi dari Gubernur atas evaluasi Raperda Kabupaten/ Kota atau Menteri Dalam Negeri atas evaluasi Raperda provinsi. Apabila melewati jangka waktu 15 (lima belas) hari tersebut, maka dianggap tidak memenuhi kriteria janji layanan unggulan. Sampai dengan tanggal 12 Desember 2011 telah tercapai sebesar 81% evaluasi Raperda PDRD yang tepat waktu atau di bawah target yang mengharuskan 100% tepat waktu. Hal ini dikarenakan telah terjadi perubahan pola perhitungan dari rata-rata evaluasi Raperda menjadi pelayanan evaluasi untuk setiap Raperda yaitu 15 hari. Jumlah Raperda yang telah direkomendasikan sebanyak Raperda, yang tepat waktu sebanyak Raperda dan yang tidak tepat waktu sebanyak 488 Raperda. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan evaluasi Raperda selama tahun berjalan adalah sebagai berikut: a) Daerah sering menyampaikan Raperda secara bersamaan dalam jumlah yang cukup banyak dari satu atau beberapa Kabupaten/Kota. Banyaknya volume Raperda yang perlu dievaluasi dalam jangka waktu yang sama yaitu 15 (lima belas) hari akhirnya menyebabkan keterlambatan. b) Daerah seringkali menyampaikan Raperda tanpa dilengkapi lampiran-lampiran pendukung sehingga tidak bisa dilakukan proses evaluasi. 88 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

101 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Langkah yang dilakukan dalam mengatasi kendala-kendala selama tahun 2011: a) Menghubungi pejabat/staf daerah yang bersangkutan agar ke depannya tidak mengirimkan Raperda dalam jumlah banyak sekaligus pada waktu yang bersamaan. b) Menghubungi dan menyurati daerah yang bersangkutan agar melengkapi lampiranlampiran dengan mengirimkan secara pos atau elektronik sehingga proses evaluasi raperda dapat segera dilaksanakan. c) Realokasi pegawai untuk membantu mengevaluasi Raperda PDRD agar tercapai target waktu penyelesaian yang telah ditetapkan 7) Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU). Rata-rata persentase realisasi janji layanan unggulan merupakan ukuran untuk mengetahui apakah pelayanan yang diberikan di bidang pengelolaan utang kepada para pengguna jasa sudah sesuai dengan Quick Win Standard Operating Procedures (SOP). IKU ini mengukur ketepatan waktu janji layanan untuk setiap tahapan dalam SOP. Pada tahun 2011, rata-rata persentase realisasi janji layanan unggulan ditargetkan sebesar 100% dengan realisasi sebesar 100% (lihat Tabel 3.38). Monitoring terhadap pelaksanaan SOP Layanan Unggulan dilaksanakan pada Direktorat Pinjaman dan Hibah, Direktorat Surat Utang Negara, Direktorat Pembiayaan Syariah, serta Direktorat Evaluasi, Akuntansi, dan Setelmen. No SOP 1 Pengadaan Pinjaman Dalam Negeri 2 Pelayanan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penyelesaian Transaksinya 3 Lelang Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Perdana Tabel 3.38 Hasil Pengukuran Rata-rata Persentase Realisasi Janji Layanan Unggulan Tahun 2011 Standar waktu Frek SOP tepat waktu % Ket 78 hari kerja % Pengadaaan PDN dipengaruhi oleh pihak lain, sehingga masa tunggu tidak dihitung 10 hari kerja % 10 hari kerja % Rata-rata 100% Tantangan yang dihadapi dalam rangka pencapaian target indikator rata-rata persentase realisasi janji layanan unggulan antara lain: LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

102 a) Terdapat kesulitan dalam perhitungan rentang waktu efektif pelaksanaan layanan unggulan Pengadaan Pinjaman Dalam Negeri, karena banyak proses yang tergantung pada pihak lain yang dianggap sebagai masa tunggu. Di samping itu disebabkan pula oleh proses yang harus dilakukan secara berulang akibat adanya perubahan ketentuan maupun kondisi lainnya. Sebagai contoh misalnya pada penyusunan Surat Keputusan KPA-DJPU tentang Penunjukan PPK dan Pembentukan Panitia Pengadaan Calon Pemberi PDN, terdapat proses yang dianggap sebagai masa tunggu yaitu pada saat proses legal drafting di Sekretariat Direktorat Jenderal. Dalam proses tersebut terdapat beberapa kali perubahan/revisi, salah satunya disebabkan oleh perubahan anggota panitia. b) Rencana pelaksanaan transaksi lelang SBN yang telah dijadwalkan sesuai dengan Calendar of Issuance yang dipublikasikan berpotensi tidak dapat dilaksanakan (ditunda atau dibatalkan), antara lain karena: (1) kondisi pasar keuangan global yang tidak kondusif; (2) perubahan strategi dan kebijakan pengelolaan utang dan/atau pengelolaan kas yang terkait dengan penurunan/pengurangan jumlah target atau penundaan pelaksanaan penerbitan SBN; (3) underlying asset yang akan digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN tidak tersedia; (4) Adanya gangguan pada infrastruktur pendukung pelaksanaan lelang SBN. Upaya yang dilakukan menghadapi tantangan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: a) Menentukan mekanisme yang lebih efektif dalam menilai realisasi janji layanan unggulan Pengadaan Pinjaman Dalam Negeri, yaitu dengan mengikuti proses penyelesaian tiap output kegiatan di dalamnya. b) Meningkatkan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dan komunikasi secara efektif dengan pimpinan terkait dengan antisipasi terhadap penundaan/pembatalan jadwal lelang SBN, baik karena adanya perubahan strategi/kebijakan maupun kondisi pasar. c) Meningkatkan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam rangka penyiapan ketersediaan underlying asset penerbitan SBSN sesuai dengan target jumlah nominal penerbitan SBSN yang membutuhkan underlying asset secara lebih awal. d) Melakukan penyiapan dan uji coba sistem pendukung/infrastruktur transaksi secara berkala, terutama menjelang pelaksanaan lelang SBN. Dengan demikian, target pencapaian indikator rata-rata persentase realisasi janji layanan unggulan pada tahun 2011 dapat tercapai dengan baik. 90 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

103 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup 8) Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Layanan yang memenuhi target SOP adalah layanan yang diproses sesuai dengan waktu yang ditetapkan dalam SOP, dengan rata-rata persentase merupakan nilai rata-rata capaian IKU yang terkait dengan pelayanan quick win Bapepam-LK. Tabel 3.39 mentabulasikan capaian realisasi janji layanan unggulan selama 2011 adalah sebagai berikut: Uraian 1. Pelayanan Perizinan: a. Wakil Perantara Pedagang Efek (WPPE) b. Wakil Penjamin Emisi Efek (WPEE) 2. Pelayanan perizinan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana (WAPERD) 3. Pelayanan Pendaftaran Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif atau Perseroan 4. Pelayanan Pengesahan Pembentuk-an Dana Pensiun 5. Pelayanan Permohonan Pendaftaran Akuntan Sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal 6. Pelayanan Pemberian Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan. 7. Pelayanan Pemberian Izin Pembukaan Kantor Cabang Perusahaan Pembiayaan. 8. Layanan Biro Perasuransian yang memenuhi target SOP (Perusahaan asuransi & kantor cabang) 9. Pelayanan Pengajuan Pernyataan Pendaftaran Emiten/Perusahaan Publik Sektor Jasa 10. Pelayanan Pengajuan Pernyataan Pendaftaran Emiten/Perusahaan Publik Sektor Riil Target SOP 21 Hari Ker-ja 1 Hari Ker-ja Tabel 3.39 Realisasi Janji Layanan Unggulan Tahun 2011 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV P e r - m o - honan Sesuai Target % Sesuai Target % Sesuai Target % Permohonan Permohonan Permohonan Sesuai Target Hari , ,3 35 Hari Hari Ker-ja 21 Hari Ker-ja 21 Hari Kerja 21 Hari Kerja N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A Hari N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A 35 Hari Hari N/A N/A N/A N/A N/A N/A % Pada triwulan I dan II tahun 2011, dari 10 janji layanan unggulan terdapat 1 (satu) janji layanan unggulan yang tidak tercapai akibat adanya kesalahan dalam pengelolaan administrasi perizinan WAPERD. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

104 b. Persentase tingkat akurasi perencanaan kas (KK-10.2). Data untuk IKU berupa persentase tingkat akurasi perencanaan kas diperoleh dari tim Cash Planning Information Network (CPIN). Dari data tersebut didapat fakta bahwa realisasi IKU berupa persentase tingkat akurasi perencanaan kas pada triwulan IV tahun 2011 sebesar 87,93% yang melebihi target sebesar 85%, yang diperoleh dari rata-rata penjumlahan realisasi persentase tingkat akurasi perencanaan penerimaan kas sebesar 89,48% dan persentase tingkat akurasi perencanaan pengeluaran kas sebesar 86,37%. Rincian atas masing-masing tingkat akurasi pada Triwulan IV tahun 2011 adalah sebagaimana tampak pada Tabel 3.40 dan Tabel 3.41 Tabel 3.40 Akurasi Pengeluaran Kas dari Pengeluaran Belanja Negara dan Pengeluaran Pembiayaan Negara (Miliar rupiah) Bulan Perkiraan Realisasi Deviasi Akurasi Oktober , ,22 2,23% 97,77% November , ,48 18,81% 81,19% Desember , ,76 3,06% 96,94% Rata-rata tingkat akurasi 8,03% 91,97% Tabel 3.41 Akurasi Penerimaan Kas dari Penerimaan Pendapatan Negara dan Penerimaan Pembiayaan Negara (Miliar rupiah) Bulan Perkiraan Realisasi Deviasi Akurasi Oktober , ,91 18,16% 81,84% November , ,51 9,09% 90,91% Desember , ,91 4,24% 95,76% Rata-rata tingkat akurasi 10,50% 89,50% Dalam rangka meningkatkan capaian atas IKU berupa persentase tingkat akurasi perencanaan kas, pada tahun 2012 akan dilakukan langkah-langkah berupa: 1) Pengembangan sistem dan strategi peningkatan akurasi perencanaan kas. 2) Penyiapan regulasi dan proses bisnis perencanaan kas yang selaras dengan SPAN. c. Rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang (KK-10.3). Rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang menggambarkan beban utang yang harus ditanggung pemerintah dalam bentuk pembayaran beban bunga, biaya, dan imbal hasil dalam tahun berjalan dibandingkan dengan rata-rata outstanding utang pada tahun tersebut. IKU ini merupakan salah satu alat untuk mengukur efisiensi beban bunga yang harus ditanggung oleh Pemerintah dalam memenuhi target pembiayaan utang dalam satu tahun anggaran. Efisiensi dilakukan agar realisasi pembayaran bunga utang lebih rendah dari alokasi bunga utang yang ditetapkan dalam APBN, dengan tetap mempertimbangkan risiko dan pemenuhan target pembiayaan melalui utang. Hal ini berdampak pada rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang yang semakin rendah dan menunjukkan bahwa pengelolaan utang pada tahun anggaran tersebut telah efisien. 92 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

105 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Pada tahun 2011, rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang ditargetkan sebesar 6,11% sesuai dengan perubahan target dalam APBN-P dengan realisasi sebesar 5,30%. Sampai dengan akhir tahun, realisasi bunga utang sebesar Rp92,08 Triliun, sedangkan rata-rata outstanding utang akhir tahun 2011 adalah sebesar Rp1.738,76 Triliun (lihat Tabel 3.42). Tabel 3.42 Target dan realisasi pembayaran bunga dan rata-rata outstanding (Triliun rupiah) Uraian Target Realisasi Pembayaran bunga Rp105,87 Rp92,08 Rata-rata outstanding Rp1.733,55 Rp1.738,76 Rasio 6,11% 5,30% Realisasi rasio beban bunga yang lebih rendah dari target tersebut terutama disebabkan oeh beberapa faktor sebagai berikut: 1) Pengelolaan portofolio utang yang optimal sehingga menurunkan tingkat risiko dan biaya utang. 2) Nilai tukar rupiah rata-rata lebih kuat terhadap kurs APBN. 3) Pembatalan lelang SBN pada bulan Desember 2011 karena terpenuhinya kebutuhan kas. 4) Kondisi pasar keuangan yang lebih baik dari asumsi sehingga menurunkan tingkat bunga penerbitan dan tingkat bunga utang dengan bunga mengambang. Pada periode , perkembangan realisasi rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang menunjukkan indikator yang semakin baik, dalam artian cenderung menurun. Perkembangan rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang selama periode tampak pada Tabel Tabel 3.43 Outstanding Utang, (Triliun rupiah) No Uraian Realisasi LKPP Sementara 1 Pembayaran bunga utang 79,1 79,6 87,5 92,7 88,4 92,0 2 Rata-rata oustanding utang 1.307, , , , , ,1 Rasio (1/2) 4,99% 6,05% 5,91% 5,78% 5,41% 5,30% Beberapa tantangan dalam penurunan rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang, antara lain adalah sebagai berikut: a) Kondisi pasar keuangan yang dinamis, sehingga mempengaruhi antara lain hal-hal sebagai berikut: - Fluktuasi yield SBN yang berdampak pada pembayaran bunga SBN baru yang diterbitkan. - Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama mata uang yen dan US dollar yang sangat volatile. Pergerakan nilai tukar berdampak signifikan, baik pada pembayaran bunga utang valas maupun outstanding utang valas. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

106 - Perubahan risk appetite investor yang berpengaruh pada pemilihan jenis instrumen SBN yang diterbitkan. Pemilihan jenis instrumen yang diterbitkan berdampak pada pembayaran bunga utang dan komposisi outstanding utang. b) Realisasi penarikan pinjaman proyek tidak ditentukan oleh Kementerian Keuangan, tetapi ditentukan oleh pelaksana kegiatan yaitu Kementerian/Lembaga. Besaran realisasi penarikan pinjaman proyek berdampak pada pembayaran bunga dan posisi outstanding pinjaman. Langkah-langkah yang diambil dalam rangka menghadapi tantangan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1) Mengakomodasi perkiraan fluktuasi dan pergerakan nilai tukar dan yield/tingkat bunga dalam perhitungan pembayaran bunga utang. 2) Meningkatkan koordinasi dengan pihak terkait dalam penerapan readiness criteria dan penyusunan proyeksi penarikan pinjaman proyek. Dengan demikian target pencapaian indikator rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang pada tahun 2011 dapat tercapai dengan baik. d. Akurasi penetapan yield/imbalan SBN dan biaya pinjaman terhadap benchmark (KK-10.4). Indikator ini untuk mengukur tingkat ketepatan penentuan benchmark yang menjadi acuan dalam operasional penerbitan utang, sehingga dapat diperoleh suatu benchmark yang wajar, yang pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi pengelolaan utang. Untuk tahun 2011, akurasi penetapan yield/ imbalan SBN dan biaya pinjaman terhadap benchmark ditargetkan sebesar 100%, dengan realisasi sebesar 95,56%. Capaian tersebut diperoleh dari rata-rata capaian akurasi antara benchmark yang ditetapkan dengan yield SBN dan biaya pinjaman, dengan rincian sebagai berikut: 1) Perhitungan nilai rata-rata selisih antara benchmark yield SUN terhadap yield SUN (awarded) dilakukan atas 21 frekuensi transaksi lelang penerbitan SUN (89 seri) dan diperoleh hasil sebesar 4,38 basis points dari target 23 basis points. 2) Perhitungan nilai rata-rata selisih antara benchmark yield SBSN terhadap yield SBSN (awarded) dilakukan atas 7 frekuensi transaksi lelang penerbitan SBSN (15 seri), dan diperoleh hasil sebesar 13,66 basis points dari target 24 basis points. 3) Perhitungan nilai rata-rata selisih antara benchmark biaya pinjaman terhadap biaya pinjaman efektif dilakukan atas 7 pinjaman komersial diperoleh hasil, dan diperoleh hasil sebesar 35,2 basis points dari target 50 basis points. Capaian tersebut mendekati target disebabkan karena hal-hal sebagai berikut: 1) Penetapan benchmark telah mempertimbangkan kondisi pasar SBN menjelang berakhirnya lelang dan proyeksi demand pada saat lelang. 94 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

107 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup 2) Minat investor yang tinggi dalam pelaksanaan lelang SBN mendorong kompetisi dan kualitas harga/yield yang semakin baik (tail yang rendah). 3) Khusus pinjaman yang berasal dari Vnesconombank Rusia untuk pengadaan alutsista amunisi Shukoi, biaya pinjaman melebihi benchmark karena Vnesconombank Rusia ini adalah satusatunya bank yang bersedia membiayai alutsista amunisi Shukoi. Pinjaman ini dinegosiasikan pada bulan Januari tahun 2010 dimana benchmark pinjaman pada saat itu belum ditetapkan. Akan tetapi DJPU telah berusaha untuk melakukan negosiasi dari semula effective cost yang ditawarkan oleh Vnesconombank Rusia sebesar 13,71% menjadi sebesar 8,14%. Hambatan dan/atau tantangan yang dihadapi dalam rangka pencapaian target indikator akurasi penetapan yield/imbalan SBN dan biaya pinjaman terhadap benchmark yang antara lain minat dan penawaran investor yang masuk untuk membeli SBN dengan tenor pendek melalui lelang sangat besar sehingga penetapan yield-nya sulit diprediksi. Upaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan dan/atau tantangan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Melakukan pemantauan dan analisis terhadap hasil lelang SBN dengan tenor pendek dalam rangka konsistensi penentuan yield/harga. 2) Mengembangkan metode pricing SBN dalam rangka standarisasi metode pricing dan melakukan capacity building. Dengan demikian, target pencapaian indikator akurasi penetapan yield/imbalan SBN dan biaya pinjaman terhadap benchmark pada tahun 2011 dapat tercapai dengan baik. e. Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri (KK-10.5). Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri adalah rasio realisasi penerbitan SBN dengan denominasi rupiah di pasar dalam negeri terhadap target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri. Indikator ini bertujuan untuk meningkatkan proporsi pembiayaan APBN melalui utang yang bersumber dari dalam negeri dalam rangka meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan APBN dan mengurangi ketergantungan pada sumber pembiayaan luar negeri. Terdapat perubahan target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri berupa penambahan target SBN bruto sebesar Rp5,77 Triliun dari semula Rp168,55 Triliun menjadi Rp174,33 Triliun karena adanya dua hal sebagai berikut: 1) Perubahan strategi pembiayaan tahunan melalui utang bulan November 2011 sebagai akibat perubahan pada APBN-P dengan adanya penambahan target SBN dari dalam negeri Rp12,32 Triliun. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

108 2) Penghentian penerbitan SBN sebesar Rp6,55 Triliun pada bulan Desember 2011 karena proyeksi saldo kas Pemerintah s.d. akhir tahun 2011 dan awal Januari 2012 masih cukup besar untuk membiayai belanja Pemerintah. Pada tahun 2011, persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri ditargetkan sebesar Rp174,33 Triliun dan realisasinya sebesar Rp174,12Triliun (99,88%), sehingga terdapat kekurangan pembiayaan sebesar Rp0,21 Triliun dengan rincian sebagai berikut: 1) Kekurangan realisasi penerbitan SUN sebesar Rp0,34 Triliun. 2) Kelebihan realisasi penerbitan SBSN sebesar Rp0,13 Triliun, dengan rincian: a) Kelebihan penerbitan SBSN ritel Rp0,34 Triliun untuk menampung minat beli investor terhadap sukuk ritel dalam rangka memperluas basis investor ritel, serta membangun kemandirian pembiayaan dalam negeri. b) Kekurangan realisasi penerbitan SBSN dengan cara lelang sebesar Rp0,21 Triliun. Hambatan dan/atau tantangan yang dihadapi dalam rangka pencapaian target indikator persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri antara lain adalah sebagai berikut: 1) Potensi pasar SBSN domestik relatif masih terbatas, yang disebabkan masih terbatasnya perkembangan industri pasar keuangan domestik, khususnya keuangan syariah. 2) Target penerbitan SBSN yang besar dan tidak diimbangi dengan pertumbuhan pasar domestik, khususnya pasar keuangan syariah, dapat mendorong naiknya imbal hasil yang diminta investor. 3) Meningkatnya volatilitas pasar SBSN domestik sebagai akibat tingginya kepemilikan asing pada portofolio SBSN, dapat menghambat upaya Pemerintah untuk menyediakan pembiayaan APBN melalui penerbitan SBSN dengan tingkat biaya yang wajar. Upaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan dan/atau tantangan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1) Penyempurnaan mekanisme penerbitan SBSN, khususnya dengan mengimplementasikan Green Shoe Option dalam lelang SBSN. 2) Penguatan infrastruktur pasar dalam rangka peningkatan kinerja pasar sekunder SBSN dan mendukung transparansi harga serta mekanisme price discovery. 3) Melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia dalam rangka harmonisasi terhadap berbagai ketentuan yang dapat membatasi aktivitas kepemilikan dan perdagangan SBSN oleh perbankan syariah. 4) Menjamin ketersediaan underlying assets sesuai dengan jumlah kebutuhan penerbitan, dengan terus melakukan kajian diversifikasi aset SBSN dan mengembangkan instrumen SBSN baru menggunakan underlying selain Barang Milik Negara seperti proyek-proyek pada APBN. 96 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

109 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Dengan cara-cara yang demikian maka target pencapaian indikator Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri pada tahun 2011 relatif dapat tercapai dengan baik karena mendekati 100%, yaitu 99,88%. 11. Sasaran Strategis 11: Peningkatan edukasi masyarakat dan pelaku ekonomi (KK-11) Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 1 (satu) Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut: KK 11. Peningkatan edukasi masyarakat dan pelaku ekonomi Indikator Kinerja Target Realisasi % Tingkat efektivitas edukasi dan komunikasi 72 77,64 107,84 Dalam upaya memperkuat implementasi kebijakan di bidang keuangan dan kekayaan negara, maka perlu ada upaya peningkatan pemahaman stakeholders akan fungsi Kementerian Keuangan sebagai pengelola keuangan dan kekayaan negara. Bentuk peningkatan pemahaman stakeholders dapat dilakukan melalui komunikasi dan edukasi yang dilakukan secara kontinyu dan komprehensif. Efektivitas edukasi dan komunikasi merupakan bentuk pengukuran tingkat keberhasilan peserta pelatihan/sosialisasi/workshop dari pihak eksternal Kementerian Keuangan dalam hal pemahaman substansi/materi. Sebagaimana dengan Sasaran Strategis 8, IKU ini merupakan gabungan dari 9 (sembilan) unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki tugas memberikan pelatihan/ sosialisasi/workshop kepada pihak eksternal. Uraian mengenai capaian masing-masing dari 9 (sembilan) unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang terkait dengan IKU ini tampak berikut ini. a. Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Penilaian efektivitas edukasi dan komunikasi di lingkungan DJA terdiri atas 4 (empat) variabel sebagai berikut: 1) Tingkat pemahaman peserta (bobot=70%). 2) Kualitas materi (bobot=15%). 3) Kualitas narasumber (bobot=10%). 4) Kualitas sarana dan prasarana (bobot=5%). Penilaian efektivitas edukasi dan komunikasi didasarkan pada sebaran kuesioner terhadap peserta sosialisasi. Objek penilaian dalam kuesioner meliputi 6 (enam) objek yaitu: 1) Materi yang disampaikan lengkap dan komprehensif. 2) Materi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan. 3) Penyaji menguasai materi yang disampaikan. 4) Penyaji dapat menyampaikan materi dengan baik. 5) Tempat, sarana, dan prasarana memadai. 6) Secara umum sosialisasi ini sudah efektif. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

110 Berdasarkan 4 (empat) variabel tersebut diperoleh realisasi capaian kinerja IKU sebesar 78,30 dari target 80,00 sehingga persentase capaiannya sebesar 97,88%. Tingkat efektivitas edukasi dan komunikasi per jenis sosialisasi sebagaimana tampak pada Tabel Tabel 3.44 Penilaian Efektivitas Edukasi dan Komunikasi Jenis Sosialisasi Responden Target Realisasi % Sosialisasi PMK No 49/PMK.02/2011 tentang Tata Cara Revisi Anggaran ,00 73,65 92,06 Sosialisasi PMK No 93/PMK.02/2011 tentang , ,44 Petunjuk Penyusunan RKA-KL (gel 1) Sosialisasi PMK No 93/PMK.02/2011 tentang , ,13 Petunjuk Penyusunan RKA-KL (gel 2) Nilai Rata-rata 78,3 97,88 b. Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Realisasi kegiatan sosialisasi dan kehumasan Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2011 berjumlah kegiatan, di atas target sebanyak kegiatan yang direncanakan sehingga capaian kinerja atas kegiatan sosialisasi adalah sebesar 100,49%. Action plan yang perlu dilakukan atas capaian tahun 2011 adalah dengan melaksanakan penyuluhan kepada instansi pemerintah, swasta, pelaku usaha, asosiasi pelajar dan mahasiswa, baik langsung maupun melalui radio dan televisi. c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Penilaian efektivitas edukasi dan komunikasi di DJBC didasarkan pada sebaran kuesioner terhadap peserta sosialisasi. Objek penilaian dalam kuesioner tersebut meliputi 6 (enam) hal sebagai berikut: 1) Materi yang disampaikan lengkap dan komprehensif. 2) Materi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan. 3) Penyaji menguasai materi yang disampaikan. 4) Penyaji dapat menyampaikan materi dengan baik. 5) Tempat, sarana, dan prasarana memadai. 6) Secara umum sosialisasi ini sudah efektif. Survei tersebut dilakukan untuk mengukur Indeks Efektivitas Edukasi dan Komunikasi dalam skala 1-100, dengan keterangan sebagai berikut : 0 x 20 = tidak efektif 20 < x 40 = kurang efektif 40 < x 60 = cukup efektif 60 < x 80 = efektif 80 < x 100 = sangat efektif 98 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

111 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Hasil edukasi dan komunikasi selama tahun 2011 dapat ditabulasikan menjadi sebagaimana tampak pada Tabel Tabel 3.45 Jumlah Kegiatan dan Efektivitas Edukasi dan Komunikasi DJBC Tahun 2011 Rata2 Indeks Efektivitas No Periode Pelaporan Jumlah Kegiatan Edukasi dan Komunikasi (skala 1-100) 1 Januari 7 76,74 2 Februari 9 76,79 3 Maret April 3 81,82 5 Mei 1 87,41 6 Juni 12 80,78 7 Juli 2 84,25 8 Agustus 1 81,39 9 September Oktober 9 81,57 11 November 7 80,71 12 Desember 1 79,98 Total s.d. Desember 56 80,86 Indeks Efektivitas Edukasi dan Komunikasi pada tahun 2011 sebesar 80,86 telah melebihi target yang ditetapkan sebesar 70. Namun jika dibandingkan dengan capaian pada tahun 2010 sebesar 82,85 (dari target sebesar 60) mengalami penurunan. Walaupun demikian, persepsi kumulatif (rata-rata) stakeholder terhadap efektivitas edukasi dan komunikasi yang dilaksanakan oleh DJBC untuk sosialisasi pada tahun 2011 menunjukkan bahwa secara umum sosialisasi yang dilaksanakan sangat efektif karena capaiannya di atas 80. d. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB). Penyampaian informasi tugas bidang perbendaharaan adalah strategi Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam memberikan pemahaman kepada stakeholders terhadap pelaksanaan tugas DJPB secara komprehensif dan kontinyu sehingga stakeholders memiliki informasi sekaligus pengetahuan yang cukup mengenai bidang perbendaharaan. Usaha ini dilakukan antara lain melalui penyebaran pamflet yang berisi kebijakan maupun terobosan baru serta kegiatan yang telah ada sebelumnya di bidang perbendaharaan, penyelenggaraan pameran dan pemberitahuan yang berisi pencapaian kinerja di bidang perbendaharaan, pelaksanaan seminar yang membahas berbagai permasalahan yang dihadapi dalam bidang perbendaharaan dengan mengundang narasumber yang kompeten, pelaksanaan bimbingan teknis kepada stakeholders terkait fungsi perbendaharaan, serta pemanfaatan situs perbendaharaan sebagai media penyampaian berbagai informasi terkait bidang perbendaharaan. Realisasi IKU pada triwulan IV rata-rata sebesar 82,51 melebihi target sebesar 80. Secara keseluruhan pada tahun 2011, realisasi IKU berupa tingkat efektivitas edukasi dan komunikasi adalah sebesar 100,81%%. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

112 e. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Capaian tingkat efektivitas atas kegiatan edukasi dan komunikasi yang dilakukan oleh DJKN berdasarkan hasil kuesioner yang diperoleh dari para stakeholders diperoleh tingkat efektivitas atas kegiatan edukasi dan komunikasi yang dilakukan oleh DJKN sebesar 83,01% melebihi target yang ditetapkan sebesar 70%, dengan rincian sebagai berikut: 1) Tingkat efektivitas dan edukasi komukasi di bidang pengelolaan BMN sebesar 88,8. 2) Tingkat efektivitas dan edukasi komukasi di bidang pengelolaan KND sebesar 74,54. 3) Tingkat efektivitas dan edukasi komukasi di bidang Pengurusan Piutang Negara sebesar 80. 4) Tingkat efektivitas dan edukasi komukasi di bidang lelang sebesar 82,2. 5) Tingkat efektivitas dan edukasi komukasi di bidang penilaian sebesar 82,38. Pencapaian yang melebihi target tersebut antara lain disebabkan karena adanya upaya yang optimal dari Direktorat terkait untuk menyelenggarakan workshop/kegiatan sejenis lainnya sesuai dengan materi yang dibutuhkan stakeholders untuk meningkatkan kinerja mereka. Materi yang disampaikan juga merupakan current issue. Selain itu, dalam upaya memberikan kegiatan edukasi dan komunikasi yang efektif dan optimal, Direktorat yang terkait juga menghadirkan para narasumber yang kompeten di bidang masing-masing sehingga dapat memberikan materi pada workshop/kegiatan yang diadakan. f. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). Pelaksanaan sosialisasi/workshop/pelatihan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan Pemerintah Daerah dengan mengutamakan kualitas pelayanan informasi yang optimal, menjawab berbagai persoalan dan permasalahan yang terjadi di daerah sehingga Pemda dapat merasakan dampak positif dari penyelenggaraan sosialisasi/workshop/pelatihan yang dilaksanakan oleh DJPK. Secara keseluruhan rata-rata tingkat pencapaian efektivitas edukasi dan komunikasi telah melebihi target yaitu 77,16% dari target yang ditetapkan sebesar 70 yang berarti Efektif. Adapun kegiatan sosialisasi/bimbingan teknis/workshop yang diukur tingkat efektivitas dan komunikasinya terkait kebijakan hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah sebagai berikut: 1) Sosialisasi Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2) Bimbingan teknis. 3) Tata cara evaluasi Raperda tentang pajak daerah dan retribusi daerah. 4) Pembinaan dan monitoring peraturan peraturan daerah kabupaten/kota tentang pajak daerah dan retribusi daerah melalui kegiatan bimbingan teknis. 5) Sosialisasi Kebijakan DAU TA ) Sosialisasi Kebijakan DAK TA ) Sosialisasi Pelaksanaan DBH Pajak dan DBH Cukai Hasil Tembakau TA ) Sosialisasi Kebijakan Penyaluran Anggaran Transfer ke Daerah. 9) Bimbingan Teknis Mekanisme Tranfer DAK. 10) Sosialisasi Kebijakan pinjaman daerah Tahun ) Sosialisasi kebijakan pembiayaan dan kapasitas daerah Tahun ) Sosialisasi Pengelolaan Dana Urusan Bersama. 13) Sosialisasi Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. 100 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

113 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup g. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU). Dalam rangka memberikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat dan pelaku ekonomi akan fungsi SBN, dilakukanlah edukasi dan komunikasi kepada para stakeholders SBN. Pada tahun 2011, tingkat efektivitas edukasi dan komunikasi DJPU ditargetkan sebesar 70% (efektif), dengan realisasi sebesar 76,32%. Tabel 3.46 dan 3.47 masing-masing menjelaskan mengenai capaian hasil edukasi dan komunikasi untuk Sosialisasi SUN dan Sosialisasi SBSN. Tabel 3.46 Efektivitas Edukasi dan Komunikasi dalam Sosialisasi Surat Utang Negara Tahun 2011 No. Tanggal Lokasi Peserta Hasil (1) 9 Maret Universitas Syahkuala, Aceh 120 orang 79,90% (efektif) (2) 8 April Universitas Mulawarman, Samarinda 200 orang 77,65% (efektif) (3) 15 April Universitas Tanjung Pura, Pontianak 275 orang 75,28% (efektif) (4) 29 April Universitas Bengkulu, Bengkulu 115 orang 78,04% (efektif) (5) 6 Mei Universitas Lampung, Lampung 213 orang 70,40% (efektif) (6) 1 Juli Universitas Semarang, Semarang 217 orang 77,17% (efektif) (7) 25 November UII- Yogyakarta 252 orang 74,20% (efektif) (8) 3 Desember Universitas Indonesia,Depok 600 orang 75,40% (efektif) Tabel 3.47 Efektivitas edukasi dan komunikasi dalam Sosialisasi Surat Utang Negara Tahun 2011 No. Tanggal Lokasi Peserta Hasil (1) 24 Maret Bengkulu 105 orang 79,15% (efektif) (2) 29 Maret Samarinda 77 orang 76,20% (efektif) (3) 7 April Malang 74 orang 77,46% (efektif) (4) 29 April Institut Pertanian Bogor, Bogor 154 orang 75,52% (efektif) (5) 3 Mei Palu 74 orang 76,37% (efektif) (6) 12 Mei Ternate 60 orang 75,54% (efektif) (7) 19 Mei Bukittinggi 58 orang 75,98% (efektif) (8) 23 Juni Universitas Trunojoyo, Bangkalan 167 orang 75,98% (efektif) (9) 1 Juli Pematang Siantar 74 orang 75,77% (efektif) (10) 7 Juli Banten 76 orang 74,49% (efektif) (11) 17 November Aceh 150 orang 74,18% (efektif) (12) 29 November Palembang 199 orang 75,10% (efektif) (13) 6 Desember Makassar 157 orang 75,28% (efektif) Hambatan dan/atau tantangan yang dihadapi dalam rangka pencapaian target efektivitas edukasi dan komunikasi antara lain adalah sebagai berikut: 1) Penyebarluasan informasi terkait pengelolaan utang kepada masyarakat luas belum optimal dalam menjangkau investor di luar ibukota propinsi terutama di wilayah timur Indonesia. 2) Belum optimalnya penggunaan sarana informasi baik melalui media cetak maupun elektronik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pengelolaan utang. 3) Kondisi dan perkembangan pasar keuangan baik secara regional dan internasional yang dinamis menuntut keahlian dalam merespon informasi dan dinamika pasar tersebut. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

114 Upaya yang dilakukan menghadapi hambatan dan/atau tantangan tersebut adalah: 1) Terus berupaya meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak dalam penyelenggaraan sosialisasi terkait pengelolaan utang, antara lain dengan perguruan tinggi dan kelompokkelompok masyarakat, khususnya wilayah yang belum dijangkau pelaksanaan sosialisasi. 2) Mengoptimalkan penggunaan sarana informasi baik melalui media cetak maupun elektronik terutama untuk menjangkau wilayah-wilayah yang secara geografis sulit dijangkau untuk melakukan sosialisasi tentang pengelolaan utang. 3) Meningkatkan kerjasama dan partisipasi secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan baik dalam forum regional maupun internasional. Dengan demikian, target pencapaian indikator tingkat efektivitas edukasi dan komunikasi, pada tahun 2011 dapat tercapai dengan baik. h. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Edukasi di bidang pasar modal dan jasa keuangan nonbank adalah kegiatan yang meliputi sosialisasi, seminar, workshop, lokakarya, pelatihan dan kegiatan sejenis lainnya dalam rangka meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dan pelaku industri di bidang Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nonbank. Tingkat efektivitas diukur berdasarkan umpan balik atas kuesioner yang dibagikan kepada peserta yang mencakup: 1) Tingkat pemahaman peserta, dengan bobot 70%. 2) Kualitas materi yang disampaikan, dengan bobot 15%. 3) Kualitas fasilitator kegiatan, dengan bobot 10%. 4) Fasilitas kegiatan, dengan bobot 5%. Target efektivitas edukasi dan komunikasi yang ditetapkan pada tahun 2011 adalah sebesar 70%, dan sampai dengan triwulan IV tingkat efektivitas edukasi dan komunikasi yang dilaksanakan mencapai 83,59%. i. Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Capaian kinerja efektivitas edukasi dan komunikasi BKF pada tahun 2011 adalah sebesar 79,79% dari target sebesar 70. Bidang kebijakan yang dikomunikasikan kepada pihak ekstern meliputi kebijakan bidang pendapatan Negara, bidang ekonomi makro, pengelolaan risiko fiskal, dan kerja sama keuangan internasional. Kegiatan sosialisasi ini dilaksanakan di berbagai kota di Indonesia dan melibatkan narasumber dari berbagai instansi dan asosiasi, diantaranya Kementerian Perindustrian, IKPI, KADIN, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan lain-lain. 102 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

115 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup 12. Sasaran Strategis 12: Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif (KK-12). Dalam pencapaian sasaran strategis ini Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut: KK 12. Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif Indikator Kinerja Target Realisasi % 1. Rata-rata persentase kepatuhan dan penegakan hukum 65,10% 73,43% 112,80 2. Jumlah policy recommendation hasil pengawasan ,00 Uraian mengenai kedua IKU tersebut tampak berikut ini. a. Rata-rata persentase kepatuhan dan penegakan hukum (KK-12.1). Kepatuhan adalah kesesuaian tindakan stakeholder dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Penegakan hukum adalah segala upaya hukum yang dilakukan agar segala tindakan yang diambil dalam rangka pengelolaan keuangan dan kekayaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. IKU ini bertujuan untuk menilai kepatuhan stakeholder dalam rangka pengelolaan keuangan dan kekayaan negara serta penegakan hukum yang dilakukan oleh pegawai Kementerian Keuangan sehubungannya. IKU ini dilaksanakan oleh beberapa unit Eselon I yang pelayanannya kepada masyarakat memiliki keterkaitan yang erat dengan tindakan hukum. Uraian tentang realisasi kepatuhan dan penegakan hukum pada unit-unit tersebut tampak berikut ini. 1) Direktorat Jenderal Pajak (DJP). DJP menjabarkan IKU ini ke dalam 4 (empat) sub IKU sebagai berikut: a) Persentase jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi terdaftar terhadap jumlah Kepala Keluarga. Meskipun DJP melakukan Clean up data Wajib Pajak yang dilakukan mulai bulan Oktober 2011 menyebabkan terjadinya pengurangan persentase pencapaian sebesar +0,5%, secara keseluruhan realisasi IKU persentase jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi terdaftar terhadap jumlah kepala keluarga tahun 2011 adalah sebesar 32,39%, melebihi target yang ditetapkan sebesar 31% sehingga persentase capaiannya adalah sebesar 104,48%. Keberhasilan pencapaian tersebut dikarenakan antara lain oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) Pelaksanaan ekstensifikasi di masing-masing Kantor Wilayah (Kanwil) DJP dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) telah berjalan dengan baik sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ./2007 tentang Pemberian NPWP Orang Pribadi Yang Berstatus Sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik dan Pegawai Melalui Pemberi Kerja/ Bendaharawan Pemerintah, dan PER-116/PJ./2007 tentang Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi Melalui Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

116 (2) Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) melalui e-registration atau datang langsung ke KPP sehubungan dengan telah diberlakukannya amandemen Undang-Undang PPh terkait dengan penerapan tarif PPh lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP. (3) Adanya kewajiban pemilikan NPWP dalam rangka pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 35/PJ/2008. (4) Terdapat pendaftaran WP lebih dari satu dalam satu Kepala Keluarga sehingga menambah persentase jumlah WP Orang Pribadi terhadap jumlah Kepala Keluarga. (5) Kegiatan Sensus Pajak Nasional yang dimulai pada bulan Oktober 2011 sehingga menambah jumlah NPWP baru. Action plan yang akan dilakukan pada tahun 2012 adalah dengan lebih mengoptimalkan kinerja Kanwil DJP dan KPP Pratama dalam pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi khususnya atas kegiatan ekstensifikasi WP Orang Pribadi Non Karyawan berdasarkan PER-116/PJ./2007 serta, mendorong penambahan jumlah Wajib Pajak dari koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah. b) Persentase realisasi penyelesaian pemeriksaan. Realisasi penyelesaian pemeriksaan pada tahun 2011 sebesar 78,68% di atas target sebesar 75%, sehingga persentase capaiannya adalah sebesar 104,91%. Selama tahun 2011 DJP telah menyelesaikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dengan capaian kinerja pemeriksaan sebagaimana tampak pada Tabel Tabel 3.48 Kinerja Pemeriksaan Pajak Tahun 2011 No Kinerja Target Realisasi Persentase Realisasi Target IKU 1 Penyelesaian LHP ,68% 75% 2 Penerimaan Rp9 Triliun Rp11,078 Triliun 123,08% 90% 3 Persentase jumlah Refund Discrepancy dan penerimaan pajakdari pemeriksaan terhadap realisasi penerimaan pajak Sumber: Laporan Akhir Tahun Direktorat Jenderal Pajak 1% dari penerimaan pajak nasional Rp29,016 Triliun Rp742,631 Triliun 3,91% 1% Action plan yang akan dilakukan pada tahun 2012 antara lain adalah sebagai berikut: (1) Penyempurnaan peraturan di bidang pemeriksaan. Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak diharapkan dapat lebih meningkatkan kualitas pemeriksaan yang selanjutnya dapat menurunkan tingkat sengketa antara Pemeriksa dengan Wajib Pajak serta dapat lebih memberikan keadilan kepada Wajib Pajak. 104 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

117 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Beberapa pokok perubahan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan 82 Tahun 2011 tersebut meliputi: (a) Adanya hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan dan menghadiri pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara Pemeriksa dengan Wajib Pajak. (b) Adanya kewajiban bagi Pemeriksa untuk memberitahukan kepada Wajib Pajak apabila: (1) dilakukan perpanjangan jangka waktu pemeriksaan dan (2) pemeriksaan ditingkatkan menjadi Pemeriksaan Bukti Permulaan. (c) Memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk melakukan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan atas hasil pemeriksaan. (d) Memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk tetap mengahadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan meskipun tidak menyampaikan tanggapan secara tertulis. (e) Menegaskan bahwa dalam hal jangka waktu pemeriksaan/perpanjangan terlampaui, maka pemeriksaan harus diselesaikan. (f) Penyempurnaan kebijakan juga dilakukan terhadap peraturan di bidang pemeriksaan terkait Transfer Pricing dan Transaksi Grup. Adapun peraturan yang direncanakan akan dibuat adalah peraturan mengenai: (1) Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Transfer Pricing dan (2) Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Simultan. (2) Peningkatan mutu pemeriksaan. Peningkatan mutu pemeriksaan dilakukan dengan pelaksanaan beberapa program, yaitu: (a) Peningkatan kapasitas Pemeriksa melalui berbagai diklat penjenjangan, diklat keahlian, dan berbagai In-House Training. (b) Pelaksanaan Reviu terhadap konsep Laporan Hasil Pemeriksaan. (c) Pelaksanaan Peer Review. (d) Pengendalian Mutu Pemeriksaan Transfer Pricing dan Mutual Agreement Procedure (MAP). (e) Monitoring Pemeriksaan Transfer Pricing dan Transaksi Grup. (3) Peningkatan efektivitas pemeriksaan. Peningkatan efektivitas pemeriksaan dilakukan dengan pelaksanaan beberapa program, yaitu: (a) Keharusan penyusunan Audit Plan. (b) Penyusunan proses bisnis per sektor. (c) Penyusunan modul pemeriksaan. (d) Kerjasama dengan IAPI dengan memberikan fasilitas di bidang pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian. Hal ini dilakukan dalam rangka mengurangi beban pemeriksaan rutin yang tinggi. (e) Kerjasama dengan beberapa instansi terkait termasuk dengan instansi penegak hukum. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

118 c) Persentase pencairan piutang pajak. Untuk pencairan piutang pajak pada tahun 2011, DJP berhasil melakukan pencairan piutang pajak sebesar Rp9,08 Triliun dari piutang pajak awal tahun sebesar Rp36,78 Triliun, sehingga pencairan piutang pajak sebesar 24,70% melampaui target sebesar 20%. Capaian tahun 2011 yang melebihi target ini disebabkan karena beberapa effort telah dimaksimalkan seperti penyanderaan kepada penanggung pajak, peningkatan pemblokiran rekening Wajib Pajak, dan peningkatan penagihan terhadap penanggung pajak. Kinerja pencairan piutang tahun 2011 tampak pada Tabel Tabel 3.49 Kinerja Pencairan Piutang Tahun 2011 KU Formula Target Target (%) Realisasi Realisasi (%) Persentase Pencairan Piutang Pajak Jumlah Pencairan Piutang Pajak Jumlah Piutang Pajak Awal Tahun Sumber: Laporan Akhir Tahun Direktorat Jenderal Pajak Rp7,355 Triliun Rp36,777 Triliun 20 Rp9,084 Triliun Rp36,777 Triliun 24,7 Action plan yang akan dilakukan pada tahun 2012 atas capaian tahun 2011 adalah sebagai berikut: (1) Tertib administrasi/berkas piutang pajak, yang mencakup hal-hal sebagai berikut: (a) Penyediaan ruangan khusus untuk penyimpanan berkas piutang. (b) Pembuatan rumah berkas penagihan per Wajib Pajak. (c) Scanning berkas fisik kohir dan produk hukum lainnya. (2) Penyusunan laporan piutang pajak yang akurat. (3) Prioritas tindakan penagihan adalah terhadap piutang dengan kriteria sebagai berikut: (a) Termasuk dalam 200 penunggak pajak terbesar baik yang ada di setiap Kanwil/KPP maupun secara nasional. (b) Nilainya melebihi Rp10 Miliar. (c) Piutang pada seluruh KPP di wilayah Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Kanwil DJP Jakarta Khusus dan seluruh KPP Madya. (4) Strategi kegiatan penagihan yang dilakukan antara lain adalah sebagai berikut: (a) Analisis bedah piutang terhadap 100 penunggak pajak terbesar, yang meliputi pembuatan profil Wajib Pajak/Penanggung Pajak tersebut Iengkap dengan upaya hukum yang telah dan tengah dilakukan serta daftar harta kekayaan yang masih dimiliki yang dilengkapi dengan pohon kepemilikan dalam hal perusahaan yang bersangkutan dimiliki oleh grup perusahaan. (b) Pemblokiran dan penyitaan atas harta kekayaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank. (c) Pencegahan bepergian ke luar negeri yang dilakukan secara selektif dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian. (d) Penyanderaan yang dilakukan secara selektif dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian. 106 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

119 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup (4) Pengawasan dan pemantauan ketetapan mulai tahun pajak 2008 dan seterusnya oleh KPP dan Kanwil. (5) Membangun aplikasi yang mengintegrasikan data piutang pajak dengan data: (a) MPN; (b) keberatan/banding; (c) daluwarsa piutang pajak; dan (d) pemindahbukuan. d) Persentase hasil penyidikan yang dinyatakan lengkap oleh kejaksaan. Persentase hasil penyidikan yang diserahkan ke kejaksaan tercapai sebesar 48% dari target sebesar 40%. Secara total terdapat 24 berkas yang dinyatakan lengkap (P-21) dari target sebanyak 20 berkas, sehingga capaiannya adalah sebesar 120%. Action plan yang akan dilakukan pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: (1) Peningkatan kerjasama dengan instansi Kejaksaan. (2) Pemberdayaan kegiatan penyidikan di unit vertikal. 2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). DJBC menjabarkan IKU ini ke dalam 2 (dua) sub IKU sebagai berikut: (a) Persentase hasil penyidikan yang dinyatakan lengkap oleh kejaksaan. Pada tahun 2011 indikator pengukuran akurasi penyidikan kasus tindak pidana kepabeanan dan cukai mengalami perubahan jika dibandingkan dengan indikator pada tahun 2009 dan 2010 yang mengukur sampai dengan tahap penyerahan berkas ke Kejaksaan (P-19 dan P-21). Capaian kinerja untuk tahun 2011 diperoleh dengan membandingkan jumlah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang merupakan bukti telah dimulainya penyidikan oleh PPNS DJBC dengan jumlah berkas perkara yang telah P-21 (P21 adalah dokumen instansi kejaksaan sebagai penilaian kelengkapan penyidikan yang dilakukan penyidik DJBC). Perbandingan capaian dari tahun 2009 s.d 2011 tampak pada Tabel Tabel 3.50 Perbandingan Kinerja Penyidikan DJBC Tahun 2009 s.d Tahun SPDP P-21 & P-19 % Target % 40% % 50% ,34% 50% Pada tahun 2011, penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai yang dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan ditargetkan sebesar 50%. Sampai dengan bulan Desember 2011 realisasinya melebihi target yang ditetapkan yaitu sebesar 79,34%. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

120 Kegiatan penyidikan pada tahun 2011 mencapai 121 kasus. Dari 121 kasus yang dilakukan penyidikan, 96 kasus yang telah diserahkan ke Kejaksaan berstatus P-21. Rincian dari 121 kasus tersebut adalah sebagai berikut: (1) Penyidikan tindak pidana kepabeanan sebanyak 69 kasus, dengan rincian: (a) 54 kasus telah dinyatakan lengkap oleh JPU (P-21). (b) 1 kasus penghentian penyidikan (SP3). (c) 4 kasus dinyatakan belum lengkap (P-19). (d) 2 kasus pengiriman berkas perkara (Tahap I). (e) 8 kasus dalam proses pemeriksaan. (2) Penyidikan tindak pidana cukai sebanyak 52 kasus, dengan rincian : (a) 42 kasus telah dinyatakan lengkap oleh JPU (P-21). (b) 1 kasus dinyatakan belum lengkap (P-19). (c) 2 kasus pengiriman berkas perkara (Tahap I). (d) 7 kasus dalam proses pemeriksaan. Walaupun pada tahun 2011 capaian IKU ini dapat melampaui target yang ditetapkan, akan tetapi dalam pelaksanaan penyidikan terdapat beberapa kendala yang dihadapi yang sangat berpotensi menghambat kinerja proses penyidikan pada tahun-tahun mendatang yaitu: (1) Kurangnya tenaga PPNS DJBC yang terampil, yang antara lain disebabkan karena adanya perubahan persyaratan administrasi untuk mengikuit pendidikan PPNS yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, yang mempersyaratkan calon peserta diklat PPNS dengan pangkat minimal III/a dan telah memiliki ijazah S1. (2) Jumlah penyidik yang relatif sedikit, khususnya untuk kualifikasi Pelaksana. Selain itu, banyak juga Penyidik yang telah menduduki jabatan Struktural serta telah tersebar ke seluruh Indonesia serta penyebaran tenaga PPNS yang tidak merata dan proporsional dengan beban penyidikan pada masing-masing kantor DJBC. (3) Belum adanya kesepahaman dengan instansi penegak hukum lain di beberapa daerah berkaitan dengan pelaksanaan penegakan hukum Kepabeanan dan Cukai b) Persentase penyelesaian piutang. Piutang adalah piutang yang timbul atas kegiatan di bidang kepabeanan dan cukai yang dapat berupa Bea Masuk, Bea Keluar, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, PPN, PPNBM, dan PPh Pasal 22. Mekanisme penyelesaian piutang dapat berupa: (1) pembayaran/pelunasan; (2) pengalihan piutang pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP); (3) penggunaan kompensasi cukai; (4) penggunaan kompensasi PPN; (5) pengajuan banding ke Pengadilan Pajak; (6) pembatalan surat penetapan tagihan karena adanya persetujuan Direktur Jenderal untuk menambah, mengurangi dan menghapus tagihan dalam surat penetapan; atau (7) pembatalan surat penetapan tagihan karena adanya persetujuan Direktur Jenderal untuk mengurangi atau menghapus sanksi administrasi berupa denda. 108 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

121 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Untuk tahun 2011, capaian IKU dihitung dengan membandingkan antara jumlah piutang yang diselesaikan dengan jumlah piutang outstanding (piutang yang belum dilunasi sampai dengan tanggal Laporan Keuangan) dengan umur kurang atau sama dengan 3 tahun. Piutang yang belum dilunasi sampai dengan tanggal Laporan Keuangan dengan umur lebih dari 3 tahun akan dikeluarkan dari akun piutang dan dimasukan sebagai akun penyisihan piutang tidak tertagih dengan kategori piutang macet dengan nilai piutang yang disisihkan sebesar 100% dari total piutang setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai barang sitaan. Pada tahun 2011 telah diselesaikan piutang sebanyak Rp79.380,66 Miliar dari jumlah piutang yang berumur kurang dari 3 tahun sebanyak Rp99.944,87 Miliar sehingga capaian tahun 2011 sebesar 79,42%, melebihi target yang ditetapkan sebesar 60% (lihat Tabel 3.51). Tabel 3.51 Data Realisasi Penyelesaian Piutang DJBC Tahun 2011 No S.d. Bulan Σ Piutang < 3 Tahun Σ Penyelesaian Piutang Target % Capaian 1 Januari % 27,81% 2 Februari % 56,13% 3 Maret % 54,85% 4 April % 60,40% 5 Mei % 66,55% 6 Juni % 68,34% 7 Juli % 71,94% 8 Agustus % 76,22% 9 September % 79,82% 10 Oktober % 80,57% 11 November % 80,70% 12 Desember % 79,42% Perbandingan capaian IKU dari tahun 2009 sampai dengan 2011 adalah sebagaimana tampak pada Tabel 3.52 Tabel 3.52 Perbandingan Realisasi Penyelesaian Piutang DJBC Tahun Tahun Σ Tagihan yang diterbitkan Σ Tagihan yang diselesaikan % Capaian Target , ,16 62,80% 50% , ,49 50,70% 55% 2011* , ,00 79,42% 60% * Ket : Jumlah piutang dan penyelesaian tahun 2011 meliputi piutang cukai LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

122 Meskipun pada tahun 2011 penyelesaian piutang melebihi target yang telah ditetapkan, ada beberapa faktor penghambat yang dapat mempengaruhi kinerja penyelesaian piutang, antara lain: (1) Terkait dengan penatausahaan piutang di tingkat Kantor Pelayanan maupun Kantor Wilayah, belum dilaksanakan rekonsiliasi baik internal maupun eksternal secara optimal guna memperoleh data piutang yang valid dan reliable. (2) Terkait proses penagihan aktif terdapat alamat perusahaan dan penanggung bea cukai yang tidak ditemukan. (3) Terkait dengan piutang yang tidak dapat ditagih, hingga saat ini belum diatur mekanisme penghapusan piutang dalam hal pailit atau penguasaan aset yang tidak dapat memenuhi piutang yang harus diselesaikan oleh penanggung bea cukai. (4) Terkait dengan sumber daya manusia dalam pelaksanan pelaporan data piutang baik di Kantor Pelayanan maupun Kantor Wilayah perlu dilakukan pelatihan guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam penatausahaan piutang. (5) Terkait dengan penerapan Sistim Aplikasi Piutang dan Pengembalian (SAPP) untuk pelaksanaan pelaporan data piutang belum dapat diterapkan ke seluruh Kantor Pelayanan dan Kantor Wilayah, hingga saat ini masih dalam tahap uji coba pada Kantor Pelayanan Utama Tanjung Priok. Langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka mengoptimalkan kinerja penyelesaian piutang antara lain adalah sebagai berikut: (1) Diberlakukannya Peraturan Direktur Jenderal Nomor P-47/BC/2011 tentang Pedoman Penatausahaan Piutang di DJBC dan Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-01/BC/2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penatausahaan Piutang. (2) Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud butir (1) di atas telah dibentuk Tim Piutang berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-37/ BC/2011 yang memiliki tugas utama untuk melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan penatausahaan piutang di DJBC guna memperoleh kualitas data piutang yang valid dan reliable. (3) Bahwa salah satu fungsi Tim Piutang sebagaimana dimaksud butir (2) di atas adalah melakukan evaluasi atas penggunaan aplikasi dalam rangka otomasi prosedur penatausahaan piutang. 3) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah menyatakan bahwa batas waktu penyampaian APBD adalah 31 Januari. Apabila Pemerintah Daerah tidak menyampaikannya hingga 1 (satu) bulan setelah batas waktu yang ditetapkan maka diberikan peringatan tertulis oleh Menteri Keuangan, dan apabila hingga 2 (dua) bulan setelah diterbitkannya peringatan tertulis masih belum menyampaikan APBD-nya maka Menteri Keuangan menetapkan sanksi berupa penundaan penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU). Dengan diterbitkannya PP Nomor 65 Tahun 110 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

123 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah, terdapat beberapa perubahan sebagai berikut: a) Apabila Pemerintah Daerah belum menyampaikan APDB-nya hingga batas waktu yang telah ditetapkan, maka diberikan peringatan tertulis oleh Menteri Keuangan. b) Peringatan tertulis tersebut diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari setelah batas waktu. c) Dalam hal Pemerintah Daerah dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterbitkannya peringatan tertulis masih belum menyampaikan APBD-nya, Menteri Keuangan menetapkan sanksi berupa penundaan DAU. Selama kurun waktu 2007 hingga 2010, Pemerintah Daerah semakin baik dalam menyampaikan Perda APBD mereka kepada Pemerintah. Tahun 2007 hanya 5 (lima) daerah saja yang dikenakan sanksi penundaan DAU, tahun 2008 menurun menjadi hanya 3 (tiga) daerah yang dikenakan sanksi, tahun 2009 juga sebanyak 3 (tiga) daerah, dan tahun 2010 menurun lagi menjadi hanya 2 (dua) daerah saja. Akan tetapi dengan berlakunya PP Nomor 65 Tahun 2010 maka pada tahun 2011 pengenaan sanksi dilakukan lebih cepat daripada tahun sebelumnya, dan sebanyak 19 daerah dikenakan sanksi penundaan DAU. Apabila pada tahun-tahun mendatang jumlah yang dikenakan sanksi ini sama banyak atau masih banyak, mungkin dapat disimpulkan bahwa batas waktu 31 Januari untuk menyampaikan APBD sebagaimana yang disyaratkan dalam PP Nomor 65 Tahun 2010 tersebut cukup memberatkan bagi sebagian Pemerintah Daerah. Target yang ditetapkan bahwa Daerah yang tidak dikenakan sanksi penundaan penyaluran DAU untuk IKU adalah 90%, dengan capaian IKU sebesar 96,37%. Artinya, terdapat 505 Daerah yang tidak terkena sanksi dan hanya 19 (sembilan belas) Daerah saja yang belum menyampaikan APBD-nya sehingga dikenakan sanksi penundaan penyaluran DAU sebesar 25% dari jumlah yang ditransfer setiap bulan. Adapun penundaan tersebut dilakukan sampai dengan disampaikannya APBD kepada Kementerian Keuangan. 4) Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) DJKN menjabarkan IKU ini ke dalam 2 (dua) sub IKU sebagai berikut: a) Persentase kepatuhan pelaporan BMN oleh K/L. Pengguna Barang mempunyai kewajiban untuk menyampaikan Laporan Barang Pengguna (LBP) Semesteran dan Tahunan kepada Menteri Keuangan. DJKN melakukan evaluasi terhadap kepatuhan penyampaian LBP Semesteran dan Tahunan dengan melakukan monitoring terhadap ketepatan waktu penyampaian Laporan dari Pengguna Barang. Adapun hasil monitoring untuk tahun 2011 adalah sebagai berikut: LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

124 (1) Penyampaian Laporan Barang Pengguna Tahunan 2010 (Unaudited). Pada Tahun Anggaran 2010, jumlah Kementerian/Lembaga yang wajib menyampaikan LBP kepada Menteri Keuangan sebanyak 77 K/L. Untuk penyampaian LBP Tahunan TA 2010 (Unaudited), batas waktu penyampaian Laporan berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.06/ 2007 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara, serta Peraturan Dirjen Kekayaan Negara Nomor: PER-07/KN/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Rekonsiliasi Data BMN dalam Rangka Penyusunan Laporan Barang Milik Negara dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat adalah tanggal 25 Februari Kementerian/ Lembaga yang terlambat menyampaikan LBP Tahunan TA 2010 (unaudited) sebanyak 5 K/L, sehingga persentase kepatuhan penyampaian LBP Tahunan TA 2010 (unaudited) adalah sebesar 93,5%. (2) Penyampaian Laporan Barang Pengguna Tahunan 2010 (Audited). Pada Tahun Anggaran 2010, jumlah Kementerian/Lembaga yang wajib menyampaikan LBP kepada Menteri Keuangan sebanyak 77 K/L. Batas waktu penyampaian LBP Tahunan (Audited) ditentukan tanggal 13 Mei 2011 berdasarkan kesepakatan antara BPK, Kementerian/Lembaga, dan Kementerian. Kementerian/Lembaga yang terlambat menyampaikan LBP Tahunan 2010 (Audited) sebanyak 6 K/L, sehingga persentase kepatuhan penyampaian LBP Tahunan TA 2010 (audited) sebesar 92%. (3) Penyampaian Laporan Barang Pengguna Semester I tahun anggaran Pada Tahun Anggaran 2010, jumlah Kementerian/Lembaga yang wajib menyampaikan LBP kepada Menteri Keuangan sebanyak 83 K/L. Untuk penyampaian LBP Semester I TA 2011, batas waktu penyampaian Laporan berdasarkan ketentuan peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara, serta Peraturan Dirjen Kekayaan Negara Nomor: PER-07/KN/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Rekonsiliasi Data BMN dalam Rangka Penyusunan Laporan Barang Milik Negara dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat adalah tanggal 26 Juli Pada Tahun Anggaran 2011 jumlah persentase kepatuhan penyampaian LBP Semester I TA 2011 adalah sebesar 100%, yaitu 83 K/L seluruhnya telah menyampaikan LBP tepat waktu. Pada Tahun Anggaran 2011 terdapat 3 (tiga) Lembaga yang baru terbentuk dan memiliki bagian anggaran tersendiri. Ketiga lembaga ini diperlakukan khusus karena baru terbentuk dan baru mengetahui kewajiban menyampaikan LBP kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara setelah batas waktu penyampaian laporan. Berdasarkan monitoring terhadap penyampaian LBP Tahunan TA 2010 (Unaudited), LBP Tahunan TA 2010 (Audited), dan LBP Semester I TA 2011, Persentase Kepatuhan Pelaporan BMN oleh K/L adalah 95%, sedangkan target tahun 2011 adalah sebesar 94,8%, sehingga persentase capaian IKU tersebut adalah 111,53%. 112 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

125 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Dalam rangka mencapai IKU persentase kepatuhan pelaporan BMN oleh K/L, DJKN telah melakukan beberpa upaya, antara lain dengan mengingatkan K/L baik secara tertulis melalui surat resmi maupun melalui komunikasi informal. b) Persentase satker yang telah melakukan koreksi neraca. DJKN bersama dengan seluruh Kementerian/Lembaga dari tahun 2007 s.d telah melaksanakan Penertiban BMN berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2007 tentang Tim Penertiban Barang Milik Negara. Tugas Tim Penertiban Barang Milik Negara diperpanjang tugasnya dengan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tim Penertiban Barang Milik Negara. Penertiban BMN dilaksanakan melalui inventarisasi, penilaian, dan sertifikasi seluruh BMN pada K/L sehingga diharapkan terwujud penertiban dan pengamanan BMN secara tertib, efektif, efisien, dan akuntabel baik secara administrasi, fisik, dan hukum. Lingkup objek penertiban meliputi seluruh aset tetap/bmn yang perolehannya berasal dari APBN dan perolehan lainnya yang sah, serta kekayaan negara lain-lain. Inventarisasi dan penilaian BMN telah dilakukan mulai dari tahun 2007 hingga Selanjutnya hasil inventarisasi dan penilaian BMN tersebut dijadikan sebagai dasar koreksi atas nilai BMN yang telah disajikan pada Neraca Awal Pemerintah per 31 Desember Satuan Kerja yang telah selesai dilakukan inventarisasi dan penilaian BMN harus melakukan koreksi nilai hasil inventarisasi dan penilaian BMN dimaksud ke dalam neraca melalui aplikasi SIMAK BMN. Jumlah satker yang telah selesai dilakukan inventarisasi dan penilaian BMN per 31 Desember 2010 sebanyak satker, dan jumlah ini ditetapkan sebagai target jumlah satker yang harus melakukan koreksi neraca sampai dengan tahun Sampai dengan 31 Desember 2011, jumlah satker yang telah melakukan koreksi hasil inventarisasi dan penilaian ke dalam neraca sebanyak satker dari satker (Capaian IKU Persentase Satker yang telah melakukan koreksi neraca sebesar 100%) yang telah selesai dilakukan inventarisasi dan penilaian BMN dengan nilai hasil inventarisasi dan penilaian BMN yang telah dilakukan koreksi ke dalam neraca Kementerian/Lembaga sebesar Rp ,00. Dalam rangka mencapai target IKU Persentase Satker yang telah melakukan koreksi neraca, DJKN secara berkesinambungan melakukan upaya sebagai berikut: (1) Melakukan pembinaan serta pendampingan secara terus-menerus kepada Kementerian/ Lembaga agar melakukan koreksi hasil inventarisasi dan penilaian BMN ke dalam neraca melalui aplikasi SIMAK BMN. (2) Melakukan rekonsiliasi/pemutakhiran data BMN secara rutin per semester untuk memastikan bahwa hasil inventarisasi dan penilaian BMN tersebut telah dikoreksi di neraca Satker dan telah dilaporkan dalam Laporan Barang Pengguna maupun dalam Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

126 (3) Melakukan verifikasi dan validasi data hasil inventarisasi dan penilaian BMN bersama dengan Kementerian/Lembaga guna memastikan bahwa seluruh hasil inventarisasi dan penilaian BMN sudah dilakukan koreksi di neraca. 5) Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb). Sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.05/2007, penyampaian rencana tindak pemerintah terhadap temuan pemeriksaan BPK atas LKPP dilaksanakan pada triwulan I, triwulan II dan triwulan IV. Pada semester I realisasi capaian sebesar 33,33%. Faktor penyumbang realisasi ini disebabkan oleh keterlambatan 2 (dua) Kementerian/Lembaga (K/L) dalam menyampiakan rencana tindak lanjut temuan pemeriksaan BPK di dalam laporan keuangan K/L yang audited pada triwulan II. Pada triwulan III sebanyak 76 K/L dan BA-BUN (Bagaian Anggaran 999) telah menyampaikan laporan monitoring penyelesaian tindak lanjut terhadap pemeriksaan BPK atas LKKL dan LKBUN. Jumlah K/L yang menyampaikan laporan monitoring penyelesaian tindak lanjut terhadap pemeriksaan BPK pada triwulan IV sama dengan jumlah K/L pada triwulan III yaitu sebanyak 76 K/L. Dari data tersebut dapat diperoleh realisasi capaian atas IKU Persentase monitoring dan evaluasi rekomendasi BPK atas LKPP yang telah ditindaklanjuti sampai dengan triwulan IV tahun 2011 yaitu sebesar 100% yang berasal dari realisasi semester I sebesar 33,33%, triwulan III sebesar 33,335 dan triwulan IV sebesar 33,34%. Untuk mempertahankan realisasi capaian atas IKU ini, pada tahun 2012 DJPb akan melakukan langkahlangkah berupa: a) Melakukan pembahasan hasil pemeriksaan BPK atas LKPP terkait BUN dan K/L. b) Melakukan kegiatan berupa penyusunan tanggapan pemerintah terhadap LHP atas LKPP c) Monitoring dan evaluasi progress pelaksanaan kegiatan atas temuan dan rekomendasi BPK terhadap LKPP b. Jumlah policy recommendation hasil pengawasan (KK-12.2) Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130/KMK.09/2011, Kebijakan pengawasan intern Kementerian Keuangan ditetapkan untuk mewujudkan sistem pengendalian intern yang kuat di lingkungan Kementerian Keuangan, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Inspektorat Jenderal (Itjen). Kebijakan pengawasan intern Kementerian Keuangan tersebut dilaksanakan melalui: 1) pembangunan dan penguatan fungsi pengendalian intern yang berkelanjutan (sustainable); 2) pelaksanaan audit kinerja, audit kepatuhan (compliance), dan audit investigasi yang fokus pada program dan kegiatan yang memiliki risiko tinggi; 3) pemberian konsultasi untuk memperbaiki dan meningkatkan efektivitas operasi, governance, dan manajemen risiko; 4) pelaksanaan reviu dalam rangka menjamin kualitas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan (Bagian Anggaran 015), Bagian Anggaran 999, dan Bendahara Umum Negara; dan 5) peningkatan kapabilitas dan kapasitas sumber daya Itjen. 114 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

127 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Program dan kegiatan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pengawasan intern Kementerian Keuangan ditetapkan setiap tahun dalam bentuk Tema Pengawasan Unggulan (TPU), yaitu berupa kegiatan tertentu pada unit eselon I, yang berdasarkan hasil identifikasi dan penilaian bersama Itjen dan auditee memerlukan perhatian dan harus segera diperbaiki dan/atau ditingkatkan kinerjanya. Output akhir dari setiap penugasan TPU lebih diutamakan berupa sejumlah policy recommendation yang dapat mengatasi permasalahan utama di Unit Eselon I. Dalam rangka menjalankan peran Strategic Business Partner bagi Eselon I, sejak tahun 2009 Itjen melakukan pengawasan tematik yang bersifat konsultatif dalam bentuk TPU. Output akhir dari setiap penugasan pengawasan bukan lagi sekedar jumlah temuan. Dengan pengawasan tersebut diharapkan memberikan sejumlah policy recommendation. Dari berbagai kegiatan TPU terhadap unit-unit Eselon I selama tahun 2011, Itjen telah menghasilkan 41 (empat puluh satu) policy recommendation, meningkat dari tahun lalu sebesar 39 (tiga puluh sembilan) yang juga melebihi target sebesar 32 (lihat Tabel 3.53). Policy recommendation ini dapat berupa usulan draf revisi PMK, usulan draf revisi KMK, Rancangan PMK, Rancangan KMK, usulan draft SOP, usulan Surat Edaran, usulan Kebijakan, serta usulan perbaikan lainnya. Jumlah Policy Recommendation yang dihasilkan Tabel 3.53 Capaian Kinerja Jumlah Policy Recommendation Hasil Pengawasan Tahun 2011 Tahun 2010 Realisasi 39 policy recommendation 41 policy recommendation Target 32 policy recommendation Sejak 2009 tampak jelas terjadi peningkatan jumlah policy recommendation hasil pengawasan. Hal ini menunjukkan upaya Itjen untuk dapat lebih memberikan nilai tambah (value added) bagi kinerja Kementerian Keuangan sebagai bentuk peran Strategic Business Partner Itjen bagi Eselon I dalam rangka sama-sama mewujudkan pengendalian intern yang kuat di lingkungan Kementerian Keuangan. Pengawasan yang dilakukan oleh Itjen lebih mengutamakan pengawasan yang memberikan solusi alternatif/usulan kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing unit eselon I terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi. 13. Sasaran Strategis 13: Pembentukan SDM yang berkompetensi tinggi (KK-13). Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 3 (tiga) Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut: KK 13. Pembentukan SDM yang berkompetensi tinggi Indikator Kinerja Target Realisasi % 1. Persentase pejabat yang telah memenuhi standar kompetensi 80,00% 81,66% 102,08 jabatannya 2. Rasio jam pelatihan pegawai dibandingkan jam kerja 2,00% 2,78% 120,00 3. Persentase diklat yang berkontribusi terhadap peningkatan kompetensi 80,00% 96,88% 120,00 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

128 Uraian mengenai ketiga IKU tersebut tampak berikut ini. a. Persentase pejabat yang telah memenuhi standar kompetensi jabatannya (KK-13.1). SDM yang berintegritas dan berkompetensi tinggi adalah SDM yang memiliki sikap (attitude) dan kapasitas (skill) yang memadai dalam meningkatkan kualitas pengelolaan perbendaharaan. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan SDM yang memiliki komitmen yang tercermin pada integritasnya. Penempatan pejabat dalam jabatan sesuai dengan kompetensinya dilaksanakan melalui sistem penempatan yang sesuai dengan Standar Kompetensi Jabatan (SKJ) yang merupakan jenis dan level kompetensi yang menjadi syarat keberhasilan pelaksanaan tugas suatu jabatan. Sementara itu, Job Person Match (JPM) merupakan kesesuaian antara level kompetensi pejabat dengan SKJ sebagaimana ditetapkan dalam SE-109/MK.1/2010. JPM seorang pejabat diketahui dengan menghitung persentase perbandingan level kompetensi pejabat yang bersangkutan dengan SKJ target. Nilai minimum JPM yang disyaratkan adalah sebesar 72%. Pada tahun 2011, persentase pejabat yang telah memenuhi standar kompetensi jabatannya ditargetkan sebesar 80% dengan realisasi sebesar 81,66%. Upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pencapaian target, antara lain adalah sebagai berikut: 1) melakukan pendataan terhadap pejabat yang masih memiliki JPM di bawah 72%; 2) menyampaikan data pejabat (JPM < 72%) kepada Unit Eselon I untuk diberikan program pengembangan kapasitas dan prioritas mengikuti re-assessment center; 3) melakukan seleksi kriteria peserta Assessment Center dan re-assessment center terhadap pejabat/ pegawai dengan ketentuan: belum pernah mengikuti Assessment Center untuk profiling kompetensi di jabatannya saat ini, menduduki jabatan setingkat lebih tinggi atau mendapatkan penugasan yang lebih tinggi selama minimal 6 bulan, serta memiliki nilai JPM di bawah ketentuan standar minimal (72%) pada SKJ jabatannya saat ini; 4) melakukan penjadualan Assessment Center dan Assessor yang ketat sehingga kebutuhan Assessment Center Pusat dan Unit Eselon I terpenu b. Rasio jam pelatihan pegawai dibandingkan jam kerja (KK-13.2). IKU ini diukur dari realisasi kegiatan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) di BPPK yang ditujukan bagi para pegawai Kementerian Keuangan, dengan tujuan untuk mengukur tingkat komitmen Kementerian Keuangan dalam mengembangkan kompetensi SDM-nya melalui diklat. IKU ini bermanfaat dalam memberikan feedback dalam memperbaiki proses perencanaan kegiatan pendidikan dan pelatihan. Formula penghitungan capaian IKU ini adalah sebagai berikut: Total Jam Pelatihan yang Diikuti SDM Kementerian Keuangan Potential Trainees x jam X KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

129 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Target rasio jam pelatihan terhadap jam kerja yang harus dipenuhi adalah sebesar 2% dengan realisasi 2,7%. Capaian sebesar 139,04% ini antara lain disebabkan oleh penyelenggaraan diklat-diklat yang dihasilkan dari efisiensi penyelenggaraan diklat-diklat yang telah dilakukan pada triwulan-triwulan sebelumnya. Selama tahun 2011, BPPK telah menyelenggarakan diklat sebanyak jamlat x peserta (lihat Tabel 3.54). Tabel 3.54 Jumlah Jam Pelatihan Masing-masing Unit Pengelola Diklat Tahun 2011 No Unit Jamlat Rasio 1 Pusdiklat PSDM ,7401% 2 Pusdiklat AP ,1259% 3 Pusdiklat Pajak ,4994% 4 Pusdiklat BC ,2897% 5 Pusdiklat KNPK ,1291% 6 Pusdiklat KU ,2344% 7 BDK Medan ,0791% 8 BDK Pekanbaru ,0879% 9 BDK Palembang ,0823% 10 BDK Cimahi ,0769% 11 BDK Yogyakarta ,0720% 12 BDK Malang ,1000% 13 BDK Denpasar ,0294% 14 BDK Pontianak ,0356% 15 BDK Balikpapan ,0747% 16 BDK Makassar ,0796% 17 BDK Manado ,0448% Total ,7808% Faktor pendukung tercapainya target IKU ini antara lain adalah sebagai berikut: 1) Pelaksanaan kalender diklat yang sesuai dengan rencana dan kebutuhan unit pengguna diklat. 2) Adanya optimalisasi anggaran dengan penambahan program diklat yang baru. 3) Program diklat yang tidak dapat dilaksanakan di atasi dengan penggantian peserta atau penggantian progam diklat. 4) BPPK secara rutin melakukan evaluasi terhadap unit-unit yang tidak mencapai target, yang kemudian ditindaklanjuti dengan perbaikan yang signifikan. 5) Melakukan proses remapping sebaran potential trainees dan distribusi program diklat di wilayah kerja Balai Diklat Keuangan (BDK). 6) Melakukan koordinasi yang intensif dengan unit-unit di Kementerian Keuangan c.q. unit pengelola SDM, terkait rekonfirmasi keikutsertaan peserta. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

130 c. Persentase diklat yang berkontribusi terhadap peningkatan kompetensi (KK-13.3). IKU ini bertujuan untuk mengukur tingkat efektivitas pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh BPPK dalam meningkatkan kompetensi SDM Kementerian Keuangan. IKU ini bermanfaat dalam memberikan umpan balik kepada BPPK dalam memperbaiki proses pembelajaran pada setiap lini. Formula penghitungan capaian IKU ini adalah sebagai berikut: Jumlah program diklat yang berkontribusi pada Peningkatan Kompetensi Jumlah Program Pendidikan dan Pelatihan yang Dievaluasipascadiklatkan X 100 Hasil evaluasi pascadiklat terhadap 32 program diklat yang dijadikan sampel, menunjukkan bahwa 31 program diklat diantaranya berkontribusi terhadap peningkatan kompetensi alumni diklat. IKU persentase diklat yang berkontribusi terhadap peningkatan kompetensi tersebut menggambarkan arah kebijakan terselenggaranya program diklat yang sesuai kebutuhan. Untuk tahun 2011, target IKU persentase diklat yang berkontribusi terhadap peningkatan kompetensi sebesar 80% telah dapat dicapai karena realisasinya mencapai 96,88%. Faktor pendukung tercapainya target IKU tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1) Program diklat yang disusun telah sesuai dengan kebutuhan stakeholders. 2) Peserta diklat yang mengikuti diklat telah tepat sasaran. 3) Bahan dan materi ajar yang disusun dapat digunakan di lingkungan Kementerian Keuangan tempat peserta diklat berasal. 4) Metode diklat yang diterapkan telah sesuai dengan program diklat. 5) Evaluasi pascadiklat telah menggunakan metode yang tepat. 6) Peningkatan teaching skills dan knowledge update pengajar yang intensif. 7) Pengembangan suasana belajar yang kondusif. 14. Sasaran Strategis 14: Penataan organisasi yang andal (KK-14) Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut: DK 14. Pengembangan organisasi yang handal dan modern Indikator Kinerja Target Realisasi % 1. Persentase Penyelesaian penataan/ modernisasi organisasi 100,00% 100,00% 100,00 2. Persentase UPR yang menerapkan manajemen risiko 60,00% 90,56% 120, KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

131 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Uraian mengenai kedua IKU tersebut tampak berikut ini. a. Persentase penyelesaian penataan/modernisasi organisasi (KK-14.1). Sebagai learning organization, kegiatan penataan organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan selalu dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini dimaksudkan agar struktur dan kultur organisasi pada setiap unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan dapat senantiasa mendukung terwujudnya tata kelola keuangan dan kekayaan negara yang efektif, efisien, profesional, produktif, transformatif, serta sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Kegiatan penataan organisasi tersebut memerlukan suatu komitmen, koordinasi, dan konsolidasi yang solid, intensif, dan efektif antar unit organisasi terkait baik internal maupun eksternal Kementerian Keuangan. Persentase penyelesaian penataan/modernisasi organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan adalah penyelesaian proses penataan/modernisasi organisasi Kementerian Keuangan sesuai dengan usulan dari Unit Eselon I mulai dari pengumpulan data, analisis/telaahan, pembahasan internal Kementerian Keuangan, usulan Menkeu kepada Kementerian PAN dan RB/Presiden sampai dengan penetapan oleh Menteri Keuangan. Sepanjang Tahun 2011, Program Penataan/Modernisasi Organisasi Kementerian Keuangan telah menetapkan 9 (sembilan) PMK oleh Menteri Keuangan, dengan rincian sebagai berikut: 1) PMK Nomor 50/PMK.01/2011 tentang Tenaga Pengkaji Bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak Direktorat Jenderal Anggaran. 2) PMK Nomor 51/PMK.01/2011 tentang Tenaga Pengkaji bidang Perbendaharaan Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 3) PMK Nomor 52/PMK.01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Diklat Kepemimpinan. 4) PMK Nomor 53/PMK.01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Barang Milik Negara. 5) PMK Nomor 131/PMK.01/2011 tentang Perubahan Kedua atas PMK No.74/PMK.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 6) PMK Nomor 132/PMK.01/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/ PMK.01/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan. 7) PMK Nomor 133/PMK.01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan. 8) PMK Nomor 134/PMK.01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pengolahan Data Eksternal. 9) PMK Nomor 135/PMK.01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah Selain program penataan/modernisasi organisasi Kementerian Keuangan yang telah ditargetkan dalam kontrak kinerja awal tahun 2011, dalam perkembangannya sebagai pelaksanaan amanat Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011, terdapat tugas tambahan yang harus segera diselesaikan yaitu pembentukan Satuan Kerja (satker) Badan Layanan Umum (BLU) pengelola dana pengembangan pendidikan nasional (DPPN) dengan nomenklatur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

132 Pembentukan LPDP telah disepakati bersama antara Menteri Keuangan dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, disetujui oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada tanggal 30 Desember Apabila pembentukan LPDP tersebut ditambahkan dalam target 2011, maka tingkat capaian IKU ini akan menjadi 111,11%. Akan tetapi karena tidak ditargetkan sejak awal, capaian ini tetap dilaporkan 100%, yaitu atas target sebanyak 9 PMK. b. Persentase UPR yang menerapkan manajemen risiko (KK-14.2). Kementerian Keuangan tengah melaksanakan pembangunan dan penguatan fungsi pengendalian intern yang berkelanjutan (sustainable) melalui pembentukan Unit Kontrol Internal (UKI) di setiap Unit Eselon I yang akan memperluas jangkauan dan lingkup pengawasan intern di lingkungan Kementerian Keuangan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Selama tahun 2011, Itjen selaku PIC telah melaksanakan kegiatan Asistensi Pengembangan Pelaksanaan Fungsi Pemantauan Pengendalian Intern di setiap Unit Eselon I dengan menunjuk unit kerja sebagai pelaksana pemantauan pengendalian intern di setiap Unit Eselon I serta mengembangkan metodologi, perangkat, dan mekanisme kerja pemantauan. Persentase Unit Pemilik Risiko (UPR) yang telah melaksanakan manajemen risiko adalah perbandingan antara unit Eselon II yang telah melaksanakan manajemen risiko dibandingkan dengan jumlah seluruh UPR. UPR yang telah melaksanakan manajemen risiko adalah UPR yang telah menyelesaikan seluruh tahapan manajemen risiko secara lengkap berupa 7 (tujuh) tahapan sesuai dengan PMK 191 Tahun 2008 tentang Penerapan Manajemen Risiko di Lingkungan Departemen Keuangan, yaitu penetapan konteks, identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, rencana penanganan risiko, monitoring, dan pelaporan. IKU persentase UPR yang menerapkan manajemen risiko dari target 60,00% terealisasi sebesar 90,56%, sehingga persentase capaiannya adalah 120,00%. IKU ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan aplikasi sebagai sarana pelaporan pencapaian kinerja, dimana yang diperhitungkan adalah IKU yang terdapat pada level Depkeu-Wide dan Depkeu-One. Batasan ketepatan waktu adalah setiap tanggal 21 bulan April, Juli, Oktober, dan Januari. Penyelesaian action plan Unit Kontrol Internal (UKI) selama tahun 2011 oleh Itjen telah selesai 100% dari tahapan yang direncanakan. Tahapan selanjutnya untuk jangka panjang, akan dilaksanakan sampai dengan tahun 2015, dengan sasaran berupa terbentuknya struktur unit kontrol intern yang permanen pada tiap unit eselon I dan terlaksananya penerapan sistem pengendalian intern secara luas dan memadai di lingkungan Kementerian Keuangan. 120 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

133 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup 15. Sasaran Strategis 15: Perwujudan TIK yang terintegrasi (KK-15). Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 1 (satu) Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut: KK 15. Perwujudan TIK yang terintegrasi Indikator Kinerja Target Realisasi % Persentase integrasi TIK Kementerian Keuangan 40,00% 40,00% 100,00 Kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pencapaian IKU yang terkait dengan Integrasi TIK Kementerian Keuangan adalah sebagai berikut: 1) Proses Pengadaan Pembangunan DC-DRC (tercapai 2,5%). 2) Pembangunan DC-DRC (Tercapai 10%). 3) Proses Pengadaan Perangkat Keras dan Jaringan Lunak, serta TIK Tahap I dapat terealisasi 2,5%. 4) Deployment perangkat keras dan lunak, serta Jaringan Tahap I dapat terealisasi 10%. 5) Proses Pengadaan Konsultan Pembangunan Integrasi TIK Tahap I dapat terealisasi 5%. 6) Pelaksanaan Konsultansi Pembangunan Integrasi TIK Tahap I dapat terealisasi 10%. 16. Sasaran Strategis 16: Pengelolaan anggaran yang optimal (KK-16). Dalam pencapaian sasaran strategis ini Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 1 (satu) Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut: KK 16. Pengelolaan anggaran yang optimal Indikator Kinerja Target Realisasi % Persentase Penyerapan DIPA Kementerian Keuangan (non belanja pegawai) 80,00% 78,80% 98,50 Dengan selesainya proses rekonsiliasi antara Sistem Akuntansi Instansi (SAI) dan Sistem Akuntansi Umum (SAU), maka berdasarkan data tanggal 22 Pebruari 2011, penyerapan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Keuangan Tahun 2011 untuk belanja modal dan belanja barang adalah sebesar 78,80% dari target sebesar 80%. Apabila digabungkan dengan belanja pegawai, maka capaian kinerja penyerapan DIPA Kementerian Keuangan menjadi sebesar 85,75%. Perbandingan realisasi penyerapan DIPA per jenis belanja tahun 2010 dan 2011 tersaji pada tabel 3.55 berikut ini. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

134 Jenis Belanja Tabel 3.55 Perbandingan Realisasi Penyerapan DIPA Tahun 2010 dan Tahun 2011 (ribuan Rupiah) Tahun 2010 Tahun 2011 Pagu Realisasi % Pagu Realisasi % Belanja Modal , ,65 Belanja Barang , ,53 Belanja Pegawai , ,88 Total , ,75 Sumber: Laporan Keuangan Kementerian Keuangan Tabel 3.55 memperlihatkan realisasi Kementerian Keuangan menurut jenis belanja secara bruto, tanpa memperhitungkan pengembalian belanja. Apabila dikurangi pengembalian belanja sebesar Rp , realisasi belanja netto adalah sebesar Rp atau 85,61% dari pagu. Dari jumlah tersebut, apabila ditambah dengan belanja pembayaran imbalan bunga sebesar Rp , maka total realisasi belanja Kementerian Keuangan TA 2011 adalah sebesar Rp atau mencapai 92,80% dari anggarannya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Layanan Pengadaan Secara Elektronik Kementerian Keuangan, dari pagu anggaran pengadaan barang/jasa (Belanja Barang dan Belanja Modal) sebesar Rp2,353 Miliar dapat dilakukan penghematan sebesar Rp375,7 Miliar atau 15,96% sebagaimana tampak pada tabel Penghematan tersebut cukup signifikan dalam mempengaruhi capaian kinerja IKU ini, karena penghematan yang dilakukan ternyata sebesar 4,01% dari total Belanja Barang dan Belanja Modal di Kementerian Keuangan yaitu sebesar Rp9,373,205 Miliar. Tabel 3.56 Laporan Hasil Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (e-procurement) Kementerian Keuangan s.d 31 Desember 2011 Total Pagu Pengadaan No Unit Paket Selesai (Rp) Nilai Hasil Lelang (Rp) Pengehematan Jumlah Jumlah Rp % 1 BKF ,90 2 BPPK ,56 3 Bapepam LK ,55 4 DJA ,03 5 DJBC ,48 6 DJKN ,67 7 DJP ,02 8 DJPBt ,13 9 DJPK ,65 10 DJPU ,70 11 Itjen ,07 12 Setjen ,29 Jumlah , KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

135 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Capaian IKU Persentase penyerapan DIPA Kementerian Keuangan (non Belanja Pegawai) sebesar 78,80% tersebut belum mencapai target yang telah ditetapkan, yaitu sebesar 80%. Beberapa kendala yang menyebabkan masih rendahnya capaian Indikator Kinerja Utama Presentase Penyerapan DIPA antara lain adalah sebagai berikut: a. Pengelola keuangan pada Satuan kerja (Satker) belum mempunyai sertifikat Pengadaan Barang dan Jasa sehingga kesulitan dalam proses Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ). b. Proses penghapusan BMN yang belum diselesaikan sehingga menyebabkan pembangunan fisik yang telah ditetapkan di tahun 2011 tidak dapat dilaksanakan proses pengerjaannya. c. Perencanaan kas yang kurang baik dari masing-masing Satker sehingga penyerapan anggaran sebagian besar direncanakan dan dilaksanakan pada akhir tahun d. RKAKL/DIPA yang tidak sesuai dengan kondisi riil pelaksanaan kegiatan pada tahun 2011 sehingga diperlukan revisi RKAKL/DIPA yang membutuhkan waktu sehingga menghambat penyerapan anggaran. e. Terjadinya gagal lelang pada Pengadaan Barang dan Jasa karena hambatan dari pihak ekstern pemerintah, baik dari LSM maupun kontraktor yang tidak tertarik dengan paket pelelangan karena nilainya tidak menguntungkan, atau dari sanggahan peserta lelang yang dapat menyebabkan proses lelang menjadi berlarut-larut ataupun gagal. f. Efisiensi pengadaan barang dan jasa (belanja barang/modal) karena pelelangan dilaksanakan melalui Pengadaan Secara Elektronik, dimana sasaran sudah tercapai dengan harga di bawah pagu. Hal-hal yang telah dilakukan untuk pencapaian IKU Indeks Persentase Penyerapan DIPA, antara lain adalah sebagai berikut: a. Melakukan percepatan diklat Pengadaan Barang dan Jasa termasuk penempatan pegawai yang bersertifikat dan mengurangi intervensi terhadap pejabat pengadaan. b. Menyempurnakan dan mengevaluasi perencanaan penyerapan anggaran. c. Optimalisasi penggunaan anggaran melalui mekanisme revisi dari sisa dana kegiatan-kegiatan yang telah tercapai outputnya. d. Mempercepat proses buka blokir dengan melengkapi data pendukung yang dibutuhkan. C. Kinerja Lainnya Selain dari 16 (enam belas) Sasaran Strategis (SS) yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dengan capaian sebagaimana diuraikan pada butir A dan B di atas, Kementerian Keuangan juga telah melakukan beberapa hal berikut ini yang merupakan kegiatan-kegiatan yang bersifat adhoc dan terkait dengan tugas fungsi Kementerian Keuangan. Kinerja lain tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan Rencana Aksi Sesuai Instruksi dan Arahan Presiden. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

136 Terkait Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011, Kementerian Keuangan sangat serius melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi serta pencucian uang. Dalam memenuhi 6 (enam) Rencana Aksi terkait Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2011 tersebut, Kementerian Keuangan telah melaksanakan beberapa hal sebagai berikut: a. Penandatanganan Memory of Understanding (MoU) antara Kementerian Keuangan (dalam hal ini Inspektorat Jenderal serta Direktorat Jenderal Pajak) dengan PPATK dalam bentuk korespondensi, pertukaran data untuk meningkatkan kualitas analisis risiko, bahkan pemeriksaan gabungan (task force). b. Memperluas jumlah pejabat/pegawai yang wajib menyampaikan LHKPN dari sekitar pejabat/ pegawai menjadi pejabat/pegawai melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 38/ KMK.01/2011 tentang Penyelenggara Negara di Lingkungan Kementerian Keuangan yang wajib menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Berdasarkan data dari website KPK, penyampaian LHKPN Kementerian Keuangan per 14 Desember 2011 adalah sebesar 95,87%. Di samping itu, Kementerian Keuangan telah menugaskan Inspektorat Jenderal untuk melaksanakan eksaminasi harta kekayaan pejabat/pegawai Kementerian Keuangan dalam Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) dan Daftar Harta Kekayaan (DHK). Sesuai dengan konferensi pers dari KPK pada 28 November 2011 tentang Hasil Survei Integritas Sektor Publik Indonesia tahun 2011, Kementerian Keuangan merupakan satu-satunya instansi vertikal dari 7 (tujuh) instansi vertikal yang dinilai, yang mendapatkan nilai integritas sebesar 7,56 di atas rata-rata 6,4. Selain itu, 4 (empat) unit layanan di Kementerian Keuangan mendapatkan posisi 1 s.d. 4 dari 15 (lima belas) unit layanan vertikal yang dinilai. Unit layanan tersebut, adalah: pelayanan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) di KPPN, pelayanan penyelesaian permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Pelayanan Lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, serta pelayanan pengurusan impor barang (bea masuk) di DJBC. c. penerapan whistleblowing system di DJP dan di Inspektorat Jenderal yang disebut WISE. Whistleblowing System (WISE) adalah aplikasi pengelolaan dan tindak lanjut pengaduan serta pelaporan hasil pengelolaan pengaduan yang disediakan oleh Kementerian Keuangan sebagai salah satu sarana bagi setiap pegawai Kementerian Keuangan maupun masyarakat luas pengguna layanan Kementerian Keuangan untuk melaporkan dugaan adanya pelanggaran dan/atau ketidakpuasan terhadap pelayanan yang dilakukan/diberikan oleh pejabat/pegawai Kementerian Keuangan. Pengaduan melalui aplikasi WISE dilakukan dengan mengunjungi d. Dalam rangka menindaklanjuti Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2011 sehubungan dengan terjadinya beberapa kasus hukum dan penyimpangan pajak, selama tahun 2011, Kementerian Keuangan telah melaksanakan berbagai kegiatan dengan penekanan pada 3 (tiga) bidang, sebagai berikut: 1) Bidang pengelolaan SDM, yang antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: a) Menonaktifkan dan menjatuhkan hukuman disiplin kepada beberapa pejabat/pegawai Kementerian Keuangan yang terkait dengan kasus Gayus. b) Memperluas cakupan kewajiban LHKPN bagi pegawai Kementerian Keuangan yang semula berjumlah orang menjadi orang (kenaikan 333,35%, per 7 Juli 2011) 124 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

137 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup 2) Bidang penelitian dan investigasi kasus, yang antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: a) Menyerahkan dokumen salinan Putusan Pengadilan Pajak atas 151 Wajib Pajak yang proses banding pajaknya pernah ditangani oleh Gayus, kepada POLRI untuk penyelidikan. b) Menyerahkan laporan hasil audit investigasi Inspektorat Jenderal kepada KPK, POLRI, dan Kejaksaan Agung. c) Membentuk Tim Gabungan yang terdiri dari Inspektorat Jenderal dan BPKP dengan Keputusan Menteri Keuangan; 3) Bidang perbaikan kinerja, yang antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: a) Membangun governance di lingkungan DJP, antara lain meliputi pembangunan sistem nilai organisasi, memperkuat Unit Kontrol Internal DJP, dan membangun sistem eksaminasi internal dan quality assurance pemeriksaan pajak. b) Melakukan perbaikan di lingkungan Pengadilan Pajak, yang antara lain meliputi inisiatif perubahan UU Pengadilan Pajak, pembuatan Nota Kesepahaman dengan MA dan Komisi Yudisial terkait pembinaan dan pengawasan hakim pajak, dan perbaikan sistem adminstrasi perkara. c) Membentuk Tim Audit Kinerja dengan Keputusan Menteri Keuangan yang melaksanakan audit kinerja atas pemeriksaan pajak, penagihan pajak, dan banding untuk memperbaiki proses bisnis dan governance di bidang pemeriksaan pajak, penagihan pajak, dan banding. 2. Penyelesaian Undang-undang. Pada tahun 2011 telah diselesaikan pembahasan 7 (tujuh) RUU, dengan catatan dalam pembahasan RUU tersebut Menteri Keuangan berkedudukan selaku Koordinator Pemerintah. Ketujuh RUU dimaksud telah ditetapkan oleh Presiden menjadi undang-undang, yaitu: a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Akuntan Publik pada tanggal 3 Mei b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang pada tanggal 28 Juni c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 pada tanggal 10 Agustus d. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Pertanggungjawaban Atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 pada tanggal 19 September e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22 November f. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 pada tanggal 24 November g. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial pada tanggal 25 November Pencapaian debottlenecking regulasi yang menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

