IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Simulasi Distribusi Suhu Kolektor Surya 1. Domain 3 Dimensi Kolektor Surya Bentuk geometri 3 dimensi kolektor surya diperoleh dari proses pembentukan ruang kolektor menggunakan Ansys Geometry dan Ansys Meshing. Geometri adalah bentuk dasar dengan kondisi batas pada cover, absorber, insulasi, inlet dan outlet. Geometri yang telah didefenisikan dengan kondisi batas tersebut disebut dengan domain yaitu bagian yang akan di analisis dengan simulasi numerik. Bagian inlet dan outlet memiliki ukuran 0 x mm, absorber 1000 x 0 mm, insulasi 1000 x 0 mm (bawah), 1000 x 70 mm (kanan dan kiri). Sedangkan cover memiliki lebar 0 mm. dan panjang cover 1000 mm (cover 100%), 800 mm (cover 80%), 600 mm (cover 60%), 0 mm (cover %), 200 mm (cover 20%) dan 0 mm (cover 0%). Ukuran panjang grid/mesh terkecil yang dihasilkan adalah 1.6x10-1 mm dan terbesar adalah 32 mm. Mesh menggunakan tipe tetrahedral yang berbentuk segiempat mengikuti bentuk kolektor yang cenderung tidak terlalu rumit. Bentuk domain dan mesh setiap kolektor dapat dilihat pada Gambar Gambar 15. Domain dan Mesh Kolektor Cover 100% Gambar 16. Domain dan Mesh Kolektor Cover 80% Gambar 17. Domain dan Mesh Kolektor Cover 60% 23

2 Gambar 18. Domain dan Mesh Kolektor Cover % Gambar 19. Domain dan Mesh Kolektor Cover 20% Gambar 20. Domain dan Mesh Kolektor Cover 0% Penyelesaian simulasi kolektor akan dimulai sesuai dengan tahapan di metode pada halaman Tahap pembuatan simulasi dapat dilihat pada jurnal file pada Lampiran 4 halaman Setiap kolektor tersebut dianalisis pada kemiringan (β) yaitu 6 o, 15 o, o, 45 o, dan 60 o. Secara singkat kondisi simulasi terjadi dimana radiasi surya akan mengenai cover yang kemudian akan memanaskan absorber. Hasil pemanasan menyebabkan kenaikan suhu udara di bawah pelat absorber sehingga udara panas bergerak dari inlet menuju outlet. 2. Hasil Simulasi Kolektor Surya Kondisi dari proses simulasi melibatkan pindah panas secara konveksi dan radiasi. Radiasi matahari berupa gelombang pendek akan mengenai cover. Absorber berada di bagian bawah cover dan diantaranya terdapat air gap. Air gap berfungsi untuk meminimalkan kehilangan panas. Pada bagian air gap terjadi efek rumah kaca sehingga terjadi pemanasan pada bagian ini. Pemanasan di bagian air gap meyebabkan suhu absorber meningkat karena menyerap iradiasi matahari. Kolektor yang memiliki cover 80%, 60%, %, 20% dan 0% memiliki bagian absorber yang tidak tertutup cover, sehingga iradiasi matahari akan langsung mengenai absorber. Pemanasan absorber menyebabkan suhu udara dibawahnya meningkat. Udara dibawah kolektor merupakan aliran udara dari inlet ke outlet. Udara dapat bergerak karena adanya perbedaan suhu. Perbedaan suhu ini mengakibatkan perbedaan nilai massa jenis udara. Karena massa jenis yang berbeda-beda dan tidak seragam, maka massa jenis udara yang lebih ringan akan menuju ke atas. 24

3 Sehingga terjadi aliran yang menuju outlet kolektor. Aliran yang terjadi ini disebut buoyancy driven flow atau aliran yang terjadi akibat gaya apung. Efek buoyancy di kolektor surya dapat dilihat pada Gambar 21. Gelombang pendek Iradiasi Matahari cover Air gap Aliran udara akibat efek buoyancy outlet Absorber Gelombang panjang insulasi Inlet β Gambar 21. Efek Buoyancy pada Kolektor Surya. Simulasi iradiasi matahari yang mengenai kolektor dimodelkan dengan solar load model. Simulasi solar load model ditetapkan berdasarkan perbedaan posisi matahari di waktu tertentu. Posisi matahari pada simulasi ditentukan melalui input bulan, hari, waktu dan letak dari daerah berdasarkan longitude dan latitude. Posisi mengikuti percobaan pada Tabel 4. yang dilakukan di Bogor (longitude: dan latitude: -6.58) pada bulan Juli hari ke 21. Waktu ditentukan pada pagi hari pukul 09.00, siang hari pukul dan sore hari pukul (zona waktu +7 GMT). Input tersebut akan menentukan vector arah matahari yang mana menentukan posisi dari matahari mendekati kondisi sebenarnya. Posisi geometri ditentukan oleh orientasi mesh. Utara pada koordinat (0,0,1) dan timur (-1,0,0). Ini berarti posisi geometri menghadap ke utara yang ditunjukkan pada z positif, sedangkan nilai x negatif adalah arah timur. Jadi pada simulasi matahari mulai terbit pada x negatif (timur) dan terbenam pada x positif (barat). Posisi matahari berpengaruh pada sebaran suhu di dinding pelat absorber kolektor. Sebaran suhu menunjukkan terjadi kenaikan dari pelat bagian bawah (inlet) ke pelat bagian atas (outlet). Kenaikan suhu pada pagi, siang dan sore hari terdapat perbedaan sebaran suhu. Perbedaan tersebut terletak arah sebaran suhu dinding absorber. Sebaran suhu dapat dilihat pada Gambar Gambar 22. Kontur Suhu Dinding Absorber pada Pagi Hari. 25

4 . Gambar 22 merupakan sebaran suhu dinding pelat absorber pukul dengan vektor arah matahari (-0.70,0.70,0.08). Nilai iradiasi pada saat itu adalah W/m 2. Sebaran suhu semakin ke atas semakin tinggi dan lebih condong ke arah kanan, karena pada saat itu posisi matahari masih di timur sehingga kenaikan perpindahan panas menuju atas kanan. Gambar 23. Kontur Suhu Dinding Absorber pada Siang Hari. Sedangkan pada siang hari (Gambar 23), sebaran suhu berbeda dengan pagi hari. Vektor arah matahari berada pada posisi ( ,0.99,0.11). Posisi matahari hampir tepat diatas yang ditunjukkan dengan nilai x mendekati 0 dan y mendekati 1. Nilai iradiasi matahari adalah W/m 2. Sebaran suhu dinding pelat absorber semakin keatas semakin tinggi dengan arah sebaran kenaikan perpindahan panas menuju atas tengah. Gambar 24. Kontur Suhu Dinding Absorber pada Sore Hari. Gambar 24 menunjukkan sebaran kenaikan suhu pada dinding pelat absorber sore hari dengan vektor arah matahari (0.706,0.702,0.086). Nilai iradiasi matahari adalah W/m 2. Arah sebaran suhu merupakan kebalikan dari sebaran suhu pagi hari. dimana arah perpindahan panas menuju atas kiri. Pindah panas konveksi pada pelat absorber akan menyebabkan suhu udara dibawah pelat absorber meningkat. Simulasi sebaran suhu udara pada Gambar 25, menunjukkan pemanasan udara yang meningkat mulai dari kontur 1, kontur 2 hingga ke kontur 3. Peningkatan suhu yang terjadi yaitu pada suhu udara di air gap dan udara di bawah pelat absorber. Pada air gap gelombang panjang iradiasi matahari akan dijebak sehingga terjadi efek rumah kaca, sedangkan pada suhu udara dibawah pelat absorber terjadi efek buoyancy yang menyebabkan pergerakan aliran udara dari inlet ke outlet kolektor. Perbedaan suhu udara ini menyebabkan variasi dari massa jenis udara. Semakin tinggi suhu udara maka akan semakin ringan massa jenis udara. Massa jenis udara yang lebih ringan akan bergerak menuju outlet kolektor. 26

5 Air gap outlet outlet Air gap inlet Suhu udara dibawah absorber inlet Suhu udara dibawah absorber Gambar 25. Kontur Suhu Udara Kolektor Surya Tampak Isometri (kiri), Tampak Samping (kanan). Aliran udara bagian bawah pelat absorber bergerak menuju outlet kolektor ditunjukkan pada Gambar 26 Pergerakan aliran udara digambarkan dengan vektor kecepatan. Vektor kecepatan aliran udara terlihat tidak seragam dan tidak beraturan. Aliran yang tidak seragam dan tidak beraturan ini disebabkan nilai massa jenis udara yang beragam akibat perpindahan panas konveksi di aliran udara dibawah absorber. outlet outlet Inlet Inlet Gambar 26. Vektor Kecepatan Udara Tampak Isometri (kiri), Tampak Samping (kanan). Perpindahan panas pada aliran udara dari inlet ke outlet kolektor dipengaruhi nilai koefisien perpindahan panas. Koefisien perpindahan panas ini menunjukkan kehilangan panas yang terjadi pada bagian absorber dan cover kolektor. Mekanisme kehilangan panas kolektor dimana panas hilang dari 27

