HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Ekstraksi dan Karakterisasi Antosianin

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Ekstraksi dan Karakterisasi Antosianin"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PIGMEN Ekstraksi adalah proses penarikan komponen dari suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu. Pada umumnya ekstraksi zat warna dari bagian tanaman merupakan ekstraksi yang sederhana. Polaritas merupakan hal yang penting diperhatikan dalam proses ekstraksi. Senyawa polar hanya dapat larut dalam pelarut polar. Antosianin dan brazilein merupakan flavonoid yang bersifat polar sehingga akan lebih mudah larut pada pelarut yang bersifat polar (Markakis, 1982). Jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi harus dapat mendenaturasi membran sel serta melarutkan pigmen (Elbe dan Schwartz, 1996). Menurut Amr dan Al-Tamimi (2007) ekstraksi dengan metanol yang diasamkan lebih efektif dibandingkan dengan etanol dan aquades. Namun metanol bersifat toksik sehingga penggunaan pada bahan pangan jarang digunakan. 1. Ekstraksi dan Karakterisasi Antosianin Ekstraksi antosianin dilakukan dengan menggunakan pelarut aquades. Aquades digunakan karena bersifat polar dan tidak bersifat toksik. Menurut Kristie (2008) ekstrak antosianin dengan menggunakan aquades memiliki warna yang lebih cerah dibandingkan dengan ekstrak menggunakan etanol 95%. Pada penelitian ini tidak digunakan aquades yang diasamkan karena rosela secara alami sudah mengandung asam sitrat dan malat (Maryani dan Kristina, 2005). Penambahan asam akan meningkatkan rasa asam dari ekstrak antosianin yang akan berpengaruh pada cita rasa asam yang dihasilkan. Penambahan etanol 95% sebanyak setengah dari filtrat rosela bertujuan melarutkan gum dan gula pada ekstrak. Gum dan gula yang terdapat pada ekstrak akan menyebabkan ekstrak menjadi lengket ketika dikeringkan dengan vaccum evaporator. 28

2 Proses pemekatan atau penguapan pelarut dilakukan pada suhu 40 C. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan pigmen antosianin akibat panas yang berlebihan. Penguapan terjadi pada ruangan vakum bertekanan tinggi sehingga dibutuhkan suhu yang relatif rendah. Penggunaan etanol pada penelitian ini kurang efektif untuk melarutkan gula dan gum. Hal ini dapat terlihat dari ekstrak yang dihasilkan masih lengket. Untuk menghindari hal tersebut sebaiknya ekstrak rosela tidak dipekatkan sampai kering tetapi sampai menjadi konsentrat dengan konsentrasi tertentu. Rendemen ekstrak dihitung dalam persen yang menyatakan banyaknya ekstrak yang terdapat di dalam sampel berdasarkan berat basah. Rendemen ekstrak antosianin yang diperoleh sebesar 30.84% (b/b). Ekstrak antosianin dari rosela yang diperoleh, selanjutnya diencerkan 2 kali dengan air untuk memudahkan dalam proses pencampuran selanjutnya. Ekstrak antosianin dilakukan karakterisasi yang meliputi total padatan terlarut, total antosianin, dan ph. Karakteristik ekstrak antosianin dari rosela dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik ekstrak antosianin rosela Karakteristik ekstrak Total padatan terlarut Nilai Ekstrak padat(%) Ekstrak cair(%) 22, Total antosianin Ekstrak padat (mg/g ekstrak) Ekstrak cair (mg/ml ekstrak) Warna ekstrak cair L a 1.71 b o hue

3 Total padatan terlarut ekstrak padat sebesar 72.26%, ketika ekstrak diencerkan dengan aquades menjadi 22.43%. Total antosianin ekstrak padat sebesar mg/g ekstrak, dan ketika ekstrak diencerkan menjadi mg/ml (Lampiran 1 dan Tabel 4). Analisis karakteristik ekstrak antosianin yang diperoleh bertujuan untuk mengetahui jumlah antosianin yang perlu ditambahkan pada tahap penelitian selanjutnya yaitu pembuatan model minuman dan kopigmentasi. Pengukuran total antosianin kelopak kering bunga rosela diperoleh sebesar mg/g kelopak kering. Kandungan antosianin plum sebesar 0.25 mg/g, chery 0.02 mg/g, dan strawberi 0.15 mg/g (Mateus dan Freitas, 2009). Berdasarkan data diatas terlihat bahwa kandungan antosianin plum, chery, dan strawberi lebih sedikit dibandingkan dengan antosianin rosela. Bisa dikatakan rosela potensial dikembangkan sebagai sumber pigmen alami antosianin. Nilai L ekstrak antosianin dari rosela sebesar pada skala Nilai L menggambarkan kecerahan dimana semakin kecil nilai L maka nilai kecerahan semakin rendah sedangkan semakin tinggi nilai L maka kecerahan semakin tinggi. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa ekstrak antosianin memiliki kecerahan yang rendah (gelap). Ekstrak rosela dapat terlihat pada Gambar 9. Nilai a merupakan koordinat kromatis yang menggambarkan nilai merah atau hijau dengan skala -80 sampai 100. Nilai a positif menunjukkan derajat kemerahan sampel, sedangkan nilai a negatif menggambarkan derajat kehijauan sampel. Nilai a ekstrak yang diperoleh sebesar 1.71 menunjukkan ekstrak memiliki derajat kemerahan. Nilai b menggambarkan warna kromatis biru dan kuning. Nilai b berada pada skala -70 sampai 70. Nilai b positif menunjukkan derajat warna kuning sampel sedangkan nilai b negatif menggambarkan derajat biru sampel. Nilai b ekstrak sebesar yang menunjukkan bahwa ekstrak memiliki derajat warna biru. Nilai o hue ekstrak yaitu o dengan kisaran warna ekstrak yaitu merah ungu. Nilai ph ekstrak yang diperoleh sebesar Menurut 30

4 Castenada et al. (2009) antosianin akan berwarna merah atau ungu pada ph 1-3. a Gambar 9. Ekstrak antosianin padat (a) dan ekstrak antosianin dengan pengenceran 2 kali (b) b 2. Ekstraksi dan Karakterisasi Brazilein Ekstraksi brazilein dilakukan dengan pelarut etanol 50% pada suhu 80 o C selama 3x30 menit. Ekstraksi secang menggunakan etanol 50% merupakan ekstraksi yang lebih baik dibandingkan menggunakan etanol 95% dan aquades. Ekstrak secang yang diekstraksi dengan pelarut aquades dan etanol 95% berwarna merah kehitaman. Ekstraksi menggunakan etanol 50% menghasilkan ekstrak dengan warna merah kecoklatan (Kristie, 2008). Rendemen ekstrak dihitung dalam persen yang menyatakan banyaknya ekstrak yang terdapat di dalam sampel berdasarkan berat basah. Rendemen ekstrak brazilein kayu secang yang diperoleh sebesar 8.15% (b/b). Ekstrak yang diperoleh dilakukan karakterisasi yang meliputi kadar air, total brazilein, dan ph ekstrak. Karakteristik ekstrak brazilein dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Tabel 5. Kadar air ekstrak brazilein dari kayu secang sebesar 8.33% (bb) atau 9.09% (bk). Kadar air ekstrak brazilein kayu secang relatif kecil karena ekstrak brazilein tidak bersifat higroskopis. Total brazilein yang diperoleh sebesar mg/mg ekstrak. Hal ini menunjukkan jumlah ekstrak brazilein yang diperoleh cukup besar. Pengukuran total brazilein dilakukan dengan menggunakan kurva standar (Lampiran 2). Ekstrak brazilein yang dilarutkan ke dalam 50 ml aquades memilki ph sebesar

5 Analisis karakteristik pigmen brazilein bertujuan untuk mengetahui jumlah brazilein yang ditambahkan pada tahap penelitian selanjutnya yaitu pembuatan model minuman dan kopigmentasi. Tabel 5. Karakteristik ekstrak brazilein kayu secang Karakteristik ekstrak Kadar air Nilai Kadar air (% bb) Kadar air (% bk) Total brazilein Warna Total brazilein (mg/mg ekstrak) L a b o hue o Nilai L ekstrak brazilein sebesar Berdasarkan nilai L dapat diketahui bahwa ekstrak memiliki kecerahan yang rendah (gelap). Nilai a ekstrak yang diperoleh sebesar 20.72, menunjukkan ekstrak memiliki derajat merah. Nilai b ekstrak sebesar yang menunjukkan bahwa ekstrak memiliki derajat warna kuning. Nilai o hue ekstrak adalah o dengan kisaran warna merah. ssssss Gambar 10. Ekstrak brazilein dari kayu secang 32

6 B. PEMBUATAN MODEL MINUMAN DAN KOPIGMENTASI Model minuman berfungsi sebagai media untuk mengetahui kestabilan pigmen antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein. Model minuman yang digunakan adalah model minuman ringan yang merupakan pangan dengan ph rendah. Model minuman ringan terdiri dari air, gula, antosianin, dan brazilein. Formulasi model minuman dibuat dengan penambahan gula sebesar 10% (b/v). Model minuman dibuat dalam 50 ml. Menurut Thorner dan Hezberg (1978) konsentrasi akhir pemanis dalam minuman ringan mencapai 8-14%. Pembuatan model minuman dilakukan dengan kombinasi jumlah antosianin dan brazilein yang dinyatakan dalam molar. Antosianin rosela dinyatakan dalam bentuk delphinidin 3-glukosida dengan massa molekul relatif sebesar 501 gr/mol. Massa molekul relatif brazilein sebesar gr/mol. Jumlah antosianin yang ditambahkan dalam model minuman yaitu 5.82x10-5 M. Konsentrasi brazilein ditambahkan pada model minuman yaitu 1.74x10-4 M, 2.32x10-4 M, 2.91x10-4 M, 3.50x10-4 M, dan 4.07x10-4 M. Perbandingan molar antara antosianin dengan brazilein adalah sebesar 1:3, 1:4, 1:5, 1:6, dan 1:7. Menurut Broillard dan Dengel (1994) efek kopigmentasi terlihat pada konsentrasi antosianin lebih besar dari 10-5 M. Efek spektrofotometri antosianin mulai terlihat pada konsentrasi 10-5 M. Jumlah kopigmen brazilein yang ditambahkan harus lebih besar dari jumlah antosianin. Efek kopigmentasi terjadi apabila jumlah kopigmen yang ditambahkan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah antosianin (Rein, 2005). Penentuan jumlah brazilein yang ditambahkan berdasarkan konsentrasi model minuman yang menghasilkan warna merah. Apabila brazilein yang ditambahkan lebih besar dari 4.07x10-4 M maka model minuman akan berwarna merah kekuningan. Model minuman yang diukur serapan panjang gelombang maksimum dengan menggunakan scanning spectrophotometer. Model minuman antosianin dengan panjang gelombang maksimal yaitu 520 nm dan model minuman kopigmentasi antosianinbrazilein yaitu 515 nm. Nilai ph model minuman yang didapat berkisar 33

7 antara Menurut Hendry (1996) pada ph 2-3 antosianin berbentuk kation flavinium dan sebagian basa quinoidal. Pada ph 2-5 reaksi kopigmentasi terjadi lebih baik karena kesetimbangan bentuk quinoidal (William dan Hrazdina, 1979). C. STABILITAS MODEL MINUMAN TERHADAP PEMANASAN Model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein dilakukan pengujian terhadap suhu pemanasan. Stabilitas suhu pemanasan mewakili suhu proses pasteurisasi yaitu 40 o C, 50 o C, 60 o C, 70 o C, dan 80 o C. Pengamatan dilakukan dengan mengukur absorbansi pada panjang gelombang 520 nm untuk model minuman antosianin dan 515 nm untuk model minuman kopigmentasi antosianin-brazilein. Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan chromameter CR 310 untuk melihat nilai L, a, b, E, dan o hue. 1. Pengamatan Spektrofotometer Pengukuran stabilitas dilakukan dengan pengamatan nilai retensi warna dan nilai konstanta laju degradasi (k). Peningkatan suhu dan waktu pemanasan akan menurunkan retensi warna dan meningkatkan nilai k (Lampiran 4). Peningkatan suhu pemanasan dapat menstimulasi akumulasi senyawa hasil degradasi antosianin seperti kalkon dan turunannya (Satyatama, 2008). a. Retensi Warna Nilai retensi warna merupakan perbandingan antara nilai absorbansi proses pemanasan pada waktu dan suhu tertentu dengan nilai absorbansi sebelum pemanasan (At/Ao). Nilai retensi warna pada semua model minuman mengalami penurunan dengan meningkatnya suhu dan waktu pemanasan (Gambar 11). 34

8 At/Ao At/Ao A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (1) (2) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) At/Ao (3) (4) At/Ao At/Ao (5) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Gambar 11. Grafik hubungan antara At/Ao (retensi warna) dengan waktu (menit) model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein suhu 40 o C (1), 50 o C (2), 60 o C (3), 70 o C (4), dan 80 o C (5) 35

9 Semakin meningkatnya suhu mengakibatkan grafik menjadi lebih curam. Kecuraman grafik menggambarkan nilai retensi warna yang semakin menurun (Gambar 11). Nilai retensi warna masingmasing model minuman tiap suhu bisa terlihat pada Lampiran 4. Nilai retensi warna model minuman kopigmentasi antosianinbrazilein lebih besar apabila dibandingkan dengan model minuman antosianin. Hal tersebut dapat terlihat dari semakin landainya grafik pada model minuman kopigmentasi (Gambar 11). Penambahan brazilein dapat menurunkan degradasi warna antosianin. Nilai retensi warna pemanasan 40 o C selama 10 jam lebih besar dari Warna model minuman paling baik pada suhu tersebut dibandingkan dengan suhu pemanasan yang lebih tinggi. Nilai retensi warna akan meningkat dengan penambahan brazilein sampai perbandingan antosianin dengan brazilein (1:7) (Gambar 12). Nilai retensi warna model minuman pada suhu 50 o C yaitu Nilai retensi warna terendah pada model minuman antosianin dan tertinggi pada model minuman antosianin:brazilein (1:5) dan (1:6). Nilai retensi warna pemanasan 60 o C selama 6 jam lebih besar dari pada model minuman antosianin:brazilein (1:6) dan (1:7). Sedangkan nilai retensi warna model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), dan (1:5) lebih kecil dari (Gambar 12). Nilai retensi pemanasan 70 o C selama 4 jam yaitu Nilai retensi warna terendah pada model minuman antosianin dan tertinggi pada model minuman antosianin:brazilein (1:7). Nilai retensi warna pada pemanasan 80 o C selama 2 jam paling rendah dibandingkan dengan suhu 40 o C, 50 o C, 60 o C, dan 70 o C. Nilai retensi warna lebih besar dari pada model minuman antosianin:brazilein (1:6) dan (1:7). Model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), dan (1:5) memiliki nilai retensi warna lebih kecil dari dengan pemanasan 80 o C selama 2 jam (Gambar 12 dan Lampiran 4). 36

10 Penambahan brazilein pada suhu 40 o C tidak menyebabkan perubahan besar terhadap nilai retensi warna. Penambahan brazilein pada pemanasan 50 o C, 60 o C, 70 o C, dan 80 o C dapat meningkatkan nilai retensi warna lebih besar jika dibandingkan dengan suhu 40 o C. Pada suhu 40 o C, antosianin belum banyak mengalami perubahan struktural yang berpengaruh terhadap stabilitas warna antosianin. Penambahan brazilein sebagai kopigmen pada suhu tersebut kurang berfungsi. Berbeda halnya dengan suhu yang lebih tinggi, penambahan brazilein dapat memberikan pengaruh yang lebih besar. Penambahan brazilein dapat melindungi antosianin dari degradasi akibat proses pemanasan (Gambar 12) At/Ao Gambar 12. Diagram hubungan antara At/Ao (retensi warna) dengan suhu ( o C) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein Menurut Elbe dan Schwartz (1996) suhu pemanasan dapat mengubah kesetimbangan kation flavinium menjadi kalkon yang tidak berwarna. Setelah itu cincin perilium terbuka dan mengalami degradasi lebih lanjut menjadi alfa diketon yang berwarna cokelat (Brouilard, 1982). Suhu ( o C) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Menurut Satyatama (2008) nilai retensi warna pada antosianin duwet pemanasan 40 o C-70 o C selama 2 jam diatas Nilai retensi 37

11 warna pemanasan 90 o C dan 100 o C selama 2 jam sebesar dan Penurunan kestabilan warna antosianin terlihat dari berbagai sumber antosianin misalnya raspberry dan cherries (Ochoa et al., 2003), serta blood orange juice (Kirca dan Cemeroglu, 2002). b. Nilai k Nilai k menggambarkan konstanta laju degradasi antosianin. Semakin meningkatnya suhu mengakibatkan nilai k akan meningkat. Semakin tinggi nilai k laju degradasi antosianin akan semakin meningkat. Peningkatan laju reaksi mengakibatkan degradasi warna antosianin akan lebih cepat. Nilai k diperoleh dengan menghubungkan antara ln retensi warna (At/Ao) dengan waktu (menit) yang berlangsung secara linier (Gambar 13). Berdasarkan hubungan di atas laju degradasi antosianin mengikuti persamaan Arhenius orde ke-1. Proses degradasi antosianin mengikuti orde ke-1 diperkuat dengan berbagai sumber antosianin yaitu rosela (Gradinaru et al., 2003), duwet (Satyatama, 2008), blood orange juice (Cemeroglu dan Kirca, 2002), dan raspberry (Ochoa et al., 2000). Semakin meningkatnya suhu gradien garis akan semakin curam. Penambahan brazilein membuat grafik menjadi lebih landai. Dapat dikatakan penambahan brazilein dapat menurunkan nilai k. Nilai k model minuman berkisar 7x x10-3 menit -1 dengan nilai R (Lampiran 5). Nilai k model minuman kopigmentasi antosianin-brazilein lebih rendah dibandingkan model minuman antosianin. Model minuman antosianin:brazilein (1:3) suhu 60 o C memiliki nilai yang sama dengan model minuman antosianin. 38

12 -1E E Ln (At/Ao) Ln (At/Ao) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) -0.6 A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (1) (2) -1E E Ln (At/Ao) Ln (At/Ao) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) -0.6 A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (3) (4) -1E A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (5) Gambar 13. Grafik hubungan antara ln At/Ao (retensi warna) dengan waktu (menit) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein suhu 40 o C (1), 50 o C (2), 60 o C (3), 70 o C (4), dan 80 o C (5) 39

13 Secara umum penambahan brazilein dapat menurunkan nilai k. Hal ini terlihat pada suhu pemanasan 40 o C, 50 o C, 60 o C, 70 o C, dan 80 o C (Gambar 14). Menurunnya nilai k pada model minuman kopigmentasi antosianin-brazilein menggambarkan laju degradasi antosianin yang semakin menurun. Penurunan nilai k diduga karena interaksi charge transfer complex atau interkasi π-π. Kation flavinium pada antosianin yang bermuatan positif (kekurangan elektron), sedangkan brazilein memiliki kelebihan elektron akan mentransfer elektron sehingga terjadi kesetimbangan elektron (Castenada et al., 2009). Ikatan inilah yang diduga mampu meningkatkan kestabilan antosianin pada model minuman kopigmentasi antosianin-brazilein. Kestabilan antosianin yang dikopigmentasi lebih tinggi dibandingkan dengan antosianin tanpa kopigmen. Hal ini dikarenakan ikatan antara antosianin dan kopigmen melindungi dari serangan nukleofilik air pada cincin perilium antosianin (Markakis, 1982). Menurut Satyatama (2008) nilai konstanta laju degradasi antosianin buah duwet suhu o C sebesar 3x x10-3 menit -1 dengan koefisien determinasi Nilai k antosianin dari blood orange juice pemanasan 70 o C sebesar 1.84x10-3 menit -1. Nilai k pemanasan 80 o C mengalami peningkatan menjadi 3.22x10-3 menit -1 (Cemeroglu dan Kirca, 2002). Menurut Gradinaru et al. (2003) penambahan asam klorogenik dapat menurunkan nilai k sianidin suhu 70 o C dari 6.86x10-2 jam -1 menjadi 5.92x10-2 jam -1. Nilai k pemanasan 85 o C sebesar 1.64x10-1 jam -1 dengan penambahan asam klorogenik nilai k turun menjadi 1.57x10-1 jam

14 Nilai k ( menit -1 ) E-05 6E-05 4E-05 2E-05 0 Nilai k (menit -1 ) Proporsi antosianin:brazilein Proporsi antosianin:brazilein (1) (2) Nilai k (menit -1 ) Nilai k (menit -1 ) Proporsi antosianin:brazilein Proporsi antosianin:brazilein (3) (4) Nilai k (menit -1 ) Proporsi antosianin:brazilein (5) Gambar 14. Nilai konstanta laju degradasi antosianin (menit -1 ) pada model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), (1:6), dan (1:7) 41

15 c. Waktu Paruh Waktu paruh (t 1/2 ) adalah waktu pada saat suatu zat terurai menjadi setengah dari jumlah semula (Saeni, 1989). Semakin tinggi waktu paruh maka semakin lama antosianin mengalami degradasi akibat pemanasan. Waktu paruh berbanding terbalik dengan nilai k. Semakin tinggi nilai k maka waktu paruh akan semakin kecil. Waktu paruh masing-masing model minuman dapat dilihat pada Lampiran 5. Penambahan brazilein dapat meningkatkan waktu paruh (t 1/2 ). Secara umum nilai waktu paruh (t 1/2 ) model minuman kopigmentasi antosianin-brazilein yang lebih tinggi dibandingkan model minuman antosianin (Gambar 15). Kestabilan antosianin yang dikopigmentasi lebih tinggi dibandingkan dengan antosianin tanpa kopigmen. Hal ini dikarenakan ikatan antara antosianin dan kopigmen melindungi dari serangan nukleofilik air pada cincin perilium antosianin (Markakis, 1982). Waktu paruh akan menurun dengan meningkatnya suhu pemanasan. Nilai waktu paruh paling besar yaitu model minuman antosianin:brazilein (1:7) suhu 40 o C yaitu jam. Waktu paruh model minuman terendah pada model minuman antosianin suhu 80 o C yaitu 2.75 jam. Waktu paruh (t 1/2 ) antosianin dari blood orange juice pemanasan 70 o C adalah 6.3 jam, sedangkan pemanasan 80 o C mengalami penuruan waktu paruh menjadi 3.6 jam (Cemeroglu dan Kirca, 2002). Peningkatan suhu menyebabkan terjadinya hidrolasi cincin perilium antosianin yang lebih lanjut yang menghasilkan alfa diketon yang berwarna cokelat (Satyatama, 2008). Menurut Gradinaru et al. (2003) menyatakan penambahan asam klorogenik dapat meningkatkan nilai t 1/2 pada sianidin suhu 70 o C dari 10.1 jam menjadi 1.1 jam. Sedangkan nilai t 1/2 pada suhu 85 o C sianidin sebesar 4.2 jam dengan penambahan asam klorogenik nilai k turun menjadi 4.4 jam. 42

16 Waktu paruh (jam) (1:0) (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Waktu paruh (jam) (1:0) (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Proporsi antosianin:brazilein Proporsi antosianin:brazilein (1) (2) Waktu paruh (jam) (1:0) (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Waktu paruh (jam) (1:0) (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Proporsi antosianin:brazilein Proporsi antosianin:brazilein (3) (4) 3.40 Waktu paruh (jam) (1:0) (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Proporsi antosianin:brazilein (5) Gambar 15. Nilai waktu paruh (jam) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein suhu 40 o C (1), 50 o C (2), 60 o C (3), 70 o C (4), dan 80 o C (5) 43

17 d. Energi Aktivasi Energi aktivasi merupakan energi minimal yang dibutuhkan agar suatu reaksi dapat berlangsung (Saeni, 1989). Apabila dikaitkan dengan laju degradasi antosianin, semakin kecil energi aktivasi maka reaksi degradasi antosianin berlangsung lebih cepat. Begitu pula sebaliknya, semakin tinggi energi aktivasi maka laju degradasi antosianin akan semakin lebih lama. Adanya kopigmentasi energi aktivasi akan semakin tinggi sehingga laju degradasi lebih kecil dan stabilitas warna lebih bisa ditingkatkan. Nilai energi aktivasi diperoleh dengan menghubungan ln k dan 1/T (dalam K) sehingga didapatkan nilai Ea/R dan ln ko (Gambar 16). Nilai Ea/R model minuman terbesar terdapat pada model minuman antosianin:brazilein (1:6) sedangkan nilai terendah pada model minuman antosanin:brazilein (1:4) dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar Penambahan brazilein dapat meningkatkan nilai Ea/R pada model minuman kopigmentasi. Dengan meningkatnya nilai Ea/R maka nilai energi aktivasi juga semakin meningkat. Nilai energi aktivasi diperoleh dengan mengalikan nilai Ea/R dengan konstanta gas (8.314 J/molK). Penambahan brazilein dapat meningkatkan energi aktivasi karena proses pemanasan (Gambar 17). Kestabilan antosianin yang dikopigmentasi lebih tinggi dibandingkan dengan antosianin tanpa kopigmen. Peningkatan kestabilan dikarenakan ikatan antosianin dan kopigmen dapat melindungi dari serangan nukleofilik air pada cincin perilium antosianin (Markakis, 1982). 44

18 Ln k -4-6 y = x R² = Ln k -4-6 y = x R² = /T (K -1 ) 1/T (K -1 ) (1) (2) Ln k -4-6 y = x R² = Ln k -4-6 y = x R² = /T (K -1 ) 1/T (K -1 ) (3) (4) Ln k -4-6 y = x R² = ln k -4-6 y = x R² = /T (K -1 ) -12 1/T (K -1 ) (5) (6) Gambar 16. Grafik hubungan antara ln konstanta laju degradasi antosianin (ln k) dengan 1/T (K -1 ) pada model minuman antosianin (1), antosianin:brazilein 1:3 (2), 1:4 (3), 1:5 (5), 1:6 (6), dan 1:7 (7) 45

19 Penambahan brazilein dapat meningkatkan energi aktivasi antosianin. Model minuman antosianin:brazilein (1:6) memiliki nilai enegi aktivasi paling baik dibandingkan model minuman lainnya. Penambahan brazilein pada model minuman antosianin:brazilein (1:7) mengalami penurunan energi aktivasi dibandingkan model minuman antosianin:brazilein (1:6). Energi aktivasi ( kj/mol) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Nilai Ea Gambar 17. Nilai energi aktivasi model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), (1:6), dan (1:7) Menurut Satyatama (2008) energi aktivasi ekstrak duwet yang mengalami pemanasan o C sebesar 56 kj/mol, meningkat menjadi 72.4 kj/mol untuk antosianin dengan penambahan kopigmen asam felurik, dan kj/mol dengan kopigmen asam galat. Selain itu Gradinaru et al. (2008) melaporkan penambahan asam klorogenik bisa meningkatkan energi aktivasi cyanidin 3-sambiosida dari 14.0 kkal/mol menjadi 15.1 kkal/mol. 2. Pengamatan Chromameter Analisis warna dengan menggunakan chromameter akan diperoleh nilai L, a, dan b. Nilai L, a, dan b merupakan parameter warna dalam sistem Hunter. Nilai L (lightness) adalah suatu nilai yang menyatakan gelap dan terangnya warna bahan. Semakin besar nilai L maka sampel 46

20 akan semakin terang. Nilai a menyatakan derajat warna merah (a+) atau warna hijau (a-) suatu bahan. Sedangkan nilai b menyatakan derajat warna kuning (b+) atau warna biru (b-). Nilai E menggambarkan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna. Nilai E diperoleh dari perubahan nilai L, a, dan b selama proses pemanasan. Nilai a dan b dikombinasikan akan diperoleh nilai o hue. Nilai o hue menggambarkan daerah warna kromatis yang menentukan jenis warna. a. Nilai L Nilai L (lightness) model minuman akan meningkat dengan meningkatnya suhu dan lamanya waktu pemanasan (Gambar 18). Peningkatan nilai L terjadi karena proses degradasi yang memberikan komponen tidak berwarna yaitu kalkon (Jackman dan Smith,1996). Peningkatan nilai L akan mengakibatkan warna sampel menjadi semakin cerah. Nilai L pemanasan 40 o C, 50 o C, dan 60 o C tidak memperlihatkan perbedaan yang besar. Nilai L pada suhu tersebut berkisar antara Nilai L pemanasan 70 o C dan 80 o C lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 40 o C, 50 o C, dan 60 o C (Gambar 18). Pada suhu 70 o C dan 80 o C terjadi proses degradasi yang lebih besar pada antosianin yang memberikan komponen yang tidak berwarna seperti kalkon. Nilai L pada masing-masing proses pemanasan bisa dilihat pada Lampiran 7. Peningkatan nilai L pada model minuman kopigmentasi antosianin-brazilein disebabkan terjadinya proses degradasi kompleks kopigmentasi antara antosianin dengan kopigmen brazilein yang dapat menghasilkan komponen tidak berwarna. Antosianin akan berubah menjadi kalkon yang tidak berwarna akibat pengaruh suhu dan lama pemanasan (Maza dan Brouillard, 1990). 47

21 Nilai L A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Nilai L A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (1) (2) Nilai L 50 Nilai L A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (3) (4) Nilai L A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (5) Gambar 18. Grafik hubungan antara nilai L (lightness) dengan waktu (menit) model minuman antosianin dan kopigmentasi antosinain-brazilein pemanasan 40 o C (1), 50 o C (2), 60 o C(3), 70 o C(4), dan 80 o C(5) 48

22 Nilai L (lightness) model minuman tanpa proses pemanasan yaitu Nilai L paling besar terdapat pada model minuman antosianin:brazilein (1:3). Sedangkan nilai L terkecil pada model minuman antosanin. Nilai L pada Gambar 19 menyatakan selisih antara nilai L awal dengan nilai L akhir proses pemanasan. Nilai L pada suhu 40 o C, 50 o C, dan 60 o C tidak menunjukkan banyak perbedaan nilai. Suhu pemanasan 70 o C dan 80 o C selama 4 jam dan 2 jam memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan nilai kecerahan model minuman. Secara umum penambahan brazilein dapat menurunkan nilai L. Nilai L terendah yaitu model antosianin:brazilein (1:6). Penambahan brazilein dapat melindungi kation flavinium dari degradasi warna L Suhu ( o C) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Gambar 19. Diagram hubungan antara nilai L (perubahan nilai lightness) dengan suhu ( o C) Menurut Satyatama (2008) nilai lightness antosianin dari duwet akan bertambah dengan meningkatnya suhu. Nilai L pemanasan 40 o C selama 2 jam sebesar sedangkan pemanasan 80 o C selama 2 jam sebesar Peningkatan nilai L disebabkan oleh penumpukan hasil degradasi antosianin akibat proses pemanasan menjadi kalkon yang tidak berwarna. Hal ini diperkuat dengan Carmen et al. (2005) yang melaporkan bahwa penambahan ekstrak rosmery sebagai kopigmen menyebabkan penurunan nilai lightness jus anggur. 49

23 b. Nilai a Nilai a (derajat merah) model minuman mengalami penurunan dengan meningkatnya suhu dan lamanya pemanasan. Penurunan nilai a disebabkan oleh peningkatan kecepatan reaksi transformasi struktural kation flavinium (berwarna merah) menjadi kalkon (tidak berwarna). Penurunan konsentrasi kation flavinium dapat menurunkan warna merah model pangan (Jackman dan Smith, 1996). Penurunan nilai a model minuman pada masing-masing suhu dapat dilihat pada Gambar 20. Nilai a pemanasan 40 o C, 50 o C, dan 60 o C tidak memperlihatkan perbedaan yang besar. Suhu 40 o C, 50 o C, dan 60 o C merupakan pemanasan relatif rendah sehingga pengaruh terhadap struktur antosianin relatif rendah. Sedangkan suhu 70 o C dan 80 o C nilai a mengalami penurunan yang cukup besar. Nilai a tanpa proses pemanasan berkisar antara sampai Nilai a terbesar terdapat pada model minuman antosianin dan terendah pada model minuman antosianin:brazilein (1:6). Nilai a model minuman pada masing-masing suhu dapat terlihat pada Lampiran 7. Nilai a pada akhir proses pemanasan suhu 40 o C dan 50 o C yaitu Nilai a pemanasan 60 o C selama 6 jam sebesar Nilai a pemanasan 70 o C dan 80 o C mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan suhu lainnya. Nilai a pada suhu tersebut lebih kecil dari 20 (Gambar 20). Secara umum penurunan nilai a (derajat merah) disebabkan disosiasi kompleks kopigmentasi yang menghasilkan pseudobasa karbinol yang berwarna pucat (Satyatama, 2008). 50

24 Nilai a A `(1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Nilai a A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Nilai a (1) (2) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Nilai a (3) (4) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Nilai a A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (5) Gambar 20. Grafik hubungan antara nilai a (derajat merah) dengan waktu (menit) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazielin pemanasan 40 o C (1), 50 o C (2), 60 o C (3), 70 o C (4), dan 80 o C (5) 51

25 Nilai a menggambarkan perubahan nilai a (derajat merah) tanpa proses pemanasan dengan nilai a akhir proses pemanasan. Semakin tinggi nilai a maka warna merah model minuman akan semakin berkurang. Semakin meningkatnya suhu, nilai a akan semakin meningkat. Peningkatan nilai a terlihat lebih besar pada pemanasan 70 o C dan 80 o C. Secara umum penambahan brazilein pada model minuman dapat meningkatkan nilai a. Nilai a terendah terdapat pada model minuman antosianin:brazilein (1:6). a Suhu ( o C) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Gambar 21. Diagram hubungan nilai a (perubahan derajat merah) dengan suhu ( o C) Menurut penelitian yang dilakukan Satyatama (2008) nilai a antosianin duwet tanpa pemanasan sebesar 22.04, setelah mengalami pemanasan 40 o C dan 80 o C selama 2 jam menjadi dan Menurut Markakis (1982) peningkatan suhu pengolahan dan penyimpanan dapat mengakibatkan kerusakan antosianin secara cepat. Kerusakan antosianin terjadi melalui hidrolisis ikatan glikosidik. Selanjutnya terbukanya cincin aglikon sehingga terbentuk gugus karbinol dan kaklon 52

26 c. Nilai b Nilai b (derajat kuning) memiliki beberapa kecenderungan (Gambar 22). Nilai b kurang dapatmenggambarkan kinetika laju degradasi. Nilai b model minuman tanpa pemanasan terendah pada model minuman antosianin yaitu dan terbesar pada model minuman antosianin:brazilein (1:3) yaitu Nilai b masing-masing model minuman dapat terlihat pada Lampiran 7. Nilai b pada suhu 40 o C relatif lebih stabil dibandingkan suhu lainnya. Model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), dan (1:7) mengalami penurunan dengan pemanasan selama 75 menit. Nilai b mengalami peningkatan selama menit tetapi nilai b akhir proses lebih rendah dibandingkan nilai b tanpa pemanasan. Model minuman antosianin (1:4) mengalami penurunan sedangkan model minuman antosianin:brazilein (1:6) mengalami peningkatan selama pemanasan 10 jam. Nilai b model minuman antosianin mengalami penurunan selama proses pemanasan 50 o C selama 8 jam. Nilai b model minuman antosianin:brazilein (1:6) mengalami peningkatan selama proses pemanasan. Nilai b model minuman lainnya mengalami penurunan pada menit ke-60 selanjutnya mengalami peningkatan sampai akhir proses pemanasan. Model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), dan (1:7) dengan pemanasan 60 o C dan 70 o C mengalami penurunan pada awal pemanasan dan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya waktu pemanasan. Nilai b model minuman antosianin:brazilein (1:6) semakin meningkat dengan bertambahnya waktu pemanasan (Lampiran7). Nilai b model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3) dan (1:4) mengalami penurunan dengan pemanasan 80 o C selama 2 jam. Model minuman antosianin:brazilein (1:5), (1:6), dan (1:7) akan mengalami peningkatan dengan lamanya waktu pemanasan. 53

27 Nilai b A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Nilai b A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (1) (2) Nilai b Nilai b A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (3) (4) Nilai b A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (5) Gambar 22. Grafik antara hubungan nilai b (derajat kuning) dengan waktu (menit) model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianinbrazilein pemanasan 40 o C(1), 50 o C(2), 60 o C(3), 70 o C(4), dan 80 o C(5) 54

28 Nilai b menggambarkan perubahan nilai b tanpa proses pemanasan dengan nilai b akhir proses pemanasan. Semakin tinggi nilai b maka warna kuning model minuman akan semakin berkurang. Nilai b model minuman sulit untuk digunakan sebagai kinetika laju degradasi. Nilai b dapat terlihat pada Gambar 23. b Suhu ( o C) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Gambar 23. Diagram hubungan nilai b (perubahan derajat kuning) dengan suhu ( o C) Menurut (Satyatama, 2008) nilai b antosianin dari buah duwet mengalami peningkatan dengan lamanya pemanasan. Nilai b ekstrak antosianin duwet tanpa pemanasan sebesar Pemanasan 60 o C dan 80 o C selama 2 jam nilai b meningkat menjadi dan -3,29. Menurunnya stabilitas warna disebabkan dekomposisi antosianin dari bentuk aglikon menjadi kalkon pada akhirnya membentuk alfa diketon yang berwarna cokelat (Markakis, 1982). d. Nilai E Nilai E menggambarkan atribut yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna. Peningkatan waktu pemanasan dapat meningkatkan nilai E akibat perubahan nilai L, a, dan b. Nilai E akan mengalami peningkatan dengan meningkatnya waktu dan suhu pemanasan (Gambar 24). 55

29 E A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) E A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (1) (2) E A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) E A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (3) (4) E A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (5) Gambar 24. Grafik hubungan antara nilai E (perubahan warna secara keselurahan) dengan waktu (menit) model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein pemanasan 40 o C (1), 50 o C (2), 60 o C (3), 70 o C (4), dan 80 o C (5) 56

30 Nilai E pemanasan 40 o C, 50 o C, dan 60 o C tidak memiliki banyak perbedaan. Hal ini dikarenakan suhu 40 o C, 50 o C, dan 60 o C merupakan suhu yang cukup rendah sehingga berpengaruh relatif rendah terhadap perubahan warna model minuman. Nilai E suhu 70 o C dan 80 o C mengalami peningkatan dibandingkan dengan suhu sebelumnya (Gambar 25). Secara umum penambahan brazilein pada model minuman dapat meningkatkan nilai E. Model minuman antosianin:brazilein (1:6) memiliki nilai E yang paling rendah dibandingkan model minuman lainnya (Gambar 25). E Suhu ( o C) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Gambar 25. Diagram hubungan nilai E (perubahan warna secara keseluruhan) dengan suhu ( o C) Secara umum dengan meningkatnya suhu akan meningkatkan nilai E. Peningkatan waktu pemanasan juga dapat meningkatkan pembentukan senyawa yang tidak berwarna seperti kalkon (Brouillard, 1994). Menurut Brouillard dan Dengel (1994) peningkatan suhu menyebabkan disosiasi parsial pada kopigmentasi kation flavinium. Menurut Satyatama (2008) nilai E ekstrak antosianin duwet pada suhu o C memiliki kisaran Pemanasan 90 o C dan 100 o C memiliki nilai E sebesar dan

31 e. Nilai o hue Nilai o hue pada lingkaran warna kromatis menggambarkan kisaran warna. Nilai o hue pemanasan 40 o C selama 10 jam berada pada o o yang merupakan kisaran warna merah. Pemanasan 40 o C selama 10 jam tidak menyebabkan pergeseran warna. Nilai o hue pemanasan 60 o C dan 50 o C selama 4 jam dan 6 jam yaitu o o dan o o. Pada pemanasan tersebut masih merupakan kisaran warna merah (Tabel 6, 7, dan 8). Pemanasan 40 o C, 50 o C, dan 60 o C belum terjadi hidrolasi cincin perilium antosianin. Hasil degradasi antosianin selanjutnya akan menghasilkan senyawa alfa diketon yang berwarna cokelat (Satyatama, 2008). Nilai o hue pemanasan 70 o C selama 4 jam yaitu o o. Model minuman antosianin:brazilein (1:7) terjadi pergeseran warna menjadi warna merah kuning. Model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), dan (1:6) tetap berwarna merah pada akhir proses pemanasan (Tabel 9). Pergeseran warna dapat disebabkan jumlah brazilein yang ditambahkan pada model minuman tersebut lebih banyak dibandingkan model minuman lainnya. Pergeseran warna terjadi karena penumpukan hasil degradasi antosianin dan brazilein yang akan berpengaruh pada warna model minuman. Nilai o hue pemanasan 80 o C selama 2 jam sebesar o o. Pada suhu tersebut terjadi pergesaran warna menjadi merah kuning untuk model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), dan (1:7). Warna model minuman antosianin:brazilein (1:6) tetap berwarna merah. Warna model minuman pada awal dan akhir proses pemanasan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel

32 Tabel 6. Kisaran warna model minuman pemanasan 40 o C (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) Tabel 7. Kisaran warna model minuman pemanasan 50 o C Tabel 8. Kisaran warna model minuman pemanasan 60 o C (1:7) Suhu Waktu A ( o C) (menit) 0 M M M M M M 75 M M M M M M 150 M M M M M M M M M M M M 300 M M M M M M 375 M M M M M M 450 M M M M M M 525 M M M M M M 600 M M M M M M (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Suhu Waktu A ( o C) (menit) 0 M M M M M M 60 M M M M M M 120 M M M M M M 180 M M M M M M M M M M M M 300 M M M M M M 360 M M M M M M 420 M M M M M M 480 M M M M M M (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Suhu Waktu A ( o C) (menit) 0 M M M M M M 45 M M M M M M 90 M M M M M M 135 M M M M M M M M M M M M 225 M M M M M M 270 M M M M M M 315 M M M M M M 360 M M M M M M 59

33 Tabel 9. Kisaran warna model minuman pemanasan 70 o C (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Suhu Waktu A ( o C) (menit) 0 M M M M M M 30 M M M M M M 60 M M M M M M M M M M M M 120 M M M M M M 150 M M M M M M 180 M M M M M M 210 M M M M M M 240 M M M M M MK Tabel 10. Kisaran warna model minuman pemanasan 80 o C (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Suhu Waktu A ( o C) (menit) 0 M M M M M M 15 M M M M M M 30 M M M M M M 45 M M M M M M 60 M M M M M M M M M M M M 90 M M M M M M 105 M M M M M M 120 MK MK MK MK MK MK Keterangan M = Merah, MK = Merah Kuning Menurut (Markakis, 1982) menurunnya stabilitas warna antosianin karena pemanasan yang tinggi. Pemanasan yang tinggi berakibat dekomposisi antosianin dari bentuk aglikon menjadi kalkon dan akhirnya menjadi alfa diketon yang berwarna cokelat. Penampakan visual model minuman pada awal dan akhir proses pemanasan 40 o C, 50 o C, 60 o C, 70 o C, dan 80 o C dapat dilihat pada Gambar

34 A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (1) (2) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (3) (4) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (5) (6) Gambar 26. Penampakan visual model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), (1:6), dan (1:7) tanpa pemanasan (1) dan akhir proses pemanasan 40 o C (2), 50 o C (3), 60 o C (4), 70 o C (5), dan 80 o C (6) 61

35 D. STABILITAS MODEL MINUMAN TERHADAP SINAR UV Stabilitas model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianinbrazilein dipengaruhi oleh penyinaran dengan UV. Pengukuran stabilitas model minuman dilakukan selama 144 jam. Pengamatan intensitas warna dilakukan setiap 24 jam. Sebelum dilakukan penyinaran dengan UV, model minuman mengalami proses pasteurisasi. Pasteurisasi bertujuan membunuh mikroba yang yang sensitif terhadap panas, bakteri non spora, kapang, dan khamir (Fellow, 1992). Model minuman yang ditumbuhi mikroorganisme akan menyebabkan warna menjadi keruh. Warna yang keruh akan berpengaruh terhadap pengukuran warna. Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer dan chromameter. 1. Pengukuran dengan Spektrofotometer Pengamatan stabilitas model minuman dilakukan dengan pengukuran terhadap nilai retensi warna (At/Ao) dan nilai konstanta laju degradasi antosianin (k). Nilai retensi warna (At/Ao) akan semakin menurun dengan semakin lamanya waktu penyinaran. Pemudaran warna disebabkan diskolorisasi komplek sehingga terjadinya perubahan warna akibat terpapar sinar ultraviolet secara terus menerus (Jackman dan Smith, 1996). a. Nilai Retensi Warna Nilai retensi warna adalah perbandingan nilai absorbansi proses penyinaran pada waktu dan suhu tertentu (At) dengan nilai absorbansi sebelum penyinaran (Ao). Nilai retensi warna model minuman tiap suhu dapat terlihat pada Lampiran 8. Secara umum nilai retensi warna akan mengalami penurunan dengan semakin lama waktu penyinaran dengan UV (Gambar 27). Nilai retensi warna model minuman antosianin menurun sampai penyinaran 96 jam. Nilai retensi mengalami peningkatan 62

36 menjadi pada penyinaran selama 120 jam. Nilai retensi model minuman antosianin:brazilein (1:3) mengalami kenaikan menjadi pada penyinaran 72 jam. Penyinaran selama 144 jam nilai retensi warna turun menjadi Nilai retensi warna model minuman antosianin:brazilein (1:4) penyinaran selama 144 jam yaitu Nilai retensi warna model minuman antosianin:brazilein (1:4) lebih besar dibandingkan model minuman antosianin dan model minuman antosianin:brazilein (1:3). Nilai retensi model minuman antosianin:brazilein (1:5) penyinaran 96 jam dan 120 jam memiliki nilai yang sama yaitu Nilai retensi warna penyinaran dengan UV selama 144 yaitu Nilai retensi warna model minuman antosianin:brazilein (1:6) penyinaran dengan UV selama 144 jam yaitu Model minuman antosianin:brazilein (1:7) memiliki nilai retensi yang sama pada penyinaran selama 48 jam dan 72 jam yaitu Nilai retensi warna penyinaran selama 144 jam sebesar (Lampiran 8). At/Ao Waktu (jam) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Gambar 27. Grafik hubungan antara At/Ao (retensi warna) dengan waktu (jam) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein penyinaran UV b. Nilai k dan Waktu Paruh (t 1/2 ) Nilai k merupakan konstanta laju degradasi antosianin. Semakin tinggi nilai k maka laju degradasi antosianin akan meningkat. Nilai k diperoleh dengan menghubungkan antara ln retensi warna 63

37 (At/Ao) dengan waktu (jam) yang berlangsung secara linier (Gambar 28). Waktu paruh (t 1/2 ) adalah waktu pada saat suatu zat terurai menjadi setengah dari jumlah semula (Saeni, 1989). Semakin tinggi waktu paruh maka semakin lama antosianin mengalami degradasi akibat penyinaran UV. Waktu paruh berbanding terbalik dengan nilai k. Semakin tinggi nilai k maka waktu paruh akan semakin kecil. Ln (At/Ao) Waktu (jam) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Gambar 28. Grafik hubungan ln At/Ao (retensi warna) dengan waktu (jam) pada model minuman penyinaran UV Nilai konstanta laju degradasi antosianin penyinaran sinar UV sebesar 1.2x x10-3 jam -1 dengan nilai R 2 (koefisien determinasi) Waktu paruh (t 1/2 ) model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein yaitu jam. Sinar UV berpengaruh terhadap nilai konstanta laju degradasi antosianin. Menurut Rosso dan Mercadante (2007) nilai k model minuman antosianin acerola dengan penyimpanan ruang gelap sebesar 6x10-2 jam -1 sedangkan nilai k penyimpanan dengan terpapar cahaya sebesar 6.6x10-2 jam -1. Hal yang sama juga terlihat pada model minuman antosianin acai. Nilai k penyimpanan ruang gelap sebesar 7.3x10-4 jam -1. Nilai konstanta laju degradasi pada penyimpanan terpapar cahaya sebesar 1.3x10-3 jam

38 Tabel 11. Nilai k dan waktu paruh model minuman penyinaran dengan UV Model minuman Nilai k (jam -1 ) Waktu paruh (jam) Antosianin Antosianin:Brazilein (1:3) Antosianin:Brazilein (1:4) Antosianin:Brazilein (1:5) Antosianin:Brazilein (1:6) Antosianin:Brazilein (1:7) Pengamatan Chromameter Pengukuran dengan chromameter menggambarkan nilai L, a, b, E, dan o hue. Pengukuran warna dilakukan setiap 24 jam selama 144 jam. Nilai L akan meningkat dengan bertambahnya waktu penyinaran, nilai a mengalami penurunan, nilai b memiliki beberapa kecenderungan, E semakin meningkat, dan nilai o hue meningkat. a. Nilai L Nilai L (lightness) secara umum meningkat dengan lamanya waktu penyinaran dengan UV (Gambar 29). Nilai L model minuman tanpa penyinaran Nilai L model minuman antosianin tanpa penyinaran adalah Penyinaran selama 144 jam akan menyebabkan nilai L meningkat menjadi (Lampiran 9). Nilai L model minuman antosianin:brazilein (1:3) mengalami penurunan pada penyinaran 72 jam yaitu tetapi pada penyinaran selanjutnya nilai L kembali mengalami peningkatan. Nilai L model minuman antosianin:brazilein (1:4) sebelum penyinaran Nilai L menurun menjadi selama penyinaran 72 jam. Pada akhir proses penyinaran nilai L meningkat menjadi (Lampiran 9). Nilai L model minuman antosianin:brazilein (1:5) pada penyinaran selama 120 jam sebesar dan mengalami penurunan pada penyinaran selama 144 jam yaitu sebesar Nilai L model 65

39 minuman antosianin:brazilein (1:6) sebelum penyinaran sebesar Setelah mengalami penyinaran 24 jam nilai L turun menjadi Nilai L penyinaran selama 48 jam mengalami peningkatan menjadi Model minuman antosianin:brazilein (1:7) dengan nilai L tanpa penyinaran yaitu Nilai L pada penyinaran 24 jam, 48 jam, dan 72 jam menurun menjadi 51.84, 52.94, dan Nilai L penyinaran dengan UV selama 144 jam mengalami peningkatan menjadi (Lampiran 9). Nilai L Gambar 29. Grafik hubungan antara nilai L (lightness) dengan waktu (jam) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein penyinaran UV Secara umum penambahan brazilein tidak berpengaruh terhadap nilai L. Peranan brazilein sebagai kopigmen tidak bisa meningkatkan stabilitas nilai L. Hal ini dikarenakan brazilein merupakan pigmen alami yang mudah mengalami degradasi akibat pengaruh sinar UV Waktu (jam) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Menurut Satyatama (2008) penambahan asam felurat dan asam galat dapat mempertahankan stabilitas warna ekstrak antosianin buah duwet selama 7 hari. Nilai L ekstrak antosianin, antosianin+asam felurik, dan antosianin+asam galat sebesar 64.59, 56.11, dan

40 b. Nilai a Nilai a menggambarkan derajat warna merah. Secara umum nilai a mengalami penurunan dengan semakin lamanya penyinaran UV(Gambar 30). Penyinaran dengan UV dapat menurunkan intensitas warna model minuman. Nilai a model minuman sebelum penyinaran setelah penyinaran selama 144 jam menurun menjadi Nilai a model minuman antosianin mengalami penurunan dari menjadi Nilai a penyinaran dengan UV selama 144 jam meningkat dibandingkan penyinaran selama 120 jam yaitu Nilai a model minuman antosianin:brazilein (1:3) mengalami penurunan menjadi Nilai a mengalami peningkatan dari menjadi pada penyinaran selama 72 jam (Lampiran 9). Nilai a model minuman antosinin:brazilein (1:4) sebelum mengalami penyinaran yaitu Nilai a terendah pada penyinaran selama 120 jam yaitu Nilai a penyinaran selama 144 jam meningkat dibandingkan dengan penyinaran 120 jam. Nilai a pada penyinaran selama 144 jam yaitu Hal yang sama juga terlihat pada model minuman antosianin:brazilein (1:5), nilai a sebelum penyinaran sebesar kemudian menurun pada penyinaran 120 jam yaitu Sedangkan pada akhir proses penyinaran nilai a mengalami kenaikan menjadi (Lampiran 9). Nilai a model minuman antosianin:braziein (1:6) sebelum penyinaran yaitu Nilai a penyinaran selama 24 jam meningkat menjadi Nilai a menurun menjadi selama penyinaran 144 jam. Sedangkan model minuman antosianin:brazilein (1:7) selama penyinaran jam memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan model minuman sebelum mengalami penyinaran. Nilai a model minuman sebelum penyinaran yaitu Setelah penyinaran selama 24 jam, 48 jam, dan 72 jam menjadi 19.65, 18.05, dan

41 Penurunan nilai a terbesar pada model minuman antosianin:brazilein (1:7) selama 144 jam yaitu 9.71 (Lampiran 9). Penambahan brazilein tidak berpengaruh besar terhadap penurunan nilai a. Hal ini disebabakan brazilein merupakan pigmen alami yang mempunyai kelemahan dalam hal stabilitas. Penurunan nilai a diakibatkan penumpukan hasil degradasi antosianin dan brazilein yang berpengaruh terhadap warna yang dihasilkan. Nilai derajat warna merah menurun diakibatkan peningkatan kecepatan reaksi fotokimia yang menimbulkan transformasi structural. Kation flavinium yang berwarna merah menjadi kalkon yang tidak berwarna (Brouillard, 1994). Nilai a Gambar 30. Grafik hubungan antara nilai a (derajat merah) dengan waktu (jam) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein penyinaran UV c. Nilai b Waktu (jam) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Nilai b (derajat kuning) model minuman memiliki pola yang berbeda pada masing-masing model minuman. Nilai b model minuman sebelum mengalami penyinaran UV yaitu Model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), dan (1:4) mengalami peningkatan nilai b dengan penyinaran selama 144 jam. Nilai b model minuman tersebut tanpa penyinaran adalah 17.84, 16.47, dan Nilai b kemudian meningkat menjadi 18.01, 20.52, dan setelah penyinaran selama 144 jam. Nilai b model minuman antosianin:brazilein (1:5), (1:6), dan 68

42 (1:7) mengalami penurunan dengan semakin lamanya waktu penyinaran. Nilai b model minuman antosianin:brazilein (1:5) menurun menjadi Sedangkan nilai b model minuman antosianin:brazilein (1:6) dan (1:7) mengalami penurunan menjadi dan Nilai b Gambar 31. Grafik hubungan antara nilai b (derajat kuning) dengan waktu (jam) model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein penyinaran UV d. Nilai E Waktu (jam) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (Gambar 32). Nilai E penyinaran dengan UV selama 144 jam yaitu (Lampiran 9). Nilai E model minuman antosianin mengalami peningkatan selama proses penyinaran sinar UV 120 jam. Sedangkan setelah penyinaran selama 144 jam, nilai E mengalami penurunan menjadi Nilai E model minuman antosianin:brazilein (1:3) selama penyinaran 72 jam sebesar Nilai E penyinaran selama 96 jam menurun menjadi Sedangkan penyinaran UV selama 144 jam, nilai E mengalami peningkatan menjadi 7.55 (Lampiran 9). Model minuman antosianin:brazilein (1:4) mempunyai pola yang sama dengan model minuman antosianin. Nilai E mengalami peningkatan selama penyinaran selama 120 jam dan mengalami penurunan menjadi selama penyinaran 144 jam. Nilai E model minuman antosianin:brazilein (1:5) menurun pada penyinaran selama 69

43 48 jam yaitu Nilai E akan meningkat menjadi selama penyinaran 120 jam. Model minuman pada penyinaran selama 144 jam kembali mengalami penurunan menjadi (Lampiran 9). Secara umum nilai E model minuman antosianin:brazilein (1:6) mengalami peningkatan selama penyinaran selama 144 jam. Nilai E mengalami penurunan menjadi 3.77 pada penyinaran selama 48 jam. Nilai E model minuman meningkat menjadi 9.45 selama penyinaran 144 jam. Model minuman antosianin:brazilein (1:7) mulai mengalami mengalami peningkatan pada penyinaran jam dengan nilai E (Lampiran 9) E Gambar 32. Grafik hubungan nilai E (perubahan warna keseluruhan) dengan waktu (jam) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein penyinaran UV e. Nilai o hue Waktu (jam) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Nilai o hue model minuman tanpa penyinaran yaitu o o. Nilai o hue merupakan kisaran warna merah. Nilai o hue pada penyinaran selama 144 yaitu o o. Semua model minuman mengalami pergeseran warna menjadi merah-kuning pada penyinaran selama 144 jam (Gambar 33). Model minuman antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), dan (1:6) mengalami pergeseran warna menjadi merah-kuning selama penyinaran 120 jam. Model minuman antosianin:brazilein (1:7) mengalami pergeseran warna menjadi merah kuning selama penyinaran 72 jam. 70

44 Tabel 12. Kisaran warna model minuman penyinaran dengan UV (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Waktu A (jam) 0 M M M M M M 24 M M M M M M 48 M M M M M M 72 M M M M M MK 96 M M M M M MK 120 M MK MK MK MK MK 144 MK MK MK MK MK MK Keterangan M=Merah, MK = Merah Kuning Pergeseran warna pada model minuman terjadi karena brazilein sebagai kopigmen tidak bisa bertahan dengan penyinaran UV. Perubahan warna lebih cepat terjadi pada model minuman antosianinbrazilein dibandingkan model minuman antosianin karena terjadi degradasi brazilein dan antosianin yang berpengaruh pada warna model minuman. Penampakan visual model minuman pada awal dan akhir proses penyinaran UV dapat terlihat pada Gambar 33. A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) A (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) (1) (2) Gambar 33. Penampakan visual model minuman antosianin, antosianin: brazilein (1:3), (1:4), (1:5), (1:6), dan (1:7) tanpa penyinaran UV (1) dan penyinaran UV selama 144 jam (2) 71

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN III. METODELOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan adalah kelopak kering bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang berasal dari petani di Dramaga dan kayu secang (Caesalpinia

Lebih terperinci

Gambar 6. Kerangka penelitian

Gambar 6. Kerangka penelitian III. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah kayu secang (Caesalpinia sappan L) yang dibeli dari toko obat tradisional pasar Bogor sebagai sumber pigmen brazilein dan sinapic

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Marshmallow merupakan salah satu produk aerated confectionary yang dalam pembuatannya ada pemerangkapan udara sehingga menghasilkan tekstur yang lembut dan ringan. Marshmallow

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang 20 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang Analisis Pati dan Karbohidrat), Laboratorium Pengolahan Limbah Hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak ditemukannya zat pewarna sintetik serta terbatasnya jumlah dan mutu zat

I. PENDAHULUAN. Sejak ditemukannya zat pewarna sintetik serta terbatasnya jumlah dan mutu zat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sejak ditemukannya zat pewarna sintetik serta terbatasnya jumlah dan mutu zat pewarna alami, penggunaan pigmen sebagai zat warna alami semakin menurun (Samun,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan. Menurut Jettanapornsumran (2009), warna menjadi salah satu

I. PENDAHULUAN. pangan. Menurut Jettanapornsumran (2009), warna menjadi salah satu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Warna merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan mutu suatu produk pangan. Menurut Jettanapornsumran (2009), warna menjadi salah satu karakteristik

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan dan Maksud Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, 22 III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Laboratorium Pengolahan Limbah Hasil Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penggunaan pewarna makanan yang bersumber dari bahan alami sudah sejak lama

I. PENDAHULUAN. Penggunaan pewarna makanan yang bersumber dari bahan alami sudah sejak lama 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan pewarna makanan yang bersumber dari bahan alami sudah sejak lama digunakan, namun dengan ditemukannya pewarna sintetik yang relatif mudah diproduksi dan memiliki

Lebih terperinci

III METODOLOGI PENELITIAN

III METODOLOGI PENELITIAN III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah duwet yang diperoleh dari Jember Jawa Timur. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah etanol, aquadest,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sehingga memberikan kesegaran bagi konsumen. Warna yang beraneka macam

I. PENDAHULUAN. sehingga memberikan kesegaran bagi konsumen. Warna yang beraneka macam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Es lilin merupakan suatu produk minuman yang banyak disukai anak-anak hingga dewasa. Hal ini dikarenakan es lilin memiliki rasa yang manis dan dingin sehingga memberikan

Lebih terperinci

LAMPIRAN A DATA PENELITIAN DAN HASIL PERHITUNGAN

LAMPIRAN A DATA PENELITIAN DAN HASIL PERHITUNGAN LAMPIRAN A DATA PENELITIAN DAN HASIL PERHITUNGAN A.1 DATA PENELITIAN PENDAHULUAN Tabel A.1 Data Panjang Gelombang Antosianin Perlakuan Panjang Gelombang Dipotong kecil-kecil 512 Diblender 514,5 Tabel A.2

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang Analisis Pati dan Karbohidrat), Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Warna Larutan Fikosianin Warna Larutan secara Visual

4. PEMBAHASAN 4.1. Warna Larutan Fikosianin Warna Larutan secara Visual 4. PEMBAHASAN Pada penelitian ini, dilakukan ekstraksi fikosianin dari spirulina yang digunakan sebagai pewarna alami pada minuman. Fikosianin ini memberikan warna biru alami, sehingga tidak memberikan

Lebih terperinci

LAMPIRAN A DATA PENELITIAN DAN HASIL PERHITUNGAN

LAMPIRAN A DATA PENELITIAN DAN HASIL PERHITUNGAN LAMPIRAN A DATA PENELITIAN DAN HASIL PERHITUNGAN A.1 DATA PENELITIAN PENDAHULUAN Tabel A.1 Data Panjang Gelombang Antosianin Perlakuan Panjang Gelombang Dipotong kecil-kecil 506 Diblender 507,5 Tabel A.2

Lebih terperinci

METODOLOGI. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

METODOLOGI. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian 18 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium PT. Hale International dan Laboratorium Analisis Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB.Penelitian dilakukan mulai bulan Januari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA

PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA SKRIPSI PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) DENGAN BRAZILEIN DARI KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L.) TERHADAP STABILITAS WARNA PADA MODEL MINUMAN RINGAN

Lebih terperinci

EKSTRAKSI ZAT WARNA ALAMI DARI KULIT MANGGIS SERTA UJI STABILITASNYA

EKSTRAKSI ZAT WARNA ALAMI DARI KULIT MANGGIS SERTA UJI STABILITASNYA 1 EKSTRAKSI ZAT WARNA ALAMI DARI KULIT MANGGIS SERTA UJI STABILITASNYA Niken Dian Saraswati ( L2C607038 ) dan Suci Epri Astutik ( L2C607054 ) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa dan tekstur. Selama proses pengolahan pangan warna suatu bahan

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa dan tekstur. Selama proses pengolahan pangan warna suatu bahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Warna memainkan peranan penting dalam persepsi dan penerimaan konsumen terhadap makanan. Burrows (2009) menyebutkan bahwa warna menjadi faktor kualitas utama dan paling

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ekstraksi dan karakterisasi pewarna daun erpa Penilaian terhadap karakter pewarna erpa dilakukan dengan melihat kepekatan pewarna secara visual, semakin sedikit jumlah air

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Riau dan di Laboratorium Patologi, Entimologi

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Riau dan di Laboratorium Patologi, Entimologi 30 BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan di laboratorium Kimia Terpadu Universitas Muhammadiyah Riau dan di Laboratorium Patologi, Entimologi dan Mikrobiologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi 2 dikeringkan pada suhu 105 C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembelajaran IPA disekolah menengah, khususnya materi asam basa, indikator ph atau indikator asam basa diperlukan pada praktikum untuk mengetahui ph suatu

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut 4. PEMBAHASAN Pembuatan minuman serbuk daun katuk dan jambu biji merah merupakan sebuah penelitian pengembangan produk yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai fungsional pada bahan alami dengan lebih mudah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kentang merah dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kentang merah dan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Tepung Kentang Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kentang merah dan kentang. Pembuatan tepung kentang dilakukan dengan tiga cara yaitu tanpa pengukusan,

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING (TAHUN II)

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING (TAHUN II) Bidang Ilmu : PERTANIAN LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING (TAHUN II) PEMBUATAN SEDIAAN PEWARNA ALAMI PANGAN BERBASIS ANTOSIANIN DARI BUAH DUWET (Syzigium cumini) Peneliti Dr. PUSPITA SARI, STP, MAgr (Utama)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui

Lebih terperinci

5. PERBAIKAN INTENSITAS DAN STABILITAS WARNA ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) SECARA KOPIGMENTASI INTERMOLEKULAR

5. PERBAIKAN INTENSITAS DAN STABILITAS WARNA ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) SECARA KOPIGMENTASI INTERMOLEKULAR 5. PERBAIKAN INTENSITAS DAN STABILITAS WARNA ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) SECARA KOPIGMENTASI INTERMOLEKULAR PENDAHULUAN Antosianin buah duwet berpotensi digunakan sebagai pewarna alami untuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

Pengaruh Boraks, Asam dan Basa Terhadap Pergeseran Panjang Gelombang Ekstrak Air Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.)

Pengaruh Boraks, Asam dan Basa Terhadap Pergeseran Panjang Gelombang Ekstrak Air Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) Jurnal Gradien Vol. 12 No. 2 Juli 2016: 1187-1191 Pengaruh Boraks, Asam dan Basa Terhadap Pergeseran Panjang Gelombang Ekstrak Air Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) Dwita Oktiarni *, Siti Nur Khasanah,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Juli 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material, dan Laboratorium

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR DAN RASIO UMPAN TERHADAP PELARUT DALAM EKSTRAKSI ZAT WARNA DARI BAYAM MERAH

PENGARUH TEMPERATUR DAN RASIO UMPAN TERHADAP PELARUT DALAM EKSTRAKSI ZAT WARNA DARI BAYAM MERAH PENGARUH TEMPERATUR DAN RASIO UMPAN TERHADAP PELARUT DALAM EKSTRAKSI ZAT WARNA DARI BAYAM MERAH Yakobus Kristianto, Ariestya Arlene.A, ST., M.T., Anastasia Prima. K, S.Si., M.T. Jurnal Teknik Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

4. STABILITAS ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) DALAM MINUMAN MODEL

4. STABILITAS ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) DALAM MINUMAN MODEL 4. STABILITAS ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) DALAM MINUMAN MODEL PENDAHULUAN Antosianin telah digunakan secara luas sebagai pewarna alami untuk pangan (Mateus & Freitas, 2009). Problem utama dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Determinasi Tanaman Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing sebesar ton dan hektar. Selama lima

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing sebesar ton dan hektar. Selama lima BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ubi jalar merupakan salah satu komoditas tanaman pangan sumber karbohidrat di Indonesia. Berdasarkan data statistik, produktivitas ubi jalar pada tahun 2015 mencapai

Lebih terperinci

4.PEMBAHASAN. dimana kondisi bahan bagian dalam belum kering walaupun bagian luarnya telah kering (Endrasari et al., 2010).

4.PEMBAHASAN. dimana kondisi bahan bagian dalam belum kering walaupun bagian luarnya telah kering (Endrasari et al., 2010). 4.PEMBAHASAN 4.1. Proses Pengeringan Lempuyang dengan Solar Tunnel Dryer Pada penelitian ini, metode pengeringan dilakukan menggunakan solar tunnel dryer (STD) yang memanfaatkan tenaga solar (matahari)

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi Minuman Sari Buah Duwet Tahap pertama dari penelitian ini adalah pembuatan minuman sari buah dengan bahan dasar buah duwet. Pembuatan minuman sari buah dilakukan berdasarkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI PRODUK Karakteristik produk diketahui dengan melakukan analisis proksimat terhadap produk teh hijau. Analisis proksimat yang dilakukan adalah kadar air, kadar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Jelly drink rosela-sirsak dibuat dari beberapa bahan, yaitu ekstrak rosela, ekstrak sirsak, gula pasir, karagenan, dan air. Tekstur yang diinginkan pada jelly drink adalah mantap

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

PENGARUH KEASAMAN TERHADAP STABILITAS PIGMEN CENGKODOK (Melastoma malabathricum), KAYU SECANG (Caesalpinia sappan Linn.) SERTA CAMPURAN KEDUANYA

PENGARUH KEASAMAN TERHADAP STABILITAS PIGMEN CENGKODOK (Melastoma malabathricum), KAYU SECANG (Caesalpinia sappan Linn.) SERTA CAMPURAN KEDUANYA PENGARUH KEASAMAN TERHADAP STABILITAS PIGMEN CENGKODOK (Melastoma malabathricum), KAYU SECANG (Caesalpinia sappan Linn.) SERTA CAMPURAN KEDUANYA Siti Fatimah 1 *, Andi Hairil Alimudin 1, Afghani Jayuska

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan Juli 2010 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA

Lebih terperinci

Tabel 2. Kadar Air Minuman Serbuk Effervescent Buah Duwet

Tabel 2. Kadar Air Minuman Serbuk Effervescent Buah Duwet BAB IV HASIL & PEMBAHASAN 3.1 Kelarutan Serbuk Minuman Effervescent Buah Duwet (Syzygium cumini) Pengukuran kelarutan dilakukan untuk menentukan seberapa lama waktu yang diperlukan oleh minuman serbuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikator asam basa adalah suatu bahan yang dapat mengidentifikasi sifat asam dan basa suatu larutan. Apabila suatu bahan indikator diujikan terhadap larutan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) atau disebut juga Tamarillo

II. TINJAUAN PUSTAKA. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) atau disebut juga Tamarillo II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) atau disebut juga Tamarillo merupakan tanaman jenis terung-terungan yang berasal dari family

Lebih terperinci

Fotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman

Fotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman Fotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman Kasma Rusdi (G11113006) Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2014 Abstrak Warna hijau pada daun merupakan salah

Lebih terperinci

Indo. J. Chem. Sci. 2 (2) (2013) Indonesian Journal of Chemical Science

Indo. J. Chem. Sci. 2 (2) (2013) Indonesian Journal of Chemical Science Indo. J. Chem. Sci. 2 (2) (2013) Indonesian Journal of Chemical Science http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ijcs PENGARUH ASAM ORGANIK DALAM EKSTRAKSI ZAT WARNA KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana)

Lebih terperinci

ABSTRAK HIBAH KOMPETENSI

ABSTRAK HIBAH KOMPETENSI ABSTRAK HIBAH KOMPETENSI PENGEMBANGAN SENYAWA ANTOSIANIN DARI BUAH DUWET SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL DAN NUTRASEUTIKAL YANG MEMILIKI KEMAMPUAN ANTIOKSIDATIF, HIPOKOLESTEROLEMIK, DAN HIPOGLIKEMIK Tahun ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indikator asam basa sangat diperlukan dalam proses pembelajaran IPA di sekolah menengah, terutama untuk menunjang penguasaan konsep pada materi-materi tertentu. Salah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel Zat warna sebagai bahan tambahan dalam kosmetika dekoratif berada dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Paye dkk (2006) menyebutkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikator ph sangat penting keberadaannya karena digunakan untuk menguji dan mengetahui hasil yang berupa derajat keasaman ataupun kebasaan suatu zat. Hingga

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG

Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG Secang atau Caesalpinia sappan L merupakan tanaman semak atau pohon rendah dengan ketinggian 5-10 m. Tanaman ini termasuk famili Leguminoceae dan diketahui

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri pangan karena mempunyai banyak kelebihan, diantaranya adalah proses

BAB I PENDAHULUAN. industri pangan karena mempunyai banyak kelebihan, diantaranya adalah proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, zat pewarna sintetik lebih banyak beredar dan dipakai oleh industri pangan karena mempunyai banyak kelebihan, diantaranya adalah proses produksinya lebih

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada 17-20 Juni 2013 di Laboratorium Uji Mineral 1 Politeknik Kampar. B. Alat dan Bahan 1. Alat Alat yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret sampai Bulan Juni 2013. Pengujian aktivitas antioksidan, kadar vitamin C, dan kadar betakaroten buah pepaya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis. 33 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi TiO2 Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis. TiO2 dapat ditemukan sebagai rutile dan anatase yang mempunyai fotoreaktivitas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS BAHAN BAKU Analisis bahan baku bertujuan untuk mengetahui karakteristik bahan baku yang digunakan pada penelitian utama. Parameter yang digunakan untuk analisis mutu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lainnya. Secara visual, faktor warna berkaitan erat dengan penerimaan suatu

I. PENDAHULUAN. lainnya. Secara visual, faktor warna berkaitan erat dengan penerimaan suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu suatu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor di antaranya cita rasa, warna, tekstur, nilai gizi, dan faktor lainnya. Secara visual, faktor

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Tanaman rosela (Jauhari, 2007) : Spermatophyta. : Dicotyledonae. : Malvaceae. : Hibiscus sabdariffa L

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Tanaman rosela (Jauhari, 2007) : Spermatophyta. : Dicotyledonae. : Malvaceae. : Hibiscus sabdariffa L II. TINJAUAN PUSTAKA A. ROSELA (ibiscus sabdariffa L. ) Gambar 1. Tanaman rosela (Jauhari, 2007) Divisi Sub Divisi Kelas Bangsa Suku Marga Jenis : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonae : Malvales

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

TUGAS ANALISIS FARMASI ANALISIS OBAT DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

TUGAS ANALISIS FARMASI ANALISIS OBAT DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS TUGAS ANALISIS FARMASI ANALISIS OBAT DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS OLEH NAMA : RAHMAD SUTRISNA STAMBUK : F1F1 11 048 KELAS : FARMASI A JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kalibrasi Termokopel

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kalibrasi Termokopel V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN. Kalibrasi Termokopel Pada tahap awal penelitian dilakukan kalibrasi terhadap termokopel yang akan digunakan. Kalibrasi termokopel bertujuan untuk menguji

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Padatan TiO 2 Amorf Proses sintesis padatan TiO 2 amorf ini dimulai dengan melarutkan titanium isopropoksida (TTIP) ke dalam pelarut etanol. Pelarut etanol yang digunakan

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Analisis Kimia.1.1 Kadar Air Hasil analisis regresi dan korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah dekstrin yang ditambahkan pada

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN y = x R 2 = Absorban

HASIL DAN PEMBAHASAN y = x R 2 = Absorban 5 Kulit kacang tanah yang telah dihaluskan ditambahkan asam sulfat pekat 97%, lalu dipanaskan pada suhu 16 C selama 36 jam. Setelah itu, dibilas dengan air destilata untuk menghilangkan kelebihan asam.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikator asam basa adalah zat yang warnanya bergantung pada ph larutan atau zat yang dapat menunjukkan sifat asam, basa, dan netral pada suatu larutan (Salirawati,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji aktivitas antioksidan pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji aktivitas antioksidan pada 28 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji aktivitas antioksidan pada ektrak etanol jamur tiram dan kulit rambutan yang ditunjukkan dengan nilai IC 50 serta untuk mengetahui

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Secara garis besar, penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama yaitu penentuan spektrum absorpsi dan pembuatan kurva kalibrasi dari larutan zat warna RB red F3B. Tahap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pepaya Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko dan Amerika Selatan, kemudian menyebar ke berbagai negara tropis, termasuk Indonesia sekitar

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Jurusan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Jurusan 29 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung, Laboratorium Jasa

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa, dan (7) Waktu

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 25 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Ekstraksi simplisia segar buah duku dilakukan dengan cara dingin yaitu maserasi karena belum ada data tentang kestabilan komponen ekstrak buah duku terhadap panas.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2013 sampai Agustus 2013 di Laboratoium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium Instrumen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan bulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan bulan III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan bulan Februari 2012, bertempat di Laboratorium Pengawasan Mutu Hasil Pertanian Jurusan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Evaluasi Krim Hasil evaluasi krim diperoleh sifat krim yang lembut, mudah menyebar, membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat dioleskan pada

Lebih terperinci

EKSTRAKSI PIGMEN ANTOSIANIN DARI KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus)

EKSTRAKSI PIGMEN ANTOSIANIN DARI KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 3, No. (Juni 4) EKSTRAKSI PIGMEN ANTOSIANIN DARI KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) Lidya Simanjuntak, Chairina Sinaga, Fatimah Departemen Teknik Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II PERCOBAAN IV PENENTUAN KOMPOSISI ION KOMPLEKS

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II PERCOBAAN IV PENENTUAN KOMPOSISI ION KOMPLEKS LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II PERCOBAAN IV PENENTUAN KOMPOSISI ION KOMPLEKS DISUSUN OLEH : NAMA : FEBRINA SULISTYORINI NIM : 09/281447/PA/12402 KELOMPOK : 3 (TIGA) JURUSAN : KIMIA FAKULTAS/PRODI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Ilustrasi hukum Lambert Beer (Sabrina 2012) Absorbsi sinar oleh larutan mengikuti hukum lambert Beer, yaitu:

PENDAHULUAN. Gambar 1 Ilustrasi hukum Lambert Beer (Sabrina 2012) Absorbsi sinar oleh larutan mengikuti hukum lambert Beer, yaitu: PENDAHULUAN Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorbans suatu sampel yang dinyatakan sebagai fungsi panjang gelombang. Absorbsi radiasi oleh suatu sampel diukur pada berbagai

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG 49 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kandungan Klorofil Pada Ekstrak Sebelum Pengeringan dan Bubuk Klorofil Terenkapsulasi Setelah Pengeringan Perhitungan kandungan klorofil pada ekstrak sebelum pengeringan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Daging Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Daging Sapi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Daging Sapi Hasil penelitian pengaruh berbagai konsentrasi sari kulit buah naga merah sebagai perendam daging sapi terhadap total bakteri

Lebih terperinci

PENENTUAN KADAR GULA METODE NELSON-SOMOGYI. Kelompok 8 Dini Rohmawati Nafisah Amira Nahnu Aslamia Yunus Septiawan

PENENTUAN KADAR GULA METODE NELSON-SOMOGYI. Kelompok 8 Dini Rohmawati Nafisah Amira Nahnu Aslamia Yunus Septiawan PENENTUAN KADAR GULA METODE NELSON-SOMOGYI Kelompok 8 Dini Rohmawati Nafisah Amira Nahnu Aslamia Yunus Septiawan Latar Belakang Tujuan: Menentukan kadar gula pereduksi dalam bahan pangan Prinsip: Berdasarkan

Lebih terperinci

APLIKASI EKSTRAK PIGMEN DARI BUAH ARBEN (Rubus idaeus (Linn.)) PADA MINUMAN RINGAN DAN KESTABILANNYA SELAMA PENYIMPANAN

APLIKASI EKSTRAK PIGMEN DARI BUAH ARBEN (Rubus idaeus (Linn.)) PADA MINUMAN RINGAN DAN KESTABILANNYA SELAMA PENYIMPANAN APLIKASI EKSTRAK PIGMEN DARI BUAH ARBEN (Rubus idaeus (Linn.)) PADA MINUMAN RINGAN DAN KESTABILANNYA SELAMA PENYIMPANAN Application of Red Raspberry s (Rubus idaeus (Linn.)) Extract Pigment In Softdrink

Lebih terperinci

PENENTUAN RUMUS ION KOMPLEKS BESI DENGAN ASAM SALISILAT

PENENTUAN RUMUS ION KOMPLEKS BESI DENGAN ASAM SALISILAT PENENTUAN RUMUS ION KOMPLEKS BESI DENGAN ASAM SALISILAT Desi Eka Martuti, Suci Amalsari, Siti Nurul Handini., Nurul Aini Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jenderal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi, diantaranya mengandung vitamin C, vitamin A, sejumlah serat dan

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi, diantaranya mengandung vitamin C, vitamin A, sejumlah serat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah pisang merupakan buah yang sering dikonsumsi oleh masyarakat dibandingkan dengan buah yang lain. Buah pisang memiliki kandungan gizi yang tinggi, diantaranya mengandung

Lebih terperinci