HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Batasan Kawasan Joglosemar Joglosemar (Yogyakarta-Solo-Semarang) yang dikembangkan selama ini hanya meliputi dua kota besar di Provinsi Jawa Tengah dan satu kota di Provinsi DIY. Menurut Rustiadi et al. (2006) definisi konsep kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Sementara itu Isard (1975) mengatakan bahwa kawasan pada dasarnya bukan sekedar areal dengan batasan-batasan tertentu, namun suatu area yang memiliki arti (meaningful) karena adanya permasalahan di dalamnya. Jadi pengembangan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi-fungsi tertentu dari suatu wilayah baik itu fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun pertahanan keamanan dengan melihat terkerkaitan antar kawasan. Berdasarkan pengertian tersebut maka untuk menentukan kawasan kerjasama antar daerah di Kawasan Joglosemar perlu ditentukan batasan kawasan yang didasarkan pada data aliran barang (Inflow dan Outflow) tahun 2001 antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sedangkan data aliran barang di luar Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY tidak dimasukkan dalam analisis. Data aliran barang yang digunakan hanya satu titik tahun yaitu tahun 2001 karena untuk menentukan pewilayahan Kawasan Joglosemar dihitung dari pangsa aliran barang baik masuk maupun keluar, maka diasumsikan pangsa aliran barang pada tahun 2001 dan tahun 2006 relatif tidak berubah secara signifikan. Berikut ini adalah hasil proses pewilayahan Kawasan Joglosemar berdasarkan Data Aliran Barang antar Kabupaten/Kota : 1. Penentuan pangsa outflow dari dan inflow ke Kota Semarang, Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta. Pangsa outflow dari Kota Semarang dapat dilihat pada gambar berikut ini yang mengambarkan kekuatan outflow dari Kota Semarang ke Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY.

2 66 20 Outflow dari Kota Semarang (%) JATENG: KAB. DEMAK JATENG: KAB. KENDAL JATENG: KAB. KUDUS JATENG: KAB. SEMARANG JATENG: KOT. SALATIGA JATENG: KAB. PURWOREJO JATENG: KAB. PATI JATENG: KOT. SURAKARTA JATENG: KAB. BANYUMAS JATENG: KAB. TEGAL DIY: KOT. YOGYAKARTA JATENG: KAB. PEKALONGAN JATENG: KAB. BATANG JATENG: KAB. JEPARA JATENG: KAB. TEMANGGUNG JATENG: KAB. BOYOLALI JATENG: KAB. CILACAP JATENG: KOT. PEKALONGAN JATENG: KAB. MAGELANG JATENG: KOT. TEGAL JATENG: KAB. GROBOGAN JATENG: KAB. REMBANG JATENG: KAB. BLORA DIY: KAB. SLEMAN JATENG: KAB. BANJARNEGARA JATENG: KAB. WONOSOBO JATENG: KAB. KLATEN JATENG: KAB. WONOGIRI JATENG: KAB. PEMALANG JATENG: KAB. PURBALINGGA JATENG: KAB. SRAGEN JATENG: KOT. MAGELANG JATENG: KAB. KARANGANYAR JATENG: KAB. BREBES JATENG: KAB. KEBUMEN JATENG: KAB. SUKOHARJO DIY: KAB. BANTUL JATENG: KOT. SEMARANG DIY: KAB. KULON PROGO DIY: KAB. GUNUNG KIDUL Gambar 15. Pangsa outflow dari Kota Semarang ke Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY. Pada gambar tersebut terlihat bahwa aliran barang keluar (outflow) dari Kota Semarang yang paling besar menuju ke Kabupaten Demak sebesar 19,89 % terhadap total aliran barang keluar dari Kota Semarang ke Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY. Selanjutnya Kabupaten Kendal yaitu sebesar 10,34 %, Kabupaten Kudus sebesar 8,44 % dan Kabupaten Semarang sebesar 8,35 %. Hal ini disebabkan karena letak wilayah Kabupaten Demak, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang berbatasan secara administrasi dan ditunjang dengan fasilitas infrastruktur aksesibilitas jalan yang menghubungkan wilayah-wilayah tersebut. Kabupaten Kudus walaupun secara adimistrasi letaknya tidak berbatasan namun karena Kota Semarang sebagian besar merupakan kawasan industri dan Kabupaten Kudus juga merupakan kawasan industri yaitu industri rokok maka intensitas aliran barang keluar dari Kota Semarang ke Kabupaten Kudus juga relatif tinggi. Pangsa outflow dari Kota Surakarta ke Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

3 67 30 Outflow dari Kota Surakarta (%) JATENG: KAB. WONOGIRI JATENG: KAB. KARANGANYAR JATENG: KAB. MAGELANG JATENG: KAB. CILACAP JATENG: KAB. KEBUMEN DIY: KAB. GUNUNG KIDUL DIY: KOT. YOGYAKARTA JATENG: KAB. KENDAL JATENG: KAB. BLORA JATENG: KAB. TEMANGGUNG JATENG: KAB. PEKALONGAN DIY: KAB. BANTUL JATENG: KAB. SRAGEN JATENG: KAB. SUKOHARJO JATENG: KAB. SEMARANG JATENG: KAB. DEMAK JATENG: KAB. GROBOGAN JATENG: KAB. KUDUS JATENG: KOT. PEKALONGAN JATENG: KAB. KLATEN DIY: KAB. SLEMAN JATENG: KAB. BOYOLALI JATENG: KAB. BANYUMAS JATENG: KAB. TEGAL JATENG: KAB. PEMALANG JATENG: KAB. PURWOREJO JATENG: KAB. WONOSOBO JATENG: KAB. BATANG JATENG: KOT. SALATIGA JATENG: KAB. PATI JATENG: KAB. BANJARNEGARA JATENG: KAB. PURBALINGGA JATENG: KAB. REMBANG JATENG: KAB. JEPARA JATENG: KAB. BREBES JATENG: KOT. MAGELANG JATENG: KOT. SURAKARTA JATENG: KOT. SEMARANG JATENG: KOT. TEGAL DIY: KAB. KULON PROGO Gambar 16. Pangsa outflow dari Kota Surakarta ke Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY. Intensitas aliran barang keluar dari Kota Surakarta ke Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY paling besar adalah ke Kabupaten Wonogiri sebesar 31, 29 % terhadap total aliran barang keluar dari Kota Surakarta ke Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY. Kabupaten Karanganyar sebesar 10,52 % karena secara administrasi Kota Surakarta berbatasan dengan wilayah Kabupaten Karanganyar sehingga intensitas aliran barang antar dua wilayah tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain, sementara itu Kabupaten Magelang memiliki kekuatan intensitas aliran barang sebesar 9,92 % karena walaupun secara administrasi tidak berbatasan langsung. Hal ini disebabkan karena Kabupaten Magelang merupakan daerah pertanian yang subur sementara Kota Surakarta bukan merupakan daerah pertanian tetapi lebih dominan industri maka terjadi intensitas aliran barang antara kedua komoditi tersebut. Kondisi itu dapat dilihat dari data BPS tahun 2005 luas lahan sawah di Kabupaten Magelang adalah ha sedangkan Kota Surakarta hanya 104 ha. Sektor industri di Kota Surakarta sebanyak 149 industri besar dan sedang dengan nilai tambah dari sektor industri sebesar Rp

4 68 sedangkan Kabupaten Magelang hanya memiliki 94 industri besar dan sedang dengan nilai tambah sebesar Rp (BPS, 2005). Pangsa outflow dari Kota Yogyakarta ke Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY dapat dilihat pada gambar dibawah ini : 50 Outflow dari Kota Yogyakarta (%) JATENG: KAB. DEMAK JATENG: KAB. CILACAP JATENG: KAB. PATI JATENG: KAB. MAGELANG JATENG: KAB. BLORA JATENG: KAB. BANYUMAS DIY: KAB. SLEMAN JATENG: KOT. SURAKARTA JATENG: KAB. PURWOREJO DIY: KAB. GUNUNG KIDUL DIY: KAB. KULON PROGO JATENG: KAB. KLATEN JATENG: KAB. JEPARA JATENG: KAB. SEMARANG JATENG: KAB. SRAGEN JATENG: KAB. KEBUMEN JATENG: KAB. TEMANGGUNG JATENG: KAB. KUDUS JATENG: KAB. WONOSOBO JATENG: KAB. JATENG: KAB. BOYOLALI JATENG: KAB. WONOGIRI JATENG: KAB. BATANG JATENG: KAB. GROBOGAN DIY: KAB. BANTUL JATENG: KAB. JATENG: KAB. SUKOHARJO JATENG: KAB. PEKALONGAN JATENG: KAB. BREBES JATENG: KAB. PEMALANG JATENG: KAB. KENDAL JATENG: KAB. JATENG: KAB. REMBANG JATENG: KAB. TEGAL JATENG: KOT. MAGELANG JATENG: KOT. SALATIGA JATENG: KOT. SEMARANG JATENG: KOT. PEKALONGAN JATENG: KOT. TEGAL DIY: KOT. YOGYAKARTA Gambar 17. Pangsa outflow dari Kota Yogyakarta ke Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY. Besarnya intensitas aliran barang dari Kota Yogyakarta ke Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY terbesar menuju ke Kabupaten Demak sebesar 46,64 %, Kabupaten Cilacap sebesar 14,80 % dan Kabupaten Pati sebesar 12,23 % dari total aliran barang keluar dari Kota Yogyakarta ke Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY. Tingginya intensitas aliran barang ke Kabupaten Demak dari Kota Yogyakarta disebabkan karena daerah sekitar Kota Yogyakarta seperti Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul dan Kabuapten Kulon Progo merupakan daerah penghasil kayu yang proses pengolahannya di lakukan di Kabupaten Demak. Sedangkan intensitas aliran barang ke Kabupaten Cilacap disebabkan karena di kabupaten tersebut terdapat pelabuhan laut yang merupakan pintu gerbang distribusi hasil-hasil kerajinan dari Kota Yogyakarta.

5 69 Langkah selanjutnya adalah menentukan pangsa inflow ke Kota Surakarta dari Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY dengan hasil sebagai berikut : Inflow ke Kota Surakarta (%) JATENG: KAB. BOYOLALI JATENG: KAB. SRAGEN JATENG: KAB. KARANGANYAR JATENG: KAB. WONOGIRI JATENG: KAB. GROBOGAN JATENG: KAB. CILACAP JATENG: KOT. SEMARANG JATENG: KAB. BLORA JATENG: KAB. SUKOHARJO JATENG: KAB. DEMAK JATENG: KAB. KLATEN JATENG: KAB. KEBUMEN JATENG: KAB. KUDUS JATENG: KAB. BREBES DIY: KOT. YOGYAKARTA JATENG: KAB. MAGELANG JATENG: KAB. PATI JATENG: KAB. SEMARANG JATENG: KAB. PURWOREJO JATENG: KOT. SALATIGA JATENG: KAB. JEPARA DIY: KAB. BANTUL JATENG: KOT. MAGELANG JATENG: KOT. PEKALONGAN DIY: KAB. SLEMAN JATENG: KAB. BANYUMAS JATENG: KAB. KENDAL JATENG: KAB. BATANG JATENG: KAB. TEMANGGUNG JATENG: KAB. TEGAL JATENG: KOT. TEGAL JATENG: KAB. WONOSOBO JATENG: KAB. PEKALONGAN DIY: KAB. KULON PROGO DIY: KAB. GUNUNG KIDUL JATENG: KAB. REMBANG JATENG: KAB. BANJARNEGARA JATENG: KAB. PEMALANG JATENG: KAB. PURBALINGGA JATENG: KOT. SURAKARTA Gambar 18. Pangsa inflow ke Kota Surakarta dari Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY. Pangsa inflow ke Kota Surakarta paling besar berasal dari Kabupaten Boyolali yaitu sebesar 11,96%. Urutan berikutnya adalah Kabupaten Sragen dengan intensitas sebesar 10,75 % dan Kabupaten Karanganyar sebesar 8,09% dari total aliran barang masuk ke Kota Surakarta yang berasal dari Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY. Ketiga kabupaten tersebut yaitu Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar memiliki kekuatan intensitas yang lebih tinggi dari pada kabupaten/kota lain di Jawa Tengah dan DIY karena wilayah tersebut secara administrasi berbatasan sehingga interaksi berupa aliran barang antar wilayah cukup kuat. Selain itu didukung oleh aksesibilitas berupa jalan yang menghubungkan wilayah tersebut.

6 70 Pangsa inflow ke Kota Semarang dari Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY dapat dilihat pada gambar berikut ini : Inflow ke Kota Semarang (%) JATENG: KAB. SEMARANG JATENG: KOT. MAGELANG JATENG: KOT. PEKALONGAN JATENG: KOT. TEGAL JATENG: KOT. SALATIGA JATENG: KAB. CILACAP JATENG: KAB. BANYUMAS JATENG: KAB. PURBALINGGA JATENG: KAB. BANJARNEGARA JATENG: KAB. KEBUMEN JATENG: KAB. PURWOREJO JATENG: KAB. WONOSOBO JATENG: KAB. MAGELANG JATENG: KAB. BOYOLALI JATENG: KAB. KLATEN JATENG: KAB. SUKOHARJO JATENG: KAB. WONOGIRI JATENG: KAB. KARANGANYAR JATENG: KAB. SRAGEN JATENG: KAB. GROBOGAN JATENG: KAB. BLORA JATENG: KAB. REMBANG JATENG: KAB. PATI JATENG: KAB. KUDUS JATENG: KAB. JEPARA JATENG: KAB. DEMAK JATENG: KAB. TEMANGGUNG JATENG: KAB. KENDAL JATENG: KAB. BATANG JATENG: KAB. PEKALONGAN JATENG: KAB. PEMALANG JATENG: KAB. TEGAL JATENG: KAB. BREBES JATENG: KOT. SURAKARTA JATENG: KOT. SEMARANG DIY: KAB. KULON PROGO DIY: KAB. BANTUL DIY: KAB. GUNUNG KIDUL DIY: KAB. SLEMAN DIY: KOT. YOGYAKARTA Gambar 19. Pangsa inflow ke Kota Semarang dari Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY. Intensitas aliran barang masuk ke Kota Semarang dari Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY hanya terjadi pada 4 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dan yang paling kuat berasal dari Kabupaten Semarang yaitu sebesar 86,79%. Tiga kota yang lain yaitu Kota Magelang sebesar 5,56%, Kota Pekalongan sebesar 5,13% dan Kota Tegal hanya 2,31%. Hal ini disebabkan karena Kota Semarang yang sebagian besar merupakan kawasan industri lebih banyak mengandalkan pasokan bahan baku atau bahan mentah industrinya hanya berasal dari wilayah sekitar yaitu Kabupaten Semarang. Sementara hanya sekitar 5 % kebutuhan industrinya dipasok dari luar wilayah Kota Semarang yaitu Kota Magelang dan Kota Pekalongan karena sumberdaya yang ada di Kabupaten Semarang mencukupi kebutuhan industri dan pertanian di Kota Semarang. Pangsa inflow ke Kota Yogyakarta dari Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY dapat dilihat pada gambar berikut ini :

7 71 14 Inflow ke Kota Yogyakarta (%) DIY: KAB. SLEMAN DIY: KAB. GUNUNG KIDUL JATENG: KAB. PURBALINGGA JATENG: KAB. CILACAP JATENG: KOT. SEMARANG JATENG: KAB. MAGELANG JATENG: KAB. KLATEN JATENG: KAB. SUKOHARJO DIY: KAB. BANTUL JATENG: KOT. SURAKARTA JATENG: KAB. PURWOREJO JATENG: KAB. BANYUMAS JATENG: KAB. REMBANG JATENG: KAB. BLORA JATENG: KAB. SEMARANG DIY: KAB. KULON PROGO JATENG: KAB. WONOSOBO JATENG: KAB. TEMANGGUNG JATENG: KAB. KEBUMEN JATENG: KAB. BREBES JATENG: KAB. JEPARA JATENG: KAB. KARANGANYAR JATENG: KAB. BANJARNEGARA JATENG: KAB. BOYOLALI JATENG: KOT. SALATIGA JATENG: KOT. TEGAL JATENG: KAB. PEKALONGAN JATENG: KAB. SRAGEN JATENG: KAB. PATI JATENG: KAB. KUDUS JATENG: KAB. WONOGIRI JATENG: KAB. GROBOGAN JATENG: KAB. PEMALANG JATENG: KAB. BATANG JATENG: KAB. TEGAL JATENG: KAB. DEMAK JATENG: KAB. KENDAL JATENG: KOT. MAGELANG JATENG: KOT. PEKALONGAN DIY: KOT. YOGYAKARTA Gambar 20. Pangsa inflow ke Kota Yogyakarta dari Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY. Besarnya intensitas inflow ke Kota Yogyakarta dari Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY yang berasal dari Kabupaten Sleman adalah 13,61%, Kabupaten Gunung Kidul 9,39% dan Kabupaten Purbalingga sebesar 6,94%. Kabupaten Sleman dan Kabupaten Gunung Kidul merupakan wilayah yang berbatasan secara administrasi dengan Kota Yogyakarta selain itu aksesibilitas jalan yang menghubungkan wilayah tersebut menyebabkan interaksi aliran barang menjadi lebih kuat dibandingkan dengan wilayah yang lain. Berdasarkan penentuan pangsa inflow ke dan outflow dari Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Yogyakarta yang telah dilakukan, hasilnya dapat dipetakan seperti pada Lampiran 3 sampai dengan Lampiran 5 untuk melihat secara lebih jelas bagaimana pola spasial aliran barang dari dan ke tiga kota tersebut. Untuk melihat indeks kekuatan interaksi antar tiga wilayah tersebut yaitu Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang dilakukan Analisis Faktor (Factor Analysis) berdasarkan data pangsa inflow dan outflow. Analisis Faktor

8 72 dari 6 variabel menghasilkan 3 faktor utama yang menerangkan sebesar 71,3 % variasi total. Angka ini menunjukkan suatu diskripsi cukup baik karena nilai akar ciri tersebut berada di atas 70% seperti yang terlihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Nilai Eigenvalue Tiap Faktor Pangsa inflow ke dan outflow dari Kota Yogyakarta, Kota Surakarta, Kota Semarang. Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 1, , , , , , , , , , , ,31865 Sumber : Data hasil olahan Dengan menggunakan kriteria Factor Loading > 0,7, hasil analisis faktor inflow ke Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang dan outflow dari tiga kota tersebut dihasilkan 3 faktor utama yang memiliki korelasi yang cukup erat dengan variabel yang dianalisis dan dapat dianggap mencerminkan fenomenafenomena yang terkait dengan intensitas aliran barang dari dan ke dari Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang (Tabel 12). Tabel 12. Nilai Factor Loading Tiap Pangsa inflow ke dan outflow dari Kota Yogyakarta, Kota Surakarta, Kota Semarang. Variabel Factor Factor Factor Inflow ke Kota Surakarta (X1) 0,041 0,836-0,015 Inflow ke Kota Semarang (X2) -0,052-0,176 0,848 Inflow ke Kota Yogyakarta (X3) -0,205-0,291-0,514 Outflow dari Kota Surakarta (X4) -0,086 0,790 0,014 Outlow dari Kota Semarang (X5) 0,882-0,112 0,340 Outflow dari Kota Yogyakarta (X6) 0,937 0,049-0,132 Expl.Var 1,709 1,454 1,117 Prp.Totl 0,285 0,242 0,186 Sumber : Data hasil olahan. Keterangan : angka merah yang berkorelasi nyata. Faktor 1 menjelaskan bahwa wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dan DIY mempunyai indeks kekuatan outflow dari Kota Semarang dan Kota Yogyakarta. Hal ini ditunjukan dari nilai factor loading > 0,7 yaitu 0,882 untuk outflow dari Kota Semarang dan outflow dari Kota Yogyakarta sebesar 0,937.

9 73 Kondisi ini menjelaskan fenomena bahwa Kota Semarang dan Kota Yogyakarta lebih memiliki kekuatan intensitas atau interaksi aliran barang keluar dari kedua kota tersebut ke Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dan DIY. Faktor 2 menjelaskan bahwa wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dan DIY menunjukan indeks kekuatan inflow ke dan outflow dari Kota Surakarta. Hal ini ditunjukan dari nilai factor loading > 0,7 yaitu outflow dari Kota Surakarta sebesar 0,836 dan inflow ke Kota Surakarta sebesat 0,790. Kondisi ini menjelaskan fenomena bahwa Kota Surakarta memiliki interaksi aliran barang masuk dan keluar yang kuat berasal dari Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dan DIY lainnya. Faktor 3 menjelaskan bahwa wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dan DIY mempunyai indeks kekuatan inflow ke Kota Semarang. Hal ini ditunjukan dari nilai factor loading > 0,7 yaitu inflow ke Kota Semarang sebesar 0,848. Kondisi ini menjelaskan fenomena bahwa Kota Semarang intensitas aliran barang masuk berasal dari Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dan DIY lain lebih kuat jika dibandingkan aliran barang yang keluar dari Kota Semarang. Sedangkan indeks kekuatan inflow ke Kota Yogyakarta relatif tidak menjadi penciri utama karena relatif homogen atau tidak bervariasi. 2. Analisis Kluster (Cluster Analysis) Kawasan Joglosemar Analisis kluster dilakukan dengan menggunakan data pangsa inflow dari dan outflow ke masing-masing Kota Semarang, Kota Surakarta (Solo) dan Kota Yogyakarta. Hasil analisis kluster adalah sebagai berikut : a. Pangsa inflow ke dan outflow dari Kota Surakarta dengan anggota kluster 10 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah yaitu : Kabupaten Cilacap, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora dan Kabupaten Demak. Gambar hasil analisis kluster dapat dilihat di bawah ini.

10 Tree Diagram for 37 Cases Ward`s method Euclidean distances 100 (Dlink/Dmax)* C_36 C_24 C_35 C_26 C_23 C_5 C_22 C_19 C_30 C_20 C_29 C_31 C_18 C_6 C_34 C_33 C_4 C_17 C_3 C_37 C_32 C_25 C_7 C_27 C_28 C_2 C_12 C_13 C_8 C_14 C_9 C_11 C_21 C_10 C_15 C_16 C_1 Gambar 21. Grafik Hasil Analisis Kluster Pangsa inflow ke dan outflow dari Kota Surakarta b. Pangsa inflow ke dan outflow dari Kota Semarang dengan anggota kluster 1 Kabupaten di Jawa Tengah yaitu Kabupaten Semarang. Gambar hasil analisis kluster dapat dilihat di bawah ini. 120 Tree Diagram for 37 Cases Ward`s method Euclidean distances 100 (Dlink/Dmax)* C_22 C_24 C_31 C_6 C_32 C_25 C_20 C_26 C_2 C_36 C_29 C_11 C_27 C_3 C_15 C_10 C_7 C_4 C_1 C_21 C_19 C_18 C_33 C_30 C_23 C_9 C_28 C_35 C_34 C_13 C_5 C_14 C_17 C_12 C_16 C_37 C_8 Gambar 22. Grafik Hasil Analisis Kluster Pangsa inflow ke dan outflow dari Kota Semarang

11 75 c. Pangsa inflow ke dan outflow dari Kota Yogyakarta dengan anggota kluster 17 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dan DIY yaitu : Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul. Gambar hasil analisis kluster dapat dilihat di bawah ini. 120 Tree Diagram for 37 Cases Ward`s method Euclidean distances 100 (Dlink/Dmax)* C_21 C_32 C_24 C_33 C_27 C_19 C_12 C_5 C_13 C_31 C_37 C_17 C_22 C_7 C_35 C_10 C_8 C_2 C_1 C_28 C_30 C_14 C_26 C_25 C_15 C_20 C_29 C_9 C_4 C_36 C_34 C_23 C_6 C_11 C_3 C_16 C_18 Gambar 23. Grafik Hasil Analisis Kluster Pangsa inflow ke dan outflow dari Kota Yogyakarta. Kota Salatiga dan Kota Magelang tidak termasuk ke dalam ketiga kluster tersebut, namun karena kedua kota itu berada dalam satu blok atau berbatasan secara administrasi dengan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang, maka Kota Salatiga dan Kota Magelang dimasukkan ke dalam anggota kluster.

12 76 Seluruh anggota kluster tersebut diatas digabung masuk ke kluster Kawasan Joglosemar sehingga diperoleh pewilayahan sebagai berikut : 1. Kawasan Joglosemar. 2. Daerah Kabupaten/Kota lain di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY yang memiliki kekuatan hubungan aliran barang dengan Kawasan Joglosemar tetapi relatif terpisah secara administrasi. 3. Daerah Kabupaten/Kota lain di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki kekuatan hubungan aliran barang dengan Kawasan Joglosemar relatif lemah Untuk selanjutnya yang dimaksud dimaksud sebagai Kawasan Joglosemar terdiri dari 22 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY yaitu : Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Alasan yang dipakai menentukan Kabupaten/Kota tersebut masuk ke dalam Kawasan Kerjasama Joglosemar adalah sebagai berikut : 1. Relatif memiliki kekuatan interaksi spasial / aliran barang dengan Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang dengan kategori kuat. 2. Berada dalam satu blok kawasan atau berbatasan secara administrasi (contigous). Berikut ini peta kawasan Joglosemar berdasarkan intensitas aliran barang dari dan ke Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY.

13 Gambar 24. Peta Kawasan Joglosemar Berdasarkan Intensitas Aliran Barang Antar Kabupaten / Kota di Jawa Tengah dan DIY. 77

14 Pemusatan Aktivitas Ekonomi di Kawasan Joglosemar Analisis LQ yang dilakukan terhadap kabupaten dan kota yang ada di Kawasan Joglosemar setelah ditentukan batasan kawasannya pada analisis sebelumnya, dapat memberikan informasi tentang pemusatan aktivitas ekonomi yang ada di wilayah tersebut. Hirarki pemusatan aktivitas ekonomi pada masingmasing kabupaten dan kota di Kawasan Joglosemar pada tahun 2005 atas dasar harga konstan tahun 2000 yang dianalisis dengan metode LQ, seperti disajikan secara rinci pada Tabel 13. Berdasarkan hasil perhitungan analisis LQ pada tahun 2005 menunjukkan bahwa sektor pertanian sebagian besar memusat di Provinsi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Demak dan Kabupaten Temanggung. Sementara itu di Provinsi DIY, pemusatan aktivitas juga pada sektor pertanian yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunung Kidul. Hal ini didukung oleh data penggunaan lahan tahun 2005, lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian khususnya terutama di daerah-daerah yang menjadi sentra produksi padi dan palawija di Provinsi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Klaten yang memiliki luas lahan sawah ha atau sekitar 51,09 % dari luas wilayah secara keseluruhan, Kabupaten Sukoharjo memiliki sawah seluas ha atau 45,23 % dari luas wilayah, Kabupaten Sragen dengan luas sawah ha atau 42,22 % dari luas wilayah, Kabupaten Demak memiliki luas sawah ha atau 54,20 % dari luas wilayahnya dan Kabupaten Grobogan dengan luas ha atau 32,25 % dari luas wilayahnya digunakan untuk pertanian. Selain itu terdapat juga kabupaten-kabupaten di Provinsi DIY yang juga menjadi sentra produksi padi untuk wilayah tersebut yaitu Kabupaten Bantul dengan luas sawah ha atau 31,55 % dari luas wilayahnya dan Kabupaten Kulonprogo memiliki sawah seluas ha atau 18,48 % dari luas wilayahnya secara keseluruhan.

15 Tabel 13. Hirarki pemusatan sektor-sektor ekonomi kabupaten/kota di Kawasan Joglosemar No Kabupaten/Kota Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri Listrik, Gas dan Air Minum Lapangan Usaha Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 1 Kab. Purworejo 1,85 2,94 0,37 0,48 0,69 0,85 0,84 0,91 1,45 2 Kab. Wonosobo 2,51 0,93 0,43 0,65 0,52 0,6 0,85 1,07 0,82 3 Kab. Magelang 1,59 3,12 0,75 0,48 1,04 0,77 0,8 0,5 1,18 4 Kab. Boyolali 1,88 0,97 0,64 0,89 0,31 1,33 0,38 1,13 0,59 5 Kab.Klaten 1,13 1,42 0,84 0,58 0,98 1,4 0,38 0, Kab. Sukoharjo 1,04 1,11 1,19 0,85 0,51 1,43 0,62 0,58 0,6 7 Kab. Karanganyar 1,01 1,12 2,05 1,25 0,31 0,53 0,42 0,37 0,6 8 Kab. Sragen 1,85 0,39 0,84 1,04 0,56 0,92 0,48 0,68 0,88 9 Kab. Grobogan 2,13 1,82 0,13 1,28 0,56 0,91 0,47 1,6 1,35 10 Kab. Blora 2,79 4,32 0,24 0,47 0,5 0,74 0,43 1,18 0,58 11 Kab. Demak 2,2 0,28 0,44 0,6 0,84 1,04 0,64 0,65 0,77 12 Kab. Semarang 0,68 0,15 1,83 0,73 0,48 1,12 0,3 0,55 0,61 13 Kab. Temanggung 1,67 1,42 0,78 0,77 0,67 0,86 0,77 0,69 1,09 14 Kota Magelang 0,16 0 0,13 2,41 2,11 0,36 2,74 1,88 2,91 15 Kota Surakarta 0 0,06 1,12 1,97 1,51 1,31 1,43 1,71 0,92 16 Kota Salatiga 0,34 0,63 0,77 4,09 0,55 0,86 3,48 1,19 1,29 17 Kota Semarang 0,07 0,42 1,57 1,2 1,74 0,91 1,37 0,71 0,91 18 Kab. Kulon Progo 1,41 1,15 0,63 0,54 0,57 0,84 1,47 1,06 1,37 19 Kab. Bantul 1,25 1,32 0,78 0,81 1,09 0,97 1 1, Kab. Gunung Kidul 2,03 2,66 0,46 0,45 0,94 0,72 0,97 0,77 1,05 21 Kab. Sleman 0,9 0,48 0,65 0,79 1,26 1,09 0,8 1,8 1,36 22 Kota Yogyakarta 0,03 0,01 0,46 1,24 0,89 1,31 2,64 2,5 1,65 Sumber : Data Hasil Olahan LQ PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Kawasan Joglosemar Pada Tahun 2005 Jasa-jasa 79

16 80 Sektor pertambangan dan penggalian terkonsentrasi di Kabupaten Purworejo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora dan Kabupaten Temanggung untuk wilayah di Provinsi Jawa Tengah sedangkan kabupaten di Provinsi DIY antara lain Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunung Kidul. Hal ini dapat dijelaskan bahwa daerah-daerah tersebut merupakan wilayah yang memiliki sumber daya alam berupa sumber bahan galian yaitu antara lain pasir dan batu. Misalnya Kabupaten Magelang dan Kabupaten Klaten merupakan wilayah yang dekat dengan gunung Merapi yang masih aktif dan mengeluarkan bahan-bahan batuan serta pasir. Sehingga bahan-bahan batuan dan pasir tersebut menjadi sumber penghasilan masyarakat yang berada di sekitar wilayah tersebut. Sektor Industri pemutasan aktivitasnya terkonsentrasi di Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Semarang, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Kabupaten Sukorajo industri yang berkembang adalah industri makanan, minuman, dan tembakau, industri tekstil, barang kulit dan alas kaki serta industri barang kayu dan hasil hutan. Industri yang berkembang di Kabupaten Karanganyar adalah industri makanan, minuman, dan tembakau, industri teksil, barang kulit dan alas kaki. Kabupaten Semarang banyak dikembangkan industri makanan, minuman, dan tembakau, industri teksil, barang kulit dan alas kaki, industri barang kayu dan hasil hutan lainnya, industri kertas dan barang cetakan, industri pupuk, kimia, dan barang dari karet, industri semen dan barang bukan logam, industri logam dasar besi dan baja, industri alat angkutan, mesin dan peralatan, serta industri barang lainnya. Industri yang dikembangkan di Kota Surakarta adalah industri makanan, minuman, dan tembakau, industri teksil, barang kulit dan alas kaki, industri kertas dan barang cetakan, industri pupuk, kimia, dan barang dari karet, dan industri barang lainnya. Sedangkan indsutri yang berkembang di Kota Semarang juga cukup bervariasi yaitu industri makanan, minuman dan tembakau, industri tekstil, barang kulit dan alas kaki, industri pengolahan kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya, industri pengolahan barang dari kertas, percetakan, dan penerbitan, industri pengolahan kimia dan barang dari kimia, industri pengolahan bahan galian bukan logam,

17 81 industri pengolahan logam dasar, industri mesin dan peralatannya serta industri lainnya. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan terkonsentrasi wilayah Provinsi Jawa Tengah terutama di Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga dan wilayah Provinsi DIY di Kabupaten Kulon Progo, Kabapaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogykarta. Hal ini dapat dijelaskan bahwa untuk sektor ini lebih terkonsentrasi di wilayah yang berada di perkotaan karena wilayah urban (perkotaan) lebih banyak berkembang sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan di bandingkan wilayah rural (perdesaan). Sub sektor bank, lembaga keuangan non bank, sewa bangunan dan jasa perusahaan biasanya mendominasi pemusatan aktivitas ekonomi di wilayah perkotaan, sementara itu sub sektor lembaga keuangan non bank dan jasa penunjang keuangan lebih memusat di wilayah perdesaan. Sektor jasa-jasa terkonsentrasi di Kabupaten Purworejo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Temanggung, Kota Magelang, Kota Salatiga untuk wilayah Provinsi Jawa Tengah dan seluruh kabupaten/kota di Provinsi DIY yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa wilayah perkotaan mendominasi pemusatan aktivitas sektor jasa dengan sub sektor jasa yang berasal dari pemerintahan umum dan pertahanan maupun dari jasa swasta yang berupa jasa sosial kemasyarakatan, hiburan dan rekreasi serta jasa perorangan dan rumah tangga. Sementara itu untuk wilayah perdesaan sektor jasa disumbang dari aktivitas sub sektor jasa pemerintahan dan sosial kemasyarakatan. Kondisi yang menarik adalah sektor pertanian, pertambangan dan penggalian serta sektor industri memusat aktivitasnya secara bersama-sama di Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kedua wilayah tersebut memiliki potensi pengembangan di tiga sektor itu, namun juga bisa berdampak negatif bahwa sektor industri yang tumbuh di wilayah itu akan mendorong terjadinya konversi lahan pertanian ke industri

18 82 sehingga pada masa yang akan datang kedua kabupaten itu aktivitas ekonominya akan berubah Berdasarkan hirarki pemusatan aktivitas ekonomi kabupaten/kota di Kawasan Joglosemar tersebut, maka dilakukan analisis lanjutan menggunakan Analisis Faktor (Factor Analysis) untuk melihat gabungan pemusatan aktivitas ekonomi di Kawasan Joglosemar yang selanjutnya akan ditentukan pengelompokkan masing-masing sektor berdasarkan hasil analisis sehingga dapat diketahui pemusatan aktivitas ekonomi yang menonjol dan dipetakan sehingga dapat diketahui kelompok-kelompok pemusatan masing-masing sektor dan melihat interaksi spasial masing-masing kabupaten/kota di Kawasan Joglosemar. Proses Analisis Faktor (Factor Analysis) terhadap PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 kabupaten/kota di Kawasan Joglosemar menghasilkan 3 (tiga) faktor utama yang merupakan kombinasi linier dengan variabel aslinya yaitu 9 (sembilan) variabel yang bersifat bebas. Ke-tiga faktor utama ini mampu menjelaskan keragaman data sebesar 89,6 % yang merupakan nilai akar ciri (eigenvalue). Angka ini menunjukkan suatu deskripsi cukup baik karena nilai akar ciri tersebut berada di atas 70 % (Tabel 14). Tabel 14. Nilai Eigenvalue Tiap Faktor Pemusatan Aktivitas Ekonomi Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 2, , , , , , , , , ,4167 5, ,59885 Sumber : Data hasil olahan Dengan menggunakan kreteria Factor Loading > 0,7 hasil analisis faktor dari 9 variabel sektor dalam PDRB, terdapat 6 variabel sektor yang memiliki pengaruh nyata terhadap variabel baru. Ke-enam variabel tersebut dapat dirumuskan dalam 3 faktor utama dan memiliki korelasi cukup kuat dengan variabel yang dianalisis (Tabel 15).

19 83 Tabel 15. Nilai Factor loading Tiap Variabel Indikator Pemusatan Aktivitas Ekonomi Variabel Factor Diskripsi Pertanian -0,84 0,26 0,36 Industri 0,14-0,94-0,20 Listrik, Gas dan Air Minum 0,89 0,03 0,16 Perdagangan, Hotel dan Restoran -0,07 0, Pengangkutan dan komunikasi 0,89 0,31 0,14 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 0,50 0,74-0,26 Expl.Var 2,56 1,61 1,20 Prp.Totl 0,43 0,27 0,20 Sumber : Data hasil olahan Keterangan : angka merah yang berkorelasi nyata. Faktor 1 merepresentasikan sekitar 43 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah PDRB sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air minum serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Antar variabel penciri utama pada faktor 1 berkorelasi negatif, dimana semakin besar PDRB dari sektor listrik, gas dan air minum serta sektor pengangkutan dan komunikasi di Kawasan Joglosemar, maka PDRB sektor pertanian akan semakin rendah dengan koefisien antara 0,84 sampai 0,89. Hal ini menunjukkan bahwa antar sektor pertanian dengan sektor pengangkutan dan komunikasi tidak saling terkait artinya bahwa hasil-hasil pertanian di Kawasan Joglosemar lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri daripada di kirim keluar sedangkan sektor listrik, gas dan air minum juga tidak mendorong sektor pertanian di Kawasan Joglosemar karena hasil pertanian langsung dijual kepada pembeli tanpa melalui proses pemberian nilai tambah melalui sektor industri yang berbasis pada pertanian. Faktor 2 merepresentasikan sekitar 27 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah PDRB sektor industri dan PDRB sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Antar variabel penciri utama pada faktor 2 berkorelasi negatif, dimana semakin besar PDRB keuangan, persewaan dan jasa perusahaan di Kawasan Joglosemar, maka PDRB sektor industri akan semakin kecil dengan koefisien korelasi antara 0,74 sampai 0,94. Secara logis fenomena tersebut menunjukkan

20 84 bahwa di Kawasan Joglosemar telah terjadi spesialisasi lokasi artinya pertumbuhan PDRB sektor industri tidak sejalan dengan pertumbuhan PDRB sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan karena perkembangan sektor industri berada di lokasi yang berbeda dengan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Kondisi ini menunjukan terjadi pergeseran lokasi sektor industri dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sehingga perkembangan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan didukung oleh sektor lain di luar sektor industri, begitu pula sebaliknya. Faktor 3 merepresentasikan sekitar 20 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran. Faktor loading bertanda negatif berarti semakin besar skor ini pada faktor ini, semakin kecil PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran di Kawasan Joglosemar dengan koefisien korelasi 0,96. Hal ini menunjukkan bahwa sektor perdagangan, hotel dan restoran di Kawasan Joglosemar masih berpotensi untuk ditingkatkan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah di kawasan ini dan juga akan mengerakkan sektor-sektor yang lain. Berdasarkan nilai komponen utama yang salah satunya berupa nilai skor, dilakukan analisis lanjutan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) dengan metode K-Means untuk meminimumkan keragaman di dalam kelompok dan memaksimumkan keragaman antar kelompok. Berdasarkan tiga faktor utama yang diperoleh dari analisis komponen utama didapatkan 3 (tiga) kelompok besar kabupaten/kota di Kawasan Joglosemar dengan karakteristiknya masing-masing seperti dapat dilihat pada Gambar 25. Untuk menentukan batas menggunakan kriteria jarak terkecil/terdekat dari hasil analisis klaster (1,1) karakteristik pusat klaster dapat dikategorikan kedalam : 1) 1,1 dianggap tinggi; 2) -1,1 sampai 1,1 dianggap sedang; dan 3) -1,1 dianggap rendah, untuk tiap rataan variabel pencirinya. Gambar 25 memperlihatkan perbedaan karakteristik antara ketiga kelompok kabupaten/kota yang menggambarkan nilai tengah dari setiap faktor utama untuk masing-masing kelompok. Nilai tengah tertinggi dan terendah untuk masingmasing faktor utama akan menjadi karakteristik pembeda dari masing-masing kelompok.

21 85 Berdasarkan hasil analisis gerombol yang menggunakan data faktor skor (lampiran 5) menghasilkan 3 (tiga) kelompok wilayah. Dari hasil analisis tipologi yang dilakukan, dapat diketahui bahwa di tiap wilayah ada yang memiliki tipologi wilayah tinggi, sedang atau rendah. 3,0 Plot of Means for Each Cluster 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0-0,5-1,0-1,5-2,0-2,5 Factor Factor Factor Variables Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Gambar 25. Grafik Nilai Tengah Kelompok Variabel Tipologi Pemusatan Aktivitas Ekonomi di Kawasan Joglosemar Kecamatan-kecamatan yang terdapat dalam wilayah tipologi I merupakan wilayah dengan karakteristik PDRB sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air minum, serta sektor pengangkutan dan komunikasi sedang. Hal ini secara logis menunjukkan masyarakat di wilayah tersebut aktivitas ekonominya antara sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air minum, serta sektor pengangkutan dan komunikasi memberi kontribusi pada pendapatan daerah walaupun tidak begitu besar.

22 86 Kecamatan-kecamatan yang masuk tipologi II, merupakan wilayah yang karakteristik PDRB sektor listrik, gas dan air minum, serta sektor pengangkutan dan komunikasinya tinggi, tetapi PDRB sektor pertaniannya rendah. Hal ini secara logis menunjukkan wilayah tersebut biasanya merupakan daeah perkotaan dimana aktivitas ekonomi yang menonjol adalah sektor listrik, gas dan air minum, serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam wilayah tipologi III merupakan kabupaten/kota di kawasan Joglosemar dengan karakteristik PDRB sektor keuangan, persewaan dan jasa tinggi tetapi PDRB sektor industri rendah. Hal ini secara logis menunjukkan masyarakat di wilayah tersebut sangat konsumtif dan pengembangan industri kurang sesuai karena : bentangan wilayah yang kurang luas, kepadatan penduduknya rendah, dan ketersediaan sumberdaya alamnya kurang mendukung sehingga jika industri di kembangkan di daerah tersebut kurang bisa menjadi motor penggerak utama perekonomian daerah di masa yang akan datang. Berdasarkan hasil analisis kelompok diatas maka karakteristik dari tiga kelompok tipologi pemusatan aktivitas sektor ekonomi di Kawasan Joglosemar dapat dilihat pada tabel 16. Tabel 16. Hasil Analisis Klaster Pemusatan Aktivitas di Kawasan Joglosemar Tipologi Kelompok Karakteristik Wilayah Kabupaten/Kota I Kab. Purworejo PDRB sektor pertanian, sektor listrik, gas Kab. Wonosobo dan air minum, serta sektor pengangkutan dan Kab. Boyolali komunikasi sedang Kab. Magelang Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Demak Kab. Temanggung Kab. Kulon Progo Kab. Bantul Kab. Gunung Kidul Kab. Sleman

23 87 Tipologi Kelompok Karakteristik Wilayah Kabupaten/Kota II Kota Magelang karakteristik PDRB sektor listrik, gas dan air Kota Salatiga minum, serta sektor pengangkutan dan Kota Yogyakarta komunikasinya tinggi, tetapi PDRB sektor pertaniannya rendah III Kab.Klaten PDRB sektor keuangan, persewaan dan jasa Kab. Sukoharjo tinggi tetapi PDRB sektor industri rendah Kab. Karanganyar Kab. Semarang Kota Surakarta Kota Semarang Secara spasial hirarki pemusatan aktivitas sektor ekonomi di Kawasan Joglosemar dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 26. Peta Hirarki Pemusatan Aktivitas Ekonomi di Kawasan Joglosemar.

24 Konfigurasi Spasial Tipologi Wilayah di Kawasan Joglosemar Analisis tipologi wilayah kecamatan-kecamatan di Kawasan Joglosemar dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama dilakukan analisis komponen utama (PCA) terhadap variabel-variabel terpilih yang diasumsikan mampu menggambarkan serta menjelaskan karakteristik kecamatan-kecamatan di wilayah Joglosemar. Data yang digunakan berasal dari Podes ST 2003, Podes SE 2006, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY dalam angka 2006, dan Kabupaten/Kota dalam angka 2006 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Variabel dasar yang digunakan dibangun dari analisis rasio, indeks diversitas, persentase, LQ dan pangsa terdiri dari 83 variabel penjelas yang dikelompokkan ke dalam 7 (tujuh) indeks komposit, yaitu (1) kinerja pembangunan ekonomi daerah, (2) sumberdaya alam, (3) sumberdaya manusia dan sosial, (4) aktivitas ekonomi, (5) pengendalian ruang, (6) penyediaan infrastruktur dan fasilitas publik, dan (7) penganggaran belanja daerah. Berbagai variabel dasar yang merupakan indeks komposit selanjutnya disederhanakan dengan menggunakan Metode Analisis Komponen Utama (PCA) menjadi 44 variabel penjelas. Pewilayahan dan Tipologi Kinerja Pembangunan Ekonomi Daerah Variabel dasar yang dikelompokkan ke dalam indeks komposit kinerja pembangunan ekonomi daerah penting untuk menduga fenomena, sekaligus memahami struktur dan melihat hubungan antar variabel di wilayah studi. Hasil analisis komponen utama (PCA) dapat dilihat nilai eigenvalue pada tabel 17 dan nilai faktor loading pada tabel 18. Tabel 17 diperlihatkan bahwa pengelompokan kecamatan-kecamatan di Kawasan Joglosemar berdasarkan tipologi kinerja pembangunan ekonomi daerah, sebenarnya cukup dilakukan dengan menggunakan 2 faktor yaitu faktor 1 hingga faktor 2. Kedua faktor tersebut secara total dapat menerangkan sebesar 68,7 % variasi total. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kecamatan yang dilakukan berdasar faktorfaktor pembentuk tipologi kinerja pembangunan ekonomi daerah mampu menerangkan karakteristik wilayah kecamatan sebesar 68,7 % terhadap variasi karakteristik dari seluruh kecamatan yang dikaji. Faktor utama lainnya tidak

25 89 digunakan dalam klasifikasi karena mempunyai kemampuan yang cukup rendah dalam menerangkan variasi total atau lebih rendah dari kontribusi rata-rata setiap variabel terhadap varian total. Tabel 17. Nilai Eigenvalue Tiap Faktor Kinerja Pembangunan Ekonomi Daerah Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 1, , , , , , , ,68749 Sumber : Data hasil olahan Berdasarkan kriteria Factor Loading > 0,7, hasil PCA dari 3 variabel kinerja pembangunan ekonomi daerah, terdapat 2 variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap variabel baru. Ke-dua variabel tersebut dapat dirumuskan dalam 2 faktor utama yang memiliki korelasi yang cukup erat dengan variabel yang dianalisis dan dapat dianggap mencerminkan fenomena-fenomena yang terkait dengan kinerja pembangunan ekonomi daerah. (tabel 18). Faktor 1 merepresentasikan sekitar 34,4 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya : tingkat kemiskinan prasejahtera dan sejahtera 1 (Kpe 1) dan faktor tersebut merepresentasikan variasi tingkat kemiskinan prasejahtera dan sejahtera 1 antar daerah, karena faktor loadingnya bertanda negatif berarti semakin besar skor suatu daerah pada faktor ini, semakin kecil tingkat kemiskinan prasejahtera dan sejahtera 1 di Kawasan Joglosemar dengan koefisien korelasi sebesar 0,77. Faktor 2 merepresentasikan sekitar 34,3 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah pangsa PAD dalam total pendapatan daerah di luar sisa anggaran (Kpe 3) dan faktor tersebut merepresentasikan variasi pangsa PAD dalam total pendapatan daerah di luar sisa anggaran antar daerah, karena faktor loadingnya bertanda positif berarti semakin besar skor suatu daerah pada faktor ini, semakin meningkat pangsa PAD dalam total pendapatan daerah di Kawasan Joglosemar dengan koefisien korelasi sebesar 0,83. Variabel tingkat kemiskinan prasejatera dan sejahtera 1 (Kpe 1) dan variabel pangsa PAD dalam total pendapatan daerah di luar sisa anggaran (Kpe 3) direpresentasikan dengan faktor yang berbeda maka kedua variabel tersebut tidak

26 90 ada kaitannya satu sama lain (independen). Namun demikian, variabel tingkat pengangguran terhadap jumlah penduduk (Kpe 2) relatif memiliki faktor loading cukup besar pada faktor 1 (Tingkat kemiskinan prasejahtara dan sejahtera 1) dan faktor 2 (pangsa PAD dalam total pendapatan daerah di luar sisa anggaran). Secara logis hal ini dapat dijelaskan bahwa tingkat kemiskinan di Kawasan Joglosemar berkaitan dengan tingkat pengangguran di kawasan tersebut. Pada era otonomi daerah mendorong setiap daerah di Kawasan Joglosemar berlomba memacu PAD-nya yang berimplikasi pada kegagalan penanggulangan kemiskinan dan perluasan pengangguran. Tabel 18. Nilai Factor loading Tiap Variabel Indikator Kinerja Pembangunan Ekonomi Daerah Variabel Factor Kode Diskripsi 1 2 Kpe 1 Tingkat Kemiskinan Prasejahtera dan sejahtera 1-0,77 0,29 Kpe 2 Tingkat pengangguran terhadap jumlah penduduk 0,65 0,50 Kpe 3 Pangsa PAD dalam total pendapatan daerah -0,11 0,83 di luar sisa anggaran Expl.Var 1,03 1,03 Prp.Totl 0,34 0,34 Sumber : Data hasil olahan Keterangan : Angka merah yang berkorelasi nyata. Setelah didapatkan nilai komponen utama yang salah satunya berupa nilai skor, dilakukan analisis lanjutan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) dengan metode K-Means untuk meminimumkan keragaman di dalam kelompok dan memaksimumkan keragaman antar kelompok. Berdasarkan dua faktor utama yang diperoleh dari analisis komponen utama didapatkan 3 (tiga) kelompok besar kecamatan di Kawasan Joglosemar dengan karakteristiknya masing-masing seperti dapat dilihat pada gambar 27. Berdasarkan kriteria jarak terkecil/terdekat dari hasil analisis klaster (1,1) karakteristik pusat klaster dapat dikategorikan kedalam : 1) 1,1 dikategorikan tinggi; 2) 1,1 sampai -1,1 dikaregorikan sedang -1,1 dikategorikan rendah, untuk tiap rataan variabel pencirinya. Gambar 27 memperlihatkan perbedaan karakteristik antara ketiga kelompok kecamatan yang menggambarkan nilai tengah dari setiap faktor utama untuk

27 91 masing-masing kelompok. Nilai tengah tertinggi dan terendah untuk masingmasing faktor utama akan menjadi karakteristik pembeda dari masing-masing kelompok. 6 Plot of Means for Each Cluster F1 Variables F2 Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Gambar 27. Grafik Nilai Tengah Kelompok Variabel Tipologi Kinerja Pembangunan Ekonomi Daerah Berdasarkan hasil analisis gerombol yang menggunakan data faktor skor yang dihasil dari analisis faktor menghasilkan 3 (tiga) kelompok wilayah. Dari hasil analisis tipologi yang dilakukan, dapat diketahui bahwa di tiap wilayah ada yang memiliki tipologi wilayah tinggi, sedang atau rendah. Kecamatan-kecamatan di Kawasan Joglosemar yang terdapat di wilayah tipologi I merupakan wilayah dengan karakteritik memiliki kapasistas fiskal yang lebih baik jika dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain di Kawasan Joglosemar. Hal ini secara logis menunjukkan bahwa pemerintah dan masyarakat di kecamatan-kecamatan dengan kapasitas fiskal yang baik mampu menggali sumber-sumber pendapatan daerah sebagai upaya untuk meningkatkan pembangunan di wilayah tersebut. Kecamatan-kecamatan yang masuk tipologi II, merupakan wilayah dengan tingkat kesejahteraan masyarakat tidak begitu baik tetapi memiliki kapasitas fiskal yang lebih baik walaupun belum bisa dikategorikan tinggi. Hal ini secara logis

28 92 menunjukan bahwa wilayah-wilayah dengan karakteristik seperti itu tingkat kesejahteraan masyarakat masih mungkin di tingkatkan dengan peningkatan kapasitas fiskal di kecamatan-kecamatan tersebut. Kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam wilayah tipologi III merupakan kecamatan-kecamatan di Kawasan Joglosemar dengan kapasitas fiskal dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang sedang. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah dengan tipologi tersebut merupakan kecamatan-kecamatan dimana sebagai besar penduduknya tinggal di perdesaan dan mata pencaharian utamanya dari sektor pertanian sehingga pendapatan masyarakat maupun pemerintah sebagai besar dari berasal dari sektor-sektor primer. Berdasarkan hasil analisis kelompok diatas maka karakteristik dari tiga kelompok tipologi wilayah kinerja pembangunan ekonomi daerah di Kawasan Joglosemar dapat dilihat pada lampiran 9 dan dipetakan seperti pada gambar berikut. Keterangan : Tipologi I Tipologi II Tipologi III : Tingkat kemiskinan rendah, kapasitas fiskal daerah tinggi. : Tingkat kemiskinan cenderung rendah, kapasitas fiskal daerah sedang. : Tingkat kemiskinan cenderung tinggi, kapasitas fiskal daerah sedang. Gambar 28. Peta Konfigurasi Spasial Tipologi Kinerja Pembangunan Ekonomi Daerah

29 93 Pewilayahan dan Tipologi Sumberdaya Alam Proses analisis komponen utama terhadap tipologi sumberdaya alam di kecamatan-kecamatan Kawasan Joglosemar menghasilkan 3 (tiga) faktor utama yang merupakan kombinasi linier dengan variabel aslinya (14 variabel) yang bersifat saling bebas. Ke tiga faktor utama ini mampu menjelaskan keragaman data sebesar 84,15 % yang merupakan nilai akar ciri (eigenvalue). Angka ini menunjukkan suatu deskripsi cukup baik karena nilai akar ciri tersebut berada di atas 70 % (Tabel 19). Tabel 19. Nilai Eigenvalue Tiap Faktor Sumberdaya Alam Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 2, ,4121 2, , , , , , , , , ,14838 Sumber : Data hasil olahan Berdasarkan kriteria Factor Loading > 0,7 hasil PCA dari 14 variabel sumberdaya alam, terdapat 6 variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap variabel baru. Ke-enam variabel tersebut dapat dirumuskan dalam 3 faktor utama dan memiliki korelasi cukup erat dengan variabel yang dianalisis (tabel 20). Tabel 20. Nilai Factor loading Tiap Variabel Indikator Sumberdaya Alam Variabel Factor Kode Diskripsi Sda 1 Pangsa areal berdasarkan topografi datar 0,93-0,25-0,07 Sda 2 Pangsa areal berdasarkan topografi berbukit -0,24 0,86 0,17 Sda 3 Pangsa areal berdasarkan elevasi m 0,87 0,28-0,17 Sda 5 Pangsa areal berdasarkan elevasi m -0,20 0,11 0,89 Sda 6 Pangsa areal berdasarkan elevasi m -0,02 0,01 0,93 Sda 11 Indeks diversitas entropy jenis tanaman pangan 0,21 0,81-0,02 dan hias Expl.Var 1,76 1,57 1,72 Prp.Totl 0,29 0,26 0,29 Sumber : Data hasil olahan Keterangan : Angka merah yang berkorelasi nyata.

30 94 Faktor 1 merepresentasikan sekitar 29 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya : pangsa areal berdasarkan topografi datar (Sda 1) dan pangsa areal berdasarkan elevasi 0-500m (Sda 3) Antar variabel penciri utama di faktor 1 berkorelasi positif, dimana semakin luasnya pangsa areal berdasarkan elevasi 0 m 500 m di suatu wilayah maka pangsa areal berdasarkan topografi datar di wilayah tersebut semakin luas, dengan koefesien korelasi antara 0,87 sampai 0,93. Faktor ini dapat dianggap mencerminkan fenomena-fenomena yang terkait dengan kinerja sumberdaya alam. Faktor 2 merepresentasikan sekitar 26 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah pangsa areal berdasarkan topografi berbukit (Sda 2) dan indeks diversitas entropy jenis tanaman pangan dan hias (Sda 11). Antar variabel penciri utama di faktor 2 berkorelasi positif, dimana semakin beragam jenis tanaman pangan dan hias maka pangsa areal berdasarkan topografi berbukit di wilayah tersebut akan semakin luas, dengan koefisien korelasi antara 0,81 sampai 0,86. Hal ini disebabkan karena dengan semakin banyak jenis tanaman pangan yang didalamnya termasuk jenis sayuran dan tanaman hias yang sebagian besar diusahakan di tempat dengan topografi yang berbukit karena kedua jenis tanaman tersebut lebih cocok dan dapat tumbuh dengan baik. Faktor 3 merepresentasikan sekitar 29 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah pangsa areal berdasarkan elevasi 1001 m 1500 m (Sda 5) dan pangsa areal berdasarkan elevasi 1501 m 2000 m (Sda 6). Antar variabel penciri utama di faktor 3 berkorelasi positif, dimana semakin luas pangsa areal berdasarkan elevasi 1001 m 1500 m di suatu wilayah maka pangsa areal berdasarkan elevasi 1501 m 2000 m di wilayah tersebut semakin luas, dengan koefesien korelasi antara 0,89 sampai 0,93. Berdasarkan faktor loading dapat diperoleh informasi bahwa pangsa areal berdasarkan topografi relatif tidak terkait (independen) dengan pangsa areal berdasarkan ketinggian atau elevasi dan indeks diversitas entropy jenis tanaman pangan dan hias, indeks diversitas entropy jenis tanaman perkebunan, indeks diversitas entropy vegetasi hutan dan indeks diversitas entropy jenis ternak. Namun pangsa areal berdasarkan ketinggian berkaitan dengan indeks diversitas

31 95 jenis tanaman pangan, hias, pekebunan, vegetasi hutan dan ternak. Hal ini dapat jelaskan bahwa ketinggian tempat suatu wilayah akan mempengaruhi keragaman jenis tanaman, vegetasi hutan dan jenis ternak karena kondisi ini berkaitan dengan persyaratan tumbuh dari tanaman dan ternak sehingga dapat menghasilkan produksi yang optimal. Setelah didapatkan nilai komponen utama yang salah satunya berupa nilai skor, dilakukan analisis lanjutan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) dengan metode K-Means untuk meminimumkan keragaman di dalam kelompok dan memaksimumkan keragaman antar kelompok. Berdasarkan tiga faktor utama yang diperoleh dari analisis komponen utama didapatkan 3 (tiga) kelompok besar kecamatan di Kawasan Joglosemar dengan karakteristiknya masing-masing seperti dapat dilihat pada Gambar 29. Berdasarkan kriteria jarak terkecil/terdekat dari hasil analisis klaster (1,1) karakteristik pusat klaster dapat dikategorikan kedalam : 1) 1 dikategorikan tinggi; 2) 1 sampai -1 diketegorikan sedang ; -1 dikategorikan rendah, untuk tiap rataan variabel pencirinya. Gambar 29 memperlihatkan perbedaan karakteristik antara ketiga kelompok kecamatan yang menggambarkan nilai tengah dari setiap faktor utama untuk masing-masing kelompok. Nilai tengah tertinggi dan terendah untuk masingmasing faktor utama akan menjadi karakteristik pembeda dari masing-masing kelompok. Berdasarkan hasil analisis gerombol yang menggunakan data faktor skor yang dihasilkan dari analisis faktor menghasilkan 3 (tiga) kelompok wilayah. Dari hasil analisis tipologi yang dilakukan, dapat diketahui bahwa di tiap wilayah ada yang memiliki tipologi wilayah tinggi, sedang atau rendah. Kecamatan-kecamatan yang terdapat di wilayah tipologi I merupakan wilayah kecamatan di Kawasan Joglosemar dengan karakteristik sumberdaya alam berupa wilayah dengan topografi datar dan berada di dataran rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah di Kawasan Joglosemar berada di daerah datar dengan topografi datar dan sebagian besar digunakan penduduk untuk sektor pertanian tanaman pangan dengan irigasi teknis.

32 96 2,5 Plot of Means for Each Cluster 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0-0,5-1,0-1,5 F1 F2 F3 Variables Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Gambar 29. Grafik Nilai Tengah Kelompok Variabel Tipologi Sumberdaya Alam Kecamatan-kecamatan yang masuk tipologi II, merupakan wilayah yang berbukit dan indeks diversitas entropy jenis tanaman pangan dan hiasnya cenderung rendah. Hal ini secara logis dapat dijelaskan bahwa wilayah-wilayah berbukit lebih banyak digunakan oleh penduduk untuk pengembangkan peternakan khususnya ternak besar dan kecil. Kecamatan-kecamatan yang masuk dalam wilayah tipologi III merupakan wilayah yang berbukit dan indeks diversitas entropy jenis tanaman pangan dan hiasnya tinggi. Hal ini menunjukan bahwa kecamatan dengan topografi berbukit banyak digunakan oleh penduduk untuk menanam sayur dan tanaman hias sehingga indeks diversitas entropy jenis tanaman pangan dan hiasnya juga tinggi. Berdasarkan hasil analisis kelompok diatas maka karakteristik dari tiga kelompok tipologi sumberdaya alam di Kawasan Joglosemar dapat dilihat pada lampiran 10 dan dipetakan seperti pada gambar berikut.

33 97 Keterangan : Tipologi I Tipologi II Tipologi III : Wilayah dataran rendah dengan topografi datar. : Wilayah berbukit dengan indeks diversitas entropy jenis tanaman pangan dan hias sedang. : Wilayah berbukit dengan indeks diversitas entropy jensi tanaman pangan dan hias tinggi. Gambar 30. Peta Konfigurasi Spasial Tipologi Sumberdaya Alam Pewilayahan dan Tipologi Sumberdaya Manusia dan Sumberdaya Sosial Proses analisis komponen utama terhadap tipologi sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial di kecamatan-kecamatan Kawasan Joglosemar menghasilkan 4 (empat) faktor utama yang merupakan kombinasi linier dengan variabel aslinya (16 variabel) yang bersifat saling bebas. Ke empat faktor utama ini mampu menjelaskan keragaman data sebesar 86 % yang merupakan nilai akar ciri (eigenvalue). Angka ini menunjukkan suatu deskripsi cukup baik karena nilai akar ciri tersebut berada di atas 70 % (Tabel 21).

34 98 Tabel 21. Nilai Eigenvalue Tiap Faktor Sumberdaya Manusia dan Sumberdaya Sosial Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 4, , , , , ,5257 5, , , , , , , , , ,00568 Sumber : Data hasil olahan Berdasarkan kriteria Factor Loading > 0,7 hasil PCA dari 16 variabel sumberdaya alam, terdapat 9 variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap variabel baru. Ke-sembilan variabel tersebut dapat dirumuskan dalam 4 faktor utama dan memiliki korelasi cukup erat dengan variabel yang dianalisis (tabel 22). Tabel 22. Nilai Factor loading Tiap Variabel Indikator Sumberdaya Manusia dan Sumberdaya Sosial. Variabel Factor Kode Diskripsi Sdm 4 LQ pencaharian utama perkebunan 0,11 0,82-0,20 0,15 Sdm 5 LQ pencaharian utama ternak besar -0,06 0,02 0,96 0,04 kecil Sdm 6 LQ pencaharian utama ternak unggas -0,01-0,01 0,03 0,98 Sdm 8 LQ pencaharian utama kehutanan 0,05 0,77 0,25-0,17 Sdm 9 Pangsa institusi sosial karang taruna 0,94 0,07 0,003-0,05 Sdm 10 Pangsa gotong royong 0,95 0,10-0,03-0,02 Sdm 11 Pangsa perkumpulan petani 0,81-0,11-0,22 0,04 pemakai air Sdm 12 Pangsa kelompok tani 0,97 0,15 0,03 0,01 Sdm 15 Pangsa petugas penyuluh pertanian 0,95 0,11 0,03 0,007 Expl.Var 4,31 1,33 1,08 1,02 Prp.Totl 0,47 0,14 0,12 0,11 Sumber : Data hasil olahan Keterangan : Angka merah yang berkorelasi nyata. Faktor 1 merepresentasikan sekitar 47 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya : pangsa institusi sosial karang taruna (Sdm 9), pangsa gotong royong (Sdm 10), pangsa perkumpulan petani pemakai air (Sdm 11), pangsa kelompok tani (Sdm 12) dan pangsa petugas penyuluh pertanian (Sdm 15). Antar variabel penciri utama di faktor 1 berkorelasi positif, dimana semakin besar institusi sosial karang taruna di suatu wilayah maka organisasi gotong

35 99 royong, perkumpulan petani pemakai air, kelompok tani dan petugas penyuluh pertanian di wilayah tersebut semakin besar, dengan koefesien korelasi antara 0,81 sampai 0,97. Faktor ini dapat dianggap mencerminkan fenomena-fenomena yang terkait dengan kinerja sumberdaya sosial di kawasan Joglosemar karena bentuk-bentuk institusi sosial yang tetap tumbuh dan berkembangkan di masyarakat masih menjadi penciri utama dalam kehidupan sosial dan hubungan antar manusia di kawasan tersebut. Institusi sosial yang kuat dan berkelajutan menjadi modal dasar untuk usaha peningkatan kualitas sumberdaya manusia di wilayah Joglosemar. Faktor 2 merepresentasikan sekitar 14 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah penduduk dengan mata pencaharian utama sektor perkebunan (Sdm 4) dan penduduk dengan mata pencaharian utama sektor kehutanan (Sdm 8). Antar variabel penciri utama di faktor 2 berkorelasi positif, dimana semakin banyak penduduk yang mata pencarian utamanya dari sektor perkebunan di wilayah Joglosemar, maka penduduk yang mata pencaharian utamanya dari sektor kehutanan juga semakin banyak juga dengan koefisien korelasi antara 0,77 sampai 0,82. Hal ini disebabkan karena dengan semakin banyak penduduk dengan mata pencaharian utama dari sektor perkebunan pada umumnya menanam tanaman tahunan seperti karet dan kelapa dimana kedua jenis tanaman tersebut juga merupakan tanaman hutan rakyat, sehingga penduduk yang bermata pencaharian utama dari sektor kehutanan juga bertambah. Faktor 3 merepresentasikan sekitar 12 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah penduduk dengan mata pencaharian utama sektor ternak besar dan kecil (Sdm 5). Variabel penciri utama di faktor 3 berkorelasi positif, dimana semakin besar skor faktor ini di suatu wilayah maka semakin banyak penduduk yang mata pencaharian utamanya sektor peternakan besar dan kecil di wilayah tersebut, dengan koefesien korelasi 0,96. Faktor 4 merepresentasikan sekitar 11 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah penduduk dengan mata pencaharian utama dari sektor peternakan unggas (Sdm 6).

36 100 Variabel penciri utama di faktor 4 berkorelasi positif, dimana semakin besar skor faktor ini di suatu wilayah maka semakin banyak penduduk yang mata pencaharian utamanya bergantung pada sektor peternakan unggas, dengan koefisien korelasi 0,98. Berdasarkan faktor loading dapat diperoleh informasi bahwa pangsa institusi sosial dalam hal ini karang taruna, gotong royong, perkumpulan petani pemakai air, kelompok tani dan petugas penyuluh pertanian relatif tidak terkait (independen) dengan LQ mata pencaharian utama penduduk baik dari sektor perkebunan, kehutanan, peternakan besar kecil dan unggas. Hal ini disebabkan karena jenis mata pencaharian utama penduduk di Kawasan Joglosemar,tidak ditentukan dari keberadaan institusi sosial yang ada tetapi ditentukan dari potensi sumberdaya alam yang ada di kawasan tersebut. Institusi sosial lebih sebagai sarana masyarakat untuk mengembangkan hubungan antar manusia dan pertukaran informasi yang terkait dengan mata pencaharian utama masyarakat. Setelah didapatkan nilai komponen utama yang salah satunya berupa nilai skor, dilakukan analisis lanjutan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) dengan metode K-Means untuk meminimumkan keragaman di dalam kelompok dan memaksimumkan keragaman antar kelompok. Berdasarkan empat faktor utama yang diperoleh dari analisis komponen utama didapatkan 3 (tiga) kelompok besar kecamatan di Kawasan Joglosemar dengan karakteristiknya masing-masing seperti dapat dilihat pada Gambar 31. Berdasarkan kriteria jarak terkecil/terdekat dari hasil analisis klaster (0,8) karakteristik pusat klaster dapat dikategorikan kedalam : 1) 0,8 dianggap tinggi; 2) 0,8 sampai -0,8 dianggap sedang dan 3) 0,8 dianggap rendah, untuk tiap rataan variabel pencirinya. Gambar 31 memperlihatkan perbedaan karakteristik antara ketiga kelompok kecamatan yang menggambarkan nilai tengah dari setiap faktor utama untuk masing-masing kelompok. Nilai tengah tertinggi dan terendah untuk masingmasing faktor utama akan menjadi karakteristik pembeda dari masing-masing kelompok. Berdasarkan hasil analisis gerombol yang menggunakan data faktor skor yang dihasilkan dari analisis faktor menghasilkan 3 (tiga) kelompok wilayah. Dari

37 101 hasil analisis tipologi yang dilakukan, dapat diketahui bahwa di tiap wilayah ada yang memiliki tipologi wilayah tinggi, sedang, atau rendah. Kecamatan-kecamatan di Kawasan Joglosemar yang terdapat di tipologi I merupakan wilayah dimana mata pencaharian penduduk dari ternak besar kecil rendah, namun penduduk dengan mata pencaharian dari perkebunan dan kehutanan relatif tinggi. Hal ini secara logis menunjukkan bahwa di kawasan peternakan mata pencaharian penduduk lebih beragam, sementara itu wilayah yang luas kawasan peternakan mata pemcaharian penduduknya relatif homogen. 2,0 Plot of Means for Each Cluster 1,5 1,0 0,5 0,0-0,5-1,0-1,5 F1 F2 F3 F4 Variables Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Gambar 31. Grafik Nilai Tengah Kelompok Variabel Tipologi Sumberdaya Manusia dan Sosial Kecamatan-kecamatan yang masuk tipologi II, merupakan wilayah yang memiliki karakteristik sumberdaya sosialnya tinggi, yaitu institusi sosial berupa karang taruna, gotong royong, perkumpulan petani pemakai air dan adanya petugas penyuluh. Sementara itu mata pencaharian utama penduduk dari sektor perkebunan, kehutanan dan peternakan di kecamatan-kecamatan ini adalah sedang. Hal ini dapat menunjukkan bahwa sumberdaya sosial yang dimiliki masyarakat di kecamatan-kecamatan di Kawasan Joglosemar yang masuk tipologi II ini mampu menjadi modal dasar bagi interaksi antar masyarakat di wilayah tersebut yang

38 102 pada akhirnya akan dapat saling berkerjasama satu sama lain sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kecamatan-kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah tipologi III merupakan kecamatan-kecamatan yang memiliki aktivitas mata pencaharian utama sektor peternakan terutama ternak besar dan kecil tinggi, sementara itu mata pencaharian penduduk sebagai peternak unggas relatif sedang. Hal ini secara logis dapat menjelaskan bahwa wilayah dengan karakteristik seperti tipologi III ini merupakan wilayah yang berada di dataran tinggi dimana aktivitas penduduk dari sektor peternakan yang banyak berkembang adalah ternak besar dan kecil sedangkan ternak unggas lebih cocok dikembangkan di wilayah dataran rendah. Berdasarkan hasil analisis kelompok diatas maka karakteristik dari tiga kelompok tipologi wilayah sumberdaya manusia dan sosial di Kawasan Joglosemar dapat dilihat pada lampiran 11 dan dipetakan seperti pada gambar berikut. Keterangan : Tipologi I : Pencaharian utama penduduk peternakan besar kecil rendah, perkebunan & hutan tinggi. Tipologi II : Sumberdaya sosial tinggi, pencaharian utama peternakan,perkebunan & kehutanan sedang. Tipologi III : Pencaharian utama penduduk peternakan besar kecil tinggi, peternakan unggas sedang. Gambar 32. Peta Konfigurasi Spasial Tipologi Sumberdaya Manusia dan Sosial.

39 103 Pewilayahan dan Tipologi Aktivitas Ekonomi Proses analisis komponen utama terhadap tipologi aktivitas ekonomi di kecamatan-kecamatan Kawasan Joglosemar menghasilkan 3 (tiga) faktor utama yang merupakan kombinasi linier dengan variabel aslinya (14 variabel) yang bersifat saling bebas. Ke tiga faktor utama ini mampu menjelaskan keragaman data sebesar 72 % yang merupakan nilai akar ciri (eigenvalue). Angka ini menunjukkan suatu deskripsi cukup baik karena nilai akar ciri tersebut berada di atas 70 % (Tabel 23). Tabel 23. Nilai Eigenvalue Tiap Faktor Aktivitas Ekonomi Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 1, , , , , , , , , , , ,20068 Sumber : Data hasil olahan Berdasarkan kriteria Factor Loading > 0,7 hasil PCA dari 14 variabel sumberdaya alam, terdapat 6 (enam) variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap variabel baru. Ke-enam variabel tersebut dapat dirumuskan dalam 3 (tiga) faktor utama dan memiliki korelasi cukup erat dengan variabel yang dianalisis (tabel 24). Tabel 24. Nilai Factor loading Tiap Variabel Indikator Aktivitas Ekonomi Variabel Factor Kode Diskripsi Aek 1 KK Pertanian terhadap luas lahan pertanian -0,01 0,81 0,11 Aek 3 KK Peternakan besar kecil terhadap jumlah -0,03-0,07 0,87 Ternak besar kecil Aek 4 KK Peternak unggas terhadap jumlah unggas 0,28 0,005 0,73 Aek 7 Intensitas pertanian tanaman pangan dan hias 0,02-0,78 0,18 Aek 9 Intensitas populasi ternak besar kecil 0,92-0,05-0,04 Aek 14 Indeks diversitas entropy pencaharian 0,80 0,01 0,37 Penduduk sektor pertanian Expl.Var 1,58 1,27 1,48 Prp.Totl 0,26 0,21 0,24 Sumber : Data hasil olahan Keterangan : Angka merah yang berkorelasi nyata.

40 104 Faktor 1 merepresentasikan sekitar 26 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya : intensitas populasi ternak besar kecil (Aek 9) dan indeks diversitas entropy pencaharian penduduk sektor pertanian (Aek 14). Antar variabel penciri utama di faktor 1 berkorelasi positif, dimana semakin besar intensitas populasi ternak besar kecil di wilayah tersebut maka indeks diversitas entropy pencaharian penduduk sektor pertanian juga semakin besar, dengan koefesien korelasi antara 0,80 sampai 0,92. Faktor ini dapat dianggap mencerminkan fenomena-fenomena yang terkait dengan kinerja aktivitas ekonomi di kawasan Joglosemar karena sebagian besar wilayah ini penduduknya bermata pencaharian dari sektor pertanian yang didalamnya termasuk peternakan sehingga apabila intensitas populasi ternak besar kecil meningkat maka keragaman mata pencaharian penduduk di sektor pertanian juga akan meningkat. Sementara wilayah di luar kawasan peternakan mata pencaharian penduduknya relatif homogen. Faktor 2 merepresentasikan sekitar 21 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah rasio kepala keluarga pertanian terhadap luas lahan pertanian (Aek 1) dan intensitas pertanian tanaman pangan dan hias (Aek 7). Antar variabel penciri utama di faktor 2 berkorelasi negatif, dimana semakin besar rasio kepala keluarga pertanian terhadap luas lahan pertanian pertanian di wilayah Joglosemar, maka intensitas pertanian tanaman pangan dan hias akan semakin rendah dengan koefisien korelasi antara 0,78 sampai 0,81. Faktor ini dapat dianggap mencerminkan fenomena-fenomena yang terkait dengan kinerja aktivitas ekonomi di Kawasan Joglosemar. Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa daerah dengan jumlah rasio kepala keluarga pertanian terhadap luas lahan tinggi, sementara intensitas pertanian rendah, maka wilayah tersebut berada di daerah perdesaan (rural) artinya bahwa di daerah tersebut intensitas penanaman tanaman pangan tidak begitu intensif karena hal ini terkait dengan pusat-pusat pasar yang ada di wilayah tersebut. Semakin jauh dari pusat pasar, maka intensitas penggunaan lahan juga menjadi rendah. Faktor 3 merepresentasikan sekitar 24 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah rasio kepala keluarga peternakan besar kecil terhadap

41 105 jumlah ternak besar kecil (Aek 3) dan rasio kepala keluarga peternakan unggas terhadap jumlah unggas (Aek 4). Variabel penciri utama di faktor 3 berkorelasi positif, dimana semakin besar jumlah kepala keluarga peternakan besar kecil terhadap jumlah ternak besar kecil, maka jumlah kepala keluarga peternak unggas terhadap jumlah unggas juga semakin besar dengan koefisien korelasi antara 0,73-0,87. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya kepala keluarga yang mengusahakan sektor peternakan besar kecil biasanya juga mengusahakan peternakan unggas sebagai upaya untuk memperoleh penghasilan tambahan karena keuntungan ternak unggas jauh lebih cepat dibandingkan dengan ternak besar kecil sehingga pada umumnya peternak di Kawasan Joglosemar mengkombinasi usaha ternak besar kecil dengan ternak unggas. Berdasarkan faktor loading dapat diperoleh informasi bahwa indeks diversitas entropy pencaharian penduduk dari sektor pertanian relatif tidak berkaitan (independen) dengan rasio kepala keluarga pertanian terhadap luas lahan pertanian, rasio kepala keluarga peternakan besar kecil dan unggas terhadap jumlah ternak besar kecil dan unggas. Hal ini disebabkan karena indeks diversitas entropy pencaharian penduduk dari sektor pertanian lebih ditentukan oleh intensitas pertanian tanaman pangan dan hias dan intensitas populasi ternak besar kecil, dimana semakin tinggi intensitas pertanian maka indeks diversitas entropy pencaharian penduduk dari sektor pertanian akan semakin besar pula. Setelah didapatkan nilai komponen utama yang salah satunya berupa nilai skor, dilakukan analisis lanjutan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) dengan metode K-Means untuk meminimumkan keragaman di dalam kelompok dan memaksimumkan keragaman antar kelompok. Berdasarkan tiga faktor utama yang diperoleh dari analisis komponen utama didapatkan 3 (tiga) kelompok besar kecamatan di Kawasan Joglosemar dengan karakteristiknya masing-masing seperti dapat dilihat pada Gambar 33. Berdasarkan kriteria jarak terkecil/terdekat dari hasil analisis klaster (1,1) karakteristik pusat klaster dapat dikategorikan kedalam : 1) 1,1 dianggap tinggi; dan 2) 1,1 sampai -1,1 dianggap sedang; dan -1,1 dianggap rendah, untuk tiap rataan variabel pencirinya.

42 106 Gambar 33 memperlihatkan perbedaan karakteristik antara ketiga kelompok kecamatan yang menggambarkan nilai tengah dari setiap faktor utama untuk masing-masing kelompok. Nilai tengah tertinggi dan terendah untuk masingmasing faktor utama akan menjadi karakteristik pembeda dari masing-masing kelompok. 2,5 Plot of Means for Each Cluster 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0-0,5-1,0-1,5 F1 F2 F3 Variables Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Gambar 33. Grafik Nilai Tengah Kelompok Variabel Tipologi Aktivitas Ekonomi Berdasarkan hasil analisis gerombol yang menggunakan data faktor skor yang dihasilkan dari analisis faktor menghasilkan 3 (tiga) kelompok wilayah. Dari hasil analisis tipologi yang dilakukan, dapat diketahui bahwa di tiap wilayah ada yang memiliki tipologi wilayah tinggi, sedang atau rendah. Kecamatan-kecamatan yang terdapat di wilayah tipologi I merupakan wilayah dengan karakteristik rasio kepala keluarga peternakan besar kecil terhadap jumlah ternak besar kecil dan rasio kepala keluarga peternak unggas terhadap jumlah ternak unggas tinggi. Hal ini secara logis menunjukkan semakin tinggi angka pada hasil analisis menjelaskan bahwa kecamatan-kecamatan di Kawasan Joglosemar tersebut merupakan daerah yang surplus kapasitas

43 107 pengelolaan ternak. Angka tersebut juga dapat menunjukkan indeks kapasitas ternak di wilayah itu. Selain hal tersebut kondisi ini dapat juga menjelaskan skala pengelolaan peternakan di wilayah tersebut. Semakin kecil angka pada faktor loading maka skala pengelolaan peternakannya semakin besar, tapi apabila angka pada faktor loadingnya semakin besar menunjukkan skala pengelolaan ternak semakin kecil. Kecamatan-kecamatan yang masuk tipologi II, merupakan wilayah dengan karakteristik intensitas populasi ternak besar kecil dan indeks diversitas entropy mata pencaharian penduduk sektor pertanian tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah di kecamatan-kecamatan tersebut merupakan kawasan peternakan sehingga mata pencaharian penduduk di daerah tersebut menjadi lebih beragam. Sementara itu daerah yang berada di luar kawasan peternakan tersebut mata pencaharian penduduk relatif lebih homogen. Kecamatan-kecamatan di Kawasan Joglosemar yang termasuk dalam wilayah tipologi III dicirikan dengan rasio kepala keluarga pertanian terhadap luas lahan pertanian dan intensitas pertanian tanaman pangan sedang. Kondisi ini berkaitan dengan pusat-pusat informasi misalnya pasar, dimana semakin jauh dari pusat pasar maka intensitas pemanfaatan lahan juga akan rendah. Pola inensitas pemanfaatan lahan pertanian juga terkait dengan karakteristik wilayah, misalnya di kecamatan-kecamatan yang merupakan wilayah perkotaan intensitas lahan untuk pertanian rendah jika dibandingkan dengan intensitas pemanfaatan lahan di wilayah perdesaan. Berdasarkan hasil analisis kelompok diatas maka karakteristik dari tiga kelompok tipologi wilayah aktivitas ekonomi di Kawasan Joglosemar dapat dilihat pada lampiran 12 dan dipetakan seperti pada gambar berikut.

44 108 Keterangan : Tipologi I Tipologi II Tipologi III : Rasio KK peternakan terhadap populasi ternak tinggi. : Intensitas populasi ternak besar kecil & indeks diversitas entropy pencaharian sektor pertanian tinggi. : Rasio KK pertanian terhadap luas lahan pertanian & intensitas pertanian tan.pangan sedang. Gambar 34. Peta Konfigurasi Spasial Tipologi Aktivitas Ekonomi Pewilayahan dan Tipologi Pengendalian Ruang Proses analisis komponen utama terhadap tipologi pengendalian ruang di kecamatan-kecamatan Kawasan Joglosemar menghasilkan 4 (empat) faktor utama yang merupakan kombinasi linier dengan variabel aslinya (13 variabel) yang bersifat saling bebas. Ke empat faktor utama ini mampu menjelaskan keragaman data sebesar 79 % yang merupakan nilai akar ciri (eigenvalue). Angka ini menunjukkan suatu deskripsi cukup baik karena nilai akar ciri tersebut berada di atas 70 % (Tabel 25).

45 109 Tabel 25. Nilai Eigenvalue Tiap Faktor Pengendalian Ruang Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 1, , , , , , , , , ,4571 4, , , , , ,21753 Sumber : Data hasil olahan Berdasarkan kriteria Factor Loading > 0,7 hasil PCA dari 13 variabel sumberdaya alam, terdapat 7 (tujuh) variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap variabel baru. Ke-tujuh variabel tersebut dapat dirumuskan dalam 4 (empat) faktor utama dan memiliki korelasi cukup erat dengan variabel yang dianalisis (tabel 26). Tabel 26. Nilai Factor loading Tiap Variabel Indikator Pengendalian Ruang Variabel Factor Kode Diskripsi Pru 4 Konversi ladang ke lahan terbangun -0,11 0,05 0,80-0,07 Pru 5 Rataan skala penguasaan lahan 0,81 0,05-0,07-0,03 Tanaman pangan oleh petani Pru 7 Rataan skala penguasaan lahan -0,02 0,005 0,0002 0,99 Kehutanan Pru 8 Pola penggunaan lahan pertanian 0,86 0,02 0,23 0,004 Pru 11 Persentase lahan pertanian dikuasai 0,17-0,91-0,12 0,009 pemilik Pru 12 Persentase lahan pertanian dikuasai 0,42 0,80-0,18 0,02 Pemilik dan penggarap Pru 13 Persentase lahan pertanian dikuasai 0,26-0,07 0,79 0,09 penggarap Expl.Var 1,69 1,49 1,36 1,005 Prp.Totl 0,24 0,21 0,19 0,14 Sumber : Data hasil olahan Keterangan : Angka merah yang berkorelasi nyata. Faktor 1 merepresentasikan sekitar 24 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah rataan skala penguasaan lahan tanaman pangan oleh petani (Pru 4) dan pola penggunaan lahan pertanian (Pru 8). Antar variabel penciri utama di faktor 1 berkorelasi positif, dimana semakin besar rataan skala penguasaan lahan tanaman pangan oleh petani di wilayah tersebut maka pola penggunaan lahan pertanian juga semakin besar, dengan koefesien korelasi antara 0,81 sampai 0,86. Faktor ini dapat dianggap

46 110 mencerminkan fenomena-fenomena yang terkait dengan kinerja pengedalian ruang di kawasan Joglosemar karena sebagian besar wilayah ini penduduknya bermata pencaharian dari sektor pertanian maka apabila terjadi perubahan rataan skala pengusaan lahan tanaman pangan, pola penggunaan lahan pertanian juga akan berubah. Pola penggunaan lahan pertanian merupakan proporsi penggunaan lahan untuk pertanian. Jadi skala penguasaan lahan pertanian mendorong pola penggunaan lahan pertanian. Faktor 2 merepresentasikan sekitar 21 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah persentase lahan pertanian yang dikuasai pemilik (Pru 11) dan persentase lahan pertanian yang dikuasai pemilik dan penggarap (Pru 12). Antar variabel penciri utama di faktor 2 berkorelasi negatif, dimana semakin besar persentase lahan pertanian yang dikuasai pemilik dan penggarap di wilayah Joglosemar, maka persentase lahan pertanian yang dikuasai oleh pemilik akan semakin rendah dengan koefisien korelasi antara 0,80 sampai 0,91. Faktor ini dapat dianggap mencerminkan fenomena-fenomena yang terkait dengan kinerja pengendalian ruang di Kawasan Joglosemar, dimana lahan pertanian yang dikuasai oleh pemilik secara guntai lahan tersebut banyak yang tidak digarap atau dimanfaatkan daripada lahan pertanian tersebut dikuasai oleh pemilik dan penggarap. Artinya bahwa jika lahan tersebut dikuasai secara bersama antara pemilik dan penggarap maka lahan tersebut merupakan lahan produktif yang mampu menghasilkan. Sementara itu apabila lahan tersebut dimiliki secara guntai oleh pemilik maka lahan tersebut hanya sebagai aset sumberdaya lahan yang tidak dimanfaatkan dan hanya bersifat spekulatif sebagai bentuk investasi. Faktor 3 merepresentasikan sekitar 19 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah konversi ladang ke lahan terbangun (Pru 4) dan persentase lahan pertanian yang dikuasai oleh penggarap (Pru 13). Variabel penciri utama di faktor 3 berkorelasi positif, dimana semakin besar terjadi konversi ladang ke lahan terbangun di wilayah Joglosemar, maka persentase lahan pertanian yang dikuasai oleh penggarap juga semakin besar dengan koefisien korelasi antara 0,79 sampai 0,80. Faktor ini dapat dianggap mencerminkan fenomena-fenomena yang terkait dengan kinerja pengendalian

47 111 ruang di Kawasan Joglosemar. Kondisi ini secara logis menunjukkan bahwa konversi lahan umumnya terjadi di lahan dengan drainase yang baik dan lahan tersebut biasanya berupa ladang. Selain itu ladang tersebut sebagian besar dikuasai oleh penggarap, karena posisi penggarap tidak sebagai pengambil keputusan jadi apabila pemilik lahan tersebut akan menjual maka lahan itu akan mudah sekali dikonversi ke lahan terbagun. Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan pemeliharaan irigasi dan menentukan status kepemilikan lahan dengan sertifikasi sehingga mampu mengendalikan konversi lahan. Faktor 4 merepresentasikan sekitar 14 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah rataan skala pengusaan lahan kehutanan (Pru 7). Variabel penciri utama di faktor 4 berkorelasi positif, dimana semakin besar skor faktor tersebut maka rataan skala pengusaan lahan kehutanan di wilayah Joglosemar semakin besar pula dengan koefisien korelasi 0,99. Setelah didapatkan nilai komponen utama yang salah satunya berupa nilai skor, dilakukan analisis lanjutan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) dengan metode K-Means untuk meminimumkan keragaman di dalam kelompok dan memaksimumkan keragaman antar kelompok. Berdasarkan empat faktor utama yang diperoleh dari analisis komponen utama didapatkan 3 (tiga) kelompok besar kecamatan di Kawasan Joglosemar dengan karakteristiknya masing-masing seperti dapat dilihat pada Gambar 35. Berdasarkan kriteria jarak terkecil/terdekat dari hasil analisis klaster (0,7) karakteristik pusat klaster dapat dikategorikan kedalam : 1) 0,7 dianggap tinggi; 2) 0,7 sampai -0,7 dianggap sedang dan 3) -0,7 dianggap rendah, untuk tiap rataan variabel pencirinya. Gambar 35 memperlihatkan perbedaan karakteristik antara ketiga kelompok kecamatan yang menggambarkan nilai tengah dari setiap faktor utama untuk masing-masing kelompok. Nilai tengah tertinggi dan terendah untuk masingmasing faktor utama akan menjadi karakteristik pembeda dari masing-masing kelompok. Berdasarkan hasil analisis gerombol yang menggunakan data faktor skor yang dihasilkan dari analisis faktor menghasilkan 3 (tiga) kelompok wilayah. Dari

48 112 hasil analisis tipologi yang dilakukan, dapat diketahui bahwa di tiap wilayah ada yang memiliki tipologi wilayah tinggi, sedang atau rendah. 1,5 Plot of Means for Each Cluster 1,0 0,5 0,0-0,5-1,0-1,5-2,0-2,5-3,0-3,5-4,0-4,5-5,0 F1 F2 F3 F4 Variables Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Gambar 35. Grafik Nilai Tengah Kelompok Variabel Tipologi Pengendalian Ruang Kecamatan-kecamatan di Kawasan Joglosemar yang masuk ke dalam wilayah tipologi I merupakan wilayah yang dicirikan oleh rataan skala penguasaan lahan pertanian oleh petani dan pola penggunaan lahan pertanian rendah. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah dengan karakteristik tersebut merupakan wilayah yang sebagai besar petaninya hanya memiliki rata-rata penguasaan lahan pertanian kecil sehingga pola penggunaan lahan pertanian tersebut juga akan kecil. Secara umum skala penguasaan lahan pertanian oleh petani akan menentukan pola penggunaan lahan pertanian tersebut. Misalnya petani yang memiliki lahan yang luas maka petani tersebut dapat menaman tanaman pertanian tidak hanya satu jenis komoditas tetapi dilakukan secara tumpang sari sehingga akan mempengaruhi pendapatan yang diterima oleh petani itu.

49 113 Kecamatan-kecamatan yang terdapat dalam wilayah tipologi II merupakan wilayah yang memiliki karateristik persentase lahan pertanian yang dikuasai pemilik saja dan dikuasai baik oleh pemilik maupun penggarap rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar lahan-lahan di wilayah tersebut dikuasai oleh penggarap saja. Pemilik lahan tersebut kemungkinan tidak berada atau tinggal di wilayah tersebut. Jadi lahan yang ada di kecamatan-kecamatan itu disewakan oleh pemiliknya yang tinggal di wilayah lain untuk di garap. Wilayah kecamatan-kecamatan yang termasuk tipologi III merupakan daerah dengan ciri persentase lahan pertanian yang dikuasai pemilik saja dan dikuasai baik oleh pemilik maupun penggarap tinggi. Hal ini menjelaskan bahwa lahan-lahan pertanian di wilayah tersebut banyak dimiliki secara guntai sehingga banyak lahan-lahan yang tidak digarap. Selain itu banyak juga lahan yang selain dikuasai oleh pemilik juga dikuasai oleh penggarap. Berdasarkan hasil analisis kelompok diatas maka karakteristik dari tiga kelompok tipologi wilayah pengendalian ruang di Kawasan Joglosemar dapat dilihat pada lampiran 13 dan dipetakan seperti pada gambar berikut. Keterangan : Tipologi I Tipologi II Tipologi III : Rataan skala penguasaan lahan oleh petani dan pola penggunaan lahan pertanian rendah. : Lahan pertanian yang dikuasai pemilik, pemilik dan penggarap rendah. : Lahan pertanian yang dikuasai pemilik, pemilik dan penggarap tinggi. Gambar 36. Peta Konfigurasi Spasial Tipologi Pengedalian Ruang

50 114 Pewilayahan dan Tipologi Intrastruktur dan Fasilitas Publik Proses analisis komponen utama terhadap tipologi infrastruktur dan fasilitas publik di kecamatan-kecamatan Kawasan Joglosemar menghasilkan 3 (tiga) faktor utama yang merupakan kombinasi linier dengan variabel aslinya (24 variabel) yang bersifat saling bebas. Ke tiga faktor utama ini mampu menjelaskan keragaman data sebesar 75 % yang merupakan nilai akar ciri (eigenvalue). Angka ini menunjukkan suatu deskripsi cukup baik karena nilai akar ciri tersebut berada di atas 70 % (Tabel 27). Tabel 27. Nilai Eigenvalue Tiap Faktor Infrastruktur dan Fasilitas Publik Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 2, , , , , , , , , , , ,84726 Sumber : Data hasil olahan Berdasarkan kriteria Factor Loading > 0,7 hasil PCA dari 24 variabel sumberdaya alam, terdapat 7 (tujuh) variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap variabel baru. Ke-tujuh variabel tersebut dapat dirumuskan dalam 3 (tiga) faktor utama dan memiliki korelasi cukup erat dengan variabel yang dianalisis (tabel 28). Tabel 28. Nilai Factor loading Tiap Variabel Indikator Infrastruktur dan Fasilitas Publik Variabel Factor Kode Diskripsi Ifb 2 Rasio SLTP per 1000 penduduk 0,04 0,12 0,89 Ifb 5 Rasio Universitas per 1000 penduduk 0,73 0,12 0,22 Ifb 8 Rasio dokter per 1000 penduduk 0,79-0,04 0,33 Ifb 16 Rasio toko terhadap luas wilayah 0,82 0,22-0,11 Ifb 21 Rasio hotel terhadap jumlah penduduk 0,12 0,91 0,13 Ifb 22 Rasio hotel terhadapluas wilayah 0,16 0,92 0,01 Ifb 24 Rasio KUD dan non KUD terhadap luas 0,78 0,18-0,25 wilayah Expl.Var 2,48 1,78 1,04 Prp.Totl 0,35 0,25 0,15 Sumber : Data hasil olahan Keterangan : Angka merah yang berkorelasi nyata.

51 115 Faktor 1 merepresentasikan sekitar 35 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya : rasio universitas per 1000 penduduk (Ifb 5), rasio dokter per 1000 penduduk (Ifb 8), rasio toko terhadap luas wilayah (Ifb 16) dan rasio KUD dan non KUD terhadap luas wilayah (Ifb 24). Antar variabel penciri utama di faktor 1 berkorelasi positif, dimana semakin besar rasio universitas per 1000 penduduk maka rasio dokter per 1000 penduduk, rasio toko terhadap luas wilayah dan rasio KUD dan non KUD terhadap luas wilayah juga semakin besar, dengan koefesien korelasi antara 0,73 sampai 0,82. Faktor ini dapat dianggap mencerminkan fenomena-fenomena yang terkait dengan kinerja infrastruktur dan fasilitas publik di kawasan Joglosemar karena di kawasan ini banyak berdiri universitas-universitas besar baik negeri maupun swasta yang berada di Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta serta beberapa kabupaten/kota di sekitarnya sehingga dengan semakin banyaknya perguruan tinggi yang berada di kawasan tersebut yang merupakan salah satu fasilitas publik dalam upaya peningkatan sumberdaya manusia maka fasilitas publik yang lain dalam hal ini jumlah dokter dan toko juga akan meningkat. Selain itu karena wilayah Joglosemar ini didominasi oleh masyarakat dengan mata pencaharian utama dari sektor pertanian maka fasilitas publik berupa KUD dan non KUD yang melayani kebutuhan petani dalam bidang pertanian juga semakin meningkat. Faktor 2 merepresentasikan sekitar 25 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah rasio jumlah hotel terhadap jumlah penduduk (Ifb 21) dan rasio jumlah hotel terhadap luas wilayah (Ifb 22). Antar variabel penciri utama di faktor 2 berkorelasi positif, dimana semakin besar rasio hotel terhadap jumlah penduduk di wilayah Joglosemar, maka rasio hotel terhadap luas wilayah akan semakin besar pula dengan koefisien korelasi antara 0,91 sampai 0,92. Faktor ini dapat dianggap mencerminkan fenomenafenomena yang terkait dengan kinerja infrastruktur dan fasilitas publik di Kawasan Joglosemar karena wilayah ini sebagai besar juga merupakan tujuan wisata di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY. Faktor 3 merepresentasikan sekitar 15 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah rasio jumlah SLTP per 1000 penduduk (Ifb 2).

52 116 Variabel penciri utama di faktor 3 berkorelasi positif, dimana semakin besar skor faktor ini, maka rasio jumlah SLTP per 1000 penduduk juga akan meningkat dengan koefisien korelasi 0,89. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya rasio jumlah SLTP per 1000 penduduk di Kawasan Joglosemar akan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Berdasarkan faktor loading dapat diperoleh informasi bahwa rasio jumlah SLTP per 1000 penduduk tidak berkaitan (independen) dengan rasio jumlah unversitas per 1000 penduduk. Hal ini disebabkan karena kemungkinan sebagian besar lulusan SLTP tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi sampai ke universitas. Setelah didapatkan nilai komponen utama yang salah satunya berupa nilai skor, dilakukan analisis lanjutan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) dengan metode K-Means untuk meminimumkan keragaman di dalam kelompok dan memaksimumkan keragaman antar kelompok. Berdasarkan tiga faktor utama yang diperoleh dari analisis komponen utama didapatkan 3 (tiga) kelompok besar kecamatan di Kawasan Joglosemar dengan karakteristiknya masing-masing seperti dapat dilihat pada Gambar 37. Berdasarkan kriteria jarak terkecil/terdekat dari hasil analisis klaster (0,7) karakteristik pusat klaster dapat dikategorikan kedalam : 1) 0,7 dianggap tinggi; 2) 0,7 sampai -0,7 dianggap sedang dan 3) -0,7 dianggap rendah, untuk tiap rataan variabel pencirinya. Gambar 37 memperlihatkan perbedaan karakteristik antara ketiga kelompok kecamatan yang menggambarkan nilai tengah dari setiap faktor utama untuk masing-masing kelompok. Nilai tengah tertinggi dan terendah untuk masingmasing faktor utama akan menjadi karakteristik pembeda dari masing-masing kelompok. Berdasarkan hasil analisis gerombol yang menggunakan data faktor skor yang dihasilkan dari analisis faktor menghasilkan 3 (tiga) kelompok wilayah. Dari hasil analisis tipologi yang dilakukan, dapat diketahui bahwa di tiap wilayah ada yang memiliki tipologi wilayah tinggi, sedang atau rendah.

53 117 4,0 Plot of Means for Each Cluster 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0-0,5-1,0-1,5 Factor Factor Factor Variables Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Gambar 37. Grafik Nilai Tengah Kelompok Variabel Tipologi Infrastruktur dan Fasilitas Publik Kecamatan-kecamatan yang terdapat dalam wilayah tipologi I merupakan wilayah dengan karakteristik rasio universitas dan dokter dalam melayani 1000 penduduk dan rasio toko, KUD dan non KUD terhadap luas wilayah serta rasio hotel baik terhadap luas wilayah maupun jumlah penduduk tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kecamatan-kecamatan yang memiliki ciri tersebut merupakan pusat-pusat pelayanan publik, dimana jenis-jenis pelayanan memusat di bebarapa kecamatan saja dan di Kawasan Joglosemar pusat-pusat pelayanan ini hanya berada di kota-kota besar saja. Kecamatan-kecamatan yang masuk tipologi II, merupakan wilayah yang pusat pendidikan khususnya SLTP. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah dengan karakteristik tersebut jumlah pusat pendidikan khususnya SLTP berada dan menyebar di beberapa kecamatan secara merata di Kawasan Joglosemar. Kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam wilayah tipologi III merupakan kecamatan-kecamatan dengan rasio hotel baik terhadap jumlah penduduk maupun luas wilayah dianggap sedang.

54 118 Berdasarkan hasil analisis kelompok diatas maka karakteristik dari tiga kelompok tipologi wilayah infrastruktur dan fasilitas publik di Kawasan Joglosemar dapat dilihat pada lampiran 14 dan dipetakan seperti pada gambar berikut. Keterangan : Tipologi I Tipologi II Tipologi III : Rasio universitas,dokter,toko,kud,non KUD dan hotel tinggi. : Rasio pendidikan SLTP tinggi. : Rasio hotel sedang. Gambar 38. Peta Konfigurasi Spasial Tipologi Infrastruktur dan Fasilitas Publik Pewilayahan dan Tipologi Penganggaran Belanja Proses analisis komponen utama terhadap tipologi penganggaran belanja di kecamatan-kecamatan Kawasan Joglosemar menghasilkan 4 (empat) faktor utama yang merupakan kombinasi linier dengan variabel aslinya (9 variabel) yang bersifat saling bebas. Ke empat faktor utama ini mampu menjelaskan keragaman data sebesar 90 % yang merupakan nilai akar ciri (eigenvalue). Angka ini menunjukkan suatu deskripsi cukup baik karena nilai akar ciri tersebut berada di atas 70 % (Tabel 29).

55 119 Tabel 29. Nilai Eigenvalue Tiap Faktor Penganggaran Belanja Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 2, , , , , , , , , , , , , , , ,99681 Sumber : Data hasil olahan Berdasarkan kriteria Factor Loading > 0,7 hasil PCA dari 9 variabel sumberdaya alam, terdapat 8 (delapan) variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap variabel baru. Ke-tujuh variabel tersebut dapat dirumuskan dalam 4 (empat) faktor utama dan memiliki korelasi cukup erat dengan variabel yang dianalisis (tabel 30). Tabel 30. Nilai Factor loading Tiap Variabel Indikator Penganggaran Belanja Variabel Factor Kode Diskripsi Pbe 1 Rataan perkapita total anggaran 0,007 0,98 0,04 0,11 Belanja kecamatan Pbe 2 Rataan per luas lahan total anggaran 0,07 0,98 0,02 0,02 Belanja kecamatan Pbe 3 Rasio pengeluaran anggaran rutin -0,15 0,03 0,97-0,07 Terhadap total realisasi anggaran Kecamatan Pbe 4 Rasio pengeluaran anggaran 0,51 0,07-0,06 0,77 Pembangunan terhadap total realisasi Anggaran kecamatan Pbe 5 Rasio pengeluaran anggaran -0,31-0,08-0,71-0,59 Lain-lain terhadap total realisasi Anggaran kecamatan Pbe 6 Rasio dana perimbangan terhadap 0,80-0,01-0,07 0,23 Total pendapatan kecamatan Pbe 7 Rasio dana bantuan pemerintah -0,01 0,07 0,07 0,94 Pusat terhadap total bantuan Pbe 9 Rasio dana bantuan pemerintah 0,95 0,08 0,04 0,01 Kabupaten terhadap total bantuan Expl.Var 1,94 1,96 1,48 1,89 Prp.Totl 0,243 0,244 0,185 0,237 Sumber : Data hasil olahan Keterangan : