KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT KASAR DAN RANCANGAN TEKNIK KENDALINYA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TRANSPORTASI MODA PIPA NUR WULANDARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT KASAR DAN RANCANGAN TEKNIK KENDALINYA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TRANSPORTASI MODA PIPA NUR WULANDARI"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT KASAR DAN RANCANGAN TEKNIK KENDALINYA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TRANSPORTASI MODA PIPA NUR WULANDARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Karakteristik Minyak Sawit Kasar dan Rancangan Teknik Kendalinya untuk Mendukung Pengembangan Transportasi Moda Pipa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Mei 2012 Nur Wulandari NIM F

3 KOSONG

4 ABSTRACT NUR WULANDARI. Characteristics of Crude Palm Oil and Their Control Techniques Design to Support the Development of Pipeline Mode Transportation. Under direction of TIEN R. MUCHTADI, SLAMET BUDIJANTO, and SUGIYONO Indonesia is the largest producer and exporter of crude palm oil (CPO) in the world. CPO usually transported from palm oil factory to the storage tank by using tank truck. This mode of transportation is less efficient, and should be replaced by more efficient mode of transportation such as pipeline mode. Engineering principles must be applied in CPO s pipeline mode transportation, which need basic data related to flow properties of CPO. This research was conducted to obtain basic data on the characteristics of CPO related to flow properties, and also to design their control techniques in order to support and strengthen the engineering approaches for the development of pipeline mode transportation of CPO. The research consisted of (1) study on CPO s quality and physical properties; (2) study on the effect of temperature on physical properties of CPO; (3) study on rheological and crystallization properties of CPO in dynamic conditions; and (4) study on control techniques design of CPO s pipeline mode transportation. CPO samples had variety on their quality attributes dan physical properties. There was good correlation between iodine values of CPO to the rheological properties of CPO at 25 C. Density, solid fat content (SFC), and rheological properties of CPO were influenced by temperature. Method of temperature preconditioning, determined the rheological properties of CPO. The flow properties of CPO samples equilibrated for 24 hour has shifted from Newtonian behaviour (detected in 55 to 45 o C) to become pseudoplastic (detected in 40 to 25 o C). CPO samples without equilibration with cooling rate from 55 o C to the measurement temperatures, had Newtonian behaviour until temperature of 30 o C. Temperature cycles in the rate of 1 o C/minute between o C affected the entalphy, SFC, and apparent viscosity ( ) reversibly. Cooling rate and shear rate from 55 o C to 30 o C had no influence on as long as the temperature of CPO were not reach isothermal conditions, with maximum in 30 o C about 60 mpa.s. Study on CPO flow by using circulated pipeline in isothermal conditions showed that non-isothermal condition below its melting point (T M ) must be controlled for maintaining low of CPO. Rheology and crystallization properties of CPO can be controlled along the pipeline by using two flow systems: (A) isothermal flow system for transporting CPO in short distance in any temperature above 40 to 55 o C maintained by insulation system; and (B) non-isothermal flow system from 55 o C to the minimun temperature of 30 o C before isothermal condition, for transporting CPO in long distance, which controlled by insulation system and some heating stations in several points along the pipeline. Data of CPO s characteristics and their control techniques design resulted from this research is very useful for the development of CPO s pipeline mode transportation. Keywords: palm oil, physical properties, rheology, crystallization, pipeline mode transportation

5 KOSONG

6 RINGKASAN NUR WULANDARI. Karakteristik Minyak Sawit Kasar dan Rancangan Teknik Kendalinya untuk Mendukung Pengembangan Transportasi Moda Pipa. Dibimbing oleh TIEN R. MUCHTADI, SLAMET BUDIJANTO, dan SUGIYONO. Saat ini, Indonesia merupakan produsen dan pengekspor minyak sawit kasar (crude palm oil atau CPO) terbesar di dunia. CPO sebagian besar digunakan sebagai produk pangan, dengan mutu yang harus dipertahankan sebaik mungkin selama penanganan dan transportasinya. Transportasi CPO dari pabrik kelapa sawit (PKS) menuju tangki timbun maupun pabrik pengolah produk turunan CPO umumnya dilakukan dengan moda transportasi darat menggunakan truk tangki. Terdapat beberapa kelemahan dalam moda transportasi dengan truk tangki antara lain dibutuhkannya alat transportasi dan energi bahan bakar minyak untuk menjalankan alat transportasi tersebut, serta sarana jalan yang terkadang tidak sebanding dengan jumlah alat transportasi yang beroperasi. Selain itu, saat kembali menuju PKS, terjadi inefisiensi dimana alat transportasi tersebut kembali tanpa muatan. Selama transportasi dan kegiatan bongkar muat dengan truk tangki, terdapat peluang pencemaran CPO dari peralatan yang digunakan maupun dari teknik penanganan yang kurang baik. Sebagai alternatif moda transportasi CPO yang lebih efisien, dapat digunakan moda transportasi CPO dengan pipa. Penggunaan moda pipa yang mampu menjamin aliran CPO di sepanjang pipa perlu dilakukan melalui penerapan prinsip-prinsip rekayasa proses yang membutuhkan data dasar karakteristik CPO. Dengan demikian, kajian mengenai karakteristik CPO khususnya terkait dengan sifat reologi dan kristalisasinya selama pengaliran perlu dilakukan secara lebih mendalam. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh data dasar karakteristik CPO beserta teknik kendalinya selama proses pengaliran dalam pipa, yang berguna dalam mendukung dan memperkuat dasar keteknikan terkait pengembangan sistem transportasi CPO moda pipa di Indonesia untuk jarak tempuh yang jauh. Dengan demikian, dasar-dasar ilmiah terkait dengan desain pipa dan teknik kendali pengaliran CPO untuk pengembangan transportasi CPO moda pipa menjadi lebih kuat. Penelitian ini dilaksanakan dalam empat tahap yaitu (1) kajian mutu dan sifat fisik CPO; (2) kajian pengaruh suhu terhadap sifat fisik CPO; (3) kajian sifat reologi dan kristalisasi CPO pada kondisi dinamis, dan (4) kajian rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa. Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan adanya variasi mutu dan sifat fisik sampel CPO. CPO memiliki sifat fluida non-newtonian pseudoplastic pada suhu 25 o C, sedangkan pada suhu 55 o C bersifat sebagai fluida Newtonian. Diperoleh korelasi yang nyata antara bilangan iod (BI) CPO dengan indeks tingkah laku aliran pada suhu 25 o C (n 25 ) dan viskositas terukur pada suhu 25 o C ( 25 ). Persamaan regresi linier untuk memprediksi n 25 berdasarkan BI adalah n 25 = (BI) (R² = 0.879); sedangkan persamaan regresi linear untuk memprediksi 25 berdasarkan BI adalah 25 = (BI) (R² = 0.904).

7 viii Pengaruh suhu terhadap sifat fisik CPO dipelajari lebih lanjut pada tahap penelitian kedua. Pada suhu yang semakin tinggi, densitas ( dan kandungan lemak padat atau solid fat content (SFC) CPO semakin rendah, dan terjadi transisi sifat reologi CPO pada suhu sekitar 40 o C dari sifat fluida non-newtonian pseudoplastic menjadi fluida Newtonian. Pengaruh suhu terhadap CPO dimodelkan dengan persamaan regresi linier (g/ml) = T (R 2 = 0.984). Pengaruh suhu terhadap viskositas terukur ( ) CPO sesuai dengan model Arrhenius, dengan nilai energi aktivasi (E a ) CPO yang relatif lebih besar dibandingkan E a sampel minyak nabati lainnya. Prediksi E a sampel CPO dari BInya pada shear rate 100 s -1 dapat dilakukan dengan persamaan E a = (BI) (R 2 = 0.946), sedangkan untuk shear rate 400 s -1 dapat dilakukan dengan persamaan E a = (BI) (R 2 = 0.993). Sampel CPO dengan BI yang semakin kecil memiliki E a yang semakin besar. Perubahan nilai SFC akibat pengaruh suhu juga berkorelasi dengan perubahan sifat reologi CPO. Berdasarkan SFC-nya, parameter sifat reologi n dapat diprediksi dengan persamaan n = (SFC) (R² = 0.903), sedangkan indeks konsistensi (K) dapat diprediksi dengan persamaan K = 0.146(SFC) (R² = 0.977). Sifat reologi CPO sangat ditentukan oleh metode penerapan suhu yang dialaminya. Metode penerapan suhu (1) (sampel CPO telah disetimbangkan suhunya selama 24 jam di suhu pengukuran setelah pemanasan awal CPO di suhu 55 o C) menghasilkan sifat reologi non-newtonian pseudoplastic pada suhu di bawah 45 o C dengan yang relatif tinggi. Metode penerapan suhu (2) (sampel CPO mengalami penurunan suhu dari suhu pemanasan awal 55 o C dengan laju ( T) 1 o C/menit menuju suhu pengukuran) cenderung tetap mempertahankan sifatnya sebagai fluida Newtonian dengan yang relatif rendah hingga suhu 30 o C. Penerapan suhu yang meningkat dan menurun (siklus suhu) pada kisaran suhu o C tidak mengubah profil sifat termal, SFC, maupun CPO, dan perubahan sifat fisik tersebut bersifat dapat balik (reversible) serta dapat berulang (reproducible). Pada tahap penelitian ketiga, proses kristalisasi lemak serta sifat reologi CPO dipelajari pada kondisi dinamis. Pengujian pada kondisi dinamis yang terkontrol melalui penerapan T (0.1, 0.2, 0.5, dan 1 o C/menit) dan shear rate (40, 100, dan 400 s -1 ), menunjukkan bahwa pada saat suhu menurun dari 55 o C ke 25 o C, CPO akan mengalami peningkatan secara linier, kecuali pada perlakuan dengan T 0.1 o C/menit. Pada T yang sangat lambat dapat terjadi induksi kristalisasi walaupun T C belum tercapai. Pada kisaran suhu o C dengan kondisi non-isotermal, perlakuan T, shear rate, dan interaksi antara T dan shear rate, tidak berpengaruh nyata terhadap E a, dan CPO masih mempertahankan sifatnya sebagai fluida Newtonian, belum mengalami induksi kristalisasi, dan memiliki yang relatif rendah sekitar 60 mpa.s. Pada kondisi isotermal, bila suhu berada di atas titik leleh (melting point, T M ) CPO (39.63 o C) dan tidak terjadi kondisi supercooling (T M -T>0), maka T dan shear rate tidak berpengaruh nyata terhadap profil perubahan nilai CPO dan bersifat sebagai fluida Newtonian. Akan tetapi pada kondisi isotermal di T C dengan derajat supercooling tertentu, T dan shear rate berpengaruh nyata terhadap t i dan maksimal setelah tahap kristalisasi maks ). Pada T yang semakin rendah t i menjadi semakin singkat sedangkan maks semakin besar. Pada shear rate yang semakin tinggi, t i menjadi

8 semakin singkat dan maks semakin rendah akibat terjadinya pemecahan agregat kristal. Hasil pengujian simulasi pengaliran CPO dalam pipa sirkulasi untuk konfirmasi sifat reologi dan kristalisasi lemak CPO, sesuai dengan hasil pengujian pada kondisi dinamis terkontrol. Sifat fluida CPO masih dipertahankan sebagai fluida Newtonian pada saat suhu masih menurun dari suhu awal 55 o C dan belum isotermal. Pada suhu pengaliran isotermal di atas T M, maka CPO bersifat sebagai fluida Newtonian, sedangkan pada suhu pengaliran isotermal di bawah T M, terjadi kondisi supercooling dan terjadi transisi sifat fluida CPO menjadi fluida non- Newtonian pseudoplastic dengan yang meningkat drastis. Telah disusun rancangan sistem kendali karakteristik CPO selama pengaliran yaitu (A) kendali pengaliran pada kondisi isotermal pada suhu tertentu (dipilih di antara suhu di atas o C) untuk pengaliran CPO jarak dekat, dan (B) kendali pengaliran pada kondisi non-isotermal yang dimulai dari suhu awal CPO 55 o C hingga suhu minimal tertentu yaitu pada suhu 30 o C, yang belum mengalami induksi kristalisasi lemak, untuk pengaliran CPO jarak jauh. Pengaliran CPO pada kondisi isotermal membutuhkan stasiun pompa penguat dan sistem insulasi yang harus mampu mempertahankan karakteristik reologi CPO yang tetap konstan di sepanjang pipa, sedangkan pengaliran CPO pada kondisi non-isotermal membutuhkan stasiun pompa penguat, sistem insulasi di sepanjang pipa, serta stasiun pemanas pada beberapa lokasi untuk mencegah induksi kristalisasi lemak CPO. Data karakteristik dasar dan rancangan teknik kendali karakteristik CPO yang telah dihasilkan penelitian ini, sangat penting untuk menjadi dasar di dalam pengembangan dan aplikasi transportasi CPO moda pipa. Untuk mewujudkan transportasi CPO moda pipa tersebut, diperlukan kajian teknis yang lebih mendalam untuk memperoleh rancangan teknis yang akurat dan sesuai dengan kondisi topografi, lingkungan tempat sistem pipa akan dibangun, serta kebutuhan teknis lainnya di lapangan. Kata kunci: minyak sawit, sifat fisik, reologi, kristalisasi, transportasi moda pipa

9 KOSONG

10 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB

11 KOSONG

12 KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT KASAR DAN RANCANGAN TEKNIK KENDALINYA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TRANSPORTASI MODA PIPA NUR WULANDARI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Ilmu Pangan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

13 KOSONG

14 Judul Disertasi : Karakteristik Minyak Sawit Kasar dan Rancangan Teknik Kendalinya untuk Mendukung Pengembangan Transportasi Moda Pipa. Nama : Nur Wulandari NRP : F Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, M.S. Ketua Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr. Anggota Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Mayor Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr. Tanggal Ujian: 03 April 2012 Tanggal Lulus:

15 xvi Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. I Wayan Budiastra, M.Agr. Dr. A. Suwita Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Anny Sulaswatty, M.Eng. Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira Sa id, M.A.Dev.

16 PRAKATA Alhamdulillahi robbil alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga karya ilmiah disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini berjudul Karakteristik Minyak Sawit Kasar dan Rancangan Teknik Kendalinya untuk Mendukung Pengembangan Transportasi Moda Pipa. Penulisan karya ilmiah ini berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada bulan September 2010 hingga November 2011 di Institut Pertanian Bogor, melalui dukungan dana penelitian dari program Hibah Disertasi Doktor, Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, RI dengan Nomor Kontrak 23/I /SPK/PDD/2011, serta dukungan dana dari Program Difusi IPTEK, Kementerian Riset dan Teknologi RI tahun Di dalam penyusunan disertasi dan penyelesaian studi doktor, penulis memperoleh dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Tien R Muchtadi, M.S., selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr. dan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc., selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala arahan dan bimbingan yang telah diberikan di dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Wayan Budiastra, M.Agr. dari Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, FATETA, IPB; dan Dr. Suwita dari PT SMART Tbk., atas kesediaanya menjadi penguji luar komisi dalam ujian tertutup. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Anny Sulaswatty, M.Eng. dari Biro Hukum dan Humas, Kementerian Riset dan Teknologi RI; dan Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira Sa id, M.A.Dev. dari Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB; atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi dalam ujian terbuka. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr. Soenar Soekopitojo, Bapak Sukarna, Bapak Gatot Supriadi, Bapak Hendra, Bapak Mad Iyas, dan Ria, yang telah membantu selama kegiatan penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Saudara Desir Detak Insani, Hanna Mery Aulia, Renny Permatasari, dan Ricky A. Sinaga, yang telah memberikan bantuan teknis di dalam pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih yang tak terhingga juga penulis haturkan kepada orang tua penulis, Bapak Tuwun dan Ibu Sutiyah, serta Bapak Ating Suhana dan Ibu Rodiah; juga kepada suami tercinta Eddy Fadillah Safardan dan anak-anakku tersayang, Farhan Rizqy Ghazali dan Sabrina Nurfathiyya Rahma, yang telah dengan sabar memberikan doa, dukungan, dan semangat pada penulis dalam menjalani studi dan penelitian doktor. Juga kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, mudah-mudahan Allah SWT membalas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu, melaksanakan penelitian, dan menyelesaikan disertasi di Program S3 Ilmu Pangan ini. Semoga Allah SWT memberikan limpahan pahala, rahmat dan hidayah-nya untuk kita semua, dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Mei 2012 Nur Wulandari

17 KOSONG

18 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 03 Oktober 1974 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Drs. Tuwun dan Ibu Sutiyah. Pendidikan sarjana ditempuh penulis pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan lulus pada tahun Pada tahun 1998, penulis memperoleh kesempatan melanjutkan studi program magister pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pasca Sarjana IPB dengan beasiswa dari URGE Project Batch V dan menamatkannya pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan program doktor diperoleh dari Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana, Direktorat Pendidikan Tinggi (BPPS-DIKTI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB sejak tahun Selain itu sejak tahun 2006, penulis juga menjadi peneliti di Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, IPB. Bidang penelitian yang ditekuni adalah rekayasa dan proses pangan, khususnya terkait dengan produk hilir kelapa sawit. Selama bekerja, penulis menjadi anggota pada Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) dan Masyarakat Perkelapa-sawitan Indonesia (MAKSI). Hasil penelitian yang merupakan bagian dari disertasi ini telah dipresentasikan dalam bentuk poster dalam Seminar Tahunan Masyarakat Perkelapa-sawitan Indonesia (MAKSI) di Bogor, pada tanggal 8-9 Desember 2010 dengan judul karya ilmiah Reologi Minyak Sawit Kasar dan Korelasinya dengan Kandungan Lemak Padat. Selain itu penulis juga telah menyajikan karya ilmiah dalam bentuk poster pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional X (KIPNAS X) di Jakarta, pada tanggal 8-10 November 2011, dengan judul Karakteristik Aliran Minyak Sawit Kasar untuk Mendukung Pengembangan Transportasi Moda Pipa. Karya ilmiah lain berupa artikel jurnal telah diterbitkan pada Jurnal Teknologi dan Industri Pangan (ISSN : , Akreditasi DIKTI: B) pada Volume XXII No. 2( ), dengan judul artikel Sifat Fisik Minyak Sawit Kasar dan Korelasinya dengan Atribut Mutu.

19 KOSONG

20 xxi DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xxiii DAFTAR GAMBAR... xxv DAFTAR LAMPIRAN... xxix DAFTAR SIMBOL... xxxiii 1 PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 6 Manfaat Penelitian... 7 Hipotesis... 7 Ruang Lingkup Penelitian... 8 Kebaruan Penelitian KAJIAN MUTU DAN SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan PENGARUH SUHU TERHADAP SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan SIFAT REOLOGI DAN KRISTALISASI MINYAK SAWIT KASAR PADA KONDISI DINAMIS Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan

21 xxii 5 RANCANGAN TEKNIK KENDALI TRANSPORTASI MINYAK SAWIT KASAR MODA PIPA Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan PEMBAHASAN UMUM Penggunaan Data Dasar Karakteristik Minyak Sawit Kasar dalam Transportasi CPO Moda Pipa Pentingnya Pemenuhan Standar Mutu CPO terhadap Karakteristik CPO terkait Proses Pengaliran Peluang Penggunaan Kondisi Metastabil CPO dalam Rancangan Teknik Kendali Transportasi CPO Moda Pipa Simpulan SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

22 xxiii DAFTAR TABEL Halaman 1 Hasil analisis mutu lima sampel CPO Komposisi asam lemak bebas lima sampel CPO dan standar menurut CODEX STAN (CAC 2009), beserta bilangan iod hasil perhitungan berdasarkan komposisi asam lemaknya Data sifat fisik lima sampel CPO pada suhu 25 o C Data sifat fisik lima sampel CPO pada suhu 55 o C Titik onset kristalisasi dan titik leleh lima sampel CPO hasil analisis kalorimetri dinamis dengan DSC Hasil uji korelasi Pearson (two-tailed) antara antara atribut mutu dan parameter sifat fisik lima sampel CPO Parameter model fluida CPO yang ditunjukkan oleh indeks tingkah Laku aliran (n) dan indeks konsistensi (K) pada tiga sampel CPO Viskositas terukur tiga sampel CPO pada shear rate 100 s -1 dan 400 s Parameter model Arrhenius pengaruh suhu terhadap viskositas terukur CPO sebagai fluida non-newtonian pada shear rate 100 s Parameter model Arrhenius pengaruh suhu terhadap viskositas terukur CPO sebagai fluida non-newtonian pada shear rate 400 s Parameter model fluida CPO yang ditunjukkan oleh indeks tingkah Laku aliran (n) dan indeks konsistensi (K) CPO C pada dua metode penerapan suhu Viskositas terukur sampel C CPO pada shear rate 100 s -1 dan 400 s -1 pada dua metode penerapan suhu Perlakuan pengaruh laju penurunan suhu dan shear rate terhadap viskositas terukur sampel CPO Waktu induksi kristalisasi (t i ) dan waktu peak kristalisasi (t p ) berdasarkan kurva eksotermik pada tahap kristalisasi isotermal CPO, dengan laju penurunan suhu 1 o C/menit

23 xxiv 15 Pengaruh laju penurunan suhu terhadap parameter kristalisasi CPO pada suhu kristalisasi 25 o C Data energi aktivasi (E a ) pada perubahan viskositas terukur CPO saat diberi kombinasi perlakuan laju penurunan suhu dan shear rate pada kisaran suhu o C dan o C Data waktu induksi kristalisasi (t i ) pada perubahan viskositas terukur CPO saat diberi kombinasi perlakuan laju penurunan suhu dan shear rate pada T C 25 o C Data viskositas terukur maksimal ( maks ) pada perubahan viskositas terukur CPO saat diberi kombinasi perlakuan laju penurunan suhu dan shear rate pada T C 25 o C Viskositas terukur ( ) CPO pada kondisi yang berbeda setelah pemanasan awal 55 o C (diukur pada shear rate 400 s -1 ) Dimensi pipa sirkulasi untuk pengujian simulasi pengaliran CPO Sifat reologi CPO selama pengaliran dengan suhu awal 55 o C menuju suhu pengaliran isotermal 36 o C Terminologi energi yang terlibat dalam aliran fluida Variabel proses dan asumsi yang digunakan pada contoh kasus perhitungan rancangan teknis transportasi CPO moda pipa pada system pengaliran isotermal Contoh perhitungan rancangan teknis transportasi CPO moda pipa Pada sistem pengaliran isotermal pada suhu 40 hingga 55 o C Variabel proses dan asumsi yang digunakan pada contoh kasus perhitungan rancangan teknis transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran non-isotermal Contoh perhitungan rancangan teknis transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran non-isotermal dimulai dari suhu 55 o C hingga suhu 30 o C, pada dua kasus jarak terkait T flow kritis Indeks tingkah laku aliran (n) CPO pada perlakuan awal yang berbeda sebelum analisis Viskositas terukur CPO di 400 s -1 pada perlakuan awal yang Berbeda sebelum analisis

24 xxv DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Ruang lingkup penelitian Karakteristik Minyak Sawit Kasar (Crude Palm Oil atau CPO) dan Teknik Kendalinya untuk Mendukung Pengembangan Transportasi Moda Pipa Diagram alir penelitian kajian mutu dan sifat fisik minyak sawit kasar (CPO) Kenampakan lima sampel CPO yang digunakan Hubungan shear rate dan shear stress atau kurva rheogram lima sampel CPO pada suhu 25 o C Hubungan ln shear rate dan ln shear stress sampel CPO dan penepatan model fluidanya (menampilkan data CPO C) Thermogram kristalisasi dinamis tipikal sampel CPO (menampilkan thermogram sampel CPO C) yang diperoleh dengan instrumen Differential Scanning Calorimetry Thermogram pelelehan dinamis tipikal sampel CPO (menampilkan thermogram sampel CPO C) yang diperoleh dengan instrumen Differential Scanning Calorimetry Diagram alir penelitian pengaruh suhu terhadap sifat fisik minyak sawit kasar (CPO) Densitas tiga sampel CPO pada suhu o C Regresi linier pengaruh suhu terhadap densitas tiga sampel CPO Kandungan lemak padat (SFC) tiga sampel CPO pada suhu o C Rheogram yang diukur pada kisaran suhu o C pada sampel CPO A, CPO B, dan CPO C Profil viskositas terukur CPO yang diukur pada kisaran suhu o C pada sampel CPO A, CPO B, dan CPO C Pengaruh suhu terhadap viskositas terukur tiga sampel CPO pada shear rate 100 s -1 dan 400 s

25 xxvi 15 Rheogram CPO pada beberapa suhu dengan moda penerapan suhu (1) setelah penyetimbangan pada suhu pengukuran selama 24 jam, dan (2) setelah penurunan suhu dengan laju 1 o C/menit Viskositas terukur CPO pada beberapa suhu dengan moda penerapan suhu (1) setelah penyetimbangan pada suhu pengukuran selama 24 jam, dan (2) setelah penurunan suhu dengan laju 1 o C/menit Profil entalpi (thermogram) DSC sampel CPO saat mengalami tahap pemanasan ke 55 o C dan penurunan suhu ke 25 o C secara berulang sebanyak 10 siklus Grafik kandungan lemak padat CPO saat mengalami tahap pemanasan ke 55 o C dan penurunan suhu ke 25 o C secara berulang sebanyak 3 siklus Viskositas terukur CPO saat mengalami siklus suhu 55 o C dan 25 o C secara berulang dengan laju perubahan suhu 1 o C/menit (shear rate 100 s -1 ) Diagram alir penelitian kajian sifat reologi dan kristalisasi minyak sawit kasar (CPO) pada kondisi dinamis Skema sistem pipa sirkulasi untuk simulasi pengaliran CPO Thermogram kristalisasi isotermal CPO pada beberapa suhu kristalisasi Thermogram pelelehan CPO setelah tahap kristalisasi isotermal pada beberapa suhu kristalisasi Viskositas terukur sampel CPO yang diamati dari suhu awal 55 o C hingga 25 o C, pada kombinasi perlakuan laju penurunan suhu dan shear rate terkontrol Pengaruh laju penurunan suhu terhadap profil viskositas terukur CPO saat mengalami tahap kristalisasi isotermal di suhu 25 o C dengan suhu awal 55 o C dan shear rate 400 s Pengaruh shear rate terhadap profil viskositas terukur CPO saat mengalami tahap kristalisasi isotermal di suhu 25 o C dengan suhu awal 55 o C dan laju penurunan suhu 1 o C/menit Profil perubahan viskositas terukur ( ) CPO yang dimulai pada suhu 55 o C, dan mengalami penurunan suhu pada laju penurunan suhu 0.1 o C/menit dan shear rate 400 s -1, kemudian ditahan pada kondisi isotermal

26 xxvii xxvii 28 Profil perubahan viskositas terukur ( ) CPO yang dimulai pada suhu 55 o C, dan mengalami penurunan suhu pada laju penurunan suhu 0.1 o C/menit dan shear rate 400 s -1, kemudian ditahan pada kondisi isotermaldi suhu kristalisasi (T C ) tertentu Pipa sirkulasi untuk pengujian karakteristik CPO selama pengaliran Perlengkapan pendukung pipa sirkulasi berupa (a) tangki penyeimbang dengan pemanas, (b) pompa, (c) flow meter, dan (d) thermorecorder Profil perubahan viskositas terukur dan suhu selama pengujian pengaliran dengan pipa sirkulasi yang dimulai dari suhu 55 o C Penyederhanaan proses penanganan bahan pada transportasi CPO moda pipa Kerangka pikir dalam kajian rancangan teknik kendali transportasi minyak sawit kasar (CPO) moda pipa Tahap perhitungan dan rumus yang digunakan dalam perhitungan parameter proses transportasi fluida yang ditentukan oleh karakteristik CPO dan dimensi pipa, sesuai kondisi proses pengaliran yang ditetapkan Bagan alir rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran isotermal untuk transportasi CPO jarak dekat dan T rendah Bagan alir rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran non-isotermal dari suhu awal 55 o C hingga suhu pengaliran minimal di atas T M

27 xxviii

28 xxix DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil analisis mutu lima sampel CPO berdasarkan SNI Hasil uji one-way analysis of variance (ANOVA) dan uji lanjut Duncan terhadap mutu lima sampel CPO berdasarkan SNI Kromatogram beserta data komposisi asam lemak pada lima sampel CPO hasil analisis dengan Gas Chromatography Hasil uji one-way analysis of variance (ANOVA) dan uji lanjut Duncan terhadap komposisi asam lemak lima sampel CPO yang dianalisis dengan Gas Chromatography Hasil analisis sifat fisik lima sampel CPO pada suhu 25 o C dan 55 o C Hasil uji one-way analysis of variance (ANOVA) dan uji lanjut Duncan terhadap sifat fisik lima sampel CPO yang diukur pada suhu 25 o C Hasil uji one-way analysis of variance (ANOVA) dan uji lanjut Duncan terhadap sifat fisik lima sampel CPO yang diukur pada suhu 55 o C Persamaan linier hubungan shear rate dan shear stress lima sampel CPO untuk penentuan parameter model fluida Power Law pada suhu 25 o C dan 55 o C Titik onset kristalisasi (T O ) dan titik offset pelelehan leleh (T M ) lima sampel CPO berdasarkan thermogram dinamik DSC Hasil uji one-way analysis of variance (ANOVA) terhadap titik onset kristalisasi (T O ) dan titik offset pelelehan (T M ) lima sampel CPO berdasarkan thermogram hasil pengujian DSC Hasil uji korelasi Pearson (two- tailed) pada parameter sifat fisik dan atribut mutu lima sampel CPO Data densitas tiga sampel CPO pada suhu o C dengan prosedur pengukuran standar Data kandungan lemak pada (solid fat content/sfc) tiga sampel CPO pada suhu o C dengan prosedur pengukuran standar

29 xxx 14 Data sifat reologi tiga sampel CPO pada suhu o C dengan prosedur pengukuran standar Persamaan regresi linier hubungan shear rate dan shear stress tiga sampel CPO untuk penentuan parameter model fluida Power Law pada suhu 25 o C-55 o C Hasil uji one-way analysis of variance (ANOVA) dan uji lanjut Duncan pengaruh suhu pada kisaran o C terhadap sifat reologi CPO A, CPO B, dan CPO C, pada moda pengukuran standar Penepatan model Arrhenius dengan plot 1/T terhadap ln tiga sampel CPO Hasil uji korelasi Pearson (two-tailed) antara atribut mutu kadar asam lemak bebas dan bilangan iod dengan nilai energi aktivasi (E a ) dan konstanta Arrhenius (A) tiga sampel CPO pada shear rate 100 s -1 dan 400 s Grafik persamaan regresi linier antara atribut mutu bilangan iod dengan nilai energi aktivasi (E a ) tiga sampel CPO pada shear rate 100 s -1 dan 400 s Hasil uji korelasi Pearson (two-tailed) antar sifat fisik CPO (densitas, SFC, dan sifat reologi) pada tiga sampel CPO saat mengalami perubahan suhu Grafik persamaan regresi linier antara nilai SFC dengan parameter sifat reologi CPO Persamaan regresi linier hubungan shear rate dan shear stress sampel CPO C untuk penentuan parameter model fluida Power Law pada suhu 25 o C-55 o C dengan moda penerapan suhu (a) dan (b) Data pengaruh suhu pada kisaran o C terhadap sifat reologi CPO C dengan moda penerapan suhu (a) dan (b) Hasil uji one-way analysis of variance (ANOVA) dan uji lanjut Duncan pengaruh suhu pada kisaran o C terhadap sifat reologi CPO C pada moda penerapan suhu (a) pemanasan awal suhu 55 o C dan penyimpanan pada suhu pengukuran selama 1 minggu Hasil uji one-way analysis of variance (ANOVA) dan uji lanjut Duncan pengaruh suhu pada kisaran o C terhadap sifat reologi CPO C, pada moda penerapan suhu (b) pemanasan awal suhu 55 o C dan penurunan suhu 1 o C/menit menuju suhu pengukuran

30 xxxi xxxi 26 Hasil uji one-way analysis of variance (ANOVA) pengaruh siklus suhu pada kisaran o C terhadap profil entalpi dan suhu onset kristalisasi yang diukur dengan Differential Scanning Calorimetry Data kandungan lemak pada (SFC) sampel CPO C saat mengalami siklus suhu meningkat dan menurun pada kisaran suhu o C, dengan laju perubahan suhu 1 o C/menit dan shear rate 100 s Data viskositas terukur sampel CPO C saat mengalami siklus suhu meningkat dan menurun pada kisaran suhu o C, dengan laju perubahan suhu 1 o C/menit dan shear rate 100 s Data energi aktivasi (E a ) pada perubahan viskositas terukur CPO saat diberi kombinasi perlakuan laju penurunan suhu dan shear rate Contoh penepatan model Arrhenius dengan plot 1/T terhadap ln sampel CPO saat mengalami perlakuan kombinasi laju penurunan suhu dan shear rate dari suhu 55 ke 25 o C Hasil uji univariate analysis of variance (ANOVA) dan uji lanjut Duncan pengaruh laju penurunan suhu ( T) dan shear rate terhadap nilai energi aktivasi (E a ) CPO pada penurunan suhu dari 55 o C ke suhu 25 o C Hasil uji univariate analysis of variance (ANOVA) pengaruh laju penurunan suhu ( T) dan shear rate terhadap nilai energi aktivasi (E a ) CPO pada penurunan suhu dari 55 o C ke suhu 30 o C Data pengaruh laju penurunan suhu ( T) dan shear rate terhadap waktu induksi kristalisasi (t i ) dan viskositas terukur maksimal ( maks ) pada proses kristalisasi CPO dengan suhu kristalisasi (T C ) 25 o C Hasil uji univariate analysis of variance (ANOVA) dan uji lanjut Duncan pengaruh laju penurunan suhu ( T) dan shear rate terhadap waktu induksi kristalisasi (t i ) dan viskositas terukur maksimal ( maks ) pada proses kristalisasi CPO dengan suhu kristalisasi (T C ) 25 o C Penepatan model Arrhenius dengan plot 1/T terhadap ln sampel CPO pada percobaan pengaliran dengan pipa sirkulasi hingga T C 36 o C

31 xxxii

32 xxxiii DAFTAR SIMBOL A luas area (m 2 ) A r konstanta Arrhenius (Pa.s) C p panas jenis (J.kg -1 ) D diameter pipa (m) E a energi aktivasi (J.mol -1 ) f faktor friksi (tak berdimensi) g kecepatan gravitasi (m.s -2 ) L panjang pipa (m) h ketinggian (m) h h koefisien pindah panas (W.m -2 K -1) k konduktivitas panas (W.m -1 K -1 ) K konsistensi indeks (Pa.s n ) m massa (kg) n indeks tingkah laku aliran (tak berdimensi) Nu bilangan Nusselt (tak berdimensi) P tekanan (Pa) Pr bilangan Prandtl (tak berdimensi) q laju aliran panas (J.s -1 ) Q debit aliran (m 3.s -1 ) R jari-jari pipa (m) R konstanta gas universal (J.mol -1 K -1 ) Re bilangan Reynolds (tak berdimensi) T suhu aktual ( o C) T flow suhu pengaliran ( o C) T i suhu induksi kristalisasi ( o C) T r suhu referensi ( o C atau K) T C suhu kristalisasi isotermal ( o C) T M suhu pelelehan ( o C) T O suhu onset kristalisasi ( o C) t i waktu induksi kristalisasi (s) V laju aliran rata-rata(m.s -1 ) W input kerja pompa (Pa) t p waktu peak kristalisasi (s) x p tebal pipa (m) γ shear rate (s -1 ) viskositas terukur (Pa.s) densitas (kg/l) P penurunan tekanan dalam pipa (Pa) P f penurunan tekanan karena friksi (Pa) T flow penurunan suhu selama pengaliran ( o C)

33 1 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Minyak sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang pertumbuhannya sangat cepat dan mempunyai peran strategis dalam perekonomian nasional. Sejak tahun 2006 Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit di dunia (USDA 2007). Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan bahwa volume produksi minyak sawit Indonesia pada tahun 2012 diperkirakan mencapai 25 juta ton, dengan volume ekspor hingga 18 juta ton (GAPKI 2012). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian RI (Ditjenbun 2011), produk minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO) Indonesia tahun 2010 sekitar juta ton. Dengan sedemikian besarnya volume produksi dan ekspor minyak sawit Indonesia, maka upaya peningkatan efisiensi produksi serta penanganannya perlu terus dilakukan agar daya saing minyak sawit Indonesia semakin meningkat. Menurut Basiron (2005), sekitar 90% dari total produksi minyak sawit digunakan untuk produk pangan, dan 10% lainnya digunakan untuk produk nonpangan. Data terbaru dari MPOC (2012) menyatakan bahwa penggunaan minyak sawit untuk produk non-pangan telah meningkat menjadi 20%. Data distribusi penggunaan CPO Indonesia pada tahun 2006 menurut Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia (DJIAK, 2009) mencakup pemenuhan kebutuhan ekspor 4.84 juta ton (30.25%), minyak goreng juta ton (60.65%), margarin dan shortening juta ton (4.34%), serta oleokimia juta ton (4.76%). Sebagai salah satu komoditas pangan berbasis minyak dan lemak, CPO mudah mengalami kerusakan. Menurut CAC (2005), terdapat tiga penyebab kerusakan yang dapat terjadi selama penyimpanan dan transportasi minyak nabati, yaitu terjadinya reaksi oksidasi, reaksi hidrolisis, dan terjadinya kontaminasi. Oleh karena itu setiap tahap proses yang diterapkan harus berlangsung pada kondisi yang terkontrol, sehingga mutu CPO dapat dipertahankan sebaik mungkin selama penanganan dan transportasinya.

34 2 Dalam sistem produksi minyak sawit yang berlanjut dengan mata rantai perdagangan dalam negeri dan luar negeri, produk minyak sawit melalui tahap transportasi yang cukup panjang. CPO yang diproduksi di pabrik kelapa sawit (PKS), umumnya mengalami transportasi menuju lokasi industri pemurnian minyak sawit maupun menuju pelabuhan menggunakan moda transportasi darat dengan truk tangki dan kereta api tangki, yang selanjutnya ditransportasikan ke negara tujuan ekspor dengan menggunakan moda transportasi laut. Khususnya untuk transportasi CPO dari PKS menuju industri pengolah CPO maupun menuju tangki penyimpanan di pelabuhan, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi. Transportasi CPO secara bulk melalui jalur darat membutuhkan alat transportasi dengan biaya operasional yang cukup tinggi. Selain membutuhkan energi bahan bakar minyak (BBM) untuk menjalankan alat transportasi tersebut, saat kembali menuju PKS terjadi inefisiensi dimana alat transportasi tersebut kembali tanpa muatan. Penggunaan moda transportasi darat juga membutuhkan sarana jalan yang memadai yang terkadang tidak sebanding dengan jumlah alat transportasi yang beroperasi, sehingga mengakibatkan kepadatan dan kemacetan lalu lintas. Kerusakan jalan akibat beban truk tangki yang melebihi batas kemampuan daya dukung jalan dan frekuensi lalu lintas truk tangki yang tinggi, juga menyebabkan biaya pemeliharaan jalan yang sangat mahal. Menurut DJIAK (2009), infrastruktur pendukung industri CPO antara lain pelabuhan curah cair dan akses jalan di Indonesia masih belum memadai. Pada moda transportasi darat juga terdapat peluang pencemaran CPO selama kegiatan bongkar muat. Beberapa kasus transportasi CPO melalui jalur darat mencatat adanya kejadian kecelakaan dan pencurian CPO selama perjalanan. Peluang terjadinya kerusakan selama transportasi darat juga cukup besar karena waktu tempuh alat transportasi yang terkadang tidak dapat dipastikan. Haryati et al. (1997) juga mengungkapkan bahwa moda transportasi dengan truk tangki membutuhkan proses pemanasan yang berulang saat bongkar muat, karena CPO harus dialirkan ke dalam dan keluar tangki pada suhu o C sesuai rekomendasi CAC dalam CAC/RCP 36 (CAC 2005). Frekuensi pemanasan dapat meningkat bila hanya sebagian CPO yang dikeluarkan dari tangki. Pada prakteknya di lapangan, suhu bongkar muat juga seringkali jauh lebih tinggi dari

35 3 55 o C (hingga mencapai 80 o C). Selain karena alasan agar proses pemanasan berlangsung lebih singkat, juga karena CPO ingin dipertahankan tetap cair tanpa perlu pemanasan kembali saat bongkar muat karena pada umumnya truk tangki tidak dilengkapi dengan sistem pemanas. Berbagai permasalahan tersebut menuntut perlunya pengembangan alternatif moda transportasi CPO yang lebih efisien, sehingga dapat memenuhi tuntutan akan kecenderungan produksi CPO Indonesia yang terus meningkat. Terdapat alternatif moda transportasi lain yang lebih efisien untuk bahan berbentuk cair yaitu menggunakan moda transportasi melalui pipa. Transportasi moda pipa telah diterapkan untuk beberapa fluida yang membutuhkan transportasi secara bulk. Moda pipa memiliki beberapa keuntungan antara lain dapat mengurangi pemakaian BBM, mengurangi okupansi jalan, dan peluang terjadinya kontaminasi lebih rendah. Penggunaan moda pipa juga lebih efisien karena tidak memerlukan tahap bongkar muat pada alat transportasi dari dan ke dalam tangki penyimpanan CPO. Pootakham dan Kumar (2010a dan 2010b) telah melakukan kajian perbandingan antara sistem transportasi moda pipa dengan moda truk tangki untuk bio-oil. Berdasarkan hasil penelitiannya, transportasi moda pipa lebih menguntungkan untuk transportasi bahan skala besar dan untuk jarak tempuh yang jauh. Sejalan dengan upaya pemerintah Republik Indonesia dalam penerapan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), telah dilakukan pengembangan klaster industri hilir kepala sawit (Lakitan 2012). Salah satu permasalahan yang masih dihadapi terkait pengembangan klaster industri hilir kepala sawit tersebut adalah jumlah dan kualitas infrastruktur transportasi yang belum memadai (Wargadalam 2012). Transportasi moda pipa dapat menjadi salah satu alternatif yang sesuai untuk menghubungkan antara unit produksi CPO dengan unit produksi produk turunan minyak sawit lainnya dalam kawasan klaster industri hilir kelapa sawit tersebut. Hingga saat ini, pemanfaatan moda pipa sebagai alternatif transportasi CPO baru diterapkan di industri pada jarak dekat untuk menghubungkan antara tangki penyimpanan ke alat transportasi CPO maupun ke tangki penyimpanan lainnya. Jarak terjauh proses pengaliran CPO dalam sistem pipa yang telah diaplikasikan

36 4 di salah satu industri pengolah sawit di Indonesia adalah sepanjang 3 km, yaitu yang dimiliki oleh Wilmar Group di Kuala Tanjung, Sumatera Utara. Pipa tersebut menghubungkan antara tangki penyimpanan di PKS dengan dermaga kapal pengangkut CPO. Untuk menempuh jarak tersebut, proses pengaliran dilakukan pada suhu tinggi sekitar 55 o C, mengikuti rekomendasi CAC/RCP 36 dimana suhu pengaliran untuk bongkar muat adalah pada suhu o C (CAC 2005). CPO harus terus dipertahankan pada kisaran suhu tersebut agar CPO berada dalam fase cair yang dapat dialirkan dan tidak mengalami kristalisasi yang berlebihan. Karena jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh, proses pengaliran CPO tersebut dapat dipertahankan tetap berlangsung pada suhu tinggi. Upaya untuk mempertahankan suhu agar tetap tinggi antara lain dengan penggunaan insulasi di sepanjang pipa dengan material yang dapat menghambat terjadinya pelepasan panas yang berlebihan dari CPO bersuhu tinggi ke lingkungan. Di dalam pengembangan sistem transportasi CPO moda pipa untuk jarak tempuh yang jauh, perlu dilakukan kajian penjaminan aliran (flow assurance) agar aliran CPO dapat dipertahankan di sepanjang pipa. Terutama mengingat CPO memiliki karakteristik kimia yang istimewa bila dibandingkan dengan lemak nabati lainnya, karena mengandung triacylglycerol (TAG) yang memiliki titik leleh yang bervariasi dengan komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh yang hampir seimbang (Basiron 2005). Pada suhu tertentu, akan terjadi pemisahan fraksi pada CPO akibat perbedaan titik leleh komponen asam-asam lemak penyusunnya. CPO dapat terpisah menjadi fraksi yang tetap cair karena memiliki titik leleh yang rendah (disebut fraksi olein) dan fraksi yang memadat (mengkristal) karena memiliki titik leleh yang tinggi (disebut fraksi stearin). Pada saat dialirkan dalam pipa di suhu yang cukup rendah, keberadaan fraksi stearin yang mengkristal pada suhu kamar akan menjadi masalah karena dapat menyebabkan hambatan pengaliran dan akhirnya menyebabkan penyumbatan pipa. Upaya untuk mempertahankan aliran CPO di dalam pipa, sangat ditentukan oleh karakteristik dasar CPO, sistem pengaliran, dan desain jaringan pipa yang dirancang. Pada desain transportasi CPO moda pipa, berbagai variabel proses yang diterapkan pada desain jaringan pipa (seperti daya pompa, jenis dan dimensi

37 5 pipa, laju aliran, ketinggian pipa, jumlah belokan pipa, jenis dan ketebalan insulasi, dan variabel lainnya) perlu diperhitungkan secara mendetail. Akan tetapi menurut Steffe dan Daubert (2006), variabel utama yang paling menentukan di dalam perhitungan desain perpipaan adalah sifat reologi dari bahan yang akan dialirkan tersebut. Reologi adalah ilmu yang mempelajari sifat deformasi dan aliran bahan. Yuliati (2001) telah melakukan penelitian mengenai sistem transportasi CPO moda pipa untuk jarak tempuh yang jauh yaitu pada jarak 70 km, 140 km, dan 210 km. Peneliti tersebut menggunakan pendekatan proses pengaliran secara isotermal dengan asumsi suhu CPO dapat terus dipertahankan tetap 55 o C. Sistem pengaliran CPO yang didesain oleh peneliti tersebut mengasumsikan viskositas CPO yang konstan, serta tidak memperhitungkan terjadinya pelepasan panas selama pengaliran CPO. Asumsi tersebut kurang tepat karena sebaik apapun sistem insulasi yang diterapkan, tetap akan terjadi pelepasan panas ke lingkungan, terutama pada jarak tempuh yang jauh. Suhu pengaliran yang terus menurun akan mengakibatkan terjadinya perubahan sifat fisik CPO, khususnya sifat reologinya. Saat ini, penerapan moda pipa untuk transportasi CPO pada jarak tempuh yang jauh masih menghadapi kendala, antara lain belum tersedianya data dasar karakteristik CPO, khususnya data sifat reologi dan kristalisasi, yang dibutuhkan dalam perhitungan untuk pengembangan desain transportasi moda pipa yang akurat. Data dasar karakteristik CPO, khususnya CPO yang berasal dari Indonesia, hingga saat ini belum tersedia. Oleh karena itu, karakteristik CPO khususnya terkait dengan sifat reologi dan kristalisasinya perlu dikaji secara lebih mendalam. Pada sistem transportasi CPO moda pipa untuk jarak tempuh yang jauh, suhu awal CPO yang tinggi akan mengalami penurunan akibat pelepasan panas ke lingkungan. Pada saat terjadi penurunan suhu tersebut, karakteristik CPO khususnya sifat fisik densitas, profil SFC, dan sifat reologinya akan mengalami perubahan. Kim et al. (2010) mengemukakan bahwa perubahan suhu yang dialami minyak nabati sangat berpengaruh terhadap sifat reologinya. Menurut Fasina et al. (2006), perubahan sifat reologi akibat pengaruh suhu akan menentukan energi yang dibutuhkan untuk pemompaan minyak dan

38 6 mempengaruhi kesetimbangan energi mekanis dalam sistem perpipaan yang menentukan berlangsungnya proses pengaliran di sepanjang pipa. Dengan demikian, pengaruh suhu terhadap karakteristik CPO perlu dipelajari lebih lanjut, untuk menjadi dasar di dalam menyusun rancangan teknik kendali agar CPO dapat dialirkan di dalam sistem pipa jarak jauh yang mengalami penurunan suhu. Terkait dengan penggunaan data sifat reologi CPO untuk perhitungan desain perpipaan, maka berbagai variabel proses yang menentukan sifat reologi selama proses pengaliran CPO di dalam pipa perlu dipelajari. Selama pengaliran di dalam pipa, CPO akan mengalami perubahan suhu dan laju geser (shear rate) yang akan mempengaruhi sifat reologi dan kristalisasinya. Hingga saat ini, belum terdapat penelitian yang mempelajari sifat reologi dan kristalisasi CPO saat mengalami perlakuan kombinasi laju penurunan suhu dan shear rate (dalam penelitian ini disebut kondisi dinamis), dimana sampel masih dapat dialirkan dan belum mengalami tahap kristalisasi yang sempurna. Berdasarkan data dasar sifat fisik CPO, khususnya data sifat reologi dan kristalisasinya, dapat disusun suatu rancangan teknik kendali karakteristik CPO untuk mencegah terjadinya penyumbatan aliran di sepanjang pipa khususnya untuk jarak tempuh yang jauh. Melalui kajian karakteristik CPO dan rancangan teknik kendalinya, dasar-dasar teknis ilmiah untuk pengembangan transportasi CPO moda pipa untuk jarak tempuh yang jauh akan menjadi lebih kuat. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum mempunyai tujuan untuk memperoleh data dasar karakteristik CPO beserta rancangan teknik kendalinya selama proses pengaliran dalam pipa, yang berguna dalam mendukung dan memperkuat dasardasar teknis ilmiah terkait upaya pengembangan sistem transportasi CPO moda pipa di Indonesia, khususnya untuk jarak tempuh yang jauh. Secara lebih terperinci, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan: 1. Data dasar karakteristik CPO yang mencakup data mutu dan data sifat fisik terkait proses transportasi moda pipa; beserta data korelasi dan persamaan

39 7 matematika untuk memprediksi parameter sifat fisik CPO berdasarkan atribut mutunya. 2. Data pengaruh suhu terhadap parameter sifat fisik CPO beserta pemodelan matematikanya. 3. Data sifat reologi dan kristalisasi lemak CPO pada kondisi dinamis, yang dipengaruhi oleh variabel proses pengaliran yang mencakup pengaruh suhu, laju penurunan suhu, dan shear rate (laju geser) yang diterapkan; 4. Rancangan teknik kendali karakteristik CPO untuk transportasi moda pipa, khususnya untuk jarak tempuh yang jauh. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mendukung pengembangan transportasi CPO moda pipa di Indonesia pada jarak tempuh yang jauh, serta membantu upaya pemecahan masalah strategis nasional pada aspek peningkatan mutu dan efisiensi proses transportasi CPO, untuk memperkuat industri minyak sawit Indonesia. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Atribut mutu CPO berkorelasi dengan parameter sifat fisiknya, dan dapat diperoleh persamaan matematika untuk memprediksi parameter sifat fisik CPO berdasarkan atribut mutunya. 2. Parameter sifat fisik CPO dipengaruhi oleh suhu serta metode penerapan suhu yang diterapkan. 3. Variabel proses pengaliran mencakup suhu, laju penurunan suhu dan shear rate menentukan sifat reologi dan kristalisasi CPO. Kontrol terhadap variabel proses tersebut dapat mempertahankan sifat reologi CPO agar tetap dapat mengalir, serta dapat mencegah terjadinya proses kristalisasi CPO. 4. Karakteristik CPO dapat dikendalikan oleh suatu teknik kendali pengaliran melalui penerapan variabel proses pengaliran dan sistem perpipaan tertentu,

40 8 melalui pemberian gaya dorong pompa, penggunaan sistem insulasi, dan pemanasan kembali pada titik-titik tertentu sepanjang jalur pipa, sehingga dapat diterapkan pada transportasi CPO moda pipa untuk jarak tempuh yang jauh. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup kajian mengenai karakteristik CPO untuk menghasilkan data dasar yang dibutuhkan dalam pengembangan sistem transportasi CPO moda pipa. Kajian karakteristik CPO mencakup pengujian mutu dan sifat fisik beberapa sampel CPO, serta penentuan korelasi dan pengembangan persamaan matematika yang dapat digunakan untuk memprediksi parameter sifat fisik berdasarkan atribut mutunya. Selain itu dilakukan pula kajian pengaruh suhu dan metode penerapan suhu terhadap parameter sifat fisik CPO. Pengaruh laju penurunan suhu dan shear rate terhadap sifat reologi dan kristalisasi CPO diterapkan pada kondisi dinamis yang terkontrol, maupun pada kondisi dinamis saat mengalir di dalam pipa. Berdasarkan data dasar yang diperoleh, dalam penelitian ini juga diajukan rancangan teknik kendali karakteristik CPO selama pengaliran di dalam sistem pengaliran tertentu, beserta contoh perhitungan sistem perpipaan secara teoritis. Penelitian ini belum mencakup aspek peningkatan skala (scaling up) sistem perpipaan, maupun aplikasinya lapangan. Diagram alir ruang lingkup penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Kebaruan Penelitian Di dalam pelaksanaan penelitian ini, terdapat beberapa hal penting yang memiliki muatan kebaruan (novelty), yaitu sebagai berikut: 1. Kajian karakteristik sifat fisik CPO yang berasal dari Indonesia, khususnya sifat reologi dan kristalisasinya belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian sebelumnya lebih banyak mengkaji karakteristik RBDPO dan komoditas minyak/lemak lainnya.

41 9 Kajian Mutu dan Sifat Fisik CPO 1. Analisis mutu CPO berdasarkan SNI Pengujian sifat fisik CPO 3. Penyusunan persamaan matematika untuk memprediksi parameter sifat fisik CPO berdasarkan atribut mutu Kajian Pengaruh Suhu terhadap Sifat Fisik CPO 1. Pengukuran sifat fisik CPO pada kisaran suhu o C 2. Analisis pengaruh suhu terhadap sifat fisik CPO dan pemodelan matematikanya 3. Penentuan korelasi antar parameter sifat fisik CPO terkait dengan pengaruh suhu 4. Pengujian pengaruh metode penerapan suhu terhadap sifat reologi CPO pada kisaran suhu o C 5. Pengujian pengaruh siklus suhu o C terhadap sifat fisik CPO Kajian Sifat Reologi dan Kristalisasi dan CPO pada Kondisi Dinamis 1. Pengujian parameter kristalisasi CPO pada kondisi statis 2. Pengujian sifat reologi dan kristalisasi CPO pada kondisi dinamis terkontrol 3. Pengujian pengaruh suhu isotermal terhadap sifat reologi dan kristalisasi CPO 4. Pengujian karakteristik CPO selama pengaliran dalam pipa sirkulasi Penyusunan Rancangan Teknik Kendali Transportasi CPO Moda Pipa 1. Rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa dengan sistem pengaliran isotermal 2. Rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa dengan sistem pengaliran non-isotermal Gambar 1 Ruang lingkup penelitian Karakteristik Minyak Sawit Kasar (Crude Palm Oil atau CPO) dan Rancangan Teknik Kendalinya untuk Mendukung Pengembangan Transportasi Moda Pipa.

42 10 2. Metode pengujian sifat reologi dan kristalisasi CPO pada penelitian ini menggunakan kombinasi faktor percobaan pengaruh laju penurunan suhu dan shear rate (gaya geser) atau disebut kondisi dinamis; sedangkan penelitian sebelumnya lebih banyak mengkaji sifat reologi dan kristalisasi sampel minyak/lemak pada kondisi statis hingga sampel padat sempurna, dengan hanya mempelajari salah satu faktor percobaan. Pengamatan dalam penelitian ini lebih fokus dilakukan pada kondisi CPO yang masih dapat dialirkan (belum memadat sempurna). 3. Penelitian ini memperhitungkan terjadinya perubahan karakteristik CPO akibat pengaruh suhu selama pengaliran akibat pelepasan panas di sepanjang pipa. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menggunakan asumsi bahwa karakteristik CPO dan suhu tetap konstan selama pengaliran di sepanjang pipa hingga jarak tempuh yang jauh, yang kurang sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan. 4. Di dalam penelitian ini, diajukan pendekatan baru dalam sistem pengaliran CPO. Praktek di lapangan dan penelitian sebelumnya menggunakan pendekatan sistem pengaliran CPO yang isotermal, sedangkan dalam penelitian ini diajukan sistem pengaliran CPO dalam pipa secara nonisotermal dari suhu awal pengaliran 55 o C yang kemudian mengalami penurunan suhu akibat pelepasan panas di sepanjang pipa hingga suhu minimal pengaliran tertentu, dengan memanfaatkan karakteristik reologi CPO pada kondisi metastabil, agar pengaliran CPO dapat berlangsung pada jarak yang jauh.

43 11 2. KAJIAN MUTU DAN SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR Pendahuluan Volume produksi minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO) Indonesia yang sangat besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun, membutuhkan sistem dan sarana transportasi yang memadai dan efisien. Salah satu alternatif pengganti moda transportasi konvensional melalui moda transportasi darat adalah melalui penggunaan transportasi moda pipa. Penerapan prinsip-prinsip rekayasa proses (process engineering) dalam pengembangan desain sistem transportasi CPO moda pipa yang akurat memerlukan data dasar yang lengkap terkait dengan karakteristik mutu dan sifat fisik CPO selama pengaliran. Menurut Carlson (1996), data-data karakteristik bahan yang dapat diandalkan merupakan dasar agar hasil simulasi proses dan evaluasi ekonomis selanjutnya dapat mendekati kenyataan. Narvaez et al. (2008) juga mengemukakan bahwa data dasar yang diperoleh dari hasil pengujian serta model-model empiris yang dihasilkan dapat digunakan untuk memecahkan kasus simulasi proses, memfasilitasi evaluasi metode perhitungan, memvalidasi sifat yang dikaji, serta memperkirakan parameter-parameter proses yang belum diketahui. Untuk pengembangan sistem transportasi moda pipa, Steffe dan Daubert (2006) menyatakan bahwa perhitungan desain perpipaan memerlukan data reologi absolut yang tidak tergantung pada instrumen pengukuran yang digunakan. Variabel utama yang paling menentukan di dalam perhitungan desain perpipaan tersebut adalah sifat reologi dari bahan yang akan dialirkan tersebut. Wang dan Brigss (2002) juga mengemukakan bahwa sifat fisik minyak seperti viskositas, sifat pelelehan, dan kristalisasi merupakan parameter rekayasa yang penting di dalam desain pindah panas dan perpipaan. CPO memiliki karakteristik kimia yang istimewa bila dibandingkan dengan lemak nabati lainnya, dengan kandungan triacylglycerol (TAG) dengan komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh yang hampir seimbang (Basiron 2005). Karakteristik kimia yang dimiliki suatu sampel CPO akan berpengaruh terhadap

44 12 sifat fisik yang dimilikinya. Saat dialirkan di dalam pipa pada suhu yang cukup rendah, akan terjadi kristalisasi fraksi stearin yang dapat menyebabkan hambatan pengaliran dan penyumbatan pipa. Oleh karena itu, kajian karakteristik mutu CPO dan sifat fisiknya yang terkait dengan proses pengaliran dalam pipa perlu dipelajari secara mendalam. Penelitian yang terkait dengan sifat fisik minyak sawit khususnya sifat reologi dan kristalisasinya telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain Graef et al. (2008, 2009); Braipson-Danthine dan Gibon (2007); Calliaw et al. (2007); serta Tarabukina et al. (2009). Penelitian tersebut mempelajari sifat fisik minyak sawit yang telah mengalami pemurnian (refined bleached deodorized palm oil/rbdpo). Menurut Siew dan Ng (1996) serta Sathivel et al. (2003), proses pemurnian sangat berpengaruh pada sifat reologi lemak. Selain itu Miskandar et al. (2002) serta Metin dan Hartel (2005) menyatakan bahwa adanya komponen minor atau kotoran yang terdapat di dalam minyak kasar sangat besar pengaruhnya pada proses kristalisasi yang terjadi, sehingga fenomena kristalisasi antara minyak yang telah mengalami pemurnian sangat berbeda dengan yang terjadi pada minyak kasar. Diperkirakan, sifat fisik CPO akan berbeda dengan sifat fisik RBDPO, yang terkait juga dengan atribut mutu yang dimilikinya. Saat ini belum ada penelitian yang secara khusus mempelajari sifat fisik CPO terutama terkait dengan pengembangan transportasi CPO moda pipa. Selain itu, data dasar sifat fisik CPO khususnya yang berasal dari Indonesia juga belum tersedia secara lengkap. Adanya variasi antar sampel CPO yang dihasikan oleh pabrik kelapa sawit di Indonesia juga perlu menjadi pertimbangan di dalam penentuan sifat fisik CPO. Oleh karena itu, kajian untuk memperoleh data dasar sifat fisik CPO perlu dilakukan. Pada saat ini, pengujian sifat fisik CPO di lapangan masih menghadapi beberapa kendala teknis antara lain ketersediaan dan keterbatasan instrumen analisis, serta waktu pelaksanaan analisis yang cukup panjang. Oleh karena itu, upaya untuk mengembangkan model matematika yang dapat memprediksi sifat fisik CPO melalui kajian korelasi antara atribut mutu dengan sifat fisik CPO juga perlu dilakukan.

45 13 Tujuan tahap penelitian ini adalah untuk memperoleh data dasar karakteristik CPO yang mencakup data mutu dan data sifat fisik terkait proses transportasi moda pipa; beserta data korelasi dan persamaan matematika untuk memprediksi parameter sifat fisik CPO berdasarkan atribut mutunya. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 hingga bulan November Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor; serta Laboratorium South East Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah lima sampel CPO yang diperoleh dari beberapa perusahaan kelapa sawit yang dimiliki perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun perusahaan swasta nasional dan internasional, yang berlokasi di Riau, Kalimantan Barat, Banten, dan Jakarta. Sampel CPO tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap mutu dan sifat fisik CPO yang dihasilkan produsen CPO di Indonesia. Dalam penelitian ini juga digunakan bahan-bahan kimia pro analyses (p.a.) untuk analisis mutu CPO. Peralatan utama yang digunakan adalah piknometer untuk mengukur densitas atau bobot jenis ( ), HAAKE Viscometer Rotovisco RV20 (Karlsruhe, Jerman) untuk mengukur parameter sifat reologi, Differential Scanning Calorimetry (DSC) tipe DSC-60 (Shimadzu Corp., Jepang) yang dikendalikan dengan software Thermal Analysis System TA-60WS untuk memperoleh kurva profil entalpi (thermogram), serta Gas Chromatography (GC) Shimadzu GC-2100 Series (Shimadzu Corp., Jepang) untuk penentuan komposisi asam lemak. Selain

46 14 itu digunakan penangas air, pompa vakum, penyaring buchner, hot plate, oven pengering, desikator, dan peralatan gelas untuk analisis mutu CPO. Metode Penelitian Pada penelitian ini dilakukan pengujian mutu lima sampel CPO berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai Minyak Kelapa Sawit Mentah (crude palm oil) (BSN 2006), dan pengumpulan data sifat fisiknya. Dilakukan pula pembandingan dengan standar CPO yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian RI untuk PKS di Indonesia (Ditjenbun 1997), dan standar PORAM (The Palm Oil Refiners Association of Malaysia) (PORAM 2011). Berdasarkan data mutu dan sifat fisik yang diperoleh, diamati adanya variasi antar sampel CPO. Selain itu dilakukan pula uji korelasi antara atribut mutu CPO dengan parameter sifat fisiknya, dan disusun persamaan matematika untuk prediksi sifat fisik CPO berdasarkan atribut mutu. Bagan alir pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Analisis mutu CPO berdasarkan SNI Warna Kadar air dan kotoran Kadar asam lemak bebas Bilangan iod Analisis sifat fisik CPO Densitas pada suhu 25 dan 55 o C Reologi (n, K, pada shear rate 400 s -1 ) pada suhu 25 dan 55 o C T O dan T M dari thermogram DSC Analisis komposisi asam lemak sampel CPO Uji korelasi antara atribut mutu dengan parameter sifat fisik CPO Penyusunan persamaan matematika untuk prediksi sifat fisik CPO berdasarkan atribut mutu Gambar 2 Diagram alir penelitian kajian mutu dan sifat fisik minyak sawit kasar (CPO).

47 15 Analisis mutu lima sampel CPO dilakukan berdasarkan metode analisis yang tercantum dalam SNI (BSN 2006), dengan atribut mutu mencakup warna visual jingga kemerah-merahan, kadar air dan kotoran, kadar asam lemak bebas, dan bilangan iod. Sebagai data pendukung, dilakukan pula analisis komposisi asam lemak CPO melalui tahap pembentukan metil ester asam lemak sesuai metode AOCS Ce 2-66 (AOCS 2005) yang dilanjutkan dengan analisis menggunakan Gas Chromatography. Pengumpulan data sifat fisik lima sampel CPO dilakukan pada suhu 25 o C dan 55 o C. Suhu 25 o C merupakan suhu sesuai standar metode pengukuran yang juga menggambarkan kondisi suhu kamar, sedangkan suhu 55 o C merupakan suhu maksimum proses pengisian tangki dan bongkar muat CPO sesuai rekomendasi Codex Alimentarius Commission (CAC) dalam CAC/RCP 36 (CAC 2005) sebesar o C. Sifat fisik yang diukur pada dua suhu tersebut adalah densitas (, sifat reologi, suhu onset kristalisasi (onset crystallization temperature, T O ) dan suhu offset pelelehan (offset melting temperature, T M ). Densitas diukur dengan piknometer mengikuti metode AOCS Cc 10a-25 (AOCS 2005). Pengukuran sifat reologi mencakup viskositas terukur (apparent viscosity atau ) pada shear rate 400 s -1 serta nilai indeks tingkah laku aliran (flow behavior index atau n) dan indeks konsistensi (concistency index atau K), yang ditentukan dengan HAAKE Viscometer. Penentuan T M dan T O dilakukan berdasarkan kurva profil entalpi (thermogram) yang dihasilkan melalui analisis kalorimetri dinamis menggunakan DSC, sesuai prosedur Saberi et al. (2011). Prosedur analisis sifat fisik CPO secara lengkap dapat dilihat pada bagian prosedur analisis. Setiap analisis dilakukan dengan minimal dua ulangan. Berdasarkan data mutu, komposisi asam lemak, dan sifat fisik yang diperoleh, dilakukan pengujian one-way analysis of variance (ANOVA one-way) untuk melihat perbedaan antar sampel CPO dengan program statistik SPSS Statistics Uji Duncan multiple-range dilakukan untuk menentukan perbedaan yang nyata antara data rata-rata pada P<0.05. Selanjutnya data mutu CPO sesuai SNI dan data sifat fisiknya ditentukan korelasinya dengan uji korelasi Pearson (two-tailed) dan dilanjutkan dengan analisis regresi untuk parameter yang memiliki koefisien korelasi yang nyata (P<0.05).

48 16 Prosedur Analisis Penentuan warna CPO secara kasat mata (BSN 2006) Penentuan warna CPO dilakukan berdasarkan SNI mengenai Minyak Kelapa Sawit Mentah (crude palm oil) (BSN 2006) pada sub bab 5.1, melalui pengamatan secara visual dengan kasat mata. Penentuan kadar air dengan metode pemanasan (hot plate) (BSN 2006, AOCS 1998) Penentuan kadar air CPO dilakukan berdasarkan SNI mengenai Minyak Kelapa Sawit Mentah (crude palm oil) (BSN 2006) pada sub bab 5.2.2, melalui metode pemanasan (hot plate). Metode yang digunakan SNI tersebut mengacu pada AOCS (1998). Contoh uji CPO ditimbang dengan teliti sebanyak g di dalam gelas piala 100 ml yang telah diketahui bobotnya. Contoh uji dipanaskan sambil digoyang-goyang perlahan-lahan sampai tidak ada percikan air lagi. Suhu pemanasan tidak boleh lebih dari 130 o C. Bila titik akhir telah tercapai, contoh uji dipanaskan sebentar hingga mengeluarkan asap. Selanjutnya contoh uji dimasukkan dan didiamkan lagi dalam desikator selama ± 15 menit, lalu ditimbang bobotnya. Perlakuan pemanasan dan pendinginan diulangi lagi beberapa kali sampai selisih bobot antara dua kali penimbangan berturut-turut tidak melebihi 0.02 % dari bobot contoh uji. Kadar air dihitung berdasarkan Persamaan 1 dan dinyatakan dalam 3 desimal. W1 W2 Kadar air (%) = 100 W W 1 (1) Keterangan: W adalah bobot wadah (g); W 1 W 2 adalah bobot wadah dengan contoh uji sebelum dikeringkan (g); adalah bobot wadah dengan contoh uji setelah dikeringkan (g).

49 Penentuan kadar kotoran dengan metode gravimetri (BSN 2006, AOCS 1998) 17 Penentuan kadar kotoran CPO dilakukan berdasarkan SNI mengenai Minyak Kelapa Sawit Mentah (crude palm oil) (BSN 2006) pada sub bab 5.3, melalui metode gravimetri. Metode yang digunakan SNI tersebut mengacu pada AOCS (1998). Kadar kotoran dihitung sebagai bahan yang terkandung dalam CPO yang tidak larut dalam n-heksana atau light petroleum. Pengujian menggunakan contoh uji hasil penentuan kadar air yang sudah diketahui bobotnya. Kertas saring Whatman No. 41 yang akan dipakai dicuci dengan n-heksana, dikeringkan dalam oven pada suhu 103 o C selama 30 menit, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, dan ditimbang. Sementara itu ke dalam contoh uji ditambahkan 50 ml n- heksana dan dipanaskan pada penangas air sambil digoyang-goyang sampai minyak terlarut semua. Contoh uji selanjutnya disaring melalui alat penyaring yang telah disiapkan sebelumnya. Pencucian dilakukan beberapa kali dengan menggunakan n-heksana setiap kalinya 10 ml sampai alat penyaringnya bersih dari minyak. Kertas saring dikeringkan dengan seluruh isinya dalam oven pada suhu 103 o C ± 2 o C selama 30 menit, dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit serta ditimbang bobotnya. Tahap pengeringan, pendinginan dan penimbangan diulangi hingga selisih dua kali penimbangan berturut-turut tidak melebihi 0.01 % dari bobot contoh uji. Hasil uji dihitung berdasarkan Persamaan 2 dan dinyatakan dalam 3 desimal. Kadar kotoran (%) = 100 W1 W2 (2) W W 1 Keterangan : W adalah bobot kertas saring (g); W 1 W 2 adalah bobot kertas saring tanpa contoh uji setelah dikeringkan (g); adalah bobot kertas saring dengan contoh uji setelah dikeringkan (g).

50 18 Penentuan kadar asam lemak bebas metode titrasi volumetri (BSN 2006, AOCS 1998) Penentuan kadar asam lemak bebas CPO dilakukan berdasarkan SNI mengenai Minyak Kelapa Sawit Mentah (crude palm oil) (BSN 2006) pada sub bab 5.4, melalui metode titrasi volumetri. Metode yang digunakan SNI tersebut mengacu pada AOCS (1998). Kadar asam lemak bebas dihitung sebagai persentase bobot (w/w) dari asam lemak bebas yang terkandung dalam CPO dimana bobot molekul asam lemak bebas tersebut dianggap sebesar 256 (sebagai asam palmitat). Sampel CPO dipanaskan pada suhu 60 o C sampai 70 o C dan diaduk hingga homogen. Contoh uji ditimbang sebanyak 10 g ke dalam erlenmeyer 250 ml, dan ke dalamnya ditambahkan 50 ml pelarut (isopropanol atau etanol 95%) yang sudah dinetralkan. Contoh uji dipanaskan di atas penangas air atau pemanas dan diatur suhunya pada 40 o C sampai contoh uji larut semuanya. Ke dalamnya ditambahkan larutan indikator fenolftalein sebanyak 1-2 tetes, kemudian dititrasi dengan larutan titar (NaOH 0.1 N atau NaOH 0.25 N atau KOH 0.1 N yang telah distandardisasi) sambil digoyang-goyang hingga mencapai titik akhir yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah muda (merah jambu) yang stabil untuk minimal selama 30 detik. Volume (ml) larutan titar yang digunakan dicatat dan dilakukan analisa sekurang-kurangnya duplo, dengan perbedaan antara kedua hasil uji tidak boleh melebihi 0.05%. Persentase asam lemak dihitung sebagai asam palmitat berdasarkan Persamaan 3, dan dinyatakan dalam 2 desimal. Asam lemak bebas (%) = 25.6 x N W x V (3) Keterangan: V N W adalah volume larutan titar yang digunakan (ml); adalah normalitas larutan titar; adalah bobot contoh uji (g); 25.6 adalah konstanta untuk menghitung kadar asam lemak bebas sebagai asam palmitat.

51 Penentuan bilangan iod dengan metode titrasi volumetri (BSN 2006, AOCS 1998) 19 Penentuan bilangan iod CPO dilakukan berdasarkan SNI mengenai Minyak Kelapa Sawit Mentah (crude palm oil) (BSN 2006) pada sub bab 5.5, melalui metode titrasi volumetri. Metode yang digunakan SNI tersebut mengacu pada AOCS (1998). Bilangan iod dinyatakan sebagai gram (g) iod yang diserap per 100 gram (g) sampel. Sampel dilelehkan pada suhu 60 o C sampai 70 o C, dan diaduk hingga rata. Contoh uji kemudian ditimbang sebanyak 0.4 g sampai 0.6 g di dalam erlenmeyer bertutup asah 250 ml. Ke dalamnya ditambahkan 15 ml sikloheksana untuk melarutkan contoh uji tersebut, kemudian ditambahkan 25 ml larutan Wijs dengan menggunakan pipet gondok, dan erlenmeyer tersebut ditutup dengan penutupnya. Campuran dikocok kemudian disimpan dalam tempat atau ruang gelap selama 30 menit, atau 3 menit bila ditambahkan merkuri asetat. Selanjutnya ditambahkan 10 ml larutan KI 10% dengan pipet gondok dan 50 ml air suling. Erlenmeyer tersebut kemudian ditutup, dikocok, dan selanjutnya dilakukan titrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0.1 N sampai terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi kuning muda. Setelah itu ditambahkan 1-2 ml indikator kanji, dan titrasi dilanjutkan sampai warna birunya hilang setelah dikocok kuat-kuat. Pengujian tersebut dilakukan sekurang-kurangnya duplo dengan perbedaan antara kedua hasil uji tidak boleh besar lebih dari 0.5%. Dilakukan pula penetapan blanko dengan cara yang sama. Bilangan iod dihitung berdasarkan Persamaan 4 dan dinyatakan dalam 1 desimal. Bilangan iod (g iod /100 g sampel) = N x V2 V W x 1 (4) Keterangan : N adalah normalitas larutan natrium tiosulfat 0.1 N; V 2 adalah volume natrium tiosulfat yang digunakan pada penetapan blanko (ml);

52 20 V 1 W adalah volume natrium tiosulfat yang digunakan pada penetapan contoh (ml); adalah bobot contoh uji (g); adalah konstanta untuk menghitung bilangan iod. Penentuan komposisi asam lemak dengan Gas Chromatography (AOCS 2005) Komposisi asam lemak di dalam sampel CPO ditentukan dengan melakukan tahap pembentukan metil ester asam lemak sesuai metode AOCS Ce 2-66 (AOCS 2005) yang dilanjutkan dengan analisis menggunakan Gas Chromatography (GC). Metil ester asam lemak yang diperoleh dianalisis dengan Shimadzu GC Series menggunakan kolom DB-23 (30 m x 0.25 mm) dengan ketebalan 0.25 m. Detektor yang digunakan adalah Flame Ionization Detector (FID), dengan carrier gas helium. Larutan metil ester asam lemak diinjeksikan sebanyak 1 L ke dalam GC dengan menggunakan syringe (SGE microliter syringe 10 L). Suhu injektor dan suhu detektor ditetapkan 250 o C dan 260 o C. Gas helium (sebagai gas pembawa), gas hidrogen, dan udara dialirkan. Suhu kolom ditetapkan pada suhu 120 o C (ditahan selama 6 menit), kemudian suhunya dinaikkan dengan laju 3 o C/menit hingga suhu kolom mencapai 260 o C dan ditahan selama 25 menit. Jenis asam lemak pada contoh uji ditentukan dengan membandingkan wajtu retensi (retention time atau RT) asam lemak pada contoh uji, dengan RT asam lemak standar eksternal. Penentuan densitas minyak dan lemak cair dengan piknometer (AOCS 2005) Penentuan densitas minyak dan lemak pada suhu tertentu dilakukan berdasarkan metode AOCS Cc 10a-25 (AOCS 2005) dengan menggunakan botol piknometer bervolume 100 ml yang telah dikalibrasi. Prosedur pengukuran densitas CPO dimodifikasi pada penerapan perlakuan suhu menggunakan penangas air yang dipertahankan pada suhu tersebut selama 30 menit untuk meyakinkan suhu contoh uji yang seragam.

53 21 Contoh uji dilelehkan dan disaring dengan kertas saring untuk menghilangkan kotoran dan sisa-sisa kadar air. Selanjutnya contoh uji dan botol piknometer dipanaskan hingga suhu pengukuran di dalam water bath. Contoh uji dimasukkan ke dalam botol piknometer secara berlebih dengan mengatur posisinya untuk mencegah terbentuknya gelembung. Botol piknometer ditutup dan direndam seluruhnya di dalam penangas air pada suhu pengukuran selama 30 menit. Secara hati-hati, botol piknometer diangkat, dan minyak yang menempel di bagian luar botol dihilangkan, kemudian dilap hingga kering. Selanjutnya botol piknometer beserta isinya ditimbang dan densitasnya dihitung dengan Persamaan 5. Densitas (g/ml) = W 2 W 1 W x T (5) Keterangan: W 1 W 2 W 3 adalah bobot botol piknometer (g); adalah bobot piknometer dan contoh uji minyak pada suhu pengukuran (g); adalah bobot air pada suhu 25 o C (g); T adalah selisih suhu antara suhu pengukuran dengan suhu 25 o C. Penentuan sifat reologi CPO dengan HAAKE Viscometer (HAAKE 1991, 1992) Penentuan sifat reologi CPO dilakukan menggunakan HAAKE Viscometer Rotovisco RV20 dengan sistem pengukuran M5 dan sistem sensor NV yang terdiri atas sebuah silinder ko-aksial dengan dua celah/gap (celah dalam = 0.35 mm; celah luar = 0.4 mm) (HAAKE 1991). Sebelumnya, dilakukan penyetimbangan suhu contoh uji CPO pada suhu pengukuran selama menit dengan penangas air. Suhu instrumen dikontrol oleh thermocontroller yang diatur melalui program Rotoviscometer (HAAKE 1992). Setelah suhu tercapai, terlebih dahulu contoh uji ditahan selama 10 menit pada suhu pengukuran, kemudian dikenai shear rate (laju geser) pada kisaran s -1 sehingga diperoleh data shear stress (gaya geser) pada suhu tersebut. Berdasarkan data hubungan shear

54 22 rate dan shear stress, dapat ditentukan model fluida sampel CPO dengan parameter model fluida n (indeks tingkah laku aliran atau flow behaviour index) dan K (indeks konsistensi atau concistency index) tertentu. Berdasarkan model fluida yang diperoleh dapat ditentukan viskositas terukur ( ) sampel CPO pada shear rate 400 s -1. Penentuan thermogram kristalisasi dan pelelehan dengan analisis kalorimetri dinamis (Saberi et al. 2011) Contoh uji CPO dimasukkan sekitar 10 mg ke dalam pan aluminium yang ditutup hermetis. DSC dikalibrasi dengan Indium pro analyses (p.a.) bertitik leleh 156 o C dan digunakan pembanding berupa pan aluminium bertutup yang kosong. Pengukuran DSC dimulai pada contoh uji bersuhu 25 o C. Kurva eksotermik diperoleh dengan menahan contoh uji pada suhu 80 o C selama 10 menit, yang dilanjutkan dengan pendinginan ke suhu -50 o C pada laju pendinginan 5 o C/menit. Untuk memperoleh kurva endotermik, contoh uji ditahan pada suhu -50 o C selama 10 menit dan kemudian dipanaskan ke suhu 80 o C pada laju pemanasan 5 o C/menit. Melalui analisis ini dapat diperoleh kurva profil entalpi (thermogram) selama kristalisasi dan pelelehan sampel CPO, serta dapat ditentukan suhu onset kristalisasi (onset crystallization temperature, T O ) dan suhu offset pelelehan (offset melting temperature, T M ). T O ditentukan pada kurva eksotermik (kurva kristalisasi) berdasarkan suhu ketika mulai terjadi pelepasan entalpi, sedangkan T M ditentukan pada kurva endotermik (kurva pelelehan) berdasarkan suhu ketika penyerapan entalpi telah selesai. Hasil dan Pembahasan Sebagai dasar penerapan prinsip rekayasa proses dalam pengembangan sistem transportasi CPO moda pipa, data mutu dan sifat fisik CPO beserta variasi data antar sampel perlu diketahui. Untuk memberikan gambaran umum karakteristik CPO yang diproduksi oleh pengolah kelapa sawit Indonesia, dilakukan analisis pada lima sampel CPO yang berasal dari lokasi yang berbeda. Sampel CPO yang digunakan merupakan sampel yang baru dihasilkan industri

55 23 pengolah CPO, serta belum mengalami proses transportasi dan penyimpanan dalam waktu yang lama. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kode sampel CPO A, CPO B, CPO C, CPO D dan CPO E. Mutu CPO CPO yang digunakan dalam penelitian ini diuji mutunya berdasarkan Standar Nasional Indonesia tentang Minyak Kelapa Sawit Mentah (Crude Palm Oil) dan dibandingkan pula dengan standar CPO dari Ditjenbun untuk PKS di Indonesia (Ditjenbun 1997) dan standar PORAM (PORAM 2011). Hasil pengujian lima sampel CPO tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dengan data selengkapnya pada Lampiran 1. Terdapat perbedaan yang nyata antar sampel CPO (P<0.05) pada atribut mutu KAK, ALB, dan BI dengan hasil uji ANOVA one-way serta uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 1 Hasil analisis mutu lima sampel CPO * Sampel CPO A Warna Jingga kemerahmerahan Kadar air dan kotoran (%) Atribut mutu** Asam lemak bebas (%) Bilangan iod (g iod/100 g sampel) c 3.88 b 51.3 a,b CPO B CPO C CPO D Jingga kemerahmerahan Jingga kemerahmerahan Jingga kemerahmerahan c 4.58 c 54.6 c a 5.80 d 50.4 a d 4.60 c 50.8 a CPO E Jingga kemerahmerahan b 3.34 a 52.6 b * Spesifikasi standar mutu CPO: (a) Berdasarkan SNI (BSN 2006): warna jingga kemerah-merahan, kadar air dan kotoran maksimal 0.5%, bilangan iod g iod/100 g sampel; (b) Berdasarkan PORAM (2011): asam lemak bebas maksimal 5%; (c) Berdasarkan Ditjenbun (1997): kadar air dan kotoran maksimal 0.17%, asam lemak bebas maksimal %, dan bilangan iod min.51 g iod/100 g sampel; ** Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).

56 24 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa secara umum mutu lima sampel CPO yang diuji berada pada kisaran spesifikasi standar yang ditetapkan dalam standar SNI, Ditjenbun, maupun PORAM. Terdapat beberapa sampel CPO yang belum memenuhi standar spesifikasi yang ditetapkan dalam standar tersebut. Berdasarkan definisi minyak sawit menurut CODEX STAN (CAC 2009), minyak sawit adalah minyak makan yang diperoleh dari bagian mesokarp (daging) buah sawit, yang saat belum diproses berwarna coklat kemerahan dan memiliki konsistensi semisolid pada suhu kamar. Menurut Ong et al. (1995), komponen utama dari minyak sawit adalah TAG (94%), asam lemak (3-5%), dan komponen minor (1%) yang terdiri dari karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid dan glikolipid, terpen dan gugus hidrokarbon alifatik, serta elemen sisa lainnya. Warna sampel CPO yang jingga kemerahmerahan, disebabkan oleh kandungan komponen pigmen karotenoid di dalamnya yang menurut Basiron (2005) konsentrasinya berkisar antara ppm. CODEX STAN (CAC 2009), menentukan spesifikasi standar kadar total karotenoid (sebagai beta-karoten) untuk minyak sawit yang belum mengalami pemucatan sebesar ppm. Secara visual intensitas warna jingga kemerah-merahan yang dimiliki setiap sampel CPO berbeda-beda, namun spesifikasi standar mutu warna yang digunakan dalam SNI tidak membedakan intensitas warna jingga kemerah-merahan tersebut. Kenampakan lima sampel CPO yang diuji dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Kenampakan lima sampel CPO yang digunakan.

57 25 Pada atribut mutu KAK, hanya sampel CPO C dan E yang memenuhi spesifikasi standar SNI, dan tidak ada sampel yang mampu memenuhi spesifikasi standar Ditenbun (1997). Kadar air yang rendah sangat penting untuk meminimalkan terjadinya reaksi hidrolisis lemak pada CPO saat penyimpanan dan transportasi (Hilder 1997). Sampel CPO A dan CPO B mengandung KAK sedikit lebih tinggi dibandingkan spesifikasi standar SNI, akan tetapi untuk sampel CPO D, nilai KAK-nya sangat tinggi, yaitu mencapai 5.39%. Bila ditelusuri lebih lanjut pada sampel CPO D, diperoleh data kadar air sebesar 0.55% dan kadar kotoran sebesar 4.84%. Kadar kotoran sampel CPO D yang sangat tinggi dapat terlihat secara visual berupa partikel-partikel kotoran pasir dan kerak berwarna hitam. Tingginya kadar kotoran dapat disebabkan oleh kurang terjaganya kebersihan peralatan dan wadah selama pengolahan dan penanganan CPO. Untuk atribut mutu kadar ALB, terdapat satu sampel CPO yang tidak memenuhi spesifikasi standar PORAM sebesar maksimal 5%. Tingginya kadar ALB dalam sampel CPO dapat dipengaruhi oleh kadar ALB awal dalam sampel, kadar air, dan suhu selama penanganan dan transportasi (Hilder 1997), serta mengindikasikan penanganan bahan baku tandan buah sawit (TBS) yang kurang baik sebelum ekstraksi CPO. Spesifikasi standar BI CPO menurut SNI berada pada kisaran g iod/100 g sampel, dan kelima sampel CPO yang diujikan memenuhi spesifikasi standar tersebut. Spesifikasi standar Ditjenbun (1997) untuk bilangan iod lebih ketat, yaitu minimal 51 g iod/100 g sampel. Menurut Basiron (2005), BI CPO sekitar 53 menggambarkan kesetimbangan antara jumlah asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh, dan menghasilkan sifat minyak yang stabil terhadap reaksi oksidasi dibandingkan minyak nabati lainnya. Sebagai data pendukung terhadap mutu CPO, dilakukan pula analisis komposisi asam lemak pada lima sampel CPO, untuk melihat keragaman mutu kimia sampel CPO yang dihasilkan beberapa produsen CPO di Indonesia. Data komposisi asam lemak sampel CPO dapat dilihat pada Tabel 2 dengan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Komposisi asam lemak sampel CPO secara umum memenuhi kisaran kadar asam lemak yang umumnya terkandung di dalam CPO sesuai CODEX STAN (CAC 2009).

58 26 Tabel 2 Komposisi asam lemak lima sampel CPO dan standar menurut CODEX STAN (CAC 2009), beserta bilangan iod hasil perhitungan berdasarkan komposisi asam lemaknya. Jenis asam lemak (% area) Komposisi asam lemak dalam CPO (%)* CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E CODEX STAN 210 C8: ND** C10: ND C12: ND-0.5 C14: C15: C16: a a c b d C18: C20: ND-1.0 C22: ND-0.2 Total asam lemak jenuh b a b 50.61d c - C16: ND-0.6 C18: a d e b c C20: ND-0.4 Total asam lemak tidak jenuh tunggal a d e b c - C18: C18: ND-0.5 Total asam lemak tidak jenuh jamak Total asam lemak tak jenuh Bilangan iod (g iod/100 g sampel) *** d c a b b c d c a b * Huruf yang berbeda di belakang angka pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05). ** ND: non-detectable (tidak terdeteksi). *** Hasil perhitungan berdasarkan komposisi asam lemak.

59 27 Menurut Basiron (2005), CPO mengandung asam lemak dalam TAG dengan panjang rantai pada kisaran yang sempit yaitu antara atom karbon. Jenis asam lemak terbanyak yang dimiliki sampel CPO adalah asam palmitat (C16:0) sebesar %, diikuti dengan asam oleat (C16:1) sebesar %. Variasi komposisi asam lemak antar sampel CPO diperkirakan karena adanya variasi pada sumber bahan baku TBS yang digunakan oleh masingmasing industri pengolah CPO. Hasil pengujian tersebut hampir sama dengan pengujian yang dilakukan oleh Tangsathitkulchai et al. (2004) pada sampel CPO dengan kadar asam palmitat sebesar 45.8% dan asam oleat sebesar 39.0%. Bila dibandingkan dengan komposisi asam lemak sampel minyak sawit yang telah dimurnikan (RBDPO) pada penelitian Azis (2011) terdapat sedikit perbedaan komposisi, dengan kadar asam palmitat sebesar 44.9 % dan kadar asam oleat sebesar 38.3%. Narvaez et al. (2008) juga telah melakukan analisis komposisi asam lemak pada sampel RBDPO dengan bilangan iod 53.3 yang menghasilkan komposisi asam lemak utama berupa asam lemak palmitat sebanyak 44.2% dan asam lemak oleat sebanyak 39.6%. Terjadinya perbedaan komposisi asam lemak CPO dan RBDPO disebabkan oleh berubahnya komposisi asam lemak pada RBDPO yang salah satunya disebabkan akibat berkurangnya ALB selama pemurnian CPO menjadi RBDPO. Komposisi asam lemak pada lima sampel CPO memiliki kisaran distribusi asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh tunggal, dan asam lemak tak jenuh jamak berturut-turut sebesar %, %, dan 11.37%-15.10%. Data tersebut sedikit berbeda dengan hasil Tan dan Che Man (2000) pada sampel RBDPO yang memiliki distribusi asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh tunggal, dan asam lemak tak jenuh jamak berturut-turut sebesar 54.7%, 37.1%, dan 8.1%. Komposisi asam lemak CPO diduga memiliki korelasi yang erat dengan sifat kimia CPO yaitu BI (Tabel 1), karena BI merupakan gambaran kandungan asam lemak tidak jenuh di dalam sampel CPO. Terjadinya variasi komposisi asam lemak di dalam sampel CPO, akan menghasilkan perbedaan BI pada lima sampel CPO. Walaupun secara statistik variasi komposisi asam lemak dan BI antar kelima sampel CPO tersebut berbeda nyata pada P<0.05 (Lampiran 4), akan

60 28 tetapi kelima sampel CPO yang seluruhnya memenuhi kisaran standar CPO sesuai SNI sebesar g/100 g sampel, memiliki komposisi asam lemak pada kisaran yang hampir sama. Selain menggunakan metode titrasi volumetri (data pada Tabel 1), BI juga dapat ditentukan berdasarkan data komposisi asam lemak yang diperoleh pada Tabel 2, dengan menggunakan Persamaan 6 (O Keefe & Pike 2010). Bilangan Iod = (% asam heksadekanoat x 0.950) + (% asam oktadekanoat x 0.860) + (% asam oktadekadienoat x 1.732) + (% asam oktadekatrienoat x 2.616) + (% asam eikosaenoat x 0.785) + (% asam dokosaenoat x 0.723) (6) Data pada Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa BI sampel CPO hasil pengujian dengan metode titrasi volumetri nilainya sedikit berbeda dibandingkan BI yang dihitung berdasarkan komposisi asam lemaknya. Terjadinya perbedaan tersebut diduga dapat disebabkan oleh derajat ketelitian tahap titrasi yang kurang baik, karena titik akhir titrasi ditentukan secara visual. Akan tetapi pengujian dengan metode titrasi volumetri tersebut merupakan praktek analisis yang umum digunakan dalam menentukan standar CPO, sehingga data BI hasil pengujian dengan titrasi volumetri yang akan digunakan dalam analisis data berikutnya. Sifat Fisik CPO Data sifat fisik lima sampel CPO yang dikumpulkan dalam penelitian ini terutama yang terkait dengan parameter proses pengaliran dalam pipa, diukur pada suhu 25 o C (Tabel 3) dan 55 o C (Tabel 4). Data lengkap sifat fisik CPO disajikan pada Lampiran 5. Untuk melihat adanya variasi parameter sifat fisik antara lima sampel CPO yang diuji, dilakukan uji ANOVA one-way dan uji lanjut Duncan (Lampiran 6 dan Lampiran 7).

61 29 Densitas CPO Densitas atau bobot jenis ( ) merupakan parameter penting dari sudut pandang komersial, karena digunakan untuk konversi volume terhadap bobot bahan, serta merupakan indikator kemurnian minyak dan lemak (Basiron 2005). CPO pada suhu 25 o C (Tabel 3) berkisar antara g/ml, sedangkan pada suhu 55 o C (Tabel 4), nilai menurun menjadi berkisar antara g/ml. Tabel 3 Data sifat fisik lima sampel CPO pada suhu 25 o C. Sampel CPO Densitas (g/ml) Parameter sifat fisik* Indeks tingkah laku aliran (n) Indeks konsistensi (K, Pa.s n ) Viskositas terukur pada 400 s -1 (mpa.s) CPO A a b b b CPO B a d a 98.9 a CPO C a b b b CPO D a a c b CPO E a c a a * Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05). Tabel 4 Data sifat fisik lima sampel CPO pada suhu 55 o C. Sampel CPO Densitas (g/ml) Parameter sifat fisik* Indeks tingkah laku aliran (n) Indeks konsistensi (K, Pa.s n ) Viskositas terukur pada 400 s -1 (mpa.s) CPO A a a a 25.0 a CPO B a a a 22.2 a CPO C a a a 25.9 a CPO D a a a 21.1 a CPO E a a a 22.0 a * Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).

62 30 Bila dibandingkan dengan data RBDPO pada suhu 50 o C seperti yang disajikan oleh Ong et al. (1995) yaitu sebesar g/ml, maka nilai CPO yang dihasilkan dalam penelitian ini hampir sama. Ong et al. (1995) juga mengemukakan bahwa suhu berpengaruh pada minyak sawit, dimana suhu yang semakin tinggi akan menurunkan nilai densitasnya. Nilai kelima sampel CPO baik pada suhu 25 o C maupun 55 o C, tidak berbeda nyata antar sampel (P<0.05). Dengan demikian, walaupun pada beberapa parameter mutu dan sifat fisik CPO terdapat perbedaan yang nyata secara statistik (Tabel 1, 3 dan 4), hal tersebut ternyata tidak menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap nilai CPO. Sifat reologi CPO Seperti yang dijelaskan oleh Steffe dan Daubert (2006), sifat reologi suatu fluida dapat ditentukan melalui percobaan pengukuran pengaruh shear rate (laju geser, -dv/dr atau ) terhadap shear stress (gaya geser, σ), dan menghasilkan kurva rheogram seperti dapat dilihat pada Gambar 4. Shear stress adalah stress yang terjadi saat molekul-molekul fluida bergeser satu sama lain sepanjang permukaan tertentu, sedangkan shear rate adalah ukuran seberapa cepatnya suatu molekul untuk saling bergeser. Pada suhu standar 25 o C, bentuk rheogram kelima sampel CPO adalah convex (cekung ke bawah) yang merupakan ciri dari fluida yang bersifat non-newtonian pseudoplastic (Rao 1999). Pada shear rate yang meningkat, nilainya tidak berbanding lurus (linier) dengan kenaikan shear stress, dan menghasilkan kenaikan viskositas terukur ( ) yang semakin rendah. Terdapat perbedaan bentuk rheogram antar sampel CPO, dan perbedaan tersebut dapat dikuantifikasi dengan menggunakan model fluida. Model fluida adalah persamaan matematika yang menggambarkan sifat aliran fluida, yang ditentukan dari penepatan kurva secara statistik (umumnya dengan analisis regresi linier) dari data percobaan (Steffe & Daubert 2006). Persamaan power law menggunakan penyederhanaan model matematika dengan linierisasi hubungan antara shear rate dengan shear stress. Hubungan antara nilai ln shear rate dan ln shear stress berbentuk kurva yang linier yang dapat ditentukan slope serta intercept-nya, untuk menghasilkan parameter model fluida dari persamaan power

63 Shear stress (Pa) 31 law berupa nilai n atau indeks tingkah laku aliran (flow behaviour index) dan nilai K atau indeks konsistensi (concistency index). Pada Gambar 5 dapat dilihat contoh penentuan nilai n dan K berdasarkan linierisasi hubungan shear rate dan shear stress sampel CPO. Data lengkap persamaan regresi linier hubungan shear rate dan shear stress lima sampel CPO dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan model fluida tersebut dapat ditentukan pula viskositas terukur ( ) pada shear rate tertentu, yang dalam penelitian ini digunakan data pada shear rate 400 s -1. Hasil penentuan nilai n dan K pada suhu 25 o C (Tabel 3) menunjukkan bahwa nilai n sampel CPO berkisar antara sedangkan nilai K berada pada kisaran Pa.s n. Menurut Steffe dan Daubert (2006), model fluida dengan nilai 0<n<1 mengindikasikan sifat shear thinning atau pseudoplastic yang sangat umum terjadi pada bahan pangan. Dengan demikian pada suhu 25 o C CPO merupakan fluida yang bersifat non-newtonian pseudoplastic CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E Shear rate (s -1 ) Gambar 4 Hubungan shear rate dan shear stress atau kurva rheogram lima sampel CPO pada suhu 25 o C.

64 ln shear stress (Pa) , y = 0.545x R² = , , , , , , ln shear rate (s -1 ) Gambar 5 Hubungan ln shear rate dan ln shear stress sampel CPO dan penepatan model fluidanya (menampilkan data CPO C). Nilai CPO pada suhu 25 o C berkisar antara mpa.s dimana variasi nilai tersebut sangat ditentukan oleh sifat fluida pseudoplastic sampel CPO yang memiliki kisaran nilai n dan K yang cukup lebar. Menurut Singh dan Heldman (2001), saat fluida pseudoplastic mengalami shear stress, partikelpartikel yang terdistribusi secara acak akan mengatur dirinya sejajar dengan arah aliran, sehingga menurun. Munson et al. (2001), menyatakan bahwa pada umumnya minyak dan lemak memiliki sifat pseudoplastic yang mengalami penurunan viskositas saat shear rate meningkat (shear thinning). Selain itu CPO juga merupakan minyak yang masih kasar (belum dimurnikan) yang menurut Sathivel et al. (2003) dapat dianggap sebagai sistem dispersi karena campuran kompleks turunan hidrokarbon cair akan berperan sebagai media dispersi, dan agregat kotoran akan berperan sebagai fase terdipersi. Interaksi antara minyak dan kotoran akan menyebabkan pembentukan sistem dispersi koloid teragregasi, yang biasanya menghasikan karakteristik shear thinning saat shear rate diterapkan pada sistem, dimana integritas struktural minyak kasar akan terganggu.

65 33 Sifat reologi CPO pada suhu 25 o C berbeda dengan sifat reologi tujuh minyak nabati yang telah diteliti oleh Kim et al. (2010), dimana pada suhu 25 o C, diketahui bahwa minyak canola, jagung, grapeseed, hazelnut, zaitun, kedelai, dan biji bunga matahari memperlihatkan sifat fluida Newtonian. Demikian juga pada penelitian Fasina et al. (2006) yang menguji sifat reologi 12 sampel minyak nabati yaitu minyak almond, canola, jagung, grapeseed, hazelnut, zaitun, kacang tanah, safflower, wijen, kedelai, biji bunga matahari, dan walnut pada kisaran suhu 5-95 o C, dan diperoleh sifat fluida Newtonian. Fluida Newtonian adalah fluida yang menunjukkan sifat yang tidak tergantung pada waktu, menampilkan hubungan linear antara shear stress dan shear rate, dan tidak memiliki yield stress (Steffe & Daubert 2006). Perbedaan sifat reologi CPO dibandingkan minyak nabati lain terjadi karena pada suhu 25 o C terdapat perbedaan fase TAG akibat perbedaan komposisi asam lemak penyusunnya dengan titik leleh yang berbeda-beda. Selain itu CPO merupakan minyak yang masih kasar (belum mengalami pemurnian). Sathivel et al. (2003) mengemukakan bahwa sifat reologi minyak dipengaruhi oleh tahap pemurnian, dimana nilai indeks konsistensi (K) akan menurun pada setiap tahap pemurnian yang dialaminya. Bila dibandingkan dengan data pada suhu 25 o C, pengukuran pada suhu 55 o C (Tabel 4) menghasilkan nilai n sampel CPO yang meningkat menjadi , sedangkan nilai K menurun pada kisaran Pa.s n. Perubahan nilai n yang mendekati 1 dan nilai K yang mendekati 0 pada sampel CPO bersuhu 55 o C, menunjukkan bahwa CPO telah mengalami perubahan sifat reologi menjadi fluida Newtonian. Menurut Steffe dan Daubert (1996), fluida Newtonian memiliki hubungan linier antara shear stress dengan shear rate yang dihasilkan, dengan nilai yang relatif tetap. Pada suhu 55 o C tersebut, nilai sampel CPO relatif tetap berkisar antara mpa.s, lebih rendah dibandingkan pada suhu 25 o C yang berkisar antara mpa.s. Menurut Singh dan Heldman (2001), viskositas fluida ditentukan oleh sifat fisiko kimia alami bahan dan suhu, dan menurut Rao (1999) viskositas akan menurun dengan meningkatnya suhu.

66 34 Sifat fluida non-newtonian pseudoplastic pada sampel CPO bersuhu 25 o C diduga disebabkan adanya kandungan fraksi stearin yang berbentuk padat pada suhu kamar. Menurut Azis (2011), kandungan stearin yang lebih tinggi pada sampel shortening menyebabkan peningkatan viskositas sampel dengan sifat fluida pseudoplastic yang semakin kuat. Saat mengalami peningkatan suhu menjadi 55 o C, fraksi stearin mengalami pelelehan sehingga CPO berada dalam fase cair sempurna dan tidak mengalami hambatan pengaliran dan menghasilkan sifat fluida Newtonian. Menurut Ong et al. (1995) yang melakukan pengujian pada sampel RBDPO, sifat fluida RBDPO adalah Newtonian, namun terindikasi sifat aliran turbulen non-newtonian pada sampel yang bersuhu di bawah 30 o C. Nilai n, K, dan pada suhu 25 o C dan shear rate 400 s -1 berbeda nyata antar sampel CPO (P<0.05). Perbedaan sifat reologi kelima sampel CPO pada suhu 25 o C tersebut, secara umum menunjukkan adanya variasi sifat reologi dalam produk CPO yang dihasilkan produsen CPO di Indonesia. Hal yang berbeda dapat diamati pada suhu 55 o C, dimana besaran parameter sifat reologinya menghasilkan kisaran nilai yang relatif sempit. Sampel CPO pada suhu 55 o C, memiliki sifat fluida yang hampir sama yaitu mendekati fluida Newtonian, dengan nilai n, K, dan yang tidak berbeda nyata antar sampel (P<0.05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemanasan CPO ke suhu 55 o C akan menghasilkan sifat fluida yang relatif sama yaitu menjadi bersifat Newtonian dengan nilai yang lebih rendah menjadi di bawah 26.0 mpa.s. Adanya perbedaan sifat fluida CPO pada suhu yang berbeda akan berimplikasi terhadap perhitungan teknik rekayasa proses dan penanganan CPO pada suhu tersebut. Titik kristalisasi dan titik leleh CPO Salah satu sifat fisik empiris minyak dan lemak adalah titik kristalisasi dan titik leleh yang ditentukan berdasarkan profil entalpi yang digambarkan dengan thermogram hasil pengujian Differential Scanning Calorimetry (DSC). Profil entalpi tipikal selama kristalisasi dan pelelehan sampel CPO (menampilkan data thermogram sampel CPO C) hasil pengujian DSC dinamis digambarkan dalam thermogram kristalisasi (Gambar 6) dan thermogram pelelehan (Gambar 7).

67 Aliran panas endotermik (mw) Aliran panas endotermik (mw) mw Suhu ( o C) Gambar 6 Thermogram kristalisasi dinamis tipikal sampel CPO (menampilkan thermogram sampel CPO C) yang diperoleh dengan instrumen Differential Scanning Calorimetry. Titik 1-2: peak kristalisasi olein, titik 2-3: peak kristalisasi stearin mw Suhu ( o C) Gambar 7 Thermogram pelelehan dinamis tipikal sampel CPO (menampilkan thermogram sampel CPO C) yang diperoleh dengan instrumen Differential Scanning Calorimetry. Titik 1-2: peak pelelehan olein, titik 2-3: peak pelelehan stearin.

68 36 Thermogram kristalisasi yang mengalami proses eksotermik (pelepasan panas) bentuknya lebih sederhana dibandingkan thermogram pelelehan yang mengalami proses endotermik (penyerapan panas). Menurut Tan dan Che Man (2000), thermogram kristalisasi hanya dipengaruhi oleh komposisi kimia minyak dan bukan ditentukan oleh status kristalisasi, sehingga bentuk thermogram-nya lebih sederhana. Thermogram kristalisasi kelima sampel CPO memiliki bentuk tipikal yang sesuai dengan thermogram sampel RBDPO hasil penelitian Tarabukina et al. (2009) dan Ng & Oh (1994). Komposisi TAG CPO dan RBDPO secara umum tidak berbeda, karena pada kedua sampel tersebut belum dilakukan tahapan khusus untuk memisahkan fraksi-fraksi TAG di dalamnya. Pada thermogram kristalisasi dan pelelehan CPO, titik 1 sampai 2 merupakan peak kristalisasi dan pelelehan olein, sedangkan titik 2 sampai 3 menunjukkan peak kristalisasi dan pelelehan stearin. Menurut Chong et al. (2007), pada proses kristalisasi CPO dengan laju pendinginan lambat, terdapat dua peak eksotermik akibat kristalisasi fraksi bertitik leleh tinggi (stearin) dan fraksi bertitik leleh rendah (olein). Demikian juga Saberi et al. (2011) yang menguji thermogram kristalisasi RBDPO dan menghasilkan dua peak yang mewakili fraksi dengan titik leleh tinggi dan fraksi dengan titik leleh rendah. Kurva pelelehan CPO menghasilkan dua puncak endotermik, yang sesuai dengan penelitian Tarabukina et al. (2009) dan Siew & Ng (1999) yang menunjukkan dua puncak endotermik pada kisaran suhu -23 hingga 43 o C. Peak pelelehan pada suhu tinggi disebabkan oleh TAG dengan tiga asam lemak jenuh (trisaturated), sedangkan peak pelelehan pada suhu rendah terutama melibatkan TAG dengan satu asam lemak jenuh (monosaturated) (Tarabukina et al. 2009). Berdasarkan thermogram dinamis sampel CPO saat mengalami kristalisasi dan pelelehan, dapat ditentukan dua parameter sifat fisik yang terkait dengan perubahan fase CPO saat dipanaskan dan didinginkan, yaitu suhu awal (onset) kristalisasi (onset crystallization temperature, T O ), dan suhu akhir (offset) pelelehan (offset melting temperature, T M ) yang disebut juga titik leleh (Saberi et al. 2011). Data T O dan T M lima sampel CPO yang diuji disajikan pada Tabel 5. Variasi data antar sampel CPO diuji dengan ANOVA one-way yang hasil analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 10.

69 Tabel 5 Titik onset kristalisasi dan titik leleh lima sampel CPO hasil analisis kalorimetri dinamis dengan DSC. Sampel CPO Titik onset kristalisasi /T O ( o C)* Titik leleh /T M ( o C)* CPO A a a CPO B a a CPO C a a CPO D a a CPO E a a * Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05). 37 Menurut Che Man et al. (1999), sumber dan kondisi ekstraksi dapat menyebabkan terjadinya perbedaan bentuk thermogram CPO. Pada kelima sampel CPO yang dianalisis, nilai T O berkisar pada suhu o C. Pengujian T O pada sampel RBDPO oleh Saberi et al. (2011) menghasilkan T O di suhu o C, sedangkan Tan dan Che Man (2002) menghasilkan T O yang lebih rendah yaitu 17.0 o C. T M sampel CPO saat telah mengalami pelelehan sempurna berkisar pada suhu o C. Pada sampel RBDPO, pengujian Saberi et al. (2011) memperoleh T M sebesar 42.5 o C, sedangkan pengujian Tan dan Che Man (2002) memperoleh T M sebesar o C. Terdapat sedikit perbedaan data T O dan T M sampel CPO dibandingkan data sampel RBDPO, yang diduga terkait dengan proses pemurnian yang telah dialami RBDPO. Adanya komponen pengotor pada CPO dapat mempercepat induksi kristalisasi lemak sehingga T O CPO lebih tinggi. Pada CPO juga masih terkandung pecahan dari TAG berupa DAG sekitar 5% (Ng & Oh 1994), yang diketahui sangat mempengaruhi sifat kristalisasi minyak sawit. Selain itu Che Man et al. (1999) juga mengemukakan bahwa pergeseran peak pada thermogram RBDPO dibandingkan CPO diakibatkan oleh proses deodorisasi suhu tinggi yang dialami RBDPO. Kecenderungan terjadinya peningkatan titik leleh pada sampel RBDPO dibandingkan sampel CPO juga sesuai dengan data slip melting point (SMP). SMP adalah pengujian titik leleh minyak sawit dengan memanaskan minyak sawit padat dalam pipa kapiler, dan diukur suhunya saat meleleh. Ong et al. (1995) mengemukakan suatu survey di Malaysia yang mendapatkan kisaran nilai SMP

70 38 CPO antara o C, sedangkan nilai SMP RBDPO sedikit mengalami peningkatan menjadi o C. Parameter T O dan T M CPO nilainya tidak berbeda nyata antar sampel (P<0.05) yang menunjukkan bahwa sifat kristalisasi dan sifat pelelehan kelima sampel CPO tersebut relatif sama. T O dan T M tidak dipengaruhi oleh kondisi awal sampel CPO sebelum pengujian, karena memori kristal lemak dalam sampel CPO telah dihilangkan dengan pemanasan awal sampel CPO di suhu 80 o C selama 10 menit. Bila terdapat perbedaan yang nyata pada T O dan T M sampel CPO, diperkirakan terutama dipengaruhi oleh perbedaan sifat kimia dan komposisi asam lemak di dalamnya. Persamaan Matematika untuk Prediksi Parameter Sifat Fisik CPO berdasarkan Atribut Mutu Hasil pengujian mutu dan sifat fisik lima sampel CPO secara umum menunjukkan adanya variasi produk CPO yang dihasilkan produsen CPO di Indonesia. Perbedaan sifat fisik minyak sawit disebabkan oleh adanya variasi pada komposisi TAG dan posisi asam lemak penyusunnya (Basiron 2005), yang menurut Chong et al. (2007) juga berpengaruh pada tahapan kristalisasinya. Variasi sifat fisik akan menghasilkan perbedaan dalam perhitungan serta penerapan rekayasa proses dan penanganan CPO selanjutnya. Pada penelitian ini, komposisi TAG dan posisi asam lemak penyusunnya tidak dipelajari pengaruhnya secara khusus terhadap sifat fisik CPO. Sifat fisik CPO ingin dipelajari melalui pendekatan berdasarkan atribut mutu yang mudah dianalisis, sesuai spesifikasi standar mutu yang ditentukan dalam SNI Pada aplikasinya di lapangan, pengujian sifat fisik CPO menghadapi beberapa kendala teknis, antara lain keterbatasan instrumen analisis, serta waktu pelaksanaan analisis sifat fisik yang cukup panjang. Dengan melakukan uji korelasi antara data sifat fisik CPO dengan data atribut mutu sesuai spesifikasi standar SNI, diharapkan dapat diperoleh persamaan yang dapat memprediksi parameter sifat fisik CPO berdasarkan atribut mutunya. Berdasarkan pengujian korelasi Pearson (two tailed) antara sifat fisik CPO dengan atribut mutunya (Tabel 6 dan Lampiran 11), terdapat korelasi yang nyata antara n sampel CPO pada suhu 25 o C (n 25 ) dengan bilangan iod (BI), dan antara

71 39 pada suhu 25 o C ( 25 ) dengan BI. Tidak terdapat korelasi yang nyata antara parameter sifat fisik CPO pada suhu 55 o C dengan atribut mutu CPO (KAK, ALB, dan BI). Hal itu terjadi karena sampel CPO yang mengalami pemanasan ke suhu 55 o C, akan mengalami pelelehan fraksi stearinnya sehingga menghasilkan parameter sifat fisik yang tidak berbeda nyata. Antar parameter sifat reologi CPO yaitu n, K dan terdapat korelasi yang nyata, akan tetapi korelasi tersebut tidak dilanjutkan untuk menyusun persamaan matematika yang mampu menduga parameter sifat fisik CPO karena ketiga parameter reologi tersebut merepresentasikan sifat fisik yang sama. Berdasarkan hasil uji korelasi yang nyata pada P<0.05, dapat ditentukan dua persamaan regresi linier yang dapat digunakan untuk memprediksi sifat reologi CPO berdasarkan data mutu BI. Persamaan 7 dapat digunakan untuk memprediksi nilai indeks tingkah laku aliran CPO pada suhu 25 o C (n 25 ) sedangkan Persamaan 8 dapat digunakan untuk memprediksi viskositas terukur sampel CPO pada suhu 25 o C ( 25 ). Persamaan regresi linier yang dihasilkan memiliki R 2 yang tinggi yaitu berturut-turut sebesar dan untuk Persamaan 7 dan 8. Persamaan regresi linier tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 6 Hasil uji korelasi Pearson (two-tailed) antara atribut mutu dan parameter sifat fisik lima sampel CPO. 25 n 25 K KAK ALB BI n * K * KAK ALB BI * * * korelasi Pearson (two-tailed) nyata pada P<0.05.

72 40 n 25 = (BI) (7) 25 = (BI) (8) BI berkorelasi dengan parameter sifat reologi CPO yaitu nilai n 25 dan 25 karena menurut Basiron (2005), BI mengindikasikan derajat ketidakjenuhan asam lemak yang terkandung dalam sampel CPO, dan terkait langsung dengan keberadaan fraksi padat dan cair di dalam sampel pada suhu 25 o C. BI yang semakin tinggi mengindikasikan jumlah asam lemak berikatan rangkap yang semakin banyak, sehingga menghasilkan n 25 CPO yang lebih tinggi yang semakin mendekati sifat fluida Newtonian, dan 25 CPO yang semakin rendah (semakin encer). Sebaliknya bila BI sangat rendah (asam lemak jenuh sangat tinggi), maka sifat fluida non-newtonian pseudoplastic akan semakin nyata dengan nilai n 25 yang semakin rendah, dan nilai 25 yang semakin tinggi. Hasil pengujian korelasi ini memperkuat pendapat Kim et al. (2009), yang menyatakan bahwa ikatan rangkap dengan konfigurasi cis pada asam lemak tak jenuh memiliki bentuk rantai yang bengkok, yang menyulitkan untuk tersusun rapat satu sama lain. Hal tersebut mengganggu penataan kristalin dan menyebabkan struktur lemak menjadi tidak kuat dan tidak kaku, dengan molekul yang tersusun lebih longgar sehingga bersifat lebih cair. Selain itu menurut Wang dan Briggs (2002), adanya konfigurasi rantai asam lemak yang bengkok mencegah terjadinya interaksi atau penataan antar molekul serta mengurangi friksi intermolekuler, sehingga mengakibatkan menjadi lebih rendah. Melalui penggunaan persamaan regresi linier yang dihasilkan dan data atribut mutunya, dapat diprediksi parameter sifat reologi CPO berdasarkan bilangan iod sampel CPO tersebut, yang akan menentukan pula parameter dalam rekayasa proses pengaliran yang akan diterapkan pada sampel CPO.

73 41 Simpulan Parameter sifat fisik CPO dipengaruhi oleh suhu pengukuran. Pada suhu 25 o C, densitas ( ) CPO berkisar antara g/ml. CPO bersifat sebagai fluida non-newtonian pseudoplastic, dengan indeks tingkah laku aliran (n) , dan indeks konsistensi (K) Pa.s n. Nilai parameter sifat fisik CPO pada suhu 25 o C tersebut berbeda nyata antar sampel, kecuali untuk parameter densitas. Suhu onset kristalisasi (T O ) CPO berkisar antara o C, sedangkan titik leleh CPO (T M ) berkisar antara o C, yang keduanya memiliki nilai yang tidak berbeda nyata antar sampel. Pada suhu 55 o C, terjadi perubahan sifat fisik CPO dibandingkan sifat fisiknya pada suhu 25 o C, dimana CPO menurun menjadi berkisar antara g/ml. Sifat fluida CPO juga mengalami perubahan dengan nilai n sampel CPO meningkat menjadi , sedangkan nilai K menurun pada kisaran Pa.s n, yang menunjukkan sifat fluida mendekati Newtonian. Diperoleh korelasi yang nyata antara parameter sifat fisik indeks tingkah laku aliran CPO pada suhu 25 o C (n 25 ) dan viskositas terukur sampel CPO pada suhu 25 o C ( 25 ) dengan atribut mutu bilangan iod (BI) CPO. Persamaan regresi linier untuk memprediksi n 25 berdasarkan BI adalah n 25 = (BI) (R² = 0.879); sedangkan persamaan regresi linear untuk memprediksi 25 berdasarkan BI adalah 25 = (BI) (R² = 0.904).

74 42 3. PENGARUH SUHU TERHADAP SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR Pendahuluan Sifat fisik minyak dan lemak sangat ditentukan oleh suhu yang dialaminya. Istilah minyak dan lemak merupakan petunjuk mengenai sifat fisiknya, dimana pada suhu kamar minyak berfase cair sedangkan lemak berfase padat (Timms 1985). Minyak sawit kasar (crude palm oil atau CPO) sebagai suatu bahan berbasis minyak dan lemak, memiliki karakteristik yang khas terkait perubahan sifat fisiknya akibat pengaruh suhu. Pada pengembangan sistem transportasi CPO moda pipa, pengaruh suhu terhadap perubahan sifat fisik CPO sangat penting untuk diketahui, khususnya pada saat CPO dialirkan dalam sistem pipa yang mengalami perubahan suhu selama pengaliran. Sifat fisik minyak dan lemak sangat ditentukan oleh komposisi asam lemak dan susunan asam lemak tersebut di dalam triacylglycerol (TAG). Menurut Ong et al. (1995), karakteristik fisik dasar minyak sawit mencakup berat jenis atau densitas (density), panas jenis (specific heat), panas lebur (heat of fusion), dan kekentalan atau viskositas (viscosity). Karakteristik fisik empiris minyak sawit antara lain titik leleh (melting point), kandungan lemak padat (solid fat content atau SFC), serta sifat fase dan polimorfisme lemak sawit. Terkait dengan sistem pengaliran CPO di dalam pipa, sifat fisik yang berperan adalah densitas, sifat reologi, dan sifat kristalisasi lemaknya yang dinyatakan dengan SFC. Codex Alimentarius Comission (CAC) dalam CAC/RCP 36 (CAC 2005), merekomendasikan suhu pengaliran CPO dalam pipa adalah o C. CPO harus terus dipertahankan pada kisaran suhu tersebut agar CPO berada dalam fase cair dan tidak mengalami kristalisasi. Upaya untuk mempertahankan suhu agar tetap tinggi antara lain dengan penggunaan insulasi di sepanjang pipa dengan material yang dapat menghambat terjadinya pelepasan panas yang berlebihan dari CPO bersuhu tinggi ke lingkungan. Kondisi pengaliran pada suhu tinggi tersebut selama ini telah diaplikasikan untuk jarak dekat, misalnya untuk menghubungkan antara tangki penyimpanan dengan truk tangki pengangkut CPO.

75 43 Pada sistem transportasi CPO moda pipa untuk jarak tempuh yang jauh, suhu awal CPO yang tinggi akan mengalami penurunan akibat pelepasan panas ke lingkungan. Pada saat terjadi penurunan suhu tersebut, karakteristik CPO khususnya sifat fisik densitas, sifat reologi, dan nilai SFC akan mengalami perubahan. Perubahan sifat fisik CPO akibat pengaruh suhu pengaliran, akan menentukan kendali proses pengalirannya sesuai desain pipa yang digunakan. Menurut Fasina et al. (2006), perubahan sifat reologi akibat pengaruh suhu akan menentukan energi yang dibutuhkan untuk pemompaan minyak. Dengan demikian, pengaruh suhu terhadap sifat fisik CPO perlu dipelajari secara lebih mendalam. Data karakteristik CPO akibat pengaruh suhu sangat penting artinya sebagai dasar di dalam menyusun rancangan teknik kendali untuk mempertahankan sifat fisik CPO agar tetap dapat dialirkan di dalam sistem pipa. Beberapa penelitian yang mengkaji pengaruh suhu terhadap sifat fisik minyak nabati telah dilakukan, antara lain oleh Tangsathitkulchai et al. (2004), Fasina et al. (2006), dan Kim et al. (2010), akan tetapi penelitian tersebut tidak menggunakan sampel CPO. Suhu diketahui berpengaruh pula terhadap proses kristalisasi minyak sawit, seperti telah diteliti oleh Miskandar et al. (2002), Graef et al. (2008, 2009), dan Tarabukina et al. (2009) untuk sampel minyak sawit yang telah mengalami pemurnian (refined bleached deodorized palm oil/rbdpo). Untuk tujuan transportasi di dalam pipa, pembentukan kristal lemak yang berlebihan justru harus dapat dicegah karena dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan dalam pipa. Belum terdapat penelitian yang secara fokus mempelajari fenomena perubahan sifat fisik CPO khususnya perubahan densitas, SFC, dan sifat reologinya sebelum tahap kristalisasi lemak berlangsung. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ingin diperoleh informasi pengaruh suhu terhadap sifat fisik CPO pada kisaran suhu pengaliran sebelum induksi kristalisasi lemak terjadi akibat suhu yang menurun. Fenomena perubahan sifat fisik CPO akibat pengaruh suhu dipelajari pada kisaran suhu 25 o C hingga 55 o C, yang diasumsikan merupakan kisaran suhu pengaliran yang mungkin diterapkan dalam sistem pipa yang akan dikembangkan di Indonesia. Pengukuran sifat fisik CPO dilakukan pada kondisi pretreatment suhu standar, karena perlakuan suhu yang dialami suhu sebelum pengukuran sifat

76 44 fisik akan mempengaruhi hasil pengujian. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat dikembangkan model matematika pengaruh suhu terhadap parameter sifat fisik CPO, serta pengujian korelasi antara parameter sifat fisik tersebut. Penelitian-penelitian terkait sifat reologi dan kristalisasi lemak seperti penelitian Chong et al. (2007) dan Vuillequez et al. (2010) menunjukkan bahwa terjadinya perubahan sifat fisik (khususnya sifat reologi dan kristalisasi) minyak/lemak bukan hanya ditentukan oleh suhu sampel saat pengukuran, tetapi juga dipengaruhi oleh lama waktu yang dialami oleh sampel saat mengalami proses penurunan dan penyetimbangan suhu. Respon perubahan sifat reologi minyak/lemak saat suhu sedang mengalami penurunan dengan laju penurunan suhu tertentu, akan menghasilkan besaran parameter sifat reologi yang berbeda. Oleh karena itu, pada kasus pengaliran CPO di dalam pipa yang akan mengalami kondisi dan waktu pengaturan suhu yang berbeda (dalam penelitian ini disebut metode penerapan suhu), informasi mengenai pengaruh metode penerapan suhu yang dialami sampel CPO terhadap hasil pengukuran sifat reologinya perlu dipelajari lebih lanjut. Pada penelitian ini diajukan model sistem transportasi CPO moda pipa yang membutuhkan tahap pemanasan kembali saat suhu CPO mengalami penurunan sebelum proses kristalisasi CPO dimulai. Dengan demikian, bila pengaliran berlangsung pada jarak tempuh yang jauh, proses penurunan suhu dan pemanasan kembali akan terjadi secara berulang di sepanjang aliran pipa pada jarak tertentu. Bagaimana pengaruh siklus suhu yang menurun dan meningkat secara berulang terhadap sifat fisik CPO juga akan dipelajari dalam tahap penelitian ini. Tujuan dari tahap penelitian ini adalah untuk memperoleh data pengaruh suhu terhadap parameter sifat fisik CPO beserta pemodelan matematikanya. Secara lebih terperinci, pengaruh suhu dipelajari pada kondisi pengukuran standar, pada kondisi dengan metode penerapan suhu tertentu, dan pada kondisi ketika CPO mengalami siklus suhu menurun dan meningkat. Pendekatan kondisi pengukuran yang berbeda di dalam kajian pengaruh suhu terhadap parameter sifat fisik CPO ini, diharapkan akan menghasilkan data karakteristik CPO yang lebih komprehensif dan relevan dengan teknis penggunaan data tersebut di lapangan.

77 45 Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 hingga bulan Juni Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor; dan Laboratorium South East Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam tahap penelitian ini adalah sampel CPO yang diperoleh dari tiga perusahaan kelapa sawit yang berlokasi di Kalimantan Barat, Banten, dan Jakarta. Tiga sampel tersebut dipilih berdasarkan hasil pengujian Tahap I (Bab 2), dengan bilangan iod berturut-turut 51.31, 54.15, dan g/100 g sampel, untuk melihat adanya korelasi antara sifat kimia terhadap perubahan sifat fisik CPO akibat pengaruh suhu. Pada pengujian pengaruh metode penerapan suhu dan pengaruh siklus suhu terhadap sifat fisik CPO, digunakan satu sampel CPO yang berdasarkan hasil penelitian tahap sebelumnya memiliki bilangan iod yang paling rendah, yaitu sebesar g/100 g sampel. Sampel CPO dengan bilangan iod yang berada di dekat batas bawah spesifikasi standar bilangan iod menurut SNI (yaitu sebesar g/100 g lemak), memiliki derajat ketidakjenuhan yang lebih rendah. Pada saat terjadi penurunan suhu, proses kristalisasi sampel CPO tersebut diperkirakan lebih mudah terjadi, lebih cepat terdeteksi, dan memberikan gambaran kondisi terberat dalam pencegahan proses kristalisasi lemak CPO. Dengan demikian, diharapkan data hasil pengujian dengan sampel CPO tersebut akan mendekati batas kritis terjadinya proses kristalisasi untuk sampel CPO pada umumnya. Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah piknometer untuk mengukur densitas CPO. Selain itu digunakan Nuclear Magnetic Resonance (NMR) Analyzer Bruker Minispec PC 100 (Bruker Optics Ltd.,

78 46 Canada) untuk mengukur kandungan lemak padat (solid fat content/sfc), dengan pengaturan suhu yang dilakukan dengan dry block untuk suhu di atas 30 o C dan waterbath circulation Thermomix UB-Frigomix untuk suhu di bawah 30 o C. Sifat reologi diukur menggunakan HAAKE Viscometer Rotovisco RV20 (Karlsruhe, Jerman) yang diatur suhunya dengan HAAKE Circulator dan HAAKE Temperature Control Module F3. Digunakan pula Differential Scanning Calorimetry (DSC) tipe DSC-60 (Shimadzu Corp. Jepang) yang dikendalikan suhunya oleh software Thermal Analysis System TA-60WS untuk mengukur profil entalpi CPO. Metode Penelitian Pengaruh suhu terhadap sifat fisik CPO dipelajari pada kisaran suhu yang akan diterapkan dalam proses pengaliran, yaitu antara suhu kamar 25 o C hingga suhu 55 o C. Suhu 55 o C dipilih karena merupakan suhu rekomendasi Codex Alimentarius Comission sesuai CAC/RCP 36 (CAC 2005) tentang suhu maksimal pengaliran CPO. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian tahap sebelumnya, SFC CPO pada suhu 55 o C telah sangat rendah, kurang dari 10%. Pengukuran sifat fisik dilakukan pada setiap selang suhu 5 o C, yaitu pada suhu 25, 30, 35, 40, 45, 50, dan 55 o C. Bagan alir tahap penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8. Tahap penelitian ini diawali dengan pengukuran sifat fisik CPO pada kisaran suhu o C. Sifat fisik yang diukur terkait dengan proses pengaliran CPO di dalam pipa, mencakup densitas, SFC, dan sifat reologi. Parameter sifat reologi yang diamati mencakup parameter indeks tingkah laku aliran (flow behaviour index atau n), indeks konsistensi (concistency index atau K) dan viskositas terukur (apparent viscosity atau ). Densitas atau berat jenis ( ) CPO (g/ml) diukur mengikuti metode AOCS Cc 10a-25 (AOCS 2005), sedangkan SFC CPO diukur menggunakan NMR berdasarkan metode IUPAC ex (IUPAC 1987). Pengukuran sifat reologi dilakukan dengan HAAKE Viscometer (HAAKE 1991, 1992). Prosedur analisis sifat fisik tersebut secara lengkap dapat dilihat pada bagian prosedur analisis pada penelitian Tahap I (Bab 2), yang masing-masing dilakukan dengan minimal dua ulangan.

79 47 Pengukuran sifat fisik CPO pada kisaran suhu o C Densitas, metode AOCS Cc 10a-25 (AOCS 2005) Profil SFC, metode IUPAC ex (IUPAC 1987) Sifat reologi CPO (HAAKE 1991, 1992) Analisis pengaruh suhu terhadap sifat fisik CPO dan pemodelan matematikanya Pengaruh suhu terhadap densitas Pengaruh suhu terhadap SFC Pengaruh suhu terhadap sifat reologi Penentuan korelasi antar parameter sifat fisik CPO terkait dengan pengaruh suhu Korelasi densitas dengan SFC Korelasi densitas dengan sifat reologi Korelasi SFC dengan sifat reologi Pengujian pengaruh metode penerapan suhu terhadap sifat reologi CPO pada kisaran suhu o C (1) Sampel CPO mengalami penyetimbangan suhu selama 24 jam di suhu pengukuran setelah pemanasan awal 55 o C (2) Sampel CPO mengalami penurunan suhu dari 55 o C dengan laju 1 o C/menit menuju suhu pengukuran Pengujian pengaruh siklus suhu o C terhadap sifat fisik CPO Pengaruh siklus suhu terhadap profil entalpi Pengaruh siklus suhu terhadap SFC Pengaruh siklus suhu terhadap sifat reologi Gambar 8 Diagram alir penelitian pengaruh suhu terhadap sifat fisik minyak sawit kasar (CPO).

80 48 Sebelum dilakukan pengukuran sifat fisik, sampel CPO harus mengalami penyetimbangan suhu di suhu pengukuran selama menit. Waktu menit dipilih sebagai waktu penyetimbangan pada suhu pengukuran sesuai dengan prosedur standar penentuan densitas dan SFC. Dari tiga sampel CPO yang digunakan, dilakukan perbandingan antar sampel untuk melihat variasi sifat fisiknya akibat pengaruh suhu. Berdasarkan data yang diperoleh, dilakukan analisis data pengaruh suhu terhadap sifat fisik CPO tersebut, dan dilakukan penepatan model matematikanya. Parameter viskositas terukur ( ditentukan kesesuaiannya dengan model Arrhenius (Steffe & Daubert 2006). Dilakukan pula analisis korelasi antar parameter sifat fisik CPO untuk menyusun model matematika pendugaan parameter sifat fisik CPO tertentu melalui pengujian parameter sifat fisik lainnya. Pada tahap selanjutnya dipelajari pengaruh metode penerapan suhu khususnya terhadap sifat reologi CPO yang diukur dengan HAAKE Viscometer Rotovisco RV20, karena sifat reologi berkaitan langsung dengan proses pengaliran di dalam pipa. Proses pengaliran CPO dapat berlangsung pada kondisi suhu setimbang yang konstan (isotermal), maupun pada suhu nonisotermal karena mengalami penurunan dari suhu 55 o C. Kedua kondisi pengaliran tersebut diperkirakan akan menghasilkan parameter sifat reologi yang berbeda. Pengaruh suhu dipelajari pada dua metode penerapan suhu yaitu: (1) sampel CPO mengalami penyetimbangan suhu selama 24 jam di suhu pengukuran setelah pemanasan awal 55 o C; (2) sampel CPO mengalami penurunan suhu dari suhu pemanasan awal 55 o C dengan laju 1 o C/menit menuju suhu pengukuran. Kondisi suhu setimbang pada metode penerapan suhu (1) mensimulasikan kondisi pengaliran CPO dalam pipa secara isotermal, sedangkan kondisi suhu yang belum setimbang pada metode penerapan suhu (2) mensimulasikan kondisi CPO saat mengalami penurunan suhu ketika dialirkan di dalam pipa. Melalui perlakuan tersebut, diharapkan dapat ditentukan sifat reologi CPO pada kedua metode penerapan suhu, sehingga data yang digunakan dalam perhitungan teknik kendali aliran CPO dapat lebih sesuai dengan profil perubahan suhu yang terjadi selama pengaliran CPO dalam sistem pipa.

81 49 Pada tahap berikutnya, dilakukan pengujian pengaruh siklus suhu menurun dan meningkat dengan kisaran suhu o C untuk mensimulasikan model sistem pengaliran CPO moda pipa jarak jauh yang membutuhkan tahap pemanasan kembali di beberapa lokasi untuk mencegah terjadinya kristalisasi lemak. Laju penurunan dan peningkatan suhu yang diterapkan pada penerapan siklus suhu adalah 1 o C/menit. Pengaruh siklus suhu dievaluasi melalui profil entalpi (thermogram) DSC yang dilakukan sebanyak 10 siklus, sedangkan pengaruh siklus suhu terhadap SFC dan CPO dilakukan sebanyak 3 siklus. Siklus suhu tersebut diterapkan beberapa kali pada sampel CPO dalam kondisi statis, kecuali pada pemantauan CPO yang dilakukan pada shear rate 100 s -1. Prosedur analisis pengujian pengaruh siklus suhu secara lengkap dapat dilihat pada bagian prosedur analisis, dan semua pengujian dilakukan minimal dengan dua ulangan. Untuk melihat perbedaan antar sampel atau antar perlakuan, dilakukan uji oneway analysis of variance (ANOVA one-way) menggunakan program statistik SPSS Statistics Uji Duncan multiple-range dilakukan untuk menentukan perbedaan yang nyata antara data rata-rata pada P<0.05. Prosedur Analisis Penentuan profil kandungan lemak padat dengan Nuclear Magnetic Resonance (IUPAC 1987) Penentuan profil kandungan lemak padat atau solid fat content (SFC) CPO dilakukan berdasarkan metode IUPAC Norm Version ex (IUPAC 1987) menggunakan instrumen NMR resolusi rendah (low resolution nuclear magnetic resonance) Bruker Minispec 100 NMR Analyzer. Pretreatment atau prosedur stabilisasi awal sangat menentukan jumlah dan tipe kristal lemak yang terbentuk, dan menentukan nilai SFC yang diukur dengan NMR. Pada kondisi pengukuran standar, contoh uji CPO diisikan ke dalam tabung NMR setinggi cm. Sebelum dianalisis, contoh uji dipanaskan pada suhu 80 o C selama 30 menit agar meleleh sempurna untuk meyakinkan homogenitasnya. Contoh uji yang telah meleleh kemudian dipertahankan pada suhu 60 o C selama 5

82 50 menit, dan selanjutnya disimpan pada suhu 0 o C selama 60 menit. Sebelum dilakukan pengukuran SFC, contoh uji dipertahankan dulu pada masing-masing suhu pengukurannya selama menit, dengan menggunakan dry block untuk suhu di atas 30 o C dan waterbath circulation Thermomix UB-Frigomix untuk suhu di bawah 30 o C. Pengujian pengaruh siklus suhu terhadap profil entalpi (modifikasi metode Saberi et al. 2011) Untuk mengetahui pengaruh siklus suhu menurun dan meningkat yang dialami CPO secara berulang terhadap profil entalpi CPO, dilakukan pengujian dengan Differential Scanning Calorimetry (DSC) tipe DSC-60 (Shimadzu Corp. Jepang) yang dikendalikan dengan software Thermal Analysis System TA-60WS. Hasil pengujian dengan DSC akan menghasilkan kurva profil entalpi (thermogram). Pada saat suhu menurun, diperoleh kurva eksotermik (terjadi pelepasan panas), sedangkan pada saat suhu meningkat diperoleh kurva endotermik (terjadi penyerapan panas). Tahap persiapan sampel dan instrumen yang digunakan dalam percobaan ini sama dengan yang digunakan dalam analisis kalorimetri dinamis menurut Saberi et al. (2011). Modifikasi prosedur analisis dilakukan terhadap program suhu yang diterapkan. Perlakuan peningkatan suhu dilakukan pada laju 10 o C/menit untuk mensimulasikan proses pemanasan yang cepat dengan heat exchanger pada jalur perpipaan hingga suhu 55 o C dan sampel dipertahankan pada suhu tersebut selama 10 menit. Selanjutnya sampel diturunkan suhunya dengan laju penurunan suhu 1 o C/menit hingga suhu 25 o C, dan ditahan pada suhu tersebut selama 1 menit. Kemudian dilakukan pemanasan kembali ke suhu 55 o C dan penurunan suhu kembali ke 25 o C dengan laju perubahan suhu yang sama hingga 10 siklus. Pengujian pengaruh siklus suhu terhadap kandungan lemak padat (modifikasi metode IUPAC 1987) Percobaan siklus suhu menurun dan meningkat dilakukan dengan memodifikasi metode pengukuran SFC berdasarkan IUPAC ex 2.323

83 51 (IUPAC 1987). Sampel CPO tidak melalui prosedur tempering standar, tetapi langsung diukur SFC-nya dengan NMR pada metode penerapan suhu yang dialaminya. Sebelumnya sampel CPO dimasukkan ke dalam tabung sampel NMR setinggi cm. Sampel tersebut kemudian dipanaskan secara cepat dengan dry block hingga suhu 55 o C dan ditahan selama 30 menit untuk menghilangkan memori kristal awal. Sampel kemudian diturunkan suhunya dengan laju penurunan suhu 1 o C/menit hingga suhu 25 o C, dan selanjutnya ditingkatkan kembali suhunya ke 55 o C dalam waktu 10 menit. Pengukuran SFC dilakukan pada setiap selang penurunan suhu 5 o C, dan pengujian dilakukan pada 3 siklus suhu menurun dan meningkat. Pengujian pengaruh siklus suhu terhadap viskositas terukur (HAAKE 1991, 1992) Pengujian dilakukan dengan HAAKE Viscometer Rotovisco RV20 yang dikontrol siklus suhunya dengan HAAKE Circulator dan HAAKE Temperature Control Module F3 sesuai program suhu yang ingin diterapkan (HAAKE 1992). Pengujian berlangsung pada shear rate yang tetap yaitu 100 s -1. Sampel CPO diberi perlakuan suhu yang meningkat hingga suhu 55 o C, dengan laju 1 o C/menit. Peningkatan suhu tidak dilakukan pada laju yang lebih cepat, karena keterbatasan sistem kontrol suhu pada instrumen yang digunakan (HAAKE 1991). Setelah suhu 55 o C tercapai, dilakukan penurunan suhu menjadi 25 o C dengan laju penurunan suhu 1 o C/menit. Siklus suhu menurun dan meningkat dilakukan pada 3 siklus, dan dilakukan pengukuran terhadap nilai sampel CPO tersebut. Hasil dan Pembahasan Pengaruh Suhu terhadap Sifat Fisik CPO pada Kisaran Suhu o C Proses pengaliran CPO dalam pipa dipengaruhi oleh suhu selama pengaliran, yang juga akan menentukan kendali pengalirannya sesuai desain perpipaan yang dirancang. Untuk memastikan bahwa suhu pengukuran telah tercapai dan setimbang, sampel CPO yang dianalisis sifat fisiknya terlebih dahulu

84 Densitas (kg/m 3 ) 52 mengalami penyetimbangan di suhu pengukuran selama menit. Waktu penyetimbangan menit merupakan waktu yang telah ditetapkan dalam prosedur penentuan densitas minyak menurut AOCS Cc 10a-25 (AOCS 2005), dan dalam prosedur penentuan SFC menurut IUPAC ex (IUPAC 1987). Pada pengukuran sifat reologi CPO, dilakukan pula penyetimbangan suhu selama menit sebelum prosedur pengukuran sifat reologi berlangsung. Pada tahap penelitian ini digunakan tiga sampel CPO yang masing-masing diberi kode CPO A, CPO B, dan CPO C. Pengaruh suhu terhadap densitas CPO Profil densitas CPO yang diukur pada kisaran suhu o C dapat dilihat pada Gambar 9 dengan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 12. Secara umum, pada suhu yang semakin tinggi, densitas CPO semakin rendah, yang sesuai dengan hasil penelitian Ong et al. (1995) yang menggunakan sampel RBDPO. Pada suhu rendah di bawah 45 o C variasi nilai densitas antar sampel CPO cukup besar, sedangkan pada suhu di atas 45 o C, densitas ketiga sampel CPO memiliki nilai rata-rata sebesar g/ml , , , , , , , ,895 CPO A CPO B CPO C , , Suhu ( o C) Gambar 9 Densitas tiga sampel CPO pada suhu o C.

85 Densitas (kg/m 3 ) 53 Bila dibandingkan dengan data Ong et al. (1995) yang menggunakan sampel RBDPO, densitas RBDPO pada suhu 50 o C sedikit lebih rendah yaitu g/ml. Pengujian Tangsathitkulchai et al. (2004) menggunakan sampel CPO pada suhu 15.5 o C menghasilkan data densitas sebesar g/ml, yang masih sesuai dengan kisaran data percobaan dalam penelitian ini. Penurunan densitas CPO dapat dimodelkan dengan persamaan regresi linier pengaruh suhu (T) terhadap densitas ( ) yang diajukan oleh PORIM. Nilai densitas CPO menurut PORIM (Timms 1985) mengikuti Persamaan 9. Persamaan pengaruh suhu terhadap densitas CPO juga diajukan oleh Narvaez et al. (2007) (Persamaan 10). (g/ml) = T (9) (g/ml) = T (10) Berdasarkan data densitas tiga sampel CPO dapat disusun persamaan regresi linier (Persamaan 11) dengan nilai R 2 yang tinggi (0.984). Penentuan model matematika melalui regresi linier pengaruh suhu terhadap densitas CPO disajikan pada Gambar 10. (g/ml) = T (11) , , , , , , , ,885 = T R² = Suhu ( o C) Gambar 10 Regresi linier pengaruh suhu terhadap densitas tiga sampel CPO.

86 54 Persamaan 9, 10, dan 11 menghasilkan prediksi nilai densitas CPO yang sedikit berbeda pada suhu yang sama. Menurut Timms (1985), adanya perbedaan kecil pada nilai densitas yang dihitung dari persamaan matematika pengaruh suhu tersebut tidak signifikan secara statistik bila dibandingkan dengan kesalahan dalam pengukuran dan variasi sampel CPO yang diukur. Pengaruh suhu terhadap kandungan lemak padat CPO Kandungan lemak padat (SFC) merupakan fraksi lemak dalam bentuk padat (dalam %) yang terdapat di dalam suatu sampel pada suhu tertentu setelah melalui tempering suhu tertentu, yang diukur dengan Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Menurut Metin dan Hartel (2005), bila lemak didinginkan di bawah titik leleh dari komponen bertitik leleh tertinggi, akan terdapat rasio antara lemak padat terhadap lemak cair yang tergantung pada kondisi campuran TAG, yang dikenal dengan istilah SFC. Hasil pengukuran SFC tiga sampel CPO dengan menggunakan metode standar perlakuan awal suhu (pretreatment) berupa pemanasan sampel CPO pada suhu 80 o C selama 30 menit, dipertahankan pada suhu 60 o C selama 5 menit, dan disimpan pada suhu 0 o C selama 60 menit), dapat dilihat pada Gambar 11 dengan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13. Bentuk kurva SFC yang dihasilkan tiga sampel CPO tersebut sesuai dengan bentuk kurva SFC minyak sawit menurut Timms (1985). Bentuk kurva SFC sampel minyak dan lemak sangat tergantung dari pretreatment yang dialami sampel, khususnya riwayat perubahan suhu yang dialaminya. Pada suhu yang semakin tinggi, SFC semakin rendah. Hal itu terjadi karena pada suhu yang lebih tinggi, terjadi pelelehan pada fraksi lemak yang semula merupakan fase padat menjadi fase cair, yang sangat terkait dengan titik leleh (T M ) sampel CPO. Berdasarkan Gambar 11 dapat diketahui bahwa pada suhu 25 o C, sekitar 16.5% lemak dalam sampel CPO berbentuk padat. Dengan semakin meningkatnya suhu, kandungan lemak dalam bentuk padat dalam sampel CPO semakin menurun. Pada suhu di atas 40 o C, nilai SFC sampel CPO kurang dari 10%, dan pada suhu 55 o C SFC sampel CPO bernilai kurang dari 5%.

87 Kandungan lemak padat (%) CPO A CPO B CPO C Suhu ( o C) Gambar 11 Kandungan lemak padat (SFC) tiga sampel CPO pada suhu o C. Keterbatasan pengukuran SFC oleh instrumen Nuclear Magnetic Resonance (NMR) Analyzer Bruker Minispec PC 100 yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah tingkat ketelitian pengukuran pada SFC di bawah 5% yang kurang baik. Diduga pada suhu 55 o C, SFC sampel CPO sudah sangat rendah dan dalam kondisi hampir cair sempurna. Bila data SFC sampel CPO dibandingkan dengan data Basiron (2005) tentang SFC RBDPO, kisaran nilai SFC CPO lebih tinggi. Pada sampel RBDPO, nilai rata-rata SFC pada suhu 45 o C telah mencapai 0.7%, sedangkan pada sampel CPO yang diujikan, SFC rata-rata bernilai 5.37%. Fenomena tersebut sesuai dengan hasil penelitian Siew dan Mohammad (1989), dimana pada suhu lebih tinggi dari 25 o C, SFC CPO lebih tinggi dibandingkan SFC RBDPO. Lebih tingginya nilai SFC CPO dibandingkan RBDPO, selain diduga akibat instrumen NMR yang digunakan telah mencapai batas sensitivitas pengukurannya, juga karena jenis sampel yang dianalisis berbeda. Sampel CPO yang belum mengalami tahap pemurnian, masih mengandung komponen selain lemak serta kotoran, yang diperkirakan menyebabkan nilai SFC yang lebih tinggi. Pada CPO terkandung pecahan dari TAG berupa diacylglycerol (DAG), yang menurut Siew dan Ng (1996), juga mempengaruhi sifat kristalisasi lemak. Nilai SFC RBDPO

88 56 yang berbeda dibandingkan CPO, menurut Siew dan Mohammad (1989) dipengaruhi oleh proses deodorisasi yang telah dialami RBDPO pada suhu tinggi, yang mengakibatkan perubahan sifat kristalisasinya, termasuk mempengaruhi nilai SFC-nya. Pengaruh suhu terhadap sifat reologi CPO Pengaruh suhu terhadap sifat reologi CPO difokuskan sebelum proses kristalisasi tahap pertama, yang menurut Tarabukina et al. (2009) termasuk dalam zona A dengan sampel yang berada dalam fase cair, dan peningkatan viskositas hanya disebabkan oleh terjadinya penurunan suhu. Pengukuran sifat reologi CPO dilakukan pada kondisi suhu yang isotermal setelah penyetimbangan selama menit. Menurut Goodrum et al. (2002), karena viskositas merupakan fungsi dari suhu, maka nilai parameter reologi indeks tingkah laku aliran (flow behaviour index atau n) dan nilai indeks konsistensi (concistency index atau K) juga dapat berubah dengan perubahan suhu. Dengan demikian, n dan K harus ditentukan melalui percobaan penentuan viskositas pada kondisi suhu tertentu (isotermal). Pengukuran sifat reologi CPO dilakukan dengan mengukur shear stress dan viskositas terukur ( ) CPO pada kisaran shear rate (γ) s -1. Berdasarkan rheogram yang diukur pada suhu yang berbeda, dapat diamati adanya perbedaan respon shear stress akibat shear rate yang diterapkan pada ketiga sampel CPO akibat perbedaan suhu (Gambar 12). Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 12, bentuk kurva dan slope yang dihasilkan pada setiap suhu berbeda. Pada suhu o C, kenaikan shear stress tidak proporsional (lebih tinggi) dibandingkan kenaikan shear rate, sehingga membentuk kurva convex (cekung ke bawah) yang merupakan ciri dari fluida yang bersifat non-newtonian pseudoplastic (Rao 1999). Sedangkan pada suhu di o C, shear stress yang terukur kenaikannya sebanding (linier) dengan kenaikan shear rate yang mengindikasikan sifat fluida Newtonian.

89 Shear stress (Pa) Shear stress (Pa) Shear stress (Pa) o C 30 2 o C 35 3 o C 40 4 o C 455 o C 50 6 o C 55 7 o C Shear rate (s -1 ) CPO A o C 30 2 o C 35 3 o C 40 4 o C 455 o C 50 6 o C 55 7 o C Shear rate (s -1 ) CPO B C o C(2) C o C(1) C o C(2) C o C(1) C o C(1) C o C(1) C o C(1) Shear rate (s -1 ) CPO C Gambar 12 Rheogram yang diukur pada kisaran suhu o C pada sampel CPO A, CPO B, dan CPO C.

90 58 Dengan melakukan penepatan model reologi menggunakan persamaan power law, dapat ditentukan parameter sifat fluida n dan K tiga sampel CPO pada kisaran suhu o C (Tabel 7 dan Lampiran 14). Data lengkap persamaan regresi linier hubungan shear rate dan shear stress tiga sampel CPO pada kisaran suhu o C dapat dilihat pada Lampiran 15. Secara umum, pada suhu pengukuran yang sama terdapat variasi nilai n dan K di antara ketiga sampel CPO tersebut. Diperkirakan penyebab variasi sifat reologi CPO disebabkan oleh adanya perbedaan komposisi asam lemak sesuai dengan hasil pengujian pada tahap penelitian sebelumnya, maupun akibat susunan asam lemak tersebut di dalam TAG. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Wang dan Briggs (2002) terhadap 5 jenis minyak kedelai, dimana perbedaan komposisi asam lemak dalam minyak kedelai menghasilkan variasi pada sifat reologinya. Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa ketiga sampel CPO bersifat sebagai fluida Newtonian pada suhu 55 o C, dengan nilai n sekitar 1 dan nilai K yang sangat rendah mendekati 0. Pada suhu 50 dan 45 o C, ketiga sampel CPO CPO mengalami penurunan nilai n, akan tetapi sifatnya masih mendekati sifat fluida Newtonian karena nilai n yang tinggi di atas 0.9. Dengan suhu yang semakin rendah, sifat fluida CPO semakin pseudoplastic dengan nilai n yang semakin kecil dan nilai K yang semakin besar. Tabel 7 Parameter model fluida CPO yang ditunjukkan oleh indeks tingkah laku aliran (n) dan indeks konsistensi (K) pada tiga sampel CPO. Suhu ( o C) Indeks tingkah laku aliran (n)* Indeks konsistensi (K, Pa.s n )* CPO A CPO B CPO C CPO A CPO B CPO C a a a c d c a b b b c b b b,c c a b b c b,c d a a,b a c,d c e a a a c,d c e a a a d c f a a a * Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).

91 59 Pada suhu 25 o C, sifat pseudoplastic ketiga sampel CPO semakin dominan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ong et al. (1995) mengenai sifat aliran fluida RBDPO yang memiliki indikasi sifat aliran turbulent non-newtonian pada suhu di bawah 30 o C dengan di atas 100 mpa.s. Timms (1985) menyatakan bahwa pada saat mendekati titik lelehnya, sifat non-newtonian dapat terjadi karena keberadaan kristal lemak di dalam sampel minyak. Karakter sifat reologi CPO tersebut serupa dengan hasil penelitian Goodrum et al. (2002) pada sampel yellow grease dan poultry fat, dimana sampel tersebut pada suhu kamar bersifat sebagai fluida non-newtonian sedangkan pada suhu tinggi (71.1 o C) bersifat sebagai fluida Newtonian karena lemak padatnya telah meleleh. Tangsathitkulchai et al. (2004) melakukan pengukuran sifat reologi CPO pada suhu 30, 40, dan 60 o C pada shear rate s -1, dan disimpulkan bahwa CPO memiliki sifat fluida Newtonian. Selain itu CPO juga bersifat time independent dimana shear stress tidak mengalami perubahan ketika diterapkan shear rate pada waktu tertentu. Kesimpulan Tangsathitkulchai et al. (2004) yang berbeda mengenai sifat fluida CPO disebabkan oleh kisaran perlakuan shear rate yang diterapkan jauh lebih tinggi dibandingkan penelitian ini, sehingga profil perubahan shear stress cenderung menghasilkan kurva yang linier. Bila dibandingkan dengan jenis minyak nabati lainnya seperti yang telah diteliti oleh Kim et al. (2009), minyak canola, jagung, grapeseed, hazelnut, zaitun, kedelai, dan biji bunga matahari memiliki sifat fluida Newtonian. pada suhu 25 o C untuk tujuh sampel minyak nabati tersebut lebih rendah yaitu berkisar antara mpa.s, dibandingkan CPO yang berkisar antara mpa.s pada shear rate 100 s -1. Demikian juga yang diperoleh Fasina et al. (2006) yang menyatakan bahwa 12 sampel minyak nabati yaitu minyak almond, canola, jagung, grapeseed, hazelnut, zaitun, kacang tanah, safflower, wijen, kedelai, biji bunga matahari, dan walnut bersifat sebagai fluida Newtonian, dengan di suhu 20 o C berkisar antara mpa.s. Perbedaan tersebut diduga terkait dengan perbedaan komposisi asam lemak di dalam sampel. Sampel minyak nabati lainnya lebih dominan mengandung asam lemak tak jenuh ( %), sedangkan sampel CPO hanya mengandung asam lemak tak jenuh sekitar 49.8%. Menurut Kim et al. (2009), ikatan rangkap dengan konfigurasi cis pada asam

92 60 lemak tak jenuh memiliki bentuk rantai yang bengkok, yang menyulitkan untuk tersusun rapat satu sama lain. Hal tersebut mengganggu penataan kristalin dan menyebabkan struktur lemak menjadi tidak kuat dan tidak kaku, dengan molekul yang tersusun lebih longgar sehingga bersifat lebih cair. Selain itu menurut Wang dan Briggs (2002), adanya konfigurasi rantai asam lemak yang bengkok mencegah terjadinya interaksi atau penataan antar molekul serta mengurangi friksi intermolekuler, sehingga mengakibatkan menjadi lebih rendah. Berdasarkan pengujian statistik dengan ANOVA one-way dan uji lanjut Duncan terhadap nilai n dan K (Lampiran 16), dapat diketahui bahwa suhu memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap sifat reologi CPO. Pada suhu 40, 45, 50 dan 55 o C, sifat reologi CPO secara umum relatif sama. Perbedaan yang nyata pada sifat reologi CPO mulai terjadi pada suhu di bawah 40 o C. Bila dikaitkan dengan titik leleh (melting temperature, T M ) CPO yaitu rata-rata o C (hasil penelitian Tahap I pada Bab 2), maka pada suhu di atas T M, lemak padat CPO telah mengalami pelelehan sempurna, dan menghasilkan sifat reologi yang tidak berbeda nyata pada kondisi CPO yang cair sempurna. Sebaliknya pada suhu di bawah T M, mulai terjadi kondisi supercooling yang menginduksi terjadinya kristalisasi lemak CPO, yang mengakibatkan perbedaan yang nyata terhadap sifat reologinya. Sifat CPO sebagai fluida pseudoplastic menguntungkan dalam sistem pengaliran dalam pipa, karena pada saat mengalami peningkatan shear rate, fluida akan bersifat semakin encer (shear thinning). Berdasarkan pengukuran sifat reologi sampel CPO tersebut, dapat diamati pula perubahan akibat pengaruh shear rate (Gambar 13). Penerapan shear rate tertentu dalam proses pengaliran di dalam pipa (pada penelitian ini dipilih shear rate 100 s -1 dan 400 s -1 ) akan menghasilkan CPO yang berbeda, seperti dapat dilihat pada Tabel 8 dan Lampiran 14. Pada saat CPO bersifat sebagai fluida pseudoplatic (di suhu o C), shear rate yang semakin tinggi akan menurunkan. Terkait sistem pengaliran CPO dalam pipa, dengan semakin tingginya laju aliran (flow rate) yang diterapkan, akan menyebabkan CPO menjadi lebih rendah. Pada suhu o C, saat CPO cenderung bersifat sebagai fluida Newtonian, nilai relatif tetap dan perbedaan shear rate yang diterapkan tidak akan berpengaruh terhadap.

93 Viskositas terukur (mpa.s) Viskositas terukur (mpa.s) Viskositas terukur (mpa.s) o C 30 2 o C 35 3 o C 40 4 o C 45 5 o C 50 6 o C 55 7 o C Shear rate (s -1 ) CPO A o C 30 2 o C 35 3 o C 540 o C 45 6 o C 50 6 o C 55 7 o C Shear rate (s -1 ) CPO B o C 30 o C 35 o C 40 o C 45 o C 50 o C 55 o C Shear rate (s -1 ) CPO C Gambar 13 Profil viskositas terukur CPO yang diukur pada kisaran suhu o C pada sampel CPO A, CPO B, dan CPO C.

94 62 Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa pada suhu yang semakin tinggi, nilai CPO semakin rendah. Pada suhu 55 o C, nilai CPO sekitar 25 mpa.s, dan nilai semakin besar pada suhu yang lebih rendah hingga lebih dari 100 mpa.s. Plot hubungan antara suhu dengan nilai ketiga sampel CPO disajikan pada Gambar 14. Bentuk kurva hubungan suhu dengan CPO tersebut sesuai dengan hasil penelitian Tangsathitkulchai et al. (2004) pada CPO, khususnya pada shear rate 400 s -1, dimana akan menurun secara eksponensial ketika suhu meningkat. Penurunan secara eksponensial akibat peningkatan suhu pada kisaran 5-95 o C juga terjadi pada tujuh sampel minyak nabati yang diteliti oleh Kim et al. (2009) dan 12 sampel minyak nabati yang diteliti oleh Fasina et al. (2006). Menurut Ong et al. (1995), sampel RBDPO yang bersuhu di bawah 30 o C memiliki lebih besar dari 100 mpa.s. Timms (1985) mengemukakan bahwa minyak meningkat dengan meningkatnya berat molekul, tetapi menurun dengan meningkatnya ketidakjenuhan dan suhu, dengan penurunan minyak sekitar 30% untuk setiap peningkatan suhu sebesar 10 o C. Menurut Santos et al. (2005) pengaruh suhu terhadap penurunan disebabkan oleh terjadinya penurunan interaksi molekuler di dalam fluida, sedangkan menurut Munson et al. (2001) disebabkan oleh terjadinya penurunan gaya kohesif pada molekul-molekul fluida saat suhu mengalami peningkatan. Selain itu menurut Tangsathitkulchai et al. (2004), peningkatan suhu juga menurunkan jumlah partikel lemak yang mengendap serta membantu pelarutannya, sehingga mengalami penurunan. Tabel 8 Viskositas terukur tiga sampel CPO pada shear rate 100 s -1 dan 400 s -1. Suhu ( o C) Viskositas terukur pada shear rate 100 s -1 (mpa.s)* Viskositas terukur pada shear rate 400 s -1 (mpa.s)* CPO A CPO B CPO C CPO A CPO B CPO C e e d e 98.9 f e d 90.2 d c 99.2 d 74.1 e 98.4 d c 64.3 c 92.9 b 66.5 c 56.1 d 64.6 c b 47.4 b 66.3 b 48.1 b 42.2 c 49.2 b a,b 31.7 a 36.6 a 28.1 a 30.0 b 33.3 a a,b 29.2 a 23.9 a 29.3 a 27.6 b 21.7 a a 22.8 a 25.8 a 24.6 a 21.8 a 26.0 a * Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).

95 Viskositas terukur (mpa.s) CPO A, g 100s-1 s CPO B, g 100 s-1s CPO C, g 100 s-1s CPO A, A, g 400 s-1 s CPO B, g 400 s-1s CPO C, g g 400 s-1s Suhu ( o C) Gambar 14 Pengaruh suhu terhadap viskositas terukur tiga sampel CPO pada shear rate 100 s -1 dan 400 s -1. Nilai pada shear rate 400 s -1 lebih rendah dibandingkan pada shear rate 100 s -1, karena terkait dengan sifat fluida CPO yang pseudoplastic yang akan semakin rendah saat shear rate meningkat. Pada kisaran shear rate tersebut, ketiga sampel CPO secara umum rendah (di bawah 35 mpa.s) dan tidak berbeda nyata pada suhu 45, 50, dan 55 o C. Dengan demikian, bila CPO berada pada suhu tinggi di atas T M CPO 39 o C, sifat reologinya tidak berbeda nyata akibat lemak dalam bentuk padat telah meleleh sempurna. Berdasarkan data pada Tabel 7 dan 8, dapat disimpulkan bahwa pada suhu yang semakin rendah sifat fluida CPO semakin pseudoplastic, akan tetapi nilai pada suhu-suhu rendah tersebut lebih tinggi dibandingkan saat CPO bersifat sebagai fluida Newtonian di suhu tinggi. Penerapan shear rate yang sangat tinggi sekalipun, tidak menyebabkan penurunan yang lebih rendah dibandingkan dengan penerapan suhu analisis yang lebih tinggi. Dengan demikian, penggunaan suhu pengaliran yang lebih tinggi akan lebih menguntungkan karena nilai yang dihasilkan lebih rendah dan tidak berubah akibat pengaruh shear rate yang diterapkan (karena bersifat sebagai fluida Newtonian).

96 64 Pengaruh suhu terhadap viskositas terukur fluida ( ) dapat dimodelkan dengan baik oleh model Arrhenius seperti dapat dilihat pada Persamaan 12 (Steffe & Daubert 2006). = A r exp E a R T (12) dimana E a adalah energi aktivasi untuk aliran, R adalah konstanta gas universal, dan T adalah suhu absolut. Nilai E a dan konstanta persamaan Arrhenius (A r ) ditentukan menggunakan regresi linier dari data percobaan. Nilai E a mengindikasikan bahwa suatu fluida akan lebih mudah mengalami perubahan viskositas saat terjadi perubahan suhu (Steffe & Daubert 2006; Wang & Briggs 2002). Untuk fluida non-newtonian, terdapat pengaruh shear rate yang akan mengubah respon perubahan viskositas terukur ( ) akibat perubahan suhu. Steffe dan Daubert (2006) mengemukakan cara penepatan model Arrhenius untuk fluida non-newtonian dengan mengunakan patokan suhu tertentu (reference temperature atau T r ) dan tertentu (reference atau r ) pada shear rate tertentu (Persamaan 13). ln r = E a R 1 T 1 T r (13) T r yang dipilih dalam penelitian ini adalah 300 K (atau 27 o C), sedangkan r dihitung berdasarkan Persamaan 12. Dengan menggunakan r hasil perhitungan, dapat diperoleh konstanta model Arrhenius untuk ketiga sampel CPO sebagai fluida non-newtonian yang ditampilkan pada Tabel 9 untuk shear rate 100 s -1 dan Tabel 10 untuk shear rate 400 s -1. Penepatan model Arrhenius dengan plot 1/T terhadap ln ketiga sampel CPO untuk penentuan nilai E a dan A r pada data di shear rate 100 s -1 dan 400 s -1, dapat dilihat pada Lampiran 17. Berdasarkan penepatan dengan model Arrhenius tersebut, dapat ditentukan nilai E a ketiga sampel CPO pada saat mengalami shear rate tertentu. Pada ketiga sampel CPO yang diuji, nilai E a pada shear rate 100 s -1 berkisar antara

97 kj/mol, sedangkan pada shear rate 400 s -1, nilai E a berkisar antara kj/mol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa CPO yang dialirkan pada shear rate yang lebih tinggi akan memiliki nilai E a yang lebih rendah dan lebih tidak sensitif terhadap perubahan suhu yang dialaminya. Penggunaan model Arrhenius pada RBDP olein (fraksi olein minyak sawit yang telah dimurnikan) oleh Gupta et al. (2007) menghasilkan nilai E a sebesar kj/mol. Kim et al. (2010) yang menggunakan model Arrhenius pada tujuh sampel minyak nabati menghasilkan nilai E a kj/mol dan nilai A r 1.18 x x 10-6 Pa.s. Sedangkan penelitian Fasina et al. (2006) pada 12 sampel minyak nabati menghasilkan nilai E a kj/mol dan nilai A r 1.1 x x 10-8 Pa.s. Nilai E a CPO lebih besar dibandingkan E a RBDP olein dan sampel minyak nabati yang diteliti Kim et al. (2009) dan Fasina et al. (2006), yang menunjukkan bahwa saat terjadi perubahan suhu, sampel CPO semakin mudah berubah dibandingkan sampel minyak nabati lainnya. Menurut Wang dan Briggs (2002), nilai E a juga ditentukan oleh komposisi kimia lemak. Diperkirakan, nilai E a semakin besar bila terjadi perubahan fase bahan pada kisaran suhu pengujian. CPO mengalami perubahan fase pada kisaran suhu o C, karena memiliki T M rata-rata sebesar o C. Sedangkan sampel minyak nabati lain yang diteliti Gupta et al. (2007), Kim et al. (2010), dan Fasina et al. (2006) pada umumnya telah berbentuk cair pada suhu kamar, dan memiliki sifat fluida Newtonian. Tabel 9 Parameter model Arrhenius pengaruh suhu terhadap viskositas terukur CPO sebagai fluida non-newtonian pada shear rate 100 s -1. Jenis CPO CPO A CPO B CPO C E a (kj/mol) A r (Pa.s) r (Pa.s) T r (K) Model Arrhenius x s -1 = exp T x s -1 = exp T x s -1 = exp T

98 66 Tabel 10 Parameter model Arrhenius pengaruh suhu terhadap viskositas terukur CPO sebagai fluida non-newtonian pada shear rate 400 s -1. Jenis CPO CPO A CPO B CPO C E a (kj/mol) A r (Pa.s) r (Pa.s) T r (K) Model Arrhenius x s -1 = exp T x s -1 = exp T x s -1 = exp T Untuk membuktikan adanya korelasi antara E a dengan sifat kimia CPO, dilakukan uji korelasi Pearson antara E a dengan kandungan asam lemak bebas (ALB) dan bilangan iod (BI). Hasil uji korelasi tersebut disajikan pada Lampiran 18, yang menunjukkan bahwa BI berkorelasi nyata dengan E a CPO, akan tetapi ALB tidak berkorelasi nyata dengan E a CPO. Walaupun kisaran BI sampel CPO telah dibatasi oleh SNI pada kisaran g/100 g sampel, akan tetapi kisaran BI yang sempit tersebut menghasilkan nilai E a yang berbeda. Berdasarkan data dari tiga sampel CPO, dapat disusun suatu persamaan matematika yang dapat memprediksi nilai E a sampel CPO berdasarkan BI-nya pada shear rate tertentu. Prediksi E a sampel CPO dari BI-nya pada shear rate 100 s -1 dilakukan dengan Persamaan 14 dengan R 2 = 0.946, sedangkan prediksi E a sampel CPO dari BI-nya pada shear rate 400 s -1 dapat dilakukan dengan Persamaan 15 dengan R 2 = E a 100 s -1 = (BI) (14) E a 400 s -1 = (BI) (15) Penentuan persamaan regresi linier tersebut dapat dilihat pada Lampiran 19. Saat CPO mengalami perubahan suhu pada kisaran o C di shear rate tertentu, CPO dengan BI yang semakin kecil memiliki E a yang semakin besar, sehingga semakin mudah mengalami perubahan. Pada CPO dengan BI yang rendah, akan terdapat lebih banyak fraksi asam lemak jenuh yang bertitik leleh

99 67 tinggi (fraksi stearin), dan mudah memadat pada suhu kamar. Dengan tingginya kandungan asam lemak jenuh di dalamnya, ketika suhu meningkat melewati titik lelehnya, maka sampel CPO tersebut juga akan semakin mudah berubah. BI memiliki korelasi yang nyata dan sangat menentukan nilai E a suatu sampel CPO. BI menunjukkan proporsi kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh di dalam sampel CPO (Basiron 2005), dan sampel CPO dengan BI yang rendah memiliki jumlah ikatan rangkap yang lebih sedikit. Pada minyak yang mengandung lebih banyak ikatan rangkap (BI lebih tinggi), saat suhu mengalami perubahan, maka juga akan lebih mudah mengalami perubahan dan memiliki E a yang lebih kecil. Hasil tersebut didukung oleh hasil penelitian Kim et al. (2009) yang menunjukkan bahwa sifat reologi minyak nabati ditentukan oleh komponen utama asam lemak di dalamnya yaitu asam lemak tak jenuh 18:1 dan 18:2, dan minyak yang mengandung lebih banyak ikatan rangkap memiliki nilai E a yang lebih kecil. Korelasi Antara Parameter Sifat Fisik CPO Terkait dengan Pengaruh Suhu Perubahan parameter sifat fisik CPO yaitu densitas, SFC, dan sifat reologi saat terjadi perubahan suhu pada kisaran o C, disebabkan oleh terjadinya fenomena fisik tertentu yang dialami CPO. Bila fenomena fisik yang menyebabkan perubahan parameter sifat fisik tersebut sama, dan data parameter sifat fisik yang berbeda berkorelasi, maka korelasi antar parameter sifat fisik CPO dapat menghasilkan model matematika yang dapat digunakan untuk memprediksi suatu parameter sifat fisik melalui pengukuran parameter sifat fisik lainnya pada saat sampel CPO mengalami perubahan suhu. Khususnya terkait dengan sifat reologi, prediksi sifat fluida melalui penentuan parameter n dan K sangat penting artinya mengingat ketersediaan instrumen untuk mengukur parameter sifat reologi yang masih terbatas, dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan analisis tersebut cukup panjang. Data hasil pengujian sifat fisik tiga sampel CPO pada suhu o C dan dengan kondisi pengukuran standar, diuji korelasi Pearson (Lampiran 20). Densitas tidak memiliki korelasi yang nyata (P<0.05) dengan SFC dan sifat

100 68 reologi (n, K, dan ). Densitas yang dihitung dengan membagi massa CPO dengan volumenya, diduga tidak terlalu dipengaruhi oleh jumlah kristal lemak yang terbentuk saat suhu mengalami perubahan, dan densitas dapat langsung dihitung menggunakan Persamaan 10. Perubahan nilai SFC akibat pengaruh suhu pada kisaran suhu o C berkorelasi nyata (P<0.05) dengan perubahan yang terjadi pada sifat reologi CPO di suhu yang sama. Koefisien korelasi antara SFC dengan n, K, dan untuk ketiga sampel CPO seluruhnya di atas Dengan semakin rendahnya nilai SFC, maka sifat aliran CPO semakin mendekati sifat aliran fluida Newtonian. Hasil pengujian ANOVA (Lampiran 16) pada ketiga sampel CPO menunjukkan bahwa SFC sekitar 5% pada suhu 45 o C belum menyebabkan perbedaan sifat reologi (n, K, dan ) yang nyata, yaitu masih bersifat sebagai fluida Newtonian dengan n mendekati 1 dan K yang rendah di bawah Pa.s n. Akan tetapi saat SFC telah lebih besar dari 5%, yang terjadi pada suhu yang lebih rendah dari pada T M (39.07 o C), sifat reologi CPO telah berbeda nyata dibandingkan suhu-suhu yang lebih tinggi, yaitu bersifat sebagai fluida non-newtonian pseudoplastic. Dengan demikian, nilai SFC di sekitar 5% merupakan SFC kritis yang menyebabkan sifat reologi CPO tidak lagi bersifat sebagai fluida Newtonian, tetapi telah berubah menjadi bersifat non-newtonian pseudoplastic. SFC berkaitan dengan jumlah fase padat dan proses kristalisasi yang terjadi pada CPO. Dengan demikian, saat CPO mengalami perubahan suhu, maka terjadi perubahan fraksi padat (SFC) akibat proses kristalisasi lemak yang terjadi di dalamnya, dan akan mempengaruhi parameter sifat reologinya. Bila dikaitkan dengan T M CPO, pada suhu di bawah T M (yaitu rata-rata o C), CPO berada pada kondisi supercooling yang mulai menginduksi terjadinya kristalisasi lemak di dalamnya. Hal tersebut mengakibatkan SFC meningkat dan menyebabkan perubahan sifat reologi. Menurut Graef et al. (2006), peningkatan SFC selama proses kristalisasi dan agregasi akan menyebabkan terjadinya peningkatan. Hasil pengujian tersebut juga sesuai dengan penelitian Liang et al. (2008) yang telah melakukan pengujian pada model lemak dan membuktikan bahwa sifat reologi lemak sangat dipengaruhi oleh SFC dan mikrostruktur kristalin pada lemak tersebut. Calliaw et al. (2007) juga telah mengamati terjadinya perubahan

101 69 SFC dan viskositas secara perlahan selama proses kristalisasi RBDP olein. Secara umum, viskositas sampel akan meningkat dengan meningkatnya SFC dan kandungan kristal. Parameter sifat reologi CPO (nilai n dan K) dapat diprediksi dengan persamaan matematika hasil regresi linier tiga sampel CPO, yang menghubungkan antara SFC dengan parameter reologinya. Nilai n dapat diprediksi berdasarkan SFC dengan Persamaan 16 (R² = 0.903), sedangkan K dapat diprediksi berdasarkan SFC dengan Persamaan 17 (R² = 0.977). Penentuan persamaan regresi linier hubungan antara SFC dengan parameter reologi CPO dapat dilihat pada Lampiran 21. n = (SFC) (16) K = 0.146(SFC) (17) Pengaruh Metode Penerapan Suhu terhadap Sifat Reologi CPO Menurut Rye et al. (2005), sifat reologi lemak dipengaruhi oleh kondisi proses antara lain suhu penyimpanan, laju pendinginan, waktu penyimpanan, shear (gaya geser) dan perlakuan suhu (tempering) yang diterapkan. Oleh karena itu, hasil pengukuran sifat fisik CPO juga ditentukan oleh perubahan suhu yang berlangsung sebelum pengukuran. Terkait dengan tujuan pengaliran di dalam pipa, profil perubahan suhu yang dialami CPO sebelum dialirkan akan mempengaruhi sifat reologi dan kemudahannya untuk mengalir di dalam pipa. Proses pengaliran CPO dalam pipa dapat berlangsung pada dua kondisi perubahan suhu, dan disimulasi dalam dua metode penerapan suhu yaitu pada suhu pengaliran yang konstan (isotermal), dan pengaliran pada suhu non-isotermal karena mengalami penurunan dari suhu 55 o C akibat pelepasan panas di sepanjang pipa. Pengaruh suhu terhadap sifat reologi CPO dipelajari pada dua metode penerapan suhu yaitu: (1) sampel CPO mengalami penyetimbangan suhu selama 24 jam di suhu pengukuran setelah pemanasan awal 55 o C;

102 70 (2) sampel CPO mengalami penurunan suhu dari suhu pemanasan awal 55 o C dengan laju 1 o C/menit menuju suhu pengukuran. Untuk pengujian tahap ini hanya digunakan sampel CPO C yang memiliki bilangan iod g/100 g sampel. Perbandingan grafik hubungan shear rate terhadap shear stress (rheogram) sampel CPO yang diukur pada kedua metode penerapan suhu disajikan pada Gambar 15. Data yang disajikan adalah data salah satu ulangan, dengan profil data antar ulangan yang relatif sama. Terdapat perbedaan bentuk rheogram sampel CPO dimana metode penerapan suhu (1) menghasilkan nilai shear stress yang lebih tinggi dibandingkan metode penerapan suhu (2) pada shear rate yang sama. Pada sistem transportasi moda pipa, pengaliran berlangsung pada shear rate tertentu dan beban pengaliran dalam pipa ditentukan oleh viskositas terukur ( ) fluida tersebut. Profil yang disajikan pada Gambar 16 juga menunjukkan adanya perbedaan nilai CPO yang diukur pada metode penerapan suhu (1) dan (2), khususnya pada shear rate yang rendah. Pada metode penerapan suhu (1), nilai lebih tinggi dan menurun secara tidak linier dengan meningkatnya shear rate, sedangkan pada metode penerapan suhu (2), nilai relatif rendah dan bernilai konstan pada kisaran shear rate yang dicobakan. Kuantifikasi perbedaan sifat reologi CPO pada dua metode penerapan suhu tersebut dilakukan dengan membandingkan parameter model fluida dari persamaan power law, yang mencakup nilai n dan K yang dihitung dari persamaan regresi linier hubungan shear rate dan shear stress yang dihasilkan (Lampiran 22). Hasil perhitungan parameter sifat reologi CPO pada kedua metode penerapan suhu tersebut dapat dilihat pada Tabel 11 dengan data selengkapnya pada Lampiran 23. Pada Tabel 12 disajikan data sampel CPO pada shear rate 100 s -1 dan 400 s -1 setelah mengalami metode penerapan suhu, dengan data selengkapnya juga disajikan pada Lampiran 23. Secara umum, pada saat CPO bersifat sebagai fluida non-newtonian pseudoplastic, maka pada shear rate yang semakin tinggi nilai akan semakin rendah. Akan tetapi, bila CPO bersifat sebagai fluida Newtonian, maka perubahan shear rate tidak akan banyak mempengaruhi nilai dengan nilai yang relatif konstan.

103 Shear stress (Pa) Shear stress (Pa) C o 2C C o 1C C o 1C C o 2C C o 2C C o 2C C o 2C Shear rate (s -1 ) (1) C o 2C C o 1C C o 1C C o 2C C o 2C C o 2C C o 2C Shear rate (s -1 ) (2) Gambar 15 Rheogram CPO pada beberapa suhu dengan metode penerapan suhu (1) setelah penyetimbangan pada suhu pengukuran selama 24 jam, dan (2) setelah penurunan suhu dengan laju 1 o C/menit.

104 Viskositas terukur (mpa.s) Viskositas terukur (mpa.s) Series2 25 o C Series3 30 o C Series5 35 o C Series8 40 o C Series9 45 o C 50 o C1 Series14 55 o C Shear rate (s -1 ) (1) Series2 25 o C Series3 30 o C Series5 35 o C Series8 40 o C Series9 45 o C Series11 50 o C Series14 55 o C Shear rate (s -1 ) (2) Gambar 16 Viskositas terukur CPO pada beberapa suhu dengan metode penerapan suhu (1) setelah penyetimbangan pada suhu pengukuran selama 24 jam, dan (2) setelah penurunan suhu dengan laju 1 o C/menit.

105 Tabel 11 Parameter model fluida CPO yang ditunjukkan oleh indeks tingkah laku aliran (n) dan indeks konsistensi (K) CPO C pada dua metode penerapan suhu. Suhu ( o C) (1) Setelah pemanasan ke suhu 55 o C dan penyimpanan 24 jam Indeks tingkah laku aliran (n)* Metode penerapan suhu Indeks konsistensi aliran (K, Pa.s n )* 73 (2) Setelah pemanasan ke suhu 55 o C dan penurunan suhu pada laju 1 o C/menit Indeks Indeks tingkah konsistensi aliran laku aliran (n)* (K, Pa.s n )* e a a a,b e a a a d a a a,b c a a a,b b b a b,c a c a c a d b a,b * Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05). Tabel 12 Viskositas terukur sampel C CPO pada shear rate 100 s -1 dan 400 s -1 pada dua metode penerapan suhu. Suhu ( o C) (1) Setelah pemanasan ke suhu 55 o C dan penyimpanan 24 jam Viskositas terukur di 100 s -1 (mpa.s)* Metode penerapan suhu Viskositas terukur di 400 s -1 (mpa.s)* (2) Setelah pemanasan ke suhu 55 o C dan penurunan suhu pada laju 1 o C/menit Viskositas terukur di 100 s -1 (mpa.s)* Viskositas terukur di 400 s -1 (mpa.s)* a 21.8 a 22.8 a 26.5 a a 26.2 a 27.4 a 23.7 a a 30.4 a 28.4 a 29.5 a b 51.1 b 35.5 a 35.7 a c 61.7 b 40.7 a 39.2 a d c 52.5 a,b 49.1 a e d 79.2 b b * Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).

106 74 Sampel CPO yang diukur sifat reologinya pada metode penerapan suhu (1) menghasilkan nilai n, K, dan yang berbeda nyata antar suhu (P<0.05), dan terjadi transisi sifat aliran fluida yang semula bersifat Newtonian menjadi pseudoplastic pada suhu 40 o C. Hasil uji ANOVA one-way dan uji lanjut Duncan pengaruh suhu dapat dilihat pada Lampiran 24. Sifat CPO sebagai fluida pseudoplastic menguntungkan dalam sistem perpipaan, karena pada saat mengalami peningkatan shear rate, fluida akan bersifat semakin encer (shear thinning) dengan yang semakin rendah (Steffe & Daubert 2006). Sampel CPO yang diukur pada metode penerapan suhu (2) menghasilkan nilai n, K, dan yang berbeda nyata antar suhu (P<0.05), tetapi hasil uji ANOVA one-way dan uji lanjut Duncan (Lampiran 25) tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata nilai n pada kisaran suhu o C. CPO dengan metode penerapan suhu (2) masih mempertahankan sifatnya sebagai fluida Newtonian hingga suhu terendah 30 o C. Khususnya untuk pengukuran pada metode penerapan suhu (2) di suhu 25 o C, terdeteksi sifat aliran fluida dilatent dengan n sebesar Hal ini terjadi diduga karena sampel CPO mulai mengalami induksi kristalisasi lemak. Waktu pengukuran sifat reologi di suhu 25 o C dengan kenaikan shear rate dari s -1 berlangsung cukup lama (sekitar 40 menit), sehingga memberikan kesempatan CPO mengalami proses kristalisasi. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, dapat dibuktikan bahwa parameter sifat fisik CPO yang terkait dengan perubahan fase komponen lemak di dalamnya sangat ditentukan oleh metode penerapan suhu yang dialaminya. Walaupun suhu pengukuran yang digunakan sama, hasil analisis reologi sampel CPO pada metode penerapan suhu ini menghasilkan data sifat reologi CPO yang berbeda. Perbedaan parameter sifat reologi pada dua metode penerapan suhu tersebut memberikan indikasi adanya peluang sistem pengaliran CPO yang lebih ringan dari sudut pandang energi yang dibutuhkan untuk pengaliran. Saat CPO dialirkan dari suhu awal 55 o C dan menurun suhunya hingga 30 o C, CPO berada dalam kondisi metastable, masih mempertahankan sifat fluida Newtonian, dengan yang lebih rendah. Untuk mengalirkan CPO yang telah mengalami pemanasan awal di 55 o C, gaya dorong yang diperlukan untuk pengaliran CPO tidak terlalu besar karena hanya perlu mengatasi sampel CPO yang rendah.

107 75 Metode penerapan suhu (1) menghasilkan sifat reologi CPO yang lebih berat dibandingkan metode penerapan suhu (2). CPO yang mengalami metode penerapan suhu (1) cenderung bersifat pseudoplastic pada suhu di bawah 45 o C dengan yang relatif lebih tinggi. Sebaliknya pada metode penerapan suhu (2), CPO cenderung tetap mempertahankan sifatnya sebagai fluida Newtonian dengan yang relatif rendah hingga suhu terendah 30 o C. Pada aplikasi pengaliran CPO di dalam pipa dengan jarak tempuh yang jauh dan mengalami penurunan suhu sepanjang pengaliran, data sifat reologi CPO yang lebih sesuai digunakan adalah data hasil pengujian dengan metode penerapan suhu (2), karena kondisi suhu aktual yang terjadi selama pengaliran CPO akan terus menurun hingga suhu tertentu, sebelum mencapai kondisi isotermal. Terdapat perbedaan suhu saat terjadi transisi sifat aliran fluida CPO (Newtonian atau non-newtonian pseudoplastic) pada kedua metode penerapan suhu di kisaran o C. Pada metode penerapan suhu (1), transisi sifat reologi terjadi pada suhu yang lebih tinggi (sekitar 45 o C), yang diperkirakan terjadi karena kondisi sampel yang statis sehingga interaksi molekul menjadi lebih kuat dan lebih tinggi. Pada metode penurunan suhu (2), T yang diterapkan lebih besar (laju penurunan suhu cepat), sehingga waktu yang tersedia untuk berada pada kondisi supercooling menjadi lebih singkat. CPO cenderung tetap bersifat sebagai fluida Newtonian dengan nilai yang CPO tidak berbeda nyata saat dialirkan di dalam pipa selama suhu masih menurun hingga suhu 30 o C. Informasi mengenai suhu saat terjadinya transisi sifat reologi dari Newtonian menjadi non-newtonian pseudoplastic sangat penting, karena perbedaan sifat aliran fluida yang dimiliki sampel CPO sangat mempengaruhi perhitungan sistem perpipaan yang akan didesain. Pada fluida Newtonian, pendekatan serta persamaan matematika yang digunakan untuk perhitungan faktor friksi dan penurunan tekanan (pressure drop atau P) per km panjang pipa berbeda dengan fluida yang bersifat sebagai fluida non-newtonian pseudoplastic.

108 76 Pengujian Pengaruh Siklus Suhu o C terhadap Sifat Fisik CPO Pada sistem pengaliran di dalam pipa jarak jauh, suhu pengaliran CPO akan mengalami penurunan akibat pelepasan panas selama mengalir di sepanjang pipa. Di dalam penelitian ini diajukan model sistem transportasi CPO moda pipa yang dilengkapi dengan tahap pemanasan kembali pada CPO yang sedang mengalir, untuk mencegah terjadinya proses kristalisasi lemak CPO. Pemanasan dilakukan dengan heat exchanger yang dipasang di lokasi tertentu, ketika suhu CPO telah mengalami penurunan akibat pelepasan panas. Diperkirakan, tahap pemanasan (suhu meningkat) dan pendinginan (suhu menurun) akan terjadi selama pengaliran dalam beberapa tahap secara berulang, sehingga perlu diketahui bagaimana pengaruh suhu meningkat dan suhu menurun secara berulang (siklus suhu) tersebut terhadap perubahan sifat fisik CPO. Sifat fisik CPO yang diamati karena pengaruh siklus suhu adalah profil entalpi (thermogram) DSC, SFC, dan viskositas terukurnya. Pengaruh siklus suhu terhadap profil entalpi CPO Pada percobaan ini, dipelajari profil entalpi (thermogram) sampel CPO yang diukur dengan DSC, pada saat diterapkan siklus peningkatan dan penurunan suhu yang mensimulasikan kondisi pemanasan kembali di heat exchanger, dan pelepasan panas ke lingkungan di sepanjang aliran pipa. Tahap peningkatan suhu dilakukan pada laju 10 o C/menit (mensimulasikan pemanasan cepat dengan heat exchanger); sedangkan tahap penurunan suhu dilakukan pada laju 1 o C/menit. Siklus suhu tersebut diterapkan sebanyak 10 kali. Hasil pengujian pengaruh siklus suhu terhadap profil entalpi DSC dapat dilihat pada Gambar 17. Ketika dilakukan pemanasan dari suhu kamar ke suhu 55 o C akan terjadi penyerapan panas, sedangkan ketika sampel mengalami penurunan suhu (pendinginan) akan terjadi pelepasan panas. CPO mengalami siklus suhu sebanyak 10 kali dan diamati entalpi yang dilepaskan selama pendinginan (H cooling ) dan entalpi yang diserap selama pemanasan kembali (H heating ).

109 Aliran panas endotermik (mw) Suhu ( o C) 77 (6) 60 (5) 50 (4) 40 (3) 30 (2) (1) Aliran panas endotermik Suhu Waktu (menit) (10) Gambar 17 Profil entalpi (thermogram) DSC sampel CPO saat mengalami tahap pemanasan ke 55 o C dan penurunan suhu ke 25 o C secara berulang sebanyak 10 siklus. Laju peningkatan suhu 10 o C/menit, laju penurunan suhu 1 o C/menit. Berdasarkan hasil ANOVA one-way (P<0.05), siklus suhu meningkat dan menurun tidak berpengaruh terhadap H cooling dan H heating yang terjadi pada CPO (Lampiran 26). Profil penyerapan dan pelepasan entalpi CPO pada kisaran suhu o C tidak berubah pada penerapan siklus suhu hingga 10 kali. H cooling dan H heating lebih dominan ditentukan oleh kandungan TAG di dalam CPO, sehingga diperkirakan bahwa siklus suhu tidak menyebabkan perubahan terhadap komposisi dan sifat TAG di dalamnya. Akan tetapi perlu dicatat, bahwa pengamatan profil entalpi DSC hanya dapat menentukan pengaruh siklus suhu pada kondisi sampel CPO yang statis. Selain itu, di dalam CPO juga terdapat komponen minor sepert asam lemak bebas dan karoten yang diduga juga dapat mengalami perubahan karena siklus suhu yang dialami CPO. Pada kurva entalpi (thermogram) yang dihasilkan, ketika sampel CPO mengalami penurunan suhu teramati adanya pelepasan panas di suhu tertentu sebelum mencapai suhu 25 o C. Proses eksotermik tersebut diperkirakan akibat telah mulai terjadinya perubahan fase CPO pada saat mengalami penurunan suhu untuk membentuk fase kristal (terjadi onset kristalisasi). Suhu onset kristalisasi

110 78 ketika CPO didinginkan dari 55 o C ke 25 o C pada laju penurunan suhu 1 o C/menit tersebut adalah pada kisaran o C. Berdasarkan hasil ANOVA oneway (P<0.05), dapat diketahui bahwa siklus suhu tidak mempengaruhi suhu onset kristalisasi CPO yang mengalami siklus suhu o C. Haryati et al. (1997) telah melakukan pengujian pengaruh pemanasan berulang terhadap sifat termal CPO yang dipelajari dengan DSC. CPO dipanaskan pada suhu 80 o C selama 5 menit, dan pemanasan diulang lima kali untuk mensimulasikan kondisi umum yang dialami CPO sebelum proses pemurnian. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sifat termal CPO berubah setelah pemanasan, akan tetapi perubahan hanya terjadi pada peak stearin bertitik leleh tinggi, dan tidak terjadi pada peak olein bertitik leleh rendah. Pemanasan yang berlebihan menyebabkan peak stearin pada suhu 17.3 o C terpecah menjadi dua pada suhu dan 17.3 o C, dan terbentuk peak baru pada suhu o C yang menunjukkan terbentuknya substansi baru akibat pemanasan. Reaksi yang mungkin menyebabkan pergeseran peak CPO tersebut adalah oksidasi karoten, reaksi antara produk oksidasi karoten dan rantai asam lemak, serta reaksi antara produk oksidasi karoten dan produk oksidasi rantai asam lemak. Pengaruh pemanasan berulang terhadap CPO yang diamati pada penelitian ini berbeda hasilnya dengan hasil penelitian Haryati et al. (1997). Perbedaan tersebut terjadi karena suhu yang diterapkan berbeda, dimana suhu yang diterapkan pada penelitian Haryati et al. (1997) jauh lebih tinggi, yaitu pada suhu 80 o C selama 5 menit. Sedangkan dalam penelitian ini pengujian siklus suhu masih pada kisaran aman kerusakan terhadap komponen di dalam CPO yaitu pada suhu maksimal 55 o C. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa sampel CPO yang dipanaskan ke suhu 55 o C dan didinginkan ke suhu 25 o C secara berulang-ulang memiliki profil entalpi yang relatif sama. Dengan demikian perubahan struktur fisik yang terjadi pada CPO selama siklus pemanasan dan pendinginan juga sifatnya berulang dengan profil yang tetap.

111 Kandungan lemak padat (%) Suhu ( o C) 79 Pengaruh siklus suhu pada kandungan lemak padat CPO Percobaan penentuan profil kandungan lemak padat (SFC) sampel CPO pada saat dikenai siklus suhu tidak dilakukan dengan prosedur tempering suhu standar, tetapi SFC diukur langsung pada kondisi peningkatan dan penurunan suhu berulang. Grafik pengaruh siklus suhu terhadap SFC CPO dapat dilihat pada Gambar 18 dengan data lengkap tersaji pada Lampiran 27. Sampel CPO awal yang belum mengalami pemanasan, memiliki SFC sekitar 5-6% pada suhu 25 o C. SFC sampel CPO yang relatif rendah ini disebabkan oleh tidak dilakukannya prosedur tempering suhu standar. Dengan menerapkan prosedur tempering suhu standar (mencakup pemanasan ke suhu 80 o C selama 30 menit, dipertahankan pada suhu 60 o C selama 5 menit, dan disimpan pada suhu 0 o C selama 60 menit), akan diperoleh SFC pada 25 o C sekitar 15%. Data SFC yang dihasilkan pada percobaan siklus suhu lebih rendah dibandingkan data SFC yang dihasilkan dengan prosedur standar yang mengalami penyetimbangan di suhu pengukuran selama menit Waktu (menit) Kandungan lemak padat Suhu Gambar 18 Grafik kandungan lemak padat CPO saat mengalami tahap pemanasan ke 55 o C dan penurunan suhu ke 25 o C secara berulang sebanyak 3 siklus. Laju peningkatan dan penurunan suhu 1 o C/menit.

112 80 Pada pengujian siklus suhu, CPO mengalami penurunan suhu pada laju 1 o C/menit, dan tidak memiliki cukup banyak waktu untuk menyusun kristal lemaknya, sehingga dihasilkan SFC yang rendah. Selain itu pengujian ini juga memiliki kelemahan, karena terdapat kemungkinan suhu aktual saat pengukuran belum tercapai akibat keterbatasan instrumen pengatur suhu dan alat NMR yang tidak dapat mengukur SFC secara on line. Setelah CPO mengalami pemanasan cepat ke suhu 55 o C (menggunakan dry block), SFC sampel CPO turun menjadi di bawah 2%, akibat hilangnya fraksi kristal lemak dari sampel. Pada saat dilakukan penurunan suhu dengan laju 1 o C/menit hingga 25 o C, secara umum terjadi lagi peningkatan SFC. Akan tetapi. peningkatan SFC tidak kembali ke nilai SFC awal sebelum mengalami pemanasan ke 55 o C. Nilai SFC sampel CPO setelah pemanasan awal seluruhnya di bawah 2%. Secara umum diperoleh profil perubahan SFC yang hampir sama pada setiap siklus, dan tidak terjadi kenaikan SFC secara drastis pada saat suhu diturunkan ke 25 o C. Nilai SFC cenderung mengalami peningkatan saat suhu menurun, akan tetapi peningkatannya tidak kembali ke nilai SFC awal sebelum pemanasan awal. Pengaruh siklus suhu pada viskositas terukur CPO Pengujian pengaruh siklus suhu meningkat dan menurun terhadap sifat reologi CPO pada kisaran suhu o C dengan laju perubahan suhu 1 o C/menit difokuskan pada terjadinya perubahan viskositas terukur ( ). Karena keterbatasan dalam program peningkatan suhu pada instrumen HAAKE Viscometer Rotovisco RV20, maka peningkatan suhu ke 55 o C dilakukan pada laju yang lambat, yaitu 1 o C/menit. Grafik perubahan CPO selama penerapan siklus suhu pada kisaran o C, dapat dilihat pada Gambar 19 (data selengkapnya pada Lampiran 28). Sebelum mengalami pemanasan, nilai sekitar 500 mpa.s, dan setelah mengalami pemanasan ke 55 o C nilai menurun menjadi sekitar 20 mpa.s. Pada saat suhu diturunkan kembali ke 25 o C, CPO cenderung meningkat kembali, akan tetapi peningkatan hanya mencapai sekitar 60 mpa.s, dan tidak mencapai sampel CPO awal sebelum pemanasan.

113 Viskositas terukur (mpa s) Suhu ( o C) Viskositas terukur Suhu Waktu (menit) Gambar 19 Viskositas terukur CPO saat mengalami siklus suhu 55 o C dan 25 o C secara berulang dengan laju perubahan suhu 1 o C/menit (shear rate 100 s -1 ). Profil perubahan sampel CPO selama penerapan siklus suhu relatif konstan dan tidak berbeda nyata antar siklus yang dikonfirmasi dengan hasil ANOVA one-way pada P<0.05. Pada penerapan siklus suhu pada kisaran suhu o C dan shear rate yang tetap, CPO memiliki profil perubahan yang relatif tetap dan bersifat dapat balik (reversible). Berdasarkan hasil pengujian pengaruh siklus suhu terhadap thermogram DSC, SFC, dan CPO, dapat disimpulkan bahwa profil entalpi yang diamati melalui thermogram DSC, profil perubahan SFC, dan profil perubahan sampel CPO selama penerapan siklus suhu relatif konsisten antar siklus. Dengan demikian, pada penerapan suhu yang meningkat dan menurun pada kisaran suhu o C, CPO sebagai suatu materi mengalami perubahan sifat fisik yang dapat balik (reversible) dan dapat berulang (reproducible) dengan profil perubahan yang relatif tetap. Perubahan sifat fisik CPO selama siklus suhu tersebut akibat perubahan interaksi molekuler di dalamnya, akan tetapi diperkirakan belum terjadi perubahan CPO secara kimiawi, khususnya terhadap struktur kimia makromolekul TAG di dalamnya. Dengan demikian, perlakuan siklus suhu yang meningkat dan menurun pada kisaran o C akibat proses pemanasan dan pelepasan panas di sepanjang aliran pipa dapat diterapkan dalam sistem transportasi CPO moda pipa.

114 82 Simpulan Suhu mempengaruhi sifat fisik minyak sawit kasar (CPO) yang mencakup densitas ( ), SFC, dan sifat reologinya. Pada suhu yang semakin tinggi, nilai densitas dan SFC CPO semakin rendah. Pengaruh suhu terhadap densitas CPO dimodelkan dengan persamaan (g/ml) = T (R 2 = 0.984). Kisaran nilai SFC CPO pada suhu o C adalah sebesar %. Sifat reologi CPO pada suhu 25 o C bersifat sebagai fluida non-newtonian pseudoplastic. Pada suhu yang semakin tinggi, terjadi transisi sifat fluida CPO menjadi fluida Newtonian dengan viskositas terukur ( ) yang rendah. Berdasarkan model Arrhenius, CPO yang dialirkan pada shear rate yang lebih tinggi akan memiliki nilai E a yang lebih rendah dan lebih tidak sensitif terhadap perubahan suhu yang dialaminya. Nilai E a CPO relatif lebih besar dibandingkan E a sampel minyak nabati lainnya, sehingga CPO cenderung lebih mudah berubah saat terjadi perubahan suhu. Terdapat korelasi antara bilangan iod (BI) dengan E a CPO. Prediksi E a sampel CPO dari BI-nya pada shear rate 100 s -1 dapat dilakukan dengan persamaan E a = (BI) (R 2 = 0.946), sedangkan untuk shear rate 400 s -1 dapat dilakukan dengan persamaan E a = (BI) (R 2 = 0.993). Saat CPO mengalami perubahan suhu pada kisaran o C di shear rate tertentu, CPO dengan BI yang semakin kecil memiliki E a yang semakin besar, sehingga semakin mudah mengalami perubahan Perubahan nilai SFC akibat pengaruh suhu pada kisaran suhu o C berkorelasi nyata dengan perubahan yang terjadi pada sifat reologi CPO di suhu yang sama. SFC di sekitar 5% yang terjadi pada suhu di bawah T M o C dan suhu lain yang lebih rendah, menghasilkan sifat fluida non-newtonian pseudoplastic yang berbeda nyata dibandingkan suhu-suhu yang lebih tinggi. Berdasarkan SFC-nya, parameter sifat reologi n dapat diprediksi dengan persamaan n = (SFC) (R² = 0.903), sedangkan K dapat diprediksi dengan persamaan K = 0.146(SFC) (R² = 0.977).

115 83 Parameter sifat reologi CPO sangat ditentukan oleh metode penerapan suhu yang dialaminya. Metode penerapan suhu (1) (sampel CPO telah disetimbangkan suhunya selama 24 jam di suhu pengukuran setelah pemanasan awal CPO di suhu 55 o C) menghasilkan sifat reologi CPO yang lebih berat dibandingkan metode penerapan suhu (2) (sampel CPO mengalami penurunan suhu dari suhu pemanasan awal 55 o C dengan laju 1 o C/menit menuju suhu pengukuran). CPO yang mengalami metode penerapan suhu (1) cenderung bersifat pseudoplastic pada suhu di bawah 45 o C dengan yang relatif lebih tinggi. Sebaliknya pada metode penerapan suhu (2), CPO cenderung tetap mempertahankan sifatnya sebagai fluida Newtonian dengan yang relatif rendah hingga suhu terendah 30 o C. Informasi mengenai suhu transisi model aliran fluida CPO (Newtonian atau non-newtonian pseudoplastic) pada kedua metode penerapan suhu di kisaran o C mempengaruhi perhitungan sistem perpipaan yang akan didesain. Penerapan suhu yang meningkat dan menurun (siklus suhu) pada kisaran suhu o C tidak mengubah sifat termal CPO (mencakup H cooling dan H heating serta T onset kristalisasi), profil SFC, maupun profil. Profil perubahan parameter sifat fisik tersebut selama penerapan siklus suhu relatif konsisten antar siklus. Pada kisaran suhu o C, CPO mengalami perubahan sifat fisik yang dapat balik (reversible) dan dapat berulang (reproducible).

116 84 4. SIFAT REOLOGI DAN KRISTALISASI MINYAK SAWIT KASAR PADA KONDISI DINAMIS Pendahuluan Di dalam pengembangan sistem transportasi minyak sawit kasar (crude palm oil atau CPO) moda pipa, CPO harus mampu dipertahankan dalam kondisi yang tetap dapat mengalir, serta tidak mengalami kristalisasi lemak yang berlebihan yang dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pipa. Untuk mempertahankan kondisi pengaliran CPO, faktor-faktor yang menentukan proses pengaliran CPO di dalam pipa perlu dipelajari, khususnya terhadap profil sifat reologi serta fenomena kristalisasi lemak CPO selama proses pengaliran tersebut berlangsung. Pengaliran CPO dalam moda pipa dapat dilakukan atau diawali dari suhu maksimal bongkar muat CPO sesuai rekomendasi Codex Alimentarius Commission dalam CAC/RCP 36 (CAC 2005) sebesar 55 o C. Selama pengaliran, suhu CPO akan menurun akibat terjadinya pelepasan panas di sepanjang aliran pipa. Bila pengaliran CPO didesain untuk dilakukan pada kondisi isotermal (suhu tetap), dibutuhkan sistem insulasi yang mampu mempertahankan suhu yang tetap dan hal tersebut hanya dapat dilakukan pada jarak tempuh yang dekat. Bila pengaliran didesain untuk berlangsung lama dan pada jarak tempuh yang jauh, sebaik apapun sistem insulasi pipa yang digunakan tetap akan terjadi penurunan suhu yang mempengaruhi sifat reologi dan kristalisasi CPO. Berdasarkan hasil pengujian pada penelitian Tahap II (Bab 3) mengenai pengaruh metode penerapan suhu terhadap sifat reologi CPO, diketahui bahwa respon sifat reologi CPO tidak hanya ditentukan oleh suhu aktual pengukuran, tetapi juga ditentukan oleh bagaimana proses untuk mencapai suhu tersebut berlangsung. Pada proses pengaliran CPO untuk jarak tempuh yang jauh, kondisi suhu setimbang (isotermal) tidak segera terjadi selama pengaliran dari suhu tinggi (55 o C) menuju suhu kamar, karena terdapat laju penurunan suhu dan shear rate tertentu yang berlangsung selama pengaliran. Pada suhu di bawah titik leleh CPO (T M rata-rata o C), fraksi triacylglycerol (TAG) CPO yang bertitik leleh

117 85 rendah akan mengalami kondisi supercooling (lewat dingin) yang memberikan driving force untuk terjadinya kristalisasi. Menurut Lawler dan Dimick (1998), proses kristalisasi dari larutan membutuhkan kondisi lewat jenuh (supersaturation), dilanjutkan dengan kondisi supercooling, sehingga akan terjadi pembentukan inti (nucleation) dan pertumbuhan kristal (crystal growth). Proses kristalisasi pada akhirnya akan menghasilkan fraksi kristal lemak yang mengubah sifat reologi CPO. Penelitian sifat kristalisasi minyak sawit telah dilakukan pada sampel minyak sawit yang telah mengalami pemurnian (refined bleached deodorized palm oil/rbdpo) (Chen et al. 2002, Graef et al. 2008, 2009, Tarabukina et al. 2009), tetapi belum pernah dikaji pada sampel CPO. Karakteristik kristalisasi CPO diperkirakan berbeda dari RBDPO, karena menurut Foubert et al. (2006) pada minyak kasar terkandung diacylglycerol (DAG), asam lemak bebas, fosfolipida, dan sabun mempengaruhi proses kristalisasi lemak. Coupland dan McClements (1997) juga menyatakan bahwa minyak kasar hanya membutuhkan sedikit derajat supercooling untuk membentuk inti kristal yang stabil, karena adanya kotoran di dalam minyak kasar. Beberapa penelitian yang menghubungkan sifat reologi dengan kristalisasi minyak sawit umumnya dilakukan pada kondisi kristalisasi statis dan isotermal seperti yang dilakukan oleh Miskandar et al. (2002), Graef et al. (2008, 2009), dan Tarabukina et al. (2009). Sifat reologi diamati hingga terjadi pemadatan kristal lemak sawit secara sempurna. Parameter reologi yang dikaji pada umumnya mengunakan pendekatan sifat modulus viskoelastis dan plastis yang lebih sesuai diterapkan pada sampel padat. Di lain pihak, untuk keperluan desain proses pengaliran dalam pipa, kondisi suhu yang diterapkan justru diharapkan tidak mencapai kondisi kristalisasi lemak sawit secara sempurna, dan parameter reologinya harus difokuskan pada sifat fluida yang masih dapat dialirkan. Bell et al. (2006) mengemukakan bahwa komposisi lemak menentukan laju pembentukan solid, serta ukuran dan jumlah kristal spherulites yang terbentuk sehingga mempengaruhi sifat reologi lemak. Menurut Davis dan Sanders (2007), kandungan asam oleat (18:1) dengan struktur non-linier dalam lemak akan menghambat terjadinya kristalisasi, sedangkan asam lemak panjang yang berantai

118 86 lurus (20:0 dan 22:0) cenderung mempercepat terjadinya kristalisasi. Penataan molekul lemak saat membentuk kristal ditentukan oleh beberapa faktor yaitu laju penurunan suhu (laju pendinginan), suhu saat kristalisasi berlangsung, laju agitasi, dan komposisi fase lemak (Metin & Hartel 2005). Menurut Rye et al. (2005) serta Briggs dan Wang (2004), kondisi proses seperti terjadinya kristalisasi, suhu penyimpanan, laju pendinginan, waktu penyimpanan, shear (gaya geser) dan metode penerapan suhu (tempering) mempengaruhi struktur kristal dan sifat reologi lemak. Penelitian Chong et al. (2007) dengan sampel CPO, dan Vuillequez et al. (2010) dengan sampel RBDPO juga menunjukkan bahwa laju penurunan suhu selama proses kristalisasi menentukan ukuran dan bentuk kristal lemak yang terbentuk. Dengan demikian, terkait dengan upaya pengembangan transportasi CPO moda pipa, kondisi proses yang diterapkan khususnya suhu, laju penurunan suhu, serta shear yang berlangsung selama pengaliran (dalam penelitian ini disebut kondisi dinamis) akan sangat mempengaruhi sifat reologi dan menentukan terjadinya kristalisasi CPO. Untuk keperluan teknik kendali pencegahan penyumbatan CPO selama pengaliran di dalam pipa, perlu diketahui sifat reologi dan karakteristik kristalisasi CPO dalam kondisi CPO yang masih dapat dialirkan. Melalui tahap penelitian ini dapat diketahui sifat reologi dan kristalisasi lemak CPO pada kondisi dinamis, yang dipengaruhi oleh variabel proses pengaliran. Variabel proses pengaliran yang diujikan mencakup pengaruh suhu, laju penurunan suhu, dan shear rate (laju geser) yang diterapkan secara terkontrol. Melalui pengujian tersebut dapat diperoleh pola perubahan sifat reologi dan kristalisasi CPO selama pengaliran yang lebih akurat, sesuai dengan kondisi proses pengaliran CPO di lapangan. Karena pengaliran CPO juga didesain untuk dilakukan pada kisaran suhu di atas suhu kamar hingga suhu maksimal pengaliran 55 o C, maka pengaruh penerapan suhu isotermal di atas suhu onset kristalisasi CPO juga akan dipelajari lebih lanjut pada kondisi dinamis yang terkontrol. Data karakteristik CPO pada kondisi dinamis yang terkontrol ini perlu dikonfirmasi pada kondisi pengaliran CPO yang sebenarnya di dalam pipa. Untuk itu pada tahap penelitian ini juga dilakukan pengujian simulasi pengaliran CPO dalam pipa sirkulasi. Berdasarkan kajian tersebut, dapat diperoleh data parameter sifat reologi dan kristalisasi CPO

119 87 pada kondisi dinamis yang diharapkan lebih mendekati kondisi aktual sistem pengaliran dalam pipa, yang menjadi dasar di dalam pengembangan teknik kendali pencegahan kristalisasi CPO selama pengaliran di dalam pipa. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 hingga bulan November Tempat pelaksanaan penelitian adalah pada laboratorium di lingkungan Institut Pertanian Bogor, yaitu di Laboratorium F-Technopark, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, dan Laboratorium South East Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center IPB. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) dengan bilangan iod g/100 g sampel, yang diperoleh dari salah satu perusahaan kelapa sawit di Indonesia. Bilangan iod tersebut berada di dekat batas bawah spesifikasi standar bilangan iod menurut SNI (yaitu sebesar g/100g sampel). Sampel CPO dengan derajat ketidakjenuhan yang rendah tersebut diperkirakan akan lebih mudah mengalami kristalisasi saat terjadi penurunan suhu. Dengan demikian, data hasil pengujian menggunakan sampel CPO ini akan mendekati data yang menjadi batas kritis terjadinya proses kristalisasi untuk sampel CPO pada umumnya. Peralatan utama yang digunakan adalah Nuclear Magnetic Resonance (NMR) Analyzer Bruker Minispec PC 100 (Bruker Optics Ltd., Canada) untuk mengukur kandungan lemak padat (solid fat content/sfc); HAAKE Viscometer Rotovisco RV20 (Karlsruhe, Jerman) dan Brookfield Viscometer untuk mengukur parameter sifat reologi; serta Differential Scanning Calorimetry (DSC) tipe DSC- 60 (Shimadzu Corp. Jepang) yang dikendalikan dengan software Thermal Analysis System TA-60WS untuk mengukur perubahan entalpi selama proses

120 88 pengujian. Untuk konfirmasi sifat reologi dan simulasi proses pengaliran CPO dalam pipa, digunakan sistem pipa sirkulasi yang dilengkapi pompa, tangki penyeimbang yang dilengkapi koil pemanas, flowmeter, thermocouple dan recorder. Metode Penelitian Pada tahap awal penelitian ini, dilakukan terlebih dahulu penentuan suhu kristalisasi (crystallization temperature atau T C ) sampel CPO pada kondisi statis dengan DSC, untuk diterapkan pada perlakuan kondisi dinamis (mengalami laju penurunan suhu ( T) dan shear rate) yang terkontrol. Dilakukan pula pengujian pengaruh T terhadap parameter kristalisasi CPO pada kondisi statis di T C tersebut. Pengujian parameter sifat reologi dan kristalisasi CPO pada kondisi dinamis terkontrol dengan perlakuan T dan shear tertentu, dilakukan dengan instrumen HAAKE Viscometer. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, dapat ditentukan kondisi proses (kombinasi T dan shear rate) yang paling besar pengaruhnya terhadap perubahan sifat reologi dan kristalisasi CPO. Karena dalam pengembangan transportasi CPO moda pipa dilakukan proses pengaliran yang dimulai dari suhu di atas T C, dipelajari pula pengaruh suhu isotermal di atas T C terhadap parameter sifat reologi dan kristalisasi CPO. Data karakteristik CPO saat penerapan T dan shear rate terkontrol tersebut selanjutnya dikonfirmasi pada kondisi pengaliran CPO yang sebenarnya melalui pengujian simulasi pengaliran CPO dalam pipa sirkulasi. Bagan alir tahap penelitian ini secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 20. Pengujian parameter kristalisasi CPO pada kondisi statis Parameter kristalisasi CPO dipelajari dengan DSC sesuai metode Saberi et al. (2011) pada kondisi isotermal di suhu kristalisasi tertentu (T C ) hingga suhu yang sulit dideteksi perubahan entalpinya akibat bentuk kurva kristalisasi yang terlalu lebar. Pengujian kristalisasi lemak dengan DSC memiliki keunggulan yaitu kontrol suhu dapat dilakukan dengan baik, jumlah sampel sedikit, dan tidak

121 89 ada pengaruh mekanik selama pengujian. Kisaran T C dipilih beberapa derajat di atas suhu onset kristalisasi (T O ) sebesar o C yang diperoleh dari thermogram kristalisasi dinamis sampel CPO (Penelitian Tahap I, pada Bab 2). Kisaran suhu yang digunakan adalah o C, dengan menggunakan T 1 o C/menit, yang akan menghasilkan kondisi supercooling (T M -T C ) (Metin & Hartel 2005) pada sampel CPO. Kristalisasi isotermal CPO dimulai dengan memanaskan sampel ke suhu 55 o C selama 30 menit untuk menghapus memori kristal sebelumnya, dan kemudian diturunkan suhunya menuju T C. Suhu ditahan pada T C hingga tidak tercatat perubahan aliran panas (heat flow) atau entalpi pada kurva hubungan antara aliran panas dengan waktu. Pengujian parameter kristalisasi CPO pada kondisi statis dengan DSC Penentuan suhu kristalisasi (T C ) Pengaruh T terhadap parameter kristalisasi CPO Pengujian sifat reologi dan kristalisasi CPO pada kondisi dinamis terkontrol (T C 25 o C, perlakuan T dan shear rate dengan viscometer) Pengamatan terhadap profil dan nilai E a sebelum tahap kristalisasi Pengamatan terhadap waktu induksi dan maks setelah tahap kristalisasi Pengujian pengaruh suhu isotermal terhadap sifat reologi dan kristalisasi CPO Pengamatan terhadap waktu induksi kristalisasi (t i ) Pengamatan terhadap maks setelah tahap kristalisasi Pengujian karakteristik CPO selama pengaliran dalam pipa sirkulasi Gambar 20 Diagram alir penelitian kajian sifat reologi dan kristalisasi minyak sawit kasar (CPO) pada kondisi dinamis.

122 90 Suhu saat CPO mulai mengalami kristalisasi (T i ) dan waktu induksi kristalisasi (t i ) ditentukan dengan pengujian menggunakan DSC mengikuti metode Saberi et al. (2011) yang dimodifikasi dengan menggunakan suhu awal 55 o C. Waktu induksi (t i ) pada kristalisasi isotermal adalah waktu pada saat kurva eksotermik DSC mengalami perubahan yang cukup besar dari baseline. Berdasarkan pengujian tersebut, dapat ditentukan T C yang digunakan pada tahap selanjutnya, yaitu T C dengan kisaran t i yang cukup baik untuk keperluan pengamatan (tidak terlalu cepat tetapi tidak terlalu lambat). Pengaruh T terhadap parameter kristalisasi CPO selanjutkan diterapkan pada T 0.2, 0.5, dan 1 o C/menit. T tersebut dipilih sesuai dengan kondisi proses fraksinasi RBDPO menurut Calliauw et al. (2007) yang menyatakan bahwa T di bawah 1 o C/menit termasuk kategori laju penurunan suhu yang lambat. Selain itu Humphrey dan Narine (2007) juga mengemukakan bahwa laju pendinginan yang efektif dalam mempengaruhi struktur kristal lemak adalah pada T di bawah 5 o C/menit. Pengujian sifat reologi dan kristalisasi CPO pada kondisi dinamis Pada tahap ini dilakukan pengujian parameter sifat reologi dan kristalisasi CPO pada kondisi dinamis saat diterapkan perlakuan kombinasi T dan shear rate. Perubahan sifat reologi dan proses kristalisasi CPO dipelajari dengan mengamati perubahan viskositas terukurnya ( ) selama penerapan kombinasi kedua perlakuan tersebut. Metode penentuan parameter kristalisasi dengan mengamati perubahan, mengadopsi metode yang telah dilakukan oleh Chen et al. (2002) untuk sampel RBDPO serta Briggs dan Wang (2004) untuk sampel lemak cokelat. Dalam penelitian ini, pengujian dilakukan pada T C hasil pengujian pada kondisi statis. T dan shear rate dikontrol dengan HAAKE Viscometer Rotovisco RV20, dan kombinasi perlakuan T dan shear rate yang diterapkan dapat dilihat pada Tabel 13.

123 91 Tabel 13 Perlakuan pengaruh laju penurunan suhu dan shear rate terhadap viskositas terukur sampel CPO. Perlakuan Laju penurunan suhu, T ( o C/menit) Shear rate (s -1 ) Sampel CPO dipanaskan dari suhu kamar ke suhu 55 o C dengan laju 1 o C/menit, pada shear rate 5 s -1, dan ditahan pada suhu tersebut selama 10 menit. Sampel kemudian diturunkan suhunya menuju T C dengan T dan shear rate tertentu sesuai dengan perlakuan yang diterapkan. Pada percobaan ini, kisaran T diperlebar hingga 0.1 o C, sehingga T yang diterapkan adalah 1, 0.5, dan 0.2, dan 0.1 o C/menit, sedangkan shear rate yang diterapkan pada percobaan ini adalah 40, 100, dan 400 s -1. Pengujian dilakukan dengan rancangan percobaan acak lengkap faktorial dengan memantau nilai, yang diukur minimal dua ulangan. Untuk mengetahui pengaruh kombinasi perlakuan T dan shear rate terhadap sebelum tahap kristalisasi, dilakukan penentuan nilai energi aktivasi (E a ) sampel CPO dengan model Arrhenius. Pengaruh kombinasi perlakuan T dan shear rate juga dipelajari pada tahap setelah kristalisasi lemak CPO berlangsung. Parameter proses kristalisasi yang diamati adalah waktu induksi kristalisasi lemak (t i ) dan maksimal ( maks ) setelah tahap kristalisasi. Menurut Chen et al. (2002), t i ditentukan dari interval waktu yang terjadi antara waktu saat T C tercapai hingga waktu onset kristalisasi (T O ) yang ditandai dengan terjadinya deviasi dari baseline plot pada kurva hubungan waktu isotermal dengan log

124 92 Pada saat kurva kristalisasi telah mencapai yang konstan, dapat ditentukan maks yang menandakan proses kristalisasi lemak telah selesai. Untuk melihat perbedaan antar sampel atau antar perlakuan, dilakukan uji univariate analysis of variance (ANOVA univariate) menggunakan program statistik SPSS Statistics Uji Duncan multiple-range dilakukan untuk menentukan perbedaan yang nyata antara data rata-rata pada P<0.05. Pengujian pengaruh suhu isotermal terhadap sifat reologi dan kristalisasi CPO Berdasarkan hasil pengujian pada kondisi dinamis terkontrol, dapat diketahui kombinasi perlakuan T dan shear rate yang menyebabkan proses kristalisasi CPO lebih mudah terjadi, yang diamati dari t i yang paling singkat. Di dalam rencana aplikasi transportasi CPO moda pipa, proses pengaliran akan dilakukan pada suhu di atas 25 o C. Untuk itu, dipelajari pula perubahan sifat reologi (dalam hal ini ) dan proses kristalisasi CPO pada beberapa suhu isotermal di atas 25 o C. Suhu kristalisasi isotermal (T C ) yang dicobakan dalam penelitian ini adalah 30, 35, dan 40 o C, dan dipelajari pengaruhnya terhadap profil perubahan, t i dan maks selama pengujian. Pengujian karakteristik CPO selama pengaliran dalam pipa sirkulasi Pada tahap sebelumnya, kajian sifat reologi dan kristalisasi CPO dilakukan pada kondisi statis dengan instrumen DSC, serta pada kondisi dinamis melalui penerapan T dan shear rate yang dikontrol dengan instrumen HAAKE Viscometer Rotovisco RV20. Pengujian tersebut tidak dilakukan pada kondisi CPO yang mengalir di dalam pipa. Untuk mengkonfirmasi data sifat reologi dan kristalisasi CPO saat mengalami proses pengaliran dalam pipa, dilakukan pengujian simulasi pengaliran CPO dalam pipa sirkulasi. Pipa sirkulasi dirancang bangun pada skala laboratorium, dilengkapi pompa pendorong aliran dan dirangkai dengan tangki penyeimbang (balance tank) yang dilengkapi dengan sistem pemanas (heat exchanger) berupa pipa uap. Gambar skematis sistem pipa sirkulasi untuk simulasi pengaliran CPO dapat dilihat pada Gambar 21.

125 93 G Keterangan: A. Pompa E. Termokopel B. Keran pengatur laju aliran F. Keran pengambilan sampel C. Tangki penyeimbang dengan pemanas G. Pipa sirkulasi D. Flowmeter Gambar 21 Skema sistem pipa sirkulasi untuk simulasi pengaliran CPO. Pompa yang digunakan adalah pompa sentrifugal Merk Grundfos, Tipe NS Basic 13 18, yang mampu mengalirkan fluida dengan debit (Q) m 3 /jam (setara dengan Q L/detik). Pipa yang digunakan adalah pipa stainless steel berdiameter dalam 1 inci dengan total panjang pipa yang digunakan dalam satu sirkulasi pengaliran adalah 13 m dan dilengkapi dengan flowmeter. Suhu diamati dengan thermocouple yang ditempatkan pada titik di tangki penyeimbang, titik setelah keluar tangki penyeimbang, titik setelah keluar dari pompa, titik di tengah panjang pipa, dan titik sebelum memasuki tangki penyeimbang. Percobaan pengaliran CPO dalam pipa sirkulasi, dimulai dari suhu 55 o C sesuai rekomendasi Codex Alimentarius Comission CAC/RCP 36 (CAC 2005). Sampel CPO yang mengalir dalam pipa sirkulasi akan mengalami penurunan suhu dengan T tertentu. Profil T tidak menjadi perlakuan dan hanya akan diamati sesuai kondisi pengujian. Laju aliran (V) juga tidak menjadi perlakuan karena berdasarkan hasil pengujian pada kondisi dinamis terkontrol, diketahui bahwa shear rate pada kisaran s -1 tidak menyebabkan perbedaan nilai saat

126 94 terjadi penurunan suhu. Berdasarkan perhitungan dimensi pipa sirkulasi dan berdasarkan karakteristik CPO pada suhu 55 o C, V yang diterapkan adalah 20 L/menit yang akan menghasilkan aliran yang laminar dengan shear rate maksimal 310 s -1. Selama proses pengaliran dilakukan pemantauan terhadap suhu dan sampel. Pemantauan suhu dengan thermocouple dilakukan pada setiap interval waktu 2 menit. Pengukuran dilakukan pada setiap selang waktu tertentu dengan mengambil sampel CPO yang sedang mengalir sebanyak 100 ml untuk kemudian segera dianalisis -nya dengan Brookfield Viscometer. Setelah suhu CPO mengalami penurunan dari suhu awal 55 o C, akan tercapai kondisi suhu yang relatif tetap karena telah setimbang dengan suhu lingkungan atau disebut kondisi isotermal yang juga merupakan suhu konstan untuk menginduksi terjadinya kristalisasi (T C ). Melalui beberapa kali pengujian pengaliran CPO dalam pipa sirkulasi, dapat diperoleh beberapa kondisi pengaliran isotermal terkait titik leleh (melting temperature, T M ) CPO setelah terjadi penurunan suhu dari suhu awal 55 o C yaitu: (a) suhu pengaliran isotermal 48 o C (>>T M ); (b) suhu pengaliran isotermal 41 o C (> T M ); (c) suhu pengaliran isotermal 39 o C (< T M ); (d) suhu pengaliran isotermal 36 o C (<< T M ). Selama percobaan pengaliran tersebut, dilakukan pengukuran parameter sifat reologi berupa penentuan nilai indeks tingkah laku aliran (flow behaviour index atau n) dan indeks konsistensi (concistency index atau K) dengan HAAKE Viscometer Rotovisco RV20 pada selang penurunan suhu tertentu. Berdasarkan data hasil pengujian tersebut dapat diketahui pengaruh parameter proses yang terjadi selama pengaliran dalam pipa sirkulasi terhadap sifat reologi dan kristalisasi CPO.

127 95 Hasil dan Pembahasan Parameter Kristalisasi Lemak CPO pada Kondisi Statis Pengujian kristalisasi lemak CPO pada kisaran T C tertentu dengan DSC dilakukan untuk mendapatkan T C yang akan digunakan untuk pengujian tahap berikutnya, serta untuk mengetahui pengaruh T terhadap parameter kristalisasi CPO pada kondisi statis. Berdasarkan hasil pengujian pada penelitian Tahap I (Bab 2), titik onset kristalisasi (T O ) sampel CPO adalah o C, sedangkan titik leleh (T M )-nya adalah o C. Kisaran T C yang dicobakan antara o C berada pada kondisi supercooling di antara T O dan T M. Menurut Metin dan Hartel (2005) serta Ng dan Oh (1994), driving force untuk terjadinya kristalisasi adalah adanya perbedaan suhu aktual (T) di bawah suhu titik leleh (T M ) TAG atau T M -T. Beberapa peneliti menggunakan titik leleh TAG tertinggi sebagai acuan driving force kristalisasi. Pengaruh suhu kristalisasi terhadap parameter kristalisasi CPO pada kondisi statis Tahap inisiasi kristalisasi lemak diawali dengan pembentukan inti kristal yang terjadi pada kondisi supercooling di bawah T M sampel CPO yaitu o C. Berdasarkan thermogram DSC pada kondisi isotermal pada T C tertentu, dapat diamati terjadinya fenomena kristalisasi pada sampel CPO (Gambar 22). Sebelumnya sampel mengalami penurunan suhu dari suhu 55 o C ke T C yang dicobakan, untuk kemudian ditahan pada T C pada kisaran waktu mengikuti Saberi et al. (2011) yaitu selama 50 menit, hingga proses kristalisasi teramati. Akibat penerapan T C, sampel CPO mengalami kondisi supercooling yang menginduksi adanya pembentukan inti kristal lemak. Proses kristalisasi pada sampel CPO berlangsung dengan adanya pelepasan panas yang ditandai dengan perubahan nilai entalpi dari baseline saat berada pada kondisi isotermal. Pada saat terjadi proses kristalisasi, terjadi perubahan fase CPO dari fase cair yang berentalpi lebih tinggi, menjadi fase padat yang berentalpi lebih rendah sehingga terjadi pelepasan panas.

128 Aliran panas endotermik relatif (mw) 96 (0,050) 0,050 0,150 0,250 0,350 0,450 0,550 0, Waktu (menit) Gambar 22 Thermogram kristalisasi isotermal CPO pada beberapa suhu kristalisasi. Pada T C 30 o C, belum terdeteksi adanya proses kristalisasi yang ditunjukkan dengan bentuk kurva yang datar pada baseline saat kondisi isotermal berlangsung. Pada T C 24, 25, dan 26 o C terdeteksi adanya proses kristalisasi pada CPO yang ditandai oleh sebuah kurva eksotermik, sedangkan pada T C o C proses kristalisasi terdeteksi dalam dua kurva eksotermik. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Ng dan Oh (1994), dimana suhu 24 o C menjadi batas suhu yang menghasilkan thermogram kristalisasi yang berbeda. Menurut Graef et al. (2009) pada kristalisasi isotermal RBDPO di suhu 22 o C, teramati dua tahap kristalisasi dengan tahap pertama merupakan tahap pembentukan kristal dari minyak cair, sedangkan tahap kedua merupakan transformasi polimorfik kristal tersebut menjadi kristal serta adanya tambahan pembentukan kristal langsung dari minyak cair. Pada kristalisasi di suhu 25 o C, RBDPO mengkristal langsung membentuk polimorfik. Menurut Chen et al (2002), pendinginan di atas suhu cut-off tertentu, dapat mengakibatkan RBDPO mengalami kristalisasi langsung ke polimorf. Pada penelitian ini, suhu cut-off kristalisasi CPO yang hanya menghasilkan satu jenis polimorf (yaitu polimorf ) adalah suhu 24 o C.

129 Aliran panas endotermik relatif (mw) 97 Fenomena kristalisasi CPO pada T C yang berbeda dapat diamati pula pada thermogram pelelehan setelah tahap kristalisasi (Gambar 23). Keberadaan kristal lemak pada sampel CPO yang telah mengalami penurunan suhu dan ditahan pada T C tertentu, terdeteksi dengan adanya kurva endotermik. Saat pelelehan sampel dengan T C 25 dan 26 o C, terdeteksi satu kurva endotermik. sedangkan pada sampel dengan T C 22, 23, dan 24 o C terdeteksi dua kurva endotermik. Berdasarkan data kurva eksotermik kristalisasi, dapat ditentukan waktu induksi kristalisasi (t i ) pada T C tertentu seperti disajikan pada Tabel 14. Saberi et al. (2011) mengemukakan bahwa t i adalah waktu yang dibutuhkan untuk memulai pembentukan inti kristal pada kondisi isotermal. Dengan T C yang semakin rendah, induksi kristalisasi terjadi pada waktu yang lebih cepat. Bila T C dinaikkan, maka t i menjadi lebih lama. Pada suhu 30 o C, t i telah sulit dideteksi akibat bentuk kurva eksotermik yang sangat lebar. Pada suhu 25 o C, t i terjadi pada waktu 8.67 menit. Parameter proses kristalisasi lain yang dapat diamati adalah waktu puncak (peak) kristalisasi (t p ). Pada T C o C, terdeteksi dua kurva eksotermik. Dengan T C yang semakin tinggi, peak kristalisasi I semakin sulit dideteksi dan akhirnya menghilang pada suhu 25 o C. Pada T C o C, hanya terdeteksi satu peak kristalisasi. Dengan semakin tinggi T C, maka t p menjadi lebih panjang dan akhirnya pada T C 30 o C tidak terdeteksi lagi peak eksotermik yang membuktikan belum terjadi kristalisasi pada kisaran waktu pengamatan yang diterapkan Suhu ( o C) Gambar 23 Thermogram pelelehan CPO setelah tahap kristalisasi isotermal pada beberapa suhu kristalisasi.

130 98 Tabel 14 Waktu induksi kristalisasi (t i ) dan waktu peak kristalisasi (t p ) berdasarkan kurva eksotermik pada tahap kristalisasi isotermal CPO, dengan laju penurunan suhu 1 o C/menit. Suhu kristalisasi ( o C) Waktu induksi kristalisasi (menit) Waktu peak kristalisasi I (menit) Waktu peak kristalisasi II (menit) T C yang selanjutnya diterapkan dalam pengujian pengaruh T terhadap proses kristalisasi adalah T C 25 o C yang memiliki kisaran t i yang cukup lebar untuk diamati serta hanya mengalami satu tahap kristalisasi. T C 25 o C tersebut juga digunakan dalam pengujian pengaruh T dan shear rate terhadap perubahan sifat reologi CPO yang diamati dengan HAAKE Viscometer. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Saberi et al. (2011) yang menggunakan sampel RBDPO, pada T C 25 o C diperoleh t i RBDPO sebesar 2.10 menit, lebih singkat dibandingkan hasil pengujian dengan CPO yang memiliki t i sebesar 8.67 menit. Perbedaan tersebut diperkirakan oleh perbedaan kondisi sampel, dimana CPO belum mengalami proses pemurnian. Seperti yang dikemukakan oleh Miskandar et al. (2002), adanya komponen-komponen lain (impurities) selain lemak, akan berpengaruh terhadap terjadinya kristalisasi lemak. CPO mengandung 4-8% diacylglycerol (DAG), yang dapat membentuk campuran eutectic dengan TAG, yang menghasilkan kadar padatan yang rendah dan dapat memperlambat laju kristalisasi (Basiron 2005). Menurut Timms (1997), adanya pengotor di dalam minyak biasanya menyebabkan penurunan laju nukleasi kristal lemak. Diasumsikan bahwa kotoran tersebut mengotori sisi pertumbuhan kristal pada inti kristal. Sejumlah kecil pengotor dapat menurunkan laju nukleasi hingga beberapa kali lipat. Dengan demikian proses kristalisasi CPO akan berlangsung lebih kompleks dengan t i yang lebih lama dibandingkan kristalisasi RBDPO.

131 Pengaruh laju penurunan suhu terhadap parameter kristalisasi CPO pada kondisi statis 99 Berdasarkan hasil pengujian dengan DSC pada kristalisasi isotermal di T C 25 o C, diketahui perbedaan T akan menghasilkan t i yang berbeda, seperti dapat dilihat pada Tabel 15. Pada T yang semakin besar (penurunan suhu semakin cepat), maka t i pada T C 25 o C menjadi semakin panjang. Sebaliknya yang terjadi pada T yang semakin kecil, t i menjadi semakin pendek. Menurut Metin dan Hartel (2005), proses pendinginan dengan T tertentu merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan mikrostruktur kristal lemak. Pada laju pendinginan yang cepat, akan terbentuk kristal-kristal lemak yang lebih kecil dan seragam dibandingkan bila pendinginan dilakukan pada laju yang lambat (Che Man & Swe 1995). Martini et al. (2002a) juga mengemukakan bahwa penurunan suhu yang lambat akan meningkatkan kristalisasi dengan total entalpi yang lebih tinggi dibandingkan pada penurunan suhu yang lambat. Faktor kritis yang perlu diperhatikan terkait dengan sifat kristalisasi CPO ini adalah bahwa saat terjadi proses penurunan suhu yang cepat ( T besar), masih terdapat pelindung pencegahan kristalisasi CPO berupa t i yang besar (lebih lama terjadi). Akan tetapi sebaliknya, pada proses penurunan suhu yang lambat ( T kecil) dan bila T C telah tercapai, maka akan segera terjadi pembentukan inti kristal yang menjadi awal mula terjadinya kristalisasi. Hasil penelitian Tarabukina et al. (2009) menggunakan instrumen DSC pada kristalisasi RBDPO di suhu 10 o C pada T 10, 5, dan 0.5 o C/menit menunjukkan bahwa T berpengaruh terhadap entalpi kristalisasi dan t i tahap pertama. Pada T yang lambat akan terjadi peningkatan suhu peak kristalisasi yang menunjukkan bahwa kristalisasi menjadi lebih cepat terjadi. Selain itu, Vuillequez et al. (2010) juga telah mempelajari pengaruh T -0.5 C/menit hingga -50 C/menit terhadap pembentukan fase RBDPO pada suhu rendah, dengan menggunakan analisis kalorimetri dan optik, dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa T mengubah polimorfisme TAG.

132 100 Tabel 15 Pengaruh laju penurunan suhu terhadap parameter kristalisasi CPO pada suhu kristalisasi 25 o C. Parameter Waktu total sebelum kristalisasi isotermal (menit) Laju penurunan suhu, T ( o C/menit) Waktu induksi kristalisasi, t i (menit) Waktu peak kristalisasi, t p (menit) Sifat Reologi dan Kristalisasi CPO pada Kondisi Dinamis Terkontrol Selain faktor T C dan T, faktor lain yang menentukan terjadinya perubahan sifat reologi dan proses kristalisasi lemak adalah shear rate ( γ ) yang diterapkan. Berdasarkan hasil penelitian Chen et al. (2002), fenomena kristalisasi RBDPO dapat dipelajari melalui pemantauan perubahan viskositas terukur ( ) sampel yang diamati dengan instrumen viscometer. Foubert et al. (2003) juga mengemukakan bahwa proses kristalisasi lemak dapat diamati melalui perubahan sebagai fungsi waktu. Pada penelitian ini, T C ditetapkan 25 o C sesuai dengan hasil pengujian pada kondisi statis, dan perubahan dipelajari pada dua tahap, yaitu tahap sebelum proses kristalisasi mulai terjadi (periode sebelum t i ), dan tahap setelah proses kristalisasi mulai terjadi (periode setelah t i ). Periode sebelum t i merupakan periode saat CPO yang dialirkan dari suhu 55 o C sedang mengalami penurunan suhu pada shear rate tertentu hingga suhu induksi kristalisasi (T i ) tercapai, dan CPO masih dalam bentuk cair yang dapat mengalir di dalam pipa. Profil viskositas terukur dan nilai energi aktivasi sebelum tahap kristalisasi Data pengujian pengaruh T dan shear rate terhadap sifat reologi CPO khususnya disajikan pada Gambar 24. Secara umum, CPO yang mengalami kombinasi perlakuan T dan shear rate pada saat suhunya menurun dari 55 o C ke 25 o C akan mengalami peningkatan. Peningkatan terjadi secara linier, seperti yang juga terjadi pada sampel RBDPO yang diteliti oleh Tarabukina et al. (2009). Zona terjadinya peningkatan secara linier tersebut diberi nama zona A oleh

133 Viskositas terukur (mpa.s) 101 Tarabukina et al. (2009), dan pada zona tersebut suhu yang menurun menyebabkan meningkat, tetapi belum terjadi kristalisasi lemak. Sampel masih dalam fase cair, bersifat sebagai fluida Newtonian, dan peningkatan hanya disebabkan oleh terjadinya penurunan suhu. Santos et al. (2005) telah mempelajari pengaruh suhu terhadap beberapa jenis minyak nabati, dan peneliti tersebut menyatakan bahwa akan meningkat di suhu rendah akibat terjadinya peningkatan interaksi molekuler di dalam minyak. Plot data CPO pada zona A tersebut (Gambar 24) meningkat secara linier. Profil peningkatan CPO relatif sama untuk setiap kombinasi perlakuan T dan shear rate kecuali pada perlakuan dengan T terkecil yaitu 0.1 o C/menit. Pada T 0.2, 0.5 dan 1 o C/menit, akan meningkat dari semula rata-rata sebesar 21 mpa.s di suhu 55 o C, menjadi rata-rata sebesar 70 mpa.s pada suhu 25 o C. Pada penerapan T tersebut di ketiga perlakuan shear rate, belum terjadi induksi kristalisasi di suhu 25 o C T o C, g 40 s T o C, g 100 s T o C, g 400 s -1 Series1 T 0.2 o C, g 40 s -1 Series2 T 0.2 o C, g 100 s -1 Series3 T 0.2 o C, g 400 s -1 Series4 T 0.5 o C, g 40 s -1 Series5 T 0.5 o C, g 100 s -1 Series6 T 0.5 o C, g 400 s -1 Series7 T 1 o C, g 40 s -1 Series8 T 1 o C, g 100 s -1 Series9 T 1 o C, g 400 s Suhu ( o C) Gambar 24 Viskositas terukur sampel CPO yang diamati dari suhu awal 55 o C hingga 25 o C, pada kombinasi perlakuan laju penurunan suhu dan shear rate terkontrol.

134 102 Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Tarabukina et al. (2009) yang menguji pengaruh shear rate terhadap RBDPO saat mengalami penurunan suhu dari 70 ke 10 o C dengan T 5 o C/menit, pada perlakuan shear rate yang diterapkan (antara s -1 ) dihasilkan profil kenaikan yang hampir sama, dengan nilai tertinggi sebelum induksi kristalisasi terjadi di sekitar mpa.s. Pada perlakuan T 0.1 o C/menit, diperoleh profil perubahan yang berbeda dibandingkan dengan perlakuan pada T yang lebih tinggi. meningkat secara cukup drastis pada saat suhu sekitar 28 o C. Menurut Graef et al. (2006), proses kristalisasi dan agregasi kristal lemak akan menyebabkan terjadinya peningkatan secara drastis. Tahap proses kristalisasi diduga telah terjadi pada CPO yang mengalami perlakuan T 0.1 o C/menit walaupun suhu belum mencapai kondisi isotermal di T C 25 o C. Dengan demikian, pada laju penurunan suhu yang sangat lambat, induksi kristalisasi dapat terjadi walaupun suhu kristalisasi isotermal belum tercapai. Menurut Mertin & Hartel (2005), driving force terjadinya kristalisasi lemak adalah bila terjadi kondisi supercooling, yaitu bila sampel memiliki suhu lebih rendah dari T M. Kondisi isotermal bukan merupakan syarat untuk terjadinya kristalisasi, karena proses kristalisasi juga dapat berlangsung pada kondisi non-isotermal, seperti yang pada umumnya terjadi pada proses yang berlangsung di industri pangan (Foubert et al. 2003). T yang lambat akan meningkatkan suhu induksi kristalisasi. Pada T yang lebih kecil, induksi kristalisasi lebih cepat terjadi, bahkan sudah dimulai pada saat T C isotermal belum tercapai. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Martini et al. (2002a) yang melakukan kristalisasi campuran fraksi susu dengan minyak biji bunga matahari. Pada T 0.1 o C/menit proses kristalisasi telah hampir selesai sebelum T C tercapai, sedangkan pada T 5.5 o C/menit (penurunan suhu cepat), kristalisasi baru terjadi beberapa waktu setelah T C tercapai. Hal yang sebaliknya terjadi pada T yang lebih besar. Seperti yang terjadi pada hasil pengujian Tarabukina et al. (2009) pada sampel RBDPO dengan T 5 o C/menit, dihasilkan suhu induksi kristalisasi yang lebih rendah yaitu 21 o C. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan laju penurunan suhu yang lebih besar (pendinginan lebih cepat), induksi kristalisasi akan terjadi pada suhu yang lebih rendah.

135 103 Pada penelitian Tarabukina et al. (2009) yang menggunakan sampel RBDPO, perubahan akibat penurunan suhu RBDPO dari 70 ke 25 o C pada T 5 o C/menit, dimodelkan dengan persamaan Arrhenius. Dalam penelitian ini, pengaruh T dan shear rate terhadap juga dievaluasi melalui perhitungan energi aktivasi (E a ) sampel CPO, yang ditentukan dengan model Arrhenius (Steffe & Daubert 2006). Nilai E a yang lebih tinggi mengindikasikan perubahan yang lebih cepat saat terjadi perubahan suhu (Steffe 1996). Dapat diartikan pula bahwa nilai E a yang sama menunjukkan bahwa perlakuan T dan shear rate tidak mengubah nilai saat suhu mengalami perubahan. Data E a yang diperoleh selanjutnya diuji ANOVA univariate dengan rancangan acak lengkap faktorial untuk mengetahui pengaruh T, pengaruh shear rate, serta pengaruh interaksi kedua faktor tersebut terhadap nilai E a CPO. Analisis pengaruh T dan shear rate terhadap nilai E a dilakukan pada kisaran suhu 55 o C hingga T C 25 o C. Akan tetapi karena T 0.1 o C/menit telah menyebabkan terjadinya induksi kristalisasi sebelum T C 25 o C tercapai, maka analisis juga dilakukan pada saat induksi kristalisasi belum terjadi, yaitu pada kisaran suhu 55 o C hingga suhu 30 o C. Data pengaruh kombinasi perlakuan T dan shear rate terhadap nilai E a CPO pada kisaran suhu o C dan o C dapat dilihat pada Tabel 16 (data selengkapnya pada Lampiran 29). Contoh penentuan E a melalui penepatan model Arrhenius disajikan pada Lampiran 30. Kombinasi perlakuan T dan shear rate pada kisaran suhu dari o C menghasilkan nilai E a yang berbeda nyata (P<0.05, Lampiran 31), dimana faktor yang secara nyata menyebabkan perbedaan tersebut adalah faktor T. Pelakuan shear rate secara mandiri dan interaksi antara T dan shear rate ( T*shear rate) tidak berpengaruh nyata terhadap E a. T 0.1 o C/menit menghasilkan E a pada subset yang berbeda dari perlakuan T 0.2, 0.5 dan 1 o C/menit (yang berada dalam satu subset). Menurut Chong et al. (2007), T 0.1 o C/menit termasuk kategori T yang sangat lambat, yang dapat menghasilkan data profil kristalisasi yang lebih baik karena memberikan kondisi sistem yang setimbang (ekuilibrium). Kondisi sistem yang setimbang tersebut memungkinkan induksi kristalisasi pada T 0.1 o C/menit dapat terjadi pada suhu yang lebih tinggi.

136 104 Tabel 16 Data energi aktivasi (E a ) pada perubahan viskositas terukur CPO saat diberi kombinasi perlakuan laju penurunan suhu dan shear rate pada kisaran suhu o C dan o C. Laju penurunan suhu, T ( o C/menit) Energi aktivasi, E a (kj/mol)* Shear rate (s -1 Kisaran suhu Kisaran suhu ) o C o C b a b a b a a a a a a a a a a a a a a a a a a a * Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05). Bila analisis dibatasi pada kisaran suhu hingga 30 o C, terindikasi bahwa semua kombinasi perlakuan T dan shear rate menghasilkan profil perubahan yang relatif sama. Pada Gambar 24 terlihat bahwa yang pada suhu awal 55 o C rata-rata sebesar 21 mpa.s akan meningkat menuju di suhu 30 o C sebesar 60 mpa.s. Kenaikan yang relatif kecil tersebut diduga disebabkan oleh karakteristik CPO yang masih mempertahankan sifat sebagai fluida Newtonian setelah mengalami pemanasan awal di suhu 55 o C akibat belum terjadinya induksi kristalisasi. Hasil ANOVA univariate terhadap data E a menunjukkan bahwa pada kisaran suhu o C, perlakuan T, shear rate, dan interaksi T*shear rate, tidak berpengaruh nyata terhadap E a (P<0.05, Lampiran 32). Karena E a merepresentasikan perubahan yang terjadi pada, dapat disimpulkan bahwa saat sampel CPO yang bersuhu awal 55 o C mengalami penurunan suhu T hingga suhu terendah 30 o C, profil perubahan tidak dipengaruhi secara nyata oleh T, shear rate, maupun interaksi T*shear rate. Kesimpulan tersebut berlaku untuk kisaran perlakuan T dan shear rate yang diterapkan dalam penelitian ini. Kisaran suhu o C merupakan kisaran suhu

137 105 pada saat kristalisasi CPO belum mulai terjadi, dan kenaikan hanya terjadi karena peningkatan interaksi molekuler (Santos et al. 2005). Walaupun penurunan suhu berlangsung hingga suhu yang lebih rendah dari T M CPO, tetapi induksi kristalisasi belum terjadi. Sampel yang telah mengalami kondisi supercooling (T C <T M ) menurut Liang et al. (2003) tidak langsung mengalami kristalisasi hingga beberapa waktu tertentu karena terjadi kondisi yang metastabil (metastable state). Pada percobaan ini, kondisi metastabil berlangsung hingga 30 o C. Menurut Foubert et al. (2006), kondisi metastabil yang lebih lama dalam proses kristalisasi lemak dipengaruhi oleh kandungan asam lemak bebas, DAG, dan fosfolipida. Kandungan komponen tersebut di dalam CPO diduga meningkatkan kondisi metastabil selama kondisi supercooling hingga suhu 30 o C. Terkait dengan sistem pengaliran CPO di dalam pipa yang mengalami T dan shear rate tertentu (dinyatakan dalam laju aliran atau V), selama suhu masih mengalami penurunan dari o C, perbedaan T dan shear rate tidak berpengaruh pada yang harus ditanggung sistem pengaliran CPO dengan maksimum sekitar 60 mpa.s. Penurunan suhu yang cepat maupun lambat, pengaliran pada shear rate rendah maupun tinggi, tidak berpengaruh nyata terhadap yang harus ditanggung oleh sistem pengaliran CPO, selama suhu masih menurun dari o C dan belum mengalami kondisi isotermal. Bila kondisi isotermal (suhu ditahan tetap konstan) berlangsung pada suhu di atas 30 o C, terdapat kemungkinan akan terjadi profil yang berbeda akibat terjadinya induksi kristalisasi pada kondisi isotermal di suhu yang lebih tinggi. Waktu induksi kristalisasi dan viskositas terukur maksimal setelah tahap kristalisasi Kombinasi perlakuan T dan shear rate diketahui tidak berpengaruh nyata terhadap profil perubahan CPO selama suhu masih mengalami penurunan dari 55 ke 30 o C dan belum mencapai kondisi isotermal (berada pada kondisi metastabil). Kisaran suhu o C merupakan kisaran suhu pada saat kristalisasi CPO belum mulai terjadi, dan peningkatan hanya terjadi akibat suhu yang menurun meningkatkan terjadinya interaksi molekuler (Santos et al. 2005).

138 106 Peningkatan tidak serta merta terjadi setelah T C isotermal tercapai yang ditunjukkan dengan baseline plot yang mendatar hingga waktu tertentu. Bila pada suatu titik terjadi perubahan secara drastis dari baseline tersebut, menurut Chen et al. (2002) titik tersebut merupakan saat terjadinya induksi kristalisasi. Interval waktu pada kondisi metastabil antara waktu saat T C tercapai hingga waktu onset kristalisasi disebut waktu induksi kristalisasi (t i ). Hasil penelitian Tarabukina et al. (2009) pada sampel RBDPO yang didinginkan dengan laju 5 o C/menit dan diberi perlakuan shear rate pada suhu isotermal 10 o C menunjukkan bahwa pada waktu tertentu teramati adanya peningkatan secara drastis yang ditandai dengan terjadinya deviasi dari baseline plot. Berdasarkan hasil penelitian Chen et al. (2002) dan Tarabukina et al. (2009), setelah induksi kristalisasi lemak, akan terus meningkat sering dengan pertumbuhan kristal dan akhirnya tercapai kondisi setimbang dengan yang tetap. Menurut Sonwai dan Mackley (2006), peningkatan sampel selama kristalisasi dapat dikaitkan dengan terjadinya peningkatan jumlah kristal lemak yang terbentuk serta pada derajat kristalinitas yang terjadi. Akan tetapi, menurut Walstra et al. (2001) peningkatan bukan hanya disebabkan oleh peningkatan jumlah solid di dalam fase cair minyak, tetapi juga dipengaruhi oleh distribusi ukuran kristal lemak dan interaksi yang terjadi di antara kristal yang berbeda. Kristal-kristal yang teragregasi cenderung membentuk agregat voluminous dengan volume yang lebih besar dibandingkan total volume kristal primer, yang menyebabkan peningkatan. Dengan demikian, diperkirakan bahwa penyebab utama terjadinya peningkatan bukan hanya akibat kristalisasi primer, tetapi juga akibat pembentukan agregasi dan jaringan kristal. Tarabukina et al. (2009) yang melakukan pengamatan dengan mikroskop optik terhadap proses kristalisasi RBDPO juga menunjukkan bahwa peningkatan selama proses kristalisasi terkait dengan perubahan struktur di dalamnya. Pada awal tahap kristalisasi RBDPO akan terbentuk kristal dan spherulites yang bergerak bebas. Selanjutnya spherulites saling bertemu karena peningkatan fraksi kristalin dan membentuk agregat yang semakin besar dan semakin sulit bergerak sehingga meningkat.

139 107 Martini et al (2002a) mengungkapkan bahwa T merupakan driving force yang menentukan laju kristalisasi lemak. Sedangkan Graef et al. (2008) dan Tarabukina et al. (2009) juga menyatakan bahwa shear rate berpengaruh nyata terhadap proses kristalisasi lemak, yaitu terhadap terjadinya kristalisasi tahap 1 dan menentukan ukuran spherulites dan laju pertumbuhan kristal. Dengan demikian, kombinasi perlakuan T dan shear rate mempengaruhi terjadinya proses kristalisasi lemak pada suhu isotermal dan menentukan parameter waktu terjadinya induksi kristalisasi (t i ) dan maksimal setelah tahap kristalisasi ( maks ), sehingga akan dihasilkan profil kristal lemak yang berbeda. Untuk memantau profil terjadinya induksi kristalisasi pada sampel CPO yang mengalami kristalisasi isotermal, maka digunakan data pada kisaran suhu o C yang kemudian ditahan (mengalami kondisi isotermal) selama waktu tertentu pada T C 25 o C. Data t i dapat dilihat pada Tabel 17, sedangkan data maks dapat dilihat pada Tabel 18, dengan data selengkapnya pada Lampiran 33. Karena pada T 0.1 o C/menit telah terjadi induksi kristalisasi sebelum T C 25 o C tercapai, maka data t i untuk T 0.1 o C/menit tidak digunakan. Untuk melihat pengaruh perlakuan T, shear rate, dan pengaruh interaksi T*shear rate terhadap perubahan, dilakukan ANOVA univariate dan uji lanjut Duncan multiple-range seperti disajikan pada Lampiran 34. Tabel 17 Data waktu induksi kristalisasi (t i ) pada perubahan viskositas terukur CPO saat diberi kombinasi perlakuan laju penurunan suhu dan shear rate pada T C 25 o C. Shear rate (s -1 )* Laju penurunan suhu, T ( o C/menit)* 40 b 100 b 400 a 0.2 a b b * Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom atau baris perlakuan yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).

140 108 Tabel 18 Data viskositas terukur maksimal ( maks ) pada perubahan viskositas terukur CPO saat diberi kombinasi perlakuan laju penurunan suhu dan shear rate pada T C 25 o C. Laju penurunan suhu, T ( o C/menit)* Shear rate (s -1 )* 40 a 100 a 400 b 0.1 b a a a * Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom atau baris perlakuan yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05). Berdasarkan Lampiran 34 dapat diketahui bahwa pada kisaran perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini, perlakuan T dan shear rate masing-masing berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap t i dan maks, tetapi interaksi antara T dan shear rate ( T*shear rate) tidak berpengaruh nyata. Ini berarti bahwa faktor T dan shear rate memiliki peranan masing-masing di dalam mempengaruhi proses kristalisasi lemak CPO, yang dapat diamati melalui parameter t i dan maks. Untuk melihat pengaruh T secara mandiri terhadap t i dan maks dapat dilihat plot pada salah satu shear rate yang dicobakan yaitu shear rate 400 s -1 dan T C 25 o C (Gambar 25). Pada gambar tersebut dapat diamati bahwa T yang semakin rendah (penurunan suhu semakin lambat) menyebabkan t i menjadi semakin singkat (induksi kristalisasi lebih cepat terjadi) yang nampak dari pergeseran kurva deviasi dari baseline plot yang semakin ke kiri. Bahkan pada T 0.1 o C/menit induksi kristalisasi telah terjadi sebelum suhu isotermal 25 o C, yaitu pada suhu 28 o C. Menurut Vuillequez et al. (2010) yang menguji sampel RBDPO, pada laju pendinginan lambat, TAG memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi. Sebaliknya pada laju pendinginan cepat, TAG tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengatur diri dalam konformasi yang lebih stabil. Chong et al. (2007) juga mengemukakan bahwa pada T yang sangat lambat, terjadi kondisi sistem yang setimbang (ekuilibrium).

141 Viskositas terukur (mpa.s) ,1a T 0.1 o C/menit 0,2a T 0.2 o C/menit 0,5a T 0.5 o C/menit 1a T 1 o C/menit Waktu isotermal (menit) Gambar 25 Pengaruh laju penurunan suhu terhadap profil viskositas terukur CPO saat mengalami tahap kristalisasi isotermal di suhu 25 o C dengan suhu awal 55 o C dan shear rate 400 s -1. Hasil uji lanjut Duncan multiple range pada pengaruh T terhadap t i (Lampiran 34) menunjukkan bahwa perlakuan T 0.2 o C/menit memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan T 0.5 dan 1 o C/menit. T 0.2 o C/menit mempercepat terjadinya induksi kristalisasi lemak CPO yang semula sekitar 21 menit pada T 0.5 dan 1 o C/menit, menjadi sekitar 14 menit. Dengan demikian, T yang semakin kecil (laju penurunan suhu semakin lambat), akan mempersingkat terjadinya induksi kristalisasi setelah suhu isotermal tercapai. T juga berpengaruh secara nyata terhadap maks CPO setelah tahap kristalisasi isotermal berlangsung. T 0.1 o C/menit memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan T 0.2, 0.5 dan 1 o C menit. Pada T yang semakin kecil, maks yang dihasilkan semakin besar, karena T yang kecil mampu memberikan kondisi supercooling yang lebih lama dan memberikan kesempatan pembentukan kristal lemak yang lebih besar. Menurut Metin dan Hartel (2005), kondisi supercooling terjadi karena ada perbedaan suhu aktual (T) di bawah T M TAG. Kristal lemak lebih banyak terbentuk karena waktu pada kondisi supercooling yang panjang menyebabkan kenaikan yang nyata pada T yang semakin kecil.

142 110 Kesimpulan yang berbeda terkait pengaruh T terhadap proses kristalisasi lemak dikemukakan oleh Martini et al. (2002a), yang mempelajari pengaruh T lambat (0.1 o C/menit) dan T cepat (5.5 o C/menit) terhadap SFC campuran lemak pada kondisi statis. Menurutnya, pada T yang kecil (penurunan suhu lambat), terjadi penataan molekul lemak yang menghasilkan jumlah kristal murni yang lebih sedikit, sehingga dihasilkan SFC akhir yang rendah. Sebaliknya pada T yang besar (penurunan suhu cepat), terjadi penataan molekul menjadi kristal campuran yang kurang murni sehingga dihasilkan SFC yang lebih tinggi. Hasil yang serupa juga terjadi pada penelitian Campos et al. (2002) pada sampel anhydrous milk fat (AMF) dimana pada laju penurunan suhu yang lambat akan dihasilkan SFC yang lebih rendah. Hasil yang berbeda pada Martini et al. (2002a) dan Campos et al. (2002) dengan hasil penelitian ini terjadi selain karena parameter kristalisasi ditentukan berdasarkan parameter SFC, juga karena pengujian tersebut berlangsung pada kondisi statis. Menurut Martini et al. (2002b), pada kondisi dinamis, ukuran kristal lemak lebih kecil, sedangkan pada kondisi statis kristal lemak lebih padat dan lebih besar. Pengaruh shear rate tidak berperan dalam pengujian Martini et al. (2002a) dan Campos et al. (2002) sehingga kesimpulan yang dihasilkannya kurang relevan dengan kondisi sampel lemak yang mengalami pengaliran dengan shear rate tertentu. Terkait dengan upaya pengembangan sistem transportasi CPO moda pipa, pengaruh profil T selama pengaliran CPO di dalam pipa perlu menjadi perhatian, karena akan menentukan kendali pengalirannya di dalam pipa. Profil T dapat dikendalikan melalui penggunaan insulator di sepanjang pipa. Bila T yang berlangsung selama pengaliran lebih kecil dari 0.1 o C/menit, suhu pengaliran CPO harus dipertahankan di atas 28 o C, karena pada suhu tersebut akan segera terjadi induksi kristalisasi. Pada penerapan T minimal 0.2 o C/menit, maka perlu diupayakan agar kondisi isotermal pada T C 25 o C tidak terjadi selama lebih dari 14 menit, karena akan segera terjadi induksi kristalisasi lemak. Bila proses kristalisasi terjadi di dalam pipa, terjadinya penyumbatan pipa juga ditentukan oleh T yang diterapkan, dimana T yang lebih kecil akan menyebabkan penyumbatan pipa yang lebih kuat akibat maks CPO yang lebih tinggi.

143 Viskositas terukur (mpa.s) 111 Selain ditentukan oleh T, proses kristalisasi lemak CPO juga ditentukan oleh shear rate, yang secara mandiri juga berpengaruh terhadap t i dan maks (data pada Tabel 17 dan 18, serta Lampiran 34). Plot pada salah satu T yang dicobakan yaitu T 1 o C/menit dan T C 25 o C (Gambar 26) menunjukkan bahwa pada shear rate yang semakin tinggi menyebabkan t i menjadi semakin singkat (induksi kristalisasi lebih cepat terjadi) dan maks yang semakin rendah. Karakter tersebut juga terjadi pada kristalisasi lemak coklat dimana pada shear rate yang lebih tinggi, kristal lemak akan terbentuk lebih cepat dan sampel menjadi lebih rendah (Briggs dan Wang, 2004). Menurut Sonway dan Mackley (2006), penerapan shear rate secara kontinyu juga akan mengubah struktur polimorfik dan kinetika kristalisasi lemak. Kisaran shear rate yang lebih tinggi menyebabkan kristalisasi CPO menjadi lebih cepat terjadi setelah suhu isotermal T C 25 o C tercapai. Perlakuan shear rate 400 s -1 dapat mempercepat t i menjadi 13 menit, dibandingkan shear rate 40 dan 100 s -1 dengan t i yang lebih panjang yaitu 22 menit a g = 40 s a g = 100 s a g = 400 s Waktu isotermal (menit) Gambar 26 Pengaruh shear rate terhadap profil viskositas terukur CPO saat mengalami tahap kristalisasi isotermal di suhu 25 o C dengan suhu awal 55 o C dan laju penurunan suhu 1 o C/menit.

144 112 Perlakuan shear rate 400 s -1 menghasilkan data t i dan maks yang berada pada subset yang berbeda dengan perlakuan shear rate 40 dan 100 s -1. Kisaran shear rate di bawah 100 s -1, diduga menghasilkan efek yang sama terhadap t i CPO. Tarabukina et al. (2009) yang melakukan kristalisasi sampel RBDPO pada kisaran shear rate s -1 dengan T 5 o C/menit dan T C 10 o C juga tidak dapat mendeteksi adanya pengaruh shear rate s -1 terhadap titik awal terjadinya kristalisasi. Graef et al. (2009) telah mempelajari pengaruh shear rate terhadap sifat polimorfik dan pengembangan mikrostruktur selama proses kristalisasi RBDPO pada suhu 25 o C, dan membuktikan bahwa penerapan shear yang rendah dan waktu yang singkat dapat memicu terjadinya kristalisasi primer. Selain itu, perlakuan shear rate yang mengawali tahap kristalisasi statis juga sangat berpengaruh pada pengembangan mikrostruktur kristal RBDPO. Pengaruh shear rate selama proses kristalisasi lemak juga telah dipelajari oleh Tarabukina et al. (2009) yang menggunakan sampel RBDPO, dimana disimpulkan bahwa shear rate berpengaruh kuat terhadap struktur dan ukuran agregat kristal. Shear rate memberikan pengaruh nyata yang negatif terhadap maks CPO, dimana shear rate yang semakin tinggi akan menghasilkan maks yang lebih rendah. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Tarabukina et al. (2009) pada sampel RBDPO dimana pada penerapan shear rate yang lebih tinggi, maks setelah tahap kristalisasi selesai akan lebih rendah. Pengaruh shear rate terhadap kristal lemak sampel RBDPO juga diamati oleh Graef et al. (2009) secara mikroskopik dengan mikroskop polarisasi cahaya (polarized light microscope/plm), dimana pada shear rate yang semakin meningkat (1, 10 dan 100 s -1 ) yang diterapkan selama 30 menit, dan dilanjutkan proses kristalisasinya selama 30 menit berikutnya, akan dihasilkan ukuran kristal yang lebih besar. Agregat kristal pada shear rate yang lebih besar terkait dengan dengan kristal-kristal baru yang berperan dalam membentuk struktur jaringan lemak padat. Akan tetapi, Graef et al. (2008) juga menyatakan bahwa penerapan shear selama proses kristalisasi dapat memberikan efek yang berbeda-beda. Pada tahap agregasi kristal, shear dapat memicu terjadinya agregasi, akan tetapi bila shear ditingkatkan, shear juga dapat menyebabkan terjadinya pemecahan agregat kristal.

145 113 Berdasarkan hasil penelitiannya, Tarabukina et al. (2009) menyimpulkan bahwa pada shear rate di bawah 30 s -1 akan terjadi pembentukan jaringan kristal lemak, sedangkan pada shear rate di atas 30 s -1 akan terbentuk agregat kristal lemak. Shear rate 300 s -1 merupakan batas shear rate yang kritis untuk proses agregasi kristal lemak, dimana pada shear rate di atas 300 s -1 agreasi kristal lemak tidak dapat terjadi lagi. Dengan demikian, pada shear rate yang lebih tinggi dari 300 s -1, justru akan dihasilkan struktur kristal lemak yang lebih lemah. Pada proses kristalisasi CPO yang berlangsung dalam penelitian ini, shear rate 400 s -1 menghasilkan maks yang lebih rendah dibandingkan perlakuan 40 dan 100 s -1. Diduga, pada shear rate 400 s -1 justru terjadi gangguan dan pemecahan agregat kristal lemak CPO yang menyebabkan maks CPO menjadi lebih rendah dibandingkan ketika diterapkan shear rate yang lebih rendah. Dengan demikian, terkait upaya pengembangan sistem transportasi CPO moda pipa untuk mencegah kristalisasi lemak yang berlebihan, shear rate sangat menentukan kendali pengaliran CPO selama pengaliran di dalam pipa. Shear rate selama pengaliran ditentukan oleh sifat reologi (indeks tingkah laku alir, n), debit aliran (Q), dan dimensi (radius) pipa (R). Dengan menerapkan shear rate yang tinggi di atas 300 s -1, setelah tercapai kondisi pengaliran pada suhu yang relatif tetap (isotermal), akan terjadi induksi kristalisasi yang lebih cepat. Tetapi, pengaliran CPO pada shear rate di atas 300 s -1 akan menghasilkan struktur kristal yang lebih lemah, dan penyumbatan CPO di dalam pipa akan lebih ringan karena dihasilkan maks CPO yang lebih rendah. Berdasarkan kajian pengaruh T dan shear rate terhadap proses kristalisasi dan sifat reologi CPO dapat ditarik kesimpulan umum bahwa pada kondisi supercooling, proses kristalisasi CPO akan lebih mudah terjadi dan CPO akan lebih cepat meningkat saat diterapkan T yang kecil (penurunan suhu terjadi secara lambat) dan shear rate yang tinggi. Pada kondisi supercooling, sifat CPO sebagai fluida Newtonian akan sangat ditentukan oleh T dan shear rate yang diterapkan. Pada T yang tinggi (suhu cepat menurun) dan shear rate yang rendah, CPO dapat mempertahankan sifatnya sebagai fluida Newtonian hingga suhu < T M, dan sebaliknya pada T yang rendah (suhu menurun lambat) dan shear rate yang tinggi, CPO cepat mengalami perubahan sifat reologi pada suhu yang

146 114 lebih tinggi. Hal itu terkait dengan kuatnya pengaruh T dan shear rate terhadap penyusunan kristal lemak selama proses kristalisasi berlangsung. Akan tetapi perlu diingat bahwa bila kondisi supercooling tidak terjadi (T C > T M ), CPO tetap akan mempertahankan sifatnya sebagai fluida Newtonian, dimana T dan shear rate tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai CPO. Dengan demikian, pada sistem pengaliran CPO di dalam pipa, penerapan pengaruh T dan shear rate perlu diperhitungkan secara detail untuk menghasilkan kondisi yang optimum, yang mampu mencegah terjadinya pembentukan kristal lemak yang berlebihan selama CPO dialirkan di dalam pipa. Pengaruh Suhu Isotermal terhadap Sifat Reologi dan Kristalisasi CPO CPO memiliki titik leleh (T M ) sekitar 39 o C. Bila CPO dialirkan pada suhu yang lebih rendah dari T M tersebut, akan terjadi kondisi supercooling yang menjadi driving force terjadinya kristalisasi, khususnya saat kondisi isotermal tercapai. Menurut Metin dan Hartel (2005) serta Ng dan Oh (1994), driving force untuk terjadinya kristalisasi adalah kondisi supercooling yaitu adanya perbedaan suhu aktual (T) di bawah T M TAG atau T M -T. Karena dalam pengembangan transportasi CPO moda pipa dilakukan proses pengaliran pada kisaran suhu di atas 25 o C, maka proses kristalisasi lemak CPO pada suhu isotermal di atas 25 o C juga dipelajari dalam penelitian ini. Pada tahap penelitian sebelumnya yang menentukan waktu induksi kristalisasi (t i ) dengan DSC diketahui bahwa pada suhu 30 o C belum terjadi induksi kristalisasi lemak CPO hingga 50 menit. Akan tetapi pengujian tersebut berlangsung pada T tinggi (1 o C/menit) dan pada kondisi statis. Pada tahap ini ingin diketahui lebih lanjut pengaruh suhu kristalisasi isotermal (T C ) di atas 25 o C terhadap proses kristalisasi CPO yang terjadi pada kondisi dinamis. Pengujian dilakukan pada T 0.1 o C/menit dan shear rate 400 s -1 dan selanjutnya ditahan pada kondisi isotermal pada T C tertentu. Perlakuan T 0.1 o C/menit dan shear rate 400 s -1 digunakan karena berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa kombinasi perlakuan T yang rendah dan shear rate yang tinggi menyebabkan induksi kristalisasi lebih mudah terjadi. T C yang dicobakan adalah

147 Viskositas terukur, (mpa.s) 115 suhu 25, 30, 35, dan 40 o C. Kisaran suhu tersebut dipilih karena berdasarkan data T M CPO sekitar 39 o C, maka pada suhu di bawahnya terdapat potensi terjadinya kristalisasi karena kondisi supercooling. Hasil pengujian pengaruh T C terhadap profil dapat dilihat pada Gambar 27. Pada Gambar 27 terlihat adanya peningkatan pada saat CPO diturunkan suhunya dari 55 o C dengan T 0.1 o C/menit menuju T C. Pada keempat T C yang diterapkan, peningkatan sebelum T C tercapai membentuk kurva semilogaritmik yang berhimpit. Dengan demikian, T C akhir tidak berpengaruh pada profil perubahan selama suhu menurun pada T tertentu. Hasil pengujian ini memperkuat kesimpulan tahap penelitian sebelumnya yang mempelajari profil dan E a sebelum tahap kristalisasi isotermal berlangsung, dimana profil tidak dipengaruhi T dan shear rate yang diterapkan o C 30 o C 35 o C 40 o C Waktu (menit) Gambar 27 Profil perubahan viskositas terukur ( ) CPO yang dimulai pada suhu 55 o C, dan mengalami penurunan suhu pada laju penurunan suhu 0.1 o C/menit dan shear rate 400 s -1, kemudian ditahan pada kondisi isotermal.

148 116 Nilai yang dicapai sebelum terjadi induksi kristalisasi dipengaruhi oleh T C. Semakin tinggi T C maka isotermal lebih rendah. Pada T C 40 o C, pada kondisi isotermal sebesar 36.7 mpa s, pada T C 35 o C sebesar 43 mpa.s, dan pada T C 30 o C sebesar 56.3 mpa.s. Terjadinya peningkatan dengan menurunnya T C adalah akibat terjadinya peningkatan interaksi molekuler CPO tetapi belum terjadi tahap kristalisasi lemak (Tarabukina et al. 2009). Bila data pengujian CPO pada kondisi isotermal sebelum induksi kristalisasi dibandingkan dengan data setelah penyimpanan di suhu isotermal selama 24 jam (data dari penelitian Tahap II pada Bab 3), diperoleh hasil yang berbeda seperti dapat dilihat pada Tabel 19. Secara umum, CPO yang diukur setelah mengalami perlakuan 0.1 o C/menit dan shear rate 400 s -1 lebih kecil dibandingkan sampel CPO yang telah mengalami penyimpanan isotermal selama 24 jam. Pada perlakuan dengan 0.1 o C/menit, sampel CPO mengalami shear rate 400 s -1 sehingga selama penurunan suhu tidak ada kesempatan bagi molekul TAG di dalamnya untuk menyusun diri dalam struktur yang lebih stabil. Sebaliknya yang terjadi pada sampel CPO yang mengalami penyimpanan pada kondisi statis, susunan molekul TAG tidak terganggu karena tidak ada shear rate yang diberikan, sehingga interaksi molekuler antar TAG menjadi lebih kuat dan CPO menjadi lebih tinggi. Dengan demikian, bila induksi kristalisasi belum terjadi, kondisi sampel yang statis dan dinamis (dengan shear rate tertentu) akan menghasilkan yang berbeda. CPO yang mengalami shear rate akan memiliki yang lebih rendah dibandingkan CPO yang statis. Tabel 19 Viskositas terukur ( ) CPO pada kondisi yang berbeda setelah pemanasan awal 55 o C (diukur pada shear rate 400 s -1 ). Suhu ( o C) setelah penyimpanan statis selama 24 jam (mpa.s) pada T 0.1 o C/menit dan shear rate 400 s -1 sebelum t i (mpa.s) pada T 0.1 o C/menit dan shear rate 400 s -1 setelah t i (mpa.s)

149 117 Menurut Chen et al. (2002), kristalisasi lemak mulai terjadi setelah terjadi deviasi dari baseline plot, dan akan terus meningkat sering dengan pertumbuhan kristal dan akhirnya tercapai kondisi setimbang dengan yang tetap. Apabila waktu induksi kristalisasi telah terlampaui, CPO yang mengalami shear rate akan meningkat secara drastis hingga dapat melebihi atau sama dengan CPO pada kondisi statis (Tabel 19), dengan nilai tergantung dan shear rate yang diterapkan pada sampel CPO tersebut. Terdapat interval antara waktu saat T C tercapai hingga saat induksi kristalisasi terjadi yang disebut dengan waktu induksi kristalisasi (t i ) (Chen et al. 2002). Pada T C 25, 30, 35 o C yang lebih rendah dari T M akan terjadi induksi kristalisasi pada waktu tertentu. Fenomena yang hampir sama terjadi pada proses kristalisasi campuran fraksi lemak susu dengan minyak biji bunga matahari yang dilakukan oleh Martini et al. (2002a), dimana pada T 0.1 o C/menit, kristalisasi di suhu 5, 10, 15, dan 20 o C telah terjadi sebelum T C tercapai, sedangkan kristalisasi pada T C 30 dan 35 o C terdapat periode induksi sebelum kristalisasi mulai terjadi. Setelah tahap kristalisasi lemak selesai, T C juga menentukan maks yang dicapai CPO. Semakin tinggi T C maka maks semakin rendah, bahkan pada suhu 40 o C tidak terjadi induksi kristalisasi lemak hingga akhir pengujian. Hal itu terkait dengan SFC dalam lemak dimana menurut Martini et al. (2002a), T C yang lebih tinggi akan menyebabkan nilai SFC akhir yang lebih rendah akibat penurunan volume fase kristalin ketika suhu meningkat. Graef et al. (2009) juga telah melakukan pengujian pengaruh T C 18, 20, 22, dan 25 o C terhadap proses kristalisasi RBDPO pada shear rate 100 s -1 selama 30 menit. meningkat cepat dan mencapai nilai yang lebih tinggi saat diterapkan T C yang lebih rendah. Hal tersebut dapat dipahami terkait dengan terjadinya kondisi supercooling, dimana kondisi supercooling yang lebih besar (pada suhu kristalisasi yang lebih rendah) driving force kristalisasi lebih tinggi, sehingga pada T C yang lebih rendah proses kristalisasi lebih cepat terjadi. Secara umum, kondisi isotermal di T C yang lebih rendah akan mempercepat terjadinya kristalisasi yang ditunjukkan oleh t i yang lebih singkat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ng dan Oh (1994) yang menguji tahap kristalisasi RBDPO dimana pada kondisi supercooling yang lebih rendah maka laju nukleasi

150 Viskositas terukur, h (mpa.s) Suhu ( o C) Suhu ( o C) Log viskositas terukur, h (mpa.s) Suhu ( o C) Viskositas terukur, h (mpa.s) Suhu ( o C) Log viskositas terukur, h (mpa.s) Suhu ( o C) Log viskositas terukur, h (mpa.s) Suhu ( o C) 118 (pembentukan inti kristal) akan lebih cepat terjadi. Liang et al. (2003) juga mengungkapkan hal yang sama dimana laju nukleasi (pembentukan inti kristal) dan laju kristalisasi akan meningkat pada kondisi supercooling yang tinggi dan suhu yang lebih rendah. Untuk mempermudah analisis terhadap data di masingmasing T C, maka profil perubahan pada setiap T C disajikan kembali pada grafik yang terpisah (Gambar 28) h suhu 35 h suhu (a) T C = 40 o C Waktu (menit) (b) Waktu T (menit) C = 35 o C h h suhu suhu (menit) Waktu (menit) 50 (c) T C = 30 o C Viskositas h terukur Waktu (menit) (d) T C = 25 o C h suhu 25 suhu Gambar 28 Profil perubahan viskositas terukur ( ) CPO yang dimulai pada suhu 55 o C, dan mengalami penurunan suhu pada laju penurunan suhu o C/menit dan shear rate 400 s -1 0, kemudian ditahan pada kondisi isotermal di suhu kristalisasi (T C ) tertentu. 0 Waktu (menit) 25 suhu

151 119 Pada T C 40 o C (Gambar 28 (a)), setelah kondisi isotermal tercapai tidak terjadi peningkatan hingga 330 menit (5.5 jam) pengujian. Hal tersebut membuktikan bahwa bila perlakuan berlangsung pada T C 40 o C, kondisi supercooling tidak tercapai (karena suhu sedikit di atas T M yaitu o C), sehingga tidak terdapat driving force kristalisasi yang dibuktikan dengan profil yang tetap di sekitar 37 mpa.s. Pada pengujian dengan T C 30 o C (Gambar 28 (b)) dan T C 35 o C (Gambar 28 (c)), setelah T C tercapai dan berlangsung kondisi isotermal, terbentuk kurva datar pada yang konstan ( isotermal) hingga waktu tertentu selama t i. Karena pada suhu isotermal di T C tidak terjadi penurunan suhu lebih lanjut, nilai akan tetap dipertahankan tetap. Akan tetapi karena suhu T C berada pada kondisi supercooling, terdapat driving force yang mendorong terjadinya induksi kristalisasi pada waktu tertentu. Pada Gambar 28 (b) dapat dilihat bahwa pada T C 30 o C dipertahankan tetap sekitar 55 mpa.s selama sekitar 30 menit sebelum akhirnya meningkat akibat induksi kristalisasi (t i = 30 menit). Profil perubahan yang hampir sama juga terjadi pada perlakuan dengan T C 35 o C (Gambar 28 (c)), akan tetapi t i pada T C 35 o C lebih panjang dimana sekitar 43 mpa.s dipertahankan tetap selama 90 menit (1.5 jam). isotermal pada T C 30 o C lebih tinggi dibandingkan isotermal pada T C 35 o C, sedangkan t i pada T C 30 o C lebih singkat dibandingkan t i pada pada T C 35 o C. Perbedaan nilai isotermal dan t i pada T C 30 dan 35 o C ditentukan oleh derajat supercooling yang terjadi pada T C yang berbeda, dimana T C 30 o C memiliki derajat supercooling yang lebih besar sekitar 9.53 o C ( o C), dibandingkan T C 35 o C yang hanya memiliki derajat supercooling sekitar 4.53 o C ( o C). Menurut Ng dan Oh (1994), pada derajat supercooling yang lebih tinggi, maka isotermal akan lebih tinggi dengan t i yang semakin singkat. Pada Gambar 28 (d) tidak terdapat t i sebelum T C 25 o C tercapai. Pada T C 25 o C tersebut, tahap kristalisasi telah terjadi pada periode non-isotermal (saat suhu masih mengalami penurunan) pada suhu sekitar 28 o C. Hal itu diduga akibat kondisi supercooling yang besar yang menyebabkan driving force kristalisasi yang lebih kuat. Kondisi supercooling yang besar itu juga ditunjang oleh kondisi perlakuan dengan T yang sangat kecil (0.1 o C/menit) yang menurut Chong et al.

152 120 (2007), termasuk kategori T yang sangat lambat, yang memberikan kondisi sistem yang setimbang (ekuilibrium). Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian Martini et al. (2002a) pada SFC campuran lemak, dimana SFC sampel telah mencapai 90% SFC maksimum sebelum T C tercapai karena penataan molekul lemak telah terjadi sebelum pembentukan inti kristal lemak berlangsung. Berdasarkan hasil pengujian kristalisasi CPO pada kondisi dinamis di T 0.1 o C/menit dan shear rate 400 s -1 pada beberapa T C dapat disimpulkan bahwa selama suhu pengujian masih menurun dari 55 o C menuju T C terendah 30 o C (kondisi belum isotermal), proses kristalisasi belum akan terjadi. CPO akan meningkat namun hanya akibat terjadinya peningkatan interaksi molekuler akibat suhu yang menurun, dan bukan akibat terjadinya induksi kristalisasi. Pada kondisi isotermal di T C 40 o C yang merupakan suhu di atas T M CPO, tidak terjadi kristalisasi lemak CPO karena kondisi supercooling tidak tercapai dan dapat dipertahankan tetap rendah di sekitar 37 mpa.s hingga 330 menit (5.5 jam). Akan tetapi pada kondisi isotermal T C di bawah T M (terjadi kondisi supercooling), maka terjadi induksi kristalisasi pada waktu tertentu, yang merupakan interval waktu yang dapat digunakan untuk proses pemanasan kembali CPO agar kristalisasi dapat dicegah. Pada suhu 30 o C, kristalisasi lemak baru mulai terjadi setelah 30 menit suhu isotermal tercapai. Semakin tinggi T C isotermal yang berlangsung, isotermal semakin rendah dan kristalisasi terjadi pada t i yang semakin lama. Karakteristik CPO Selama Pengaliran dalam Pipa Sirkulasi Karakteristik CPO yang mencakup parameter proses kristalisasi dan sifat reologi akibat pengaruh laju penurunan suhu ( T), shear rate dan suhu pada kondisi isotermal yang menginduksi kristalisasi (T C ) dikonfirmasi melalui percobaan pengaliran dalam pipa sirkulasi. Hasil rancang bangun pipa sirkulasi pada skala laboratorium dapat dilihat pada Gambar 29. Dimensi pipa sirkulasi dapat dilihat pada Tabel 20, sedangkan perlengkapan pendukung pipa sirkulasi berupa tangki penyeimbang (balance tank) dengan pemanas berupa tubular heat exchanger dan media pemanas steam, pompa, flowmeter, serta thermocouple dan thermorecorder seperti dapat dilihat pada Gambar 30.

153 121 Gambar 29 Pipa sirkulasi untuk pengujian karakteristik CPO selama pengaliran. (a) (b) (c) (d) Gambar 30 Perlengkapan pendukung pipa sirkulasi berupa (a) tangki penyeimbang dengan pemanas, (b) pompa, (c) flowmeter, dan (d) thermorecorder.

Penggunaan Data Karakteristik Minyak Sawit Kasar untuk Pengembangan Transportasi Moda Pipa

Penggunaan Data Karakteristik Minyak Sawit Kasar untuk Pengembangan Transportasi Moda Pipa 174 PEMBAHASAN UMUM Selama ini, pemanfaatan moda pipa dalam transportasi minyak sawit kasar (crude palm oil atau CPO) telah diterapkan di industri, namun hanya untuk jarak yang dekat hingga maksimal 3

Lebih terperinci

5. RANCANGAN TEKNIK KENDALI TRANSPORTASI MINYAK SAWIT KASAR MODA PIPA

5. RANCANGAN TEKNIK KENDALI TRANSPORTASI MINYAK SAWIT KASAR MODA PIPA 5. RANCANGAN TEKNIK KENDALI TRANSPORTASI MINYAK SAWIT KASAR MODA PIPA 135 Pendahuluan Transportasi minyak sawit kasar (crude palm oil atau CPO) dari pabrik kelapa sawit (PKS) menuju tangki penyimpanan

Lebih terperinci

3. PENGARUH SUHU TERHADAP SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR

3. PENGARUH SUHU TERHADAP SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR 42 3. PENGARUH SUHU TERHADAP SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR Pendahuluan Sifat fisik minyak dan lemak sangat ditentukan oleh suhu yang dialaminya. Istilah minyak dan lemak merupakan petunjuk mengenai sifat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS MUTU MINYAK SAWIT KASAR Mutu minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam proses produksi CPO. Pengolahan dan penyimpanan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan di dalam penelitian ini adalah minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) yang diperoleh dari PT Sinar Meadow Internasional Indonesia, Jakarta.

Lebih terperinci

2. KAJIAN MUTU DAN SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR

2. KAJIAN MUTU DAN SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR 11 2. KAJIAN MUTU DAN SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR Pendahuluan Volume produksi minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO) Indonesia yang sangat besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun, membutuhkan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Januari hingga November 2011, yang bertempat di Laboratorium Sumber Daya Air, Departemen Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS KEHILANGAN CRUDE PALM OIL PADA STASIUN PEMURNIAN DI PABRIK KELAPA SAWIT PT. PERKEBUNAN NUSANTARA III SEI MANGKEI

ANALISIS KEHILANGAN CRUDE PALM OIL PADA STASIUN PEMURNIAN DI PABRIK KELAPA SAWIT PT. PERKEBUNAN NUSANTARA III SEI MANGKEI ANALISIS KEHILANGAN CRUDE PALM OIL PADA STASIUN PEMURNIAN DI PABRIK KELAPA SAWIT PT. PERKEBUNAN NUSANTARA III SEI MANGKEI SKRIPSI AHMAD WIDI SIREGAR 070308002 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN. 1. Analisis Mutu Minyak Sawit Kasar. 2. Pengukuran Densitas Minyak Sawit Kasar

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN. 1. Analisis Mutu Minyak Sawit Kasar. 2. Pengukuran Densitas Minyak Sawit Kasar III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) CPO yang berasal dari empat perusahaan di Indonesia, yaitu PT. Sinar Meadow

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT DAN OLEIN SAWIT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit, olein sawit 1, dan olein sawit 2. Ketiganya diambil langsung dari

Lebih terperinci

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkontrolan

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR DAN KORELASINYA DENGAN ATRIBUT MUTU

SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR DAN KORELASINYA DENGAN ATRIBUT MUTU SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR DAN KORELASINYA DENGAN ATRIBUT MUTU [Physical Properties of Crude Palm Oil and Their Correlations to the Quality Attributes] Nur Wulandari 1,) *, Tien R. Muchtadi 1), Slamet

Lebih terperinci

ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR )

ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR ) ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR ) TEGUH PAIRUNAN PUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PEGAWAI DI SEKRETARIAT KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP FIRDAUS ALIM DAMOPOLII

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PEGAWAI DI SEKRETARIAT KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP FIRDAUS ALIM DAMOPOLII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PEGAWAI DI SEKRETARIAT KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP FIRDAUS ALIM DAMOPOLII SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah CPO yang berasal dari lima perusahaan kelapa sawit di Indonesia, yaitu PT. Sinar Meadow Internasional

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Efisiensi dan efektivitas sistern transportasi merupakan salah satu faktor. diharapkan dapat mencapai konsumen pada waktu yang tepat, dengan kualitas

Efisiensi dan efektivitas sistern transportasi merupakan salah satu faktor. diharapkan dapat mencapai konsumen pada waktu yang tepat, dengan kualitas LATAR BELAKANG Efisiensi dan efektivitas sistern transportasi merupakan salah satu faktor yang mernpengaruhi daya saing suatu produk (Lederer dan Li, 1997). Produk diharapkan dapat mencapai konsumen pada

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KUALITAS PELAYANAN KAPAL DAN KECEPATAN BONGKAR MUAT KAPAL TERHADAP PRODUKTIVITAS DERMAGA TERMINAL PETIKEMAS PELABUHAN MAKASSAR WILMAR JONRIS SIAHAAN

KUALITAS PELAYANAN KAPAL DAN KECEPATAN BONGKAR MUAT KAPAL TERHADAP PRODUKTIVITAS DERMAGA TERMINAL PETIKEMAS PELABUHAN MAKASSAR WILMAR JONRIS SIAHAAN iii KUALITAS PELAYANAN KAPAL DAN KECEPATAN BONGKAR MUAT KAPAL TERHADAP PRODUKTIVITAS DERMAGA TERMINAL PETIKEMAS PELABUHAN MAKASSAR WILMAR JONRIS SIAHAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas. DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.l) Yeti Widyawati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROFIL MUTU MINYAK SAWIT KASAR Minyak sawit kasar (CPO) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT Sinar Meadow Internasional Jakarta, PTPN VIII Banten, PT Wilmar

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

PERBANDINGAN METODE INTERPOLASI ABRIDGED LIFE TABLE

PERBANDINGAN METODE INTERPOLASI ABRIDGED LIFE TABLE PERBANDINGANN METODE INTERPOLASI ABRIDGED LIFE TABLE DAN APLIKASINYA PADA DATAA KEMATIAN INDONESIA VANI RIALITA SUPONO SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENGELOLAAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI PT AGROWIYANA, TUNGKAL ULU, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI

PENGELOLAAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI PT AGROWIYANA, TUNGKAL ULU, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI PENGELOLAAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI PT AGROWIYANA, TUNGKAL ULU, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI Oleh PUGUH SANTOSO A34103058 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

RISIKO GEMUK (FAT-TAILED ADRINA LONY SEKOLAH

RISIKO GEMUK (FAT-TAILED ADRINA LONY SEKOLAH PENENTUAN BESARNYA PREMI UNTUK SEBARAN RISIKO YANG BEREKOR GEMUK (FAT-TAILED RISK DISTRIBUTION) ADRINA LONY SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN MESIN PENGERING KAYU PORTABEL DENGAN BAHAN BAKAR BRIKET GERGAJI UNTUK PENGRAJIN HANDICRAFT di SURAKARTA

RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN MESIN PENGERING KAYU PORTABEL DENGAN BAHAN BAKAR BRIKET GERGAJI UNTUK PENGRAJIN HANDICRAFT di SURAKARTA TUGAS AKHIR RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN MESIN PENGERING KAYU PORTABEL DENGAN BAHAN BAKAR BRIKET GERGAJI UNTUK PENGRAJIN HANDICRAFT di SURAKARTA Disusun Sebagai Syarat Menyelesaikan Program Studi Strata

Lebih terperinci

MODEL SUMBER DAYA MANUSIA PERBANKAN SYARIAH BERBASIS NILAI ISLAMI. Popy Novita Pasaribu P DM

MODEL SUMBER DAYA MANUSIA PERBANKAN SYARIAH BERBASIS NILAI ISLAMI. Popy Novita Pasaribu P DM MODEL SUMBER DAYA MANUSIA PERBANKAN SYARIAH BERBASIS NILAI ISLAMI Popy Novita Pasaribu P 066050133.1DM SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 MODEL SUMBER DAYA MANUSIA PERBANKAN SYARIAH

Lebih terperinci

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENGARUH REGULASI, PERSAINGAN DAN KEKUATAN BELI TERHADAP HUBUNGAN PEMASOK-RITEL MODEREN DAN KINERJA PEMASOK DI JAKARTA DEDIE S.

PENGARUH REGULASI, PERSAINGAN DAN KEKUATAN BELI TERHADAP HUBUNGAN PEMASOK-RITEL MODEREN DAN KINERJA PEMASOK DI JAKARTA DEDIE S. PENGARUH REGULASI, PERSAINGAN DAN KEKUATAN BELI TERHADAP HUBUNGAN PEMASOK-RITEL MODEREN DAN KINERJA PEMASOK DI JAKARTA DEDIE S. MARTADISASTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

KAJIAN JENIS KEMASAN SELAMA TRANSPORTASI DAN PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP UMUR SIMPAN DAN MUTU BUAH MANGGIS ( Garcinia mangostana L.

KAJIAN JENIS KEMASAN SELAMA TRANSPORTASI DAN PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP UMUR SIMPAN DAN MUTU BUAH MANGGIS ( Garcinia mangostana L. KAJIAN JENIS KEMASAN SELAMA TRANSPORTASI DAN PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP UMUR SIMPAN DAN MUTU BUAH MANGGIS ( Garcinia mangostana L.) Oleh : REZKI YUNIKA F14051372 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERCOBAAN KUALITAS ETHYLENE DAN AIR PADA ALAT PERPINDAHAN PANAS DENGAN SIMULASI ALIRAN FLUIDA

TUGAS AKHIR PERCOBAAN KUALITAS ETHYLENE DAN AIR PADA ALAT PERPINDAHAN PANAS DENGAN SIMULASI ALIRAN FLUIDA PERCOBAAN KUALITAS ETHYLENE DAN AIR PADA ALAT PERPINDAHAN PANAS DENGAN SIMULASI ALIRAN FLUIDA Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Disusun Oleh : Nama

Lebih terperinci

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS KEHILANGAN CRUDE PALM OIL PADA PABRIK KELAPA SAWIT BAH JAMBI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV

ANALISIS KEHILANGAN CRUDE PALM OIL PADA PABRIK KELAPA SAWIT BAH JAMBI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV ANALISIS KEHILANGAN CRUDE PALM OIL PADA PABRIK KELAPA SAWIT BAH JAMBI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV IZWAR MUNANDAR 070308019 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

POTENSI PENGGUNAAN KEMBALI AIR LIMBAH: STUDI KASUS INDUSTRI POLIPROPILENA PT. TRIPOLYTA INDONESIA, TBK ANDINA BUNGA LESTARI

POTENSI PENGGUNAAN KEMBALI AIR LIMBAH: STUDI KASUS INDUSTRI POLIPROPILENA PT. TRIPOLYTA INDONESIA, TBK ANDINA BUNGA LESTARI POTENSI PENGGUNAAN KEMBALI AIR LIMBAH: STUDI KASUS INDUSTRI POLIPROPILENA PT. TRIPOLYTA INDONESIA, TBK ANDINA BUNGA LESTARI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains pada Program

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN BERBASIS HUTAN TANAMAN RAKYAT UNTUK INDUSTRI BIOMASA YANG BERKELANJUTAN ERWIN SUSANTO SADIRSAN

PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN BERBASIS HUTAN TANAMAN RAKYAT UNTUK INDUSTRI BIOMASA YANG BERKELANJUTAN ERWIN SUSANTO SADIRSAN PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN BERBASIS HUTAN TANAMAN RAKYAT UNTUK INDUSTRI BIOMASA YANG BERKELANJUTAN ERWIN SUSANTO SADIRSAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 i

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP SERANGAN SERANGGA DAN SIFAT FISIK RANSUM BROILER STARTER BERBENTUK CRUMBLE

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP SERANGAN SERANGGA DAN SIFAT FISIK RANSUM BROILER STARTER BERBENTUK CRUMBLE PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP SERANGAN SERANGGA DAN SIFAT FISIK RANSUM BROILER STARTER BERBENTUK CRUMBLE SKRIPSI DIMAR WIGATI DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK.

ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK. ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK. Oleh: Gusri Ayu Farsa PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN RURIN WAHYU LISTRIANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI

SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA SEKTORAL (Analisis Tabel I-O Indonesia Tahun 2005) OLEH TRI ISDINARMIATI H

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA SEKTORAL (Analisis Tabel I-O Indonesia Tahun 2005) OLEH TRI ISDINARMIATI H DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA SEKTORAL (Analisis Tabel I-O Indonesia Tahun 2005) OLEH TRI ISDINARMIATI H14094022 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PEMILIHAN BAHAN BAKAR DALAM PEMBUATAN DAPUR CRUCIBLE UNTUK PELEBURAN ALUMINIUM BERKAPASITAS 50KG MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR BATU BARA

PEMILIHAN BAHAN BAKAR DALAM PEMBUATAN DAPUR CRUCIBLE UNTUK PELEBURAN ALUMINIUM BERKAPASITAS 50KG MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR BATU BARA PEMILIHAN BAHAN BAKAR DALAM PEMBUATAN DAPUR CRUCIBLE UNTUK PELEBURAN ALUMINIUM BERKAPASITAS 50KG MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR BATU BARA SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG GANDUM YANG DITANAM DI SUMATERA UTARA

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG GANDUM YANG DITANAM DI SUMATERA UTARA KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG GANDUM YANG DITANAM DI SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: SITI NUR JANNA SIHOTANG 100305007/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

ANALISIS PEMBANGUNAN DAN PEMBIAYAAN PABRIK PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN ACEH BARAT, PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM. Oleh : CUT IDAMAN SARI

ANALISIS PEMBANGUNAN DAN PEMBIAYAAN PABRIK PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN ACEH BARAT, PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM. Oleh : CUT IDAMAN SARI ANALISIS PEMBANGUNAN DAN PEMBIAYAAN PABRIK PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN ACEH BARAT, PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Oleh : CUT IDAMAN SARI PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

UJI SUHU PENGGORENGAN KERIPIK UBI JALAR PADA ALAT PENGGORENG VAKUM (VACUUM FRYING) TIPE VACUUM PUMP SKRIPSI OLEH DEWI SARTIKA T

UJI SUHU PENGGORENGAN KERIPIK UBI JALAR PADA ALAT PENGGORENG VAKUM (VACUUM FRYING) TIPE VACUUM PUMP SKRIPSI OLEH DEWI SARTIKA T UJI SUHU PENGGORENGAN KERIPIK UBI JALAR PADA ALAT PENGGORENG VAKUM (VACUUM FRYING) TIPE VACUUM PUMP SKRIPSI OLEH DEWI SARTIKA T PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

PEMURNIAN MINYAK JELANTAH DENGAN MENGGUNAKAN ZEOLIT AKTIF DAN ARANG AKTIF SKRIPSI FRANSISWA GINTING /TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

PEMURNIAN MINYAK JELANTAH DENGAN MENGGUNAKAN ZEOLIT AKTIF DAN ARANG AKTIF SKRIPSI FRANSISWA GINTING /TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN PEMURNIAN MINYAK JELANTAH DENGAN MENGGUNAKAN ZEOLIT AKTIF DAN ARANG AKTIF SKRIPSI Oleh : FRANSISWA GINTING 070305035/TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B.

PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B. PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B. PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERANCANGAN

Lebih terperinci

ELASTISITAS TRANSMISI HARGA CPO (Crude Palm Oil) INTERNASIONAL, HARGA CPO (Crude Palm Oil) DOMESTIK DAN HARGA MINYAK GORENG DOMESTIK SKRIPSI

ELASTISITAS TRANSMISI HARGA CPO (Crude Palm Oil) INTERNASIONAL, HARGA CPO (Crude Palm Oil) DOMESTIK DAN HARGA MINYAK GORENG DOMESTIK SKRIPSI 1 ELASTISITAS TRANSMISI HARGA CPO (Crude Palm Oil) INTERNASIONAL, HARGA CPO (Crude Palm Oil) DOMESTIK DAN HARGA MINYAK GORENG DOMESTIK SKRIPSI OLEH: ARIFANDI 040304009 SEP-AGRIBISNIS DEPARTEMEN SOSIAL

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERENCANAAN SYSTEM HYDROLIK PADA MOVABLE BRIDGE DERMAGA KAPASITAS 100 TON

TUGAS AKHIR PERENCANAAN SYSTEM HYDROLIK PADA MOVABLE BRIDGE DERMAGA KAPASITAS 100 TON TUGAS AKHIR PERENCANAAN SYSTEM HYDROLIK PADA MOVABLE BRIDGE DERMAGA KAPASITAS 100 TON Diajukan Guna Memenuhi Syarat Kelulusan Mata Kuliah Tugas Akhir Pada Program Sarjana Strata Satu (S1) Disusun Oleh

Lebih terperinci

PENDEKATAN LOGIKA FUZZY UNTUK MEMPREDIKSI IPK AKHIR MAHASISWA MATEMATIKA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENDEKATAN LOGIKA FUZZY UNTUK MEMPREDIKSI IPK AKHIR MAHASISWA MATEMATIKA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1 PENDEKATAN LOGIKA FUZZY UNTUK MEMPREDIKSI IPK AKHIR MAHASISWA MATEMATIKA INSTITUT PERTANIAN BOGOR ANA MARNIDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

METODE EKSPLORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK

METODE EKSPLORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK METODE EKSPLO ORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK EKO WAHYU WIBOWO SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS

LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS Disusun Oleh : 1. FETRISIA DINA PUSPITASARI 1131310045 2. GRADDIA THEO CHRISTYA PUTRA 1131210062

Lebih terperinci

METODE PEMOTONGAN DERET FOURIER UNTUK MENYELESAIKAN PERSAMAAN GERAK GELOMBANG INTERNAL YANG PERIODIK PADA FLUIDA DUA LAPISAN MUHBAHIR

METODE PEMOTONGAN DERET FOURIER UNTUK MENYELESAIKAN PERSAMAAN GERAK GELOMBANG INTERNAL YANG PERIODIK PADA FLUIDA DUA LAPISAN MUHBAHIR METODE PEMOTONGAN DERET FOURIER UNTUK MENYELESAIKAN PERSAMAAN GERAK GELOMBANG INTERNAL YANG PERIODIK PADA FLUIDA DUA LAPISAN MUHBAHIR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH DARWIS SYARIFUDDIN HUTAPEA

KARYA ILMIAH DARWIS SYARIFUDDIN HUTAPEA PENENTUAN KADAR MINYAK YANG TERDAPAT PADA TANDAN BUAH KOSONG SESUDAH PROSES PEMIPILAN SECARA SOKLETASI DI PTP. NUSANTARA III PABRIK KELAPA SAWIT SEI MANGKEI - PERDAGANGAN KARYA ILMIAH DARWIS SYARIFUDDIN

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM)

ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM) ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM) EPI RATRI ZUWITA PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH KADAR ASAM LEMAK BEBAS TERHADAP SIFAT TERMAL MINYAK SAWIT KASAR HARRIDIL HAQ

KAJIAN PENGARUH KADAR ASAM LEMAK BEBAS TERHADAP SIFAT TERMAL MINYAK SAWIT KASAR HARRIDIL HAQ KAJIAN PENGARUH KADAR ASAM LEMAK BEBAS TERHADAP SIFAT TERMAL MINYAK SAWIT KASAR HARRIDIL HAQ DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Minyak atau lemak merupakan ester dari gliserol dan asam lemak, tersusun atas campuran sebagian besar triasilgliserol dan sebagian kecil senyawa pengotor (di-gliserida dan

Lebih terperinci

KAJIAN MODEL HIDDEN MARKOV KONTINU DENGAN PROSES OBSERVASI ZERO DELAY DAN APLIKASINYA PADA HARGA GABAH KERING PANEN T A M U R I H

KAJIAN MODEL HIDDEN MARKOV KONTINU DENGAN PROSES OBSERVASI ZERO DELAY DAN APLIKASINYA PADA HARGA GABAH KERING PANEN T A M U R I H KAJIAN MODEL HIDDEN MARKOV KONTINU DENGAN PROSES OBSERVASI ZERO DELAY DAN APLIKASINYA PADA HARGA GABAH KERING PANEN T A M U R I H SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

BEBERAPA METODE PENDUGAAN JUMLAH KOMPONEN DALAM CAMPURAN SENYAWA KIMIA MURDAN ALFA SATYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

BEBERAPA METODE PENDUGAAN JUMLAH KOMPONEN DALAM CAMPURAN SENYAWA KIMIA MURDAN ALFA SATYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 i BEBERAPA METODE PENDUGAAN JUMLAH KOMPONEN DALAM CAMPURAN SENYAWA KIMIA MURDAN ALFA SATYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT KASAR SELAMA PENYIMPANAN DAN PENGALIRAN SKRIPSI DESIR DETAK INSANI F

KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT KASAR SELAMA PENYIMPANAN DAN PENGALIRAN SKRIPSI DESIR DETAK INSANI F KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT KASAR SELAMA PENYIMPANAN DAN PENGALIRAN SKRIPSI DESIR DETAK INSANI F24070007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 20 CRUDE PALM OIL CHARACTERISTICS DURING STORAGE

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI Oleh: Darsini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Hak cipta milik

Lebih terperinci

STUDI KOMPARASI KINERJA MESIN BERBAHAN BAKAR SOLAR DAN CPO DENGAN PEMANASAN AWAL SKRIPSI

STUDI KOMPARASI KINERJA MESIN BERBAHAN BAKAR SOLAR DAN CPO DENGAN PEMANASAN AWAL SKRIPSI STUDI KOMPARASI KINERJA MESIN BERBAHAN BAKAR SOLAR DAN CPO DENGAN PEMANASAN AWAL SKRIPSI Oleh : ASKHA KUSUMA PUTRA 0404020134 PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

EKA PUTI SARASWATI STUDI REAKSI OKSIDASI EDIBLE OIL MENGGUNAKAN METODE PENENTUAN BILANGAN PEROKSIDA DAN SPEKTROFOTOMETRI UV

EKA PUTI SARASWATI STUDI REAKSI OKSIDASI EDIBLE OIL MENGGUNAKAN METODE PENENTUAN BILANGAN PEROKSIDA DAN SPEKTROFOTOMETRI UV EKA PUTI SARASWATI 10703064 STUDI REAKSI OKSIDASI EDIBLE OIL MENGGUNAKAN METODE PENENTUAN BILANGAN PEROKSIDA DAN SPEKTROFOTOMETRI UV PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI SEKOLAH FARMASI INSTITUT TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENENTUAN KONVERSI CO YANG MENJADI METANOL PADA METANOL REAKTOR DI PT. KALTIM METANOL INDUSTRI BONTANG KARYA ILMIAH MUHAMMAD MARDUANSYAH

PENENTUAN KONVERSI CO YANG MENJADI METANOL PADA METANOL REAKTOR DI PT. KALTIM METANOL INDUSTRI BONTANG KARYA ILMIAH MUHAMMAD MARDUANSYAH PENENTUAN KONVERSI CO YANG MENJADI METANOL PADA METANOL REAKTOR DI PT. KALTIM METANOL INDUSTRI BONTANG KARYA ILMIAH MUHAMMAD MARDUANSYAH 102401052 PROGRAM STUDI DIPLOMA 3 KIMIA DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN WAKTU PEMANASAN TERHADAP NILAI FFA (FREE FATTY ACID) PRODUK MENARA EIFEL MARGARIN KRIM. DI PT. SMART Tbk. BELAWAN TUGAS AKHIR

PENGARUH SUHU DAN WAKTU PEMANASAN TERHADAP NILAI FFA (FREE FATTY ACID) PRODUK MENARA EIFEL MARGARIN KRIM. DI PT. SMART Tbk. BELAWAN TUGAS AKHIR PENGARUH SUHU DAN WAKTU PEMANASAN TERHADAP NILAI FFA (FREE FATTY ACID) PRODUK MENARA EIFEL MARGARIN KRIM DI PT. SMART Tbk. BELAWAN TUGAS AKHIR MANDAYANI SIMATUPANG 102401006 PROGRAM STUDI DIPLOMA 3 KIMIA

Lebih terperinci

DESAIN DAN UJI PENGGORENG OPEN DEEP FRYING DENGAN PERUBAHAN POSISI ELEMEN PEMANAS HARSMAN TANDILITTIN F

DESAIN DAN UJI PENGGORENG OPEN DEEP FRYING DENGAN PERUBAHAN POSISI ELEMEN PEMANAS HARSMAN TANDILITTIN F DESAIN DAN UJI PENGGORENG OPEN DEEP FRYING DENGAN PERUBAHAN POSISI ELEMEN PEMANAS HARSMAN TANDILITTIN F151050061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.8. Latar Belakang Indonesia mulai tahun 2007 dicatat sebagai produsen minyak nabati terbesar di dunia, mengungguli Malaysia, dengan proyeksi produksi minimal 17 juta ton/tahun di areal

Lebih terperinci

UJI PENGARUH KERAPATAN SALURAN UDARA DAN KETINGGIAN MINYAK GORENG BEKAS TERHADAP KUALITAS PEMBAKARAN KOMPOR BIOBRIKET LIMBAH SAWIT SKRIPSI

UJI PENGARUH KERAPATAN SALURAN UDARA DAN KETINGGIAN MINYAK GORENG BEKAS TERHADAP KUALITAS PEMBAKARAN KOMPOR BIOBRIKET LIMBAH SAWIT SKRIPSI UJI PENGARUH KERAPATAN SALURAN UDARA DAN KETINGGIAN MINYAK GORENG BEKAS TERHADAP KUALITAS PEMBAKARAN KOMPOR BIOBRIKET LIMBAH SAWIT SKRIPSI ZULVI ARWAN FAKIH 080308056 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

KINETIKA REAKSI DAN OPTIMASI PEMBENTUKAN BIODIESEL DARI CRUDE FISH OIL PENELITIAN

KINETIKA REAKSI DAN OPTIMASI PEMBENTUKAN BIODIESEL DARI CRUDE FISH OIL PENELITIAN KINETIKA REAKSI DAN OPTIMASI PEMBENTUKAN BIODIESEL DARI CRUDE FISH OIL PENELITIAN Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Kimia Oleh : ENY PURWATI

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP KADAR AIR DALAM INTI SAWIT PADA UNIT KERNEL SILO DI STASIUN KERNEL DI PKS PT. MULTIMAS NABATI ASAHAN KUALA TANJUNG

PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP KADAR AIR DALAM INTI SAWIT PADA UNIT KERNEL SILO DI STASIUN KERNEL DI PKS PT. MULTIMAS NABATI ASAHAN KUALA TANJUNG PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP KADAR AIR DALAM INTI SAWIT PADA UNIT KERNEL SILO DI STASIUN KERNEL DI PKS PT. MULTIMAS NABATI ASAHAN KUALA TANJUNG TUGAS AKHIR RETNO HUTAMI 082409019 PROGRAM STUDI D3 KIMIA

Lebih terperinci

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) merupakan perusahaan industri yang bergerak

I. PENDAHULUAN. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) merupakan perusahaan industri yang bergerak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) merupakan perusahaan industri yang bergerak dibidang pengolahan bahan baku Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dengan tujuan memproduksi

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI MINYAK NABATI TERHADAP MUTU MENTEGA KACANG (PEANUT BUTTER)

PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI MINYAK NABATI TERHADAP MUTU MENTEGA KACANG (PEANUT BUTTER) PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI MINYAK NABATI TERHADAP MUTU MENTEGA KACANG (PEANUT BUTTER) HASRINA SIJABAT 060305007/TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH 1 INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci