V. ANALISIS KERAGAAN USAHATANI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. ANALISIS KERAGAAN USAHATANI"

Transkripsi

1 V. ANALISIS KERAGAAN USAHATANI Analisis keragaan berbagai aktivitas usahatani yang dilibatkan dalam MUSOT dilakukan secara deskriptif. Analisis tersebut meliputi ketersediaan sumberdaya lahan, sumberdaya tenaga kerja dalam keluarga, ketersediaan tenaga kerja sewa di Desa Karehkel, ketersediaan pakan hijauan lapang, ketersediaan berbagai produk antara di lokasi penelitian, tingkat produksi per unit aktivitas produksi, kebutuhan input per unit aktivitas produksi dan harga setiap aktivitas yang dilakukan. Analisis keragaan usaha di lokasi penelitian sangat penting untuk menggambarkan kondisi aktual penyelenggaraan aktivitas usahatani sayuran organik, usahaternak kelinci, domba, aktivitas produksi pupuk bokashi dan aktivitas produksi silase sehingga model linear yang dirancang dapat memberikan gambaran yang mendekati kondisi aktual daerah penelitian. Hasil analisis ini selanjutnya akan digunakan sebagai acuan penentuan koefisien pada fungsi tujuan dan fungsi kendala kendala pada model usahatani sayuran organik terpadu pada skala wilayah Desa Karehkel Usahatani Sayuran Organik Penggunaan Lahan dan Pola Tanam Sayuran Organik Petani sayuran organik bertani sayuran sepanjang tahun. Pemberaan lahan sangat jarang dilakukan karena permintaan sayuran organik selalu ada pada setiap bulannya. Adanya keterbatasan kepemilikan lahan garapan yang dimiliki masingmasing petani juga menjadi alasan mengapa tidak terdapat aktivitas pemberaan lahan. Sesekali petani melakukan pemberaan lahan yakni paling lama tiga hari sejak pemanenan. Tujuannya adalah selain untuk pembalikkan dan penggemburan tanah juga sebagai upaya mereduksi bahan anorganik yang masih tersisa di lahan garapan. Rotasi tanaman selalu dilakukan petani yakni dengan cara mengganti jenis sayuran yang ditanam pada bedengan yang sama. Misalnya pada bulan April bedengan A ditanami kangkung. Setelah kangkung dipanen kemudian bedengan tersebut digunakan untuk menanam selada. Periode produksi setiap jenis sayuran berbeda-beda. Bayam hijau dan bayam merah biasanya dipanen rata-rata pada saat tanaman berumur 20 hari. Kangkung biasanya dipanen pada umur tanaman 20 hari sedangkan untuk selada 65

2 dan caisin masing masing selama 21 hari dan 40 hari. Tanaman kangkung, bayam hijau, dan bayam merah tidak memerlukan penyemaian benih. Benih yang ada ditabur begitu saja pada bedengan yang akan digunakan dan dipelihara sampai dengan panen. Berbeda halnya dengan selada, tanaman ini merupakan hasil pemindahan bibit yang dibeli dari ICDF. Sebenarnya periode produksi selada hampir sama dengan caisin. Sangat tingginya angka kegagalan petani saat menyemai sendiri benih selada membuat petani lebih memilih untuk membeli bibit dari ICDF. Periode produksi caisin yang lama disebabkan karena petani menyemai sendiri benihnya kemudian dipindahkan ke bedengan tanam untuk pembesaran sayuran. Tabel 6 berikut ini menggambarkan pola usahatani dan pola tanam sayuran organik di Desa Karehkel. Tabel 6. Pola Tanam yang Diterapkan Petani Sayuran Organik Jenis Sayuran Pola Tanam Periode Tanam (Hari) Caisin Selada Kangkung Bayam hijau Bayam merah Keterangan: = caisin = selada = kangkung = bayam hijau = bayam merah = caisin/selada/kangkung/bayam hijau/bayam merah; sesuai dengan permintaan ICDF Lahan yang dimiliki petani sayuran organik rata-rata dipergunakan untuk lahan garapan, pembuatan saung-saung untuk tempat beristirahat dan menaruh pupuk, dan sebagai tempat untuk penampungan air (kobak). Penampungan air 66

3 tersebut merupakan tanah yang digali yang memiliki kedalaman kurang lebih satu meter yang digunakan untuk mengambil air saat menyiram sayuran. Berdasarkan pengamatan di lapangan, rata-rata luasan saung tersebut adalah sekitar 2,56 m 2 dan luasan kobak kurang lebih 1 m 2. Jarak antar bedengan adalah setara dengan lebar bahu orang dewasa atau selebar 50 cm. Luasan lahan yang dimaksud dalam model ini adalah luas garapan aktual berupa bedengan-bedengan yang digunakan untuk budidaya sayuran organik. Pada kondisi aktual, kepemilikan bedengan setiap petani organik adalah berbeda-beda. Selain itu ukuran masing-masing bedengan juga berbeda-beda. Rata-rata kepemilikan bedengan setiap petani sayuran organik adalah sebanyak 27 bedeng dengan luasan masing-masing bedengan adalah 23,9 m 2. Saat ini, penggunaan bedengan di setiap bulannya adalah 100 persen. Artinya seluruh bedengan yang dimiliki petani digunakan seluruhnya untuk menanam sayuran organik. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwasanya setelah tanaman dipanen maka bedengan akan segara ditanami dengan tanaman sayuran lainnya. Pemberaan lahan yang dilakukan dengan sangat singkat atau bahkan tidak terdapat aktivitas pemberaan lahan dapat dilihat dengan blok persegi yang tidak berjarak dengan blok persegi yang berwarna abu-abu yang berarti bedengan tersebut segera ditanami dengan jenis sayuran lain yang disesuaikan dengan permintaan ICDF. Setiap bulannya, setiap petani menanam sayuran dengan kombinasi yang berbeda-beda. Sangat jarang seorang petani menanam kelima jenis sayuran tersebut secara bersamaan dalam sebulan. Pengaturan ini sengaja dilakukan oleh ICDF sebagai upaya pemerataan keuntungan yang diperoleh petani karena harga tiap jenis sayuran yang berbeda-beda. Jenis sayuran, waktu tanam, dan waktu panen setiap petani per bulan sepenuhnya ditentukan berdasarkan permintaan ICDF. Secara keseluruhan petani sayuran organik yang ada di Desa Karehkel dalam sebulan menanam kelima jenis sayuran tersebut Kebutuhan Input Produksi Sayuran Organik Kebutuhan input produksi dalam aktivitas usahatani sayuran organik antara lain benih atau bibit, bahan organik, dan pupuk organik. Terkadang petani sayuran memberikan kapur apabila berdasarkan pengamatan petani pertumbuhan sayuran kurang baik. Adanya perbedaan kebutuhan benih atau bibit menyebabkan 67

4 biaya produksi per jenis sayuran adalah berbeda-beda. Keberadaan bahan organik seringkali dicampurkan dengan pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Bahan organik tersebut bermerk Kuda laut dan merupakan bantuan dari pemerintah. Setiap karung bahan organik yang memiliki berat 50 kg berharga Rp ,00. Meskipun sebenarnya gratis, seringkali petani membayarkan sejumlah uang tersebut untuk mengganti biaya transportasi pengiriman. Banyaknya penggunaan bahan organik dan pupuk aktivitas produksi setiap jenis sayuran adalah relatif sama. Kebutuhan pupuk organik dipenuhi dengan membeli kotoran ayam yang berasal dari luar desa. Banyaknya pupuk organik yang digunakan untuk bedengan dengan luasan 23,9 m2 adalah rata-rata sebanyak 45,75 kg. Sekarung kotoran ayam berisi sekitar 30 kg berharga Rp 5.000,00 atau sekitar Rp 166,67 setiap kilogramnya. Pada Tabel 7 di bawah ini akan disajikan kebutuhan input produksi dan biaya produksi setiap jenis sayuran di luar biaya pupuk organik. Tabel 7. Kebutuhan Input dan Biaya Produksi di Luar Biaya Pupuk Organik pada Setiap Aktivitas Produksi Sayuran Organik Masing-masing Responden Biaya Tiap Aktivitas Produksi Sayuran Organik/Bedeng Berukuran 23,9 m2 Nama Input (Rp/bedeng) Selada Caisin Kangkung Bayam merah Bayam hijau Benih/bibit Bahan organik Jumlah biaya Pada penggunaan input bahan organik yang relatif sama maka komponen biaya benih atau bibit lah yang menyebabkan suatu aktivitas usahatani sayuran memiliki biaya produksi non pupuk organik yang lebih mahal. Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwasanyabiaya produksi non pupuk organik termahal adalah pada aktivitas produksi selada. Hal ini disebabkan karena bibit yang dibeli adalah dalam satuan tray. Satu bedengan diperlukan kurang lebih 1.195,52 bibit selada atau setara dengan 9,34 tray. Harga satu tray bibit selada adalah Rp 3.000,00. Berbeda halnya pada aktivitas usahatani caisin, kangkung, bayam merah, dan bayam hijau dimana menggunakan benih yang dibeli berdasarkan ukuran kilogram benih. Misalnya untuk 1 kg benih caisin dapat digunakan untuk menanam selada sekitar 14 bedeng. Begitu juga untuk tanaman kangkung, bayam 68

5 hijau, dan bayam merah sehingga biaya produksinya secara komparatif lebih murah dibandingkan selada. Harga benih bayam hijau dan bayam merah setiap kilogramnya adalah sama yakni Rp ,00. Biaya produksi non pupuk organik pada aktivitas budidaya bayam merah yang lebih mahal daripada bayam hijau disebabkan karena kebutuhan benih untuk bayam merah lebih banyak. Bayam merah di Desa Karehkel memiliki daya berkecambah yang lebih rendah daripada bayam hijau. Salah satu penyebabnya adalah dari kesuburan lahan dan faktor musim. Selain itu, warna bayam merah yang begitu mencolok menyebabkan apabila terjadi sedikit kontaminasi virus mozaik yang ditandai dengan bercak putih pada daun bayam akan sangat terlihat sehingga petani akan menderita kerugian yang lebih tinggi akibat proses sortasi. Oleh karena itu petani mengantisipasinya dengan menaburkan benih dalam jumlah yang lebih banyak atau memerlukan benih lebih banyak untuk kegiatan penyulaman. Besarnya biaya produksi non pupuk organik yang tercantum pada Tabel 7 akan digunakan sebagai dasar penentuan koefisien biaya masing-masing aktivitas usahatani sayuran organik per bedeng sedangkan aktivitas membeli pupuk organik akan dibedakan menjadi aktivitas tersendiri pada pada model linear yang dibangun Kebutuhan Tenaga Kerja Sayuran Organik Kegiatan bertani sayuran organik diawali dengan persiapan lahan berupa membersihkan bedengan, menggemburkan tanah, memupuk, menyemai benih, menyiram, menyiangi gulma, menyulam, memanen sayuran, dan membersihkan sayuran yang dipanen. Aktivitas usahatani selada dan caisin memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak daripada aktivitas usahatani sayuran lainnya. Salah satu penyebabnya adalah pada selada bibit yang dibeli dalam satuan tray sehingga harus dipindahkan satu per satu di bedengan tanam. Aktivitas usahatani caisin memerlukan curahan tenaga terbesar dibandingkan dengan yang lain. Benih caisin terlebih dahulu disemai di bedeng penyemaian kemudian setelah sekitar seminggu atau dua minggu dipindahkan ke bedengan tanam. Adanya aktivitas penggaruan tanah pada usahatani selada dan caisin juga menjadi salah satu penyebab curahan tenaga kerja kedua usahatani tersebut lebih tinggi Tabel 8 menyajikan curahan tenaga kerja masing-masing jenis aktivitas usahatani sayuran organik. 69

6 Tabel 8. Kebutuhan Tenaga Kerja pada Setiap Aktivitas Usahatani Sayuran Organik di Musim Kemarau dan Musim Penghujan HOK= 10-1 Kegiatan Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK) Bayam Selada Kangkung Caisin Merah Bayam Hijau K H K H K H K H K H Persiapan + Tanam Membersihkan+menggemburkan bedengan 4,59 7,10 1,16 1,86 3,64 6,87 5,41 6,86 4,41 7,26 Pemupukan I 0,61 0,61 0,06 0,06 0,20 0,20 0,39 1,55 0,28 0,28 Penyemaian 0,06 0,06 0,10 0,10 0,39 1,55 0,28 0,28 Memindahkan bibit+ tanam 4,88 4,88 1,21 1,21 Menutup dengan net 0,03 0,03 0,05 0,05 0,05 0,05 0,07 0,07 Memasang ajir dan menaikkan net 0,09 0,09 0,06 0,06 0,10 0,10 0,10 0,10 0,11 0,11 Pemeliharaan Menyiram 4,78 2,39 2,20 1,10 1,82 7,88 5,51 2,75 8,11 5,41 Menggaru tanah 0,96 0,96 1,21 1,35 Pemupukan II 0,67 0,67 0,06 0,06 0,61 0,61 0,77 0,77 0,28 0,28 Menyulam 0,41 0,41 0,46 0,46 0,34 0,20 0,39 0,39 1,14 1,14 Menaikkan dan menurunkan net saat 1,79 0,58 2,20 1,16 1,28 musim hujan Pemanenan Memanen sayuran, 1,58 1,58 0,47 0,47 1,45 1,45 1,72 1,72 1,45 1,45 Total Kebutuhan 18,5 20,5 4,56 4,73 20,7 22,2 14,7 16,9 16,1 17,6 tenaga kerja Keterangan : K : musim kemarau H : musim penghujan Pada usahatani kangkung, bayam merah, dan bayam hijau, benih ditebar begitu saja di bedengan tanam sehingga kerapatan tanamannya jauh lebih tinggi daripada tanaman caisin dan selada. Berbeda halnya dengan selada dan caisin yang memiliki jarak tanam tersendiri yakni antar tanam berjarak kurang lebih 12 cm x 12 cm. Adanya jarak tanam tersebut menyebabkan di sela-sela tanaman memungkinkan tumbuhnya gulma sehingga memerlukan penyiangan. Biasanya penyiangan dilakukan sekaligus dengan penggaruan tanah untuk menggemburkan tanah di sela-sela tanaman. Jarak tanam tersebut adalah lebih kecil daripada jarak tanam ideal untuk tanaman selada dan caisin. Susila (2006) mengutarakan bahwa jarak tanam selada adalah 20 cm x 20 cm atau 20 cm x 25 cm sedangkan jarak tanam caisin 40 cm x 40 cm atau 20 cm x 20 cm. Hal tersebut akan berpengaruh langsung pada produktivitas sayuran per bedengnya. 70

7 Tabel 8 menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja musim penghujan setiap aktivitas usahatani adalah lebih besar daripada musim kemarau. Penyebabnya antara lain penggemburan tanah lebih sulit karena tanah menjadi lebih lengket untuk dicangkul sehingga memerlukan waktu yang lebih lama. Selain itu pada musim penghujan, petani harus membuka paranet setiap harinya untuk menjemur sayurannya agar terhindar dari serangan fungi yang terutama menyerang tanaman bayam. Pada saat musim kemarau, aktivitas penyiraman membutuhkan curahan tenaga kerja yang lebih tinggi daripada musim penghujan. Rata-rata kebutuhan tenaga kerja pada musim penghujan adalah 9 persen lebih tinggi daripada musim kemarau. Dalam aktivitas budidaya sayuran organik, petani-petani seringkali membutuhkan bantuan tenaga kerja dari luar keluarga. Sebagian besar tenaga kerja yang disewa digunakan untuk membantu kegiatan pemanenan. Jadwal pengiriman sayuran dilakukan setiap hari Selasa dan Sabtu maksimal pukul WIB. Karakteristik sayuran yang tidak memiliki waktu simpan yang lama maka mendorong petani untuk memanen sayuran pada pagi harinya. Terkadang beberapa petani melakukan pemanenan pada hari Senin atau Jumat sore untuk memenuhi jadwal pengiriman sayuran. Tenaga kerja luar keluarga disewa digunakan untuk mempercepat proses pemanenan sayuran. Informasi mengenai kebutuhan tenaga kerja setiap jenis sayuran menjadi dasar pada penentuan koefisien fungsi kendala tenaga kerja pada MUSOT yang dibangun. Tidak adanya dimensi waktu produksi yang diperhitungkan dalam penelitian ini maka pada koefisien fungsi kendala tenaga kerja sayuran organik diasumsikan menggunakan data kebutuhan tenaga kerja pada musim kemarau Produksi Sayuran Organik dan Limbah Sayuran Saat ini seluruh sayuran yang dihasilkan dijual kepada ICDF. Padahal pasar sayuran organik cukup terbuka lebar bagi petani sayuran organik di Desa Karehkel. Berdasarkan keterangan dari ketua Poktan Sugih Tani, cukup banyak perusahaan yang menawarkan kerjasama dengan para petani sayuran organik Desa Karehkel. Bahkan ada salah satu pihak yang menawarkan kerjasama ekspor sayuran organik. Namun hal tersebut terkendala dengan ketersediaan teknologi dan modal petani sayuran organik itu sendiri. Selain itu, dari segi persepsi petani 71

8 merasa memiliki hutang budi dengan ICDF yang selama ini telah membantu dan membina petani organik di Karehkel sehingga tidak memiliki keberanian untuk menjalin kerjasama dengan pihak lain. Petani sayuran organik sangat memerlukan penyuluhan dan penyadaran terhadap berbagai macam potensi pasar yang sangat besar bagi produk-produk organik. Kegiatan produksi sayuran organik di Desa Karehkel dilakukan sesuai dengan permintaan ICDF, baik dalam jumlah pengusahaan, waktu tanam, dan waktu panen. Produksi sayuran organik tiap bulannya oleh keenam petani cukup besar yakni rata-rata dalam sebulan petani menjual selada sebanyak 111,64 kg, caisin mencapai 464,69 kg, kangkung sebanyak 590,17 kg, dan bayam hijau mencapai 487,7 kg tiap bulannya. Penjualan bayam merah untuk setiap bulannya masih sangat rendah yakni 20,84 kg. Data penjualan tersebut dapat menggambarkan permintaan aktual setiap jenis sayuran organik per bulan oleh ICDF. Tabel 9 berikut ini akan menyajikan penjualan masing-masing jenis sayuran organik oleh keenam petani sayuran organik di Desa Karehkel. Tabel 9. Penjualan Tiap Jenis Sayuran Organik oleh Enam Petani Sayuran Organik Periode Juli 2009 Maret 2010 Jenis Sayuran (kg) Bulan Selada Caisin Kangkung Bayam Merah Bayam Hijau Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret Sumber: ICDF (2010) Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa saat ini permintaan sayuran organik di Desa Karehkel dipenuhi dengan aktivitas produksi yang dilakukan oleh enam orang petani sayuran organik. Adanya rencana perluasan areal tanam sayuran organik oleh ICDF dan rencana GPW untuk menjadikan 72

9 Poktan Sugih Tani sebagai sentra sayuran organik perlu didukung oleh adanya peningkatan pasar sayuran organik. Rencana tersebut akan berdampak langsung terhadap peningkatan jumlah produksi setiap bulannya yang disebabkan karena seluruh anggota Poktan Sugih Tani (29 petani sayuran) akan menjadi petani sayuran organik. Tabel 10. Asumsi Permintaan Setiap Jenis Sayuran Organik pada Model Usahatani Sayuran Organik Terpadu Jenis Sayuran Rata-rata Jumlah Permintaan per Bulan (kg) Kondisi aktual (6 orang petani) 1 Orang Petani 29 Orang Petani Selada Kangkung Caisin Bayam merah Bayam hijau Adanya keterbatasan aksesibilitas data permintaan pasar sayuran organik ICDF setiap bulannya maka dalam permodelan usahatani sayuran organik ini memerlukan pendekatan untuk menentukan kendala jumlah permintaan sayuran setiap bulannya. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengasumsikan data penjualan sayuran organik aktual pada Tabel 10 di atas adalah sebagai gambaran permintaan sayuran organik tiap bulannya untuk enam orang petani sayuran organik sehingga permintaan setiap satu orang petani petani sayuran organik dan permintaan sayuran organik 29 orang petani dapat dilihat pada tabel di atas. Informasi rata-rata jumlah permintaan sayuran organik untuk 29 orang petani akan menjadi acuan dalam penentuan kendala permintaan sayuran organik pada model usahatani sayuran organik terpadu yang dibangun. Setiap sayuran yang disetorkan kepada ICDF akan mengalami proses sortasi sehingga terdapat limbah sayuran organik. Selama ini limbah sayuran sortasi tersebut masih belum termanfaatkan dan cenderung hanya dibuang saja. Sebenarnya jumlah sayuran yang diproduksi petani adalah lebih besar daripada jumlah penjualan sayuran aktual (enam orang petani) seperti yang tercantum pada Tabel 10. Jumlah produksi sayuran dipengaruhi oleh musim. Begitu juga dengan besarnya limbah sayuran sortasi. Potensi limbah sayuran organik yang dapat 73

10 mencapai 30 persen dari total sayuran organik yang diproduksi dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Rencana GPW untuk menerapkan pertanian terpadu di Desa Karehkel selain untuk meningkatkan keuntungan atau pendapatan petani juga bertujuan untuk memanfaatkan potensi limbah yang dihasilkan dari aktivitas budidaya sayuran organik. Pada kondisi aktual, jumlah produksi sayuran dan limbah sayuran sortasi dipengaruhi oleh musim. Saat musim hujan misalnya, jumlah produksi bayam hijau akan lebih sedikit karena banyak yang terserang penyakit sehingga proporsi limbah sortasi bayam hijau akan lebih banyak daripada musim kemarau. Tanaman yangcenderung stabil jumlah produksinya adalah kangkung. Informasi produksi sayuran organik dan limbah sayuran organik per bedeng pada musim kemarau yang tercantum pada Jumlah produksi sayuran dan limbah sayuran per bedeng dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 11 berikut ini. Tabel 11. Produksi Sayuran dan Limbah Sortasi per Bedengan Berukuran 23,9 m 2 pada Musim Penghujan dan Musim Kemarau Produksi Produksi Jenis Proporsi limbah Musim Sayuran/bedeng Limbah sayuran/bedeng Sayuran (%) (kg/bedeng) (kg/bedeng) Selada Kemarau Hujan Caisin Kemarau Hujan Kangkung Kemarau Hujan Bayam merah Kemarau Hujan Bayam hijau Kemarau Hujan Tabel 11 akan menjadi acuan dalam penentuan koefisien pada kendala transfer produk sayuran organik MUSOT. Harga jual sayuran organik per kilogramnya pada model linear ditentukan berdasarkan harga beli masing-masing jenis sayuran oleh ICDF. Harga beli selada oleh ICDF adalah Rp 9.000,00 per kilogram; kangkung Rp 5.000,00 per kilogram; caisin Rp 8.000,00 per kilogram; bayam hijau dan bayam merah adalah sama yakni Rp 6.000,00 per kilogram. 74

11 Keberadaan limbah sayuran juga memiliki potensi untuk dijual atau dimanfaatkan. Limbah sayur berasal dari sayuran organik yang tidak lolos sortasi. Proses sortasi dilakukan sebanyak dua kali yakni di tingkat petani dan pada saat sayuran disetorkan ke ICDF. Terkadang petani menjual sayuran yang tidak lolos sortir kepada siapa saja yang berminat dengan jumlah dan harga yang tidak menentu. Terkadang petani juga menjual kepada tengkulak yang kebetulan sedang memborong sayuran non organik yang banyak terdapat di sekitar lahan petani sayur organik. Limbah sayuran organik tersebut masih layak konsumsi dan masih dapat dijual namun petani seringkali tidak memanfaatkan limbah sayur tersebut baik untuk dikonsumsi maupun dijual. Uraian di atas menunjukkan bahwa sebenarnya limbah sayuran organik memiliki nilai pasar. Pada penelitian ini, nilai limbah sayuran organik dihitung dengan pendekatan biaya tenaga kerja untuk memanen sayuran setiap kilogramnya. Adanya produksi sayuran per bedeng yang berbeda-beda antar setiap jenis sayuran maka memerlukan pendekatan untuk menghitung harga limbah sayuran per kilogramnya. Pendekatan yang dilakukan adalah berdasarkan biaya tenaga kerja untuk memanen setiap kilogram sayuran. Tabel 12 akan menunjukkan pendekatan untuk memperhitungkan harga jual limbah sayuran organik. Tabel 12. Perhitungan Harga Jual Limbah Sayuran Organik Berdasarkan Biaya Tenaga Kerja Pemanenan Jenis sayuran Kebutuhan HOK untuk Panen (HOK) Produksi sayuran/bedeng (kg/bedeng) Selada Caisin Kangkung Bayam merah Bayam hijau Tenaga Kerja Panen/kg (HOK/kg) Upah Tenaga Kerja Pria (Rp/HOK) Biaya tenaga kerja panen /kg (Rp/kg) Rata-rata Harga Jual Limbah Sayuran per kilogram

12 Berdasarkan Tabel 12 dapat diperoleh informasi bahwa harga jual limbah setiap kilogramnya adalah Rp 153,64. Nilai tersebut diperoleh dengan merataratakan harga limbah tiap jenis sayuran yang secara langsung yang dipengaruhi oleh banyaknya kebutuhan HOK untuk aktivitas pemanenan dan jumlah produksi sayuran per bedengnnya. Harga limbah sayuran per kilogram setiap jenis sayuran diperoleh dengan mengalikan kebutuhan tenaga kerja untuk memanen sayuran tiap kilogramnyadengan upah tenaga kerja yang dalam hal ini disetarakan dengan upah tenaga kerja pria di Desa Karehkel. Berdasarkan informasi pada Tabel 12 maka harga setiap kilogram limbah sayuran yang dijual pada MUSOT adalah Rp 153, Usahaternak Domba Kebutuhan Input Produksi Domba Rata-rata setiap peternak domba di Desa Karehkel memiliki enam domba yang biasanya terdiri dari satu domba jantan dan sisanya adalah domba betina. Kandang yang digunakan berbentuk panggung dan rata-rata memiliki luasan 9,92 m 2 dan berkapasitas kurang lebih enam ekor domba. Konstruksi kandang terbuat dari kayu-kayu hutan yang didapat dari hutan rakyat di sekitar rumah warga. Sebagian besar kandang tidak bersekat sehingga bercampur antara indukan jantan, indukan betina, dan anakannya. Pada beberapa peternak terdapat penyekatan kandang namun tidak terlalu besar karena hanya ditujukan untuk mengawinkan domba. Aktivitas ternak domba di Desa Karehkel masih dilakukan secara tradisional sehingga input produksi yang diperlukan sangat sederhana. Input produksi ternak domba adalah pakan dan obat-obatan. Obat yang diberikan kepada domba adalah obat diare dan pemberiannya tidak menentu yakni hanya pada saat domba diare. Rata-rata petani memberikan obat diare sebutir per bulan untuk setiap domba yang dipelihara. Biaya produksi per ekor domba pada model sayuran organik terpadu adalah sebesar Rp 500,00 yang tidak lain merupakan harga obat diare per butirnya. Sebagian besar domba-domba dipelihara secara semi intensif. Pada pagi hari sampai dengan menjelang sore hari domba digembalakan. Pemilik hewan 76

13 ternak tetap mencari pakan untuk persediaan pakan ternak saat malam sampai keesokan harinya. Beberapa peternak tidak menggembalakan dombanya dan pakan dipenuhi dengan hijauan yang dicarinya. Berdasarkan pengamatan di lapangan terhadap responden peternak domba menunjukkan bahwa setiap ekor domba diberi pakan sebanyak 6,25 kg setiap harinya. Pada model linear yang dibangun dalam penelitian ini pakan hijauan atau rumput yang dicari oleh petani tidak dinilai dengan uang namun dinilai dengan curahan tenaga kerja untuk mencari rumput. Curahan tenaga kerja untuk mencari rumput tersebut kemudian dimasukkan pada kendala tenaga kerja aktivitas ternak domba Kebutuhan Tenaga Kerja Domba Secara garis besar tenaga kerja pada usahaternak dialokasikan pada dua kegiatan yakni pemeliharaan ternak dan mencari pakan hijauan lapangan. Peternak membersihkan kandang dan membersihkan kotoran dalam sebulan sebanyak empat kali. Aktivitas mencari pakan rumput hijauan dilakukan setiap hari. Bisanya peternak mencari hijauan lapang (rumput dan daun-daunan) dari pukul sampai dengan pukul Pada pola pemeliharaan domba intensif, pakan hijauan lapangan yang dicari tersebut digunakan untuk pakan ternak sampai keesokan harinya. Biasanya pakan diberikan pada waktu siang hari, menjelang malam, dan pada pagi harinya. Kebutuhan tenaga kerja per ekor domba dalam sebulan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini. Tabel 13. Kebutuhan Tenaga Kerja per Ekor Domba padausahaternak Domba dalam Waktu Sebulan No Jenis Kegiatan Konversi HOK/ ekor 1 Membersihkan kandang dan mengumpulkan kotoran domba Mencari rumput Memberi pakan 2.68 Total kebutuhan tenaga kerja per ekor domba per bulan 6.00 Tabel 13 menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja terbesar adalah pada aktivitas mencari pakan hijauan lapang. Pada musim penghujan hijauan lapang cukup mudah didapatkan. Pada saat musim kemarau tiba, peternak terkadang harus mencari hijauan lapang di tempat yang cukup jauh. Meskipun demikian, 77

14 secara keseluruhan hijauan lapang yang menjadi bahan pakan utama ternak di Desa Karehkel tersedia sepanjang tahun. Curahan tenaga kerja untuk mencari rumput sebanyak 3,21HOK dapat menghasilkan rumput sekitar 187,5 kg sehingga setiap kilogram rumput yang disediakan bagi domba memerlukan curahan tenaga kerja sebanyak 0,02 HOK. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka pada model linier usahatani terpadu yang dibangun curahan tenaga kerja dalam keluarga akan dibedakan menjadi dua yakni curahan tenaga kerja untuk pemeliharaan domba yang meliputi aktivitas membersihkan kandang, membersihkan kotoran domba, dan memberi pakan sedangkan aktivitas mencari rumput dibedakan menjadi variabel tersendiri. Kebutuhan tenaga kerja per ekor domba per bulan adalah sebanyak 2,79 HOK dan kebutuhan tenaga kerja untuk setiap kilogram rumput yang disediakan adalah 0,02 HOK Produksi Domba Keberadaan ternak domba di Desa Karehkel sebagian besar ditujukan sebagai tabungan. Ternak tersebut akan dijual apabila pemilik domba memiliki kebutuhan yang sangat mendesak sehingga aktivitas penjualan domba dilakukan secara tidak menentu. Pada model linier usahatani terpadu yang dibangun penerimaan peternak domba berasal dari pertambahan bobot hidup domba. Pertambahan bobot hidup harian domba dan kambing adalah relatif sama. Ella et al. (2003) menyebutkan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan harian kambing adalah 0,047 kg atau 1,41 kg per bulan. Harga per kilogram daging domba di tingkat produsen adalah Rp , Selain potensi berupa pertambahan bobot hidup domba, maka hasil sampingan ternak domba berupa kotoran domba juga memiliki nilai ekonomi. Peternak domba di Desa Karehkel sangat jarang menjual limbah domba. Apabila ada yang membutuhkan petani biasanya memberikan saja kotoran domba tersebut. Terkadang ada yang membeli kotoran dengan harga Rp 5.000,00 per karung yang berisi sekitar 35 kg namun hal tersebut jarang terjadi karena mayoritas usahatani tanaman di Desa Karehkel kurang meminati penggunaan pupuk kotoran domba dalam jumlah besar. Penyebabnya adalah sifat dari kotoran domba itu sendiri yang 11 Harga Komoditas Ternak Bulan Oktober [April 2010] 78

15 banyak mengandung biji-biji gulma. Pada saat digunakan untuk pupuk akan sangat banyak gulma yang tumbuh sehingga perlu sering disiangi. Limbah domba berasal dari kotoran domba dan urin domba yang bercampur dengan sisa pakan. Balitnak Bogor (2003) menyebutkan bahwa setiap ekor domba memerlukan pakan hijauan segar sebanyak 5,35 kg setiap harinya atau 160,5 kg setiap bulannya. Feses yang dihasilkan adalah 0,633 kg setiap harinya sehingga dari 100% pakan yang dikonsumsi yang dikeluarkan sebagai feses adalah sekitar 11,83%. Apabila rata-rata setiap domba per harinya diberi pakan sebanyak 6,25 kg maka sisa pakan per harinya adalah sebanyak 0,9 kg. Jika dikalkulasikan maka limbah domba (sisa pakan dan kotoran) yang dihasilkan per harinya diperkirakan mencapai 1,533 atau selama 30 hari (satu bulan) setiap ekor domba menghasilkan sekitar 46 kg limbah domba. Keberadaan limbah domba yang cukup melimpah sangat berpotensi sebagai bahan baku pupuk kandang bagi usahatani tanaman. Adanya karakteristik kotoran domba sebagai pupuk yang kurang disukai petani menyebabkan sangat perlunya penanganan kotoran domba secara khusus sehingga dapat digunakan sebagai pupuk. Saat ini GPW telah mengetahui teknologi pembuatan bokashi pupuk kandang dengan kebutuhan bahan baku 28,8% berasal dari kotoran domba. Oleh karena itu, pengembangan usaha produksi bokashi pupuk kandang di Desa Karehkel diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan limbah ternak domba Usahaternak Kelinci Kebutuhan Input Produksi Kelinci Aktivitas ternak kelinci di Desa Karehkel dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas peternakan yang tergolong baru karena diintroduksikan pada tahun Pada awalnya kelinci tersebut merupakan bantuan dari program padat karya Disnakertrans Bogor untuk menggerakan ekonomi masyarakat petani. Sebelumnya sama sekali tidak ada aktivitas ternak kelinci sehingga sampai dengan saat ini tingkat penerapan teknologi dan pengetahuan peternak dalam budidaya kelinci masih rendah.bangunan kandang berbahan baku bambu dan setiap ekor kelinci dikandangkan satu per satu secara terpisah dengan kandang baterai (kandang individu). Jenis kelinci yang banyak dibudidayakan adalah 79

16 kelinci hias lokal. Pada beberapa peternak memiliki indukan kelinci angora namun jumlahnya sangat sedikit dikarenakan harga indukan angora yang sangat mahal. Peternak kelinci yang terbesar di Desa Karehkel hanya memiliki bangunan yang berkapasitas sekitar 64 kandang baterai. Sebagian besar pakan kelinci di Desa Karehkel dipenuhi dengan rumput yang berasal dari lapangan yakni sekitar 67,32 persen dan sisanya sebanyak 32,68 berasal dari dedak. Adanya penyakit buduk pada kelinci menjadi suatu permasalahan tersendiri bagi peternak, terutama bagi peternak yang memiliki modal kecil. Pencegahan penyakit buduk dapat dilakukan dengan memvaksin ternak kelinci. Responden peternak kelinci yang memiliki indukan kelinci sebanyak 35 ekor memerlukan vaksin buduk dengan volume isi 50 cc berharga Rp ,00 digunakan untuk dua bulan. Diperkirakan setiap bulannya membutuhkan biaya Rp ,00 untuk memvaksin 35 ekor indukan kelinci tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dari responden maka kebutuhan biaya produksi per ekor kelinci non pakan hijauan lapang setiap bulannya dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini. Biaya produksi tersebut merupakan acuan dalam menentukan koefisien biaya pada aktivitas ternak kelinci per ekor indukan pada model linier yang dirancang dalam penelitian ini. Pakan berupa hijauan lapang tidak dimasukkan dalam komponen biaya per ekor indukan kelinci karena setiap kilogram rumput yang disediakan oleh peternak diukur dengan curahan tenaga kerja pada kendala tenaga kerja model sayuran organik terpadu. Tabel 14. Biaya Produksi Kelinci per Bulan di Desa Karehkel Harga Satuan Total Biaya Komponen Biaya Kebutuhan Input Satuan (Rp) (Rp) Dedak 2 kg Obat suntik 0, cc ,43 Total biaya 6.571,43 Aktivitas ternak kelinci pada penelitian ini didefinisikan sebagai aktivitas memelihara indukan kelinci betina. Asumsi tersebut digunakan untuk menyederhanakan MUSOT yang dibangun pada penelitian ini karena pengusahaan ternak kelinci di Desa Karehkel ditujukan untuk dapat menghasilkan anakan kelinci hias sehingga aktivitas produksi anakan kelinci hias dikaitkan 80

17 dengan memelihara indukan betina. Peternak kelinci di Desa Karehkel, biasanya menggunakan seekor pejantan untuk mengawini 6-10 ekor Kebutuhan Tenaga Kerja Kelinci Seperti halnya pada aktivtas ternak domba, kegiatan pada ternak kelinci dibedakan menjadi dua yakni kegiatan pemeliharaan kelinci dan kegiatan untuk mencari hijauan lapang. Kegiatan pemeliharaan kelinci meliputi membersihkan kandang, memberi pakan kelinci, memberikan obat, dan mengawinkan kelinci. Seekor kelinci memiliki masa bunting selama sebulan dan masa menyusui anaknya selama dua bulan. Indukan betina kelinci siap untuk dikawinkan pada saat sudah tidak menyusui. Para peternak kelinci di Desa Karehkel sebagian besar menjual anakan kelinci saat berusia satu bulan sehingga indukan betina kelinci dapat segera dikawinkan dan menghasilkan anakan lagi. Tabel 15 menunjukkan kebutuhan tenaga kerja untuk memelihara kelinci selama satu bulan dengan adanya aktivitas mengawinkan yakni disertai dengan buntingnya indukan kelinci dan usahaternak kelinci dengan seluruh indukan menyusui. Total kebutuhan tenaga kerja setiap ekor kelinci dalam satu bulan pada saat indukan kelinci bunting dan menyusui masing-masing sebanyak 0,745 HOK dan 0,841 HOK. Tabel 15. Kebutuhan Tenaga Kerja per Ekor Kelinci pada Setiap Bulan oleh Responden Peternak Kelinci Jenis Kegiatan Membersihkan kandang Mencari rumput Memberi pakan Memberikan obat Mengawinkan Jumlah kebutuhan tenaga kerja Kebutuhan Tenaga Kerja Bunting (HOK) Kebutuhan Tenaga Kerja Menyusui (HOK) 0,201 0,201 0,067 0,167 0,469 0,469 0,004 0,004 0,004 0,745 0,841 Tabel 15 menunjukkan bahwa aktivitas memberi pakan kelinci adalah aktivitas yang memerlukan curahan tenaga kerja terbanyak yakni rata-rata sekitar 59,4 persen dari total curahan tenaga kerja per ekor kelinci. Hal ini disebabkan karena peternak harus meracik pakan terlebih dahulu misalnya mengencerkan 81

18 dedak dan pakan rumput perlu di potong-potong sehingga curahan ternaga kerja yang dibutuhkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan aktivitas lain dalam usahaternak kelinci. Selain itu, Tabel 15 juga menunjukkan bahwa mencari pakan hijauan ternak kelinci bukanlah aktivitas yang memerlukan curahan tenaga kerja terbesar. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan aktivitas ternak domba dimana aktivitas mencari hijauan lapang memerlukan curahan tenaga kerja terbanyak. Penyebabnya adalah kebutuhan pakan hijauan per ekor kelinci adalah jauh lebih kecil daripada domba sehingga curahan kerja yang digunakan untuk mencari pakan hijauan kelinci adalah jauh lebih sedikit. Kebutuhan pakan kelinci juga berbeda-beda tergantung pada kondisi indukan yang sedang bunting atau menyusui. NRC (1977) dalam Ensminger (1991) diacu dalam Muslih et al. (2005) menyebutkan bahwa rata-rata kebutuhan pakan kelinci saat bunting dan menyusui masing-masing adalah 0,183 kilogram per hari dan kilogram per hari. Dalam sebulan maka kebutuhan pakan per ekor kelinci saat bunting adalah mencapai 5,49 kilogram dan saat menyusui sebanyak 15,6 kilogram. Adanya kendala dalam menghitung jumlah rumput yang diarit setiap harinya maka khusus untuk ternak kelinci, penyediaan pakan per ekor kelinci baik pada saat bunting maupun menyusui mengacu pada Muslih et al. (2005). Setiap bulannya, peternak responden dengan kepemilikan indukan ternak 35 ekor selalu menggunakan dedak sebagai campuran pakan kelinci sebanyak 70 kilogram. Maka seekor kelinci mengkonsumsi dedak dalam sebulan sebanyak 2 kilogram. Berdasarkan kebutuhan pakan kelinci menurut Muslih et al. (2005) maka pakan hijauan kelinci saat bunting adalah 3,49 kilogram per ekor sedangkan pada saat menyusui sebanyak 13,6 kilogram. Dari Tabel di atas dapat diketahui bahwasanya setiap kilogram rumput yang disediakan rata-rata memerlukan curahan tenaga kerja sebesar 0,02 HOK. Model yang dibangun pada penelitian ini membedakan kegiatan ternak kelinci menjadi dua bagian yakni aktivitas memelihara kelinci dan aktivitas mencari pakan hijauan lapang. Kebutuhan tenaga kerja per ekor kelinci untuk kegiatan pemeliharaan kelinci saat terdapat aktivitas mengawinkan adalah 82

19 sebanyak 0,679 HOK sedangkan jika tidak terdapat aktivitas mengawinkan kelinci kebutuhan tenaga kerjanya adalah sebanyak 0,675 HOK Produksi Kelinci Mayoritas kelinci yang dibudidayakan oleh peternak di Desa Karehkel adalah kelinci hias lokal sehingga produk utama berupa anakan kelinci hias. Setiap anakan kelinci hias dihargai Rp ,00. Setiap indukan kelinci mampu menghasilkan anakan antara 8-10 ekor. Derajat kematian usahaternak kelinci mencapai 25 persen sehingga rata-rata kelinci yang hidup adalah sebanyak 7 ekor. (Farrell dan Raharjo, 1984). Peternak kelinci di Desa Karehkel mengantisipasi risiko kerugian tersebut dengan menjual anakan kelinci pada usia yang masih muda yakni saat berumur satu bulan. Saat ini, kesadaran masyarakat akan kelebihan limbah kelinci sebagai pupuk organik semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya penelitian dan mulai ada permintaan limbah kelinci sebagai bahan baku pupuk organik. Petani salak di Yogyakarta misalnya, mereka senantiasa mencari pupuk kelinci karena sangat baik untuk pertumbuhan tanaman dan buah. Harga pupuk kotoran kelinci dapat mencapai Rp 7.500,00 per kilogramnya sedangkan urin kelinci mencapai Rp 5.000,00 per liternya 12. Harga urin kelinci dan kotoran kelinci yang belum diolah menjadi pupuk di Cileungsi, Pancawati yang berlokasi di sekitar Sukabumi adalah lebih murah daripada harga di Yogyakarta. Harga urin kelinci di Cileungsi hanya berkisar antara Rp 1.000,00-Rp 1.500,00 sedangkan harga kotoran kelinci per 25 kilogramnya berkisar antara Rp ,00-Rp ,00 (Setyadi 2009). Produksi urin kelinci dan feses kelinci per harinya sangat bergantung pada bobot badan hidup kelinci. NRC (1977) dalam Ensminger (1991) diacu dalam Muslih et al. (2005) kembali mengutarakan bahwasanya bobot badan hidup kelinci saat bunting berkisar antara 2,3-6,8 kilogram atau rata-rata 4,55 kilogram sedangkan pada saat menyusui adalah 4,5 kilogram. Setiap kilogram bobot badan seekor kelinci berpotensi untuk menghasilkan urin kelinci sekitar 0,01-0,035 liter per hari atau rata-rata 0,0225 liter per hari dan kotoran kelinci sebanyak 0,028 kg 12 Mencoba Hoki Berbisnis Kelinci. [November 2006] 83

20 per hari 13. Dalam jangka waktu sebulan maka seekor kelinci bunting dan menyusui berpotensi untuk menghasilkan urin masing-masing sebanyak 3,07 liter dan 3,04 liter. Satuan liter urin kelinci dalam penelitian ini akan diasumsikan setara dengan satuan kilogram urin kelinci. Produksi feses kelinci setiap ekor dalam sebulan dapat mencapai sekitar 3,822 kilogram pada kondisi kelinci bunting dan 3,78 kilogram pada saat kelinci menyusui. Biasanya feses urin tercampur dengan sisa pakannya. Sisa pakan kelinci dapat mencapai 75 persen dari total pakan kelinci yang diberikan 14. Produksi kotoran dan urin anakan kelinci diabaikan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena produksi limbah kelinci ditentukan berdasarkan bobot badan kelinci. Bobot badan anakan kelinci sangatlah kecil yakni sekitar 55 gram sehingga dalam jangka waktu sebulan tidak mengalami peningkatan bobot badan yang begitu signifikan (Lebas et al. 1986). Pada penelitian ini, harga jual masingmasing limbah kelinci tersebut diasumsikan memiliki harga yang sama dengan harga limbah di Cileungsi karena di sekitar Bogor masih sangat sulit untuk menelusuri harga pasar limbah kelinci tersebut Aktivitas Produksi Pupuk Bokashi Kebutuhan Input Produksi Pupuk Bokashi Jenis pupuk bokashi yang diproduksi di Desa Karehkel adalah bokashi pupuk kandang karena sebagian besar bahan bakunya (sekitar 59%) berasal dari limbah ternak. Adanya proses fermentasi bahan-bahan pupuk menggunakan MOL (mikroorganisme lokal) dapat mempercepat penguraian bahan organik kotoran ternak tersebut. Deptan mendefiniskan bokashi pupuk kandang dengan suatu aktivitas memproduksi kompos dengan bahan tertentu yang melibatkan proses fermentasi bahan baku kompos berupa kotoran ternak 15. Bahan baku yang digunakan untuk membuat pupuk bokashi di Desa Karehkel antara lain kotoran domba, kotoran kelinci, urin kelinci, sampah dedaunan, molasses (air gula), MOL, dan arang sekam. Penggunaan MOL dapat mempercepat proses pengomposan. 13 The Rabbit. [Mei 2010] 14 Memproduksi Pupuk Organik dari Kelinci. [Mei 2010] 15 Bokashi (Bahan Organik Kaya Akan Sumber Hayati). [Juli 2010] 84

21 Pengomposan pupuk kandang secara alami memakan waktu antara 3-4 bulan sedangkan dengan menggunakan MOL pengomposan hanya memakan waktu sekitar dua minggu (Setiawan 2010). MOL yang diproduksi oleh GPW terdiri dari berbagai macam bahan baku yang mudah didapatkan di sekitar desa misalnya bodogol pisang, berenuk, dan rebung. Kebutuhan tenaga kerja tersebut meliputi aktivitas memproduksi MOL (mikroorganisme lokal) dan memproduksi bokashi itu sendiri. MOL yang dimaksud dalam penelitian ini dikhususkan pada MOL yang berbahan dasar bodogol pisang. Ketersediaan bodogol pisang yang cukup banyak di Desa Karehkel sangat memungkinkan untuk dapat memproduksi MOL sepanjang tahun. Bahan-bahan MOL lainnya seperti rebung dan buah berenuk yang cukup terbatas ketersediaannya serta keong sawah yang seringkali beraroma tidak sedap saat dibuat menjadi MOL menjadi kendala tersendiri dalam memproduksi MOL dengan bahan-bahan tersebut. Secara garis besar, aktivitas memproduksi MOL memerlukan bahan baku berupa bodogol pisang, air kelapa, molasses (air gula jawa), dan air besar. Biaya produksi setiap liter MOL bodogol pisang adalah Rp 475,00. Tabel 16 di bawah ini akan menunjukkan kebutuhan bahan baku dan biaya produksi berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden produsen bokashi di Desa Karehkel. Tabel 16. Kebutuhan Bahan Baku dan Biaya Produksi 10 Liter MOL Berbahan Dasar Bodogol Pisang Bahan Baku Kebutuhan Satuan Harga Satuan (Rp) Total Biaya (Rp) Bodogol Pisang 1 kg Air beras 5 liter Air kelapa 5 liter Gula 0.25 kg Total Biaya Produksi 10 Liter MOL Bodogol Pisang 4750 Dalam aktivitas produksi kompos, seringkali terjadi penyusutan bobot bahan baku kompos yakni sebanyak persen (Gaur 1980). Sebanyak 100 kilogram bahan baku yang dikomposkan akan menjadi kompos seberat kilogram kompos. Penyusutan bobot bahan baku saat dikomposkan adalah sekitar 35 persen. Adanya penyusutan bobot bahan baku dalam memproduksi bokashi 85

22 pupuk kandang sebanyak 35 persen menyebabkan dengan bahan baku sebanyak 727,5 kilogram akan menghasilkan bokashi sebanyak 472,875 kilogram. Berdasarkan teknologi pembuatan pupuk bokashi di Desa Karehkel, 58,2 persen bahan baku berasal dari limbah ternak. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi pembuatan pupuk bokashi di Desa Krehkel sangat berpotensi untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah ternak. Kebutuhan bahan lain yang cukup besar adalah pada kebutuhan sampah daun kering yang diperoleh dengan cara mengumpulkan di sekitar lokasi produksi. Oleh karena itu, kegiatan mencari sampah daun kering dimasukkan pada komponen kebutuhan tenaga kerja untuk memproduksi pupuk bokashi. Kebutuhan molasses dipenuhi dengan membeli limbah industri gula aren yang ada di sekitar lokasi penelitian. Tabel 17 berikut ini akan memberikan informasi mengenai kebutuhan pembuatan bokashi pupuk kandang di Desa Karehkel berdasarkan informasi responden. Tabel 17. Produksi Bokashi Pupuk Kandang di Desa Karehkel dengan Total Penggunaan Bahan Baku sebanyak 727,5 Kilogram Bahan Baku Satuan Kebutuhan Bahan Baku Proporsi Bahan Baku (%) Kotoran kambing Kg Kotoran lunak kelinci Kg Sampah daun kering Kg Sekam Kg MOL Kg air kelapa Kg urine kelinci Kg molases (air gula) Kg Total kebutuhan bahan baku Kg Komponen biaya per kilogram pupuk bokashi yang diproduksi diperoleh dengan menjumlahkan seluruh biaya-biaya bahan baku di luar limbah ternak yakni diantaranya biaya pembelian sekam, biaya bahan baku MOL, biaya pembelian molasses, dan biaya pembelian air kelapa. Pada kondisi aktual, kebutuhan input tersebut selalu tersedia sehingga tidak menjadi kendala dalam model yang dibangun. Komponen biaya limbah ternak pada model ini dipisahkan sehingga dapat terlihat keputusan optimal dalam memenuhi kebutuhan bahan baku pupuk baik dari dalam maupun luar desa. Kebutuhan bahan baku bokashi pupuk kandang berupa kotoran ternak dibedakan menjadi komponen biaya tersendiri. Harga beli 86

23 setiap kilogram limbah ternak adalah sama dengan harga jual setiap limbah ternak yang dihasilkan di Desa Karehkel. Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini, kotoran domba, kotoran kelinci, dan urin kelinci menghadapai pasar yang sama sehingga harga setiap limbah tersebut adalah sama dengan harga pasar. Harga masing-masing limbah ternak tersebut adalah Rp 142,86 per kilogram kotoran domba, Rp 1.250,00 untuk setiap liter urin kelinci yang dibeli, dan Rp 500,00 untuk setiap kilogram kotoran kelinci. Struktur biaya per kilogram bokashi yang menjadi acuan dalam penentuan koefisien biaya pada aktvitas memproduksi pupuk organik bokashi dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini. Tabel 18. Kebutuhan Bahan Baku dan Biaya Per Kilogram Bokashi Pupuk Kandang yang Diproduksi Bahan Baku Satuan Kebutuhan Bahan Baku untuk kg bokashi (Kg) Kebutuhan Bahan Baku per Kilogram Bokashi (kg) Harga Satuan (Rp) Biaya (Rp) Sekam kg MOL kg Air kelapa kg Mollases kg Total Biaya per Kilogram Bokashi Kebutuhan Tenaga Kerja Kebutuhan tenaga kerja dalam memproduksi bokashi pupuk kandang tidak terlalu besar. Produksi bokashi dengan total bahan baku mencapai 727,5 kilogram hanya membutuhkan curahan tenaga kerja sekitar 5,3 HOK. Kebutuhan tenaga kerja tersebut sudah termasuk dengan aktivitas memproduksi MOL sesuai dengan kebutuhan bahan baku pembuatan bokashi. Data mengenai kebutuhan curahan tenaga kerja produksi pupuk bokashi pada Tabel 19 memiliki periode produksi selama satu bulan yakni 30 hari. Aktivitas memproduksi MOL yang lebih sederhana menyebabkan curahan tenaga kerja yang digunakan adalah lebih kecil daripada aktivitas pembuatan bokashi. Tabel 19 secara lengkap akan menunjukkan curahan tenaga kerja dalam memproduksi bokahi pupuk kandang sesuai data yang diperoleh dari responden. 87

24 Tabel 19. Curahan Tenaga Kerja Pembuatan Bokashi Sebanyak 472,875 Kilogram Jenis Kegiatan Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK) Pembuatan MOL (2.5L) Menghaluskan bahan baku (bodogol pisang) 0,050 mencampur bahan 0,006 Pembuatan MOL 0,025 Aktivitas produksi bokashi ( kg) Mengumpulkan dan mencampur bahan baku 0,286 Pembuatan kompos 0,286 Pembalikkan kompos 0,357 Mengumpulkan sampah dedaunan kering 4,286 Total Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK) 5,296 Secara kesuluruhan, aktivitas mengumpulkan sampah dedaunan kering membutuhkan curahan tenaga kerja terbesar yakni sekitar 81 persen. Curahan tenaga kerja untuk memproduksi MOL hanya sebesar 1,53 persen dari total kebutuhan tenaga kerja total sedangkan sisanya digunakan untuk aktivitas produksi bokashi. Berdasarkan informasi pada Tabel 19 di atas dapat diketahui bahwasanya setiap kilogram bokashi yang diproduksi memerlukan curahan tenaga kerja sekitar 0,01 HOK. Kebutuhan curahan kerja sebanyak 0,01 HOK tersebut menjadi acuan dalam menentukan koefisien fungsi kendala tenaga kerja model terintegrasi yang dibangun pada aktivitas produksi pupuk bokashi Produksi Pupuk Bokashi Adanya perbedaan teknologi yang digunakan dalam memproduksi pupuk bokashi di Desa Karehkel dengan pupuk kotoran ayam yang biasanya digunakan petani sayuran organik menyebabkan adanya perbedaan harga antara kedua jenis pupuk tersebut. Kotoran ayam yang digunakan sebagai pupuk organik sama sekali tidak terdapat perlakuan secara khusus. Kotoran ayam tersebut hanya didiamkan saja sampai dengan suhunya meningkat kemudian menjadi stabil sehingga dapat digunakan sebagai pupuk. Berbeda halnya dengan pupuk kandang yang diproduksi di Desa Karehkel dimana bahan baku mengalami proses fermentasi sehingga menjadi pupuk bokashi. Cukup beragamnya bahan baku yang digunakan untuk memproduksi bokashi pupuk kandang di Desa Karehkel berdampak pada tingginya biaya produksi per kilogramnya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwasanya harga 88

25 pokok produksi per kilogram bokashi di Desa Karehkel mencapai Rp 665,97. Jika dibandingkan dengan harga pasar pupuk kotoran ayam maka tentu saja harga pupuk bokashi lebih mahal. Kondisi tersebut menimbulkan dugaan bahwa penggunaan pupuk bokashi untuk kegiatan usahatani sayuran organik kurang menguntungkan pada tingkat produksi sayuran dan harga sayuran organik yang sama. Berapapun keuntungan yang diambil oleh produsen kompos untuk setiap kilogram bokashi yang dijual, harga pupuk bokashi akan tetap lebih mahal daripada harga kotoran ayam per kilogramnya di pasaran. Pada penelitian ini diasumsikan produsen pupuk organik menjual pupuk bokashi dengan keuntungan per kilogramnya sebanyak 10 persen. Perhitungan mengenai HPP pupuk bokashi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran Aktivitas Produksi Silase Adanya rencana penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel merupakan sebuah upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah yang dihasilkan dari aktivitas usahatani, salah satunya adalah limbah sayuran. Karakteristik limbah sayuran yang mudah busuk menjadi salah satu kendala dalam pemanfaatannya sebagai pakan ternak. Berdasarkan asumsi permintaan sayuran organik setiap bulannya maka potensi limbah yang dapat dihasilkan per bulannya dapat mencapai sekitar 1,4 ton. Pengolahan limbah sayuran menjadi silase dapat menjadi salah satu upaya dalam mengoptimalkan pemanfaatan limbah sayur sebagai pakan ternak yang memiliki umur simpan yang lebih lama. Silase merupakan hijauan pakan ternak yang disimpan dalam wadah tertutup yang kedap udara sehingga terfementasi dalam keadaann tersebut (Gohl 1981 diacu dalam Maskitono 1990). Dalam pembuatan silase memerlukan berbagai bahan baku pendukung yakni bahan pengawet dan zat aditif. Bahan pengawet yang dapat digunakan salah satunya adalah dedak. Zat aditif digunakan sebagai pemacu aktivitas fermentasi. Zat aditif tersebut terdiri dari bakteri-bakteri yang berfungsi sebagai pencegah pembusukan dan perombak karbohidrat dan protein. Penggunaan silase sebagai pakan ternak memiliki beberapa kelebihan diantaranya pakan ternak lebih awet, memiliki kandungan bakteri asam laktat yang bersifat sebagai probiotik sehingga dapat memperbaiki konversi pakan, meningkatkan pertumbuhan berat badan, memperbaiki resistensi penyakit dan 89

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN 6.1. Analisis Budidaya Kedelai Edamame Budidaya kedelai edamame dilakukan oleh para petani mitra PT Saung Mirwan di lahan persawahan.

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Objek Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Karehkel yang berada di wilayah Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Objek penelitian ini

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum, Geografis, dan Iklim Lokasi Penelitian Desa Ciaruten Ilir merupakan desa yang masih berada dalam bagian wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. [April 2010] 1 Pertmumbuhan Penduduk Indonesia Masih Besar.

I. PENDAHULUAN.  [April 2010] 1 Pertmumbuhan Penduduk Indonesia Masih Besar. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia saat ini sudah mengalami penurunan menjadi 1,3 persen namun pertumbuhan penduduk Indonesia masih relatif besar yakni sekitar 3-4 juta

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL Sistem Pertanian dengan menggunakan metode SRI di desa Jambenenggang dimulai sekitar tahun 2007. Kegiatan ini diawali dengan adanya

Lebih terperinci

VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI CAISIN

VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI CAISIN VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI CAISIN Penilaian risiko produksi pada caisin dianalisis melalui penggunaan input atau faktor-faktor produksi terhadap produktivitas caisin. Analisis risiko produksi menggunakan

Lebih terperinci

Kompos Cacing Tanah (CASTING)

Kompos Cacing Tanah (CASTING) Kompos Cacing Tanah (CASTING) Oleh : Warsana, SP.M.Si Ada kecenderungan, selama ini petani hanya bergantung pada pupuk anorganik atau pupuk kimia untuk mendukung usahataninya. Ketergantungan ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI 7.1. Produktivitas Usahatani Produktivitas merupakan salah satu cara untuk mengetahui efisiensi dari penggunaan sumberdaya yang ada (lahan) untuk menghasilkan keluaran

Lebih terperinci

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI 6.1. Proses Budidaya Ganyong Ganyong ini merupakan tanaman berimpang yang biasa ditanam oleh petani dalam skala terbatas. Umbinya merupakan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA DKI Jakarta merupakan wilayah terpadat penduduknya di Indonesia dengan kepadatan penduduk mencapai 13,7 ribu/km2 pada tahun

Lebih terperinci

VI RISIKO PRODUKSI SAYURAN ORGANIK

VI RISIKO PRODUKSI SAYURAN ORGANIK VI RISIKO PRODUKSI SAYURAN ORGANIK 6.1. Analisis Risiko Produksi Risiko produksi menyebabkan tingkat produktivitas tanaman sayuran organik mengalami fluktuasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan

Lebih terperinci

Cara Menanam Cabe di Polybag

Cara Menanam Cabe di Polybag Cabe merupakan buah dan tumbuhan berasal dari anggota genus Capsicum. Buahnya dapat digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, tergantung bagaimana digunakan. Sebagai bumbu, buah cabai yang pedas sangat

Lebih terperinci

Peluang Usaha Budidaya Cabai?

Peluang Usaha Budidaya Cabai? Sambal Aseli Pedasnya Peluang Usaha Budidaya Cabai? Tanaman cabai dapat tumbuh di wilayah Indonesia dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Peluang pasar besar dan luas dengan rata-rata konsumsi cabai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung Gedung Meneng, Kecamatan raja basa, Bandar Lampung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. beberapa pasar di Kota Bandar Lampung dan di kebun percobaan Universitas

III. METODE PENELITIAN. beberapa pasar di Kota Bandar Lampung dan di kebun percobaan Universitas 26 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di laboratorium Biokimia Politeknik Universitas Lampung, beberapa pasar di Kota Bandar Lampung dan di kebun percobaan Universitas Lampung.

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga VI. ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Ketersediaan Input Dalam mengusahakan ternak sapi ada beberapa input yang harus dipenuhi seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan,

Lebih terperinci

P e r u n j u k T e k n i s PENDAHULUAN

P e r u n j u k T e k n i s PENDAHULUAN PENDAHULUAN Tanah yang terlalu sering di gunakan dalam jangka waktu yang panjang dapat mengakibatkan persediaan unsur hara di dalamnya semakin berkurang, oleh karena itu pemupukan merupakan suatu keharusan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi. yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi. yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi Definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Tanaman Pakcoy Pakcoy (Brassica rapa L.) adalah jenis tanaman sayur-sayuran yang termasuk keluarga Brassicaceae. Tumbuhan pakcoy berasal dari China dan telah dibudidayakan

Lebih terperinci

Cara Sukses Menanam dan Budidaya Cabe Dalam Polybag

Cara Sukses Menanam dan Budidaya Cabe Dalam Polybag Cara Sukses Menanam dan Budidaya Cabe Dalam Polybag Oleh : Tatok Hidayatul Rohman Cara Budidaya Cabe Cabe merupakan salah satu jenis tanaman yang saat ini banyak digunakan untuk bumbu masakan. Harga komoditas

Lebih terperinci

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Sebagai salah satu tanaman penghasil protein nabati, kebutuhan kedelai di tingkat lokal maupun nasional masih cenderung sangat tinggi. Bahkan sekarang ini kedelai

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5. Gambaran Umum Desa Ciaruten Ilir Desa Ciaruten Ilir merupakan bagian wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Desa ini merupakan daerah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemupukan pada Tanaman Tomat 2.1.1 Pengaruh Aplikasi Pupuk Kimia Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada tanaman tomat tertinggi terlihat pada

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR LUDY K. KRISTIANTO, MASTUR dan RINA SINTAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian ABSTRAK Kerbau bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan. (Pannisetum purpureum cv. Mott) dapat mencapai 60 ton/ha/tahun

BAB I PENDAHULUAN. Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan. (Pannisetum purpureum cv. Mott) dapat mencapai 60 ton/ha/tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan hijauan unggul yang digunakan sebagai pakan ternak. Produksi rumput gajah (Pannisetum purpureum

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PUPUK ORGANIK AIR CUCIAN BERAS TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SAWI HIJAU (Brassica juncea L) Rahman Hairuddin

EFEKTIFITAS PUPUK ORGANIK AIR CUCIAN BERAS TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SAWI HIJAU (Brassica juncea L) Rahman Hairuddin VOLUME 3 NO.3 OKTOBER 2015 EFEKTIFITAS PUPUK ORGANIK AIR CUCIAN BERAS TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SAWI HIJAU (Brassica juncea L) Rahman Hairuddin Universitas Cokroaminoto Palopo ABSTRAK Penelitian ini

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Lokasi dan Keadaan Geografis Kelompok Tani Pondok Menteng merupakan salah satu dari tujuh anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Rukun Tani yang sebagian besar

Lebih terperinci

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL 6.1 Sarana Usahatani Kembang Kol Sarana produksi merupakan faktor pengantar produksi usahatani. Saran produksi pada usahatani kembang kol terdiri dari bibit,

Lebih terperinci

VII. PEMECAHAN OPTIMAL MODEL INTEGRASI TANAMAN TERNAK

VII. PEMECAHAN OPTIMAL MODEL INTEGRASI TANAMAN TERNAK VII. PEMECAHAN OPTIMAL MODEL INTEGRASI TANAMAN TERNAK 7.1. Pola Usahatani Pola usahatani yang dimasukkan dalam program linier sesuai kebiasaan petani adalah pola tanam padi-bera untuk lahan sawah satu

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS Keberhasilan usahatani yang dilakukan petani biasanya diukur dengan menggunakan ukuran pendapatan usahatani yang diperoleh. Semakin besar pendapatan usahatani

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Politeknik Negeri Lampung,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Politeknik Negeri Lampung, III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Politeknik Negeri Lampung, Bandar lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 sampai

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah 1. Persiapan kolam Di Desa Sendangtirto, seluruh petani pembudidaya ikan menggunakan kolam tanah biasa. Jenis kolam ini memiliki

Lebih terperinci

III. TATA LAKSANA TUGAS AKHIR

III. TATA LAKSANA TUGAS AKHIR 16 III. TATA LAKSANA TUGAS AKHIR A. Tempat Pelaksanaan Tugas Akhir Kegiatan Tugas Akhir dilaksanakan di Banaran RT 4 RW 10, Kelurahan Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. B. Waktu

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. laut, dengan topografi datar. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2015 sampai

III. BAHAN DAN METODE. laut, dengan topografi datar. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2015 sampai 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian III. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan Percut

Lebih terperinci

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA AgroinovasI SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA Ternak ruminansia seperti kambing, domba, sapi, kerbau dan rusa dan lain-lain mempunyai keistimewaan dibanding ternak non ruminansia yaitu

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIOEKSTRAK DARI SAYURAN DAN BUAH-BUAHAN UNTUK MEMPERCEPAT PENGHANCURAN SAMPAH DAUN

PEMBUATAN BIOEKSTRAK DARI SAYURAN DAN BUAH-BUAHAN UNTUK MEMPERCEPAT PENGHANCURAN SAMPAH DAUN PEMBUATAN BIOEKSTRAK DARI SAYURAN DAN BUAH-BUAHAN UNTUK MEMPERCEPAT PENGHANCURAN SAMPAH DAUN Oleh: Siti Marwati Jurusan Penidikan Kimia FMIPA UNY siti_marwati@uny.ac.id Pendahuluan Disadari atau tidak,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Kecamatan Medan Percut Sei Tuan dengan ketinggian tempat kira-kira 12 m dpl,

III. METODE PENELITIAN. Kecamatan Medan Percut Sei Tuan dengan ketinggian tempat kira-kira 12 m dpl, III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di Jl. Kolam No.1 Medan Estate Kecamatan Medan Percut

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate,

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate, III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate,

Lebih terperinci

CARA MEMBUAT KOMPOS OLEH: SUPRAYITNO THL-TBPP BP3K KECAMATAN WONOTIRTO

CARA MEMBUAT KOMPOS OLEH: SUPRAYITNO THL-TBPP BP3K KECAMATAN WONOTIRTO CARA MEMBUAT KOMPOS OLEH: SUPRAYITNO THL-TBPP BP3K KECAMATAN WONOTIRTO Kompos merupakan pupuk yang dibuat dari sisa-sisa mahluk hidup baik hewan maupun tumbuhan yang dibusukkan oleh organisme pengurai.

Lebih terperinci

BOKASHI (BAHAN ORGANIK KAYA AKAN SUMBER HAYATI)

BOKASHI (BAHAN ORGANIK KAYA AKAN SUMBER HAYATI) 1 BOKASHI (BAHAN ORGANIK KAYA AKAN SUMBER HAYATI) Bokashi adalah pupuk kompos yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM4 (Effective Microorganisms 4). Keunggulan

Lebih terperinci

Menembus Batas Kebuntuan Produksi (Cara SRI dalam budidaya padi)

Menembus Batas Kebuntuan Produksi (Cara SRI dalam budidaya padi) Menembus Batas Kebuntuan Produksi (Cara SRI dalam budidaya padi) Pengolahan Tanah Sebagai persiapan, lahan diolah seperti kebiasaan kita dalam mengolah tanah sebelum tanam, dengan urutan sebagai berikut.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan

Lebih terperinci

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan Matheus Sariubang, Novia Qomariyah dan A. Nurhayu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. P. Kemerdekaan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan pada bulan Sebtember - Desember

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan pada bulan Sebtember - Desember III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan pada bulan Sebtember - Desember 2016, tempat pelaksanaan penelitian dilakukan di lahan pertanian Universitas Muhamadiyah

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK ORGANIK CAIR (POC) LIMBAH TERNAK DAN LIMBAH RUMAH TANGGA PADA TANAMAN KANGKUNG (Ipomoea reptans Poir) Oleh : Sayani dan Hasmari Noer *)

PENGARUH PUPUK ORGANIK CAIR (POC) LIMBAH TERNAK DAN LIMBAH RUMAH TANGGA PADA TANAMAN KANGKUNG (Ipomoea reptans Poir) Oleh : Sayani dan Hasmari Noer *) Jurnal KIAT Universitas Alkhairaat 8 (1) Juni 2016 e-issn : 2527-7367 PENGARUH PUPUK ORGANIK CAIR (POC) LIMBAH TERNAK DAN LIMBAH RUMAH TANGGA PADA TANAMAN KANGKUNG (Ipomoea reptans Poir) Oleh : Sayani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah penggunaan pupuk pada dasarnya merupakan bagian daripada sejarah pertanian. Penggunaan pupuk diperkirakan sudah dimulai sejak permulaan manusia mengenal bercocok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung dikategorikan sebagai kota yang sedang berkembang,

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung dikategorikan sebagai kota yang sedang berkembang, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bandar Lampung dikategorikan sebagai kota yang sedang berkembang, menghasilkan sampah dengan karakteristik yang bervariasi. Timbunan sampah yang tidak terurus

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan dengan memberi perlakuan (treatment) terhadap objek. penelitian serta adanya kontrol penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan dengan memberi perlakuan (treatment) terhadap objek. penelitian serta adanya kontrol penelitian. 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini jenis penelitian eksperimen, yaitu penelitian yang dilakukan dengan memberi perlakuan (treatment) terhadap objek penelitian serta adanya

Lebih terperinci

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK PELATIHAN TEKNIS BUDIDAYA KEDELAI BAGI PENYULUH PERTANIAN DAN BABINSA PEMBUATAN PUPUK ORGANIK BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015 Sesi : PEMBUATAN PUPUK ORGANIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena harganya terjangkau dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pisang adalah buah yang

Lebih terperinci

Teknik Budidaya Tanaman Pepaya Ramah Lingkungan Berbasis Teknologi Bio~FOB

Teknik Budidaya Tanaman Pepaya Ramah Lingkungan Berbasis Teknologi Bio~FOB Teknik Budidaya Tanaman Pepaya Ramah Lingkungan Berbasis Teknologi Bio~FOB 1/7 Pepaya merupakan tanaman buah-buahan yang dapat tumbuh di berbagai belahan dunia dan merupakan kelompok tanaman hortikultura

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Bawang Merah Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama telah diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk

Lebih terperinci

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG 7.1 Keragaan Usahatani Padi Varietas Ciherang Usahatani padi varietas ciherang yang dilakukan oleh petani di gapoktan Tani Bersama menurut hasil

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Musim kemarau di Indonesia menjadi permasalahan yang cukup

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Musim kemarau di Indonesia menjadi permasalahan yang cukup PENDAHULUAN Latar Belakang Musim kemarau di Indonesia menjadi permasalahan yang cukup berat bagi peternak. Hal tersebut dikarenakan sulitnya memenuhi kebutuhan pakan hijauan yang berkualitas untuk ternak,

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai dengan Juli 2016

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai dengan Juli 2016 III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai dengan Juli 2016 yang bertempat di Greenhouse Fakultas Pertanian dan Laboratorium Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Teknologi revolusi hijau di Indonesia digulirkan sejak tahun 1960 dan

I. PENDAHULUAN. Teknologi revolusi hijau di Indonesia digulirkan sejak tahun 1960 dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi revolusi hijau di Indonesia digulirkan sejak tahun 1960 dan menunjukkan dampak positif terhadap kenaikan produksi padi nasional. Produksi padi nasional yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan mulai April sampai Juni 2010 di Vegetable Garden, Unit Lapangan Darmaga, University Farm, IPB Darmaga, Bogor. Lokasi penelitian berada pada ketinggian

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH PETERNAKAN DALAM PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI SAYUR-SAYURAN ORGANIK DI TIMOR TENGAH UTARA

PEMANFAATAN LIMBAH PETERNAKAN DALAM PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI SAYUR-SAYURAN ORGANIK DI TIMOR TENGAH UTARA PEMANFAATAN LIMBAH PETERNAKAN DALAM PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI SAYUR-SAYURAN ORGANIK DI TIMOR TENGAH UTARA Amirudin Pohan dan Yohanes Leki Seran Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTT ABSTRAK Pengembangan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Hortikultura Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Hortikultura Fakultas Pertanian 19 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Hortikultura Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang dimulai pada bulan November 2014 sampai April

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PAPRIKA HIDROPONIK

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PAPRIKA HIDROPONIK VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PAPRIKA HIDROPONIK Analisis pendapatan usahatani paprika hidroponik meliputi analisis penerimaan, analisis biaya, analisis pendapatan, dan analisis R/C. Perhitungan usahatani

Lebih terperinci

Menanam Sayuran Dengan Teknik Vertikultur

Menanam Sayuran Dengan Teknik Vertikultur Menanam Sayuran Dengan Teknik Vertikultur Oleh : Elly Sarnis Pukesmawati, SP., MP. Menyempitnya lahan-lahan pertanian ternyata bukan suatu halangan untuk mengusahakan budidaya tanaman sayuran. Sistem vertikultur

Lebih terperinci

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya TERNAK KELINCI Peluang usaha ternak kelinci cukup menjanjikan karena kelinci termasuk hewan yang gampang dijinakkan, mudah beradaptasi dan cepat berkembangbiak. Secara umum terdapat dua kelompok kelinci,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

III. METODE KEGIATAN TUGAS AKHIR (TA) A. Tempat Pelaksanaan Pelaksanaan Tugas Akhir (TA) dilaksanakan di Dusun Selongisor RT 03 RW 15, Desa Batur,

III. METODE KEGIATAN TUGAS AKHIR (TA) A. Tempat Pelaksanaan Pelaksanaan Tugas Akhir (TA) dilaksanakan di Dusun Selongisor RT 03 RW 15, Desa Batur, 23 III. METODE KEGIATAN TUGAS AKHIR (TA) A. Tempat Pelaksanaan Pelaksanaan Tugas Akhir (TA) dilaksanakan di Dusun Selongisor RT 03 RW 15, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya. V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Petani Petani adalah pelaku usahatani yang mengatur segala faktor produksi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kualitas

Lebih terperinci

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan anakan ternak sapi dengan jumlah kepemilikan sapi betina minimal 2 ekor.

Lebih terperinci

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI 6.1. Keragaan Usahatani Padi Keragaan usahatani padi menjelaskan tentang kegiatan usahatani padi di Gapoktan Jaya Tani Desa Mangunjaya, Kecamatan Indramayu, Kabupaten

Lebih terperinci

Teknologi Budidaya Tanaman Sayuran Secara Vertikultur

Teknologi Budidaya Tanaman Sayuran Secara Vertikultur Teknologi Budidaya Tanaman Sayuran Secara Vertikultur Oleh Liferdi Lukman Balai Penelitian Tanaman Sayuran Jl. Tangkuban Perahu No. 517 Lembang Bandung 40391 E-mail: liferdilukman@yahoo.co.id Sesuai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian yang memiliki peran penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia. Peran tersebut diantaranya adalah mampu memenuhi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan

Lebih terperinci

Diharapkan dengan diketahuinya media yang sesuai, pembuatan dan pemanfaatan silase bisa disebarluaskan sehingga dapat menunjang persediaan hijauan yan

Diharapkan dengan diketahuinya media yang sesuai, pembuatan dan pemanfaatan silase bisa disebarluaskan sehingga dapat menunjang persediaan hijauan yan SILASE TANAMAN JAGUNG SEBAGAI PENGEMBANGAN SUMBER PAKAN TERNAK BAMBANG KUSHARTONO DAN NANI IRIANI Balai Penelitian Ternak Po Box 221 Bogor 16002 RINGKASAN Pengembangan silase tanaman jagung sebagai alternatif

Lebih terperinci

PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT MELALUI PENINGKATAN PRODUKTIFITAS TERNAK SAPI POTONG DI KELURAHAN MERDEKA KECAMATAN KUPANG TIMUR KABUPATEN KUPANG

PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT MELALUI PENINGKATAN PRODUKTIFITAS TERNAK SAPI POTONG DI KELURAHAN MERDEKA KECAMATAN KUPANG TIMUR KABUPATEN KUPANG PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT MELALUI PENINGKATAN PRODUKTIFITAS TERNAK SAPI POTONG DI KELURAHAN MERDEKA KECAMATAN KUPANG TIMUR KABUPATEN KUPANG Ferdinan S. Suek, Melkianus D. S. Randu Program Studi Produksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Sayuran Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai konsekuensi logis dari aktivitas serta pemenuhan kebutuhan penduduk kota. Berdasarkan sumber

Lebih terperinci

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PENANGKARAN BENIH PADI BERSERTIFIKAT PADA PETANI MITRA DAN NON MITRA

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PENANGKARAN BENIH PADI BERSERTIFIKAT PADA PETANI MITRA DAN NON MITRA VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PENANGKARAN BENIH PADI BERSERTIFIKAT PADA PETANI MITRA DAN NON MITRA Penelitian ini menganalisis perbandingan usahatani penangkaran benih padi pada petani yang melakukan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Cikabayan-University Farm IPB, Darmaga Bogor. Areal penelitian bertopografi datar dengan elevasi 250 m dpl dan curah

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. Medan Area yang berlokasi di Jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan

BAB III BAHAN DAN METODE. Medan Area yang berlokasi di Jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di Jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan Percut

Lebih terperinci

MENGENAL BEBERAPA SISTEM PERSEMAIAN PADI SAWAH!!!

MENGENAL BEBERAPA SISTEM PERSEMAIAN PADI SAWAH!!! MENGENAL BEBERAPA SISTEM PERSEMAIAN PADI SAWAH!!! Persemaian padi sangat penting sekali sebelum kita melakukan penanaman. Untuk memperoleh hasil yang baik pertama tama kita menentukan jenis varietas Padi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Universitas Lampung pada titik koordinat LS dan BT

III. BAHAN DAN METODE. Universitas Lampung pada titik koordinat LS dan BT III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada titik koordinat 5 22 10 LS dan 105 14 38 BT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan peternakan saat ini, menunjukan prospek yang sangat cerah dan mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi pertanian Indonesia. Usaha peternakan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI Pita Sudrajad, Muryanto, dan A.C. Kusumasari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah E-mail: pitosudrajad@gmail.com Abstrak Telah

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI TALAS KIMPUL DI NAGARI DURIAN GADANG KECAMATAN AKABULURU KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

ANALISIS USAHATANI TALAS KIMPUL DI NAGARI DURIAN GADANG KECAMATAN AKABULURU KABUPATEN LIMA PULUH KOTA ANALISIS USAHATANI TALAS KIMPUL DI NAGARI DURIAN GADANG KECAMATAN AKABULURU KABUPATEN LIMA PULUH KOTA Husnarti Agribisnis Faperta Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI 6.1 Penerimaan Usahatani Penerimaan usahatani merupakan nilai yang diperoleh dari total produksi usahatani sayuran per hektar yang dikelola oleh petani di Kelompok Tani

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PRODUKSI KOMPOS

LAPORAN AKHIR PRODUKSI KOMPOS KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAS DAN PERHUTANAN SOSIAL DIREKTORAT BINA PERBENIHAN TANAMAN HUTAN LAPORAN AKHIR PRODUKSI KOMPOS RUMPIN SEED SOURCES AND NURSERY CENTER JAKARTA,

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE

III. MATERI DAN METODE III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Lahan Percobaan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Jalan H.R. Soebrantas No.

Lebih terperinci

Integrasi Tanaman Jeruk dengan Ternak Kambing

Integrasi Tanaman Jeruk dengan Ternak Kambing AgroinovasI Integrasi Tanaman Jeruk dengan Ternak Kambing 7 Ketersediaan sumberdaya alam yang semakin kompetitif dan terbatas telah disadari dan kondisi ini menuntut adanya upaya-upaya inovatif dan bersifat

Lebih terperinci

Temu Lapang Bioindustri Sawit-Sapi

Temu Lapang Bioindustri Sawit-Sapi Temu Lapang Bioindustri Sawit-Sapi Bangkinang-Salah satu kegiatan diseminasi inovasi hasil penelitian dan Pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau adalah kegiatan temu lapang. Pada sabtu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB. I. PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian adalah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 1.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada Lahan Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area, Jalan Kolam No.1 Medan Estate kecamatan Percut Sei

Lebih terperinci

Gambar 1. Tata Letak Petak Percobaan

Gambar 1. Tata Letak Petak Percobaan 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian di lapang dilakukan sejak dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di kebun percobaan pertanian organik

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau Desa Simpang Barn Kecamatan Tampan Kotamadya Pekanbaru Propinsi Riau dengan

Lebih terperinci

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu : PROJECT DIGEST NAMA CLUSTER : Ternak Sapi JUDUL KEGIATAN : DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI pembibitan menghasilkan sapi bakalan super (bobot lahir > 12 kg DI LOKASI PRIMA TANI KABUPATEN TTU PENANGGUNG JAWAB

Lebih terperinci

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR 13 BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR A. Tempat Pelaksanaan Pelaksanaan Tugas Akhir dilaksanakan di Dusun Kwojo Wetan, Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. B. Waktu Pelaksanaan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Tuan dengan ketinggian 25 mdpl, topografi datar dan jenis tanah alluvial.

III. BAHAN DAN METODE. Tuan dengan ketinggian 25 mdpl, topografi datar dan jenis tanah alluvial. III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kebun Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan Percut Sei

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI HORTIKULTURA JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PANGAN

PROGRAM STUDI HORTIKULTURA JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PANGAN PERBANDINGAN HASIL BUDIDAYA TANAMAN KANGKUNG SECARA HIDROPONIK DAN KONVENSIONAL (Kevin Marta Wijaya 10712020) PROGRAM STUDI HORTIKULTURA JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PANGAN POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG BANDAR

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL Bab ini berisi tentang analisis dan interpretasi hasil penelitian. Pada tahap ini akan dilakukan analisis permasalahan prosedur budidaya kumis kucing di Klaster Biofarmaka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi.

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian dan peternakan merupakan satu kesatuan terintegrasi yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi. Pembangunan kedua sektor ini bertujuan

Lebih terperinci