IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan bejana berjungkit sebagai alat pengukuran memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan pengggunaan alat pengkuran konvensional. Kelebihan alat ini memberikan kemudahan dalam melakukan pengukuran di lapang. Bejana berjungkit dirancang untuk melakukan pengiriman sinyal secara otomatis ke dalam alat perekam data. Sehingga, tidak perlu melakukan peritungan manual untuk mengetahui jumlah air yang jatuh sebagai curahan tajuk dan aliran batang. Penggunaan alat ini saat di lokasi penelitian tidak memiliki masalah yang signifikan, sehingga sangat efisien dan efektif digunakan untuk melakukan penelitian..1 Kalibrasi bejana berjungkit Kalibrasi statik Bejana berjungkit yang digunakan dalam penelitian dilakukan kalibrasi terlebih dahulu untuk mendapatkan data perhitungan yang akurat. Kalibrasi yang dilakukan yaitu kalibrasi statik dan dinamik. Kalibrasi dilakukan terhadap semua bejana berjungkit untuk melihat karakteristik dari masing-masing alat tersebut. Kapasitas tampung bejana saat awal pembuatan alat di rancang memiliki kapasitas yang sama dengan menentukan bentuk, panjang dan sudut yang sama pada setiap bucket. Namun, dari hasil kalibrasi statik ternyata terdapat perbedaan kapasitas tampung pada masing-masing sisi bejana. Kapasitas awal yang diinginkan setiap sisi bejana pada bejana berjungkit aliran batang adalah sebesar ml dan untuk bejana berjungkit curahan tajuk adalah 3 ml. Hasil kalibrasi statik pada bejana berjungkit aliran batang menunjukkan kapasitas bejana pada masing-masing sisi dengan nilai yang bervariasi berkisar dari 3 ml sampai dengan 3 ml (Lampiran 1) Perbedaan ini dapat disebabkan beberapa hal diantaranya bentuk bejana, posisi dan sudut dari peletakkan bejana pada pipa T pada masing-masing bejana berjungkit. Walaupun tampak sama secara kasat mata, dimungkinkan ada sedikit perbedaan yang menyebabkan kapasitas yang berbeda pada masing-masing sisi bejana. Kapasitas tampung bejana pada bejana berjungkit curahan tajuk juga memiliki variasi nilai, yaitu berkisar antara 16 ml sampai dengan 33 ml (Lampiran ). Perbedaan yang ada pada masing-masing sisi bejana tidak menjadi masalah, dikarenakan nilai kalibrasi ini akan disertakan dalam perhitungan dan analisis hasil pengukuran. Sehingga perhitungan yang dilakukan dapat menghasilkan data yang akurat. Kalibrasi statik dapat menunjukkan kekonsistenan alat pengukuran, kapasitas tampung pada masing-masing sisi bejana tidak memiliki perbedaan nilai yang jauh pada setiap ulangan. Ditunjukkan pada kisaran nilai standar deviasi yang relatif kecil. Nilai ini menunjukan penyimpangan data hasil kalibrasi pada setiap ulangan (Lampiran 1). Kalibrasi dinamik Kalibrasi dinamik merupakan suatu cara untuk mereduksi besarnya air yang tidak terhitung sebagai akibat dari mekanisme bejana berjungkit saat terjadi jungkitan. Air yang masuk ke dalam lubang bejana berjungkit tidak terhitung ketika posisi bejana yang terisi air kembali ke posisi istirahat (tidak terisi air). Kalibrasi dinamik dilakukan untuk menghitung jumlah air yang tidak terhitung. Namun hasil kalibrasi dinamik ini efektif untuk aliran air yang sangat tinggi saat pengukuran (Calder dan Kidd, 197). Hal ini dapat dimaksudkan pada aliran yang tinggi, dinamika jungkitan pada bejana berjungkit bernilai maksimal. Artinya waktu antar jungkitan sangat cepat sehingga air yang tidak terhitung akan lebih besar. Kalibrasi dinamik dilakukan dengan memberikan laju aliran yang berbeda menggunakan pompa air berdaya rendah. Aliran air yang diberikan untuk bejana berjungkit aliran batang yaitu : 19 ml/detik, 13 ml/detik, 9 ml/detik, ml/detik dan 5 ml/detik. Sedangkan aliran air untuk bejana berjungkit curahan tajuk dilakukan dengan aliran yang bervariasi yaitu ; 77 dan 3 ml/detik, 63 dan 67 ml/detik, -5 ml/detik, -9 ml/detik dan 1-1 ml/detik (Lampiran 3 dan ). Kalibrasi dinamik menghasilkan nilai aliran air (Q) dan waktu antar jungkitan (T) yang secara grafik dapat diplotkan antara 1/Q dan T, sehingga akan didapatkan persamaan kalibrasi dinamik yang dapat digunakan untuk melakukan perhitungan hasil pengukuran dengan persamaan 1. 9

2 Tabel 5. Persamaan hasil kalibrasi dinamik setiap bejana berjungkit Bejana berjungkit curahan No. Tajuk 1 TBB 1 y = 6.7x +.56 TBB y = 9.x TBB y = 96.3x +.65 TBB 5 y = 76.3x TBB y = 63.x +.33 Bejana berjungkit Aliran Batang 6 TBK 1 y = 33.93x TBK y = 6.13x TBK 3 y = 33.77x TBK y = 6.91x TBK 5 y = 3.x Nilai yang diperoleh dari kalibrasi statik dan dinamis digunakan untuk melakukan perhitungan dengan menentukan resolusi tiap bejana berjungkit... Resolusi tiap bejana berjungkit Nilai yang diperoleh dari hasil kalibrasi statik dan dinamik merupakan nilai kapasitas tampung tiap sisi bucket pada masing-masing bejana berjungkit. Nilai ini sangat penting untuk menentukan besarnya resolusi (dalam satuan mm) yang digunakan dalam perhitungan data hasil pengukuran. Perhitungan resolusi untuk alat pengukuran curahan tajuk didapatkan dari persamaan dengan menghitung luas permukaan dari talang penampung tersebut. Kemiringan sudut yang dibentuk sangat kecil, sehingga luas permukaan tidak berkurang sesuai dengan dimensi dari talang penampung tersebut. Resolusi bejana berjungkit disesuaikan dengan kondisi sisi masing-masing bucket yang berbeda dan hasil dari kalibrasi dinamik. Tabel 6. Resolusi bejana berjungkit curahan tajuk (dalam mm) No. TBB Sisi 1 Sisi TBB 1..1 TBB.. TBB.. TBB 5.1. TBB..1 Nilai resolusi dari masing-masing bejana berjungkit curahan tajuk berkisar antara.1-. mm. Hal ini menunjukkan perbedaan kapasitas tidak bepengaruh besar terhadap resolusinya. Nilai tersebut digunakan untuk perhitungan curahan tajuk dengan asumsi jungkitan yang pertama merupakan sisi 1 dan selanjutnya adalah sisi. Tabel 7. Resolusi bejana berjungkit aliran batang (dalam mm) No. TBK Sisi 1 Sisi TBK 1.7. TBK..5 TBK 3.. TBK.. TBK 5.. Bejana berjungkit yang digunakan untuk pengukuran aliran batang dengan resolusi berkisar.-.7 mm. Tiga dari lima bejana berjungkit yang digunakan untuk pengukuran ini memiliki resolusi masing-masing sisi yang seragam yaitu. mm. Tabel. Resolusi dengan persamaan kalibrasi dinamik T (detik) TBB 1 TBB TBB TBB 5 TBB Stem Flow TBK 1 TBK TBK 3 TBK TBK Hasil perhitungan menunjukkan bahwa resolusi tertinggi ketika waktu antar jungkitan (T) adalah 3 detik. Selain itu juga waktu antar jungkitan (T) pada data hasil pengukuran curahan tajuk dan aliran batang nilainya tidak lebih kecil dari 3 detik. Nilai waktu antar jungkitan (T) yang lebih besar dari 3 detik menggunakan resolusi kalibrasi statik untuk perhitungan curahan tajuk dan resolusi kalibrasi statik (Tabel 7) untuk perhitungan aliran batang. Hal ini sesuai dengan pendapat Calder dan Kidd (197) yaitu ketika aliran air rendah dan nilai waktu T lebih besar 1

3 dari nilai t dari hasil persamaan dinamik maka nilainya setara dengan kalibrasi statik..3. Komponen Intersepsi.3.1 Curah hujan Tercatat 3 kejadian hujan yang teramati selama penelitian. Total curah hujan harian bervariasi dari 1.6 mm sampai 7. mm (Gambar ). Curah hujan diamati dengan penakar hujan tipe bejana berjungkit dengan resolusi. mm dan perekaman data otomatis berinterval 6 menitan (Lampiran 11). Total curah hujan selama penelitian adalah 76. mm dengan total lama hujan sebesar 3.6 jam. Intensitas tertinggi (3. mm/jam) terjadi pada tanggal 15 November 7 dengan curah hujan sebesar 37. mm dan terjadi selama 1.1 jam. Sedangkan intensitas terendah sebesar mm/jam yang terjadi pada tanggal 17 November 7 dengan curah hujan sebesar 1.6 mm. Distribusi curah hujan (Gambar ) menunjukkan bahwa curah hujan kurang atau sama dengan mm/hari lebih sering terjadi selama penelitian yaitu kejadian hujan. Jadi selama penelitian menunjukkan kelas hujan sangat ringan dan ringan lebih sering terjadi. Tabel 9. Kelas hujan berdasarkan total curah hujan harian (mm/hari) Kategori Hujan Jeluk (mm/hari) Hujan sangat ringan < 5 Hujan ringan 5- Hujan normal -5 Hujan Lebat 5-1 Hujan sangat lebat >1 (Sumber: Sosrodarsono, 3) Hal ini sesuai dengan pengamatan selama penelitian bahwa hujan yang terjadi di daerah pegunungan termasuk hujan ringan dan terjadi dalam waktu yang lama. Kejadian ini akibat terbentuknya awan hujan sebagai akibat pengaruh dari orografis yang disebut sebagai hujan orografik. Tipe hujan seperti ini terjadi karena naiknya udara lembab secara paksa oleh pegunungan sehingga membawa udara sampai tahap kondensasi. Udara stabil yang naik menghasilkan awan tipe stratus dengan indikasi curah hujan ringan yang dan jatuh dalam waktu yang lama (Handoko, 1995) Berdasarkan distribusi intensitas hujan harian selama penelitian (Gambar 3) menunjukkan intensitas hujan selama penelitian lebih banyak pada selang kurang dari 5 mm/jam Curah Hujan (mm) yaitu sebanyak 13 kejadian hujan. Sedangkan intensitas lebih besar atau sama dengan 3 mm/jam sebanyak kejadian hujan Frekuejnsi Grafik Curah Hujan di Cangkuang -Oct 3-Oct 5-Oct 7-Oct 9-Oct 31-Oct 7-Nov 9-Nov 11-Nov 13-Nov 15-Nov 17-Nov 7-Nov 3-Nov 3-Des 5-Des 9-Des Tanggal Gambar. Distribusi curah hujan selama penelitian ( Okt-11 Des 7) Distribusi Intensitas Curah Hujan di Cangkuang < >3 Intensitas (mm/jam) Gambar 3. Intensitas hujan selama penelitian.3. Curahan tajuk Data hasil pengukuran selama penelitian menunjukkan besarnya nilai curahan tajuk pada masing-masing kejadian hujan yang berkisar dari.66 mm sampai 3.36 mm. Total keseluruhan curahan tajuk selama penelitian yaitu 35.6 mm dari total curah hujan (76. mm) atau sekitar 57.3 %. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Kaimuddin (199) dengan persentase curahan tajuk pada tegakan yang sejenis yaitu sebesar 79.5 % dengan total curah hujan 71.9 mm. Persentase curahan tajuk pada masingmasing curah hujan yang terjadi selama penelitian bervariasi dari.39 % sampai %. Nilai ini merupakan persentase yang cukup tinggi, sehingga menunjukkan bahwa curahan tajuk merupakan bagian yang paling besar dari curah hujan yang menyentuh lantai hutan. Penggunaan 5 buah talang dibawah tajuk untuk mengukur curahan tajuk dapat dikatakan Intensitas 11

4 cukup mewakili kondisi tajuk sesuai dengan penelitian Leyton dan Carlisle (1959) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan jumlah curahan tajuk dalam satu tajuk vegetasi. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kondisi tajuk dalam satu vegetasi Karakteristik daun dari tanaman A.loranthifolia Sal. dengan bentuk yang kecil menjadikan luas permukaan tajuk tanaman ini kecil. Selain itu letak percabangan yang tidak beraturan juga menjadikan posisi daun dalam a) 16 Intensitas Curah Hujan dan Curahan Tajuk 16 November 7 keadaan miring keatas dan kebawah yang menyebabkan air hujan tidak tertahan lama pada tajuk. Faktor lain dari curah hujan yang berpengaruh terhadap besarnya curahan tajuk adalah intensitas hujan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menentukan besarnya intensitas hujan dari data 6 menitan. Intensitas curahan tajuk meningkat dengan meningkatnya intensitas hujan. Hal ini juga menunjukkan peningkatan jumlah curahan tajuk yang jatuh ke lantai hutan (Gambar ). Intensitas ( mm/ 6 menit ) Tf 16 Intensitas Curah Hujan dan Curahan Tajuk 15 November : 15:6 15:1 15:1 15: 15:3 15:36 15: 15: 15:5 16: 16:6 16:1 16:1 16: 16:3 16:36 16: 16: 16:5 1:5 15:1 15: 16:6 16:3 16:5 17:1 17: 1:6 1:3 1:5 19:1 19: :6 :3 :5 1:1 1: : 3:1 Intensitas ( mm/ 6 menit ) Tf Gambar. Intensitas curah hujan dan curahan tajuk untuk melihat pengaruh intensitas hujan terhadap besarnya curahan tajuk ; (a) 16 November 7 ; (b) 15 November 7 1

5 .3.3 Aliran batang Aliran batang yang terjadi selama penelitian yaitu sebesar 7.17 mm dari total hujan sebesar 76. mm atau sebsar.9 %. Nilai ini sangat kecil dibandingkan dengan curahan tajuk. Nilai aliran batang pada kejadian hujan bervariasi dari sampai 1.1 mm dengan persentase sebesar sampai. %. Nilai aliran batang yang kecil terjadi karena air hujan yang jatuh di atas tajuk tanaman yang kecil, sehingga air yang mengalir di batang sedikit. Diameter batang tanaman dalam penelitian ini besarnya tidak jauh berbeda, sehingga aliran batang yang dihasilkan tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Asdak et al (199a) menyebutkan bahwa jumlah aliran batang meningkat dengan bertambahnya diameter batang. Hal ini terjadi karena batang utama memiliki waktu yang lebih lama hingga batang tersebut menjadi kering, dapat dimaksudkan bahwa air hujan yang mengalir pada batang dengan diameter yang lebih besar jumlahnya lebih banyak hingga batang tersebut kering setelah hujan berhenti. Intensitas hujan tidak berpengaruh terhadap intensitas aliran batang (Gambar 5) dikarenakan kecilnya air yang mengalir melalui batang dan pengaruh tinggi pohon. Air hujan butuh waktu lebih lama untuk mencapai pangkal batang seiring dengan bertambahnya tinggi pohon (Ford dan Deans, 197) Intensitas Aliran Batang Rataan 16 November :5 15: 15:5 16: 16:5 17: 17:5 1: 1:5 19: 19:5 : :5 1: 1:5 3:6 Intensitas (mm/menit) Sf Intensitas ( mm/ 6 menit ) Intensitas Curah Hujan dan Aliran Batang 15 November 7 Sf 15: 15:6 15:1 15:1 15: 15:3 15:36 15: 15: 15:5 16: 16:6 16:1 16:1 16: 16:3 16:36 16: 16: 16:5 Gambar 5. Intensitas curah hujan dan aliran batang untuk melihat pengaruh intensitas hujan terhadap besarnya aliran batang ; (a) 16 November 7 ; (b) 15 November 7 13

6 Kemiringan cabang (sudut 3 ) pada batang utama dapat menyebabkan air mengalir menuju batang (Ford dan Deans, 197). Sehingga pada percabangan yang condong ke bawah, air tidak dialirkan menuju batang. Kulit batang yang licin memberikan peran besar dalam mengalirkan air hujan melalui batang. Air hujan akan mengalir dengan mudah dibandingkan kulit pohon yang kasar. Kondisi kulit yang kasar dan retak-retak menyebabkan air hujan masuk dan tertahan pada kulit batang. Tinggi bebas cabang juga berpengaruh dalam memberikan kontribusi aliran batang. Banyaknya percabangan pada batang utama dapat mengalirkan air menuju batang utama, sehingga semakin besar tinggi bebas cabang akan berpengaruh terhadap kontribusi aliran batang. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Asdak et al (1999) yang menyatakan bahwa jumlah dan posisi percabangan memengaruhi jumlah aliran batang... Karakteristik Tajuk..1. Kapasitas tajuk Air hujan yang jatuh di atas tajuk suatu vegetasi tidak langsung menembus tajuk dan jatuh menyentuh lantai hujan, melainkan tertahan beberapa saat di tajuk dan kemudian akan jatuh sebagai curahan tajuk. Kondisi ini menunjukkan adanya nilai optimum dari suatu tajuk untuk menyimpan air yang tertahan pada tajuk (jenuh). Kemampuan optimum suatu tajuk mengalami penjenuhan akibat hujan di atas tajuk dikenal dengan nama kapasitas tajuk (S). Nilai kapasitas tajuk akan berbeda tiap vegetasi dan hal ini merupakan karakteristik dari tajuk suatu vegetasi (Asdak et al, 199b). Kapasitas tajuk dapat ditentukan dengan menggunakan metode Leyton et al (1967). Nilai ini diperoleh dengan cara memplotkan nilai curah hujan bruto harian dengan nilai curahan tajuk harian. Kemudian ditarik garis lurus titiktitik terluar (berhadapan dengan sumbu-y) hingga menyentuh sumbu-y melewati sumbu-x dengan nilai curah hujan bernilai. Nilai kapasitas tajuk ditunjukkan dengan nilai intersept negatif dari sumbu-y (curahan tajuk). Titik-titik yang berada di sebelah kanan dari garis yang dibentuk menunjukkan nilai evaporasi minimum dimana terjadi hujan yang ringan namun terjadi curahan tajuk. Hal ini terjadi karena adanya proses evaporasi atmosfer yang tidak sempurna (Leyton et al, 1967). Hal ini dapat dimaksudkan hujan ringan jatuh tidak kontinyu atau terdapat jeda waktu hingga terjadi evaporasi namun sebelum proses itu selesai terjadi hujan kembali. Kondisi di atas juga dapat dikatakan bahwa hujan yang jatuh di atas tajuk tidak mampu untuk menjenuhkan tajuk. Karena terjadi hujan kembali maka tajuk yang basah tertimpa kembali oleh air hujan dan mencapai kapasitas maksimum sehingga air hujan jatuh menyentuh lantai hutan dan menjadi curahan tajuk Nilai kapasitas tajuk A.loranthifolia Sal. yang didapatkan dari hasil plot yaitu sebesar.55 mm. Nilai ini juga dapat menunjukkan curahan tajuk akan terjadi dalam waktu yang singkat setelah hujan terjadi. Nilai curah hujan harian yang terjadi selama penelitian dikatakan dapat menjenuhkan tajuk tanaman ini jika dilihat dari hasil plot dan garis yang dibentuk dari curah hujan dengan curahan tajuk (Lampiran ). Jika dibandingkan dengan nilai kapasitas tajuk hasil penelitian Kaimuddin (199) pada tanaman sejenis didapatkan nilai sebesar.97 mm. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman A.loranthifolia Sal dari hasil penelitian nilai kapasitas tajuk yang lebih rendah menjadikan hujan neto lebih cepat terjadi. Karakteristik tajuk pada tumbuhan ini dengan kondisi tajuk yang kurang rapat, bentuk daun yang kecil dan percabangan yang tidak beraturan berpengaruh terhadap nilai kapasitas tajuk ini. Sehingga air hujan yang diintersepsi oleh tajuk tanaman ini lebih kecil dibandingkan tanaman dengan tajuk yang sangat rapat dan permukaan daun yang luas. Kondisi yang diamati ketika terjadi hujan di dalam plot penelitian, air hujan yang masuk dan menyentuh lantai hutan terlihat sangat jelas. Sehingga tajuk tanaman A.loranthifolia Sal. ini dapat dikatakan memiliki kemampuan yang rendah untuk menahan air hujan yang jatuh.... Porositas tajuk Kerapatan tajuk suatu vegetasi merupakan salah satu faktor terjadinya hujan neto. Tajuk yang kurang rapat akan menyebabkan air hujan mudah lolos dan jatuh melalui tajuk. Porositas tajuk menggambarkan kondisi penutupan tajuk yang menentukan besarnya air yang hujan yang lolos hingga menyentuh permukaan tanah. Nilai porositas tajuk ini berkaitan dengan kerapatan tajuk pada suatu vegetasi. Sehingga jumlah percabangan yang banyak dengan penutupan daun-daun yang rapat memberikan nilai porositas tajuk yang berbeda. 1

7 Nilai porositas tajuk dapat dikatakan memiliki pengaruh berlawanan terhadap besarnya intersepsi, semakin besar porositas tajuk maka semakin kecil intersepsi yang terjadi. Besarnya porositas tajuk dapat diperoleh dari slope persamaan regresi dengan memplotkan curah hujan bruto harian dengan curahan tajuk. Dari data pengukuran curahan tajuk dan curah hujan selama penelitian didapat slope dari persamaan regresi yang menunjukkan nilai porositas tajuk tanaman A.loranthifolia Sal. lorantifolia dalam penelitian ini yaitu sebesar.57. Throughfall (mm) Porositas Tajuk Agathis A.loranthifolia lorantifolia y =.57x R = Tf Linear (Tf) Curah Hujan (mm) Gambar 6. Porositas tajuk A.loranthifolia Sal. Penelitian yang dilakukan oleh Asdak et al (199a) menunjukkan bahwa berkurangnya sejumlah pohon pada area hutan, menyebabkan berkurangnya air hujan yang terintersepsi dan berpengaruh terhadap besarnya nilai porositas tajuk. Nilai porositas tajuk akan bertambah dan kapasitas tajuk akan berkurang pada area hutan yang mengalami penebangan pohon. Berdasarkan hal tersebut karakteristik suatu pohon sangat berpengaruh terhadap nilai kapasitas tajuk, porositas tajuk dan besarnya air yang terintersepsi pada suatu vegetasi dalam areal hutan..5. Intersepsi hujan oleh tajuk A.loranthifolia Sal. Besarnya intersepsi hujan di atas tajuk A.loranthifolia Sal. diperoleh dari selisih curah hujan bruto dengan hujan neto. Curahan tajuk dan aliran batang merupakan curah hujan neto yang masuk hingga menyentuh lantai hutan. Intersepsi selama penelitian dengan total curah hujan 76. mm terhitung sebesar mm atau sebesar 1.75 % dari curah hujan total. Curah hujan neto paling banyak jatuh sebagai curahan tajuk dibandingkan aliran batang. Hal ini terjadi karena kondisi penutupan tajuk yang kurang rapat sehingga air hujan akan mudah lolos melalui celah-celah tajuk. Nilai intersepsi menunjukan besarnya air yang berpotensi untuk terevaporasi ke atmosfer. Hujan neto yang menyentuh lantai hutan akan meresap ke dalam tanah dan menjadi sumber bagi peningkatan jumlah air tanah. Sehingga persentase curah hujan neto yang tinggi dapat dikatakan memiliki pengaruh yang positif bagi kontribusi air dalam tanah pada ekosistem hutan. Nilai hujan neto harian yang tercatat dari hasil pengukuran memiliki nilai yang cukup tinggi, sehingga penanaman pohon A.loranthifolia Sal. ini dapat dikatakan tidak berpengaruh negatif terhadap kontribusi air tanah. Tanaman ini memiliki karakteristik tanaman dengan tajuk yang kurang rapat, luas permukaan daun yang kecil dan percabangan yang tidak beraturan. Besarnya intersepsi hujan suatu vegetasi juga dipengaruhi oleh umur tegakan vegetasi yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, bagian-bagian tertentu akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dari bagian-bagian vegetasi memiliki pengaruh terhadap besarnya kecilnya intersepsi adalah perkembangan kerapatan tajuk, batang dan percabangan dari vegetasi. Semakin besar kerapatan tajuk maka semakin banyak air hujan yang dapat ditahan sementara kemudian diuapkan kembali ke atmosfer. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kaimuddin (199) dengan tanaman yang sejenis dengan penelitian ini namun umurnya lebih tua, didapatkan hasil besarnya intersepsi sebesar 1.31 mm dari total hujan 71.9 mm atau sebesar 1.7 %. Perbedaan ini disebabkan karakteristik tegakan yang berbeda dan telah mengalami perkembangan. Perkembangan cabang yang tumbuh lebih condong ke atas menyebabkan air tidak tertahan pada daun walaupun luas tajuk bertambah. Berdasarkan hasil penelitian jika dibandingkan dengan penelitian Kaimuddin (199). Intersepsi pada penelitian ini berbeda jauh dan cukup besar. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan kesalahan alat dalam melakukan pengukuran. Sehingga nilai hujan neto lebih rendah dari yang sebenarnya. Analisis regresi terhadap intersepsi harian (I) dengan curah hujan harian (CH) menunjukkan hubungan linier. Peningkatan curah hujan akan menyebabkan terjadinya peningkatan air yang terintersepsi (Gambar 7). 15

8 Intersepsi (m m ) Grafik Hubungan Intersepsi dengan Curah Hujan Curah hujan (mm) I =.1 CH +.66 R =.731 Intersepsi Linear (Intersepsi) Gambar 7. Grafik Hubungan intersepsi dan curah hujan Grafik Kumulatif Hujan Bruto dan Neto Selama Pengukuran Oct 3-Oct 5-Oct 7-Oct 9-Oct 31-Oct 7-Nov 9-Nov 11-Nov 13-Nov 15-Nov 17-Nov 7-Nov 3-Nov 3-Des 5-Des 9-Des Kumulatif (mm) I Tanggal Gambar. Grafik kumulatif hujan bruto dan neto yang menggambarkan intersepsi kumulatif selama pengukuran. Gambaran kondisi tajuk hutan tanaman A.loranthifolia Sal. terlihat pada gambar, dengan nilai curah hujan neto meningkat dengan bertambahnya curah hujan bruto. Selisih antara hujan bruto dan neto yang menunjukkan nilai intersepsi kumulatif yaitu sebesar 1.75 %. Kondisi tajuk yang kurang rapat pada vegetasi ini memudahkan air hujan menembus tajuk dan jatuh ke permukaan tanah sebagai hujan neto. Nilai kapasitas tajuk dan porositas tajuk yang diperoleh dari penelitian ini yaitu sebesar.55 mm untuk kapasitas tajuk dan.57 untuk 16

9 porositas tajuk. Nilai tersebut berpengaruh terhadap besarnya air yang terintersepsi yaitu sebesar mm dari total curah hujan selama penelitian. Nilai kapasitas tajuk dapat dikatakan sebagai gambaran kondisi suatu tajuk, sehingga perbedaan pada kedua komponen tersebut akan memberikan perbedaan terhadap besarnya air yang terintersepsi. Meningkatnya nilai kapasitas tajuk akan seiring dengan menurunnya nilai porositas tajuk.6. Kebasahan Tajuk Data hasil pengukuran curahan tajuk dan aliran batang menggunakan perekaman data otomatis dengan waktu kejadian curahan tajuk dan aliran batang yang dapat dilihat memberikan kemudahan untuk melihat kebasahan tajuk selama terjadinya hujan dan dibandingkan dengan data curah hujan interval 6 menitan. Kebasahan tajuk didapatkan dengan memplotkan besarnya hujan neto dan hujan bruto dalam satu sumbu-x dengan waktu kejadian yang sama. Sehingga dapat dilihat nilai hujan neto dan bruto yang terjadi dalam interval waktu 6 menitan. Data yang diperoleh tidak seluruhnya dianalisa untuk melihat kebasahan tajuk. Data curah hujan bruto diurutkan dari yang terkecil sampai terbesar kemudian dikategorikan menurut kelas hujan (Tabel 9) dan dipilih acak dua kejadian hujan pada masing-masing kelas hujan. Sehingga didapatkan kejadian hujan (Tabel 1). Kebasahan tajuk masing-masing titik pengamatan memiliki pola yang tidak jauh berbeda, sehingga analisis dapat dilakukan menggunakan nilai rataan titik pengamatan. Tabel 1. Kelas kebasahan tajuk No Tgl CH Kelas Hujan 1 17-Nov 1.6 Sangat -Nov. Ringan 3 -Des 1. -Okt 1. Ringan 5 1-Nov Nov 3. Normal 7 6-Okt Des 7. Lebat tajuk dan air hujan yang tertahan pada tajuk dan berpotensi untuk terevaporasi ke atmosfer. Kelas hujan sangat ringan Hujan sangat ringan (<5 mm/hari) yaitu sebesar 1.6 mm/hari pada tanggal 17 November 7. Hujan terjadi secara tidak kontinyu, dimana hujan terjadi sesaat yang kemudian berhenti dan kembali lagi hujan. Terlihat tajuk mengalami penjenuhan yang cepat sehingga terjadi hujan neto, kondisi ini disebabkan telah terjadi hujan pada hari sebelumnya. Sehingga tajuk dalam kondisi basah saat terjadi hujan kembali. Ketika hujan berhenti, tetes-tetes tajuk masih terjadi sehingga nilai hujan neto tercatat. Jeda waktu antar kejadian hujan menyebabkan tajuk membutuhkan waktu kembali untuk penjenuhan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya evaporasi ketika hujan berhenti. Kejadian hujan pada tanggal November 7 sebesar. mm memiliki pola yang tidak jauh berbeda dimana hujan terjadi tidak kontinyu. Keadaan ini menjadikan besarnya air yang hilang karena intersepsi menjadi besar. Hal ini disebabkan air yang tertahan pada tajuk akan mengalami evaporasi sebelum terjadi hujan kembali dan air yang tertahan pada tajuk akan terevaporasi setelah hujan berhenti. Pada kondisi seperti ini air yang tertahan pada tajuk akan terevaporasi yang dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan kondisi angin saat itu. Hal ini sesuai dengan pendapat Leyton et al (1967) pada kondisi ini menjadikan tajuk tanaman dalam keadaan basah yang tidak sempurna karena dipengaruhi proses evaporasi ketika periode kering. Sehingga durasi pembasahan tajuk pada curah hujan sangat ringan relatif singkat. Masing-masing kejadian hujan pada kelas kebasahan tajuk dilihat kondisi kebasahan tajuk yang dapat menunjukkan periode kejenuhan 17

10 a), Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 17 November 7,3 Jeluk (m m ),,1 3: 3: 3: :1 :36 1: 1: 1: :1 :36 3: 3: 3: :1 :36 5: 5: 5: 6:1 6:36 7: 7: 7: b). Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal November 7.3 Jeluk (mm)..1 : : : 1:1 1:36 : : : 3:1 3:36 : : : 5:1 5:36 6: 6: 6: 7:1 7:36 : : : Gambar 9. Pola kebasahan tajuk (hujan sangat ringan) untuk menentukan periode kejenuhan dan evaporasi potensial ; (a) 17 November 7; (b) November 7 1

11 a) Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal Desember 7.5 Jeluk (m m ) : 1:36 19:1 19: : 1: 1:36 :1 : 3: : :36 1:1 1: : 3: 3:36 :1 : 5: 6: 6:36 7:1 7: : 9: 9:36 1: 11: 11:36 b) 3,5 Kebasahan Tajuk (Rataan Tiap Pohon) Tanggal Oktober 7 3 Jeluk ( mm),5 1,5 1,5 1: 1: 1: 15:1 15:36 16: 16: 16: 17:1 17:36 1: 1: 1: 19:1 19:36 : : : Gambar 1. Pola kebasahan tajuk (hujan ringan) untuk menentukan periode kejenuhan dan evaporasi potensial ; (a) Desember 7; (b) Oktober 7 19

12 a) Jeluk (m m ) 5,5 3,5 3,5 1,5 1,5 Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 1 November 7 1: 1: 1: 13:1 13:36 1: 1: 1: 15:1 15:36 16: 16: 16: 17:1 17:36 1: 1: 1: 19:1 19:36 : : :1 : b) Jeluk (mm) 5,5 3,5 3,5 1,5 1,5 Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 16 November 7 13: 13: 13: 1:1 1:36 15: 15: 15: 16:1 16:36 17: 17: 17: 1:1 1:36 19: 19: 19: :1 :36 1: 1: 1: :1 :36 3: 3:3 3:5 Gambar 11. Pola kebasahan tajuk (hujan normal) untuk menentukan periode kejenuhan dan evaporasi potensial ; (a) 1 November 7; (b) 16 November 7

13 a) Jeluk (mm) Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 6 Oktober 7 1: 1: 1: 13:1 13:36 1: 1: 1: 15:1 15:36 16: 16: 16: 17:1 17:36 1: 1: 1: 19:1 19:36 : 1:1 1: b) Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 11 Desember 7 Jeluk (mm) 1 6 1: 1: 1: 11:1 11:36 1: 1: 1: 13:1 13:36 1: 1: 1: 15:1 15:36 16: 16: 16: 17:1 17:36 1: 1: 1: 19:1 19:36 : : : 1:1 1:36 : : Gambar 1. Pola kebasahan tajuk (hujan lebat) untuk menentukan periode kejenuhan dan evaporasi potensial ; (a) 6 Oktober 7; (b) 11 Desember 7 1

14 Kelas hujan ringan Kejadian hujan pada tanggal Desember 7 menggambarkan kondisi curah hujan dengan total curah hujan yang seragam dalam tiap interval 6 menitan. Hujan ini terjadi dalam waktu yang lama yaitu jam yang terjadi dari pukul : hingga pukul 5. yang kemudian kembali dibasahi air hujan pada pukul 6.1 (Gambar 11). Pada hari sebelumnya (3 Desember 7) telah terjadi hujan secara kontinyu yang dimulai dari pukul.. Tajuk tanaman ini mengalami kebasahan tajuk yang lama dengan indikasi curahan tajuk terjadi kontinyu selama hujan berlangsung. Pada kondisi ini tajuk dalam keadaan basah total. Sehingga proses evaporasi potensial akan berlangsung selama terjadinya hujan. Hal ini sesuai dengan pendapat Asdak et al (199b) bahwa proses evaporasi mulai terjadi setelah tajuk mencapai kapasitas maksimumnya atau jenuh dan saat periode kering. Sehingga selama tajuk dibasahi, air yang tertahan pada tajuk akan terevaporasi dalam laju potensial. Kejadian hujan pada tanggal Oktober 7 terjadi dalam kurun waktu + jam dengan dengan satu kejadian hujan berdurasi cukup lama. Terlihat tajuk membutuhkan waktu lama untuk menjenuhkan tajuk hingga terjadi hujan neto yang menyentuh lantai hutan. Dalam kejadian hujan pada tanggal Oktober 7 terlihat sangat jelas kondisi pembasahan tajuk tanaman A.loranthifolia Sal. ini. Tajuk dalam kondisi basah total karena hujan terjadi secara kontinyu. Menurut Jackson (197), proses evaporasi akan terjadi ketika terjadi hujan dan akan berhenti setelah tajuk kering. Air yang tertahan pada tajuk selama hujan akan terevaporasi dalam laju potensial. Setelah hujan berhenti dan kondisi kering menunjukkan tajuk akan segera mengalami proses evaporasi dan tajuk kembali kering Kejadian hujan dengan total curah hujan yang tinggi dan terjadi lebih dari satu kejadian hujan akan menyebabkan adanya jeda waktu. Proses evaporasi akan terjadi pada jeda waktu tersebut. Sehingga kejadian hujan yang pertama akan membasahi tajuk terdahulu kemudian akan terevaporasi dalam laju potesial selama terjadinya hujan dan setelah hujan berhenti. Tajuk membutuhkan waktu kembali untuk menjenuhkan tajuk ketika terjadi hujan kembali dikarenakan kondisi tajuk yang sudah kering. Kelas hujan normal Kejadian hujan kedua pada tanggal 1 November 7 menjadikan tajuk dalam kondisi pembasahan kembali dengan durasi yang tidak lama yaitu sekitar jam. Dalam jeda waktu yang singkat, tajuk membutuhkan waktu kembali untuk jenuh. Hal ini menunjukkan telah terjadi evaporasi dalam laju potensial selama hujan pertama dan pada kondisi kering. Kejadian hujan pada tanggal 16 November 7 yang terjadi dengan satu kejadian hujan berdurasi cukup lama menggambarkan pula kondisi pembasahan tajuk secara kontinyu. Tajuk dalam kondisi basah total sehingga evaporasi akan terjadi dalam laju potensial selama terjadinya hujan Hujan yang terjadi secara terus-menerus memberikan kondisi pembasahan tajuk yang optimum, sehingga hujan neto juga akan terjadi secara kontinyu seiring dengan bertambahnya intensitas hujan dalam kurun waktu yang relatif singkat. Hujan neto akan mencapai puncaknya seiring dengan meningkatnya hujan bruto. Kelas hujan lebat Pada tanggal 6 Oktober 7 dan 11 Desember 7 terlihat kondisi tajuk yang mengalami penjenuhan dalam waktu yang sangat lama sementara curah hujan jatuh dalam jumlah yang besar (Gambar 13). Kondisi ini dapat dimungkinkan tajuk tanaman ini dalam kondisi yang sangat kering sehingga tajuk membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terjadi penjenuhan hingga terjadi hujan neto. Sebab lain dimungkinkan data pengukuran tidak terekam, namun dari hasil kalibrasi dinamik menunjukkan bahwa bejana berjungkit yang digunakan memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengalirkan air yang masuk dalam jumlah besar yaitu sebesar + 3 ml/s. Nilai ini setara dengan curah hujan sebesar.9 mm yang terjadi selama 1 menit (Lampiran ). Sehingga terdapat sebab lain di luar kesalahan alat dalam mencatat data. Terjadi dua kejadian hujan pada tanggal 11 Desember 7 dimana hujan yang kedua terjadi lebih lama dari hujan yang pertama. Jeda waktu antar kejadian hujan sekitar + jam,

15 sehingga tajuk membutuhkan waktu kembali untuk menjenuhkan tajuk karena tajuk yang telah mengalami proses evaporasi. Pada hujan yang kedua penjenuhan tajuk tidak membutuhkan waktu lama sementara hujan jatuh dalam jumlah yang kecil. Keadaan pada masing-masing kelas kebasahan tajuk dalam penelitian ini menunjukan bahwa tajuk A. loranthifolia Sal berespon cepat untuk mengalami kejenuhan. Namun intensitas hujan sangat berpengaruh dalam hal ini. Lamanya pembasahan tajuk akan meningkat seiring dengan lama terjadinya hujan, ditambah dengan waktu setelah terjadi curah hujan dimana tetesan-tetesan air dari tajuk masih terjadi. Kejadian hujan yang terjadi dengan durasi yang cukup lama menggambarkan kondisi tajuk yang mengalami pembasahan tajuk yang optimum. Sehingga tajuk dalam keadaan basah total dan evaporasi akan terjadi dalam laju potensial. Meningkatnya curah hujan dalam kurun waktu singkat berpotensi untuk membasahi seluruh permukaan daun dikarenakan terjadinya air yang saling menimpa pada daun-daun tersebut hingga terjadi hujan neto. Sehingga air yang tertahan sebelumnya akan jatuh. Air yang terintersepsi pada tajuk selama dan setelah terjadinya hujan dan merupakan besarnya air hujan yang berpeluang akan terevaporasi dalam laju potensial dan tergantung dari kondisi atmosfer saat itu. Jeda waktu yang besar antar kejadian hujan akan memberikan peluang yang lebih besar untuk tajuk terevaporasi ke atmosfer. Dari hasil penelitian diperoleh jeda waktu sekitar jam dapat menjadikan kondisi tajuk kering dengan indikasi tajuk membutuhkan waktu kembali untuk jenuh hingga terjadi hujan neto. Namun hal ini tergantung dari kondisi atmosfer pada saat terjadinya hujan. Hal ini sesuai dengan pendapat Leyton dan Carlisle (1959) yang menyatakan bahwa pada periode kering, air yang tertahan pada tajuk akan mengalami evaporasi dengan lajunya yang tergantung dari kondisi atmosfer seperti temperatur, kelembaban udara, angin dll. V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari penelitian yang dilakukan ini, pengukuran curahan tajuk dan aliran batang menggunakan bejana berjungkit memiliki beberapa kelebihan, salah satunya dalam melakukan pencatatan dan pengolahan data.. Kalibrasi statik dan dinamik sangat penting dilakukan terhadap bejana berjungkit untuk mendapatkan perhitungan data yang akurat. Persentase komponen intersepsi yaitu curahan tajuk sebesar 57.3 % dan menunjukkan curahan tajuk merupakan bagian terbesar dari hujan yang mencapai lantai hutan. Sedangkan aliran batang memiliki persentase yang sangat kecil yaitu sebesar.9 % dari curah hujan total. Hasil pengukuran didapatkan persentase intersepsi pada tanaman ini sebesar 1.75 % dari total hujan selama penelitian (76. mm). Hal ini berbeda jauh dengan hasil penelitian Kaimuddin (199) di Hutan Gunung Walat Sukabumi. Diperoleh besarnya intersepsi selama pengukuran sebesar 1.7 % dari total hujan 71.9 mm. Kondisi ini menunjukkan adanya kehilangan air yang cukup besar akibat intersepsi. Perbedaan nilai ini dapat disebabkan kondisi tajuk yang berbeda karena terdapat perbedaan umur dan kondisi cuaca saat pengukuran. Selain itu juga dimungkinkan adanya perbedaan penerimaan curah hujan pada plot penelitian dan penakar hujan. Hal lain dapat sebabkan adanya kesalahan alat saat pengukuran curahan tajuk dan aliran batang di lokasi penelitian, yang menyebabkan perhitungan hujan neto lebih rendah dari yang sebenarnya. Besarnya intersepsi pada tanaman A.loranthifolia Sal. ini dipengaruhi oleh jumlah curah hujan dan karakteristik dari tajuk. Intensitas hujan memengaruhi besarnya curahan tajuk, meningkatnya intensitas hujan akan meningkatkan besarnya curahan tajuk. Air yang terintersepsi pada tajuk selama dan setelah terjadinya hujan dan merupakan besarnya air hujan yang berpeluang akan terevaporasi dalam laju potensial ketika tajuk dalam kondisi basah total dan tergantung dari kondisi cuaca saat itu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jeda waktu antar kejadian hujan dapat menyebabkan tajuk kering kembali sehingga tajuk hutan tanaman ini membutuhkan waktu untuk jenuh kembali. Besarnya jeda waktu antar kejadian hujan berpeluang lebih besar untuk air yang terintersepsi akan terevaporasi. 5.. Saran Bertambahnya umur suatu vegetasi akan meningkatkan pertanaman dan perkembangan dari bagian-bagian vegetasi tersebut seperti 3

INTERSEPSI HUJAN PADA HUTAN TANAMAN Agathis loranthifolia Sal. DI DAS CICATIH HULU SUKABUMI. Eko Laillatul Heryansah

INTERSEPSI HUJAN PADA HUTAN TANAMAN Agathis loranthifolia Sal. DI DAS CICATIH HULU SUKABUMI. Eko Laillatul Heryansah INTERSEPSI HUJAN PADA HUTAN TANAMAN Agathis loranthifolia Sal. DI DAS CICATIH HULU SUKABUMI Eko Laillatul Heryansah DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

INTERSEPSI HUJAN PADA HUTAN TANAMAN Agathis loranthifolia Sal. DI DAS CICATIH HULU SUKABUMI. Eko Laillatul Heryansah

INTERSEPSI HUJAN PADA HUTAN TANAMAN Agathis loranthifolia Sal. DI DAS CICATIH HULU SUKABUMI. Eko Laillatul Heryansah INTERSEPSI HUJAN PADA HUTAN TANAMAN Agathis loranthifolia Sal. DI DAS CICATIH HULU SUKABUMI Eko Laillatul Heryansah DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di perkebunan rakyat Desa Huta II Tumorang, kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

KONDISI BEBERAPA KOMPONEN HIDROLOGI PADA TEGAKAN SENGON WURI HANDAYANI DAN EDY JUNAIDI

KONDISI BEBERAPA KOMPONEN HIDROLOGI PADA TEGAKAN SENGON WURI HANDAYANI DAN EDY JUNAIDI KONDISI BEBERAPA KOMPONEN HIDROLOGI PADA TEGAKAN SENGON WURI HANDAYANI DAN EDY JUNAIDI Pendahuluan Sengon merupakan jenis tanaman kayu yang banyak dijumpai di Jawa Barat. Sebagai jenis tanaman kayu fast

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kompilasi dan Kontrol Kualitas Data Radar Cuaca C-Band Doppler (CDR) Teknologi mutakhir pada radar cuaca sangat berguna dalam bidang Meteorologi untuk menduga intensitas curah

Lebih terperinci

NERACA AIR. Adalah perincian dari masukan (input) dan keluaran (output) air pada suatu permukaan bumi

NERACA AIR. Adalah perincian dari masukan (input) dan keluaran (output) air pada suatu permukaan bumi NERACA AIR Adalah perincian dari masukan (input) dan keluaran (output) air pada suatu permukaan bumi 1. Neraca Air Umum Tanpa memperhatikan pengaruh faktor tanah serta perilaku air di dalam dan di atas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai komunitas tumbuhan juga memiliki fungsi hidrologis dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai peran yang sangat penting dalam

Lebih terperinci

ANALISIS KARAKTERISTIK CURAH HUJAN DI WILAYAH KABUPATEN GARUT SELATAN

ANALISIS KARAKTERISTIK CURAH HUJAN DI WILAYAH KABUPATEN GARUT SELATAN ANALISIS KARAKTERISTIK CURAH HUJAN DI WILAYAH KABUPATEN GARUT SELATAN Dedi Mulyono 1 Jurnal Konstruksi Sekolah Tinggi Teknologi Garut Jl. Mayor Syamsu No. 1 Jayaraga Garut 44151 Indonesia Email : jurnal@sttgarut.ac.id

Lebih terperinci

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan September 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2013 dan Januari 2014 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun

Lebih terperinci

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air.

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air. BAB I SIKLUS HIDROLOGI A. Pendahuluan Ceritakan proses terjadinya hujan! Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air. Tujuan yang ingin dicapai

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan

Lebih terperinci

II. IKLIM & METEOROLOGI. Novrianti.,MT_Rekayasa Hidrologi

II. IKLIM & METEOROLOGI. Novrianti.,MT_Rekayasa Hidrologi II. IKLIM & METEOROLOGI 1 Novrianti.,MT_Rekayasa Hidrologi 1. CUACA & IKLIM Hidrologi suatu wilayah pertama bergantung pada iklimnya (kedudukan geografi / letak ruangannya) dan kedua pada rupabumi atau

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.1. tetap

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.1. tetap SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.1 1. Keberadaan air yang terdapat di permukaan bumi jumlahnya... tetap semakin berkurang semakin bertambah selalu berubah-ubah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Januari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTREM SURABAYA DI SURABAYA TANGGAL 24 NOVEMBER 2017

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTREM SURABAYA DI SURABAYA TANGGAL 24 NOVEMBER 2017 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS I JUANDA SURABAYA Alamat : Bandar Udara Juanda Surabaya, Telp. 031 8668989, Fax. 031 8675342, 8673119 E-mail : meteojud@gmail.com,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Februari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN PADA HUTAN PINUS DI TAMAN HUTAN RAYA BUKIT BARISAN TONGKOH KABUPATEN KARO BERDASARKAN MODEL KESEIMBANGAN AIR

ANALISIS HUJAN PADA HUTAN PINUS DI TAMAN HUTAN RAYA BUKIT BARISAN TONGKOH KABUPATEN KARO BERDASARKAN MODEL KESEIMBANGAN AIR ANALISIS HUJAN PADA HUTAN PINUS DI TAMAN HUTAN RAYA BUKIT BARISAN TONGKOH KABUPATEN KARO BERDASARKAN MODEL KESEIMBANGAN AIR (Analysis of Rainfall in Pine Forest in Taman Hutan Raya Bukit Barisan Tongkoh

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan Curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu (Arsyad, 2010). Menurut Tjasyono (2004), curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Hujan / Presipitasi Hujan merupakan satu bentuk presipitasi, atau turunan cairan dari angkasa, seperti salju, hujan es, embun dan kabut. Hujan terbentuk

Lebih terperinci

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI SIKLUS HIDROLOGI Siklus Hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi

Lebih terperinci

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN ANGIN KENCANG DI PRAMBON SIDOARJO TANGGAL 02 APRIL 2018

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN ANGIN KENCANG DI PRAMBON SIDOARJO TANGGAL 02 APRIL 2018 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS I JUANDA SURABAYA Alamat : Bandar Udara Juanda Surabaya, Telp. 031 8668989, Fax. 031 8675342, 8673119 E-mail : meteojud@gmail.com,

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

MEMBUAT ALAT UKUR HUJAN SEDERHANA

MEMBUAT ALAT UKUR HUJAN SEDERHANA MEMBUAT ALAT UKUR HUJAN SEDERHANA Kelompok 2: Tsaniya Nurina Ramadhanty (1610815220024) M. Fazriansyah (1610815210014) Ilmi Fajriati (1610815220010) Elna Rasani (1610815220007) PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana.

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana. BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH A. Intensitas Curah Hujan Menurut Joesron (1987: IV-4), Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu. Analisa intensitas

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Analisis Vegetasi 5.2 Model Arsitektur Pohon

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Analisis Vegetasi 5.2 Model Arsitektur Pohon 31 BAB V PEMBAHASAN 5.1 Analisis Vegetasi Analisis vegetasi dilakukan dengan tahapan : menghitung nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominasi relatif (DR) yang penjumlahannya berupa

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama

Lebih terperinci

global warming, periode iklim dapat dihitung berdasarakan perubahan setiap 30 tahun sekali.

global warming, periode iklim dapat dihitung berdasarakan perubahan setiap 30 tahun sekali. 4.5. Iklim 4.5.1. Tipe Iklim Indonesia merupakan wilayah yang memiliki iklim tropis karena dilewati garis khatulistiwa. Iklim tropis tersebut bersifat panas dan menyebabkan munculnya dua musim, yaitu musim

Lebih terperinci

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng 124 Bab VI Kesimpulan Lokasi penelitian, berupa lahan pertanian dengan kondisi baru diolah, tanah memiliki struktur tanah yang remah lepas dan jenis tanah lempung berlanau dengan persentase partikel tanah

Lebih terperinci

Modul 3 ANALISA HIDROLOGI UNTUK PERENCANAAN SALURAN DRAINASE

Modul 3 ANALISA HIDROLOGI UNTUK PERENCANAAN SALURAN DRAINASE Modul 3 ANALISA HIDROLOGI UNTUK PERENCANAAN SALURAN DRAINASE Perhitungan Debit Saluran Perhitungan Debit Saluran Rumus Rasional : Q = 0,278 C.I.A m³/detik a. Koefisien Pengaliran C Di pengaruhi banyak

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kadar Air Tanah Air merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan oleh tanaman baik pohon maupun tanaman semusim untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi. Air yang

Lebih terperinci

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor.

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor. 7 Gambar Sistem kalibrasi dengan satu sensor. Besarnya debit aliran diukur dengan menggunakan wadah ukur. Wadah ukur tersebut di tempatkan pada tempat keluarnya aliran yang kemudian diukur volumenya terhadap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sangat penting bagi kehidupan di bumi ini. Menurut ahli silvika, hutan merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. sangat penting bagi kehidupan di bumi ini. Menurut ahli silvika, hutan merupakan TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh-tumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di bumi ini. Menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP INTERSEPSI HUJAN (KASUS SUB DAS NOPU SULAWESI TENGAH)

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP INTERSEPSI HUJAN (KASUS SUB DAS NOPU SULAWESI TENGAH) 2005 Moch Anwar Posted: 12 January, 2005 Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng, M F (Penanggung Jawab) Prof.

Lebih terperinci

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7)

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7) 7 Persamaan-persamaan tersebut kemudian dikonversi menjadi persamaan volumetrik (Persamaan 5) yang digunakan untuk mendapatkan nilai kadar air tanah dalam % volume. 3.3.5 Pengukuran Curah Hujan dan Tinggi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Vegetasi HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada ekosistem PHBM, ekosistem hutan dan ekosistem tanpa tegakan seperti dijelaskan pada Lampiran 1, 2 dan 3, didapatkan secara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. BAB III METODOLOGI 3.1 Umum Metodologi merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki

Lebih terperinci

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan 3.3.2 Pengolahan Data Pengolahan data terdiri dari dua tahap, yaitu pendugaan data suhu Cikajang dengan menggunakan persamaan Braak (Djaenuddin, 1997) dan penentuan evapotranspirasi dengan persamaan Thornthwaite

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jagung Jagung merupakan tanaman yang dapat hidup di daerah yang beriklim sedang sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat membutuhkan sinar matahari

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL 4.1. Analisis Curah Hujan 4.1.1. Ketersediaan Data Curah Hujan Untuk mendapatkan hasil yang memiliki akurasi tinggi, dibutuhkan ketersediaan data yang secara kuantitas dan kualitas

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifatsifatnya dan hubungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut (Triatmodjo, 2008:1).Hidrologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya. Penerapan ilmu hidrologi

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL GASH UNTUK PENDUGAAN INTERSEPSI HUJAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PENERAPAN MODEL GASH UNTUK PENDUGAAN INTERSEPSI HUJAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PENERAPAN MODEL GASH UNTUK PENDUGAAN INTERSEPSI HUJAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS di Unit Usaha REJOSARI PTPN VII LAMPUNG) Oleh Bogie Miftahur Ridwan A24104083 PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS KEJADIAN HUJAN DISERTAI ANGIN KENCANG DI WILAYAH KOTA PONTIANAK DAN SEKITARNYA KALIMANTAN BARAT TANGGAL 04 DESEMBER 2017

ANALISIS KEJADIAN HUJAN DISERTAI ANGIN KENCANG DI WILAYAH KOTA PONTIANAK DAN SEKITARNYA KALIMANTAN BARAT TANGGAL 04 DESEMBER 2017 BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KELAS I SUPADIO PONTIANAK Jl. Adi Sucipto KM. 17 Bandara Supadio Pontianak Telp. 0561 721142 Fax. 0561 6727520 Kode Pos 78391 Email : stamet.supadio@bmkg.go.id

Lebih terperinci

BAB III HUJAN DAN ANALISIS HUJAN

BAB III HUJAN DAN ANALISIS HUJAN BAB III HUJAN DAN ANALISIS HUJAN Novitasari,ST.,MT TIU TIK TIU & TIK : Hidrologi Terapan merupakan matakuliah untuk memahami tentang aplikasi hidrogi terapan dan aplikasinya dalam rekayasa teknik sipil.

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG

BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG V-1 BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG 5.1. Analisis Sedimen dengan Metode USLE Untuk memperkirakan laju sedimentasi pada DAS S. Grubugan digunakan metode Wischmeier dan Smith

Lebih terperinci

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi).

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi). 1. Klasifikasi Iklim MOHR (1933) Klasifikasi iklim di Indonesia yang didasrakan curah hujan agaknya di ajukan oleh Mohr pada tahun 1933. Klasifikasi iklim ini didasarkan oleh jumlah Bulan Kering (BK) dan

Lebih terperinci

Gambar 17. Tampilan Web Field Server

Gambar 17. Tampilan Web Field Server IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KALIBRASI SENSOR Dengan mengakses Field server (FS) menggunakan internet explorer dari komputer, maka nilai-nilai dari parameter lingkungan mikro yang diukur dapat terlihat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi tanah, di laut atau badan-

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu 1. Penelitian sejenis mengenai Kajian Kebutuhan Air Irigasi Pada Jaringan Irigasi sebelumnya pernah ditulis oleh (Oktawirawan, 2015) dengan judul Kajian

Lebih terperinci

BAB 3 PRESIPITASI (HUJAN)

BAB 3 PRESIPITASI (HUJAN) BAB 3 PRESIPITASI (HUJAN) PRESIPITASI (HUJAN) Bila udara lembab bergerak keatas kemudian menjadi dingin sampai melalui titik embun, maka uap air didalamnya mengkondensir sampai membentuk butir-butir air.

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah kawasan Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), di Kabupaten Sukabumi,

Lebih terperinci

STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH, DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA KERAPATAN TEGAKAN PINUS

STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH, DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA KERAPATAN TEGAKAN PINUS STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH, DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA KERAPATAN TEGAKAN PINUS (Pinus merkusii), DI BLOK CIMENYAN, HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Curah Hujan Curah hujan diukur setiap hari dengan interval pengukuran dua puluh empat jam dengan satuan mm/hari. Pengukuran curah hujan dilakukan oleh Automatic

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pengertian Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh penulis, adalah sebagai berikut :. Hujan adalah butiran yang jatuh dari gumpalan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Morfometri Sungai Berdasarkan hasil pengukuran morfometri DAS menggunakan software Arc-GIS 9.3 diperoleh panjang total sungai di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Sekayu

Lebih terperinci

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik Latar Belakang: Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk menyukseskan

Lebih terperinci

ANALISIS KLIMATOLOGI BANJIR BANDANG BULAN NOVEMBER DI KAB. LANGKAT, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 26 November 2017) (Sumber : Waspada.co.

ANALISIS KLIMATOLOGI BANJIR BANDANG BULAN NOVEMBER DI KAB. LANGKAT, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 26 November 2017) (Sumber : Waspada.co. ANALISIS KLIMATOLOGI BANJIR BANDANG BULAN NOVEMBER DI KAB. LANGKAT, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 26 November 2017) (Sumber : Waspada.co.id) STASIUN KLIMATOLOGI KELAS I DELI SERDANG NOVEMBER 2017 ANALISIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hujan memiliki peranan penting terhadap keaadaan tanah di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Hujan memiliki peranan penting terhadap keaadaan tanah di berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hujan memiliki peranan penting terhadap keaadaan tanah di berbagai tempat terutama daerah tropis khususnya di daerah pegunungan yang nantinya akan sangat berpengaruh

Lebih terperinci

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif PEMBAHASAN UMUM Dalam studi ini salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji hubungan antara konsentrasi partikel Pb yang berasal dari emisi kendaraan bermotor dengan besarnya penurunan konsentrasi

Lebih terperinci

Surface Runoff Flow Kuliah -3

Surface Runoff Flow Kuliah -3 Surface Runoff Flow Kuliah -3 Limpasan (runoff) gabungan antara aliran permukaan, aliran yang tertunda ada cekungan-cekungan dan aliran bawah permukaan (subsurface flow) Air hujan yang turun dari atmosfir

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan klasifikasi iklim global, wilayah kepulauan Indonesia sebagian besar tergolong dalam zona iklim tropika basah dan sisanya masuk zona iklim pegunungan. Variasi

Lebih terperinci

MENU PENDAHULUAN ASPEK HIDROLOGI ASPEK HIDROLIKA PERANCANGAN SISTEM DRAINASI SALURAN DRAINASI MUKA TANAH DRAINASI SUMURAN DRAINASI BAWAH MUKA TANAH

MENU PENDAHULUAN ASPEK HIDROLOGI ASPEK HIDROLIKA PERANCANGAN SISTEM DRAINASI SALURAN DRAINASI MUKA TANAH DRAINASI SUMURAN DRAINASI BAWAH MUKA TANAH DRAINASI PERKOTAAN NOVRIANTI, MT. MENU PENDAHULUAN ASPEK HIDROLOGI ASPEK HIDROLIKA PERANCANGAN SISTEM DRAINASI SALURAN DRAINASI MUKA TANAH DRAINASI SUMURAN DRAINASI BAWAH MUKA TANAH DRAINASI GABUNGAN DRAINASI

Lebih terperinci

ANALISIS KEJADIAN BANJIR DI DESA BONAN DOLOK, KABUPATEN SAMOSIR TANGGAL 7 MARET 2018

ANALISIS KEJADIAN BANJIR DI DESA BONAN DOLOK, KABUPATEN SAMOSIR TANGGAL 7 MARET 2018 ANALISIS KEJADIAN BANJIR DI DESA BONAN DOLOK, KABUPATEN SAMOSIR TANGGAL 7 MARET 2018 STASIUN KLIMATOLOGI DELI SERDANG MARET, 2018 ANALISIS KEJADIAN BANJIR DI DESA BONAN DOLOK, KABUPATEN SAMOSIR (Studi

Lebih terperinci

Pengaruh Hujan terhadap Perubahan Elevasi Muka Air Tanah pada Model Unit Resapan dengan Media Tanah Pasir

Pengaruh Hujan terhadap Perubahan Elevasi Muka Air Tanah pada Model Unit Resapan dengan Media Tanah Pasir JURNAL ILMIAH SEMESTA TEKNIKA Vol. 16, No. 1, 57-64, Mei 2013 57 Pengaruh Hujan terhadap Perubahan Elevasi Muka Air Tanah pada Model Unit Resapan dengan Media Tanah Pasir (The Effect of Rain to the Change

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS 4.1 Analisa Curah Hujan 4.1.1 Jumlah Kejadian Bulan Basah (BB) Bulan basah yang dimaksud disini adalah bulan yang didalamnya terdapat curah hujan lebih dari 1 mm (menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Embung berfungsi sebagai penampung limpasan air hujan/runoff yang terjadi di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Embung berfungsi sebagai penampung limpasan air hujan/runoff yang terjadi di II. TINJAUAN PUSTAKA A. Embung Embung berfungsi sebagai penampung limpasan air hujan/runoff yang terjadi di Daerah Pengaliran Sungai (DPS) yang berada di bagian hulu. Konstruksi embung pada umumnya merupakan

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah Jawa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

CONCEPTUAL MODEL OF INTERCEPTION TO ANTICIPATE RUNOFF

CONCEPTUAL MODEL OF INTERCEPTION TO ANTICIPATE RUNOFF Rina Maharany, Bambang Rahadi, Tanggul Sutan DOI. 10.7910/DVN/9LWHOU CONCEPTUAL MODEL OF INTERCEPTION TO ANTICIPATE RUNOFF 1 Rina Maharany, 2 J. Bambang Rahadi. W, 3 A. Tanggul Sutan Haji 1 Jurusan Budidaya

Lebih terperinci

Limpasan (Run Off) adalah.

Limpasan (Run Off) adalah. Limpasan (Run Off) Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri Limpasan (Run Off) adalah. Aliran air yang terjadi di permukaan tanah setelah jenuhnya tanah lapisan permukaan Faktor faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

Siklus Air. Laut. awan. awan. awan. Hujan/ presipitasi. Hujan/ presipitasi. Hujan/ presipitasi. Evapotranspirasi. Aliran permukaan/ Run off.

Siklus Air. Laut. awan. awan. awan. Hujan/ presipitasi. Hujan/ presipitasi. Hujan/ presipitasi. Evapotranspirasi. Aliran permukaan/ Run off. PRESIPITASI Siklus Air awan awan Hujan/ presipitasi Hujan/ presipitasi awan Hujan/ presipitasi intersepsi Evapotranspirasi Aliran permukaan/ Run off Aliran bawah permukaan/ sub surface flow infiltrasi

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai dengan Januari 2014 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai dengan Januari 2014 di 15 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai dengan Januari 2014 di Laboratorium Teknik Sumber Daya Air Universitas Lampung B. Alat dan

Lebih terperinci

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Arif Ismul Hadi, Suwarsono dan Herliana Abstrak: Penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran siklus bulanan dan tahunan curah hujan maksimum

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Coba Lapang Paremeter suhu yang diukur pada penelitian ini meliputi suhu lingkungan, kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi produktivitas

Lebih terperinci

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN Oleh Nur Fitriyani, S.Tr Iwan Munandar S.Tr Stasiun Meteorologi Klas I Sultan Aji

Lebih terperinci

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi Besarnya radiasi yang diserap atau dipantulkan, baik oleh permukaan bumi atau awan berubah-ubah tergantung pada ketebalan awan, kandungan uap air, atau jumlah partikel debu Radiasi datang (100%) Radiasi

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI SUMBER AIR BERSIH PDAM JAYAPURA Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT Nohanamian Tambun 3306 100 018 Latar Belakang Pembangunan yang semakin berkembang

Lebih terperinci

INTERSEPSI AIR HUJAN PADA TANAMAN KOPI RAKYAT DI DESA KEBET, KECAMATAN BEBESEN, KABUPATEN ACEH TENGAH

INTERSEPSI AIR HUJAN PADA TANAMAN KOPI RAKYAT DI DESA KEBET, KECAMATAN BEBESEN, KABUPATEN ACEH TENGAH INTERSEPSI AIR HUJAN PADA TANAMAN KOPI RAKYAT DI DESA KEBET, KECAMATAN BEBESEN, KABUPATEN ACEH TENGAH Raifall Interception on Coffee Plants in Kebet Village, Bebesan Sub District, Aceh Tengah District

Lebih terperinci

I Dewa Gede Jaya Negara*, Anid Supriyadi*, Salehudin*

I Dewa Gede Jaya Negara*, Anid Supriyadi*, Salehudin* 144 Spektrum Sipil, ISSN 1858-4896 Vol. 3, No. 2 : 144-155, September 2016 ANALISIS KEMAMPUAN PERESAPAN LIMPASAN AIR HUJAN PADA MODEL EMBUNG LAHAN DIAGONAL (ELD) TERHADAP GRADASI LAPISAN TANAH DI LAHAN

Lebih terperinci

ANALISIS CURAH HUJAN SAAT KEJADIAN BANJIR DI SEKITAR BEDUGUL BALI TANGGAL 21 DESEMBER 2016

ANALISIS CURAH HUJAN SAAT KEJADIAN BANJIR DI SEKITAR BEDUGUL BALI TANGGAL 21 DESEMBER 2016 BMKG BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KELAS II NEGARA-BALI JL. LELI NO. 9 BALER BALE AGUNG NEGARA JEMBRANA-BALI 82212 TELP.(0365)4546209 FAX.(0365)4546209 Email : klimat_negara@yahoo.com

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI HUJAN JAM-JAMAN DI DAS TONDANO BAGIAN HULU

POLA DISTRIBUSI HUJAN JAM-JAMAN DI DAS TONDANO BAGIAN HULU POLA DISTRIBUSI HUJAN JAM-JAMAN DI DAS TONDANO BAGIAN HULU Andriano Petonengan Jeffry S. F. Sumarauw, Eveline M. Wuisan Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado Email:anopetonengan@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi baik dalam bentuk cairan maupun es. Hujan merupakan faktor utama pengendali daur hidrologis

Lebih terperinci