V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Gambaran Umum Kota Balikpapan Letak Geografis Secara geografis wilayah Kota Balikpapan berada antara "-1, " LS dan " " BT, yang luasnya sekitar ,57 Ha atau sekitar 503,3 Km² dengan batas-batas sebagai berikut (Sekdakot Balikpapan 2000) : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Makassar. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara. Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 38 Tahun 1996 tentang Pembentukan 13 (tiga belas) Kecamatan di Wilayah Kabupaten Kutai, Kabupaten Berau, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Pasir, Kota Samarinda dan Kota Balikpapan dalam Wilayah Provinsi Kalimantan Timur, maka sejak tanggal 24 Pebruari 1997 Kota Balikpapan resmi dimekarkan dari 3 (tiga) Kecamatan menjadi 5 (lima) Kecamatan yaitu : Kecamatan Balikpapan Timur Kecamatan Balikpapan Selatan Kecamatan Balikpapan Tengah Kecamatan Balikpapan Utara Kecamatan Balikpapan Barat Pembagian Wilayah Sehubungan dengan pemekaran wilayah kecamatan tersebut di atas, maka melalui Keputusan Gubernur Provinsi Kalimantan Timur No. 19 Tahun 1996 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah, maka sejak tanggal 15 Oktober 1996 ditetapkan 7 (tujuh) kelurahan persiapan menjadi kelurahan definitif dan pada tanggal 17 Mei 1996 ditetapkan pula melalui Keputusan Gubernur Provinsi Kalimantan Timur perubahan status Desa Manggar Baru menjadi Kelurahan Manggar Baru secara definitif. Dengan demikian maka

2 46 pada saat ini wilayah Kota Balikpapan terdiri atas 27 (dua puluh tujuh) kelurahan (Pemkot Balikpapan 1997), sebagaimana yang terlihat pada Tabel 1. Table 1. Pembagian Wilayah Berdasarkan Kelurahan No Kelurahan No Kelurahan No Kelurahan 1 Manggar 10 Gunung Sari Ilir 19 Baru Ilir 2 Manggar Baru 11 Gunung Sari Ulu 20 Margo Mulyo 3 Lamaru 12 Mekar Sari 21 Marga Sari 4 Teritip 13 Karang Rejo 22 Baru Tengah 5 Prapatan 14 Sumber Rejo 23 Baru Ulu 6 Klandasan Ulu 15 Karang Jati 24 Kariangau 7 Klandasan Ilir 16 Gunung Samarinda 25 BAtu Ampar 8 Damai 17 Muara Rapak 26 Sepinggan 9 Gunung Bahagia 18 Batu Ampar 27 Karang Joang Sumber : Pemerintah Daerah Kota Balikpapan Dari 27 kelurahan tersebut terdapat 369 RW dan RT. Ini berarti bahwa jumlah RW sebelum dan sesudah pemekaran tidak berubah sedangkan RT mengalami penambahan sebanyak 62 buah, sehingga berubah dari jumlah menjadi buah RT. Luas wilayah per kecamatan, kelurahan dan jumlah RW, RT dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Luas Wilayah per Kecamatan, Kelurahan dan Jumlah RW, RT. Luas Wilayah ( Ha ) Sebelum Setelah Kecamatan Pemekaran (buah) Pemekaran (buah) Perairan/Laut Darat RW RT RT RW Balikpapan Timur , Manggar 3.525, Manggar Baru 383, Lamaru 4.855, Teritib 4.951, Balikpapan Selatan , Perapatan 314, Telaga Sari 253, Kelandasan Ulu 89, Kelandasan Ilir 143, Damai 601, Gunung Bahagia 891, Sepinggan 2.502,

3 47 Lanjutan Tabel 2. Kecamatan Luas Wilayah ( Ha ) Sebelum Setelah Pemekaran (buah) Pemekaran (buah) Perairan/Laut Darat RW RT RT RW Balikpapan Tengah , Gn. Sari Ilir 114, Gn. Sari Ulu 182, Mekar Sari 128, Karang Rejo 120, Sumber Rejo 220, Karang Jati. 341, Balikpapan Utara , Gn. Samarinda 573, Muara Rapak 352, Batu Ampar 2,980, Karang Joang 9.309, Balikpapan Barat , Baru Ilir 58, Margo Mulyo 184, Marga Sari 66, Baru Tengah 57, Baru Ulu 95, Kariangau , Kota Balikpapan , Sumber : Bagian Pemerintahan Desa Sekdakot Balikpapan Penduduk Pertumbuhan penduduk Balikpapan dari tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Bahkan pada tahun , pertumbuhan penduduk Kota Balikpapan merupakan pertumbuhan penduduk yang tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar 8,99% (BAPPEDA dan BPS Kaltim 2006). Kota Balikpapan merupakan daerah dengan jumlah penduduk terbanyak ke tiga di Provinsi Kalimantan Timur setelah Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Apabila dilihat dari tingkat kepadatan (rasio dari luas wilayah dengan jumlah penduduk), maka Kota Balikpapan dengan tingkat kepadatan sebesar 609 jiwa per Km 2 merupakan daerah terpadat ke dua setelah Kota Samarinda dengan tingkat kepadatan 800 jiwa per Km 2 (BAPPEDA dan BPS Kaltim 2006).

4 48 Tabel.3 Jumlah, Penyebaran dan Pertumbuhan Penduduk di Balikpapan Tahun Tahun Kaltim Balikpapan Penyebaran Pertumbuhan (jiwa) (jiwa) (%) (%) , ,47 2, ,85 1, ,67 0, ,54 8,99 Sumber : Bagian Pemerintahan Desa Sekdakot Balikpapan Perekonomian Kota Balikpapan Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Balikpapan atas dasar harga berlaku cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, PDRB Kota Balikpapan dengan migas mencapai 17,29 milyar, sedangkan PDRB tanpa migas mencapai 9,22 milyar atau terdapat selisih sekitar 8,07 milyar. Besarnya selisih tersebut menggambarkan masih besarnya peranan sektor migas dalam pembentukan PDRB Kota Balikpapan. Apabila diukur berdasarkan harga konstan tahun 1993, PDRB Kota Balikpapan dengan migas mencapai 4,57 milyar, sedangkan tanpa migas sebesar 2,58 milyar atau mempunyai selisih hampir 2 milyar rupiah. PDRB Kota Balikpapan atas dasar konstan mengalami peningkatan 4,34 %, dan tanpa migas kenaikannya 6,61 %. Pada tahun 2002, laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan tampak mulai menurun, penurunan laju pertumbuhan tersebut tampaknya diakibatkan oleh turunnya laju pertumbuhan sebagian besar sektor ekonomi yang menunjang pembentukan PDRB. Sektor-sektor yang paling tajam penurunannya adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian dan sektor bangunan. Tahun 2003 terjadi peningkatan pertumbuhan PDRB. Distribusi PDRB sektoral atas dasar harga berlaku dengan migas masih didominasi oleh peranan sektor-sektor yang ada kaitannya dengan migas. Peranan terbesar dengan persentase sebesar 43,27 persen diperoleh dari sektor industri pengolahan. Besarnya peranan sektor industri pengolahan ini sebagian besar sumbangan dari produksi pengilangan minyak oleh Pertamina. Sementara itu sektor perdagangan, hotel dan restoran juga mempunyai peranan terbesar kedua setelah sektor industri

5 49 pengolahan, sedangkan sektor terendah dalam peranannya adalah sektor listrik, gas dan air bersih dengan peranan sebesar 0,85 persen. Distribusi PDRB sektoral atas dasar harga berlaku tanpa migas diperoleh dari sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan peranan sebesar 54,92 persen, selanjutnya sektor pengangkutan dan komunikasi dengan peranan sebesar 13,10 persen dan sektor bangunan dengan peranan sebesar 12,22 persen. Ketiga sektor yang mempunyai peranan terbesar di atas dapat dikategorikan pada sektor jasa, sehingga tidak salah, apabila salah satu visi Kota Balikpapan berupaya sebagai kota jasa dan perdagangan (BPS Kota Balikpapan 2006). Tabel 4 Perkembangan PDRB Kota Balikpapan Dengan Migas (Juta Rupiah) Tanpa Migas (Juta Rupiah) Tahun Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,32 Sumber : BPS Kota Balikpapan Tahun 2006 Tabel 5 Distribusi PDRB Sektoral Atas Dasar Harga Berlaku (Dalam %) Sektor Tanpa Migas Periode Migas Tanpa Tanpa Tanpa Tanpa Migas Migas Migas Migas Migas Migas Migas Migas Pertanian 4,76 2,62 4,02 2,35 3,26 1,84 3,42 2,04 3,42 1,82 Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih 0,07 6,47 0,06 5,99 0,06 5,45 0,06 5,94 0,06 5,34 4,80 41,17 3,81 37,12 3,56 40,33 3,59 36,58 3,56 43,28 1,19 0,66 1,06 0,62 1,12 0,63 1,55 0,93 1,60 0,85 Bangunan 12,63 6,95 11,80 6,90 11,26 6,34 11,45 6,83 12,22 6,53 Perdagangan, Hotel dan Restoran 50,82 27,97 55,95 32,70 56,61 31,85 56,55 33,74 54,92 29,28

6 50 Lanjutan Tabel 5 Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Persewaan Periode Tanpa Migas Migas Tanpa Migas Migas Tanpa Migas Migas Tanpa Migas Migas Tanpa Migas Migas 16,06 8,84 13,99 8,18 14,17 7,97 13,62 8,13 13,10 6,98 4,03 2,22 4,40 2,57 4,89 2,75 4,85 2,90 5,90 3,14 Jasa jasa 5,64 3,11 4,91 3,57 5,06 2,85 4,90 2,92 5,22 2,78 Total PDRB Sumber : BPS Kota Balikpapan Tahun Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Manggar Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Manggar terletak di Kecamatan Balikpapan Timur, sekitar 30 km dari pusat Kota Balikpapan. PPI Manggar berdiri di atas areal seluas 104 x 40 meter. PPI Manggar berfungsi untuk keperluan berlabuhnya kapal, bongkar muat hasil tangkapan nelayan, pelelangan ikan dan aktivitas lainnya. Secara umum fasilitas di PPI Manggar masih sangat kurang bahkan memprihatinkan sekali, selain berupa dermaga sepanjang 40 meter dan ruang kantor yang sangat sederhana, karena sangat jauh dari kondisi standar minimal sebuah kantor baik dari segi administrasi, perlengkapan maupun bentuk fisik bangunan, tidak ada fasilitas pendukung lainnya guna mendukung kelancaran aktivitas perikanan. Hal ini diakui sendiri oleh beberapa petugas yang ada di PPI Manggar, sehingga perlu kiranya bagi Pemerintah Kota Balikpapan untuk segera melakukan evaluasi dan pembenahan PPI Manggar menjadi lebih baik, agar pembangunan perikanan dan kelautan di Balikpapan dapat berjalan dengan lebih baik lagi Rumah Tangga Perikanan Rumah Tangga Perikanan (RTP) adalah rumah tangga yang melakukan penangkapan ikan atau binatang lainnya atau tanaman air dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual. Perkembangan RTP di Balikpapan selama

7 51 periode mengalami peningkatan yang cukup berarti, rata-rata setiap tahunnya bertambah 17,77 %. Peningkatan RTP mencapai puncaknya pada tahun 1998, dimana peningkatan jumlah RTP mencapai 185,5 %. Pada periode , jumlah RTP kembali mengalami penurunan. Penurunan yang drastis terjadi pada periode , mencapai 70%. Lebih lengkap mengenai perkembangan RTP di Balikpapan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perkembangan Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kota Balikpapan Tahun Tahun Jumlah RTP (orang) Pertumbuhan (%) Rataan Sumber: Data diolah dari Laporan Statistik Perikanan Tangkap Tahun Dinas Perikanan dan Kelautan Kalimantan Timur Armada Penangkapan Ikan Armada penangkapan ikan yang berpangkalan di PPI Manggar dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan, baik dari sisi jumlah mau pun teknologi yang digunakan. Perkembangan armada ini rata-rata setiap tahunnya selama periode mencapai 17,41%. Armada penangkapan ikan yang digunakan adalah perahu tanpa motor, perahu motor tempel, kapal motor. Perahu tanpa motor yang sempat hilang dari peredaran, mulai kembali digunakan oleh nelayan pada tahun Perahu jenis ini terdiri atas jukung dan perahu papan. Perahu motor tempel mengalami penurunan rata-rata sebesar 3,4% pada tahun , lalu secara signifikan mengalami kenaikan sebesar 240% pada tahun Kemudian kembali mengalami penurunan pada tahun berikutnya. Diduga penurunan jumlah nelayan perahu motor tempel disebabkan

8 52 banyaknya nelayan yang sebelumnya menggunakan perahu motor tempel beralih menggunakan armada kapal motor. Pada periode tahun secara keseluruhan pertumbuhan jumlah armada penangkapan ikan sebesar 1 sampai dengan 9%. Pada periode tahun , jumlah armada mengalami peningkatan yang sangat fantastis, hingga mencapai 240,25%. Pada periode selanjutnya, yaitu tahun , pertumbuhan armada secara keseluruhan cenderung mengalami penurunan. Bahkan pada tahun 2002, jumlah armada turun drastis hingga mencapai 70%. Diduga penurunan ini dikarenakan meningkatnya jumlah armada pada tahun sebelumnya yang cukup fantastis, sehingga berdampak kepada meningkatnya effort dan persaingan dalam penangkapan ikan. Meningkatnya effort dan persaingan ini berdampak langsung pada keberadaan biomass ikan, dimana biomass ikan akan semakin berkurang, yang pada akhirnya mengurangi produksi perikanan dan pendapatan para nelayan. Data mengenai perkembangan armada penangkapan ikan di Balikpapan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Perkembangan Armada Penangkapan Ikan di PPI Manggar Balikpapan Tahun Tanpa Motor Jumlah Kapal Motor (unit) Tahun Motor Tempel Total Pertumb (unit) (unit) < 5 GT 5-10 GT GT (unit) (%) , , , , , , , , , , ,29 Rataan 17,41 Sumber : Laporan Statistik Perikanan Tangkap KotaBalikpapan dan Provinsi Kalimantan Timur Tahun

9 Alat Penangkapan Ikan Berbagai macam jenis alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan di PPI Manggar Balikpapan, pada tahun 1996 jumlahnya unit, namun pada tahun 2006 jumlah alat penangkapan ikan sudah mencapai unit alat penangkapan. Jenis alat penangkapan ikan tersebut antara lain payang (term. lampara), dogol (danish seine), jaring insang hanyut (drift gillnet), bagan perahu (boat net), pancing tonda (troll lines), sebagaimana terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perkembangan Alat Tangkap di PPI Manggar Balikpapan Tahun Tahun Pk Ptn Ji Ptn Bgn Ptn Pcg Ptn Lainnya Total Ptn (unit) ( %) (unit) ( %) (unit) ( %) (unit) ( %) (unit) (unit) ( %) Rataan Sumber : Data diolah dari Laporan Statistik Perikanan Tangkap Kota Balikpapan dan Provinsi Kalimantan Timur Tahun Ket : Pk (Pukat kantong: payang, dogol, pukat pantai); Ji (Jaring insang: hanyut, klitik, Lingkar, tetap, trammel net); Bgn (bagan); Pcg (pancing); Ptn (pertumbuhan). Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa perkembangan jumlah total atau keseluruhan alat tangkap di PPI Manggar Balikpapan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, rata-rata sebesar 6% per tahun. Selama tahun tercatat hanya sekali mengalami penurunan yaitu pada tahun 2005, setelah itu perkembangan jumlah alat tangkap kembali mengalami peningkatan. Jumlah total keseluruhan alat tangkap pada tahun 2006 sebanyak unit, meningkat 8% dari tahun Data pada Tabel 8 juga menjelaskan bahwa selama periode , alat tangkap pukat kantong menunjukkan penurunan, yaitu rata-rata sebesar 5% setiap tahun, sementara perkembangan alat tangkap jaring insang rata-rata setiap tahunnnya meningkat sebesar 11%. Alat tangkap pancing dan bagan mengalami

10 54 fluktuasi. Jika dibandingkan pada tahun 1996 dengan tahun 2006, maka terlihat bahwa alat tangkap bagan tidak mengalami perkembangan atau pertumbuahan karena jumlahnya sama, 21 unit, tetapi sebenarnya sepanjang tahun pertumbuhan rata-rata alat tangkap bagan sebesar 30%. Begitu pula dengan alat tangkap pancing, jika dibandingkan dari jumlah alat tangkap pancing tahun 1996 dengan tahun 2006, maka alat tangkap pancing tampak mengalami penurunan, tetapi secara prosentase alat tangkap ini mengalami pertumbuhan yang fluktuatif rata-rata sebesar 10% setiap tahun selama periode Volume dan Nilai Produksi Perikanan Perkembangan produksi dan nilai perikanan yang didaratkan di PPI Manggar Balikpapan selama rentang waktu , secara umum setiap tahunnya mengalami peningkatan, sebagaimana terlihat pada Tabel 9, peningkatan tersebut tampak dari prosentase rata-rata pertumbuhan secara keseluruhan produksi perikanan, yaitu sebesar 0,98% per tahun, sedangkan prosentase pertumbuhan nilai produksi perikanan secara keseluruhan sebesar 31,82% setiap tahunnya. Tabel 9 Perkembangan Volume dan Nilai Produksi Perikanan di PPI Manggar Balikapapan Tahun Tahun Produksi Ptn Nilai Ptn (ton) (%) (Rp) (%) , , ,00 2, ,00 3, ,00 2, ,00 31, ,00-1, ,00 0, ,00 0, ,00 227, ,00 1, ,00 52, ,00-0, ,00 14, ,00 1, ,00 3, ,00 16, ,00 30, ,00-13, ,00-50, ,00-1, ,00 5,45 Rataan ,82 0, ,00 31,82 Sumber : Data Diolah dari Laporan Statistik Perikanan Tangkap Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun Ket : Ptn (pertumbuhan)

11 55 Dari data yang disajikan pada Tabel 9, terlihat bahwa pada tahun produksi perikanan di Kota Balikpapan mengalami penurunan secara kuantitas, akan tetapi dari segi nilai, penurunan kuantitas produksi tidak memberikan dampak negatif pada nilai produksi, bahkan terjadi peningkatan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 66%. Hal ini tidak lain disebabkan karena ikan yang didaratkan pada tahun-tahun tersebut merupakan jenis-jenis ikan yang secara ekonomi memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga walau pun secara kuantitas produksi perikanan mengalami penurunan, tapi dari segi nilai produksi mengalami peningkatan. Selama periode tahun , produksi perikanan tertinggi terjadi pada tahun 2004, yaitu sebesar ,50 ton dengan nilai mencapai Rp ,00 sementara produksi perikanan terendah terjadi pada tahun 1996, yaitu sebesar ,60 ton dengan nilai sebesar Rp , Produksi per Jenis Alat Tangkap Produksi pada prinsipnya merupakan output dari kegiatan penangkapan (effort), sedangkan effort yang diperlukan pada prinsipnya adalah merupakan input dari kegiatan penangkapan itu sendiri. Perbandingan antara output dengan input dalam istilah ekonomi merupakan tingkat efisiensi teknis dari setiap penggunaan input, atau dengan kata lain hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (catch per unit effort atau CPUE) dapat dijadikan sebagai indikator tingkat efisiensi teknik dari pengerahan effort, dimana semakin tinggi nilai CPUE, maka tingkat efisiensi penggunaan effort semakin baik, yang juga berarti produktivitas semakin tinggi. Tabel 10 menunjukkan bahwa secara umum produksi sumberdaya perikanan pelagis kecil mengalami peningkatan setiap tahunnnya, kalau pun terjadi penurunan jumlahnya hanya sedikit, hal ini seiring dengan kondisi jumlah alat tangkap yang setiap tahunnya juga mengalami penambahan secara kuantitas. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2006, yaitu sebanyak ton, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 1995 sebesar 1705 ton. Jenis sumberdaya ikan pelagis kecil yang dominan tertangkap dan didaratkan di PPI Manggar Balikpapan diantaranya adalah jenis ikan layang, kembung, selar dan tembang.

12 56 Dari sejumlah alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan di Perairan Balikpapan, tampak bahwa alat tangkap yang dominan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil adalah payang dan jaring insang. Proporsi produksi dari masing-masing alat tangkap tersebut terhadap total produksi perikanan pelagis kecil secara berturut-turut adalah 38% dan 14%, sedangkan alat tangkap lainnya (pancing, bagan, bubu, purse seine, dan lain-lain) sebesar 47%. Tabel 10 Produksi per Jenis Alat Tangkap Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Tahun Produksi Aktual (ton) Payang Jaring Insang Lainnya (ton) Total (ton) Total 1131,33 425, , ,83 Persentase (%) 38,11 14,34 47, Sumber : Data Diolah dari Laporan Statistik Perikanan Tangkap Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun Demikian halnya dengan sumberdaya perikanan pelagis besar, dari data yang tersaji pada Tabel 11 memperlihatkan bahwa alat tangkap yang dominan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis besar adalah jaring insang dan pancing. Proporsi produksi dari masing-masing alat tangkap secara berturut-turut adalah 41,27% dan 44,80%, sedangkan alat tangkap lainnya (payang, bagan, purse seine) sebesar 13,93%. Pada Tabel 11 juga terlihat bahwa, produksi sumberdaya perikanan pelagis setiap tahunnya mengalami fluktuasi, dimana produksi terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 1.653,98 ton, sedangkan produksi tertinggi terjadi pada tahun 1995 sebesar ton. Ada pun jenis sumberdaya perikanan pelagis besar yang dominan tertangkap dan didaratkan di PPI Manggar Balikpapan diantaranya adalah jenis ikan tenggiri, cakalang, dan tongkol, sementara untuk jenis pelagis besar yang lain jumlahnya hanya sedikit.

13 57 Tabel 11 Produksi per Jenis Alat Tangkap Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Tahun Produksi Aktual (ton) Jaring Insang Pancing Lainnya (ton) Total (ton) , , , , , ,00 330, , , ,81 50, , , ,00 94, , , , , , , , , , , ,97 227, , , ,14 209, , , ,14 230, , , ,46 742, , , ,68 106, , ,00 496,38 378, ,98 Total 1.514, ,38 511, ,41 Persentase (%) 41,27 44,80 13,93 100,00 Sumber : Data Diolah dari Laporan Statistik Perikanan Tangkap Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun Tabel 12 Produksi per Jenis Alat Tangkap Sumberdaya Ikan Demersal Tahun Produksi Aktual (ton) Pancing Jaring Insang Lainnya (ton) Total (ton) , ,00 625, , ,00 357,00 535, , ,00 834,00 213, , ,00 622,00 330, , ,00 570,00 507, , ,00 570,00 510, , ,00 329,00 648, , ,00 687,00 641, , ,00 334,00 664, , ,00 211,00 378,20 988, ,00 267,00 465, , ,10 75,30 632,60 988,00 Total 623,76 491,28 512, ,43 Persentase (%) 38,33 30,19 31,49 100,00 Sumber : Data Diolah dari Laporan Statistik Perikanan Tangkap Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun Pada Tabel 12 terlihat bahwa sepanjang tahun produksi sumberdaya ikan demersal mengalami fluktuasi, produksi tertinggi perikanan demersal terjadi pada tahun 2002 dengan jumlah produksi sebanyak ton, sementara tahun 2006 merupakan produksi terendah dengan jumlah produksi sebanyak 988 ton. Jenis sumberdaya perikanan demersal yang dominan tertangkap

14 58 dan didaratkan di PPI Manggar Balikpapan diantaranya adalah jenis ikan kakap, bawal, manyung, peperek dan gerot-gerot. Tabel 12 juga menunjukkan bahwa alat tangkap yang dominan untuk sumberdaya ikan demersal di Perairan Balikpapan adalah pancing dan jaring insang. Proporsi produksi dari alat tangkap pancing dan jaring insang secara berturut-turut adalah 38,33% dan 30,19%, sedangkan alat tangkap lainnya (lampara, bagan, dan purse seine) sebesar 31,49%. Pada Tabel 13 menunjukkan perkembangan produksi ikan teri yang diperoleh dan didaratkan di PPI Manggar Balikpapan. Terlihat bahwa selama rentang waktu dari tahun 1995 sampai dengan 2006 produksi sumberdaya ikan teri mengalami peningkatan yang sangat tajam dan merupakan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2006, yaitu sebesar ,80 ton, sedangkan produksi yang paling rendah dalam rentang waktu yang sama terjadi pada tahun 2002 dan 2003, yaitu sebesar 89 ton. Sebagian besar alat tangkap yang digunakan nelayan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan teri di Perairan Balikpapan adalah alat tangkap bagan. Tabel 13. Perkembangan Produksi Sumberdaya Ikan Teri Tahun Produksi Aktual (ton) Upaya (trip) , , , , , , , , , , , , Sumber : Laporan Statistik Perikanan Tangkap Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun Catch Per Unit Effort (CPUE) Besaran atau nilai dari catch per unit effort (CPUE) menggambarkan atau mencerminkan tingkat produktivitas dari upaya penangkapan (effort). Nilai CPUE

15 59 semakin tinggi menunjukkan bahwa tingkat produktivitas alat tangkap yang digunakan semakin tinggi pula. Pada Tabel 14 terlihat bahwa alat tangkap yang dominan digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil yaitu payang dan jaring insang memiliki tingkat produktivitas berturut-turut sebesar 3,19 dan 1,32. Dengan demikian alat tangkap payang lebih produktif dari pada alat tangkap jaring insang. Tabel 14 CPUE Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Tahun Payang Jaring Insang Produksi (ton) Effort (trip) CPUE (ton) Produksi (ton) Effort (trip) CPUE (ton) , ,00 0, , ,00 0, , ,00 0, , ,00 0, , ,00 0, , ,00 0, ,00 257,00 2, ,00 527,00 2, ,00 180,00 5, ,00 514,00 2, ,00 141,00 7, ,00 411,00 3, ,00 165,00 11, ,97 386,00 4, ,00 384,00 4, , ,00 1, ,00 562,00 3, , ,00 0, ,00 130,00 2, , ,00 0, , ,00 0, , ,00 0, , ,00 0,13 496, ,00 0,17 Rataan 1.131, ,67 3, , ,92 1,32 Sumber : Data diolah Tabel 15 CPUE Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Tahun Pancing Jaring Insang Produksi (ton) Effort (trip) CPUE (ton) Produksi (ton) Effort (trip) CPUE (ton) , ,00 0, , ,00 0, , ,00 0, , ,00 0, ,16 552,00 1, , ,00 0, ,00 251,00 4, ,00 527,00 2, ,00 298,00 1, ,00 514,00 2, ,00 273,00 1, ,00 411,00 3, ,00 286,00 4, ,97 386,00 4, ,91 320,00 8, , ,00 1, ,00 214,00 5, , ,00 0, ,00 197,00 7, , ,00 0, , ,00 0, , ,00 0, , ,00 0,23 496, ,00 0,17 Rataan 1.329, ,73 3, , ,36 1,42 Sumber : Data diolah

16 60 Pada Tabel 15 menunjukkan bahwa alat tangkap yang dominan digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis besar yaitu pancing dan jaring insang memiliki tingkat produktivitas berturut-turut sebesar 3,32 dan 1,42. Dengan demikian alat tangkap pancing lebih produktif dari pada alat tangkap jaring insang. Tabel 16 CPUE Sumberdaya Ikan Demersal Tahun Pancing Jaring Insang Produksi (ton) Effort (trip) CPUE (ton) Produksi (ton) Effort (trip) CPUE (ton) ,00 0, ,00 0, , ,00 0,13 357, ,00 0, ,00 552,00 1,44 834, ,00 0, ,00 251,00 2,98 622,00 527,00 1, ,00 298,00 2,06 570,00 514,00 1, ,00 273,00 1,76 570,00 411,00 1, ,00 286,00 2,55 329,00 386,00 0, ,00 320,00 3,60 687, ,00 0, ,00 214,00 3,42 334, ,00 0, ,00 197,00 2,03 211, ,00 0, , ,00 0,19 267, ,00 0, , ,00 0,08 75, ,00 0,03 Rataan 623, ,83 1,69 491, ,92 0,45 Sumber : Data diolah Pada Tabel 16 terlihat bahwa alat tangkap yang dominan digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan demersal yaitu pancing dan jaring insang memiliki tingkat produktivitas berturut-turut sebesar 1,69 dan 0,45. Dengan demikian alat tangkap pancing lebih produktif dari pada alat tangkap jaring insang. 5.4 Standarisasi Alat Tangkap Dalam melakukan analisis bioekonomi untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan, dibutuhkan data total input agregat (total effort) dari sumberdaya perikanan yang dianalisis. Mengingat karakteristik perikanan di Indonesia yang bersifat multi-spesies ( spesies yang beragam) dan multi-gears (alat penngkapan ikan yang beragam), maka sangat dimungkinkan setiap unit alat tangkap mempunyai kemampuan yang berbeda, baik terhadap jenis mau pun jumlah spesies yang tertangkap. Oleh karena itu dilakukan standarisasi terhadap alat tangkap yang dominan dari masing-masing sumberdaya ikan.

17 61 Pada penjelasan sebelumnya yaitu pada Tabel 10, diketahui bahwa alat tangkap yang dominan untuk sumberdaya ikan pelagis adalah alat tangkap payang dan jaring insang, sehingga standarisasi dilakukan terhadap kedua alat tangkap tersebut, dimana alat tangkap jaring insang distandarkan ke alat tangkap payang, karena alat tangkap payang ternyata memiliki produktivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang (Tabel 14). Hasil standarisasi dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Standarisasi Alat Tangkap Perikanan Pelagis Kecil Tahun Tahun Produksi Aktual (ton) Upaya Aktual (trip) Indeks Std Total Std P ayang J Insang Total Payang J Insang J Insang J Insang effort ,00 204,00 546, , ,00 256, , , ,00 350, , , ,00 991, , , ,00 370, , , ,00 372, , , ,00 317, , , ,00 328, , , ,00 318, , , ,00 792, , , ,00 725, , , ,00 84,00 840, , Rataan 1.139,67 425, , , Sumber : Data Diolah Tabel 18 Standarisasi Alat Tangkap Perikanan Pelagis Besar Tahun Tahun Produksi Aktual (ton) Upaya Aktual (trip) Indeks Std Total Std Pancing J Insang Total Pancing J Insang J Insang J Insang effort , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,00 496, , , Rataan 1.524, , , , ,92 0, , ,28 Sumber : Data diolah

18 62 Dari penjelasan sebelumnya yaitu pada Tabel 11 diketahui bahwa alat tangkap yang dominan terhadap sumberdaya ikan pelagis besar adalah pancing dan jaring insang, sehingga dilakukan standarisasi terhadap kedua alat tangkap tersebut. Alat tangkap yang menjadi standar adalah alat tangkap pancing karena lebih produktif dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang (Tabel 15). Hasil standarisasi dari kedua alat tangkap tersebut dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 19 Standarisasi Alat Tangkap Perikanan Demersal Tahun Tahun Produksi Aktual (ton) Upaya Aktual (trip) Indeks Std Total Std Pancing J Insang Total Pancing J Insang J Insang J Insang effort , , , , ,00 0, , ,00 357,00 685, , ,00 0, , ,00 834, ,00 552, ,00 0,19 580, ,00 622, ,00 251,00 527,00 0,40 208, ,00 570, ,00 298,00 514,00 0,54 277, ,00 570, ,00 273,00 411,00 0,79 323, ,00 329, ,00 286,00 386,00 0,33 129, ,00 687, ,00 320, ,00 0,08 190, ,00 334, ,00 214, ,00 0,04 97, ,00 211,00 610,00 197, ,00 0,00 104, ,00 267,00 904, , ,00 0, , ,10 75,30 355, , ,00 0,31 916, Rataan 626,55 441, , , ,36 0,28 626, Sumber : Data diolah Dari penjelasan sebelumnya yaitu pada Tabel 12 diketahui bahwa alat tangkap yang dominan terhadap sumberdaya ikan demersal adalah pancing dan jaring insang, sehingga dilakukan standarisasi terhadap kedua alat tangkap tersebut. Alat tangkap yang menjadi standar adalah alat tangkap pancing karena lebih produktif dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang (Tabel 16). Hasil standarisasi dari kedua alat tangkap tersebut dapat dilihat pada Tabel Hubungan Catch Per Unit Effort (CPUE) dan Effort Pada Gambar 6 terlihat bahwa hubungan antara CPUE dan effort sumberdaya ikan pelagis kecil digambarkan dalam persamaan y = 0,0003x + 4,592, dari persamaan ini diperoleh nilai intersep (α ) sebesar 4,592 dan nilai slope (β ) sebesar -0,0003. Hal ini dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas penangkapan (effort) akan menurunkan produktivitas hasil

19 63 tangkapan (CPUE). Kondisi ini mengindikasikan sumberdaya ikan pelagis kecil telah mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing).. Gambar 6 Hubungan antara CPUE dan Effort untuk Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Tahun Dari Gambar 6 terlihat trendline untuk sumberdaya ikan pelagis kecil yang menggambarkan kondisi dimana semakin bertambah jumlah effort, maka CPUE akan semakin berkurang. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan pendekatan model surplus produksi Schaefer dimana 2 h = α / 4β dan MSY E MSY = α / 2β, maka diperoleh besaran nilai tingkat produksi lestari ( h MSY ) ikan pelagis kecil sebesar ,75 ton per tahun dengan tingkat effort ( EMSY ) sebanyak trip, sedangkan tingkat produksi dan effort aktual ikan pelagis kecil berturut-turut sebesar ton per tahun dan trip per tahun. Hasil ini tidak mendukung keterangan sebelumnya, karena meningkatnya effort ternyata tidak menurunkan tingkat peroduksi atau atau sumberdaya ikan pelagis kecil belum terindikasi overfishing.

20 64 Gambar 7 Hubungan antara CPUE dan Effort untuk Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Tahun Hubungan antara CPUE dan effort untuk sumberdaya ikan pelagis besar dapat dilihat pada Gambar 7. Terlihat bahwa CPUE juga mengalami penurunan seiring dengan semakin meningkatnya jumlah effort. Scatter pelagis besar membentuk linear line, semakin bertambah jumlah effort, maka CPUE akan semakin berkurang. Pada Gambar 7 terlihat juga bahwa hubungan antara CPUE dan effort sumberdaya ikan pelagis besar digambarkan dalam persamaan y = 0,0004x + 4,3568, dari persamaan ini diperoleh nilai intersep (α ) sebesar 4,3568 dan nilai slope (β ) sebesar -0,0004. Sama halnya dengan sumberdaya ikan pelagis kecil, dari persamaan tersebut di atas dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas penangkapan (effort) terhadap sumberdaya ikan pelagis besar akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE). Kondisi ini mengindikasikan bahwa sumberdaya ikan pelagis besar telah mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Dengan menggunakan pendekatan model surplus produksi Schaefer diketahui bahwa tingkat produksi lestari ( h MSY ) ikan pelagis besar sebesar ,56 ton per tahun dengan tingkat effort ( EMSY ) sebanyak trip, sedangkan tingkat produksi dan effort aktual ikan pelagis besar berturut-turut

21 65 sebesar ton per tahun dan trip per tahun, lebih kecil dari tingkat produksi mau pun effort lestari. Hasil ini tidak mendukung keterangan sebelumnya, karena meningkatnya effort ternyata tidak menurunkan tingkat peroduksi atau atau sumberdaya ikan pelagis besar belum terindikasi overfishing. Gambar 8 menunjukkan bahwa CPUE sumberdaya ikan demersal juga mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya effort. Scatter sumberdaya ikan demersal membentuk linear line, yang menunjukkan kecenderungan penurunan dari nilai CPUE jika effort terus mengalami peningkatan. Dari Gambar 8 diketahui bahwa hubungan antara CPUE dan effort sumberdaya ikan teri digambarkan dalam persamaan y = 0,0001x + 2, 1714, dari persamaan ini diperoleh nilai intersep (α ) sebesar 2,1714 dan nilai slope (β ) sebesar -0,0001. Kondisi ini dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas penangkapan (effort) terhadap sumberdaya ikan demersal akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE). Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya ikan demersal telah mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Gambar 8 Hubungan antara CPUE dan Effort untuk Sumberdaya Ikan Demersal Tahun Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan pendekatan model surplus produksi Schaefer diketahui bahwa tingkat produksi lestari ( h MSY ) ikan demersal

22 66 sebesar ,45 ton per tahun dengan tingkat effort ( EMSY ) sebanyak trip, sedangkan tingkat produksi dan effort aktual ikan demersal berturut-turut sebesar ton per tahun dan trip per tahun, lebih kecil dari produksi mau pun effort lestari. Hasil ini berbeda dengan keterangan sebelumnya, karena kecilnya jumlah produksi aktual yang diperoleh dibandingkan dengan produksi lestari tidak disebabkan atau dipengaruhi oleh peningkatan effort aktual yang melebihi kapasitas effort lestari, atau sumberdaya ikan demersal belum terindikasi overfishing. Gambar 9 Hubungan antara CPUE dan Effort untuk Sumberdaya Ikan Teri Tahun Gambar 9 memperlihatkan bahwa CPUE sumberdaya ikan teri mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya effort. Scatter sumberdaya ikan teri membentuk linear line, yang menunjukkan kecenderungan penurunan dari nilai CPUE jika effort terus mengalami peningkatan. Dari Gambar 9 diketahui bahwa hubungan antara CPUE dan effort sumberdaya ikan teri digambarkan dalam persamaan y = 0,0005x + 3, 1005, dari persamaan ini diperoleh nilai intersep (α ) sebesar 3,1005 dan nilai slope (β ) sebesar -0,0005. Kondisi ini dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas penangkapan (effort) terhadap sumberdaya ikan teri akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE). Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya ikan teri mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing).

23 67 Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan pendekatan model surplus produksi Schaefer diketahui bahwa tingkat produksi lestari ( h MSY ) ikan teri sebesar 4.806,55 ton per tahun dengan tingkat effort ( EMSY ) sebanyak trip, sedangkan tingkat produksi dan effort aktual ikan teri berturut-turut sebesar 267,19 ton per tahun dan trip per tahun, lebih kecil dari produksi mau pun effort lestari. Hasil ini berbeda dengan keterangan sebelumnya, karena kecilnya jumlah produksi aktual yang diperoleh dibandingkan dengan produksi lestari tidak disebabkan atau dipengaruhi oleh peningkatan effort aktual yang melebihi kapasitas effort lestari, atau sumberdaya ikan teri belum terindikasi overfishing. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa parameter biologi seperti r, q, dan K dalam model surplus produksi Schaefer telah tergantikan oleh nilai koefisien α dan β, sehingga informasi mengenai perubahan biologi yang terjadi tidak terakomodir dalam pemodelan. Konsekuensi dari masalah ini adalah biasnya hasil perhitungan dengan teori dan kenyataan yang ada, sebagaimana yang terjadi pada kasus sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal dan teri pada penelitian ini. 5.6 Estimasi Parameter Biologi Ada beberapa model estimasi yang dapat digunakan untuk melakukan estimasi parameter biologi, yaitu model estimasi yang dikembangkan oleh Walter- Hilborn (1976), dan Clark,Yoshimoto dan Pooley (1992). Pada penelitian ini, model estimasi yang digunakan adalah model estimasi yang dikembangkan oleh Clark, Yoshimoto dan Pooley (1992) atau yang lebih dikenal dengan istilah model estimasi CYP. Penggunaan model estimasi in karena nilai R square dari model estimasi CYP untuk semua kelompok sumberdaya ikan dalam penelitian ini lebih besar jika dibandingkan dengan model estimasi Walter-Hilborn (WH), seperti terlihat pada Tabel 20. Menurut Pindyck RS and DL Rubinfeld (1998), nilai determinasi atau R square lazim digunakan untuk mengukur goodnes of fit dari model regresi dan untuk membandingkan tingkat validitas hasil regresi terhadap variabel independen dalam model, dimana semakin besar nilai R square menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik.

24 68 Tabel 20 Nilai R square Estimasi CYP dan WH Sumberdaya Ikan R square CYP R square WH Pelagis Kecil 0,67 0,08 Pelagis Besar 0,58 0,22 Demersal 0,55 0,25 Teri 0,57 0,18 Sumber : data diolah Parameter biologi yang akan diestimasi meliputi daya dukung lingkungan (K), koefisien daya tangkap (q), dan tingkat pertumbuhan intrinsik (r). Dengan meregresikan tangkap per unit input (upaya), yang disimbolkan dengan U pada periode t+1, dan dengan U pada periode t, serta penjumlahan input pada periode t dan t+1 akan diperoleh nilai koefisien r, q, dan K secara terpisah (Fauzi A 2005). Pada Tabel 21 disajikan hasil regresi dari masing-masing sumberdaya perikanan dengan menggunakan model estimasi CYP. Data yang digunakan sebagai dasar melakukan regresi dapat dilihat pada Lampiran 5a-8b. Tabel 21 Hasil Regresi Sumberdaya Perikanan dengan Model CYP Sumberdaya Parameter Ikan Regresi Coefficients Standard Error t Stat F R 2 Pelagis β 0 0, , , ,13 0,67 Kecil β 1 0, , , β 2-9,21E-05 9,92E-05-0, Pelagis β 0 1, , , ,62 0,58 Besar β 1 0, , , β 2-0, ,16E-05-2, β 0 0, , , ,03 0,55 Demersal β 1 0, , , β 2-0, ,99E-05-1, β 0-0, , , ,29 0,57 Teri β 1-0, , , β 2-0, ,21E-05-2, Sumber : Hasil analisis Model Ordinary Least Squares (OLS) dari Tabel 20 untuk masing-masing sumberdaya ikan adalah sebagai berikut : Y pk = 0, , U t - 9,21312E-05 E t (0, ) (0, ) (9,91933E-05) R 2 0,67

25 69 Y pb = 1, , U t - 0, E t (0, ) (0, ) (6,16481E-05) R 2 0,58 Y dm = 0, , U t - 0, E t (0, ) (0, ) (7,985E-05) R 2 0,55 Ytr = -0, , U t - 0, E t R 2 0,57 (0,350436) (0,354237) (2,286111) dimana, Y t = ln(u t+t ) U t+1 = produksi per unit upaya (CPUE) pada waktu t+1 U t = produksi per unit upaya pada waktu t = tingkat upaya pada waktu t E t 2 Dari data yang terdapat pada Tabel 21, terlihat bahwa besaran nilai R dari sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal dan teri secara berturutturut adalah 0,67; 0,58; 0,55, 0,57, hal ini mengindikasikan bahwa variabel independent dalam persamaan memiliki pengaruh dan keterkaitan yang kuat terhadap variabel dependent. Begitu pula dengan besaran nilai F-test, nilai F hitung untuk sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, dan demersal secara berturutturut adalah 8,13; 5,62; 5,03; 5,29, sedangkan nilai F ( 2,8)0,05 = 4, 26, maka F hitung > F tabel, hal ini mengandung pengertian bahwa persamaan regresi untuk sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal dan teri tersebut di atas bisa digunakan untuk melakukan prediksi dan estimasi. Data pada Tabel 21 kemudian diolah untuk mendapatkan besaran nilai dari parameter biologi masingmasing sumberdaya ikan. Hasil perhitungan dari parameter biologi dapat dilihat pada Tabel 22. tabel Tabel 22 Hasil Estimasi Parameter Biologi Parameter Biologi Sumberdaya Ikan r (ton per tahun) q (ton per trip) K (ton per tahun) Pelagis Kecil 1,20 0, ,32 Pelagis Besar 1,97 0, ,85 Demersal 1,48 0, ,96 Teri 1,68 0, ,54 Sumber : Hasil analisis

26 70 Berdasarkan data yang diperoleh sebagaimana yang disajikan pada Tabel 22, koefisien pertumbuhan alami (r) sumberdaya ikan pelagis kecil sebesar 1,20 yang berarti sumberdaya ikan pelagis kecil akan tumbuh secara alami tanpa ada gangguan dari gejala alam mau pun kegiatan manusia dengan koefisien sebesar 1,20 ton per tahun. Koefisien alat tangkap (q) sebesar 0,0003, mengindikasikan bahwa setiap peningkatan satuan upaya penangkapan akan berpengaruh sebesar 0,0003 ton per trip terhadap hasil tangkapan sumberdaya ikan pelagis kecil. Daya dukung lingkungan (K) sebesar ,32, ini menunjukkan bahwa lingkungan mendukung produksi sumberdaya ikan pelagis kecil sebesar ,32 ton per tahun dari aspek biologinya, diantaranya kelimpahan makanan, pertumbuhan populasi dan ukuran ikan. Begitu pula yang terjadi dengan sumberdaya ikan pelagis besar, demersal dan teri. 5.7 Estimasi Produksi Lestari Estimasi produksi lestari dilakukan dengan cara mensubtitusikan parameter biologi yang telah didapat ke dalam persamaan (4.19), kemudian dari data ini akan diperoleh kurva produksi lestari (sutainable yield-effort curve). Hasil estimasi produksi lestari dari masing-masing sumberdaya ikan setiap tahunnya selama tahun secara ringkas disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Hasil Estimasi Produksi Lestari Produksi (ton) Tahun Pelagis kecil Pelagis besar Demersal Teri Aktual Lestari Aktual Lestari Aktual Lestari Aktual Lestari , , , , , , , , , , ,52 685, ,28 91, , , , , , , ,14 82,00 432, , , , , ,00 834,66 91,00 12, ,00 833, , , , ,64 91,00 75, ,00 661, , , , ,68 136,50 101, ,00 670, , , ,00 764,64 91,00 175, , , , , ,00 912,07 89,00 239, , , , , ,00 592,59 89,00 409, , , , ,29 610,00 574,52 453,00 108, ,00 271, , ,53 904, ,48 810, , , , , ,41 355, , , ,64 Rataan 1.565, , , , , ,86 267, ,02 Sumber : Data diolah

27 71 Dari hasil estimasi produksi lestari sebagaimana yeng terlihat pada Tabel 23, rata-rata produksi lestari sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan balikpapan selama tahun sebesar ,25. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan Balikpapan dalam rentang waktu dari tahun terindikasi mengalami overfishing secara biologi atau biological overfishing. Gambar 10 menunjukkan perbandingan kontras antara produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan pelagis kecil yang ditangkap dan didaratkan di PPI Manggar Balikpapan. Sepanjang tahun grafik dari produksi aktual mengalami fluktuasi. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan volume produksi aktual sumberdaya ikan pelagis kecil menjadi ton dari tahun sebelumnya 2004 sebesar ton. Peningkatan yang cukup tajam ini membuat kondisi produksi lestari turun menjadi 271,89 ton dari tahun sebelumnya 2004 sebesar 1.562,18 ton, bahkan penurunan volume produksi aktual yang terjadi pada tahun 2006 tidak serta merta diikuti oleh meningkatnya volume produksi lestari sebagaimana yang terjadi pada tahun sebelumnya. Jika tidak segera diambil tindakan yang tepat maka bukan tidak mungkin masyarakat Balikpapan pada masa yang akan datang sangat sulit memperoleh ikan pelagis kecil, kalau pun ada, harganya bisa jadi sangat mahal, karena ikan pelagis kecil menjadi sejenis hewan langka di Balikpapan. Gambar 10 Perbandingan Produksi Aktual dengan Produksi Lestari SDI Ikan Pelagis Kecil

28 72 Pada Gambar 11 terlihat dengan jelas bahwa sepanjang tahun sebagian besar volume produksi aktual sumberdaya ikan pelagis kecil berada di luar kurva produksi lestari. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan Balikpapan terindikasi mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Gambar 11 Kurva Hubungan Produksi Lestari, Produksi Aktual dan Effort SDI Pelagis Kecil Rata-rata produksi lestari sumberdaya ikan pelagis besar selama tahun sebesar ,24 (Tabel 23). Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis besar di Perairan Balikpapan terindikasi mengalami overfishing secara biologi atau biological overfishing. Dari Gambar 12 tampak bahwa sepanjang tahun produksi aktual dan produksi lestari mengalami fluktuasi, dimana meningkatnya volume produksi aktual pada satu waktu diikuti oleh peningkatan volume produksi lestari, dan pada waktu yang lain meningkatnya produksi aktual diikuti oleh menurunnya produksi lestari. Pada periode tahun , peningkatan volume produksi aktual yang terjadi pada tahun 2005 menjadi 5.114,36 ton diikuti oleh penurunan volume produksi lestari menjadi ,53 ton, bahkan penurunan produksi aktual pada tahun 2006 menjadi 1.275,38 diikuti penurunan produksi lestari menjadi ,41 ton.

29 73 Gambar 12 Perbandingan Produksi Aktual dengan Produksi Lestari SDI Ikan Pelagis Besar Gambar 13 Kurva Hubungan Produksi Lestari, Produksi Aktual dan Effort SDI Pelagis Besar Dari Gambar 13 terlihat bahwa dari tahun cukup banyak volume produksi aktual sumberdaya ikan pelagis besar berada di luar kurva atau trendline produksi lestari. Kondisi ini mengindikasikan bahwa, kemampuan sumberdaya ikan pelagis besar untuk perbaharuan atau memperbaharui diri sudah berkurang, sehingga walau pun produksi aktual menurun, produksi lestarinya

30 74 tetap menurun, sehingga dapat dikatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar di Perairan Balikpapan terindikasi mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Pada kasus sumberdaya ikan demersal, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 23 dan Gambar 14, rata-rata produksi lestari selama tahun sebesar ,86. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan demersal di Perairan Balikpapan selama rentang waktu dari tahun terindikasi mengalami overfishing secara biologi atau biological overfishing, karena kemampuan sumberdaya ikan demersal untuk melakukan perbaharuan atau memperbaharui diri sudah berkurang, sehingga walau pun produksi aktual menurun, produksi lestarinya tetap menurun. Gambar 14 Perbandingan Produksi Aktual dan Produksi Lestari SDI Ikan Demersal Kondisi di atas dapat juga dijelaskan sebagaimana yang terlihat pada Gambar 15. Dari Gambar 15 terlihat dengan jelas bahwa pada tahun volume produksi aktual sumberdaya ikan demersal sebagian besar berada di atas trendline produksi lestari, terutama pada produksi aktual yang dihasilkan pada tahun 1995, 2005, dan 2006.

31 75 Gambar 15 Kurva Hubungan Produksi Lestari, Produksi Aktual dan Effort SDI Demersal Produksi lestari sumberdaya ikan teri selama tahun , sebagaimana yang terlihat pada Tabel 23 dan Gambar 16, rata-rata sebesar ,02. Hal ini juga menunjukkan bahwa sumberdaya ikan teri di Perairan Balikpapan selama rentang waktu dari tahun terindikasi mengalami overfishing secara biologi atau biological overfishing. Gambar 16 Perbandingan Produksi Aktual dan Produksi Lestari SDI Ikan Teri

32 76 Dari Gambar 17 terlihat bahwa dari tahun sebagian besar volume produksi aktual sumberdaya ikan teri berada di luar kurva atau trendline produksi lestari. Kondisi ini mengindikasikan bahwa, kemampuan sumberdaya ikan teri untuk perbaharuan atau memperbaharui diri sudah berkurang, sehingga walau pun produksi aktual menurun, produksi lestarinya tetap menurun, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar di Perairan Balikpapan terindikasi mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Gambar 17 Kurva Hubungan Produksi Lestari, Produksi Aktual dan Effort SDI Teri 5.8 Estimasi Parameter Ekonomi Estimasi Biaya Input Pendekatan yang dilakukan untuk memperoleh data series biaya input pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan persamaan (4.8), yaitu : C = ( C * IHK ) / IHK t dimana, C t = biaya pada tahun t, C std = biaya standar, IHK t = Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun t IHKn = Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun standar std Hasil estimasi secara keseluruhan dari biaya input masing-masing sumberdaya ikan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 24. t n

33 77 Dari Tabel 24 secara berturut-turut dapat diketahui besaran rata-rata biaya riil dari sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal dan teri, yaitu Rp 0,71 juta per ton; Rp 0,99 juta per ton; Rp 0,79; Rp 0,79 juta per ton. Data lengkap mengenai hasil dari estimasi biaya input dapat dilihat pada Lampiran Dari Tabel 24 juga dapat diketahui bahwa biaya input tertinggi dan biaya input terendah untuk melakukan eksploitasi sumberdaya ikan selama tahun pada masing-masing sumberdaya ikan terjadi pada tahun yang sama yaitu tahun 2006 untuk biaya input tertinggi dan tahun 1995 untuk biaya input terendah. Secara berturut-turut biaya input teringgi dan terendah untuk sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri adalah sebagai berikut Rp1,15 juta per ton, Rp0,27 juta per ton; Rp1,60 juta per ton, Rp0,38 juta per ton; Rp1,27 juta per ton, Rp0,30 juta per ton; Rp0,30 juta per ton, Rp1,27 juta per ton. Tabel 24 Data Series Biaya Riil Input Sumberdaya Ikan Tahun IHK Pelagis Kecil (Rp juta per ton) Pelagis Besar (Rp juta per ton) Demersal (Rp juta per ton) Teri (Rp juta per ton) ,96 0,27 0,38 0,30 0, ,96 0,28 0,39 0,31 0, ,28 0,28 0,38 0,31 0, ,58 0,47 0,66 0,52 0, ,69 0,57 0,80 0,63 0, ,47 0,76 1,06 0,84 0, ,39 0,87 1,21 0,96 0, ,00 0,88 1,23 0,98 0, ,70 0,97 1,35 1,07 1, ,51 1,06 1,48 1,17 1, ,43 0,98 1,36 1,08 1, ,88 1,15 1,60 1,27 1,27 Rataan 85,17 0,71 0,99 0,79 0,79 Sumber : data diolah Estimasi Harga Output Pendekatan yang dilakukan untuk memperoleh data series biaya input pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan persamaan (4.9), yaitu : P n P t = IHK IHK n t

34 78 dimana, Pt Pn IHK n IHK t = Harga ikan pada tahun t = Harga ikan berlaku = Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun standar = Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun t Hasil estimasi secara keseluruhan dari harga output masing-masing sumberdaya ikan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 25. Data lengkap mengenai harga output dapat dilihat pada Lampiran Dari Tabel 25 secara berturut-turut dapat diketahui besaran rata-rata dari harga output dari sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri yaitu Rp5,93 juta per ton, Rp7,71 juta per ton, Rp8,90 juta per ton, Rp3,26 juta per ton. Harga output tertinggi dan terendah selama tahun untuk masing-masing sumberdaya ikan terjadi pada tahun yang sama yaitu tahun 2006 untuk harga output tertinggi dan tahun 1995 untuk harga output terendah. Secara berturut-turut harga output tertinggi dan terendah untuk sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri adalah sebagai berikut Rp 9,55 juta per ton, Rp. 2,28 juta per ton; Rp 13 juta per ton, Rp 2.28 juta per ton; Rp 15 juta per ton, Rp 3,42 juta per ton; Rp5,25 juta per ton, Rp1,25 juta per ton. Tabel 25 Data Series Harga Riil Output Sumberdaya Ikan Tahun IHK Pelagis Kecil (Rp juta per ton) Pelagis Besar (Rp juta per ton) Demersal (Rp juta per ton) Teri (Rp juta per ton) ,96 2,28 2,96 3,42 1, ,96 2,35 3,06 3,53 1, ,28 2,30 2,99 3,45 1, ,58 3,94 5,12 5,91 2, ,69 4,76 6,18 7,13 2, ,47 6,36 8,27 9,54 3, ,39 7,23 9,41 10,85 3, ,00 7,35 9,56 11,03 4, ,70 8,07 10,49 12,10 4, ,51 8,86 11,52 13,29 4, ,43 8,12 10,56 12,18 4, ,88 9,55 12,42 14,33 5,25 Rataan 136,00 5,93 7,71 8,90 3,26 Sumber : Data diolah

35 Estimasi Tingkat Discount Rate Dengan mengacu pada pembahasan sebelumnya mengenai tingkat discount rate, yaitu pada persamaan (4.10) sampai dengan (4.15) diperoleh nilai laju pertumbuhan (ekonomi) PDRB Kota Balikpapan sebesar 0, atau g = 12,18% dan nilai nominal discount rate saat ini sebesar 15%, sehingga dengan menggunakan pendekatan Kula (1984) diacu dalam Anna S (2003) diperoleh nilai riil discount rate sebesar 2,82%. Nilai riil discount rate ini kemudian dijustifikasi untuk mendapatkan nilai riil discount rate dalam bentuk annual continues discount rate dengan menggunakan persamaan δ = ln( 1+ r), sehingga diperoleh nilai annual continues discount rate sebesar 2,78% (Lampiran 17) 5.9 Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Degradasi dan depresiasi sumberdaya dapat diartikan sebagai penurunan nilai dari sumberdaya baik secara kuantitas maupun kualitas dan manfaat secara ekonomi sebagai dampak dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Jika nilai koefisien degradasi dan depresiasi suatu sumberdaya berada pada kisaran nilai toleransi yaitu, 0-0,5, maka sumberdaya tersebut belum mengalami degradasi dan depresiasi. Hasil analisis laju degradasi dan depresiasi keseluruhan sumberdaya ikan dapat dilihat pada Lampiran Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Pada sumberdaya ikan pelagis kecil, koefisien laju degradasi dan laju depresiasi tiap tahun secara berturut-turut rata-rata mencapai 0.55 dan Nilai dari laju degradasi sumberdaya ikan pelagis kecil lebih besar dari nilai toleransi koefisien laju degradasi, sebagaimana terlihat pada Tabel 26. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan Balikpapan telah terdegradasi tetapi tidak terdepresiasi. Sebenarnya sejak tahun sumberdaya ikan pelagis kecil berada dalam zona aman, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien laju degradasi yang berada di bawah nilai koefisien standar, namun demikian pada tahun 2006 nilai koefisien laju degradasi sumberdaya ikan pelagis kecil semakin tinggi, hingga melewati batas ambang toleransi, sebagaimana terlihat pada Gambar 15, hal ini diduga sebagai akibat dari pemanfaatan aktual yang melebihi pemanfaatan yang

36 80 optimal. Kondisi ini mendukung data sebelumnya dimana tingkat effort aktual untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan Balikpapan telah melebihi tingkat effort optimal yang seharusnya. Tabel 26 Hasil Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi SDI Pelagis Kecil Tahun Produksi (ton) RenteEkonomi (Rp juta) Laju Persentase Laju Persentase (%) (%) Aktual Lestari Aktual Lestari Degradasi Depresiasi , ,82 (4.671,19) ( ,23) 1,00 0, , ,70 107,00 (97.334,82) 1,00 0,00 1,00 100, , , ,93 (25.863,19) 0,99-0,54 1,00-0, , , , ,33 0,23-76,84 0,23-77, ,00 833, , ,57 0,36 56,16 0,36 58, ,00 661, , ,00 0,39 8,00 0,39 7, ,00 670, , ,32 0,43 9,63 0,43 9, , , , ,56 0,32-24,59 0,32-24, , , , ,50 0,27-15,06 0,27-15, , , , ,82 0,19-29,93 0,19-31, ,00 271, ,46 (1.686,04) 0,47 146,09 0,53 182, , ,73 859,83 ( ,77) 1,00 112,57 1,00 89,20 Rataan 1.565, , , ,08 0,55 16,86 0,48 27,15 Sumber : data diolah Gambar 18 Grafik Laju Degradasi dan Laju Depresiasi, Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil

37 81 Pada Gambar 18 terlihat pola grafik laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis kecil yang hampir sama, karena besaran nilai keduanya yang tidak jauh berbeda. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien laju degardasi akan diikuti oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien laju depresiasi, ini artinya, kondisi biologi sumberdaya ikan pelagis kecil akan sangat berpengaruh pada tingkat ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Dari Gambar 19 terlihat bahwa sumberdaya ikan pelagis besar punya track record terdegradasi dan terdepresiasi pada tahun 1995, kemudian pada tahuntahun berikutnya sumberdaya ini berada pada zona aman, dengan nilai koefisien laju degradasi dan laju depresiasi yang berada di bawah koefisien standar. Pola grafik laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan besar hampir sama, karena besaran nilai keduanya yang tidak jauh berbeda. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien degardasi akan diikuti oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien depresiasi, ini artinya, kondisi biologi sumberdaya ikan demersal akan sangat berpengaruh pada tingkat rente ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan. Gambar 19 Grafik Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Pelagis Besar

38 82 Pada sumberdaya ikan pelagis besar, nilai koefisien laju degradasi dan koefisien laju depresiasi rata-rata selama tahun berturut-turut sebesar 0.45 dan Hal ini menunjukkan bahwa laju degradasi dan laju depresiasi yang terjadi pada sumberdaya ikan pelagis besar masih dalam batas toleransi, namun demikian, jika tidak segera dilakukan tindakan preventif terhadap pemanfaatan sumberdaya ini, maka dikhawatirkan nilai degradasi dan depresiasi akan semakin tinggi, gejala ke arah itu sudah terlihat pada tahun Pada kedua tahun ini nilai koefisien laju degradasi dan laju depresiasi sudah mencapai angka 1, yang berarti lebih tinggi dari nilai koefisien degradasi dan depresiasi stándar. Hasil analisis laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis besar dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Hasil Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi SDI Pelagis Besar Tahun Produksi (ton) Rente ekonomi (Rp juta) Laju Persentase Laju Persentase Degradasi (%) Depresiasi (%) Aktual Lestari Aktual Lestari , , ,25 ( ,52) 1,00 1, , , ,12 (71.178,05) 1,00 0,00 1,00 0, , , , ,88 0,08-92,47 0,07-93, , , , ,42 0,21 184,12 0,21 211, , , , ,69 0,02-90,01 0,01-93, , , , ,45 0,02 16,71 0,02 24, , , , ,90 0,19 666,92 0,19 955, , , , ,38 0,32 69,60 0,33 72, , , , ,03 0,24-25,09 0,24-25, , , , ,99 0,29 17,30 0,29 17, , , ,45 ( ,22) 1,00 249,77 1,00 250, , , ,36 ( ,92) 1,00 0,31 1,00 0,11 Rataan 3.159, , ,51 ( ,00) 0,45 90,65 0,45 119,92 Sumber : data diolah Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Demersal Dari Tabel 28 dapat dijelaskan bahwa nilai rata-rata koefisien laju degradasi dan koefisien laju depresiasi sumberdaya ikan demersal selama rentang waktu dari tahun secara berturut-turut sebesar 0,54 dan 0,46, yang berarti bahwa secara umum selama rentang waktu sumberdaya ikan demersal telah terdegradasi tetapi tidak terdepresiasi.

39 83 Tabel 28 Hasil Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi SDI Demersal Produksi (ton) Rente ekonomi (Rp juta) Persentase Persentase Tahun Degradasi Depresiasi Aktual Lestari Aktual Lestari (%) (%) , ,68 (477,64) ( ,69) 1,00 0, , ,28 821,00 (17.551,38) 1,00-0,13 1, , , , ,96 0,27-72,91 0,27-72, ,00 834, , ,89 0,35 30,22 0,35 31, , , , ,00 0,30-14,99 0,30-15, , , , ,28 0,27-9,22 0,27-9, ,00 764, , ,61 0,33 20,17 0,33 20, ,00 912, , ,68 0,38 15,89 0,38 16, ,00 592, , ,59 0,36-3,71 0,37-3, ,00 574, , ,11 0,28-23,04 0,28-23, , , ,97 (43.770,97) 0,97 246,14 1,00 255, , ,78 386, ,87 0,99 2,42 1,00 0,06 Rataan 1.115, , , ,84 0,54 17,35 0,46 19,87 Sumber : data diolah Hanya saja gejala bahwa sumberdaya ini akan terdegradasi dan terdepresiasi lebih jauh lagi sudah terlihat pada tahun Pada kedua tahun ini nilai koefisien degradasi dan depresiasi sudah mencapai angka 1, lebih tinggi dari nilai koefisien standar, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 28, sehingga perlu kiranya dilakukan upaya-upaya pencegahan agar sumberdaya ini tidak mengalami penurunan yang lebih jauh baik secara biologi maupun ekonomi, seperti yang terlihat pada Gambar 20. Gambar 20 Grafik Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Demersal

40 84 Pergerakan pola grafik dari laju degradasi dan laju depresiasi sebagaimana yang disajikan pada Gambar 20, sejak tahun tampak memiliki pola gerakan yang hampir sama. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien degardasi akan senantiasa diikuti pula oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien depresiasi, hal ini mengindikasikan bahwa, kondisi biologi sumberdaya ikan demersal akan sangat berpengaruh pada tingkat rente ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Teri Dari Tabel 27 dapat dijelaskan bahwa nilai rata-rata koefisien laju degradasi dan koefisien laju depresiasi sumberdaya ikan teri selama rentang waktu dari tahun secara berturut-turut sebesar 0,46 dan 0,31, yang berarti bahwa secara umum selama rentang waktu sumberdaya ikan teri belum terdegradasi dan belum terdepresiasi. Gejala bahwa sumberdaya ini akan terdegradasi dan terdepresiasi mulai terlihat pada tahun Pada kedua tahun ini nilai koefisien degradasi dan depresiasi sudah mencapai angka 1, lebih tinggi dari nilai koefisien standar, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 29, sehingga perlu kiranya dilakukan upayaupaya pencegahan agar sumberdaya ini tidak mengalami penurunan yang lebih jauh baik secara biologi maupun ekonomi, seperti yang terlihat pada Gambar 21. Tabel 29 Hasil Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi SDI Teri Tahun Produksi (ton) Rente ekonomi (Rp juta) Persentase Persentase Degradasi Depresiasi Aktual Lestari Aktual Lestari (%) (%) , , ,193 1,00 0, , ,04-611, ,617 1,00-0,13 1, ,00 432,60 8, ,237 0,27-72,91 0,27-72, ,00 12,99 193,511 24,483 0,35 30,22 0,35 31, ,00 75,66 211, ,456 0,30-14,99 0,30-15, ,50 101,36 429, ,452 0,27-9,22 0,27-9, ,00 175,89 263, ,172 0,33 20,17 0,33 20, ,00 239,67 217, ,058 0,38 15,89 0,38 16, ,00 409,95 87, ,959 0,36-3,71 0,37-3, ,00 108, , ,232 0,28-23,04 0,28-23, , , , ,139 0,97 246,14 1,00 255, , , , ,049 0,99 2,42 1,00 0,06 Rataan 267, ,02 58, ,83 0,46 17,35 0,31 19,87 Sumber : data diolah

41 85 Pergerakan pola grafik dari laju degradasi dan laju depresiasi sebagaimana yang disajikan pada Gambar 21, sejak tahun tampak memiliki pola gerakan yang hampir sama. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien degradasi akan senantiasa diikuti pula oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien depresiasi, hal ini mengindikasikan bahwa, kondisi biologi sumberdaya ikan teri akan sangat berpengaruh pada tingkat rente ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan. Gambar 21 Grafik Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Teri 5.10 Analisis Optimasi Statik Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Berdasarkan sediaan data yang ada, maka analisis optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan dalam beberapa kondisi yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yaitu model optimasi statis yang meliputi open access (OA), sole owner atau maximum economic yield (MEY) dapat ditentukan, dengan menggunakan alat pemecahan analitik melalui program Excell dan MAPLE (Lampiran 16-18). Analisis optimasi dari setiap kondisi pengelolaan pada masing-masing sumberdaya ikan pada penelitian ini menggunakan persamaan-persamaan yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, yaitu pada persamaan (4.25) sampai dengan persamaan (4.32). Hasil analisis optimasi statik berikut hasil analisis surplus produksi secara ringkas disajikan pada Tabel 30.

42 86 Tabel 30 Hasil Analisis Optimasi Statik Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Sumberdaya Model Pengelolaan Biomass (x) Produksi (h) Effort (E) Ikan (SDI) SDI (ton) (ton) (trip) π (Rp juta) Open Access (OA) 407,95 472, ,00 Pelagis Sole Owner/MEY 6.424, , ,06 kecil MSY 6.220, , ,30 Open Access (OA) 197,05 381, ,00 Pelagis Sole Owner/MEY 6.120, , ,01 besar MSY 6.022, , ,78 Open Access (OA) 214,94 303, ,000 Demersal Sole Owner/MEY 2.638, , ,66 MSY 2.531, , ,71 Open Access (OA) 174,06 254, (0,00) Teri Sole Owner/MEY 761,30 557, ,62 MSY 674,27 566, ,84 Sumber : Data diolah Berdasarkan data pada Tabel 30, diketahui bahwa untuk sumberdaya ikan pelagis kecil, tingkat biomass pada kondisi open access, MEY, dan MSY berturutturut adalah 407,95 ton per tahun; 6.424,14 ton per tahun; 6.220,16 ton per tahun. Tingkat produksi teringgi (h) terjadi pada kondisi MSY yaitu sebesar 3.725,02 ton per tahun, setelah itu secara berturut-turut diikuti oleh tingkat produksi pada kondisi MEY sebesar 3.721,02 ton per tahun, dan OA sebesar 472,59 ton per tahun. Tingkat upaya (effort) optimal dari tingkat yang tertinggi sampai dengan tingkat yang terendah untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil secara berturut-turut adalah sebagai berikut OA sebanyak trip per tahun, MSY sebesar trip per tahun, MEY sebanyak trip per tahun. Tingkat rente tertinggi dari hasil optimasi terjadi pada kondisi MEY sebesar Rp20.666,06 juta per tahun, MSY sebesar Rp20.642,30 juta per tahun, OA sebesar Rp0 juta per tahun. Pada sumberdaya ikan pelagis besar, tingkat biomass pada kondisi open access, MEY, dan MSY berturut-turut adalah 197,05 ton per tahun; 6.120,95 ton per tahun; 6.022,42 ton per tahun. Tingkat produksi tertinggi (h) terjadi pada kondisi MSY yaitu sebesar 5.928,07 ton per tahun, setelah itu secara berturut-turut diikuti oleh tingkat produksi pada kondisi MEY sebesar 5.926,49 ton per tahun, dan OA sebesar 381,58 ton per tahun. Tingkat upaya (effort) optimal dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah secara berturut-turut adalah sebagai berikut OA sebanyak trip per tahun, MSY sebanyak trip per tahun,

43 87 MEY sebanyak trip per tahun. Tingkat rente tertinggi dari hasil optimasi untuk sumberdaya ikan pelagis besar, terjadi pada kondisi MEY sebesar Rp juta per tahun, MSY sebesar Rp44.207,78 juta per tahun, OA sebesar Rp 0 juta per tahun. Pada sumberdaya ikan demersal, tingkat biomass pada kondisi open access, MEY, dan MSY berturut-turut adalah 214, 94 ton per tahun; 2.638,95 ton per tahun; 2.531,48 ton per tahun. Tingkat produksi tertinggi (h) terjadi pada kondisi MSY yaitu sebesar 1.868,42 ton per tahun, setelah itu secara berturut-turut diikuti oleh tingkat produksi pada kondisi MEY dan OA sebesar 1.865,05 ton per tahun dan 303,81 ton per tahun. Tingkat upaya (effort) optimal dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah secara berturut-turut adalah sebagai berikut : OA sebanyak trip per tahun, MSY sebanyak trip per tahun, MEY sebanyak trip per tahun. Tingkat rente tertinggi dari hasil optimasi untuk sumberdaya ikan demersal, terjadi pada kondisi MEY sebesar Rp15.239,66 juta per tahun, MSY sebesar Rp ,71 juta per tahun, OA sebesar Rp0 juta per tahun. Pada sumberdaya ikan teri, tingkat biomass pada kondisi open access, MEY, dan MSY berturut-turut adalah 174,06 ton per tahun; 761,30 ton per tahun; 674,27 ton per tahun. Tingkat produksi tertinggi (h) terjadi pada kondisi MSY yaitu sebesar 566,52 ton per tahun, setelah itu secara berturut-turut diikuti oleh tingkat produksi pada kondisi MEY dan OA sebesar 557,09 ton per tahun dan 254,74 ton per tahun. Tingkat upaya (effort) optimal dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah secara berturut-turut adalah sebagai berikut : OA sebanyak trip per tahun, MSY sebanyak 607 trip per tahun, MEY sebanyak 529 trip per tahun. Tingkat rente tertinggi dari hasil optimasi untuk sumberdaya ikan demersal, terjadi pada kondisi MEY sebesar Rp1.401,62 juta per tahun, MSY sebesar Rp 1.370,84 juta per tahun, OA sebesar Rp0 juta per tahun. Dari hasil analisis data yang tersaji pada Tabel 30 diketahui pula bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pada kondisi open access cenderung akan merusak kelestarian sumberdaya ikan yang ada, hal ini ditunjukkan oleh jumlah tingkat effort yang sangat tinggi, rente ekonomi yang diperoleh pada kondisi open access sama dengan nol, karena keuntungan yang diperoleh sama dngan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penangkapan. Pemanfaatan sumberdaya ikan pada

44 88 kondisi MEY tampak lebih bersahabat dengan lingkungan bahkan memberikan tingkat rente yang lebih besar dibanding pemanfaatan pada kondisi open access dan MSY. Untuk mengetahui kondisi pengelolaan sumberdaya ikan yang terjadi di Perairan Balikpapan, terutama yang berhubungan dengan tingkat produksi, tingkat upaya dan tingkat rente, maka dilakukan perbandingan antara kondisi pemanfaatan aktual dengan kondisi pemanfaatan hasil analisis optimasi statik dari masing-masing kelompok sumberdaya ikan dalam penelitian ini Hasil Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Dari data perbandingan status pemanfaatan, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 31 diketahui bahwa rata-rata tingkat effort (E) aktual sumberdaya ikan pelagis kecil selama periode lebih besar dari tingkat effort optimal dalam berbagai kondisi dari hasil optimasi statik pada penelitian ini. Rata-rata tingkat effort aktual ikan pelagis kecil dalam rentang waktu dari tahun sebesar trip per tahun sedangkan hasil analisis terhadap effort optimal dengan menggunakan pendekatan optimasi statik adalah trip per tahun (open access), trip per tahun (MEY), trip per tahun (MSY). Kondisi ini kemudian berdampak langsung pada hasil tangkapan para nelayan. Pada Tabel 31 tampak bahwa tingkat produksi (h) optimal ikan pelagis kecil memiliki nilai yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat produksi pada kondisi aktual. Rata-rata tingkat produksi aktual sumberdaya ikan pelagis kecil selama rentang waktu adalah sebesar 1.565,25 ton per tahun, sedangkan tingkat produksi optimal dalam berbagai kondisi pengelolaan adalah 3.721,02 ton per tahun (MEY), 3.725,02 ton per tahun (MSY). Tingkat produksi aktual yang jauh lebih kecil dari tingkat produksi optimal yang seharusnya bisa dihasilkan nelayan disebabkan tingginya tingkat aktivitas penangkapan (effort) terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil, sehingga stok sumberdaya ikan pelagis kecil semakin berkurang. Dengan berkurangnya atau menurunnya stok sumberdaya maka produksi pun menurun. Dari hasil analisis juga diketahui bahwa tingkat keuntungan atau rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp20.666,06 juta per tahun pada kondisi MEY, dan Rp20.642,30 juta per tahun pada kondisi MSY,

45 89 tetapi kondisi di lapangan terlihat bahwa tingkat keuntungan aktual yang diperoleh hanya sebesar Rp7.634,41 juta per tahun. Selisih jumlah rente yang sangat kontras ini disebabkan oleh menurunnya jumlah produksi hasil tangkapan, sementara tingkat effort semakin tinggi. Dengan kata lain biaya yang dikeluarkan untuk melakukan aktivitas penangkapan sumberdaya ikan pelagis kecil tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil sudah mengalami overfishing baik secara biologi (biological overfishing) mau pun secara ekonomi (economical overfishing). Upaya penangkapan harus segera diturunkan, karena kelestarian sumberdaya ikan pelagis kecil sudah terganggu. Tabel 31 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal Statik SDI Pelagis Kecil Pemanfaatan Aktual MSY OA MEY Prod (h) (ton) Effort (E) (trip) Rente (π) (Rp juta) Sumber : data diolah Pelagis Kecil 1.565, ,02 472, , , ,30 0, ,06 Perbandingan status pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil dalam kondisi aktual dan optimasi statik lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 22. Pada Gambar 22 tampak bahwa rente ekonomi optimal untuk sumberdaya ikan pelagis kecil dengan pendekatan optimasi statik diperoleh pada kondisi MEY, hal ini ditunjukkan oleh jarak vertikal antara penerimaan dan biaya yang merupakan jarak terbesar. Gambar 23 juga menjelaskan bahwa keseimbangan open access membutuhkan tingkat effort yang jauh lebih besar dari tingkat effort pada kondisi MSY dan MEY, sehingga kondisi ini akan menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya yang tidak tepat. Tingkat effort yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi optimal MEY tampak lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY. Dengan demikian tingkat upaya pada titik keseimbangan MEY terlihat lebih conservative minded (lebih bersahabat dengan lingkungan) dibandingkan dengan tingkat upaya pada titik keseimbangan MSY (Hannesson 1993 diacu dalam Fauzi A 2004).

46 90 Gambar 22 Grafik Perbandingan Pemanfaatan Optimasi Statik SDI Pelagis Kecil TR π max E MEY E MSY E OA TC Gambar 23 Kurva Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil

47 Hasil Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Pada kasus sumberdaya ikan pelagis besar, tingkat effort (E) aktual lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat effort (E) optimal hasil analisis dalam berbagi kondisi pendekatan. Sebagaimana terlihat pada Tabel 32, rata-rata effort aktual selama tahun adalah sebanyak trip per tahun, sementara pada kondisi optimal tingkat effort sebanyak trip per tahun (MSY); trip per tahun (OA); trip per tahun (MEY). Tingkat effort aktual yang melampaui tingkat effort optimal hasil analisis pada penelitian ini berdampak langsung pada produksi aktual yang diperoleh. Berdasarkan data pada Tabel 32, produksi aktual rata-rata selama tahun sebesar 3.159,03 ton per tahun, sedangkan tingkat produksi optimal pada kondisi MSY sebesar 5.928,07 ton per tahun; OA sebesar 381,58 ton per tahun; MEY sebesar 5.926,49 ton per tahun. Hal tersebut diatas kemudian berpengaruh pada tingkat rente yang diperoleh para nelayan. Dari data yang tersaji pada Tabel 32, rente aktual yang diperoleh untuk sumberdaya ikan pelagis besar selama rentang waktu dari tahun rata-rata sebesar Rp21.154,51 juta per tahun, sementara rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp44.220,01 juta per tahun pada kondisi MEY dan Rp44.207,78 juta per tahun pada kondisi MSY. Tabel 32 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal SDI Pelagis Besar Pemanfaatan Aktual MSY OA MEY Prod (h) (ton) 3.159,03 566,52 254,74 557,09 Effort (E) (trip) Rente (π) (Rp juta) , ,84 (0,00) 1.401,62 Sumber : Data diolah Pelagis Besar Gambaran dari perbandingan status pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar dapat juga dijelaskan sebagaimana yang terlihat pada Gambar 20. Kecilnya jumlah rente yang diperoleh disebabkan karena tingginya jumlah effort, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk eksploitasi sumberdaya menjadi lebih banyak dan pada akhirnya berdampak pada minimnya rente yang diperoleh, atau dengan kata

48 92 lain pada kasus pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar telah terjadi overfishing baik secara biologi (biological overfishing) mau pun ekonomi (economical overfishing). Upaya penangkapan harus segera diturunkan, karena kelestarian sumberdaya ikan pelagis besar sudah terganggu. Gambar 24 Grafik Perbandingan Pemanfaatan Optimal Statik SDI Pelagis Besar Sama akan halnya dengan sumberdaya ikan pelagis kecil, pada Gambar 24 terlihat bahwa rente ekonomi optimal untuk sumberdaya ikan pelagis besar dengan pendekatan optimasi statik diperoleh pada kondisi MEY, yang ditunjukkan oleh jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar. Gambar 25 juga menjelaskan bahwa keseimbangan open access membutuhkan tingkat effort yang jauh lebih besar dari tingkat effort pada kondisi MSY dan MEY, sehingga kondisi ini akan menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya yang tidak tepat. Tingkat effort yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi optimal MEY tampak lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY. Dengan demikian tingkat upaya pada titik keseimbangan MEY terlihat lebih conservative minded (lebih bersahabat dengan lingkungan) dibandingkan dengan tingkat upaya pada titik keseimbangan MSY.

49 93 TR π max E MEY E MSY E OA TC Gambar 25 Kurva Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Hasil Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Demersal Kondisi yang sama juga terjadi pada kasus pengelolaan sumberdaya ikan demersal, sebagaimana yang tersaji pada Tabel 33. Tingkat upaya atau effort aktual selama kurun waktu dari tahun sebanyak trip per tahun diperoleh produksi sebesar 1.115,03 ton per tahun dengan tingkat rente sebesar Rp7.378,47 juta per tahun. Dari hasil analisis optimasi statik terhadap sumberdaya ikan demersal diketahui bahwa tingkat produksi, tingkat effort dan tingkat rente yang optimal pada kondisi MSY, OA dan MEY secara berturut-turut adalah sebagai berikut 1.868,42 ton per tahun, 303,81 ton per tahun, 1.865,05 ton per tahun; trip per tahun, trip per tahun, trip per tahun; Rp15.209,71 juta per tahun, Rp0 per tahun, Rp15.239,66 juta per tahun, sebagaimana tersaji pada Tabel 33. Dari uraian data di atas terlihat bahwa tingkat upaya aktual untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan demersal lebih banyak atau telah melewati tingkat upaya optimal, tingkat produksi aktual lebih sedikit dari tingkat produksi optimal, rente ekonomi aktual jauh lebih kecil dibanding rente ekonomi optimal,

50 94 atau dengan kata lain pada kasus pemanfaatan sumberdaya ikan demersal telah terjadi overfishing baik secara biologi (biological overfishing) mau pun ekonomi (economical overfishing). Upaya penangkapan harus segera diturunkan, karena kelestarian sumberdaya ikan demersal sudah terganggu. Tabel 33 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal SDI Demersal Pemanfaatan Aktual MSY OA MEY Prod (h) (ton) 1.115, ,42 303, ,05 Effort (E) (trip) Rente (π) (Rp juta) 7.378, ,71 0, ,66 Sumber : data diolah Demersal Gambaran dari perbandingan status pemanfaatan sumberdaya ikan demersal dalam kondisi aktual dan optimasi statik lebih jelas dapat dilihat pada grafik perbandingan pemanfaatan sumberdaya ikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 26. Gambar 26 Grafik Perbandingan Pemanfaatan Optimal Statik SDI Demersal

51 95 Pada Gambar 27 terlihat bahwa rente ekonomi optimal untuk sumberdaya ikan demersal dengan pendekatan optimasi statik diperoleh pada kondisi MEY, yang ditunjukkan oleh jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar. Gambar 27 juga menjelaskan bahwa keseimbangan open access membutuhkan tingkat effort yang jauh lebih besar dari tingkat effort pada kondisi MSY dan MEY, sehingga kondisi ini akan menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya yang tidak tepat. Tingkat effort yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi optimal MEY tampak lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY. Dengan demikian tingkat upaya pada titik keseimbangan MEY terlihat lebih conservative minded (lebih bersahabat dengan lingkungan) dibandingkan dengan tingkat upaya pada titik keseimbangan MSY. TR π max TC E MEY E MSY E OA Gambar 27 Kurva Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Demersal

52 Hasil Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Teri Pada kasus pengelolaan sumberdaya ikan teri, sebagaimana yang tersaji pada Tabel 34. Tingkat upaya atau effort aktual selama kurun waktu dari tahun sebanyak trip per tahun diperoleh produksi sebesar 267,19 ton per tahun dengan tingkat rente sebesar Rp 58,11 juta per tahun. Dari hasil analisis optimasi statik terhadap sumberdaya ikan teri diketahui bahwa tingkat produksi, tingkat effort dan tingkat rente yang optimal pada kondisi MSY, OA dan MEY secara berturut-turut adalah sebagai berikut 566,52 ton per tahun, 254,74 ton per tahun, 557,09 ton per tahun; 607 trip per tahun, trip per tahun, 529 trip per tahun; Rp1.370,84 juta per tahun, Rp0 per tahun, Rp1.401,62 juta per tahun, sebagaimana tersaji pada Tabel 34. Tabel 34 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal SDI Teri Pemanfaatan Aktual MSY OA MEY Prod (h) (ton) 267,19 566,52 254,74 557,09 Effort (E) (trip) Rente (π) (Rp juta) 58, ,84 (0,00) 1.401,62 Sumber : data diolah Teri Dari uraian data di atas terlihat bahwa tingkat upaya aktual untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan teri lebih banyak atau telah melewati tingkat upaya optimal, tingkat produksi aktual lebih sedikit dari tingkat produksi optimal, rente ekonomi aktual jauh lebih kecil dibanding rente ekonomi optimal, atau dengan kata lain pada kasus pemanfaatan sumberdaya ikan teri telah terjadi overfishing baik secara biologi (biological overfishing) mau pun ekonomi (economical overfishing). Upaya penangkapan harus segera diturunkan, karena kelestarian sumberdaya ikan teri sudah terganggu. Gambaran dari perbandingan status pemanfaatan sumberdaya ikan teri dalam kondisi aktual dan optimasi statik lebih jelas dapat dilihat pada grafik perbandingan pemanfaatan sumberdaya ikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 28.

53 97 Gambar 28 Grafik Perbandingan Pemanfaatan Optimal Statik SDI Teri TR π max TC E MEY E MSY E OA Gambar 23 Kurva Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Teri Pada Gambar 23 terlihat bahwa rente ekonomi optimal untuk sumberdaya ikan teri dengan pendekatan optimasi statik diperoleh pada kondisi MEY, yang

54 98 ditunjukkan oleh jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar. Gambar 23 juga menjelaskan bahwa keseimbangan open access membutuhkan tingkat effort yang jauh lebih besar dari tingkat effort pada kondisi MSY dan MEY, sehingga kondisi ini akan menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya yang tidak tepat. Tingkat effort yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi optimal MEY tampak lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY. Dengan demikian tingkat upaya pada titik keseimbangan MEY terlihat lebih conservative minded (lebih bersahabat dengan lingkungan) dibandingkan dengan tingkat upaya pada titik keseimbangan MSY Analisis Optimasi Dinamik Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Aspek pemanfaatan sumberdaya ikan dengan pendekatan model dinamik bersifat intertemporal, maka untuk menganalisanya aspek tersebut dijembatani dengan penggunaan discount rate. Tingkat discount rate yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 2,82%, 12,18%, dan 15%. Tabel 35 Hasil Estimasi Optimasi Dinamik pada Berbagai Tingkat Discount Rate Kelompok SDI δ = 2,82% δ = 12,18% δ = 15% x (ton) 6.289, , ,81 Pelagis Kecil h (ton) 3.724, , ,72 E (trip) π (Rp juta) , , ,46 x (ton) 6.038, , ,16 Pelagis Besar h (ton) 5.928, , ,93 E (trip) π (Rp juta) , , ,92 x (ton) 2.595, , ,55 Demersal h (ton) 1.867, , ,83 E (trip) π (Rp juta) , , ,49 x (ton) 752, Teri h (ton) 558,85 563,09 564,05 E (trip) ,13 π (Rp juta) , Sumber : data diolah

55 99 Nilai discount rate ini kemudian digunakan untuk menghitung tingkat pemanfaatan optimal dinamik pada masing-masing kelompok sumberdya ikan pada penelitian ini. Hasil estimasi tingkat discount rate pada masing-masing sumberdaya ikan disajikan pada Tabel Hasil Optimasi Dinamik Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Pada Tabel 36 tampak perbandingan pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil pada kondisi aktual dan pada kondisi optimal dinamik dengan tingkat discount rate yang berbeda. Dilihat dari sisi tingkat volume produksi, maka tingkat volume produksi yang bisa diperoleh jika pemanfaan menggunakan pendekatan optimal dinamik akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat produksi pada pemanfaatan aktual. Dari sisi tingkat effort, maka effort yang dilakukan jauh lebih sedikit dari tingkat effort aktual. Apalagi jika dilihat dari sisi rente ekonomi yang diperoleh, maka rente ekonomi pada kondisi pemanfaatan optimal dinamik sangat jauh lebih besar dari rente ekonomi pada kondisi aktual. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan Balikpapan sudah terjadi overfishing baik biological overfishing maupun economical overfishing, sehingga upaya penangkapan (effort) harus segera dikurangi karena sudah mengganggu kelestarian sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan Balikpapan. Tabel 36 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal Dinamik SDI Pelagis Kecil Pelagis Kecil Pengukuran Optimal Dinamik Aktual δ = 2,82% δ = 12,18% δ = 15% Produksi (h) (ton) 1.565, , , ,72 Effort (E) (trip) (π ) (Rp juta) 7.634, , , ,46 Sumber : data diolah Pada pendekatan optimal dinamik, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 30 terlihat bahwa tingkat discount rate yang tinggi akan mendorong semakin lajunya tingkat effort, sebaliknya tingkat discount rate yang rendah akan

56 100 memperlambat laju tingkat effort. Pada Gambar 30 juga terlihat bahwa semakin tinggi tingkat discount rate, maka rente ekonomi yang diperoleh akan semakin kecil, sebaliknya semakin rendah tingkat discount rate, maka rente ekonomi yang diperoleh akan semakin tinggi. Gambar 30 Hubungan Tingkat Discount Rate dan Rente Ekonomi Optimal Dinamik SDI Pelagis Kecil Hasil Optimasi Dinamik Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Pada Tabel 37 tampak perbandingan pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar pada kondisi aktual dan pada kondisi optimal dinamik. Dilihat dari sisi tingkat volume produksi, maka tingkat volume produksi yang bisa diperoleh jika pemanfaan menggunakan pendekatan optimal dinamik lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat produksi pada pemanfaatan aktual. Dari sisi tingkat effort, maka tingkat effort optimal dinamik yang dilakukan jauh lebih sedikit dari tingkat effort aktual. Apabila dilihat dari sisi rente ekonomi, maka rente ekonomi yang diperoleh pada kondisi pemanfaatan optimal dinamik sangat jauh lebih besar dari rente ekonomi pada kondisi aktual. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar di Perairan Balikpapan sudah terjadi overfishing baik biological overfishing mau pun economical overfishing, sehingga upaya penangkapan (effort) untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis besar harus segera dikurangi karena sudah mengganggu kelestarian sumberdaya ikan pelagis besar di Perairan Balikpapan.

