Spatial Pattern Analysis Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue untuk Informasi Early Warning Bencana di Kota Surabaya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Spatial Pattern Analysis Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue untuk Informasi Early Warning Bencana di Kota Surabaya"

Transkripsi

1 Spatial Pattern Analysis Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue untuk Informasi Early Warning Bencana di Kota Surabaya Arrowiyah 1, Sutikno 2 Mahasiswa S1 Jurusan Statistika FMIPA ITS, Surabaya 1 Dosen Jurusan Statistika FMIPA ITS, Surabaya 2 arrowiyah_89@yahoo.co.id 1, sutikno@statistika.its.ac.id 2 ABSTRAK Surabaya merupakan salah satu kota besar di Provinsi Jawa Timur yang angka kejadian penyakit DBD-nya masih cukup tinggi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan jumlah kejadian DBD di Kota Surabaya, namun jumlah penderita penyakit ini masih belum dapat ditekan secara efektif. Dalam penelitian ini dilakukan pendeskripsian dan pembuatan peta penyebaran kejadian penyakit DBD pada periode Jumlah kejadian penyakit DBD tinggi cenderung terjadi pada 6 bulan pertama (Januari-Juni). Persebaran kejadian DBD itu cenderung terjadi pada wilayah Surabaya utara, pusat sampai timur. Perbandingan hasil pengujian dengan menggunakan indeks Moran s I dan Geary s C memberikan informasi bahwa indeks Moran s I lebih sensitif dari Geary s C. Beberapa kecamatan yang termasuk ke dalam kategori rawan penyebaran kejadian DBD adalah Kecamatan Genteng, Tegalsari, dan Gubeng. Sementara kecamatan yang masuk dalam kategori sedang adalah Kecamatan Pabean Cantikan, Simokerto, Bulak, Mulyorejo, Wonocolo, dan T. Mejoyo. Kata kunci : DBD, penyebaran, dependensi, spasial 1. Pendahuluan Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit berbahaya yang dapat menyebabkan kematian. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini baik masyarakat maupun pemerintah, namun angka terjangkitnya penyakit ini masih belum dapat ditekan secara efektif. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kurangnya informasi mengenai tempat, waktu dan lokasi persebaran kejadian DBD di Kota Surabaya. Peta sebaran geografis penyakit sangat berguna untuk mempelajari hubungan antara iklim dengan penyakit atau masalah kesehatan lain secara empirik dan bermanfaat untuk membantu mengimplementasikan rencana intervensi. Informasi sebaran wilayah rawan menurut tempat dan waktu diperlukan dalam menentukan wilayah prioritas pelaksanaan program antisipasi dan penanggulangan. Oleh karena itu, dibutuhkan peta sebaran yang diharapkan mampu untuk menentukan wilayah prioritas pelaksanaan program antisipasi dan penanggulangan wabah DBD di Kota Surabaya. Beberapa penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penyakit DBD adalah model peringatan dini penyakit demam berdarah dengan menggunakan faktor iklim diantaranya: Sasmito, Gunaman, dan Widiatmoko (2006); dan Hidayati (2008). Sasmito et al. (2006) menyusun model peringatan dini DBD di Kota Jakarta. Sementara Hidayati (2008) menyusun model kejadian DBD di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini akan menyusun peta rawan persebaran kejadian penyakit DBD di Kota Surabaya dengan mempertimbangkan lokasi (kecamatan), waktu (bulan), dan musim dengan spatial pattern analysis. Metode ini cukup baik dalam menyajikan peta kerawanan penyakit sekaligus dapat megidentifikasi keterkaitan antar lokasi dan waktu (Curtis & Lee, 2010). Metode ini juga sangat efektif dalam mendeteksi variasi secara geografi (Tottrup, Tersbol, Lindeboom, dan Meyrowitsch, 2009). 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Spatial Autocorrelation Menurut Lembo (2006) dalam Kartika (2007) autokorelasi spasial adalah korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang atau dapat juga diartikan suatu ukuran kemiripan dari objek di dalam suatu ruang (jarak, waktu dan wilayah). Jika terdapat pola sistematik di dalam penyebaran sebuah variabel, maka terdapat autokorelasi spasial. Adanya 1

2 autokorelasi spasial mengindikasikan bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait oleh nilai atribut tersebut pada daerah lain yang letaknya berdekatan (bertetangga). 2.2 Matrik Pembobot Spasial Matrik pembobot spasial dapat ditentukan dengan beragam metode. Salah satu metode penentuan matrik pembobot spasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah Queen contiguity (persinggungan sisi-sudut). Matrik pembobot (w ) berukuran nxn, dimana setiap elemen matrik menggambarkan ukuran kedekatan antara pengamatan i dan j. Gambar 1 diberikan ilustrasi mengenai perhitungan matrik pembobot menggunakan Queen contiguity. Ilustrasi tersebut menggunakan lima daerah sebagai pengamatannya. Elemen matrik didefinisikan 1 untuk wilayah yang bersisian (common side) atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan daerah yang menjadi perhatian, sedangkan daerah lainnya didefinisikan elemen matrik pembobot sebesar nol. Untuk daerah 3, didapatkan w 32 =1, w 34 =1, w 35 =1 dan yang lain sama dengan nol. Matrik w ij ini memiliki ukuran matrik 5x5. Ilustrasi lebih lengkapnya disajikan pada Gambar 1. (4) (3) (5) (2) (1) Sumber: Lesage (1999) dalam Winarno (2009) Gambar 1 Ilustrasi Contiguity Matriks pembobot yang dapat terbentuk dari Gambar 1 adalah sebagai berikut Moran s I Moran's I mengukur korelasi satu variabel misal x (x dan x ) dimana i j, i=1,2,...n, j=1,2,...n dengan banyak data sebesar n, maka formula dari Moran s I adalah pada persamaan (1) (Paradis, 2010). I = ( )( ) ( ) (1) x pada persamaan (1) merupakan rata-rata dari variabel x, w merupakan elemen dari matrik pembobot, and S adalah jumlahan dari elemen matrik pembobot, dimana S = w. Nilai dari indeks I ini berkisar antara -1 dan 1. Identifikasi pola menggunakan kriteria nilai indeks I, jika I > I 0, maka mempunyai pola mengelompok (cluster), jika I = I, maka berpola menyebar tidak merata (tidak ada autokorelasi), dan I < I, memiliki pola menyebar. I merupakan nilai ekspektasi dari I yang dirumuskan E(I)= I = 1/(n 1) (Lee dan Wong, 2001). 2

3 Pengujian hipotesis terhadap parameter I dapat dilakukan sebagai berikut. H : tidak ada autokorelasi spasial H : terdapat autokorelasi positif (indeks Moran s I bernilai positif) H : terdapat autokorelasi negatif (indeks Moran s I bernilai negatif ). Menurut Lee dan Wong (2001) dalam Kartika (2007) statistik uji dari indeks Moran s I diturunkan dalam bentuk statistik peubah acak normal baku. Hal ini didasarkan pada teori Dalil Limit Pusat dimana untuk n yang besar dan ragam diketahui maka Z(I) akan menyebar normal baku sebagai berikut. Z = ( ) ( ) dengan I adalah indeks Moran s I, Z hitung adalah nilai statistik uji indeks Moran s I, E(I) nilai ekspektasi indeks Moran s I, dan Var(I) adalah nilai varians dari indeks Moran s I. (2) adalah ( )( )( ) ( ) ( )( )( ) ( ) Var(I) = dengan, S = (w + w ), k = (x x ) /(( x x ) ) S = (w. + w. ), w. = w dan w. = w (3) Pengujian ini akan menolak hipotesis awal jika nilai Z hitung > Z ( ) (autokorelasi positif) atau Z hitung <-Z ( ) (autokorelasi negatif). Positif autokorelasi spasial megindi-kasikan bahwa antar lokasi pengamatan memiliki keeratan hubungan. 2.4 Geary s C Indeks ini dirumuskan sebagai berikut (Lee dan Wong, 2010). C = ( ) ( ) ( ) (4) Nilai w, x, x, n, dan S yang digunakan dalam persamaan (4) sama dengan nilai pada persamaan (1). Identifikasi pola sebaran menggunakan indeks C, jika nilai C terletak diantara 0 (nol) dan 1, maka pola sebarannya adalah mengelompok (cluster), jika nilai C mendekati 1, polanya menyebar tidak merata (tidak ada autokorelasi), dan pada nilai C terletak di antara 1 dan 2, pola sebarannya merata (Lee dan Wong, 2001). Pengujian terhadap parameter C dapat dilakukan sebagai berikut. H : tidak ada autokorelasi spasial H : terdapat autokorelasi positif (indeks Geary s C bernilai kurang dari 1) H : terdapat autokorelasi negatif (indeks Geary s C bernilai lebih dari 1). Statistik Uji: Z = ( ) ( ) (5) dengan C merupakan indeks Geary s C, Z hitung merupakan nilai statistik uji indeks Geary s C, E(C) merupakan nilai ekspektasi indeks Geary s C (bernilai 1), dan Var(C) merupakan nilai varians dari indeks Geary s C. 3

4 Var(C) = ( ) [ ( ) ] ( )( ) ( ) [ ] ( )( ) + ( ) ( )( ) (6) S, S, dan S pada persamaan (6) sama dengan Moran s I. Pengujian ini akan menolak hipotesis awal jika nilai Z hitung > Z ( ) (autokorelasi positif) atau Z hitung <-Z ( ) (autokorelasi negatif). Positif autokorelasi spasial megindi-kasikan bahwa antar lokasi pengamatan memiliki keeratan hubungan. 2.6 Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA) Pengidentifikasian koefisien autocorrelation secara lokal dalam artian menemukan korelasi spasial pada setiap daerah, dapat digunakan Moran s I. Berbeda dengan Moran s I yang dijelaskan pada sub bab 2.3 yang merupakan indikasi dari global autocorrelation, Moran s I pada LISA meng-indikasikan local autocorrelation. LISA disini mengidentifikasi bagaimana hubungan antara suatu lokasi pengamatan terhadap lokasi pengamatan yang lainnya. Adapun indeksnya adalah sebagai berikut (Lee dan Wong, 2001). I = z w z (7) z dan z pada persamaan (7) merupakan deviasi dari nilai rata-rata. δ adalah nilai standar deviasi dari x. z = (x x )/δ (8) Pengujian terhadap parameter I dapat dilakukan sebagai berikut. H : tidak ada autokorelasi spasial H : terdapat autokorelasi spasial Statistik uji: Z = ( ) ( ) dengan I merupakan indeks LISA, Z hitung merupakan nilai statistik uji indeks LISA, E(I ) merupakan nilai ekspektasi indeks LISA, dan Var(I ) merupakan nilai varians dari indeks LISA. var(i ) = w. Dengan, w ( ). = w, i j w ( ) = w w w. = ( w ) E(I )= - w. /(n-1) (10) ( ) ( ). ( )( ) ( ) 2w ( ) ( / ) (9) (11) Pengujian ini akan menolak hipotesis awal jika nilai Z hitung terletak pada pada Z > Z ( / ). 2.7 Moran s Scatterplot Lee dan Wong (2001) menyebutkan bahwa Moran s Scatterplot adalah salah satu cara untuk menginterpretasikan statistik Indeks Moran. Moran s Scatterplot merupakan alat untuk melihat hubungan antara (nilai pengamatan yang sudah distandarisasi) dengan (nilai rata-rata daerah tetangga yang telah distandarisasi). Ilustrasi lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 2. 4

5 LH Kuadran II Kuadran I HH WZstd LL Kuadran III Kuadran IV HL Gambar 2 Moran Scatterplot Kuadran I (terletak di kanan atas) disebut High-High (HH), menunjukkan daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi. Kuadran II (terletak di kiri atas) disebut Low-High (LH), menunjukkan daerah dengan pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III (terletak di kiri bawah) disebut Low-Low (LL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan rendah dan dikelilingi daerah yang juga mempunyai nilai pengamatan rendah. Kuadran IV (terletak di kanan bawah) disebut High-Low (HL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah (Kartika, 2007). Moran s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran HH dan kuadran LL akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang positif (cluster). Sedangkan Moran s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran HL dan LH akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang negatif. 2.8 Peta Tematik Barus dan Wiradisastra (2000) dalam Kartika (2007) menyatakan bahwa peta tematik adalah gambaran dari sebagian permukaan bumi yang dilengkapi dengan informasi tertentu, baik di atas maupun di bawah permukaan bumi yang mengandung tema tertentu. Peta tematik ini biasanya mencerminkan hal-hal yang khusus. Selain itu peta tematik merupakan peta yang memberikan suatu informasi mengenai tema tertentu, baik data kualitatif maupun data kuantitatif. Peta tematik sangat erat kaitannya dengan SIG (Sistem Informasi Geografis) karena pada umumnya output dari proyek SIG adalah berupa peta tematik. Baik yang berbentuk digital maupun masih berbentuk peta kertas. 2.9 Demam Berdarah DBD merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan gejala sakit demam, nyeri otot, dan atau nyeri sendi yang disertai penurunan dari sel darah putih, adanya bercak kemerahan di kulit, pembesaran kelenjar getah bening, penurunan jumlah trombosit dan kondisi terberat adalah perdarahan dari hampir seluruh jaringan tubuh. Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu 1) vektor (nyamuk), terutama berhubungan dengan sanitasi lingkungan, 2) Penjamu (manusia) penderita di lingkungan, 3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (Anonim, 2009). 3 Metodologi Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Surabaya pada tahun Data tersebut adalah jumlah kejadian penyakit DBD yang terdapat pada 31 kecamatan. Selain itu juga digunakan peta administrasi Kota Surabaya (Gambar 3). Data demografi, meliputi jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota Surabaya. Zstd 5

6 Gambar 3 Peta administratif Kota Surabaya dengan 31 Kecamatan Keterangan: 1 Gayungan 12 Dukuh Pakis 22 Bubutan 2 Karang Pilang 13 Gubeng 23 Simokerto 3 Gunung Anyar 14 Sawahan 24 Bulak 4 Jambangan 15 Sukomanunggal 25 Pabean Cantikan 5 T. Mejoyo 16 Mulyorejo 26 Krembangan 6 Wonocolo 17 Tegalsari 27 Asemrowo 7 Rungkut 18 Tandes 28 Pakal 8 Lakarsantri 19 Sambikerep 29 Semampir 9 Wiyung 20 Genteng 30 Kenjeran 10 Wonokromo 21 Tambaksari 31 Benowo 11 Sukolilo Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah jumlah penderita DBD bulanan per kecamatan di Kota Surabaya pada tahun 2006 sampai Di samping itu jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di Kota Surabaya. Adapun langkah-langkah analisis data dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan penyebaran kejadian DBD 2. Pembuatan peta sebaran dengan Spatial Pattern Analysis. a. Memetakan kejadian penyakit DBD per bulan antar tahun dalam suatu peta tematik b. Membandingkan pola yang terbentuk dari bulan ke bulan antar tahun c. Menghitung ukuran dependensi spasial menggunakan indeks Moran s I d. Mengidentifikasi pola sebaran kejadian berdasarkan indeks Moran s I e. Menguji dependensi spasial indeks Moran s I f. Menghitung ukuran dependensi spasial menggunakan indeks Geary s C g. Mengidentifikasi pola sebaran kejadian berdasarkan indeks Geary s C h. Menguji dependensi spasial indeks Geary s C i. Membuat dan menganalisis Moran s Scatterplot j. Menghitung dan menguji dependensi spasial indeks LISA 4 Analisis dan Pembahasan 4.1 Kejadian Penyakit DBD Menurut Kecamatan Kejadian DBD di Kota Surabaya periode 2006 sampai 2009 memiliki karakteristik yang beragam. Rata-rata tertinggi angka kejadian DBD adalah sebesar yang terletak pada Kecamatan Tegalsari, sedangkan rata-rata terendahnya adalah sebesar 2.38 yang terletak pada Kecamatan Mulyorejo. Keragaman tertinggi adalah sebesar yang terletak pada Kecamatan Tegalsari, sedangkan keragaman terendah adalah sebesar 6.02 yang terletak pada 6

7 Kecamatan Trenggilis Mejoyo (T.Mejoyo). Deskripsi kejadian penyakit DBD di Kota Surabaya menurut kecamatan periode selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai rata-rata dan ragam jumlah kejadian penyakit DBD di Kota Surabaya tahun 2006 sampai 2009 tiap kecamatan Kecamatan Rata-rata Ragam Kecamatan Rata-rata Ragam Gayungan Tegalsari Karang Pilang Tandes Gunung Anyar Sambikerep Jambangan Genteng T. Mejoyo Tambaksari Wonocolo Bubutan Rungkut Simokerto Lakarsantri Bulak Wiyung Pabean Cantikan Wonokromo Krembangan Sukolilo Asemrowo Dukuh Pakis Pakal Gubeng Semampir Sawahan Kenjeran Sukomanunggal Benowo Mulyorejo Keterangan: Kecamatan yang di arsir merupakan kecamatan dengan kejadian DBD tertinggi dan terendah Tingginya kejadian DBD di Kota Surabaya bagian pusat, selatan dan utara ditunjang oleh kepadatan jumlah penduduk yang ada pada wilayah tersebut. Kecamatan dengan kepadatan paling tinggi adalah terletak pada Kecamatan Simokerto yaitu sebesar lebih dari jiwa/km 2. Sementara beberapa kecamatan lain yang kepadatan cukup tinggi adalah Kecamatan Kenjeran, Tambaksari, Bubutan, Sawahan, dan Tegalsari yaitu sebesar lebih dari jiwa/ km 2. Kepadatan penduduk menurut kecamatan selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Kepadatan penduduk Surabaya Menurut Kecamatan Tahun

8 Januari Februari Maret April Mei Juni Gambar 5 Persebaran kejadian DBD di Kota Surabaya tiap Kecamatan antar bulan tahun

9 Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Gambar 5 Persebaran kejadian DBD di Kota Surabaya tiap Kecamatan antar bulan tahun 2006 (lanjutan). 9

10 4.2 Kejadian Penyakit DBD Menurut Waktu Berdasarkan waktu (bulan) kejadian penyakit DBD di Kota Surabaya pada periode menunjukkan bahwa kejadian DBD di Kota Surabaya paling banyak terjadi pada bulan Januari-Juni. Periode ini merupakan periode musim hujan (Desember-Maret) dan musim trasisi menuju kemarau (April-Juni). Persebaran tahun menunjukkan bahwa pada bulan Januari hingga Juni kejadian penyakit DBD cenderung berkumpul pada Surabaya pusat, selatan, timur dan utara (Gambar 5). Sebaliknya, pada bulan Juli-Desember kejadian DBD cenderung rendah karena bulan-bulan ini merupakan musim kemarau (Juni-September) dan transisi menuju musim hujan (Oktober-Desember). Selama periode jumlah penderita DBD terbesar adalah bulan Maret pada tahun 2006, sedangkan bulan Desember tahun 2009 merupakan bulan dengan angka kejadian DBD paling kecil pada periode Hubungan Kejadian DBD Antar Kecamatan dan Pola Sebarannya Perbandingan antara nilai indeks Moran s I dan nilai ekspektasinya (E(I)) pada tahun 2006 menunjukkan bahwa bulan Januari, Februari, Maret, Agustus, September, Oktober, dan Desember memiliki pola penyebaran kejadian DBD yang mengelompok. Tabel 2 Hasil perhitungan indeks Moran s (I), E(I), Var(I), dan Z hitung tahun 2006 Bulan/ Statistik I E( I ) Var (I) Z hitung Januari a Februari b Maret a April Mei Juni Juli c Agustus September c Oktober Nopember Desember a a signifikan pada α=10%, b signifikan pada α=15%,dan c signifikan pada α=20% Hal ini berarti bahwa jumlah kejadian DBD antar kecamatan pada beberapa bulan-bulan tersebut hampir sama. Sementara bulan April, Mei, Juni, Juli, dan Nopember diindikasikan angka kejadian DBD-nya membentuk pola menyebar. Hal ini berarti bahwa jumlah kejadian DBD antar kecamatan pada bulan-bulan tersebut cukup beragam. Hasil perhitungan indeks Moran s (I), E(I), Var(I), dan Z hitung per bulan pada tahun 2006 disajikan Tabel 2. Pada tahun 2007, pola mengelompok terdapat pada bulan April, Juli, Agustus September, Oktober, Nopember, dan Desember. Pada bulan Januari, Februari, Maret, Mei, dan Juni memiliki pola menyebar. Selanjutnya pada tahun 2008, bulan Januari, Maret, April, Mei, Agustus, Oktober, dan Desember diindikasikan memiliki pola yang mengelompok dan bulan Februari, Juni, Juli, September, dan Nopember diindikasikan bahwa antar kecamatan pada bulan-bulan ini memiliki pola yang menyebar. Sementara pada tahun 2009, bulan Februari, Maret, Mei, Juni, juli, September, dan Oktober diindikasikan memiliki pola yang mengelompok dan bulan Januari, April, Agustus, Nopember, dan Desember diindikasikan memiliki pola yang menyebar. Berdasarkan pengujian terhadap adanya autokorelasi spasial dengan menggunakan indeks Moran s I (Tabel 2), menunjukkan bahwa bulan Januari, Maret, dan Desember signifikan terhadap adanya autokorelasi spasial pada α= 10%, dan bulan Februari sigifikan pada α= 15%, sementara bulan Juli dan Agustus signifikan pada α= 20%. Bulan Januari, Februari, Maret, September dan Desember sama-sama memiliki autokorelasi spasial positif, sedangkan pada bulan Juli, memiliki autokorelasi spasial negatif. 10

11 Pada tahun 2007 hanya terdapat 2 bulan yang memiliki pola hubungan spasial, yaitu bulan Juni dan Oktober. Pada bulan Juni terdapat autokorelasi spasial positif dan pada bulan Oktober terdapat autokorelasi spasial negatif. Sementara pada tahun 2007, terdapat 9 bulan yang memiliki hubungan spasial yaitu bulan Januari, Februari, April, Mei, Juni, Juli, Oktober, dan Nopember. Bulan Januari, April, Mei, dan Oktober memiliki autokorelasi spasial positif. Sementara bulan Februari, Juli, dan Nopember memiliki autokorelasi negatif. Pada tahun 2009, bulan yang memiliki hubungan spasial adalah Juni, Februari, dan September. Ketiga bulan tersebut menunujukkan adanya autokorelasi spasial positif. Berdasarkan tingkat signifikan, menunjukkan bahwa bulan-bulan tersebut mempunyai autokorelasi spasial dengan > 5%. Hal ini mengiindikasikan bahwa kedekatan lokasi kecamatan (ketetanggaan) tidak hanya bersinggungan sisi atau tepi, namun lebih jauh lagi. Dengan demikian matriks pembobot spasial yang digunakan akan lebih sesuai dengan menggunakan pendekatan jarak. Hal ini dimungkinkan karena mobilisasi masyarakat Surabaya yang sangat tinggi. Seseorang dalam suatu kecamatan dapat melakukan mobilisasi ke kecamatan-kecamatan lain, lebih dari jangkauan kecamatan yang bersinggungan. Selanjutnya, apabila dilihat dari nilai indeks Geary s C data kejadian DBD di Kota Surabaya tahun 2006, dapat diketahui bahwa bulan Januari, Maret, Mei, Nopember, dan Desember mengindikaskan pola yang mengelompok. Sementara bulan Februari, April, Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober mengindikasikan suatu pola yang menyebar. Hasil perhitungan nilai indeks Geary s C lebih lengkap disajikan pada Tabel 3. Indeks Geary s C periode 2007 memberikan informasi bahwa bulan Februari, Maret, April, Mei, Agustus, September, Oktober, dan Desember mengindikasikan pola sebaran DBD mengelompok. Sedangkan bulan Januari, Juni, Juli, dan Nopember mengindikasikan pola sebaran kejadian DBD yang menyebar. Indeks Geary s C periode 2008 memberikan informasi bahwa bulan Januari, April, Mei, dan Oktober mengindikasikan pola sebaran DBD yang mengelompok. Sedangkan bulan Februari, Maret, Juni, Juli, Agustus, September, Nopember, dan Desember mengindikasikan pola sebaran kejadian DBD yang menyebar. Sementara indeks Geary s C periode 2009 memberikan informasi bahwa bulan Januari, Maret, Mei, Juni, September, dan Oktober mengindikasikan pola sebaran kejadian DBD yang mengelompok. Sedangkan bulan Februari, April, Juli, Agustus, Nopember, dan Desember mengindikasikan pola sebaran kejadian DBD yang menyebar. Tabel 3 Hasil perhitungan indeks Geary s (C), Var(C), dan Z hitung tahun 2006 Bulan/ Statistik C Var (C) Z Januari Februari Maret April Mei Juni a Juli a Agustus a September Oktober Nopember Desember Berdasarkan pengujian terhadap adanya autokorelasi spasial dengan menggunakan indeks Geary s C (Tabel 3), menunjukkan bahwa bulan Juni, Juli dan Agustus memiliki autokorelasi spasial positif. Ada tahun 2007, terdapat bulan yang memiliki hubungan spasial yaitu bulan Juni, Juli, dan Oktober. Bulan Juni dan Juli memiliki autokorelasi spasial positif sedangkan bulan Oktober memiliki autokorelasi spasial negatif. Pada tahun 2008, bulan yang memiliki hubungan spasial adalah bulan Januari, Maret, Mei, Juli, dan Oktober. Sementara pada 11

12 tahun 2009, bulan yang memiliki hubungan spasial adalah bulan Juni, September, Oktober, dan Desember. Bulan Juni, September, dan Oktober meniliki autokorelasi spasial negatif dan bulan Nopember memiliki autokorelasi spasial positif. Apabila dibandingkan antara hasil yang dikeluarkan Moran s I dan geary s C, menunjukkan hasil yang hampir sama. Akan tetapi, tidak semua hasil dari Moran s I dan Geary s C menghasilkan kesimpulan yang konsisten (Lee &Wong, 2001). Dapat dilihat bahwa indeks Moran s lebih sensitif dibandingkan dengan indeks Geary s C. Pada data yang sama (angka DBD bulan Maret tahun 2007), Moran s I sudah dapat signifikan pada tingkat kepercayaan 10%, sedangkan Geary s C masih belum signifikan pada tingkat kepercayaan tersebut. Walaupun beberapa bulan mengindikasikan adanya auto korelasi spasial pada Kota Surabaya, analisis selanjutnya menggunakan data bulan Maret Jumlah kejadian pada bulan Maret 2006 merupakan jumlah kejadian paling tinggi jika dibandingkan dengan jumlah kejadian pada bulan-bulan yang lain pada 4 tahun terakhir. Selain itu, angka indeks Moran s I yang tinggi juga merupakan alasan menggunakan data kejadian DBD pada bulan Maret Pada bulan Maret 2006 terjadi cuaca ekstrim yang menyebabkan suhu di Kota Surabaya naik. Hal tersebut menyebabkan tingginya angka DBD di Kota Surabaya. Berdasarkan hasil Moran s scatterplot pada bulan Maret 2006, diperoleh informasi bahwa sebagian besar angka kejadian penyakit DBD tiap kecamatan di Kota Surabaya pada bulan Januari 2006 menyebar di kuadran 1 (HH) dan 2 (LH). Pencaran titik-titik amatan pada Gambar 6 merupakan kecamatan yang menyebar berdasarkan pengaruhnya terhadap kecamatan yang bersebelahan. Sumbu X (horisontal) pada Gambar 4.3 merupakan nilai pengamatan suatu kecamatan yang telah distandarisasi dan sumbu Y (vertikal) merupakan jumlah kejadian DBD kecamatan tetangga yang telah distandarisasi. Maret WZstd Zstd 2 3 Gambar 6 Moran s scatterplot penderita DBD pada bulan Maret Terdapat 10 kecamatan menyebar pada kuadran HH dan LH, 9 kecamatan menyebar pada kuadran LL, serta 2 kecamatan menyebar pada kuadran HL. Titik pencar pada Kuadran 1 (HH) pada Gambar 6 di atas menunjukkan kecamatan yang angka DBD-nya tinggi berada di antara kecamatan-kecamatan yang angka DBD-nya tinggi. Kuadran 2 (LH) menunjukkan kecamatan dengan kejadian DBD-nya rendah berada di antara kecamatan-kecamatan yang angka DBD-nya tinggi. Kuadran 3 (LL) menunjukkan kecamatan dengan kejadian DBD-nya rendah berada di antara kecamatan-kecamatan yang angka DBD-nya rendah. Sementara kuadran 4 (HL) menunjukkan kecamatan yang kejadian DBD-nya tinggi berada di antara kecamatan-kecamatan yang angka DBDnya rendah. Kuadran HH dan LL mengindikansikan kesamaan karakteristik antar keca-matan (pola mengelompok) dan kuadran LH dan HL meng-indikasikan keragaman karakteristik antar kecamatan. 12

13 Pengujian LISA memberikan hasil yang beragam. Kecamatan Karang pilang, T.Mejoyo, Wonocolo, Lakarsantri, Wiyung, Gubeng, Sukomanunggal, Mulyorejo, Tegalsari, Tandes, Sambikerep, Genteng, Simokerto, Bulak, dan Pabean Cantikan merupakan beberapa kecamatan yang memiliki hubungan spasial dengan kecamatan-kecamatan lain yang berdekatan. Hasil perhitungan nilai I i dan p-value periode 2006 selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai dan p-value LISA pada bulan Maret tahun 2006 Kecamatan Ii p-value Kecamatan Ii p-value Gayungan Tegalsari a Karang Pilang b Tandes a Gunung Anyar Sambikerep a Jambangan Genteng a T. Mejoyo b Tambaksari Wonocolo c Bubutan Rungkut Simokerto a Lakarsantri a Bulak a Wiyung a Pabean Cantikan a Wonokromo Krembangan Sukolilo Asemrowo Dukuh Pakis Pakal a Gubeng a Semampir Sawahan Kenjeran a Sukomanunggal b Benowo a Mulyorejo a a signifikan pada α=5%, b signifikan pada α=10%, c signifikan pada α=15%, d signifikan pada α=20% Hasil Moran scatterplot dan LISA memberikan informasi bahwa kecamatan yang memiliki autokorelasi positif adalah Kecamatan Tegalsari, Genteng, Gubeng, Sukomanunggal, Tan-des, Karang pilang, Wiyung, Lakarsantri, dan Sambikerep. Sementara yang memiliki autokorelasi negatif adalah Kecamatan T.Mejoyo, Wonocolo, Simokerto, Pabean Cantikan, Bulak, dan Mulyorejo. Peta Kerawanan pada Gambar 7 menunjukkan bahwa Kecamatan Genteng, Tegalsari, dan Gubeng membentuk suatu pengelompok-kan dengan jumlah kejadian DBD yang tinggi dan merupakan wilayah-wilayah yang rawan terhadap penyebaran penyakit DBD. Sedangkan Kecamatan Wonocolo, T. Mejoyo, Pabean Cantikan, Simokerto, Bulak, dan Mulyorejo tidak membentuk pengelompok-kan. Namun, posisi kecamatan-kecamatan ini yang berada di sekitar Kecamatan-kecamatan dengan jumlah kejadian DBD yang tinggi menyebabkan kecamatankecamatan ini memiliki kemungkinan terkena dampak kejadian DBD. Sehingga kecamatankecamatan ini termasuk dalam kategori sedang terhadap penyebaran penyakit DBD di Kota Surabaya. Ilustrasi peta kerawanan selengkapnya disajikan pada Gambar 7. 13

14 Keterangan: Rawan Sedang Aman Gambar 7 Peta Kerawanan bencana DBD di Kota Surabaya 5 Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan Hasil analisis data menunjukkan bahwa kejadian DBD di Kota Surabaya sebagian besar terjadi pada musim hujan (Januari-Juni). Kejadian DBD yang tinggi terdapat di wilayah Surabaya utara, pusat sampai timur. Kejadian DBD tertinggi di Kota Surabaya selama 4 tahun terakhir terjadi pada bulan Maret Terdapat beberapa bulan yang mengindikasikan kejadian DBD Kota Surabaya memiliki hubungan spasial, yaitu bulan Januari, Maret, Juni, Oktober, dan Desember. Beberapa kecamatan yang termasuk ke dalam kategori rawan penyebaran kejadian DBD adalah Kecamatan Genteng, Tegalsari, dan Gubeng. Sementara kecamatan yang masuk dalam kategori sedang adalah Kecamatan Pabean Cantikan, Simokerto, Bulak, Mulyorejo, Wonocolo, dan T. Mejoyo. 5.2 Saran Mobilisasi masyarakat Surabaya yang tinggi menyebab-kan kurang sesuainya penggunaan matriks bobot persinggungan (continguity). Oleh karena itu, penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan pembobot jarak dalam pengidentifikasian pola penyebaran DBD di Kota Surabaya. 6 Daftar Pustaka [BPS] Badan Pusat Statistik. (2010). Hasil Sensus Penduduk 2010 Kota Surabaya Agregat Kecamatan, Surabaya,2009.[online] enukiri=56&idselected=1&idinfo=14&page=[27september 2010] Bivand,Roger S, Pebesma,Edzer J, dan Gomez-Rubio, Virgilio.(2008). Applied Spatial Data Analysis with R. USA: Springer Sciece+Business Media, LLC. 14

15 Curtis J A, Lee A W.(2010).Spatial Pattern of diabetes related health problems for vulneral populations in Los Angeles,USA Gumanti, D N.(2010). Penerapan metode GSTAR dengan pendekatan Spatio-Temporal untuk memodelkan kejadian demam berdarah, [Tugas Akhir], Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),Surabaya Hidayati R Model Peringatan Dini Penyakit Demam Berdarah dengan Informasi Unsur Iklim.[Desertasi] Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Kartika Yoli Pola Penyebaran Spasial Demam Berdarah Dengue di Kota Bogor tahun 2005.[Tugas Akhir] Institut Pertanian Bogor Lee Jay &Wong S W David.(2000). Statistical Analysis with Arcview GIS. John Willey & Sons, INC: United Stated of America Paradis, Emanuel.(2010). Moran's Autocorrelation, [22 September, 2010] Sasmito, Gunawan H, Widiatmoko H.(2006). Informasi Meteorologi Untuk Peringatan Dini Bahaya Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah DKI Jakarta. Laporan Proyek Pengembangan Meteorologi dan Geofisika Tahun BMKG Jakarta. Siregar,A F. (2004). Epidemology dan pemberantasan demam berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Digitized by USU digitallibrary, / /3673/1/fkm-fazidah3.pdf [22 September 2010] Tariq, Erum Introduction of Point Pattern Analysis. South Dakota:School of Mines and Technology. Tottrup C, Tersbol P. B, Lindeboom W, dan Meyrowitsch D Putting child mortality on map: towards an understanding of inequity in health, Vol 14 no 6 PP Winarno, deddy.2009.analisis Angka Kematian Bayi di Jawa Timur dengan Pendekatan Model Regresi Spasial [skripsi], Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),Surabaya 15

Arrowiyah Pembimbing: Dr. Sutikno S.Si M.Si. Seminar Tugas Akhir SS091324

Arrowiyah Pembimbing: Dr. Sutikno S.Si M.Si. Seminar Tugas Akhir SS091324 Arrowiyah 1307 100 070 Pembimbing: Dr. Sutikno S.Si M.Si Seminar Tugas Akhir SS091324 1 Pendahuluan Tinjauan Pustaka Metodologi Penelitian Analisis dan Pembahasan Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka Seminar

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan membahas tentang deskripsi karakteristik penyebaran kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Sleman. Gambaran tentang persebaran penyakit

Lebih terperinci

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 Tabel DE-1. Luas Wilayah, Jumlah, Pertumbuhan dan menurut Kecamatan No. KECAMATAN Luas (Km2) Jumlah Tahun 2012 Pertumbuhan 2012 2012 1 SUKOMANUNGGAL 9.23 104,564 6.42 11,329 2 TANDES 11.07 97,124 3.36

Lebih terperinci

BAD V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Pengelompokkan Kecamatan berdasarkan nilai skor faktor dinilai cukup

BAD V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Pengelompokkan Kecamatan berdasarkan nilai skor faktor dinilai cukup BAD V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan basil analisa data dan pembahasan, serta melihat tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Analisis Pola Spasial Menurut Lee dan Wong (2001), pola spasial atau spatial pattern adalah sesuatu yang menunjukkan penempatan atau susunan benda-benda di permukaan bumi. Setiap

Lebih terperinci

Pemodelan Kasus Tindak Pidana di Kota Surabaya dengan Pendekatan Regresi Spasial

Pemodelan Kasus Tindak Pidana di Kota Surabaya dengan Pendekatan Regresi Spasial JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 2, No.2, (2013) 2337-3520 (2301-928X Print) D-135 Pemodelan Kasus Tindak Pidana di Kota Surabaya dengan Pendekatan Regresi Spasial Defi Mustika Sari, Dwi Endah Kusrini,

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KOTA SURABAYA DI PROVINSI

Lebih terperinci

PEMODELAN KASUS TINDAK PIDANA DI KOTA SURABAYA DENGAN PENDEKATAN REGRESI SPASIAL 1 Defi Mustika Sari, 2 Dwi Endah Kusrini dan 3 Suhartono

PEMODELAN KASUS TINDAK PIDANA DI KOTA SURABAYA DENGAN PENDEKATAN REGRESI SPASIAL 1 Defi Mustika Sari, 2 Dwi Endah Kusrini dan 3 Suhartono 1 PEMODELAN KASUS TINDAK PIDANA DI KOTA SURABAYA DENGAN PENDEKATAN REGRESI SPASIAL 1 Defi Mustika Sari, 2 Dwi Endah Kusrini dan 3 Suhartono Jurusan Statistika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 Tabel DS-1. Penduduk Laki-laki Berusia 5-24 Tahun Menurut Golongan Umur dan Status No. Umur Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Diploma Universitas 1 5-6 - 67,293-2 7-12 - 146,464-3 13-15 - - 70,214 4 16-18 70,170

Lebih terperinci

,076,137, ,977,912,386 1,416,054,050,351 1,010,861,076, ,424,923,013 1,526,285,999, ,231,948,775 7.

