IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 68 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan sistem agroindustri perikanan laut yang direkayasa melalui Model AGRIPAL ditujukan untuk membantu para pengambil keputusan baik di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota maupun para praktisi usaha yang bergerak dalam agroindustri perikanan laut. Penggunaan Model AGRIPAL didesain secara fleksibel, artinya Model AGRIPAL tidak hanya dapat digunakan oleh Pemda Provinsi atau Kabupaten maupun pengusaha se-jawa Tengah, tetapi dapat juga digunakan di daerah lain sesuai dengan permasalahan yang ingin dipecahkan. Penggunaan Model AGRIPAL dapat mengikuti langkah-langkah pada Lampiran 1. Hasil verifikasi Model AGRIPAL di Provinsi Jawa Tengah disajikan berurutan yaitu (1) Pengelompokan Pengembangan dan Penentuan Pusat Pertumbuhan; (2) Pemilihan Komoditas Potensial dan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut; (3) Analisis Kelayakan Finansial Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut; (4) Strategi Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut; (5) Kelembagaan Agroindustri Perikanan Laut; dan (6) Implementasi Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut. A. Pengelompokan Kawasan Pengembangan dan Penentuan Pusat Pertumbuhan Sub model kawasan merupakan sub model yang dirancang untuk membantu proses klasterisasi kawasan dan pusat pertumbuhan. Sub model ini menggunakan metode meminimumkan jarak pada matriks euclidean distance. Operasionalisasi sub model kawasan pada klasterisasi kawasan pengembangan dan klasterisasi pusat pertumbuhan secara teknis memiliki prosedur dan metodologi yang sama, hanya saja pada klasterisasi kawasan pengembangan masukan berupa jarak absolut antar wilayah yang diuji. Penggunaan model ini dengan asumsi bahwa kondisi antar wilayah kajian dianggap memiliki kemiripan karakteristik, seperti potensi sumber daya alam (perikanan), perkembangan wilayah, keadaan sosial kependudukan, dan sarana prasarana khususnya aksesibilitas masing-masing wilayah tidak jauh berbeda.

2 69 Pada klasterisasi pusat pertumbuhan masukan data dimulai dari pendapat pakar terhadap objek berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Pada penelitian ini perumusan pusat pertumbuhan dibangun dari 11 kriteria yang pada tahap sebelumnya dirumuskan oleh para pakar pada proses identifikasi faktor pengembangan. Pada proses identifikasi kriteria tersebut sekaligus ditetapkan nilai bobot masing-masing kriteria. Adapun kriteria untuk menentukan pusat pertumbuhan tersebut adalah (1) kebijakan dan peraturan pemda, (2) tingkat investasi, (3) kedekatan bahan baku, (4) kedekatan pasar, (5) biaya produksi, (6) konflik sosial, (7) tenaga kerja, (8) sumber air, (9) sumber daya energi/listrik, (10) sarana transportasi, dan (11) sarana komunikasi. Tingkat kepentingan atau bobot kriteria diformulasikan dengan aturan Minkowski, untuk kemudian diagregasi menjadi bentuk euclidean distance. Berikutnya matriks euclidean distance diolah dengan metodologi dan ditampilkan dengan keluaran yang identik. 1. Pengelompokan Kawasan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa dengan total areal seluas ,20 km 2 yang terletak diantara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Wilayah ini berupa daratan yang di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah timur dengan Provinsi Jawa Timur, di sebelah selatan dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Samudera Hindia, serta di sebelah barat dengan Provinsi Jawa Barat (Lampiran 2). Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 Kabupaten (Daerah Tingkat II), yaitu Kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Semarang, Temanggung, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes. Selain itu terdapat enam Kota (Daerah Tingkat II), yaitu Kota Magelang, Surakarta, Salatiga, Pekalongan dan Tegal, serta Semarang sebagai ibukota provinsi. Dalam wilayah Dati I Jawa Tengah terdapat tiga kota administratif (kotif), yaitu Kotif Cilacap, Purwokerto, dan Klaten, serta 532 Kecamatan dan 8.496

3 70 kelurahan/desa. Daerah yang memiliki potensi sumber daya kelautan sebanyak 15 Kabupaten/Kota, yaitu 10 Kabupaten dan 3 Kota yang membentang di daerah Pantai Utara Jawa dan 2 Kabupaten di Pantai Selatan Jawa. Kabupaten dan Kota di Pantai Utara Jawa tersebut meliputi Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Jepara, Pati, Rembang, Kota Tegal, Pekalongan dan Semarang. Dua Kabupaten yang terletak di Pantai Selatan Jawa, meliputi Kabupaten Cilacap dan Kebumen (Lampiran 3 dan 4). Daerah yang berada pada pesisir pantai utara Jawa memiliki keuntungan, yaitu berada pada jalur jalan arteri primer yang menghubungkan kota-kota utama di Pulau Jawa, yaitu kota Jakarta, kota Semarang dan kota Surabaya. Berdasarkan kondisi geografis tersebut, maka perencanaan pengembangan agroindustri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah lebih baik jika dilakukan dengan menggunakan pendekatan wilayah, yaitu dengan membentuk kawasan pengembangan. Kesamaan potensi dan jenis komoditas yang dihasilkan dalam satu kawasan pengembangan, serta sifat komoditas perikanan laut yang mudah rusak menjadi pertimbangan penting diperlukannya pengelompokan suatu kawasan. Terbentuknya suatu kawasan pengembangan didasarkan pada kedekatan jarak antar wilayah, sehingga diharapkan akan memudahkan dalam pengembangan industri penanganan/pengolahan hasil perikanan laut. Selain itu, pembentukan kawasan pengembangan juga diharapkan dapat mengefisienkan penggunaan sarana dan prasarana pendukungnya. Pengelompokan Kawasan Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut di Provinsi Jawa Tengah didasarkan kedekatan/jarak antar wilayah yang memiliki potensi perikanan laut. Pengujian dilakukan berdasarkan metode Analisis Klaster (Cluster Analysis) dalam sub model Kawasan, sub-sub model Kawasan Pengembangan dengan hasil pada Gambar 10 dan Lampiran 5.

4 71 Gambar 10. Hasil analisis pengelompokan kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah Hasil analisis (Gambar 10) menunjukkan bahwa berdasarkan jarak antar kabupaten/kota yang memiliki potensi perikanan laut, Provinsi Jawa Tengah dapat dibagi dalam tiga kawasan pengembangan, yaitu dua kawasan di wilayah Pantai Utara Jawa dan satu kawasan di wilayah Pantai Selatan Jawa. Kawasan Pengembangan I meliputi 5 daerah, yaitu Kabupaten Brebes (A1), Kabupaten/Kota Tegal (A2), Kabupaten Pemalang (A3), Kabupaten/Kota Pekalongan (A4) dan Kabupaten Batang (A5). Kawasan Pengembangan II meliputi 6 wilayah, yaitu Kabupaten Kendal (A6), Kota Semarang (A7), Kabupaten Demak (A8), Kabupaten Jepara (A9), Kabupaten Pati (A10) dan Kabupaten Rembang (A11). Kawasan Pengembangan III meliputi 2 daerah, yaitu Kabupaten Kebumen (A12) dan Kabupaten Cilacap (A13). Dilihat dari volume produksi ikan per kawasan pengembangan (Gambar 11) terlihat bahwa secara umum volume produksi terbesar berada di Kawasan Pengembangan I, diikuti dengan Kawasan Pengembangan II dan selanjutnya Kawasan Pengembangan III.

5 72 300,000 Volume (Ton) 250, , , ,000 Kawasan I Kawasan II Kawasan III Jateng 50, Tahun Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, Gambar 11. Volume produksi perikanan per kawasan pengembangan Jawa Tengah pada tahun Dalam kurun waktu 10 tahun ( ) ada kecenderungan terjadinya penurunan volume produksi di seluruh Kawasan Pengembangan, yaitu masing-masing dengan laju berturut-turut 2,53%, 0,55%, 0,24% untuk Kawasan Pengembangan I, II dan III (Diskanlut Prov. Jateng, 2004). Demikian pula total volume produksi perikanan laut Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu yang sama mengalami penurunan 1,43% (Lampiran 6). Berdasarkan total volume produksi Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003, yaitu ton, persentase volume produksi ikan di masing-masing Kawasan Pengembangan I, II dan III pada tahun yang sama adalah 51,52%, 43,18% dan 5,21%. Total nilai produksi perikanan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003 tersebut adalah Rp 773,6 M (Diskanlut Prov. Jateng, 2004). Dari data tersebut terlihat hampir 95% hasil perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah diproduksi di 2 Kawasan Pengembangan yang terletak di wilayah pantai utara Jawa, yaitu oleh 13 Kabupaten/Kota yang keseluruhannya memiliki 68 tempat pelelangan/pendaratan ikan. Kualifikasi tempat pelelangan ikan tersebut terdiri dari 14 TPI Kelas I (termasuk Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan), 18 TPI Kelas II, 19 TPI Kelas III dan 17 TPI Kelas IV. Produksi perikanan laut Pantai Selatan Jawa Tengah hanya 5% dihasilkan oleh 2 Kabupaten yang memiliki 10 tempat pelelangan/pendaratan

6 73 ikan, yang terdiri dari 5 TPI Kelas I (termasuk Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap), 4 TPI Kelas II dan 1 TPI Kelas IV (Lampiran 7). 2. Penentuan Pusat Pertumbuhan Kawasan Pengembangan Dari setiap kawasan pengembangan selanjutnya ditetapkan pusat pertumbuhan yang berfungsi sebagai pusat produksi dan pintu keluar untuk memasarkan hasil-hasil produk agroindustri perikanan laut, serta wilayahwilayah pendukung yang berfungsi sebagai daerah produksi atau pemasok bahan baku ke pusat-pusat produksi. Daerah yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan juga harus merupakan daerah yang mempunyai kegiatan ekonomi yang dapat menggerakkan pertumbuhan daerah. Daerah tersebut harus memiliki sektor unggulan yang mampu mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi, baik dalam daerah itu sendiri dan daerah pendukungnya. Selain itu, daerah yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan adalah yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang. Keterkaitan ke depan memungkinkan terbukanya pasar bagi produk-produk unggulnya dan keterkaitan ke belakang memungkinkan pusat pertumbuhan tersebut mendapat pasokan bahan baku untuk kegiatan produksinya. Ciri lain dari daerah yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan adalah harus memiliki sarana dan prasarana bagi pengembangan agroindustri perikanan laut yang lebih baik dari daerah-daerah sekitarnya. Penentuan pusat pertumbuhan masing-masing kawasan untuk pengembangan agroindustri perikanan laut ditentukan berdasarkan 11 kriteria, yaitu (1) kebijakan/peraturan Pemerintah Daerah, (2) tingkat investasi, (3) kedekatan bahan baku, (4) kedekatan pasar, (5) tingkat biaya produksi, (6) tingkat konflik sosial, (7) ketersediaan tenaga kerja, (8) ketersediaan sumber air, (9) ketersediaan sumber energi/listrik, (10) ketersediaan sarana transportasi dan (11) ketersediaan sarana komunikasi. Pembobotan dilakukan dengan menggunakan metode OWA Operator (Tabel 9 dan Lampiran 8) dengan data pendukung pada Lampiran 9.

7 74 Tabel 9. Bobot kriteria penentuan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut No Kriteria Deskripsi Agregat 1 Kebijakan/per aturan pemda Kebijakan/peraturan pemerintah daerah yang terkait dengan RUTR/W, kemudahan perijinan Tinggi 2 Tingkat investasi 3 Kedekatan bahan baku 4 Kedekatan pasar 5 Biaya produksi dan kepastian hukum dalam berusaha Besarnya investasi yang diperlukan dalam pembangunan industri pasca panen perikanan laut di suatu daerah seperti biaya lahan dan bangunan Kedekatan lokasi usaha dengan lokasi pemasok komoditas perikanan sebagai bahan baku industri Kedekatan lokasi usaha dengan pasar produk, baik lokal, nasional dan pintu ekspor bagi produk yang dihasilkan Tingkat biaya produksi di suatu daerah yang terkait dengan harga bahan baku, harga bahan pembantu, upah tenaga kerja, biaya transportasi, dan lain-lain 6 Konflik sosial Tingkat konflik sosial yang muncul di suatu daerah akibat berdirinya suatu usaha industri 7 Tenaga kerja Ketersediaan tenaga kerja terampil di suatu daerah bagi industri pasca panen komoditas perikanan laut 8 Sumber air Ketersediaan sumber air yang diperlukan dalam proses produksi, seperti pencucian bahan baku, proses pengolahan dan sanitasi 9 Sumber daya energi/listrik 10 Sarana transportasi 11 Sarana komunikasi Ketersediaan sumber daya listrik atau energi lain bagi mesin pengolah dan peralatan lain, penerangan dan peralatan administratif Ketersediaan sarana transportasi untuk pengangkutan bahan baku dan produk yang dihasilkan, serta diperlukan untuk mobilitas pekerja Ketersediaan sarana komunikasi untuk berbagai keperluan seperti pemesanan bahan baku, pemasaran, dan sebagai alat bantu yang memudahkan dalam proses pengambilan keputusan yang diperlukan Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Berdasarkan hasil pembobotan pada Tabel 9 terlihat bahwa kriteriakriteria yang diujikan memiliki bobot tinggi, kecuali kriteria tenaga kerja, yaitu dengan bobot sedang. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menentukan pusat pertumbuhan agroindustri, wilayah yang diuji harus memenuhi banyak

8 75 kriteria dengan tingkat kepentingan yang tinggi, agar industri yang akan dikembangkan dapat menjaga keberlangsungannya dalam berusaha. Kriteria tenaga kerja memiliki bobot sedang; hal ini sesuai dengan pendapat pakar terkait yang diwawancarai yang menyatakan bahwa ketersediaan tenaga kerja bagi pengembangan agroindustri perikanan laut cukup tinggi terkait dengan tingginya angka pencari kerja. Adapun permasalahan yang terkait dengan ketrampilan bagi para pekerja dapat diberikan apabila diperlukan mengingat teknologi pasca panen untuk menangani/mengolah hasil perikanan laut relatif sudah dikuasai dengan baik. Penilaian untuk penentuan pusat pertumbuhan terhadap masing-masing daerah dilakukan dengan memberikan nilai l - l0 (sangat rendah sekali sangat tinggi sekali) terhadap 15 Kabupaten/Kota. Pengujian dilakukan menggunakan metode Cluster Anaysis dalam sub model Kawasan sub-sub model Pusat Pertumbuhan (Lampiran 10). Berdasarkan potensi dan kondisi yang dimiliki, wilayah-wilayah tersebut dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu sebagai wilayah kurang potensial (A), potensial (B) dan sangat potensial (C). Wilayah A meliputi Kabupaten Brebes (A1), Kabupaten Tegal (A2), Kabupaten Pemalang (A4), Kabupaten Pekalongan (A5), Kabupaten Batang (A7), Kabupaten Kendal (A8), Kabupaten Demak (A10), Kabupaten Jepara (A11) dan Kabupaten Kebumen (A14). Wilayah B meliputi Kota Semarang (A9) dan Kabupaten Cilacap (A15). Wilayah C meliputi Kota Tegal (A3), Kota Pekalongan (A6), Kabupaten Pati (A12) dan Kabupaten Rembang (A13) (Gambar 12). Pengkategorian wilayah secara khusus didasarkan atas potensi sumber daya perikanan laut yang dimiliki oleh kelompok wilayah tersebut. Besarnya volume produksi perikanan laut dari suatu daerah memperlihatkan ketersediaan bahan baku agroindustri untuk daerah tersebut juga besar (Tabel 10). Dari Tabel 10 terlihat bahwa Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kabupaten Pati dan Kabupaten Rembang (Kelompok C) memperlihatkan potensi volume hasil tangkapan yang sangat besar dibanding kabupaten/kota lainnya, sehingga kelompok ini dikategorikan sebagai wilayah yang sangat potensial.

9 76 Gambar 12. Hasil analisis pengelompokan wilayah untuk pemilihan pusat pertumbuhan masing masing kawasan di Provinsi Jawa Tengah Kelompok B, terdiri dari Kabupaten Cilacap dan Kota Semarang, dikategorikan sebagai wilayah potensial. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Kabupaten Cilacap memiliki potensi produksi perikanan laut yang cukup besar di wilayah pantai selatan Pulau Jawa. Potensi produksi perikanan laut di Kota Semarang kecil, akan tetapi memiliki nilai yang tinggi pada berbagai kriteria lain seperti ketersediaan sumber air, sumber energi, sarana transportasi dan sarana komunikasi yang sangat penting dalam memfasilitasi pengembangan agroindustri perikanan laut. Besarnya ketersediaan sarana prasarana dan kedekatan dengan pasar produk yang dimiliki oleh Kota Semarang menempatkan wilayah ini dalam kategori potensial. Wilayah lain yang tergabung dalam kelompok A, yaitu Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Jepara dan Kebumen, dikategorikan sebagai wilayah yang kurang potensial. Hal ini disebabkan volume produksi hasil tangkapan tidak terlalu besar, sedangkan sektor penunjangnya juga tidak terlalu menonjol.

10 77 Tabel 10. Volume produksi perikanan laut Provinsi Jawa Tengah pada tahun (dalam Ton) Kab/Kota Kab. Brebes 2.375, , , , ,6 Kab Tegal 677,7 649,6 723,9 845, ,9 Kota Tegal , , , , ,4 Kab. Pemalang 6.095, , , , ,2 Kab. Pekalongan 2.014, , , , ,9 Kota Pekalongan , , , , ,9 Kab. Batang , , , , ,6 Kab. Kendal 1.819, , , , ,2 Kota Semarang 602,1 652,0 566,0 331,6 174,3 Kab. Demak 2.559, , , , ,6 Kab. Jepara 3.072, , , , ,8 Kab. Pati , , , , ,2 Kab. Rembang , , , , ,7 Kab. Kebumen 3.226, , , , ,0 Kab. Cilacap , , , , ,1 Total , , , , ,0 Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, Pertimbangan lanjut dalam penentuan pusat pertumbuhan untuk masing-masing kawasan adalah kuantitas dan kontinuitas produksi perikanan laut masing-masing wilayah dalam kategori yang sama (Lampiran 10). Berdasarkan pertimbangan tersebut, pada Gambar 13 terlihat bahwa di Kawasan Pengembangan I, produksi perikanan Kota Pekalongan lebih tinggi dibandingkan Kota Tegal. Namun demikian data series selama 10 tahun ( ) menunjukkan adanya penurunan laju produksi di Kota Pekalongan sebesar 5,95%, sedangkan Kota Tegal mengalami peningkatan laju produksi sebesar 2,84%. Wilayah yang memiliki potensi besar dalam produksi perikanan di Kawasan Pengembangan II adalah Kabupaten Pati dan Rembang. Gambar 13 menunjukkan bahwa selama kurun waktu , volume produksi Kabupaten Pati lebih tinggi dibanding Kabupaten Rembang, kemudian pada tahun volume produksi di Kabupaten Rembang sedikit mengungguli tingkat volume produksi Kabupaten Pati, tetapi pada tahun 2003 Kabupaten Pati kembali menjadi kabupaten dengan volume produksi terbesar

11 78 di wilayah timur Provinsi Jawa Tengah. Selama 10 tahun ( ), laju pertumbuhan produksi perikanan di Kabupaten Pati mengalami penurunan sebesar 1,98%, sebaliknya laju pertumbuhan produksi Kabupaten Rembang mengalami peningkatan sebesar 4,36%. Gambar 13 juga menunjukkan bahwa pada tahun , produktivitas ikan Kabupaten Pati hampir menyamai Kota Pekalongan yang sampai tahun 2001 mendominasi volume produksi ikan di Provinsi Jawa Tengah. 120, ,000 Volume (Ton) 80,000 60,000 40,000 20,000 Tegal Pekalongan Pati Rembang Cilacap Tahun Sumber : Diskanlut Kota Tegal, 2004; Diskanlut Kota Pekalongan, 2004; Diskanlut Kab.Pati, 2004; Diskanlut Kab. Rembang, 2004; Diskanlut Kab. Cilacap, Gambar 13. Volume produksi perikanan di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun Meskipun pada tahun dari sisi volume produksi Kabupaten Rembang sempat mengungguli Kabupaten Pati, dari nilai produksinya Kabupaten Pati tetap lebih unggul dibanding Kabupaten Rembang (Gambar 14). Nilai produksi Kabupaten Rembang pada tahun 2002, yang menjadi puncak produksi selama kurun waktu 10 tahun ( ton), adalah Rp 118,9 M, sedangkan volume produksi Kabupaten Pati pada tahun yang sama hanya ton tetapi mampu menghasilkan nilai produksi sebesar Rp 165,1 M. Hal ini berarti bahwa ikan yang didaratkan di Kabupaten

12 79 Pati memiliki nilai ekonomis yang lebih baik dibanding Kota Rembang (Gambar 15). Pada tahun 2002, harga rataan ikan di Kabupaten Pati Rp 3.244,00 sedangkan di Kabupaten Rembang Rp , ,000,000 Nilai (x Rp. 1000) 200,000, ,000, ,000,000 50,000,000 T egal Pekalongan Pati Rembang Cilacap Tahun Sumber : Diskanlut Kota Tegal, 2004; Diskanlut Kota Pekalongan, 2004; Diskanlut Kab.Pati, 2004; Diskanlut Kab. Rembang, 2004; Diskanlut Kab. Cilacap, Gambar 14. Nilai produksi perikanan di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun Gambar 14 menunjukkan selama tahun seluruh wilayah yang diunggulkan mengalami peningkatan nilai produksi. Peningkatan laju nilai produksi tertinggi adalah Kota Tegal 28,15%, diikuti oleh Kabupaten Rembang, Pati, Cilacap dan Kota Pekalongan masing-masing 23,10%, 18,47%, 17,06% dan 16,88%. Diantara wilayah unggulan lain, Kabupaten Cilacap yang berada di Kawasan Pengembangan III menghasilkan volume produksi ikan yang paling kecil. Secara keseluruhan selama 10 tahun ( ), laju volume produksi Kabupaten Cilacap juga mengalami penurunan 4,33%. Namun demikian, Gambar 15 menunjukkan bahwa harga rataan ikan hasil tangkapan Kabupaten Cilacap lebih besar dibandingkan harga ikan di kota-kota lain. Hal ini didukung dengan laju peningkatan harga rataan ikan Kabupaten Cilacap 45.28%, sedangkan Kota Tegal dan Pekalongan serta Kabupaten Pati dan Rembang, masing-masing 27,54%, 23,87%, 22,22% dan 19,76%.

13 80 10,000 Harga rataan (Rp/Kg) 8,000 6,000 4,000 2, Tahun Tegal Pekalongan Pati Rembang Cilacap Sumber : Diskanlut Kota Tegal, 2004; Diskanlut Kota Pekalongan, 2004; Diskanlut Kab.Pati, 2004; Diskanlut Kab. Rembang, 2004; Diskanlut Kab. Cilacap, Gambar 15 Harga rataan komoditas perikanan laut di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun Besarnya harga rataan ikan di Kabupaten Cilacap, yang terletak di Pantai Selatan Jawa, dikarenakan ikan yang didaratkan merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, seperti ikan tuna, cakalang dan udang. Ketiga jenis komoditas ini menjadi andalan Kabupaten Cilacap sebagai komoditas ekspor, baik dalam bentuk gelondongan (segar) maupun bentuk olahan. Jenis ikan hasil tangkapan di wilayah Pantai Utara Jawa pada umumnya adalah pelagis kecil seperti layang, selar, tembang, kembung, tongkol dan lemuru, yang umumnya memiliki nilai ekonomis rendah. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah (Lampiran 11 dan 12), tingkat pertumbuhan volume produksi perikanan masing-masing daerah di Provinsi Jawa Tengah selama tahun (10 tahun) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16, secara keseluruhan menunjukkan terjadinya penurunan produksi 1,43%. Tingkat pertumbuhan positif tertinggi dicapai oleh Kabupaten Kebumen (64,12%) dan terendah dengan laju pertumbuhan negatif ditunjukkan oleh Kota Semarang (20,43%).

14 81 Laju Peningkatan Produksi A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 A13 A14 A15 Total Kabupaten/Kota Keterangan : A1: Kab. Brebes; A2: Kab. Tegal; A3: Kota Tegal; A4: Kab. Pemalang; A5: Kab. Pekalongan; A6: Kota Pekalongan; A7: Kab. Batang; A8: Kab. Kendal ; A9: Kota Semarang; A10: Kab.Demak; A11: Kab. Jepara; A12: Kab. Pati; A13: Kab. Rembang; A14: Kab. Kebumen; A15: Kab. Cilacap Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, Gambar 16. Laju peningkatan produksi perikanan laut di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah pada tahun Selain Kota Semarang dan Pekalongan, laju pertumbuhan negatif ditunjukkan oleh volume produksi Kabupaten Batang (3,14%), Kendal (7,25%), dan Demak (6,20%). Salah satu penyebabnya adalah bahwa kapal penangkap ikan laut yang didaratkan di wilayah tersebut pada umumnya merupakan kapal kecil dengan wilayah penangkapan di Laut Jawa. Tingkat eksploitasi perikanan laut di wilayah Laut Jawa diketahui telah mencapai ambang kritis, sementara pantai utara Pulau Jawa adalah salah satu daerah yang padat nelayan (Atmadja et al., 2003). Kasus pendangkalan muara sungai dan rusaknya dermaga tempat pelelangan ikan (TPI) juga menjadi kendala dalam proses pendaratan ikan. Faktor kesulitan keuangan pada TPI berkaitan dengan pembayaran nelayan (kekurangan pembayaran lelang ikan/kpli) menjadi pemicu lain dari penurunan produksi perikanan laut di beberapa TPI di daerah-daerah tersebut. Peningkatan/penurunan volume produksi di tiap-tiap wilayah juga dipengaruhi oleh tingkatan harga ikan yang diterima oleh nelayan pada saat lelang dan banyaknya pembeli (bakul) yang sebagian besar sekaligus

15 82 bertindak sebagai pengolah. Dengan demikian apabila agroindustri perikanan laut di suatu daerah berkembang dengan baik akan memberi peluang bagi daerah tersebut untuk dijadikan tempat pendaratan ikan, sehingga volume produksi daerah tersebut juga akan meningkat. Peningkatan volume dan nilai produksi (raman) yang diikuti dengan pengembangan agroindustri akan memberikan kontribusi positif bagi PAD, baik yang secara langsung disumbangkan oleh industri perikanan (industri penangkapan dan pengolahan) maupun industri penunjangnya (penyedia sarana penangkapan, pengolahan, pengemasan, transportasi, komunikasi dan perdagangan). Berdasarkan kedua analisis yang dilakukan, yaitu pengelompokan kawasan pengembangan dan penentuan pusat pertumbuhan, maka wilayah di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki potensi untuk pengembangan agroindustri perikanan laut dapat dikelompokkan seperti pada Tabel 11. Tabel 11. Kelompok wilayah dan pusat pertumbuhan kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut Provinsi Jawa Tengah Kelompok Wilayah Pusat Pertumbuhan Kawasan Pengembangan I 1 Kab. Brebes 2 Kab/Kota Tegal 3 Kab. Pemalang 4 Kab/Kota Pekalongan Kota Pekalongan Kawasan Pengembangan II Kawasan Pengembangan III 5 Kab. Batang 1 Kab. Kendal 2 Kota Semarang 3 Kab. Demak 4 Kab. Jepara 5 Kab. Pati 6 Kab. Rembang 1. Kab. Kebumen 2. Kab. Cilacap Kabupaten Pati Kabupaten Cilacap Kawasan Pengembangan I terdiri dari Kabupaten Brebes, Kab/Kota Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten/Kota Pekalongan dan Kabupaten Batang dengan pusat pertumbuhannya adalah Kota Pekalongan. Kawasan Pengembangan II terdiri dari Kabupaten Kendal, Demak, Jepara, Pati, Rembang dan Kota Semarang dengan pusat pertumbuhan Kabupaten Pati.

16 83 Kabupaten Cilacap merupakan pusat pertumbuhan Kawasan Pengembangan III yang terdiri dari Kabupaten Kebumen dan Cilacap. Persentase produksi perikanan laut terhadap total produksi di Provinsi Jawa Tengah pada Tahun 2003 untuk Kota Pekalongan adalah 26,2%, Kabupaten Pati 26,9% dan Kabupaten Cilacap 3,4%. 3. Gambaran Umum Pusat Pertumbuhan Kawasan Pengembangan Dari analisis sebelumnya diketahui bahwa pusat pertumbuhan Kawasan Pengembangan I adalah Kota Pekalongan, Kawasan Pengembangan II adalah Kabupaten Pati, dan Kawasan Pengembangan III adalah Kabupaten Cilacap. Berikut ini merupakan gambaran umum dari masing-masing pusat pertumbuhan. Kota Pekalongan (Kawasan Pengembangan I). Kota Pekalongan terletak diantara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Batas wilayah admini stratif kota ini terdiri dari Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Pekalongan dan Batang di sebelah selatan, Kabupaten Pekalongan di sebelah barat, serta Kabupaten Batang di sebelah timur. Kota Pekalongan mencakup areal seluas 44,96 km 2 yang terdiri dari 4 kecamatan. Tahun 2003, jumlah penduduk Kota Pekalongan adalah jiwa, sehingga kepadatan penduduk Kota Pekalongan adalah orang/km 2. Jumlah angkatan kerja pada tahun yang sama adalah orang (BPS Prov. Jateng, 2004). Untuk mendukung pembangunan sebuah daerah industri diperlukan sarana dan prasarana yang memadai, diantaranya adalah kelancaran transportasi. Kota Pekalongan memiliki jalan darat dengan kondisi baik. Selain itu, kebanyakan jalur kereta api rute Jakarta/Bandung yang menuju Jawa Tengah/Jawa Timur berhenti di stasiun Pekalongan. Untuk kegiatan ekspor, barang industri dikirim melalui Pelabuhan Laut Tanjung Mas di Semarang dan Tanjung Priok di Jakarta.

17 84 Potensi investasi di Kota Pekalongan yang paling besar adalah industri tekstil dan perikanan. Batik Pekalongan telah mampu menembus pasar ekspor dan pasar lokal di seluruh Indonesia. Sektor perikanan Kota Pekalongan mengha- silkan ton ikan laut pada tahun 2003 dengan nilai raman Rp 168,4 M. Tempat pendaratan ikan satu-satunya di Kota Pekalongan adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan (PPNP). Jumlah nelayan yang terlibat dalam usaha produksi perikanan laut di Kota Pekalongan pada tahun 2002 berjumlah orang yang pada umumnya tergabung dalam KUD Makaryo Mino, sedangkan nelayan luar daerah (pendatang) yang aktif bergiat di PPNP sebagai anak buah kapal (ABK) kurang lebih berjumlah orang. Jenis alat tangkap pada kapal yang mendaratkan ikannya di Kota Pekalongan pada tahun 2003 adalah pukat cincin (purse seine) 538 unit dan jenis lainnya (gillnet dan cantrang/cotok) 132 unit. Nilai produksi hasil tangkapan alat tangkap purse seine, gillnet dan cantrang/cotok secara berurutan berkontribusi 90,05% (Rp 151,6 M), 7,72% (Rp 13,0 M) dan 2,22% (Rp 3,7 M). Ukuran kapal penangkap ikan di Kota Pekalongan 17% di atas 100 GT, 38% berukuran antara GT (Gross Tonnes) dan selebihnya berukuran lebih kecil dari 50 GT. Wilayah penangkapan (fishing ground) nelayan Kota Pekalongan pada umumnya adalah perairan Karimun, Bawean, Masalembo, Lumu-lumu, Matasiri dan Laut China Selatan. Bakul ikan yang aktif mengikuti lelang di PPNP orang dengan 10% bermodal lebih dari Rp 25 juta/lelang, 40% bermodal Rp 5-25 juta/lelang, selebihnya merupakan bakul kecil dengan modal kurang dari Rp 5 juta/lelang. Dari 105 orang tersebut, 70 orang (70%) diantaranya merupakan bakul lokal yang berasal dari Kota Pekalongan. Ikan hasil lelang selanjutnya dilakukan penanganan dengan peng-es-an (dijual segar) oleh 20% bakul, 30% pemindangan dan 50% diolah menjadi ikan asin. Pada umumnya peserta lelang (bakul) sekaligus bertindak sebagai pengolah ikan.

18 85 Kabupaten Pati (Kawasan Pengembangan II). Kabupaten Pati memiliki luas wilayah sebesar km 2 dan terbagi dalam 21 kecamatan. Secara geografis Kabupaten Pati terletak pada Bujur T imur dan L intang S el atan, dan sebagian wilayahnya mer upakan daerah pantai dengan batas sebelah utara Kabupaten Jepara dan Laut Jawa, sebelah selatan Kabupaten Grobogan dan Blora, sebelah timur Kabupaten Rembang dan Laut Jawa dan sebelah barat Kabupaten Kudus dan Jepara. Jumlah penduduk Kabupaten Pati pada akhir tahun 2003 adalah jiwa, dengan jiwa diantaranya bermata pencaharian di sektor kelautan dan perikanan. Kegiatan ekonomi masyarakat yang berkaitan erat dengan pantai dan laut adalah nelayan, petambak ikan dan petambak garam. Kegiatan lain yang memiliki keterkaitan dengan kawasan pesisir adalah pariwisata, budidaya laut, pertambangan dan konservasi. Kabupaten Pati memiliki 7 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang tersebar di 4 kecamatan, yaitu Dukuhseti, Juwana, Batangan, dan Tayu. Pelelangan ikan terbesar terdapat di PPI Bajomulyo Juwana. Volume total produksi Kabupaten Pati pada tahun 2003 adalah ton. Volume pelelangan tertinggi pada tahun 2003 terdapat di PPI Bajomulya - Juwana, yaitu 94,44% dari total produksi, diikuti TPI Banyutowo - Dukuhseti 3,35%, dan TPI Sambiroto - Tayu 1,97%, serta sisanya tersebar di TPI Pecangaan Batangan, Margomulyo Tayu, Puncel Dukuhseti, dan Alasdowo Dukuhseti. Peningkatan jumlah hasil tangkapan di Kabupaten Pati tidak terlepas dari meningkatnya sarana dan prasarana penangkapan. Dalam kurun waktu , jumlah alat tangkap, armada penangkapan dan jumlah nelayan mengalami peningkatan (Tabel 12). Jenis alat tangkap yang terdapat di Kabupaten Pati terdiri dari pukat cincin (purse seine), dogol, jaring insang (gill net), trammel net, cantrang, pancing dan bundes. Wilayah penangkapan nelayan yang mendaratkan ikannya di Kabupaten Pati adalah perairan Selat Karimata, Selat Makasar, Bawean, Masalembo dan Kep. Natuna. Untuk mendukung terwujudnya peningkatan nilai tambah industri perikanan di Kabupaten Pati dibuat sentra industri pengolahan ikan di

19 86 Kecamatan Juwana. Sentra industri ini selain diarahkan untuk efisiensi produksi juga diharapkan dapat menjadi sarana pembinaan para industri pengolahan ikan skala rumah tangga dan menjadi pusat pemasarannya. Tabel 12. Jumlah alat tangkap, armada penangkapan dan nelayan di Kabupaten Pati pada tahun Tahun Armada Tangkap Alat Tangkap Nelayan (Kapal Motor) Pertumbuhan 2,88% 1,87% 2,23% Sumber : Diskanlut Kab. Pati, Kabupaten Cilacap (Kawasan Pengembangan III). Kabupaten Cilacap mempunyai luas wilayah km 2 merupakan daerah terluas diantara 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Cilacap terbagi dalam 24 Kecamatan dan 11 Kecamatan diantaranya memiliki wilayah pantai. Pada tahun 2003, Kabupaten Cilacap berpenduduk jiwa, mempunyai potensi industri besar seperti kilang bahan bakar minyak Pertamina, pabrik semen, industri pupuk kantong, biji coklat, bahan karet, tepung terigu, benang tenun, penggergajian kayu, dan pasir besi, serta sentra industri jamu tradisional terbesar di Jawa Tengah. Potensi lain adalah pertanian, perkebunan rakyat dan pariwisata. Potensi kelautan di Kabupaten Cilacap sangat besar, garis pantai + 201,9 km dan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia + 80 km. Potensi perikanan pantai ton, dan pada tahun 2001 baru dimanfaatkan ton (52,9%). Potensi perikanan lepas pantai ton dan baru dimanfaatkan ,9 ton (1,6%) (Diskanlut Kab. Cilacap, 2003). Daerah penangkapan meliputi perairan Teluk Penyu, teluk Penunjang (Pangandaran)

20 87 dan selatan Yogyakarta sampai Pacitan. Luas daerah penangkapan km 2. Jumlah nelayan di Kabupaten Cilacap orang. Sarana dan prasarana penangkapan yang ada di Kabupaten Cilacap adalah Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap dengan kapasitas 250 kapal, tempat pelelangan ikan sebanyak 11 unit (6 TPI Provinsi dan 5 TPI Kabupaten), pabrik es kapasitas 236 ton sebanyak 5 unit, cold storage kapasitas 75 ton sebanyak 3 unit, serta kawasan industri dan zona pengembangan seluas 16,81 ha. Armada penangkapan sebanyak buah yang terdiri dari motor tempel unit, perahu tanpa motor 649 unit, kapal motor unit dan kapal longline 115 unit (Diskanlut Kab. Cilacap, 2003). Pengolahan pasca panen produksi hasil perikanan di Kabupaten Cilacap dengan menggunakan teknologi modern dan tradisional. Daerah pemasaran produk yang dihasilkan adalah pasar lokal sampai ekspor. Jumlah pengolah yang menggunakan teknologi modern sebanyak 11 perusahaan, sedangkan secara tradisional yang dikelola oleh Kelompok Tani Wanita nelayan dan perorangan sebanyak 28 buah. Tahun 2002 perusahaan eksportir yang mendapat sertifikat kelayakan mutu dari LPPMHP Cilacap sebanyak 7 perusahaan. Hasil pengolahan produksi perikanan secara modern yang umumnya merupakan produk ekspor, diantaranya produk beku seperti tuna, udang, keong, dan layur; produk kering/asin seperti ubur-ubur, teri dan ebi; serta produk kaleng dari ikan cakalang dan tuna. Negara tujuan utama ekspor produk perikanan Cilacap adalah Amerika Serikat, Jepang dan China. Pada jenis ikan dan udang tertentu untuk komoditas ekspor, tidak diolah di Cilacap, tetapi diolah di luar daerah seperti Jakarta, sehingga mengurangi nilai jual dari produk tersebut, berkurangnya peluang kerja bagi warga Cilacap dan berkurangnya PAD.

21 88 B. Pemilihan Komoditas Potensial dan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut Sub Model Pemilihan dirancang untuk membantu pengguna dalam menentukan komoditas dan produk unggulan yang diunggulkan. Sub Model Pemilihan menggunakan metode Independent Preference Evaluation dengan kaidah Fuzzy Group Decision Making, yang dirancang untuk menentukan prioritas alternatif berdasarkan kriteria kriteria yang telah ditetapkan dan bobot masing-masing kriteria. Prioritas ini dinilai secara fuzzy oleh para pengambil keputusan untuk kemudian diagregasi menjadi urutan / prioritas alternatif. Mengingat komoditas perikanan laut beragam jenisnya, penanganan pascapanen dan kriteria untuk menghasilkan produk unggulan agroindustri juga beragam, maka diperlukan pentahapan dalam proses pemilihan produk unggulan agar lebih fokus. Dalam sistem agroindustri perikanan laut, komoditas perikanan akan menjadi bahan baku bagi kegiatan agroindustri sehingga jumlah dan kontinuitas menjadi faktor penting bagi keberlangsungan agroindustri yang dikembangkan. Dengan demikian, tahap awal penentuan produk unggulan adalah dengan menentukan prioritas komoditas potensialnya. Selain jumlah dan kontinuitas, kriteria lain dalam pemilihan prioritas komoditas potensial yang juga akan mempengaruhi keberlangsungan agroindustri adalah mutu dan nilai ekonomis komoditas, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi pendaratan. Dari proses pemilihan komoditas dipilih tiga jenis komoditas potensial, selanjutnya dikombinasikan dengan 12 jenis penanganan pascapenen, sehingga terdapat 36 alternatif produk agroindustri. Sedangkan untuk menetapkan produk unggulan agroindustri perikanan laut pada suatu wilayah harus memenuhi berbagai kriteria agar agroindutri tersebut mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya, selain bagi pelaku usaha agroindustri, juga bagi pelaku atau sektor lain, serta bagi pembangunan wilayah setempat. Terdapat 10 kriteria untuk menentukan produk unggulan agroindustri. Kriteria pemilihan komoditas dan produk ditentukan oleh pakar, dan pembobotannya ditentukan melalui metode OWA Operator.

22 89 1. Pemilihan Komoditas Potensial Agroindustri Perikanan Laut Ketersediaan bahan baku merupakan persyaratan mutlak yang diperlukan untuk menjamin keberlanjutan suatu kegiatan industri pengolahan, termasuk industri perikanan. Bahan mentah tersebut harus memenuhi syarat, baik secara kuantitas maupun mutu. Berdasarkan alasan tersebut, untuk pengembangan agroindustri perikanan laut di suatu daerah perlu memperhatikan komoditas potensial yang dimiliki oleh daerah tersebut, sehingga diharapkan persoalan bahan baku dapat diatasi. Mengingat jenis komoditas perikanan laut sangat beragam, pemilihan komoditas yang dianggap potensial di suatu daerah harus didasarkan pada kriteria yang jelas. Pemilihan komoditas potensial di Provinsi Jawa Tengah ditentukan berdasarkan enam kriteria, yaitu (1) volume produksi, (2) kontinuitas produksi, (3) mutu hasil tangkapan, (4) nilai ekonomis komoditas, (5) peluang diversifikasi, dan (6) keterpusatan lokasi pendaratan. Pembobotan masingmasing kriteria berdasarkan tingkat kepentingan untuk pemilihan komoditas potensial menggunakan OWA Operator dengan hasil seperti pada Tabel 13 dan Lampiran 14. Tabel 13 Bobot kriteria pemilihan komoditas perikanan laut potensial No Kriteria Deskripsi Agregat 1 Volume Volume hasil tangkapan Tinggi 2 Kontinuitas Ketersediaan komoditas sepanjang Tinggi tahun 3 Mutu Kesegaran dan keamanan konsumsi komoditas hasil tangkapan Sangat Tinggi 4 Nilai ekonomis Harga jual komoditas dan Tinggi kemudahan dalam pemasaran 5 Peluang Peluang komoditas diproses Tinggi diversifikasi menjadi berbagai ragam produk 6 Lokasi pendaratan olahan Keterpusatan lokasi pendaratan komoditas Tinggi

23 90 Berdasarkan hasil pada Tabel 13 diketahui bahwa mutu bahan baku mendapat nilai sangat tinggi, artinya kesegaran dan keamanan konsumsi komoditas hasil tangkapan merupakan kriteria terpenting bagi pengembangan agroindustri perikanan laut. Mutu bahan baku merupakan parameter yang sangat penting untuk menghasilkan produk bermutu tinggi. Lima kriteria lainnya memiliki derajat kepentingan yang sama tinggi. Volume dan kontinuitas bahan baku/komoditas merupakan faktor yang penting untuk keberlangsungan suatu industri agar dapat beroperasi sesuai kapasitas mesin terpasang sepanjang waktu. Faktor nilai ekonomis bahan baku merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam pengembangan agroindustri. Pada pengembangan agroindustri diharapkan tidak hanya industri pasca panen saja yang diuntungkan, tetapi juga harus menguntungkan pihak nelayan sebagai penghasil bahan baku. Komoditas perikanan yang memungkinkan adanya diversifikasi produk mempunyai nilai lebih jika dibandingkan dengan komoditas perikanan yang tidak mempunyai peluang diversifikasi. Hal ini penting untuk mengantisipasi adanya kejenuhan terhadap satu produk agroindustri, baik dari segi permintaan maupun harga. Komoditas yang berpeluang dilakukan diversi fikasi produk lebih mudah beradaptasi dengan perubahan tuntutan pasar. Faktor keterpusatan lokasi pendaratan komoditas harus diperhitungkan di dalam pengembangan suatu agroindustri. Komoditas yang produksinya terpusat akan memudahkan dalam pengumpulan bahan baku sehingga, akan menghemat biaya transportasi; sedangkan komoditas yang produksinya tersebar akan menyulitkan di dalam pengumpulan, sehingga meningkatkan biaya transportasi. Terkait dengan sifat-sifat fisik dan kimiawinya, komoditas perikanan merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak (perishable). Terpusatnya lokasi pendaratan dan kedekatannya dengan lokasi pengolahan akan mengurangi laju kerusakan ikan dan memudahkan penanganan hasil tangkapan, dengan asumsi bahwa ikan setibanya di tempat pengolahan langsung diolah atau diawetkan, misalnya dengan pengesan atau pendinginan. Dengan demikian, tingkat kesegaran ikan dapat dipertahankan, sekaligus akan menghemat biaya produksi yang dikeluarkan untuk proses pengawetan.

24 91 Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah dipilih 18 alternatif komoditas perikanan laut yang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi bahan baku agroindustri, yaitu (1) peperek, (2) manyung, (3) cucut, (4) pari, (5) layang, (6) tigawaja, (7) layur, (8) tuna, (9) cakalang, (10) selar, (11) teri, (12) tembang, (13) lemuru, (14) kembung, (15) tengiri, (16) tongkol, (17) udang dan (18) ubur-ubur. Perkembangan volume dan nilai produksi perikanan laut menurut jenis ikan di Provinsi Jawa Tengah selama periode tahun disajikan pada Lampiran 15 dan 16. Prioritas komoditas potensial di masing-masing kawasan ditentukan melalui pengujian dengan Metode IPE dalam kaidah FGDM pada Sub Model Pemilihan, Sub-Sub Model Pemilihan Komoditas. Pemilihan didasarkan pada pendapat yang diberikan oleh beberapa orang pakar terkait di masing-masing kawasan pengembangan. Proses pemilihan komoditas di masing-masing kawasan dilaksanakan di kota/kabupaten yang menjadi pusat pertumbuhannya. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 14 serta Lampiran 17, 18 dan 19. Tabel 14. Skala prioritas komoditas perikanan laut potensial terpilih pada masing-masing kawasan pengembangan No. Jenis Ikan Pekalongan (KP I) Pati (KP II) Cilacap (KP III ) 1 Peperek Sangat Rendah Rendah Rendah 2 Manyung Rendah Sedang (3) Sedang 3 Cucut Rendah Rendah Sedang 4 Pari Rendah Rendah Sedang 5 Layang Sedang (1) Sedang (1) Rendah 6 Tigawaja Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah 7 Layur Rendah Rendah Sedang 8 Tuna Sangat Rendah Sangat Rendah Tinggi (1) 9 Cakalang Sangat Rendah Sangat Rendah Tinggi (2) 10 Selar Rendah Sedang (4) Rendah 11 Teri Sangat Rendah Rendah Rendah 12 Tembang Rendah Sedang (5) Rendah 13 Lemuru Sedang (2) Sedang (6) Rendah 14 Kembung Sedang (3) Sedang (2) Sedang 15 Tengiri Rendah Rendah Sedang 16 Tongkol Sedang (4) Rendah Sedang 17 Udang Sangat Rendah Rendah Tinggi (3) 18 Ubur-ubur Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan urutan komoditas potensial terpilih

25 92 Komoditas Perikanan Laut Potensial Kota Pekalongan. Berdasarkan kriteria yang disusun untuk pemilihan prioritas komoditas potensial, yaitu volume, kontinuitas, mutu, nilai ekonomis, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi pendaratan bagi masing-masing komoditas diketahui bahwa komoditas potensial dari Kota Pekalongan (Kawasan Pengembangan I/KP I) adalah ikan layang, lemuru, kembung dan tongkol. Volume produksi keempat jenis ikan potensial yang menjadi unggulan Kota Pekalongan tersebut selama tahun dapat dilihat pada Gambar 17 dan Lampiran , ,000 Volume (Ton) 80,000 60,000 40,000 20,000 Layang Kembung Lemuru Tongkol Total Tahun Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, Gambar 17. Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun Gambar 17 menunjukkan bahwa produksi hasil tangkapan Kota Pekalongan dalam kurun waktu 10 tahun ( ) mengalami penurunan dengan laju 5,95%. Dari keempat jenis ikan yang potensial, ikan layang mengalami laju penurunan terbesar 10,20%, diikuti ikan tongkol yang juga mengalami penurunan 3,04%. Volume produksi ikan kembung dan lemuru meningkat masing-masing dengan laju 3,09% dan 3,68%. Meskipun mengalami penurunan, ikan layang masih merupakan hasil tangkapan utama di Kota Pekalongan, yaitu 23% 67% dari total tangkapan.

26 93 Meskipun secara kuantitatif volume produksi mengalami penurunan, pada kurun waktu yang sama, nilai produksi perikanan laut Kota Pekalongan mengalami kenaikan 16,88%. Laju kenaikan nilai ekonomis paling besar adalah ikan layang 21,17%, diikuti ikan kembung 20,77%, ikan lemuru 17,90% dan ikan tongkol 11,33%. Peningkatan nilai ekonomis hasil tangkapan perikanan laut terlihat dimulai pada tahun 1998 (Gambar 18). Hal ini terkait dengan anjloknya nilai rupiah terhadap mata uang asing, yang terjadi pada saat krisis moneter pada tahun Krisis tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan harga-harga barang dan jasa, termasuk harga komoditas perikanan laut. 250,000,000 Nilai (Rp. 1000) 200,000, ,000, ,000,000 50,000,000 Layang Kembung Lemuru Tongkol Total Tahun Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, Gambar 18. Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun Perkembangan harga rataan ikan di Kota Pekalongan menunjukkan bahwa harga ikan layang per kilogram meningkat dari Rp 622,00 (1994) menjadi Rp 1.958,00 pada awal krisis (1998) dan Rp 4.064,00 pada tahun 2003 (Gambar 19). Laju peningkatan harga ikan layang adalah 31,35%. Angka ini menunjukkan laju peningkatan harga ikan layang lebih besar dibanding harga ikan secara total sebesar 23,87%. Berdasarkan grafik pada Gambar 18 dan Gambar 19 dapat dinyatakan bahwa kenaikan nyata dari nilai produksi terjadi bukan disebabkan karena peningkatan volume pelelangan, tetapi lebih diakibatkan karena meningkatnya

27 94 nilai jual masing-masing ikan. Laju peningkatan nilai produksi sebanding dengan laju peningkatan harga komoditas perikanan yang dapat dilihat dari peningkatan harga ikan per satuan kilogram, yaitu ikan lemuru 25,63%, kembung 24,86% dan tongkol 16,41%. Pada tahun 2003, kontribusi nilai produksi ikan layang adalah Rp 51,9 M atau senilai 30,81% dari total nilai produksi Kota Pekalongan sebesar Rp 168,4 M. 5,000 Harga rataan komoditas (Rp/Kg) 4,000 3,000 2,000 1,000 layang Kembung Lemuru Tongkol Total Tahun Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, Gambar 19 Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun Dari sudut pandang nelayan, peningkatan harga ikan sangat diharapkan untuk menutupi ongkos perbekalan melaut dan mendapatkan keuntungan. Namun demikian, di sisi lain peningkatan harga ini dikhawatirkan akan menjadi beban tersendiri bagi usaha pasca panen, yaitu terjadinya peningkatan ongkos produksi sehingga harga produk agroindustri menjadi kurang kompetitif di pasaran. Berdasarkan wawancara dengan nelayan diketahui bahwa waktu melaut kapal-kapal dengan alat tangkap pukat cincin umumnya berkisar hari. Panjangnya masa melaut inilah yang mengakibatkan ongkos perbekalan sangat tinggi. Kondisi ini sulit dihindari akibat Laut Jawa telah mengalami over fishing, sehingga wilayah penangkapan meluas sampai ke perairan Selat Makasar dan Laut China Selatan.

28 95 Namun demikian, hal ini memberikan keuntungan tersendiri, sebagaimana dinyatakan oleh Widodo (2003) bahwa kondisi tersebut secara tidak langsung merupakan pola penangkapan dengan regulasi penangkapan secara alamiah. Dengan tiadanya aktivitas di Laut Jawa tatkala sebagian besar nelayan pukat cincin menangkap ikan di Laut Cina Selatan dan Selat Makasar, telah memberi peluang bagi sumber daya ikan pelagis kecil di Laut Jawa untuk melakukan semacam recovery. Dengan asumsi inilah pelagis kecil di Laut Jawa sepertinya berkesinambunga (sustained) selama lebih dari dua dekade. Kondisi ini cukup menguntungkan bagi perikanan rakyat, dimana nelayan yang hanya memiliki kapal kecil dan memiliki keterbatasan ongkos perbekalan masih dapat mencari tangkapan di Laut Jawa. Komoditas Potensial Kabupaten Pati. Hal yang tidak jauh berbeda ditunjukkan oleh kinerja hasil tangkapan di Kabupaten Pati yang dalam periode tahun menunjukkan kecenderungan menurun, dengan laju 1,98%. Total volume produksi Kabupaten Pati pada tahun 2003 sebesar ton dengan nilai Rp 149,7 M (Diskanlut Kabupaten Pati, 2004). Komoditas potensial bagi pengembangan produk agroindustri yang menjadi prioritas di Kabupaten Pati (Kawasan Pengembangan II/KP II) adalah ikan layang, kembung, manyung, selar, tembang dan lemuru. Ikan layang, kembung, selar, tembang dan lemuru merupakan jenis ikan pelagis kecil, sedangkan manyung merupakan jenis ikan demersal. Volume produksi ikan pelagis yang dilelang di Kabupaten Pati pada tahun 2003 sebesar ton (58,06%). Ikan layang merupakan hasil tangkapan utama Kabupaten Pati, yaitu ton (29,28 %) pada tahun 2003, namun demikian selama kurun waktu volume produksi terus mengalami penurunan dengan laju 5,53% (Gambar 20 dan Lampiran 21). Komoditas potensial lain yang juga mengalami penurunan adalah ikan tembang (3,25%) dan lemuru (0,70%). Sedangkan volume produksi ikan kembung, manyung dan selar terjadi peningkatan sebesar 2,72%, 27,54% dan 2,62%.

29 96 Volume (Ton) 80,000 60,000 40,000 20,000 Layang Kembung Manyung Selar Tembang Lemuru Total Tahun Sumber : Diskanlut Kab. Pati, Gambar 20. Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun Keberadaan jenis tangkapan yang hampir sama pada 2 (dua) wilayah (KP I dan KP II) yang terletak pada lokasi sejalur, yaitu Pantai Utara Jawa (pantura) diantaranya disebabkan oleh dominasi jenis alat tangkap yang sama, yaitu pukat cincin (purseine/mini purseine), serta lokasi penangkapan (fishing ground) yang hampir sama (Laut Jawa, Laut China Selatan, Selat Karimata, Selat Makasar, dan Kepulauan Natuna). Sumber daya ikan pelagis Laut Jawa, yang merupakan fishing ground terdekat dengan wilayah sepanjang pantai utara jawa, terdiri dari komunitas ikan pelagis pantai dan ikan pelagis neritik dan oseanik, seperti ikan lemuru, selar, kembung, tongkol dan layang. Kelompok jenis ikan layang (Decapterus spp) merupakan komponen utama di perairan ini (Atmadja, et al., 2003). Atmadja, et al., (2003) menyatakan bahwa komposisi hasil tangkapan pukat cincin di Laut Jawa dan sekitarnya adalah layang, bentong (selar), kembung, sero (lemuru) dan juwi (tembang). Keenam spesies tersebut memberi kontribusi lebih dari 90%, dan kelompok jenis ikan layang menduduki peringkat teratas mencapai separuh dari total hasil tangkapan. Volume produksi ikan dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin Kabupaten Pati tahun 2002 adalah ton (79,19%) dengan nilai Rp 127,5 M (77,19%).

30 97 Karakteristik massa air dan iklim Laut Jawa dipengaruhi langsung oleh dua angin muson, yaitu angin muson barat yang berlangsung antara bulan September Februari dan angin muson timur yang berlangsung antara bulan Maret Agustus. Pada muson timur, massa air bersalinitas tinggi (>34 0 / 00 ) memasuki Laut Jawa melalui Selat Makasar dan Laur Flores, sedangkan pada muson barat, selain terjadi pengenceran oleh air sungai, juga masuk massa air bersalinitas rendah (<32 0 / 00 ) yang berasal dari Laut Cina Selatan mendorong massa air bersalinitas tinggi ke bagian timur Laut Jawa (Veen dan Wyrki di dalam Atmadja, et al., 2003). Kondisi ini menyebabkan kelompok ikan oseanik, khususnya ikan layang dan kembung cenderung bergerak ke arah timur mengikuti pergerakan massa air bersalinitas tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Atmadja, et al. (2003), bahwa pada musim peralihan dari musim timur dan musim barat (September November) di perairan bagian timur Laut Jawa hasil tangkapan pukat cincin didominasi oleh ikan layang. Hal ini ditunjukkan oleh perkembangan volume produksi Kabupaten Pati, yang termasuk dalam wilayah bagian timur Laut Jawa, dimana puncak produksinya pada tahun 2003 terjadi pada bulan Agustus November (Gambar 21). Volume (Kg) Januari Maret Mei Juli September November Bulan Sumber : Diskanlut Kabupaten Pati, Gambar 21. Produksi perikanan laut Kabupaten Pati tahun 2003

31 98 Ikan manyung yang merupakan jenis ikan demersal merupakan hasil tangkapan utama dari pancing (longline). Jenis ikan lain yang umumnya tertangkap dengan alat tangkap pancing diantaranya adalah cucut, pari, kakap dan tongkol. Volume hasil tangkapan dengan alat tangkap pancing Kabupaten Pati pada tahun 2002 adalah ton (12,47%) dengan nilai produksi sebesar Rp. 32,6 M. Lokasi penangkapan nelayan Kabupaten Pati yang menggunakan alat tangkap pancing adalah Laut Jawa (sekitar Pulau Bawean dan Kepulauan Masalembo), Selat Makasar dan Kepulauan Natuna. Dari sisi ekonomis nilai produksi perikanan laut Kabupaten Pati selama kurun waktu mengalami kenaikan, yaitu 18,47%. Laju kenaikan nilai ekonomis paling besar adalah ikan manyung 46,13%, diikuti ikan kembung 30,95%, lemuru 27,96%, tembang 26,02%, selar 23,21% dan layang 19,67%. Peningkatan laju nilai ekonomis hasil tangkapan perikanan laut Kabupaten Pati secara mencolok juga terlihat dimulai pada tahun 1998 (Gambar 22). N ilai (Rp ,00 0, ,00 0, ,00 0, ,0 00, ,0 00,0 00 Layang K em bung M anyung S elar T em bang Lemuru T otal Tah un Sumber : Diskanlut Kab. Pati, Gambar 22. Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun Laju kenaikan nilai produksi perikanan laut Kabupaten Pati tidak terlepas adanya peningkatan harga rataan ikan yang cukup nyata selama 10 tahun ( ), yaitu 22,22%. Laju kenaikan harga ikan terbesar adalah ikan tembang 33,19%, diikuti oleh ikan layang 31,28%, selar 25,34%, lemuru 24,95%, kembung 19,88% dan manyung 19,37% (Gambar 23).

32 99 Harga rataan komoditas (Rp/Kg) 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1, Tahun Layang Kembung Manyung Selar Tembang Lemuru Total Sumber : Diskanlut Kab. Pati, Gambar 23. Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun Berdasarkan grafik pada Gambar 23 terlihat bahwa ikan manyung memiliki nilai ekonomis yang lebih baik dibandingkan jenis ikan lainnya. Harga tertinggi ikan manyung terjadi pada tahun 2001, yaitu Rp ,00 per kilogram. Jenis ikan yang relatif memiliki nilai ekonomis rendah adalah ikan tembang dan lemuru. Komoditas Potensial Kabupaten Cilacap. Komoditas perikanan potensial di Kabupaten Cilacap dengan prioritas tinggi adalah ikan tuna, ikan cakalang dan udang. Ketiga jenis komoditas perikanan tersebut dipilih, karena pada seluruh kriteria pemilihan didapatkan nilai tinggi sangat tinggi, artinya memiliki dukungan besar terhadap pengembangan agroindustri perikanan laut baik, dari sisi volume, kontinuitas, mutu, nilai ekonomis, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi pendaratan. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap (2004), data produksi Kabupaten Cilacap pada tahun 2003 menunjukkan total persentase ikan tuna, cakalang dan udang sebesar 67.81% dari total produksi 7.671,7 ton, yaitu ikan tuna 669,7 ton (8,73%), ikan cakalang 3.756,1 ton (48,96%) dan udang 776,4 ton (10,12%). Namun demikian, produktivitas hasil tangkapan Kabupaten Cilacap selama periode

33 mengalami pertumbuhan negatif 4,39%. Penurunan produktivitas ini juga dialami oleh udang dengan laju 3% (Gambar 24 dan Lampiran 22). 25, ,000.0 volume (Ton) 15, , ,000.0 Tuna Cakalang Udang Total Tahun Sumber : Diskanlut Kab. Cilacap, Gambar 24. Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun Data statistik ikan tuna sampai dengan tahun 2000 dijadikan satu data produksi dengan ikan cakalang. Mulai tahun 2001, data produksi ikan tuna dan cakalang dipisahkan. Selama tiga tahun, produktivitas ikan tuna mengalami penurunan cukup besar (40,17%), dan produksi ikan cakalang mengalami peningkatan dengan laju 3,76%. Puncak produksi perikanan laut Kabupaten Cilacap terjadi pada tahun 1997, yaitu ton. Meskipun puncak produksi di Kabupaten Cilacap terjadi pada tahun 1997, tetapi puncak nilai produksi terjadi pada tahun 1998 yang diakibatkan penurunan oleh nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terlebih komoditas perikanan laut hasil tangkapan Kabupaten Cilacap merupakan komoditas ekspor. Secara umum nilai produksi Kabupaten Cilacap periode meningkat dengan laju 11,87%. Dari total nilai produksi Rp 37,8 M pada tahun 2003, 71,69% disumbangkan oleh ikan tuna, cakalang dan udang. Gambar 25 menunjukkan bahwa nilai ekonomis terbesar disumbangkan oleh udang, dengan laju pertumbuhan 21,99%, kemudian

34 101 diikuti oleh ikan cakalang 8,44%. Seiring dengan penurunan volume produksi, nilai produksi ikan tuna selama 3 tahun juga mengalami kemerosotan dengan laju 31,85%. 100,000,000 80,000,000 Nilai (Rp. 1000) 60,000,000 40,000,000 20,000,000 Tuna Cakalang Udang Total Tahun Sumber : Diskanlut Kab. Cilacap, Gambar 25. Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun Udang yang merupakan komoditas dengan nilai ekonomis tinggi, harga rataannya selama periode tahun menunjukkan laju kenaikan 23,70% dan secara nyata memperlihatkan nilai yang lebih besar dibandingkan kedua jenis komoditas lainnya (Gambar 26). Namun demikian, grafik pada Gambar 26 tersebut menunjukkan harga yang fluktuatif dengan nilai harga tertinggi per kilogramnya pada tahun 1998 dan Fluktuasi ini terjadi karena komposisi jenis udang hasil tangkapan yang bervariasi. Mengacu data statistik provinsi, ada 6 jenis udang produksi Kabupaten Cilacap yang dihitung dalam satu data statistik ini, terdiri dari udang jerbung, dogol, tiger, lobster, barat dan krosok. Udang jerbung, tiger dan lobster memiliki kisaran harga Rp Rp ,00. Harga udang dogol berkisar Rp Rp ,00. Sedangkan harga udang barat dan krosok rataan kurang dari Rp ,00.

35 102 Harga udang selain ditentukan oleh jenis, juga dipengaruhi oleh ukuran dan mutu udang tersebut. Hal ini dikarenakan pada umumnya udang merupakan bahan baku industri yang produknya berupa udang beku untuk ekspor ke berbagai negara tujuan. Mutu udang menjadi faktor paling determinatif bagi bahan baku industri, diikuti oleh ukuran udang. Semakin segar dan semakin besar ukurannya, umumnya memiliki harga yang lebih tinggi. Grading dan sizing sangat selektif dilakukan dalam industri pembekuan udang, karena proses tersebut akan menentukan harga masing-masing kelompok udang. Harga Rataan Komoditas (Rp./Kg) 40,000 30,000 20,000 10, Tahun Tuna Cakalang Udang Total Sumber : Diskanlut Kab. Cilacap, Gambar 26. Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun Grafik harga rataan ikan cakalang relatif landai dengan laju kenaikan 11.08%. Kisaran harga ikan cakalang sejak tahun 1998 berkisar Rp Rp 3.400,00. Sedangkan harga ikan tuna selama 3 tahun meningkat dengan laju 15,26%, dengan kisaran harga Rp Rp 9.200,00. Kabupaten Cilacap secara langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Samudera Hindia adalah salah satu Samudera terbesar di dunia, yang di dalamnya tersimpan kekayaan sumber daya ikan tuna yang besar. Sumber daya tersebut terdiri dari beberapa jenis, baik tuna besar (madidihang, mata besar, albakora, tuna sirip biru selatan, tongkol abu-abu dan cakalang), tuna kecil (kawakawa, tongkol, lisong, tongkol gigi anjing, kenyar dan selengseng) dan paruh panjang (layaran, pedang, serta setuhuk hitam, biru dan loreng).

36 103 Ikan tuna umumnya ditangkap dengan kapal tuna longline yang ukurannya bervariasi. Kapal tuna kecil yang berukuran kurang dari 10 GT umumnya beroperasi untuk menangkap tuna segar untuk diekspor. Oleh karena itu, tripnya tidak lama (sekitar 10 hari) (Merta et al. 2003). Potensi sumber daya ikan tuna di Samudera Hindia masih cukup besar dan armada kapal tuna longline yang beroperasi di perairan tersebut sebenarnya mengalami peningkatan. Terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan tuna yang dilelang di Kabupaten Cilacap kemungkinan disebabkan oleh faktor tidak berkembangnya industri pasca panen tuna (khususnya pembekuan). Ikan tuna yang didaratkan di Cilacap umumnya langsung dibawa ke Jakarta untuk proses pengolahan lanjutan. Penurunan produksi di Kabupaten Cilacap kemungkinan juga disebabkan pertimbangan efisiensi dan menjaga kesegaran ikan, sehingga pendaratan ikan bergeser ke Muara Baru Jakarta atau ke Benoa Bali. Hal ini dimungkinkan karena adanya persaingan dalam pelayanan proses pembongkaran ikan dengan wilayah lain, dimana kapal umumnya akan memilih TPI yang memberi pelayanan pembongkaran ikan secepatnya. 2. Pemilihan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut Penentuan jenis produk unggulan di setiap kawasan pengembangan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran awal dari jenis-jenis produk yang memungkinkan untuk dikembangkan. Bila suatu daerah memilki beberapa alternatif produk yang mungkin untuk dikembangkan, maka harus dipilih jenis produk yang didasarkan kepada jenis produk yang mampu memberikan nilai lebih berdasarkan berbagai kriteria. Kriteria yang digunakan untuk pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut (AIPL) adalah (1) volume, kontinuitas dan mutu bahan baku; (2) kesesuaian teknologi pasca panen; (3) nilai tambah produk; (4) daya serap pasar; (5) penyerapan tenaga kerja; (6) permodalan; (7) dampak ganda terhadap sektor lain; (8) ketersediaan sarana dan prasarana; (9) kebijakan pemerintah daerah; dan (10) dampak terhadap lingkungan. Hasil

37 104 pembobotan kriteria yang dianalisis dengan metode OWA Operator disajikan pada Tabel 15 dan Lampiran 23. Setelah proses pembobotan dari sepuluh kriteria tersebut, selanjutnya dilakukan proses pemilihan alternatif produk dengan memberikan penilaian (skor) pada masing-masing produk alternatif. Tabel 15. Bobot kriteria pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut No Kriteria Deskripsi Agregat 1 Bahan baku Kuantitas, kontinuitas dan mutu komoditas Tinggi perikanan laut sebagai bahan baku industri 2 Teknologi pasca panen Kesesuaian dan tingkat penguasaan teknologi pasca panen untuk menangani/mengolah komoditas menjadi produk agroindustri Tinggi 3 Nilai tambah Nilai tambah produk yang dihasilkan Tinggi berdasarkan tingkat keuntungan yang diperoleh akibat diterapkannya teknologi pasca panen terhadap komoditas 4 Pasar Peluang dan daya serap pasar terhadap produk yang dihasilkan di pasar domestik dan global Tinggi 5 Tenaga kerja Penyerapan tenaga kerja oleh kegiatan Tinggi agroindustri 6 Permodalan Ketersediaan fasilitas kredit untuk investasi Tinggi 7 Dampak ganda 8 Sarana dan prasarana 9 Kebijakan pemda 10 Lingkungan hidup dan operasional usaha Dampak ganda terhadap sektor lain (industri penangkapan ikan, bahan penolong, pengemasan, transportasi, komunikasi, dll) Ketersediaan utilitas produksi (air, listrik/sumber energi lain, telepon) dan infrastruktur (transportasi, pergudangan, dll) Kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam sistem insentif/tarif, kemudahan berinvestasi, kemudahan ekspor, UMR dan kepastian hukum Terjaganya mutu lingkungan hidup melalui pengaturan eksploitasi sumber daya perikanan dan proses produksi berwawasan lingkungan Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Dari pembobotan kriteria, terlihat bahwa seluruh kriteria yang disusun untuk pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut memiliki bobot tinggi. Bahan baku merupakan faktor penentu yang akan sangat mempengaruhi kelangsungan agroindustri yang akan dikembangkan. Tanpa

38 105 didukung oleh pasokan bahan baku secara kontinyu, sulit bagi agroindustri dapat berlangsung dengan baik. Ikan dan produk perikanan merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak (highly perishable), sehingga diperlukan upaya penanganan yang tepat untuk mencegah proses pembusukan atau segera dilakukan pengolahan yang sekaligus merupakan upaya untuk pengawetan. Secara teknis, hasil perikanan laut dimanfaatkan dalam dua bentuk, yaitu bentuk segar dan olahan. Komoditas perikanan baik yang segar maupun olahan membutuhkan teknologi untuk penanganan yang tepat. Kesesuaian teknologi pasca panen bagi komoditas potensial sangat penting agar produk yang dihasilkan memberikan nilai tambah yang optimal bagi komoditas tersebut. Nilai tambah sangat penting untuk diperhatikan bagi usaha agroindustri, karena menunjukkan besarnya keuntungan yang diperoleh apabila produk unggulan tersebut dikembangkan. Suatu usaha industri selalu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Keyakinan untuk memperoleh keuntungan yang tinggi dari pelaksanaan suatu kegiatan usaha akan meningkatkan motivasi para investor untuk menanamkan modalnya dalam kegiatan agroindustri perikanan laut. Dalam hal ini, peluang pasar sangat penting karena dapat menunjukkan prospek kebutuhan akan produk agroindustri yang akan diunggulkan, baik pasar dalam negeri maupun ekspor. Faktor ini merupakan faktor yang sangat mendukung upaya pengembangan, mengingat nelayan selalu kesulitan dalam memasarkan hasil tangkapan, sementara produk perikanan sangat rentan dengan penyimpanan yang cukup lama tanpa perlakuan. Potensi pasar menjadi kriteria determinatif penting, karena akan menggambarkan prospek produk, baik pemenuhan kebutuhan dalam negeri (lokal) maupun untuk pasar ekspor. Besarnya peluang pasar bagi produk unggulan agroindustri dapat menggambarkan besarnya potensi untuk pengembangan dan investasi. Pemilihan produk unggulan di masing-masing pusat pertumbuhan Kawasan Pengembangan didasarkan pada tiga jenis komoditas pada urutan teratas pemilihan komoditas potensial. Prioritas produk unggulan di masingmasing kawasan ditentukan melalui pengujian dengan Metode IPE dalam

39 106 kaidah FGDM pada Sub Model Pemilihan, Sub-Sub Model Pemilihan Produk. Pemilihan didasarkan pada pendapat yang diberikan oleh beberapa orang pakar terkait di masing-masing pusat pertumbuhan. Masing-masing jenis ikan dipasangkan pada alternatif perlakuan pasca panen yang umum diterapkan pada komoditas perikanan. Berdasarkan klasifikasi cara perlakuan dalam buku Statistik Perikanan Indonesia, studi pustaka dan wawancara dengan pakar, ditentukan 12 alternatif teknologi pasca panen yang dapat menghasilkan produk agroindustri perikanan laut, yaitu (1) penanganan hidup, (2) pendinginan (segar), (3) pembekuan (termasuk fillet dan loin), (4) pengeringan/pengasinan, (5) pemindangan (termasuk presto), (6) pengasapan/ pemanggangan, (7) fermentasi (terasi, kecap ikan, petis dan peda), (8) pengalengan, (9) pembuatan tepung ikan, (10) pembuatan surimi, (11) pengolahan produk dari daging lumat (bakso, otak-otak, nugget, kaki naga, dan lain-lain), dan (12) pembuatan kerupuk ikan. Pemilihan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut di Kota Pekalongan (Kawasan Pengembangan I). Pemilihan produk unggulan Kota Pekalongan didasarkan pada tiga komoditas potensial, yaitu ikan layang, lemuru dan kembung. Hasil penilaian terhadap produk agroindustri unggulan yang potensial untuk dikembangkan di Kota Pekalongan yang berada diurutan pertama adalah Ikan Layang Asin (Tabel 16 dan Lampiran 24). Hasil penelitian ini didukung oleh data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pekalongan (2003) yang menunjukkan bahwa secara umum cara perlakuan dengan pendinginan (ikan segar) di Kota Pekalongan pada periode tahun mengalami penurunan dengan laju 10%, sebaliknya pengasinan dan pemindangan mengalami peningkatan dengan laju 20% dan 4% (Gambar 27 dan Lampiran 25).

40 107 Tabel 16. Skala prioritas pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kota Pekalongan No Penanganan Pasca Panen Layang Lemuru Kembung 1 Hidup Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 2 Segar/Dingin Sedang (4) Rendah Sedang (3) 3 Beku Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 4 Kering/Asin Sedang (1) Rendah Rendah 5 Pemindangan Sedang (2) Sedang (5) Sedang (6) 6 Pemanggangan/asap Rendah Rendah Rendah 7 Fermentasi Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 8 Pengalengan Rendah Rendah Sangat Rendah 9 Tepung ikan Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah 10 Surimi Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 11 Olahan daging lumat Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 12 Kerupuk ikan Sangat Rendah Rendah Rendah Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan urutan produk unggulan terpilih 100,000 Volume (Ton) 80,000 60,000 40,000 Segar Pindang Asin 20, Tahun Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, Gambar 27. Volume produksi ikan yang diolah menurut cara perlakuan di Kota Pekalongan pada tahun Komposisi produk agroindustri tersebut sesuai dengan komposisi bakul ikan yang menangani ikan hasil tangkapan Kota Pekalongan. Pada tahun 2002, terdapat 105 bakul ikan yang aktif mengikuti lelang di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan, dimana 70 orang bakul diantaranya berdomisili di Kota Pekalongan dan selebihnya berasal dari daerah lain, terutama dari Kabupaten Rembang. Dari 70 orang tersebut, 16 orang

41 108 diataranya menangani dalam bentuk pendinginan (pengesan) dan dijual dalam bentuk segar, 24 orang melakukan pemindangan dan 30 orang melakukan proses pengeringan/pengasinan. Perlakuan pengasinan terhadap ikan layang tidak terlepas dari pengaruh mutu hasil tangkapan yang didaratkan di Kota Pekalongan. Kapal penangkap ikan yang mendaratkan ikan di Kota Pekalongan umumnya memiliki masa melaut rataan hari. Karena keterbatasan perbekalan es selama melaut, maka untuk pengawetan ikan yang ditangkap lebih awal umumnya diperlakukan dengan proses penggaraman. Proporsi pengawetan ikan di kapal umumnya 1/3 bagian hasil tangkapan awal diberi garam, 1/3 bagian hasil tangkapan berikutnya diberi campuran garam dan es, dan 1/3 bagian hasil tangkapan terakhir diawetkan dengan es. Ikan yang diawetkan dengan garam selanjutnya diolah menjadi ikan asin (kering-asin), sedangkan ikan yang diberi campuran es dan garam diperlakukan sebagai bahan baku pemindangan, sedangkan ikan yang diawetkan dengan pengesan selanjutnya dijual dalam bentuk segar. Ikan yang telah digarami dan disimpan dalam waktu lama di kapal memiliki mutu yang rendah. Alternatif pengolahan yang dilakukan terhadap ikan dengan mutu tersebut sangat terbatas, umumnya diperlakukan dengan pengeringan/pengasinan atau sebagai bahan baku pembuatan tepung ikan. Pengolahan menjadi ikan asin merupakan upaya pengolahan sekaligus pengawetan ikan dengan teknologi dan peralatan sederhana dan modal relatif tidak besar. Ikan hasil tangkapan dari laut yang menjadi bahan baku industri ini umumnya telah digarami di kapal, sehingga proses lanjutannya adalah pencucian dan pengeringan. Dengan cara tersebut, berarti metode penggaraman yang dilakukan merupakan metode penggaraman kering, yaitu dengan cara menaburkan kristal garam pada ikan (Poernomo et al. 1988). Proses berikutnya adalah pencucian. Ikan layang dicuci tanpa melalui proses penyiangan terlebih dahulu, sehingga bentuk ikan utuh, karena ikan layang umumnya berukuran kecil, yaitu panjang cm, lebar 4 6 cm, tebal mm dengan bobot g. Proses pencucian dilakukan selain untuk menghilangkan kotoran dan lendir, juga untuk mengurangi deposit garam pada

42 109 permukaan daging ikan, sehingga ikan asin akan kelihatan lebih cemerlang. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan metode konvensional, yaitu penjemuran di lahan terbuka selama dua hari, dari jam pada kondisi normal. Rendemen produksi ikan asin kurang lebih 67%. Di Kota Pekalongan, industri pengolahan ikan asin merupakan industri pengolahan tradisional yang dilakukan oleh berbagai tingkatan, mulai industri rumah tangga dengan kapasitas produksi kg/hari dan modal kurang dari Rp ,00/hari sampai dengan kapasitas 4 5 ton/hari dan modal sampai Rp 20 juta dalam kegiatan lelang/hari. Namun demikian, baik industri yang bermodal kecil maupun besar umumnya dikelola sebagai usaha keluarga dengan manajemen tradisional dicirikan dengan tidak adanya struktur oragnisasi yang jelas dalam usaha tersebut. Pemilik modal umumnya sekaligus bertindak sebagai pengelola, peserta lelang, pengolah, sekaligus pemasar hasil produksi. Proses pengambilan keputusan dilakukan secara kalkulasi/pembukuan sederhana (cenderung intuitif) oleh pemilik modal. Meskipun merupakan industri tradisional, industri yang bergerak dalam pengolahan ikan asin mampu menyerap tenaga kerja cukup besar. Industri berkapasitas kg/hari rataan menyerap tenaga kerja 2 4 orang, sedangkan industri berkapasitas 4 5 ton/hari umumnya mampu mempekerjakan orang. Ikan layang asin, seperti halnya ikan asin pada umumnya, merupakan produk yang harganya tidak mahal, sehingga relatif terjangkau oleh masyarakat kebanyakan. Hal ini membuat ikan asin memiliki daya serap pasar besar. Daya awet ikan asin pada kondisi tanpa menggunakan proses pengemasan/penyimpanan yang rumit cukup tinggi, maka ikan asin memiliki jangkauan pasar yang luas, artinya pasar produk tersebut mampu menembus wilayah yang jauh dari sumber produksi, seperti masyarakat di daratan atau pegunungan yang jauh dari pantai/laut. Keawetan ikan asin disebabkan kadar air dan nilai aw yang rendah, tetapi memiliki kadar garam tinggi. Kadar air ikan layang asin kurang lebih 45,26%, nilai aw 0,772, garam 12,18%, protein 31,34%, lemak 6,74% dan abu 16,50% (Lampiran 26). Dengan nilai Aw dan kadar air yang rendah, ikan

43 110 layang asin memiliki daya tahan tinggi terhadap kerusakan mikrobiologis. Kebanyakan bakteri pembusuk tidak dapat tumbuh pada aw di bawah 0,91, sedangkan khamir pembusuk tidak dapat tumbuh pada aw di bawah 0,88, dan kebanyakan kapang pembusuk tidak dapat tumbuh pada aw di bawah 0,80 (Fardiaz, 1992). Namun demikian, kadar garam yang tinggi pada ikan asin memungkinkan bakteri halofilik untuk tumbuh. Bakteri halofilik dapat tumbuh sampai aw 0,75, sedangkan kapang xerofilik yang pertumbuhan optimumnya pada kondisi kering dapat tumbuh sampai aw 0,65. Frazier and Westhoff (1981) menyatakan bakteri halofilik pada ikan asin antara lain dari jenis Serratia, Micrococcus, Bacillus, Alcaligenes dan Pseudomonas. Penelitian Pitt and Hocking (1985) pada 60 contoh ikan asin di Indonesia menyebutkan 50% sampel ditumbuhi kapang Polypaecilum pisce, 30% ditumbuhi Eurotium sp, khususnya E. rubrum, E. amstelodami dan E. repens. Selain itu juga ditemukan ikan asin yang ditumbuhi oleh A. penicilioides (24%), A. Niger (20%), A. flavus (18%), A. sydowii (16%) dan A. wentii (10%). Selain kerusakan mikrobiologis, kerusakan ikan asin diantaranya adalah munculnya warna coklat kotor pada permukaan tubuh ikan dan terdeteksinya bau tengik. Priono (1988) menyebutkan lemak yang dikandung ikan dapat teroksidasi menghasilkan senyawa aldehid, keton dan asam hidroksi yang merupakan penyebab bau tengik. Pembentukan warna coklat pada ikan asin disebabkan oleh berbagai reaksi kompleks, diantaranya adanya interaksi antara hasil degradasi lemak dengan senyawa amino yang dikenal sebagai reaksi karbonil-amino yang merupakan reaksi maillard (Eskin, et al., 1971). Ikan asin merupakan bahan pangan sumber protein hewani penting di Indonesia dan dimasukkan ke dalam sembilan kebutuhan pokok. Konsumen ikan asin terbesar hasil produksi pengolah Kota Pekalongan adalah Jakarta dan Jawa Barat. Selain untuk konsumsi dalam negeri, sebagian produk ikan asin diekspor, khususnya Sri Lanka. Ekspor ikan asin ini akan meningkat pada musim panen ikan, dimana bahan baku melimpah dengan harga yang rendah, sehingga harga produk menjadi lebih kompetitif.

44 111 Di Kota Pekalongan juga terdapat industri pengolahan hasil perikanan dengan teknologi modern yang memproduksi hasil perikanan untuk pasar ekspor, seperti PT Tirta Raya Mina dengan produk olahan berupa fillet kakap dan steak tuna dan PT Maya yang mengolah kepiting/rajungan. Jenis olahan kedua perusahaan tersebut beragam tergantung dari permintaan pasar. Pemilihan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut di Kabupaten Pati (Kawasan Pengembangan II). Komoditas potensial yang dijadikan dasar pemilihan produk unggulan AIPL Kabupaten Pati adalah ikan layang, manyung dan kembung. Hasil analisis menunjukkan bahwa produk yang diunggulkan Kabupaten Pati pada urutan pertama adalah ikan layang pindang (Tabel 17 dan Lampiran 27). Tabel 17. Skala prioritas pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kabupaten Pati No Penanganan Pasca Panen Layang Manyung Kembung 1 Hidup Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 2 Segar/Dingin Sedang (5) Sedang (8) Sedang (2) 3 Beku Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 4 Kering/Asin Sedang (6) Rendah Sedang (7) 5 Pemindangan Sedang (1) Sangat Rendah Sedang (3) 6 Pengasapan/Panggang Rendah Sedang (4) Rendah 7 Fermentasi Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 8 Pengalengan Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 9 Tepung ikan Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 10 Surimi Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 11 Olahan daging lumat Sangat Rendah Rendah Sangat Rendah 12 Kerupuk ikan Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan urutan produk unggulan terpilih Ada tiga jenis olahan tradisional yang paling populer di Kabupaten Pati, yaitu ikan asin, ikan pindang dan panggang (asap). Dilihat dari volume produksinya, ikan layang pindang masih di bawah jenis olahan ikan asin, tetapi lebih besar dibandingkan ikan panggang (Gambar 28 dan Lampiran 28).

45 112 8,000,000 Volume (Kg) 6,000,000 4,000,000 2,000,000 Pemindangan Ikan asin Pemanggangan Tahun Sumber : Diskanlut Kab. Pati, Gambar 28. Volume produksi hasil pengolahan perikanan laut di Kabupaten Pati pada tahun Selama kurun waktu , masing-masing mengalami peningkatan volume produksi dengan laju peningkatan pada ikan asin 5,08%, ikan pindang 3,54% dan ikan panggang 3,2%. Pada tahun 2003, volume produksi ikan asin ton, ikan pindang ton dan ikan panggang ton. Meskipun dari sisi produksi ikan pindang masih di bawah ikan asin, ikan pindang diunggulkan karena diusahakan oleh lebih banyak pengolah yang artinya memberikan nilai manfaat lebih terhadap penyerapan tenaga kerja dan perputaran modal (nilai ekonomi), sehingga mampu menggerakkan sektor lain (Tabel 18). Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa industri pemindangan di Kabupaten Pati merupakan industri pengolahan ikan secara tradisional yang dilakukan oleh industri rumah tangga dengan kapasitas 2 5 kg/hari, modal Rp ,00 yang dikerjakan secara mandiri sampai berkapasitas 4 6 ton/hari, modal Rp juta/hari dan menyerap tenaga kerja orang. Bahan baku proses pemindangan membutuhkan ikan layang yang mempunyai mutu lebih baik (lebih segar) dari bahan baku pengeringan/pengasinan, yang umumnya merupakan hasil tangkapan yang diawetkan dengan es atau campuran es dan garam. Seperti halnya, pengolahan menjadi ikan asin, pemindangan juga merupakan jenis pengolahan tradisional

46 113 yang menggunakan teknologi dan peralatan sederhana, sehingga modal yang dibutuhkan relatif tidak besar, sehingga dapat diusahakan baik dalam skala kecil maupun besar. No Tabel 18. Data pengolah hasil perikanan laut di Kabupaten Pati Jenis Agroindustri Kapasitas/ hari Modal/hari (x Rp ) Tenaga kerja (org) 1 Segar 1 ton Asin kg ton Pindang 2 5 kg kg ton ton Panggang kg kg Pindang/ Panggang kg ton Terasi kg kg Kerupuk ikan kg Rajungan kg Sumber : Diskanlut Kabupaten Pati, Jumlah pengusaha (org) Prinsip proses pemindangan adalah merebus ikan dalam suatu wadah. Setelah proses pemindangan selesai, biasanya wadahnya langsung digunakan sebagai wadah penyimpanan dan pengangkutan pindang untuk dipasarkan. Proses pemindangan dimulai dengan pencucian ikan tanpa dilakukan penyiangan, selanjutnya ikan diletakkan dalam wadah persegi empat yang dibuat dari bambu (reyeng) dan ditaburi garam kristal. Beberapa reyeng diikat menjadi satu, kemudian disusun vertikal pada suatu kerangka, lalu dicelupkan ke dalam air garam mendidih dalam wadah terbuka. Lama perebusan kurang lebih menit. Selesai perebusan, produk pindang didinginkan dan siap untuk didistribusikan. Rendemen produksi ikan pindang kurang lebih 80%. Ikan pindang umumnya memiliki daya awet yang pendek sekali pada suhu kamar, yaitu 2 3 hari. Dibandingkan ikan asin, produk pindang memiliki rupa lebih bersih dan bercahaya dengan warna spesifik jenis ikan

47 114 yang masih kelihatan. Bentuk fisik ikan pindang utuh dan tidak retak. Rasanya tidak begitu asin dan aromanya seperti ikan rebus biasa. Sebagai sumber protein, ikan pindang dipandang lebih potensial dibanding ikan asin. Tidak seperti ikan asin, ikan pindang dapat dihidangkan sebagai makanan yang tidak banyak berbeda baik dalam rupa, tekstur, maupun rasa dengan makanan yang dibuat dari ikan segar. Rasa ikan pindang yang lebih tidak asin menjadikan produk ini lebih sesuai dengan selera, sehingga dalam satuan porsi makan akan lebih banyak jumlah yang dikonsumsi. Komposisi kimia ikan layang pindang adalah kadar air 70,06%, abu 2,51%, garam 1,22%, protein 25,79%, lemak 1,48% dan nilai aw 0,983. Ikan pindang dengan kadar garam yang secara nisbi rendah dan kadar air tinggi sangat cepat mengalami kerusakan. Gejala awal kerusakan ikan pindang umumnya berupa terbentuknya lendir pada permukaan kulit ikan pindang setelah penyimpanan 2-3 hari pada suhu kamar. Jenis bakteri yang menyebabkan lendir pada permukaan ikan pindang adalah Micrococcus colpogenes dan Micrococcus conglomeratus (Heruwati, 1985). Isolasi bakteri pada ikan pindang yang dilakukan Rahayu (1985) diketahui dari jenis Proteus sp, Staphylococcus sp, Acinetobacter sp, Micrococcus sp dan Bacillus sp. Karena memiliki keterbatasan daya awet produk, ikan pindang layang hasil produksi Kabupaten Pati umumnya dipasarkan selain ke pasar lokal juga di wilayah sekitar seperti Surakarta, Blora, Semarang, dan daerah lain di Jawa Tengah khususnya yang tidak memiliki sumber daya perikanan laut. Di Kabupaten Pati, pemindangan mendapat perhatian yang cukup baik dari Pemda, yaitu dibangunkannya sentra pemindangan, sehingga para pemindang tidak perlu berinvestasi lahan dan bangunan, tetapi cukup menyewa tempat yang dikelola Koperasi Unit Desa (KUD). Pemilihan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut di Kabupaten Cilacap (Kawasan Pengembangan III). Komoditas perikanan yang menjadi dasar pemilihan produk unggulan di Kabupaten Cilacap adalah ikan tuna, cakalang dan udang. Hasil penilaian yang dilakukan untuk pemilihan produk agroindustri unggulan yang potensial untuk dikembangkan

48 115 adalah ikan tuna kaleng dan ikan cakalang kaleng dengan prioritas penilaian tinggi (Tabel 19 dan Lampiran 29). Tabel 19. Skala prioritas pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kabupaten Cilacap No Penanganan Pasca Panen Tuna Cakalang Udang 1 Hidup Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 2 Segar/Dingin Sedang Sedang Sedang 3 Beku Sedang Sedang Sedang 4 Kering/Asin Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah 5 Pemindangan Rendah Rendah Sangat Rendah 6 Pemanggangan/asap Rendah Rendah Sangat Rendah 7 Fermentasi Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah 8 Pengalengan Tinggi (1) Tinggi (1) Rendah 9 Tepung ikan Rendah Rendah Rendah 10 Surimi Rendah Sangat Rendah Rendah 11 Olahan daging lumat Rendah Rendah Rendah 12 Kerupuk ikan Rendah Rendah Rendah Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan urutan produk unggulan terpilih Produk ikan kaleng di Kabupaten Cilacap diproduksi oleh PT Jui Fa International Foods sejak tahun Pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap menghasilkan produk ekspor yang volumenya terus meningkat secara nyata. Pada awal produksi ikan kaleng (tahun 2000), volume produksi ton dengan nilai produksi US$ dan meningkat menjadi ton dengan nilai US$ pada tahun 2003 (Gambar 29 dan Lampiran 30). Negara tujuan ekspor utama adalah Amerika Serikat, diikuti oleh negara Taiwan, Jerman, Yunani, Jepang dan Inggris dengan jumlah relatif kecil. Bahan baku utama yang digunakan adalah ikan cakalang dan tuna (Baby Yellowfin, bluefin, dan Albacore). Bahan baku tersebut + 40% diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Cilacap, selebihnya bahan baku didatangkan dari berbagai daerah seperti Bali, Bitung, Kendari dan Pantura Jawa. Ikan cakalang hasil tangkapan Kabupaten Cilacap dengan mutu baik umumnya digunakan sebagai bahan baku industri pengalengan, sebagian lain dengan mutu lebih rendah diproses menjadi ikan pindang. Kecuali jenis albacore yang umumnya berukuran lebih dari 20 kg, ikan tuna berjenis baby

49 116 yellowfin dan bluefin yang digunakan berukuran kecil, yaitu kurang dari 2 kg. Jenis ikan tuna tersebut sebagian besar didatangkan dari luar Kabupaten Cilacap. 18,000,000 16,000,000 14,000,000 12,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 - Volume (kg) Nilai (US$) Tahun Sumber : LPPMHP Kab. Cilacap, Gambar 29. Perkembangan volume dan nilai ekspor ikan kaleng Kabupaten Cilacap pada tahun Proses pengalengan ikan memerlukan tahapan yang cukup panjang dan konsisten, peralatan beragam dan memenuhi persyaratan standar yang berlaku, baik standar bahan baku, proses, maupun standar produk jadi. Persyaratan bahan baku pengalengan ikan terkait dengan asal dan mutu bahan mentah. Standar proses adalah konsistensi proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan untuk menghasilkan produk yang memiliki mutu baik dan konsisten. Perusahaan pengolah hasil perikanan, terlebih yang menghasilkan produk untuk pasar ekspor, umumnya telah menerapkan prinsip-prinsip Hazard Analytical Critical Control Point (HACCP) dalam proses produksinya untuk menjaga mutu dan keamanan produk yang dihasilkan. Persyaratan mutu ikan kaleng didasarkan pada SNI mengenai Ikan Tuna Media Minyak Dalam Kaleng. Tahapan proses pengalengan ikan meliputi persiapan, pemasakan pendahuluan (precooking), penurunan suhu, pemberihan daging, pemotongan, pengisian dalam kaleng, penambahan medium, penutupan kaleng, sterilisasi, penurunan suhu dan pemberian label. Pada proses persiapan, apabila bahan mentah masih dalam keadaan beku, dilakukan pelelehan (thawing) dalam air

50 117 yang mengalir pada bersuhu ºC. Selanjutnya dilakukan pemotongan kepala, sirip dan pembuangan isi perut. Untuk ikan yang berukuran besar dilakukan pemotongan bagian badan menjadi ukuran yang sesuai alat precooking. Potongan ikan ditempatkan pada rak precooking, kemudian dimasukkan ke dalam alat pemasak dengan menggunakan uap panas (steam). Waktu yang dbutuhkan tergantung ukuran ikan, umumnya 1-4 jam, dengan suhu pemasakan ºC. Ikan yang telah dimasak dikeluarkan dari alat pemasak dan diturunkan suhunya, sampai ikan dapat ditangani lebih lanjut (30 ºC) dalam waktu maksimum 6 jam. Daging ikan dibersihkan dari sisik, kulit, tulang dan daging merah dengan menggunakan pisau yang tajam, kemudian dipotong-potong dengan ukuran yang sesuai ukuran kaleng. Daging yang telah dipotong kemudian diisikan ke dalam kaleng, selanjutnya ditambahkan medium sesaat sebelum kaleng ditutup. Medium yang digunakan sesuai permintaan buyer adalah vegetable broth. Penutupan kaleng dilakukan dengan sistem double seamning. Sterilisasi dilakukan dalam retort. Setelah sterilisasi selesai, kaleng dikeluarkan dari retort dan dilakukan penurunan suhu. Apabila kaleng telah dingin, tahap berikutnya adalah pemberian label. Selain PT Jui Fa International Foods, di Kabupaten Cilacap terdapat beberapa perusahaan yang menghasilkan produk ekspor, yaitu PT Toxindo Prima (produk beku), PT Lautan Murti (produk beku), dan PT Kusuma Suisan Jaya (produk kering). Jika volume produksi ikan kaleng mengalami peningkatan, tidak demikian halnya produk beku, seperti udang dan tuna beku. Ekspor udang beku selama tahun cenderung meningkat dari kg (US$ ) pada tahun 1997 menjadi kg (US$ ) pada tahun 2002, kemudian sedikit menurun pada tahun 2003 menjadi kg (US$ ). Ekspor tuna beku cukup fluktuatif, bahkan cenderung menurun sejak tahun 2002 (Gambar 30 dan Lampiran 31). Negara tujuan ekspor utama bagi produk udang beku adalah Jepang, sedangkan produk tuna beku diantaranya diekspor ke Hongkong, Belanda, Thailand, Amerika Serikat, dan Singapura.

51 118 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000, Tahun Vol.Udang Beku (kg) Nilai Udang Beku (US$) Vol.Tuna Beku (kg) Nilai Tuna Beku (US$) Sumber : LPPMHP Kab. Cilacap, Gambar 30. Perkembangan volume dan nilai ekspor udang dan tuna beku Kabupaten Cilacap pada tahun Kabupaten Cilacap masih sangat potensial untuk mengembangkan pasar ekspor produk perikanan laut mengingat potensi komoditas bernilai tinggi yang terdapat di Samudera Hindia masih cukup tinggi. Sayangnya, ikan tuna yang didaratkan di Kabupaten Cilacap yang umumnya merupakan ikan tuna besar, justru langsung dikirim ke kota lain, seperti Jakarta untuk dijadikan bahan baku industri pembekuan atau steak tuna. Dengan demikian diperlukan dukungan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Cilacap terhadap perkembangan industri yang berorientasi pada pasar ekspor. Pengembangan AIPL yang berorientasi pada pasar ekspor, selain memberikan nilai tambah yang lebih besar pada komoditas hasil tangkapan, juga secara langsung akan berdampak positif terhadap pendapatan daerah, peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja lokal, alih teknologi serta mampu menggerakkan kegiatan ekonomi lainnya.

52 119 C. Analisis Kelayakan Finansial Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut Untuk mengetahui tingkat kelayakan produk unggulan agroindustri perikanan laut di masing-masing pusat pertumbuhan perlu dilakukan analisis finansial. Kriteria yang digunakan adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Pay Back Period (PBP) dan Break Even Point (BEP). Penentuan layak atau tidaknya suatu usaha adalah dengan cara membandingkan masing-masing nilai dengan batas-batas kelayakan, yaitu NPV > 0, IRR > 18%, Net B/C > 1, PBP < 10 th untuk usaha ikan asin dan ikan pindang atau PBP < 20 th untuk usaha ikan kaleng. Sub Model untuk menghitung kelayakan finansial usaha agroindustri perikanan laut adalah Sub Model Kelayakan. Asumsi-asumsi untuk perhitungan kelayakan disajikan pada Tabel 20. Asumsi didasarkan pada data yang diperoleh melalui kuesioner seperti kebutuhan bahan baku, jumlah produksi, harga bahan baku, harga produk, target produksi dan pasar, serta kondisi umum yang berlaku seperti besar bunga bank, penyusutan dan pajak. Komoditas yang diperhitungkan merupakan campuran 2-4 komoditas potensial yang umumnya digunakan sebagai bahan baku oleh industri terkait. Asumsi umur proyek bagi kegiatan pengolahan ikan asin di Kota Pekalongan dan ikan pindang di Kabupaten Pati adalah 10 tahun, sedangkan pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap adalah 20 tahun. Perbedaan ini disebabkan usaha pengalengan membutuhkan modal investasi yang besar, sehingga membutuhkan waktu pengembalian lebih lama. Modal diperoleh dari dari pinjaman perbankan sebesar 65% dari total anggaran dan 35% sebagai modal sendiri (Debt Equity Ratio/DER adalah 65 : 35). Total anggaran proyek meliputi modal investasi ditambah dengan modal kerja selama 1 bulan untuk usaha pengolahan ikan asin dan ikan pindang, sedangkan usaha pengalengan ikan adalah modal investasi ditambah modal kerja selama 3 bulan. Bunga kredit masingmasing adalah 18%/th. Jangka waktu pengembalian kredit usaha ikan asin dan ikan pindang masing-masing adalah 2 tahun, sedangkan jangka pengembalian kredit industri pengalengan ikan selama 10 tahun. Kondisi di lapangan

53 120 menunjukkan bahwa tidak ada pungutan pajak usaha di industri pengolahan ikan asin dan ikan pindang, sehingga pajak hanya dihitung pada industri pengalengan ikan, yaitu 15%/th terhadap besarnya keuntungan usaha. Tabel 20. Asumsi kelayakan usaha produk unggulan agroindustri perikanan laut No Asumsi Ikan Asin Ikan Pindang Ikan Kaleng 1 Umur proyek (tahun) Volume bahan baku (ton/tahun) 3 Rendemen (%) Jumlah hari kerja (hari/bulan) Harga bahan baku (Rp/kg) Layang Kembung Lemuru Cakalang Tuna baby yellow fin Tongkol Thunnus Tuna Albacore 6 Harga jual produk (Rp/Kg) Layang Kembung Lemuru Cakalang Tuna baby yellow fin Tongkol Thunnus Tuna Albacore Debt Equity Ratio (DER) 65 : : : 35 8 Bunga bank (%/tahun) Jangka pengembalian (tahun) Pajak (%/tahun) Produksi (%) Tahun I Tahun II Tahun III X/XX Jumlah hari kerja masing-masing usaha adalah 25 hari kerja atau 300 hari/tahun. Kapasitas produksi selama tahun pertama diperhitungkan hanya akan tercapai 70%, tahun kedua baru akan tercapai sebesar 85%, setelah tahun ketiga kapasitas produksi akan tercapai 100%.

54 121 Berbagai kebutuhan permodalan untuk kegiatan usaha agroindustri disajikan pada Tabel 21. Jenis permodalan dibedakan menjadi dua, yaitu modal investasi dan modal usaha/kerja. Modal investasi meliputi biaya atas tanah dan bangunan, serta biaya bagi pembelian mesin dan peralatan. Di Kabupaten Pati, modal tanah dan bangunan tidak diperhitungkan, mengingat pengolah pindang telah dibuatkan suatu sentra pengolahan yang pemakaiannya dilakukan dengan cara sewa yang dikelola oleh KUD setempat. Modal usaha meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap didasarkan pada kebutuhan untuk menggaji karyawan, utilitas dan perkantoran, serta untuk menyewa lahan dan bangunan. Sedangkan biaya tidak tetap meliputi biaya pembelian bahan baku, bahan penunjang, upah buruh dan pemasaran/transportasi. Rincian masing-masing pembiayaan dapat dilihat pada Lampiran 32, 33 dan 34. Tabel 21. Modal usaha produk unggulan agroindustri perikanan laut No Jenis permodalan Ikan Asin Ikan Pindang Ikan Kaleng A Modal Investasi (xrp 1000) 1 2 Tanah & bangunan Mesin & peralatan , ,50 Jumlah A ,50 B 1 a b c Modal Usaha (x Rp 1000) Biaya Tetap Gaji karyawan Utilitas & perkantoran Sewa lahan & bangunan Jumlah B a b c d Biaya Tidak Tetap Ikan Bahan penunjang Upah buruh Pemasaran Jumlah B Jumlah B Untuk mengetahui terjadinya berbagai kemungkinan selama umur proyek, dibahas skenario terjadinya berbagai perubahan yang diperkirakan akan mempengaruhi kelayakan usaha masing-masing produk unggulan agroindustri perikanan

55 122 laut. Beberapa kajian yang diduga paling besar pengaruhnya, diantaranya penurunan jumlah bahan baku, peningkatan harga bahan baku dan penurunan harga produk. Penurunan jumlah produksi dan peningkatan harga bahan baku sangat mungkin terjadi diantaranya apabila potensi ikan menyusut, musim yang tidak baik atau peningkatan harga bahan bakar yang menyebabkan biaya produksi menjadi meningkat. Penurunan harga produk kemungkinan dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar, khususnya pada produk hasil pengalengan ikan yang merupakan produk ekspor atau menurunnya daya beli masyarakat. Dalam analisis ini pengaruh tersebut diduga bersifat negatif yang membuat proyek menjadi tidak layak. 1. Analisis Kelayakan Finasial dan Resiko Kelayakan Usaha Produk Unggulan Agroindustri Ikan Asin di Kota Pekalongan Komoditas yang umum diolah menjadi ikan asin adalah ikan layang, kembung dan lemuru. Dengan perencanaan produksi bagi industri ikan asin sebesar ton/th atau 6 ton/hari, usaha ikan asin dinyatakan layak dengan NPV Rp ; IRR 48,63%; dan NetB/C 1,95. BEP bagi agroindustri ikan asin tersebut tercapai pada volume produksi ,61 kg atau pada harga rataan produk Rp 5.209,66. Periode pengembalian (PBP) seluruh modal investasi usaha agroindustri ikan asin adalah 3,76 tahun. Dalam setahun, kebutuhan bahan baku yang tersedia agar target produksi selama setahun terpenuhi adalah ton. Jumlah tersebut setara dengan 6,71% dari total produksi ikan layang, kembung dan lemuru di Kota Pekalongan pada tahun Hal ini menunjukkan ketersediaan bahan baku memadai untuk memasok kebutuhan industri selama proyek berlangsung. Hal ini juga ditunjang hasil tangkapan lain yang juga digunakan sebagai bahan baku industri ikan asin seperti ikan selar, tembang dan tongkol. Dari uji sensitivitas untuk menganalisis resiko kelayakan usaha agroindustri ikan asin terhadap perubahan nilai IRR terlihat bahwa agroindustri ikan asin masih dapat dikatakan layak bila penurunan volume

56 123 produksi tidak melebihi 55,56%, atau peningkatan harga bahan baku tidak melebihi 3,63% atau penurunan harga produk tidak melebihi 3,06% (Gambar 31) Perubahan (%) % Vol Bhn Baku % Hrg Bhn Baku % Hrg Produk Gambar 31. Perubahan nilai IRR usaha ikan asin terhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk IRR (%) Vol Bhn Baku (-) 50% Hrg Bhn Baku (+) 3% Hrg Produk (-) 3% Layang Kembung Lemuru Gambar 32. Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan asin

57 124 Analisis sensitivitas juga dilakukan berdasarkan perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap IRR (Gambar 32). Pengujian dilakukan pada batas rataan perubahan yang memungkinkan agroindustri ikan asin menjadi tidak layak, yaitu penurunan volume bahan baku 50%, peningkatan harga bahan baku dan penurunan harga produk masing-masing 3%. Gambar 32 memperlihatkan bahwa pada batas kelayakannya, ikan layang memiliki nilai IRR paling rendah, diikuti ikan kembung dan paling tinggi adalah nilai IRR ikan lemuru. Hal ini disebabkan bahan baku ikan layang merupakan bahan baku utama dalam agroindustri ini (67%), sehingga perubahan pada ikan layang akan memberikan dampak paling besar terhadap nilai IRR, yang berarti nilai IRR menjadi lebih kecil. Pada tingkatan volume produksi yang sama antara ikan kembung dan lemuru, nilai IRR ikan kembung lebih kecil dari ikan lemuru dikarenakan tingkat keuntungan (selisih harga jual produk terhadap harga bahan baku) pengolahan ikan kembung lebih kecil dibanding ikan lemuru. 2. Analisis Kelayakan Finasial dan Resiko Kelayakan Usaha Produk Unggulan Agroindustri Ikan Pindang di Kabupaten Pati Ikan layang dan kembung merupakan komoditas utama pada agroindustri pemindangan ikan. Dengan perencanaan produksi sebesar ton/th atau 4 ton/hari, agroindustri ikan pindang dinyatakan layak dengan NPV Rp ,88; IRR 48,63% dan Net B/C 1,89. BEP agroindustri ikan pindang tercapai pada volume produksi ,64 kg atau pada tingkat rataan harga produk Rp 6.296,67. Jangka waktu pengembalian modal usaha (PBP) pemindangan ikan adalah 4,10 tahun. Kebutuhan bahan baku bagi pemindangan dengan skala produksi ton/th tersebut setara dengan 6,50% dari total produksi ikan layang dan kembung di Kabupaten Pati pada tahun Hal ini menunjukkan tingkat kecukupan berdasarkan ketersediaan bahan baku memadai untuk memasok kebutuhan industri selama proyek berlangsung. Jenis ikan lain yang sering digunakan sebagai bahan baku industri pemindangan ikan adalah ikan tongkol.

58 125 Pada usaha ikan pindang, penurunan volume bahan baku masih bisa dikatakan layak kalau tidak lebih dari 55,34% dan peningkatan harga bahan baku hanya bisa dipertahankan kelayakannya tidak lebih dari 2,68%, sedangkan penurunan harga produk dapat ditahan sampai 2,11% (Gambar 33) Perubahan (%) % Vol Bhn Baku % Hrg Bhn Baku % Hrg Produk Gambar 33. Perubahan nilai IRR usaha ikan pindang terhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk IRR (%) Vol Bhn Baku (-) 50% Hrg Bhn Baku (+) 3% Hrg Produk (-) 2% Layang Kembung Gambar 34. Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan pindang

59 126 Dari analisis sensitivitas terhadap perubahan volume bahan baku terlihat bahwa dampak lebih besar terhadap penurunan nilai IRR diakibatkan oleh berkurangnya 50% volume ikan kembung, artinya meskipun persentase volume ikan kembung lebih kecil tetapi karena marjin keuntungan per kilogramnya lebih besar akan memberi dampak yang lebih besar. Sebaliknya, peningkatan harga bahan baku sebesar 3% dan penurunan harga produk sebesar 2% menghasilkan nilai IRR ikan layang yang lebih besar dibanding nilai IRR ikan kembung (Gambar 34). 3. Analisis Kelayakan Finansial dan Resiko Kelayakan Usaha Produk Unggulan Agroindustri Ikan Kaleng di Kabupaten Cilacap Bahan baku industri pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap yang diperhitungkan adalah ikan tuna Baby Yellow Fin, tuna Albacore, cakalang dan tongkol Thunnus. Melalui perencanaan produksi sebesar ton/tahun atau 35 ton/hari, industri pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap dinyatakan sebagai industri yang layak diusahakan dengan umur proyek 20 tahun. Keputusan kelayakan didasarkan pada nilai NPV sebesar Rp ,24; IRR 45,16; dan Net B/C 1,97 tahun. PBP dan BEP bagi proyek tersebut adalah 3,59 tahun dan ,16 kg/th (+ 21 ton/hari) atau Rp ,68. Pada industri pengalengan, penurunan volume bahan baku sampai dengan 50,97% usaha masih layak diteruskan. Usaha juga masih dikatakan layak, apabila peningkatan harga bahan baku tidak lebih dari 19,51% atau penurunan harga produk sampai 10,40% (Gambar 35). Analisis sensitivitas terhadap perubahan volume bahan baku menujukkan penurunan 50% volume ikan tuna Albacore berdampak paling besar terhadap penurunan nilai IRR diikuti ikan cakalang, tuna Baby Yellow Fin dan Thunnus Tongkol. Hal ini seiring dengan perubahan 2 peubah lain, yaitu peningkatan harga bahan baku 20% dan penurunan harga produk 10%.

60 % Vol Bhn Baku % Hrg Bhn Baku % Hrg Produk Gambar 35. Perubahan nilai IRR usaha ikan kaleng terhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk Vol Bhn Baku (-) 50% Hrg Bhn Baku (+) 20% Hrg Produk (-) 10% Cakalang Baby Yellow Fin Thunnus Tongkol Albacore Gambar 36. Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan kaleng Besarnya pengaruh ikan tuna Albacore disebabkan besarnya selisih harga produk dangan harga bahan baku yang disumbangkan oleh ikan tersebut dibanding ketiga jenis ikan lainnya. Pengaruh terbesar kedua adalah ikan cakalang, yang disebabkan ikan cakalang merupakan komoditas utama (40%)

61 128 industri pengalengan ikan tersebut, sehingga meskipun marginnya paling kecil dibanding ikan lainnya, tetapi karena dalam volume besar dapat berpengaruh terhadap perubahan nilai IRR. Pada tahun 2003, total produksi ikan tuna dan cakalang di Kabupaten Cilacap hanya ton. Dengan asumsi seluruh hasil produksi lokal masuk ke industri responden, jumlah tersebut hanya mampu memasok 42,15% kebutuhan bahan baku, sehingga diperlukan pasokan bahan baku dari luar Cilacap. Karena Kabupaten Cilacap merupakan produsen utama ikan tuna dan cakalang di Provinsi Jawa Tengah, maka bahan baku juga harus dipasok dari luar provinsi. Selama ini sebagian besar bahan baku diperoleh dari berbagai daerah, seperti Bitung, Kendari dan Bali. Produk yang dihasilkan lebih dari 90% diekspor ke Amerika Serikat. Jenis bahan baku industri responden mengikuti keinginan pembeli (negara pengimpor). Untuk industri pengolahan modern seperti pengalengan ikan, investasi yang dibutuhkan sangat besar, sehingga berbagai faktor yang mempengaruhi keberlangsungan industri tersebut harus diperhitungkan secara cermat. Salah satu faktor yang sangat penting adalah ketersediaan bahan baku, dari segi volume, kontinuitas dan mutunya. Gambar 37 dan Lampiran 35 menunjukkan hasil peramalan antara produksi ikan kaleng oleh PT Juifa dan volume produksi ikan tuna dan cakalang di Kabupaten Cilacap. Peramalan pada Sub Model Kelayakan dan simulasi yang sesuai adalah dengan menggunakan metode Monte Carlo dengan Pola Distribusi Empiris. Dari simulasi tersebut terlihat bahwa volume produksi ikan kaleng sangat fluktuatif diatas ketersediaan bahan baku, yaitu dengan rataan produksi aktual kg/th, sedangkan hasil peramalan rataan volume produksi adalah kg/th. Volume bahan baku aktual, yaitu ikan tuna dancakalang sebagai bahan baku pengalengan yang dihasilkan di Cilacap adalah kg/th, sedangkan hasil ramalan adalah kg/th. Dengan memperhitungkan faktor rendemen 72%, maka volume bahan baku yang dibutuhkan untuk keberlangsungan industri pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap adalah kg/th. Ketersediaan bahan baku kg/th hanya memenuhi 59,86% dari total volume yang dibutuhkan.

62 129 Volume (Kg) 8,000,000 7,000,000 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000, Tahun Bahan Baku Aktual Produksi Aktual Bahan Baku Peramalan Produksi Peramalan Gambar 37. Hasil peramalan volume bahan baku dan volume produksi ikan kaleng Mengingat pula bahwa kapasitas produksi terpasang industri pengalengan tersebut adalah 60 ton/hari atau setara dengan ton/th, maka pemda Kabupaten Cilacap perlu mempertimbangkan berbagai cara untuk mampu menarik kapal penghasil ikan tuna dan cakalang agar bersedia mendaratkan hasil tangkapannya di Kabupaten Cilacap, diantaranya dengan kemudahan lelang atau insentif dalam bentuk pengurangan biaya lelang pada volume atau nilai tertentu. Apabila agroindustri ini mampu terus tumbuh dengan baik, diharapkan akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja lokal, pengembangan usaha baru dan pendukungnya, serta peningkatan pendapatan daerah, baik dari sisi besarnya lelang atau dari pajak usaha agroindustri.

63 130 D. Strategi Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut Dengan menggunakan teknik AHP (Analytical Hierarchy Process) pada Sub Model Strategi, hirarki untuk pemilihan alternatif strategi pengembangan agroindustri perikanan laut atas fokus, faktor, tujuan dan alternatif. Elemen faktor penting yang mempengaruhi pengembangan agroindustri perikanan laut adalah Sumber Daya Ikan, Sumber Daya Manusia, Teknologi, Permodalan, Pasar, Kebijakan Pemerintah, Sarana Prasarana, Informasi dan Kelembagaan. Elemen tujuan yang hendak dicapai adalah Peningkatan Nilai Tambah, Perluasan Lapangan Kerja, Perluasan Kesempatan Berusaha, Peningkatan Pendapatan Daerah, Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan Konsumsi Ikan. Untuk pencapaian tujuan tersebut alternatif strategi yang ditawarkan adalah Mendukung Pertumbuhkan Agroindustri Baru, Memperkuat Agroindustri yang Ada, dan Optimalisasi Industri Penangkapan Ikan. Hasil analisis pendapat pakar menunjukkan (Gambar 38) bahwa faktor pasar (0,1577), sumber daya manusia (0,1533) dan ketersediaan modal (0,1276) masing-masing menempati urutan teratas, artinya faktor tersebut merupakan faktor determinatif dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. Faktor pasar merupakan faktor determinatif, karena keberlangsungan usaha agroindustri sangat ditentukan oleh terserapnya produk yang dihasilkan oleh konsumen. Produk perikanan yang umumnya merupakan produk mudah rusak menjadi salah satu alasan diperlukannya upaya pemasaran yang cepat dengan tingkat keuntungan yang wajar. Produk perikanan yang berpotensi menjadi produk ekspor, seperti tuna kaleng, tuna dan udang beku, memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, khususnya pemerintah, seperti upaya promosi untuk memperluas pasar, menambah kuota atau penurunan tarif bea masuk. Secara umum, perdagangan hasil perikanan dunia sepanjang tahun an terus mengalami peningkatan rataan sebesar 8,50% dengan nilai sekitar US$ 10,37 milyar. Negara-negara tujuan ekspor dunia, khususnya Indonesia masih didominasi Jepang (24,78%), Singapura (12,85%), USA (11,12%), Hongkong (6,61%), RRC (4,12%) dan Thailand (4,06%) (DKP, 2004). Permasalahan eksternal untuk pengembangan pasar ekspor diantaranya terkait dengan hambatan

64 131 tarif dan non tarif. Sebagai contoh, Uni Eropa mengenakan tarif bea masuk impor yang sangat tinggi terutama bagi value added products seperti ikan kaleng (24%) dari Indonesia. Fokus Pemilihan Strategi Pengembangan AI PL 1,00 Faktor Sumber Daya Ikan 0,1185 (4) Sumber Daya Manusia 0,1533 (2) Teknologi 0,1165 (5) Modal 0,1276 (3) Pasar 0,1577 (1) Kebijakan Pemerintah 0,1047 (7) Sarana & prasarana 0,1058 (6) Informasi 0,0605 (8) Kelembagaan 0,0554 (9) T ujuan Nilai Tambah 0,1701 Lapangan Kerja 0,2034 Kesempatan Usaha 0,1997 Pendapatan Daerah 0,1659 Pertumbuhan Ekonomi 0,1502 Konsumsi Ikan 0,1107 (3) (1) (2) (4) (5) (6) Alternatif Mendukung pertumbuhan agroindustri baru 0,2827 (3) Memperkuat agroindustri yang ada 0,3883 (1) Optimalisasi industri penangkapan ikan 0,3290 (2) Keterangan : angka dalam kurung merupakan urutan prioritas Gambar 38. Hasil analisis strategi pengembangan agroindustri perikanan laut Hambatan non tarif yang bersifat teknis, tidak transparan dan diskriminatif, seperti pengenaan standar mutu dan sanitasi yang semakin ketat. Peran pemerintah dan asosiasi terkait diharapkan lebih proaktif untuk mengatasi hambatan tersebut.

65 132 Pasar domestik memiliki potensi yang besar untuk menyerap hasil perikanan nasional. Hal ini dapat diperkirakan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 250 juta pada tahun Bila tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia per kapita pada tahun 2003 mencapai 24,67%, maka jumlah produk perikanan yang diserap di pasar nasional pada tahun 2005 dapat mencapai 6,2 juta ton. Di Provinsi Jawa Tengah tingkat konsumsi ikan masih jauh dari target nasional, dimana pada tahun 2002, tingkat konsumsi ikan baru mencapai 12,09 kg/org/th (Lampiran 36). Sumber daya manusia merupakan faktor penting kedua dalam pengembangan agroindustri perikanan laut, dimana pelaku usaha dan tenaga kerja yang terlibat diharapkan lebih inovatif dan kreatif dalam mencari nilai tambah melalui berbagai teknologi pengolahan hasil perikanan. Selain itu, pelaku usaha dan tenaga kerja juga bertanggung jawab langsung terhadap penanganan dan pengolahan ikan sesuai dengan kaidah-kaidah Good Handling Practices (GHP), Good Manufacturing Practices (GMP) dan penerapan prosedur Hazard Analitycal Critical Control Point (HACCP) untuk menjaga keamanan produk hasil perikanan. Saat ini, praktek pemakaian bahan tambahan yang dilarang digunakan untuk produk pangan, seperti formalin untuk pengawet dan rodhamin B untuk pewarna diindikasikan banyak dilakukan oleh pelaku usaha agroindustri tradisional. Faktor modal merupakan faktor utama ketiga yang menjadi prioritas pengembangan, karena agroindustri perikanan masih didominasi oleh industri kecil dan rumah tangga, yang secara klasik memiliki kendala untuk mendapatkan akses permodalan dari perbankan. Sebagai contoh, dari 105 orang pelaku agroindustri perikanan laut di Kota Pekalongan hanya 12% yang memiliki modal di atas 25 juta per lelang, 42% bermodal Rp juta, 46 persen hanya bermodal kurang dari Rp 5 juta. Di Provinsi Jawa Tengah terdapat sekitar pelaku agroindustri perikanan laut yang mengelola usaha yang berkategori usaha padat karya ini (Diskanlut Jawa Tengah, 2001). Meskipun produk yang dihasilkan merupakan produk tradisional, beberapa pelaku usaha mengaku bahwa pasar eskpor ikan asin masih terbuka lebar, akan tetapi mereka kekurangan modal untuk memperbesar skala usahanya. Pelaku usaha tersebut juga membutuhkan

66 133 modal untuk memiliki cold storage yang dapat dipergunakan untuk menyimpan ikan pada saat musim panen, sehingga dapat dikeluarkan pada musim paceklik. Upaya tersebut sangat penting untuk menjaga stabilitas harga produk perikanan di pasaran. Analisis AHP tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan skala prioritasnya, tujuan yang hendaknya menjadi prioritas tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut yang utama adalah peningkatan lapangan kerja (0,2034), perluasan kesempatan berusaha (0.1997) dan peningkatan nilai tambah (0,1701). Tujuan untuk memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha sebagai prioritas pengembangan agroindustri mengindikasikan bahwa secara umum pengembangan jenis agroindustri padat karya dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sangat dibutuhkan untuk mengatasi pertambahan penduduk dan meningkatnya angka pencari kerja di Provinsi Jawa Tengah dengan rataan 6,78% selama 5 tahun terakhir, dari orang pada tahun 1999 menjadi orang pada tahun Peningkatan nilai tambah produk, selain merupakan upaya untuk menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi, produk tersebut juga akan memberi manfaat lain seperti penyerapan tenaga kerja, menggerakkan usaha pendukung dan berkontribusi terhadap pendapatan daerah. Pada hirarki penentuan alternatif strategi diperoleh hasil bahwa prioritas alternatif strategi yang dibutuhkan untuk pengembangan agroindustri adalah memperkuat agroindustri yang ada (0,3883), selanjutnya diikuti dengan optimalisasi industri penangkapan ikan (0,3290) dan mendukung pertumbuhan agroindustri baru (0,2827). Alternatif strategi yang memprioritaskan untuk memperkuat agroindustri yang ada menunjukkan bahwa saat ini pengelolaan agroindustri yang ada belum optimal. Dari total produksi perikanan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2002, 32,0% diantaranya diperdagangkan dalam bentuk segar; 45,0% diolah menjadi ikan asin; 14,9% diolah pindang; 0,1% difermentasi; 3,6% diasap dan 1,6% diolah modern untuk diekspor. Penguatan agroindustri perikanan laut yang ada tersebut dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas, seperti pembinaan dalam peningkatan mutu produk, pembinaan manajerial, peningkatan mutu SDM pengelola, dan mempermudah akses untuk mendapatkan modal usaha.

67 134 Optimalisasi industri penangkapan ikan merupakan upaya untuk menjaga kontinuitas pasokan komoditas perikanan sebagai bahan baku agroindustri perikanan yang ada, sekaligus untuk membuka peluang tumbuhnya agroindustri perikanan laut yang baru. Selain untuk menjaga kontinuitas dari sisi volume, optimalisasi pengangkapan juga dibutuhkan agar komoditas perikanan hasil tangkapan terjaga kualitasnya, diantaranya dengan penerapan rantai dingin dan menyegerakan proses pembongkaran ikan. E. Kelembagaan Agroindustri Perikanan Laut Untuk menganalisis keterkaitan elemen yang terlibat dalam pengembangan agroindustri perikanan laut digunakan metode ISM pada Sub Model Kelembagaan. Analisis dilakukan terhadap elemen pelaku, kebutuhan program, kendala, tolok ukur dan aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengembangan. Matrik agregat pendapat pakar, hasil Reachability Matriks dan intepretasinya dapat dilihat pada Lampiran Elemen Pelaku Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut yang terdiri dari 15 sub elemen pelaku dapat digambarkan dalam bentuk hirarki (Gambar 39) dan dibagi dalam empat sektor dalam grafik Dependece Driver Power (Gambar 40). Dari Gambar 39 diketahui bahwa elemen pelaku pengembangan terbagi dalam enam level. Adapun sub elemen yang menjadi elemen kunci dari elemen pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut adalah Pemerintah Daerah (E5) dan Pemerintah Pusat (E6), yaitu pada level 1. Hasil tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat merupakan dua pelaku yang memiliki peran yang lebih besar daripada pelaku lain dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. Peran pemerintah daerah dan pusat tersebut menunjukkan tindakan atau kebijakan yang diputuskan dapat mempengaruhi dan memberikan dorongan besar bagi

68 135 pengembangan agroindustri perikanan laut. Peran kedua pelaku tersebut harus diarahkan kepada pencapaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut, yaitu terciptanya lapangan kerja dan perluasan kesempatan berusaha. Level 6 E12 E15 Level 5 Level 4 Level 3 Level 2 E2 E7 E1 E4 E14 E8 E3 E9 E13 E10 E11 Keterangan : E1 : Nelayan E2 : Bakul Ikan E3 : Pengusaha Agroindustri PL E4 : Tenaga Kerja AIPL E5 : Pemerintah Daerah E6 : Pemerintah Pusat E7 : Perbankan E8 : Lembaga Keuangan Non Bank E9 : Distributor/Agen Produk AIPL E10 : Pengusaha Alat Produksi E11 : Konsumen E12 : Perguruan Tinggi/Lemb Riset E13 : Koperasi E14 : Asosiasi E15 : Lembaga Swadaya Masyarakat Level 1 E5 E6 Pelaku Gambar 39. Hirarki elemen pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut Peran pemerintah daerah dan pusat selanjutnya akan mendorong pelaku lain yang berada pada level 2, yaitu Nelayan (E1), Pengusaha agroindustri perikanan laut (E3) dan Pengusaha alat produksi (E10) sebagai pelaku langsung dalam kegiatan produksi, penanganan hasil tangkapan dan menyediakan alat produksi atau penunjang produksi agroindustri perikanan laut. Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik Dependence Driver Power (Gambar 40) menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah (E5) dan Pemerintah Pusat (E6) menempati sektor IV (independent) dan memiliki nilai Driver Power (DP) yang tertinggi. Hal ini berarti Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat merupakan peubah bebas yang berperan besar untuk mempengaruhi pelaku lain, sekaligus memiliki daya dorong tertinggi bagi pengembangan agroindustri perikanan laut. Posisi ini diikuti oleh Nelayan

69 136 (E1), Pengusaha agroindustri perikanan laut (E3) dan Pengusaha alat produksi (E10), yang juga menempati sektor IV pada posisi DP cukup tinggi. Ketiga pelaku ini tampil bahu membahu dalam posisi sejajar sebagai pelaku aktif dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. Nelayan bertindak sebagai penyedia bahan baku, sedangkan pengusaha alat produksi bertindak sebagai penyedia teknologi yang mempengaruhi bentuk dan mutu produk yang dihasilkan. Driver Power Keterangan : E1 : Nelayan E2 : Bakul Ikan E3 : Pengusaha Agroindustri PL E4 : Tenaga Kerja AIPL E5 : Pemerintah Daerah E6 : Pemerintah Pusat E7 : Perbankan E8 : Lembaga Keuangan Non Bank E9 : Distributor/Agen Produk AIPL E10 : Pengusaha Alat Produksi E11 : Konsumen E12 : Perguruan Tinggi/Lemb Riset E13 : Koperasi E14 : Asosiasi E15 : Lembaga Swadaya Msyarakat Dependence Gambar 40. Grafik Dependence Driver Power pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut Bakul ikan (E2), Tenaga kerja AIPL (E4), Distributor/agen produk AIPL (E9) dan Konsumen (E9) berada di sektor III (linkage), yang berarti pelaku-pelaku ini memiliki keterkaitan yang kuat dan daya dorong yang cukup besar dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. Bakul ikan dalam sistem agroindustri perikanan laut, seringkali berperan sekaligus sebagai pelaku pengusaha agroindustri. Hal ini umumnya merupakan pengusaha agroindustri PL yang bermodal cukup besar. Sedangkan untuk pelaku usaha agroindustri kecil akan mengandalkan bakul ikan sebagai perantara (peserta lelang), karena untuk menjadi peserta lelang dibutuhkan modal yang cukup besar. Tenaga kerja AIPL dalam sistem agroindustri perikanan laut bisa diartikan sebagai aset industri, yang diharapkan memiliki ketrampilan tinggi,

70 137 memiliki jiwa kewirausahaan, profesional dan berorientasi pada mutu, keunggulan, produktif dan menerapkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk mengelolaan sumber daya perikanan laut. Distributor/agen produk AIPL merupakan ujung tombak pemasaran produk ke konsumen, sedangkan konsumen memiliki peran sebagai pelaku yang menyerap produk agroinddustri dan melalui preferensinya akan mempengaruhi bentuk agroindustri yang akan dikembangkan. Pelaku lain berada di sektor II (dependent), yaitu Perbankan (E7), Lembaga keuangan non bank (E8), Koperasi (E13), Asosiasi (E14), Perguruan tinggi/lembaga riset (E12) dan LSM (E15), yang berarti bersifat tergantung pada pelaku lain. Dari sejumlah pelaku tersebut, Perguruan tinggi/lembaga riset (E12) dan LSM (E15) dianggap merupakan pelaku yang memiliki kekuatan pendorong yang paling lemah dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. 2. Elemen Kebutuhan untuk Pelaksanaan Program Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut Sub elemen yang menyusun hirarki kebutuhan untuk pelaksanaan program terdiri dari 11 sub elemen, dengan hasil analisis ISM terbagi dalam empat level (Gambar 41). Sub elemen Jaminan kesinambungan bahan baku (E5), Permodalam (E6) dan Sumber daya manusia terampil dan terdidik (E7) merupakan elemen kunci yang menempati level 1. Hasil tersebut memberi pengertian bahwa jaminan kesinambungan bahan baku, permodalan dan SDM merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi untuk mendorong perkembangan agroindustri perikanan laut. Ketiga sub elemen tersebut juga dapat diartikan sebagai pilar utama yang dapat menjamin keberlangsungan agroindustri.

71 138 Level 4 E4 E11 Level 3 E8 E10 Keterangan : E1 : Sarana dan Prasarana E2 : Standar mutu & keamanan produk E3 : Teknologi Tepat Guna E4 : Manajemen Usaha E5 : Jaminan Kesinambungan Bh Baku E6 :Permodalan E7 : SDM Terampil dan Terdidik E8 : Stabilitas Politik dan Moneter E9 : Pemasaran yang Terjamin E10 : Kemudahan Birokrasi (Perijinan) E11 : Pelestarian Sumber Daya Ikan Level 2 E1 E2 E3 E9 Level 1 E5 E6 E7 Kebutuhan Gambar 41. Hirarki elemen kebutuhan untuk pelaksanaan program pengembangan agroindustri perikanan laut Level 2 yang terdiri dari sub elemen Sarana dan prasarana (E1), Standarisasi mutu dan keamanan produk (E2), Teknologi (E3) dan Pemasaran yang terjamin (E9) merupakan jenis kebutuhan lanjutan yang dibutuhkan bagi perkembangan agroindustri perikanan laut. Kebutuhan berikutnya adalah Stabilitas politik dan moneter (E8) dan Kemudahan birokrasi/perijinan (E10) yang berada pada level 3. Pemenuhan kebutuhan penting yang juga harus diperhitung kan adalah Manajemen usaha (E4) dan Pelestarian SDI (E11). Hasil pengelompokan elemen kebutuhan dalam grafik Dependence Driver Power (Gambar 42) menujukkan bahwa Jaminan kesinambungan bahan baku (E5), Permodalan (E6) dan SDM terampil dan terdidik (E7) berada dalam peubah bebas (sektor independent). Hasil ini menunjukkan bahwa peubah-peubah tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, tetapi memiliki sedikit ketergantungan terhadap pengembangan agroindustri perikanan laut.

72 139 Driver Power Keterangan : E1 : Sarana dan Prasarana E2 : Standar mutu & keamanan produk E3 : Teknologi Tepat Guna E4 : Manajemen Usaha E5 : Jaminan Kesinambungan Bh Baku E6 :Permodalan E7 : SDM Terampil dan Terdidik E8 : Stabilitas Politik dan Moneter E9 : Pemasaran yang Terjamin E10 : Kemudahan Birokrasi (Perijinan) E11 : Pelestarian Sumber Daya Ikan Dependence Gambar 42. Grafik Dependence Driver Power kebutuhan untuk pelaksanaan program pengembangan agroindustri perikanan laut Sub elemen Sarana dan prasarana (E1), Standarisasi mutu dan keamanan produk (E2), Teknologi tepat guna (E3) dan Pemasaran yang terjamin (E9) yang berada pada sektor III (linkage) menunjukkan bahwa sub elemen tersebut memiliki daya dorong yang besar dan akan saling mempengaruhi dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. Stabilitas politik dan moneter (E8), Kemudahan birokrasi/perijinan (E10), Manajemen usaha (E4) dan Pelestarian sumber daya ikan (E11) berada dalam sektor peubah tidak bebas/dependent (sektor II). Dengan posisi tersebut berarti keempat sub elemen mempunyai daya dorong relatif kecil dan tergantung pada peubah-peubah lainnya. 3. Elemen Kendala dalam Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut Hirarki elemen kendala dalam pengembangan agroindustri perikanan laut disusun dari 8 sub elemen yang terbagi menjadi 5 level (Gambar 43). Keterbatasan Modal (E1) merupakan sub elemen dari elemen kendala yang menempati level 1 yang sekaligus merupakan elemen kunci, artinya sub elemen ini harus mendapat prioritas penyelesaian dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. Dalam posisinya sebagai elemen kunci, penyelesaian kendala ini akan mendorong penyelesaian kendala lain yang

73 140 dapat menghambat upaya pengembangan agroindustri perikanan laut. Apabila kendala Keterbatasan modal ini dapat diatasi, maka kendala sub elemen Keterbatasan sarana dan prasarana (E2), Kuantitas, mutu dan kontinuitas bahan baku (E3), Kestabilan harga bahan baku (E4) dan Akses informasi terhadap teknologi pasca panen (E5) yang berada di level 2 diharapkan juga dapat diselesaikan, karena penyelesaian masalah tersebut banyak diantaranya terkait dengan kebutuhan modal. Level 5 E8 Level 4 Level 3 E7 E6 Keterangan : E1 : Keterbatasan Modal E2 : Keterbatasan Sarana dan Prasarana E3 : Kuantitas, mutu &kontinuitas bh baku E4 : Kestabilan harga bh baku E5 : Akses informasi thd teknologi pascapanen E6 : Rendahnya mutu SDM terampil E7 : Kewirausahaan E8 : Hambatan kelembagaan/birokrasi Level 2 E2 E3 E4 E5 Level 1 E1 Kendala Gambar 43. Hirarki elemen kendala dalam pengembangan agroindustri perikanan laut Berdasarkan plot pada grafik Dependence Driver Power (Gambar 44) terlihat bahwa Keterbatasan modal (E1) berada dalam sektor peubah bebas/independent (sektor IV), yang berarti bahwa peubah ini mempunyai daya dorong kuat, tetapi memiliki sedikit ketergantungan bagi pengembangan agroindustri perikanan laut. Sub elemen kendala yang memiliki daya dorong kuat dan saling mempengaruhi terhadap sub elemen lain adalah Keterbatasan sarana dan prasarana (E2), Kuantitas, mutu dan kontinuitas bahan baku (E3), Kestabilan harga bahan baku (E4) dan Akses informasi terhadap teknologi pasca panen (E5) yang berada dalam sektor III (linkage), sehingga diperlukan kehati-hatian menangani kendala tersebut. Dalam sektor II (peubah

74 141 terikat/dependent) terdapat kendala Rendahnya mutu SDM berketrampilan (E6), Kewirausahaan (E7) dan Hambatan kelembagaan/birokrasi (E8), yang berarti kendala tersebut memiliki daya dorong yang cukup lemah dan dipengaruhi oleh sub elemen yang lain. Driver Power Keterangan : E1 : Keterbatasan Modal E2 : Keterbatasan Sarana dan Prasarana E3 : Kuantitas, mutu &kontinuitas bh baku E4 : Kestabilan harga bh baku E5 : Akses informasi thd teknologi pascapanen E6 : Rendahnya mutu SDM terampil E7 : Kewirausahaan E8 : Hambatan kelembagaan/birokrasi Dependence Gambar 44. Grafik Dependence Driver Power kendala dalam pengembangan agroindustri perikanan laut 4. Elemen Tolok Ukur Untuk Penilaian Tujuan Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut Berdasarkan hasil analisis ISM, elemen tolok ukur untuk penilaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut terdiri dari 9 sub elemen yang terbagi dalam 5 level (Gambar 45). Pada level 1 terdapat sub elemen Penurunan angka kemiskinan dan pengangguran (E1), Peningkatan volume produksi (E2) dan Peningkatan pendapatan daerah yang merupakan elemen kunci sebagai tolok ukur dalam pencapaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut. Hal ini sejalan dengan prioritas tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut yang diidentifikasikan sebelumnya, secara berurut yaitu peningkatan lapangan kerja, perluasan kesempatan berusaha dan peningkatan pendapatan daerah. Keberhasilan pencapaian tujuan tersebut akan mendorong pemasaran produk,

75 142 baik yang merupakan Pasar produk domestik (E3) maupun Pasar ekspor (E4) untuk terus ditingkatkan (level 2). Level 5 Level 4 Level 3 E5 E9 E8 E6 Keterangan : E1 : Penurunan Angka Kemiskinan & Pengangguran E2 : Peningkatan Volume Produksi E3 : Peningkatan Pangsa Pasar Domestik E4 :Peningkatan Pangsa Pasar Ekspor E5 : Peningkatan Keuntungan Usaha E6 :Peningkatan Harga Ikan E7 :Peningkatan Pendapatan Daerah E8 : Peningkatan Unit Usaha E9 : Peningkatan Konsumsi Ikan Level 2 E3 E4 Level 1 E1 E2 E7 Tolok Ukur Gambar 45. Hirarki elemen tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut Jika dilihat dari hubungan Dependence-Driver Power yang diplot pada Gambar 46, maka sub elemen Penurunan angka kemiskinan dan pengangguran (E1), Peningkatan volume produksi (E2) dan Peningkatan pendapat daerah (E7) berada dalam sektor IV (peubah bebas/independent). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa sub-sub elemen tersebut mempunyai kekuatan pendorong yang besar dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. Peningkatan pangsa pasar domestik (E3) dan ekspor (E4) memiliki daya dorong yang juga kuat, serta bersifat linkage (sektor III) yang berarti saling berpengaruh dengan sub elemen lain. Peningkatan keuntungan usaha (E5), Peningkatan harga ikan (E6), Peningkatan unit usaha (E8) dan Peningkatan konsumsi ikan (E9) merupakan sub elemen yang berada di sektor II (peubah terikat/dependent) yang berarti tolok ukur tersebut berdaya dorong rendah dan dipengaruhi oleh sub elemen lain. Hal ini juga dapat diartikan apabila tolok ukur di sektor lain tercapai, maka akan mendorong tercapainya sub elemen di sektor II ini.