57 101 Tabel 37 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal Dinamik SDI Pelagis Besar Pelagis Besar Pengukuran Optimal Dinamik Aktual δ = 2,82% δ = 12,18% δ = 15% Produksi (h) (ton) 3.159, , , ,93 Effort (E) (trip) (π ) (Rp juta) , , , ,92 Sumber : data diolah Gambar 31 Hubungan Tingkat Discount Rate dan Rente Ekonomi Optimal Dinamik SDI Pelagis Besar Pada sumberdaya ikan pelagis besar sebagaimana terlihat pada Gambar 34, terlihat bahwa tingkat discount rate yang tinggi akan mendorong semakin lajunya tingkat effort, sebaliknya tingkat discount rate yang rendah akan memperlambat laju tingkat effort. Pada Gambar 25 juga dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat discount rate, maka rente ekonomi yang diperoleh akan semakin kecil, sebaliknya semakin rendah tingkat discount rate, maka rente ekonomi yang diperoleh akan semakin tinggi Hasil Optimasi Dinamik Sumberdaya Ikan Demersal Pada Tabel 38 tampak perbandingan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal pada kondisi aktual dan pada kondisi optimal dinamik. Dilihat dari sisi tingkat volume produksi, maka tingkat volume produksi yang bisa diperoleh jika

58 102 pemanfaan menggunakan pendekatan optimal dinamik akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat produksi pada pemanfaatan aktual. Apabila dilihat dari sisi rente ekonomi yang diperoleh, rente ekonomi pada kondisi pemanfaatan optimal dinamik sangat jauh lebih besar dari rente ekonomi pada kondisi aktual. Dari sisi tingkat effort, maka effort aktual yang dilakukan berada di atas atau telah melewati tingkat effort optimal, sehingga upaya penangkapan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan demersal harus segera dikurangi karena sudah mengganggu kelestarian sumberdaya ikan demersal di Perairan Balikpapan. Tabel 38 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal Dinamik SDI Demersal Demersal Pengukuran Optimal Dinamik Aktual δ = 2,82% δ = 12,18% δ = 15% Produksi (h) (ton) 1.115, , , ,83 Effort (E) (trip) (π ) (Rp juta) 7.378, , , ,49 Sumber : data diolah Gambar 32 Hubungan Tingkat Discount Rate dan Rente Ekonomi Optimal Dinamik SDI Demersal Pada kasus sumberdaya ikan demersal seperti yang tampak pada Gambar 35, tingkat discount rate yang tinggi akan mendorong semakin lajunya tingkat effort, sebaliknya tingkat discount rate yang rendah akan memperlambat laju

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di antara 6 0.57`- 7 0.25`

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

HASIL SURVEY KEPUASAN MASYARAKAT KOTA BALIKPAPAN TAHUN 2016

HASIL SURVEY KEPUASAN MASYARAKAT KOTA BALIKPAPAN TAHUN 2016 HASIL SURVEY KEPUASAN MASYARAKAT KOTA BALIKPAPAN TAHUN 2016 No Nilai SKM Nilai SKM 1 Dinas Pasar (UPT.Pandansari) 56.32 C 48.71 C 2 Dinas Pasar (UPT Pasar Baru) 58.89 C 3 Dinas Pasar (UPT Klandasan) 66.97

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun Cacth (ton) 46 4 HASIL 4.1 Hasil Tangkapan (Catch) Ikan Lemuru Jumlah dan nilai produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru yang didaratkan di PPP Muncar dari tahun 24 28 dapat dilihat pada Gambar 4 dan

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2006

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2006 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2006 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto Kabupaten Penajam Paser Utara Dalam Angka 2011 258 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam bab ini disajikan data dalam bentuk tabel dan grafik dengan tujuan untuk mempermudah evaluasi terhadap data

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km 2 terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km 2 dan daratan 5,779.123 Km 2. Dengan luas

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Sukabumi Secara geografis wilayah Kabupaten Sukabumi terletak di antara 6 o 57-7 o 25 Lintang Selatan dan 106 o 49-107 o 00 Bujur Timur dan mempunyai

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN ARU

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN ARU 48 IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN ARU 4.1 Geografi dan Pemerintahan 4.1.1 Geografi Secara geografi Kabupaten Kepulauan Aru mempunyai letak dan batas wilayah, luas wilayah, topografi, geologi dan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 25 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Cirebon 4.1.1 Kondisi geografis dan topografi Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Administrasi Secara geografis Kabupaten Halmahera Utara terletak antara 127 O 17 BT - 129 O 08 BT dan antara 1 O 57 LU - 3 O 00 LS. Kabupaten

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kelautan dengan kekayaan laut maritim yang sangat melimpah, negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN TUJUH KELURAHAN DALAM WILAYAH KOTA BALIKPAPAN

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN TUJUH KELURAHAN DALAM WILAYAH KOTA BALIKPAPAN PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN TUJUH KELURAHAN DALAM WILAYAH KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi 7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan Sungsang saat ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia masih didominasi oleh perikanan rakyat dengan menggunakan alat tangkap yang termasuk kategori sederhana, tidak memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh di kawasan sentra nelayan dan pelabuhan perikanan yang tersebar di wilayah pesisir Indonesia. Indonesia memiliki potensi

Lebih terperinci

HASIL SENSUS PENDUDUK Angka Sementara

HASIL SENSUS PENDUDUK Angka Sementara HASIL SENSUS PENDUDUK 2010 Angka Sementara Sekapur Sirih Sebagai pengemban amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik dan sejalan dengan rekomendasi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghambat adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi. Melonjaknya

BAB I PENDAHULUAN. penghambat adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi. Melonjaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan serangkaian usaha yang dilakukan suatu negara untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dalam pembangunan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM. 4.1Keadaan umum Kabupaten Sukabumi

4 KEADAAN UMUM. 4.1Keadaan umum Kabupaten Sukabumi 16 4 KEADAAN UMUM 4.1Keadaan umum Kabupaten Sukabumi 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Provinsi Jawa Barat dengan jarak tempuh 96 km dari Kota Bandung dan 119 km dari Kota Jakarta.

Lebih terperinci

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5.1 Pendahuluan Armada penangkapan yang dioperasikan nelayan terdiri dari berbagai jenis alat tangkap,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN 2007 2008 Adrian A. Boleu & Darius Arkwright Abstract Small pelagic fishing effort made bythe fishermen in North Halmahera

Lebih terperinci

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah) 3.14. KECAMATAN NGADIREJO 3.14.1. PDRB Kecamatan Ngadirejo Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Ngadirejo selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.14.1

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Alat Tangkap 5.1.1 Penangkapan ikan pelagis besar Unit penangkapan ikan pelagis besar di Kabupaten Aceh Jaya pada umumnya dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan alat penangkapan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 3 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dari tanggal 17 April sampai 7 Mei 013. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah sebuah negara maritim, karena memiliki lautan lebih luas dari daratannya, sehingga biasa juga disebut dengan Benua Maritim

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Kabupaten Serang 4.1.1 Letak geografis dan kondisi perairan pesisir Pasauran Serang Secara geografis Kabupaten Serang terletak pada koordinassi 5 5 6 21 LS dan 105

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON 6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON Pada dasarnya pengelolaan perikanan tangkap bertujuan untuk mewujudkan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Untuk itu, laju

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA BONTANG. 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Bontang. Gambar 4.1 Peta Wilayah Kota Bontang

IV. GAMBARAN UMUM KOTA BONTANG. 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Bontang. Gambar 4.1 Peta Wilayah Kota Bontang 51 IV. GAMBARAN UMUM KOTA BONTANG 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Bontang Gambar 4.1 Peta Wilayah Kota Bontang 52 Kota Bontang terletak antara 117 23 BT - 117 38 BT dan 0 01 LU - 0 12 LU atau berada pada

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. sudah dimekarkan menjadi 11 kecamatan. Kabupaten Kepulauan Mentawai yang

BAB I PENGANTAR. sudah dimekarkan menjadi 11 kecamatan. Kabupaten Kepulauan Mentawai yang BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai terdiri dari empat pulau besar dan berpenghuni yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Setelah Indonesia merdeka dan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara 58 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado terletak antara 0 15 5 34 Lintang Utara dan antara 123 07 127 10 Bujur Timur,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER Oleh : Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM* Yogi Bachtiar, S.Pi** RINGKASAN Penelitian ini mengkaji

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU Berkala Perikanan Terubuk, November 2016, hlm 111 122 ISSN 0126-4265 Vol. 44. No.3 ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis III. KEADAAN UMUM 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bangka Selatan, secara yuridis formal dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Sukabumi

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Sukabumi 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Sukabumi 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi terletak di Provinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 0 57-7 0 25 Lintang

Lebih terperinci

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON 28 5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON Perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon memiliki prasarana perikanan seperti pangkalan pendaratan ikan (PPI). Pangkalan pendaratan ikan yang

Lebih terperinci

C E =... 8 FPI =... 9 P

C E =... 8 FPI =... 9 P 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek yang sangat menonjol dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan masalah ketenagakerjaan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Layout PPN Prigi

Lampiran 1 Layout PPN Prigi LAMPIRAN 93 Lampiran 1 Layout PPN Prigi TPI Barat BW 01 BW 02 Kolam Pelabuhan Barat BW 03 Kantor Syahbandar Cold Storage Kantor PPN TPI Timur BW 04 Kolam Pelabuhan Timur Sumber: www.maps.google.co.id diolah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA BALIKPAPAN RINGKASAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2016

PEMERINTAH KOTA BALIKPAPAN RINGKASAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2016 LAMPIRAN II PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2016 PEMERINTAH KOTA BALIKPAPAN RINGKASAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah 4.1.1 Geografi, topografi dan iklim Secara geografis Kabupaten Ciamis terletak pada 108 o 20 sampai dengan 108 o 40 Bujur Timur (BT) dan 7 o

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA SIBOLGA

IV. GAMBARAN UMUM KOTA SIBOLGA IV. GAMBARAN UMUM KOTA SIBOLGA 4.1 Sejarah Kota Sibolga Kota Sibolga dahulunya merupakan bandar kecil di teluk Tapian Nauli dan terletak di pulau Poncan Ketek. Pulau kecil ini letaknya tidak jauh dari

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Indramayu Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52'-108 36' BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 61 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis 4.1.1 Kota Ambon Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1979, luas Kota Ambon adalah 377 Km 2 atau 2/5 dari luas wilayah Pulau Ambon.

Lebih terperinci

A. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan Penduduk

A. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan Penduduk Perspektif Kabupaten Berau selama 5 tahun ke depan didasarkan pada kondisi objektif saat ini dan masa lalu yang diprediksi menurut asumsi cetiris paribus. Prediksi dilakukan terhadap indikator-indikator

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Aktivitas Penangkapan Ikan Lemuru 5.1.1 Alat tangkap Purse seine merupakan alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan di sekitar Selat Bali dalam menangkap ikan lemuru. Purse

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2012 BPS KABUPATEN PADANG LAWAS PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2012 No. 01/07/1221/Th. V, 8 Juli 2013 Pertumbuhan ekonomi Padang Lawas tahun 2012 yang diukur berdasarkan kenaikan laju pertumbuhan Produk

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Administrasi wilayah Provinsi Sumatera Selatan secara geografis terletak pada 1 0 LU 4 0 LS dan 102,25 0 108,41 0 BT, dengan luas mencapai 87.017,42 km 2, atau 8.701.742 ha yang

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Propinsi Kalimantan Timur dengan luas wilayah daratan 198.441,17 km 2 dan luas pengelolaan laut 10.216,57 km 2 terletak antara 113º44 Bujur Timur dan 119º00

Lebih terperinci

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR Oleh : FRANSISKUS LAKA L2D 301 323 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

3 DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN

3 DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN 38 3 DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN 3.1 Kondisi Geografis Daerah Penelitian Kabupaten Situbondo merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang dikenal dengan daerah wisata pantai Pasir Putih dan cagar

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis 29 4 KEADAAN UMUM 4.1 Letak dan Kondisi Geografis Keadaan geografi Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luas laut yang cukup besar. Secara geografis Kabupaten Aceh Besar berada

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 4.1. Gambaran Umum inerja perekonomian Jawa Barat pada tahun ini nampaknya relatif semakin membaik, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi Jawa

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum PPP Labuan, Banten Wilayah Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6 0 21-7 0 10 Lintang Selatan dan 104 0 48-106 0 11 Bujur Barat dengan luas

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL........ iv DAFTAR GAMBAR........ vii DAFTAR LAMPIRAN........ viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang....... 1.2. Perumusan Masalah.......... 1.3. Tujuan dan Kegunaan..... 1.4. Ruang

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid Program Studi Ilmu Kelautan STITEK Balik Diwa Makassar Email : hartati.tamti@gmail.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

4.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap Kabupaten Lamongan

4.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap Kabupaten Lamongan 23 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografi dan Topografi Kecamatan Brondong merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Timur. Brondong adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Lamongan,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN BALIKPAPAN KOTA DALAM WILAYAH KOTA BALIKPAPAN

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN BALIKPAPAN KOTA DALAM WILAYAH KOTA BALIKPAPAN PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN BALIKPAPAN KOTA DALAM WILAYAH KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KAKAP DI KABUPATEN KUTAI TIMUR (Bio-economic Analysis of Blood Snaper Resources Utilization in Kutai Timur Regency) ERWAN SULISTIANTO Jurusan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG REVISI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BALIKPAPAN TAHUN

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG REVISI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BALIKPAPAN TAHUN PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG REVISI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BALIKPAPAN TAHUN 1994-2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

Produksi (Ton) Trip Produksi (Ton) Pukat Cincin ,

Produksi (Ton) Trip Produksi (Ton) Pukat Cincin , Lampiran 1. Produksi per alat tangkap per tahun Tabel 11. Produksi ikan tembang per upaya penangkapan tahun 2008-2012 Jenis Alat 2008 2009 2010 2011 2012 Tangkap Upaya Penangkapan Produksi (Ton) Upaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di TPI Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan alasan dan kriteria

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI Cimahi berasal dari status Kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Bandung sesuai dengan perkembangan dan kemajuannya berdasarkan Undangundang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci