EKOLOGI MOREL RINJANI (Morchella aff. deliciosa) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI NUSA TENGGARA BARAT TEGUH RIANTO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EKOLOGI MOREL RINJANI (Morchella aff. deliciosa) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI NUSA TENGGARA BARAT TEGUH RIANTO"

Transkripsi

1 EKOLOGI MOREL RINJANI (Morchella aff. deliciosa) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI NUSA TENGGARA BARAT TEGUH RIANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ekologi Morel Rinjani (Morchella aff. deliciosa) di Taman Nasional Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2012 Teguh Rianto NRP. E

3 ABSTRACT TEGUH RIANTO. The Ecology of Rinjani Morel Mushroom (Morchella aff. deliciosa) in Gunung Rinjani National Park-West Nusa Tenggara. Under direction of ERVIZAL AM ZUHUD and ACHMAD. Ecologically based information on Rinjani morel mushroom (Morchella aff. deliciosa) habitat is needed to determine decision making by park manager for its conservation. The study was taken to describe and identify the ecological factors that correlate with the presence of the fruitbodies of M. aff. deliciosa. Fourteen plots (10m x 10m) with morel fruitbodies and twenty one plots without morel fruitbodies at higher level of altitude were established accidentally for measurement of climatic, soil, and trees variables during morel fructification. Data were described statistically and analyzed using multiple linear regression and discriminant analysis. The research result showed that fructification of M. aff. deliciosa appeared at level of altitude 1572, ,00m, slope between 7,94-54,00%, aspect between 4,00-360,00 o. The lifespan of morel fruitbodies between days. The air temperature range of 18,53-19,6 o C and 83,00-90,50% humidity on the forest floor measurement, light between 490,00-620,00lux. Brown Mediterran loam soils supported the morel fruiting, ph neutral (7,0), medium C/N ratio (12,16), low P (12,53ppm) and medium Ca (10,22me/100g). Anomianthus auritus, Syzygium polyanthum, Weinmannia sp., Uropyhllum macrophyllum, and Piper sp. were identified as dominant tree species. The values of Shannon-Wiener index obtained for site with morel and site without morel tested using t test (Levene s test) showed there is no difference in tree diversity between the two locations. The Morisita Horn index also showed that similirity indices between the two locations is about 83,40%. The research result indicated that morel started to fruit when the humidity begin to slow for some short period and stopped to fruit until humidity constant relatively. The multiple linear regression analysis showed that light was the only ecological factor correlated significantly with the number of morel fruitbodies. Meanwhile the t test showed there was significantly different ecological components between the morel site and the site without morel i.e the temperature, forest floor moisture, light intensity and altitude factor. This information on the nature M. aff. deliciosa habitat provides the first step in succesfull management and conservation of morel and other mushroom resources. Keywords: morel, Morchella, ecology, fructification, natural habitat, Gunung Rinjani National Park.

4 RINGKASAN TEGUH RIANTO. Ekologi Morel Rinjani (Morchella aff. deliciosa) di Taman Nasional Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat. Dibimbing oleh ERVIZAL AM ZUHUD dan ACHMAD. Kegiatan monitoring keanekaragaman jamur di Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) telah dilakukan sepanjang tahun dan telah teridentifikasi sebanyak 147 spesies baik jamur tanah maupun jamur kayu. Sebanyak 16 spesies diantara 147 spesies jamur yang teridentifikasi, merupakan jenis edible dan dimanfaatkan oleh masyarakat baik untuk dikonsumsi ataupun dijual di pasar lokal. Salah satu spesies jamur edible tersebut adalah M. aff. deliciosa yang merupakan satu-satunya spesies morel di kawasan TNGR (Rianto et al. 2011). Morel (Morchella spp, Pezizales, Ascomycota) merupakan spesies jamur edible sebagai komoditas bernilai tinggi di pasaran internasional. Harga jual morel lebih tinggi dibandingkan matsutake (Tricholoma spp) atau spesies-spesies chanterelle (Cantharellus spp dan genus terkait). Informasi ekologis baik komponen biotik dan abiotik penentu tumbuhnya M. aff. deliciosa di TNGR perlu diteliti untuk kepentingan pengelolaan dan konservasi M. aff. deliciosa. Penelitian dilaksanakan di wilayah Resort Senaru, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I, TNGR. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan habitat M. aff. deliciosa dan mengidentifikasi faktor-faktor ekologi penentu tempat tumbuh M. aff. deliciosa.penelitian dilaksanakan antara bulan Februari Juli Peralatan yang digunakan antara lain perlengkapan inventarisasi dan pengukuran komponen fisik dan perlengkapan untuk pembuatan herbarium (spesimen) jamur. Data yang dikumpulkan merupakan faktor pohon, tanah dan iklim mikro yaitu variabel suhu, kelembaban udara dan tanah, intensitas cahaya, ketinggian tempat, kelerengan, arah kelerengan, ph tanah, kadar hara makro dan mikro tanah, jenis tanah, tekstur tanah, basal area (Folk 2011, Hall et al. 2003, Pilz et al. 2007). Sampling pencatatan data komponen ekologi secara aksidental pada lokasi yang telah teridentifikasi sebelumnya (Rianto et al. 2011), pada ketinggian sekitar 1500m dpl, pal KM 3,5 4 jalur pendakian Senaru. Unit sampling berupa plot pengamatan 10m x10m. Sampling juga dikerjakan pada lokasi lain yang tidak pernah ditemukan morel Rinjani sebagai pembanding. Analisis data dikerjakan melalui indeks nilai penting (INP) analisi vegetasi, indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dan indeks Morisita-Horn. Perbedaan variabel-variabel ekologi pada lokasi ditemukannya morel dengan lokasi yang tidak ditemukan morel diuji dengan menggunakan uji t (Levene s test) dan uji korelasi Pearson. Analisis regresi berganda dilakukan untuk mengetahui komponen ekologi yang dominan mempengaruhi jumlah tubuh buah morel Rinjani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa morel Rinjani tumbuh pada ketinggian tempat antara m dpl, kelerengan antara 7,94 54,00%, arah kelerengan antara 4,00 360,00 o, suhu dan kelembaban udara di bawah tegakan antara 18,53 19,6 o C dan 83,00 90,50%, intensitas cahaya matahari 490,00 620,00lux. Morel tumbuh pada tanah Mediteran coklat dengan tekstur berlempung halus (pasir 37,83% debu 40,11% liat 22,06%), ph 7 dengan kadar C 7,30%, kadar N 0,60%, rasio C/N 12,16, kadar P 12,53ppm dan kadar Ca 10,22me/100g. Hasil analisis

5 vegetasi menunjukkan bahwa terdapat sejumlah 19 spesies pohon yang tumbuh dilokasi ditemukannya morel Rinjani. Spesies pohon yang dominan pada lokasi tersebut adalah Anomianthus auritus (klak), Syzygium polyanthum (jukut), Weinmannia sp. (sarangan), Uropyhllum macrophyllum (kasol), dan Piper sp. (saes). Spesies Anomianthus auritus dan Syzygium polyanthum mempunyai INP yang sama besar pada lokasi ditemukan morel dan lokasi pembanding. Hasil perhitungan Indeks Shannon-Wiener menunjukkan nilai H = 2,46 pada lokasi morel Rinjani dan H = 2,52 pada lokasi pembanding. Hasil uji t menunjukkan tidak ada perbedaan Indeks Shannon-Wiener antara lokasi morel dengan lokasi pembanding. Dengan kata lain tidak ada tingkat perbedaan keanearagaman spesies pohon antara lokasi ditemukan morel dengan lokasi tidak ditemukan morel. Berdasarkan perhitungan indeks kesamaan komunitas Morisita-Horn didapatkan nilai sebesar 83,40% antara lokasi ditemukan morel dengan lokasi pembanding. Faktor dominan komponen ekologi penentu jumlah tubuh buah morel diperoleh hasil persamaan regresi linier = 2,, intensitas a a a. Model ini hanya berlaku pada data yang ada yaitu intensitas cahaya 490,00-620,00lux. Awal produksi tubuh buah morel Rinjani pada tahun ini minggu ketiga bulan Maret sampai minggu pertama Juni dengan masa hidup tubuh buah antara hari. Tubuh buah morel akan muncul pada saat transisi musim basah ke musim kering, pada saat kadar kelembaban lantai hutan berubah dari tinggi sampai berangsurangur konstan. Kata kunci: morel, Morchella, ekologi, pembentukan tubuh buah, habitat alami, Taman Nasional Gunung Rinjani.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 EKOLOGI MOREL RINJANI (Morchella aff. deliciosa) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI NUSA TENGGARA BARAT TEGUH RIANTO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F

9 Judul Tesis Nama NRP : Ekologi Morel Rinjani (Morchella aff. deliciosa) di Taman Nasional Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat : Teguh Rianto : E Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Zuhud, M.S Ketua Dr. Ir. Achmad, M.S Anggota Diketahui, Ketua Program Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 17 September 2012 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah memberikan berkat-nya sehingga penulis diberikan kesempatan untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis. Tesis dengan judul Ekologi Morel Rinjani (Morchella aff. deliciosa) di Taman Nasional Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat dilatar belakangi bahwa penelitian-penelitian tentang jamur di habitat alam di Indonesia umumnya dan kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani atau kawasan konservasi lain pada khususnya belum banyak dilaporkan. Potensi keanekaragaman dan ekonominya yang besar akan sangat sia-sia jika tidak ada perhatian dari pengelola. Semoga penelitian ini menjadi pembuka bagi penelitian-penelitian sejenis di kawasan konservasi lain. Terima kasih untuk dukungan, doa, dan cinta dari istri dan anakku tercinta Susila Oktapiyani, S. Hut dan Desvyana Qorin. Terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Zuhud, M.S. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Acmad, M.S. selaku anggota komisi pembimbing, atas curahan pemikiran, waktu dan kesabaran dalam memberikan bimbingan hingga selesainya penulisan tesis ini; Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, selaku Ketua Program Studi Magister Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH). Terima kasih kepada Kementrian Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor. Terima kasih untuk Kabalai TNGR. Terima kasih untuk rekan-rekan di TNGR terutama Isnan yang telah bersusah payah ikut serta dalam pengambilan data lapangan, juga Mamo, P. Purwantono, Budi, Roni atas dukungan di lapangan/ Senaru. Terima kasih juga disampaikan untuk kawan-kawan seperjuangan KKH angkatan 2010 P. Parjoni, Mbak Leni, Mbak Mina, Mbak Desi, Bu Lusi, Mbak Lintang, Mbak Via, Septi, Ferdi, Cahyo, P. Yarman, P. Nyoto, Mbak Imas, Mas Hendra, Mirta, Mas Yusuf, Mas Buday, Mas Andoko; teman-teman di S2 IPB P. Sofwan, Mas Hari P, Mas Budi Ambong, Mas Iga, Mas Marwoto untuk beragam dialog dan beraneka diskusi yang memberi banyak inspirasi kepada penulis untuk mengatasi rintangan dan hambatan dalam pengerjaan tesis dan problem keseharian. Terima kasih untuk semua pihak yang berkontribusi dan tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga apa yang menjadi topik dalam tulisan ini bermanfaat bagi banyak pihak terutama berkaitan dengan upaya konservasi pada khususnya. Bogor, September 2012 Teguh Rianto

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Desember 1980 di Bantul, Jogjakarta, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan bapak Sarino dan ibu Masiyem. Pada tahun 1993 penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Pendemsari Sleman, tahun 1996 menamatkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 10 Jogjakarta, dan tahun 1999 menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 5 Jogjakarta. Pada tahun 1999 melalui seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi negeri (UMPTN), penulis diterima sebagai mahasiswa S-1 Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Pada bulan Agustus 2004 lulus dengan predikat sangat memuaskan. Sejak bulan Juli 2005 sampai sekarang penulis bekerja di Balai Taman Nasioanal Gunung Rinjani, Mataram-NTB dengan jabatan fungsional sebagai Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Penulis menikah pada bulan April 2010 dengan Susila Octapiyani dan telah dianugerahi seorang putri Desvyana Qorin. Pada bulan Agustus 2010 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Kementerian Kehutanan pada Program Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada program tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul Ekologi Morel Rinjani (Morchella aff. deliciosa) di Taman Nasional Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Zuhud, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Achmad, MS. selaku Anggota Komisi Pembimbing.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI....i DAFTAR TABEL....iii DAFTAR GAMBAR....iv DAFTAR LAMPIRAN.....v I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Tujuan... 2 I.3 Manfaat... 3 I.4 Kerangka Pemikiran... 3 II TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Morel (Morchella spp.) Taksonomi Morfologi Siklus Hidup Morel Edibilitas dan Kandungan Nutrisi Habitat dan Musim Tumbuh... 8 III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Topografi Tanah Iklim Vegetasi IV METODOLOGI Lokasi dan Waktu Alat dan Bahan Variabel Pengamatan Pengumpulan Data Analisis Data Faktor Vegetasi Analisis Korelasi Analisis Faktor Dominan Komponen Ekologi V HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Fisik Tempat Tumbuh Morel Rinjani Faktor Vegetasi Faktor Dominan Komponen Ekologi Kondisi Morel Rinjani Pemanfaatan Morel dan Gangguan Manusia Strategi Konservasi Morel Rinjani (i)

13 5.6.1 Perbanyakan Morel Rinjani Insitu Monitoring Populasi Pengawasan Pengunjung Budidaya Eksitu VI SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN (ii)

14 DAFTAR TABEL No. Halaman 1 Musim tumbuh jamur edible kawasan TNGR Variabel-variabel faktor ekologi penduga tumbuhnya M. aff. deliciosa Variabel fisik pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel Variabel tanah pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel Variabel kelerengan dan arah lereng pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel Perbandingan profil kesuburan tanah pada morel Rinjani, M. elata dan M. esculenta/m. hybrida Analisis vegetasi tingkat pohon pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel (iii)

15 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Tubuh buah M. aff. deliciosa di TNGR Anggota Morchellaceae yang ada di dunia Siklus hidup morel (Volk, 2000) Kondisi kontur kawasan TNGR Peta iklim P. Lombok klasifikasi Schmidt dan Ferguson yang telah dievaluasi Lokasi penelitian di TNGR Suhu udara pada masing-masing plot selama penelitian Kelembaban udara pada masing-masing plot selama penelitian Produksi tubuh buah morel dikaitkan dengan suhu lantai hutan, suhu tempat terbuka dan curah hujan tempat terbuka Profil hujan dikaitkan dengan musim morel Intensitas cahaya matahari pada masing-masing plot selama penelitian Lokasi plot ditemukannya morel berdasar ketinggian tempat Fase hidup tubuh buah morel Rinjani Bagian dalam tubuh buah morel Rinjani Morel Rinjani lebih banyak ditemukan di jalur pendakian Rencana perbanyakan morel insitu (iv)

16 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1 Output analisis deskriptif data pengamatan pada lokasi ditemukannya morel 59 2 Output analisis deskriptif data pengamatan pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon-Wiener pada lokasi ditemukannya morel Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon-Wiener pada lokasi tidak ditemukan morel Output uji t Indeks Shannon-Wiener Perhitungan Indeks Morisita-Horn Output uji normalitas data Output uji t Output uji regresi linear berganda metode Enter Output uji regresi linear berganda metode Stepwise Output uji korelasi Pearson Jamur-jamur yang ditemukan pada lokasi pembanding Hasil analisis sampel tanah dari Lab. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Data curah hujan Kec. Bayan dan data suhu udara Sta. Klimatologi Kediri.. 81 (v)

