PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA"

Transkripsi

1 SKRIPSI PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) DENGAN BRAZILEIN DARI KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L.) TERHADAP STABILITAS WARNA PADA MODEL MINUMAN RINGAN I PUTU GEDE ARYA DHARMAWAN F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) DENGAN BRAZILEIN DARI KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L.) TERHADAP STABILITAS WARNA PADA MODEL MINUMAN RINGAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: I PUTU GEDE ARYA DHARMAWAN F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

3 I Putu Gede Arya Dharmawan. F Pengaruh Kopigmentasi Pewarna Alami Antosianin dari Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan Brazilein dari Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) terhadap Stabilitas Warna pada Model Minuman Ringan. Di bawah bimbingan Tien R. Muchtadi dan Dede R. Adawiyah. 29. RINGKASAN Pewarna memegang peranan penting dalam meningkatkan daya tarik suatu produk pangan. Penggunaan pewarna sintetis sering kali menimbulkan masalah kesehatan. Keadaan ini menimbulkan keinginan orang-orang untuk kemabli menggunakan pewarna alami yang relatif aman. Pewarna alami yang potensial dikembangkan adalah antosianin dan brazilein. Kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan sumber pigmen antosianin yang cukup potensial. Menurut (Rayner, 1993) antosianin stabil pada ph 2-5, sehingga aplikasi antosianin sebagai pewarna makanan dan minuman baik digunakan pada ph rendah. Pigmen brazilein merupakan pigmen yang berasal dari kayu secang (Caesalpinia sappan L.). Brazilein merupakan hasil oksidasi dari brazilin. Menurut Adawiyah et al. (28) pigmen brazilein dari kayu secang memiliki kestabilan warna merah pada ph netral 6-7. Warna merah dari antosianin sangat mudah mengalami degradasi. Kestabilan warna merah dari antosianin dapat dipertahankan dengan kopigmentasi. Kopigmentasi merupakan suatu fenomena yang menyebabkan warna pigmen antosianin menjadi lebih merah, lebih terang, dan lebih stabil. Pada penelitian ini digunakan brazilein sebagai senyawa kopigmen. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh kopigmentasi pewarna alami antosianin dari rosela dengan brazilein dari kayu secang terhadap kualitas dan stabilitas warna merah pada model minuman ringan. Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap meliputi persiapan sampel, pembuatan model minuman ringan, dan pengujian stabilitas warna model minuman ringan terhadap suhu dan sinar UV. Ekstraksi antosianin dari rosela menggunakan pelarut aquades. Ekstrak yang dihasilkan berwarna merah keunguan. Rendemen ekstrak sebesar 3.84%. Total padatan terlarut ekstrak padat sebesar 72.26% dan ekstrak cair sebesar 22.43%. Total antosianin ekstrak padat sebesar mg/g dan ekstrak cair sebesar mg/ml. Nilai o hue ekstrak o dengan kisaran warna ekstrak merah ungu dengan ph ekstrak yaitu Ekstraksi brazilein dari kayu secang menggunakan pelarut etanol 5%. Ekstrak diperoleh dengan warna merah kecoklatan. Rendemen ekstrak yang didapat sebesar 8.15% (b/b). Kadar air ekstrak yaitu 8.33% (bb) atau 9.9% (bk), total brazilein sebesar.5919 mg/mg ekstrak, dan ph ketika dilarutkan ke dalam aquades Nilai o hue ekstrak sebesar o dengan kisaran warna ekstrak merah Konsentrasi antosianin yang ditambahkan dalam model minuman adalah 5.82x1-5 M. Model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein dibuat dengan perbandingan molar. Perbandingan molar antara antosianin dan brazilein yaitu 1:3, 1:4, 1:5, 1:6, dan 1:7.

4 Model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein dilakukan pengujian terhadap stabilitas proses pemanasan dan penyinaran dengan UV. Stabilitas suhu pemanasan meliputi 4 o C, 5 o C, 6 o C, 7 o C, dan 8 o C. Pengukuran absorbansi dilakukan λ 52 nm untuk model minuman antosianin dan 515 nm untuk model minuman kopigmentasi antosianin-brazilein. Pengukuran warna dengan chromameter CR 31 untuk melihat nilai L, a, b, E, dan o hue. Pengukuran dengan spektrofotometer menunjukkan semakin meningkatnya suhu dan waktu pemanasan maka nilai retensi warna semakin menurun sedangkan nilai k semakin meningkat. Model minuman antosianin:brazilein (1:6) memiliki nilai retensi warna yang paling besar dibandingkan dengan formula lainnya. Nilai retensi warna pemanasan 8 o C selama 2 jam memiliki nilai terendah yaitu Nilai konstanta laju degradasi antosianin (k) model minuman adalah 7.x x1-3 menit -1 memberikan nilai R Nilai energi aktivasi model minuman yaitu kj/mol. Model minuman antosianin:brazilein (1:6) memiliki nilai enegi aktivasi paling baik dibandingkan model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), dan (1:7). Pengukuran menggunakan chromameter menunjukkan dengan semakin meningkatnya suhu dan waktu pemanasan maka nilai L akan meningkat, a akan menurun, E akan semakin meningkat, o hue juga semakin meningkat sedangkan nilai b memiliki beberapa kecenderungan bergantung suhu dan model minuman. Nilai L, a, dan E terendah pada model minuman antosianin:brazilein (1:6). Nilai o hue model minuman pada suhu 4 o C, 5 o C, dan 6 o C tidak menyebabkan pergeseran warna pada akhir proses pemanasan. Nilai o hue pemanasan 7 o C selama 4 jam warna menyebabkan pergeseran warna menjadi merah kuning pada model minuman antosianin:brazilein (1:7). Pemanasan 8 o C selama 2 jam mengalami pergesaran warna menjadi warna merah kuning untuk semua model minuman kecuali model minuman antosianin:brazilein (1:6). Nilai retensi warna model minuman dengan penyinaran sinar UV adalah Nilai terendah pada model minuman antosianin dan tertinggi pada model minuman antosianin:brazilein (1:5). Nilai konstanta laju degradasi antosianin (k) pada penyinaran sinar UV sebesar 1.2x x1-3 jam -1 memberikan nilai R 2 (koefisien determinasi) Nilai waktu paruh model minuman sebesar jam. Pengukuran menggunakan chromameter menunjukkan dengan semakin lamanya waktu penyinaran nilai L, E, dan o hue akan meningkat sedangkan nilai a akan menurun untuk semua model minuman. Nilai b mengalami peningkatan pada model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), dan (1:4), sedangkan nilai b mengalami penurunan pada model minuman antosianin:brazilein (1:5), (1:6), dan (1:7) dengan bertambahnya waktu penyinaran dengan UV. Nilai o hue model minuman penyinaran dengan UV selama 144 jam menyebabkan pergeseran warna menjadi merah kuning pada semua model minuman. Model minuman antosianin:brazilein (1:4), (1:5), dan (1:6) mengalami pergesaran warna menjadi merah-kuning pada penyinaran selama 12 jam. Sedangkan model minuman antosianin:brazilein (1:7) mengalami pergeseran warna pada penyinaran 72 jam.

5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L. ) DENGAN BRAZILEIN DARI KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L.) TERHADAP STABILITAS WARNA PADA MODEL MINUMAN RINGAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : I PUTU GEDE ARYA DHARMAWAN F Dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1987 di Tabanan Bali Menyetujui, Bogor, Desember 29 Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Mengetahui, Dr. Ir. Dahrul Syah Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1987 di Tabanan Bali. Penulis adalah putra pertama dari pasangan Bapak I Nengah Kumbayadnya dan Ibu Desak Ketut Tridarwati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di TK Katolik Swastiastu Tabanan pada tahun , pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 7 Banjar Anyar pada tahun , pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 1 Tabanan Bali pada tahun , dan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas di SMA Negeri 1 Tabanan Bali pada tahun Pada tahun 25, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun 26 penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi, Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Selama kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis sempat menjadi Ketua UKM KMHD (Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma) tahun Penulis terlibat dalam beberapa kepanitiaan seperti Open House KMHD 26, Penerimaan Masa Anggota Baru Brahmacarya 26, Genus Bali 27, Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XV, dan Masa Perkenalan Departemen. Penulis sempat mengikuti pelatihan seperti HACCP, Sistem Manajemen Halal, dll. Penulis terlibat dalam kompetisi Agroindustry Product Design di Universitas Brawijaya Malang. Penulis juga sempat menjadi Asisten Praktikum Kimia Dasar TPB tahun 28 dan Asisten Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan tahun 29. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi setelah melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Kopigmentasi Pewarna Alami Antosianin dari Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan Brazilein dari Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L.) terhadap Stabilitas Warna pada Model Minuman Ringan. Di bawah bimbingan Tien R. Muchtadi dan Dede R. Adawiyah. vi

7 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Kopigmentasi Pewarna Alami Antosianin dari Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan Brazilein dari Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) terhadap Stabilitas Warna pada Model Minuman Ringan. Tulisan ini merupakan laporan penelitian yang telah dilakukan penulis Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Keluargaku tercinta: Bapak Kumbayadnya, Ibu Tridarwati dan adikku Dewi yang selalu memberikan doa, kasih sayang, nasihat, dan motivasi tiada henti. 2. Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberi bimbingan, serta nasihat kepada penulis selama perkuliahan, penelitian, dan penyelesaian tugas akhir. 3. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan. 4. Dr. Ir. Sukarno, M.Sc atas saran yang membangun dan kesediannya menjadi dosen penguji. 5. LPPM IPB atas bantuan dana penelitian yang diberikan. 6. Seluruh Staf Pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang telah membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat. 7. Semua teknisi dan laboran Departemen ITP: Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Rojak, Pak Sobirin, Bu Rubiah, Ibu Antin, Mas Edi, Pak Yahya, Pak Iyas, dan Pak Nur terima kasih atas bantuan, saran, dan kerja samanya selama penulis melakukan penelitian. 8. Seluruh pustakawan PITP, PAU, dan LSI yang telah membantu penulis dalam mencari sumber pustaka. 9. Semua Guru dari TK sampai SMA yang telah memberi ilmu yang bermanfaat bagi penulis. vii

8 1. Sri Dia Utari yang selalu mendampingi, membantu, dan menyemangati penulis. 11. Keluarga Pak Tut Alit, Tante Kadek, Restu, dan Dek Sari terima kasih atas semangat dan kasih sayang kepada penulis. 12. Keluarga Bapak dan Ibu Dewa Ketut Mertha, Ayu Tara, Dea, dan Bagus. Terima kasih atas kasih sayang, semangat, dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 13. Keluarga Om Supartagama, Tante Rumini, Kak Wulan, dan Yoga. Terima kasih telah menjadi keluarga kedua bagi penulis. 14. Teman-teman Penelitian Rosela dan Secang : Galih Ika, Galih Eka, Santy, dan Ola. Terima kasih telah membantu penulis dalam penelitian dan tugas akhir. 15. My best friend Dedy, Adiarnata, Rahadi, Dhika, Yusi, Asep, Adi, Melissa, dan Abi terima kasih atas persahabatan yang diberikan. 16. Teman-teman satu bimbingan Marina, Deni, dan Ikhwan terima kasih atas kebersamaan selama ini. 17. Mbok Widya, Mbok Indi, Mbok Bungker, Mbok Puris, Mbok Lengut, dan Bli Bungkak terima kasih sudah menjadi kakak yang baik bagi penulis. 18. Teman teman KMHD 42 : Ayu Tara, Stefi, Kade, Ria, Kaler, Konyer, dll terima kasih atas persahabatan dan saran yang diberikan kepada penulis selama ini. 19. Adik-adik KMHD dan Brahmacarya : Kadek, Yoga, Yudha, Joni, Dewa, Wira, Jering, Mayun, Putri, Debby, Sindra, Keswari, Lunas, Petruk, Dolar, Nobiceu, Ateng, Casun, Potter, Penjor, Bracuk, Wenes, Ita, Fera, Aria, Sukma, Cok, Angie, Lilik, Mitha, Kartika,dll. Terima kasih atas persaudaraan yang diberikan. 2. Teman-teman lab biokimia Tuti, Yuni, Yupi, Riska, Beli, Atus, Hesti, Haris Nanda, Nina, Wahyu, Gia, Indri, Dila, Rika, Ari, Irene, Chacha, Ester, Dina, Cath dll. 21. Teman-teman yang menunggu pada saat sidang: Yusi, Catrien, Melissa, Dion, Riska, Adi, Asep, Eping, Galih Eka, Santhi,dll. Terima kasih atas dukungan dan semangat yang diberikan viii

9 22. ITP 42 Golden Generation Tjan, Nanda, Harist, Glenn, Anggun, Dion, Ike, Adi Woko, Suhe, Muji, Harist, Marcel, Midun, Fera, dan semuanya yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu, penulis bangga bisa menjadi bagian dari kalian. 23. Keluarga besar ITP angkatan 4, 41, 42, 43, dan 44 atas kebersamaannya selama ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik bagi perbaikan selanjutnya. Bogor, Desember 29 ( Penulis ) ix

10 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR. vii DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN.. xv I. PENDAHULUAN.. 1 A. LATAR BELAKANG. 1 B. TUJUAN. 2 C. MANFAAT... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA. 4 A. ROSELA... 4 B. KAYU SECANG... 6 C. ANTOSIANIN... 7 D. BRAZILEIN E. KOPIGMENTASI.. 12 F. MINUMAN RINGAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN Ekstraksi Pigmen a. Ekstraksi Antosianin. 19 b. Ekstraksi Brazilein Pengujian Stabilitas Antosianin dan Kopigmentasi. 2 a. Pembuatan Model Minuman dan Kopigmentasi.. 2 b. Stabilitas Warna terhadap Suhu Pemanasan 21 c. Stabilitas Warna terhadap Sinar UV. 21 C. METODE ANALISIS Penentuan Rendemen Ekstrak Analisis Total Padatan Terlarut Analisis Kadar Air Analisis Total Antosianin Analisis Total Brazilein Pengamatan Warna Metode Chromameter Analisis Stabilitas Model Minuman 26 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PIGMEN Ektraksi dan Karakterisasi Antosianin Ektraksi dan Karakterisasi Brazilein. 31 x

11 B. PEMBUATAN MODEL MINUMAN DAN KOPIGMENTASI C. STABILITAS MODEL MINUMAN TERHADAP PEMANASAN Pengamatan Spektrofotometer a. Retensi Warna.. 34 b. Nilai k c. Waktu Paruh. 42 d. Energi Aktivasi Pengamatan Chromameter a. Nilai L b. Nilai a.. 5 c. Nilai b.. 53 d. Nilai E 55 e. Nilai o hue D. STABILITAS MODEL MINUMAN TERHADAP SINAR UV Pengamatan Spektrofotometer.. 62 a. Retensi Warna. 62 b. Nilai k dan Waktu Paruh Pengamatan Chromameter 65 a. Nilai L.. 65 b. Nilai a c. Nilai b.. 68 d. Nilai E 69 e. Nilai o hue.. 7 V. KESIMPULAN DAN SARAN. 72 A. KESIMPULAN. 72 B. SARAN.. 73 DAFTAR PUSTAKA. 74 LAMPIRAN 78 xi

12 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perbedaan letak gugus tersubtitusi dari enam gugus antosianidin. Tabel 2. Jumlah antoisianin dan brazilein yang ditambahkan pada model minuman. Tabel 3. Nilai hue dan daerah kisaran warna warna kromatis.. Tabel 4. Karakteristik ektstrak antosianin rosela.. Tabel 5. Karakteristik ektstrak brazilein kayu secang.. Tabel 6. Kisaran warna model minuman pemanasan 4 o C.. Tabel 7. Kisaran warna model minuman pemanasan 5 o C.. Tabel 8. Kisaran warna model minuman pemanasan 6 o C.. Tabel 9. Kisaran warna model minuman pemanasan 7 o C.. Tabel 1. Kisaran warna model minuman pemanasan 8 o C.. Tabel 11. Nilai k dan waktu paruh model minuman penyinaran dengan UV... Tabel 12. Kisaran warna model minuman penyinaran dengan UV xii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Tanaman rosela.. Gambar 2. Tanaman secang. Gambar 3. Struktur kimia antosianidin Gambar 4. Struktur antosianidin pada berbagai ph. Gambar 5. Struktur kimia brazilin dan brazilein. Gambar 6. Mekanisme reaksi kopigmentasi pada antosianin.. Gambar 7. Charge transfer antosianin dengan senyawa fenolik. Gambar 8. Lingkaran warna kromatis. Gambar 9. Ekstrak antosianin padat dan cair.. Gambar 1. Ekstrak brazilein Gambar 11. Grafik antara hubungan At/Ao (retensi warna) dengan waktu (menit) model minuman suhu 4 o C, 5 o C, 6 o C, 7 o C, dan 8 o C. Gambar 12. Diagram hubungan antara At/Ao (retensi warna) dengan suhu ( o C) model minuman. Gambar 13. Grafik hubungan ln At/Ao (retensi warna) dengan waktu (menit) model minuman suhu 4 o C, 5 o C, 6 o C, 7 o C, dan 8 o C Gambar 14. Nilai konstanta laju degradasi antosianin (menit -1 ) pada model minuman suhu 4 o C, 5 o C, 6 o C, 7 o C, dan 8 o C... Gambar 15. Diagram hubungan antara waktu paruh dengan waktu (jam) pada model minuman suhu 4 o C, 5 o C, 6 o C,7 o C, dan 8 o C... Gambar 16. Grafik hubungan ln k (menit -1 ) dengan 1/T (K -1 ) model minuman. Gambar 17. Nilai energi aktivasi model minuman... Gambar 18. Grafik hubungan antara nilai L (lightness) dengan waktu (menit) model minuman suhu 4 o C, 5 o C, 6 o C, 7 o C, dan 8 o C Gambar 19. Diagram hubungan antara nilai L (perubahan nilai lightness) dengan suhu ( o C) Gambar 2. Grafik hubungan antara nilai a (derajat merah) dengan waktu (menit) model minuman suhu 4 o C, 5 o C, 6 o C, 7 o C, dan 8 o C. Gambar 21. Diagram hubungan antara nilai a (perubahan derajat merah) dengan suhu ( o C)... Gambar 22. Grafik hubungan antara nilai b (derajat kuning) dengan waktu (menit) model minuman suhu 4 o C, 5 o C, 6 o C, 7 o C, dan 8 o C. Gambar 23. Diagram hubungan antara nilai b (perubahan derajat kuning) dengan suhu ( o C)... Gambar 24. Grafik hubungan antara nilai E (perubahan warna keseluruhan) dengan waktu (menit) model minuman suhu 4 o C, 5 o C, 6 o C, 7 o C, dan 8 o C. Gambar 25. Diagram hubungan antara nilai E (perubahan warna keseluruhan) dengan suhu ( o C). Gambar 26. Penampakan visual model minuman tanpa dan akhir pemanasan suhu 4 o C, 5 o C, 6 o C, 7 o C, dan 8 o C Gambar 27. Grafik hubungan anatra At/Ao (retensi warna) dengan waktu (jam) model minuman penyinaran UV. Gambar 28. Grafik hubungan antara ln At/Ao (retensi warna) dengan waktu (jam) model minuman penyinaran UV xiii

14 Gambar 3. Grafik hubungan antra nilai L (lightness) dengan waktu (jam) model minuman penyinaran UV.... Gambar 31. Grafik hubungan antara nilai a (derjat merah) dengan waktu (jam) model minuman penyinaran UV Gambar 32. Grafik hubungan antara nilai b (derajat kuning) dengan waktu (jam) model minuman penyinaran UV.. Gambar 33. Grafik hubungan antara nilai E (perubahan warna) dengan waktu (jam) model minuman penyinaran UV.. Gambar 34. Penampakan visual model minuman tanpa penyinaran dan akhir proses penyinaran dengan UV xiv

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Karakterisasi ekstrak antosianin dari rosela Lampiran 2. Karakterisasi ekstrak brazileindari secang.. Lampiran 3. Pencampuran antosianin dan brazilein pada model minuman Lampiran 4. Grafik degradasi model minuman masing-masing suhu Lampiran 5. Nilai k dan waktu paruh model minuman.. Lampiran 6a. Nilai Ea/R masing-masing model minuman... Lampiran 6b. Nilai Ea masing-masing model minuman... Lampiran 7. Nilai L, a, b, E, dan o hue model minuman masing-masing suhu. Lampiran 8. Grafik degradasi model minuman penyinaran dengan UV Lampiran 9. Nilai L, a, b, E, dan o hue penyinaran UV Lampiran 1. Nilai k penyinaran UV xv

16 I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pewarna memegang peranan penting dalam meningkatkan daya tarik suatu produk pangan. Pewarna merupakan ingridient penting dalam beberapa jenis makanan seperi confectionary, dessert, snack, dan minuman ringan. Zat warna makanan dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu zat warna alami, zat warna identik, dan zat pewarna sintetik (Henry, 1996). Zat warna sintetik umumnya bersifat lebih stabil, lebih cerah, dan lebih bervariasi. Sebaliknya zat pewarna alami memiliki sifat yang kurang stabil, kurang cerah, dan kurang bervariasi. Sampai saat ini penggunaan pewarna sintetis begitu pesat digunakan pada makanan. Penggunaan pewarna ini sering kali menimbulkan masalah kesehatan. Penyalahgunaan pewarna sintetis dapat menyebabkan kanker, stroke, dan penyakit jantung (Enie, 1986). Keadaan ini menimbulkan keinginan orang-orang untuk menggunakan pewarna alami yang relatif aman. Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat dan trend kembali ke alam maka pewarna alami semakin diminati. Pewarna alami dapat ditemui pada berbagai jenis tanaman dan hampir tidak membahayakan kesehatan. Bagian tanaman yang memiliki pigmen dan bisa dimanfaatkan sebagai pewarna makanan adalah bagian daun, bunga, dan batang. Selain berfungsi mewarnai produk, pewarna alami ini juga berfungsi sebagai flavour, antioksidan, antimikroba, dan fungsi-fungsi lainnya (Winarno, 1992). Tanaman yang potensial dimanfaatkan sebagai pewarna alami adalah rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dan kayu secang (Caesalpinia sappan L.). Kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) mengandung pigmen antosianin. Warna merah antosianin stabil pada ph 2-5 (Reyner, 1993). Aplikasi antosianin sebagai pewarna pangan dapat dilakukan pada ph rendah seperti minuman ringan, minuman beralkohol, manisan, saus, pikel, dan yoghurt. Pigmen brazilein merupakan pigmen yang berasal dari kayu secang (Caesalpinia sappan L.). Pigmen ini sangat berpotensi digunakan sebagai pewarna alami. Brazilein merupakan hasil oksidasi dari brazilin. Menurut 1

17 Adawiyah et al. (28) pigmen brazilein dari kayu secang memiliki kestabilan warna merah pada ph netral 6-7, bergeser ke arah merah keunguan pada ph lebih tinggi 8 dan kuning pada ph yang lebih rendah 2-5. Antosianin mudah mengalami degradasi warna yang mengakibatkan warna menjadi lebih pudar. Degradasi antosianin dapat disebabkan oleh suhu, sinar UV, dan ph. Degradasi antosianin dapat dikurangi dengan adanya kopigmentasi. Fenomena kopigmentasi dapat teramati sebagai pergeseran panjang gelombang maksimum yang dikenal dengan nama efek bathokromik (Δλmax). Pada antosianin teramati pergeseran warna dari merah menjadi merah kebiruan (bluing effect) akibat adanya kopigmentasi. Efek lain yang teramati adalah efek hiperkromik (ΔA) yaitu terjadinya peningkatan intensitas warna setelah kopigmentasi. Jenis senyawa kopigmen yang digunakan adalah flavonoid, alkaloid, asam amino, asam organik, dan polifenol lain (Markakis, 1982). Brazilein merupakan senyawa flavonoid yang potensial ditambahkan sebagai kopigmen. Adanya kopigmentasi antosianin dengan brazilein diharapkan mampu meningkatkan stabilitas warna antosianin. Peningkatan kestabilan warna dapat terlihat dari penurunan laju degradasi warna antosianin dan meningkatnya energi aktivasi akibat reaksi kopigmentasi. Penambahan kopigmen brazilein diharapkan mampu menurunkan laju degradasi dan meningkatkan energi aktivasi. Energi aktivasi adalah energi minimal yang dibutuhkan suatu reaksi agar dapat berlangsung. Semakin rendah energi aktivasi maka semakin mudah antosianin mengalami degradasi. Penambahan brazilein sebagai senyawa kopigmen diharapkan mampu meningkatkan energi aktivasi reaksi degradasi antosianin. B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan : 1. Mempelajari pengaruh proses kopigmentasi pewarna alami antosianin rosela dengan brazilein kayu secang terhadap kualitas dan stabilitas warna merah yang dihasilkan dengan menggunakan model minuman ringan. 2

18 2. Memperoleh campuran yang tepat untuk kopigmentasi antosianin-brazilein yang mampu menurunkan laju degradasi antosianin dan meningkatkan energi aktivasi (Ea) pada model minuman ringan terhadap pengaruh pemanasan serta penyinaran dengan UV. C. MANFAAT Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan alternatif pewarna merah alami yang relatif aman bila dibandingkan dengan pewarna sintesis dan memiliki stabilitas yang baik untuk diaplikasikan pada produk pangan. 3

19 II. TINJAUAN PUSTAKA A. ROSELA (Hibiscus sabdariffa L. ) Gambar 1. Tanaman rosela (Jauhari, 27) Divisi Sub Divisi Kelas Bangsa Suku Marga Jenis : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonae : Malvales : Malvaceae : Hibiscus : Hibiscus sabdariffa L Rosela merupakan anggota famili malvaceae yang tumbuh pada iklim tropis dan subtropis. Tanaman ini dikenal dengan nama asam susur di Malaysia, di Thailand disebut dengan kachieb priew, zuring merupakan sebutan Belanda, di Senegal dikenal dengan nama bisap, dan utara carcade sebutan rosela di Afrika Selatan (Maryani, 25). Rosela adalah tumbuhan yang berasal dari India yang memiliki nama latin Hibiscus sabdariffa L. Pada awalnya tumbuhan ini dikenal sebagai penghasil serat yang dimanfaatkan untuk membuat karung goni. Rosela merupakan tumbuhan semak yang tingginya dapat mencapai 3 m. Tumbuhan rosela memiliki batang yang bulat, tegak, memiliki kambium, dan berwarna merah. Daunnya tunggal berbentuk bulat seperti telur. Tipe tulang daun menjari, ujung daun tumpul, tepinya beringgit, dan memiliki pangkal yang berlekuk. Panjang daun rosela sekitar 6-15 cm dan lebarnya 5-8 cm. Panjang tangkai daun 4-7 cm dengan penampang bulat dan warna 4

20 hijau (Maryani dan Kristiana, 25). Budidaya rosela dapat dilakukan di segala macam tanah tetapi paling cocok pada tanah yang subur dan gembur. Tumbuhan ini dapat tumbuh di daerah pantai sampai daerah dengan ketinggian 9 m di atas permukaan laut. Curah hujan yang dibutuhkan adalah 18 mm/bulan. Jika curah hujan mencukupi dan irigasi yang memadai akan memberikan hasil yang baik (Maryani dan Kristiana, 25). Kelopak kering bunga rosela yang direbus dalam air panas akan menghasilkan minuman yang berwarna merah. Warna merah ini dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami pada berbagai produk pangan. Komponen yang berperan menghasilkan warna merah pada hasil ekstraksi rosela adalah antosianin. Komponen antosianidin yang terdapat dalam rosela antara lain delphinidin dan cyanidin. Selain itu rosela juga mengandung komponen fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan seperti gossipetin (hydroxyflavone), hibiscin, quercetin, dan kaempferol (Maryani dan Kristiana, 25). Kelopak kering rosela mengandung vitamin C, vitamin A, dan 18 jenis asam amino. Kandungan asam lemak yang banyak terdapat pada kelopak rosela diantaranya asam lemak miristat, palmitat, stearat, oleat, dan linoleat (Maryani, 25). Kelopak kering bunga rosela sejak lama telah digunakan sebagai obat tradisional. Kelopak kering rosela berkhasiat sebagai antiseptik, diuretik, pelarut, sedatif, dan tonik (Maryani dan Kristiana, 25). Di Indonesia, penggunaan rosela mulai banyak dikenal sebagai minuman kesehatan. Daun atau kelopak kering yang direbus berkhasiat sebagai peluruh kencing, merangsang keluarnya empedu dari hati, menurunkan tekanan darah, mengurangi kekentalan darah dan meningkatkan peritaltik usus. Khasiat lain rosela yang telah diketahui diantaranya sebagai antikejang, mengobati cacingan dan antibakteri. Ektstrak air dan zat warna yang terkandung dalam tanaman rosela mempunyai efek letal terhadap Mycobacterium tuberculosis penyebab terjadinya TBC (Maryani dan Kritiana, 25). 5

21 B. KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L.) Gambar 2. Tumbuhan secang (Anonim a, 29) Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Rosales Suku : Leguminose Marga : Caesalpinia Jenis : Caesalpania sappan L. Secang (Caesalpinia sappan L.) termasuk famili leguminoseae yang merupakan tanaman perdu, berduri banyak, dan tingginya dapat mencapai 5-1 meter. Akarnya berserabut dan berwarna gelap, sedangkan bagian batang berwarna coklat keabuan (Heyne, 1987). Kayu secang kebanyakan tumbuh di daerah yang berbukit pada tanah liat dan tanah kapur di dataran rendah dan dataran sedang. Tanaman ini tidak toleran terhadap kondisi tanah yang basah. Tanaman ini lebih menyukai daerah dengan curah hujan 7-43 mm, suhu o C serta ph tanah Tanaman secang ditanam sebagai tanaman pagar. Bagian tanaman yang digunakan adalah kayu potongan atau serutan kayu. Karakteristik serutan kayu dapat berbentuk potongan atau kepingan dengan ukuran yang sangat bervariasi. Kayu secang memiliki karakter fisik yang keras, padat, dan berwarna merah (Heyne,1987). Kayu secang mengandung komponen resin, tannin, asam tanat, brazilin, dan asam galat (Lemmens, 1992). Menurut Pawar et al. (28) kayu secang mengandung komponen fenolik seperti flavonoid, asam 6

22 fenolik, lignin, quinon, dan curcuminoid. Secang dapat dimanfaatkan sebagai sumber zat warna alami karena mengandung brazilein yang berwarna merah. Pigmen brazilein bersifat larut dalam air panas. Pigmen merah biasanya digunakan untuk minuman rempah tradisional asal betawi yaitu bir pletok. Kayu secang telah lama digunakan sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan muntah darah, berak darah, dan luka berdarah. Di Korea dan China, kayu ini digunakan sebagai obat analgesik dan mengatasi gangguan menstruasi. Pemanfaatan kayu secang di India sebagai obat diare dan disentri. Kayu secang juga digunakan pewarna makanan merah cokelat di Kalimantan (Maharani, 23). C. ANTOSIANIN Antosianin merupakan salah satu bagian penting dalam pigmen setelah klorofil. Antosianin berasal dari bahasa Yunani yaitu anthos yang berarti bunga dan kyanos yang berarti biru gelap. Antosianin merupakan pigmen yang larut dalam air. Pigmen antosianin menghasilkan warna merah sampai biru yang tersebar luas dalam bunga dan daun (Jackman dan Smith, 1996). Antosianin umumnya ditemukan pada buah-buahan, sayursayuran, dan bunga. Antosianin biasanya ditemukan pada anggur, strawbery, raspbery, cherry, dan apel. Antosianin merupakan senyawa flavonoid yang secara alami berbentuk glikosida dari flavilium atau 2-fenil benzopirilium. Zat pewarna alami antosianin tergolong ke dalam turunan benzopiran. Struktur utama turunan benzopiran ditandai dengan adanya dua cincin aromatik benzena (C 6 H 6 ) yang dihubungkan dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin. Antosianin merupakan suatu gugus glikosida yang dibentuk dari gugus aglikon dan glikon (Markakis, 1982). Apabila gugus glikon dihilangkan melalui proses hidrolisis maka akan dihasilkan antosianidin yang terlihat pada Gambar 3. Gugus gula yang umum berikatan dengan antosianidin yaitu glukosa, galaktosa, dan ramnosa. 7

23 Gambar 3. Struktur kimia antosianidin (Giusti dan Wrolstad, 23) Jumlah antosianin di alam yang berhasil diisolasi sebanyak 539 jenis tetapi hanya 6 yang ada di bahan pangan seperti pelargonidin, cyanidin, peonidin, delphinidin, petunidin, dan malvidin (Mateus dan Freitas, 29). Pengaruh perbedaan letak dan jumlah gugus tersubstitusi pada antosianidin terhadap warna antosianin dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan letak gugus tersubstitusi dari enam antosianidin (Jackman dan Smith, 1996) Antosianidin Gugus yang tersubstitusi Warna Pelargonidin Cyanidin Delphinidin Peonidin Petunidin Malvidin OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH H H H H H H OH OH OH OH OH OH H OH OH OMe OMe Ome H H OH H OH Ome Orange Merah-Orange Merah-Biru Merah-Orange Merah-Biru Merah-Biru Ada beberapa factor yang dapat mempengaruhi kestabilan warna antosianin antara lain secara enzimatis dan non enzimatis. Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin secara non enzimatis adalah ph, cahaya, oksigen, gula, dan suhu (Jackman dan Smith, 1996). Menurut Rein (25) beberapa enzim dapat berperan dalam proses degradasi antosianin misalnya glukosidase dan PPO (Polipenol Oksidase). Enzim glukosidase mampu menstimulasi terjadinya hidrolisis pada ikatan gula antara gugus aglikon dengan gugus glikon. Hidrolisis tersebut menyebabkan terbentuknya cincin aromatik yang membentuk senyawa kalkon (Markakis, 1982). Menurut Jackman dan Smith (1996), adanya 8

24 enzim glukosidase yang sengaja ditambahkan pada jus blueberry yang mengandung sianidin 3-glukosida akan menyebabkan pemudaran warna akibat hidrolisis ikatan glikosidik. Enzim PPO banyak terdapat pada jaringan tanaman (Jackman dan Smith, 1996). Secara umum enzim PPO tidak langsung mendegradasi antosianin. Namun enzim tersebut mampu mengoksidasi senyawa fenolik menjadi o-benzoquinon. Hasil oksidasi senyawa fenolik mampu mengalami kondensasi dengan antosianin yang terdegradasi membentuk senyawa tidak berwarna seperti kalkon (Markakis, 1982). Antosianin umumnya lebih stabil pada larutan asam apabila dibandingkan dengan larutan netral atau alkali. Antosianin memiliki struktur kimia yang berbeda tergantung dari ph larutan. Pada ph 1 antosianin berbentuk kation flavinium yang memberikan warna merah. Pada ph 2-4 antosianin berbentuk campuran kation flavinium dan quinoidal. Pada ph yang lebih tinggi yaitu 5-6 terdapat dua senyawa yang tidak berwarna yaitu karbinol pseudobasa dan kalkon (Ovando et al., 29). Struktur antosianin pada berbagai macam ph dapat dilihat pada Gambar 4. Kestabilan antosianin pada ph asam mengakibatkan antosianin lebih banyak digunakan pada makanan asam seperti jus, minuman ringan, pikel, acar, pudding, dan yoghurt. Cahaya merupakan faktor yang berperan dalam proses degradasi antosianin. Cahaya memiliki energi tertentu yang mampu menstimulasi terjadinya fotokimia dalam molekul antosianin (Jackman dan Smith, 1996). Reaksi fotokimia dalam molekul antosianin menyebabkan pembukaan cincin karbon no 2. Pada akhirnya reaksi fotokimia mampu membentuk senyawa tidak berwarna seperti kalkon sebagai indikator degradasi antosianin (Markakis, 1982). Degradasi lanjutan dapat membentuk senyawa turunan lain yang tidak berwarna seperti 2,4,6 trihidroksibenzaldehid dan asam benzoat yang tersubtitusi (Jackman dan Smith, 1996). 9

25 Gambar 4. Struktur antosianin pada berbagai ph (Mateus dan Freitas, 29) Oksigen dapat menstimulasi terjadinya proses degradasi antosianin secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung oksigen mampu menyebabkan oksidasi antosianin menjadi senywa yang tidak berwarna dan menurunkan stabilitas antosianin (Rein, 25). Secara tidak langsung beberapa senyawa hidroksiradikal mampu menyebabkan oksidasi pada struktur antosianin sehingga membentuk senyawa tidak berwarna seperti kalkon yang merupakan indikator degradasi warna antosianin. Gula merupakan faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin. Sukrosa merupakan jenis gula yang memiliki efek protektif terhadap antosianin dibandingkan dengan fruktosa dan laktosa (Markakis, 1982). Penambahan 1% sukrosa pada model minuman ekstrak bayam merah terbukti memiliki efek protektif terhadap zat pewarna alami (Cai dan Corke, 1999). Penambahan sukrosa berlebihan (>13%) pada minuman 1

26 ekstrak bayam merah cendrung menstimulasi proses degradasi zat pewarna alami. Suhu merupakan faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin. Peningkatan suhu pengolahan hingga penyimpanan dapat menimbulkan kerusakan dan perubahan antosianin yang dapat terjadi secara cepat melalui tahapan: 1. Hidrolisis pada ikatan glikosidik antosianin dan menghasilkan aglikon-aglikon yang labil. 2. Terbukanya cincin aglikon sehingga terbentuk gugus karbinol dan kalkon yang tidak berwarna. Senyawa kalkon mampu terdegradasi membentuk senyawa yang tidak berwarna yang lebih sederhana yaitu asam karboksilat seperti asam benzoat yang tersubtitusi dan senyawa karboksil aldehid yaitu 2,4,6- trihidroksibenzaldehid (Jackman dan Smith, 1996). D. BRAZILEIN Senyawa brazilein merupakan pigmen yang berwarna merah kecoklatan dan larut dalam air. Senyawa Brazilein (C 16 H 13 O 5 ) merupakan hasil oksidasi dari brazilin (C 16 H 14 O 5 ) yang berbentuk kristal berwarna kuning sulfur. Brazilin dalam bentuk murni dapat dikristalkan, larut air, larutannya jernih mendekati tak berwarna, dan terasa manis. Asam tidak mempengaruhi larutan brazilin tetapi alkali membuatnya bertambah merah. Rumus struktur brazilin dan brazilein bisa terlihat pada Gambar 5. Brazilein termasuk golongan flavonoid sebagai isoflavonoid. Senyawa isoflavonoid merupakan golongan yang mempunyai kerangka C 3 -C 6 -C 3. Brazilein dalam tumbuhan umumnya terikat dengan gula membentuk glikosida. Untuk membebaskan gula dan aglikonnya maka perlu dihidrolisis dengan asam. Flavonoid mempunyai gugus hidroksil atau suatu gula. Aglikon flavonoid adalah polifenol yang mempunyai sifat kimia senyawa fenol (Brouillard, 1982). 11

27 a Gambar 5. Struktur kimia (a) brazilin dan (b) brazilein (Oliveira et al., 22) b Stabilitas pigmen brazilein dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ph, pemanasan, sinar ultraviolet, oksidator, reduktor, dan metal. Kondisi keasaman atau ph larutan sangat mempengaruhi stabilitas warna pigmen brazilein. Pada ph 2 5 pigmen brazilein berwarna kuning, ph 6 7 berwana merah, dan ph 8 ke atas berwarna merah keunguan (Adawiyah et al., 28). Menurut Maharani (23) pemanasan, sinar ultraviolet, oksidator, reduktor, serta penambahan metal akan mempengaruhi stabilitas dan mengakibatkan terjadinya degradasi pada pigmen brazilein. Selain sebagai pewarna, brazilein juga mempunyai beberapa sifat fungsional. Menurut Pawal et al. (28) brazilein yang berasal dari kayu secang memiliki sifat fungsional seperti antioksidan, anti kanker, anti inflammtori, dan anti diabetes. Selain itu brazilein dari kayu secang dapat berfungsi sebagai antimikroba seperti Staphylococcus aureus. E. KOPIGMENTASI Fenomena kopigmentasi pertama kali teramati pada tahun 1916 oleh Willstätter dan Zollinger yang mengamati perubahan warna pigmen anggur menjadi merah kebiruan dengan penambahan asam tanat dan asam galat. Menurut Castenada et al. (29) kopigmentasi dapat terjadi melalui beberapa interaksi diantaranya self association(a), intramolecular copigmentation(b), metal complexation(c), dan intermolecular copigmentation (d). Mekanisme kopigmentasi bisa terlihat pada Gambar 6. 12

28 Gambar 6. Mekanisme reaksi kopigmentasi pada antosianin (Castenada et al., 29) Mekanisme dari self association dapat dianalogikan sebagai interaksi antar molekul antosianin yang saling bertumpuk (stacking-like interaction). Self association terjadi pada saat pembuatan wine. Interaksi ini berkontribusi terhadap warna wine (Rein, 25). Intramolecular copigmentation merupakan mekanisme dari kopigmentasi dimana kopigmen merupakan bagian dari molekul antosianin (Brouilard, 1982). Interaksi ini terjadi secara kovalen asilasi molekul antosianin. Asil grup yang berupa komponen aromatik berinteraksi dengan kation flavinium yang reaktif pada C-2 dan C-4 dengan reaktan nukleofilik. Intramolecular copigmentation diaplikasikan pada ekstrak black carrot yang banyak mengandung antosianin yang mengalami asilasi. Beberapa logam dapat membentuk komplek dengan antosianin adalah Sn, Cu, Fe, Al, Mg, dan K (Markakis, 1982). Sianidin, delphinidin, 13

29 dan petunidin memiliki lebih dari 1 grup hidroksil yang mampu mengkelat logam. Interaksi antosianin dengan logam jarang diaplikasikan karena bisa mengakibatkan aroma yang menyimpang pada produk (Castenada et al., 29). Senyawa kopigmen dapat berupa flavonoid, alkaloid, asam amino, asam organik, nukleotida, polisakarida, dan antosianin jenis lain. Ketika kopigmen merupakan senyawa fenolik maka terjadi transisi ikatan kimia. Fenomena ini dikenal dengan istilah charge transfer complex atau interkasi π-π. Mekanisme yang dapat terjadi yaitu kation flavinium yang bermuatan positif (kekurangan elektron), sedangkan senyawa kopigmen memiliki kelebihan elektron akan mentransfer elektron sehingga terjadi kesetimbangan elektron (Castenada et al., 29). Interaksi π- π dapat terlihat pada Gambar 7. Reaksi kopigmentasi dipengaruhi oleh ph, suhu, dan konsentrasi (Brouillard dan Dangels, 1994). Pada ph rendah molekul antosianin berbentuk kation flavinium yang berwarna merah, sedangkan ph yang lebih tinggi akan berbentuk karbinol pseudobase yang berwarna lebih pudar. Meningkatnya suhu akan menyebabkan kopigmentasi yang terjadi semakin tidak stabil. Hal ini terjadi karena kerusakan parsial pada ikatan hidrogen. Konsentrasi kopigmen yang ditambahkan akan berpengaruh terhadap proses kopigmentasi. Jumlahs kopigmen yang ditambahkan harus lebih banyak dibandingkan dengan antosianin. Konsentrasi rasio pigmen dan kopigmen dinyatakan dalam molar. Fenomena kopigmentasi teramati sebagai pergeseran panjang gelombang maksimum yang dikenal dengan nama efek batokromik (Δλmax). Pada antosianin teramati pergeseran warna dari merah menjadi merah kebiruan (bluing effect). Efek lain yang teramati adalah efek hiperkromik (ΔA) yaitu terjadinya peningkatan intensitas warna setelah kopigmentasi (Rein, 25). 14

30 Gambar 7. Charge transfer complex antosianin dengan senyawa fenolik (Castenada et al., 29) Dari berbagai jenis flavonol, rutin adalah kopigmen yang dapat menghasilkan kopigmentasi kuat. Rutin dapat menginduksi pergeseran batokromik 3 nm dan quercetin 28 nm terhadap malvidin 3,5-diglukosida pada ph 3.2 (Chen and Hrazdina, 1981). Jenis kopigmen lain yang sudah banyak diteliti adalah asam fenolat. Rein dan Heinohen (24) menggunakan ferulic acid, sinapic acid, dan rosmarinic acid untuk memperbaiki kualitas juice berry. F. MINUMAN RINGAN Minuman ringan didefinisikan sebagai minuman tidak beralkohol yang mengandung sirup, esense, atau konsentrat buah yang dicampur dengan air atau air karbonat (carbonated water) dengan proporsi tertentu (Thorner dan Herzberg, 1978). Sedangkan Vernam dan Sutherland (1994) mendefinisikan segala minuman yang diperuntukkan bagi konsumsi, baik tanpa maupun dengan pengenceran selain air, jus buah, susu, teh, kopi, 15

31 coklat, produk telur, daging, ragi, ekstrak sayuran, sup, jus sayuran, dan minuman keras yang memabukkan. Menurut Green (1981) menggolongkan minuman ringan menjadi tiga kategori yaitu minuman berkarbonat baik mengandung asam maupun tidak seperti cola, minuman berflavor buah atau tidak, golongan yang mencakup sari buah seperti air soda. Persyaratan minuman ringan menurut Green (1981) antara lain : 1. Campuran minuman yang tidak menimbulkan after taste yang kurang disukai. 2. Menggunakan air yang memenuhi standar. 3. Disuguhkan dalam keadaan yang cukup dingin. 4. Jika digunakan es sebagai pendingin maka es yang digunakan tidak mudah mencair. 5. Karbonasi yang cukup bisa memberikan efek yang menyegarkan. 6. Wadah yang jernih dan bersih. Bahan-bahan penyusun minuman ringan antara lain air, pemanis, asam, pewarna, dan flavor.persentase air dalam minuman ringan bisa mencapai 9% sehingga kualitas air yang digunakan dalam industri minuman ringan harus terkontrol (Hougton dan Mc Donald, 1978). Air yang digunakan untuk minuman ringan harus melalui test potability sehingga dapat diminum dan bebas dari kontaminan. Air yang digunakan dalam industri minuman ringan biasanya telah melalui tahapan yang meliputi penghilangan kesadahan, penghilangan koloid, penghilangan warna, rasa serta bau yang menyimpang, pengurangan alkalinitas, dan telah mengalami sterilisasi (Hougton dan Mc Donald, 1978). Pemanis berperanan terhadap cita rasa minuman ringan. Pemanis bertindak sebagai pengikat komponen flavor (Potty, 1979). Pemanis yang digunakan untuk minuman ringan dapat berupa gula atau pemanis buatan. Menurut Soft Drink Regulation (Green, 1981), gula diartikan sebagai pemanis yang berasal dari karbohidrat. Gula yang digunakan untuk minunan ringan antara lain gula kristral, gula invert, maupun gula cair 16

32 (Woodroof dan Philips, 1981). Pemanis alami yang paling banyak digunakan dalam industri minuman ringan adalah sukrosa yang berupa sirup dengan konsentrasi yang tinggi. Konsentrasi akhir pemanis dalam minuman ringan mencapai 8-14% (Thorner dan Hezberg, 1978). Asam merupakan komponen penting ketiga setelah air dan gula (Indriani, 23). Keasaman dapat meningkatkan cita rasa dan juga bertindak sebagai pengawet. Penambahan asam dapat menurunkan nilai ph. Penurunan nilai ph dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Potty, 1979). Asam yang umumnya digunakan dalam minuman ringan adalah asam sitrat. Asam sitrat merupakan pemberi derajat keasaman yang cukup baik karena kelarutannya dalam air. Asam sitrat bersifat sebagai chelating agent yaitu senyawa yang dapat mengikat logam-logam divalen seperti Mn, Mg, dan Fe. Logam tersebut banyak dibutuhkan sebagai katalisator dalam reaksi biologis. Reaksi-reaksi biologis dapat dihambat dengan penambahan asam sitrat. Asam sitrat banyak digunakan dalam industri minuman ringan sebagai flavor enhnacer, pengawet, pencegah rusaknya warna dan aroma (Kapoor et al., 1982). Penambahan pewarna dalam pembuatan minuman ringan bertujuan untuk meningkatkan daya tarik konsumen terhadap suatu produk. Pewarna yang ditambahkan dalam minuman ringan sebaiknya memiliki stabilitas yang baik terhadap pengaruh komponen seperti gula, asam, dan flavor. Zat pewarna alami cenderung lebih aman dibandingkan pewarna sintetis. Harga pewarna sintetis lebih ekonomis dibandingkan pewarna alami. Beberapa pewarna alami yang sering digunakan adalah antosianin, karoten, dan krolofil. Sedangkan pewarna sintetik yang digunakan misalnya FD&C (Food and Drugs Colourant) dalam berbagai jenis warna (Winarno, 1992). 17

33 III. METODELOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan adalah kelopak kering bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang berasal dari petani di Dramaga dan kayu secang (Caesalpinia sappan L.) yang diperoleh dari pasar Bogor. Bahan baku pembuatan model minuman terdiri dari sukrosa dan air minum dalam kemasan. Bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis dan ekstraksi antara lain metanol 24.6 M, HCl 1 N, etanol 95%, etanol 5%, aquades, standar brazilein, dan kertas saring Whatman No Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah blender, disc mill, penyaring vakum, vaccum evaporator, water bath, refrigerator, neraca analitik, chromameter, spektrofotometer, termometer, alat-alat gelas, botol bening, dan botol gelap. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap penelitian yang meliputi ekstraksi sampel dan pengujian stabilitas warna model minuman ringan terhadap suhu dan sinar UV. 1. Ekstraksi Pigmen Pada tahap ini dilakukan ekstraksi senyawa pigmen yaitu antosianin dari kelopak kering bunga rosela dan brazilein dari kayu secang. Senyawa yang dihasilkan merupakan bahan utama yang dijadikan sebagai subyek pada tahap penelitian selanjutnya. 18

34 a. Ekstraksi Antosianin (Adawiyah et al., 28) Sebanyak 5 gram kelopak bunga rosela diekstraksi dengan 5 ml aquades. Kelopak bunga rosela kering dihancurkan menggunakan blender dengan menambahkan 25 ml aquades. Setelah itu, hancuran rosela dipindahkan ke dalam gelas piala dan sisa larutan pengekstrak yaitu 25 ml ditambahkan ke dalam hancuran rosela. Kemudian dilakukan proses maserasi pada suhu ruang dan ruang gelap selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan proses penyaringan dengan menggunakan kain saring. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan filtrat dan ampas rosela. Filtrat hasil penyaringan ditambahkan etanol 95% sebanyak setengah volume filtrat. Ekstrak disaring dengan penyaring vakum yang telah dilapisi kertas Whatman No.1. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya dipekatkan dengan vaccum evaporator pada suhu 4 o C untuk menghilangkan sisa pelarut sehingga diperoleh rendemen berupa ekstrak antosianin. Ekstrak antosianin yang diperoleh dilakukan karakterisasi meliputi rendemen ekstrak, total antosianin, total padatan terlarut ekstrak, dan ph ekstrak. Selain itu dilakukan pengukuran dengan menggunakan chromameter sebagai sumber data objektif untuk melihat nilai L, a, dan b. b. Ekstraksi Brazilein ( Ye Min et al., 26) Kayu secang kering digiling menggunakan disc mill untuk memperkecil ukuran. Sebanyak 1 gram kayu secang diekstrak dengan 1 ml etanol 5% sebanyak 3x3 menit pada suhu 8 C. Filtrat dan ampas kayu kemudian dipisahkan dengan saringan. Filtrat yang didapat kemudian disaring dengan penyaring vakum yang telah dilapisi kertas Whatman No.1. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya dipekatkan dengan vaccum evaporator pada suhu 4 o C untuk menghilangkan sisa pelarut sehingga diperoleh rendemen berupa bubuk brazilein kering. 19

35 Ekstrak brazilein yang diperoleh dilakukan karakterisasi meliputi rendemen ekstrak, total brazilein, kadar air, dan ph ekstrak. Selain itu dilakukan pengukuran dengan menggunakan chromameter sebagai sumber data objektif untuk melihat nilai L, a, dan b. 2. Pengujian Stabilitas Antosianin dan Kopigmentasi Antosianin- Brazilein Pada tahap ini dilakukan pembuatan model minuman yang terdiri dari model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianinbrazilein. Selanjutnya dilakukan pengujian stabilitas terhadap pemanasan dan sinar UV. a. Pembuatan Model Minuman dan Kopigmentasi Model minuman merupakan media yang digunakan untuk mengetahui kestabilan antosianin dan kopigmentasi antosisninbrazilein. Model minuman ringan terdiri dari air minum dalam kemasan, sukrosa 1 %, ekstrak antosianin, dan brazilein. Model minuman yang dibuat merupakan model pangan memiliki ph rendah. Model minuman yang dibuat terdiri dari model minuman antosianin dan model minuman kopigmentasi antosianin-brazilein Penambahan antosianin dan brazilein pada model minuman berdasarkan perbandingan molar. Jumlah antosianin dan brazilein yang ditambahkan dapat terlihat pada Tabel 2. Antosianin dari rosela dinyatakan sebagai delpinidin 3- glukosida dengan massa molekul relatif 51 gr/mol, sedangkan massa molekul relatif brazilein gr/mol. Model minuman yang diperoleh dilakukan pengukuran terhadap serapan panjang gelombang maksimal. Model minuman diperoleh selanjutnya dilakukan pengujian terhadap stabilitas pemanasan dan penyinaran dengan UV. Model minuman yang dilakukan pengujian stabilitas pemanasan sebelumnya tidak dilakukan proses pemanasan. Sedangkan model minuman yang 2

36 akan diuji stabilitas penyinaran dengan UV dilakukan pemanasan karena penyimpanan pada suhu ruang. Tabel 2. Jumlah antoisianin dan brazilein yang ditambahkan pada model minuman Jumlah antosianin (ml) Jumlah brazilein (mg) Konsentrasi antosianin (M) Konsentrasi brazilein (M) Perbandingan antosianin: brazilen x1-5 1: x x1-4 1: x x1-4 1: x x1-4 1: x x1-4 1: x x1-4 1:7 b. Stabilitas Warna terhadap Suhu Pemanasan Sebanyak 1 ml model minuman yang telah ditambahkan dengan pigmen antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein dimasukkan ke dalam botol gelap. Model minuman dipanaskan pada suhu 4 o C, 5 o C, 6 o C, 7 o C, dan 8 o C. Pengukuran stabilitas dilakukan setiap 15 menit untuk suhu 8 o C selama 2 jam, 3 menit untuk suhu 7 o C selama 4 jam, 45 menit untuk suhu 6 o C selama 6 jam, 6 menit untuk suhu 5 o C selama 8 jam, 75 menit untuk suhu 4 o C selama 1 jam. c. Stabilitas Warna terhadap Sinar UV Sebanyak 1 ml model minuman yang telah ditambahkan dengan pigmen antosianin dan kopigmen brazilein dimasukkan ke dalam botol bening. Sebelum dilakukan penyinaran UV, model minuman dilakukan pasteurisasi pada suhu 85 o C selama 15 menit. Selanjutnya model minuman diletakkan di bawah lampu dengan panjang gelombang pendek (UV) 2 watt selama 6 hari. Sampel diletakkan dalam aquarium kaca dengan ukuran 9x6x45 cm. Jarak antara lampu dengan model minuman adalah 3 cm. 21

37 Pengukuran intensitas warna dilakukan setiap hari. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui stabilitas warna karena pengaruh sinar UV. Stabilitas warna diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 52 nm untuk model minuman antosianin dan 515 nm untuk model minuman kopigmentasi antosianinbrazilein untuk melihat nilai absorbansi. Selain itu pengukuran juga dilakukan dengan chromameter untuk melihat nilai L, a, dan b. C. METODE ANALISIS 1. Penentuan Rendemen Ekstrak Rendemen ekstrak dihitung dalam persen yang menyatakan banyaknya ekstrak yang terdapat di dalam sampel berdasarkan berat sampel. Rendemen ekstrak dapat dilihat pada rumus : Rendemen ekstrak = x 1 % 2. Analisis Total Padatan Terlarut (AOAC, 1995) Sebanyak 1-2 gram ekstrak rosela cair ditimbang dan diletakkan dalam cawan petri kemudian diuapkan menggunakan penangas selama 3 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam oven selama 3.5 jam pada suhu 1-15 C. Setelah dingin cawan ditimbang dan kemudian dimasukkan kembali ke dalam oven beberapa menit. Setelah itu, dimasukan ke dalam desikator untuk didinginkan kemudian ditimbang. Tahap ini dilakukan berulang sampai didapatkan berat yang konstan dari sampel. Keterangan : a = berat awal sampel b = berat sampel setelah dikeringkan 22

38 3. Analisis Kadar Air (SNI ) Penentuan kadar air ini didasarkan atas perbedaan berat sampel sebelum dengan setelah dikeringkan dengan oven. Cawan aluminium dikeringkan pada suhu 1-15 C selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator. Sebanyak 1-2 gram brazilein ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah dikeringkan. Sampel beserta cawan dikeringkan dalam oven selama 3 jam pada suhu 1-15 C dan didinginkan dengan cara memasukkannya dalam desikator. Setelah dingin cawan ditimbang kemudian dimasukkan kembali ke dalam oven selama beberapa menit. Sampel dimasukan kembali ke dalam desikator untuk didinginkan selanjutnya ditimbang. Tahap ini dilakukan berulang sampai didapatkan berat yang konstan dari sampel. Kadar air sampel dihitung dengan rumus berikut : Keterangan : a = berat awal sampel b = berat sampel setelah dikeringkan 4. Analisis Spektrofotometri Total Antosianin (Modifikasi Igelias et al., 28) Sebanyak.1 ml ekstrak antosianin ditepatkan sampai volume 5 ml dengan modifikasi pelarut yang metanol 24.6 M dan HCl 1N dengan perbandingan 98:2. Sampel yang telah terekstrak disimpan dalam ruang gelap yang ditutup dengan aluminium foil selama 1 malam pada suhu 4 C. Ekstrak antosianin diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 543 nm. Perhitungan total antosianin dapat dihitung dengan rumus: A= εxbxc Jumlah antosianin (mg/ml sampel) = 23

39 Keterangan : A ε b c = absorbansi = emisifitas antosianin (2.9 x 1 4 liter/mol) = lebar kuvet (1.1cm) = konsentrasi ekstrak (mol/liter) BM = massa molekul relatif delphinidin 3-glukosida (51 gr/mol) 5. Analisis Spektrofotometri Total Brazilein Analisis total brazilein dilakukan dengan menggunakan kurva standar. Larutan stok brazilein murni dibuat dengan melarutkan 1 mg/ml etanol 95%, selanjutnya dilakukan beberapa seri pengenceran yaitu.5,.6,.7,.8,.9,.1, dan.11 mg/ml. Pengukuran absorbansi dilakukan dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 445 nm. Sebanyak 5 mg ekstrak dilarutkan dengan 1 ml etanol 95 % kemudian diukur pada absoransi 445 nm. Penghitungan total brazilein dilakukan dengan rumus: Jumlah brazilein (mg/mg sampel) = Keterangan: c = konsentrasi ekstrak yang didapat dari kurva standar (mg/ml) FP = faktor pengenceran 6. Pengamatan Warna Metode Chromameter (Hutching, 1999) Pengukuran warna dilakukan dengan Minolta Chroma Meters CR-31. Prinsip dari Minolta Chroma Meters adalah pengukuran perbedaan warna melalui pantulan cahaya oleh permukaan sampel. Chromameter adalah suatu instrument untuk analisis warna secara terstimulus untuk mengukur warna yang dipantulkan suatu permukaan. Data pengukuran yang diperoleh dapat berupa nilai absolut maupun nilai selisih dengan warna standar. Sistem warna Hunter Lab memiliki tiga atribut yaitu L, a, dan b. Nilai L menunjukkan kecerahan sampel, memiliki skala dari sampai 1 dimana menyatakan sampel sangat gelap dan 1 menyatakan 24

40 sampel sangat cerah. Nilai a menunjukkan derajat merah atau hijau sampel. Nilai a positif menunjukkan warna merah dan a negatif menunjukkan warna hijau. Nilai a memiliki skala dari -8 sampai 1. Nilai b menunjukkan derajat kuning atau biru. Nilai b positif menunjukkan warna kuning dan b negatif menunjukkan warna biru. Nilai b memiliki skala dari -7 sampai 7. Pengukuran juga dilakukan terhadap nilai o hue dan E. Nilai o hue menggambarkan kisaran warna kromatis yang dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai E menggambarkan perubahan warna yang terjadi secara keseluruhan. Sebelum digunakan chromameter harus dilakukan kalibrasi. Kalibrasi menggunakan plat putih dengan nilai Y = 92,89, x =.3178, dan y = o hue = tan -1 (b/a) E=[( L) 2 +( a) 2 +( b) 2 ] 1/2 Daerah warna suatu bahan dapat diketahui melalui nilai o hue seperti Gambar 8. Gambar 8. Lingkaran warna kromatis (Anonim b, 28) 25

41 Tabel 3. Nilai o hue dan daerah kisaran warna kromatis Nilai o hue Daerah kisaran warna 342 o -18 o Merah-Ungu 18 o -54 o Merah 54 o -9 o Kuning-Merah 9 o -126 o Kuning 126 o -162 o Kuning-Hijau 162 o -198 o Hijau 198 o -234 o Biru-Hijau 234 o -27 o Biru 27 o -36 o Biru-Ungu 36 o -342 o Ungu 7. Analisis Stabilitas Model Minuman (Gradinaru et al., 22) Laju degradasi pigmen diperoleh dengan menghubungkan nilai retensi warna dengan waktu. Kinetika laju degradasi mengikuti persamaan Arhenius orde satu. Pengamatan kinetika degradasi antosianin dilakukan melalui persamaan matematis yang diinterpretasikan sebagai berikut : = dimana: ln At-ln Ao = - kt + C ln At/Ao= -kt + C At = konsentrasi pigmen pada waktu tertentu Ao = konsentrasi awal pigmen k = konstanta laju reaksi (menit -1 ) t = waktu (menit) Berdasarkan nilai k yang bisa dihitung waktu paruh (t 1/2 ). Waktu paruh (t 1/2 ) bisa dihitung dengan persamaan : dimana: t ½ k = konstanta laju reaksi (menit -1 ) t = waktu (menit) C = intersep persamaan garis 26

42 Setelah nilai k didapat dari masing-masing suhu. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara 1/T (K -1 ) dengan ln k (menit -1 ) yang dapat dihitung dengan persamaan: k = ko e -Ea/RT ln k = ln ko Ea/RT dimana : k = tetapan laju reaksi ko = faktor frekwensi Ea = energi aktivasi (kal atau Joule) R = tetapan gas (1.987 kal/mol K atau J/mol K) T = suhu mutlak (K) 27

43 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PIGMEN Ekstraksi adalah proses penarikan komponen dari suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu. Pada umumnya ekstraksi zat warna dari bagian tanaman merupakan ekstraksi yang sederhana. Polaritas merupakan hal yang penting diperhatikan dalam proses ekstraksi. Senyawa polar hanya dapat larut dalam pelarut polar. Antosianin dan brazilein merupakan flavonoid yang bersifat polar sehingga akan lebih mudah larut pada pelarut yang bersifat polar (Markakis, 1982). Jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi harus dapat mendenaturasi membran sel serta melarutkan pigmen (Elbe dan Schwartz, 1996). Menurut Amr dan Al-Tamimi (27) ekstraksi dengan metanol yang diasamkan lebih efektif dibandingkan dengan etanol dan aquades. Namun metanol bersifat toksik sehingga penggunaan pada bahan pangan jarang digunakan. 1. Ekstraksi dan Karakterisasi Antosianin Ekstraksi antosianin dilakukan dengan menggunakan pelarut aquades. Aquades digunakan karena bersifat polar dan tidak bersifat toksik. Menurut Kristie (28) ekstrak antosianin dengan menggunakan aquades memiliki warna yang lebih cerah dibandingkan dengan ekstrak menggunakan etanol 95%. Pada penelitian ini tidak digunakan aquades yang diasamkan karena rosela secara alami sudah mengandung asam sitrat dan malat (Maryani dan Kristina, 25). Penambahan asam akan meningkatkan rasa asam dari ekstrak antosianin yang akan berpengaruh pada cita rasa asam yang dihasilkan. Penambahan etanol 95% sebanyak setengah dari filtrat rosela bertujuan melarutkan gum dan gula pada ekstrak. Gum dan gula yang terdapat pada ekstrak akan menyebabkan ekstrak menjadi lengket ketika dikeringkan dengan vaccum evaporator. 28

44 Proses pemekatan atau penguapan pelarut dilakukan pada suhu 4 C. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan pigmen antosianin akibat panas yang berlebihan. Penguapan terjadi pada ruangan vakum bertekanan tinggi sehingga dibutuhkan suhu yang relatif rendah. Penggunaan etanol pada penelitian ini kurang efektif untuk melarutkan gula dan gum. Hal ini dapat terlihat dari ekstrak yang dihasilkan masih lengket. Untuk menghindari hal tersebut sebaiknya ekstrak rosela tidak dipekatkan sampai kering tetapi sampai menjadi konsentrat dengan konsentrasi tertentu. Rendemen ekstrak dihitung dalam persen yang menyatakan banyaknya ekstrak yang terdapat di dalam sampel berdasarkan berat basah. Rendemen ekstrak antosianin yang diperoleh sebesar 3.84% (b/b). Ekstrak antosianin dari rosela yang diperoleh, selanjutnya diencerkan 2 kali dengan air untuk memudahkan dalam proses pencampuran selanjutnya. Ekstrak antosianin dilakukan karakterisasi yang meliputi total padatan terlarut, total antosianin, dan ph. Karakteristik ekstrak antosianin dari rosela dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik ekstrak antosianin rosela Karakteristik ekstrak Total padatan terlarut Nilai Ekstrak padat(%) Ekstrak cair(%) 22, Total antosianin Ekstrak padat (mg/g ekstrak) Ekstrak cair (mg/ml ekstrak) Warna ekstrak cair L a 1.71 b -1.4 o hue

45 Total padatan terlarut ekstrak padat sebesar 72.26%, ketika ekstrak diencerkan dengan aquades menjadi 22.43%. Total antosianin ekstrak padat sebesar mg/g ekstrak, dan ketika ekstrak diencerkan menjadi mg/ml (Lampiran 1 dan Tabel 4). Analisis karakteristik ekstrak antosianin yang diperoleh bertujuan untuk mengetahui jumlah antosianin yang perlu ditambahkan pada tahap penelitian selanjutnya yaitu pembuatan model minuman dan kopigmentasi. Pengukuran total antosianin kelopak kering bunga rosela diperoleh sebesar.4567 mg/g kelopak kering. Kandungan antosianin plum sebesar.25 mg/g, chery.2 mg/g, dan strawberi.15 mg/g (Mateus dan Freitas, 29). Berdasarkan data diatas terlihat bahwa kandungan antosianin plum, chery, dan strawberi lebih sedikit dibandingkan dengan antosianin rosela. Bisa dikatakan rosela potensial dikembangkan sebagai sumber pigmen alami antosianin. Nilai L ekstrak antosianin dari rosela sebesar pada skala 1-1. Nilai L menggambarkan kecerahan dimana semakin kecil nilai L maka nilai kecerahan semakin rendah sedangkan semakin tinggi nilai L maka kecerahan semakin tinggi. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa ekstrak antosianin memiliki kecerahan yang rendah (gelap). Ekstrak rosela dapat terlihat pada Gambar 9. Nilai a merupakan koordinat kromatis yang menggambarkan nilai merah atau hijau dengan skala -8 sampai 1. Nilai a positif menunjukkan derajat kemerahan sampel, sedangkan nilai a negatif menggambarkan derajat kehijauan sampel. Nilai a ekstrak yang diperoleh sebesar 1.71 menunjukkan ekstrak memiliki derajat kemerahan. Nilai b menggambarkan warna kromatis biru dan kuning. Nilai b berada pada skala -7 sampai 7. Nilai b positif menunjukkan derajat warna kuning sampel sedangkan nilai b negatif menggambarkan derajat biru sampel. Nilai b ekstrak sebesar -1.4 yang menunjukkan bahwa ekstrak memiliki derajat warna biru. Nilai o hue ekstrak yaitu o dengan kisaran warna ekstrak yaitu merah ungu. Nilai ph ekstrak yang diperoleh sebesar Menurut 3

46 Castenada et al. (29) antosianin akan berwarna merah atau ungu pada ph 1-3. a Gambar 9. Ekstrak antosianin padat (a) dan ekstrak antosianin dengan pengenceran 2 kali (b) b 2. Ekstraksi dan Karakterisasi Brazilein Ekstraksi brazilein dilakukan dengan pelarut etanol 5% pada suhu 8 o C selama 3x3 menit. Ekstraksi secang menggunakan etanol 5% merupakan ekstraksi yang lebih baik dibandingkan menggunakan etanol 95% dan aquades. Ekstrak secang yang diekstraksi dengan pelarut aquades dan etanol 95% berwarna merah kehitaman. Ekstraksi menggunakan etanol 5% menghasilkan ekstrak dengan warna merah kecoklatan (Kristie, 28). Rendemen ekstrak dihitung dalam persen yang menyatakan banyaknya ekstrak yang terdapat di dalam sampel berdasarkan berat basah. Rendemen ekstrak brazilein kayu secang yang diperoleh sebesar 8.15% (b/b). Ekstrak yang diperoleh dilakukan karakterisasi yang meliputi kadar air, total brazilein, dan ph ekstrak. Karakteristik ekstrak brazilein dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Tabel 5. Kadar air ekstrak brazilein dari kayu secang sebesar 8.33% (bb) atau 9.9% (bk). Kadar air ekstrak brazilein kayu secang relatif kecil karena ekstrak brazilein tidak bersifat higroskopis. Total brazilein yang diperoleh sebesar.5919 mg/mg ekstrak. Hal ini menunjukkan jumlah ekstrak brazilein yang diperoleh cukup besar. Pengukuran total brazilein dilakukan dengan menggunakan kurva standar (Lampiran 2). Ekstrak brazilein yang dilarutkan ke dalam 5 ml aquades memilki ph sebesar

47 Analisis karakteristik pigmen brazilein bertujuan untuk mengetahui jumlah brazilein yang ditambahkan pada tahap penelitian selanjutnya yaitu pembuatan model minuman dan kopigmentasi. Tabel 5. Karakteristik ekstrak brazilein kayu secang Karakteristik ekstrak Kadar air Nilai Kadar air (% bb) Kadar air (% bk) Total brazilein Warna Total brazilein (mg/mg ekstrak) L 25.3 a 2.72 b o hue o Nilai L ekstrak brazilein sebesar Berdasarkan nilai L dapat diketahui bahwa ekstrak memiliki kecerahan yang rendah (gelap). Nilai a ekstrak yang diperoleh sebesar 2.72, menunjukkan ekstrak memiliki derajat merah. Nilai b ekstrak sebesar yang menunjukkan bahwa ekstrak memiliki derajat warna kuning. Nilai o hue ekstrak adalah o dengan kisaran warna merah. ssssss Gambar 1. Ekstrak brazilein dari kayu secang 32

48 B. PEMBUATAN MODEL MINUMAN DAN KOPIGMENTASI Model minuman berfungsi sebagai media untuk mengetahui kestabilan pigmen antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein. Model minuman yang digunakan adalah model minuman ringan yang merupakan pangan dengan ph rendah. Model minuman ringan terdiri dari air, gula, antosianin, dan brazilein. Formulasi model minuman dibuat dengan penambahan gula sebesar 1% (b/v). Model minuman dibuat dalam 5 ml. Menurut Thorner dan Hezberg (1978) konsentrasi akhir pemanis dalam minuman ringan mencapai 8-14%. Pembuatan model minuman dilakukan dengan kombinasi jumlah antosianin dan brazilein yang dinyatakan dalam molar. Antosianin rosela dinyatakan dalam bentuk delphinidin 3-glukosida dengan massa molekul relatif sebesar 51 gr/mol. Massa molekul relatif brazilein sebesar gr/mol. Jumlah antosianin yang ditambahkan dalam model minuman yaitu 5.82x1-5 M. Konsentrasi brazilein ditambahkan pada model minuman yaitu 1.74x1-4 M, 2.32x1-4 M, 2.91x1-4 M, 3.5x1-4 M, dan 4.7x1-4 M. Perbandingan molar antara antosianin dengan brazilein adalah sebesar 1:3, 1:4, 1:5, 1:6, dan 1:7. Menurut Broillard dan Dengel (1994) efek kopigmentasi terlihat pada konsentrasi antosianin lebih besar dari 1-5 M. Efek spektrofotometri antosianin mulai terlihat pada konsentrasi 1-5 M. Jumlah kopigmen brazilein yang ditambahkan harus lebih besar dari jumlah antosianin. Efek kopigmentasi terjadi apabila jumlah kopigmen yang ditambahkan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah antosianin (Rein, 25). Penentuan jumlah brazilein yang ditambahkan berdasarkan konsentrasi model minuman yang menghasilkan warna merah. Apabila brazilein yang ditambahkan lebih besar dari 4.7x1-4 M maka model minuman akan berwarna merah kekuningan. Model minuman yang diukur serapan panjang gelombang maksimum dengan menggunakan scanning spectrophotometer. Model minuman antosianin dengan panjang gelombang maksimal yaitu 52 nm dan model minuman kopigmentasi antosianinbrazilein yaitu 515 nm. Nilai ph model minuman yang didapat berkisar 33

49 antara Menurut Hendry (1996) pada ph 2-3 antosianin berbentuk kation flavinium dan sebagian basa quinoidal. Pada ph 2-5 reaksi kopigmentasi terjadi lebih baik karena kesetimbangan bentuk quinoidal (William dan Hrazdina, 1979). C. STABILITAS MODEL MINUMAN TERHADAP PEMANASAN Model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein dilakukan pengujian terhadap suhu pemanasan. Stabilitas suhu pemanasan mewakili suhu proses pasteurisasi yaitu 4 o C, 5 o C, 6 o C, 7 o C, dan 8 o C. Pengamatan dilakukan dengan mengukur absorbansi pada panjang gelombang 52 nm untuk model minuman antosianin dan 515 nm untuk model minuman kopigmentasi antosianin-brazilein. Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan chromameter CR 31 untuk melihat nilai L, a, b, E, dan o hue. 1. Pengamatan Spektrofotometer Pengukuran stabilitas dilakukan dengan pengamatan nilai retensi warna dan nilai konstanta laju degradasi (k). Peningkatan suhu dan waktu pemanasan akan menurunkan retensi warna dan meningkatkan nilai k (Lampiran 4). Peningkatan suhu pemanasan dapat menstimulasi akumulasi senyawa hasil degradasi antosianin seperti kalkon dan turunannya (Satyatama, 28). a. Retensi Warna Nilai retensi warna merupakan perbandingan antara nilai absorbansi proses pemanasan pada waktu dan suhu tertentu dengan nilai absorbansi sebelum pemanasan. Nilai retensi warna pada semua model minuman mengalami penurunan dengan meningkatnya suhu dan waktu pemanasan (Gambar 11). 34

50 At/Ao At/Ao A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (1) (2) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) At/Ao (3) (4) At/Ao At/Ao (5) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Gambar 11. Grafik hubungan antara At/Ao (retensi warna) dengan waktu (menit) model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein suhu 4 o C (1), 5 o C (2), 6 o C (3), 7 o C (4), dan 8 o C (5) 35

51 Semakin meningkatnya suhu mengakibatkan grafik menjadi lebih curam. Kecuraman grafik menggambarkan nilai retensi warna yang semakin menurun (Gambar 11). Nilai retensi warna masingmasing model minuman tiap suhu bisa terlihat pada Lampiran 4. Nilai retensi warna model minuman kopigmentasi antosianinbrazilein lebih besar apabila dibandingkan dengan model minuman antosianin. Hal tersebut dapat terlihat dari semakin landainya grafik pada model minuman kopigmentasi (Gambar 11). Penambahan brazilein dapat menurunkan degradasi warna antosianin. Nilai retensi warna pemanasan 4 o C selama 1 jam lebih besar dari.94. Warna model minuman paling baik pada suhu tersebut dibandingkan dengan suhu pemanasan yang lebih tinggi. Nilai retensi warna akan meningkat dengan penambahan brazilein sampai perbandingan antosianin dengan brazilein (1:7) (Gambar 12). Nilai retensi warna model minuman pada suhu 5 o C yaitu Nilai retensi warna terendah pada model minuman antosianin dan tertinggi pada model minuman antosianin:brazilein (1:5) dan (1:6). Nilai retensi warna pemanasan 6 o C selama 6 jam lebih besar dari.8 pada model minuman antosianin:brazilein (1:6) dan (1:7). Sedangkan nilai retensi warna model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), dan (1:5) lebih kecil dari.8 (Gambar 12). Nilai retensi pemanasan 7 o C selama 4 jam yaitu Nilai retensi warna terendah pada model minuman antosianin dan tertinggi pada model minuman antosianin:brazilein (1:7). Nilai retensi warna pada pemanasan 8 o C selama 2 jam paling rendah dibandingkan dengan suhu 4 o C, 5 o C, 6 o C, dan 7 o C. Nilai retensi warna lebih besar dari.6 pada model minuman antosianin:brazilein (1:6) dan (1:7). Model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), dan (1:5) memiliki nilai retensi warna lebih kecil dari.6 dengan pemanasan 8 o C selama 2 jam (Gambar 12 dan Lampiran 4). 36

52 Penambahan brazilein pada suhu 4 o C tidak menyebabkan perubahan besar terhadap nilai retensi warna. Penambahan brazilein pada pemanasan 5 o C, 6 o C, 7 o C, dan 8 o C dapat meningkatkan nilai retensi warna lebih besar jika dibandingkan dengan suhu 4 o C. Pada suhu 4 o C, antosianin belum banyak mengalami perubahan struktural yang berpengaruh terhadap stabilitas warna antosianin. Penambahan brazilein sebagai kopigmen pada suhu tersebut kurang berfungsi. Berbeda halnya dengan suhu yang lebih tinggi, penambahan brazilein dapat memberikan pengaruh yang lebih besar. Penambahan brazilein dapat melindungi antosianin dari degradasi akibat proses pemanasan (Gambar 12). 1.8 At/Ao Gambar 12. Diagram hubungan antara At/Ao (retensi warna) dengan suhu ( o C) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein Menurut Elbe dan Schwartz (1996) suhu pemanasan dapat mengubah kesetimbangan kation flavinium menjadi kalkon yang tidak berwarna. Setelah itu cincin perilium terbuka dan mengalami degradasi lebih lanjut menjadi alfa diketon yang berwarna cokelat (Brouilard, 1982). Suhu ( o C) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Menurut Satyatama (28) nilai retensi warna pada antosianin duwet pemanasan 4 o C-7 o C selama 2 jam diatas.8. Nilai retensi 37

53 warna pemanasan 9 o C dan 1 o C selama 2 jam sebesar.576 dan.42. Penurunan kestabilan warna antosianin terlihat dari berbagai sumber antosianin misalnya raspberry dan cherries (Ochoa et al., 23), serta blood orange juice (Kirca dan Cemeroglu, 22). b. Nilai k Nilai k menggambarkan konstanta laju degradasi antosianin. Semakin meningkatnya suhu mengakibatkan nilai k akan meningkat. Semakin tinggi nilai k laju degradasi antosianin akan semakin meningkat. Peningkatan laju reaksi mengakibatkan degradasi warna antosianin akan lebih cepat. Nilai k diperoleh dengan menghubungkan antara ln retensi warna dengan waktu (menit) yang berlangsung secara linier (Gambar 13). Berdasarkan hubungan di atas laju degradasi antosianin mengikuti persamaan Arhenius orde ke-1. Proses degradasi antosianin mengikuti orde ke-1 diperkuat dengan berbagai sumber antosianin yaitu rosela (Gradinaru et al., 23), duwet (Satyatama, 28), blood orange juice (Cemeroglu dan Kirca, 22), dan raspberry (Ochoa et al., 2). Semakin meningkatnya suhu gradien garis akan semakin curam. Penambahan brazilein membuat grafik menjadi lebih landai. Dapat dikatakan penambahan brazilein dapat menurunkan nilai k. Nilai k model minuman berkisar 7x x1-3 menit -1 dengan nilai R (Lampiran 5). Nilai k model minuman kopigmentasi antosianin-brazilein lebih rendah dibandingkan model minuman antosianin. Model minuman antosianin:brazilein (1:3) suhu 6 o C memiliki nilai yang sama dengan model minuman antosianin. 38

54 -1E E Ln Ln A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) -.6 A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (1) (2) -1E E Ln Ln A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) -.6 A A:B(1:3) A:B(1:4) A:B(1:5) A:B(1:6) A:B(1:7) (3) (4) -1E A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (5) Gambar 13. Grafik hubungan antara ln At/Ao (retensi warna) dengan waktu (menit) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein suhu 4 o C (1), 5 o C (2), 6 o C (3), 7 o C (4), dan 8 o C (5) 39

55 Secara umum penambahan brazilein dapat menurunkan nilai k. Hal ini terlihat pada suhu pemanasan 4 o C, 5 o C, 6 o C, 7 o C, dan 8 o C (Gambar 14). Menurunnya nilai k pada model minuman kopigmentasi antosianin-brazilein menggambarkan laju degradasi antosianin yang semakin menurun. Penurunan nilai k diduga karena interaksi charge transfer complex atau interkasi π-π. Kation flavinium pada antosianin yang bermuatan positif (kekurangan elektron), sedangkan brazilein memiliki kelebihan elektron akan mentransfer elektron sehingga terjadi kesetimbangan elektron (Castenada et al., 29). Ikatan inilah yang diduga mampu meningkatkan kestabilan antosianin pada model minuman kopigmentasi antosianin-brazilein. Kestabilan antosianin yang dikopigmentasi lebih tinggi dibandingkan dengan antosianin tanpa kopigmen. Hal ini dikarenakan ikatan antara antosianin dan kopigmen melindungi dari serangan nukleofilik air pada cincin perilium antosianin (Markakis, 1982). Menurut Satyatama (28) nilai konstanta laju degradasi antosianin buah duwet suhu 4-1 o C sebesar 3x x1-3 menit -1 dengan koefisien determinasi Nilai k antosianin dari blood orange juice pemanasan 7 o C sebesar 1.84x1-3 menit -1. Nilai k pemanasan 8 o C mengalami peningkatan menjadi 3.22x1-3 menit -1 (Cemeroglu dan Kirca, 22). Menurut Gradinaru et al. (23) penambahan asam klorogenik dapat menurunkan nilai k sianidin suhu 7 o C dari 6.86x1-2 jam -1 menjadi 5.92x1-2 jam -1. Nilai k pemanasan 85 o C sebesar 1.64x1-1 jam -1 dengan penambahan asam klorogenik nilai k turun menjadi 1.57x1-1 jam -1. 4

56 Nilai k ( menit -1 ).1 8E-5 6E-5 4E-5 2E-5 Nilai k (menit -1 ) Proporsi antosianin:brazilein Proporsi antosianin:brazilein (1) (2) Nilai k (menit -1 ) Nilai k (menit -1 ) Proporsi antosianin:brazilein Proporsi antosianin:brazilein (3) (4) Nilai k (menit -1 ) Proporsi antosianin:brazilein (5) Gambar 14. Nilai konstanta laju degradasi antosianin (menit -1 ) pada model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), (1:6), dan (1:7) 41

57 c. Waktu Paruh Waktu paruh (t 1/2 ) adalah waktu pada saat suatu zat terurai menjadi setengah dari jumlah semula (Saeni, 1989). Semakin tinggi waktu paruh maka semakin lama antosianin mengalami degradasi akibat pemanasan. Waktu paruh berbanding terbalik dengan nilai k. Semakin tinggi nilai k maka waktu paruh akan semakin kecil. Waktu paruh masing-masing model minuman dapat dilihat pada Lampiran 5. Penambahan brazilein dapat meningkatkan waktu paruh (t 1/2 ). Secara umum nilai waktu paruh (t 1/2 ) model minuman kopigmentasi antosianin-brazilein yang lebih tinggi dibandingkan model minuman antosianin (Gambar 15). Kestabilan antosianin yang dikopigmentasi lebih tinggi dibandingkan dengan antosianin tanpa kopigmen. Hal ini dikarenakan ikatan antara antosianin dan kopigmen melindungi dari serangan nukleofilik air pada cincin perilium antosianin (Markakis, 1982). Waktu paruh akan menurun dengan meningkatnya suhu pemanasan. Nilai waktu paruh paling besar yaitu model minuman antosianin:brazilein (1:7) suhu 4 o C yaitu jam. Waktu paruh model minuman terendah pada model minuman antosianin suhu 8 o C yaitu 2.75 jam. Waktu paruh (t 1/2 ) antosianin dari blood orange juice pemanasan 7 o C adalah 6.3 jam, sedangkan pemanasan 8 o C mengalami penuruan waktu paruh menjadi 3.6 jam (Cemeroglu dan Kirca, 22). Peningkatan suhu menyebabkan terjadinya hidrolasi cincin perilium antosianin yang lebih lanjut yang menghasilkan alfa diketon yang berwarna cokelat (Satyatama, 28). Menurut Gradinaru et al. (23) menyatakan penambahan asam klorogenik dapat meningkatkan nilai t 1/2 pada sianidin suhu 7 o C dari 1.1 jam menjadi 1.1 jam. Sedangkan nilai t 1/2 pada suhu 85 o C sianidin sebesar 4.2 jam dengan penambahan asam klorogenik nilai k turun menjadi 4.4 jam. 42

58 Waktu paruh (jam) (1:) (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Waktu paruh (jam) (1:) (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Proporsi antosianin:brazilein Proporsi antosianin:brazilein (1) (2) Waktu paruh (jam) (1:) (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Waktu paruh (jam) (1:) (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Proporsi antosianin:brazilein Proporsi antosianin:brazilein (3) (4) 3.4 Waktu paruh (jam) (1:) (1:3) (1:4) (1:5) (1:6) (1:7) Proporsi antosianin:brazilein (5) Gambar 15. Nilai waktu paruh (jam) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein suhu 4 o C (1), 5 o C (2), 6 o C (3), 7 o C (4), dan 8 o C (5) 43

59 d. Energi Aktivasi Energi aktivasi merupakan energi minimal yang dibutuhkan agar suatu reaksi dapat berlangsung (Saeni, 1989). Apabila dikaitkan dengan laju degradasi antosianin, semakin kecil energi aktivasi maka reaksi degradasi antosianin berlangsung lebih cepat. Begitu pula sebaliknya, semakin tinggi energi aktivasi maka laju degradasi antosianin akan semakin lebih lama. Adanya kopigmentasi energi aktivasi akan semakin tinggi sehingga laju degradasi lebih kecil dan stabilitas warna lebih bisa ditingkatkan. Nilai energi aktivasi diperoleh dengan menghubungan ln k dan 1/T (dalam K) sehingga didapatkan nilai Ea/R dan ln ko (Gambar 16). Nilai Ea/R model minuman terbesar terdapat pada model minuman antosianin:brazilein (1:6) sedangkan nilai terendah pada model minuman antosanin:brazilein (1:4) dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar Penambahan brazilein dapat meningkatkan nilai Ea/R pada model minuman kopigmentasi. Dengan meningkatnya nilai Ea/R maka nilai energi aktivasi juga semakin meningkat. Nilai energi aktivasi diperoleh dengan mengalikan nilai Ea/R dengan konstanta gas (8.314 J/molK). Penambahan brazilein dapat meningkatkan energi aktivasi karena proses pemanasan (Gambar 17). Kestabilan antosianin yang dikopigmentasi lebih tinggi dibandingkan dengan antosianin tanpa kopigmen. Peningkatan kestabilan dikarenakan ikatan antosianin dan kopigmen dapat melindungi dari serangan nukleofilik air pada cincin perilium antosianin (Markakis, 1982). 44

60 Ln k -4-6 y = -1221x R² =.986 Ln k -4-6 y = -1421x R² = /T (K -1 ) 1/T (K -1 ) (1) (2) Ln k -4-6 y = -1445x R² =.983 Ln k -4-6 y = -151x R² = /T (K -1 ) 1/T (K -1 ) (3) (4) Ln k -4-6 y = -1867x R² =.999 ln k -4-6 y = -1633x R² = /T (K -1 ) -12 1/T (K -1 ) (5) (6) Gambar 16. Grafik hubungan antara ln konstanta laju degradasi antosianin (ln k) dengan 1/T (K -1 ) pada model minuman antosianin (1), antosianin:brazilein 1:3 (2), 1:4 (3), 1:5 (5), 1:6 (6), dan 1:7 (7) 45

61 Penambahan brazilein dapat meningkatkan energi aktivasi antosianin. Model minuman antosianin:brazilein (1:6) memiliki nilai enegi aktivasi paling baik dibandingkan model minuman lainnya. Penambahan brazilein pada model minuman antosianin:brazilein (1:7) mengalami penurunan energi aktivasi dibandingkan model minuman antosianin:brazilein (1:6). Energi aktivasi ( kj/mol) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Nilai Ea Gambar 17. Nilai energi aktivasi model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), (1:6), dan (1:7) Menurut Satyatama (28) energi aktivasi ekstrak duwet yang mengalami pemanasan 27-1 o C sebesar 56 kj/mol, meningkat menjadi 72.4 kj/mol untuk antosianin dengan penambahan kopigmen asam felurik, dan kj/mol dengan kopigmen asam galat. Selain itu Gradinaru et al. (28) melaporkan penambahan asam klorogenik bisa meningkatkan energi aktivasi cyanidin 3-sambiosida dari 14. kkal/mol menjadi 15.1 kkal/mol. 2. Pengamatan Chromameter Analisis warna dengan menggunakan chromameter akan diperoleh nilai L, a, dan b. Nilai L, a, dan b merupakan parameter warna dalam sistem Hunter. Nilai L (lightness) adalah suatu nilai yang menyatakan gelap dan terangnya warna bahan. Semakin besar nilai L maka sampel 46

62 akan semakin terang. Nilai a menyatakan derajat warna merah (a+) atau warna hijau (a-) suatu bahan. Sedangkan nilai b menyatakan derajat warna kuning (b+) atau warna biru (b-). Nilai E menggambarkan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna. Nilai E diperoleh dari perubahan nilai L, a, dan b selama proses pemanasan. Nilai a dan b dikombinasikan akan diperoleh nilai o hue. Nilai o hue menggambarkan daerah warna kromatis yang menentukan jenis warna. a. Nilai L Nilai L (lightness) model minuman akan meningkat dengan meningkatnya suhu dan lamanya waktu pemanasan (Gambar 18). Peningkatan nilai L terjadi karena proses degradasi yang memberikan komponen tidak berwarna yaitu kalkon (Jackman dan Smith,1996). Peningkatan nilai L akan mengakibatkan warna sampel menjadi semakin cerah. Nilai L pemanasan 4 o C, 5 o C, dan 6 o C tidak memperlihatkan perbedaan yang besar. Nilai L pada suhu tersebut berkisar antara Nilai L pemanasan 7 o C dan 8 o C lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 4 o C, 5 o C, dan 6 o C (Gambar 18). Pada suhu 7 o C dan 8 o C terjadi proses degradasi yang lebih besar pada antosianin yang memberikan komponen yang tidak berwarna seperti kalkon. Nilai L pada masing-masing proses pemanasan bisa dilihat pada Lampiran 7. Peningkatan nilai L pada model minuman kopigmentasi antosianin-brazilein disebabkan terjadinya proses degradasi kompleks kopigmentasi antara antosianin dengan kopigmen brazilein yang dapat menghasilkan komponen tidak berwarna. Antosianin akan berubah menjadi kalkon yang tidak berwarna akibat pengaruh suhu dan lama pemanasan (Maza dan Brouillard, 199). 47

63 Nilai L A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Nilai L A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (1) (2) Nilai L 5 Nilai L A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (3) (4) 6 55 Nilai L A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (5) Gambar 18. Grafik hubungan antara nilai L (lightness) dengan waktu (menit) model minuman antosianin dan kopigmentasi antosinain-brazilein pemanasan 4 o C (1), 5 o C (2), 6 o C(3), 7 o C(4), dan 8 o C(5) 48

64 Nilai L (lightness) model minuman tanpa proses pemanasan yaitu Nilai L paling besar terdapat pada model minuman antosianin:brazilein (1:3). Sedangkan nilai L terkecil pada model minuman antosanin. Nilai L pada Gambar 19 menyatakan selisih antara nilai L awal dengan nilai L akhir proses pemanasan. Nilai L pada suhu 4 o C, 5 o C, dan 6 o C tidak menunjukkan banyak perbedaan nilai. Suhu pemanasan 7 o C dan 8 o C selama 4 jam dan 2 jam memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan nilai kecerahan model minuman. Secara umum penambahan brazilein dapat menurunkan nilai L. Nilai L terendah yaitu model antosianin:brazilein (1:6). Penambahan brazilein dapat melindungi kation flavinium dari degradasi warna L Suhu ( o C) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Gambar 19. Diagram hubungan antara nilai L (perubahan nilai lightness) dengan suhu ( o C) Menurut Satyatama (28) nilai lightness antosianin dari duwet akan bertambah dengan meningkatnya suhu. Nilai L pemanasan 4 o C selama 2 jam sebesar 65.6 sedangkan pemanasan 8 o C selama 2 jam sebesar Peningkatan nilai L disebabkan oleh penumpukan hasil degradasi antosianin akibat proses pemanasan menjadi kalkon yang tidak berwarna. Hal ini diperkuat dengan Carmen et al. (25) yang melaporkan bahwa penambahan ekstrak rosmery sebagai kopigmen menyebabkan penurunan nilai lightness jus anggur. 49

65 b. Nilai a Nilai a (derajat merah) model minuman mengalami penurunan dengan meningkatnya suhu dan lamanya pemanasan. Penurunan nilai a disebabkan oleh peningkatan kecepatan reaksi transformasi struktural kation flavinium (berwarna merah) menjadi kalkon (tidak berwarna). Penurunan konsentrasi kation flavinium dapat menurunkan warna merah model pangan (Jackman dan Smith, 1996). Penurunan nilai a model minuman pada masing-masing suhu dapat dilihat pada Gambar 2. Nilai a pemanasan 4 o C, 5 o C, dan 6 o C tidak memperlihatkan perbedaan yang besar. Suhu 4 o C, 5 o C, dan 6 o C merupakan pemanasan relatif rendah sehingga pengaruh terhadap struktur antosianin relatif rendah. Sedangkan suhu 7 o C dan 8 o C nilai a mengalami penurunan yang cukup besar. Nilai a tanpa proses pemanasan berkisar antara sampai 4.2. Nilai a terbesar terdapat pada model minuman antosianin dan terendah pada model minuman antosianin:brazilein (1:6). Nilai a model minuman pada masing-masing suhu dapat terlihat pada Lampiran 7. Nilai a pada akhir proses pemanasan suhu 4 o C dan 5 o C yaitu Nilai a pemanasan 6 o C selama 6 jam sebesar Nilai a pemanasan 7 o C dan 8 o C mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan suhu lainnya. Nilai a pada suhu tersebut lebih kecil dari 2 (Gambar 2). Secara umum penurunan nilai a (derajat merah) disebabkan disosiasi kompleks kopigmentasi yang menghasilkan pseudobasa karbinol yang berwarna pucat (Satyatama, 28). 5

66 Nilai a A A:B`(1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Nilai a A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Nilai a (1) (2) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Nilai a (3) (4) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Nilai a A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (5) Gambar 2. Grafik hubungan antara nilai a (derajat merah) dengan waktu (menit) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazielin pemanasan 4 o C (1), 5 o C (2), 6 o C (3), 7 o C (4), dan 8 o C (5) 51

67 Nilai a menggambarkan perubahan nilai a (derajat merah) tanpa proses pemanasan dengan nilai a akhir proses pemanasan. Semakin tinggi nilai a maka warna merah model minuman akan semakin berkurang. Semakin meningkatnya suhu, nilai a akan semakin meningkat. Peningkatan nilai a terlihat lebih besar pada pemanasan 7 o C dan 8 o C. Secara umum penambahan brazilein pada model minuman dapat meningkatkan nilai a. Nilai a terendah terdapat pada model minuman antosianin:brazilein (1:6). a Suhu ( o C) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Gambar 21. Diagram hubungan nilai a (perubahan derajat merah) dengan suhu ( o C) Menurut penelitian yang dilakukan Satyatama (28) nilai a antosianin duwet tanpa pemanasan sebesar 22.4, setelah mengalami pemanasan 4 o C dan 8 o C selama 2 jam menjadi 21.2 dan Menurut Markakis (1982) peningkatan suhu pengolahan dan penyimpanan dapat mengakibatkan kerusakan antosianin secara cepat. Kerusakan antosianin terjadi melalui hidrolisis ikatan glikosidik. Selanjutnya terbukanya cincin aglikon sehingga terbentuk gugus karbinol dan kaklon 52

68 c. Nilai b Nilai b (derajat kuning) memiliki beberapa kecenderungan (Gambar 22). Nilai b kurang dapatmenggambarkan kinetika laju degradasi. Nilai b model minuman tanpa pemanasan terendah pada model minuman antosianin yaitu dan terbesar pada model minuman antosianin:brazilein (1:3) yaitu Nilai b masing-masing model minuman dapat terlihat pada Lampiran 7. Nilai b pada suhu 4 o C relatif lebih stabil dibandingkan suhu lainnya. Model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), dan (1:7) mengalami penurunan dengan pemanasan selama 75 menit. Nilai b mengalami peningkatan selama 75-6 menit tetapi nilai b akhir proses lebih rendah dibandingkan nilai b tanpa pemanasan. Model minuman antosianin (1:4) mengalami penurunan sedangkan model minuman antosianin:brazilein (1:6) mengalami peningkatan selama pemanasan 1 jam. Nilai b model minuman antosianin mengalami penurunan selama proses pemanasan 5 o C selama 8 jam. Nilai b model minuman antosianin:brazilein (1:6) mengalami peningkatan selama proses pemanasan. Nilai b model minuman lainnya mengalami penurunan pada menit ke-6 selanjutnya mengalami peningkatan sampai akhir proses pemanasan. Model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), dan (1:7) dengan pemanasan 6 o C dan 7 o C mengalami penurunan pada awal pemanasan dan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya waktu pemanasan. Nilai b model minuman antosianin:brazilein (1:6) semakin meningkat dengan bertambahnya waktu pemanasan (Lampiran7). Nilai b model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3) dan (1:4) mengalami penurunan dengan pemanasan 8 o C selama 2 jam. Model minuman antosianin:brazilein (1:5), (1:6), dan (1:7) akan mengalami peningkatan dengan lamanya waktu pemanasan. 53

69 Nilai b A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Nilai b A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (1) (2) Nilai b Nilai b A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (3) (4) 3 25 Nilai b A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (5) Gambar 22. Grafik antara hubungan nilai b (derajat kuning) dengan waktu (menit) model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianinbrazilein pemanasan 4 o C(1), 5 o C(2), 6 o C(3), 7 o C(4), dan 8 o C(5) 54

70 Nilai b menggambarkan perubahan nilai b tanpa proses pemanasan dengan nilai b akhir proses pemanasan. Semakin tinggi nilai b maka warna kuning model minuman akan semakin berkurang. Nilai b model minuman sulit untuk digunakan sebagai kinetika laju degradasi. Nilai b dapat terlihat pada Gambar 23. b Suhu ( o C) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Gambar 23. Diagram hubungan nilai b (perubahan derajat kuning) dengan suhu ( o C) Menurut (Satyatama, 28) nilai b antosianin dari buah duwet mengalami peningkatan dengan lamanya pemanasan. Nilai b ekstrak antosianin duwet tanpa pemanasan sebesar Pemanasan 6 o C dan 8 o C selama 2 jam nilai b meningkat menjadi dan -3,29. Menurunnya stabilitas warna disebabkan dekomposisi antosianin dari bentuk aglikon menjadi kalkon pada akhirnya membentuk alfa diketon yang berwarna cokelat (Markakis, 1982). d. Nilai E Nilai E menggambarkan atribut yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna. Peningkatan waktu pemanasan dapat meningkatkan nilai E akibat perubahan nilai L, a, dan b. Nilai E akan mengalami peningkatan dengan meningkatnya waktu dan suhu pemanasan (Gambar 24). 55

71 E A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) E A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (1) (2) E A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) E A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (3) (4) E A A:B(1:3) A:B(1:4) A:B(1:5) A:B(1:6) A:B(1:7) (5) Gambar 24. Grafik hubungan antara nilai E (perubahan warna secara keselurahan) dengan waktu (menit) model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein pemanasan 4 o C (1), 5 o C (2), 6 o C (3), 7 o C (4), dan 8 o C (5) 56

72 Nilai E pemanasan 4 o C, 5 o C, dan 6 o C tidak memiliki banyak perbedaan. Hal ini dikarenakan suhu 4 o C, 5 o C, dan 6 o C merupakan suhu yang cukup rendah sehingga berpengaruh relatif rendah terhadap perubahan warna model minuman. Nilai E suhu 7 o C dan 8 o C mengalami peningkatan dibandingkan dengan suhu sebelumnya (Gambar 25). Secara umum penambahan brazilein pada model minuman dapat meningkatkan nilai E. Model minuman antosianin:brazilein (1:6) memiliki nilai E yang paling rendah dibandingkan model minuman lainnya (Gambar 25). E Suhu ( o C) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Gambar 25. Diagram hubungan nilai E (perubahan warna secara keseluruhan) dengan suhu ( o C) Secara umum dengan meningkatnya suhu akan meningkatkan nilai E. Peningkatan waktu pemanasan juga dapat meningkatkan pembentukan senyawa yang tidak berwarna seperti kalkon (Brouillard, 1994). Menurut Brouillard dan Dengel (1994) peningkatan suhu menyebabkan disosiasi parsial pada kopigmentasi kation flavinium. Menurut Satyatama (28) nilai E ekstrak antosianin duwet pada suhu 4-8 o C memiliki kisaran Pemanasan 9 o C dan 1 o C memiliki nilai E sebesar 1.68 dan

73 e. Nilai o hue Nilai o hue pada lingkaran warna kromatis menggambarkan kisaran warna. Nilai o hue pemanasan 4 o C selama 1 jam berada pada 27.5 o o yang merupakan kisaran warna merah. Pemanasan 4 o C selama 1 jam tidak menyebabkan pergeseran warna. Nilai o hue pemanasan 6 o C dan 5 o C selama 4 jam dan 6 jam yaitu o o dan o o. Pada pemanasan tersebut masih merupakan kisaran warna merah (Tabel 6, 7, dan 8). Pemanasan 4 o C, 5 o C, dan 6 o C belum terjadi hidrolasi cincin perilium antosianin. Hasil degradasi antosianin selanjutnya akan menghasilkan senyawa alfa diketon yang berwarna cokelat (Satyatama, 28). Nilai o hue pemanasan 7 o C selama 4 jam yaitu 44.6 o o. Model minuman antosianin:brazilein (1:7) terjadi pergeseran warna menjadi warna merah kuning. Model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), dan (1:6) tetap berwarna merah pada akhir proses pemanasan (Tabel 9). Pergeseran warna dapat disebabkan jumlah brazilein yang ditambahkan pada model minuman tersebut lebih banyak dibandingkan model minuman lainnya. Pergeseran warna terjadi karena penumpukan hasil degradasi antosianin dan brazilein yang akan berpengaruh pada warna model minuman. Nilai o hue pemanasan 8 o C selama 2 jam sebesar 52.7 o o. Pada suhu tersebut terjadi pergesaran warna menjadi merah kuning untuk model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), dan (1:7). Warna model minuman antosianin:brazilein (1:6) tetap berwarna merah. Warna model minuman pada awal dan akhir proses pemanasan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1. 58

74 Tabel 6. Kisaran warna model minuman pemanasan 4 o C A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) Tabel 7. Kisaran warna model minuman pemanasan 5 o C Tabel 8. Kisaran warna model minuman pemanasan 6 o C A:B (1:7) Suhu Waktu A ( o C) (menit) M M M M M M 75 M M M M M M 15 M M M M M M M M M M M M 3 M M M M M M 375 M M M M M M 45 M M M M M M 525 M M M M M M 6 M M M M M M A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Suhu Waktu A ( o C) (menit) M M M M M M 6 M M M M M M 12 M M M M M M 18 M M M M M M 5 24 M M M M M M 3 M M M M M M 36 M M M M M M 42 M M M M M M 48 M M M M M M A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Suhu Waktu A ( o C) (menit) M M M M M M 45 M M M M M M 9 M M M M M M 135 M M M M M M 6 18 M M M M M M 225 M M M M M M 27 M M M M M M 315 M M M M M M 36 M M M M M M 59

75 Tabel 9. Kisaran warna model minuman pemanasan 7 o C A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Suhu Waktu A ( o C) (menit) M M M M M M 3 M M M M M M 6 M M M M M M 7 9 M M M M M M 12 M M M M M M 15 M M M M M M 18 M M M M M M 21 M M M M M M 24 M M M M M MK Tabel 1. Kisaran warna model minuman pemanasan 8 o C A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Suhu Waktu A ( o C) (menit) M M M M M M 15 M M M M M M 3 M M M M M M 45 M M M M M M 6 M M M M M M 8 75 M M M M M M 9 M M M M M M 15 M M M M M M 12 MK MK MK MK MK MK Keterangan M = Merah, MK = Merah Kuning Menurut (Markakis, 1982) menurunnya stabilitas warna antosianin karena pemanasan yang tinggi. Pemanasan yang tinggi berakibat dekomposisi antosianin dari bentuk aglikon menjadi kalkon dan akhirnya menjadi alfa diketon yang berwarna cokelat. Penampakan visual model minuman pada awal dan akhir proses pemanasan 4 o C, 5 o C, 6 o C, 7 o C, dan 8 o C dapat dilihat pada Gambar 26. 6

76 A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (1) (2) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (3) (4) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (5) (6) Gambar 26. Penampakan visual model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), (1:6), dan (1:7) tanpa pemanasan (1) dan akhir proses pemanasan 4 o C (2), 5 o C (3), 6 o C (4), 7 o C (5), dan 8 o C (6) 61

77 D. STABILITAS MODEL MINUMAN TERHADAP SINAR UV Stabilitas model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianinbrazilein dipengaruhi oleh penyinaran dengan UV. Pengukuran stabilitas model minuman dilakukan selama 144 jam. Pengamatan intensitas warna dilakukan setiap 24 jam. Sebelum dilakukan penyinaran dengan UV, model minuman mengalami proses pasteurisasi. Pasteurisasi bertujuan membunuh mikroba yang yang sensitif terhadap panas, bakteri non spora, kapang, dan khamir (Fellow, 1992). Model minuman yang ditumbuhi mikroorganisme akan menyebabkan warna menjadi keruh. Warna yang keruh akan berpengaruh terhadap pengukuran warna. Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer dan chromameter. 1. Pengukuran dengan Spektrofotometer Pengamatan stabilitas model minuman dilakukan dengan pengukuran terhadap nilai retensi warna dan nilai konstanta laju degradasi antosianin (k). Nilai retensi warna akan semakin menurun dengan semakin lamanya waktu penyinaran. Pemudaran warna disebabkan diskolorisasi komplek sehingga terjadinya perubahan warna akibat terpapar sinar ultraviolet secara terus menerus (Jackman dan Smith, 1996). a. Nilai Retensi Warna Nilai retensi warna adalah perbandingan nilai absorbansi proses penyinaran pada waktu dan suhu tertentu (At) dengan nilai absorbansi sebelum penyinaran (Ao). Nilai retensi warna model minuman tiap suhu dapat terlihat pada Lampiran 8. Secara umum nilai retensi warna akan mengalami penurunan dengan semakin lama waktu penyinaran dengan UV (Gambar 27). Nilai retensi warna model minuman antosianin menurun sampai penyinaran 96 jam. Nilai retensi mengalami peningkatan 62

78 menjadi.818 pada penyinaran selama 12 jam. Nilai retensi model minuman antosianin:brazilein (1:3) mengalami kenaikan menjadi.86 pada penyinaran 72 jam. Penyinaran selama 144 jam nilai retensi warna turun menjadi.827. Nilai retensi warna model minuman antosianin:brazilein (1:4) penyinaran selama 144 jam yaitu.847. Nilai retensi warna model minuman antosianin:brazilein (1:4) lebih besar dibandingkan model minuman antosianin dan model minuman antosianin:brazilein (1:3). Nilai retensi model minuman antosianin:brazilein (1:5) penyinaran 96 jam dan 12 jam memiliki nilai yang sama yaitu.872 Nilai retensi warna penyinaran dengan UV selama 144 yaitu.856. Nilai retensi warna model minuman antosianin:brazilein (1:6) penyinaran dengan UV selama 144 jam yaitu.863. Model minuman antosianin:brazilein (1:7) memiliki nilai retensi yang sama pada penyinaran selama 48 jam dan 72 jam yaitu.93. Nilai retensi warna penyinaran selama 144 jam sebesar.839 (Lampiran 8). At/Ao Waktu (jam) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Gambar 27. Grafik hubungan antara At/Ao (retensi warna) dengan waktu (jam) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein penyinaran UV b. Nilai k dan Waktu Paruh (t 1/2 ) Nilai k merupakan konstanta laju degradasi antosianin. Semakin tinggi nilai k maka laju degradasi antosianin akan meningkat. Nilai k diperoleh dengan menghubungkan antara ln retensi warna 63

79 dengan waktu (jam) yang berlangsung secara linier (Gambar 28). Waktu paruh (t 1/2 ) adalah waktu pada saat suatu zat terurai menjadi setengah dari jumlah semula (Saeni, 1989). Semakin tinggi waktu paruh maka semakin lama antosianin mengalami degradasi akibat penyinaran UV. Waktu paruh berbanding terbalik dengan nilai k. Semakin tinggi nilai k maka waktu paruh akan semakin kecil. Ln Waktu (jam) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Gambar 28. Grafik hubungan ln At/Ao (retensi warna) dengan waktu (jam) pada model minuman penyinaran UV Nilai konstanta laju degradasi antosianin penyinaran sinar UV sebesar 1.2x x1-3 jam -1 dengan nilai R 2 (koefisien determinasi) Waktu paruh (t 1/2 ) model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein yaitu jam. Sinar UV berpengaruh terhadap nilai konstanta laju degradasi antosianin. Menurut Rosso dan Mercadante (27) nilai k model minuman antosianin acerola dengan penyimpanan ruang gelap sebesar 6x1-2 jam -1 sedangkan nilai k penyimpanan dengan terpapar cahaya sebesar 6.6x1-2 jam -1. Hal yang sama juga terlihat pada model minuman antosianin acai. Nilai k penyimpanan ruang gelap sebesar 7.3x1-4 jam -1. Nilai konstanta laju degradasi pada penyimpanan terpapar cahaya sebesar 1.3x1-3 jam

80 Tabel 11. Nilai k dan waktu paruh model minuman penyinaran dengan UV Model minuman Nilai k (jam -1 ) Waktu paruh (jam) Antosianin Antosianin:Brazilein (1:3) Antosianin:Brazilein (1:4) Antosianin:Brazilein (1:5) Antosianin:Brazilein (1:6) Antosianin:Brazilein (1:7) Pengamatan Chromameter Pengukuran dengan chromameter menggambarkan nilai L, a, b, E, dan o hue. Pengukuran warna dilakukan setiap 24 jam selama 144 jam. Nilai L akan meningkat dengan bertambahnya waktu penyinaran, nilai a mengalami penurunan, nilai b memiliki beberapa kecenderungan, E semakin meningkat, dan nilai o hue meningkat. a. Nilai L Nilai L (lightness) secara umum meningkat dengan lamanya waktu penyinaran dengan UV (Gambar 29). Nilai L model minuman tanpa penyinaran Nilai L model minuman antosianin tanpa penyinaran adalah Penyinaran selama 144 jam akan menyebabkan nilai L meningkat menjadi (Lampiran 9). Nilai L model minuman antosianin:brazilein (1:3) mengalami penurunan pada penyinaran 72 jam yaitu 52.8 tetapi pada penyinaran selanjutnya nilai L kembali mengalami peningkatan. Nilai L model minuman antosianin:brazilein (1:4) sebelum penyinaran Nilai L menurun menjadi selama penyinaran 72 jam. Pada akhir proses penyinaran nilai L meningkat menjadi 56.6 (Lampiran 9). Nilai L model minuman antosianin:brazilein (1:5) pada penyinaran selama 12 jam sebesar dan mengalami penurunan pada penyinaran selama 144 jam yaitu sebesar Nilai L model 65

81 minuman antosianin:brazilein (1:6) sebelum penyinaran sebesar Setelah mengalami penyinaran 24 jam nilai L turun menjadi Nilai L penyinaran selama 48 jam mengalami peningkatan menjadi Model minuman antosianin:brazilein (1:7) dengan nilai L tanpa penyinaran yaitu Nilai L pada penyinaran 24 jam, 48 jam, dan 72 jam menurun menjadi 51.84, 52.94, dan Nilai L penyinaran dengan UV selama 144 jam mengalami peningkatan menjadi (Lampiran 9). Nilai L Gambar 29. Grafik hubungan antara nilai L (lightness) dengan waktu (jam) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein penyinaran UV Secara umum penambahan brazilein tidak berpengaruh terhadap nilai L. Peranan brazilein sebagai kopigmen tidak bisa meningkatkan stabilitas nilai L. Hal ini dikarenakan brazilein merupakan pigmen alami yang mudah mengalami degradasi akibat pengaruh sinar UV Waktu (jam) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Menurut Satyatama (28) penambahan asam felurat dan asam galat dapat mempertahankan stabilitas warna ekstrak antosianin buah duwet selama 7 hari. Nilai L ekstrak antosianin, antosianin+asam felurik, dan antosianin+asam galat sebesar 64.59, 56.11, dan

82 b. Nilai a Nilai a menggambarkan derajat warna merah. Secara umum nilai a mengalami penurunan dengan semakin lamanya penyinaran UV(Gambar 3). Penyinaran dengan UV dapat menurunkan intensitas warna model minuman. Nilai a model minuman sebelum penyinaran setelah penyinaran selama 144 jam menurun menjadi Nilai a model minuman antosianin mengalami penurunan dari menjadi Nilai a penyinaran dengan UV selama 144 jam meningkat dibandingkan penyinaran selama 12 jam yaitu Nilai a model minuman antosianin:brazilein (1:3) mengalami penurunan menjadi Nilai a mengalami peningkatan dari menjadi pada penyinaran selama 72 jam (Lampiran 9). Nilai a model minuman antosinin:brazilein (1:4) sebelum mengalami penyinaran yaitu Nilai a terendah pada penyinaran selama 12 jam yaitu Nilai a penyinaran selama 144 jam meningkat dibandingkan dengan penyinaran 12 jam. Nilai a pada penyinaran selama 144 jam yaitu Hal yang sama juga terlihat pada model minuman antosianin:brazilein (1:5), nilai a sebelum penyinaran sebesar kemudian menurun pada penyinaran 12 jam yaitu Sedangkan pada akhir proses penyinaran nilai a mengalami kenaikan menjadi (Lampiran 9). Nilai a model minuman antosianin:braziein (1:6) sebelum penyinaran yaitu Nilai a penyinaran selama 24 jam meningkat menjadi Nilai a menurun menjadi selama penyinaran 144 jam. Sedangkan model minuman antosianin:brazilein (1:7) selama penyinaran jam memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan model minuman sebelum mengalami penyinaran. Nilai a model minuman sebelum penyinaran yaitu Setelah penyinaran selama 24 jam, 48 jam, dan 72 jam menjadi 19.65, 18.5, dan

83 Penurunan nilai a terbesar pada model minuman antosianin:brazilein (1:7) selama 144 jam yaitu 9.71 (Lampiran 9). Penambahan brazilein tidak berpengaruh besar terhadap penurunan nilai a. Hal ini disebabakan brazilein merupakan pigmen alami yang mempunyai kelemahan dalam hal stabilitas. Penurunan nilai a diakibatkan penumpukan hasil degradasi antosianin dan brazilein yang berpengaruh terhadap warna yang dihasilkan. Nilai derajat warna merah menurun diakibatkan peningkatan kecepatan reaksi fotokimia yang menimbulkan transformasi structural. Kation flavinium yang berwarna merah menjadi kalkon yang tidak berwarna (Brouillard, 1994). Nilai a Gambar 3. Grafik hubungan antara nilai a (derajat merah) dengan waktu (jam) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein penyinaran UV c. Nilai b Waktu (jam) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Nilai b (derajat kuning) model minuman memiliki pola yang berbeda pada masing-masing model minuman. Nilai b model minuman sebelum mengalami penyinaran UV yaitu Model minuman antosianin, antosianin:brazilein (1:3), dan (1:4) mengalami peningkatan nilai b dengan penyinaran selama 144 jam. Nilai b model minuman tersebut tanpa penyinaran adalah 17.84, 16.47, dan Nilai b kemudian meningkat menjadi 18.1, 2.52, dan 2.2 setelah penyinaran selama 144 jam. Nilai b model minuman antosianin:brazilein (1:5), (1:6), dan 68

84 (1:7) mengalami penurunan dengan semakin lamanya waktu penyinaran. Nilai b model minuman antosianin:brazilein (1:5) menurun menjadi Sedangkan nilai b model minuman antosianin:brazilein (1:6) dan (1:7) mengalami penurunan menjadi dan Nilai b Gambar 31. Grafik hubungan antara nilai b (derajat kuning) dengan waktu (jam) model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein penyinaran UV d. Nilai E Waktu (jam) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (Gambar 32). Nilai E penyinaran dengan UV selama 144 jam yaitu (Lampiran 9). Nilai E model minuman antosianin mengalami peningkatan selama proses penyinaran sinar UV 12 jam. Sedangkan setelah penyinaran selama 144 jam, nilai E mengalami penurunan menjadi Nilai E model minuman antosianin:brazilein (1:3) selama penyinaran 72 jam sebesar Nilai E penyinaran selama 96 jam menurun menjadi Sedangkan penyinaran UV selama 144 jam, nilai E mengalami peningkatan menjadi 7.55 (Lampiran 9). Model minuman antosianin:brazilein (1:4) mempunyai pola yang sama dengan model minuman antosianin. Nilai E mengalami peningkatan selama penyinaran selama 12 jam dan mengalami penurunan menjadi selama penyinaran 144 jam. Nilai E model minuman antosianin:brazilein (1:5) menurun pada penyinaran selama 69

85 48 jam yaitu 3.6. Nilai E akan meningkat menjadi 13.5 selama penyinaran 12 jam. Model minuman pada penyinaran selama 144 jam kembali mengalami penurunan menjadi (Lampiran 9). Secara umum nilai E model minuman antosianin:brazilein (1:6) mengalami peningkatan selama penyinaran selama 144 jam. Nilai E mengalami penurunan menjadi 3.77 pada penyinaran selama 48 jam. Nilai E model minuman meningkat menjadi 9.45 selama penyinaran 144 jam. Model minuman antosianin:brazilein (1:7) mulai mengalami mengalami peningkatan pada penyinaran jam dengan nilai E (Lampiran 9) E Gambar 32. Grafik hubungan nilai E (perubahan warna keseluruhan) dengan waktu (jam) pada model minuman antosianin dan kopigmentasi antosianin-brazilein penyinaran UV e. Nilai o hue Waktu (jam) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Nilai o hue model minuman tanpa penyinaran yaitu o o. Nilai o hue merupakan kisaran warna merah. Nilai o hue pada penyinaran selama 144 yaitu o o. Semua model minuman mengalami pergeseran warna menjadi merah-kuning pada penyinaran selama 144 jam (Gambar 33). Model minuman antosianin:brazilein (1:3), (1:4), (1:5), dan (1:6) mengalami pergeseran warna menjadi merah-kuning selama penyinaran 12 jam. Model minuman antosianin:brazilein (1:7) mengalami pergeseran warna menjadi merah kuning selama penyinaran 72 jam. 7

86 Tabel 12. Kisaran warna model minuman penyinaran dengan UV A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) Waktu A (jam) M M M M M M 24 M M M M M M 48 M M M M M M 72 M M M M M MK 96 M M M M M MK 12 M MK MK MK MK MK 144 MK MK MK MK MK MK Keterangan M=Merah, MK = Merah Kuning Pergeseran warna pada model minuman terjadi karena brazilein sebagai kopigmen tidak bisa bertahan dengan penyinaran UV. Perubahan warna lebih cepat terjadi pada model minuman antosianinbrazilein dibandingkan model minuman antosianin karena terjadi degradasi brazilein dan antosianin yang berpengaruh pada warna model minuman. Penampakan visual model minuman pada awal dan akhir proses penyinaran UV dapat terlihat pada Gambar 33. A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) A A:B (1:3) A:B (1:4) A:B (1:5) A:B (1:6) A:B (1:7) (1) (2) Gambar 33. Penampakan visual model minuman antosianin, antosianin: brazilein (1:3), (1:4), (1:5), (1:6), dan (1:7) tanpa penyinaran UV (1) dan penyinaran UV selama 144 jam (2) 71

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Tanaman rosela (Jauhari, 2007) : Spermatophyta. : Dicotyledonae. : Malvaceae. : Hibiscus sabdariffa L

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Tanaman rosela (Jauhari, 2007) : Spermatophyta. : Dicotyledonae. : Malvaceae. : Hibiscus sabdariffa L II. TINJAUAN PUSTAKA A. ROSELA (ibiscus sabdariffa L. ) Gambar 1. Tanaman rosela (Jauhari, 2007) Divisi Sub Divisi Kelas Bangsa Suku Marga Jenis : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonae : Malvales

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN III. METODELOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan adalah kelopak kering bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang berasal dari petani di Dramaga dan kayu secang (Caesalpinia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Ekstraksi dan Karakterisasi Antosianin

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Ekstraksi dan Karakterisasi Antosianin IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PIGMEN Ekstraksi adalah proses penarikan komponen dari suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu. Pada umumnya ekstraksi zat warna dari bagian

Lebih terperinci

Gambar 6. Kerangka penelitian

Gambar 6. Kerangka penelitian III. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah kayu secang (Caesalpinia sappan L) yang dibeli dari toko obat tradisional pasar Bogor sebagai sumber pigmen brazilein dan sinapic

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak ditemukannya zat pewarna sintetik serta terbatasnya jumlah dan mutu zat

I. PENDAHULUAN. Sejak ditemukannya zat pewarna sintetik serta terbatasnya jumlah dan mutu zat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sejak ditemukannya zat pewarna sintetik serta terbatasnya jumlah dan mutu zat pewarna alami, penggunaan pigmen sebagai zat warna alami semakin menurun (Samun,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan. Menurut Jettanapornsumran (2009), warna menjadi salah satu

I. PENDAHULUAN. pangan. Menurut Jettanapornsumran (2009), warna menjadi salah satu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Warna merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan mutu suatu produk pangan. Menurut Jettanapornsumran (2009), warna menjadi salah satu karakteristik

Lebih terperinci

Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG

Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG Secang atau Caesalpinia sappan L merupakan tanaman semak atau pohon rendah dengan ketinggian 5-10 m. Tanaman ini termasuk famili Leguminoceae dan diketahui

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang 20 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang Analisis Pati dan Karbohidrat), Laboratorium Pengolahan Limbah Hasil

Lebih terperinci

SKRIPSI. KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ANTOSIANIN PADA BUAH DUWET (Syzygium cumini) Oleh BEATRICE BENNITA LEIMENA F

SKRIPSI. KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ANTOSIANIN PADA BUAH DUWET (Syzygium cumini) Oleh BEATRICE BENNITA LEIMENA F SKRIPSI KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ANTOSIANIN PADA BUAH DUWET (Syzygium cumini) Oleh BEATRICE BENNITA LEIMENA F24103029 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR KARAKTERISASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penggunaan pewarna makanan yang bersumber dari bahan alami sudah sejak lama

I. PENDAHULUAN. Penggunaan pewarna makanan yang bersumber dari bahan alami sudah sejak lama 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan pewarna makanan yang bersumber dari bahan alami sudah sejak lama digunakan, namun dengan ditemukannya pewarna sintetik yang relatif mudah diproduksi dan memiliki

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) atau disebut juga Tamarillo

II. TINJAUAN PUSTAKA. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) atau disebut juga Tamarillo II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) atau disebut juga Tamarillo merupakan tanaman jenis terung-terungan yang berasal dari family

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sehingga memberikan kesegaran bagi konsumen. Warna yang beraneka macam

I. PENDAHULUAN. sehingga memberikan kesegaran bagi konsumen. Warna yang beraneka macam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Es lilin merupakan suatu produk minuman yang banyak disukai anak-anak hingga dewasa. Hal ini dikarenakan es lilin memiliki rasa yang manis dan dingin sehingga memberikan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, 22 III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Laboratorium Pengolahan Limbah Hasil Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

PENGARUH PERBANDINGAN JAMBU BIJI (Psidium guajava L.) DENGAN ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn) DAN JENIS JAMBU BIJI TERHADAP KARAKTERISTIK JUS

PENGARUH PERBANDINGAN JAMBU BIJI (Psidium guajava L.) DENGAN ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn) DAN JENIS JAMBU BIJI TERHADAP KARAKTERISTIK JUS PENGARUH PERBANDINGAN JAMBU BIJI (Psidium guajava L.) DENGAN ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn) DAN JENIS JAMBU BIJI TERHADAP KARAKTERISTIK JUS TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Syarat Sidang Sarjana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Akan tetapi, perubahan gaya hidup dan pola makan yang tak sehat akan

BAB 1 PENDAHULUAN. Akan tetapi, perubahan gaya hidup dan pola makan yang tak sehat akan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan dan sosial mulai timbul ketika usia harapan hidup bertambah. Hal ini menyebabkan adanya perubahan pola hidup pada diri manusia. Akan tetapi, perubahan

Lebih terperinci

III METODOLOGI PENELITIAN

III METODOLOGI PENELITIAN III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah duwet yang diperoleh dari Jember Jawa Timur. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah etanol, aquadest,

Lebih terperinci

PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA

PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA SKRIPSI PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) DENGAN ROSMARINIC ACID TERHADAP STABILITAS WARNA PADA MODEL MINUMAN RINGAN Oleh CATRIEN F24050333 2009 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah kulit buah manggis, ethanol, air, kelopak bunga rosella segar, madu dan flavor blackcurrant. Bahan kimia yang digunakan untuk keperluan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) merupakan jenis buah buni yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) merupakan jenis buah buni yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) merupakan jenis buah buni yang berbentuk bulat telur, berukuran (3-10) cm x (3-5) cm, meruncing

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hati ungu (Tradescantia pallida) merupakan jenis tanaman hias yang berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hati ungu (Tradescantia pallida) merupakan jenis tanaman hias yang berasal dari 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Hati Ungu (Tradescantia pallida) Hati ungu (Tradescantia pallida) merupakan jenis tanaman hias yang berasal dari famili Commelinaceae (Spiderwort family). Tanaman hias

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumping Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di Indonesia sumping dikenal dengan kue nagasari. Sumping umumnya dibuat dari tepung beras, santan,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang Analisis Pati dan Karbohidrat), Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Komposisi kimia kulit manggis. Komposisi Kimia

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Komposisi kimia kulit manggis. Komposisi Kimia IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Kulit Manggis Analisa proksimat merupakan tahapan awal yang dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia suatu bahan. Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Marshmallow merupakan salah satu produk aerated confectionary yang dalam pembuatannya ada pemerangkapan udara sehingga menghasilkan tekstur yang lembut dan ringan. Marshmallow

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lebih aktif daripada bentuk glikosidanya (Santoso, 2006). Zat pewarna alami

II. TINJAUAN PUSTAKA. lebih aktif daripada bentuk glikosidanya (Santoso, 2006). Zat pewarna alami II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antosianin Antosianin merupakan salah satu pewarna alami karena merupakan zat berwarna merah, jingga, ungu, ataupun biru yang banyak terdapat pada bunga dan buah-buahan (Hidayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti Indonesia. Salah satu genus umbi-umbian yaitu genus Dioscorea atau

BAB I PENDAHULUAN. seperti Indonesia. Salah satu genus umbi-umbian yaitu genus Dioscorea atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanaman umbi-umbian dapat tumbuh di daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia. Salah satu genus umbi-umbian yaitu genus Dioscorea atau uwi-uwian. Genus Dioscorea

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minuman herbal merupakan salah satu minuman berbahan dasar tumbuhan alami yang berkhasiat bagi tubuh. Minuman herbal dibuat dengan dasar rempahrempah, akar, batang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa dan tekstur. Selama proses pengolahan pangan warna suatu bahan

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa dan tekstur. Selama proses pengolahan pangan warna suatu bahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Warna memainkan peranan penting dalam persepsi dan penerimaan konsumen terhadap makanan. Burrows (2009) menyebutkan bahwa warna menjadi faktor kualitas utama dan paling

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencegah rabun senja dan sariawan (Sunarjono, 2003). Jeruk bali bisa dikonsumsi

I. PENDAHULUAN. mencegah rabun senja dan sariawan (Sunarjono, 2003). Jeruk bali bisa dikonsumsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jeruk bali (Citrus grandis L. Osbeck) memiliki kandungan vitamin C yang cukup tinggi dalam 100 g bagian, yaitu terdapat vitamin C sebanyak 43 mg dan vitamin A sebanyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Es krim merupakan makanan padat dalam bentuk beku yang banyak disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga manula. Banyaknya masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi, diantaranya mengandung vitamin C, vitamin A, sejumlah serat dan

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi, diantaranya mengandung vitamin C, vitamin A, sejumlah serat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah pisang merupakan buah yang sering dikonsumsi oleh masyarakat dibandingkan dengan buah yang lain. Buah pisang memiliki kandungan gizi yang tinggi, diantaranya mengandung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2014 sampai dengan bulan Januari 2015 bertempat di Laboratorium Riset Kimia Makanan dan Material serta

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2012 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. difermentasi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan

BAB I PENDAHULUAN. difermentasi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yoghurt merupakan produk olahan susu yang dipasteurisasi kemudian difermentasi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka. Penelitian, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat Penelitian.

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka. Penelitian, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat Penelitian. 12 I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis, dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

Pengaruh Boraks, Asam dan Basa Terhadap Pergeseran Panjang Gelombang Ekstrak Air Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.)

Pengaruh Boraks, Asam dan Basa Terhadap Pergeseran Panjang Gelombang Ekstrak Air Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) Jurnal Gradien Vol. 12 No. 2 Juli 2016: 1187-1191 Pengaruh Boraks, Asam dan Basa Terhadap Pergeseran Panjang Gelombang Ekstrak Air Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) Dwita Oktiarni *, Siti Nur Khasanah,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2014 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permen adalah produk makanan selingan yang terbuat dari gula/ pemanis, air, dan bahan tambahan makanan (pewarna dan flavoring agent). Permen banyak digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan dalam pembuatan selai adalah buah yang belum cukup matang dan

BAB I PENDAHULUAN. bahan dalam pembuatan selai adalah buah yang belum cukup matang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi pangan semakin maju seiring dengan perkembangan zaman. Berbagai inovasi pangan dilakukan oleh beberapa industry pengolahan pangan dalam menciptakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan dan Maksud Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING (TAHUN II)

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING (TAHUN II) Bidang Ilmu : PERTANIAN LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING (TAHUN II) PEMBUATAN SEDIAAN PEWARNA ALAMI PANGAN BERBASIS ANTOSIANIN DARI BUAH DUWET (Syzigium cumini) Peneliti Dr. PUSPITA SARI, STP, MAgr (Utama)

Lebih terperinci

SKRIPSI. STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT. Oleh NANDA HADITTAMA F

SKRIPSI. STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT. Oleh NANDA HADITTAMA F SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT Oleh NANDA HADITTAMA F24050806 2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikator ph sangat penting keberadaannya karena digunakan untuk menguji dan mengetahui hasil yang berupa derajat keasaman ataupun kebasaan suatu zat. Hingga

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh : PUJI ASTUTI A

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh : PUJI ASTUTI A PEMANFAATAN LIMBAH AIR LERI BERAS IR 64 SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN SIRUP HASIL FERMENTASI RAGI TEMPE DENGAN PENAMBAHAN KELOPAK BUNGA ROSELLA SEBAGAI PEWARNA ALAMI NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh : PUJI

Lebih terperinci

Pewarna Alami untuk Pangan MERAH BIT

Pewarna Alami untuk Pangan MERAH BIT MERAH BIT Bit atau Beta vulgaris merupakan tumbuhan yang banyak dijumpai di Eropa dan sebagian Asia serta Amerika Serikat. Daun tanaman bit banyak dimanfaatkan sebagai sayur. Namun tanaman ini dibudidayakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Juli 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material, dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing sebesar ton dan hektar. Selama lima

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing sebesar ton dan hektar. Selama lima BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ubi jalar merupakan salah satu komoditas tanaman pangan sumber karbohidrat di Indonesia. Berdasarkan data statistik, produktivitas ubi jalar pada tahun 2015 mencapai

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT DAN PEWARNA ALAMI KAYU SECANG

PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT DAN PEWARNA ALAMI KAYU SECANG SKRIPSI PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT DAN PEWARNA ALAMI KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L) TERHADAP STABILITAS WARNA SARI BUAH BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L) Oleh : RISKA PRATAMA KUSUMAWATI F24103129

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi Minuman Sari Buah Duwet Tahap pertama dari penelitian ini adalah pembuatan minuman sari buah dengan bahan dasar buah duwet. Pembuatan minuman sari buah dilakukan berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. makanan selingan berbentuk padat dari gula atau pemanis lainnya atau. makanan lain yang lazim dan bahan makanan yang diijinkan.

I. PENDAHULUAN. makanan selingan berbentuk padat dari gula atau pemanis lainnya atau. makanan lain yang lazim dan bahan makanan yang diijinkan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permen atau kembang gula merupakan produk pangan yang banyak digemari. Menurut SII (Standar Industri Indonesia), kembang gula adalah jenis makanan selingan berbentuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini melibatkan pengujian secara kualitatif dan kuantitatif. Pelaksanaannya dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu tahap penyiapan sampel, tahap

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN. xvii

DAFTAR LAMPIRAN. xvii DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Ubi jalar ungu... 4 Gambar 2. Struktur DPPH... 8 Gambar 3. Reaksi penangkapan radikal DPPH oleh antioksidan... 10 Gambar 4. Formulasi lipstik ubi jalar ungu... 21 Gambar

Lebih terperinci

LAMPIRAN A DATA PENELITIAN DAN HASIL PERHITUNGAN

LAMPIRAN A DATA PENELITIAN DAN HASIL PERHITUNGAN LAMPIRAN A DATA PENELITIAN DAN HASIL PERHITUNGAN A.1 DATA PENELITIAN PENDAHULUAN Tabel A.1 Data Panjang Gelombang Antosianin Perlakuan Panjang Gelombang Dipotong kecil-kecil 512 Diblender 514,5 Tabel A.2

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 17 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan April 2013 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lainnya. Secara visual, faktor warna berkaitan erat dengan penerimaan suatu

I. PENDAHULUAN. lainnya. Secara visual, faktor warna berkaitan erat dengan penerimaan suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu suatu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor di antaranya cita rasa, warna, tekstur, nilai gizi, dan faktor lainnya. Secara visual, faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anorganik dan limbah organik. Limbah anorganik adalah limbah yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. anorganik dan limbah organik. Limbah anorganik adalah limbah yang berasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Limbah merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah terpakai, baik dalam skala rumah tangga, industri, pertambangan dan lainlain. Limbah berdasarkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi 2 dikeringkan pada suhu 105 C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Jurusan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Jurusan 29 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung, Laboratorium Jasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perubahan gaya hidup saat ini, masyarakat menginginkan suatu produk pangan yang bersifat praktis, mudah dibawa, mudah dikonsumsi, memiliki cita rasa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2015 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Instrumen

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

KAJIAN AWAL AKTIFITAS ANTIOKSIDAN FRAKSI POLAR KELADI TIKUS (typhonium flagelliforme. lodd) DENGAN METODE DPPH

KAJIAN AWAL AKTIFITAS ANTIOKSIDAN FRAKSI POLAR KELADI TIKUS (typhonium flagelliforme. lodd) DENGAN METODE DPPH KAJIAN AWAL AKTIFITAS ANTIOKSIDAN FRAKSI POLAR KELADI TIKUS (typhonium flagelliforme. lodd) DENGAN METODE DPPH Dian Pratiwi, Lasmaryna Sirumapea Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi Palembang ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret sampai Bulan Juni 2013. Pengujian aktivitas antioksidan, kadar vitamin C, dan kadar betakaroten buah pepaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikator asam basa adalah zat yang warnanya bergantung pada ph larutan atau zat yang dapat menunjukkan sifat asam, basa, dan netral pada suatu larutan (Salirawati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka perlu untuk segera dilakukan diversifikasi pangan. Upaya ini dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. maka perlu untuk segera dilakukan diversifikasi pangan. Upaya ini dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia setiap tahun mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan akan komoditas pangan. Namun, hal ini tidak diikuti dengan peningkatan produksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan 3.3.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemanas listrik, panci alumunium, saringan, peralatan gelas (labu Erlenmayer, botol vial, gelas ukur,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Rosella (Hibiscus sadbariffa L.) merupakan anggota famili Malvaceae. Rosella

II. TINJAUAN PUSTAKA. Rosella (Hibiscus sadbariffa L.) merupakan anggota famili Malvaceae. Rosella II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Rosella (Hibiscus sadbariffa L.) merupakan anggota famili Malvaceae. Rosella dapat tumbuh baik di daerah beriklim tropis dan subtropis.

Lebih terperinci

KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI

KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK LIRA BUDHIARTI. Karakterisasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Neraca analitik, tabung maserasi, rotary evaporator, water bath,

BAB III METODE PENELITIAN. Neraca analitik, tabung maserasi, rotary evaporator, water bath, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat Neraca analitik, tabung maserasi, rotary evaporator, water bath, termometer, spatula, blender, botol semprot, batang pengaduk, gelas kimia, gelas

Lebih terperinci

UJI DAYA REDUKSI EKSTRAK DAUN DEWANDARU (Eugenia uniflora L.) TERHADAP ION FERRI SKRIPSI

UJI DAYA REDUKSI EKSTRAK DAUN DEWANDARU (Eugenia uniflora L.) TERHADAP ION FERRI SKRIPSI UJI DAYA REDUKSI EKSTRAK DAUN DEWANDARU (Eugenia uniflora L.) TERHADAP ION FERRI SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai Derajat Sarjana Farmasi (S. Farm) Progam Studi Ilmu Farmasi pada

Lebih terperinci

PENGARUH KEASAMAN TERHADAP STABILITAS PIGMEN CENGKODOK (Melastoma malabathricum), KAYU SECANG (Caesalpinia sappan Linn.) SERTA CAMPURAN KEDUANYA

PENGARUH KEASAMAN TERHADAP STABILITAS PIGMEN CENGKODOK (Melastoma malabathricum), KAYU SECANG (Caesalpinia sappan Linn.) SERTA CAMPURAN KEDUANYA PENGARUH KEASAMAN TERHADAP STABILITAS PIGMEN CENGKODOK (Melastoma malabathricum), KAYU SECANG (Caesalpinia sappan Linn.) SERTA CAMPURAN KEDUANYA Siti Fatimah 1 *, Andi Hairil Alimudin 1, Afghani Jayuska

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut 4. PEMBAHASAN Pembuatan minuman serbuk daun katuk dan jambu biji merah merupakan sebuah penelitian pengembangan produk yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai fungsional pada bahan alami dengan lebih mudah

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pepaya Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko dan Amerika Selatan, kemudian menyebar ke berbagai negara tropis, termasuk Indonesia sekitar

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Riau dan di Laboratorium Patologi, Entimologi

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Riau dan di Laboratorium Patologi, Entimologi 30 BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan di laboratorium Kimia Terpadu Universitas Muhammadiyah Riau dan di Laboratorium Patologi, Entimologi dan Mikrobiologi

Lebih terperinci

J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,-

J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,- Anggaran Tabel 2. Rencana Anggaran No. Komponen Biaya Rp 1. Bahan habis pakai ( pemesanan 2.500.000,- daun gambir, dan bahan-bahan kimia) 2. Sewa alat instrument (analisa) 1.000.000,- J. Gaji dan upah

Lebih terperinci

Company LOGO ZAT WARNA /PIGMEN

Company LOGO ZAT WARNA /PIGMEN Company LOGO ZAT WARNA /PIGMEN Banyak sekali faktor yang menentukan kualitas produk akhir. Kualitas bahan pangan juga ditentukan oleh faktor sensoris (warna, kenampakan, citarasa, dan tekstur) dan yang

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Snack telah menjadi salah satu makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Hampir seluruh masyarakat di dunia mengonsumsi snack karena kepraktisan dan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bunga Rosella 1. Klasifikasi Dalam sistematika tumbuhan, kelopak bunga rosella diklasifikasikan sebagai berikut : Gambar 1. Kelopak bunga rosella Kingdom : Plantae Divisio :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. occidentale L.) seluas ha, tersebar di propinsi Sulawesi. Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur,

BAB I PENDAHULUAN. occidentale L.) seluas ha, tersebar di propinsi Sulawesi. Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki areal perkebunan jambu mete (Anacardium occidentale L.) seluas 560.813 ha, tersebar di propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,

Lebih terperinci

PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI BRAZILEIN KAYU SECANG

PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI BRAZILEIN KAYU SECANG SKRIPSI PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI BRAZILEIN KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L.) DENGAN SINAPIC ACID TERHADAP STABILITAS WARNA PADA MODEL MINUMAN Oleh: GALIH IKA SAFITRI F24050181 2009 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ekstraksi dan karakterisasi pewarna daun erpa Penilaian terhadap karakter pewarna erpa dilakukan dengan melihat kepekatan pewarna secara visual, semakin sedikit jumlah air

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang Analisis Pati dan Karbohidrat), Laboratorium Pengolahan Limbah Hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selatan. Buah naga sudah banyak di budidayakan di Negara Asia, salah satunya di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selatan. Buah naga sudah banyak di budidayakan di Negara Asia, salah satunya di 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Naga Buah naga atau dragon fruit merupakan buah yang termasuk kedalam kelompok tanaman kaktus. Buah naga berasal dari Negara Mexico, Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Madu

Proses Pembuatan Madu MADU PBA_MNH Madu cairan alami, umumnya berasa manis, dihasilkan oleh lebah madu dari sari bunga tanaman (floral nektar); atau bagian lain dari tanaman (ekstra floral nektar); atau ekskresi serangga cairan

Lebih terperinci

Abstrak. Tumbuhan perdu setengah merambat dengan percabangan memanjang. Daun

Abstrak. Tumbuhan perdu setengah merambat dengan percabangan memanjang. Daun EKSTRAKSI DAUN GAMBIR MENGGUNAKAN PELARUT METANOL-AIR Olah: Ir.Rozanna Sri Irianty, M.Si, Komalasari, ST., MT, Dr.Ahmad Fadli Abstrak Gambir merupakan sari getah yang diekstraksi dari daun dan ranting

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab Bandung Barat. Sampel yang diambil berupa tanaman KPD. Penelitian berlangsung sekitar

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hitam yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas Bogor grade BP1 (Broken Pekoe 1).

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG 49 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kandungan Klorofil Pada Ekstrak Sebelum Pengeringan dan Bubuk Klorofil Terenkapsulasi Setelah Pengeringan Perhitungan kandungan klorofil pada ekstrak sebelum pengeringan

Lebih terperinci

Uji Kualitatif Karbohidrat dan Hidrolisis Pati Non Enzimatis

Uji Kualitatif Karbohidrat dan Hidrolisis Pati Non Enzimatis Uji Kualitatif Karbohidrat dan Hidrolisis Pati Non Enzimatis Disarikan dari: Buku Petunjuk Praktikum Biokimia dan Enzimologi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

Lebih terperinci