V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 25 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Fisik Tempat Tumbuh Morel Rinjani Ekosistem hutan di wilayah Senaru merupakan bagian dari ekosistem hutan hujan pegunungan yang terbentang antara ketinggian m dpl. Vegetasi penyusun ekosistem tersebut bervariasi berdasarkan ketinggian. Pada beberapa ketinggian tertentu jenis-jenis seperti pandan (Pandanus tectorius), goak (Ficus spp), bak-bakan (Engelhardia spicata), cemara gunung (Casuarina jughuhniana) membentuk kelompok vegetasi yang khas. Data hasil pengukuran faktor fisik berdasarkan pengamatan lapangan dari bulan Maret April 2012 disajikan dalam Tabel 3, dan hasil uji analisis tanah di Laboratorium Tanah IPB disajikan dalam Tabel 4, data lengkap hasil pengamatan dan output statistik deskriptifnya disertakan dalam Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 12. Tabel 3 Variabel fisik pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel Variabel Lokasi Morel Lokasi Pembanding X Minimum- Maksimum X Minimum- Maksimum Suhu ( o C) 18,83+0,27 18,52-19,60 18,59+0,24 18,23-19,40 Kelembaban udara (%) 87,14+1,99 83,00-90,50 89,09+1,66 85,50-92,00 Intensitas cahaya (lux) 541,43+45, ,00-620,00 916,67+32,38 850,00-980,00 Kelembaban tanah 3,46+0,79 1,50-4,50 3,69+0,56 3,00-4,50 (skala 1-10) Ketinggian tempat (m) 1584,64+10, , , ,09+53, , ,00 Kemiringan (%) 28,50+17,06 7,94-54,00 29,53+12,22 8,06-50,32 o Arah Lereng/Aspect ( ) 124,81+123,62 4,00-360,00 69,61+117,28 0,00-340,50 Keterangan : X Minimum- Maximum = Rata-rata dan standar deviasi = Nilai maksimum minimum Tabel 3 memperlihatkan bahwa variasi suhu udara pada lantai hutan ditemukannya tubuh buah morel Rinjani selama pengamatan sebesar 18,83+0,27 o C, sedangkan pada lokasi lain yang bukan merupakan habitat morel sebesar 18,59+0,24 o C. Suhu udara pada tempat terbuka pada waktu yang sama

2 26 sebesar 27,00+0,69 o C. Suhu udara di tempat terbuka tersebut merupakan suhu udara yang diukur di pos pengamatan hujan terdekat yaitu Pos Kediri, Lombok Tengah. Suhu udara rata-rata pada lantai hutan pada lokasi ditemukannya morel lebih tinggi dibandingkan variasi suhu pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel. Suhu udara pada lantai hutan baik lokasi ditemukannya morel maupun tidak, lebih rendah dibandingkan tempat terbuka. Hal ini sesuai dengan gradien suhu vertikal atau lapse rate bahwa kenaikan tiap 100m ketinggian tempat akan menurunkan suhu sebesar +0,65 o C. Tabel 4 Variabel tanah pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel No Variabel Lokasi Morel Lokasi Pembanding 1 Jenis tanah Mediteran coklat Mediteran coklat 2 Tekstur tanah (% pasir Pasir 37,83% debu 40,11% Pasir 50,08% debu 20,01% debu liat) Liat 22,06% (Berlempung liat 29,91% (Lempung liat halus) berpasir) 3 Kadar C tanah (%) 7,30 10,98 4 Kadar N tanah (%) 0,60 0,79 5 Rasio C/N 12,16 13,84 5 Kadar P tanah (ppm) 12,53 17,27 6 Kadar Ca (me/100g) 10,22 11,55 7 ph tanah 7 7 Berdasarkan uji t statistik (Levene s test) (Lampiran 8) membuktikan perbedaan yang nyata (nilai p=0,006 atau lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05) antara suhu udara rata-rata pada lantai hutan lokasi ditemukannya morel dengan suhu rata-rata pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel maupun suhu rata-rata pada tempat terbuka. Perbedaan variasi suhu lebih jelas terlihat pada Gambar 8. Berdasarkan hasil penelitian suhu udara minimal sebesar 18,53 o C dan suhu udara maksimal sebesar 19,6 o C pada lokasi ditemukannya morel dari 14 plot pengamatan. Suhu udara minimal sebesar 18,23 o C dan suhu udara maksimal sebesar 19,40 o C pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel dari 21 plot pengamatan. Suhu udara minimal sebesar 25 o C dan suhu udara maksimal 28,3 o C pada tempat terbuka pada waktu yang sama. Menurut sebuah studi di Australia (Stott & Mohammed 2004) pertumbuhan miselia merupakan fungsi dari suhu. Sclerotia M. esculenta dapat diproduksi pada suhu 5 30 o C, dan suhu optimum

3 27 produksi antara o C. Primordia baru akan terbentuk pada suhu antara o C. Pada studi yang lain, suhu udara pada masa inisiasi primordia M. rotunda sampai menjadi ukuran utuh sekitar 5 16 o C (Pilz et al. 2007). Pada keadaan suhu udara di atas 16 o C juga dapat terjadi pertumbuhan tersebut tetapi menghambat pembentukan primordia baru. 20 Lokasi Morel Lokasi Pembanding 19,5 19 Suhu(⁰C) 18, , Plot Gambar 8 Suhu udara pada masing-masing plot selama penelitian. Sebuah studi morel di habitat alam Hutan Missouri, Amerika Serikat selama 5 tahun menyatakan bahwa suhu udara lantai hutan pada habitat M. esculenta saat musim berbuah antara 0,3 31,8 o C (Mihail et al. 2007). Dalam penelitian lain di India beberapa spesies morel kuning dan morel hitam, tubuh buah morel tumbuh pada suhu o C (Singh et al. 2004). Suhu dalam hal ini merupakan faktor penting dalam pertumbuhan morel atau jamur pada umumnya (Cooke 1979). Dalam kaitannya dengan suhu, jamur bertoleransi dan tumbuh secara optimum pada suhu tertentu. Kebanyakan jamur termasuk mesofili yang tumbuh pada suhu o C, dan tumbuh optimum pada suhu antara o C (Cooke 1979). Kebanyakan jamur memiliki suhu minimum untuk tidak tumbuh dan batasan suhu maksimum untuk tidak aktif. Dalam penelitian ini didapatkan rentang suhu 18,53 19,6 o C, dapat dikatakan bahwa suhu tersebut merupakan suhu optimum dalam pertumbuhan tubuh buah morel Rinjani. Akan tetapi tidak bisa

4 28 dijelaskan dalam penelitian ini suhu optimum dalam pembentukan sclerotia atau inisiasi primordia karena membutuhkan teknik pengamatan yang berbeda. Menurut Volk (2000), tidak semua primordia yang terbentuk akan masak/maturasi menjadi tubuh buah dewasa. Setelah inisiasi, primordia awal ditemukan akan cepat mati karena kondisi lingkungan tidak mendukung pertumbuhan untuk maturasi menjadi tubuh buah. Sehingga suhu dalam penelitian ini merupakan suhu ketika primordia sedang atau telah tumbuh menjadi tubuh buah dewasa. Berdasarkan penelitian ini, rentang suhu udara di lokasi lain pada ketinggian yang berbeda sebesar 18,23 19,40 C. Pada lokasi tersebut tidak dijumpai tubuh buah morel tetapi dapat dijumpai tubuh buah jamur lain. Suhu tersebut berbeda secara statistik menurut uji t statistik (Levene s test). Dalam hal ini berarti ada faktor lain yang membatasi tumbuhnya tubuh buah pada lokasi lain, karena rentang suhu udara pada lokasi lain tersebut hampir sama dengan rentang suhu pada lokasi ditemukannya morel meskipun berbeda secara statistik. Hasil perhitungan korelasi Pearson (Lampiran 11) antara suhu dan jumlah tubuh buah morel menunjukkan arah korelasi positif dengan nilai 0,355. Meskipun korelasinya sangat lemah karena nilai korelasinya <0,5 tetapi korelasinya nyata pada taraf signifikansi 0,05. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan semakin besar suhu akan semakin banyak jumlah tubuh buah yang tumbuh dengan batasan suhu. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Mihail et al. (2007), dalam penelitian pola spasial dan temporal tumbuhnya tubuh buah M. esculenta selama 5 tahun di hutan Missouri, Amerika Serikat, tumbuhnya tubuh buah morel berkorelasi negatif dengan suhu. Hal ini diduga terjadi karena perbedaan waktu pengamatan, suhu udara pada pengamatan ini adalah suhu udara diantara peralihan musim basah ke musim kering sedangkan dalam penelitian Mihail et al. (2007) tersebut suhu udara yang merupakan suhu udara musim semi. Perbedaan spesies dan lokasi juga dapat menyebabkan perbedaan responsitas morel terhadap faktor lingkungan. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat kelembaban udara pada lantai hutan ditemukannya tubuh buah morel Rinjani selama pengamatan sebesar 87,14+1,99%, sedangkan pada lokasi lain yang bukan merupakan habitat morel sebesar 89,09+1,66%. Kelembaban udara rata-rata pada lantai hutan pada lokasi o

5 29 ditemukannya morel lebih rendah dibandingkan variasi kelembaban pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel. Suhu udara merupakan fungsi negatif kelembaban udara, sehingga hal ini sesuai dengan pengamatan bahwa pada lokasi ditemukannya morel dengan suhu udara yang lebih tinggi mempunyai kelembaban udara yang lebih rendah. Lokasi Morel Lokasi Pembanding 93 Kelembaban(%) Plot Gambar 9 Kelembaban udara pada masing-masing plot selama penelitian. Kelembaban udara minimal pada lantai hutan pada lokasi ditemukannya morel sebesar 83,00% dan maksimal sebesar 90,50%. Kelembaban udara minimal dan maksimal pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel sebesar 85,50% dan 92,00%. Output uji t statistik (Levene s test) (Lampiran 8) nilai p=0,004 atau lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05. Dengan nilai kelembaban udara pada kedua lokasi yang hampir sama tersebut berdasarkan t statistik tersebut terdapat perbedaan yang nyata kelembaban udara pada lokasi morel dengan lokasi tidak ditemukannya morel. Perbedaan variasi kelembaban udara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 9. Secara teori perbedaan kelembaban udara dapat terjadi karena perbedaan variasi suhu udara. Berdasarkan pengamatan dapat dikatakan perbedaan dapat terjadi karena perbedaan kerapatan pohon dan kerapatan tajuk antara lokasi ditemukannya morel dengan lokasi lain yang tidak ditemukan morel.

6 30 Kerapatan tajuk dapat menjadi penghalang seberapa besar intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan yang akan berpengaruh terhadap iklim mikro di bawah tegakan, termasuk suhu udara, kelembaban udara dan kelembaban tanah. Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara pada suatu waktu. Kelembaban udara menjadi faktor penting yang menentukan besaran kandungan air di dalam tanah. Air bersama suhu merupakan faktor penting pemicu dan kondisi yang dibutuhkan untuk inisiasi tubuh buah dan maturasinya. Berdasarkan hasil perhitungan korelasi Pearson (taraf kepercayaan 99%) sebesar 0,434 (Lampiran 11). Korelasi bersifat negatif dan lemah karena nilainya <0,5. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan semakin besar kelembaban udara semakin sedikit jumlah tubuh buah morel yang dapat tumbuh, pada rentang nilai kelembaban. Hasil ini sama seperti yang dikerjakan dengan penelitian yang dilakukan Mihail et al. (2007), tumbuhnya tubuh buah M. esculenta berkorelasi negatif dengan kelembaban udara. Koleksi morel dalam sebuah studi di Wellington, Amerika Serikat menunjukkan hasil bahwa produksi tubuh buah M. elata di habitat alam ditemukan pada rentang kelembaban sekitar 75 80% (Barness & Wilson 1998). Dalam penelitian lain di India beberapa spesies morel kuning dan morel hitam, tubuh buah morel tumbuh pada kelembaban antara 68 86% (Singh et al. 2004). Lebih detail dijelaskan bahwa masing-masing spesies tumbuh pada kelembaban tertentu pada saat yang sama. M. esculenta tumbuh pada kelembaban udara sekitar 68% sedangkan M. hybrida membutuhkan kelembaban udara sekitar 86% pada lokasi lain pada waktu yang sama. Seperti halnya suhu tiap jenis morel merespon kelembaban udara pada rentang tertentu untuk pertumbuhan tubuh buahnya. Kelembaban udara lantai hutan merupakan salah satu faktor abiotik yang menentukan pertumbuhan morel. Primordia awal lebih banyak mati dan tidak menjadi tubuh buah dewasa ketika kelembaban terlalu rendah atau terlalu basah (Volk, 2000). Kelembaban udara berkaitan erat dengan curah hujan. Kelembaban udara berkorelasi positif dengan curah hujan. Curah hujan merupakan faktor utama perimbangan kadar air di lantai hutan maupun di dalam tanah. Curah hujan mempunyai pengaruh besar terhadap produksi tubuh buah baik morel maupun

7 31 makrofungi lain (Gates 2009, Geho 2007, Kaul 1997, Pilz et al. 2007, Pinna et al. 2010). Peran hujan penting dalam mempengaruhi kadar air dalam tanah dan udara dalam pertumbuhan dan produksi tubuh buah makrofungi. Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa dengan semakin turunnya curah hujan pada tempat terbuka jumlah tubuh buah morel Rinjani yang ditemukan semakin meningkat. Hal ini dapat dikatakan bahwa morel akan memproduksi tubuh buah lebih banyak pada saat peralihan dari kondisi basah ke kondisi kering Morel Hujan tempat terbuka Suhu lantai hutan Suhu tempat terbuka Suhu(oC)/Curahhujan(mm)/Jumlahmorel /03/ /03/ /04/ /04/ /04/2012 Periode pengamatan bulan Maret April 2012 Gambar 10 Produksi tubuh buah morel dikaitkan dengan suhu lantai hutan, suhu tempat terbuka dan curah hujan tempat terbuka. Efek curah hujan dan jumlah hari hujan terhadap keterjumpaan jumlah tubuh buah morel dapat lebih terlihat jika dibangkitkan data time series tahunan curah hujan tempat terbuka dan curah hujan di bawah tegakan. Dalam sebuah studi, Mihail et al. (2007) membuktikan bahwa curah hujan (>10mm) berkorelasi positif terhadap kelimpahan morel (M. esculenta). Dalam studi lain Masaphy (2011) juga menyebutkan bahwa tubuh buah morel secara temporal dikontrol oleh curah hujan. Dalam penelitian tersebut disebutkan tubuh buah M. conica dan M. elata ditemukan muncul pada bulan Februari setelah terjadi beberapa hari hujan dengan curah hujan tinggi diikuti beberapa hari tanpa hujan. Gelombang kedua munculnya tubuh buah M. conica dan M. elata terjadi lagi pada bulan Maret setelahnya ketika terjadi curah hujan tinggi dalam beberapa hari diikuti beberapa

8 32 hari tanpa hujan. Fenomena ini seperti fenomena munculnya tubuh buah morel Rinjani. Jika dikaitkan dengan curah hujan dan suhu lantai hutan, fenomena munculnya morel Rinjani seperti dalam Gambar 10 dan Gambar 11. Gambar 11 Profil curah hujan dan suhu udara dikaitkan dengan musim morel. Berdasarkan Gambar 10 dan Gambar 11 dapat dilihat bahwa dengan semakin turunnya curah hujan jumlah tubuh buah morel Rinjani yang ditemukan semakin meningkat. Pada kondisi tersebut jumlah curah hujan dan suhu udara semakin menurun dan menjadi konstan untuk beberapa waktu. Pada kondisi tersebut dapat dikatakan morel memproduksi tubuh buah lebih banyak pada saat peralihan dari kondisi basah ke kering. Fakta ini sama seperti yang dikerjakan Mihail et al. (2007) pada pengamatan fenologi berbuah M. esculenta maupun Masaphy (2011) dalam pengamatan fenologi berbuah M. conica dan M. elata tersebut. Pembentukan tubuh buah morel akan terinisiasi pada saat curah hujan berangsur-angsur sedikit sampai konstan tidak ada hujan. Curah hujan mempengaruhi jumlah air dalam tanah. Pada saat jumlah air dalam tanah