76 143 Driver Power Keterangan : E1 : Penurunan Angka Kemiskinan & Pengangguran E2 : Peningkatan Volume Produksi E3 : Peningkatan Pangsa Pasar Domestik E4 :Peningkatan Pangsa Pasar Ekspor E5 : Peningkatan Keuntungan Usaha E6 :Peningkatan Harga Ikan E7 :Peningkatan Pendapatan Daerah E8 : Peningkatan Unit Usaha E9 : Peningkatan Konsumsi Ikan Dependence Gambar 46. Grafik Dependence Driver Power tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut 5. Elemen Aktivitas Yang Dibutuhkan Guna Perencanaan Tindakan Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut Elemen aktivitas yang dibutuhkan dalam pengembangan agroindustri perikanan laut disusun dari 16 sub elemen dengan hirarki yang terbagi dalam 6 level (Gambar 47). Hirarki pada Gambar 46 menempatkan aktivitas Identifikasi jenis-jenis produk agroindustri yang layak dikembangkan (E1), Koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan AIPL (E2) dan Perumusan perda untuk mendukung pengembangan AIPL sesuai potensi di masing-masing wilayah/kawasan (E3) pada level 1, yang sekaligus menempatkan ketiga elemen tersebut sebagai elemen kunci pada struktur elemen aktivitas yang akan mendorong aktivitas lain. Kemudahan akses terhadap teknologi dan informasi (E5), Pemenuhan sarana dan prasarana (E6), Kemudahan akses terhadap lembaga permodalan (E9) dan Kejelasan proses perijinan usaha agroindustri (E11) merupakan sub elemen pada level 2 yang perlu mendapat perhatian karena aktivitas tersebut akan mendorong sub elemen aktivitas pada level berikutnya.

77 144 Level 6 E15 Level 5 E10 Level 4 E4 E12 Level 3 E7 E8 E13 E14 E16 Level 2 E5 E6 E9 E11 Level 1 E1 E2 E3 Aktivitas Keterangan : E1 : Identifikasi jenis-jenis produk agroindustri yang layak dikembangkan E2 : Koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan AIPL E3 : Perumusan Perda untuk mendukung pengembangan potensial pada masing-masing wilayah/kawasan E4 : Pengembangan sistem insentif seperti perpajakan dan perkreditan untuk investasi E5 : Kemudahan akses terhadap akses teknologi dan informasi E6 : Pemenuhan sarana dan prasarana E7 :Pembinaan untuk penerapan cara penerapan dan pengolahan yang baik dan higienis E8 : Pembinaan dalam pengelolaan usaha agroindustri E9 : Kemudahan akses terhadap lembaga permodalan E10 : Pendidikan dan pelatiha SDM yang terlibat dalam agroindustri E11 : Kejelasan dalam proses perijinan usaha agroindustri E12 : Menciptakan iklim kondusif untuk dunia usaha (keamanan, politik dan moneter) E13 : Minimalisasi Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing E14 : Penerapan sistem kapal carrier E15 : Promosi produk agroindustri E16 : Mendorong terciptanya harga yang wajar bagi bahan baku dan produk Gambar 47. Hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengembangan agroindustri perikanan laut Berdasarkan plot grafik Dependence Driver Power (Gambar 48) menunjukkan sub elemen E1, E2 dan E7 serta E5, E6, E9 dan E11 berada pada sektor IV yang berarti merupakan peubah bebas (independent) dan memiliki kekuatan penggerak lebih besar dari sub elemen lain. Aktivitas Pembinaan untuk penerapan cara penanganan dan pengolahan yang baik dan hiegenis (E7), Pembinaan dalam pengelolaan usaha agroindustri (E8), Minimalisasi Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing (E13), Penerapan sistem kapal carrier (E14) dan Mendorong terciptanya harga yang wajar bagi bahan baku dan produk (E16) berada di

78 145 sektor III, yang berarti sub-sub elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang cukup besar dan merupakan sub elemen yang saling terikat dengan sub elemen lain (linkage) dalam pengembangan agroindustri perikanan laut. Sub elemen E7 dan E8 terkait dengan aktivitas dalam pengelolaan kegiatan untuk menghasilkan produk yang bermutu baik dan aman dikonsumsi, sesuai standar pengolahan seperti Good Manufacturing Practice (GMP), Good Higienis Practices (GHP), Hazard Analytical Critical Control Point (HACCP). Driver Power Dependence Keterangan : E1 : Identifikasi jenis-jenis produk agroindustri yang layak dikembangkan E2 : Koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan AIPL E3 : Perumusan Perda untuk mendukung pengembangan potensial pada masing-masing wilayah/kawasan E4 : Pengembangan sistem insentif seperti perpajakan dan perkreditan untuk investasi E5 : Kemudahan akses terhadap akses teknologi dan informasi E6 : Pemenuhan sarana dan prasarana E7 :Pembinaan untuk penerapan cara penerapan dan pengolahan yang baik dan higienis E8 : Pembinaan dalam pengelolaan usaha agroindustri E9 : Kemudahan akses terhadap lembaga permodalan E10 : Pendidikan dan pelatiha SDM yang terlibat dalam agroindustri E11 : Kejelasan dalam proses perijinan usaha agroindustri E12 : Menciptakan iklim kondusif untuk dunia usaha (keamanan, politik dan moneter) E13 : Minimalisasi Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing E14 : Penerapan sistem kapal carrier E15 : Promosi produk agroindustri E16 : Mendorong terciptanya harga yang wajar bagi bahan baku dan produk Gambar 48. Grafik Dependence Driver Power aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan agroindustri perikanan laut Aktivitas E13, E14 dan E16 merupakan aktivitas yang akan menjaga kesinambungan hasil tangkapan yang merupakan bahan baku agroindustri perikanan laut, baik melalui upaya pencegahan pencurian ikan di wilayah

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Indonesia yang secara geografis adalah negara kepulauan dan memiliki garis pantai yang panjang, serta sebagian besar terdiri dari lautan. Koreksi panjang garis

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tahun Budidaya Laut Tambak Kolam Mina Padi

I. PENDAHULUAN. Tahun Budidaya Laut Tambak Kolam Mina Padi 1 A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia memiliki lahan perikanan yang cukup besar. Hal ini merupakan potensi yang besar dalam pengembangan budidaya perikanan untuk mendukung upaya pengembangan perekonomian

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertanian merupakan salah satu basis perekonomian Indonesia. Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara agraris, maka pembangunan pertanian akan memberikan

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH No. 56/08/33 Th.IX, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 167,79 RIBU TON, CABAI RAWIT SEBESAR 107,95 RIBU TON,

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 No. 50/08/33/Th. VIII, 4 Agustus 2014 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 145,04 RIBU TON, CABAI RAWIT 85,36 RIBU TON, DAN BAWANG

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kabupaten Pati 4.1.1 Kondisi geografi Kabupaten Pati dengan pusat pemerintahannya Kota Pati secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Industrialisasi pada negara sedang berkembang sangat diperlukan agar dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK A. Gambaran Umum Objek/Subjek Penelitian 1. Batas Administrasi. Gambar 4.1: Peta Wilayah Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah 4.1.1 Geografi, topografi dan iklim Secara geografis Kabupaten Ciamis terletak pada 108 o 20 sampai dengan 108 o 40 Bujur Timur (BT) dan 7 o

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Topografis dan Luas Wilayah Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kota yang berada di selatan pulau Jawa Barat, yang jaraknya dari ibu kota Propinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi penggerak utama (prime mover)

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi penggerak utama (prime mover) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan, Indonesia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan 81.000 km panjang garis pantai, memiliki potensi beragam sumberdaya pesisir dan laut yang

Lebih terperinci

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN No Kelompok Pola Harapan Nasional Gram/hari2) Energi (kkal) %AKG 2) 1 Padi-padian 275 1000 50.0 25.0 2 Umbi-umbian 100 120 6.0

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang dinamakan dengan nawacita.

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Komoditi TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Produksi Penyediaan Kebutuhan Konsumsi per kapita Faktor Konversi +/- (ton) (ton) (ton) (ton) (kg/kap/th) (100-angka susut)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) No. 74/12/33 Th.VII, 2 Desember 2013 HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) RUMAH TANGGA PETANI GUREM JAWA TENGAH TAHUN 2013 SEBANYAK 3,31 JUTA RUMAH TANGGA, TURUN 28,46 PERSEN DARI TAHUN 2003 Jumlah

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di antara 6 0.57`- 7 0.25`

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN aa 16 a aa a 4.1 Keadaan Geografis dan Topografis Secara geografis Kabupaten Indramayu terletak pada posisi 107 52' 108 36' BT dan 6 15' 6 40' LS. Batas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH Kondisi umum Provinsi Jawa Tengah ditinjau dari aspek pemerintahan, wilayah, kependudukan dan ketenagakerjaan antara lain sebagai berikut : A. Administrasi Pemerintah,

Lebih terperinci

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH Joko Sutrisno 1, Sugihardjo 2 dan Umi Barokah 3 1,2,3 Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya. KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015 KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Penutup Penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010 merupakan hajatan besar bangsa yang hasilnya sangat penting dalam rangka perencanaan pembangunan.

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Kota Serang 4.1.1 Letak geografis Kota Serang berada di wilayah Provinsi Banten yang secara geografis terletak antara 5º99-6º22 LS dan 106º07-106º25

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 NO KAB./KOTA L P JUMLAH 1 KABUPATEN REMBANG 820 530 1.350 2 KOTA MAGELANG 238 292 530 3 KABUPATEN WONOGIRI 2.861

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu hal yang penting bagi suatu negara. Dengan adanya pariwisata, suatu negara atau lebih khusus lagi pemerintah daerah tempat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA

PENEMPATAN TENAGA KERJA PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2015 NO. KAB./KOTA 2015 *) L P JUMLAH 1 KABUPATEN SEMARANG 3,999 8,817 12816 2 KABUPATEN REMBANG 1,098 803 1901 3 KOTA.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 447 60 8 364 478 2.632 629 4.618 57.379 8,05 2 Purbalingga 87 145 33 174 119 1.137

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/01/33/Th.II, 2 Januari 2008 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2007 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Tengah pada Agustus 2007 adalah

Lebih terperinci

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH OUT LINE 1. CAPAIAN PRODUKSI 2. SASARAN LUAS TANAM DAN LUAS PANEN 3. CAPAIAN

Lebih terperinci

34 laki dan 49,51% perempuan. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 0,98% dibanding tahun 2008, yang berjumlah jiwa. Peningkatan penduduk ini

34 laki dan 49,51% perempuan. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 0,98% dibanding tahun 2008, yang berjumlah jiwa. Peningkatan penduduk ini 33 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Trenggalek 4.1.1 Keadaan geografi Kabupaten Trenggalek terletak di selatan Provinsi Jawa Timur tepatnya pada koordinat 111 ο 24 112 ο 11 BT dan 7 ο

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat yang dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan pada kemampuan nasional, dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun 2000-an kondisi agribisnis tembakau di dunia cenderung

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH. Oleh : Ida Mulyani

POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH. Oleh : Ida Mulyani POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Ida Mulyani Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat beraneka ragam dan jumlahnya sangat melimpah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 96 IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Dalam bab ini, akan dipaparkan secara umum tentang 14 kabupaten dan kota yang menjadi wilayah penelitian ini. Kabupaten dan kota tersebut adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zat-zat dalam Susu Nilai Kandungan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zat-zat dalam Susu Nilai Kandungan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pembangunan di Indonesia karena sektor pertanian mampu menyediakan lapangan kerja, serta

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 748 34 3 790 684 2,379 1,165 5,803 57,379 10.11 2 Purbalingga 141 51 10 139 228

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 08/05/33/Th.I, 15 Mei 2007 TINGKAT PENGANGGURAN DI JAWA TENGAH MENURUN 0,1% Tingkat Penganguran Terbuka di Jawa Tengah pada Februari 2007 adalah 8,10%. Angka ini 0,10% lebih

Lebih terperinci

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Kota Serang Kota Serang adalah ibukota Provinsi Banten yang berjarak kurang lebih 70 km dari Jakarta. Suhu udara rata-rata di Kota Serang pada tahun 2009

Lebih terperinci

PENILAIAN PENGARUH SEKTOR BASIS KOTA SALATIGA TERHADAP DAERAH PELAYANANNYA

PENILAIAN PENGARUH SEKTOR BASIS KOTA SALATIGA TERHADAP DAERAH PELAYANANNYA PENILAIAN PENGARUH SEKTOR BASIS KOTA SALATIGA TERHADAP DAERAH PELAYANANNYA TUGAS AKHIR Oleh : PUTRAWANSYAH L2D 300 373 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH Rapat Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Penanganan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Surakarta, 9 Februari 2016 Kemiskinan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Batas Administrasi Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB Wilayah BARLINGMASCAKEB terdiri atas Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga,

Lebih terperinci

PROGRAM DAN KEGIATAN SUBID ANALISA AKSES DAN HARGA PANGAN TA BADAN KETAHANAN PANGAN PROV. JATENG

PROGRAM DAN KEGIATAN SUBID ANALISA AKSES DAN HARGA PANGAN TA BADAN KETAHANAN PANGAN PROV. JATENG PROGRAM DAN KEGIATAN SUBID ANALISA AKSES DAN HARGA PANGAN TA. 2016 BADAN KETAHANAN PANGAN PROV. JATENG 1 I.Program Peningkatan Ketahanan Pangan (APBD) Peningkatan Akses Pangan Masyarakat dan Pemantauan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Wilayah Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Wilayah Joglosemar terdiri dari kota Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Secara geografis ketiga

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/12/33/Th.III, 1 Desember 2009 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2009 Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dilaksanakan dua kali dalam setahun,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdapat dalam sektor perikanan dan kelautan yang meliputi beberapa elemen sebagai subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis 29 4 KEADAAN UMUM 4.1 Letak dan Kondisi Geografis Keadaan geografi Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luas laut yang cukup besar. Secara geografis Kabupaten Aceh Besar berada

Lebih terperinci

4.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap Kabupaten Lamongan

4.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap Kabupaten Lamongan 23 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografi dan Topografi Kecamatan Brondong merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Timur. Brondong adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Lamongan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

5 TINGKAT KEBUTUHAN ES UNTUK KEPERLUAN PENANGKAPAN IKAN DI PPS CILACAP

5 TINGKAT KEBUTUHAN ES UNTUK KEPERLUAN PENANGKAPAN IKAN DI PPS CILACAP 30 5 TINGKAT KEBUTUHAN ES UNTUK KEPERLUAN PENANGKAPAN IKAN DI PPS CILACAP 5.1 Kapal-kapal Yang Memanfaatkan PPS Cilacap Kapal-kapal penangkapan ikan yang melakukan pendaratan seperti membongkar muatan

Lebih terperinci

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN 3.1. Telaah Terhadap Kebijakan Nasional Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2018, Kementerian PPN/Bappenas memangkas prioritas nasional agar lebih fokus menjadi

Lebih terperinci

RAPAT KOORDINASI. Pilot Project Reforma Agraria. Kasubdit Pertanahan Rabu, 30 Oktober 2013

RAPAT KOORDINASI. Pilot Project Reforma Agraria. Kasubdit Pertanahan Rabu, 30 Oktober 2013 1 RAPAT KOORDINASI Pilot Project Reforma Agraria Kasubdit Pertanahan Rabu, 30 Oktober 2013 Rencana Lokasi Pilot Project 2 Koordinasi lintas K/L untuk kegiatan Access Reform Lokasi yang diusulkan: Prov.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kehidupan yang layak, (menurut World Bank dalam Whisnu, 2004),

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Keadaan Geografis a. Letak Geografis Provinsi Jawa Tengah secara geografis terletak antara 5 o 4 dan 8 o 3 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia secara astronomis terletak antara 6 08 LU - 11 15 LS dan 94 45 BT - 141 5 BT. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.997 mil di antara Samudra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi jangka panjang. Dari satu periode ke periode berikutnya kemampuan suatu negara untuk

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 21 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu terletak di Kecamatan Palabuhanratu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sub sektor dari sektor

BAB I PENDAHULUAN. Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sub sektor dari sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sub sektor dari sektor pertanian yang dapat meningkatkan devisa negara dan menyerap tenaga kerja. Pemerintah mengutamakan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Provinsi Jawa Tengah Sensus Ekonomi 2016 No. 37/05/33 Th. XI, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Hasil Pendaftaran

Lebih terperinci

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017 REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL 13-17 JULI 2017 NO SIMBOL JENIS STAND NOMOR STAND INSTANSI 1 1 Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah 2 2 Dinas Ketahanan Pangan Provinsi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN No. 62/11/33/Th.V, 07 November 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2011 mencapai 16,92 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan terutama diarahkan untuk meningkatkan produktivitas, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan taraf hidup dan kesejahteran nelayan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.31 /05/33/Th.VIII, 05 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,45 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Februari 2014 yang sebesar 17,72

Lebih terperinci

PERANAN SUBSEKTOR PERIKANAN TANGKAP TERHADAP PEMBANGUNAN WILAYAH DI KABUPATEN PATI MENGGUNAKAN ANALISIS LOCATION QUOTIENT DAN MULTIPLIER EFFECT

PERANAN SUBSEKTOR PERIKANAN TANGKAP TERHADAP PEMBANGUNAN WILAYAH DI KABUPATEN PATI MENGGUNAKAN ANALISIS LOCATION QUOTIENT DAN MULTIPLIER EFFECT PERANAN SUBSEKTOR PERIKANAN TANGKAP TERHADAP PEMBANGUNAN WILAYAH DI KABUPATEN PATI MENGGUNAKAN ANALISIS LOCATION QUOTIENT DAN MULTIPLIER EFFECT The Role of Catch Fishing Subsector in Growth of Pati Regency

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.69 /11/33/Th.VII, 06 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2013: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,02 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2013 mencapai 16,99

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 21 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Palabuhanratu Secara astronomis wilayah Palabuhanratu berada pada 106º31' BT-106º37' BT dan antara 6 57' LS-7 04' LS, sedangkan secara administratif

Lebih terperinci

SINKRONISASI OPERASIONAL KEGIATAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH TA. 2017

SINKRONISASI OPERASIONAL KEGIATAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH TA. 2017 PAPARAN SEKRETARIS DINAS KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH SINKRONISASI OPERASIONAL KEGIATAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH TA. 2017 Ungaran, 19 Januari 2017 Struktur Organisasi

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 728 112 20 1,955 2,178 2,627 1,802 9,422 57,379 16.42 2 Purbalingga 70 50 11 471

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah sebuah negara maritim, karena memiliki lautan lebih luas dari daratannya, sehingga biasa juga disebut dengan Benua Maritim

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 40 V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Kondisi Fisik Geografis Wilayah Kota Ternate memiliki luas wilayah 5795,4 Km 2 terdiri dari luas Perairan 5.544,55 Km 2 atau 95,7 % dan Daratan 250,85 Km 2 atau

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.70 /11/33/Th.VIII, 05 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,68 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2014 yang sebesar

Lebih terperinci

PROFIL DAN POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN PINDANG MODERN DI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH

PROFIL DAN POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN PINDANG MODERN DI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH PROFIL DAN POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN PINDANG MODERN DI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH ppa-02 Gunawan* 1, Giri R. Barokah 1 dan Putri Wullandari 2 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Daya Saing

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Batasan Kawasan Joglosemar Joglosemar (Yogyakarta-Solo-Semarang) yang dikembangkan selama ini hanya meliputi dua kota besar di Provinsi Jawa Tengah dan satu kota di Provinsi DIY. Menurut

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 25 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Cirebon 4.1.1 Kondisi geografis dan topografi Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 78 TAHUN 2013 TAHUN 2012 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beras merupakan komoditi yang penting bagi Indonesia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beras merupakan komoditi yang penting bagi Indonesia. Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beras merupakan komoditi yang penting bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan fungsi beras sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh penduduk. Pentingnya keberadaan beras

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 31 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kota Jakarta Utara Keadaan umum Kota Jakarta Utara dikemukakan dalam subbab 4.1.1 sampai dengan 4.1.3 di bawah ini ; meliputi keadaan geografis, keadaan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No. 66/11/33/Th.VI, 05 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2012: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,63 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2012 mencapai 17,09

Lebih terperinci