BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Hasil Penelitian Pendahuluan Pengaruh Pasteurisasi dan Maltodekstrin Hasil untuk sampel dengan maltodekstrin 3% yang dipasteurisasi, rendemen dari berat jambu awal sebesar 2.14 %, sedangkan sampel dengan penambahan maltodekstrin 3% yang tidak dipasteurisasi sebesar 0.79%. Sampel dengan maltodekstrin 17.5% dan tanpa pasteurisasi menghasilkan rendemen sebesar 5.13% dan sampel dengan maltodekstrin 20% tanpa pasteurisasi menghasilkan rendemen paling tinggi yaitu sebesar 6.15%. Berdasarkan penambahan bahan pengisi sebesar 3% ternyata masih banyak sampel yang menempel pada siklon, hal ini karena kadar gula pada sampel masih tinggi. Penampakan fisik juga menampilkan hasil tepung yang masih cukup basah. Uji vitamin C pada tepung ini menunjukkan nilai yang cukup tinggi, sekitar mg/100 g bahan kering. Pada saat proses pengeringan dengan maltodekstrin 17.5%, masih terlihat adanya sampel yang menempel pada siklon, oleh karena itu pada penelitian selanjutnya dipilih kadar maltodekstrin sebesar 20%. Perlakuan pasteurisasi tidak dilakukan pada penelitian selanjutnya, karena mempertimbangkan bahwa setelah sampel dibuat langsung dilakukan proses pengeringan. Histogram rendemen tepung jambu biji instan dari berat jambu awal pada suhu pengeringan 180 o C (Gambar 5) menunjukkan rendemen tertinggi ada pada sampel dengan penambahan maltodekstrin sebanyak 20%. Sedangkan Gambar 6 menunjukkan rendemen tepung jambu biji instan dari bahan baku total pada suhu pengeringan 180 o C Gambar 5. Rendemen tepung jambu biji instan dari berat jambu awal pada suhu pengeringan 180 o C

2 Gambar 6. Rendemen tepung jambu biji instan dari bahan baku total pada suhu pengeringan 180 o C Tepung dengan bahan pengisi 20% mengandung kadar air yang lebih tinggi dibandingkan tepung dengan kadar maltodekstrin 17.5% pada suhu pengeringan yang sama. Untuk hasil uji warna, tepung dengan kadar maltodekstrin 20% lebih cerah, sedangkan tepung dengan kadar bahan pengisi 17.5% lebih merah. Gambar 7 adalah histogram nilai L uji warna tepung jambu biji. Histogram menunjukkan bahwa pada suhu 180 o C dengan kadar bahan pengisi 20%, memiliki nilai L tertinggi, hal ini berarti bahwa tepung yang dihasilkan paling cerah dibanding tepung dengan penambahan maltodekstrin 20%. Gambar 7. Nilai L uji warna tepung jambu biji pada suhu pengeringan 180 o C Histogram nilai a (kemerahan) uji warna tepung jambu biji diperlihatkan pada Gambar 8. Histogram menunjukkan bahwa nilai a tertinggi ada pada tepung dengan penambahan maltodekstrin 17.5%. Hal ini menunjukkan bahwa tepung ini berwarna lebih merah dibanding tepung dengan penambahan maltodekstrin 20%. 22

3 Gambar 8. Nilai a uji warna tepung jambu biji pada suhu pengeringan 180 o C Histogram nilai b (kekuningan) uji warna tepung jambu biji diperlihatkan pada Gambar 9. Histogram menunjukkan bahwa nilai b tertinggi ada pada tepung dengan penambahan maltodekstrin 17.5%. Hal ini menunjukkan bahwa tepung ini berwarna paling kuning dibanding tepung dengan penambahan maltodekstrin 20%. Gambar 9. Nilai b uji warna tepung jambu biji pada suhu pengeringan 180 o C 4.2 Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Tepung Jambu Biji Instan Pada penelitian ini perlakuan yang dilakukan pada sampel jambu adalah perendaman pada larutan vitamin C 1%, penambahan maltodekstrin 20%, dan pengeringan pada suhu 150 o C, 160 o C, 170 o C, dan 180 o C, serta tidak adanya penambahan tepung gula seperti pada penelitian Soelistyo (1988). Adapun produk tepung hasil pengeringan dengan spray dryer dapat dilihat pada Gambar

4 Tepung hasil suhu pengeringan Ulangan ke-1 Ulangan ke-2 Ulangan ke o C 160 o C 170 o C 180 o C Gambar 10. Tepung jambu biji instan hasil pengeringan dengan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan Tabel 4 menunjukkan syarat mutu tepung minuman rasa jeruk menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) Standar untuk minuman rasa jambu belum dikeluarkan oleh SNI, oleh 24

5 karena itu beberapa persyaratan pada Tabel 4 digunakan sebagai acuan pada proses pemutuan tepung jambu biji. Tabel 4. Syarat mutu tepung minuman rasa jeruk (SNI ) No Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1 Keadaan: 1.1 Warna - normal 1.2 Cita rasa - normal 2 Air %b/b maks Bagian yang tidak larut dalam air %b/b maks Gula jumlah (dihitung sebagai sukrosa) %b/b min 78 5 Vitamin C mg/100 g min Bahan tambahan makanan 6.1 Pemanis buatan tidak boleh ada 6.2 Pewarna tambahan Sesuai SNI Pengawet Sesuai SNI Kehalusan 7.1 Lolos ayakan 100 mesh (no. 100) % maks Lolos ayakan 20 mesh (no. 20) % Cemaran log: 8.1 Timbal (Pb) mg/kg maks Tembaga (Cu) mg/kg maks Seng (Zn) mg/kg maks Timah (Sn) mg/kg maks 40 9 Cemaran arsen (As) mg/kg maks Cemaran mikroba: 10.1 Angka lempeng total koloni/ml maks 3 x Bakteri coliform APM/ml < 3 Sumber: Badan Standardisasi Nasional Pada perdagangan internasional, tepung jambu diperjualbelikan dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Kandungan air tidak lebih dari 0.5% dari berat keseluruhan bahan, ada pula yang mensyaratkan dengan kadar air antara 1-2% 2. Warna merah muda cerah 25

6 3. Kelarutan dalam air 100% 4. Semua kandungan nutrisi tetap dipertahankan, tidak ada penambahan, dan pengawetan dengan bahan kimia % alami dengan flavor yang kaya dan dengan warna yang alami 6. Tidak ada penambahan gula, tidak mengandung kolesterol 7. Tidak ada lemak dan rendah kalori 8. Dapat disimpan selama 6 bulan hingga 2 tahun dalam wadah tertutup, disimpan dan dilindungi dengan tiga lapis alumunium dan terlindung dari panas, pembekuan, dan kelembaban lingkungan Rendemen Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 9), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang tidak berbeda nyata pada rendemen tepung jambu biji (p > 0.05). Berdasarkan histogram pada Gambar 11 mengenai rendemen tepung jambu biji instan berdasarkan berat bahan baku jambu awal, sampel yang dikeringkan pada suhu pengeringan 180 o C memberikan rendemen tertinggi yaitu 9.54%, disusul oleh tepung tepung suhu 150 o C sebesar 8.10%, lalu tepung suhu 160 o C sebanyak 7.47%, dan yang paling rendah nilai rendemen adalah tepung suhu pengeringan 170 o C sebesar 6.35%. Gambar 11. Rendemen tepung jambu biji instan dari berat jambu awal hasil pengeringan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan Gambar 12 menunjukkan rendemen tepung jambu biji instan berdasarkan berat bahan baku total, sampel yang dikeringkan pada suhu pengeringan 180 o C memberikan rendemen tertinggi yaitu 4.43%, disusul oleh tepung tepung suhu 150 o C sebesar 3.68%, lalu tepung suhu 160 o C sebanyak 3.39%, dan yang paling rendah nilai rendemen adalah tepung suhu pengeringan 170 o C sebesar 2.89%. 26

7 Gambar 12. Rendemen tepung jambu biji instan dari bahan baku total hasil pengeringan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan Lindawati (1992) menyatakan bahwa penambahan dekstrin sebagai bahan pengisi akan menyebabkan peningkatan total padatan. Penambahan dekstrin yang semakin tinggi mengakibatkan total padatan sari buah jambu biji yang dikeringkan menjadi semakin tinggi pula. Demikian pula menurut Master (1979) bahwa dengan semakin tingginya total padatan pada bahan yang dikeringkan maka rendemen yang dihasilkan juga akan semakin tinggi. Hudin et al. (1989) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan pengisi mengakibatkan semakin tinggi konsentrasi produk yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa bahan pengisi dapat berfungsi sebagai penambah massa. Rendemen yang tidak berbeda nyata dapat disebabkan oleh kandungan gula pada beberapa sampel masih tinggi, oleh karena itu banyak bagian yang menempel pada siklon. Sampel untuk pengeringan suhu 170 o C berdasarkan data total padatan terlarut memiliki kandungan paling tinggi dibandingkan sampel lainnya, sedangkan sampel untuk suhu 180 o C memiliki kandungan yang paling rendah. Hal ini dapat berimplikasi pada rendemen, data menunjukkan bahwa rendemen suhu 170 o C adalah terendah dan rendemen suhu 180 o C tertinggi. Banyaknya sampel jambu yang tidak berhasil mengalami pengeringan menjadi tepung juga menyebabkan rendahnya rendemen yang didapatkan. Hal ini ditandai dengan sampel yang menempel pada dinding drying chamber dan tidak berhasil mencapai siklon. Ukuran partikel sampel yang masih cukup besar menyebabkan masih banyaknya yang menempel pada siklon, hal ini juga berakibat pada kecilnya nilai rendemen. Sebab lain dapat berasal dari alat spray dryer sendiri, hal ini karena beberapa kali alat tersebut rusak dan tidak tepat dalam penyetelan suhu pengeringan. Suhu pengeringan yang terbaca sering naik dan turun dengan drastis, sehingga mempengaruhi kemampuan pengeringan dan rendemen yang dihasilkan. Rendemen hanya dihitung berdasarkan tepung pada wadah penampung di bawah siklon. Sisa sampel yang masih basah dan menempel di dinding drying chamber tidak dianggap sebagai rendemen dan tidak ditimbang. Kecilnya rendemen juga dapat dipengaruhi oleh tepung kering yang menempel pada alat, selain itu ada kemungkinan hilangnya tepung halus yang terbawa udara pengering dan uap air selama pengeringan berlangsung. Menurut Mulia (1998), untuk mendapatkan kembali produk kering yang terbawa udara, dapat dilakukan dengan melewatkan udara yang keluar dari alat pengering melalui alat lain yang mampu menangkap padatan halus dari aliran udara. Indriany (2000) menyatakan bahwa pada proses yang menggunakan suhu pengeringan yang lebih tinggi nilai rendemen yang diperoleh pun semakin besar. Hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu yang digunakan maka produk yang dihasilkan semakin kering. Selain itu, waktu yang dibutuhkan filtrat untuk menjadi tepung yang kering menjadi lebih cepat, sehingga yang menyebabkan rendeman yang dihasilkan lebih banyak. Jika suhu yang digunakan rendah maka produk yang dihasilkan agak basah, sehingga ada sebagian produk yang menempel pada alat pengering yang 27

8 menyebabkan rendemen yang diperoleh semakin sedikit. Master (1979) menyatakan bahwa penempelan atau deposit pada dinding ruang pengering dapat disebabkan karena droplet sampai ke dinding dalam keadaan semi basah, atau yang disebabkan sifat alamiah bahan yang lengket selama pengeringan. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa rendemen produk juga dipengaruhi oleh kadar air. Menurut Soekarto, Syarief (1992) bahwa kecepatan aliran udara yang digunakan harus menjamin terjadinya pengendapan sebagian besar partikel kering yang dihasilkan. Bila aliran udara kecepatannya terlalu besar maka akan terjadi banyak kehilangan partikel karena terbang terbawa ke luar ruang pengering Kadar Air Kadar air pada tepung dinyatakan dalam persen basis kering yaitu rasio antara bahan awal dengan hasil akhir pengeringan. Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 10), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang tidak berbeda nyata pada kadar air tepung jambu biji (p > 0.05). Berdasarkan histogram kadar air (%bk) tepung jambu biji pada Gambar 13, jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 180 o C mempunyai kadar air basis kering terendah yaitu 8.93 %bk, disusul oleh tepung suhu 160 o C sebesar %bk, lalu tepung suhu 170 o C sebesar %bk, dan tepung hasil pengeringan suhu 150 o C yang memiliki kadar air tertinggi yaitu %bk. Gambar 13. Kadar air (%bk) tepung hasil pengeringan dengan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan Berdasarkan histogram kadar air (%bb) tepung jambu biji pada Gambar 14, jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 180 o C mempunyai kadar air basis basah terendah yaitu 8.19 %bb, disusul oleh tepung suhu 160 o C sebesar 9.86 %bb, lalu tepung suhu 170 o C sebesar %bb, dan tepung hasil pengeringan suhu 150 o C yang memiliki kadar air tertinggi yaitu %bb. 28

9 Gambar 14. Kadar air (%bb) tepung hasil pengeringan dengan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan Hudin et al. (1989) menyatakan bahwa dengan kadar air yang rendah, lebih disukai produk instan, karena produk mempunyai air bebas yang rendah sehingga lebih awet. Menurut Lindawati (1992), kadar air suatu produk pangan berkaitan erat dengan keawetan dari produk tersebut. Produkproduk yang berkadar air rendah relatif lebih tahan lama bila dibandingkan dengan produk yang berkadar air tinggi. Suhu yang lebih tinggi relatif memberikan hasil tepung yang mempunyai kadar air lebih lebih rendah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Vallous et al. (2002) bahwa peningkatan tekanan uap atau suhu pengeringan menyebabkan terjadinya penurunan kadar air bahan. Menurut Winarno (1995), semakin sedikit kandungan air pada bahan maka kemungkinan rusaknya bahan oleh mikroba semakin kecil. Kandungan air dalam bahan ini mempengaruhi daya tahan bahan terhadap serangan mikroba. Menurut Master (1979), semakin tinggi total padatan bahan yang dikeringkan, maka akan semakin rendah kadar air yang dihasilkan. Menurut Hodge, Osman (1976), dekstrin dan gula bersifat higroskopis. Oleh karena itu, tepung hasil pengeringan sangat mudah menyerap uap air dari udara luar. Penambahan dekstrin yang semakin banyak juga dapat menyebabkan semakin tingginya kadar air produk yang dihasilkan. Beberapa data sampel memperlihatkan adanya kecenderungan nilai kadar air yang hampir sama meskipun pada suhu pengeringan yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena suhu pengeringan yang terbaca sering fluktuatif, sehingga mempengaruhi kadar air pada tepung jambu biji. Suhu inlet dan outlet pun mempengaruhi nilai kadar air akhir bahan. Kadar air rata-rata menunjukkan bahwa tepung pada suhu inlet dan outlet yang lebih tinggi kadar airnya lebih rendah. Pada waktu pengeringan pada suhu 160 o C, spray dryer sempat mengalami sedikit masalah pada kestabilan suhu. Suhu pengeringan sering naik secara drastis. Oleh karena itu, hasil tepung pada suhu 160 o C sedikit lebih rendah dibanding dengan tepung pada suhu 170 o C. Selain itu, wadah penampung di bawah siklon yang terbuat dari plastik masih dengan mudah dimasuki oleh uap air dari luar, oleh karena itu sebaiknya wadah penampung terbuat dari gelas atau stainless stell. Indriany (2000) menyatakan bahwa suhu inlet yang tinggi menentukan kapasitas dari pengeringan. Semakin tinggi suhu inlet, maka akan meningkatkan kemampuan pengering untuk mengeringkan bahan. Menurut Master (1979), dengan suhu inlet yang lebih tinggi maka efisiensi panas dari pengering akan semakin tinggi pula. Menurut Indriany (2000), walaupun efisiensi yang tinggi akan tercapai jika suhu inlet semakin tinggi, namun ada batasan suhu tertinggi yang masih dapat digunakan untuk dapat menghasilkan produk terbaik. Sedangkan menurut Master (1979), peningkatan dalam suhu outlet akan menurunkan kandungan air pada aliran udara pengering yang konstan. 29

10 Produk tepung hasil pengeringan yang higroskopis (mudah menyerap air) harus disimpan dalam wadah yang permeabilitas airnya rendah dan dalam pengemasan yang rapat. Penyerapan uap air oleh produk dapat menyebabkan meningkatkan kadar air produk dan dapat menyebabkan produk menjadi menggumpal. Selama penyimpanan tepung diletakkan di dalam botol kaca yang diluarnya dilindungi oleh aluminium foil. Hal tersebut juga masih memungkinkan adanya migrasi udara luar ke dalam. Penyerapan uap air dari udara juga terjadi saat pengambilan bahan untuk analisa/pengujian. Pada Tabel 4 mengenai syarat mutu tepung minuman rasa jeruk, maksimal air yang terkandung adalah sebesar 0.5 %b/b. Persyaratan perdagangan internasional pun menginginkan kadar air tepung jambu hanya 1-2%. Pada perhitungan yang berkaitan dengan data kadar air tepung jambu biji, hasil menunjukkan bahwa semua sampel tepung belum sesuai dengan standar SNI. Nilai kadar air tepung jambu biji masih cukup tinggi dibandingkan dengan standar kadar air yang diajurkan oleh SNI Warna Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 11), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang tidak berbeda nyata pada kecerahan tepung jambu biji (p < 0.05), namun memberikan hasil yang berbeda nyata pada kemerahan dan kekuningan tepung jambu biji (p>0.05). Warna akhir tepung jambu dipengaruhi oleh warna awal buah jambu. Semakin tua kematangan buah jambu, akan semakin merah pula warna jambu tersebut. Warna sampel pengeringan yang merah akan menghasilkan tepung yang merah dan cerah pula. Husain et al. (2006) menyatakan bahwa dengan menggunakan pengering semprot, produk tidak langsung kontak dengan alat pengering sehingga warna tetap terjaga. Selain itu, penambahan dekstrin dapat tetap mempertahankan keutuhan warna produk. Pada Gambar 15, dapat dilihat bahwa tepung hasil pengeringan pada suhu 150 o C memiliki nilai L atau kecerahan paling rendah yaitu 81.25, lalu disusul oleh tepung pada suhu 160 o C sebesar 82.55, tepung pada suhu 170 o C sebesar 83.19, dan tepung dengan kecerahan paling tinggi adalah pada suhu pengeringan 180 o C sebesar Semakin tinggi suhu, maka filtrat yang disemprotkan akan semakin kering dan jika suhu semakin tinggi maka tepung akan semakin kering dan kemungkinan untuk menjadi gosong semakin tinggi. Gambar 15. Nilai uji kecerahan tepung hasil pengeringan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan 30

11 Gambar 16 menunjukkan kurva regresi uji kemerahan pada tepung jambu biji. Suhu 180 o C memiliki nilai a atau kemerahan paling rendah yaitu 9.75, lalu disusul oleh tepung pada suhu 170 o C sebesar 10.52, tepung pada suhu 160 o C sebesar 11.60, dan tepung dengan kemerahan paling tinggi adalah pada suhu pengeringan 150 o C sebesar Pada SNI disyaratkan bahwa warna tepung normal, dan berdasar pada perdagangan internasional bahwa warna tepung jambu biji adalah merah muda cerah. Warna tepung normal berarti bahwa warna tepung hasil pengeringan seperti warna buah aslinya, oleh karena itu semakin merah tepung atau nilai a semakin tinggi, semakin baik. Gambar 16. Kurva regresi uji kemerahan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan Gambar 17 menunjukkan kurva regresi uji kekuningan pada tepung jambu biji. Suhu 160 C memiliki nilai b atau kekuningan paling rendah yaitu 12.11, lalu disusul oleh tepung pada suhu 180 o C sebesar 12.56, tepung pada suhu 150 o C sebesar 13.12, dan tepung dengan kekuningan paling tinggi adalah pada suhu pengeringan 170 o C sebesar Gambar 17. Kurva regresi uji kekuningan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan 31

12 4.2.4 Sebaran Tepung Pengujian sebaran tepung dilakukan untuk mengetahui mayoritas ukuran partikel tepung yang dihasilkan dari pengeringan dengan spray dryer. Pengujian dengan menggunakan mesh dari nomor 3/8 in hingga mesh nomor 100. Pada Gambar 18 dapat dilihat sebaran frekuensi ukuran rata-rata tepung hasil pengeringan dengan spray dryer. Gambar 18. Sebaran frekuensi ukuran rata-rata tepung jambu biji hasil pengeringan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan Ukuran tepung hasil pengeringan suhu 150 o C terbanyak pada mesh nomor 14. Pada Tabel 4 mengenai syarat mutu tepung minuman rasa jeruk untuk bagian kehalusan tepung, maksimal bagian yang lolos ayakan 100 mesh adalah 15%. Gambar 18 menunjukkan bahwa tidak ada tepung hasil pengeringan pada suhu 150 o C yang lolos mesh 100. Sedangkan menurut SNI, bagian yang lolos ayakan 20 mesh adalah 100%. Gambar 18 juga menunjukkan bahwa belum 100% yang lolos mesh 16 dan 25. Hal ini menunjukkan bahwa tepung hasil suhu pengeringan 150 o C belum sesuai dengan standar SNI. Ukuran tepung hasil pengeringan suhu 160 o C terdistribusi dari mesh nomor 3/8 inchi hingga mesh nomor 50. Gambar 18 menunjukkan bahwa ukuran tepung hasil pengeringan suhu 160 o C terbanyak pada mesh nomor 30. Pada Gambar 18 menunjukkan bahwa tidak ada tepung yang lolos mesh 100. Sedangkan belum 100% yang lolos mesh 16 dan 25. Hal ini menunjukkan bahwa tepung hasil suhu pengeringan 160 o C belum sesuai dengan standar SNI. Ukuran tepung hasil pengeringan suhu 170 o C berada pada mesh nomor 4 hingga nomor 25. Gambar 18 menunjukkan bahwa ukuran tepung hasil pengeringan suhu 170 o C terbanyak pada mesh nomor 14, dan menunjukkan bahwa tidak ada tepung yang lolos mesh 100. Sedangkan Gambar 18 menunjukkan bahwa belum 100% yang lolos mesh 16 dan 25. Hal ini menunjukkan bahwa tepung hasil suhu pengeringan 170 o C belum sesuai dengan standar SNI. Ukuran tepung hasil pengeringan suhu 180 o C berada pada mesh nomor 3/8 inchi hingga nomor 50. Gambar 18 menunjukkan bahwa ukuran tepung hasil pengeringan suhu 150 o C terbanyak pada mesh nomor 16, dan menunjukkan bahwa tidak ada tepung yang lolos mesh 100. Sedangkan Gambar 18 menunjukkan bahwa belum 100% yang lolos mesh 16 dan 25. Hal ini menunjukkan bahwa tepung hasil suhu pengeringan 180 o C belum sesuai dengan standar SNI. 32

13 Ukuran partikel yang masih cukup besar dapat disebabkan tepung jambu biji yang sangat higroskopis dan menggumpal karena kontak dengan udara luar, sehingga waktu dilakukan uji sebaran tepung dengan ayakan getar tidak 100% tepung lolos mesh Kelarutan Dalam Air Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 12), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada kelarutan dalam air pada tepung jambu biji (p < 0.05). Berdasarkan hasil uji Duncan, kelarutan tepung dalam air yang paling baik adalah tepung hasil suhu pengeringan 180 o C. Tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 180 o C mempunyai kelarutan dalam air yang paling tinggi yaitu sebesar 96.44%, disusul oleh tepung suhu 160 o C sebesar 95.55%, lalu tepung suhu 170 o C sebesar 94.14%, dan tepung hasil pengeringan suhu 150 o C yang memiliki kemampuan larut dalam air yang paling rendah yaitu 88.10%. Menurut Nicol (1979), sukrosa mempunyai kelarutan yang tinggi. Namun apabila dihubungkan dengan data total padatan terlarut atau kandungan gula pada jambu biji, hal tersebut tidak berlaku karena justru buah jambu yang memiliki total padatan terlarut paling rendah, kelarutan dalam airnya tinggi. Hudin et al. (1989) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan pengisi dan suhu pengeringan, maka daya larut produk akan semakin tinggi pula. Menurut Wismono, Riyanto (1996), proses pelarutan zat padat dalam zat cair dipengaruhi oleh empat faktor, meliputi suhu pelarut, adanya pengadukan, besar/kecilnya ukuran zat, banyak/sedikitnya zat terlarut. Pada Gambar 18 menunjukkan sebaran tepung suhu pengeringan 150 o C mayoritas berada pada ukuran yang cukup besar. Hal ini dapat membuktikan bahwa dengan ukuran partikel yang masih cukup besar, daya larut dalam air juga semakin rendah. Sebaliknya ukuran partikel yang kecil mengakibatkan daya larut dalam air yang tinggi. Pada gambar juga dapat dilihat bahwa tepung pada suhu pengeringan 160 o C dan 180 o C mayoritas ukurannya cukup kecil. Kelarutan tepung pada suhu 160 o C lebih tinggi daripada tepung suhu 170 o C karena ukuran partikel tepung pada suhu 170 o C lebih besar daripada tepung suhu 160 o C. Pada Tabel 4 mengenai syarat mutu tepung minuman rasa jeruk, maksimal bagian yang tidak larut dalam air adalah sebesar 0.1 %b/b. Pada perhitungan yang berkaitan dengan data kelarutan dalam air tepung jambu biji, hasil menunjukkan bahwa hampir semua sampel tepung memiliki bagian yang tidak larut dalam air di bawah 0.1 %b/b, hanya pada tepung ulangan 1 dan 2 pada suhu pengeringan 150 o C yang bernilai sedikit diatas 0.1 %b/b. Hal ini menunjukkan bahwa sampel tepung jambu biji telah sesuai dengan standar SNI. Namun, apabila dibandingkan dengan tepung yang diperdagangkan secara internasional, maka tepung jambu biji belum memenuhi persyaratan, karena bagian yang larut dalam air harus 100%. Gambar 19 adalah kurva regresi untuk kelarutan dalam air tepung jambu biji. Dengan analisa regresi, diperoleh persamaan kuadratik y= 0.236x , dengan R 2 = 0.657, dimana x adalah suhu pengeringan spray dryer ( o C) dan y adalah kelarutan dalam air tepung jambu biji (%). 33

14 Gambar 19. Kurva regresi kelarutan dalam air tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan Densitas Kamba Heldman, Singh (1981) menyatakan bahwa densitas kamba merupakan sifat fisik bahan pangan berupa biji-bijian dan tepung. Densitas kamba ini sangat penting terutama dalam hal pengemasan dan penyimpanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi densitas kamba antara lain: karakteristik ukuran partikel atau granula, ruang kosong (void), dan porositas. Karakteristik ukuran granula di antaranya pipih, bulat, beraturan atau tidak, kecil, besar, homogen atau heterogennya granula bahan tersebut. Husain et al. (2006) menyatakan bahwa densitas kamba dari tepung sangat dipengaruhi oleh kadar air bahan. Makin rendah kadar air tepung yang terbentuk dari droplet saat dikeringkan menggunakan pengering semprot, maka semakin kecil volume butiran tepung sehingga makin besar densitas kamba tepung. Densitas kamba yang tinggi mempunyai arti bahwa tepung tersebut lebih ringkas karena untuk volume yang sama tepung mempunyai berat yang lebih besar. Menurut Syarief, Irawati (1988), densitas kamba penting diketahui bagi bahan pertanian yang akan disimpan dan digunakan dalam merencanakan suatu gudang penyimpanan, volume alat pengolahan atau sarana transportasi, juga mengkonversi harga satuan. Besar kecilnya densitas kamba dipengaruhi pula oleh besarnya partikel dan metode pengukuran. Syarief, Irawati (1988) manyatakan bahwa semakin besar ukuran partikel, densitas kambanya semakin kecil sehingga kekambaannya semakin besar, demikian pula sebaliknya. Menurut Lindawati (1992), peranan densitas kamba terutama berkaitan dengan pengemasan yaitu semakin besar densitas kamba maka kemasan yang diperlukan semakin kecil untuk sejumlah berat yang sama Densitas kamba tanpa pemadatan Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 13), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai densitas kamba tanpa pemadatan pada tepung jambu biji (p < 0.05). Berdasarkan hasil uji Duncan, hasil terbaik untuk nilai densitas kamba tanpa pemadatan adalah tepung pada suhu pengeringan 150 o C. Tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 150 o C mempunyai nilai densitas kamba tanpa pemadatan tertinggi yaitu kg/m 3. Nilai densitas kamba tanpa pemadatan disusul oleh tepung suhu 170 o C sebesar 440 kg/m 3, lalu tepung suhu 160 o C sebesar kg/m 3, dan 34

15 tepung hasil pengeringan suhu 180 o C yang memiliki nilai densitas kamba tanpa pemadatan yang paling rendah yaitu kg/m 3. Menurut Hudin et al. (1989), semakin tinggi konsentrasi bahan pengisi, maka akan memberikan densitas kamba yang semakin tinggi pula. Pernyataan bahwa makin rendah kadar air tepung/tepung maka semakin besar densitas kamba tepung tidak berlaku pada kondisi ini, karena pada kenyataannya nilai densitas kamba tepung relatif cenderung meningkat seiring dengan tingginya kadar air. Gambar 20 adalah kurva regresi untuk demsitas kamba tanpa pemadatan tepung jambu biji. Dengan analisa regresi, diperoleh persamaan kuadratik y= -6.5x , dengan R 2 = 0.752, dimana x adalah suhu pengeringan spray dryer ( o C) dan y adalah densitas kamba tanpa pemadatan tepung jambu biji (kg/m 3 ). Gambar 20. Kurva regresi densitas kamba tanpa pemadatan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan Densitas kamba dengan pemadatan Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 14), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai densitas kamba dengan pemadatan pada tepung jambu biji (p < 0.05). Berdasarkan hasil uji Duncan, hasil terbaik untuk nilai densitas kamba tanpa pemadatan adalah tepung pada suhu pengeringan 150 o C. Tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 150 o C mempunyai nilai densitas kamba dengan pemadatan tertinggi yaitu kg/m 3. Nilai densitas kamba tanpa pemadatan disusul oleh tepung suhu 170 o C sebesar kg/m 3, lalu tepung suhu 160 o C sebesar kg/m 3, dan tepung hasil pengeringan suhu 180 o C yang memiliki nilai densitas kamba dengan pemadatan yang paling rendah yaitu kg/m 3. Perbedaan dalam pengujian densitas kamba tanpa pemadatan dan dengan pemadatan adalah pada perlakuan pemadatan tepung dengan cara beaker glass diketuk-ketuk. Hal ini menyebabkan rongga-rongga kosong akan terisi oleh tepung dan volume menjadi lebih kecil meskipun berat tepung tetap sama. Gambar 21 adalah kurva regresi untuk densitas kamba dengan pemadatan tepung jambu biji. Dengan analisa regresi, diperoleh persamaan kuadratik y= x , dengan R 2 = 0.698, dimana x adalah suhu pengeringan spray dryer ( o C) dan y adalah densitas kamba dengan pemadatan tepung jambu biji (kg/m 3 ). 35

16 Gambar 21. Kurva regresi densitas kamba dengan pemadatan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan Laju Pembasahan Early (2002) menyatakan bahwa ada beberapa parameter yang menjadi tolok ukur kualitas produk bubuk, di antaranya adalah wetabilitas atau laju pembasahan. Wetabilitas atau laju pembasahan dapat didefinisikan sebagai ukuran kemampuan bubuk untuk terbasahi oleh air pada suhu tertentu. Pembasahan terdiri dari beberapa tahapan, yaitu submergence, dispersi, dan disolusi partikel. Laju pembasahan juga bisa didefinisikan sebagai kemampuan bubuk bulk untuk menyerap cairan di bawah pengaruh gaya kapiler. Pada umumnya, pembasahan merupakan satu proses dimana fase gas pada permukaan fase padat digantikan oleh fase cair. Laju pembasahan tergantung kepada beberapa variabel, seperti ukuran partikel, densitas, porositas, tegangan muka, luas permukaan, dan aktivitas permukaan. Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 15), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada laju pembasahan tepung jambu biji (p < 0.05). Berdasarkan hasil uji Duncan, laju pembasahan terbaik ada pada tepung hasil pengeringan suhu 150 o C. Tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 180 o C mempunyai laju pembasahan terendah yaitu 2.30x10-4 kg/menit, disusul oleh tepung suhu 170 o C sebesar 3.11x10-4 kg/menit, lalu tepung suhu 160 o C sebesar 7.06x10-4 kg/menit, dan tepung hasil pengeringan suhu 150 o C yang memiliki laju pembasahan paling baik yaitu sebesar 9.07x10-4 kg/menit. Tingginya waktu pembasahan dapat disebabkan karena tingginya kandungan gula pada bubuk, dimana gula dapat mengalami kristalisasi dan membentuk jembatan kristal antar partikel yang akan menimbulkan caking (Bhandari et al., 1997). Pernyataan ini tidak berlaku pada hasil tepung pada penelitian ini karena semakin tinggi suhu pengeringan, waktu tepung untuk terbasahi semakin lama. Gambar 22 adalah kurva regresi untuk laju pembasahan tepung jambu biji. Dengan analisa regresi, diperoleh persamaan kuadratik y= -2E-05x , dengan R 2 = 0.947, dimana x adalah suhu pengeringan spray dryer ( o C) dan y adalah laju pembasahan tepung jambu biji (kg/menit). 36

17 Gambar 22. Kurva regresi laju pembasahan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan Vitamin C Menurut Haerani (2003) bahwa vitamin C tidak tahan terhadap panas dan mudah menguap. Vitamin C mulai hilang sejak awal persiapan bahan ketika bahan kontak langsung dengan udara dan kerusakan utama terjadi selama berlangsungnya proses pengeringan. Dalam penelitian ini, kerusakan vitamin C diperkecil dengan penambahan dan perendaman vitamin C. Vitamin C dapat berperan sebagai stabilizer dan antioksidan. Larutan vitamin C dapat mempertahankan kandungan vitamin C dalam buah jambu biji. Semakin tinggi konsentrasi maltodekstrin yang diberikan maka kadar vitamin C tepung akan semakin turun. Namun pada konsentrasi yang sama, tepung pada suhu pengeringan yang lebih tinggi akan memiliki kandungan vitamin C yang lebih besar, hal ini karena kandungan air dalam tepung semakin kecil. Pada Gambar 23 dapat dilihat bahwa sampel buah jambu untuk pengeringan suhu 160 o C mempunyai kandungan vitamin C tertinggi yaitu mg/100 g bahan, dan hasil akhir tepung pun memiliki kandungan vitamin C yang tertinggi pula yaitu mg/100 g bahan kering. Sampel untuk pengeringan suhu 150 o C mempunyai kandungan vitamin C yang cukup tinggi sebesar mg/100 g bahan, namun setelah proses pengeringan kandungan vitamin C tepung ini lebih rendah daripada tepung pada suhu 170 o C yang notabene kandungan vitamin C untuk sampel awalnya rendah. Hal ini dapat terjadi karena kadar air tepung pada suhu 150 o C lebih tinggi dari tepung suhu 170 o C, sehingga kandungan vitamin C-nya lebih rendah. Kandungan vitamin C tepung pada suhu 150 o C dan 170 o C berturut-turut sebesar mg/100 g bahan kering dan mg/100 g bahan kering. Tepung pada suhu 180 o C mengandung vitamin C yang lebih rendah daripada tepung suhu 160 o C (dapat dilihat pada Gambar 24), karena sampel awal buahnya pun mengandung vitamin C yang lebih rendah pula (dapat dilihat pada Gambar 23). Kandungan vitamin C tepung pada suhu 160 o C dan 180 o C berturut-turut sebesar mg/100 g bahan kering dan mg/100 g bahan kering. Meskipun apabila semakin rendah kandungan air yang dikandung suatu produk maka kandungan vitamin C-nya akan semakin tinggi, apabila pada suhu outlet pengering kabut tinggi, maka akan mempengaruhi dan menurunkan kandungan vitamin C-nya. Tepung pada suhu 150 o C mempunyai kandungan vitamin C yang cukup kecil dan paling rendah dibanding yang lain karena pada saat pengeringan, sampel tidak segera diproses pengeringan, hal ini yang mengakibatkan waktu kontak sampel jambu dengan udara luar semakin lama dan kandungan vitamin C turun drastis. 37

18 Gambar 23. Kandungan vitamin C buah jambu biji pada berbagai suhu pengeringan Gambar 24. Kandungan vitamin C tepung jambu biji pada berbagai suhu pengeringan Pada Tabel 4 mengenai syarat mutu tepung minuman rasa jeruk, kandungan vitamin C minimal adalah sebesar 300 mg/100 gram. Pada keseluruhan tepung mengandung vitamin C diatas batas minimal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sampel tepung bij telah sesuai dengan standar SNI Uji Organoleptik Uji organoleptik merupakan sebuah uji kesukaan yang bersifat subyektif. Uji ini menggunakan panelis yang mempunyai tingkat kesukaan dan kepekaan produk yang berbeda atau bervariasi. Data uji organoleptik pun akan bervariasi pula. Winarno (1988) menyatakan bahwa penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor, antara lain citarasa, warna, tekstur, kerenyahan, sifat mikrobiologis, dan lain-lain. Daya terima terhadap makanan dapat diukur dari citarasanya. Menurut Nasution (1980), faktor utama yang dinilai dari citarasa adalah rupa (meliputi warna, bentuk, dan ukuran), aroma, dan rasa. 38

19 Uji organoleptik pada penelitian ini adalah uji organoleptik kesukaan (hedonik), dengan skala 1-5, yaitu antara sangat tidak suka (1) sampai sangat suka (5). Contoh formulir uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 8. Pengujian yang dilakukan meliputi uji kesukaan terhadap aroma, warna, rasa, dan keseluruhan. Cara penyeduhannya adalah dengan mencampurkan tepung jambu biji sebanyak 14 g dengan air 100 ml, lalu ada penambahan larutan gula 50% sebanyak 20 ml. Penyajian minuman jambu kepada panelis dalam keadaan dingin. Suhu Pengeringan ( o C) Gambar Minuman

20 Suhu Pengeringan ( o C) Gambar Minuman 180 Gambar 25. Minuman dari tepung jambu biji hasil pengeringan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan Warna minuman dari tepung jambu biji pada suhu 150 o C terlihat paling merah, hal ini sesuai dengan nilai kemerahan tepung tersebut. Sedangkan tepung jambu biji pada suhu 180 o C terlihat paling tidak merah, hal ini sesuai dengan nilai kemerahan tepung tersebut yang mempunyai nilai a paling kecil. Warna minuman seduhan dari tepung jambu biji berbeda dengan warna asli dari buah jambu, hal ini karena pada proses pengolahan telah mengalami penambahan maltodekstrin dan perlakuan suhu pengeringan Nilai kesukaan aroma Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 16), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada uji organoleptik aroma pada minuman tepung jambu biji (p < 0.05) pada uji non-parametrik. Uji organoleptik aroma terbaik ada pada minuman tepung hasil pengeringan suhu 160 o C. Minuman tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 160 o C mempunyai mempunyai tingkat kesukaan tertinggi yaitu sebesar 3.2, disusul oleh minuman tepung pada suhu 180 o C sebesar 3.1, lalu tepung suhu 150 o C sebesar 3.07, dan tepung hasil pengeringan suhu 170 o C yang memiliki tingkat kesukaan terendah yaitu sebesar Gambar 26 memperlihatkan histogram uji organoleptik aroma minuman dari tepung jambu biji. 40

21 Gambar 26. Uji organoleptik aroma untuk minuman dari tepung jambu biji Nilai kesukaan warna Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 17), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada uji organoleptik warna pada minuman tepung jambu biji (p > 0.05) pada uji non parametrik. Minuman tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 150 o C mempunyai mempunyai tingkat kesukaan tertinggi yaitu 3.03, disusul oleh minuman tepung pada suhu 170 o C sebesar 2.97, lalu tepung suhu 160 o C sebesar 2.83, dan tepung hasil pengeringan suhu 180 o C yang memiliki tingkat kesukaan terendah yaitu sebesar Gambar 27 memperlihatkan histogram uji organoleptik warna minuman dari tepung jambu biji. Gambar 27. Uji organoleptik warna untuk minuman dari tepung jambu biji Nilai kesukaan rasa Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 18), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada uji organoleptik rasa pada minuman tepung jambu biji (p > 0.05) pada uji non-parametrik. Minuman tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 160 o C mempunyai mempunyai tingkat kesukaan tertinggi yaitu 3.43, disusul oleh 41

22 minuman tepung pada suhu 180 o C yaitu 2.77, lalu tepung suhu 150 o C sebesar 2.73, dan tepung hasil pengeringan suhu 170 o C yang memiliki tingkat kesukaan terendah yaitu sebesar 2.6. Gambar 28 memperlihatkan histogram uji organoleptik rasa minuman dari tepung jambu biji. Gambar 28. Uji organoleptik rasa untuk minuman dari tepung jambu biji Nilai kesukaan keseluruhan Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 19), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada uji organoleptik keseluruhan pada minuman tepung jambu biji (p > 0.05) pada uji non-parametrik. Minuman tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 160 o C mempunyai mempunyai tingkat kesukaan tertinggi yaitu 3.33, disusul oleh minuman tepung pada suhu 150 o C yaitu 3.07, lalu tepung suhu 180 o C sebesar 2.97, dan tepung hasil pengeringan suhu 170 o C yang memiliki tingkat kesukaan terendah yaitu sebesar Gambar 29 memperlihatkan histogram uji organoleptik keseluruhan minuman dari tepung jambu biji. Gambar 29. Uji organoleptik keseluruhan untuk minuman dari tepung jambu biji 42

23 Pemilihan Perlakuan Terbaik Haerani (2003) menyatakan bahwa pemilihan perlakuan terbaik pada keseluruhan sampel diperoleh dari hasil pembobotan secara subyektif. Pembobotan menjadi suatu hal yang penting karena tepung jambu belum memiliki standar mutu SNI. Untuk menentukan perlakuan terbaik, setiap parameter diberikan nilai dari skala 1 sampai 5 berdasarkan penilaian kepentingannya. Nilai 5 diberikan jika parameter pengujian tersebut dianggap sangat penting, 4 jika penting, 3 jika biasa, 2 jika tidak penting, dan 1 jika sangat tidak penting. Nilai kepentingan kemudian dibobotkan kedalam persen. Nilai kepentingan setiap parameter ditentukan atas pertimbangan-pertimbangan yang dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai hasil analisa dari tiap parameter pengujian dirata-rata dan diurutkan sesuai dengan rangking terbaik. Rangking/peringkat terbaik diberi nilai 4, terbaik kedua 3, terbaik ketiga 2, dan peringkat paling rendah pada nomor 1. Pemberian nilai peringkat penting karena pembobotan tidak dapat dilakukan hanya dengan mengalikan nilai hasil analisa dengan bobot. Pada parameter uji, semakin besar nilai hasil analisa, maka nilai peringkatnya semakin tinggi. Nilai total akhir diperoleh dari akumulasi perkalian antara nilai peringkat dikalikan dengan bobot setiap parameter pengujian. Nilai total kemudian dirangking hingga diperoleh perlakuan terbaik. Tabel perhitungan penentuan perlakuan terbaik dengan cara pembobotan dapat dilihat pada Lampiran 20. Tabel 5. Penilaian kepentingan setiap karakteristik tepung jambu biji Karakteristik Dasar Pertimbangan Kepentingan Kisaran Besaran Parameter Nilai (N) Bobot (W) Rendemen Kadar Air %bb Sebaran tepung Kelarutan dalam air Densitas kamba Besarnya nilai rendemen akan mengefisiensikan sumber bahan baku dan biaya proses Kadar air mempengaruhi umur simpan, penampakan dan tekstur. Kadar air yang rendah akan mencegah mikroba tidak tumbuh dan berkembang. Sebaran tepung penting untuk menjadi syarat wajib dalam standar mutu SNI tepung minuman rasa buah Kelarutan dalam air penting untuk menjadi syarat wajib dalam standar mutu SNI tepung minuman rasa buah. Selain itu kelarutan yang rendah menyebabkan banyaknya ampas Densitas kamba penting untuk mengetahui kemasan 6.35% % (1-4) 8.19%bb 10.82%bb (4-1) 150 o C, 170 o C, 160 o C, 180 o C (1-4) 88.10% % (1-4) kg/m kg/m 3 (4-1)

24 Karakteristik Laju pembasahan Vitamin C Kesukaan terhadap keseluruhan (warna, aroma, rasa) Dasar Pertimbangan Kepentingan Kemampuan terbasahi penting, berkaitan dengan cepat tidaknya tepung terbasahi oleh air Potensi terbesar dari tepung jambu yang harus dipertahankan, karena vitamin C memberikan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh Sangat penting, karena merupakan penilaian kesukaan konsumen terhadap keseluruhan produk Kisaran Besaran Parameter 2.30x10-4 kg/menit x10-4 kg/menit (4-1) mg/100 g mg/100 g (1-4) Nilai (N) Bobot (W) (1-4) Total 31 1 Berdasarkan hasil pembobotan, diperoleh tepung jambu biji dengan perlakuan suhu pengeringan 160 o C sebagai perlakuan terbaik dengan nilai Perlakuan terbaik kedua adalah tepung jambu biji suhu pengeringan 180 o C dengan nilai 3.0, perlakuan terbaik ketiga adalah tepung jambu biji pada suhu pengeringan 150 o C dengan nilai 1.83, dan perlakuan terbaik keempat adalah tepung pada suhu pengeringan 170 o C dengan nilai

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai dari bulan Maret hingga Mei 2011, bertempat di Laboratorium Pilot Plant PAU dan Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian umur simpannya akan

HASIL DAN PEMBAHASAN. yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian umur simpannya akan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Enkapsulasi Minyak Cengkeh Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan perbandingan konsentrasi yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Analisis Kimia.1.1 Kadar Air Hasil analisis regresi dan korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah dekstrin yang ditambahkan pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Pendahuluan Penentuan Konsentrasi Mikroenkapsulan

4. PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Pendahuluan Penentuan Konsentrasi Mikroenkapsulan 4. PEMBAHASAN Pada penelitian ini, dilakukan pembuatan minuman serbuk instan campuran sari buah jambu biji merah dan wortel dengan menggunakan alat pengering semprot/ spary dryer. Komponen-komponen nutrisi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU BUBUK Menurut Chandan (1997), susu segar secara alamiah mengandung 87.4% air dan sisanya berupa padatan susu sebanyak (12.6%). Padatan susu terdiri dari lemak susu (3.6%)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

STANDAR NASIONAL INDONESIA SNI SNI UDC =========================================== SAUERKRAUT DALAM KEMASAN

STANDAR NASIONAL INDONESIA SNI SNI UDC =========================================== SAUERKRAUT DALAM KEMASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA SNI 01-2600 - 1992 SNI UDC =========================================== SAUERKRAUT DALAM KEMASAN =========================================== DEWAN STANDARDISASI NASIONAL PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah,(3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan

Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan 1. Penentuan Formulasi Bubur Instan Berbasis Tepung Komposit : Tepung Bonggol Pisang Batu dan Tepung Kedelai Hitam Tujuan: - Mengetahui

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan September Desember 2016 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan September Desember 2016 di 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2016 - Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan Fakultas Peternakan dan Pertanian. Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut 4. PEMBAHASAN Pembuatan minuman serbuk daun katuk dan jambu biji merah merupakan sebuah penelitian pengembangan produk yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai fungsional pada bahan alami dengan lebih mudah

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Saus cabe

SNI Standar Nasional Indonesia. Saus cabe Standar Nasional Indonesia Saus cabe ICS 67.080.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi... 1 4 Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik di pasar domestik maupun internasional. Selain itu, juga didukung dengan

BAB I PENDAHULUAN. baik di pasar domestik maupun internasional. Selain itu, juga didukung dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang berpotensi dikembangkan untuk agroindustri dan menjadi komoditas ekspor unggulan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan-bahan untuk persiapan bahan, bahan untuk pembuatan tepung nanas dan bahan-bahan analisis. Bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5)

BAB I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) BAB I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

7.1. Foto Proses Pembuatan Susu Bubuk Koro Pedang Putih

7.1. Foto Proses Pembuatan Susu Bubuk Koro Pedang Putih 7. LAMPIRAN 7.1. Foto Proses Pembuatan Susu Bubuk Koro Pedang Putih Pencucian Perebusan (30 menit) Pengupasan Pencampuran Perebusan dengan daun pandan (20 menit) Perendaman (60 jam) Penyaringan Pengadukan

Lebih terperinci

1. PROSPEK TEH HIJAU SEBAGAI INDUSTRI HILIR TEH

1. PROSPEK TEH HIJAU SEBAGAI INDUSTRI HILIR TEH TEKNOLOGI HILIR TEH Pokok Bahasan : 1. Prospek Teh Hijau Sebagai Bahan Baku Industri Hilir Teh 2. Teh Wangi 3. Teh Instan 4. Tablet Effervescent Teh Hijau (TETH) 5. Teh Katekin Tinggi 6. Teh celup, botol

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGERINGAN BEKATUL Proses pengeringan bekatul dilakukan dengan pengering rak karena cocok untuk bahan padat, suhu udara dapat dikontrol, dan terdapat sirkulator udara. Kipas

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Sari buah tomat. Badan Standardisasi Nasional ICS

SNI Standar Nasional Indonesia. Sari buah tomat. Badan Standardisasi Nasional ICS Standar Nasional Indonesia Sari buah tomat ICS 67.160.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang Iigkup...1 2 Acuan... 1 3 Definisi... 1 4 Syarat mutu...2 5 Pengambilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Buah merupakan sumber penting dalam pemenuhan kebutuhan vitamin dan juga karbohidrat bagi tubuh. Buah memiliki rasa yang unik dan juga mengandung kalori yang rendah.

Lebih terperinci

7. LAMPIRAN. Lampiran 1. Kandungan Gizi Labu Kuning. Tabel 5. Kandungan Gizi dalam 100 g Labu Kuning. Kandungan Gizi. 0,08 mg.

7. LAMPIRAN. Lampiran 1. Kandungan Gizi Labu Kuning. Tabel 5. Kandungan Gizi dalam 100 g Labu Kuning. Kandungan Gizi. 0,08 mg. 7. LAMPIRAN Lampiran 1. Kandungan Gizi Labu Kuning Tabel 5. Kandungan Gizi dalam 100 g Labu Kuning Kandungan Gizi Kalori Protein Lemak Hidrat arang Kalsium Fosfor Zat besi Vitamin A Vitamin B 1 Vitamin

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula pasir merupakan sumber bahan pemanis yang banyak digunakan, baik untuk keperluan konsumsi rumah tangga maupun untuk bahan baku industri makanan dan minuman. Gula

Lebih terperinci

III. METODELOGI. Penelitian dilaksanakan di laboratorium PT KH Roberts Indonesia dan

III. METODELOGI. Penelitian dilaksanakan di laboratorium PT KH Roberts Indonesia dan 29 III. METODELOGI Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium PT KH Roberts Indonesia dan laboratorium program studi ilmu pangan di Bogor. Pelaksanan penelitian dilakukan selama 6 bulan dari

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Permen Jelly Pepaya Karakteristik permen jelly pepaya diketahui dengan melakukan analisis proksimat dan uji mikrobiologis terhadap produk permen jelly pepaya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. poliaromatik hidrokarbon / PAH (Panagan dan Nirwan, 2009). Redestilat asap cair

I. PENDAHULUAN. poliaromatik hidrokarbon / PAH (Panagan dan Nirwan, 2009). Redestilat asap cair I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asap cair tempurung kelapa merupakan hasil pirolisis tempurung kelapa yang komponen penyusunnya berupa selulosa, hemiselulosa dan lignin, yang dimurnikan dengan proses

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max Merr) dengan kandungan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max Merr) dengan kandungan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ampas Tahu Ampas tahu merupakan limbah dari pembuatan tahu. Bahan utama pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max Merr) dengan kandungan protein sekitar 33-42% dan kadar

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan.

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan. BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa usia bayi dibawah tiga tahun merupakan fase emas pertumbuhan yang harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan. Winarno dan Rika

Lebih terperinci

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG Qanytah Tepung jagung merupakan butiran-butiran halus yang berasal dari jagung kering yang dihancurkan. Pengolahan jagung menjadi bentuk tepung lebih dianjurkan dibanding produk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. populer di kalangan masyarakat. Berdasarkan (SNI ), saus sambal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. populer di kalangan masyarakat. Berdasarkan (SNI ), saus sambal 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saus Sambal Saus Sambal merupakan salah satu jenis pangan pelengkap yang sangat populer di kalangan masyarakat. Berdasarkan (SNI 0129762006), saus sambal didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kelezatannya (Anonim a, 2006). Manggis menyimpan berbagai manfaat yang luar

I. PENDAHULUAN. kelezatannya (Anonim a, 2006). Manggis menyimpan berbagai manfaat yang luar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manggis (Garcinia mangostana Linn.) merupakan salah satu tanaman buah asli Indonesia yang mempunyai potensi ekspor sangat besar. Tanaman ini mendapat julukan ratunya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak Firman Jaya OUTLINE PENGERINGAN PENGASAPAN PENGGARAMAN/ CURING PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada umunya merupakan hasil proses pengeringan menggunakan spray dryer.

BAB I PENDAHULUAN. pada umunya merupakan hasil proses pengeringan menggunakan spray dryer. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengolahan bahan hasil pertanian menjadi produk akhir berbentuk serbuk, pada umunya merupakan hasil proses pengeringan menggunakan spray dryer. Kelebihan produk akhir

Lebih terperinci

A. WAKTU DAN TEMPAT B. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN. 1. Penelitian Tahap I

A. WAKTU DAN TEMPAT B. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN. 1. Penelitian Tahap I III. METODE PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, bertempat di Laboratorium Rekayasa dan Proses Pengolahan Pangan Departemen Ilmu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik susu kambing segar. 9,70±0,10 8,37 10,45 3) Minimal 8,0

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik susu kambing segar. 9,70±0,10 8,37 10,45 3) Minimal 8,0 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Karakterisasi sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing segar Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Kerupuk Jagung 4.1.1 Pencampuran Adonan Proses pencampuran adonan ada dua kali yaitu dengan cara manual (tangan) dan kedua dengan menggunakan mixer. Langkah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apokat (KBBI: Avokad), alpukat, atau Persea americana Mill merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apokat (KBBI: Avokad), alpukat, atau Persea americana Mill merupakan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alpukat Apokat (KBBI: Avokad), alpukat, atau Persea americana Mill merupakan buah yang berasal dari Amerika Tengah, termasuk famili Lauraceae, yaitu suatu famili tanaman

Lebih terperinci

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang AgroinovasI Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang Pisang kaya akan karbohidrat dan mempunyai kandungan gizi yang baik yaitu vitamin (provitamin A, B dan C) dan mineral

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 22 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang, Kegiatan penelitian ini dimulai pada bulan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODA PENELITIAN

BAHAN DAN METODA PENELITIAN BAHAN DAN METODA PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2016 hingga Januari 2017 di Laboratorium Teknologi Pangan Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Pelet Daun Indigofera sp. Pelet daun Indigofera sp. yang dihasilkan pada penelitian tahap pertama memiliki ukuran pelet 3, 5 dan 8 mm. Berdasarkan hasil pengamatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pembuatan Tablet Effervescent Tepung Lidah Buaya. Tablet dibuat dalam lima formula, seperti terlihat pada Tabel 1,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pembuatan Tablet Effervescent Tepung Lidah Buaya. Tablet dibuat dalam lima formula, seperti terlihat pada Tabel 1, 35 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Tablet Effervescent Tepung Lidah Buaya Tablet dibuat dalam lima formula, seperti terlihat pada Tabel 1, menggunakan metode kering pada kondisi khusus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biji nangka merupakan salah satu limbah organik yang belum dimanfaatkan secara optimal, padahal biji nangka memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi yaitu karbohidrat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak masyarakat Indonesia mengkonsumsi buah-buahan bertujuan untuk

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak masyarakat Indonesia mengkonsumsi buah-buahan bertujuan untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak masyarakat Indonesia mengkonsumsi buah-buahan bertujuan untuk menyediakan kebutuhan akan serat dan vitamin dalam jumlah yang memadai. Buahbuahan memegang peranan

Lebih terperinci

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Produksi Kopi Biji Salak dengan Penambahan Jahe Merah dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016 di Laboratorium Rekayasa Proses dan

Lebih terperinci

Minuman sari buah SNI

Minuman sari buah SNI Standar Nasional Indonesia Minuman sari buah ICS 67.160.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Pendahuluan...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Definisi... 1 3 Syarat mutu... 1 4 Cara pengambilan contoh...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daun stevia merupakan daun yang berasal dari tanaman stevia (Stevia

BAB I PENDAHULUAN. Daun stevia merupakan daun yang berasal dari tanaman stevia (Stevia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daun stevia merupakan daun yang berasal dari tanaman stevia (Stevia rebaudiana Bertoni) yang sudah banyak digunakan oleh masyarakat Paraguay sejak ratusan tahun yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA SUSU KAMBING

II. TINJAUAN PUSTAKA SUSU KAMBING II. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU KAMBING Susu kambing adalah cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ruminansia dari jenis kambing-kambingan (Capriane). Bangsa hewan ini mulai menghasilkan susu sejak masa

Lebih terperinci

Lampiran 1. Uji Post Hoc One Way Anova Rendemen Kelolosan Tepung Bengkuang "Lokal 1" dan "Lokal 2 dengan Berbagai Perlakuan Pretreatment

Lampiran 1. Uji Post Hoc One Way Anova Rendemen Kelolosan Tepung Bengkuang Lokal 1 dan Lokal 2 dengan Berbagai Perlakuan Pretreatment 7. LAMPIRAN Lampiran 1. Uji Post Hoc One Way Anova Rendemen Kelolosan Tepung Bengkuang "Lokal 1" dan "Lokal 2 dengan Berbagai Perlakuan Pretreatment Rendemen_Kelolosan N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 6 91.03550

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING (Laporan Penelitian) Oleh PUTRI CYNTIA DEWI JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PETANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri. Pemanis yang umumnya digunakan dalam industri di Indonesia yaitu

BAB I PENDAHULUAN. industri. Pemanis yang umumnya digunakan dalam industri di Indonesia yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanis merupakan bahan yang sering digunakan untuk keperluan produk olahan pangan seperti makanan dan minuman baik skala rumah tangga maupun industri. Pemanis yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biji Jali Tanaman jali termasuk dalam tanaman serealia lokal. Beberapa daerah menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai. Klasifikasi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur dan Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jambu Biji Jambu biji termasuk dalam family Myrtaceae, kelas Dycotyledoneae, dengan nama botani Psidium guajava, L. Tanaman ini sering disebut jambu biji, jambu siki, dan jambu

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Saus tomat ICS Badan Standardisasi Nasional

SNI Standar Nasional Indonesia. Saus tomat ICS Badan Standardisasi Nasional Standar Nasional Indonesia Saus tomat ICS 67.080.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan normatif...1 3 Istilah dan definisi...1 4 Persyaratan...1

Lebih terperinci

Pewarna Alami untuk Pangan MERAH BIT

Pewarna Alami untuk Pangan MERAH BIT MERAH BIT Bit atau Beta vulgaris merupakan tumbuhan yang banyak dijumpai di Eropa dan sebagian Asia serta Amerika Serikat. Daun tanaman bit banyak dimanfaatkan sebagai sayur. Namun tanaman ini dibudidayakan

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66 DAFTAR LAMPIRAN No. Judul Halaman 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan... 66 a. Ekstraksi pati ganyong... 66 b. Penentuan kisaran konsentrasi sorbitol untuk membuat edible film 68 c. Penentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selai adalah buah yang masak dan tidak ada tanda-tanda busuk. Buah yang

BAB I PENDAHULUAN. selai adalah buah yang masak dan tidak ada tanda-tanda busuk. Buah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah-buahan merupakan bahan pangan sumber vitamin. Buah cepat sekali rusak oleh pengaruh mekanik, kimia dan mikrobiologi sehingga mudah menjadi busuk. Oleh karena itu,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian eksperimen di bidang llmu teknologi pangan yang ditunjang dengan studi literatur. B. Waktu dan tempat penelitian Pembuatan

Lebih terperinci

Kajian Penambahan Dekstrin Terhadap Kadar Vitamin C Dalam Pengolahan Bubuk Sari Jeruk Instan dengan Metode foam-mat drying. Oleh : Tamrin 1.

Kajian Penambahan Dekstrin Terhadap Kadar Vitamin C Dalam Pengolahan Bubuk Sari Jeruk Instan dengan Metode foam-mat drying. Oleh : Tamrin 1. Kajian Penambahan Dekstrin Terhadap Kadar Vitamin C Dalam Pengolahan Bubuk Sari Jeruk Instan dengan Metode foam-mat drying Oleh : Tamrin 1 1 Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi dan Industri

Lebih terperinci

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN Paper Pendugaan Umur Simpan Produk Kopi Instan Formula Merk-Z Dengan Metode Arrhenius, kami ambil dari hasil karya tulis Christamam Herry Wijaya yang merupakan tugas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. Indonesia memiliki beraneka ragam jenis umbi-umbian yang belum

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. Indonesia memiliki beraneka ragam jenis umbi-umbian yang belum I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. super merah dilaksanakan pada bulan Februari - Maret 2017, pengujian overrun,

BAB III MATERI DAN METODE. super merah dilaksanakan pada bulan Februari - Maret 2017, pengujian overrun, 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian pembuatan es krim dengan penambahan ekstrak kulit buah naga super merah dilaksanakan pada bulan Februari - Maret 2017, pengujian overrun, resistensi pelelehan, total

Lebih terperinci

Kajian Pembuatan Bumbu Dari Bawang Putih (Allium sativum) Dan Daun Jeruk Purut (Cytrus hystrix) Menggunakan Pengering Tipe Rak

Kajian Pembuatan Bumbu Dari Bawang Putih (Allium sativum) Dan Daun Jeruk Purut (Cytrus hystrix) Menggunakan Pengering Tipe Rak Vol. No., Juni, 6-66 Kajian Pembuatan Bumbu Dari Bawang Putih (Allium sativum) Dan Daun Jeruk Purut (Cytrus hystrix) Menggunakan Pengering Tipe Rak Aninatul Fuadah*, Sumardi Hadi Sumarlan, Yusuf Hendrawan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat 20 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat di Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca Panen, Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup murah. Selain itu, jambu biji juga memiliki khasiat untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup murah. Selain itu, jambu biji juga memiliki khasiat untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Jambu biji merupakan salah satu buah yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Jambu biji ini sangat populer karena mudah didapat dan memiliki harga yang cukup murah.

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2013 di Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri makanan dan minuman sering menggunakan pemanis sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Industri makanan dan minuman sering menggunakan pemanis sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri makanan dan minuman sering menggunakan pemanis sebagai penambah cita rasa pada produknya. Bahan pemanis alami yang biasa digunakan adalah gula yang berasal

Lebih terperinci

Ahmad Zaki Mubarok Kimia Fisik Pangan. Silika

Ahmad Zaki Mubarok Kimia Fisik Pangan. Silika Ahmad Zaki Mubarok Kimia Fisik Pangan Silika 1 Glass transition adalah transisi yang bersifat reversibel pada bahan amorphous dari keadaan keras/kaku menjadi bersifat cair/plastis. Temperature dimana terjadi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian pembuatan berondong beras dan berondong ketan dilakukan di Industri Rumah Tangga Berondong Beras, Sumedang. Penelitian selanjutnya, yaitu pembuatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Standar Nasional Indonesia mendefinisikan tepung terigu sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Standar Nasional Indonesia mendefinisikan tepung terigu sebagai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Terigu Standar Nasional Indonesia 01-3751-2006 mendefinisikan tepung terigu sebagai tepung yang berasal dari endosperma biji gandum Triticum aestivum L.(Club wheat) dan

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

Sifat Fisik Dan Organoleptik Jamu Instan Plus

Sifat Fisik Dan Organoleptik Jamu Instan Plus Sifat Fisik Dan Organoleptik Jamu Instan Plus Catur Budi Handayani, A. Intan Niken Tari Program Studi Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo Jl. Letjen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biskuit Menurut SNI 2973-2011, biskuit merupakan salah satu produk makanan kering yang dibuat dengan cara memanggang adonan yang terbuat dari bahan dasar tepung terigu atau

Lebih terperinci

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA Agus Budiyanto, Abdullah bin Arif dan Nur Richana Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian n Disampaikan Pada Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional 2016

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan alternatif (Aboulfalzli et al., 2015). Es krim merupakan produk olahan susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan alternatif (Aboulfalzli et al., 2015). Es krim merupakan produk olahan susu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Es Krim Es krim merupakan produk susu beku yang banyak dikonsumsi masyarakat karena memiliki gizi tinggi dan banyak dikembangkan dari berbagai bahan alternatif (Aboulfalzli

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Maret 2011 sampai dengan April 2011 di Laboratorium Pengelolaan Limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Lebih terperinci

8. LAMPIRAN. Lampiran 1. Hasil Uji Pendahuluan

8. LAMPIRAN. Lampiran 1. Hasil Uji Pendahuluan 8. LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Uji Pendahuluan Bahan Subtitusi Pengeringan Subtitusi nanas Parameter Bonggol Daging nanas buah nanas Sangrai Oven 75% 50% 25% Overall 2,647 2,653 2,513 2,787 2,880 2,760

Lebih terperinci

Jahe untuk bahan baku obat

Jahe untuk bahan baku obat Standar Nasional Indonesia Jahe untuk bahan baku obat ICS 11.120.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi...

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 3 No.1 ; Juni 2016 ISSN 2407-4624 PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW *RIZKI AMALIA 1, HAMDAN AULI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kriteria yaitu warna, kenampakan, tekstur, rasa, dan aroma. Adapun hasil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kriteria yaitu warna, kenampakan, tekstur, rasa, dan aroma. Adapun hasil Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Organoleptik Ikan Tongkol Asap Uji organoleptik/mutu hedonik ikan tongkol asap dinilai berdasarkan pada kriteria yaitu warna, kenampakan, tekstur,

Lebih terperinci

Udara ambien Bagian 4: Cara uji kadar timbal (Pb) dengan metoda dekstruksi basah menggunakan spektrofotometer serapan atom

Udara ambien Bagian 4: Cara uji kadar timbal (Pb) dengan metoda dekstruksi basah menggunakan spektrofotometer serapan atom Standar Nasional Indonesia Udara ambien Bagian 4: Cara uji kadar timbal (Pb) dengan metoda dekstruksi basah menggunakan spektrofotometer serapan atom ICS 13.040.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Es Krim Es krim adalah produk pangan beku yang dibuat melalui kombinasi proses pembekuan dan agitasi pada bahan-bahan yang terdiri dari susu dan produk susu, pemanis, penstabil,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah melon yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci