VII DESAIN MODEL PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN BERGAMBUT SUNGAI RAYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII DESAIN MODEL PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN BERGAMBUT SUNGAI RAYA"

Transkripsi

1 127 VII DESAIN MODEL PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN BERGAMBUT SUNGAI RAYA Abstrak Hasil analisis keberlanjutan permukiman di kawasan Sungai Raya secara umum kurang berlanjut, sehingga perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan statusnya hingga mencapai status berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis pada bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan awal bahwa faktor manajemen lahan merupakan faktor kunci didalam pengelola permukiman berkelanjutan dengan cara menekan laju konversi lahan untuk permukiman. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain model permukiman berkelanjutan di kawasan bergambut (model fisik dan model dinamik). Metode analisis dengan menggunakan sistem dinamik dengan software Stella dan metode Composite Performance Indeks (CPI). Hasil perencanaan model fisik dinyatakan dalam bentuk Model Hunian Vertikal sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan rumah tinggal pada lahan yang minimal. Sementara untuk meminimalisir degradasi lingkungan dinyatakan dalam bentuk Model Struktur Panggung yang mampu mempertahankan ekosistem gambut dan meminimalisir degradasi lingkungan. Kedua model tersebut dianalisis untuk mendapatkan varian model terbaik sekaligus untuk memvalidasi model yang diusulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keempat varian model yang dianalisis (horizontal tapak, horizontal panggung, vertikal tapak, dan vertikal panggung) diketahui bahwa model vertikal panggung merupakan model terbaik dengan skor , selanjutnya model vertikal tapak (skor: 300), model horizontal tapak (skor: 160), dan model horizontal panggung (skor: ). Hasil analisis skenario pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya menunjukkan bahwa dari keempat skenario yang diusulkan, maka skenario 4 (konversi ke hunian vertikal sebesar 50% pada lahan eksisting dan 75% pada lahan baru) merupakan skenario terbaik, dengan efisiensi lahan mencapai 37% sehingga terdapat surplus lahan sebesar ha, menurunkan jumlah rumah tapak sebanyak 27,933 unit hingga tahun 2032, penambahan proporsi RTH mencapai 58.65%. Surplus lahan dapat dialokasikan sebagai lahan cadangan untuk menambah jumlah hunian sebanyak 29,060 unit atau memperpanjang daya dukung lahan sampai dengan tahun Subsidi hunian vertikal bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam bentuk suku bunga rendah 7.25% flat 15 tahun, dengan harga Rp. 99 juta/unit dan cicilan Rp ,-/bulan. Harga tersebut telah sesuai dengan kemampuan dan daya beli masyarakat. Kata kunci : model, permukiman, berkelanjutan, kawasan bergambut. 7.1 Pendahuluan Pertumbuhan rumah tapak di kawasan Sungai Raya saat ini terus mengalami peningkatan. Kondisi dan karakteristik lahan di Sungai Raya yang sebagian besar merupakan lahan bergambut, menimbulkan kekhawatiran terjadinya degradasi lingkungan yang disebabkan secara ekologis tidak memenuhi kriteria

2 128 keberlanjutan. Rumah tapak semakin diminati oleh masyarakat karena dianggap lebih kokoh dan modern dibanding rumah panggung. Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa rumah panggung secara visual kurang menarik. Padahal dibalik kesederhanaannya, rumah panggung justru memiliki filosofi yang lebih berwawasan lingkungan karena proses pembangunannya relatif tidak merusak ekosistem gambut. Pembangunan rumah tapak yang notabene menggunakan pondasi lajur batu kali dan bertumpu pada tanah keras, berimplikasi pada rusaknya struktur tanah gambut yang menyebabkan kondisi tidak balik kembali (irreversible). Perlakuan seperti ini berpotensi menyebabkan terjadinya bencana ekologis berupa bencana banjir dan lepasnya sejumlah gas rumah kaca (CO 2 dan CH 4 ) yang tersimpan didalam gambut. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan pengembangan model permukiman perkotaan di lahan bergambut secara berkelanjutan. Penataan kawasan permukiman perkotaan di Sungai Raya sepertinya cukup mendesak untuk dilakukan mengingat tingkat kemajuan pembangunan di kawasan tersebut cukup tinggi. Hingga tahun 2012 diperkirakan lebih dari Ha lahan gambut telah dikonversi menjadi kawasan permukiman (built up area). Permasalahan kunci yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana upaya untuk mengurangi laju konversi lahan gambut, namun disisi lain kebutuhan perumahan dan permukiman dapat terpenuhi. Hal ini pada dasarnya berkorelasi terhadap upaya efisiensi dan optimalisasi lahan, dimana model hunian vertikal dapat menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah keterbatasan lahan seperti halnya di kota-kota besar yang padat penduduknya. Tidak menutup kemungkinan model hunian vertikal juga dapat diimplementasikan pada lahan gambut perkotaan yang tentunya perlu dibarengi dengan rekayasa teknologi agar memenuhi syarat secara konstruksi, sanitasi, dan estetika. Pada penelitian ini akan dikembangan 2 (dua) macam model, yaitu model ikonik dan model dinamik. Model ikonik merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda yang dapat divisualisasikan dalam bentuk dua dimensi ataupun tiga dimensi. Sementara model dinamik adalah model yang memiliki keterkaitan secara dinamik antar komponen dan antar waktu yang dapat digunakan untuk membantu dalam pengambilan keputusan lintas disiplin sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif.

3 129 Tujuan penelitian ini adalah untuk mendesain model permukiman perkotaan di kawasan bergambut Sungai Raya secara berkelanjutan yang dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi bagi pemerintah daerah khususnya pemerintah Kabupaten Kubu Raya untuk merumuskan kebijakan dibidang pembangunan perumahan dan permukiman di kawasan tersebut. 7.2 Metode Penelitian Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi, dan mendesain sistem dengan komponen yang saling terkait, yang di formulasikan secara lintas disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Eriyatno (2003) sebuah pendekatan sistem memiliki tiga ciri yaitu kompleks, dinamik, dan probabilistik dengan 3 (tiga) pola dasar yang selalu menjadi pegangan pokok para ahli sistem dalam menjawab permasalahan, yaitu : (1) Sibernatik (cybernetic) yaitu berorientasi tujuan, (2) Holistik (holistic) yaitu cara pandang yang utuh terhadap sistem, dan (3) Efektif (effective) yaitu lebih mementingkan hasil guna yang operasional daripada pendalaman teoritis untuk mencari efisiensi keputusan. Alat analisis yang digunakan untuk mensimulasi interaksi antar variabel menggunakan software Stella. Menurut Manetsch dan Park (1977) dalam Hartrisari (2007), tahapan pendekatan sistem terdiri dari 6 (enam) tahapan, yang meliputi : (1) analisis kebutuhan, (2) formulasi massalah, (3) identifikasi sistem, (4) pemodelan sistem, (5) verifikasi dan validasi, dan (6) implementasi. 1. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dari pengkajian suatu sistem. Pada tahap ini diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem atau stakeholders (Hartrisari 2007). Setiap pelaku sistem memiliki kebutuhan yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi kinerja sistem. Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seseorang terhadap jalannya sistem. Pelaku yang terlibat dalam sistem pengembangan permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut ini adalah : (1) Pemerintah Daerah Kabupaten Kubu Raya, (2) Masyarakat, (3) Pengusaha (swasta), (4) Pengembang (developer), (5) Lembaga Keuangan, (6) Perguruan Tinggi (Institusi), dan (7) LSM

4 130 Tabel 21. Analisis kebutuhan masing-masing pelaku sistem (stakeholders) dalam penyusunan model permukiman perkotaan berkelanjutan. No Pelaku (Stakeholders) Kebutuhan 1. Pemerintah Daerah Pembangunan kota terencana Terpenuhi kebutuhan permukiman Tersedia lahan bagi permukiman 2. Masyarakat Tersedia hunian layak dan terjangkau Tersedia sarana dan prasarana 3. Developer Meningkatnya permintaan rumah Harga lahan/material murah 4. Pengusaha (swasta) Berkembangnya dunia usaha (ekonomi) Terciptanya market net-work yang luas 5. Lembaga keuangan Meningktanya permintaan kredit rumah Suku bunga tinggi 6. Institusi Sosialisasi pemahaman lingkungan Penelitian terkait permukiman lahan gambut 7. LSM Lingkungan Meminimalisasi eksploitasi lahan gambut 2. Formulasi Masalah Formulasi masalah dibuat karena adanya konflik kepentingan (conflict of interst) diantara para pelaku sistem dalam mencapai tujuan sistem. Formulasi masalah dilakukan atas dasar penentuan informasi yang telah dilakukan melalui identifikasi sistem yang dilakukan secara bertahap (Eriyatno, 2003). Terjadinya konflik kepentingan antara para stakeholders, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan dengan mengetahui permasalahan yang ada dari masing-masing stakeholders dengan adanya pengaruh dari stakeholders yang lain (Hartrisari, 2007). Selanjutnya, formulasi masalah perlu dikembangkan menjadi suatu pernyataan masalah yang mendefinisikan gugus kriteria kelakuan sistem yang kemudian di evaluasi (Eriyatno, 2003). Berdasarkan hasil analisis kebutuhan dan adanya perbedaan kepentingan antar pelaku dalam sistem pengembangan permukiman perkotaan berkelanjutan di lahan bergambut ini, maka diprediksi permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut :

5 Belum adanya kebijakan dibidang permukiman yang mengatur secara khusus tentang pembangunan permukiman di wilayah bergambut. 2. Masih minimnya pemahaman masyarakat/pemerintah/swasta/institusi tentang dampak dari eksploitasi lahan gambut yang tidak terkendali, terkait misi lingkungan yang diembannya. 3. Kurangnya informasi tentang database sebaran lahan gambut, karakteristik, dan jenis peruntukan lahan khususnya di wilayah di Kalimantan Barat. 4. Belum adanya Rencana Tata Ruang Kota/Kabupaten di Kalimantan Barat yang mempertimbangkan fungsi ekologis lahan gambut sebagai suatu ekosistem yang perlu dijaga keberlanjutannya. 5. Kurangnya koordinasi antara pemerintah, pengembang, dan LSM terhadap proses pembangunan perumahan dan permukiman. 3. Identifikasi Sistem Pada tahap identifikasi sistem, pengkaji sistem mencoba memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem. Hal ini dimaksudkan untuk mengenali hubungan antara pernyataan kebutuhan dan pernyataan masalah yang harus diselesaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut (Hartrisari, 2007). Menurut Eriyatno (2003), Identifkasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencapai kebutuhan tersebut. Pada tahap ini akan dilakukan pemahaman terhadap mekanisme yang terjadi dalam sistem. Hal ini dimaksudkan untuk mengenali hubungan antara pernyataan kebutuhan dan pernyataan masalah yang harus diselesaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan menyusun diagram lingkar sebab-akibat (causal-loop diagram) atau diagram input-output (black box diagram). 4. Simulasi Model Simulasi merupakan proses penggunaan model untuk meniru perilaku secara bertahap dari sistem yang dipelajari. Simulasi merupakan eksperimentasi yang menggunakan model suatu sistem dengan analisis sistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perilaku terhadap sistem yang diteliti dan kegagalan seperti yang terjadi pada eksperimen biasa (Grant et al., 1997).

6 132 Input Tak Terkendali : Jumlah penduduk Ketersediaan lahan Sebaran lahan gambut KKOP (Bandara) Input Lingkungan : UU No. 32 Tahun 2009 UU No. 26 Tahun 2007 UU No. 1 Tahun 2011 Kepres No. 32 Thn 1990 RTRW Kab. Kubu Raya Output yang dikehendaki : Kebutuhan rumah terpenuhi. Bencana ekologis dapat dihindari. Input Terkendali : Hunian vertikal Struktur panggung Desain arsitektur Subsidi pemerintah Model Permukiman Perkotaan Berkelanjutan Pada Wilayah Bergambut Monitoring &Evaluasi Kinerja Pembangunan Permukiman. Pemerintah Daerah sebagai Decision Maker Pembuat Kebijakan dibidang permukiman Output tak dikehendaki : Konflik kepentingan Kerusakan lingkungan Penduduk melebihi carrying capacity Gambar 59. Diagram black box sistem pengembangan permukiman perkotaan berkelanjutan di wilayah bergambut pendapatan + Minat Masy. Daya beli teknologi kelahiran kematian Hunian vertikal + + Bencana ekologis + Kesadaran lingkungan emigrasi Populasi - + penduduk Emisi GRK Lahan terbangun imigrasi Ekspansi gambut Struktur tapak Pemekaran Kab. baru Kebutuhan rumah RTH & resapan + Hunian horizontal - Hinterland Pontianak Karakteristik lahan Struktur panggung - Gambar 60. Diagram causal loop sistem pengembangan permukiman perkotaan berkelanjutan di wilayah bergambut

7 Validasi Model Validasi model adalah usaha menyimpulkan apakah model sistem yang dibuat merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji dimana dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno, 2003). Validasi Model ditujukan untuk melihat kesesuaian hasil model dibandingkan dengan realitas yang dikaji (Hartrisari, 2007). Validasi model dilakukan dengan menguji kebenaran struktur model dan keluaran model untuk menunjukkan kesalahan minimal dibandingkan dengan data aktual termasuk menggunakan berbagai teknik statistika. Validasi struktur untuk memperoleh keyakinan konstruksi model valid secara ilmiah atau didukung oleh struktur sistem nyata, sedangkan validasi keluaran model (kinerja) dilakukan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata (Muhammadi et al. 2001). Untuk validasi model permukiman berkelanjutan di wilayah bergambut dilakukan dengan dua pendekatan yaitu (1) untuk validasi struktur dilakukan melalui studi pustaka/studi banding, sedangkan (2) untuk validasi kinerja dilakukan melalui metode kuesioner untuk melihat preferensi masyarakat. 7.3 Hasil dan Pembahasan Perubahan fungsi peruntukan ruang kota dari perumahan horizontal (landed housing) menjadi hunian vertikal tentunya bukanlah merupakan suatu persoalan sederhana. Namun demikian, konversi tersebut tidak berarti harus disikapi dengan pesimis. Kajian persepsi masyarakat terhadap tipologi perumahan seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, menunjukkan bahwa minat masyarakat terhadap hunian vertikal cukup tinggi dengan pertimbangan harga per unit hunian lebih murah, lebih praktis dan lebih modern seperti di kota-kota besar. Demikian juga persepsi masyarakat yang menyatakan bahwa struktur panggung cocok untuk karakteristik lahan bergambut Model Ikonik (model fisik) Model Ikonik adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda (Eriyatno, 2003). Model ikonik dapat berdimensi dua seperti peta, dapat pula berdimensi tiga seperti prototype. Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikonstruksikan secara fisik sehingga perlu dikategorikan sebagai model simbolik. Model ikonik perumahan

8 134 yang akan dikembangkan terdiri dari 2 sub model, yaitu: sub model tipologi bangunan dan sub model struktur bangunan yang dijelaskan sebagai berikut: A. Sub Model Tipologi Bangunan Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan permukiman eksisting rumah tapak yang menunjukkan ketidakberlanjutan secara ekologi, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) perlu dilakukan upaya minimalisasi konversi lahan gambut menjadi permukiman, 2) menekan tingkat kehilangan dan mempertahankan ekosistem gambut, 3) mempertahankan eksistensi daerah resapan dan 4) menekan cost of degradation. Salah satu upaya untuk memperbaiki atribut dimensi ekologi agar mencapai status berkelanjutan di masa mendatang adalah dengan cara mengembangkan Model Hunian Vertikal. Di satu sisi, model vertikal menjadi solusi terhadap efisiensi lahan dan di sisi lain mampu menjawab tuntutan kebutuhan terhadap perumahan dan permukiman Model hunian vertikal yang berbentuk compact mampu menekan infrastructure cost jika dibanding hunian horizontal yang cenderung membutuhkan penyediaan infrastruktur yang lebih luas. Efisiensi biaya pengadaan infrastruktur dan pembebasan lahan secara tidak langsung akan menekan harga per unit hunian sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat. Hal ini akan meningkatkan nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi. Ditinjau dari aspek sosial-budaya, minat dan preferensi masyarakat memegang peranan yang sangat penting untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan sosbud. Hasil kajian persepsi masyarakat menunjukkan bahwa desain dan arsitektur bangunan merupakan faktor yang cukup dipertimbangkan dalam memilih rumah tinggal. Dalam hal ini, estetika bangunan merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan dalam pengembangan industri perumahan karena akan sangat berpengaruh terhadap minat masyarakat dan peluang pasar. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa dari ketiga model yang ditawarkan yaitu model hunian vertikal (5-10 lantai), model hunian 2-3 lantai, dan model hunian 1 lantai, maka model hunian vertikal memiliki persentase tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa respon masyarakat terhadap hunian vertikal cukup baik. Beberapa strategi perencanaan permukiman terkait upaya minimalisasi dan optimalisasi lahan, antara lain: 1. Konversi hunian 1 lantai secara bertahap menjadi hunian 2-3 lantai dengan konsekuensi lebar persil hunian menjadi lebih kecil (Gambar 60a).

9 Konversi tipe rumah tunggal menjadi tipe kopel (maizonnet) sesuai dengan standarisasi dan persyaratan konstruksi bangunan (gambar 60b). a Tipe 2-3 Lt Rumah tunggal 1 lantai Tipe kopel b Gambar 61. Konversi hunian 1 lantai menjadi hunian 2-3 lantai (a) dan konversi rumah tunggal menjadi rumah kopel (b) Pengembangan hunian vertikal, tidak terlepas dari perencanaan sistem transportasi atau sirkulasi vertikal. Menurut standar perancangan arsitektur (Neufert), penggunaan tangga manual hanya efektif untuk bangunan berlantai rendah hingga sedang (maksimal 5 lantai), sementara untuk bangunan > 5 lantai wajib disediakan lift untuk kemudahan transportasi vertikal. Ilustrasi model hunian vertikal berlantai rendah hingga sedang dijelaskan pada Gambar 62 dan 63. Gambar 62. Ilustrasi bangunan vertikal berlantai rendah

10 136 Gambar 63. Ilustrasi bangunan vertikal berlantai sedang B. Sub. Model Spasial Selain pertimbangan stabilitas dan daya dukung lahan, alasan keamanan penerbangan juga menjadi batasan dalam perencanaan permukiman di Sungai Raya. Kebijakan mengenai Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) Bandara Supadio menjelaskan bahwa sebagian besar kawasan Sungai Raya termasuk dalam zona KKOP. Mengacu pada ketentuan KKOP tersebut, maka rencana zonasi menurut ketinggian bangunan dibedakan menjadi 5 zona, yaitu: 1. Zona bebas bangunan, yang terletak pada kawasan 2. Zona bangunan 1-2 lantai 3. Zona bangunan 2-4 lantai 4. Zona bangunan 4-6 lantai 5. Zona bangunan 6-10 lantai Zona yang berada dibawah kawasan pendekatan dan lepas landas dengan ketinggian bangunan antara 0 6 lantai, yang terdiri dari zona bebas bangunan sepanjang 2.5 km (kawasan dibawah permukaan horizontal dalam), zona bangunan maks. 2 lantai sepanjang 1.5 km, zona bangunan maks. 4 lantai sepanjang 1.5 km, dan zona bangunan maks. 6 lantai sepanjang 3 km (kawasan dibawah permukaan horizontal luar). Zona yang berada diluar kawasan pendekatan dan lepas landas dengan ketinggian bangunan antara 1 10 lantai, yaitu: zona bangunan maks. 2 lantai (1 km), zona bangunan maks. 4 lantai (3 km), zona bangunan maks. 6 lantai (2 km) dan ), zona bangunan maks. 10 lantai (2 km). Pembagian zonasi kawasan menurut ketinggian bangunan (peta zonasi kawasan) ditunjukkan Gambar 63.

11 137 Pot. B Pot. A Rencana Lokasi Tower Gambar 64. Peta rencana zonasi kawasan menurut ketinggian bangunan

12 138 SKY LINE Zona Bang. Maks. 6 lt Zona Bang. Maks. 4 lt Zona Bang. Maks. 2 lt 3 km 1.5 km 1.5 km Zona Bebas Bangunan 2.5 km Runway Bandara 2 km Gambar 65. Potongan A (zona di bawah kawasan pendekatan dan lepas landas) SKY LINE Zona Bang. Maks. 10 lt Zona Bang. Maks. 6 lt Zona Bang. Maks. 4 lt Zona 1-2 lt 2 km 2 km 3 km 1 km Runway 1 km Gambar 66. Potongan B (zona diluar kawasan pendekatan dan lepas landas)

13 139 C. Sub Model Tipologi Struktur Berdasarkan dimensi teknologi, stabilitas bangunan menjadi faktor penting dalam pembangunan rumah tinggal. Tipologi rumah panggung secara ekologi cukup berkelanjutan walaupun teknologi dan ekonomi kurang berkelanjutan. Stabilitas rumah panggung yang tergolong rendah disebabkan keterbatasan konstruksi penyangga dalam memikul beban. Rumah panggung yang identik dengan konstruksi kayu (tiang tongkat) pada umumnya tidak menancap pada lapisan tanah keras melainkan hanya mengandalkan gaya rekat tanah (friksi) dan kayu-kayu cerucuk yang ditanam dengan pola grid. Filosofi rumah panggung pada dasarnya dapat diimplemetasikan secara konseptual pada bangunan-bangunan modern. Perpaduan yang unique antara konsep tradisional dan modern akan menghasilkan suatu karya arsitektur yang kontemporer dan bernilai seni tinggi. Unsur tradisional konstruksi panggung (sub-structure) merefleksikan dwi fungsi yaitu meningkatkan nilai indeks keberlanjutan secara ekologi karena dapat meminimalisir eksploitasi dan konversi lahan gambut, dan mempertahankan nilai-nilai local wisdom sebagai arsitektur tradisional masyarakat Kalbar. Sementara unsur modern dapat diaplikasikan pada upper-structure dalam permainan dan elaborasi bentuk bangunan serta desain façade yang up to date mengikuti perkembangan tren saat ini. Penggunaan struktur panggung dapat menjadi rekomendasi utama bagi setiap pembangunan permukiman, dan tidak terkecuali untuk semua fungsi bangunan seperti perkantoran, fasilitas umum dan sosial, bangunan pendidikan, bangunan komersial dan fungsi-fungsi lainnya. Dapat diprediksi apabila semua bangunan berkontribusi dengan tidak merusak fungsi resapan, maka bencana ekologis dapat dihindari, minimal mengurangi frekuensi banjir dan emisi GRK. Disamping beberapa manfaat dan kelebihan menggunakan struktur panggung, terdapat pula kekurangan-kekurangan yang membutuhkan penanganan khusus seperti: 1) untuk memperoleh konstruksi yang stabil, tiang pancang (beton) harus mencapai lapisan tanah keras, hal ini tentunya akan menambah biaya konstruksi, 2) posisi awal lantai panggung berada pada level first floor, sehingga kehilangan areal seluas satu lantai ground floor yang berarti terjadi lost income. Untuk itu perlu dilakukan analisis biaya manfaat untuk menghitung budgeting antara kebutuhan biaya konstruksi dan infrastruktur, harga lahan, degradation cost serta outcomes yang dapat diperoleh dengan menggunakan struktur panggung tersebut.

14 140 Gambar 67. Ilustrasi struktur pondasi tiang pancang Model yang diusulkan hanya dapat diimplementasikan pada wilayah bergambut dengan kedalaman < 3 meter (Kepres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan Lindung). Lahan yang telah dialokasikan untuk permukiman perkotaan di kawasan Sungai Raya (RTRW Kab. Kubu Raya) telah memenuhi syarat sebagai kawasan budi daya dengan kedalaman gambut antara 1 2 meter. Karakteristik lahan di Sungai Raya terdiri dari 4 (empat) tipe, yaitu: 1) endapan liat, berada di sepanjang pesisir sungai, 2) endapan liat + tanah organik, merupakan zona transisi dengan karakteristik tanah campuran antara endapan delta dan tanah organik (gambut) dengan kedalaman meter, 3) tanah organik (tanah gambut), merupakan gambut pesisir dengan kedalaman antara 1 2 meter, dan 4) tanah organik (tanah gambut) dengan kedalaman antara 3 4 meter. Lahan gambut yang terdapat di kawasan Sungai Raya dengan ketebalan 1 2 meter mencapai luasan 1.589,74 ha. Peta sebaran lahan gambut menurut karakteristiknya dapat dilihat pada Gambar 68.

15 ,70 ha meter (1.547,94 ha) 1 2 meter (1.589,74 ha) 3 4 meter (Forbidden) Karakteristik Tanah : : endapan liat : endapan liat + organik : tanah organik (1-2 m) : tanah organik (3-4 m) Gambar 68. Peta sebaran lahan gambut di kawasan Sungai Raya

16 Model Dinamik Pengembangan hunian vertikal secara mandiri ataupun konversi dari hunian tapak yang ada (perumahan lama) perlu perencanaan yang komprehensif dan holistik dengan melibatkan berbagai aspek, yaitu aspek ekonomi, sosial-budaya, ekologi dan tentunya rekayasa teknologi. Oleh karena sifat pengembangan permukiman merupakan hal yang sangat kompleks dan dinamis, maka perlu dilakukan pendekatan model sistem dinamik. Model dinamik pengembangan permukiman di kawasan bergambut Sungai Raya dibangun melalui logika yang menjelaskan hubungan antar komponen yang saling terkait dan berinteraksi. Simulasi model pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya dilakukan untuk mengetahui respon terhadap pertumbuhan dan populasi penduduk, kebutuhan dan penyediaan rumah, serta kebutuhan dan ketersediaan lahan. Struktur model pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya dengan menggunakan software Stella, dapat dijelaskan pada Gambar 68 berikut ini: Gambar 69. Struktur model pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya A. Sub Model Pertumbuhan Penduduk Analisis model dinamik pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan disimulasikan untuk 23 tahun kedepan mulai tahun 2009 sampai dengan Keterbatasan dan ketersediaan data menjadi batasan dalam penelitian ini. Data penduduk yang digunakan dalam simulasi adalah data tahun 2009 yang disesuaikan dengan ketersediaan data sekunder lainnya seperti peta penafsiran citra landsat dan rencana pola ruang berdasarkan RTRW Kubu Raya.

17 143 Deliniasi kawasan menggunakan batas administrasi Kecamatan Sungai Raya yang termasuk kategori kawasan perkotaan. Dalam hal ini terdapat 5 (lima) kelurahan yang termasuk kawasan perkotaan di Kecamatan Sungai Raya, yaitu: 1) Kelurahan Sungai Raya, 2) Kelurahan Arang Limbung, 3) Kelurahan Kuala Dua, 4) Kelurahan Limbung, dan 5) Kelurahan Teluk Kapuas. Jumlah penduduk di kawasan Sungai Raya dipengaruhi oleh laju pertumbuhan dan laju migrasi penduduk. Laju pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh angka kelahiran dan angka kematian penduduk, sementara laju imigrasi dipengaruhi oleh daya tarik kawasan yang menyebabkan orang berminat untuk bermigrasi ke daerah tersebut. Daya tarik kawasan Sungai Raya antara lain: terbentuknya pemerintahan baru, berkembangnya industri perumahan serta meningkatnya kegiatan perekonomian di sepanjang jalur arteri. Tabel 22. Populasi penduduk di kawasan Sungai Raya penduduk Tahun di kawasan Sungai Raya Populasi Simulasi Penduduk Net Gwth/th Series Series Gambar 70. Simulasi pertumbuhan penduduk di Sungai Raya ( )

18 144 Laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sungai Raya menunjukkan peningkatan dari 1.5% pada tahun 2008 menjadi 2.05% pada tahun Hal ini diprediksi akibat pemekaran kabupaten Kubu Raya yang menambah lapangan kerja baru di kawasan Sungai Raya sehingga mempengaruhi jumlah migran yang masuk. Untuk simulasi model pertumbuhan penduduk di Sungai Raya diasumsikan sebesar 2% per tahun, dengan pertimbangan kawasan Sungai Raya sangat berpotensi mengalami kemajuan pembangunan, didukung pula oleh ketersediaan lahan yang masih relatif luas. Pertumbuhan populasi penduduk diatas menunjukkan kecenderungan pertumbuhan mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2009 sampai dengan tahun Pertumbuhan penduduk yang eksponensial terjadi akibat pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat pesat sejak tahun 2009 dengan laju pertumbuhan sebesar 2.05% dibanding tahun sebelumnya yang hanya sebesar 1.50%. Hal ini diprediksi akibat pemekaran Kab. Kubu Raya yang berpotensi meningkatkan peluang kerja sehingga meningkatkan minat para migran untuk bermigrasi. Selain faktor pertumbuhan penduduk alami di kecamatan Sungai Raya, faktor imigrasi juga mempengaruhi jumlah penduduk di kawasan tersebut yang didasari oleh dua asumsi, yaitu: 1) kawasan Sungai Raya yang berperan sebagai hinterland Kota Pontianak sehingga berpotensi menjadi sasaran pemenuhan kebutuhan tempat tinggal bagi warga Pontianak, khususnya mereka yang bekerja di jalan Ahmad Yani, Adi Sucipto, dan daerah sekitarnya, 2) potensi kegiatan pembangunan dan perekonomian yang melaju pesat menjadi magnet bagi investor untuk berinvestasi di berbagai sektor. Dalam hal ini diasumsikan bahwa laju pertumbuhan penduduk sebesar 2% tersebut sudah termasuk seluruh komponen kependudukan seperti kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi. Pertumbuhan penduduk di Sungai Raya yang semakin meningkat akan berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal dan penggunaan lahan untuk kawasan perumahan yang semakin meningkat pula. Kondisi dan karakteristik lahan di Sungai Raya yang notabene merupakan lahan bergambut yang perlu dijaga keseimbangan ekosistemnya, maka ketersediaan lahan menjadi faktor utama dalam pertumbuhan dan penyebaran permukiman. Jumlah penduduk di kawasan Sungai Raya pada tahun 2009 yang tercatat sebesar jiwa dan diproyeksikan akan meningkat menjadi jiwa pada tahun Pertambahan penduduk secara neto (net growth) setiap tahun

19 145 diasumsikan cenderung meningkat, karena kawasan Sungai Raya pada dasarnya termasuk pengembangan lahan perawan yang masih berupa hutan gambut, dengan ketersediaan lahan yang masih relatif luas, sehingga memungkinkan untuk terus mengalami peningkatan dan perluasan wilayah. B. Sub Model Kebutuhan Perumahan Komponen-komponen yang saling terkait dalam sub model kebutuhan perumahan di kawasan Sungai Raya adalah jumlah penduduk, luas permukiman eksisting (data sekunder), luas ketersediaan lahan permukiman berdasarkan RTRW Kabupaten Kubu Raya Model kebutuhan perumahan secara komprehensif dapat dilihat pada gambar 70 berikut: Tabel 23. Simulasi kebutuhan perumahan di kawasan Sungai Raya Tahun Simulasi Populasi Penduduk Kebutuhan Rumah (unit) Net Growth Rumah/thn Grafik Kebutuhan Perumahan di Kec. Sungai Raya Series Series Gambar 71. Simulasi kebutuhan perumahan di Kec. Sungai Raya

20 146 Dari total jumlah penduduk per tahun yang diperoleh, dapat diketahui kebutuhan rumah pertahun yang merupakan interpretasi dari jumlah kepala keluarga (KK) dengan asumsi jumlah individu per KK sebanyak 4 orang. Berdasarkan hasil simulasi dapat diketahui kebutuhan rumah pada tahun 2014 sebanyak unit dan diprediksi akan meningkat menjadi unit pada tahun Hal ini menunjukkan bahwa selama kurun waktu 23 tahun kedepan dibutuhkan pembangunan rumah tinggal sejumlah unit. Sementara rata-rata kebutuhan rumah per tahun adalah sebanyak unit rumah. C. Penilaian Model Perumahan Menurut Tipologi Bangunan dan Tipologi Struktur Pemilihan tipologi perumahan dilakukan dengan penilaian multidimensi (ekologi, ekonomi, sosbud dan teknologi), menggunakan metode pengambilan keputusan berbasis indeks kerja atau Composite Performance Index (CPI) untuk menentukan keputusan (pilihan) terbaik, yang selanjutnya diinterpretasikan dalam bentuk nilai, skor dan rangking. Metode CPI digunakan untuk penelitian yang heterogen dengan kecenderungan yang berbeda-beda. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kubu Raya tahun , luas kawasan ruang perkotaan dialokasikan seluas 4.523,80 ha. Data penafsiran citra landsat 2009 menunjukkan bahwa luas penggunaan lahan eksisting tahun 2009 adalah 1.800,72 ha. Untuk mengetahui luas kebutuhan dan ketersediaan lahan perumahan, maka dilakukan beberapa simulasi dengan asumsi-asumsi sebagai berikut: a. Lahan seluas 4.523,80 ha yang dialokasi didalam RTRW Kab. Kubu Raya merupakan kawasan perkotaan dengan susunan fungsi kawasan sebagai berikut: 1) permukiman perkotaan, 2) pusat dan pelayanan pemerintahan, 3) kegiatan ekonomi (kawasan niaga dan CBD), 4) pelayanan sosial (fasum/fasos). b. Berdasarkan luas penggunaan lahan eksisting sebesar 1.800,72 ha, maka diketahui ketersediaan lahan perkotaan sampai dengan tahun 2032 adalah seluas 2.723,08 ha (Gambar 71 dan 72) c. Luas kawasan permukiman perkotaan adalah sebesar 40% dari luas kawasan perkotaan (sementara 60% lainnya merupakan fungsi pemerintahan, fasum/fasos, kawasan niaga dan perkantoran, RTH dan Infrastruktur kota). Luas kawasan perumahan adalah 60% dari luas kawasan permukiman perkotaan, 40% lainnya meliputi: RTH (15%), fasum/fasos (15%) dan infrastruktur (10%).

21 147 d. Rata-rata jumlah penghuni dalam satu unit rumah adalah 4 orang/unit. e. Rata-rata kebutuhan luas lahan per unit rumah (horizontal) adalah 200 m 2 (0.02 ha) dan rata-rata kebutuhan luas lahan per hunian (vertikal) adalah 75 m 2 ( ha). f. Tipe (luas) bangunan yang dianalisis adalah tipe 90 m 2 yang merupakan rata2 luas dari berbagai tipe bangunan (tipe kecil-45 m 2, tipe sedang-75 m 2, dan tipe besar-150 m 2 ), dengan asumsi luas lantai bangunan untuk tipologi horizontal dan vertikal adalah sama. g. Emisi CO 2 akibat konversi hutan gambut sebesar 83.2 ton/ha/tahun (sumber: hasil penelitian emisi karbon akibat konversi lahan gambut untuk perkebunan sebesar 64 ton/ha/thn, dan diasumsikan konversi untuk permukiman 30% lebih besar dari konversi perkebunan). h. Analisis dilakukan terhadap beberapa varian tipologi struktur/bangunan: Variabel Horizontal Tipologi Vertikal Tapak Horizontal Tapak (HT) (Model 1) Vertikal Tapak (VT) (Model 3) Panggung Struktur Horizontal Panggung (HP) (Model 2) Vertikal Panggung (VP) (Model 4) Gambar 72. Varian tipologi bangunan dan tipologi struktur Selanjutnya penilaian hasil simulasi dilakukan dalam rentang nilai 20 (buruk) (baik) berdasarkan kecenderungan trend masing atribut (positif/negatif). Kerangka kerja simulasi berdasarkan 4 dimensi keberlanjutan, yaitu a. Dimensi Ekologi: 1) simulasi kebutuhan lahan, 2) simulasi ketersediaan lahan, 3) simulasi kehilangan daerah resapan airdan 4) simulasi emisi karbon. b. Dimensi Ekonomi: 1) simulasi harga bangunan, 2) simulasi harga lahan dan 3) simulasi harga total per unit. c. Dimensi Sosbud: Preferensi masyarakat (kuesioner responden) d. Dimensi Teknologi: Justifikasi pakar terhadap introduksi hi-tech.

22 148 Alokasi Kaw. Perkotaan : 4.523,80 Ha Industri Kaw. Perkotaan Perkebunan P. Hortikultura P. Lahan Basah P. Lahan Kering Kaw. Bandara Gambar 73. Peta rencana pola ruang kawasan perkotaan di Sungai Raya

23 149 Eksisting : 1.800,72 Ha Ketersediaan Lahan : 2.723,08 Ha Industri Kaw. Perkotaan Perkebunan P. Hortikultura P. Lahan Basah P. Lahan Kering Kaw. Bandara Gambar 74. Peta penafsiran citra landsat di Sungai Raya (permukiman eksisting)

24 150 a. Dimensi Ekologi Gambar 75. Sub. model dimensi ekologi 1) Simulasi Kebutuhan Lahan Simulasi kebutuhan lahan bertujuan untuk membandingkan luas kebutuhan lahan antara tipologi horizontal dan vertikal beserta varian nya. Pemberian skor mengacu pada hasil perhitungan yang paling tinggi untuk diberikan skor tertinggi. Selanjutnya, apabila keempat variabel memiliki nilai yang berbedabeda, maka penilaian dilakukan secara berturut-turut ( ). Apabila diantara keempat variabel tersebut memiliki dua nilai yang sama, maka skor berikutnya dilihat dari perbedaan nilai yang ada secara proporsional, misalnya perbedaan nilai terhadap nilai acuan sebesar + 100% maka komposisi skor adalah , dan jika perbedaan nilai acuan sebesar + 200% maka komposisinya adalah dan seterusnya. Tabel 24. Luas kebutuhan lahan untuk perumahan (trend negatif) Tahun Simulasi Horizontal Tapak (ha) Horizontal Panggung (ha) Vertikal Tapak (ha) Vertikal Panggung (ha) ,17 921,17 345,44 345, , ,04 381,39 381, , ,90 421,09 421, , ,77 464,91 464, , ,96 503,24 503, , ,64 544,72 544,72 Score :

25 HT/HP VT/VP Series Series Gambar 76. Grafik luas kebutuhan lahan ( ) Hasil analisis kebutuhan lahan menjelaskan bahwa semakin sedikit lahan yang dibutuhkan untuk permukiman maka akan semakin baik. Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa tipologi vertikal tapak dan vertikal panggung memiliki nilai tertinggi dengan kebutuhan lahan hingga tahun 2032 mencapai 544,72 ha dengan skor 80. Sementara tipologi horizontal tapak dan horizontal panggung membutuhkan lahan seluas ha hingga tahun 2032 dengan skor 40 (perbedaan nilai mencapai 200%). 2) Simulasi Luas Ketersediaan lahan (daya dukung) Simulasi luas ketersedian lahan bertujuan untuk melihat daya dukung atau lahan yang tersisa akibat konversi lahan menurut beberapa varian tipologi. Tabel 25. Luas ketersediaan lahan perumahan (trend positif) Tahun Simulasi Horizontal Tapak (ha) Horizontal Panggung (ha) Vertikal Tapak (ha) Vertikal Panggung (ha) ,54 653,54 653,54 653, ,66 557,66 617,59 617, ,81 451,81 577,89 577, ,94 334,94 534,06 534, ,74 232,74 495,74 495, ,12 122,12 454,26 454,26 Score :

26 VT/VP HT/HP Series Series Gambar 77. Grafik luas ketersediaan lahan perumahan ( ) Dari Tabel 25 dan Gambar 77 diatas dapat diketahui bahwa dengan tipologi horizontal (tapak/panggung) lahan yang tersisa hingga tahun 2032 seluas 122,12 ha, sementara dengan tipologi vertikal (tapak/panggung) tersisa lahan seluas 454,26 ha. Perbedaan luas ketersediaan lahan antara horizontal dan vertikal sebesar 332,14 ha. Jika rata-rata kebutuhan lahan per tahun dengan model vertikal sebesar 12 ha/tahun, maka daya dukung lahan dapat diperpanjang hingga 28 tahun mendatang (sampai tahun 2060). 3) Simulasi Kehilangan Daerah Resapan Air Simulasi ini bertujuan untuk melihat berapa besar pengaruh masing-masing varian tipologi terhadap hilangnya sejumlah resapan air. Sifat gambut yang seperti spons menyebabkan kandungan air pada lahan gambut sangat tinggi sekitar 0.8 m 3 /m 3 artinya setiap 1 m 3 gambut mengandung 0.8 m 3 air. Tabel 26. Luas daerah resapan air yang hilang (trend negatif) Tahun Simulasi Horizontal Tapak (ha) Horizontal Panggung (ha) Vertikal Tapak (ha) Vertikal Panggung (ha) ,82 276,35 241,81 103, ,93 305,11 266,97 114, ,03 336,87 294,76 126, ,84 371,93 325,44 139, ,37 402,59 352,27 150, ,81 435,78 381,30 163,42 Score :

27 HT HP 400 VT 200 VP Series Series Series Series Gambar 78. Grafik luas daerah resapan yang hilang ( ) Perhitungan luas resapan yang hilang mengacu pada luas perkerasan lantai bangunan, dimana untuk HT kehilangan resapan mencapai 70% dari luas lahan, HP sebesar 30%, VT sebesar 50% dan VP sebesar 30%. Jika diasumsikan ratarata kedalaman gambut di Sungai Raya adalah 2 m, maka volume kelebihan air setiap 1 m 2 gambut jika mengalami subsidence adalah sebesar 2 m x 1 m x 1 m x 0.8 = 1.6 m 3 /m 2 atau m 3 /ha. Berdasarkan tabel 26 diatas, dapat diketahui bahwa pada tahun 2032 dengan tipologi HT terdapat kelebihan volume air sebesar 16,9 juta m 3, tipologi HP sebesar 9,7 juta m 3, tipologi VT sebesar 6,3 juta dan tipologi VP sebesar 3,6 juta m 3 (Gambar 76). Hasil analisis menunjukkan bahwa tipologi HT menghasilkan volume kelebihan air paling besar dan VP terkecil HT HT VT VP Series1 Juta m 3 16,9 9,7 6,3 3,6 Gambar 79. Potensi volume genangan dari beberapa tipologi

28 154 4) Simulasi Emisi Karbon (CO 2 ) yang di Release Simulasi emisi karbon bertujuan untuk melihat pengaruh dari masing-masing tipologi terhadap lepasnya CO 2 ke atmosfer. Perhitungan emisi karbon mengacu pada data luas daerah resapan yang hilang. Tabel 27. Jumlah emisi karbon yang dilepas ke atmosfer (trend negatif) Tahun Simulasi Horizontal Tapak (ton) Horizontal Panggung (ton) Vertikal Tapak (ton) Vertikal Panggung (ton) Score : Series Series Series Series Gambar 80. Grafik emisi karbon akibat konversi lahan ( ) HT HP VT VP Emisi CO 2 akibat konversi hutan gambut diasumsikan sebesar 83.2 ton/ha/tahun (sumber : hasil penelitian emisi karbon akibat konversi lahan gambut untuk perkebunan sebesar 64 ton/ha/thn, dan diasumsikan konversi untuk permukiman 30% lebih besar dari konversi perkebunan). Dari hasil simulasi diatas, dapat diketahui bahwa model Horizontal Tapak menghasilkan emisi karbon tertinggi yaitu sebesar ton karbon hingga tahun 2032, sementara model Vertikal Panggung dengan emisi terkecil yaitu sebesar ton karbon.

29 155 b. Dimesi Ekonomi 1) Harga Bangunan Harga bangunan yang dimaksud adalah harga per unit hunian belum termasuk harga lahan. Penentuan harga per meter persegi bangunan mengacu pada standar harga bangunan gedung yang diverifikasi dengan kondisi lapangan. Standar harga per meter persegi bangunan sederhana tidak bertingkat di Pontianak dan sekitarnya tahun 2012 berkisar antara 1,5 2,5 juta/m 2 (rata-rata 2 juta/m 2 ), dan untuk bangunan bertingkat sederhana antara juta/m 2 (rata-rata 3 juta/m 2 ). Mengacu pada PERMEN PU No. 25 Tahun 2007, untuk penggunaan pondasi dalam (> 5 meter) terdapat penambahan cost sebesar 7-12% (rata-rata 10%).Tipe bangunan atau luas lantai hunian diasumsikan seluas 90 m 2 (tipe sedang). Ilustrasi bangunan sederhana untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diasumsikan untuk luas bangunan 50 m 2 (tipe 50) dengan harga satuan Rp. 1 juta/m 2 (bangunan tidak bertingkat sederhana) dan Rp. 2 juta/m 2 (bangunan bertingkat sederhana). Tabel 28. Perhitungan harga bangunan/unit (standar bangunan tidak sederhana) Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Harga satuan : 2 juta/m juta/m 2 3 juta/m juta/m 2 Harga rumah/unit : 180 juta/unit 198 juta/unit 270 juta/unit 297 juta/unit Score : (juta) VP VT HT HP Gambar 81. Grafik simulasi harga satuan bangunan

30 156 2) Harga Lahan Standar harga lahan mengacu pada standar harga lahan yang dikeluarkan oleh BPN Kab. Kubu Raya dengan harga rata-rata 500 ribu-1 juta/m 2 (rata-rata 750 ribu) untuk lahan diluar jalur arteri dan untuk lahan disepanjang sisi jalan arteri berkisar 2-3 juta/m 2. Perhitungan kebutuhan lahan per unit hunian diasumsikan seluas 200 m 2 untuk hunian horizontal dan 75 m 2 untuk hunian vertikal, dengan luas lantai masing-masing 90 m 2. Tabel 29. Perhitungan harga lahan per unit hunian Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Harga satuan : 750 ribu/m ribu/m ribu/m ribu/m 2 Harga lahan/unit : 150 jt/unit 150 jt/unit 56,25 jt/unit 56,25 jt/unit Score : HT HP VT VP Gambar 82. Grafik perhitungan harga lahan perumahan ( ) 3) Harga total per Unit Hunian (bangunan+lahan) Perhitungan harga per unit hunian dalam hal ini merupakan rekapitulasi harga bangunan dan harga lahan, serta pengurangan biaya (subsidi) dari biaya infrastruktur sebesar 5% bagi hunian vertikal (infrastruktur lebih efisien). Harga rumah per unit akan mempengaruhi besar subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah terkait upaya mendukung pembangunan perumahan yang berwawasan lingkungan.

31 157 Tabel 30. Perhitungan harga total per unit hunian Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Harga bangunan/unit : 180 juta/unit 198 juta/unit 270 juta/unit 297 juta/m 2 Harga lahan/unit 150 juta/unit 150 juta/unit 56,25 juta/unit 56,25 juta/m 2 Harga total/unit : 330 juta/unit 348 juta/unit 326,25 juta/unit 353,25 juta/m 2 Selisih harga : 0 juta/unit +18 juta/unit -3,75 juta/unit +23,25 juta/unit Score : Dari data pada tabel 30 dan hasil simulasi pada gambar 80, dapat diketahui bahwa secara umum total harga dari keempat tipologi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, dengan harga unit tertinggi pada VP (Rp. 353,25 juta/unit), urutan kedua HP (Rp. 348 juta/unit), urutan ketiga HT (Rp. 330 juta/unit) dan yang termurah adalah tipologi VT (Rp. 326,25 juta/unit) bahkan lebih murah 16,5 juta jika dibandingkan dengan model perumahan eksisting (horizontal tapak). (juta) 400,00 350,00 HT HP VT VP 300,00 250,00 200,00 150,00 100,00 50,00 - HT HP VT VP (50,00) Series1 330,00 348,00 326,25 353,25 Series2 - + (18,00) - 3,75 + (23,25) Gambar 83. Simulasi perhitungan harga total lahan dan bangunan c. Dimensi Sosial Budaya Penilaian dimensi sosial budaya dilakukan berdasarkan hasil kuesioner responden tentang model hunian yang diminati dan model struktur yang sesuai untuk di lahan bergambut. Tipologi yang paling banyak dipilih diberi skor 2 dan skor 1 untuk yang kurang diminati/dipilih.

32 158 Hasil preferensi (kuesioner) menunjukkan bahwa tipologi vertikal paling banyak dipilih responden (52,86%), sementara tipologi struktur yang cocok di lahan gambut adalah struktur panggung (78,57%) Tabel 31. Pilihan responden terhadap tipologi struktur/bangunan Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Pilihan responden Total nilai : Score : VP HP VT HT Gambar 84. Grafik hasil pemilihan tipologi bangunan/struktur oleh responden Hasil analisis menunjukkan bahwa model vertikal panggung cukup mendapat respon yang baik dari responden. Di kawasan Sungai Raya belum terdapat hunian vertikal (rumah susun), namun dari beberapa studi banding terhadap hunian vertikal di Pontianak dapat disimpulkan bahwa hunian vertikal cukup diminati oleh masyarakat, dengan bertambahnya jumlah unit setiap tahunnya. Dari beberapa hasil wawancara terhadap beberapa penghuni yang menyatakan beberapa kelebihan rumah susun antara lain: harga terjangkau, lebih praktis, aktifitas sosial lebih baik dan keamanan lebih terjamin. Sementara kekurangannya seperti rawan konflik, tidak punya lahan pribadi, dan kesulitan distribusi air pada lantai atas.

33 159 d. Dimensi Teknologi Penilaian dimensi teknologi bermaksud untuk melihat penerapan teknologi tinggi (hi-tech) pada masing-masing tipologi. Teknologi tinggi khususnya digunakan pada hunian vertikal dengan menggunakan pondasi pancang (mini pile) dan struktur lantai gantung. Semakin tinggi teknologi yang digunakan maka semakin rumit proses konstruksi sehingga semakin sulit dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat. Tabel 32. Justifikasi penilaian pakar terhadap introduksi high technology (hi-tech) Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Expert Judgment : Score : VT VP HP HT Gambar 85. Grafik justifikasi pakar terhadap introduksi high technology Hasil simulasi diatas menunjukkan bahwa model vertikal tapak dan vertikal panggung membutuhkan rekayasa teknologi tinggi dalam proses pembangunan dan konstruksinya. Dalam analisis ini penilaian terhadap introduksi teknologi tinggi merupakan trend negatif, dimana semakin sederhana teknologi yang digunakan semakin baik, karena dapat dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat.

34 160 D. Analisis Pengambilan Keputusan (Pemilihan Model) berbasis Indeks Kerja (Composite Performance Index) Composite Performance Indeks (CPI) digunakan untuk penilaian dengan kriteria tidak seragam (heterogen) dengan kecenderungan atau trend yang berbeda-beda. Analisis ini bertujuan untuk mencari model terbaik dengan penilaian secara multidimensi (berkelanjutan) berdasarkan skorring dari hasil simulasi yang telah diuraikan diatas. Rentang nilai skor mulai dari (buruk s/d baik). Analisis CPI terdiri dari 2 matriks penilaian, yaitu: 1) matriks awal penilaian dari masingmasing alternatif keputusan dan kriteria, dan 2) matriks hasil transformasi. Terdapat dua kecenderungan dalam analisis CPI yaitu trend positif, dimana semakin besar nilai maka akan semakin baik, dan trend negatif dimana semakin besar nilai maka akan semakin buruk. Tahapan analisis Composite Performance Index (CPI) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Matriks Awal Penilaian: Berdasarkan skor yang telah diberikan pada hasil simulasi sebelumnya, dipilih skor terkecil sebagai acuan perhitungan. Misalnya untuk kolom kebutuhan lahan skor terkecil adalah 40, untuk ketersediaan lahan skor terkecil adalah 20, dan seterusnya. Menentukan bobot kriteria berdasarkan asumsi sebagai berikut: dimensi ekologi sebesar 30%, ekonomi 30%, sosbud 30% dan teknologi 10%. 2. Matriks Transformasi: Beri nilai 100 pada angka terkecil pada masing-masing kolom. Perhatikan trend (+) atau (-), untuk trend (+) angka terkecil berfungsi sebagai pembagi, misalnya kolom 2 (80/20) x 100 = 400. Trend (-) sebaliknya, angka terkecil berfungsi sebagai pembilang, misalnya kolom 1 (40/80) x 100 = 50, dan seterusnya. Berdasarkan hasil analisis Composite Performance Indeks (CPI) dapat diketahui bahwa alternatif terbaik (rangking 1) adalah tipologi Vertikal Panggung (VP) dengan skor sebesar , rangking 2 tipologi Vertikal Tapak (VT) dengan skor 300, rangking 3 tipologi Horizontal Tapak (HT) dengan skor 160 dan rangking 4 tipologi Horizontal Panggung (HP) dengan skor sebesar Hasil analisis CPI dapat dijelaskan pada Tabel 33 dan 34.

35 161 No Tabel 33. Matriks awal penilaian alternatif tipologi perumahan No Alternatif Tipologi Perumahan Kebutuhan lahan Ekologi Ketersediaan lahan Hilangnya resapan Emisi GRK Harga bangunan Ekonomi Harga lahan Harga total Sosbud Hi-Tech (-) (+) (-) (-) (-) (-) (-) (+) (-) 1 Horizontal Tapak HT Horizontal Panggung HP Vertikal Tapak VT Vertikal Panggung VP Bobot Kriteria Selanjutnya, dari matriks penilaian awal akan dibuat matriks transformasi dan perkalian terhadap bobot masing-masing riteria, sehingga diperoleh nilai skor yang akan menentukan rangking dari tiap alternatif tipologi perumahan. Matriks transformasi dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 34. Matriks transformasi penilaian dan rangking tiap alternatif Alternatif Tipologi Perumahan Kebutuhan lahan Ekologi Ketersediaan lahan Hilangnya resapan Emisi GRK Harga bangunan Ekonomi Sosbud Hi-Tech Nilai (Score) 1 Horizontal Tapak HT Horizontal Panggung HP Vertikal Tapak VT Vertikal Panggung VP Bobot Kriteria Tabel x. Matriks transformasi penilaian dan rangking tiap alternati Harga lahan Harga total (-) (+) (-) (-) (-) (-) (-) (+) (-) Rangking

36 162 E. Rekomendasi Model Berdasarkan hasil analisis tersebut maka tipologi hunian vertikal tapak dan vertikal panggung dapat direkomendasikan sebagai model untuk menyusun skenario pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya. Skenario yang lebih cenderung kepada orientasi dimensi ekonomi dapat menggunakan model Vertikal Tapak, karena efisiensi dan optimalisasi lahan dapat tercapai sehingga dapat direkomendasikan sebagai model untuk hunian masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sementara untuk skenario yang lebih cenderung pada dimensi ekologi dapat menggunakan model Vertikal Panggung dan Horizontal Tapak (dengan harga per unit yang lebih tinggi) sehingga dapat direkomendasikan sebagai alternatif hunian masyarakat kelas menengah atas (middle up). Ilustrasi ketiga model yang direkomendasikan ditunjukkan pada Gambar 86, 87 dan 88. Dst. Hunian lantai 3 4 m Hunian lantai 2 4 m Hunian lantai 1 Lobby pengupasan gambut 0.5 m 3 m Semi basement 0.5 m 8 m 8 m Gambar 86. Ilustrasi model vertikal tapak (VT) direkomendasikan pada areal gambut tipis (0.5-1 m) tanah keras

37 163 Hunian lantai 3 Hunian lantai 2 Parkir/fasum Lobby Parkir/ fasum Permukaan tanah Gambut sedang 2 m 8 m Gambar 87. Ilustrasi model vertikal panggung (VP) direkomendasikan pada areal gambut sedang (1-2 m) tanah keras Permukaan tanah Gambut tipis 1-2 m Tanah keras 3-4 m Gambar 88. Ilustrasi model horizontal panggung (HP) direkomendasikan pada areal gambut tipis (0.5-1 m)

38 164 F. Validasi Model Permukiman di Kawasan Sungai Raya Dalam menentukan validitas model dilakukan dengan cara membandingkan hasil simulasi model dengan penilaian/justifikasi pakar (metode MDS). Validasi dilakukan terhadap tipologi bangunan (horizontal/vertikal). Validasi tipologi struktur bangunan tidak dapat dilakukan dikarenakan pada kondisi eksisting belum terdapat tipologi vertikal panggung (VP). Perbandingan antara hasil simulasi model dengan penilaian pakar dapat dilihat pada Gambar 89 berikut: Hasil Simulasi Justifikasi Pakar (MDS) HT (160,00) HP (154,17) Model Horizontal Model Horizontal HT (46,46%) HP (54,27%) VT (300,00) VP (322,50) Model Vertikal Model Vertikal VT/VP (58,53%) Gambar 89. Validasi Model (perbandingan hasil simulasi dan justifikasi pakar) Berdasarkan Gambar 89 diatas, dapat diketahui bahwa perbandingan antara hasil simulasi dan justifikasi pakar menunjukkan hasil sebagai berikut: 1. Hasil simulasi menunjukka bahwa model vertikal memiliki nilai lebih tinggi dari model horizontal, artinya model vertikal lebih sustainable dibanding model horizontal. 2. Hasil penilaian pakar juga mengindikasikan hal yang sama bahwa model vertikal lebih sustainable dibanding model horizontal, yang dapat diketahui dari nilai indeks keberlanjutan model vertikal yang lebih tinggi (58,53%) jika

39 165 dibandingkan dengan indeks keberlanjutan model horizontal (46,46% dan 54,27%). 3. Dalam hal ini model dapat dikatakan Valid karena hasil simulasi model dan justifikasi pakar menunjukkan kecenderungan yang sama (model vertikal lebih sustainable). G. Skenario Pengembangan Permukiman di Kawasan Sungai Raya melalui Intervensi Model Hunian Vertikal Pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya mengacu pada variabel sensitif terhadap pembangunan di kawasan bergambut yang meliputi: aspek pemanfaatan lahan, kebutuhan rumah (mengurangi jumlah rumah tapak), proporsi RTH, dan daya dukung lahan. Ketiga skenario yang diusulkan terdiri atas: Skenario 1 (skenario pesimis) adalah pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya tanpa adanya intervensi hunian vertikal (minimal intervensi horizontal panggung), dengan kata lain pertumbuhan rumah tapak terus berlangsung seperti pada kondisi eksisting. Skenario 2 (skenario moderat) adalah skenario dengan upaya minimal, yaitu upaya intervensi hunian vertikal sebesar 50% hanya pada alokasi lahan baru, tanpa mengusik kondisi eksisting (0% intervensi pada permukiman eksisting) Skenario 3 (skenario optimis) adalah skenario dengan upaya maksimal, dalam bentuk revitalisasi permukiman eksisting (urban renewal) khususnya pada permukiman padat dan kumuh, dikonversi menjadi hunian vertikal sebesar 50% dari jumlah rumah tapak eksisting, dan intervensi hunian vertikal pada lokasi pengembangan baru sebesar 75% dari total kebutuhan rumah hingga tahun 2032.

40 166 Tabel 35. Skenario pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya Penambahan RTH

41 167 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui output dari masing-masing skenario sebagai berikut: Skenario 1 (pesimis) : Konversi ke Hunian Vertikal 0% pada lahan eksisting dan 0% pada lahan baru. Pada skenario 1 dapat dikatakan tidak ada intervensi hunian vertikal, dimana pengembangan permukiman di Sungai Raya seperti halnya pada kondisi eksisting yaitu pengembangan tipologi horizontal (landed housing). Output yang dihasilkan dari skenario 1 adalah sebagai berikut: 1. Total kebutuhan lahan hingga tahun 2032 sebesar 1.452,58 ha, dengan surplus lahan seluas 65,30 ha. 2. Dengan pengembangan hunian horizontal sebesar 100% maka tidak terjadi penurunan jumlah rumah tapak. 3. Proporsi RTH sesuai asumsi sebesar 15% (setengah dari RTH kawasan perkotaan) yaitu seluas 363,14 ha. 4. Surplus lahan dapat digunakan sebagai lahan cadangan untuk unit, atau menambah daya dukung (3 tahun) hingga Skenario 2 (moderat) : Konversi 0% pada lahan eksisting (rumah tapak) dan 50% pada lahan pengembangan baru. Output yang dihasilkan dari skenario 2 adalah sebagai berikut: 1. Total kebutuhan lahan hingga tahun 2032 sebesar 1.338,49 ha, dengan surplus lahan seluas 179,39 ha. 2. Intervensi hunian vertikal sebesar 50% menurunkan jumlah rumah tapak sebanyak 712 unit. 3. Terjadi penambahan proporsi RTH dengan luasan mencapai 19,71% atau meningkat sekitar 4,71% dari luas yang diasumsikan. 4. Surplus lahan dapat digunakan sebagai lahan cadangan untuk unit, atau menambah daya dukung (8 tahun) hingga Skenario 3 (optimis) : Konversi ke hunian vertikal sebesar 50% pada lahan eksisting (urban renewal) dan 75% pada lahan pengembangan baru. Output yang dihasilkan dari skenario 3 adalah sebagai berikut: 1. Total kebutuhan lahan hingga tahun 2032 sebesar 952,61 ha, dengan surplus lahan sebesar 565,27 ha. 2. Intervensi hunian vertikal pada kedua alokasi lahan menurunkan jumlah rumah tapak sebanyak unit.

42 Terjadi penambahan proporsi RTH dengan luasan mencapai 35,65% atau meningkat dua kali lipat dari luas yang diasumsikan. 4. Surplus lahan dapat digunakan sebagai lahan cadangan untuk unit, atau menambah daya dukung (25 tahun) hingga H. Rekomendasi Pemanfaatan Ruang Berdasarkan hasil simulasi dari ketiga skenario diatas, maka dapat direkomendasikan model pemanfaatan ruang untuk masing-masing skenario, dengan asumsi ketiga skenario tersebut dapat dipilih sesuai dengan pertimbangan pembuat kebijakan (eksekutor). Pemanfaatan ruang menurut skenario yang direncanakan dapat dilihat pada Gambar 90, 91, dan 92. Eksisting 220 ha 800 ha Gambut > 3m (Forbidden) Gambar 90. Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario 1

43 169 Eksisting 110 ha 800 ha Gambut > 3m (Forbidden) Gambar 91. Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario 2 Keterangan: : Vertikal Panggung (pada lahan gambut sedang) : Vertikal Tapak (pada lahan gambut tipis) : Horizontal Panggung (pada lahan gambut tipis) : Areal Gambut Tipis (800 ha) : Areal Gambut Sedang (110 ha)

44 ha 500 ha Gambut > 3m (Forbidden) Gambar 92. Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario 3 Keterangan: : Vertikal Panggung (pada lahan gambut sedang) : Vertikal Tapak (pada lahan gambut tipis dan eksisting) : Horizontal Panggung (pada lahan gambut tipis) : Areal Gambut Tipis (800 ha) : Areal Gambut Sedang (110 ha)

45 171 Gambar 93 menunjukkan model penataan RTH perkotaan di kawasan Sungai Raya sebesar 30% dengan asumsi sebagai berikut: 1. Sebesar 15% RTH disediakan dari kawasan permukiman, dalam bentuk RTH private, taman bermain skala komplek, dan roof garden bagi bangunan bertingkat > 3 lantai. 2. Sebesar 10% RTH dapat berupa taman kota, hutan kota, pemakaman umum, kebun binatang, dan lain-lain, yang dalam hal ini lokasinya dioptimalkan pada zona kawasan bebas bangunan (yang berdekatan dengan landasan udara). 3. Sebesar 5% lainnya diperoleh dari taman-taman di fungsi bangunan lainnya, seperti: perkantoran/kawasan niaga/cbd, kawasan pemerintahan, pendidikan, kesehatan dan fungsi bangunan lainnya. Perkantoran/CBD (5%) Permukiman (15%) Taman/ hutan Kota (10%) Gambar 93. Rekomendasi model penataan RTH kawasan Sungai Raya

46 172 I. Subsidi Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) Salah satu strategi untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap hunian vertikal adalah dengan memberikan subsidi khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Harga rumah merupakan pertimbangan utama bagi MBR dengan segala keterbatasan ekonomi yang ada. Menurut ketentuan subsidi rumah Kemenpera, yang termasuk MBR adalah masyarakat berpenghasilan < 5 juta/bulan, tipe rumah minimal tipe 36, dengan suku bunga 7.25% flat 15 tahun, dan harga rumah tergantung regional (minimal 88 juta per unit). Gambar 94. Ilustrasi denah tipe 36 bagi MBR Ilustrasi sederhana perhitungan subsidi dan cicilan rumah susun sederhana di kawasan Sungai Raya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) adalah sebagai berikut: Rumah/unit hunian tipe 36 (luas 36 m 2 ) Harga per meter persegi (bangunan bertingkat sederhana) Rp. 2.5 juta/m Harga per unit hunian = 36 x 2.5 juta = Rp. 90 juta/unit, ditambah biaya pajak dan lainlain sebesar 10%, Total = Rp. 99 juta/unit. Uang muka (DP) lebih kurang 10% = Rp. 9 juta. Pinjaman Bank sebesar Rp. 90 juta, bunga 7.25% flat 15 tahun. Cicilan per bulan Rp : 180 bulan = Rp ,- 2

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Kubu Raya 4.1.1 Geografi Kabupaten Kubu Raya yang terletak di Propinsi Kalimantan Barat merupakan pemekaran dari Kabupaten Pontianak.

Lebih terperinci

VI. STUDI PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP TIPOLOGI PERUMAHAN YANG DIMINATI. Abstrak

VI. STUDI PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP TIPOLOGI PERUMAHAN YANG DIMINATI. Abstrak 15 VI. STUDI PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP TIPOLOGI PERUMAHAN YANG DIMINATI Abstrak Pemekaran Kabupaten Kubu Raya tahun 27 dengan ibukota kabupaten yang berkedudukan di Sungai Raya, serta status kawasan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LAHAN PERUMAHAN. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada penjabaran analisis berikut :

BAB IV ANALISIS DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LAHAN PERUMAHAN. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada penjabaran analisis berikut : BAB IV ANALISIS DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LAHAN PERUMAHAN Penelitian mengenai analisis daya dukung dan daya tampung terkait kebutuhan perumahan di Kota Cimahi dilakukan dengan tujuan mengetahui daya

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG I.1.1. Latar Belakang Eksistensi Proyek Pemukiman dan perumahan adalah merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh manusia. Perumahan dan pemukiman tidak hanya

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

Status Keberlanjutan Tipologi Rumah Panggung pada Lahan Bergambut di Kawasan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat

Status Keberlanjutan Tipologi Rumah Panggung pada Lahan Bergambut di Kawasan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat Vokasi Volume 8, Nomor 2, Juni 2012 ISSN 1693 9085 hal 90-100 Status Keberlanjutan Tipologi Rumah Panggung pada Lahan Bergambut di Kawasan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat WENI DEWI UTAMI

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

MODEL PERMUKIMAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN PADA WILAYAH BERGAMBUT DI KAWASAN SUNGAI RAYA KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT WENI DEWI UTAMI

MODEL PERMUKIMAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN PADA WILAYAH BERGAMBUT DI KAWASAN SUNGAI RAYA KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT WENI DEWI UTAMI MODEL PERMUKIMAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN PADA WILAYAH BERGAMBUT DI KAWASAN SUNGAI RAYA KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT WENI DEWI UTAMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 1

Lebih terperinci

28 Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No

28 Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No 28 Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No. 2355-9292 IDENTIFIKASI PEMANFAATAN RUANG PADA KORIDOR JL. LANGKO PEJANGGIK SELAPARANG DITINJAU TERHADAP RTRW KOTA MATARAM Oleh : Eliza Ruwaidah Dosen tetap Fakultas

Lebih terperinci

8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG Abstrak Strategi peningkatan sektor perikanan yang dipandang relatif tepat untuk meningkatkan daya saing adalah melalui pendekatan klaster.

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN 119 6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN Skenario pengembangan kawasan pesisir berbasis budidaya perikanan berwawasan lingkungan, dibangun melalui simulasi model

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.

I. PENDAHULUAN. 1 Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan penduduk merupakan fenomena yang menjadi potensi sekaligus permasalahan dalam pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut terkait dengan kebutuhan ruang untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan dan pertumbuhan jumlah penduduk, industri dan perdagangan merupakan unsur utama dalam perkembangan kota Pematangsiantar. Keadaan ini juga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB 2 KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI

BAB 2 KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI BAB 2 KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI Sebagai sebuah dokumen rencana strategis berjangka menengah yang disusun untuk percepatan pembangunan sektor sanitasi skala kota, kerangka kebijakan pembangunan sanitasi

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado Windy J. Mononimbar Program Studi Arsitektur dan Perencanaan Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Studi ini menyajikan analisis mengenai kualitas udara di Kota Tangerang pada beberapa periode analisis dengan pengembangan skenario sistem jaringan jalan dan variasi penerapan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah yang berlandaskan UU No. 32 tahun 2004 yang merupakan revisi dari UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, memberikan kewenangan yang sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan kurang lebih 17.508 buah pulau dan mempunyai panjang garis pantai 81.791 km (Supriharyono, 2002).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

KANTOR SEWA DENGAN TEMA PERKANTORAN TAMAN DI JAKARTA

KANTOR SEWA DENGAN TEMA PERKANTORAN TAMAN DI JAKARTA LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teknik KANTOR SEWA DENGAN TEMA PERKANTORAN TAMAN DI JAKARTA Diajukan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

M.Ikhlas Khasana ( ) Mengetahui berbagai dampak kebijakan persawitan nasional saat ini. Pendahuluan. ekspor. produksi.

M.Ikhlas Khasana ( ) Mengetahui berbagai dampak kebijakan persawitan nasional saat ini. Pendahuluan. ekspor. produksi. Tugas Akhir ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PERKEBUNAN SAWIT DI KABUPATEN SIAK PROVINSI RIAU: SEBUAH PENDEKATAN SISTEM DINAMIK Membuat model persawitan nasional dalam usaha memahami permasalahan

Lebih terperinci

Pemahaman atas pentingnya Manual Penyusunan RP4D Kabupaten menjadi pengantar dari Buku II - Manual Penyusunan RP4D, untuk memberikan pemahaman awal

Pemahaman atas pentingnya Manual Penyusunan RP4D Kabupaten menjadi pengantar dari Buku II - Manual Penyusunan RP4D, untuk memberikan pemahaman awal BUKU 2 Manual Penyusunan RP4D Kabupaten Pemahaman atas pentingnya Manual Penyusunan RP4D Kabupaten menjadi pengantar dari Buku II - Manual Penyusunan RP4D, untuk memberikan pemahaman awal bagi penyusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya tingkat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

Redistribusi Lokasi Minimarket di Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya

Redistribusi Lokasi Minimarket di Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya Sidang Preview 4 Tugas Akhir Redistribusi Lokasi Minimarket di Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya Oleh RIANDITA DWI ARTIKASARI 3607 100 021 Dosen Pembimbing: Dr. Ing. Ir. Haryo Sulistyarso Tahun 2011 Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perencanaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perencanaan 1.1 Latar Belakang Perencanaan BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, hal ini dilihat dari banyaknya pulau yang tersebar di seluruh wilayahnya yaitu 17.504

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era perkembangan ekonomi seperti saat ini, saat gelombang ekonomi mengakibatkan krisis di berbagai area kehidupan, masyarakat membutuhkan adanya sumber modal

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 20 3. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelitian Pengembangan agroindustri udang merupakan hal yang sangat penting dalam siklus rantai komoditas udang. Pentingnya keberadaan agroindustri udang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih 11.267 Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta yang mencakup Jabodetabek merupakan kota terpadat kedua di dunia dengan jumlah penduduk 26.746.000 jiwa (sumber: http://dunia.news.viva.co.id). Kawasan Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urbanisasi merupakan salah satu penyebab utama tumbuhnya kotakota di Indonesia. Salah satu kota yang memiliki populasi penduduk terbesar di dunia adalah Jakarta. Provinsi

Lebih terperinci

BAB II METODA DAN RUANG LINGKUP PEMBAHASAN

BAB II METODA DAN RUANG LINGKUP PEMBAHASAN BAB II METODA DAN RUANG LINGKUP PEMBAHASAN 2.1 Metoda Pembahasan Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Studi Kelayakan dan Master Plan Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang, Konsultan akan melaksanakan kegiatan

Lebih terperinci

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 1 PENDAHULUAN

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah susun ini dirancang di Kelurahan Lebak Siliwangi atau Jalan Tamansari (lihat Gambar 1 dan 2) karena menurut tahapan pengembangan prasarana perumahan dan permukiman

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS (GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM) Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Limau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang terus membenahi dirinya melalui pembangunan di segala bidang agar dapat menjadi negara yang makmur setara dengan negara-negara maju

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL , Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana UNDIP JURNAL ILMU LINGKUNGAN Volume, Issue : () ISSN ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL Dzati Utomo

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Struktur penelitian ini berhubungan dengan ekologi-arsitektur yaitu hubungan interaksi ekosistem mangrove dengan permukiman pesisir Desa Tanjung Pasir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam rangka memberikan kontribusi untuk

Lebih terperinci

BAB VI PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB VI PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB VI PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 6.1 PROGRAM DASAR PERENCANAAN 6.1.1 Program Ruang Rekapitulasi Ruang Dalam No Jenis Ruang Luas 1 Kelompok Ruang Fasilitas Utama 2996 m2 2 Kelompok Ruang Fasilitas

Lebih terperinci

1 A p a r t e m e n S i s i n g a m a n g a r a j a S e m a r a n g

1 A p a r t e m e n S i s i n g a m a n g a r a j a S e m a r a n g BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal ini, salah satu caranya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT 5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO Sri Sutarni Arifin 1 Intisari Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau khususnya pada wilayah perkotaan sangat penting mengingat besarnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Ungaran merupakan ibukota Kabupaten Semarang. Sebagai ibukota kabupaten, Kota Ungaran diharuskan menjadi kota mandiri yang memiliki daya dukung dalam segala bidang,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

BAB IV ANALISA PERENCANAAN BAB IV ANALISA PERENCANAAN 4.1. Analisa Non Fisik Adalah kegiatan yang mewadahi pelaku pengguna dengan tujuan dan kegiatannya sehingga menghasilkan besaran ruang yang dibutuhkan untuk mewadahi kegiatannya.

Lebih terperinci

BAB V PENERAPAN KONSEP MAGERSARI DI KAWASAN PERMUKIMAN

BAB V PENERAPAN KONSEP MAGERSARI DI KAWASAN PERMUKIMAN BAB V PENERAPAN KONSEP MAGERSARI DI KAWASAN PERMUKIMAN Penerapan konsep magersari pada kawasan permukiman magersari adalah berupa usulan perbaikan terhadap kawasan permukiman magersari, yang menghasilkan

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Propinsi Sumataera Utara memiliki 2 (dua) wilayah pesisir yakni, Pantai

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Propinsi Sumataera Utara memiliki 2 (dua) wilayah pesisir yakni, Pantai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Propinsi Sumataera Utara memiliki 2 (dua) wilayah pesisir yakni, Pantai Timur dan Pantai Barat. Salah satu wilayah pesisir pantai timur Sumatera Utara adalah Kota Medan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh Di Wilayah Kecamatan Semampir Kota Surabaya Melalui Pendekatan Partisipasi Masyarakat

Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh Di Wilayah Kecamatan Semampir Kota Surabaya Melalui Pendekatan Partisipasi Masyarakat Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh Di Wilayah Kecamatan Semampir Kota Surabaya Melalui Pendekatan Partisipasi Masyarakat PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

2.4 Kerangka Teori dan Pertanyaan Penelitian... 47

2.4 Kerangka Teori dan Pertanyaan Penelitian... 47 DAFTAR ISI halaman HALAMAN JUDUL... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMA KASIH... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR Oleh : RIAS ASRIATI ASIF L2D 005 394 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Judul

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Judul BAB I PENDAHULUAN 1.1 Judul Kampung Vertikal Kalianyar dengan Pendekatan Arsitektur Perilaku 1.2 Pengertian Judul Kampung vertikal merupakan konsep hunian yang bertransformasi dari menjadi kampung yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Feri Susanty Spesial, Tahun 2007, 6). Populasi dan permintaan penduduk terhadap hunian yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. Feri Susanty Spesial, Tahun 2007, 6). Populasi dan permintaan penduduk terhadap hunian yang semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1.1 Latar Belakang Pemilihan Proyek Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar dan pokok manusia. Oleh karena itu, kebutuhan akan hunian sangat penting dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul Halaman Pengesahan Halaman Pernyataan Halaman Persembahan Kata Pengantar. Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar

DAFTAR ISI. Halaman Judul Halaman Pengesahan Halaman Pernyataan Halaman Persembahan Kata Pengantar. Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman Pengesahan Halaman Pernyataan Halaman Persembahan Kata Pengantar Intisari Abstract Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar i ii iii iv v vii viii ix xii xiii BAB I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta yang mempunyai wilayah seluas 740 km 2. menjadikan Jakarta sebagai kota yang sangat padat penduduknya.

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta yang mempunyai wilayah seluas 740 km 2. menjadikan Jakarta sebagai kota yang sangat padat penduduknya. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.1.1. Latar Belakang Proyek Jakarta yang mempunyai wilayah seluas 740 km 2 dengan jumlah populasi 2 sebesar 8.792.000 jiwa dan memiliki kepadatan penduduk sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN 5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN Dalam bab ini akan membahas mengenai strategi yang akan digunakan dalam pengembangan penyediaan air bersih di pulau kecil, studi kasus Kota Tarakan. Strategi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bahwa bumi dan air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan perkotaan yang signifikan merupakan wujud nyata pembangunan dalam perkembangan kawasan perkotaan. Perkembangan kawasan perkotaan tidak dapat dipungkiri

Lebih terperinci

Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang

Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang (Berdasarkan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang) PENGATURAN Penataan ruang sebagai acuan pembangunan sektoral dan wilayah; Pendekatan sistem dilakukan dalam penataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul Judul laporan Dasar Program Perencanaan dan Perancangan Arsitektur (DP3A) yang disusun oleh penulis adalah Rumah Vertikal Ekologis di Surakarta dengan Fasilitas

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1490, 2014 KEMENPERA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Daerah. Pembangunan. Pengembangan. Rencana. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini kota-kota besar di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Antara lain disebabkan adanya peluang kerja dari sektor industri dan perdagangan.

Lebih terperinci

Unisba.Repository.ac.id BAB I PENDAHULUAN

Unisba.Repository.ac.id BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah, mulailah era baru dalam sistem pembangunan di daerah. Pada intinya otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota-kota di Indonesia kini tengah mengalami degradasi lingkungan menuju berkurangnya ekologis, akibat pembangunan kota yang lebih menekankan dimensi ekonomi

Lebih terperinci