138 Kementerian Keuangan dalam rangka penyelesaian 11 (sebelas) debottlenecking regulasi telah menerbitkan 5 (lima) Peraturan Menteri Keuangan untuk mengatasi masalah-masalah yang terdapat dalam regulasi sebelumnya. 4. Persiapan untuk defisit APBN sebesar 0 (nol) atau sesedikit mungkin pada tahun Terkait Arahan Presiden untuk defisit APBN sebesar 0 (nol) atau sesedikit mungkin pada tahun 2014, Kementerian Keuangan telah melaksanakan penyusunan dan strategi rencana kerja Anggaran Berimbang (balanced budget) untuk mendorong tidak adanya defisit anggaran APBN pada tahun Sensus Pajak Nasional (SPN). Target penerimaan perpajakan pada TA 2011 mencapai lebih dari Rp800 Triliun. Bila dibandingkan dengan potensi pajak yang ada, masih perlu dilakukan langkah-langkah terobosan lain di bidang ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak. Rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak menjadi salah satu penyebab rendahnya pencapaian tax ratio yang saat ini berkisar 11%-12%, padahal negara-negara tetangga telah mencapai di atas 14%. Sebagaimana diamanatkan dalam Pidato Presiden tanggal 16 Agustus 2011 pada saat penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN Tahun Anggaran 2012, bahwa dalam mengoptimalkan penggalian potensi perpajakan sebagai upaya mengamankan sasaran penerimaan pajak, Pemerintah akan melakukan Sensus Pajak Nasional. Melalui kegiatan Sensus Pajak Nasional ini diharapkan cakupan potensi pajak terus meningkat, baik dalam rangka ekstensifikasi maupun intensifikasi perpajakan. Sensus Perpajakan Nasional pada dasarnya merupakan kegiatan pengumpulan data mengenai kewajiban perpajakan dalam rangka memperluas basis pajak dengan mendatangi subjek pajak secara langsung di lokasi tempat usaha dan/atau tempat tinggal mereka. Kegiatan sensus ini juga diikuti dengan kegiatan penyuluhan dan himbauan kepada Wajib Pajak untuk membayar dan melaporkan pajaknya sesuai keadaan yang sebenarnya. Hasil yang diharapkan dari kegiatan Sensus Perpajakan Nasional ini adalah (1) tersedianya data yang akurat atas potensi pajak dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak; (2) meningkatnya pelayanan yang berkeadilan bagi masyarakat dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan; serta (3) meningkatnya peran serta masyarakat dalam mendukung kelangsungan pembangunan sehingga bangga menjadi warga negara. 6. Pencapaian Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan tahun Pencapaian Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan tahun 2011 dijabarkan sesuai hasil penjaminan kualitas (Quality Assurance atau QA) atas pelaksanaan reformasi birokrasi pada Kementerian Keuangan dengan uji petik di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang dilakukan oleh Tim Quality Assurance (QA) Reformasi Birokrasi Nasional berdasarkan surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor B/1252/M.PAN-RB/05/2011 tanggal 11 Mei 2011 tentang Piloting Monev dan QA Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 126 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

139 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Hasil piloting QA yang mencakup 8 (delapan) area perubahan reformasi birokrasi (tingkat mikro), 24 (dua puluh empat) sasaran, dengan menggunakan 42 (empat puluh dua) indikator dan 76 (tujuh puluh enam) parameter menunjukkan capaian aktual dengan nilai 91,21 dari skor maksimal 100 atau dengan kategori sangat baik. Skor tersebut berasal dari pencapaian aktual pengujian 8 (delapan) area perubahan sebagaimana tampak pada Tabel Tabel 3.57 Hasil QA Pelaksanaan Reformasi Birokrasi DJBC Tahun 2011 No Area Perubahan/Program Bobot Skor Nilai Akhir 1 Pola Pikir dan Budaya Kerja 10 94,86 9,49 2 Penataan Peraturan Perundang-undangan 10 88,75 8,88 3 Penataan dan Penguatan Organisasi 10 90,00 9,00 4 Penataan Tata Laksana 10 90,50 9,05 5 Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur 20 96,88 19,38 6 Penguatan Pengawasan 10 87,98 8,80 7 Penguatan Akuntabilitas Kinerja 10 86,25 8,63 8 Peningkatan Kualitas Layanan Publik 20 90,00 18,00 Total ,21 Tabel di atas menunjukkan pelaksanaan 8 (delapan) area perubahan pada Kementerian Keuangan berada pada kategori sangat baik dan baik, meskipun masih terdapat area of improvement sebesar 8,79% yang menjadi rencana perbaikan di Kementerian Keuangan untuk tahun Penyerahan DIPA tahun anggaran 2012 pada bulan Desember Penyerahan DIPA tahun anggaran 2012 menjadi momen yang fenomenal karena dapat dilakukan pada tanggal 20 Desember Hal ini menunjukkan peningkatan jika dibanding dengan tahun sebelumnya yang baru diserahkan pada tanggal 28 Desember Percepatan penyerahan DIPA kali ini sangat erat kaitannya dengan upaya percepatan penyerapan DIPA oleh K/L, dengan asumsi semakin cepat DIPA diserahkan, maka K/L diharapkan akan segera melakukan penyerapan DIPA terkait dengan pendanaan berbagai kegiatan yang akan dilakukan. Penyerahan DIPA tahun anggaran 2012 dilakukan langsung oleh Presiden RI di Istana Negara secara simbolis kepada enam Kementerian/Lembaga dengan nilai penyerapan terbesar di tahun 2011, yaitu Kementerian PU, Kementerian Perhubungan, Kejaksaan Agung, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Riset dan Teknologi. Selain itu Presiden juga menyerahkan DIPA kepada para Gubernur se-indonesia. 8. Kinerja pembiayaan APBN melalui utang Tahun Dalam periode terdapat pola yang konsisten dimana pembiayaan yang bersumber dari utang neto meningkat secara signifikan. Realisasi pembiayaan utang neto meningkat dari sebesar Rp33,3 Triliun pada tahun 2007 menjadi sebesar Rp125,3 Triliun pada tahun Dari sisi instrumen utang terdapat suatu kecenderungan pergeseran pola pembiayaan yang mengarah pada market based financing melalui penerbitan SBN. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

140 Penerbitan SBN neto yang semakin meningkat, selain berperan sebagai instrumen pembiayaan juga digunakan antara lain untuk pembayaran utang jatuh tempo, penerusan pinjaman, investasi pemerintah, dan penyertaan modal negara. Secara bertahap penerbitan SBN neto dari tahun cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata penerbitan sekitar Rp92,08 Triliun pertahun. Sementara penarikan pinjaman neto menunjukkan besaran negatif yang semakin mengecil. Realisasi penarikan pinjaman neto bersifat negatif, karena jumlah pinjaman baru yang ditarik lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pembayaran cicilan pokok. Data perkembangan pembiayaan melalui utang periode tampak pada Tabel Tabel 3.58 Perkembangan Pembiayaan melalui Utang Surat Berharga Nagara (neto) 57,2 85,9 99,5 91,1 126,7 134,6 Penerbitan, bruto ,2 148,5 167,6 211,2 Domestik 86,4 86,9 101,7 142,6 Valas 13,6 39,3 46,8 25 Pembayaran Pokok dan Pembelian (42,8) (40,3) (49,1) (76,5) (84,5) Kembalian Pembiayaan Pinjaman (neto) (23,9) (18,4) (15,5) (4,2) (1,3) (1,0) Pinjaman PLN, bruto 34,1 45,0 52,5 46,1 44,5 45,4 Pinjaman Program 19,6 30,1 28,9 29,0 19,2 15,3 Pinjaman Proyek 14,5 20,1 29,7 25,8 37,0 39,0 Penerusan PLN - 5,2 6,2 8,7 11,7 8,9 Pembayaran Cicilan Pokok PLN (57,9) (63,4) (68,0) (50,6) (47,2) (47,3) Penarikan Pinjaman Dalam Negeri, neto ,4 1,5 0,9 Total Pembiayaan Utang 33,3 67,5 83,9 86,9 125,3 133,6 Catatan: APBN PAN/LKPP - Audited *) APBN-P 2011 **) APBN 2012 Pembiayaan utang pemerintah juga dilakukan dengan mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber domestik melalui penerbitan SBN Rupiah maupun penarikan pinjaman dalam negeri. Porsi Pinjaman Luar Negeri terus diupayakan untuk diturunkan dengan kebijakan net negative flow Pinjaman Luar Negeri. Dengan upaya ini diharapkan ketergantungan terhadap pembiayaan dari Pinjaman Luar Negeri dapat semakin ditekan. Selain itu pengembangan instrumen utang terus dilakukan untuk meningkatkan fleksibillitas sumber pembiayaan sehingga utang dapat diperoleh dengan biaya dan risiko yang rendah. Hasilnya antara lain adalah dengan semakin menurunnya Debt to GDP ratio yaitu tingkat utang pemerintah terhadap output perekonomian nasional (Pendapatan Domestik Bruto) sebagaimana terlihat dalam grafik 3.4 Dari grafik tersebut tampak bahwa Debt to GDP ratio terus menurun dari 35,1% pada tahun 2007 menjadi sekitar 25% terhadap GDP pada tahun KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

141 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Hal tersebut mencerminkan meningkatnya kemampuan Pemerintah dalam menjaga kesinambungan fiskal. Rasio ini juga mengindikasikan bahwa jumlah utang yang ditarik oleh pemerintah setiap tahun telah dilakukan secara hati-hati, terencana, dan tepat sasaran sehingga kontribusinya terhadap perekonomian nasional telah mendorong peningkatan ekonomi dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan peningkatan utang itu sendiri. Grafik 3.4 Rasio Utang terhadap PDB ,322 1,188 1, Pinjaman Surat Berharga Negara Rasio Utang thd. PDB (RHS) Catatan: Angka Realisasi PAN/LKPP - Audited *) Angka sangat sangat sementara, menggunakan asumsi APBN-P 2011 **) APBN 2012 RHS = Right Hand Side (sisi sumbu X sebelah kanan), LHS = Left Hand Side (sisi sumbu X sebelah kiri) Grafik 3.5 berikut ini juga menunjukkan bahwa rasio utang terhadap PDB Indonesia termasuk yang paling rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Indonesia termasuk negara yang berhasil mengurangi rasio utang terhadap PDB secara signifikan. Grafik 3.5 Rasio Utang terhadap PDB di berbagai Negara 2011 dan Perubahannya United States United Kingdom Turkey Japan Italy Indonesia India Germany Brazil Argentina United States United Kingdom Turkey Japan Italy -9.5 Indonesia India Germany Brazil Argentina Sumber: DJPU *data sesuai APBN-P 2011 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

142 Turunnya Debt to GDP ratio juga tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan APBN yang membatasi defisit anggaran pada kisaran yang aman. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa defisit nasional maksimum ditetapkan di bawah 3% dari Produk Domestik Bruto. Pada tahun 2011 realisasi sementara defisit APBN terhadap PDB adalah 1,27% dan lebih rendah dari target APBN/P 2011 sebesar 2,1%. Selain itu, posisi pinjaman luar negeri Pemerintah dalam mata uang asli (original currency) terutama dalam JPY dan EUR sejak tahun 2008 mengalami penurunan, sedangkan dalam USD relatif terkendali. Sebagai contoh sejak tahun posisi outstanding pinjaman luar negeri berdenominasi JPY masing-masing sebesar JPY2.820Miliar, JPY2,678.8Miliar, dan JPY2,594.8Miliar. Pada akhir Desember 2011, jumlah ini menurun kembali menjadi JPY2,525.6Miliar. 9. Perkembangan peringkat kredit (investment grade). Pengelolaan fiskal dan utang yang semakin baik juga ditunjukkan dengan semakin membaiknya credit rating Indonesia. Selain membaiknya rating, CRC (country risk classification) dari OECD juga mengalami perbaikan. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi risiko Indonesia telah menurun, yang antara lain berdampak pada biaya utang dari kredit ekspor menjadi lebih rendah. Perkembangan peringkat kredit Indonesia tahun tampak pada Tabel Tabel 3.59 Perkembangan Credit Rating Indonesia ( ) Tahun Rating S&P Fitch Moody s CRC R&I JCRA 2011 BB+ BBB- Ba1 4 BB+ BBB BB BB+ Ba2 4 BB+ BBB BB- BB Ba2 5 BB+ BB BB- BB Ba3 5 BB+ BB BB- BB- Ba3 5 BB+ BB BB- BB- B1 5 BB- BB- Sumber: diolah dari Buku Perkembangan Utang Negara: Edisi Januari Penurunan biaya utang. Seiring dengan membaiknya kondisi fundamental perekonomian Indonesia, pasar keuangan Indonesia juga turut berkembang semakin baik. Untuk pasar SBN, hal ini ditunjukkan dengan penurunan yield curve (downward shift) selama periode Biaya utang mengalami penurunan yang signifikan disebabkan selain faktor eksternal yaitu inflasi, juga disebabkan oleh upaya pengembangan pasar yang telah berhasil menciptakan pasar Surat Berharga Negara yang deep, liquid, active dan stabil. 130 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

143 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Tabel 3.60 Penurunan biaya utang ( ) Tenor 30 Desember 2011 Desember 2010 Desember 2009 Desember Y 4,35 5,36 6,72 10,36 2Y 4,92 5,82 7,61 11,22 3Y 5,22 6,27 8,23 11,45 4Y 5,24 6,34 8,75 11,67 5Y 5,35 6,78 8,80 11,70 6Y 5,45 6,96 9,06 11,77 7Y 5,83 7,16 9,24 11,82 10Y 5,96 7,57 10,04 11,86 15Y 6,56 8,78 10,64 11,92 20Y 7,02 9,24 10,72 11,91 30Y 7,26 9,68 10,97 12,17 Grafik 3.6 Penurunan biaya utang ( ) Y 2Y 3Y 4Y 5Y 6Y 7Y 10Y 15Y 20Y 30Y 30 Desember 2011 Desember 2010 Desember 2009 Desember Volume Perdagangan Surat Berharga Negara. Kinerja Surat Berharga Negara di pasar sekunder terus meningkat. Hal ini terlihat dari volume perdagangan SBN yang cenderung mengalami peningkatan sejak krisis subprime morgage pada akhir tahun Dibandingkan dengan tahun 2009, volume perdagangan SBN pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 124% dengan frekuensi perdagangan yang meningkat sebesar 89%. Hal ini menunjukkan pasar SBN yang semakin liquid dan aktif. Hal tersebut antara lain didorong oleh prospek ekonomi dan persepsi risiko eksternal yang masih positif. Di samping itu, kinerja SBN juga ditopang oleh relatif terbatasnya risiko fiskal serta kesinambungan fiskal yang masih terjaga. Faktor-faktor positif tersebut mendorong yield jangka pendek dan panjang terus menurun. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

144 12. Debt Maturity Profile. Pembiayaan defisit APBN melalui utang harus dapat disediakan dalam jumlah yang cukup, tersedia pada saat diperlukan, dengan biaya yang efisien dan tingkat risiko yang terkendali. Pembiayaan meliputi pembiayaan defisit (deficit financing), dan pembayaran kembali utang jatuh tempo (debt refinancing). Debt refinancing, terutama dilakukan melalui penerbitan utang baru dengan terms and conditions (biaya dan tingkat risiko) yang lebih baik. Pengelolaan utang yang efisien telah berhasil menurunkan refinancing risk Pemerintah Indonesia. 13. Pengelolaan kewajiban kontinjensi. Dalam mendukung pengelolaan kewajiban kontinjensi, Kementerian Keuangan telah menyusun kajian terhadap jaminan Pemerintah berdasarkan peraturan Perundang-undangan dan perjanjian, baik jaminan yang dilakukan oleh Badan Usaha Penjamin Infrastruktur (BUPI) maupun jaminan Pemerintah secara langsung. Selain itu, kajian yang difokuskan pada jaminan Pemerintah mempertimbangkan banyaknya surat jaminan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah dan semakin beragamnya perjanjian yang telah atau akan dilakukan oleh Pemerintah. Kajian tersebut sangat diperlukan dalam memperkecil risiko fiskal. Di samping itu, dalam rangka pengendalian risiko kewajiban kontinjensi, perlu dilakukan langkah-langkah identifikasi, penilaian, dan perubahan terms and conditions terhadap permintaan penerbitan jaminan Pemerintah oleh pihak lain, baik untuk kebijakan yang baru maupun penerbitan jaminan untuk tiap-tiap proyek yang telah mempunyai payung hukum jaminan Pemerintahnya. Output dari kegiatan ini adalah penyusunan rekomendasi penerbitan jaminan Pemerintah (letter of guarantee). Dalam upaya untuk menjamin ketersediaan dana jaminan Pemerintah, perhitungan dan usulan alokasi dana dalam APBN dilakukan dengan mempertimbangkan potensi default dari pihak yang dijamin Pemerintah. Namun demikian, mengingat kebutuhan dana yang semakin besar untuk tahun-tahun mendatang seiring dengan meningkatnya kewajiban pembayaran kepada kreditur, akan dilakukan pengelolaan dana kewajiban kontinjensi dalam suatu rekening khusus yang dikelola dan diakumulasikan dari tahun ke tahun. Saat ini, substansi RPMK tentang tata cara pengelolaan dana cadangan penjaminan telah sampai pada tahap finalisasi. Alokasi anggaran penjaminan Pemerintah untuk PT PLN (Persero) terkait proyek MW tahap I dalam APBN tahun anggaran 2011 adalah sebesar Rp889 Miliar (Delapan ratus delapan puluh sembilan Miliar rupiah). Angka ini diperoleh dengan menggunakan rumus yang mencakup ha-hal seperti Exposure, probability default, recovery rate untuk memperkirakan expected loss. Sementara itu alokasi anggaran penjaminan Pemerintah yang mungkin timbul di tahun 2011 untuk program percepatan penyediaan air minum adalah sebesar Rp4,75 Miliar. Namun, untuk meningkatkan kepercayaan perbankan atas penjaminan Pemerintah untuk PDAM, maka alokasi anggaran penjaminan Pemerintah dalam APBN tahun anggaran 2011 ditetapkan menjadi sebesar Rp10 Miliar (sepuluh Miliar rupiah). Sampai dengan Desember 2011, alokasi anggaran penjaminan Pemerintah dalam APBN tidak dicairkan, yang berarti tidak terjadi gagal bayar dari pihak yang dijamin (PT PLN (Persero) dan PDAM). 132 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

145 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Dalam rangka mitigasi risiko atas pelaksanaan penjaminan, telah dilakukan monitoring atas proyekproyek yang mendapatkan jaminan Pemerintah untuk mengukur dan mengetahui secara dini potensi default. Monitoring dimaksud sekaligus dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya default sekaligus mampu memberikan mitigasi risikonya. 14. Asset-Liability Management (ALM). Pengelolaan keuangan negara pada saat ini dan di masa yang akan datang menghadapi tantangan yang luar biasa dari adanya perubahan kondisi global dan tantangan ekonomi domestik yang cukup besar. Pemerintah dituntut semakin meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan negara agar dapat mencapai tujuan pembangunan nasional yang diharapkan. Untuk meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan negara yang didalamnya termasuk pengelolaan risiko keuangan, Pemerintah perlu menerapkan ALM. Pada tahun 2011 telah dilaksanakan pengadaan IT ALM. Pelaksanaan pengadaan IT ALM dibagi menjadi 2 (dua) tahap, tahap I telah dilaksanakan pada tahun 2011 yang telah dimulai pada bulan Juni dengan melakukan kegiatan perancangan sistem, pengadaan hardware dan software serta uji coba pada bulan Desember Untuk Tahap II akan dilaksanakan pada tahun 2012 dengan membuat integrasi otomatis serta validasi data dengan berbagai sistem yang diimplementasikan di Kementerian Keuangan, misalnya data yang berasal dari proyek SPAN. Dalam rangka pelaksanaan Asset Liability Management (ALM), pada tahun 2011 Kementerian Keuangan telah melaksanakan pembahasan secara intensif dengan Bank Indonesia dan DPR terkait Revisi SKB tahun 2003 tentang penyelesaian BLBI serta restrukturisasi dan konversi Surat Utang Pemerintah. Kegiatan ini masih perlu dilanjutkan pada tahun 2012 dengan tujuan mempertimbangkan beban pada APBN tahun anggaran selanjutnya serta dampaknya bagi neraca BI. 15. Penyempurnaan dan implementasi Crisis Management Protocol (CMP). Sejak tahun 2008 Kementerian Keuangan telah memiliki Standard Operating Procedures (SOP) terkait penanganan dan pemeliharaan stabilitas pasar SBN sebagai pedoman pelaksanaan koordinasi dalam rangka mengantisipasi kondisi pasar keuangan dengan menentukan indikator-indikator yang berpengaruh terhadap kondisi pasar SBN. Sesuai dengan Nota Kesepahaman antara Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan tentang Koordinasi Dalam Rangka Pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan tanggal 30 Juli 2010, maka Kementerian Keuangan menindaklanjutinya dengan menyusun level dan indikator CMP yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 316/KMK.08/ 2011 tentang Penetapan Level dan Indikator Kondisi Pasar SBN Dalam Melaksanakan Protokol Manajemen Krisis Pasar SBN. Sesuai dengan sifat dan kondisi pasar SBN yang dinamis, Kementerian Keuangan telah menyempurnakan ketentuan dalam SOP CMP tersebut sehingga dapat diterapkan dalam penanganan krisis pasar SBN tahun LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

146 Untuk memudahkan upaya monitoring atas kondisi pasar SBN, pada tahun 2011 telah disusun dan dikembangkan suatu indeks gabungan yang selanjutnya disebut sebagai Indeks CMP yang dapat digunakan sebagai rekomendasi awal penetapan level krisis. 16. Penyiapan Bond Stabilization Framework. Bond Stabilization Framework merupakan langkah-langkah (strategi) yang dipersiapkan oleh Pemerintah dalam mengantisipasi terjadinya krisis keuangan, terutama krisis pasar SBN yang antara lain dapat dipicu oleh faktor eksternal yang berakibat pada pembalikan modal asing (sudden reversal). Berdasarkan Nota Kesepahaman antara Menteri Keuangan dan Menteri Negara BUMN Nomor S-715/MK.08/2010 dan Nomor MOU-09/MBU/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Koordinasi Dalam Rangka Pemeliharaan Stabilitas Pasar SBN, unit eselon I terkait di masing-masing Kementerian menindaklanjuti dengan penetapan mekanisme koordinasi yang dituangkan dalam Keputusan Bersama Nomor KEP-06/PU/2011 dan Nomor KEP-01/D4.MBU/2011 tanggal 18 Januari 2011 tentang Mekanisme Kerja Pelaksanaan Koordinasi Dalam Rangka Pemeliharaan Stabilitas Pasar SBN. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pelaku pasar bahwa Pemerintah bersama dengan BUMN-BUMN terkait sewaktu-waktu dapat melaksanakan pembelian SBN di pasar sekunder dalam rangka stabilisasi pasar SBN. Selanjutnya, Kementerian Keuangan juga telah menyusun SOP Pelaksanaan Koordinasi Dalam Rangka Penanganan Krisis Pasar SBN. Di internal Kementerian Keuangan, upaya untuk menjaga stabilitas pasar SBN dilakukan dengan suatu mekanisme koordinasi untuk melakukan pembelian SBN dalam rangka stabilisasi pasar SBN dengan menggunakan dana yang bersumber dari dana yang dikelola Pusat Investasi Pemerintah (PIP), dana yang berasal dari Kas Umum Negara dan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL). Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 175/KMK.08/2011 tanggal 13 Juni 2011 tentang Mekanisme Koordinasi Pembelian Surat Berharga Negara Dalam Rangka Stabilisasi Pasar Surat Berharga Negara di Lingkungan Kementerian Keuangan. 17. Global Market Repo Agreement (GMRA). Dalam rangka pengembangan pasar keuangan yang dalam dan likuid diperlukan adanya diversifikasi yang dapat menambah variasi transaksi pasar keuangan di Indonesia. Pengembangan Repo (Repurchase Agreement) market di Indonesia banyak diusulkan oleh para pelaku pasar terutama untuk meningkatkan likuiditas pasar keuangan di Indonesia. Pada dasarnya transaksi Repo di Indonesia bukan hal yang baru karena di sisi perdagangan obligasi negara kegiatan ini sudah dilakukan. Namun demikian perlu disusun kerangka hukum yang pasti agar transaksi Repo dapat dilaksanakan dengan aman dan sesuai dengan international best practice. Kementerian Keuangan beserta Bank Indonesia menyusun konsep Global Market Repo Agreement (GMRA) Indonesian Annexes. Penyusunan GMRA Indonesian Annexes ini menampung praktik yang diselenggarakan di dunia internasional dan menyesuaikan dengan kondisi mekanisme transaksi instrumen keuangan di dalam negeri. 134 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

147 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Workshop tentang GMRA di tahun 2011 yang mengundang market participant telah dilaksanakan dua kali, yaitu pada bulan November 2011 dan Desember 2011 dengan topik khusus terkait legal drafting GMRA Indonesian Annexes yang pada intinya membahas pasal-pasal GMRA yang telah disesuaikan dengan international best practice. Tahap selanjutnya setelah ini adalah tahap sosialisasi bagi para pelaku pasar dan tahap implementasi yang di harapkan dapat diselesaikan pada pertengahan tahun Pertumbuhan Pasar Modal Indonesia Pertumbuhan Pasar Modal Indonesia hingga akhir tahun 2011 ini cukup menggembirakan terlihat dari beberapa indikator per 20 Desember 2011 sebagai berikut: a. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) berada pada level 3.752,24, atau mengalami kenaikan sebesar 1,32% dibandingkan dengan penutupan tahun 2010 pada level 3.703,51. Apabila dibandingkan sejak akhir tahun 2008, dimana saat perekonomian global mengalami goncangan dan indeks ditutup pada level 1.355,41, maka kenaikan telah mencapai 176,84%. b. Kapitalisasi pasar mengalami kenaikan sebesar 6,86%, dari penutupan tahun 2010 sebesar Rp3.247,10 Triliun menjadi Rp3.469,72 Triliun di akhir tahun 2011 ini. Apabila dibandingkan dari saat terjadinya goncangan perekonomian global di tahun 2008 lalu sebesar Rp1.076,50 Triliun, maka kenaikan telah mencapai 222,32%. c IHSG di BEI ini merupakan indeks yang mengalami kenaikan positif sebesar 1,32%, menempati peringkat kedua setelah Dow Jones Indeks yang mengalami kenaikan sebesar 4,54%, dan diikuti oleh Bursa Thailand sebesar 0,05% dan menjadi salah satu bursa utama di dunia yang mengalami peningkatan indeks yang positif selama tahun d. Indeks dari beberapa Bursa Utama di dunia menunjukkan perkembangan yang negatif hingga akhir Desember 2011 apabila dibandingkan dengan kondisi di akhir tahun 2010 lalu. Indeks Malaysia mengalami penurunan sebesar 3,54%, dan Singapura sebesar 18,04%. Sementara itu, penurunan terbesar dialami oleh India sebesar 26,01%, Shanghai 21,09%, dan Hong Kong 21,51%. Adapun Jepang juga mengalami penurunan sebesar 18,50%, begitupun halnya dengan Korea Selatan sebesar 12,58%. e. Jumlah perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) pada tahun 2011 adalah sebanyak 23 perusahaan dengan total dana sebesar Rp19,16 Triliun untuk IPO Saham, dan 35 perusahaan untuk penerbitan Obligasi dengan total dana sebesar Rp44,21 Triliun. Adapun secara total saat ini tercatat telah terdapat 438 Emiten dan 120 Anggota Bursa di BEI. f. Pada tahun 2011, Net Asset Value (NAV) Reksadana telah mencapai Rp165,5 Triliun, mengalami kenaikan sebesar 10,9% dari akhir tahun 2010 sebesar Rp149,10 Triliun. Apabila dibandingkan sejak akhir tahun 2008, saat perekonomian global mengalami goncangan, maka kenaikan telah mencapai 123,43% dari sebesar Rp74,07 Triliun. Dari sisi Unit Kepemilikan Reksadana juga telah mencapai angka atau mengalami kenaikan sebesar 33,70% dari akhir tahun 2010 sejumlah LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

148 Komposisi kepemilikan asing dari jumlah sebesar tersebut hanya sekitar atau sebesar 1,77% dari total Unit Kepemilikan Reksadana. Hal ini menggambarkan bahwa kepemilikan domestik sangat dominan pada industri Reksadana, sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan komposisi kepemilikan investor domestik. Trend Unit Kepemilikan Reksadana asing ini juga menurun jika dibandingkan dengan akhir tahun 2010 yang sebesar atau penurunan sebesar 0,61%. 19. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Selain pertimbangan-pertimbangan terdahulu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang- Undang, juga mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan, serta badanbadan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan tersebut di atas pada hakikatnya merupakan lembaga bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah. Lembaga ini berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. 136 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

149 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dibentuklah suatu lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang disebut Otoritas Jasa Keuangan. Undang- Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu Undang- Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundangundangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya. Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsurunsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Untuk mewujudkan koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan yang baik, Otoritas Jasa Keuangan harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Independensi Otoritas Jasa Keuangan tercermin dalam kepemimpinan Otoritas Jasa Keuangan. Secara orang perseorangan, pimpinan Otoritas Jasa Keuangan memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

150 Sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola dan asas-asas di atas, Otoritas Jasa Keuangan harus memiliki struktur dengan prinsip checks and balances. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan. Fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan dilakukan oleh Dewan Komisioner melalui pembagian tugas yang jelas demi pencapaian tujuan Otoritas Jasa Keuangan. Tugas anggota Dewan Komisioner meliputi bidang tugas terkait kode etik, pengawasan internal melalui mekanisme dewan audit, edukasi dan perlindungan konsumen, serta fungsi, tugas, dan wewenang pengawasan untuk sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut maka dibentuk Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan. D. Akuntabilitas Keuangan. Realisasi Belanja Kementerian Keuangan pada TA 2011 adalah sebesar Rp ,00 (termasuk didalamnya realisasi belanja imbalan bunga yang tidak tersedia pagu anggarannya dalam DIPA sebesar Rp ,00) atau 92,80 persen dari pagu belanja dalam DIPA sebesar Rp ,00. Berbeda dengan IKU Persentase Penyerapan DIPA Kementerian Keuangan, realisasi belanja ini memuat juga belanja pegawai. Secara umum, realisasi anggaran per program Kementerian Keuangan adalah sebagaimana tampak pada Tabel Tabel 3.61 Realisasi Anggaran Kementerian Keuangan Tahun 2011 Kode Program Anggaran (Rp) Dana yang diserap (Rp) % 1. Program Dukungan dan Manajemen dan Pelaksanaan ,02 Tugas Teknis Lainnya Kementerian Keuangan 2. Program Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur Kementerian Keuangan ,93 3. Program Pendidikan dan Pelatihan Apataratur ,88 Kementerian Keuangan 4. Program Pengaturan Pembinaan dan Pengawasan ,75 Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank 5. Program Pengelolaan Anggaran Negara ,95 6. Program Peningkatan Pengelolaan Perimbangan ,06 Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah 7. Program Pengelolaan Perbendaharaan Negara ,27 8. Program Pengelolaan Kekayaan Negara Pengurusan ,21 Piutang Negara dan Pelayanan Lelang 9. Program Perumusan Kebijakan Fiskal , Program Pengamanan dan Pengamanan Penerimaan ,63 Pajak 11. Program Pengawasan Pelayanan dan Penerimaan di ,17 Bidang Kepabean dan Cukai 12. Program Pengelolaan dan Pembiayaan Utang ,41 Total , KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

151 Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian Kinerja Bab 3. Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan Bab 4. Penutup Penyebab tidak tercapainya target penyerapan anggaran antara lain adalah sebagai berikut: 1. Keterlambatan penunjukkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yang baru dilaksanakan pada bulan Mei 2011, sehingga beberapa kegiatan tidak dapat dilaksanakan tepat waktu. 2. Terjadinya gagal lelang pengadaan barang dan jasa pada beberapa satuan kerja. 3. Kurangnya peminat peserta lelang, peserta tidak memenuhi syarat administrasi, atau peserta tidak lulus evaluasi dokumen. 4. Adanya efisiensi dalam pelaksanaan lelang yang lebih rendah dari Harga Perkiraan Sendiri (HPS). 5. Adanya pagu anggaran belanja barang dan modal yang diblokir untuk Rupiah Murni Pendamping (RMP) dan Perjalanan Dinas Sensus Pajak Nasional. 6. Pembangunan gedung Kantor Pusat yang dianggarkan sebesar Rp70 Miliar pada tahun 2011 masih belum terealisasi sepenuhnya LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

152

21 Universitas Indonesia

21 Universitas Indonesia BAB 3 GAMBARAN UMUM DEPARTEMEN KEUANGAN DAN BALANCED SCORECARD TEMA BELANJA NEGARA 3.1. Tugas, Fungsi, dan Peran Strategis Departemen Keuangan Republik Indonesia Departemen Keuangan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Kualitas dan sistem pengawasan APBN ditingkatkan untuk menjamin pelaksanaan APBN yang transparan dan akuntabel

Kualitas dan sistem pengawasan APBN ditingkatkan untuk menjamin pelaksanaan APBN yang transparan dan akuntabel Pengantar Kualitas dan sistem pengawasan APBN ditingkatkan untuk menjamin pelaksanaan APBN yang transparan dan akuntabel Agus D.W. Martowardojo Menteri Keuangan i Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi

Lebih terperinci

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015 RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 215 A. KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA : B. UNIT ORGANISASI : C. MISI UNIT

Lebih terperinci

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015 RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 215 A. KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA : B. UNIT ORGANISASI : (15) KEMENTERIAN

Lebih terperinci

FORMULIR 2 RENCANA KERJA KEMENTRIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) TAHUN ANGGARAN 2017 1. Kementrian/Lembaga : KEMENTERIAN KEUANGAN 2. Sasaran Strategis K/L : 1.Terjaganya Kesinambungan Fiskal 3. Program : Program

Lebih terperinci

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015 RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 215 A. KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA : B. UNIT ORGANISASI : (15) KEMENTERIAN

Lebih terperinci

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015 RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 215 A. KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA : B. UNIT ORGANISASI : (15) KEMENTERIAN

Lebih terperinci

PENATAAN ARSITEKTUR DAN INFORMASI KINERJA DALAM RKA K/L 2016

PENATAAN ARSITEKTUR DAN INFORMASI KINERJA DALAM RKA K/L 2016 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PENATAAN ARSITEKTUR DAN INFORMASI KINERJA DALAM RKA K/L 2016 Jakarta, 10 Februari 2015 Dalam rangka penguatan penganggaran berbasis kinerja, dilakukan penataan Arsitektur

Lebih terperinci

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015 RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 215 A. KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA : B. UNIT ORGANISASI : (15) KEMENTERIAN

Lebih terperinci

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015 RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 215 A. KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA : B. UNIT ORGANISASI : C. MISI UNIT

Lebih terperinci

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015 RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 215 A. KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA : B. UNIT ORGANISASI : C. MISI UNIT

Lebih terperinci

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang PENGANTAR

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang PENGANTAR PENGANTAR (LAKIP) Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) merupakan perwujudan pertanggungjawaban atas kinerja DJPU tahun 2011 sebagai salah satu Unit Eselon I Kementerian Keuangan. LAKIP DJPU disusun

Lebih terperinci

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015 RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 215 A. KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA : B. UNIT ORGANISASI : (15) KEMENTERIAN

Lebih terperinci

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : Mewujudkan pengelolaan kas yang efisien dan optimal.

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : Mewujudkan pengelolaan kas yang efisien dan optimal. RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 215 A. KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA : B. UNIT ORGANISASI : (15) KEMENTERIAN

Lebih terperinci

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015 RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 215 A. KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA : B. UNIT ORGANISASI : (15) KEMENTERIAN

Lebih terperinci

FORMULIR 1 RENCANA KERJA KEMENTERIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) TAHUN ANGGARAN 2014

FORMULIR 1 RENCANA KERJA KEMENTERIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) TAHUN ANGGARAN 2014 FORMULIR RENCANA KERJA KEMENTERIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) TAHUN ANGGARAN 04 KEMENTERIAN/LEMBAGA : KEMENTERIAN KEUANGAN I. VISI No 0 II. MISI No 0 0 03 04 05 06 III. SASARAN STRATEGIS No 0 Tingkat pendapatan

Lebih terperinci

FORMULIR 1 RENCANA KERJA KEMENTERIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) TAHUN ANGGARAN 2013 KEMENTERIAN/LEMBAGA : KEMENTERIAN KEUANGAN I. VISI. Uraian Misi II.

FORMULIR 1 RENCANA KERJA KEMENTERIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) TAHUN ANGGARAN 2013 KEMENTERIAN/LEMBAGA : KEMENTERIAN KEUANGAN I. VISI. Uraian Misi II. FORMULIR 1 RENCANA KERJA KEMENTERIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) TAHUN ANGGARAN 23 KEMENTERIAN/LEMBAGA : KEMENTERIAN KEUANGAN I. VISI II. MISI No No 02 03 04 05 06 III. SASARAN STRATEGIS No 02 03 04 05 06 07 08

Lebih terperinci

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015 RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 215 A. KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA : B. UNIT ORGANISASI : (15) KEMENTERIAN

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN INDUK

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN INDUK SURAT PENGESAHAN NOMOR SP DIPA-15.12-/AG/214 DS 198-8264-795-2 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 24 tentang Perbendaharaan Negara. UU No. 23 Tahun 213 tentang

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2015 NOMOR : SP DIPA /2015

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2015 NOMOR : SP DIPA /2015 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK NOMOR SP DIPA-015.12-0/2015 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK NOMOR DIPA--0/2013 DS 4029-0066-4219-0429 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

FORMULIR 1 PENJELASAN UMUM RENCANA KERJA KEMENTERIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) TAHUN ANGGARAN 2016

FORMULIR 1 PENJELASAN UMUM RENCANA KERJA KEMENTERIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) TAHUN ANGGARAN 2016 FORMULIR 1 PENJELASAN UMUM RENCANA KERJA KEMENTERIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) TAHUN ANGGARAN 2016 1.Kementerian/Lembaga : KEMENTERIAN KEUANGAN 2. VISI : Menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia

Lebih terperinci

Independensi Integritas Profesionalisme

Independensi Integritas Profesionalisme BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Independensi Integritas Profesionalisme VISI Menjadi lembaga pemeriksa keuangan negara yang kredibel dengan menjunjung tinggi nilainilai dasar untuk berperan

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah. Dalam upaya meningkatkan

Lebih terperinci

Ikhtisar Eksekutif. vii

Ikhtisar Eksekutif. vii Kata Pengantar Laporan Kinerja Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini merupakan bentuk akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi kepada masyarakat (stakeholders) dalam menjalankan visi dan misi

Lebih terperinci

5. LAPORAN KINERJA TAHUN 2014 (RINGKASAN)

5. LAPORAN KINERJA TAHUN 2014 (RINGKASAN) 5. LAPORAN KINERJA TAHUN 2014 (RINGKASAN) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN SIAK NILAI-NILAI DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN SIAK Pelayanan Memberikan layanan yang memenuhi

Lebih terperinci

14. LAPORAN KINERJA TAHUN 2016 (RINGKASAN)

14. LAPORAN KINERJA TAHUN 2016 (RINGKASAN) 14. LAPORAN KINERJA TAHUN 2016 (RINGKASAN) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN SIAK Laporan Kinerja (LKj) Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Siak Tahun 2016, merupakan wujud dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. LAKIP tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. LAKIP tersebut BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG S etiap instansi Pemerintah mempunyai kewajiban menyusun Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) atau Laporan Kinerja pada akhir periode anggaran.

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA SEKRETARIAT INSPEKTORAT JENDERAL TAHUN 2016

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA SEKRETARIAT INSPEKTORAT JENDERAL TAHUN 2016 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA SEKRETARIAT INSPEKTORAT JENDERAL TAHUN 2016 SEKRETARIAT INSPEKTORAT JENDERAL KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN JAKARTA, JANUARI 2017 Laporan Akuntabilitas Kinerja Sekretariat Inspektorat

Lebih terperinci

Sekretariat Jenderal KATA PENGANTAR

Sekretariat Jenderal KATA PENGANTAR RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) SEKRETARIAT JENDERAL 2014 KATA PENGANTAR Sesuai dengan INPRES Nomor 7 Tahun 1999, tentang Akuntabilits Kinerja Instansi Pemerintah yang mewajibkan kepada setiap instansi pemerintah

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) BIRO HUKUM DAN ORGANISASI

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) BIRO HUKUM DAN ORGANISASI RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) BIRO HUKUM DAN ORGANISASI 2015-2019 SEKRETARIAT JENDERAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2015 KATA PENGANTAR Rencana strategis (Renstra) 2015 2019 Biro Hukum dan Organisasi

Lebih terperinci

Independensi Integritas Profesionalisme

Independensi Integritas Profesionalisme BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Independensi Integritas Profesionalisme VISI Menjadi lembaga pemeriksa keuangan negara yang kredibel dengan menjunjung tinggi nilainilai dasar untuk berperan

Lebih terperinci

Keuangan telah melakukan perubahan kelembagaan yaitu. peningkat- an efisiensi, efektivitas, dan produktivitas kinerja birokrasi dalam

Keuangan telah melakukan perubahan kelembagaan yaitu. peningkat- an efisiensi, efektivitas, dan produktivitas kinerja birokrasi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam upaya peningkatan kinerja dan institusi kelembagaannya, Kementerian Keuangan telah melakukan perubahan kelembagaan yaitu peningkat- an efisiensi, efektivitas,

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tamba

2 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tamba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.491, 2015 KEMENKOMINFO. Akuntabilitas Kinerja. Pemerintah. Sistem. Penyelenggaraan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13

Lebih terperinci

Bab IV Studi Kasus IV.1 Profil Direktorat Jenderal Perbendaharaan

Bab IV Studi Kasus IV.1 Profil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Bab IV Studi Kasus Sebelum melakukan perancangan, akan dipaparkan profil Direktorat Jenderal Perbendaharaan beserta visi, misi, tugas pokok dan fungsi, struktur organisasi, strategi bisnis, strategi TI,

Lebih terperinci

2016, No Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Menteri Keuangan dapat menetapkan pola pengelolaan k

2016, No Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Menteri Keuangan dapat menetapkan pola pengelolaan k BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1792, 2016 KEMENKEU. PPK-BLU Satker. Penetapan. Pencabutan Penerapan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 180/PMK.05/2016 TENTANG PENETAPAN DAN PENCABUTAN

Lebih terperinci

2.1 Rencana Strategis

2.1 Rencana Strategis 2.1 Rencana Strategis Sekretariat Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan () telah menyusun suatu Rencana Strategis (Renstra) dengan berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013 Ringkasan Eksekutif LAKIP Kementerian Komunikasi dan Informatika merupakan wujud dari pertanggungjawaban atas

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, 10 Maret 2014 Sekretaris Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Dr. Ir. Syafril Fauzi, M.

KATA PENGANTAR. Jakarta, 10 Maret 2014 Sekretaris Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Dr. Ir. Syafril Fauzi, M. KATA PENGANTAR Laporan akuntabilitas kinerja merupakan wujud pertanggungjawaban kepada stakeholders dan memenuhi Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 yang mengamanatkan setiap instansi pemerintah/lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan Pridensial, yaitu pelaksanaan sistem pemerintahan dipimpin oleh

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan Pridensial, yaitu pelaksanaan sistem pemerintahan dipimpin oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pelaksanakan pemerintahan di Indonesia menggunakan sistem pemerintahan Pridensial, yaitu pelaksanaan sistem pemerintahan dipimpin oleh Presiden. Presiden

Lebih terperinci

MATRIKS 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/LEMBAGA TAHUN 2011

MATRIKS 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/LEMBAGA TAHUN 2011 1 DUKUNGAN MANAJEMEN DAN PELAKSANAAN TUGAS LAINNYA KEMENTERIAN KEUANGAN MATRIKS 2.3 TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/LEMBAGA TAHUN PRAKIRAAN MAJU PRAKIRAAN MAJU Rasio realisasi dari janji layanan ke 6.165,5

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN

PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN DISAMPAIKAN DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN DALAM

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 38/PMK.09/2009 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN INTERN DEPARTEMEN KEUANGAN TAHUN 2009 MENTERI KEUANGAN,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 38/PMK.09/2009 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN INTERN DEPARTEMEN KEUANGAN TAHUN 2009 MENTERI KEUANGAN, MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 38/PMK.09/2009 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN INTERN DEPARTEMEN KEUANGAN TAHUN 2009 MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 01/PJ.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 01/PJ. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 01/PJ.01/2012 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP)

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) TAHUN 2009

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) TAHUN 2009 Panduan Pengelolaan Kinerja Berbasis Balanced Scorecard LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) TAHUN 2009 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA i PENGANTAR PENGANTAR Laporan Akuntabilitas

Lebih terperinci

Buku Profil DJPK COVER DEPAN. Selayang Pandang DJPK

Buku Profil DJPK COVER DEPAN. Selayang Pandang DJPK Buku Profil DJPK 1 COVER DEPAN Selayang Pandang DJPK Buku Profil DJPK 3 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Selayang Pandang DJPK 4 Buku Profil DJPK NILAI-NILAI KEMENTERIAN KEUANGAN Integritas Berpikir,

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN SEKRETARIAT JENDERAL TAHUN 2012

RENCANA KINERJA TAHUNAN SEKRETARIAT JENDERAL TAHUN 2012 RENCANA KINERJA TAHUNAN SEKRETARIAT JENDERAL TAHUN 2012 SEKRETARIAT JENDERAL KEMENTERIAN PERTANIAN 2011 KATA PENGANTAR Sesuai dengan INPRES Nomor 7 Tahun 1999, tentang Akuntabilits Kinerja Instansi Pemerintah

Lebih terperinci

INSPEKTORAT SEKRETARIAT KABINET REPUBLIK INDONESIA

INSPEKTORAT SEKRETARIAT KABINET REPUBLIK INDONESIA INSPEKTORAT SEKRETARIAT KABINET REPUBLIK INDONESIA INSPEKTORAT 2015 SEKRETARIAT KABINET REPUBLIK INDONESIA LAPORAN KINERJA INSPEKTORAT SEKRETARIAT KABINET TAHUN 2014 Nomor : LAP-3/IPT/2/2015 Tanggal :

Lebih terperinci

BMKG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH INSPEKTORAT TAHUN 2015

BMKG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH INSPEKTORAT TAHUN 2015 BMKG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH INSPEKTORAT TAHUN 2015 Jl. Angkasa I No. 2 Kemayoran, Jakarta 10720 Phone : (62 21) 65866230, 65866231, Fax : (62

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Dubnick (2005), akuntabilitas publik secara tradisional dipahami sebagai alat yang digunakan untuk mengawasi dan mengarahkan perilaku administrasi dengan

Lebih terperinci

K A T A P E N G A N T A R

K A T A P E N G A N T A R K A T A P E N G A N T A R Puji Syukur ke hadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga Bagian Keuangan dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Bagian

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Pada penyusunan Laporan Akuntabilias Kinerja Tahun 2013 ini, mengacu pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK NOMOR SP DIPA-015.02-0/2016 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. yang dapat dijadikan milik Negara (UU no 17 pasal1 ayat1). Undang undang

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. yang dapat dijadikan milik Negara (UU no 17 pasal1 ayat1). Undang undang BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Keuangan Negara Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa

Lebih terperinci

Laporan Kinerja KPPN Bandar Lampung 2015

Laporan Kinerja KPPN Bandar Lampung 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Penjelasan Umum Organisasi Laporan Kinerja KPPN Bandar Lampung tahun 2015 disusun sebagai bentuk perwujudan pertanggungjawaban pelaksanaan kinerja dalam mencapai sasaran strategis

Lebih terperinci

PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PROGRAM KERJA PENGAWASAN INTERNAL

PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PROGRAM KERJA PENGAWASAN INTERNAL KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PROGRAM KERJA PENGAWASAN INTERNAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SEKRETARIS

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bandung, Januari 2015 KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT

KATA PENGANTAR. Bandung, Januari 2015 KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT KATA PENGANTAR Sebagai tindaklanjut dari Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yang mewajibkan bagi setiap pimpinan instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK NOMOR SP DIPA-15.2-/217 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 24 tentang Perbendaharaan Negara.

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIANOMOR 277/PMK.05/2014TENTANG RENCANA PENARIKAN DANA, RENCANA PENERIMAAN DANA, DAN PERENCANAAN KAS

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIANOMOR 277/PMK.05/2014TENTANG RENCANA PENARIKAN DANA, RENCANA PENERIMAAN DANA, DAN PERENCANAAN KAS MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIANOMOR 277/PMK.05/2014TENTANG RENCANA PENARIKAN DANA, RENCANA PENERIMAAN DANA, DAN PERENCANAAN KAS DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun anggaran 2013, kewenangan atas pengesahan Daftar Isian

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun anggaran 2013, kewenangan atas pengesahan Daftar Isian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun anggaran 2013, kewenangan atas pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) beralih dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) kepada Direktorat

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK NOMOR DIPA--0/2013 DS 2154-9991-3669-7464 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI TAHUN ANGGARAN 2011

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI TAHUN ANGGARAN 2011 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI TAHUN ANGGARAN 2011 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI 2012 LAKIP DJBC

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GRAFIK DAN TABEL

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GRAFIK DAN TABEL 1 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GRAFIK DAN TABEL BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 RUANG LINGKUP PERMASALAHAN 1.3 MAKSUD DAN TUJUAN 1.4 SISTEMATIKA BAB II TINJAUAN PELAKSANAAN REKOMENDASI

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN INDUK

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN INDUK SURAT PENGESAHAN NOMOR SP DIPA-15.6-/AG/214 DS 12-392-713-178 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 24 tentang Perbendaharaan Negara. UU No. 23 Tahun 213 tentang

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 1.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas Pokok dan Fungsi Pelayanan SKPD Dalam proses penyelenggaraan pemerintahan sampai sekarang ini

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.763, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN NARKOTIKA NASIONAL. Pokok-Pokok. Pengawasan. BNN. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG POKOK-POKOK PENGAWASAN DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL ANGGARAN DIREKTORAT PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DISAMPAIKAN DALAM KEGIATAN SOSIALISASI PERATURAN

Lebih terperinci

MEKANISME PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA NEGARA

MEKANISME PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA NEGARA MEKANISME PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA NEGARA KOMPETENSI DASAR Mamahami pelaksanaan pasal-pasal yang mengatur tentang keuangan negara INDIKATOR Sumber Keuangan Negara Mekanisme Pengelolaan Keuangan Negara

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF menjadi unit kerja yang mampu mewujudkan pelayanan administrasi dan manajemen yang tertib, cepat, transparan dan akuntabel.

RINGKASAN EKSEKUTIF menjadi unit kerja yang mampu mewujudkan pelayanan administrasi dan manajemen yang tertib, cepat, transparan dan akuntabel. RINGKASAN EKSEKUTIF Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 61/Permentan/OT.140/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengelolaan keuangan negara digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Kondisi Saat Ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Kondisi Saat Ini BAB I PENDAHULUAN A. Kondisi Saat Ini telah melaksanakan program reformasi birokrasi pada periode 2005-2009. Sampai saat ini program reformasi birokrasi masih terus berlanjut, dan telah memberikan manfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya administrasi perpajakan, untuk administrasi pajak pusat, diemban oleh

BAB I PENDAHULUAN. adanya administrasi perpajakan, untuk administrasi pajak pusat, diemban oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pengeluaran rutin pemerintah dibiayai oleh sumber utama penerimaan pemerintah yaitu pajak. Proses pengenaan dan pemungutan pajak ini memerlukan adanya administrasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2010010 TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Kebijakan Bidang Pendayagunaan Aparatur Negara a. Umum

Kebijakan Bidang Pendayagunaan Aparatur Negara a. Umum emangat reformasi telah mendorong pendayagunaan aparatur Negara untuk melakukan pembaharuan dan peningkatan efektivitas dalam melaksanakan fungsi penyelenggaraan pemerintahan Negara dalam pembangunan,

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT KEMENTERIAN PANRB. Sekretariat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 2015

RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT KEMENTERIAN PANRB. Sekretariat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 2015 RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT KEMENTERIAN PANRB Sekretariat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 2015 Kata Pengantar Sekretariat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Lebih terperinci

Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2014 KATA PENGANTAR

Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2014 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah dapat diselesaikan untuk memenuhi ketentuan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Barang Milik Negara. Aspek Dalam Mengelola. Drs. Herri Waloejo, Widyaiswara Utama Pusdiklat KNPK

Barang Milik Negara. Aspek Dalam Mengelola. Drs. Herri Waloejo, Widyaiswara Utama Pusdiklat KNPK 4 Oleh Aspek Dalam Mengelola Barang Milik Negara Drs. Herri Waloejo, Widyaiswara Utama Pusdiklat KNPK Jumlah Barang Milik Negara dari tahun ke tahun terus meningkat baik secara kuantitatif maupun secara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Frequently Asked Questions (FAQ) Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan

Frequently Asked Questions (FAQ) Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan Frequently Asked Questions (FAQ) Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan A. Gambaran Umum Apa itu Inspektorat Jenderal? Tugas Inspektorat Jenderal Fungsi Inspektorat Jenderal Visi Inspektorat Jenderal

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2015 NOMOR : SP DIPA /2015

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2015 NOMOR : SP DIPA /2015 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK NOMOR SP DIPA-015.07-0/2015 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2010010 TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Le

2016, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Le No.1876, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMKES. BLU. Pengelolaan Keuangan. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyusunan Rencana Strategis Bisnis (RSB) bagi suatu organisasi pemerintah merupakan suatu kewajiban sebagai upaya mewujudkan tata kelola system yang modern. RSB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Pengawasan Intern pemerintah merupakan unsur manajemen yang penting dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sebagai pelaksana pengawasan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kementerian Keuangan. Keuangan. Kas.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kementerian Keuangan. Keuangan. Kas. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.456, 2009 Kementerian Keuangan. Keuangan. Kas. PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 192/PMK.05/2009 TENTANG PERENCANAAN KAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N 1 BAB I P E N D A H U L U A N 1.1. Latar Belakang Arah kebijakan Inspektorat Kabupaten Bandung adalah Pembangunan Budaya Organisasi Pemerintah yang bersih, akuntabel, efektif dan Profesional dan Peningkatan

Lebih terperinci

Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara

Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara HUKUM KEUANGAN NEGARA PERTEMUAN KE-4 Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Dani Sugiri, SE, SST Content Fungsi Presiden sebagai pemegang kekuasaan atas Pengelolaan

Lebih terperinci

PUSAT DATA DAN STATISTIK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PUSAT DATA DAN STATISTIK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT DATA DAN STATISTIK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN RENCANA STRATEGIS TAHUN 2015-2019 KATA PENGANTAR Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004

Lebih terperinci

Laporan Kinerja. Kementerian Keuangan Tahun 2016

Laporan Kinerja. Kementerian Keuangan Tahun 2016 Laporan Kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2016 1 Daftar Isi Daftar Isi Daftar Isi 02 Daftar Tabel 04 Daftar Gambar 06 Daftar Grafik 07 Pengantar 08 Ringkasan Eksekutif 10 01. Pendahuluan A. B. C. Latar

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

BADAN PENGELOLAAN KEUANGAN, PENDAPATAN DAN ASSET DAERAH

BADAN PENGELOLAAN KEUANGAN, PENDAPATAN DAN ASSET DAERAH LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (L A K I P) TAHUN 2016 DINAS PENDAPATAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH D I S U S U N O L E H : BADAN PENGELOLAAN KEUANGAN, PENDAPATAN DAN ASSET DAERAH

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENYUSUNAN, PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNJAWABAN ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA NEGARA SERTA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LAPORAN MENTERI KEUANGAN ACARA PENYERAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) TAHUN ANGGARAN 2011

LAPORAN MENTERI KEUANGAN ACARA PENYERAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) TAHUN ANGGARAN 2011 LAPORAN MENTERI KEUANGAN ACARA PENYERAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) TAHUN ANGGARAN 2011 Jakarta, 28 Desember 2010 1 Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Salam sejahtera untuk kita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra KL) adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga jangka menengah (5 tahun) yang memuat visi, misi, tujuan, strategi,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

LKIP BPMPT 2016 B A B I PENDAHULUAN

LKIP BPMPT 2016 B A B I PENDAHULUAN B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penilaian dan pelaporan kinerja pemerintah daerah menjadi salah satu kunci untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, transparan, akuntabel, efisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta

Lebih terperinci