6 bagian atas absorber karena konveksi alami dan karena radiasi ke permukaan dalam dari cover. Panas ini dikonduksikan oleh cover ke permukaan luarnya, lalu dipindahkan ke atmosfer luar secara konveksi dan radiasi. Pada kolektor cover 80%, 60%, %, 20% dan 0% ada bagian absorber yang tak tertutup cover, jadi panas langsung dikonduksi dan konveksi melalui absorber dan dipindahkan ke atmosfer luar. Kehilangan panas ini dinamakan kehilangan panas atas (top heatloss) yang dinyatakan dengan U t (koefisien kehilangan panas atas). Semakin banyak panas yang hilang pada bagian atas, maka suhu udara di bawah pelat absorber akan semakin rendah, yang menyebabkan efek buoyancy berkurang pada aliran udara. Untuk mengurangi kehilangan panas ini perlu digunakan cover, sehingga penggunaan cover mempengaruhi nilai U t. Hasil perhitungan U t dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 47 dan sedangkan tabel perhitungan kehilangan panas secara keseluruhan pada pengujian dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman Ut ( W/m 2 K) cover 100% cover 80% cover 60% cover % cover 20% cover 0% Gambar 27. Perbandingan Nilai U t Terhadap Persentase Cover. Kolektor cover 0% memiliki nilai U t yang lebih besar dari pada cover 100%, 80%, 60%, %, dan cover 20%. Ini menunjukkan bahwa penggunaan cover berpengaruh pada kehilangan panas kolektor di bagian atas. Semakin sedikit persentase cover yang dipakai maka kehilangan panas bagian atas akan semakin besar. Gambar 27 menunjukkan perbandingan nilai U t pada kemiringan 45 o. Nilai U t terbesar yaitu pada cover 0% yaitu 11.9 W/m 2.K dan terkecil pada kolektor cover 100% yaitu 4.04 W/m 2.K. Pada kemiringan kolektor 6 o, 15 o, o, 60 o juga menunjukkan hal yang sama dimana kolektor cover 0% memiliki nilai U t yang terbesar dan kolektor cover 100% memiliki nilai terendah. 6 5 Ut ( W/m 2 K) ,13 0,17 0,23 0,3 0,32 0,37 0, 0,53 0,55 0,68 1,43 kecepatan angin (m/s) Gambar 28. Perbandingan Nilai U t terhadap Kecepatan Angin. 28

7 Naiknya kecepatan angin memperbesar kehilangan panas kolektor pada bagian atas sehingga nilai U t akan semakin meningkat. Kecepatan angin terendah yaitu 0.13 m/s dan tertinggi 1.43 m/s. pada kecepatan angin 0.13 m/s nilai Ut kolektor 3.21 W/m 2 K sedangkan pada kecepatan angin 1.43 m/s nilai U t 5.6 W/m 2.K. Hasil perbandingan dapat dilihat pada Gambar 28. Grafik hubungan antara kecepatan angin dan U t cukup fluktuatif hal ini disebabkan karena nilai iradiasi pada setiap data kecepatan angin memiliki nilai yang berbeda. 4. Suhu dan Laju Aliran Massa Kolektor Surya Tipe Back-pass Simulasi numerik yang telah dilakukan dengan 5 variasi kemiringan kolektor (β) yaitu 6 o, 15 o, o, 45 o, dan 60 o. Setiap kemiringan kolektor dibuat variasi geometri dengan persentase panjang cover 100%, 80%, 60%, %, 20%, dan 0%.. Hasil simulasi menunjukkan bahwa persentase panjang cover dan sudut kemiringan kolektor memiliki pengaruh terhadap suhu outlet kolektor dan laju aliran massa. Penyajian data sebaran suhu kolektor surya dari hasil simulasi dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman Sedangkan data grafik hasil simulasi suhu outlet kolektor dapat dilihat pada Gambar Variasi persentase panjang cover kolektor bertujuan untuk melihat pengaruh cover terhadap sebaran suhu udara di kolektor. Kolektor cover 100%, 80% dan 60% memiliki suhu udara outlet yang tinggi. Sedangkan cover %, 20% dan 0% memiliki suhu udara outlet yang rendah. Pemilihan terhadap kolektor yang digunakan adalah kolektor cover 60% karena pada kolektor cover 60% sudah mencapai suhu outlet yang memadai untuk pengeringan yaitu kisaran suhu diatas o C. Penggunaan cover 80% dan cover 100% tidak meningkatkan suhu udara outlet secara signifikan. Pertimbangan pemilihan kolektor 60% juga berdasarkan grafik dan biaya konstruksi kolektor. Dari grafik kenaikan suhu udara outlet terjadi mulai dari kolektor cover 0% hingga kolektor cover 60%, namun pada kolektor cover 60% hingga ke cover 100% tidak terjadi kenaikan dan cenderung memiliki nilai suhu yang datar. Sehingga diambil kolektor 60% karena merupakan batas kenaikan suhu udara outlet. Disamping itu kolektor cover 60% memiliki biaya konstruksi yang lebih rendah dari pada kolektor cover 80% dan cover 100% karena kolektor cover 60% mengurangi biaya pembelian kaca untuk cover. Biaya konstruksi kolektor cover 60% adalah Rp. 432,0, biaya konstruksi cover 80% adalah Rp. 4,200 dan biaya konstruksi kolektor cover 100% adalah Rp. 439,920 untuk setiap unit pembuatan kolektor. Biaya konstruksi kolektor dapat dilihat pada Lampiran 2 halaman. o C Kemiringan 6 Kemiringan 15 Kemiringan Kemiringan 45 Kemiringan cover 0% cover 20% cover % cover 60% cover 80% cover 100% Gambar 29. Perbandingan Suhu Udara Outlet Kolektor Pukul

8 Gambar 29 menunjukkan kolektor dengan kemiringan 6 o memiliki suhu udara outlet yang lebih tinggi yaitu pada cover 60% dan cover 100% dengan suhu 55 o C jika dibandingkan dengan kolektor kemiringan 15 o, o, o, 45 o, dan 60 o pada setiap persentase panjang cover. Naiknya kemiringan kolektor menyebabkan energi iradiasi matahari yang diterima menjadi berkurang, sehingga suhu udara outlet kolektor menjadi rendah. Kolektor dengan cover 100%, 80%, dan 60% memiliki suhu udara outlet yang tinggi dengan kisaran o C hingga 55 o C, sedangkan pada cover %, 20% dan 0% memiliki suhu udara outlet yang rendah dengan kisaran.77 o C hingga 52. o C. Kolektor cover %, 20% dan 0% iradiasi langsung mengenai absorber, namun banyak terjadi kehilangan panas, karena bagian yang tidak tertutup cover cukup besar. Cover 100% cukup efektif untuk mencegah kehilangan panas, namun intensitas iradiasi yang ditransmisikan ke absorber berkurang, karena cover menjadi penghambat. Cover 80% dan 60% kehilangan panas dapat diatasi dengan adanya cover yang persentasenya cukup besar. Walaupun terjadi kehilangan panas pada bagian yang tidak tertutup cover, namun pada bagian ini iradiasi matahari dapat langsung mengenai absorber tanpa penghambat cover dengan kehilangan panas yang lebih kecil dari cover %, 20% dan 0%. Pada kolektor surya kemiringan 6 o cover 60% dan cover 100% memiliki suhu tertinggi yaitu 55 o C, pada kemiringan 15 o cover 100% memiliki suhu tertinggi yaitu C, pada kemiringan o cover 80% memiliki suhu tertinggi yaitu o C, pada kemiringan 45 o cover 80% memiliki suhu tertinggi yaitu o C dan pada kemiringan 60 o cover 80% memiliki suhu tertinggi yaitu o C. o C Kemiringan 6 Kemiringan 15 Kemiringan Kemiringan 45 Kemiringan 60 cover 0% cover 20% cover % cover 60% cover 80% cover 100% Gambar. Perbandingan Suhu Udara Outlet Kolektor Pukul Gambar menunjukkan kolektor dengan kemiringan 6 o memiliki suhu udara yang tinggi yaitu pada kolektor cover 100% dengan suhu C jika dibandingkan dengan kolektor kemiringan 15 o, o, o, 45 o, dan 60 o untuk setiap persentase panjang cover. Pengaruh cover terhadap suhu outlet menunjukkan suhu cover 100%, 80%, dan 60% memiliki suhu yang tinggi, sedangkan pada cover %, 20% dan 0% memiliki suhu yang rendah. Pada kemiringan 6 o, 15 o, dan o kolektor cover 100% memiliki suhu tertinggi yaitu berturut-turut o C, o dan C. Pada kemiringan 45 0 kolektor cover 60% memiliki suhu outlet tertinggi yaitu.78 o C dan kemiringan 60 0 kolektor cover 80% memiliki suhu tertinggi yaitu.81 o C. Kolektor dengan cover 100%, 80%, dan 60% memiliki suhu udara outlet yang tinggi dengan kisaran.81 o C hingga C, sedangkan pada cover %, 20% dan 0% memiliki suhu udara outlet yang rendah dengan kisaran o C hingga o C

9 o C Kemiringan 6 Kemiringan 15 Kemiringan Kemiringan 45 Kemiringan cover 0% cover 20% cover % cover 60% cover 80% cover 100% Gambar 31. Perbandingan Suhu Udara Outlet Kolektor Pukul Hasil simulasi pada Gambar 31 menunjukkan kemiringan 6 o memiliki suhu udara outlet yang tertinggi yaitu pada kolektor cover 100% dengan suhu o C untuk setiap persentase panjang cover. Pengaruh persentase panjang cover untuk setiap kemiringan kolektor menunjukkan cover 100%, 80% dan 60% memiliki suhu yang tinggi dengan kisaran C hingga o C dan cover %, 20% dan 0% memiliki suhu udara outlet yang rendah dengan kisaran 29. o hingga.92 o C. Pada kemiringan 6 o, o, dan 45 o kolektor cover 100% memiliki suhu udara outlet tertinggi yaitu berturut-turut o C, o C, C. Pada kemiringan 15 o kolektor cover 60% memiliki suhu udara outlet tertinggi yaitu 43. o C. Sedangkan pada kemiringan 60 0 kolektor cover 80% memiliki suhu udara outlet tertinggi yaitu C. Kolektor dengan cover 100%, 80%, dan 60% memiliki suhu udara outlet yang tinggi dengan kisaran.81 o C hingga C, sedangkan pada cover %, 20% dan 0% memiliki suhu udara outlet yang rendah dengan kisaran o C hingga o C. Kemiringan kolektor mempengaruhi efek buoyancy yang terjadi. Efek buoyancy berhubungan dengan stack effect pada saluran udara panas di kolektor (aliran dibawah pelat absorber). Stack effect merupakan pergerakan aliran udara dari saluran udara kolektor ke outlet kolektor yang didorong oleh gaya buoyancy. Sehingga semakin tinggi suhu udara di kolektor dan kemiringan kolektor maka semakin besar gaya buoyancy untuk dapat menimbulkan stack effect dengan laju aliran massa yang tinggi. Laju aliran massa dihitung oleh solver pada simulasi numerik, sedangkan perhitungan langsung dapat menggunakan persamaan 21. Hasil perhitungan solver simulasi numerik menunjukkan nilai laju aliran massa yang meningkat mulai dari kemiringan kolektor 6 o, 15 o, o, dan 45 o sedangkan pada kemiringan 60 o terjadi penurunan laju aliran massa. Hasil ini memiliki persamaan dari penelitian oleh Thong (2007) dimana juga terdapat kenaikan laju aliran massa kemudian terjadi penurunan. Namun karena variasi sudut yang digunakan berbeda maka kemiringan optimal Thong yaitu pada sudut 35 o. Hasil menunjukkan pada kemiringan 15 o, 25 o, 35 o terjadi kenaikan kemudian pada sudut 55 o dan 60 o terjadi penurunan laju aliran massa. Stack effect dipengaruhi oleh suhu udara dan kemiringan kolektor. Suhu udara kolektor semakin rendah apabila kemiringan bertambah. Kemiringan 60 o suhu udara di kolektor tidak cukup tinggi, sehingga efek buoyancy terjadi memiliki laju aliran yang rendah. 31

10 laju aliran massa (kg/s) 0,006 0,005 0,004 0,003 0,002 0, Kemiringan Kolektor Cover 100% Cover 80% Cover 60% Cover % Cover 20% Cover 0% Gambar 32. Laju Aliran Massa Pukul laju aliran massa (kg/s) 0,007 0,006 0,005 0,004 0,003 0,002 0, Cover 100% Cover 80% Cover 60% Cover % Cover 20% Cover 0% Kemiringan Kolektor Gambar 33. Laju Aliran Massa Pukul laju aliran massa (kg/s) 0,006 0,005 0,004 0,003 0,002 0, Kemiringan Kolektor Cover 100% Cover 80% Cover 60% Cover % Cover 20% Cover 0% Gambar 34. Laju Aliran Massa Pukul Gambar menunjukkan nilai laju aliran massa dari masing masing kolektor. Simulasi pada siang, pagi, dan sore hari memberikan hasil yang sama yaitu pada sudut 45 o memiliki nilai laju aliran massa yang paling tinggi diantara setiap kemiringan. Laju aliran massa meningkat dari kemiringan 6 o, 15 o, o, dan 45 o, namun pada kemiringan 60 o terjadi penurunan laju aliran massa. Hal tersebut disebabkan oleh suhu udara yang lebih rendah pada kolektor kemiringan 60 o. sehingga untuk sudut yang optimal terhadap laju aliran massa yang terjadi di kolektor dipilih kolektor dengan kemiringan 45 o. 32

11 5. Validasi Sebaran Suhu dan Laju Aliran Kolektor Surya Tipe Back-pass Validasi sebaran suhu kolektor surya dilakukan berdasarkan skenario pada Tabel 7-11 dengan pemilihan 3 waktu simulasi. Validasi sebaran suhu kolektor dilakukan untuk membandingkan data ukur (T ukur ) dan data simulasi (T CFD ) di kolektor. Dengan membandingkan data ukur dan data simulasi numerik maka didapatkan nilai error T ukur dan T CFD. Besarnya error dapat dinyatakan dalam bentuk kesalahan relatif yaitu dengan membandingkan kesalahan simulasi yang terjadi dengan nilai pengukuran sebenarnya (Puspitojati, 2003). Nilai error dibawah 10% menunjukkan simulasi dianggap layak. Perbandingan juga dibuat terhadap korelasi antara titik-titik pengukuran suhu T-Ukur dan T- CFD pada bidang XY (Widodo, 2009) untuk mendapatkan nilai koefisien determinasi (R 2 ). Simulasi dianggap layak apabila R 2 lebih besar dari 0.8 (Puslitbang fisika terapan-lipi, 1990 didalam Puspitojati, 2003). Simulasi semakin akurat apabila nilai R 2 mendekati 1. Sehingga kriteria simulasi yang baik dengan memberikan nilai R 2 lebih besar dari 0.8 dan error dibawah 10%. Hasil validasi menunjukkan nilai error rata-rata berturut turut mulai dari kemiringan kolektor 6 o, 15 o, o, 45 o, dan 60 o, adalah 2.99%, 2.83%, 8.00%, 4.93%, dan 4.12% dengan nilai R 2 berturut-turut 0.981, 0.926, 0.806, 0.927, dan Ini menunjukkan bahwa nilai simulasi numerik (T CFD ) mendekati nilai pengukuran (T CFD ). Karena hasil menunjukkan error dibawah 10% dan nilai R 2 lebih besar dari 0.8. Hasil dari perbandingan nilai T CFD dan T ukur terhadap masing-masing sudut dapat dilihat pada Gambar 35 sampai Gambar 49, sedangkan data dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman dan Tabel y = 0,79x + 7,773 R² = 0, T CFD ( C) y = 1,0012x + 0,2823 R² = 0, T CFD ( C) Gambar 35. Validasi kemiringan 6 o Pukul Gambar. Validasi kemiringan 6 o Pukul

12 y = 0,9081x + 5,0187 R² = 0, T CFD ( C) Gambar 37. Validasi kemiringan 6 o Pukul Korelasi antara T CFD dan dan T ukur pada bidang xy seperti pada Gambar memberikan nilai R 2 yang menunjukkan korelasi antara T CFD dan T ukur. Nilai R 2 validasi Gambar 35 menunjukkan nilai yang kurang linear dengan nilai R , sedangkan Gambar dan 37. nilai R 2 mendekati linear yaitu dan Nilai error masing-masing validasi berturut-turut 2.86%, 3.18%, dan 2.94%, sehingga rata-rata error adalah 2.99%. Nilai error yang didapat dari T ukur dan T CFD memiliki nilai dibawah 10% namun nilai R 2 pada data Gambar 35 masih dibawah 0.8. hali ini disebabkan pada data Gambar 35 terdapat beberapa data titik validasi yang memiliki perbedaan cukup jauh dengan error 6% sampai 7% sehingga pada plot di grafik XY tampak perbedaanya yang ditunjukkan dengan R 2 dibawah 0.8. Namun jika dilihat dari nilai error secara keseluruhan error masih dibawah 10% y = 0,9675x + 2,0492 R² = 0, T CFD C y = 0,97x + 1,13 R² = 0, T CFD C Gambar. Validasi Kemiringan 15 o Pukul Gambar 39. Validasi Kemiringan 15 o Pukul

13 y = 0,8879x + 4,195 R² = 0, T CFD ( C) Gambar. Validasi Kemiringan 15 o Pukul T CFD dan dan T ukur pada bidang xy seperti pada Gambar - memberikan nilai R 2 berturut-turut 0.987, 0.992, dan Nilai R 2 memiliki nilai yang mendekati linear. sedangkan nilai error masingmasing validasi berturut-turut 2.56%, 2.63%, dan 3.31%, sehingga rata-rata error adalah 2.83%. Nilai error dibawah 10% dan R 2 diatas 0.8 sehingga dapat dikatakan validasi memiliki nilai yang valid y = 0,7114x + 10,589 R² = 0, T CFD C y = 0,9395x + 3, R² = 0, T CFD C Gambar 41. Validasi Kemiringan o Pukul Gambar. Validasi Kemiringan o Pukul

14 y = 0,8068x + 10,9 R² = 0, T CFD C Gambar 43. Validasi Kemiringan o Pukul 11.. T CFD dan dan T ukur pada validasi bidang xy Gambar memberikan nilai R 2 nilai yang tidak cukup linear. Pada Gambar 41 dan berturut-turut dan Namun pada Gambar 43 nilai R 2 cukup linear yaitu Apabila dilihat dari error antara T CFD dan T ukur masing-masing berturut-turut 6.56%, 7.68% dan 9.77%. Data pada Gambar 43 dan memberikan R 2 dibawah 0.8 karena ada beberapa titik validasi yang berbeda jauh dari data pengukuran. Beberapa titik tersebut memberikan nilai error berkisar dari 12% sampai % dan satu titik yang memberikan error sebesar 51.28%. Namun jika dilihat secara keseluruhan nilai error rata-rata titik validasi masih dibawah 10% y = 0,99x + 4,62 R² = 0, T CFD ( C) y = 0,8899x + 5,8994 R² = 0, T CFD C Gambar. Validasi Kemiringan 45 o Pukul Gambar 45. Validasi Kemiringan 45 o Pukul

15 y = 0,8241x + 8,1459 R² = 0, T CFD C Gambar. Validasi Kemiringan 45 o Pukul 13.. T CFD dan T ukur pada bidang xy seperti pada Gambar - memberikan nilai R 2 berturut-turut 0.912, 0.945, dan Nilai R 2 memiliki nilai yang mendekati linear. sedangkan nilai error validasi berturut-turut 5.64%, 4.24%, dan 4.92%, sehingga rata-rata error adalah 4.93%. Nilai error ini masih dibawah 10% dan R 2 diatas 0.8 sehingga dapat dikatakan validasi memiliki nilai yang valid y = 0,7607x + 7,704 R² = 0, T CFD C y = 0,8675x + 2,8133 R² = 0, Gambar 47. Validasi Kemiringan 60 o Pukul Gambar. Validasi Kemiringan 60 o Pukul T CFD C 37

16 Gambar 49. Validasi Kolektor kemiringan 60 o Pukul Gambar memberikan nilai R 2 pada T CFD dan T ukur berturut-turut 0.808, 0.851, dan Nilai R 2 memiliki nilai yang mendekati linear. Nilai error validasi berturut-turut 5.68%, 3.71%, dan 2.98%, sehingga rata-rata error adalah 4.12%. Nilai error ini masih dibawah 10% dan R 2 diatas 0.8 sehingga data dapat dikatakan memiliki nilai yang valid. Tabel 11. Perbandingan Nilai error (%) dan R 2 T CFD dan T ukur. Error (%) / R 2 6 o 15 o o 45 o 60 o Nilai Keseluruhan cover 100% 2.16% / % / % / % / % / % / cover 80% 2.23% / % / % / % / % / % / cover 60% 3.09% / 0/ % / % / % / % / % / cover % 2.75% / % / % / % / % / % / cover 20% 3.99% / % / % / % / % / % / cover 0% 3.75% / % / % / % / % / % / 0.9 Nilai Keseluruhan y = 0,9286x + 2,6768 R² = 0, T CFD C 2.99% / % / % / % / % / Tabel 11 menunjukkan error dan R 2 antara T CFD dan T ukur berdasarkan perbandingan persentase cover pada setiap kemiringan. Hasil secara rinci pada titik suhu validasi dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman Perbandingan ini dilakukan untuk melihat keakuratan simulasi terhadap pengukuran secara keseluruhan. Sehingga dari perbandingan yang didapat error paling besar terdapat pada validasi cover 100%, pada kemiringan o yaitu 10.84% dengan R Sedangkan error paling kecil terdapat pada kolektor cover % pada kemiringan 15 o yaitu 1.71% dengan R nilai error pada cover % dan cover 60% kemiringan o memiliki error diatas 10% yaitu masing-masing 10.84% dan 10.21% sedangkan R dan Sehingga kecocokan antara data T CFD dan T ukur memiliki nilai yang kurang valid. Hal ini disebabkan nilai T CFD yang kurang konvergen pada saat melakukan iterasi. Nilai tersebut bisa diperbaiki dengan cara melakukan penambahan jumlah iterasi yang dilakukan atau melakukan penghalusan mesh domain dan melakukan iterasi kembali. Laju aliran massa (m) pada simulasi numerik dan nilai laju aliran massa pada perhitungan menggunakan data lapang dapat dilihat pada Lampiran 7 halaman sedangkan contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman dan 49. Nilai m hitung dihitung menggunakan

17 persamaan 21 yang mendapatkan nilai debit aliran (m 3 /s) kemudian untuk mendapatkan laju aliran massa dikalikan dengan massa jenis udara (kg/m 3 ). Sedangkan m CFD merupakan hasil perhitungan solver fluent. Simulasi memberikan nilai error yang cukup besar yaitu 29.3%, Hasil validasi m CFD dan m hitung memiliki nilai yang kurang sesuai karena error lebih besar dari 10%. Data pengukuran memiliki nilai yang lebih kecil dari pada data simulasi numerik. Hal ini disebabkan nilai m CFD yang kurang konvergen pada saat melakukan iterasi. Walaupun demikian nilai tersebut masih memiliki kecenderungan yang sama dimana dilihat dari hasil perhitungan dan hasil simulasi nilai tertinggi terdapat pada kolektor dengan kemiringan 45 o Cover 60%, yaitu pada simulasi numerik laju aliran massa menunjukkan kg/s sedangkan pada perhitungan dari pengukuran (m ukur ) menunjukkan nilai kg/s. y = 0,9474x - 0,0005 R² = 0,7863 m Hitung (kg/s) 0,000 0,002 0,004 0,006 0,008 0,010 0,012 m CFD (kg/s) Gambar. Validasi Laju Aliran Massa pada Kolektor. Korelasi m CFD dan dan m Hitung pada bidang xy pada Gambar memberikan nilai R Nilai R 2 kurang mendekati linear karena ada titik yang memiliki perbedaaan cukup jauh antara m CFD dan m hitung. Titik validasi tersebut cukup menyebar namun trend simulasi baik karena nilai b= yang mendekati 1. Nilai yang menyebar pada grafik juga ditunjukkan dengan error yang besar pada beberapa titik validasi. Error berkisar dari 0.19% hingga 97.86% dengan rata-rata error pada semua titik 29.3%. Dari hasil simulasi dan validasi maka dilakukan pemilihan terhadap kolektor yang akan dihubungkan ke kotak pengering. Secara keseluruhan validasi menunjukkan data simulasi layak untuk dipakai karena nilai R 2 diatas 0.8 dan error dibawah 10%. Pemilihan tersebut dipilih kolektor cover 60% dengan sudut kemiringan 45 o. Cover 60% dipilih karena suhu outlet kolektor sudah mencapai kisaran suhu yang memadai untuk pengeringan yaitu diatas o C. Selain itu biaya konstruksi pembuatan kolektor cover 60% memiliki biaya yang lebih rendah dari pada kolektor cover 80% dan 100%. Biaya konstruksi cover 60% adalah Rp. 432,0, biaya konstruksi cover 80% adalah Rp. 4,200, dan biaya konstruksi kolektor cover 100% adalah Rp. 439,920. Sedangkan kemiringan 45 o dipilih karena memiliki laju aliran massa yang tinggi dibandingkan sudut lainnya yaitu kg/s pada simulasi dan kg/s pada perhitungan. 39

18 B. Simulasi Distribusi Suhu Kotak Pengering 1. Domain 3 Dimensi Kotak Pengering Pembuatan geometri 3 dimensi kotak pengering sama dengan kolektor surya yaitu diperoleh dari proses pembentukan geometri ruang dari kotak pengering menggunakan Ansys Geometry dan Ansys Meshing. Hasil geometri tersebut didefenisikan dengan kondisi batas sehingga terbentuklah domain kotak pengering. Bentuk dasar dari domain adalah kolektor surya tipe back-pass cover 60% kemiringan 45 o yang dihubungkan dengan kotak pengering. Bagian inlet udara adalah inlet dari kolektor surya dan outlet berupa cerobong pengeluaran dari kotak pengering. Ukuran kotak pengering 0 x 0 mm. Ukuran mesh terkecil dari kolektor 2.4x10-1 mm dan terbesar mm. Pembentukan mesh menggunakan tetrahedral dan trihedral yang mana berbentuk segi empat dan segitiga mengikuti bentuk kolektor dan kotak pengering. Bentuk domain dan serta mesh kotak pengering dapat dilihat pada Gambar 51. Gambar 51 Domain dan Mesh Kotak Pengering Iradiasi matahari akan mengenai kolektor surya, sehingga terjadi efek buoayancy. Efek buoyancy ini menyebabkan aliran udara pada kolektor bergerak menuju kotak pengering. Simulasi bertujuan untuk melihat sebaran suhu kotak pengering yang merupakan aliran udara panas yang bearasal dari kolektor surya. 2. Sebaran Suhu Kotak Pengering Kolektor akan mendapatkan iradiasi dari matahari yang kemudian akan memanaskan aliran udara dari inlet ke outlet. Pemanasan menyebabkan massa jenis udara menjadi bervariasi. Massa jenis yang lebih ringan akan bergerak ke atas akibat efek buoyancy. Aliran udara terjadi dari inlet kolekor surya dan keluar melalui cerobong kotak pengering, Dengan adanya efek ini suhu udara pada kotak pengering meningkat sehingga suhu kotak pengering akan menjadi lebih panas.

19 Gambar 52. Kontur Suhu Kotak Pengering pada Saat Kolektor Ditutup. Hasil simulasi pada Gambar 52 menunjukkan simulasi kotak pengering dalam keadaan kolektor ditutup atau diinsulasi pada bagian atasnya. Tujuan percobaan ini adalah melihat bahwa pemanasan udara di kotak pengering terjadi akibat pemanasan di aliran udara kolektor. Simulasi yang telah dilakukan menunjukkan sebaran suhu pada kotak pengering merata pada suhu 39.6 o C dengan suhu lingkungan pada saat itu o C. Hal ini menunjukkan matahari tidak dapat memanaskan udara di kolektor karena bagian atas kolektor ditutup atau diinsulasi. Terjadinya peningkatan suhu 1.6 o C pada kolektor surya dan kotak pengering tidak cukup untuk menimbulkan efek buoyancy di kolektor. Iradiasi matahari yang mengenai cover kolektor yang menyebabkan efek rumah kaca pada udara static di air gap. Hal tersebut akan memanaskan absorber sehingga terjadi aliran udara panas dari inlet kolektor dan memanaskan udara di kotak pengering. Simulasi pada kondisi batas pukul dengan intensitas iradiasi matahari W/m 2 rata-rata suhu kotak pengering berkisar 43 o C-45 o C. Simulasi pada pukul dengan intensitas iradiasi matahari W/m 2, suhu kotak pengering berkisar o C-51 o C dan pada saat simulasi dengan kondisi batas pukul 15.00, intensitas iradiasi matahari W/m 2 sebaran suhu kotak pengering berkisar 41 o C- o C. Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar

20 Gambar 53. Sebaran Suhu Kotak Pengering Pukul Gambar 54. Sebaran Suhu Kotak Pengering Pukul Gambar 55. Sebaran Suhu Kotak Pengering Pukul

21 3. Validasi Sebaran Suhu Kotak Pengering Validasi dengan membandingkan data simulasi (T CFD ) dan data pengukuran T ukur ) pada titik-titik suhu geometri kotak pengering. Nilai rata-rata dari validasi menunjukkan nilai error secara keseluruhan 1.22% dan R , sehingga dapat dikatakan hasil simulasi baik karena nilai error masih dibawah 10% dan nilai R 2 diatas 0.8. Hasil validasi dapat dilihat pada Lampiran 8 halaman 81, sedangkan data grafik dapat diliihat pada Gambar T Ukur 52 y = 0,9605x + 1,8512 R² = 0, T CFD T Ukur Gambar 56. Validasi Kotak Pengering Pukul Gambar 57. Validasi Kotak Pengering Pukul y = 0,9229x + 3,9661 R² = 0, T CFD y = 1,0818x - 3,5687 R² = 0,97 T Ukur T CFD Gambar 58. Validasi Kotak Pengering Pukul Korelasi antara T CFD dan dan T ukur pada bidang xy Gambar memberikan nilai R 2 diatas 0.8 menunjukkan simulasi layak digunakan. Nilai tersebut secara berturut-turut 0.947, dan 0.9. Hasil validasi berturut-turut mulai dari pukul 09.00, 12.00, dan memiliki nilai error dibawah 10% yaitu1.05%, 1.84%. dan 1.60%. Sebaran suhu di ruang pengering cukup seragam dimana pengukuran pada pukul rata-rata suhu kotak pengering 47.2 o C, pukul o C dan pukul o C. sedangkan pada simulasi suhu kotak pengering menunjukkan 47.1 o C pada pukul 09.00,.7 o C pukul dan.5 o C pukul

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2012 sampai dengan Juni 2012 di Lab. Surya Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Suhu Udara Hasil pengukuran suhu udara di dalam rumah tanaman pada beberapa titik dapat dilihat pada Gambar 6. Grafik suhu udara di dalam rumah tanaman menyerupai bentuk parabola

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kolektor Surya Pelat Datar Duffie dan Beckman (2006) menjelaskan bahwa kolektor surya adalah jenis penukar panas yang mengubah energi radiasi matahari menjadi panas. Kolektor surya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Titik Fokus Letak Pemasakan Titik fokus pemasakan pada oven surya berdasarkan model yang dibuat merupakan suatu bidang. Pada posisi oven surya tegak lurus dengan sinar surya, lokasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Iklim Mikro Rumah Tanaman Tipe Standard Peak Selama 24 jam Struktur rumah tanaman berinteraksi dengan parameter lingkungan di sekitarnya menghasilkan iklim mikro yang khas.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. RADIASI MATAHARI DAN SH DARA DI DALAM RMAH TANAMAN Radiasi matahari mempunyai nilai fluktuatif setiap waktu, tetapi akan meningkat dan mencapai nilai maksimumnya pada siang

Lebih terperinci

T p = 84 0 C, T c = C. h ra = h ra = W/m 2.K. h c = v. T langit = (T udara ) 3/2. h rc = V angin = 1.

T p = 84 0 C, T c = C. h ra = h ra = W/m 2.K. h c = v. T langit = (T udara ) 3/2. h rc = V angin = 1. Lampiran 1. Contoh Perhitungan Koefisisen Kehilangan Panas (U t ) Koefisien perpindahan panas konveksi antara pelat absorber dan cover (h a ). L= 1m,T pelat absorber : 84 0 C, T udara : 35.9 0 C T f =

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN (BAHAN DAN METODE) keperluan. Prinsip kerja kolektor pemanas udara yaitu : pelat absorber menyerap

BAB III METODE PENELITIAN (BAHAN DAN METODE) keperluan. Prinsip kerja kolektor pemanas udara yaitu : pelat absorber menyerap BAB III METODE PENELITIAN (BAHAN DAN METODE) Pemanfaatan energi surya memakai teknologi kolektor adalah usaha yang paling banyak dilakukan. Kolektor berfungsi sebagai pengkonversi energi surya untuk menaikan

Lebih terperinci

Grafik tegangan (chanel 1) terhadap suhu

Grafik tegangan (chanel 1) terhadap suhu IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KONVERSI RANGKAIAN PENGUKUR SUHU Rangkaian pengukur suhu ini keluarannya adalah tegangan sehingga dibutuhkan pengambilan data konversi untuk mengetahui bentuk persamaan yang

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL PERFORMANSI KOLEKTOR SURYA ABSORBER GELOMBANG TIPE-V

STUDI EKSPERIMENTAL PERFORMANSI KOLEKTOR SURYA ABSORBER GELOMBANG TIPE-V STUDI EKSPERIMENTAL PERFORMANSI KOLEKTOR SURYA ABSORBER GELOMBANG TIPE-V Oleh : REZA ARDIANSYAH 2015 100 033 Pembimbing : Prof. Dr. Ir. DJATMIKO ICHSANI, M.Eng OUTLINE LATAR BELAKANG PERUMUSAN, batasan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Deskripsi Alat Pengering Yang Digunakan Deskripsi alat pengering yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Deskripsi Alat Pengering Yang Digunakan Deskripsi alat pengering yang digunakan dalam penelitian ini adalah : BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Alat Pengering Yang Digunakan Deskripsi alat pengering yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Desain Termal 1. Temperatur udara masuk kolektor (T in ). T

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Temperatur udara masuk kolektor (T in ). T in = 30 O C. 2. Temperatur udara keluar kolektor (T out ). T out = 70 O C.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Temperatur udara masuk kolektor (T in ). T in = 30 O C. 2. Temperatur udara keluar kolektor (T out ). T out = 70 O C. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Spesifikasi Alat Pengering Surya Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan pada perancangan dan pembuatan alat pengering surya (solar dryer) adalah : Desain Termal 1.

Lebih terperinci

SIMPULAN UMUM 7.1. OPTIMISASI BIAYA KONSTRUKSI PENGERING ERK

SIMPULAN UMUM 7.1. OPTIMISASI BIAYA KONSTRUKSI PENGERING ERK VII. SIMPULAN UMUM Berdasarkan serangkaian penelitian yang telah dilakukan dan hasil-hasil yang telah dicapai, telah diperoleh disain pengering ERK dengan biaya konstruksi yang optimal dan dapat memberikan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada musim kemarau yaitu bulan Mei sampai Juli 2007 berlokasi di Laboratorium Lapangan Bagian Ternak Perah, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 26 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Simulasi Model Pengering dengan Gambit 5.1.1. Bentuk domain 3D model pengering Bentuk domain 3D ruang pengering diperoleh dari proses pembentukan geometri ruang pengering

Lebih terperinci

Gambar 2. Profil suhu dan radiasi pada percobaan 1

Gambar 2. Profil suhu dan radiasi pada percobaan 1 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Penggunaan Kolektor Terhadap Suhu Ruang Pengering Energi surya untuk proses pengeringan didasarkan atas curahan iradisai yang diterima rumah kaca dari matahari. Iradiasi

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) B-192

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) B-192 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-192 Studi Numerik Pengaruh Baffle Inclination pada Alat Penukar Kalor Tipe Shell and Tube terhadap Aliran Fluida dan Perpindahan

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL PENGUJIAN dan PENGOLAHAN DATA

BAB IV. HASIL PENGUJIAN dan PENGOLAHAN DATA BAB IV HASIL PENGUJIAN dan PENGOLAHAN DATA Data hasil pengukuran temperatur pada alat pemanas air dengan menggabungkan ke-8 buah kolektor plat datar dengan 2 buah kolektor parabolic dengan judul Analisa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 32 BB III METODOLOGI PENELITIN Metode yang digunakan dalam pengujian ini adalah pengujian eksperimental terhadap lat Distilasi Surya dengan menvariasi penyerapnya dengan plastik hitam dan aluminium foil.

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

Laporan Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Belakangan ini terus dilakukan beberapa usaha penghematan energi fosil dengan pengembangan energi alternatif yang ramah lingkungan. Salah satunya yaitu dengan pemanfaatan

Lebih terperinci

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-204 Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. LEMBAR PERSETUJUAN... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PERNYATAAN... iii. ABSTRAK... iv. ABSTRACT... v. KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI. LEMBAR PERSETUJUAN... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PERNYATAAN... iii. ABSTRAK... iv. ABSTRACT... v. KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN... i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii ABSTRAK... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR...xii BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

SIMULASI NUMERIK UJI EKSPERIMENTAL PROFIL ALIRAN SALURAN MULTI BELOKAN DENGAN VARIASI SUDU PENGARAH

SIMULASI NUMERIK UJI EKSPERIMENTAL PROFIL ALIRAN SALURAN MULTI BELOKAN DENGAN VARIASI SUDU PENGARAH SIMULASI NUMERIK UJI EKSPERIMENTAL PROFIL ALIRAN SALURAN MULTI BELOKAN DENGAN VARIASI SUDU PENGARAH Syukran 1* dan Muh. Haiyum 2 1,2 Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah Analisis distribusi suhu dan kelembaban udara dilakukan pada saat kandang tidak diisi sapi (kandang kosong). Karakteristik

Lebih terperinci

Tugas akhir BAB III METODE PENELETIAN. alat destilasi tersebut banyak atau sedikit, maka diujilah dengan penyerap

Tugas akhir BAB III METODE PENELETIAN. alat destilasi tersebut banyak atau sedikit, maka diujilah dengan penyerap BAB III METODE PENELETIAN Metode yang digunakan dalam pengujian ini dalah pengujian eksperimental terhadap alat destilasi surya dengan memvariasikan plat penyerap dengan bahan dasar plastik yang bertujuan

Lebih terperinci

Radiasi ekstraterestrial pada bidang horizontal untuk periode 1 jam

Radiasi ekstraterestrial pada bidang horizontal untuk periode 1 jam Pendekatan Perhitungan untuk intensitas radiasi langsung (beam) Sudut deklinasi Pada 4 januari, n = 4 δ = 22.74 Solar time Solar time = Standard time + 4 ( L st L loc ) + E Sudut jam Radiasi ekstraterestrial

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN PEMANAS AIR TENAGA SURYA ABSORBER GELOMBANG TIPE SINUSOIDAL DENGAN PENAMBAHAN HONEYCOMB OLEH : YANUAR RIZAL EKA SB

RANCANG BANGUN PEMANAS AIR TENAGA SURYA ABSORBER GELOMBANG TIPE SINUSOIDAL DENGAN PENAMBAHAN HONEYCOMB OLEH : YANUAR RIZAL EKA SB TUGAS AKHIR RANCANG BANGUN PEMANAS AIR TENAGA SURYA ABSORBER GELOMBANG TIPE SINUSOIDAL DENGAN PENAMBAHAN HONEYCOMB OLEH : YANUAR RIZAL EKA SB 2105 100 127 DOSEN PEMBIMBING : Prof. Dr. Ir. DJATMIKO ICHSANI,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan

I. PENDAHULUAN. Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan penting sebagai bahan pangan pokok. Revitalisasi di bidang pertanian yang telah dicanangkan Presiden

Lebih terperinci

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I.

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Suhu Ruang Pengering dan Sebarannya A.1. Suhu Lingkungan, Suhu Ruang, dan Suhu Outlet Udara pengering berasal dari udara lingkungan yang dihisap oleh kipas pembuang, kemudian

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Fasad selubung ganda merupakan fasad yang terbentuk dengan adanya penambahan kaca eksternal dari fasad kaca internal yang terintegrasi pada dinding tirai. Fasad

Lebih terperinci

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins Pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins Pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2301-9271 1 Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins Pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup Edo Wirapraja, Bambang

Lebih terperinci

SIMULASI NUMERIK UNTUK POLA SEBARAN SUHU KOLEKTOR SURYA PELAT DATAR TIPE BACK-PASS COVER SEMI TERTUTUP SKRIPSI. Oleh : DELYMI OKTARISKI F

SIMULASI NUMERIK UNTUK POLA SEBARAN SUHU KOLEKTOR SURYA PELAT DATAR TIPE BACK-PASS COVER SEMI TERTUTUP SKRIPSI. Oleh : DELYMI OKTARISKI F SIMULASI NUMERIK UNTUK POLA SEBARAN SUHU KOLEKTOR SURYA PELAT DATAR TIPE BACK-PASS COVER SEMI TERTUTUP SKRIPSI Oleh : DELYMI OKTARISKI F14080007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Analisa Unjuk Kerja Heat Recovery Steam Generator (HRSG) dengan Menggunakan Pendekatan Porous Media di PLTGU Jawa Timur

Analisa Unjuk Kerja Heat Recovery Steam Generator (HRSG) dengan Menggunakan Pendekatan Porous Media di PLTGU Jawa Timur Analisa Unjuk Kerja Heat Recovery Steam Generator (HRSG) dengan Menggunakan Pendekatan Porous Media di PLTGU Jawa Timur Nur Rima Samarotul Janah, Harsono Hadi dan Nur Laila Hamidah Departemen Teknik Fisika,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Lingkungan mikro di dalam rumah tanaman khususnya di daerah tropika asah perlu mendapat perhatian khusus, mengingat iri iklim tropika asah dengan suhu udara yang relatif panas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khatulistiwa, maka wilayah Indonesia akan selalu disinari matahari selama jam

BAB I PENDAHULUAN. khatulistiwa, maka wilayah Indonesia akan selalu disinari matahari selama jam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai jenis sumber daya energi dalam jumlah yang cukup melimpah. Letak Indonesia yang berada pada daerah khatulistiwa, maka

Lebih terperinci

KAJIAN SUHU DAN ALIRAN UDARA DALAM KEMASAN BERVENTILASI MENGGUNAKAN TEKNIK COMPUTATIONAL DYNAMIC (CFD) Emmy Darmawati 1), Yudik Adhinata 2)

KAJIAN SUHU DAN ALIRAN UDARA DALAM KEMASAN BERVENTILASI MENGGUNAKAN TEKNIK COMPUTATIONAL DYNAMIC (CFD) Emmy Darmawati 1), Yudik Adhinata 2) KAJIAN SUHU DAN ALIRAN UDARA DALAM KEMASAN BERVENTILASI MENGGUNAKAN TEKNIK COMPUTATIONAL DYNAMIC (CFD) Emmy Darmawati 1), Yudik Adhinata 2) Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Self Dryer dengan kolektor terpisah. (sumber : L szl Imre, 2006).

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Self Dryer dengan kolektor terpisah. (sumber : L szl Imre, 2006). 3 BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengering Surya Pengering surya memanfaatkan energi matahari sebagai energi utama dalam proses pengeringan dengan bantuan kolektor surya. Ada tiga klasifikasi utama pengering surya

Lebih terperinci

Disusun Oleh : REZA HIDAYATULLAH Pembimbing : Dedy Zulhidayat Noor, ST, MT, Ph.D.

Disusun Oleh : REZA HIDAYATULLAH Pembimbing : Dedy Zulhidayat Noor, ST, MT, Ph.D. ANALISIS KENERJA OVEN PENGERING JAMUR TIRAM PUTIH BERBAHAN BAKAR LPG DENGAN VERIASI KEMIRINGAN SUDUT ALIRAN DALAM OVEN Disusun Oleh : REZA HIDAYATULLAH 2108 030 022 Pembimbing : Dedy Zulhidayat Noor, ST,

Lebih terperinci

BAB V. ALIRAN UDARA DALAM ALAT PENGERING ERK

BAB V. ALIRAN UDARA DALAM ALAT PENGERING ERK BAB V. ALIRAN UDARA DALAM ALAT PENGERING ERK 5.1. PENDAHULUAN 5.1.1. Latar Belakang Kadar air merupakan salah satu parameter mutu yang perlu diperhatikan dalam mengeringkan produk. Masalah yang terjadi

Lebih terperinci

Kecepatan angin meningkat pada rasio H/W kecil dan sebaliknya Jarak >, rasio H/W < Kecepatan angin tinggi pada rongga yang dipengaruhi elevasi

Kecepatan angin meningkat pada rasio H/W kecil dan sebaliknya Jarak >, rasio H/W < Kecepatan angin tinggi pada rongga yang dipengaruhi elevasi Kecepatan angin meningkat pada rasio H/W kecil dan sebaliknya Jarak >, rasio H/W < Kecepatan angin tinggi pada rongga yang dipengaruhi elevasi Kecepatan angin tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei hingga Juli 2012, dan Maret 2013 di

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei hingga Juli 2012, dan Maret 2013 di 22 III. METODELOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan pada Mei hingga Juli 2012, dan 20 22 Maret 2013 di Laboratorium dan Perbengkelan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

Karakteristik Pengering Surya (Solar Dryer) Menggunakan Rak Bertingkat Jenis Pemanasan Langsung dengan Penyimpan Panas dan Tanpa Penyimpan Panas

Karakteristik Pengering Surya (Solar Dryer) Menggunakan Rak Bertingkat Jenis Pemanasan Langsung dengan Penyimpan Panas dan Tanpa Penyimpan Panas Karakteristik Pengering Surya (Solar Dryer) Menggunakan Rak Bertingkat Jenis Pemanasan Langsung dengan Penyimpan Panas dan Tanpa Penyimpan Panas Azridjal Aziz Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

SUDUT PASANG SOLAR WATER HEATER DALAM OPTIMALISASI PENYERAPAN RADIASI MATAHARI DI DAERAH CILEGON

SUDUT PASANG SOLAR WATER HEATER DALAM OPTIMALISASI PENYERAPAN RADIASI MATAHARI DI DAERAH CILEGON SUDUT PASANG SOLAR WATER HEATER DALAM OPTIMALISASI PENYERAPAN RADIASI MATAHARI DI DAERAH CILEGON Caturwati NK, Agung S, Chandra Dwi Jurusan Teknik Mesin Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Jend. Sudirman

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH PERUBAHAN DEBIT ALIRAN PADA EFISIENSI TERMAL SOLAR WATER HEATER DENGAN PENAMBAHAN FINNED TUBE

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH PERUBAHAN DEBIT ALIRAN PADA EFISIENSI TERMAL SOLAR WATER HEATER DENGAN PENAMBAHAN FINNED TUBE Studi Eksperimental Pengaruh Perubahan Debit Aliran... (Kristian dkk.) STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH PERUBAHAN DEBIT ALIRAN PADA EFISIENSI TERMAL SOLAR WATER HEATER DENGAN PENAMBAHAN FINNED TUBE Rio Adi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengeringan Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga menghambat laju kerusakan bahan akibat aktivitas biologis

Lebih terperinci

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2010

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2010 JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2010 Latar Belakang Hampir sebagian besar industri-industri yang bergerak dibidang penyimpanan dan pengiriman

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN KONVERSI ENERGI SURYA MENJADI ENERGI LISTRIK DENGAN MODEL ELEVATED SOLAR TOWER

RANCANG BANGUN KONVERSI ENERGI SURYA MENJADI ENERGI LISTRIK DENGAN MODEL ELEVATED SOLAR TOWER RANCANG BANGUN KONVERSI ENERGI SURYA MENJADI ENERGI LISTRIK DENGAN MODEL ELEVATED SOLAR TOWER Oleh: Zainul Hasan 1, Erika Rani 2 ABSTRAK: Konversi energi adalah proses perubahan energi. Alat konversi energi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 19 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan air panas pada saat ini sangat tinggi. Tidak hanya konsumen rumah tangga yang memerlukan air panas ini, melainkan juga rumah sakit, perhotelan, industri,

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: ( Print) B-62 Studi Eksperimental Pengaruh Laju Aliran Air terhadap Efisiensi Thermal pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Penambahan External Helical Fins pada Pipa Sandy Pramirtha dan Bambang Arip Dwiyantoro

Lebih terperinci

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA. Gambar 4.1 Rancangan Alat Pengering Solar Dryer Susilo, dkk. (2014) commit to user

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA. Gambar 4.1 Rancangan Alat Pengering Solar Dryer Susilo, dkk. (2014) commit to user BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Pada bab ini berisi pemaparan mengenai tahapan tahapan pengumpulan dan pengolahan data. Tahapan tahapan pengumpulan dan pengolahan data kemudian dijabarkan dan diuraikan

Lebih terperinci

PENGARUH BESAR LAJU ALIRAN AIR TERHADAP SUHU YANG DIHASILKAN PADA PEMANAS AIR TENAGA SURYA DENGAN PIPA TEMBAGA MELINGKAR

PENGARUH BESAR LAJU ALIRAN AIR TERHADAP SUHU YANG DIHASILKAN PADA PEMANAS AIR TENAGA SURYA DENGAN PIPA TEMBAGA MELINGKAR Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 PENGARUH BESAR LAJU ALIRAN AIR TERHADAP SUHU YANG DIHASILKAN PADA PEMANAS AIR TENAGA SURYA DENGAN PIPA TEMBAGA

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL Pada bab ini dibahas mengenai pemaparan analisis dan interpretasi hasil dari output yang didapatkan penelitian. Analisis penelitian ini dijabarkan dan diuraikan pada

Lebih terperinci

BAB III ANALISA KONDISI FLUIDA DAN PROSEDUR SIMULASI

BAB III ANALISA KONDISI FLUIDA DAN PROSEDUR SIMULASI BAB III ANALISA KONDISI FLUIDA DAN PROSEDUR SIMULASI 3.1 KONDISI ALIRAN FLUIDA Sebelum melakukan simulasi, didefinisikan terlebih dahulu kondisi aliran yang akan dipergunakan. Asumsi dasar yang dipakai

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: B-169

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: B-169 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2301-9271 B-169 Studi Numerik Peningkatan Cooling Performance pada Lube Oil Cooler Gas Turbine yang Disusun Secara Seri dan Paralel dengan Variasi Kapasitas

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas LAMPIRAN 49 Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas 1. Jumlah Air yang Harus Diuapkan = = = 180 = 72.4 Air yang harus diuapkan (w v ) = 180 72.4 = 107.6 kg Laju penguapan (Ẇ v ) = 107.6 / (32 x 3600) =

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Data Data yang akan digunakan dalam pengerjaan tugas akhir ini, antara lain data pemakaian batubara, data kandungan sulfur dalam batubara, arah dan kecepatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat III. MEODE PENELIIAN A. Waktu dan empat Penelitian dilakukan di Laboratorium Energi Surya Leuwikopo, serta Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Departemen eknik Pertanian, Fakultas eknologi

Lebih terperinci

SIMULASI PERPINDAHAN PANAS KOLEKTOR SURYA TIPE TABUNG PLAT DATAR MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK CFD

SIMULASI PERPINDAHAN PANAS KOLEKTOR SURYA TIPE TABUNG PLAT DATAR MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK CFD SIMULASI PERPINDAHAN PANAS KOLEKTOR SURYA TIPE TABUNG PLAT DATAR MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK CFD IIS WIDIYANTO NIM: 41312110073 PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA

Lebih terperinci

IV. PEMBAHASAN A. Distribusi Suhu dan Pola Aliran Udara Hasil Simulasi CFD

IV. PEMBAHASAN A. Distribusi Suhu dan Pola Aliran Udara Hasil Simulasi CFD IV. PEMBAHASAN A. Distribusi Suhu dan Pola Aliran Udara Hasil Simulasi CFD Simulasi distribusi pola aliran udara dan suhu dilakukan pada saat ayam produksi sehingga dalam simulasi terdapat inisialisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KENTANG (SOLANUM TUBEROSUM L.) Tumbuhan kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas sayuran yang dapat dikembangkan dan bahkan dipasarkan di dalam negeri maupun di luar

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORITIS. Gambar 2 Sudut datang radiasi matahari pada permukaan horizontal (Lunde, 1980)

PENDEKATAN TEORITIS. Gambar 2 Sudut datang radiasi matahari pada permukaan horizontal (Lunde, 1980) PENDEKATAN TEORITIS Radiasi Matahari pada Bidang Horisontal Matahari merupakan sumber energi terbesar. Radiasi matahari yang sampai permukaan bumi ada yang diserap dan dipantulkan kembali. Dua komponen

Lebih terperinci

Analisa Performa Kolektor Surya Pelat Datar Bersirip dengan Aliran di Atas Pelat Penyerap

Analisa Performa Kolektor Surya Pelat Datar Bersirip dengan Aliran di Atas Pelat Penyerap Jurnal Ilmiah Teknik Mesin CakraM Vol. 4 No.1. April 2010 (7-15) Analisa Performa Kolektor Surya Pelat Datar Bersirip dengan Aliran di Atas Pelat Penyerap I Gst.Ketut Sukadana, Made Sucipta & I Made Dhanu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN UMUM

BAB V KESIMPULAN UMUM 177 BAB V KESIMPULAN UMUM Kesimpulan 1 Perilaku termal dalam bangunan percobaan menunjukan suhu pukul 07.00 WIB sebesar 24.1 o C,, pukul 13.00 WIB suhu mencapai 28.4 o C, pada pukul 18.00 WIB suhu mencapai

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di PHPT, Muara Angke, Jakarta Utara. Waktu penelitian berlangsung dari bulan April sampai September 2007. B. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar BAB NJAUAN PUSAKA Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar 150.000.000 km, sangatlah alami jika hanya pancaran energi matahari yang mempengaruhi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis Energi Unit Total Exist

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang   Jenis Energi Unit Total Exist 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan kebutuhan pokok bagi kegiatan sehari-hari, misalnya dalam bidang industri, dan rumah tangga. Saat ini di Indonesia pada umumnya masih menggunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Nutrient Film Technique (NFT) 2.2. Greenhouse

II. TINJAUAN PUSTAKA Nutrient Film Technique (NFT) 2.2. Greenhouse II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nutrient Film Technique (NFT) Nutrient film technique (NFT) merupakan salah satu tipe spesial dalam hidroponik yang dikembangkan pertama kali oleh Dr. A.J Cooper di Glasshouse

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian Tanpa Beban Untuk mengetahui profil sebaran suhu dalam mesin pengering ERK hibrid tipe bak yang diuji dilakukan dua kali percobaan tanpa beban yang dilakukan pada

Lebih terperinci

PENGGUNAAN PERANGKAT LUNAK COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) DALAM MENGANALISIS SISTEM PENGERING IKAN TUNA BERTENAGA SURYA

PENGGUNAAN PERANGKAT LUNAK COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) DALAM MENGANALISIS SISTEM PENGERING IKAN TUNA BERTENAGA SURYA JURNAL LOGIC. VOL. 15. NO. 3. NOPEMBER 2015 137 PENGGUNAAN PERANGKAT LUNAK COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) DALAM MENGANALISIS SISTEM PENGERING IKAN TUNA BERTENAGA SURYA I Nyoman Budiarthana 1), I G.

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) G-184

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) G-184 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) G-184 Analisa Kinerja Termal Solar Apparatus Panel pada Alat Destilasi Air Payau dengan Sistem Evaporasi Uap Tenaga Matahari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering Sebuah penelitian dilakukan oleh Pearlmutter dkk (1996) untuk mengembangkan model

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Iklim Mikro Rumah Tanaman Daerah Tropika Basah

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Iklim Mikro Rumah Tanaman Daerah Tropika Basah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Iklim Mikro Rumah Tanaman Daerah Tropika Basah Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perancangan bangunan. Sebuah bangunan seharusnya dapat mengurangi pengaruh iklim

Lebih terperinci

STUDI NUMERIK : MODIFIKASI BODI NOGOGENI PROTOTYPE PROJECT GUNA MEREDUKSI GAYA HAMBAT

STUDI NUMERIK : MODIFIKASI BODI NOGOGENI PROTOTYPE PROJECT GUNA MEREDUKSI GAYA HAMBAT STUDI NUMERIK : MODIFIKASI BODI NOGOGENI PROTOTYPE PROJECT GUNA MEREDUKSI GAYA HAMBAT GLADHI DWI SAPUTRA 2111 030 013 DOSEN PEMBIMBING DEDY ZULHIDAYAT NOOR, ST, MT, PhD PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK

Lebih terperinci

besarnya energi panas yang dapat dimanfaatkan atau dihasilkan oleh sistem tungku tersebut. Disamping itu rancangan tungku juga akan dapat menentukan

besarnya energi panas yang dapat dimanfaatkan atau dihasilkan oleh sistem tungku tersebut. Disamping itu rancangan tungku juga akan dapat menentukan TINJAUAN PUSTAKA A. Pengeringan Tipe Efek Rumah Kaca (ERK) Pengeringan merupakan salah satu proses pasca panen yang umum dilakukan pada berbagai produk pertanian yang ditujukan untuk menurunkan kadar air

Lebih terperinci

ANALISIS PERPINDAHAN PANAS PADA KOLEKTOR PEMANAS AIR TENAGA SURYA DENGAN TURBULENCE ENHANCER

ANALISIS PERPINDAHAN PANAS PADA KOLEKTOR PEMANAS AIR TENAGA SURYA DENGAN TURBULENCE ENHANCER ANALISIS PERPINDAHAN PANAS PADA KOLEKTOR PEMANAS AIR TENAGA SURYA DENGAN TURBULENCE ENHANCER Nizar Ramadhan 1, Sudjito Soeparman 2, Agung Widodo 3 1, 2, 3 Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Rumah tanaman yang digunakan terletak di Laboratorium Lapangan Siswadhi Soepardjo Leuwikopo, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di dalam rumah tanaman di Laboratorium Lapangan Leuwikopo dan Laboratorium Lingkungan Biosistem, Departemen Teknik Mesin

Lebih terperinci

BAB IV VALIDASI SOFTWARE. Validasi software Ansys CFD Flotran menggunakan dua classical flow

BAB IV VALIDASI SOFTWARE. Validasi software Ansys CFD Flotran menggunakan dua classical flow BAB IV VALIDASI SOFTWARE Validasi software Ansys CFD Flotran menggunakan dua classical flow problem. Simulasi pertama adalah aliran di dalam square driven cavity. Simulasi ini akan menguji kemampuan software

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOLEKTOR PELAT DATAR SEBAGAI PEMANAS AIR ENERGI SURYA DENGAN JUMLAH PENUTUP SATU LAPIS DAN DUA LAPIS

PEMBUATAN KOLEKTOR PELAT DATAR SEBAGAI PEMANAS AIR ENERGI SURYA DENGAN JUMLAH PENUTUP SATU LAPIS DAN DUA LAPIS PEMBUATAN KOLEKTOR PELAT DATAR SEBAGAI PEMANAS AIR ENERGI SURYA DENGAN JUMLAH PENUTUP SATU LAPIS DAN DUA LAPIS D. Hayati 1, M. Ginting 2, W. Tambunan 3. 1 Mahasiswa Program Studi S1 Fisika 2 Bidang Konversi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Termal Kayu Meranti (Shorea Leprosula Miq.) Karakteristik termal menunjukkan pengaruh perlakuan suhu pada bahan (Welty,1950). Dengan mengetahui karakteristik termal

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PENYERAPAN RADIASI MATAHARI PADA SOLAR WATER HEATER MENGGUNAKAN VARIASI SUDUT KEMIRINGAN

OPTIMALISASI PENYERAPAN RADIASI MATAHARI PADA SOLAR WATER HEATER MENGGUNAKAN VARIASI SUDUT KEMIRINGAN Optimalisasi Penyerapan Radiasi Matahari Pada Solar Water Heater... (Sulistyo dkk.) OPTIMALISASI PENYERAPAN RADIASI MATAHARI PADA SOLAR WATER HEATER MENGGUNAKAN VARIASI SUDUT KEMIRINGAN Agam Sulistyo *,

Lebih terperinci

(Studi Kasus PT. EMP Unit Bisnis Malacca Strait) Dosen Pembimbing Bambang Arip Dwiyantoro, ST. M.Sc. Ph.D. Oleh : Annis Khoiri Wibowo

(Studi Kasus PT. EMP Unit Bisnis Malacca Strait) Dosen Pembimbing Bambang Arip Dwiyantoro, ST. M.Sc. Ph.D. Oleh : Annis Khoiri Wibowo Studi Numerik Peningkatan Cooling Performance pada Lube Oil Cooler Gas Turbine Disusun Secara Seri dan Paralel dengan Variasi Kapasitas Aliran Lube Oil (Studi Kasus PT. EMP Unit Bisnis Malacca Strait)

Lebih terperinci

Uil PENAMPILAN KOLEKTOR PLAT DATAR DENGAN MED[Ih PENVlMPAN AIR UMTUK PENGERlNGAN SELAl PISANG

Uil PENAMPILAN KOLEKTOR PLAT DATAR DENGAN MED[Ih PENVlMPAN AIR UMTUK PENGERlNGAN SELAl PISANG Uil PENAMPILAN KOLEKTOR PLAT DATAR DENGAN MED[Ih PENVlMPAN AIR UMTUK PENGERlNGAN SELAl PISANG Oleh L A F A M T O R O F 22. 1338 1992 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R IRFANTORO

Lebih terperinci

Uil PENAMPILAN KOLEKTOR PLAT DATAR DENGAN MED[Ih PENVlMPAN AIR UMTUK PENGERlNGAN SELAl PISANG

Uil PENAMPILAN KOLEKTOR PLAT DATAR DENGAN MED[Ih PENVlMPAN AIR UMTUK PENGERlNGAN SELAl PISANG Uil PENAMPILAN KOLEKTOR PLAT DATAR DENGAN MED[Ih PENVlMPAN AIR UMTUK PENGERlNGAN SELAl PISANG Oleh L A F A M T O R O F 22. 1338 1992 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R IRFANTORO

Lebih terperinci

SIDANG TUGAS AKHIR KONVERSI ENERGI

SIDANG TUGAS AKHIR KONVERSI ENERGI SIDANG TUGAS AKHIR KONVERSI ENERGI ADITYA SAYUDHA. P NRP. 2107 100 082 PEMBIMBING Ir. KADARISMAN NIP. 194901091974121001 JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

Lebih terperinci

BAB IV PEMODELAN POMPA DAN ANALISIS

BAB IV PEMODELAN POMPA DAN ANALISIS BAB IV PEMODELAN POMPA DAN ANALISIS Berdasarkan pemodelan aliran, telah diketahui bahwa penutupan LCV sebesar 3% mengakibatkan perubahan kondisi aliran. Kondisi yang paling penting untuk dicermati adalah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 PENDAHULUAN Karakteristik profil temperatur suatu aliran fluida pada dasarnya dapat diketahui dengan menggunakan metode Computational fluid dynamics (CFD). Pengaplikasian

Lebih terperinci

Analisis Performa Kolektor Surya Pelat Bersirip Dengan Variasi Luasan Permukaan Sirip

Analisis Performa Kolektor Surya Pelat Bersirip Dengan Variasi Luasan Permukaan Sirip Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Vol. 4 No.2. Oktober 2010 (88-92) Analisis Performa Kolektor Surya Pelat Bersirip Dengan Variasi Luasan Permukaan Sirip Made Sucipta, I Made Suardamana, Ketut Astawa Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kaum Petani dengan kultur agraris khas pedesaan Indonesia bermukim di perumahan dengan bentuk bangunan yang mempunyai tata ruang dan tata letak sederhana. Hampir seluruh

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Energi Matahari

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Energi Matahari BAB II DASAR TEORI 2.1 Energi Matahari Matahari merupakan sebuah bola yang sangat panas dengan diameter 1.39 x 10 9 meter atau 1.39 juta kilometer. Kalau matahari dianggap benda hitam sempurna, maka energi

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 1, (2016) ISSN: ( Print) B13

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 1, (2016) ISSN: ( Print) B13 B13 Studi Numerik Karakteristik Perpindahan Panas pada Membrane Wall Tube Boiler Dengan Variasi Jenis Material dan Ketebalan Insulasi di PLTU Unit 4 PT.PJB UP Gresik I Nyoman Ari Susastrawan D dan Prabowo.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Rumah Tanaman (Greenhouse)

II. TINJAUAN PUSTAKA Rumah Tanaman (Greenhouse) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumah Tanaman (Greenhouse) Menurut Nelson (1978) dalam Suhardiyanto (2009) mendefinisikan rumah tanaman sebagai suatu bangunan untuk budidaya tanaman yang memiliki struktur atap

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5 No. 2 (2016) ISSN: ( Print) B-575

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5 No. 2 (2016) ISSN: ( Print) B-575 JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5 No. 2 (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-575 Studi Simulasi Numerik dan Eksperimental Pengaruh Penambahan Fin Berbentuk Prisma Segitiga Tegak Lurus Aliran yang Dipasang

Lebih terperinci

Simulasi Perpindahan Panas pada Lapisan Tengah Pelat Menggunakan Metode Elemen Hingga

Simulasi Perpindahan Panas pada Lapisan Tengah Pelat Menggunakan Metode Elemen Hingga JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 4, No.2, (2015) 2337-3520 (2301-928X Print) A-13 Simulasi Perpindahan Panas pada Lapisan Tengah Pelat Menggunakan Metode Elemen Hingga Vimala Rachmawati dan Kamiran Jurusan

Lebih terperinci

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi Besarnya radiasi yang diserap atau dipantulkan, baik oleh permukaan bumi atau awan berubah-ubah tergantung pada ketebalan awan, kandungan uap air, atau jumlah partikel debu Radiasi datang (100%) Radiasi

Lebih terperinci

TEKNOLOGI ALAT PENGERING SURYA UNTUK HASIL PERTANIAN MENGGUNAKAN KOLEKTOR BERPENUTUP MIRING

TEKNOLOGI ALAT PENGERING SURYA UNTUK HASIL PERTANIAN MENGGUNAKAN KOLEKTOR BERPENUTUP MIRING TEKNOLOGI ALAT PENGERING SURYA UNTUK HASIL PERTANIAN MENGGUNAKAN KOLEKTOR BERPENUTUP MIRING Maksi Ginting, Salomo, Egi Yuliora Jurusan Fisika-Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH SUDUT KEMIRINGAN TERHADAP PERPINDAHAN KALOR PADA MODUL PHOTOVOLTAIC UNTUK MENINGKATKAN DAYA KELUARAN

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH SUDUT KEMIRINGAN TERHADAP PERPINDAHAN KALOR PADA MODUL PHOTOVOLTAIC UNTUK MENINGKATKAN DAYA KELUARAN Studi Eksperimental Pengaruh Sudut Kemiringan... (Nabilah dkk.) STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH SUDUT KEMIRINGAN TERHADAP PERPINDAHAN KALOR PADA MODUL PHOTOVOLTAIC UNTUK MENINGKATKAN DAYA KELUARAN Inas Nabilah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2007 sampai dengan Mei 2007 di Greenhouse Departemen Teknik Pertanian, Leuwikopo, IPB. Bahan dan Alat Greenhouse Greenhouse

Lebih terperinci

Lingga Ruhmanto Asmoro NRP Dosen Pembimbing: Dedy Zulhidayat Noor, ST. MT. Ph.D NIP

Lingga Ruhmanto Asmoro NRP Dosen Pembimbing: Dedy Zulhidayat Noor, ST. MT. Ph.D NIP RANCANG BANGUN ALAT PENGERING IKAN MENGGUNAKAN KOLEKTOR SURYA PLAT GELOMBANG DENGAN PENAMBAHAN CYCLONE UNTUK MENINGKATKAN KAPASITAS ALIRAN UDARA PENGERINGAN Lingga Ruhmanto Asmoro NRP. 2109030047 Dosen

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Proses Perancangan 4.1.1. Identifikasi Kebutuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Singkong atau ketela pohon pada umumnya dijual dalam bentuk umbi segar oleh petani. Petani jarang mengeringkan singkongnya

Lebih terperinci