,076,137, ,977,912,386 1,416,054,050,351 1,010,861,076, ,424,923,013 1,526,285,999, ,231,948,775 7. vi PEMERINTAH KOTA SURABAYA RINGKASAN ANGGARAN DAN MENURUT DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2013 LAMPIRAN II NOMOR TANGGAL : PERATURAN : 8 : 28 Oktober 2013 TIDAK LANGSUNG LANGSUNG JUMLAH TIDAK LANGSUNG LANGSUNG

Lebih terperinci

Persentase guru SD adalah perbandingan antara jumlah

Persentase guru SD adalah perbandingan antara jumlah Kenyataan saat ini masyarakat sudah mempunyai kepedulian yang cukup tinggi terhadap upaya peningkatan sumber daya manusia. Variabel-variabel pendidikan yang digunakan antara lain : 1. Persentase guru Taman

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 90 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS BINA PENGELOLAAN SEKOLAH PADA DINAS

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM INDUSTRI KOTA SURABAYA DAN TINJAUAN KEPUSTAKAAN PENCEMARAN ATMOSFER

GAMBARAN UMUM INDUSTRI KOTA SURABAYA DAN TINJAUAN KEPUSTAKAAN PENCEMARAN ATMOSFER BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1-1 1.2. Maksud, Tujuan, Dan Sasaran... 1-1 1.3. Lokasi Pekerjaan... 1-2 1.4. Lingkup Pekerjaan... 1-2 1.5. Peraturan Perundangan... 1-2 1.6. Sistematika Pembahasan...

Lebih terperinci

TENTANG WALIKOTA SURABAYA,

TENTANG WALIKOTA SURABAYA, SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 73 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PEMADAM KEBAKARAN SURABAYA I, SURABAYA II, SURABAYA III, SURABAYA IV DAN SURABAYA

Lebih terperinci

TENTANG ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS BINA PENGELOLAAN SEKOLAH PADA DINAS PENDIDIKAN KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

TENTANG ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS BINA PENGELOLAAN SEKOLAH PADA DINAS PENDIDIKAN KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS BINA PENGELOLAAN SEKOLAH PADA DINAS PENDIDIKAN KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Oleh : Fanial Farida Dosen Pembimbing : Santi Wulan Purnami, M.Si. Ph.D

Oleh : Fanial Farida Dosen Pembimbing : Santi Wulan Purnami, M.Si. Ph.D Analisis Korespondensi Pengguna Jenis Alat Kontrasepsi Peserta KB Aktif dan KB Baru Terhadap Kecamatan di Kota Surabaya Oleh : Fanial Farida 1311030064 Dosen Pembimbing : Santi Wulan Purnami, M.Si. Ph.D

Lebih terperinci

KEPUTUSAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR : /104/ /2014 TENTANG

KEPUTUSAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR : /104/ /2014 TENTANG SALINAN KEPUTUSAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR : 188.45/104/436.1.2/2014 TENTANG SATUAN PELAKSANA PENANGGULANGAN BENCANA (SATLAK PB) DAN SATUAN TUGAS SATUAN PELAKSANA PENANGGULANGAN BENCANA (SATGAS SATLAK PB)

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA SALINAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI KECAMATAN KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, WALIKOTA SURABAYA SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 32 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PEMADAM KEBAKARAN SURABAYA I, SURABAYA II, SURABAYA III, SURABAYA IV DAN SURABAYA

Lebih terperinci

POLA SPATIAL PERSEBARAN PUSAT PERBELANJAAN MODERN DI SURABAYA BERDASARKAN PROBABILITAS KUNJUNGAN

POLA SPATIAL PERSEBARAN PUSAT PERBELANJAAN MODERN DI SURABAYA BERDASARKAN PROBABILITAS KUNJUNGAN POLA SPATIAL PERSEBARAN PUSAT PERBELANJAAN MODERN DI SURABAYA BERDASARKAN PROBABILITAS KUNJUNGAN Achmad Miftahur Rozak 3609 100 052 Pembimbing Putu Gde Ariastita ST. MT Program Studi Perencanaan Wilayah

Lebih terperinci

2009/ / /2012 (1) (2) (3) (4) 01. Sekolah/ Schools. 02. Kelas/ Classes

2009/ / /2012 (1) (2) (3) (4) 01. Sekolah/ Schools. 02. Kelas/ Classes Tabel : 04.01.16 4. SOSIAL BUDAYA / CULTURE SOCIAL Banyaknya Sekolah, Kelas, Murid, Ruang Belajar dan Guru pada Madrasah Tsanawiyah*) Number of School, Classes, Pupils, Classrooms and Teachers on Madrasah

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 94 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS BADAN PELAYANAN PAJAK DAERAH PADA BADAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

Ruang Jenis & Status/ Sekolah/ Belajar/ Kelas/ Guru/ Murid/ Levels and Status Schools Classrooms Class Teachers Pupils (1) (2) (3) (4) (5) (6)

Ruang Jenis & Status/ Sekolah/ Belajar/ Kelas/ Guru/ Murid/ Levels and Status Schools Classrooms Class Teachers Pupils (1) (2) (3) (4) (5) (6) Tabel : 04.01.01 4. SOSIAL BUDAYA / CULTURE SOCIAL Banyaknya Sekolah, Ruang Belajar, Kelas, Guru dan Murid menurut Jenis dan Status Sekolah Number of Schools, Classrooms, Classes, Teachers and Pupils by

Lebih terperinci

Identifikasi Panjang Perjalanan Siswa Sekolah Dasar di Kota Surabaya

Identifikasi Panjang Perjalanan Siswa Sekolah Dasar di Kota Surabaya E47 Identifikasi Panjang Siswa Sekolah Dasar di Kota Surabaya Ayu Tarviana Dewi, Ketut Dewi Martha Erli Handayeni Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi

Lebih terperinci

Ruang Jenis & Status/ Sekolah/ Belajar/ Kelas/ Guru/ Murid/ Levels and Status Schools Classrooms Class Teachers Pupils (1) (2) (3) (4) (5) (6)

Ruang Jenis & Status/ Sekolah/ Belajar/ Kelas/ Guru/ Murid/ Levels and Status Schools Classrooms Class Teachers Pupils (1) (2) (3) (4) (5) (6) Tabel : 04.01.01 4. SOSIAL BUDAYA / CULTURE SOCIAL Banyaknya Sekolah, Ruang Belajar, Kelas, Guru dan Murid menurut Jenis dan Status Sekolah Number of Schools, Classrooms, Classes, Teachers and Pupils by

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 91 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Kota Surabaya adalah ibukota Provinsi Jawa Timur dan merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Kota Surabaya mempunyai kedudukan

Lebih terperinci

1 Novita Dya Gumanti, 2 Sutikno, 3 Setiawan

1 Novita Dya Gumanti, 2 Sutikno, 3 Setiawan PENERAPAN METODE GSTAR DENGAN PENDEKATAN SPATIO-TEMPORAL UNTUK MEMODELKAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH (STUDI KASUS: JUMLAH PENDERITA DEMAM BERDARAH DI KOTA SURABAYA) Novita Dya Gumanti, Sutikno, Setiawan Mahasiswa

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERUTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI KOTA SURABAYA WALIKOTA

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 23 TAHUN 2005 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 23 TAHUN 2005 TENTANG SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 23 TAHUN 2005 TENTANG PENGGANTIAN PEMBAYARAN REKENING TELEPON BAGI UNIT SATUAN KERJA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan Penelitian tentang Motif Pemirsa Surabaya dalam Menonton Serial Komedi OK-JEK di NET TV, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa motif yang mendorong sebagian

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PELAYANAN PAJAK DAERAH PADA DINAS PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN KOTA SURABAYA

Lebih terperinci

PENGARUH PERKEMBANGAN PERMUKIMAN TERHADAP EMISI CO 2 DI KOTA SURABAYA

PENGARUH PERKEMBANGAN PERMUKIMAN TERHADAP EMISI CO 2 DI KOTA SURABAYA PENGARUH PERKEMBANGAN PERMUKIMAN TERHADAP EMISI CO 2 DI KOTA SURABAYA Oleh: Ummi Fadlilah Kurniawati 3608100027 Dosen Pembimbing: Rulli Pratiwi Setiawan,S.T.,M.Sc. BAB I PENDAHULUAN Latar belakang Surabaya

Lebih terperinci

SIDANG TUGAS AKHIR. Oleh : Herry Purnama Sandy ( )

SIDANG TUGAS AKHIR. Oleh : Herry Purnama Sandy ( ) SIDANG TUGAS AKHIR Oleh : Herry Purnama Sandy (2507 100 110) Dosen Pembimbing 1 : Dr. Maria Anityasari, ST.,ME. Dosen Pembimbing 2 : Dr. Ir. Sri Gunani Partiwi, MT. Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 71 TAHUN 2006

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 71 TAHUN 2006 1 WALIKOTA SURABAYA SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG PENGGANTIAN PEMBAYARAN REKENING TELEPON BAGI UNIT SATUAN KERJA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

Lebih terperinci

PEMODELAN KASUS TINDAK PIDANA DI KOTA SURABAYA DENGAN PENDEKATAN MODEL SPASIAL

PEMODELAN KASUS TINDAK PIDANA DI KOTA SURABAYA DENGAN PENDEKATAN MODEL SPASIAL SEMINAR TUGAS AKHIR 28 Juni 2013 PEMODELAN KASUS TINDAK PIDANA DI KOTA SURABAYA DENGAN PENDEKATAN MODEL SPASIAL Defi Mustika Sari (1309100078) Pembimbing Co-pembimbing : Dwi Endah Kusrini, S. Si., M. Si.

Lebih terperinci

Banyaknya Industri dan Pekerja menurut Sub Sektor Number of Industries and Workers by Sub Sectors

Banyaknya Industri dan Pekerja menurut Sub Sektor Number of Industries and Workers by Sub Sectors Tabel : 06.01.01 Banyaknya Industri dan Pekerja menurut Sub Sektor Number of and Workers by Sub Sectors 2005-2011 Industri Kimia Agro Industri Logam Mesin dan Hasil Hutan/ Elektronika dan Aneka/ Tahun/

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN KEPUTUSAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 188.45/130/436.2/2016 TENTANG TIM PENYUSUN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PERANGKAT DAERAH KOTA SURABAYA TAHUN 2016-2021 WALIKOTA

Lebih terperinci

1,526 1, ,024 Sumber : Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Kota Surabaya Source : Scout Associations, Branch of Surabaya City

1,526 1, ,024 Sumber : Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Kota Surabaya Source : Scout Associations, Branch of Surabaya City Tabel : 04.01.31 Banyaknya Gugus Depan dan Anggota Pramuka per Kecamatan Number of Local Scout Organization and Scout Members by Sub District 2011 Gugus Kecamatan/ Depan/ Sumber - Didik/Source of Trainer

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 45 TAHUN 2010 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 45 TAHUN 2010 TENTANG 1 SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 45 TAHUN 2010 TENTANG PENGGANTIAN PEMBAYARAN REKENING TELEPON BAGI UNIT KERJA/SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA

Lebih terperinci

Jenis Industri/Type of Industries Sub-District

Jenis Industri/Type of Industries Sub-District Tabel : 06.01.09 Banyaknya Industri Besar dan Sedang menurut Golongan Industri per Kecamatan Number of Large and Medium Scale Industries by Industrial Categories by Sub District 2011 Sub-District 10 12

Lebih terperinci

Banyaknya Gugus Depan dan Anggota Pramuka per Kecamatan Number of Local Scout Organization and Scout Members by Sub District ###

Banyaknya Gugus Depan dan Anggota Pramuka per Kecamatan Number of Local Scout Organization and Scout Members by Sub District ### Tabel : 04.01.31 Banyaknya Gugus Depan dan Anggota Pramuka per Kecamatan Number of Local Scout Organization and Scout Members by Sub District ### Gugus Kecamatan/ Depan/ Sumber - Didik/Source of Trainer

Lebih terperinci

Pemodelan Regresi Nonparametrik Spline Truncated Dan Aplikasinya pada Angka Kelahiran Kasar di Surabaya

Pemodelan Regresi Nonparametrik Spline Truncated Dan Aplikasinya pada Angka Kelahiran Kasar di Surabaya JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol., No., (04) 7-0 (0-98X Print) D-7 Pemodelan Regresi Nonparametrik Spline Truncated Dan Aplikasinya pada Angka Kelahiran Kasar di Surabaya Merly Fatriana Bintariningrum

Lebih terperinci

TENTANG ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PEMUNGUTAN PAJAK PADA DINAS PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

TENTANG ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PEMUNGUTAN PAJAK PADA DINAS PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 82 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PEMUNGUTAN PAJAK PADA DINAS PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN KOTA SURABAYA WALIKOTA

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

REKAPITULASI REALISASI ANGGARAN BELANJA DAERAH MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI, PROGRAM DAN KEGIATAN

REKAPITULASI REALISASI ANGGARAN BELANJA DAERAH MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI, PROGRAM DAN KEGIATAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA REKAPITULASI REALISASI ANGGARAN BELANJA DAERAH MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI, PROGRAM DAN KEGIATAN TAHUN ANGGARAN 0 Anggaran 6 = ++ 0 = ++ = 0-6 URUSAN WAJIB 0

Lebih terperinci

Tabel : Banyaknya Industri dan Pekerja menurut Sub Sektor Number of Industries and Workers by Sub Sectors (1) (2) (3)

Tabel : Banyaknya Industri dan Pekerja menurut Sub Sektor Number of Industries and Workers by Sub Sectors (1) (2) (3) Tabel : 06.01.01Banyaknya Industri dan Pekerja menurut Sub Sektor Number of and Workers by Sub Sectors 2004-2010 Tahun/ Year Industri Kimia Agro Industri Logam Mesin dan Hasil Hutan/ Elektronika dan Aneka

Lebih terperinci

STUDI DEMAND AND SUPPLY BUS SEKOLAH RUTE DUKUH MENANGGAL - SMA KOMPLEKS SURABAYA

STUDI DEMAND AND SUPPLY BUS SEKOLAH RUTE DUKUH MENANGGAL - SMA KOMPLEKS SURABAYA Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan III 2015 STUDI DEMAND AND SUPPLY BUS SEKOLAH RUTE DUKUH MENANGGAL - SMA KOMPLEKS SURABAYA Ratih Sekartadji 1, Hera Widyastuti 2, Wahju Herijanto 3 Jurusan Teknik

Lebih terperinci

Kenaikan jumlah lansia: 1990 ke tahun 2000 = 34,5% 2000 ke tahun 2010 = 32,8%

Kenaikan jumlah lansia: 1990 ke tahun 2000 = 34,5% 2000 ke tahun 2010 = 32,8% Kota yang baik adalah kota yang dapat mengakomodir kebutuhan penghuninya termasuk kebutuhan masyarakat lansia, dalam hal taman bagi lansia. Taman lansia sangat diperlukan dalam sebuah perkotaan karena

Lebih terperinci

PEMETAAN KOTA SURABAYA BERDASARKAN INDIKATOR DERAJAT KESEHATAN. ANISA BETA CHANDRA R Pembimbing : Dr. Vita Ratnasari, S.Si, M.

PEMETAAN KOTA SURABAYA BERDASARKAN INDIKATOR DERAJAT KESEHATAN. ANISA BETA CHANDRA R Pembimbing : Dr. Vita Ratnasari, S.Si, M. PEMETAAN KOTA SURABAYA BERDASARKAN INDIKATOR DERAJAT KESEHATAN ANISA BETA CHANDRA R 1311 030 030 Pembimbing : Dr. Vita Ratnasari, S.Si, M.Si AGENDA BAB I PENDAHULUAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB V

Lebih terperinci

Pemodelan Jumlah Kasus Hiv dan Aids di Kota Surabaya Menggunakan Bivariate Generalized Poisson Regression

Pemodelan Jumlah Kasus Hiv dan Aids di Kota Surabaya Menggunakan Bivariate Generalized Poisson Regression JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 6, No., (7) ISSN: 337-3 (3-98X Print) D-98 Pemodelan Jumlah Kasus Hiv dan Aids di Kota Surabaya Menggunakan Bivariate Generalized Poisson Regression Suprianto Simanuntak,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Keterangan Tinggal Sementara dengan menggunakan model End User Computing. 1. Identifikasi permasalahan, tujuan dan manfaat

BAB III METODE PENELITIAN. Keterangan Tinggal Sementara dengan menggunakan model End User Computing. 1. Identifikasi permasalahan, tujuan dan manfaat BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah sekumpulan peraturan, kegiatan, dan prosedur yang digunakan untuk melakukan penelitian sehingga mampu menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian dengan

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA PEMERINTAH KOTA SURABAYA RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

Lebih terperinci

ANALISIS PEMETAAN DAERAH RAWAN PETIR DENGAN MENGGUNAKAN METODE SIMPLE ADDITIVE WEIGHTING (SAW) DI WILAYAH SURABAYA

ANALISIS PEMETAAN DAERAH RAWAN PETIR DENGAN MENGGUNAKAN METODE SIMPLE ADDITIVE WEIGHTING (SAW) DI WILAYAH SURABAYA Jurnal Inovasi Fisika Indonesia (IFI) Volume 06 Nomor 03 Tahun 2017, hal 25-32 ANALISIS PEMETAAN DAERAH RAWAN PETIR DENGAN MENGGUNAKAN METODE SIMPLE ADDITIVE WEIGHTING (SAW) DI WILAYAH SURABAYA Umaya,

Lebih terperinci

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kota Surabaya Tahun 2013 sebanyak rumah tangga

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kota Surabaya Tahun 2013 sebanyak rumah tangga .3578 Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kota Surabaya Tahun 2013 sebanyak 8.002 rumah tangga Jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum di Kota Surabaya Tahun 2013 sebanyak 6 Perusahaan Jumlah perusahaan

Lebih terperinci

Pola Distribusi Hujan Kota Surabaya

Pola Distribusi Hujan Kota Surabaya Volume 14, Nomor 1, Pebruari 16 Pola Distribusi Hujan Kota Surabaya S. Kamilia Aziz, Ismail Sa ud Program Studi Diploma Teknik Sipil FTSP ITS Email: kamiliaharis@gmail.com Abstract Surabaya city experienced

Lebih terperinci

TENTANG PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

TENTANG PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang :

Lebih terperinci

KECAMATAN KELURAHAN JUMLAH SEMAMPIR WONOKUSUMO 7,664 TAMBAK SARI KAPASMADYA BARU. REKAPITULASI BELUM REKAM ektp PERKELURAHAN

KECAMATAN KELURAHAN JUMLAH SEMAMPIR WONOKUSUMO 7,664 TAMBAK SARI KAPASMADYA BARU. REKAPITULASI BELUM REKAM ektp PERKELURAHAN NO KECAMATAN KELURAHAN JUMLAH 1 SEMAMPIR WONOKUSUMO 7,664 2 TAMBAK SARI KAPASMADYA BARU 1 / 60 6,661 3 KENJERAN SIDOTOPO WETAN 5,683 4 TAMBAK SARI PLOSO 5,205 5 GUBENG 2 / 60 MOJO 5,195 6 SUKOMANUNGGAL

Lebih terperinci

8, ,403 Sumber : Kantor BAPEMAS dan KB Kota Surabaya Source : National Family Planning Coordinating Board Office of Surabaya City

8, ,403 Sumber : Kantor BAPEMAS dan KB Kota Surabaya Source : National Family Planning Coordinating Board Office of Surabaya City Tabel : 03.03.01 Banyaknya Paguyuban dan Petugas Keluarga Berencana per Kecamatan Number of Family Planning Association and Workers per Sub District Paguyuban KB Pengawas PLKB/ PLKB/KK Kecamatan/ Family

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR KEPUTUSAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR : 1845/184/432/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 1845/48/432/2017 TENTANG TIM PUSAT PELAYANAN

Lebih terperinci

Pemetaan Wilayah Berdasarkan Tindak Kriminalitas Dengan Pendekatan Analisis Korespondensi di Kota Surabaya

Pemetaan Wilayah Berdasarkan Tindak Kriminalitas Dengan Pendekatan Analisis Korespondensi di Kota Surabaya Pemetaan Wilayah Berdasarkan Tindak Kriminalitas Dengan Pendekatan Analisis Korespondensi di Kota Surabaya Oleh Putri Ayu Sekar Karimah : (1313 030 004) Dosen Pembimbing : Dr. Dra. Ismaini Zain, M.Si Dosen

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL SPASIAL DURBIN PADA ANGKA PARTISIPASI MURNI JENJANG SMA SEDERAJAT DI PROVINSI JAWA TENGAH

PENERAPAN MODEL SPASIAL DURBIN PADA ANGKA PARTISIPASI MURNI JENJANG SMA SEDERAJAT DI PROVINSI JAWA TENGAH PENERAPAN MODEL SPASIAL DURBIN PADA ANGKA PARTISIPASI MURNI JENJANG SMA SEDERAJAT DI PROVINSI JAWA TENGAH Erliyana Devitasari, Sri Sulistijowati Handayani, dan Respatiwulan Program Studi Matematika FMIPA

Lebih terperinci

PERAN DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN DALAM PENGELOLAAN KEBERSIHAN DI PEMERINTAH KOTA SURABAYA (Studi Kasus Di Kecamatan Tambaksari Surabaya)

PERAN DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN DALAM PENGELOLAAN KEBERSIHAN DI PEMERINTAH KOTA SURABAYA (Studi Kasus Di Kecamatan Tambaksari Surabaya) PERAN DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN DALAM PENGELOLAAN KEBERSIHAN DI PEMERINTAH KOTA SURABAYA (Studi Kasus Di Kecamatan Tambaksari Surabaya) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagai syarat memperoleh Gelar

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 68 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 52 TAHUN 2011 TENTANG PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN

Lebih terperinci

S 8 Analisis Spasial Kasus Demam Berdarah di Sukoharjo Jawa Tengah dengan Menggunakan Indeks Moran

S 8 Analisis Spasial Kasus Demam Berdarah di Sukoharjo Jawa Tengah dengan Menggunakan Indeks Moran S 8 Analisis Spasial Kasus Demam Berdarah di Sukoharjo Jawa Tengah dengan Menggunakan Indeks Moran Rheni Puspitasari, Irwan Susanto Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

Analisis Pengelompokan Kecamatan Di Surabaya Berdasarkan Indikator Pelayanan Kesehatan

Analisis Pengelompokan Kecamatan Di Surabaya Berdasarkan Indikator Pelayanan Kesehatan Analisis Pengelompokan Kecamatan Di Surabaya Berdasarkan Indikator Pelayanan Kesehatan Roudlotul Jannah (), Madu Ratna (), Vita Ratnasari (3) (,,3) Jurusan Statistika, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

KONSEP COMPACT CITY SEBAGAI SALAH SATU KONSEP INOVATIF PERENCANAAN TATA RUANG DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PEMBANGUNAN KOTA DI SURABAYA

KONSEP COMPACT CITY SEBAGAI SALAH SATU KONSEP INOVATIF PERENCANAAN TATA RUANG DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PEMBANGUNAN KOTA DI SURABAYA KONSEP COMPACT CITY SEBAGAI SALAH SATU KONSEP INOVATIF PERENCANAAN TATA RUANG DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PEMBANGUNAN KOTA DI SURABAYA Ardy Maulidy Navastara 1*, Muhd. Zia Mahriyar 2, Cihe Aprilia

Lebih terperinci

TENTANG TIM PUSAT PELAYANAN TERPADU PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

TENTANG TIM PUSAT PELAYANAN TERPADU PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN KEPUTUSAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 188.45/262 /436.1.2/2014 TENTANG TIM PUSAT PELAYANAN TERPADU PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN A. DESKRIPSI SUBYEK DAN LOKASI PENELITIAN

BAB III HASIL PENELITIAN A. DESKRIPSI SUBYEK DAN LOKASI PENELITIAN BAB III HASIL PENELITIAN A. DESKRIPSI SUBYEK DAN LOKASI PENELITIAN 1. Deskripsi Subyek Penelitian Dalam penelitian ini, yang akan menjadi sampel penelitian adalah seorang remaja yang berdomisili di lima

Lebih terperinci

Rendra Suprobo aji

Rendra Suprobo aji Rendra Suprobo aji 3605100009 Kota Surabaya merupakan kota Metropolis dengan jumlah penduduk 2.830.466 jiwa serta memiliki luas wilayah sebesar 32.637,75 Ha (BPS-Surabaya Dalam Angka, 2008) Pertumbuhan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: DBD, Efek Spasial, Spatial Autoregressive (SAR).

ABSTRAK. Kata kunci: DBD, Efek Spasial, Spatial Autoregressive (SAR). Judul Nama Pembimbing : Pemodelan Penyebaran Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Denpasar dengan Metode Spatial Autoregressive (SAR) : Ni Made Surya Jayanti : 1. I Wayan Sumarjaya, S.Si., M.Stats.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya

Lebih terperinci

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB II GAMBARAN UMUM. merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah. II-1

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB II GAMBARAN UMUM. merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah. II-1 BAB II GAMBARAN UMUM 7. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 7.1. Batas Wilayah Kota Surabaya adalah ibukota Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta,

Lebih terperinci

Perbedaan Metode Geary s C dan G* Statistik untuk Mendeteksi Serangan Hama Penyakit Utama Padi di Surakarta (Jawa Tengah)

Perbedaan Metode Geary s C dan G* Statistik untuk Mendeteksi Serangan Hama Penyakit Utama Padi di Surakarta (Jawa Tengah) Perbedaan Metode Geary s C dan G* Statistik untuk Mendeteksi Serangan Hama Penyakit Utama Padi di Surakarta (Jawa Tengah) Poster Ilmiah Diajukan kepada Fakultas Teknologi Informasi untuk memperoleh Gelar

Lebih terperinci

Kata kunci : LISA, Moran I, Spatial Autocorrelation. Abstract

Kata kunci : LISA, Moran I, Spatial Autocorrelation. Abstract Jurnal Edukasi, Volume 1 No.2, Oktober 2015 ISSN. 2443-0455 ANALISIS SPASIAL AUTOKORELASI PADA DATA PERSENTASE WANITA PERNAH KAWIN DAN TIDAK PERNAH MENGGUNAKAN ALAT / CARA KB DI PROVINSI LAMPUNG Risdiana

Lebih terperinci

FINAL PROJECT RESEARCH

FINAL PROJECT RESEARCH FINAL PROJECT RESEARCH PERANCANGAN SISTEM DISTRIBUSI LPG 3KG DI KOTA SURABAYA DENGAN MEMPERTIMBANGKAN PERTUMBUHAN DEMAND Oleh : Muchlis 2508.100.162 Dosen Pembimbing : Stefanus Eko Wiratno,ST.MT INDUSTRIAL

Lebih terperinci

JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 5 No. 2 (2016) ( X Print) D-193

JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 5 No. 2 (2016) ( X Print) D-193 JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 5 No. (016) 337-350 (301-98X Print) D-193 Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Jumlah Kasus Tuberculosis di Surabaya Tahun 014 Menggunakan Geographically Weighted Negative

Lebih terperinci

Wanita Tuna Susila Number of Localized Prostitution Complex, Pimpsand Prostitutes Localized Mucikari/ Wanita Tunasusila

Wanita Tuna Susila Number of Localized Prostitution Complex, Pimpsand Prostitutes Localized Mucikari/ Wanita Tunasusila Tabel : 04.04.01 Banyaknya Lokalisasi, Mucikari dan Wanita Tuna Susila Number of Localized Prostitution Complex, Pimpsand Prostitutes 1999 Lokalisasi/ T a h u n/ Localized Mucikari/ Wanita Tunasusila Y

Lebih terperinci

PENGARUH PERKEMBANGAN PERUMAHAN TERHADAP EMISI KARBON DIOKSIDA DI KOTA SURABAYA

PENGARUH PERKEMBANGAN PERUMAHAN TERHADAP EMISI KARBON DIOKSIDA DI KOTA SURABAYA JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 1 PENGARUH PERKEMBANGAN PERUMAHAN TERHADAP EMISI KARBON DIOKSIDA DI KOTA SURABAYA Ummi Fadlilah Kurniawati, Rulli Pratiwi Setiawan Jurusan Perencanaan Wilayah

Lebih terperinci

JADWAL PELAKSANAAN PEMOTRETAN KEPLEK / PENGAMBILAN FOTO TANDA PENGENAL PEGAWAI HARI / TANGGAL PELAKSANAAN PUKUL

JADWAL PELAKSANAAN PEMOTRETAN KEPLEK / PENGAMBILAN FOTO TANDA PENGENAL PEGAWAI HARI / TANGGAL PELAKSANAAN PUKUL JADWAL PELAKSANAAN PEMOTRETAN KEPLEK / PENGAMBILAN FOTO TANDA PENGENAL PEGAWAI NO INSTANSI HARI / TANGGAL PELAKSANAAN PUKUL TEMPAT PEMOTRETAN KETERANGAN BADAN KESATUAN BANGSA, POLITIK 1 DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

PENGELOMPOKAN KECAMATAN BERDASARKAN INDIKATOR PEMERATAAN PENDIDIKAN. Listya Ningrum ( ) Dosen Pembimbing: Drs Kresnayana Yahya, M.Sc.

PENGELOMPOKAN KECAMATAN BERDASARKAN INDIKATOR PEMERATAAN PENDIDIKAN. Listya Ningrum ( ) Dosen Pembimbing: Drs Kresnayana Yahya, M.Sc. PENGELOMPOKAN KECAMATAN BERDASARKAN INDIKATOR PEMERATAAN PENDIDIKAN Listya Ningrum (1311030088) Dosen Pembimbing: Drs Kresnayana Yahya, M.Sc. Pendidikan Latar Belakang Rumusan Masalah Bagaimana analisis

Lebih terperinci

Analisis Pengelompokan Kecamatan di Kota Surabaya Berdasarkan Faktor Penyebab Terjadinya Penyakit Tuberkulosis

Analisis Pengelompokan Kecamatan di Kota Surabaya Berdasarkan Faktor Penyebab Terjadinya Penyakit Tuberkulosis JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol., No., (0) - (-X Print) D- Analisis Pengelompokan Kecamatan di Kota Surabaya Berdasarkan Faktor Penyebab Terjadinya Penyakit Tuberkulosis Noor Anisa Dewi Suherni dan Maduratna

Lebih terperinci

PESERTA PELATIHAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 SEKOLAH MANDIRI JENJANG SD THN 2016 ( Guru kelas I, IV dan Agama )

PESERTA PELATIHAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 SEKOLAH MANDIRI JENJANG SD THN 2016 ( Guru kelas I, IV dan Agama ) Lampiran Undangan Pelatihan Implementasi K - 13 Sekolah Mandiri Jenjang SD Nomor : 005/9157/436.6.4/2016 Tanggal : 4 Oktober 2016 PESERTA PELATIHAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 SEKOLAH MANDIRI 1 SD YPPI

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 77 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR KEPUTUSAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR : 1845/48/432/2017 TENTANG TIM PUSAT PELAYANAN TERPADU PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA SURABAYA TAHUN

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 6 BAB LANDASAN TEORI. Metode Kuadrat Terkecil Persamaan regresi linier yang biasa didefinisikan dengan menggunakan metode pendugaan parameter Ordinary Least Square (OLS), secara umum dapat dituliskan :

Lebih terperinci

PROSIDING ISSN: M-23 POLA KETERKAITAN SPASIAL BERDASARKAN PRODUKSI PAJALE (PADI JAGUNG KEDELAI) DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 2015

PROSIDING ISSN: M-23 POLA KETERKAITAN SPASIAL BERDASARKAN PRODUKSI PAJALE (PADI JAGUNG KEDELAI) DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 2015 M-23 POLA KETERKAITAN SPASIAL BERDASARKAN PRODUKSI PAJALE (PADI JAGUNG KEDELAI) DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 2015 Rukini Badan Pusat Statistik Kabupaten Grobogan email:rukini@bps.go.id Abstrak Seiring dengan

Lebih terperinci

LAMPIRAN Nomor : 005/ / /2012 Tanggal : 04 Mei NO NAMA SEKOLAH KECAMATAN Tanggal/Waktu

LAMPIRAN Nomor : 005/ / /2012 Tanggal : 04 Mei NO NAMA SEKOLAH KECAMATAN Tanggal/Waktu LAMPIRAN Nomor : 005/ /436.6.4/2012 Tanggal : 04 Mei 2012 NO NAMA SEKOLAH KECAMATAN Tanggal/Waktu 1 1 SDN AIRLANGGA I/198 2 2 SDN AIRLANGGA III/200 3 3 SDN AIRLANGGA V/573 (Digabung menjadi SDN AIRLANGGA

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 52 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 52 TAHUN 2011 TENTANG SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 52 TAHUN 2011 TENTANG PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN OBJEK PAJAK DAN SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERUTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN DENGAN

Lebih terperinci

PEMODELAN SPATIAL ERROR MODEL (SEM) UNTUK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMODELAN SPATIAL ERROR MODEL (SEM) UNTUK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMODELAN SPATIAL ERROR MODEL (SEM) UNTUK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DI PROVINSI JAWA TENGAH 1 Diana Wahyu Safitri, 2 Moh Yamin Darsyah, 3 Tiani Wahyu Utami 1,2,3 Program Studi Statistika FMIPA Universitas

Lebih terperinci

STUDI PERENCANAAN KEBUTUHAN TRANSFORMATOR dan PROTEKSINYA di GARDU INDUK 150 kv/120 MVA BUDURAN II/SEDATI. Arif Kurniadhi ( )

STUDI PERENCANAAN KEBUTUHAN TRANSFORMATOR dan PROTEKSINYA di GARDU INDUK 150 kv/120 MVA BUDURAN II/SEDATI. Arif Kurniadhi ( ) STUDI PERENCANAAN KEBUTUHAN TRANSFORMATOR dan PROTEKSINYA di GARDU INDUK 150 kv/120 MVA BUDURAN II/SEDATI Arif Kurniadhi (2209 105 025) Dosen Pembimbing : Ir. Syariffudin Mahmudsyah, M. Eng Ir. Teguh Yuwono

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit akibat virus yang ditularkan oleh vektor nyamuk dan menyebar dengan cepat. Data menunjukkan peningkatan 30 kali lipat dalam

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA SALINAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI KELURAHAN KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

Analisis Pola Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota Bandung Menggunakan Indeks Moran

Analisis Pola Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota Bandung Menggunakan Indeks Moran Jurnal Rekayasa Hijau No.3 Vol. I ISSN: 2550-1070 Oktober 2017 Analisis Pola Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota Bandung Menggunakan Indeks Moran Rika Hernawati, Muhamad Yordi Ardiansyah Jurusan

Lebih terperinci

Wanita Tuna Susila Number of Localized Prostitution Complex, Pimpsand Prostitutes

Wanita Tuna Susila Number of Localized Prostitution Complex, Pimpsand Prostitutes Tabel : 04.04.01 Banyaknya Lokalisasi, Mucikari dan Wanita Tuna Susila Number of Localized Prostitution Complex, Pimpsand Prostitutes 2000 - Lokalisasi/ T a h u n/ Localized Mucikari/ Wanita Tunasusila

Lebih terperinci

Banyaknya Hotel, Kamar, Tempat Tidur dan Tenaga Kerja Menurut Klasifikasi Hotel Number of Hotel, Room, Bed and Employee by Hotel Classification 2011

Banyaknya Hotel, Kamar, Tempat Tidur dan Tenaga Kerja Menurut Klasifikasi Hotel Number of Hotel, Room, Bed and Employee by Hotel Classification 2011 Tabel : 08.05.01 Banyaknya Hotel, Kamar, Tempat Tidur dan Tenaga Kerja Menurut Klasifikasi Hotel Number of Hotel, Room, Bed and Employee by Hotel Classification Tenaga Kerja/Employee Kecamatan/ Kamar/

Lebih terperinci

KOTA SURABAYA A. KONDISI UMUM. 1. Kondisi Geografis

KOTA SURABAYA A. KONDISI UMUM. 1. Kondisi Geografis KOTA SURABAYA A. KONDISI UMUM 1. Kondisi Geografis Luas wilayah Kota Surabaya adalah 33.048 Ha dan luas wilayah laut yang dikelolah oleh Pemerintah Kota Surabaya sebesar 19.039 Ha.Kota Surabaya berbatasan

Lebih terperinci

LAPORAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012

LAPORAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 BAB III TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN 3.1. KEPENDUDUKAN Penduduk merupakan aspek penting dalam perkembangan suatu wilayah, karena selain sebagai obyek, penduduk juga berperan sebagai subyek dalam pembangunan.

Lebih terperinci