17 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makrofungi merupakan sumberdaya alam hayati yang penting dalam kehidupan manusia. Makrofungi atau dalam istilah yang lebih dikenal dengan jamur, secara ekologis memegang peranan nyata pada peristiwa-peristiwa ekologis seperti asosiasinya dengan hutan primer dalam siklus nutrisi, jaringjaring makanan serta secara signifikan mempengaruhi kelangsungan hidup perkecambahan anakan-anakan pohon, pertumbuhan pohon dan keseluruhan kesehatan hutan. Jadi dapat dikatakan jamur adalah indikator penting dinamika ekosistem hutan (Molina et al. 2001). Kawasan hutan Gunung Rinjani meliputi 26,5% dari luas daratan P.Lombok. Kawasan hutan Gunung Rinjani juga merupakan kawasan hutan terluas atau sekitar 86,11% dari luas keseluruhan hutan P.Lombok (BTNGR 1997). Kawasan hutan Gunung Rinjani seluas ha terdiri atas beberapa fungsi kawasan, termasuk di dalamnya sekitar ha kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Ekosistem kawasan hutan TNGR tergolong masih utuh dan sekitar 40% atasnya merupakan hutan primer tua. Dengan kondisi tersebut ratusan spesies jamur tumbuh subur sepanjang tahunnya. Kegiatan monitoring keanekaragaman jamur di TNGR telah dilakukan sepanjang tahun dan telah teridentifikasi sebanyak 147 spesies baik jamur tanah maupun jamur kayu. Dari 147 spesies jamur yang teridentifikasi, 16 spesies diantaranya edible dan dimanfaatkan masyarakat baik untuk dikonsumsi ataupun dijual. Salah satu spesies jamur edible tersebut adalah Morchella aff. deliciosa yang merupakan satu-satunya spesies morel di kawasan TNGR (Rianto et al. 2011). Morel (Morchella spp, Pezizales, Ascomycota) merupakan spesies jamur edible sebagai komoditas bernilai tinggi di pasaran internasional. Harga jual morel lebih tinggi dibandingkan matsutake (Tricholoma spp) atau spesies-spesies chanterelle (Cantharellus spp dan genus terkait). Perdagangan morel yang diambil dari alam di Amerika bagian Utara termasuk Mexico, Kanada dan Amerika Serikat, bernilai sekitar 5-10 juta dollar AS per tahunnya (Pilz et al. 2007). Sekitar

18 kg di Pakistan morel kering diekspor per tahunnya dengan rata-rata harga 50 dollar AS per kg di pengumpul atau 216 dollar AS per kg di tangan eksportir (Flores 2006). Sebagai perbandingan harga, di British Coloumbia, Kanada, harga kering morel per kg sebesar 92 dollar AS di tangan pengumpul (Flores 2006). Perdagangan jamur di Indonesia dengan komoditas seperti jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur tiram merah (Pleurotus flabellatus), jamur kuping (Auricularia auricula), jamur kuping putih (Tremella fusiformis), jamur kancing/champignon (Agaricus bisporus) maupun jamur merang (Volvariella volvacea). Sebagai perbandingan, harga jamur kancing basah per kg ditangan distributor Agromaret.com antara Rp ,00 Rp ,00 atau harga jamur merang antara Rp ,00 Rp per kg basah (Anonim, 2011). Harga jual morel lebih tinggi, di laman Alibaba.com harga morel basah paling murah sekitar dollar per kg atau sekitar Rp ,00 Rp ,00 (Anonim, 2012). Akan tetapi, morel merupakan komoditas yang belum lazim dan penelitian tentang morel sendiri di Indonesia belum pernah dilaporkan. Berdasarkan monitoring keanekaragaman makrofungi yang telah dilakukan di kawasan TNGR dari (Rianto et al. 2011) diantara tiga kawasan di TNGR yaitu wilayah Resort Aik Berik, Resort Aikmel dan Resort Senaru, hanya wilayah Resort Senaru sebagai lokasi ditemukannya Morchella aff. deliciosa. Lebih spesifik dijelaskan bahwa lokasi tersebut hanya di sekitar ketinggian m dpl dengan spesies pohon dominan penyusun Syzygium spp. M. aff. deliciosa tidak pernah dilaporkan ada pada ketinggian di bawah atau di atas m dpl. Untuk kepentingan pengelolaan dan konservasi M. aff. deliciosa, informasi ekologis baik komponen biotik dan abiotik penentu tumbuhnya M. aff. deliciosa di TNGR perlu dilakukan. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah 1. Mendeskripsikan karakteristik habitat M. aff. deliciosa. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor ekologi yang mempengaruhi produksi tubuh buah M. aff. deliciosa. 3. Merumuskan strategi konservasi bagi M. aff. deliciosa.

19 3 1.3 Manfaat Memberikan data dan informasi ekologis (biotik dan abiotik) bagi kepentingan konservasi M. aff. deliciosa di TNGR maupun untuk kepentingan budidayanya. Data dan informasi ini dapat dipakai untuk mengembangkan spesies jamur ini dalam lingkungan terkontrol baik di alam maupun di area budidaya. 1.4 Kerangka Pemikiran Masyarakat lokal mengapresiasi sumberdaya hutan dari kawasan hutan Gunung Rinjani melalui pengambilan langsung dari kawasan untuk tujuan konsumsi ataupun ekonomi (dijual untuk menghasilkan sejumlah uang) termasuk jamur-jamur edible. Menurut Rianto et al. (2011) spesies yang diperdagangkan secara lokal melalui pengambilan langsung dari hutan hanya spesies-spesies Termytomyces spp (ada 4 spesies). Sedangkan jenis lain seperti jamur tiram putih (Pleuretus ostreatus), jamur kuping (Auricularia auricula), jamur tiram merah (Pleuretus flabellatus), morel (M. aff. deliciosa) atau jamur kuping putih (Tremella fusiformis) tidak sepopuler Termytomyces spp di pasar lokal karena faktor produktivitas dan keterjangkauan lokasi. Karakter morel berbeda dengan spesies jamur lain bahkan diantara spesies-spesies morel sendiri (Morchella spp dan Helvellaceae spp) (Pilz et al. 2007, Stott & Mohammed 2004). Informasi biologi, sumber hara, siklus hidup dan modus reproduksi morel telah banyak diidentifikasi. Budidaya morel menunjukkan keberhasilan pada morel tertentu sedangkan jenis lain masih misteri. Pendekatan ekologi merupakan salah satu cara mengungkap bagaimana morel tumbuh secara alami. Tumbuhnya tubuh buah morel bergantung pada 3 (tiga) faktor utama yaitu iklim, tanah dan pohon (Volk 2000, Hall et al. 2003, Pilz et al. 2007). Ketiga faktor tersebut secara serentak membentuk faktor tempat tumbuh morel. Faktorfaktor ini akan berbeda pada setiap jenis morel (Morchella spp.). Pada beberapa keadaan, tubuh buah morel tumbuh dengan baik dan serentak pada beberapa gangguan hutan seperti pohon tumbang, kebakaran atau gangguan lain. Morel sebelumnya dilaporkan hanya tumbuh di belahan bumi bagian utara yang memiliki iklim sedang dan hutan boreal. Adanya morel pada hutan hujan

20 4 tropis pegunungan menjadi pertanyaan tersendiri (Masaphy 2011, Wurtz et al. 2005). Oleh karena itu penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan data dan informasi komponen-komponen ekologi penentu keberadaan M. aff. deliciosa di TNGR. Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan nantinya didapatkan suatu rumus tentang syarat tumbuh M. aff. deliciosa di alam sehingga nantinya dapat dibuatkan model iklim mikro dalam lingkungan terkontrol baik di alam maupun di laboratorium. Tujuan besar yang akan dicapai dalam proses ini adalah aplikasi budidaya bagi masyarakat lokal selain tujuan konservasi M. aff. deliciosa. Tahapan penelitian dalam batasan kerangka pikiran di atas disajikan dalam Gambar 1. Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

21 5 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Morel (Morchella spp.) Taksonomi Berdasarkan taksonominya, klasisifikasi genus morel menurut O Donnell et al. (2011) adalah : Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Subfilum : Pezizomycotina Kelas : Pezizomycetes Ordo : Pezizales Famili : Morchellaceae Genus : Morchella Morel di kawasan TNGR merupakan Morchella aff. deliciosa. Penggunaan aff. di antara genus dan penunjuk spesies merujuk pada Hall et al. ( 2003) yang berarti spesies ini termasuk dalam genus tersebut dan mirip secara morfologi dengan spesies deliciosa. Bukti mikroskopis diperlukan untuk penamaan yang lebih tepat Morfologi M. aff. deliciosa (Gambar 2) dalam Rianto et al. (2011) dideskripsikan sebagai berikut : Tubuh buah khas morel (spons bertangkai), tudung berbentuk bulat telur memanjang dan silindris, panjang 5-7 cm, lebar 3-4 cm, permukaannya berkerut atau beralur yang tak beraturan. Tudung berwarna putih dan cenderung menguning-coklat (memudar) ketika tuanya. Tudung berongga ketika dibelah, warna senada tetapi lebih cerah dibandingkan tudung bagian luar. Batang ukuran 1-1,5 x 2-4 cm, membesar di bagian bawah, warna senada dengan tudung, berongga didalamnya. Klasifikasi morel yang ada di dunia ini terdiri 3 (tiga) macam berdasarkan kenampakan warna tudung dan batang yaitu morel hitam/black morel, kuning/yellow morel dan putih/white morel. Morel hitam seperti M. angusticep

22 6 atau lebih dikenal dengan nama dagang French black morel, M. conica, dan M. elata. M. esculenta termasuk morel kuning, sedangkan M. deliciosa dan M. crassipes merupakan contoh morel putih (Gambar 3). Foto : Rianto 2010 Gambar 2 Tubuh buah M. aff. deliciosa di TNGR. Foto : mushroomsexpert.com, mykoweb.com, rogersmushroom.com, mushroomobserver.org. Gambar 3 Anggota Morchellaceae yang ada di dunia.

23 Siklus Hidup Morel Beberapa spesies morel bersifat saprob dan terbentuknya tubuh buah dapat terjadi tanpa berasosiasi dengan pohon inang. Beberapa diantaranya bersifat mikoriza, bersimbiosis dengan pohon inang dan pembentukan tubuh buah memerlukan asosiasi dengan pohon inang (Masaphy 2011, Pilz et al. 2007). Morel yang tampak kasat mata merupakan bagian makro dari tubuh morel secara keseluruhan. Struktur tubuh morel paling dasar berupa hifa. Kumpulan hifa-hifa membentuk miselium di bawah permukaan tanah. Miselium suatu spesies morel saprobik dapat hidup membentang dalam suatu area yang luas puluhan hektar. Pada suatu keadaan lingkungan yang menguntungkan dan cadangan makanan dalam tubuh miselium cukup, maka miselium akan membentuk tubuh buah dan tumbuhlah morel yang secara kasat mata terlihat mucul ke atas permukaan tanah (Volk 2000, Hall et al. 2003, Pilz et al. 2007). Siklus hidup morel lebih detail diperlihatkan pada Gambar 4. Gambar 4 Siklus hidup morel (Volk 2000).

24 8 2.2 Edibilitas dan Kandungan Nutrisi Morel merupakan spesies jamur yang paling dicari di antara jamur edible yang lain karena cita rasanya yang enak, tetapi musim tumbuh tubuh buahnya sangat singkat (Hall et al. 2003, Pilz et al. 2007). Penjualan morel melalui internet seperti di website/ laman terkenal seperti amazon.com atau oregonmushrooms.com, harga morel kering paling tinggi di antara komoditas jamur edible lain. Laman amazon.com menawarkan harga 50 dollar AS untuk 4 ons kering morel. Morel merupakan bahan makanan bernutrisi dengan kandungan protein tinggi, rendah karbohidrat, lemak dan kalori, kaya vitamin dan mineral. Menurut USDA (2011), morel mengandung sejumlah kecil vitamin B penting, termasuk folat, niasin, asam pantotenat, riboflavin dan tiamin. Morel per 100 gram mengandung 411 mg kalium, 194 mg fosfor, 43 mg kalsium, 21 mg sodium, 19 mg magnesium dan 12 mg zat besi. Morel per 100 gr mengandung 31 kalori atau 0,31 kalori per gram, 58% (5,10 gr) karbohidrat, 27% (3,12 gr) protein, 16% (0,57 gr) lemak, serat diet/dietary fiber 2,8 gr dan air gr (90% dari berat). Morel telah digunakan untuk mengobati gangguan pencernaan, batuk, dan sesak napas dalam pengobatan tradisional di Cina (Ying et al. 1987). Morel juga digunakan untuk mengobati dahak. Miselium morel dilaporkan mengandung senyawa anti tumor, anti oksidan dan anti radang (Mau et al. 2004, Nitha & Janardhanan 2005). 2.3 Habitat dan Musim Tumbuh Morel membutuhkan habitat yang spesifik (Volk 2000, Hall et al. 2003, Pilz et al. 2007). Periode tumbuh tubuh buah sangat singkat, tumbuh hanya dalam beberapa tempo waktu. Masa hidup morel dapat berbeda-beda tergantung lokasi dan spesies. M. esculanta dan M. deliciosa di wilayah dengan iklim empat musim memiliki masa hidup tubuh buah hari (Pilz et al. 2007). Black morel memiliki masa hidup tubuh buah sekitar 21 hari (Geho 2007). Barnes & Wilson (1998) menyatakan secara umum morel memiliki fase makroskopis/tubuh buah antara hari. Di daerah beriklim sedang, morel muncul di awal musim semi antara bulan Maret dan April (Masaphy 2011, Wurtz et al. 2005). Musim tumbuh

25 tubuh buah M. aff. deliciosa yang ada di kawasan TNGR diketahui sekitar bulan April-Juni (Tabel 1). Habitat morel bervariasi sesuai lokasi dan spesies. Spesies yang sama pun dapat berbeda syarat tumbuhnya pada lokasi yang berbeda. Barnes & Wilson (1998) dalam penelitiannya melaporkan M. elata dapat tumbuh di hutan ekaliptus yang mudah terbakar sementara pada lokasi lain ditemukan di sepanjang tepian sungai dengan kelembaban yang lebih tinggi. Tabel 1 Musim tumbuh jamur edible kawasan TNGR No Spesies Musim Tumbuh Sebaran SN AB PG 1. Morchella aff.deliciosa 2. Auricularia auricula 3. Tremella fusiformis 4. Termitomyces sp 5. Termitomyces sp2 6. Termitomyces sp3 7. Clitocybe sp 8. Pleurotus ostreatus 9. Pleurotus flabellatus 10. Pleurotus sp 11. Clavaria vermicularis 12. Polyporus sp 13. Polyporus sp2 14. Artomyces pyxidatus 15. Mycena sp 16. Spesies 1 Keterangan : SN = Senaru, AB = Aik Berik, PG = Pesugulan Dasar penentuan musim tumbuh adalah frekuensi keterjumpaan spesies selama penelitian tahun , dengan asumsi musim basah bulan antara bulan Nopember-April. Sumber : Rianto et al. (2011). Morel terdistribusi pada wilayah subtropis atau sedang yang memiliki kondisi iklim 4 musim. Morel belum pernah dilaporkan ada di daerah tropis. Morel dapat tumbuh di hutan konifer, hutan oak, hutan eukaliptus ataupun hutan campuran. Tumbuhnya morel banyak dikaitkan dengan adanya gangguan pada ekosistem hutan seperti kebakaran hutan (Mashapy 2011, Pilz et al. 2007). 9

26 10 Pilz et al. (2007) menggolongkan faktor-faktor yang mempengaruhi fenologi terbentuknya tubuh buah morel ke dalam tiga grup besar. Faktor pertama adalah kondisi yang memudahkan peristiwa terbentuknya tubuh buah morel secara masal seperti cadangan makanan, berubahnya kandungan kimia dan ph tanah, kalah bersaing dengan mikroorganisme tanah yang lain atau tercucinya ketersediaan hara. Faktor yang kedua adalah faktor fisik pemicu inisiasi terbentuknya tubuh buah morel seperti perubahan suhu dan kelembaban. Faktor yang ketiga adalah kondisi yang terus-menerus mendukung pertumbuhan morel seperti tingkat kehangatan dan kelembaban serta curah hujan.

27 III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Letak dan Luas Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) terletak di P.Lombok, Nusa Tenggara Barat. TNGR berada pada koordinat BT dan LS. TNGR secara administratif berada pada tiga kabupaten yaitu Kab. Lombok Utara, Kab. Lombok Tengah dan Kab. Lombok Timur. Kawasan hutan Gunung Rinjani meliputi 26,5% dari luas daratan P. Lombok. Kawasan hutan Gunung Rinjani juga merupakan kawasan hutan terluas atau sekitar 86,11% dari luas keseluruhan hutan P. Lombok. Kawasan hutan Gunung Rinjani seluas ha terdiri atas beberapa fungsi kawasan, termasuk di dalamnya sekitar ha kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan TNGR (BTNGR 1997). 3.2 Topografi Kawasan TNGR merupakan daerah yang bergunung-gunung dengan ketinggian bervariasi antara m dpl, sedangkan kelerengannya mulai dari datar-sedang (0 25 o ), berat (25 40 o ) dan berat sekali (>40 o ). TNGR memiliki puncak tertinggi kedua di Indonesia (setelah puncak Kerinci) dengan ketinggian 3.726m dpl. Kondisi kontur TNGR berdasarkan output perangkat lunak Global Mapper 13 disajikan pada Gambar Tanah Tanah di kawasan TNGR terdiri dari jenis tanah regosol, litosol, andosol dan mediteran. Jenis tanah regosol kelabu dan litosol tersebar secara luas di daerah puncak dan sekitar Danau Segara Anak. Di sekitar kaki G. Rinjani dikelilingi oleh jenis tanah andosol/ brown forest soil dan regosol cokelat. Jenis tanah tersebut menyebar dari Kec. Kopang hingga Kec. Aikmel. Jenis tanah mediteran cokelat dapat ditemukan di Kec. Pringgabaya. Bahan induk tanah berasal dari abu dan pasir volkan yang sangat mudah tererosi. Hal ini dengan mudah dapat dilihat di sepanjang jalur pendakian yang banyak mengalami erosi parit/ gully dengan kedalaman 50cm. Erosi dan longsoran juga terlihat pada

28 12 puncak Gunung Rinjani atau daerah montana/ daerah tanpa vegetasi pada ketinggian di atas 2000 m dpl (BTNGR 1997). Gambar 5 Kondisi kontur kawasan TNGR.

29 Iklim Tipe iklim kawasan TNGR menurut As-syakur (2009) yang telah mengevaluasi klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson 1951 sebelumnya, adalah tipe E dan F (Gambar 6). Curah hujan rata-rata per tahun antara mm. Curah hujan tersebut bervariasi menurut ketinggian tempat dan letak geografis. Semakin naik ketinggian tempat akan semakin besar curah hujannya. Daerah pantai utara serta timur relatif lebih kering dibanding daerah pantai barat dan selatan. Sumber : As-syakur (2009). Gambar 6 Peta iklim P. Lombok klasifikasi Schmidt dan Ferguson yang telah di evaluasi. Suhu rata-rata di Lombok (Mataram) sebesar 22 C dengan variasi C (maksimum) dan C (minimum). Kelembaban udara antara 75% 85%. Jika tiap kenaikan 100m diikuti dengan penurunan suhu terbesar 0.5 C, maka temperatur di puncak G. Rinjani berkisar antara 1 11 C terutama jika musim kemarau dan bertiup angin yang kencang (BTNGR 1997).

30 Vegetasi Kawasan TNGR termasuk salah satu perwakilan ekosistem peralihan antara Asia dan Australia dalam garis Wallace. Kawasan ini merupakan bagian dari hutan hujan tropis di Prop. Nusa Tenggara Barat yang terdiri dari berbagai tipe ekosistem dan vegetasi yang cukup lengkap dari hutan tropis dataran rendah (semi-evergreen) sampai hutan hujan tropis pegunungan ( m dpl). yang masih utuh dan berbentuk hutan primer, hutan cemara dan vegetasi sub alpin (> 2.000m dpl) (BTNGR 1997). Vegetasi pohon penyusun berdasarkan ketinggian di bawah 1000m dpl seperti beringin, (Ficus benyamina), jelateng (Laportea stimulan), jambu-jambuan (Syzygium sp), pala hutan (Myritica fatna), buni hutan (Antdesma sp), bajur (Pterospermum javanicum), randu hutan (Gossampinus heptophylla), terep (Artocarpus elastica), Melastoma spp, pandan (Pandanus tectorius), keruing bunga (Dipterocrapus haseltii), salam (Syzygium polyantha), klokos (Syzygium sp), rajumas (Duabanga moluccana) (BTNGR 1997). Vegetasi pohon penyusun berdasarkan ketinggian antara m seperti kayu jakut (Syzygium sp), Melastoma spp, menang/garu (Dysoxylum sp), sentul (Aglaia sp), deduren (Aglaia argentea), pandan (Pandanus tectorius), glagah (Saccharum spontaneum), rotan besar (Daemonorops sp), bak-bakan (Engelhardia spicata). Di kawasan Senaru terdapat kelompok dominan vegetasi dan diberi nama sesuai dominan pohon penyusunnya yaitu zonasi bak-bakan di ketinggian sekitar 1500m dpl (BTNGR 1997). Pada ketinggian diatas 2000m dpl vegetasi pohon penyusun semakin berkurang jumlah spesiesnya. Vegetasi penyusun dominan seperti bak-bakan (Engelhardia spicata), Melastoma spp, melela (Podocarpus vaccinium), jjambujambuan (Syzygium sp) dan cemara gunung (Casuarina jughuhniana). Pada kawasan Senaru dan Aik Berik ada zonasi khusus vegetasi berupa zona konifer dengan spesies pohon penyusun dominan cemara gunung (BTNGR 1997).

31 15 IV METODOLOGI 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Resort Senaru, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I, TNGR (Gambar 7). Secara administratif berada di Kabupaten Lombok Utara, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian dilaksanakan antara bulan Februari Juli 2012 dengan rincian perencanaan penelitian bulan Februari Maret 2012, pengambilan data lapangan bulan Maret- Mei, pengolahan data dan analisis bulan Mei Juli Gambar 7 Lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Rinjani. 4.2 Alat dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: peta digital kawasan TNGR 1 : , perlengkapan inventarisasi dan pengukuran komponen fisik, seperti: kompas, pita ukur, tally sheet, tambang plastik, meteran, thermohigrometer, phmeter analog, luxmeter, kaca pembesar; perlengkapan untuk pembuatan herbarium (spesimen) jamur yaitu keranjang bambu, kantong plastik, kantong kedap udara, label, alkohol, oven; GPS, kamera digital, perangkat lunak komputer pengolah data (IBM SPSS 19, Global Mapper 13).

32 Variabel Pengamatan Variabel pengamatan terkait ekologi morel dibagi menjadi faktor biotik dan abiotik. Tumbuhnya tubuh buah morel bergantung pada 3 (tiga) faktor utama yaitu iklim, tanah dan vegetasi (Folk 2011, Hall et al. 2003, Pilz et al. 2007). Faktor biotik meliputi iklim, tanah dan fisiografi dan faktor biotik terkait dengan pohon dan vegetasi lain penyusun ekosistem. Variabel pengamatan untuk morel yang akan diambil adalah : 1. Jumlah morel dalam setiap plot pengamatan. Variabel ini akan dipergunakan untuk menduga faktor-faktor lingkungan yang dominan terkait keberadaan morel dan jumlah tubuh buah. 2. Spesimen dalam beberapa stadia makroskopik (fase tubuh buah) untuk melihat masa hidup/lifespan tubuh buah. Variabel-variabel pengamatan yang akan diambil dari iklim mikro dan fitur fisiografi adalah : 1. Suhu dan kelembaban udara serta kelembaban tanah di lantai hutan lokasi ditemukannya morel. Variabel diukur dengan menggunakan thermohigrometer. Pengamatan dilakukan pada pagi (07.00), siang (12.00) dan sore (17.00) hari untuk mendapatkan rata-rata suhu dan kelembaban harian. Rata-rata rata-rata suhu dan kelembaban harian dihitung dengan rumus : 2. Intensitas cahaya matahari di lantai hutan. Variabel ini diamati dengan menggunakan luxmeter pada pagi, siang dan sore hari untuk mendapatkan rata-rata intensitas cahaya matahari harian. Untuk mengetahui seberapa besar intensitas cahaya matahari sebenarnya diukur juga intensitas cahaya matahari di tempat terbuka sebagai pembanding. 3. Variabel terkait fisiografi seperti ketinggian tempat, kelerengan, arah lereng/aspect. Variabel kelerengan dan aspect diturunkan dari Aster

33 17 GDEM2 S09E116 resolusi spasial 30m. Variabel ketinggian tempat diukur langsung menggunakan dua buah GPS yang sudah dikalibrasi. Pengamatan faktor tanah, variabel pengamatan yang akan diambil adalah sifat fisik, biologi dan kimia. Penentuan sifat-sifat tersebut sebagian dilakukan langsung di lapangan sebagian lagi dilakukan di laboratorium. Sifat-sifat fisik tanah dan substrat yang diamati seperti tekstur, kelas tekstur, stratifikasi lapisan; sifat-sifat kimia tanah yang diamati seperti ph, kelembaban, hara makro dan hara mikro (C, N, P, Ca) dan ketebalan serasah (Bergemann & Largent 2000). Data vegetasi meliputi struktur dan komposisi vegetasi (tinggi pohon, penutupan tajuk, spesies pohon dominan), basal area/lbds, persen penutupan serasah, penutupan tumbuhan bawah termasuk anakan pohon, jumlah tubuh buah M. aff. deliciosa dan tubuh buah jamur spesies lain dengan musim produksi tubuh buah yang sama juga dicatat untuk melihat perbedaan faktor tempat tumbuh (Knight et al. 2008, Yang 2004). Data sekunder berupa kondisi curah hujan dan suhu harian dan bulanan dari stasiun pengamatan cuaca terdekat yaitu Pos Pengamatan Curah Hujan Bayan, Lombok Utara dan Stasiun Klimatologi Kediri, Mataram. Data ini digunakan sebagai pembanding analisis. 4.4 Pengumpulan Data Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Rianto et al. 2011), lokasi M. aff. deliciosa hanya berada pada ketinggian sekitar 1500 m dpl pada pal KM 3,5 4 jalur pendakian Senaru, Resort Senaru. Oleh karena itu pengambilan data dilakukan pada lokasi yang telah teridentifikasi tersebut. Pengambilan data menggunakan metode jalur berpetak dengan penempatan plot secara purposive. Unit contoh berupa plot ukuran 10m x10m ditempatkan pada lokasi habitat morel dan lokasi pembanding. Plot 10m x10m dianggap sebagai petak ukur yang bisa ditempatkan sebagai ukuran maksimum mengingat karakter topografi yang ekstrim, pada beberapa plot mungkin akan terpotong jurang. Setiap plot pengamatan kemudian dipetakan dengan GPS. Pencatatan data komponen ekologi dilakukan pada setiap plot ditemukannya M. aff. deliciosa. Sampel tanah utuh untuk analisis di laboratorium diambil pada 3 (tiga) plot ditemukannya tubuh

34 18 buah morel. Sampel tanah utuh diambil pada kedalaman hingga 10cm. Pengambilan data mulai dilakukan ketika pada pengamatan awal telah ditemukan tubuh buah morel. Pada waktu tersebut bisa dikatakan telah masuk musim produksi tubuh buah untuk morel. Pengamatan dilakukan selama seminggu kemudian dilanjutkan lagi seminggu berikutnya untuk mendapatkan fase pertumbuhan yang lengkap tubuh buah morel. Penentuan hari pengamatan dilakukan selama musim tumbuh M. aff. deliciosa (bulan April Juni, Rianto et al. 2011). Sebagai pembanding dilakukan pengamatan faktor-faktor ekologi jamur spesies lain yang ditemukan pada ketinggian yang berbeda, pada lokasi lain yang tidak pernah ditemukan adanya morel Rinjani termasuk pengambilan sampel tanah utuh untuk analisis di laboratorium. Variabel-variabel penduga ditabulasikan seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Variabel-variabel faktor ekologi penduga tumbuhnya M. aff. deliciosa No Variabel Ket 1 Morel Jumlah individu, fase tubuh buah 2 Suhu udara Thermohigrometer digital 3 Kelembaban udara Thermohigrometer digital 4 Kelembaban tanah Higrometer analog 5 Ketinggian tempat Altimeter 6 Kelerengan ASTER GDEM2 S09 E116 7 Arah kelerengan/ aspect ASTER GDEM2 S09 E116 8 Basal area/lbds Pita ukur (m 2 /ha) 9 Intensitas cahaya matahari Luxmeter analog 10 ph tanah ph meter tanah analog 11 Tekstur tanah Analisis di lab. tanah 12 Kadar C, N, P, Ca tanah Analisis di lab. tanah 4.5 Analisis Data Faktor Vegetasi Deskripsi habitat khususnya karakter vegetasi digambarkan berdasarkan hasil analisis vegetasi yaitu kerapatan, frekuensi dan dominansi spesies yang ditunjukkan oleh besaran Indeks Nilai Penting (INP). Menurut Sutisna (1981) suatu jenis pohon dapat dikatakan berperan jika mempunyai INP lebih dari 15%. Rumus-rumus yang digunakan untuk analisis vegetasi sebagai berikut :

35 19 Satuan K adalah individu/ha, KR adalah %, D adalah m 2 /ha, DR adalah %, FR adalah %. Indeks Shannon-Wiener (H ) digunakan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman pada lokasi morel dan bukan morel/lokasi pembanding. Perhitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener sebagai berikut : dimana : H = indeks diversitas Shannon S = jumlah jenis Pi = proporsi jumlah individu ke-i (ni/n) Uji t statistik Indeks Shannon-Wiener dikerjakan untuk membuktikan apakah nilai H pada lokasi morel sama dengan H lokasi bukan morel. Perhitungan uji t menggunakan rumus dan langkah-langkah sebagai berikut : Menghitung varian Indeks Shannon-Wiener :

36 20 Menghitung nilai t : Menghitung derajat bebas : Hipotesis : H0 : tidak terdapat perbedaan Indeks Shannon-Wiener antara lokasi morel dan bukan morel H1 : terdapat perbedaan Indeks Shannon-Wiener antara lokasi morel dan bukan morel Kriteria uji : H0 diterima jika t hitung < t tabel H0 ditolak jika t hitung > t tabel Tingkat kesamaan komunitas antara lokasi ditemukan morel dengan lokasi pembanding dihitung dengan menggunakan indeks Morisita-Horn (MI). Nilai indeks Morisita-Horn berkisar antara 0 100%, semakin besar nilai semakin besar tingkat kesamaan komunitas antara kedua lokasi. Rumus untuk menghitung indeks kesamaan Morisita-Horn sebagai berikut : MI jk 2 p ij. p ik 2 p ij p 2 ik x100% Keterangan : MIjk pij pik = persen komunitas antara habitat j dengan habitat k = proporsi individu jenis i pada habitat j = proporsi individu jenis i pada habitat k Analisis Korelasi Variabel lingkungan di habitat alam dapat berdiri sendiri atau serentak dalam mempengarusi keberadaan suatu spesies. Faktor-faktor lingkungan dapat

37 21 serta merta berdiri sendiri mempengaruhi keberadaan morel atau secara simultan membentuk karakteristik habitat yang membedakan dengan lokasi lain (Odum 1993). Untuk mengetahui hubungan antara jumlah tubuh buah morel yang tumbuh dengan faktor-faktor lingkungan digunakan analisis korelasi Pearson (Santoso 2012). Dengan korelasi Pearson dapat diketahui apakah terdapat hubungan yang nyata antara variabel jumlah tubuh buah morel yang tumbuh dengan variabel lingkungan terukur, bagaimana arah hubungan dan seberapa kuat hubungan. Hubungan yang nyata antara variabel jumlah tubuh buah morel yang tumbuh dengan variabel lingkungan terukur dapat diketahui dari nilai signifikansi hasil uji dibandingkan dengan tingkat kepercayaan yang dipergunakan (0,05). Arah hubungan dapat diketahui dari nilai (negatif) yang berarti berlawanan arah dan + (positif) yang berarti searah. Kekuatan korelasi dapat diketahui berdasarkan besarnya nilai. Nilai 0 0,5 berarti korelasi lemah, di atas nilai 0,5 sampai 1 korelasi kuat Analisis Faktor Dominan Komponen Ekologi Uji beda t dua sampel independen dilakukan untuk menguji rata-rata dari dua grup variabel-variabel ekologi lokasi morel dan lokasi yang tidak ditemukan morel. Hipotesis : H0 : Varian variabel ekologi lokasi morel dan lokasi yang tidak ditemukan morel identik H1 : terdapat perbedaan varian dari variabel ekologi lokasi morel dan lokasi yang tidak ditemukan morel Kriteria uji : H0 diterima jika nilai p > taraf nyata 0,05 H0 ditolak jika nilai p < taraf Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor ekologi terukur terhadap keberadaan dan jumlah individu morel Rinjani. Analisis regresi berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor ekologi terhadap jumlah individu morel.

38 22 Model regresi berganda dapat dikatakan bagus jika memenuhi syarat asumsi klasik yaitu normalitas data dan multikolinearitas antar variabel (Santoso 2012). Normalitas data dapat diketahui dari nilai Skewness-Kurtosis, histogram distribusi data atau pun Normal Probability Plot. Data berdistribusi normal jika rasio Skewness dan rasio Kurtosis berada di antara nilai 2 hingga +2. Data berdistribusi normal jika berdasarkan histogram distribusi data berbentuk lonceng. Data berdistribusi normal jika berdasarkan Normal Probability Plot, sebaran data terletak mendekati garis uji. Uji multikolinearitas digunakan untuk mendeteksi gangguan multikolinearitas atau deteksi korelasi antar variabel-variabel independen. Adanya multikolinearitas antar variabel dapat diketahui dari nilai VIF (Variance Inflation Factor). Menurut Setyadharma (2010) variabel tidak mengalami gejala multikolinearitas jika memiliki nilai hitung VIF >1 atau <10. Multikolinearitas juga dapat diketahui dari nilai Coefficient Correlations. Nilai 0,5 sampai mendekati 1 menandakan terjadi masalah kolinearitas. Jika menggunakan metode Enter variabel yang mengalami masalah kolinearitas harus dikeluarkan secara manual dari analisis dan dipilih salah satu variabel dengan nilai t (berdasarkan Tabel Coefficients) yang lebih besar yang menandakan variabel tersebut memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap variabel jumlah tubuh buah morel dibandingkan variabel dengan nilai t lebih kecil. Akan tetapi jika menggunakan metode Stepwise hal tersebut tidak perlu dikerjakan karena sistem secara otomatis akan mengeluarkan variabel yang mengalami masalah multikolinearitas. Dalam penelitian ini akan dikerjakan kedua metode tersebut untuk melihat perbedaan output manual dan otomatis di atas. Uji-uji tersebut di atas dilakukan dengan bantuan perangkat lunak IBM SPSS 19. Model persamaan regresi linear berganda dirumuskan sebagai berikut : Dengan y merupakan jumlah tubuh buah morel, xn merupakan variabel prediktor, n merupakan titik observasi ke-n, β0 merupakan intersep, βn merupakan koefisien regresi linear dari variabel penduga ke-n. Variabel-variabel penduga : x1 = suhu udara, x2 = kelembaban udara, x3 = kelembaban tanah, x4 = ketinggian tempat,

39 23 x5 = kelerengan, x6 = arah kelerengan/ aspect, x7 = basal area/lbds, x8 = intensitas cahaya matahari, x9 = ph tanah. Pengaruh variabel-variabel lingkungan terukur terhadap jumlah individu morel yang ditemukan dapat diketahui dari nilai F (hasil Anova). Hipotesis yang dipergunakan untuk nilai F tersebut adalah : H0 : b1=b2=bn=0 (semua variabel lingkungan tidak berpengaruh terhadap variabel dependen) H1 : bn 0 (setidaknya ada satu variabel lingkungan berpengaruh terhadap variabel jumlah individu morel yang ditemukan) Kriteria uji : H0 diterima jika F hitung F tabel atau nilai p > taraf nyata 0,05 H0 ditolak jika F hitung > F tabel atau nilai p taraf nyata.

40 25 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Fisik Tempat Tumbuh Morel Rinjani Ekosistem hutan di wilayah Senaru merupakan bagian dari ekosistem hutan hujan pegunungan yang terbentang antara ketinggian m dpl. Vegetasi penyusun ekosistem tersebut bervariasi berdasarkan ketinggian. Pada beberapa ketinggian tertentu jenis-jenis seperti pandan (Pandanus tectorius), goak (Ficus spp), bak-bakan (Engelhardia spicata), cemara gunung (Casuarina jughuhniana) membentuk kelompok vegetasi yang khas. Data hasil pengukuran faktor fisik berdasarkan pengamatan lapangan dari bulan Maret April 2012 disajikan dalam Tabel 3, dan hasil uji analisis tanah di Laboratorium Tanah IPB disajikan dalam Tabel 4, data lengkap hasil pengamatan dan output statistik deskriptifnya disertakan dalam Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 12. Tabel 3 Variabel fisik pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel Variabel Lokasi Morel Lokasi Pembanding X Minimum- Maksimum X Minimum- Maksimum Suhu ( o C) 18,83+0,27 18,52-19,60 18,59+0,24 18,23-19,40 Kelembaban udara (%) 87,14+1,99 83,00-90,50 89,09+1,66 85,50-92,00 Intensitas cahaya (lux) 541,43+45, ,00-620,00 916,67+32,38 850,00-980,00 Kelembaban tanah 3,46+0,79 1,50-4,50 3,69+0,56 3,00-4,50 (skala 1-10) Ketinggian tempat (m) 1584,64+10, , , ,09+53, , ,00 Kemiringan (%) 28,50+17,06 7,94-54,00 29,53+12,22 8,06-50,32 o Arah Lereng/Aspect ( ) 124,81+123,62 4,00-360,00 69,61+117,28 0,00-340,50 Keterangan : X Minimum- Maximum = Rata-rata dan standar deviasi = Nilai maksimum minimum Tabel 3 memperlihatkan bahwa variasi suhu udara pada lantai hutan ditemukannya tubuh buah morel Rinjani selama pengamatan sebesar 18,83+0,27 o C, sedangkan pada lokasi lain yang bukan merupakan habitat morel sebesar 18,59+0,24 o C. Suhu udara pada tempat terbuka pada waktu yang sama

41 26 sebesar 27,00+0,69 o C. Suhu udara di tempat terbuka tersebut merupakan suhu udara yang diukur di pos pengamatan hujan terdekat yaitu Pos Kediri, Lombok Tengah. Suhu udara rata-rata pada lantai hutan pada lokasi ditemukannya morel lebih tinggi dibandingkan variasi suhu pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel. Suhu udara pada lantai hutan baik lokasi ditemukannya morel maupun tidak, lebih rendah dibandingkan tempat terbuka. Hal ini sesuai dengan gradien suhu vertikal atau lapse rate bahwa kenaikan tiap 100m ketinggian tempat akan menurunkan suhu sebesar +0,65 o C. Tabel 4 Variabel tanah pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel No Variabel Lokasi Morel Lokasi Pembanding 1 Jenis tanah Mediteran coklat Mediteran coklat 2 Tekstur tanah (% pasir Pasir 37,83% debu 40,11% Pasir 50,08% debu 20,01% debu liat) Liat 22,06% (Berlempung liat 29,91% (Lempung liat halus) berpasir) 3 Kadar C tanah (%) 7,30 10,98 4 Kadar N tanah (%) 0,60 0,79 5 Rasio C/N 12,16 13,84 5 Kadar P tanah (ppm) 12,53 17,27 6 Kadar Ca (me/100g) 10,22 11,55 7 ph tanah 7 7 Berdasarkan uji t statistik (Levene s test) (Lampiran 8) membuktikan perbedaan yang nyata (nilai p=0,006 atau lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05) antara suhu udara rata-rata pada lantai hutan lokasi ditemukannya morel dengan suhu rata-rata pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel maupun suhu rata-rata pada tempat terbuka. Perbedaan variasi suhu lebih jelas terlihat pada Gambar 8. Berdasarkan hasil penelitian suhu udara minimal sebesar 18,53 o C dan suhu udara maksimal sebesar 19,6 o C pada lokasi ditemukannya morel dari 14 plot pengamatan. Suhu udara minimal sebesar 18,23 o C dan suhu udara maksimal sebesar 19,40 o C pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel dari 21 plot pengamatan. Suhu udara minimal sebesar 25 o C dan suhu udara maksimal 28,3 o C pada tempat terbuka pada waktu yang sama. Menurut sebuah studi di Australia (Stott & Mohammed 2004) pertumbuhan miselia merupakan fungsi dari suhu. Sclerotia M. esculenta dapat diproduksi pada suhu 5 30 o C, dan suhu optimum

42 27 produksi antara o C. Primordia baru akan terbentuk pada suhu antara o C. Pada studi yang lain, suhu udara pada masa inisiasi primordia M. rotunda sampai menjadi ukuran utuh sekitar 5 16 o C (Pilz et al. 2007). Pada keadaan suhu udara di atas 16 o C juga dapat terjadi pertumbuhan tersebut tetapi menghambat pembentukan primordia baru. 20 Lokasi Morel Lokasi Pembanding 19,5 19 Suhu(⁰C) 18, , Plot Gambar 8 Suhu udara pada masing-masing plot selama penelitian. Sebuah studi morel di habitat alam Hutan Missouri, Amerika Serikat selama 5 tahun menyatakan bahwa suhu udara lantai hutan pada habitat M. esculenta saat musim berbuah antara 0,3 31,8 o C (Mihail et al. 2007). Dalam penelitian lain di India beberapa spesies morel kuning dan morel hitam, tubuh buah morel tumbuh pada suhu o C (Singh et al. 2004). Suhu dalam hal ini merupakan faktor penting dalam pertumbuhan morel atau jamur pada umumnya (Cooke 1979). Dalam kaitannya dengan suhu, jamur bertoleransi dan tumbuh secara optimum pada suhu tertentu. Kebanyakan jamur termasuk mesofili yang tumbuh pada suhu o C, dan tumbuh optimum pada suhu antara o C (Cooke 1979). Kebanyakan jamur memiliki suhu minimum untuk tidak tumbuh dan batasan suhu maksimum untuk tidak aktif. Dalam penelitian ini didapatkan rentang suhu 18,53 19,6 o C, dapat dikatakan bahwa suhu tersebut merupakan suhu optimum dalam pertumbuhan tubuh buah morel Rinjani. Akan tetapi tidak bisa

43 28 dijelaskan dalam penelitian ini suhu optimum dalam pembentukan sclerotia atau inisiasi primordia karena membutuhkan teknik pengamatan yang berbeda. Menurut Volk (2000), tidak semua primordia yang terbentuk akan masak/maturasi menjadi tubuh buah dewasa. Setelah inisiasi, primordia awal ditemukan akan cepat mati karena kondisi lingkungan tidak mendukung pertumbuhan untuk maturasi menjadi tubuh buah. Sehingga suhu dalam penelitian ini merupakan suhu ketika primordia sedang atau telah tumbuh menjadi tubuh buah dewasa. Berdasarkan penelitian ini, rentang suhu udara di lokasi lain pada ketinggian yang berbeda sebesar 18,23 19,40 C. Pada lokasi tersebut tidak dijumpai tubuh buah morel tetapi dapat dijumpai tubuh buah jamur lain. Suhu tersebut berbeda secara statistik menurut uji t statistik (Levene s test). Dalam hal ini berarti ada faktor lain yang membatasi tumbuhnya tubuh buah pada lokasi lain, karena rentang suhu udara pada lokasi lain tersebut hampir sama dengan rentang suhu pada lokasi ditemukannya morel meskipun berbeda secara statistik. Hasil perhitungan korelasi Pearson (Lampiran 11) antara suhu dan jumlah tubuh buah morel menunjukkan arah korelasi positif dengan nilai 0,355. Meskipun korelasinya sangat lemah karena nilai korelasinya <0,5 tetapi korelasinya nyata pada taraf signifikansi 0,05. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan semakin besar suhu akan semakin banyak jumlah tubuh buah yang tumbuh dengan batasan suhu. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Mihail et al. (2007), dalam penelitian pola spasial dan temporal tumbuhnya tubuh buah M. esculenta selama 5 tahun di hutan Missouri, Amerika Serikat, tumbuhnya tubuh buah morel berkorelasi negatif dengan suhu. Hal ini diduga terjadi karena perbedaan waktu pengamatan, suhu udara pada pengamatan ini adalah suhu udara diantara peralihan musim basah ke musim kering sedangkan dalam penelitian Mihail et al. (2007) tersebut suhu udara yang merupakan suhu udara musim semi. Perbedaan spesies dan lokasi juga dapat menyebabkan perbedaan responsitas morel terhadap faktor lingkungan. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat kelembaban udara pada lantai hutan ditemukannya tubuh buah morel Rinjani selama pengamatan sebesar 87,14+1,99%, sedangkan pada lokasi lain yang bukan merupakan habitat morel sebesar 89,09+1,66%. Kelembaban udara rata-rata pada lantai hutan pada lokasi o

44 29 ditemukannya morel lebih rendah dibandingkan variasi kelembaban pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel. Suhu udara merupakan fungsi negatif kelembaban udara, sehingga hal ini sesuai dengan pengamatan bahwa pada lokasi ditemukannya morel dengan suhu udara yang lebih tinggi mempunyai kelembaban udara yang lebih rendah. Lokasi Morel Lokasi Pembanding 93 Kelembaban(%) Plot Gambar 9 Kelembaban udara pada masing-masing plot selama penelitian. Kelembaban udara minimal pada lantai hutan pada lokasi ditemukannya morel sebesar 83,00% dan maksimal sebesar 90,50%. Kelembaban udara minimal dan maksimal pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel sebesar 85,50% dan 92,00%. Output uji t statistik (Levene s test) (Lampiran 8) nilai p=0,004 atau lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05. Dengan nilai kelembaban udara pada kedua lokasi yang hampir sama tersebut berdasarkan t statistik tersebut terdapat perbedaan yang nyata kelembaban udara pada lokasi morel dengan lokasi tidak ditemukannya morel. Perbedaan variasi kelembaban udara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 9. Secara teori perbedaan kelembaban udara dapat terjadi karena perbedaan variasi suhu udara. Berdasarkan pengamatan dapat dikatakan perbedaan dapat terjadi karena perbedaan kerapatan pohon dan kerapatan tajuk antara lokasi ditemukannya morel dengan lokasi lain yang tidak ditemukan morel.

45 30 Kerapatan tajuk dapat menjadi penghalang seberapa besar intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan yang akan berpengaruh terhadap iklim mikro di bawah tegakan, termasuk suhu udara, kelembaban udara dan kelembaban tanah. Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara pada suatu waktu. Kelembaban udara menjadi faktor penting yang menentukan besaran kandungan air di dalam tanah. Air bersama suhu merupakan faktor penting pemicu dan kondisi yang dibutuhkan untuk inisiasi tubuh buah dan maturasinya. Berdasarkan hasil perhitungan korelasi Pearson (taraf kepercayaan 99%) sebesar 0,434 (Lampiran 11). Korelasi bersifat negatif dan lemah karena nilainya <0,5. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan semakin besar kelembaban udara semakin sedikit jumlah tubuh buah morel yang dapat tumbuh, pada rentang nilai kelembaban. Hasil ini sama seperti yang dikerjakan dengan penelitian yang dilakukan Mihail et al. (2007), tumbuhnya tubuh buah M. esculenta berkorelasi negatif dengan kelembaban udara. Koleksi morel dalam sebuah studi di Wellington, Amerika Serikat menunjukkan hasil bahwa produksi tubuh buah M. elata di habitat alam ditemukan pada rentang kelembaban sekitar 75 80% (Barness & Wilson 1998). Dalam penelitian lain di India beberapa spesies morel kuning dan morel hitam, tubuh buah morel tumbuh pada kelembaban antara 68 86% (Singh et al. 2004). Lebih detail dijelaskan bahwa masing-masing spesies tumbuh pada kelembaban tertentu pada saat yang sama. M. esculenta tumbuh pada kelembaban udara sekitar 68% sedangkan M. hybrida membutuhkan kelembaban udara sekitar 86% pada lokasi lain pada waktu yang sama. Seperti halnya suhu tiap jenis morel merespon kelembaban udara pada rentang tertentu untuk pertumbuhan tubuh buahnya. Kelembaban udara lantai hutan merupakan salah satu faktor abiotik yang menentukan pertumbuhan morel. Primordia awal lebih banyak mati dan tidak menjadi tubuh buah dewasa ketika kelembaban terlalu rendah atau terlalu basah (Volk, 2000). Kelembaban udara berkaitan erat dengan curah hujan. Kelembaban udara berkorelasi positif dengan curah hujan. Curah hujan merupakan faktor utama perimbangan kadar air di lantai hutan maupun di dalam tanah. Curah hujan mempunyai pengaruh besar terhadap produksi tubuh buah baik morel maupun

46 31 makrofungi lain (Gates 2009, Geho 2007, Kaul 1997, Pilz et al. 2007, Pinna et al. 2010). Peran hujan penting dalam mempengaruhi kadar air dalam tanah dan udara dalam pertumbuhan dan produksi tubuh buah makrofungi. Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa dengan semakin turunnya curah hujan pada tempat terbuka jumlah tubuh buah morel Rinjani yang ditemukan semakin meningkat. Hal ini dapat dikatakan bahwa morel akan memproduksi tubuh buah lebih banyak pada saat peralihan dari kondisi basah ke kondisi kering Morel Hujan tempat terbuka Suhu lantai hutan Suhu tempat terbuka Suhu(oC)/Curahhujan(mm)/Jumlahmorel /03/ /03/ /04/ /04/ /04/2012 Periode pengamatan bulan Maret April 2012 Gambar 10 Produksi tubuh buah morel dikaitkan dengan suhu lantai hutan, suhu tempat terbuka dan curah hujan tempat terbuka. Efek curah hujan dan jumlah hari hujan terhadap keterjumpaan jumlah tubuh buah morel dapat lebih terlihat jika dibangkitkan data time series tahunan curah hujan tempat terbuka dan curah hujan di bawah tegakan. Dalam sebuah studi, Mihail et al. (2007) membuktikan bahwa curah hujan (>10mm) berkorelasi positif terhadap kelimpahan morel (M. esculenta). Dalam studi lain Masaphy (2011) juga menyebutkan bahwa tubuh buah morel secara temporal dikontrol oleh curah hujan. Dalam penelitian tersebut disebutkan tubuh buah M. conica dan M. elata ditemukan muncul pada bulan Februari setelah terjadi beberapa hari hujan dengan curah hujan tinggi diikuti beberapa hari tanpa hujan. Gelombang kedua munculnya tubuh buah M. conica dan M. elata terjadi lagi pada bulan Maret setelahnya ketika terjadi curah hujan tinggi dalam beberapa hari diikuti beberapa

47 32 hari tanpa hujan. Fenomena ini seperti fenomena munculnya tubuh buah morel Rinjani. Jika dikaitkan dengan curah hujan dan suhu lantai hutan, fenomena munculnya morel Rinjani seperti dalam Gambar 10 dan Gambar 11. Gambar 11 Profil curah hujan dan suhu udara dikaitkan dengan musim morel. Berdasarkan Gambar 10 dan Gambar 11 dapat dilihat bahwa dengan semakin turunnya curah hujan jumlah tubuh buah morel Rinjani yang ditemukan semakin meningkat. Pada kondisi tersebut jumlah curah hujan dan suhu udara semakin menurun dan menjadi konstan untuk beberapa waktu. Pada kondisi tersebut dapat dikatakan morel memproduksi tubuh buah lebih banyak pada saat peralihan dari kondisi basah ke kering. Fakta ini sama seperti yang dikerjakan Mihail et al. (2007) pada pengamatan fenologi berbuah M. esculenta maupun Masaphy (2011) dalam pengamatan fenologi berbuah M. conica dan M. elata tersebut. Pembentukan tubuh buah morel akan terinisiasi pada saat curah hujan berangsur-angsur sedikit sampai konstan tidak ada hujan. Curah hujan mempengaruhi jumlah air dalam tanah. Pada saat jumlah air dalam tanah

48 33 berangsur-angsur menurun atau tanah mulai kehilangan kelembabannya, tubuh buah mulai diproduksi (Geho 2007, Masaphy 2011, Pilz et al. 2007). Tubuh buah akan berhenti diproduksi ketika kondisi tanah kering konstan. Oleh karena itu musim tumbuh morel hanya berlangsung singkat beberapa periode waktu. Seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 11, fenologi berbuah morel Rinjani hanya sekitar 3 bulan. Pada pengamatan sebelumnya musim berbuah morel Rinjani sekitar bulan April Juni, sedangkan dalam penelitian ini berbuah sekitar Maret Mei. Pergeseran waktu tersebut dapat terjadi karena perubahan kondisi fisik iklim mikro pada habitat morel Rinjani atau perubahan iklim global yang mempengaruhi iklim mikro secara tidak langsung. Pilz et al. (2007) menggolongkan faktor-faktor yang mempengaruhi fenologi terbentuknya tubuh buah morel ke dalam tiga grup besar. Faktor pertama adalah kondisi yang memudahkan peristiwa terbentuknya tubuh buah morel secara masal seperti cadangan makanan, berubahnya kandungan kimia dan ph tanah, kalah bersaing dengan mikroorganisme tanah yang lain atau tercucinya ketersediaan hara. Faktor yang kedua adalah faktor fisik pemicu inisiasi berbuah morel seperti perubahan suhu dan kelembaban. Faktor yang ketiga adalah kondisi yang terus-menerus mendukung pertumbuhan tubuh buah morel seperti tingkat kehangatan dan kelembaban serta curah hujan. Faktor fisik lain dalam penelitian ini adalah intensitas cahaya matahari. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan selama penelitian pada lokasi morel rata-rata 541,43+45,039lux dengan rentang antara 490,00-620,00lux. Intensitas cahaya matahari pada lokasi tidak ditemukan morel rata-rata 916,67+32,38lux antara 850,00-980,00lux. Intensitas cahaya matahari pada tempat terbuka di atas 2000lux. Gambar 12 memperlihatkan perbedaan intensitas cahaya pada lokasi ditemukannya morel dengan lokasi yang tidak ditemukan morel secara visual. Berdasarkan uji t statistik (Levene s test) (Lampiran 8) membuktikan perbedaan yang nyata (taraf kepercayaan 95%) antara intensitas cahaya pada lokasi habitat morel dengan lokasi bukan habitat morel. Perbedaan yang jelas antara intensitas cahaya matahari pada kedua lokasi diduga karena kerapatan pohon di lokasi habitat morel lebih rapat dibandingkan dengan lokasi bukan

49 34 habitat morel sehingga jumlah cahaya yang diterima lantai hutan lebih rendah pada lokasi habitat morel. Berdasarkan perhitungan analisis vegetasi (Lampiran 1 dan Lampiran 2), densitas pohon pada lokasi habitat morel sebesar 78,23m 2 /ha, sedangkan densitas pohon pada lokasi bukan habitat morel lebih rendah sebesar 47,47m 2 /ha. Lokasi Morel Lokasi Pembanding Lux Plot Gambar 12 Intensitas cahaya matahari pada masing-masing plot selama penelitian. Jamur pada umumnya membutuhkan kisaran intensitas cahaya matahari tertentu dalam pertumbuhan tubuh buah. Asnah (2010) menemukan tubuh buah jamur makroskopis di hutan Tangkahan, Sumatera Utara tumbuh pada intensitas cahaya sekitar 400lux. Tampubolon (2010) menemukan tubuh buah jamur makroskopis di hutan Bukit Lawang, Sumatera Utara tumbuh pada intensitas cahaya sekitar 400lux. Menurut Zhanxi (2004), intensitas cahaya yang optimum untuk pertumbuhan tubuh buah jamur adalah 200 lux. Barness & Wilson (1998) menemukan M. elata di Wellington, Amerika Serikat tumbuh pada intensitas cahaya pada kisaran lux. Setiap spesies membutuhkan kisaran intensitas cahaya yang berbeda untuk pertumbuhan tubuh buah. Peranan cahaya matahari telah dibuktikan oleh banyak para ahli mikologi dalam inisiasi dan proses pematangan tubuh buah pada banyak spesies makrofungi (Kaul 1997).

50 35 Pertumbuhan batang atau pembentukan spora sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari. Menurut hasil uji korelasi Pearson antara intensitas cahaya dan jumlah tubuh buah sebesar -0,883 (Lampiran 11). Korelasi bersifat sangat kuat karena >0,5 dan sangat nyata pada taraf kepercayaan 99%. Korelasi bernilai negatif yang menandakan semakin besar intensitas cahaya semakin sedikit jumlah tubuh buah morel yang tumbuh, dalam kisaran intensitas cahaya di atas. Hasil ini sesuai dengan Asnah (2010) dan Tampubolon (2010) bahwa intensitas cahaya berkorelasi negatif dengan jumlah tubuh buah jamur makroskopis yang ditelitinya. Stott & Mohammed (2004) menyebutkan bahwa intensitas cahaya matahari dimungkinkan menjadi pemicu kondisi terproduksinya tubuh buah M. esculenta. Kelembaban tanah pada lokasi morel pada skala rata-rata 3,46+0,79 dengan kisaran antara 1,50 4,50 (kering sampai sedang). Sedangkan kelembaban tanah pada lokasi pembanding pada skala rata-rata 3,69+0,56 dengan kisaran 3,00 4,50 (sedang). Kondisi ini mengindikasikan bahwa tubuh buah morel atau pun jamur makroskopis lain yang ditemukan, membutuhkan tanah lapisan atas sebagai subtratnya dengan kondisi kelembaban cukup kering sampai sedang. Hasil uji t statistik (Levene s test) (Lampiran 8) menunjukkan bahwa kedua lokasi sama dalam tingkat kelembaban tanah. Uji korelasi Pearson juga menghasilkan tidak ada korelasi nyata antara kelembaban tanah dengan jumlah tubuh buah morel. Hal ini berbeda dengan studi yang dikerjakan Singh et al. (2004) atau Mihail et al. (2007), bahwa kelembaban tanah merupakan faktor penting nyata berpengaruh terhadap tumbuhnya tubuh buah sama halnya dengan kelembaban udara di lantai hutan. M. esculenta membutuhkan kelembaban tanah yang cukup sekitar 68-72,8% (sedang sampai basah) untuk pertumbuhan tubuh buahnya sedangkan M. hybrida membutuhkan paling tidak kelembaban tanah sekitar 86% (basah). Perbedaan spesies dan lokasi dan ketelitian alat (alat pengukur kelembaban manual) diduga menyebabkan perbedaan hasil. Faktor-faktor fisiografis yang terkait dengan tempat tumbuh adalah ketinggian tempat, kemiringan dan arah lereng (aspect). Morel Rinjani ditemukan pada ketinggian tempat berkisar antara m dpl (Gambar 13). Menurut pengamatan sebelumnya morel Rinjani tidak pernah ditemukan pada lokasi di

51 36 bawah atau di atas lokasi pengamatan tersebut (Rianto et al. 2011). Lokasi lain yang dipilih sebagai pembanding komponen habitat morel merupakan lokasi yang berada pada ketinggian antara m dpl. Lokasi tersebut merupakan habitat makrofungi spesies lain seperti Coltricia cinnamomea, Coprinus sp 2 dan Clavaria vermicularis (Lampiran 12). Spesies-spesies lain yang juga ditemukan seperti Coltricia perennis, Marasmius sp2, Inocybe sp, Hygrocybe miniata, Hygrocybe sp, Clavulinopsis fusiformis, Coprinus sp, tetapi frekuensi dan jumlahnya tidak sebanyak 3 spesies yang disebut sebelumnya. Sehingga penempatan plot dipilih pada lokasi ditemukannya tubuh buah Coltricia cinnamomea, Coprinus sp 2 dan Clavaria vermicularis. Semua spesies tersebut adalah jamur tanah kecuali Coltricia perennis yang tumbuh di kayu/ranting lapuk. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson sebesar 0,754 antara ketinggian tempat dengan jumlah tubuh buah morel menunjukkan bahwa korelasi bersifat kuat dan nyata pada taraf kepercayaan 99% (Lampiran 11). Korelasi bernilai negatif yang berarti semakin tinggi ketinggian tempat semakin sedikit jumlah tubuh buah yang tumbuh, dalam kisaran ketinggian tempat. Tabel 5 Variabel kemiringan dan arah lereng pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel Frekuensi Persentase Junlah Individu Arah Lereng Lokasi Lokasi Lokasi Morel Pembanding Morel Pembanding Morel Pembanding 0-90⁰ ,14 80, ⁰ ,43 4, ⁰ ⁰ ,43 14, Frekuensi Persentase Junlah Individu Kemiringan Lokasi Lokasi Lokasi Morel Pembanding Morel Pembanding Morel Pembanding 0-8% 1 0 7, % ,43 9, % ,43 33, % ,71 38, >45% ,28 19,

52 37 Variasi kemiringan dan arah lereng tidak jauh berbeda antara lokasi ditemukannya morel dengan lokasi pembanding. Variasi kemiringan lokasi ditemukannya morel antara 7,94 54,00% dan antara 8,06 50,32% pada lokasi pembanding. Arah lereng antara 4,00 360,00 o pada lokasi morel dan 0,00 340,50 o pada lokasi pembanding. Menurut hasil uji t statistik (Levene s test) (Lampiran 8) menunjukkan bahwa kedua lokasi tidak berbeda nyata baik kemiringan dan arah lereng. Jika melihat prosentasinya (Tabel 5) sebagian besar morel (57,14%) maupun jamur makroskopis lain (80,95%) ditemukan pada arah lereng 0-90 o atau berada pada arah Utara-Timur, searah dengan arah matahari terbit. Pada faktor kemiringan, tubuh buah morel Rinjani ditemukan merata pada semua rentang kemiringan sedangkan jamur makroskopis lain pada lokasi pembanding ditemukan lebih banyak pada kemiringan agak curam sampai curam (15 25% dan 25 45%). Gambar 13 Lokasi plot ditemukannya morel berdasar ketinggian tempat. Hal tersebut seperti hasil yang dikerjakan Yang (2004) dalam penelitiannya tentang distribusi Tricholoma matsutake di China dikaitkan dengan faktor lingkungan, bahwa T. matsutake di alam lebih banyak ditemukan lebih

53 38 banyak pada arah lereng utara dan kemiringan 11 20%. Lebih lanjut disebutkan bahwa faktor fisiografis seperti ketinggian tempat, kemiringan dan aspect mempengaruhi distribusi jamur makroskopis secara tidak langsung yaitu dalam mempengaruhi iklim mikro. Akan tetapi, belum ada laporan studi yang membuktikan bahwa tubuh buah morel berkaitan secara nyata terhadap faktor fisiografis. Tabel 6 Perbandingan profil kesuburan tanah pada morel Rinjani, M. elata dan M. esculenta/m. hybrida No Variabel Morel Rinjani M. elata M. esculenta/ M. hybrida 1 Tekstur tanah Berlempung halus Lempung Lempung berpasir 2 Kadar C tanah (%) 6,30-8,81 (sangat 2,2-11 (sedang- 3,2-7,9 (tinggi-sangat tinggi) sangat tinggi) tinggi) 3 Kadar N tanah (%) 0,54-0,70 (tinggi) 0,11-0,5 (rendah- 0,2-0,4 (sedang) sedang) 4 Kadar P tanah 9,2-15,9 ppm (rendah) 5 ppm (rendah) 0,2-0,9% (rendah) (ppm) 5 Kadar Ca (me/100g) 9,77-10,97 (me/100g) 7,8-23 (me/100g) 2,0-6,4 ppm (sedang) (sedang) (sedang-sangat tinggi) 6 ph tanah 7 (netral) 5,4-6 (asam) 5,8-7,0 (asam-netral) Hasil pengamatan variabel tanah disajikan dalam Tabel 4. Lokasi ditemukannya morel merupakan lokasi dengan kadar C/N, P dan Ca yang lebih rendah daripada lokasi pembanding. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tingkat kesuburan tanah pada lokasi morel lebih rendah daripada lokasi pembanding. Akan tetapi jika dibandingkan dengan penelitian sejenis (Tabel 6) (Singh et al. 2004, Barness & Wilson 1998) kandungan hara pada lokasi habitat morel sudah termasuk tinggi, atau memang morel tidak membutuhkan kadar hara yang terlalu tinggi seperti pada lokasi bukan habitat morel. Singh et al. (2004) juga membandingkan kandungan hara lain pada lokasi lain, bahwa lokasi habitat morel memiliki kandungan hara lebih tinggi dari pada lokasi yang bukan habitat morel. Akan tetapi kandungan hara M. esculenta/m. hybrida pada penelitian Sigh tersebut jika dibandingkan dengan kandungan hara tanah tempat tumbuh tubuh buah morel Rinjani lebih rendah untuk kadar C, N, P, maupun kadar Ca. Artinya morel Rinjani membutuhkan hara makro yang lebih tinggi dibandingkan M. esculenta/m. hybrida berdasar penelitian Singh et al. (2004) tersebut. Dalam

54 39 penelitian lain M. elata menunjukkan variasi kebutuhan hara makro yang lebih lebar dalam pertumbuhan tubuh buahnya (Tabel 6)(Barness & Wilson 1998). Pilz et al. (2007) menyebutkan bahwa kandungan hara merupakan kondisi yang memudahkan peristiwa berbuah morel secara masal. Kandungan hara makro dan mikro yang cukup dimungkinkan menjadi faktor penentu induksi berbuah morel. Akan tetapi seberapa optimum kadar hara dalam tanah terutama yang dibutuhkan dalam pertumbuhan tubuh buah morel belum ada penelitian yang membuktikan. Menurut beberapa studi morel di habitat alam, morel tumbuh pada tanah dengan porositas dan aerasi yang cukup tinggi atau adanya kandungan fraksi pasir yang cukup dominan (Barness & Wilson 1998, Geho 2007, Pilz et al. 2007, Singh et al. 2004). Dalam penelitian ini dibuktikan dengan adanya kandungan pasir dan debu (37,83% dan 40,11%) lebih banyak dibandingkan dengan fraksi liat 22,06%. Dalam penelitian lain tubuh buah M. esculenta dan M. angusticeps tumbuh pada tanah dengan fraksi pasir yang lebih banyak dari pada fraksi liat dan debu (Singh et al. 2004) Nilai ph tanah pada lokasi habitat morel dan lokasi bukan habitat morel menunjukkan hasil sama sebesar 7 (netral). ph tanah membatasi sebaran morel dalam pertumbuhan tubuh buahnya. Banyak penelitian melaporkan kisaran ph tanah dalam habitat morel di alam antara 5 7 atau morel tumbuh dalam tanah yang bersifat asam sampai netral (Barness & Wilson 1998, Geho 2007, Pilz et al. 2007, Singh et al. 2004). Laporan studi yang melaporkan morel dapat tumbuh pada ph yang bersifat basa sangat sedikit. Berdasarkan Tabel 6, tubuh buah M. esculenta/m. hybrida tumbuh pada ph tanah dengan ph bersifat asam-netral, sedangkan M. elata ditemukan pada ph lebih asam. Kemampuan tubuh buah morel bertoleransi terhadap ph tanah bersifat spesifik tergantung lokasi dan spesies (Pilz et al. 2007). Faktor-faktor lingkungan tidak serta merta berdiri sendiri mempengaruhi keberadaan morel. Faktor-faktor lingkungan secara simultan membentuk karakteristik habitat yang membedakan dengan lokasi lain (Odum 1993). Untuk masalah ini akan dibahas dalam analisis multivariat bahasan selanjutnya.

55 Faktor Vegetasi Analisis vegetasi dikerjakan pada lokasi ditemukannya morel Rinjani dan lokasi lain ditemukannya jamur-jamur dengan musim produksi tubuh buah yang sama dengan morel Rinjani. Analisis vegetasi dikerjakan pada pohon berdiameter >10 cm untuk melihat spesies-spesies pohon yang berperan terhadap faktor-faktor tempat tumbuh. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa terdapat sejumlah 19 spesies pohon yang tumbuh dilokasi ditemukannya morel Rinjani dan 18 spesies pohon yang tumbuh di lokasi tidak ditemukan morel Rinjani. Pohon yang tumbuh di habitat morel Rinjani 19 spesies, 5 spesies diantaranya merupakan pohon dengan INP lebih dari 15%. Pada lokasi tidak ditemukan morel Rinjani dari 18 spesies tersebut, 7 spesies pohon mempunyai INP lebih dari 15%. Menurut Sutisna (1981) suatu spesies pohon dapat dikatakan berperan jika mempunyai INP lebih dari 15%. Tabel 7 Analisis vegetasi tingkat pohon pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel No Spesies Lokasi Plot INP (%) LM LBM LM LBM 1 Anomianthus auritus (klak) 64,09 52,00 2 Syzygium polyanthum (jukut) 49,56 37,17 3 Engelhardia spicata (bak-bakan) 36,74 4 Weinmannia sp. (sarangan) 35,76 18,29 5 Uropyhllum macrophyllum (kasol) 30,76 14,42 6 Piper sp. (saes) 23,57 36,31 7 Glochidion sericum (nyam) 13,87 8 Ardisia sp. (niar) 11,51 23,70 9 Bischoffia javanica (prabu) 21,84 10 Myrica javanica (kesambik) 10,61 11 Dilenia sp. (dilenia) 8,58 6,93 12 Melastoma decempidum (lencing) 8,09 12,50 13 Rapanea hasselttii (durenan) 8,01 14,86 14 Chionanthus oliganthus (reke) 7,19 15 Adinandra javanica (kesambian) 7,19 16 Ardisia sp 2. (lempeni) 4,17 17 Chisocheton sp (ombar) 4,12 18 Astronia papetaria (kunyitan) 3,99

56 41 Tabel 7 Lanjutan No Spesies Lokasi Plot INP (%) LM LBM LM LBM 19 Syzygium sp. (jambuan) 3,75 20 Mollatus sp (temek) 3,70 21 Adinandra javanica (kesambian) 3,46 22 Gomphandra sp. (tangonan) 3,46 23 Ardisia sp 3. (uing) 3,46 24 Ficus sp. (ara) 3,44 25 Mallotus moluccanus (seropan) 3,34 26 Neonauclea sp. (arisan) 3,25 27 Neonauclea sp. (poan) 3,22 28 Arthrophllum javanicum (dangaran) 3,09 Keterangan : LM = Lokasi ditemukan morel LBM = Lokasi tidak ditemukan morel Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa spesies Anomianthus auritus dan Syzygium polyanthum mempunyai INP yang sama besar pada kedua lokasi (Tabel 3 dan Tabel 4). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa faktor tempat tumbuh morel atau ketiga jamur lain yang diamati sebagian besar dipengaruhi spesies-spesies tersebut yang merupakan pohon penyusun dominan. Secara keseluruhan komposisi spesies pohon penyusun yang ada di lokasi morel Rinjani hampir sama dengan lokasi pembanding. Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa ada spesies-spesies pohon dengan INP besar yang ditemukan pada lokasi morel Rinjani tetapi tidak ditemukan pada lokasi pembanding dan sebaliknya. Spesies Glochidion sericum tidak ditemukan pada lokasi pembanding, juga Engelhardia spicata dan Bischoffia javanica tidak ditemukan pada lokasi morel Rinjani. Hasil perhitungan Indeks Shannon-Wiener (Lampiran 3 dan Lampiran 4) juga menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu H = 2,46 pada lokasi morel Rinjani dan H = 2,52 pada lokasi pembanding. Uji t statistik Indeks Shannon- Wiener (Lampiran 5) dikerjakan untuk membuktikan apakah nilai tersebut sama atau tidak. Hasil uji t statistik indeks Shannon menunjukkan bahwa t hitung lebih kecil dari pada t tabel. Dari hasil uji tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan Indeks Shannon-Wiener antara lokasi morel dengan lokasi

57 42 pembanding. Dengan kata lain tidak ada tingkat perbedaan keanearagaman spesies pohon antara lokasi ditemukan morel dengan lokasi tidak ditemukan morel. Berdasarkan perhitungan indeks kesamaan Morisita-Horn (Lampiran 6) didapatkan nilai sebesar 83,40% atau tingkat kesamaan komunitas antara lokasi ditemukan morel dengan lokasi pembanding cukup besar. Berdasarkan uji korelasi Pearson (Lampiran 11), kerapatan pohon berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tubuh buah morel Rinjani (taraf kepercayaaan 99%). Hal ini mendukung pernyataan sebelumnya bahwa jumlah tubuh morel berkorelasi terhadap suhu, kelembaban udara dan intensitas cahaya. Ketiga faktor tersebut dipengaruhi oleh kerapatan pohon. 5.3 Faktor Dominan Komponen Ekologi Hasil pengujian normalitas (Lampiran 7) menunjukkan bahwa nilai Skewness-Kurtosis masih berada diantara -2 dan +2. Berdasarkan histogram distribusi data terlihat sebaran data mempunyai kurva yang dapat dianggap berbentuk lonceng atau data berdistribusi normal. Deteksi normalitas berdasarkan terlihat bahwa data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan model regresi memenuhi asumsi normalitas. Hasil analisis regresi berganda menggunakan metode Enter (Lampiran 9) menunjukkan nilai VIF semua variabel lebih besar dari 1 dan di bawah nilai 10. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi kolinearitas di antara variabelvariabel yang diujikan. Berdasarkan nilai signifikansi masing-masing variabel, hanya variabel intensitas cahaya matahari yang berpengaruh secara nyata terhadap jumlah tubuh buah morel yang ditemukan. Dengan nilai F hitung sebesar 14,652 dan nilai p=0,000 (lebih kecil dari taraf nyata 0,05), variabel intensitas cahaya berpengaruh pada jumlah individu morel pada taraf kepercayaan 95%. Output analisis regresi linear berganda dengan metode Stepwise menghasilkan output yang sama (Lampiran 9 dan Lampiran 10). Berdasarkan hasil tersebut persamaan regresi yang didapatkan sebagai berikut :

58 43 Model tersebut hanya berlaku pada kisaran data yang ada, yaitu intensitas cahaya pada kisaran 490,00-620,00 lux. Berdasarkan nilai galat kuadrat jumlah yang lebih kecil dari pada standar deviasi variabel intensitas cahaya matahari dan nilai R sebesar 0,890 maka dapat dikatakan bahwa model regresi ini cukup bagus dalam memprediksi jumlah individu morel atau sekitar 89,0% jumlah tubuh buah morel yang ditemukan dapat ditentukan oleh intensitas cahaya, sedangkan sisanya 21,0% ditentukan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Namun variabel-variabel lain meskipun tidak terbukti nyata dalam menentukan jumlah tubuh buah morel yang ditemukan, pada penelitian ini, variabel-variabel lain tersebut tetap mempunyai pengaruh. Variabel-variabel lingkungan di habitat alam dapat secara sendiri atau secara simultan mempengaruhi suatu spesies (Odum 1993). Koefisien korelasi negatif menandakan bahwa semakin besar intensitas cahaya matahari yang diterima lantai hutan semakin sedikit jumlah tubuh buah morel yang tumbuh, dalam batasan intensitas cahaya. Koefisien regresi 0,014 di atas menunjukkan bahwa setiap penambahan satu satuan intensitas cahaya akan menurunkan jumlah tubuh buah morel yang dapat tumbuh sebesar 0, Kondisi Morel Rinjani Awal produksi tubuh buah morel Rinjani pada tahun 2012 ini berdasarkan pengamatan lebih awal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun ini tubuh buah dijumpai pada minggu ketiga bulan Maret sedangkan pada tahun sebelumnya baru dapat dijumpai pada Minggu kedua bulan April (Rianto et al. 2011) dengan masa hidup tubuh buah antara hari (Gambar 14). Kejadian ini dapat dimungkinkan oleh fenomena curah hujan yang berbeda tiap tahunnya yang menyebabkan perbedaan awal munculnya tubuh buah. Curah hujan mempunyai pengaruh besar terhadap produksi tubuh buah baik morel maupun makrofungi lain (Geho 2007, Gates 2009, Kaul 1997, Pilz et al. 2007, Pinna et al. 2010). Peran curah hujan penting dalam mempengaruhi iklim mikro suatu tempat terutama kadar air dalam tanah dan udara yang penting dalam pertumbuhan dan produksi tubuh buah morel. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa masa hidup tubuh buah morel Rinjani antara hari. Perhitungan ini berdasarkan pada penemuan primordia

59 44 morel ukuran 2,5cm (tanggal 5 April) sampai diamati dalam keadaan mengering (tanggal 26 April). Tidak semua primordia yang diamati tumbuh menjadi tubuh buah dewasa. Masa hidup morel dapat berbeda-beda tergantung lokasi dan spesies. M. esculenta dan M. deliciosa di wilayah dengan iklim empat musim memiliki masa hidup tubuh buah hari (Pilz et al. 2007). Black morel memiliki masa hidup tubuh buah sekitar 21 hari (Geho 2007). Barnes & Wilson (1998) menyatakan secara umum morel memiliki fase makroskopis/tubuh buah antara hari. (a) 05/04/2012 (b) 26/04/2012 (c) 16/04/2012 Gambar 14 Fase hidup tubuh buah morel Rinjani. Pengukuran morfologi dilakukan pada tubuh buah morel stadium muda dan dewasa pada masing-masing plot ditemukannya morel. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut ditambahkan deskripsi yang telah dikerjakan sebelumnya (Rianto et al. 2011), sebagai berikut : Tubuh buah : Berbentuk khas morel kerucut yang memanjang (conical), seperti spons yang bertangkai. Ukuran pada primordia <2,5cm x <1cm x <1cm. Ukuran pada tubuh buah dewasa 4,4 8,8cm x 1,5 4,9cm x 2 4cm. Tubuh buah berongga ketika dibelah (Gambar 15). Tudung : Ukuran 4-6cm x 2-4cm x 2-4cm. Warna tudung primordia berwarna abu-abu, tubuh buah dewasa berwarna lebih putih. Batang : Berbentuk seperti pentung (club-shaped), membesar di bagian pangkal. Ukuran 2 4cm x 1 2cm x 1 2cm. Warna kuning cerah pada primordia,

60 45 warna lebih putih pada tubuh buah dewasa. Warna semakin kuning pucat atau coklat tua pada tudung dan batang pada tubuh buah yang sudah tua. Berdasarkan morfologi ini menurut Rianto et al. (2011) morel Rinjani lebih merujuk pada M. deliciosa yang termasuk kelompok morel putih (white morel). Akan tetapi, penamaan bisa saja salah karena M. deliciosa diidentifikasi tumbuh di wilayah beriklim sedang/subtropis. Menurut banyak ahli mikologi penamaan yang tepat untuk spesies jamur adalah dengan uji spora atau DNA. Gambar 15 Bagian dalam tubuh buah morel Rinjani. 5.5 Pemanfaatan Morel dan Gangguan Manusia Morel merupakan sumberdaya yang bernilai ekonomi tinggi dan sangat enak untuk dikonsumsi yang belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia. Morel telah menjadi komoditas yang mahal untuk ukuran bahan makanan di negara-negara barat. Pengambilan morel di alam telah mendatangkan penghasilan yang cukup nyata bagi masyarakat sekitar hutan sedangkan produksi secara budidaya belum bisa dikerjakan dalam skala besar. Morel juga dikategorikan sebagai jamur yang paling dicari oleh para mushroomer (sebutan bagi penggemar mushroom) ketika berburu jamur di hutan di negara-negara barat. Pengambilan sumberdaya jamur di kawasan TNGR oleh masyarakat sekitar dilakukan bersama hasil hasil hutan lainnya seperti pakis, rumput atau buah-buahan hutan. Akan tetapi pengambilan tersebut hanya pada ketinggian bawah dan hanya spesies jamur yang umum diketahui dan diperjualbelikan di

61 46 pasar lokal seperti jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur tiram merah (Pleurotus flabellatus), jamur kuping (Auricularia auricula) jamur kuping putih (Tremella fusiformis) dan jamur rayap (Termytomyces spp,ada 3 spesies jamur rayap di TNGR). Keberadaan morel hanya diketahui oleh pengunjung pendaki terutama wisatawan mancanegara sehingga ancaman bagi morel Rinjani adalah pengunjung baik karena pengambilan atau ketidaksengajaan terinjak secara fisik mengingat lokasi tumbuhnya berada di kanan kiri jalur pendakian Senaru dan sangat dekat dengan pos peristirahatan yang biasa dipergunakan untuk bermalam. Gambar 16 memperlihatkan morel Rinjani yang tumbuh di jalur pendakian, visibel untuk diambil dan rentan untuk terinjak secara fisik. Lokasi tumbuh ini tidak banyak bergeser tiap tahun musim tumbuhnya. Gambar 16 Morel Rinjani lebih banyak ditemukan di jalur pendakian. 5.6 Strategi Konservasi Morel Rinjani Berdasarkan faktor ekologi hasil penelitian dapat dirancang strategi konservasi morel Rinjani sebagai berikut :

62 Perbanyakan Morel Rinjani Insitu Perbanyakan secara insitu mengacu pada PP No. 7 tahun 1999 pasal 8 ayat 1 sebagai bagian upaya penyelamatan spesies di dalam habitatnya. Perbanyakan morel Rinjani secara insitu dikerjakan pada lokasi-lokasi yang mempunyai karakter ekologi yang sama dengan lokasi ditemukannya morel Rinjani. Perbanyakan dikerjakan dengan alasan eksistensi spesises morel karena potensi nilai ekonomi dan lokasi habitatnya yang sekarang merupakan jalur intensif pendakian. Perbanyakan dapat dikerjakan dengan mengambil sclerotium untuk ditanam ditempat lain baik agar menghasilkan tubuh buah. Syarat-syarat ekologi disesuaikan dengan hasil penelitian. Berdasarkan ketinggian tempat, perbanyakan morel insitu dapat dikerjakan pada lokasi yang mempunyai ketinggian tempat antara m dpl sesuai hasil penelitian. Gambar 17 menunjukkan lokasilokasi dengan ketinggian tempat antara m dpl baik di kawasan TNGR maupun kawasan hutan lain. Lokasi yang memungkinkan adalah di bagian utara, barat dan selatan G. Rinjani seperti Gambar 17 karena karakter iklim lokasi-lokasi tersebut sama dengan lokasi morel saat ini. Penentuan lokasi yang tepat dan mudah untuk diakses dilakukan dengan cek lapangan. Gambar 17 Rencana perbanyakan morel insitu.

63 48 Perbanyakan morel secara insitu merupakan cara tepat dan cepat penyelamatan spesies morel mengingat persen keberhasilan budidaya di laboratorium/ lingkungan terkontrol sangat kecil dibandingkan trial error perbanyakan tubuh buah morel di habitat aslinya. Isolat morel pada banyak percobaan berhasil didapatkan hanya tingkat keberhasilannya menjadi tubuh buah tidak seperti isolat-isolat jamur edible lain. Oleh karena itu perdagangan morel sampai saat ini masih mengandalkan pengambilan dari alam. Keberhasilan insitu dapat dimungkinkan ketika 3 faktor utama petumbuhan morel diketahui yaitu prakondisi, pemicu inisiasi dan pendukung pertumbuhan tubuh buah (Pilz et al. 2007). Penelitian ini hanya menjawab faktor pertama yaitu kondisi yang memungkinkan morel tumbuh pada lokasinya saat ini, karena secara statistik memiliki karakteristik yang berbeda terutama faktor fisik. Penelitian ini hanya sedikit menjawab faktor kedua, bahwa pemicu inisiasi morel Rinjani karena menurunnya curah hujan, suhu dan kelembaban di lantai hutan. Seberapa besar penurununan belum dapat dijawab karena berdasarkan multivariat suhu dan kelembaban tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tubuh buah morel. Hal ini diduga karena jumlah data yang kurang karena keterbatasan waktu dan biaya, untuk pendekatan populasi yang sebenarnya. Hal ini dapat diatasi dengan monitoring secara berkala termasuk dengan memasukkan variabel curah hujan yang sampai di lantai hutan. Faktor yang ketiga berupa kondisi yang terusmenerus mendukung pertumbuhan morel seperti tingkat kehangatan dan kelembaban serta curah hujan juga dapat diidentifikasi berdasarkan monitoring berkala tersebut Monitoring Populasi Monitoring populasi dikerjakan untuk melihat produktivitas morel. Monitoring populasi dikerjakan untuk menumpulkan data seri/ time series untuk memantau kecenderungan populasi dan kelimpahan morel. Monitoring dapat dikerjakan selama 5 tahun untuk menilai bagaimana produktivitasnya, untuk dibandingkan dengan spesies morel lain bagaimana potensi pemanfaatan langsung. Monitoring dapat dikerjakan dengan membuat plot permanen pada lokasi tempat tumbuh morel. Kecenderungan populasi dan kelimpahan morel (dengan dukungan bukti statistik) akan penting bagi pengelolaan morel lebih

64 49 lanjut. Informasi monitoring sangat dibutuhkan dalam budidaya eksitu untuk tujuan komersil Pengawasan Pengunjung Monitoring pengunjung juga perlu dilakukan baik morel atau sumberdaya lain. Pada kenyataannya pengambilan langsung sumberdaya seperti pakis, jamur, tanaman hias atau sumberdaya lain dari kawasan masih sering terjadi dan terus menerus karena masih tingginya ketergantungan masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan. Secara teori, pihak pengelola seharusnya tidak mengijinkan segala sumberdaya keluar dari kawasan dalam bentuk dan tujuan apapun sesuai amanat Undang-undang No.5 Tahun 1990 pasal 21. Pemanfaatan seharusnya bersifat tidak langsung. Akan tetapi karena praktek-praktek ini telah ada bahkan sebelum dibentuk taman nasional, pelarangan tidak akan menyelesaikan masalah. Pengelolaan sebaiknya dilakukan dengan meregulasi cara-cara pemanenan dan mengusahakan teknik pembudidayakan yang dapat diaplikasikan ke masayarakat lokal. Identifikasi masyarakat lokal yang secara langsung memanfaatkan sumberdaya kawasan termasuk jamur perlu dilakukan sebagai bagian dari pengaturan pemanenan. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk lebih mengatur eksistensi sumberdaya dan keberlajutan pemanfaatan di masa mendatang serta meminimalisir pihak-pihak lain yang akan mengambil kesempatan di luar masyarakat lokal. Monitoring pengunjung juga dilakukan dalam rangka pengamanan dan perlindungan sumberdaya secara umum. Pengecekan terhadap barang-barang bawaan pengunjung ketika keluar masuk kawasan seharusnya dikerjakan untuk meminimalisir pengambilan langsung sumberdaya. Hal yang ditakutkan adalah pencurian sumberdaya oleh peneliti asing tanpa ijin khusus penelitian. Karena dengan semakin canggihnya teknologi sampel plasma nutfah mungkin hanya akan sebesar kotak korek api bahkan lebih kecil Budidaya Eksitu Budidaya eksitu menjadi tujuan konservasi morel jangka panjang mengingat keberhasilan budidaya morel dalam lingkungan terkontrol sangat kecil. Teknik budidaya eksitu morel telah lama dikerjakan di negara-negara barat. Akan

65 50 tetapi belum menunjukkan hasil yang maksimal. Budidaya eksitu belum dapat diproduksi dalam skala besar mengingat biaya produksi dan persen keberhasilan pertumbuhan morel. Produktivitas morel di alam juga masih melimpah meskipun musimnya tergolong sempit hanya beberapa waktu/ bulan sehingga masyarakat di India atau Amerika Utara atau belahan bumi lain lebih menyukai pengambilan langsung dari alam (Pilz et al. 2007). Budidaya eksitu morel rinjani dapat dikerjakan ketika data dasar tersebut telah ada. Budidaya eksitu selain untuk tujuan eksistensi spesies morel Rinjani, juga demi tujuan yang lebih besar yaitu mengurangi ketergantungan langsung masyarakat terhadap sumberdaya hutan baik jamur maupun sumberdaya lain. Teknik budidaya yang aplikatif bagi masyarakat dapat dirumuskan kemudian.

66 51 VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 1. Tipe habitat morel Rinjani (M. aff. deliciosa) berupa hutan pegunungan atas pada ketinggian antara m dpl, kelerengan antara 7,94 54,00%, arah kelerengan 4,00-360,00 o. Spesies pohon yang dominan pada lokasi tersebut adalah Anomianthus auritus (klak), Syzygium polyanthum (jukut), Weinmannia sp. (sarangan), Uropyhllum macrophyllum (kasol), dan Piper sp. (saes). Masa hidup tubuh buah hari, tumbuh pada suhu dan kelembaban udara di bawah tegakan antara 18,53 19,6 o C dan 83,00 90,50%, intensitas cahaya matahari 490,00 620,00lux. Morel tumbuh pada tanah Mediteran coklat dengan tekstur berlempung halus, ph 7, dengan kadar C/N sedang (12,16), kadar P yang rendah (12,53 ppm) dan kadar Ca sedang (10,22 me/100g). Tubuh buah morel Rinjani akan muncul pada saat transisi musim basah ke musim kering, pada saat kadar kelembaban lantai hutan berubah dari tinggi sampai berangsur-angur konstan. 2. Suhu udara, kelembaban udara, intensitas cahaya, ketinggian tempat dan kerapatan pohon merupakan faktor lingkungan yang berkorelasi terhadap jumlah tubuh buah morel Rinjani sedangkan intensitas cahaya merupakan faktor penentu jumlah tubuh buah morel Rinjani. 3. Konservasi morel Rinjani dapat dikerjakan melalui perbanyakan pada lokasi lain yang identik secara ekologi, monitoring populasi dan produktivitasnya dan pengembangan budidaya eksitu. 6.2 Saran 1. Terkait habitat spesifik morel Rinjani pada lokasi tertentu di atas, gangguan terhadap habitat ataupun regenerasi morel Rinjani agar bisa diminimalkan terutama gangguan dari pengunjung/ pendaki mengingat lokasi ini termasuk dalam jalur pendakian cukup ramai dilalui manusia.

67 52 2. Terkait data dasar mengenai morel Rinjani, diperlukan monitoring spatial dan temporal untuk melihat produktivitas, kecenderungan populasi dan kelimpahan. 3. Perlu dilakukan penelitian karakter substrat dan kandungan nutrisi tempat tumbuh morel Rinjani.

68 53 DAFTAR PUSTAKA [Anonim] Sedia Jamur Kancing Fresh. Agromaret.com. [20 Sep 2012]. [Anonim] Fresh Wild Morel Mushroom. Alibaba.com. [20 Sep 2012]. Asnah Inventarisasi jamur makroskopis di Ekowisata Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser Kabupaten Langkat Sumatera Utara [tesis]. Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. As-syakur AR Evaluasi zona agroklimat dari klasifikasi Schmidt-Ferguson menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG). Jurnal Pijar MIPA, Vol. III No. 1, Maret 2009: pp Mataram: Universitas Mataram. Barnes S, Wilson MA Cropping the french black morel : a preliminary investigation. Rural Industries Research and Development Corporation. Bergemann SE, Largent DL The Site Specific Variables that Correlate with the Distribution of the Pacific Golden Chanterelle, Cantharellus formosus. Forest Ecology and Management 130 (2000) [BTNGR] Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Rencana Pengelolaan Taman Nasional Balai Taman Nasional Gunung Rinjani. Mataram: Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Departemen Kehutanan. Cooke WB The Ecology of Fungi. CRC Press. Universitas Michigan. Flores C High-value Wild Mushrooms : A Livelihood Development Strategy for Earthquake Affected Pakistan. New York: Agriculture Development Specialist, East-West Management Institute. Gates, GM Coarse woody debris, macrofungal assemblages, and sustainable forest management in Eucalyptus obliqua forest of southern Tasmania [doctoral thesis]. Hobart: University of Tasmania. Geho T Morels and how to find them. The Ohio Mushroom Society. [26 Jan 2012] Hall IR, Stephenson SL, Buchanan P, Yun W, Cole ALJ Edible and Poisonous Muhrooms of the World. New Zealand Institue for Crop and Food Research Limited. Kaul TN Introduction to Mushroom Science (Systematics). Science Publishers, Inc. United States of America

69 54 Knight S, Reid E, Campbell C, Burzynski M, Voitk A Test of the May Model: I. Community Ecological Studies of Mushroom Foray Results in the Same and Different Regions. Fungi Volume 1:4 Winter Masaphy S Diversity of Fruiting Pattern of Wild Black Morel Mushroom. Proceedings of the 7 th International Conference on Mushroom Biology and Mushroom Products (ICMBMP7) Mau JL, Chang CN, Huang SJ, Chen CC Antioxidant properties of methanolic extracts from Grifola frondosa, Morchella esculenta and Termitomyces albuminosus mycelia. Food Chem. Vol. 87(1): Mihail JD, Bruhn JN, Bonello P Spatial and temporal patterns of morel fruiting. Mycological Research 111: Molina R, Pilz D, Smith J, Dunham S, Dreisbach T, O Dell T, Castellano M Conservation and Management of Forest Fungi in the Pacific Northwestern United States : an Integrated Ecosystem Approach. Portland, Oregon : U.S. Departement of Agriculture, Forest Service, Pacific Northwest Research Station. Nitha B, Janardhanan KK Antioxidant, anti-inflammatory and antitumor activities of cultured mycelia of morel mushroom, Morchella esculenta. Ind J Med Res. 121:133. O'Donnell K, Rooney AP, Mills GL, Kuo M, Weber NS, Rehner SA Phylogeny and Historical Biogeography of True Morels (Morchella) Reveals an Early Cretaceous Origin and High Continental Endemism and Provincialism in the Holarctic. Fungal Genetics and Biology 48 (3): Odum EP Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pilz D, McLain R, Alexander S, Villarreal-Ruiz L, Berch S, Wurtz TL, Parks CG, McFarlane E, Baker B, Molina R, Smith JE Ecology and Management of Morels Harvested from the Forests of Western North America. Portland, Oregon : U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Pacific Northwest Research Station. Pinna S, Gevry MF, Cote M, Sirois L Factors influencing fructification phenology of edible mushrooms in a boreal mixed forest of Eastern Canada. Forest Ecology and Management 260 (2010) Rianto T, Wasmat, Suparmo, Isnan LS Mushrooms Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani. Mataram: Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Kementerian Kehutanan. Santoso S Aplikasi SPSS pada Statistik Multivariat. Jakarta : PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia.

70 55 Setyadharma A Uji asumsi klasik dengan SPSS Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. Singh SK, Kamal S, Tiwari M, Rai RD, Upadhyay RC Myco-ecological studies of natural morel bearing sites in Shivalik hills of Himachal Pradesh, India. Micología Aplicada Internacional Vol. 16 (1) Hal Sutisna U Komposisi jenis pohon hutan bekas tebangan di Batulicin, Kalimantan Selatan: deskripsi dan analisa. Laporan Balai Penelitian Hutan Bogor Laporan No Bogor. Stott K, Mohammed C Specialty Mushroom Production Systems: Maitake and Morels. Rural Industries Research and Development Corporation. Tampubolon J Inventarisasi jamur makroskopis di Kawasan Ekowisata Bukit Lawang Kabupaten Langkat Sumatera Utara. [tesis]. Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. [USDA] United State Department of Agriculture National Nutrient Database for Standard Reference Release [26 Mei 2012] Volk T The Morels Life Cycle. Departement of Biology University of Wisconsin-LaCrosse. [26 Jan 2012]. Wurtz TL, Wiita AL, Weber NS, Pilz D Harvesting Morels After Wildfire in Alaska. Portland, Oregon: U.S. Departement of Agriculture, Forest Service, Pacific Northwest Research Station. Yang X Modelling the Spatial Distribution of Tricholoma matsutake [thesis]. Netherland: International Institute for Geo-information Science and Earth Observation. Ying J, Mao X, Ma Q, Zong Y, Wen H Icones of Medicinal Fungi from China. Beijing: Science Press. Zhanxi L Mushroom Growers Handbook. China: Juncao Research Institute.

71 LAMPIRAN

72 ran 1 Output analisis deskriptif data pengamatan pada lokasi ditemukannya morel Descriptive Statistics N Range Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation Varian Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic Statis 14 8,00 1,00 9,00 69,00 4,9286, , ,08 18,52 19,60 263,88 18,8482,07260, ,50 83,00 90, ,00 87,1429, , ,00 490,00 620, ,00 541, , , ,00 1,50 4,50 48,40 3,4571,21141, ,68,52 1,20 10,95,7823,05402, , , , , ,6429 2, , ,84 4,53 28,37 217,44 15,5314 2, , ,00 4,00 360, ,30 124, , , (listwise) 14

73 ran 2 Output analisis deskriptif data pengamatan pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel Descriptive Statistics N Range Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation Varian Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic Statis ain 21 26,00 1,00 27,00 211,00 10,0476 1, , ,17 18,23 19,40 390,40 18,5905,05220, ,50 85,50 92, ,00 89,0952, , ,00 850,00 980, ,00 916,6667 7, , ,50 3,00 4,50 77,50 3,6905,12187, ,86,23 1,09 9,64,4591,04731, , , , , , , , ,10 4,61 26,71 341,21 16,2481 1, , ,50,00 340, ,90 69, , , (listwise) 21

74 3 Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon-Wiener pada lokasi ditemukannya morel s n n/pu KR f F FR lbds m 2 lbds/ha DR INP Pi site ln Pi site Pi ln Pi site , ,5 0,1029 2, ,2709 0,2335 0,4956 0,1591-1,8383-0, ,7143 0, ,2059 2, ,1416 0,2191 0,6409 0,2159-1,5329-0,3310 gan 10 71,4286 0, ,6429 0,1324 1,2219 8,7281 0,1116 0,3576 0,1136-2,1748-0,2471 l 9 64,2857 0, ,5 0,1029 1,1211 8,0076 0,1024 0,3076 0,1023-2,2801-0, ,7143 0, ,2857 0,0588 0,2523 1,8021 0,0230 0,1387 0,0568-2,8679-0,1629 an 2 14,2857 0, ,1429 0,0294 0,3065 2,1890 0,0280 0,0801 0,0227-3,7842-0,0860 r 1 7,1429 0, ,0714 0,0147 0,1661 1,1865 0,0152 0,0412 0,0114-4,4773-0,0509 n 1 7,1429 0, ,0714 0,0147 0,0907 0,6482 0,0083 0,0344 0,0114-4,4773-0,0509 itan 1 7,1429 0, ,0714 0,0147 0,1520 1,0855 0,0139 0,0399 0,0114-4,4773-0,0509 ia 2 14,2857 0, ,2143 0,0441 0,2076 1,4831 0,0190 0,0858 0,0227-3,7842-0, ,2857 0, ,1429 0,0294 0,2163 1,5453 0,0198 0,0719 0,0227-3,7842-0,0860 bik 3 21,4286 0, ,2143 0,0441 0,4038 2,8843 0,0369 0,1151 0,0341-3,3787-0, ,4286 0, ,2143 0,0441 0,3050 2,1784 0,0278 0,1061 0,0341-3,3787-0,1152 ng 4 28,5714 0, ,1429 0,0294 0,0657 0,4693 0,0060 0,0809 0,0455-3,0910-0, ,1429 0, ,0714 0,0147 0,0707 0,5046 0,0065 0,0325 0,0114-4,4773-0,0509 an 1 7,1429 0, ,0714 0,0147 0,0804 0,5742 0,0073 0,0334 0,0114-4,4773-0,0509 aran 1 7,1429 0, ,0714 0,0147 0,0531 0,3790 0,0048 0,0309 0,0114-4,4773-0, , ,2857 0,0588 1,0656 7,6111 0,0973 0,2357 0,0795-2,5314-0,2014 bian 2 14,2857 0, ,1429 0,0294 0,2163 1,5453 0,0198 0,0719 0,0227-3,7842-0, , , , ,4882 H' site = 2,4882

75 4 Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon-Wiener pada lokasi tidak ditemukan morel n n/pu KR f F FR lbds m 2 lbds/ha DR INP Pi non site ln Pi non site Pi ln Pi non site g 7 33,3333 0, ,0952 0,0333 0,0929 0,4426 0, ,1250 0,0824-2,4967-0,2056 a 2 9,5238 0, ,0952 0,0333 0,1237 0,5891 0, ,0693 0,0235-3,7495-0,0882 bian 1 4,7619 0, ,0476 0,0167 0,0615 0,2931 0, ,0346 0,0118-4,4427-0,0523 an 1 4,7619 0, ,0476 0,0167 0,0615 0,2931 0, ,0346 0,0118-4,4427-0,0523 ni 1 4,7619 0, ,0476 0,0167 0,1320 0,6284 0, ,0417 0,0118-4,4427-0, ,1429 0, ,3333 0,1167 1,0493 4,9967 0, ,3631 0,1412-1,9577-0, ,5714 0, ,2857 0,1 0,6621 3,1531 0, ,2370 0,0706-2,6509-0, ,0476 0, ,1429 0,05 0,4704 2,2399 0, ,1442 0,0471-3,0564-0, ,1905 0, ,4762 0,1667 1,6461 7,8388 0, ,5200 0,1882-1,6701-0, ,5714 0, ,2381 0,0833 0,6431 3,0622 0, ,2184 0,0706-2,6509-0, ,7619 0, ,0476 0,0167 0,0855 0,4071 0, ,0370 0,0118-4,4427-0, ,7619 0, ,0476 0,0167 0,0380 0,1809 0, ,0322 0,0118-4,4427-0, ,8571 0, ,2381 0,0833 1,8192 8,6630 0, ,3717 0,1059-2,2454-0,2378 an 5 23,8095 0, ,2381 0,0833 0,4064 1,9352 0, ,1829 0,0588-2,8332-0, ,7619 0, ,0476 0,0167 0,0615 0,2931 0, ,0346 0,0118-4,4427-0,0523 enan 4 19,0476 0, ,1905 0,0667 0,3481 1,6575 0, ,1486 0,0471-3,0564-0,1438 kan 7 33,3333 0, ,1905 0,0667 2, ,3687 0, ,3674 0,0824-2,4967-0,2056 an 1 4,7619 0, ,0476 0,0167 0,0907 0,4321 0, ,0375 0,0118-4,4427-0, , , , ,5224 H' non site = 2,5224

76 Lampiran 5 Output uji t Indeks Shannon-Wiener var H' non site = -0, H' site-h'non = 0, (var H' site+var H' non) = 0, sqr(var H' site+var H' non) = 0, t hit = 0, (var H' site+var H' non) 2 = 1, var H' site 2 /N = 0, var H' non site 2 /N = 0, df = 121, t alfa 0,05 = 1,645 t hit < t alfa

77 64 Lampiran 6 Perhitungan Indeks Morisita-Horn No Jenis pi site pi non site pi site.pi non pi 2 site pi 2 non site 1 jukut 0, , , , , klak 0, , , , , sarangan 0, , , , , kasol 0, , , , , nyam 0, , durenan 0, , , , , ombar 0, , arisan 0, , kunyitan 0, , dilenia 0, , , , , reke 0, , kesambik 0, , niar 0, , , , , lencing 0, , , , , ara 0, , seropan 0, , dangaran 0, , saes 0, , , , , kesambian 0, , , , , tangonan 0 0, , lempeni 0 0, , prabu 0 0, , temek 0 0, , poan 0 0, , uing 0 0, , bak bakan 0 0, , jambuan 0 0, , , , , MI = 0, ,40% Keterangan pi site = pi lokasi morel pi non site = pi lokasi tidak ditemukan morel

78 ran 7 Output uji normalitas data Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Skewness Kurtosis Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic Std. Error ardized Residual 35-3, ,71454, , ,097,398 1,151,778 (listwise) 35

79 Lampiran 7 Lanjutan 66

80 ran 8 Output uji t Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of Std. Error Difference F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Difference Lower Upper Equal variances assumed,353,557 2,959 33,006,25774,08711,08050 Equal variances not assumed 2,882 25,487,008,25774,08942,07376 Equal variances assumed,366,550-3,144 33,004-1,95238, ,21581 Equal variances not assumed -3,030 24,454,006-1,95238, ,28088 Equal variances assumed 2,625,115-28,714 33, , , , Equal variances not assumed -26,884 21,817, , , , Equal variances assumed,945,338-1,025 33,313 -,23333, ,69660 Equal variances not assumed -,956 21,530,350 -,23333, ,74004 Equal variances assumed 17,785,000-12,941 33, , , , Equal variances not assumed -15,674 22,322, , , , Equal variances assumed 4,063,052 -,279 33,782 -, , ,93845 Equal variances not assumed -,261 21,690,797 -, , ,41501 Equal variances assumed,145,705 1,335 33,191 55, , , Equal variances not assumed 1,321 26,971,198 55, , ,

81 piran 9 Output uji regresi linear berganda metode Enter ap I. Coefficients a Standardized Unstandardized Coefficients Coefficients Collinearity Statistics del B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF (Constant) 30,045 24,435 1,230,230 T -,761 1,217 -,072 -,625,537,603 1,659 rh -,042,172 -,029 -,243,810,579 1,728 lux -,014,003 -,896-4,304,000,185 5,413 rh_tanah -,186,444 -,042 -,419,679,812 1,231 lbds,018 1,360,002,013,990,547 1,828 mdpl,001,006,028,145,886,215 4,650 lereng -,022,042 -,054 -,517,609,735 1,361 aspect,002,002,070,683,501,767 1,303 ependent Variable: Morel

82 piran 9 Lanjutan Coefficient Correlations a del aspect rh_tanah rh T lereng lbds mdpl lux Correlations aspect 1,000,034,004 -,280 -,138 -,246,024 -,061 rh_tanah,034 1,000,031,022 -,337,036,056 -,124 rh,004,031 1,000 -,338,311,033 -,274 -,137 T -,280,022 -,338 1,000 -,184 -,042,211,131 lereng -,138 -,337,311 -,184 1,000,051 -,009 -,117 lbds -,246,036,033 -,042,051 1,000 -,125,414 mdpl,024,056 -,274,211 -,009 -,125 1,000 -,725 lux -,061 -,124 -,137,131 -,117,414 -,725 1,000 Covariances aspect 6,207E-6 3,724E-5 1,805E-6 -,001-1,445E-5 -,001 3,340E-7-4,876E-7 rh_tanah 3,724E-5,197,002,012 -,006,022,000,000 rh 1,805E-6,002,030 -,071,002,008,000-7,622E-5 T -,001,012 -,071 1,482 -,009 -,070,001,001 lereng -1,445E-5 -,006,002 -,009,002,003-2,055E-6-1,596E-5 lbds -,001,022,008 -,070,003 1,851 -,001,002 mdpl 3,340E-7,000,000,001-2,055E-6 -,001 3,130E-5-1,313E-5 lux -4,876E-7,000-7,622E-5,001-1,596E-5,002-1,313E-5 1,047E-5 ependent Variable: Morel

83 ampiran 9 Lanjutan Coefficients a Standardized Unstandardized Coefficients Coefficients Collinearity Statistics odel B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF Constant) 31,256 22,553 1,386,177 -,799 1,168 -,076 -,684,500,631 1,585 -,035,162 -,024 -,216,831,626 1,598 x -,014,002 -,874-6,213,000,390 2,565 _tanah -,190,436 -,042 -,436,667,815 1,227 ds,043 1,325,004,032,975,556 1,799 reng -,022,041 -,054 -,526,603,735 1,360 spect,002,002,069,692,495,768 1,302 Dependent Variable: Morel ANOVA b odel Sum of Squares df Mean Square F Sig. egression 235, ,584 14,652,000 a esidual 61, ,292 otal 296, Predictors: (Constant), aspect, rh_tanah, rh, T, lereng, lbds, lux. Dependent Variable: Morel

84 ampiran 9 Lanjutan Model Summary b Change Statistics odel R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change,890 a,792,738 1,51397,792 14, ,000 Predictors: (Constant), aspect, rh_tanah, rh, T, lereng, lbds, lux. Dependent Variable: Morel hap II. Variables Entered/Removed b Variables odel Entered Variables Removed Method lux a. Enter All requested variables entered.. Dependent Variable: Morel Model Summary b Change Statistics R Square odel Change F Change df1 df2 Sig. F Change,779 a 116, ,000 Predictors: (Constant), lux. Dependent Variable: Morel

85 ampiran 9 Lanjutan Coefficients a Standardized Unstandardized Coefficients Coefficients Collinearity Statistics del B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF (Constant) 12,487 1,003 12,455,000 lux -,014,001 -,883-10,798,000 1,000 1,000 Dependent Variable: Morel

86 ampiran 10 Output uji regresi linear berganda metode Stepwise Variables Entered/Removed a Variables odel Variables Entered Removed Method lux. Stepwise (Criteria: Probability-of-Fto-enter <=,050, Probability-of-Fto-remove >=,100). Dependent Variable: Morel Model Summary b Adjusted R Std. Error of the Change Statistics odel R R Square Square Estimate R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change,883 a,779,773 1,40900, , ,000 Predictors: (Constant), lux. Dependent Variable: Morel

87 ampiran 10 Lanjutan ANOVA b odel Sum of Squares df Mean Square F Sig. Regression 231, , ,586,000 a Residual 65, ,985 Total 296, Predictors: (Constant), lux. Dependent Variable: Morel Coefficients a Standardized Unstandardized Coefficients Coefficients Collinearity Statistics odel B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF (Constant) 12,487 1,003 12,455,000 lux -,014,001 -,883-10,798,000 1,000 1,000 Dependent Variable: Morel

88 ampiran 10 Lanjutan Excluded Variables b Collinearity Statistics Minimum odel Beta In t Sig. Partial Correlation Tolerance VIF Tolerance T -,065 a -,705,486 -,124,788 1,268,788 rh -,013 a -,140,889 -,025,769 1,300,769 rh_tanah -,060 a -,706,486 -,124,953 1,049,953 lbds,022 a,202,841,036,599 1,669,599 lereng -,061 a -,740,465 -,130,996 1,004,996 aspect,036 a,420,677,074,939 1,065,939 mdpl,052 a,310,758,055,246 4,059,246 Predictors in the Model: (Constant), lux. Dependent Variable: Morel Residuals Statistics a Minimum Maximum Mean Std. Deviation N redicted Value -,9562 5,7652 1,9714 2, esidual -2, ,50912, , td. Predicted Value -1,122 1,454,000 1, td. Residual -2,116 2,490,000, Dependent Variable: Morel

89 76 Lampiran 11 Output uji korelasi Pearson Correlations Morel T rh lux rh_tanah lbds mdpl lereng aspect Morel Pearson Correlation 1,355 * -,434 ** -,883 ** -,247,572 ** -,754 ** -,113,252 Sig. (2-tailed),037,009,000,152,000,000,517,145 N T Pearson Correlation,355 * 1 -,029 -,460 ** -,086,357 * -,465 **,104,402 * Sig. (2-tailed),037,868,005,625,035,005,553,017 N rh Pearson Correlation -,434 ** -,029 1,480 ** -,041 -,278,526 ** -,244 -,093 Sig. (2-tailed),009,868,004,817,106,001,157,597 N lux Pearson Correlation -,883 ** -,460 **,480 ** 1,216 -,633 **,868 **,060 -,247 Sig. (2-tailed),000,005,004,213,000,000,734,153 N rh_ tanah Pearson Correlation -,247 -,086 -,041, ,183,132,376 * -,039 Sig. (2-tailed),152,625,817,213,292,451,026,823 N lbds Pearson Correlation,572 **,357 * -,278 -,633 ** -, ,508 ** -,057,348 * Sig. (2-tailed),000,035,106,000,292,002,745,040 N mdpl Pearson Correlation -,754 ** -,465 **,526 **,868 **,132 -,508 ** 1 -,020 -,243 Sig. (2-tailed),000,005,001,000,451,002,910,160 N lereng Pearson Correlation -,113,104 -,244,060,376 * -,057 -,020 1,154 Sig. (2-tailed),517,553,157,734,026,745,910,376 N aspect Pearson Correlation,252,402 * -,093 -,247 -,039,348 * -,243,154 1 Sig. (2-tailed),145,017,597,153,823,040,160,376 N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

90 77 Lampiran 12 Jamur-jamur yang ditemukan pada lokasi pembanding Coltricia cinnamomea Coprinus sp 2 Clavaria vermicularis

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN 25 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Fisik Tempat Tumbuh Morel Rinjani Ekosistem hutan di wilayah Senaru merupakan bagian dari ekosistem hutan hujan pegunungan yang terbentang antara ketinggian 800 2500m

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu penelitian

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu bulan Agustus 2015 sampai dengan September 2015. Lokasi penelitian berada di Dusun Duren

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar hutan Indonesia termasuk dalam kategori hutan hujan tropis karena memiliki curah hujan tinggi dan suhu hangat sepanjang tahun. Hutan hujan tropis merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Pada penelitian deskriptif berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan suatu obyek sesuai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi :

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi : METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutaan Institut

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG

KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG IRFIAH FIROROH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG

HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG Muhammad Syukur Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang Email : msyukur1973@yahoo.co.id ABSTRAKS:

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 JENIS TUMBUHAN MORACEAE DI KAWASAN STASIUN KETAMBE TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER ACEH TENGGARA Hasanuddin Magister Pendidikan Biologi FKIP

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret- 20 Juli 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu bulan di blok Krecek, Resort Bandialit, SPTN wilayah II, Balai Besar Taman

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu Saccharum officinarum

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu Saccharum officinarum TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu Dalam taksonomi tumbuhan, tebu tergolong dalam Kerajaan Plantae, Divisi Magnoliophyta, Kelas Monocotyledoneae, Ordo Glumaceae, Famili Graminae, Genus

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan ini mengunakan metode petak. Metode petak merupakan metode yang paling umum

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN Struktur vegetasi tumbuhan bawah diukur menggunakan teknik garis berpetak. Garis berpetak tersebut ditempatkan pada setiap umur tegakan jati. Struktur vegetasi yang diukur didasarkan

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode belt transek. Metode ini sangat cocok digunakan untuk mempelajari suatu kelompok

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. muda. Tanaman ini merupakan herba semusim dengan tinggi cm. Batang

TINJAUAN PUSTAKA. muda. Tanaman ini merupakan herba semusim dengan tinggi cm. Batang Tanaman bawang sabrang TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi bawang sabrang menurut Gerald (2006) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisio Subdivisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Spermatophyta

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU Khairijon, Mayta NovaIiza Isda, Huryatul Islam. Jurusan Biologi FMIPA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PUPUK KANDANG SAPI UNTUK PERTUMBUHAN JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus)

PEMANFAATAN PUPUK KANDANG SAPI UNTUK PERTUMBUHAN JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) PEMANFAATAN PUPUK KANDANG SAPI UNTUK PERTUMBUHAN JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Biologi Diajukan oleh :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Agustus sampai November 2011 yang berada di dua tempat yaitu, daerah hutan mangrove Wonorejo

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian Limbah Pemanenan Kayu, Faktor Eksploitasi dan Karbon Tersimpan pada Limbah Pemanenan Kayu ini dilaksanakan di IUPHHK PT. Indexim

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 POTENSI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang

BAB 1 PENDAHULUAN. Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang Utara (LU) dan 98-100 Bujur Timur (BT), merupakan wilayah yang berbatasan di sebelah utara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lumut kerak merupakan salah satu anggota dari tumbuhan tingkat rendah yang mana belum mendapatkan perhatian yang maksimal seperti anggota yang lainnya. Organisme

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan waktu Penelitian lapangan dilaksanakan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Propinsi Kalimantan Tengah. Areal penelitian merupakan areal hutan yang dikelola dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang memiliki lahan pertanian cukup luas dengan hasil pertanian yang melimpah. Pisang merupakan salah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif (Nazir, 1988), karena penelitian ini hanya memberikan deskripsi mengenai vegetasi pada daerah ekoton

Lebih terperinci