9 33 berangsur-angsur menurun atau tanah mulai kehilangan kelembabannya, tubuh buah mulai diproduksi (Geho 2007, Masaphy 2011, Pilz et al. 2007). Tubuh buah akan berhenti diproduksi ketika kondisi tanah kering konstan. Oleh karena itu musim tumbuh morel hanya berlangsung singkat beberapa periode waktu. Seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 11, fenologi berbuah morel Rinjani hanya sekitar 3 bulan. Pada pengamatan sebelumnya musim berbuah morel Rinjani sekitar bulan April Juni, sedangkan dalam penelitian ini berbuah sekitar Maret Mei. Pergeseran waktu tersebut dapat terjadi karena perubahan kondisi fisik iklim mikro pada habitat morel Rinjani atau perubahan iklim global yang mempengaruhi iklim mikro secara tidak langsung. Pilz et al. (2007) menggolongkan faktor-faktor yang mempengaruhi fenologi terbentuknya tubuh buah morel ke dalam tiga grup besar. Faktor pertama adalah kondisi yang memudahkan peristiwa terbentuknya tubuh buah morel secara masal seperti cadangan makanan, berubahnya kandungan kimia dan ph tanah, kalah bersaing dengan mikroorganisme tanah yang lain atau tercucinya ketersediaan hara. Faktor yang kedua adalah faktor fisik pemicu inisiasi berbuah morel seperti perubahan suhu dan kelembaban. Faktor yang ketiga adalah kondisi yang terus-menerus mendukung pertumbuhan tubuh buah morel seperti tingkat kehangatan dan kelembaban serta curah hujan. Faktor fisik lain dalam penelitian ini adalah intensitas cahaya matahari. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan selama penelitian pada lokasi morel rata-rata 541,43+45,039lux dengan rentang antara 490,00-620,00lux. Intensitas cahaya matahari pada lokasi tidak ditemukan morel rata-rata 916,67+32,38lux antara 850,00-980,00lux. Intensitas cahaya matahari pada tempat terbuka di atas 2000lux. Gambar 12 memperlihatkan perbedaan intensitas cahaya pada lokasi ditemukannya morel dengan lokasi yang tidak ditemukan morel secara visual. Berdasarkan uji t statistik (Levene s test) (Lampiran 8) membuktikan perbedaan yang nyata (taraf kepercayaan 95%) antara intensitas cahaya pada lokasi habitat morel dengan lokasi bukan habitat morel. Perbedaan yang jelas antara intensitas cahaya matahari pada kedua lokasi diduga karena kerapatan pohon di lokasi habitat morel lebih rapat dibandingkan dengan lokasi bukan

10 34 habitat morel sehingga jumlah cahaya yang diterima lantai hutan lebih rendah pada lokasi habitat morel. Berdasarkan perhitungan analisis vegetasi (Lampiran 1 dan Lampiran 2), densitas pohon pada lokasi habitat morel sebesar 78,23m 2 /ha, sedangkan densitas pohon pada lokasi bukan habitat morel lebih rendah sebesar 47,47m 2 /ha. Lokasi Morel Lokasi Pembanding Lux Plot Gambar 12 Intensitas cahaya matahari pada masing-masing plot selama penelitian. Jamur pada umumnya membutuhkan kisaran intensitas cahaya matahari tertentu dalam pertumbuhan tubuh buah. Asnah (2010) menemukan tubuh buah jamur makroskopis di hutan Tangkahan, Sumatera Utara tumbuh pada intensitas cahaya sekitar 400lux. Tampubolon (2010) menemukan tubuh buah jamur makroskopis di hutan Bukit Lawang, Sumatera Utara tumbuh pada intensitas cahaya sekitar 400lux. Menurut Zhanxi (2004), intensitas cahaya yang optimum untuk pertumbuhan tubuh buah jamur adalah 200 lux. Barness & Wilson (1998) menemukan M. elata di Wellington, Amerika Serikat tumbuh pada intensitas cahaya pada kisaran lux. Setiap spesies membutuhkan kisaran intensitas cahaya yang berbeda untuk pertumbuhan tubuh buah. Peranan cahaya matahari telah dibuktikan oleh banyak para ahli mikologi dalam inisiasi dan proses pematangan tubuh buah pada banyak spesies makrofungi (Kaul 1997).

11 35 Pertumbuhan batang atau pembentukan spora sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari. Menurut hasil uji korelasi Pearson antara intensitas cahaya dan jumlah tubuh buah sebesar -0,883 (Lampiran 11). Korelasi bersifat sangat kuat karena >0,5 dan sangat nyata pada taraf kepercayaan 99%. Korelasi bernilai negatif yang menandakan semakin besar intensitas cahaya semakin sedikit jumlah tubuh buah morel yang tumbuh, dalam kisaran intensitas cahaya di atas. Hasil ini sesuai dengan Asnah (2010) dan Tampubolon (2010) bahwa intensitas cahaya berkorelasi negatif dengan jumlah tubuh buah jamur makroskopis yang ditelitinya. Stott & Mohammed (2004) menyebutkan bahwa intensitas cahaya matahari dimungkinkan menjadi pemicu kondisi terproduksinya tubuh buah M. esculenta. Kelembaban tanah pada lokasi morel pada skala rata-rata 3,46+0,79 dengan kisaran antara 1,50 4,50 (kering sampai sedang). Sedangkan kelembaban tanah pada lokasi pembanding pada skala rata-rata 3,69+0,56 dengan kisaran 3,00 4,50 (sedang). Kondisi ini mengindikasikan bahwa tubuh buah morel atau pun jamur makroskopis lain yang ditemukan, membutuhkan tanah lapisan atas sebagai subtratnya dengan kondisi kelembaban cukup kering sampai sedang. Hasil uji t statistik (Levene s test) (Lampiran 8) menunjukkan bahwa kedua lokasi sama dalam tingkat kelembaban tanah. Uji korelasi Pearson juga menghasilkan tidak ada korelasi nyata antara kelembaban tanah dengan jumlah tubuh buah morel. Hal ini berbeda dengan studi yang dikerjakan Singh et al. (2004) atau Mihail et al. (2007), bahwa kelembaban tanah merupakan faktor penting nyata berpengaruh terhadap tumbuhnya tubuh buah sama halnya dengan kelembaban udara di lantai hutan. M. esculenta membutuhkan kelembaban tanah yang cukup sekitar 68-72,8% (sedang sampai basah) untuk pertumbuhan tubuh buahnya sedangkan M. hybrida membutuhkan paling tidak kelembaban tanah sekitar 86% (basah). Perbedaan spesies dan lokasi dan ketelitian alat (alat pengukur kelembaban manual) diduga menyebabkan perbedaan hasil. Faktor-faktor fisiografis yang terkait dengan tempat tumbuh adalah ketinggian tempat, kemiringan dan arah lereng (aspect). Morel Rinjani ditemukan pada ketinggian tempat berkisar antara m dpl (Gambar 13). Menurut pengamatan sebelumnya morel Rinjani tidak pernah ditemukan pada lokasi di

12 36 bawah atau di atas lokasi pengamatan tersebut (Rianto et al. 2011). Lokasi lain yang dipilih sebagai pembanding komponen habitat morel merupakan lokasi yang berada pada ketinggian antara m dpl. Lokasi tersebut merupakan habitat makrofungi spesies lain seperti Coltricia cinnamomea, Coprinus sp 2 dan Clavaria vermicularis (Lampiran 12). Spesies-spesies lain yang juga ditemukan seperti Coltricia perennis, Marasmius sp2, Inocybe sp, Hygrocybe miniata, Hygrocybe sp, Clavulinopsis fusiformis, Coprinus sp, tetapi frekuensi dan jumlahnya tidak sebanyak 3 spesies yang disebut sebelumnya. Sehingga penempatan plot dipilih pada lokasi ditemukannya tubuh buah Coltricia cinnamomea, Coprinus sp 2 dan Clavaria vermicularis. Semua spesies tersebut adalah jamur tanah kecuali Coltricia perennis yang tumbuh di kayu/ranting lapuk. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson sebesar 0,754 antara ketinggian tempat dengan jumlah tubuh buah morel menunjukkan bahwa korelasi bersifat kuat dan nyata pada taraf kepercayaan 99% (Lampiran 11). Korelasi bernilai negatif yang berarti semakin tinggi ketinggian tempat semakin sedikit jumlah tubuh buah yang tumbuh, dalam kisaran ketinggian tempat. Tabel 5 Variabel kemiringan dan arah lereng pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel Frekuensi Persentase Junlah Individu Arah Lereng Lokasi Lokasi Lokasi Morel Pembanding Morel Pembanding Morel Pembanding 0-90⁰ ,14 80, ⁰ ,43 4, ⁰ ⁰ ,43 14, Frekuensi Persentase Junlah Individu Kemiringan Lokasi Lokasi Lokasi Morel Pembanding Morel Pembanding Morel Pembanding 0-8% 1 0 7, % ,43 9, % ,43 33, % ,71 38, >45% ,28 19,

13 37 Variasi kemiringan dan arah lereng tidak jauh berbeda antara lokasi ditemukannya morel dengan lokasi pembanding. Variasi kemiringan lokasi ditemukannya morel antara 7,94 54,00% dan antara 8,06 50,32% pada lokasi pembanding. Arah lereng antara 4,00 360,00 o pada lokasi morel dan 0,00 340,50 o pada lokasi pembanding. Menurut hasil uji t statistik (Levene s test) (Lampiran 8) menunjukkan bahwa kedua lokasi tidak berbeda nyata baik kemiringan dan arah lereng. Jika melihat prosentasinya (Tabel 5) sebagian besar morel (57,14%) maupun jamur makroskopis lain (80,95%) ditemukan pada arah lereng 0-90 o atau berada pada arah Utara-Timur, searah dengan arah matahari terbit. Pada faktor kemiringan, tubuh buah morel Rinjani ditemukan merata pada semua rentang kemiringan sedangkan jamur makroskopis lain pada lokasi pembanding ditemukan lebih banyak pada kemiringan agak curam sampai curam (15 25% dan 25 45%). Gambar 13 Lokasi plot ditemukannya morel berdasar ketinggian tempat. Hal tersebut seperti hasil yang dikerjakan Yang (2004) dalam penelitiannya tentang distribusi Tricholoma matsutake di China dikaitkan dengan faktor lingkungan, bahwa T. matsutake di alam lebih banyak ditemukan lebih

14 38 banyak pada arah lereng utara dan kemiringan 11 20%. Lebih lanjut disebutkan bahwa faktor fisiografis seperti ketinggian tempat, kemiringan dan aspect mempengaruhi distribusi jamur makroskopis secara tidak langsung yaitu dalam mempengaruhi iklim mikro. Akan tetapi, belum ada laporan studi yang membuktikan bahwa tubuh buah morel berkaitan secara nyata terhadap faktor fisiografis. Tabel 6 Perbandingan profil kesuburan tanah pada morel Rinjani, M. elata dan M. esculenta/m. hybrida No Variabel Morel Rinjani M. elata M. esculenta/ M. hybrida 1 Tekstur tanah Berlempung halus Lempung Lempung berpasir 2 Kadar C tanah (%) 6,30-8,81 (sangat 2,2-11 (sedang- 3,2-7,9 (tinggi-sangat tinggi) sangat tinggi) tinggi) 3 Kadar N tanah (%) 0,54-0,70 (tinggi) 0,11-0,5 (rendah- 0,2-0,4 (sedang) sedang) 4 Kadar P tanah 9,2-15,9 ppm (rendah) 5 ppm (rendah) 0,2-0,9% (rendah) (ppm) 5 Kadar Ca (me/100g) 9,77-10,97 (me/100g) 7,8-23 (me/100g) 2,0-6,4 ppm (sedang) (sedang) (sedang-sangat tinggi) 6 ph tanah 7 (netral) 5,4-6 (asam) 5,8-7,0 (asam-netral) Hasil pengamatan variabel tanah disajikan dalam Tabel 4. Lokasi ditemukannya morel merupakan lokasi dengan kadar C/N, P dan Ca yang lebih rendah daripada lokasi pembanding. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tingkat kesuburan tanah pada lokasi morel lebih rendah daripada lokasi pembanding. Akan tetapi jika dibandingkan dengan penelitian sejenis (Tabel 6) (Singh et al. 2004, Barness & Wilson 1998) kandungan hara pada lokasi habitat morel sudah termasuk tinggi, atau memang morel tidak membutuhkan kadar hara yang terlalu tinggi seperti pada lokasi bukan habitat morel. Singh et al. (2004) juga membandingkan kandungan hara lain pada lokasi lain, bahwa lokasi habitat morel memiliki kandungan hara lebih tinggi dari pada lokasi yang bukan habitat morel. Akan tetapi kandungan hara M. esculenta/m. hybrida pada penelitian Sigh tersebut jika dibandingkan dengan kandungan hara tanah tempat tumbuh tubuh buah morel Rinjani lebih rendah untuk kadar C, N, P, maupun kadar Ca. Artinya morel Rinjani membutuhkan hara makro yang lebih tinggi dibandingkan M. esculenta/m. hybrida berdasar penelitian Singh et al. (2004) tersebut. Dalam

15 39 penelitian lain M. elata menunjukkan variasi kebutuhan hara makro yang lebih lebar dalam pertumbuhan tubuh buahnya (Tabel 6)(Barness & Wilson 1998). Pilz et al. (2007) menyebutkan bahwa kandungan hara merupakan kondisi yang memudahkan peristiwa berbuah morel secara masal. Kandungan hara makro dan mikro yang cukup dimungkinkan menjadi faktor penentu induksi berbuah morel. Akan tetapi seberapa optimum kadar hara dalam tanah terutama yang dibutuhkan dalam pertumbuhan tubuh buah morel belum ada penelitian yang membuktikan. Menurut beberapa studi morel di habitat alam, morel tumbuh pada tanah dengan porositas dan aerasi yang cukup tinggi atau adanya kandungan fraksi pasir yang cukup dominan (Barness & Wilson 1998, Geho 2007, Pilz et al. 2007, Singh et al. 2004). Dalam penelitian ini dibuktikan dengan adanya kandungan pasir dan debu (37,83% dan 40,11%) lebih banyak dibandingkan dengan fraksi liat 22,06%. Dalam penelitian lain tubuh buah M. esculenta dan M. angusticeps tumbuh pada tanah dengan fraksi pasir yang lebih banyak dari pada fraksi liat dan debu (Singh et al. 2004) Nilai ph tanah pada lokasi habitat morel dan lokasi bukan habitat morel menunjukkan hasil sama sebesar 7 (netral). ph tanah membatasi sebaran morel dalam pertumbuhan tubuh buahnya. Banyak penelitian melaporkan kisaran ph tanah dalam habitat morel di alam antara 5 7 atau morel tumbuh dalam tanah yang bersifat asam sampai netral (Barness & Wilson 1998, Geho 2007, Pilz et al. 2007, Singh et al. 2004). Laporan studi yang melaporkan morel dapat tumbuh pada ph yang bersifat basa sangat sedikit. Berdasarkan Tabel 6, tubuh buah M. esculenta/m. hybrida tumbuh pada ph tanah dengan ph bersifat asam-netral, sedangkan M. elata ditemukan pada ph lebih asam. Kemampuan tubuh buah morel bertoleransi terhadap ph tanah bersifat spesifik tergantung lokasi dan spesies (Pilz et al. 2007). Faktor-faktor lingkungan tidak serta merta berdiri sendiri mempengaruhi keberadaan morel. Faktor-faktor lingkungan secara simultan membentuk karakteristik habitat yang membedakan dengan lokasi lain (Odum 1993). Untuk masalah ini akan dibahas dalam analisis multivariat bahasan selanjutnya.

16 Faktor Vegetasi Analisis vegetasi dikerjakan pada lokasi ditemukannya morel Rinjani dan lokasi lain ditemukannya jamur-jamur dengan musim produksi tubuh buah yang sama dengan morel Rinjani. Analisis vegetasi dikerjakan pada pohon berdiameter >10 cm untuk melihat spesies-spesies pohon yang berperan terhadap faktor-faktor tempat tumbuh. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa terdapat sejumlah 19 spesies pohon yang tumbuh dilokasi ditemukannya morel Rinjani dan 18 spesies pohon yang tumbuh di lokasi tidak ditemukan morel Rinjani. Pohon yang tumbuh di habitat morel Rinjani 19 spesies, 5 spesies diantaranya merupakan pohon dengan INP lebih dari 15%. Pada lokasi tidak ditemukan morel Rinjani dari 18 spesies tersebut, 7 spesies pohon mempunyai INP lebih dari 15%. Menurut Sutisna (1981) suatu spesies pohon dapat dikatakan berperan jika mempunyai INP lebih dari 15%. Tabel 7 Analisis vegetasi tingkat pohon pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel No Spesies Lokasi Plot INP (%) LM LBM LM LBM 1 Anomianthus auritus (klak) 64,09 52,00 2 Syzygium polyanthum (jukut) 49,56 37,17 3 Engelhardia spicata (bak-bakan) 36,74 4 Weinmannia sp. (sarangan) 35,76 18,29 5 Uropyhllum macrophyllum (kasol) 30,76 14,42 6 Piper sp. (saes) 23,57 36,31 7 Glochidion sericum (nyam) 13,87 8 Ardisia sp. (niar) 11,51 23,70 9 Bischoffia javanica (prabu) 21,84 10 Myrica javanica (kesambik) 10,61 11 Dilenia sp. (dilenia) 8,58 6,93 12 Melastoma decempidum (lencing) 8,09 12,50 13 Rapanea hasselttii (durenan) 8,01 14,86 14 Chionanthus oliganthus (reke) 7,19 15 Adinandra javanica (kesambian) 7,19 16 Ardisia sp 2. (lempeni) 4,17 17 Chisocheton sp (ombar) 4,12 18 Astronia papetaria (kunyitan) 3,99

17 41 Tabel 7 Lanjutan No Spesies Lokasi Plot INP (%) LM LBM LM LBM 19 Syzygium sp. (jambuan) 3,75 20 Mollatus sp (temek) 3,70 21 Adinandra javanica (kesambian) 3,46 22 Gomphandra sp. (tangonan) 3,46 23 Ardisia sp 3. (uing) 3,46 24 Ficus sp. (ara) 3,44 25 Mallotus moluccanus (seropan) 3,34 26 Neonauclea sp. (arisan) 3,25 27 Neonauclea sp. (poan) 3,22 28 Arthrophllum javanicum (dangaran) 3,09 Keterangan : LM = Lokasi ditemukan morel LBM = Lokasi tidak ditemukan morel Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa spesies Anomianthus auritus dan Syzygium polyanthum mempunyai INP yang sama besar pada kedua lokasi (Tabel 3 dan Tabel 4). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa faktor tempat tumbuh morel atau ketiga jamur lain yang diamati sebagian besar dipengaruhi spesies-spesies tersebut yang merupakan pohon penyusun dominan. Secara keseluruhan komposisi spesies pohon penyusun yang ada di lokasi morel Rinjani hampir sama dengan lokasi pembanding. Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa ada spesies-spesies pohon dengan INP besar yang ditemukan pada lokasi morel Rinjani tetapi tidak ditemukan pada lokasi pembanding dan sebaliknya. Spesies Glochidion sericum tidak ditemukan pada lokasi pembanding, juga Engelhardia spicata dan Bischoffia javanica tidak ditemukan pada lokasi morel Rinjani. Hasil perhitungan Indeks Shannon-Wiener (Lampiran 3 dan Lampiran 4) juga menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu H = 2,46 pada lokasi morel Rinjani dan H = 2,52 pada lokasi pembanding. Uji t statistik Indeks Shannon- Wiener (Lampiran 5) dikerjakan untuk membuktikan apakah nilai tersebut sama atau tidak. Hasil uji t statistik indeks Shannon menunjukkan bahwa t hitung lebih kecil dari pada t tabel. Dari hasil uji tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan Indeks Shannon-Wiener antara lokasi morel dengan lokasi

18 42 pembanding. Dengan kata lain tidak ada tingkat perbedaan keanearagaman spesies pohon antara lokasi ditemukan morel dengan lokasi tidak ditemukan morel. Berdasarkan perhitungan indeks kesamaan Morisita-Horn (Lampiran 6) didapatkan nilai sebesar 83,40% atau tingkat kesamaan komunitas antara lokasi ditemukan morel dengan lokasi pembanding cukup besar. Berdasarkan uji korelasi Pearson (Lampiran 11), kerapatan pohon berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tubuh buah morel Rinjani (taraf kepercayaaan 99%). Hal ini mendukung pernyataan sebelumnya bahwa jumlah tubuh morel berkorelasi terhadap suhu, kelembaban udara dan intensitas cahaya. Ketiga faktor tersebut dipengaruhi oleh kerapatan pohon. 5.3 Faktor Dominan Komponen Ekologi Hasil pengujian normalitas (Lampiran 7) menunjukkan bahwa nilai Skewness-Kurtosis masih berada diantara -2 dan +2. Berdasarkan histogram distribusi data terlihat sebaran data mempunyai kurva yang dapat dianggap berbentuk lonceng atau data berdistribusi normal. Deteksi normalitas berdasarkan terlihat bahwa data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan model regresi memenuhi asumsi normalitas. Hasil analisis regresi berganda menggunakan metode Enter (Lampiran 9) menunjukkan nilai VIF semua variabel lebih besar dari 1 dan di bawah nilai 10. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi kolinearitas di antara variabelvariabel yang diujikan. Berdasarkan nilai signifikansi masing-masing variabel, hanya variabel intensitas cahaya matahari yang berpengaruh secara nyata terhadap jumlah tubuh buah morel yang ditemukan. Dengan nilai F hitung sebesar 14,652 dan nilai p=0,000 (lebih kecil dari taraf nyata 0,05), variabel intensitas cahaya berpengaruh pada jumlah individu morel pada taraf kepercayaan 95%. Output analisis regresi linear berganda dengan metode Stepwise menghasilkan output yang sama (Lampiran 9 dan Lampiran 10). Berdasarkan hasil tersebut persamaan regresi yang didapatkan sebagai berikut :

19 43 Model tersebut hanya berlaku pada kisaran data yang ada, yaitu intensitas cahaya pada kisaran 490,00-620,00 lux. Berdasarkan nilai galat kuadrat jumlah yang lebih kecil dari pada standar deviasi variabel intensitas cahaya matahari dan nilai R sebesar 0,890 maka dapat dikatakan bahwa model regresi ini cukup bagus dalam memprediksi jumlah individu morel atau sekitar 89,0% jumlah tubuh buah morel yang ditemukan dapat ditentukan oleh intensitas cahaya, sedangkan sisanya 21,0% ditentukan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Namun variabel-variabel lain meskipun tidak terbukti nyata dalam menentukan jumlah tubuh buah morel yang ditemukan, pada penelitian ini, variabel-variabel lain tersebut tetap mempunyai pengaruh. Variabel-variabel lingkungan di habitat alam dapat secara sendiri atau secara simultan mempengaruhi suatu spesies (Odum 1993). Koefisien korelasi negatif menandakan bahwa semakin besar intensitas cahaya matahari yang diterima lantai hutan semakin sedikit jumlah tubuh buah morel yang tumbuh, dalam batasan intensitas cahaya. Koefisien regresi 0,014 di atas menunjukkan bahwa setiap penambahan satu satuan intensitas cahaya akan menurunkan jumlah tubuh buah morel yang dapat tumbuh sebesar 0, Kondisi Morel Rinjani Awal produksi tubuh buah morel Rinjani pada tahun 2012 ini berdasarkan pengamatan lebih awal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun ini tubuh buah dijumpai pada minggu ketiga bulan Maret sedangkan pada tahun sebelumnya baru dapat dijumpai pada Minggu kedua bulan April (Rianto et al. 2011) dengan masa hidup tubuh buah antara hari (Gambar 14). Kejadian ini dapat dimungkinkan oleh fenomena curah hujan yang berbeda tiap tahunnya yang menyebabkan perbedaan awal munculnya tubuh buah. Curah hujan mempunyai pengaruh besar terhadap produksi tubuh buah baik morel maupun makrofungi lain (Geho 2007, Gates 2009, Kaul 1997, Pilz et al. 2007, Pinna et al. 2010). Peran curah hujan penting dalam mempengaruhi iklim mikro suatu tempat terutama kadar air dalam tanah dan udara yang penting dalam pertumbuhan dan produksi tubuh buah morel. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa masa hidup tubuh buah morel Rinjani antara hari. Perhitungan ini berdasarkan pada penemuan primordia

20 44 morel ukuran 2,5cm (tanggal 5 April) sampai diamati dalam keadaan mengering (tanggal 26 April). Tidak semua primordia yang diamati tumbuh menjadi tubuh buah dewasa. Masa hidup morel dapat berbeda-beda tergantung lokasi dan spesies. M. esculenta dan M. deliciosa di wilayah dengan iklim empat musim memiliki masa hidup tubuh buah hari (Pilz et al. 2007). Black morel memiliki masa hidup tubuh buah sekitar 21 hari (Geho 2007). Barnes & Wilson (1998) menyatakan secara umum morel memiliki fase makroskopis/tubuh buah antara hari. (a) 05/04/2012 (b) 26/04/2012 (c) 16/04/2012 Gambar 14 Fase hidup tubuh buah morel Rinjani. Pengukuran morfologi dilakukan pada tubuh buah morel stadium muda dan dewasa pada masing-masing plot ditemukannya morel. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut ditambahkan deskripsi yang telah dikerjakan sebelumnya (Rianto et al. 2011), sebagai berikut : Tubuh buah : Berbentuk khas morel kerucut yang memanjang (conical), seperti spons yang bertangkai. Ukuran pada primordia <2,5cm x <1cm x <1cm. Ukuran pada tubuh buah dewasa 4,4 8,8cm x 1,5 4,9cm x 2 4cm. Tubuh buah berongga ketika dibelah (Gambar 15). Tudung : Ukuran 4-6cm x 2-4cm x 2-4cm. Warna tudung primordia berwarna abu-abu, tubuh buah dewasa berwarna lebih putih. Batang : Berbentuk seperti pentung (club-shaped), membesar di bagian pangkal. Ukuran 2 4cm x 1 2cm x 1 2cm. Warna kuning cerah pada primordia,

21 45 warna lebih putih pada tubuh buah dewasa. Warna semakin kuning pucat atau coklat tua pada tudung dan batang pada tubuh buah yang sudah tua. Berdasarkan morfologi ini menurut Rianto et al. (2011) morel Rinjani lebih merujuk pada M. deliciosa yang termasuk kelompok morel putih (white morel). Akan tetapi, penamaan bisa saja salah karena M. deliciosa diidentifikasi tumbuh di wilayah beriklim sedang/subtropis. Menurut banyak ahli mikologi penamaan yang tepat untuk spesies jamur adalah dengan uji spora atau DNA. Gambar 15 Bagian dalam tubuh buah morel Rinjani. 5.5 Pemanfaatan Morel dan Gangguan Manusia Morel merupakan sumberdaya yang bernilai ekonomi tinggi dan sangat enak untuk dikonsumsi yang belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia. Morel telah menjadi komoditas yang mahal untuk ukuran bahan makanan di negara-negara barat. Pengambilan morel di alam telah mendatangkan penghasilan yang cukup nyata bagi masyarakat sekitar hutan sedangkan produksi secara budidaya belum bisa dikerjakan dalam skala besar. Morel juga dikategorikan sebagai jamur yang paling dicari oleh para mushroomer (sebutan bagi penggemar mushroom) ketika berburu jamur di hutan di negara-negara barat. Pengambilan sumberdaya jamur di kawasan TNGR oleh masyarakat sekitar dilakukan bersama hasil hasil hutan lainnya seperti pakis, rumput atau buah-buahan hutan. Akan tetapi pengambilan tersebut hanya pada ketinggian bawah dan hanya spesies jamur yang umum diketahui dan diperjualbelikan di

22 46 pasar lokal seperti jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur tiram merah (Pleurotus flabellatus), jamur kuping (Auricularia auricula) jamur kuping putih (Tremella fusiformis) dan jamur rayap (Termytomyces spp,ada 3 spesies jamur rayap di TNGR). Keberadaan morel hanya diketahui oleh pengunjung pendaki terutama wisatawan mancanegara sehingga ancaman bagi morel Rinjani adalah pengunjung baik karena pengambilan atau ketidaksengajaan terinjak secara fisik mengingat lokasi tumbuhnya berada di kanan kiri jalur pendakian Senaru dan sangat dekat dengan pos peristirahatan yang biasa dipergunakan untuk bermalam. Gambar 16 memperlihatkan morel Rinjani yang tumbuh di jalur pendakian, visibel untuk diambil dan rentan untuk terinjak secara fisik. Lokasi tumbuh ini tidak banyak bergeser tiap tahun musim tumbuhnya. Gambar 16 Morel Rinjani lebih banyak ditemukan di jalur pendakian. 5.6 Strategi Konservasi Morel Rinjani Berdasarkan faktor ekologi hasil penelitian dapat dirancang strategi konservasi morel Rinjani sebagai berikut :

23 Perbanyakan Morel Rinjani Insitu Perbanyakan secara insitu mengacu pada PP No. 7 tahun 1999 pasal 8 ayat 1 sebagai bagian upaya penyelamatan spesies di dalam habitatnya. Perbanyakan morel Rinjani secara insitu dikerjakan pada lokasi-lokasi yang mempunyai karakter ekologi yang sama dengan lokasi ditemukannya morel Rinjani. Perbanyakan dikerjakan dengan alasan eksistensi spesises morel karena potensi nilai ekonomi dan lokasi habitatnya yang sekarang merupakan jalur intensif pendakian. Perbanyakan dapat dikerjakan dengan mengambil sclerotium untuk ditanam ditempat lain baik agar menghasilkan tubuh buah. Syarat-syarat ekologi disesuaikan dengan hasil penelitian. Berdasarkan ketinggian tempat, perbanyakan morel insitu dapat dikerjakan pada lokasi yang mempunyai ketinggian tempat antara m dpl sesuai hasil penelitian. Gambar 17 menunjukkan lokasilokasi dengan ketinggian tempat antara m dpl baik di kawasan TNGR maupun kawasan hutan lain. Lokasi yang memungkinkan adalah di bagian utara, barat dan selatan G. Rinjani seperti Gambar 17 karena karakter iklim lokasi-lokasi tersebut sama dengan lokasi morel saat ini. Penentuan lokasi yang tepat dan mudah untuk diakses dilakukan dengan cek lapangan. Gambar 17 Rencana perbanyakan morel insitu.

24 48 Perbanyakan morel secara insitu merupakan cara tepat dan cepat penyelamatan spesies morel mengingat persen keberhasilan budidaya di laboratorium/ lingkungan terkontrol sangat kecil dibandingkan trial error perbanyakan tubuh buah morel di habitat aslinya. Isolat morel pada banyak percobaan berhasil didapatkan hanya tingkat keberhasilannya menjadi tubuh buah tidak seperti isolat-isolat jamur edible lain. Oleh karena itu perdagangan morel sampai saat ini masih mengandalkan pengambilan dari alam. Keberhasilan insitu dapat dimungkinkan ketika 3 faktor utama petumbuhan morel diketahui yaitu prakondisi, pemicu inisiasi dan pendukung pertumbuhan tubuh buah (Pilz et al. 2007). Penelitian ini hanya menjawab faktor pertama yaitu kondisi yang memungkinkan morel tumbuh pada lokasinya saat ini, karena secara statistik memiliki karakteristik yang berbeda terutama faktor fisik. Penelitian ini hanya sedikit menjawab faktor kedua, bahwa pemicu inisiasi morel Rinjani karena menurunnya curah hujan, suhu dan kelembaban di lantai hutan. Seberapa besar penurununan belum dapat dijawab karena berdasarkan multivariat suhu dan kelembaban tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tubuh buah morel. Hal ini diduga karena jumlah data yang kurang karena keterbatasan waktu dan biaya, untuk pendekatan populasi yang sebenarnya. Hal ini dapat diatasi dengan monitoring secara berkala termasuk dengan memasukkan variabel curah hujan yang sampai di lantai hutan. Faktor yang ketiga berupa kondisi yang terusmenerus mendukung pertumbuhan morel seperti tingkat kehangatan dan kelembaban serta curah hujan juga dapat diidentifikasi berdasarkan monitoring berkala tersebut Monitoring Populasi Monitoring populasi dikerjakan untuk melihat produktivitas morel. Monitoring populasi dikerjakan untuk menumpulkan data seri/ time series untuk memantau kecenderungan populasi dan kelimpahan morel. Monitoring dapat dikerjakan selama 5 tahun untuk menilai bagaimana produktivitasnya, untuk dibandingkan dengan spesies morel lain bagaimana potensi pemanfaatan langsung. Monitoring dapat dikerjakan dengan membuat plot permanen pada lokasi tempat tumbuh morel. Kecenderungan populasi dan kelimpahan morel (dengan dukungan bukti statistik) akan penting bagi pengelolaan morel lebih

25 49 lanjut. Informasi monitoring sangat dibutuhkan dalam budidaya eksitu untuk tujuan komersil Pengawasan Pengunjung Monitoring pengunjung juga perlu dilakukan baik morel atau sumberdaya lain. Pada kenyataannya pengambilan langsung sumberdaya seperti pakis, jamur, tanaman hias atau sumberdaya lain dari kawasan masih sering terjadi dan terus menerus karena masih tingginya ketergantungan masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan. Secara teori, pihak pengelola seharusnya tidak mengijinkan segala sumberdaya keluar dari kawasan dalam bentuk dan tujuan apapun sesuai amanat Undang-undang No.5 Tahun 1990 pasal 21. Pemanfaatan seharusnya bersifat tidak langsung. Akan tetapi karena praktek-praktek ini telah ada bahkan sebelum dibentuk taman nasional, pelarangan tidak akan menyelesaikan masalah. Pengelolaan sebaiknya dilakukan dengan meregulasi cara-cara pemanenan dan mengusahakan teknik pembudidayakan yang dapat diaplikasikan ke masayarakat lokal. Identifikasi masyarakat lokal yang secara langsung memanfaatkan sumberdaya kawasan termasuk jamur perlu dilakukan sebagai bagian dari pengaturan pemanenan. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk lebih mengatur eksistensi sumberdaya dan keberlajutan pemanfaatan di masa mendatang serta meminimalisir pihak-pihak lain yang akan mengambil kesempatan di luar masyarakat lokal. Monitoring pengunjung juga dilakukan dalam rangka pengamanan dan perlindungan sumberdaya secara umum. Pengecekan terhadap barang-barang bawaan pengunjung ketika keluar masuk kawasan seharusnya dikerjakan untuk meminimalisir pengambilan langsung sumberdaya. Hal yang ditakutkan adalah pencurian sumberdaya oleh peneliti asing tanpa ijin khusus penelitian. Karena dengan semakin canggihnya teknologi sampel plasma nutfah mungkin hanya akan sebesar kotak korek api bahkan lebih kecil Budidaya Eksitu Budidaya eksitu menjadi tujuan konservasi morel jangka panjang mengingat keberhasilan budidaya morel dalam lingkungan terkontrol sangat kecil. Teknik budidaya eksitu morel telah lama dikerjakan di negara-negara barat. Akan

26 50 tetapi belum menunjukkan hasil yang maksimal. Budidaya eksitu belum dapat diproduksi dalam skala besar mengingat biaya produksi dan persen keberhasilan pertumbuhan morel. Produktivitas morel di alam juga masih melimpah meskipun musimnya tergolong sempit hanya beberapa waktu/ bulan sehingga masyarakat di India atau Amerika Utara atau belahan bumi lain lebih menyukai pengambilan langsung dari alam (Pilz et al. 2007). Budidaya eksitu morel rinjani dapat dikerjakan ketika data dasar tersebut telah ada. Budidaya eksitu selain untuk tujuan eksistensi spesies morel Rinjani, juga demi tujuan yang lebih besar yaitu mengurangi ketergantungan langsung masyarakat terhadap sumberdaya hutan baik jamur maupun sumberdaya lain. Teknik budidaya yang aplikatif bagi masyarakat dapat dirumuskan kemudian.

EKOLOGI MOREL RINJANI (Morchella aff. deliciosa) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI NUSA TENGGARA BARAT TEGUH RIANTO

EKOLOGI MOREL RINJANI (Morchella aff. deliciosa) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI NUSA TENGGARA BARAT TEGUH RIANTO EKOLOGI MOREL RINJANI (Morchella aff. deliciosa) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI NUSA TENGGARA BARAT TEGUH RIANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya Botani Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonae, Ordo: Liliales/ Liliflorae, Famili:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dibidang kehutanan saat ini terus ditingkatkan dan diarahkan untuk menjamin kelangsungan tersedianya hasil hutan, demi kepentingan pembangunan industri, perluasan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.2. Jamur Tiram

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.2. Jamur Tiram 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jamur Jamur merupakan organisme yang tidak berklorofil sehingga jamur tidak dapat menyediakan makanan sendiri dengan cara fotosintesis seperti pada tanaman yang berklorofil.

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia produksi nanas memiliki prospek yang baik. Hal ini dilihat dari

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia produksi nanas memiliki prospek yang baik. Hal ini dilihat dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Di Indonesia produksi nanas memiliki prospek yang baik. Hal ini dilihat dari permintaan pasar internasionalyang terus meningkat dari tahun ke tahun. Nanas

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat 11 profil tanah yang diamati dari lahan reklamasi berumur 0, 5, 9, 13 tahun dan lahan hutan. Pada lahan reklamasi berumur 0 tahun dan lahan hutan, masingmasing hanya dibuat

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan akan menjadi busuk dalam 2-5 hari apabila tanpa mendapat perlakuan pasca panen yang

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Bawang Merah Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan bercabang terpencar, pada kedalaman antara 15-20 cm di dalam tanah. Jumlah perakaran

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar hutan Indonesia termasuk dalam kategori hutan hujan tropis karena memiliki curah hujan tinggi dan suhu hangat sepanjang tahun. Hutan hujan tropis merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 2 lokasi penelitian yang digunakan yaitu Harapan dan Inalahi yang terbagi menjadi 4 plot pengamatan terdapat 4 jenis tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu bulan Agustus 2015 sampai dengan September 2015. Lokasi penelitian berada di Dusun Duren

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jagung Jagung merupakan tanaman yang dapat hidup di daerah yang beriklim sedang sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat membutuhkan sinar matahari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki kekayaan sumber air yang sangat melimpah. Sumber air

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki kekayaan sumber air yang sangat melimpah. Sumber air BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan sumber air yang sangat melimpah. Sumber air ini merupakan sumber daya yang sangat penting untuk pemenuhan kehidupan makhluk hidup (Indriatmoko

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pertambahan bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pengambilan data pertambahan biomassa cacing tanah dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Bayam Bayam (Amaranthus sp.) merupakan tanaman semusim dan tergolong sebagai tumbuhan C4 yang mampu mengikat gas CO 2 secara efisien sehingga memiliki daya adaptasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan bahan pangan terpenting di Indonesia mengingat makanan pokok penduduk Indonesia sebagian besar adalah beras. Sementara itu, areal pertanian

Lebih terperinci

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme :

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme : TANAH Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah Hubungan tanah dan organisme : Bagian atas lapisan kerak bumi yang mengalami penghawaan dan dipengaruhi oleh tumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sebaran rayap tanah di berbagai vegetasi Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki luas wilayah 359 ha, dari penelitian ini diperoleh dua puluh enam contoh rayap dari lima

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI

II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI 2.1. Iklim Ubi kayu tumbuh optimal pada ketinggian tempat 10 700 m dpl, curah hujan 760 1.015 mm/tahun, suhu udara 18 35 o C, kelembaban udara 60 65%, lama penyinaran

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa Apakah mulsa itu? Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban,

Lebih terperinci

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng 124 Bab VI Kesimpulan Lokasi penelitian, berupa lahan pertanian dengan kondisi baru diolah, tanah memiliki struktur tanah yang remah lepas dan jenis tanah lempung berlanau dengan persentase partikel tanah

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hujan Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh dipermukaan tanah datar selama periode tertentu di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun

BAB I PENDAHULUAN. PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah umum mengenai penanaman hutan pinus, yang dikelola oleh PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun 1967 1974. Menyadari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman tropis, secara morfologi bentuk vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun berbentuk pita dan berbunga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

KADAR AIR TANAH ( Laporan Praktikum Ilmu Tanah Hutan ) Oleh. Ferdy Ardiansyah

KADAR AIR TANAH ( Laporan Praktikum Ilmu Tanah Hutan ) Oleh. Ferdy Ardiansyah KADAR AIR TANAH ( Laporan Praktikum Ilmu Tanah Hutan ) Oleh Ferdy Ardiansyah 1314151022 JURUSAN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2014 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Dokuchnev

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Tanaman Gladiol Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang sesuai dengan bentuk daunnya yang meruncing dan memanjang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi tanah, di laut atau badan-

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini berlangsung di kebun manggis daerah Cicantayan Kabupaten Sukabumi dengan ketinggian 500 700 meter di atas permukaan laut (m dpl). Area penanaman manggis

Lebih terperinci

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya 1. Faktor Genetik : Faktor dalam yang sifatnya turun temurun + 2. Faktor lingkungan: - Tanah - Air - Lingkungan - udara (iklim) Iklim-------- sifat/peradaban

Lebih terperinci

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya 1. Faktor Genetik : Faktor dalam yang sifatnya turun temurun + 2. Faktor lingkungan: - Tanah - Air - Lingkungan - udara (iklim) Iklim-------- sifat/peradaban

Lebih terperinci

Lampiran 1 Curah hujan (mm) di daerah pasang surut Delta Berbak Jambi

Lampiran 1 Curah hujan (mm) di daerah pasang surut Delta Berbak Jambi Lampiran 1 Curah hujan (mm) di daerah pasang surut Delta Berbak Jambi No Tahun Bulan Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 1987 206 220 368 352 218 17 34 4 62 107 200 210 1998 2 1989 183 198 205 301 150

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. proses sintesis senyawa baru. Pembentukan tubuh tanah berlangsung dengan dua

PENDAHULUAN. proses sintesis senyawa baru. Pembentukan tubuh tanah berlangsung dengan dua PENDAHULUAN Latar Belakang Pembentukan bahan tanah dari bahan induk tanah berlangsung dengan proses pelapukan, dekomposisi, dan/atau mineralisasi lebih lanjut, disertai dengan proses sintesis senyawa baru.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan nitrogen tanah bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Variasi kandungan nitrogen dalam tanah terjadi akibat perubahan topografi, di samping pengaruh iklim, jumlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) Menurut Rahayu dan Berlian ( 2003 ) tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 1. Botani Bawang Merah

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di lahan kering dengan kondisi lahan sebelum pertanaman adalah tidak ditanami tanaman selama beberapa bulan dengan gulma yang dominan sebelum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Taksonomi kelapa sawit yang dikutip dari Pahan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Embryophyta Siphonagama Kelas : Angiospermeae Ordo : Monocotyledonae

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan salah satu ekosistem yang jumlahnya cukup luas di Indonesia,

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan salah satu ekosistem yang jumlahnya cukup luas di Indonesia, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Hutan merupakan salah satu ekosistem yang jumlahnya cukup luas di Indonesia, luasnya mencapai 130.609.014,98 ha (Departemen Kehutanan, 2011). Ekosistem tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan salah satu sistem ekologi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 14 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.1. Hasil Penelitian.1.1 Pertumbuhan diameter S. leprosula Miq umur tanam 1 4 tahun Hasil pengamatan dan pengukuran pada 4 plot contoh yang memiliki luas 1 ha (0 m x 0 m) dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam pertanian, sumberdaya alam hasil hutan, sumberdaya alam laut,

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam pertanian, sumberdaya alam hasil hutan, sumberdaya alam laut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya alam seperti sumberdaya alam pertanian, sumberdaya alam hasil hutan, sumberdaya alam laut, sumberdaya alam tambang,

Lebih terperinci

Kompos Cacing Tanah (CASTING)

Kompos Cacing Tanah (CASTING) Kompos Cacing Tanah (CASTING) Oleh : Warsana, SP.M.Si Ada kecenderungan, selama ini petani hanya bergantung pada pupuk anorganik atau pupuk kimia untuk mendukung usahataninya. Ketergantungan ini disebabkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) berasal dari negara Afrika.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) berasal dari negara Afrika. 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengenalan Tanaman Sorgum Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) berasal dari negara Afrika. Tanaman ini sudah lama dikenal manusia sebagai penghasil pangan, dibudidayakan

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super Solusi Quipper F. JENIS TANAH DI INDONESIA KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami jenis tanah dan sifat fisik tanah di Indonesia. F. JENIS TANAH

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium Sentraldan Laboratorium Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Lebih terperinci

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PENGERTIAN TANAH Pedosfer berasal dari bahasa latin yaitu pedos = tanah, dan sphera = lapisan. Pedosfer yaitu lapisan kulit bumi yang tipis yang letaknya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays.l) keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays.l) keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays.l) Tanaman jagung merupakan tanaman asli benua Amerika yang termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis 16 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Ada 2 tipe akar ubi jalar yaitu akar penyerap hara di dalam tanah dan akar lumbung atau umbi. Menurut Sonhaji (2007) akar penyerap hara berfungsi untuk menyerap unsur-unsur

Lebih terperinci

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Repong Damar Kebun damar atau biasa disebut masyarakat Krui sebagai repong adalah hutan rakyat yang dikelola secara turun-temurun oleh masyarakat Krui. Repong damar Krui berbatasan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah diameter pangkal, diameter setinggi dada (dbh), tinggi total, tinggi bebas cabang, tinggi tajuk, panjang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA.1 Kacang Panjang.1.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Panjang Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

Vegetasi Alami. vegetasi alami adalah vegetasi atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami tanpa adanya pembudidayaan.

Vegetasi Alami. vegetasi alami adalah vegetasi atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami tanpa adanya pembudidayaan. Vegetasi Alami vegetasi alami adalah vegetasi atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami tanpa adanya pembudidayaan. Aspek Praktis Kajian Vegetasi Studi vegetasi merupakan ilmu pengetahuan, yang sering

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengamatan Selintas 4.1.1. Keadaan Cuaca Lingkungan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman sebagai faktor eksternal dan faktor internalnya yaitu genetika

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 17 4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan di Dramaga, Kecamatan Bogor Barat, Jawa Barat (Gambar 4.1). Penelitian ini berlangsung selama tiga bulan, yakni dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Lawu adalah gunung yang terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung ini mempunyai ketinggian 3265 m.dpl. Gunung Lawu termasuk gunung dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci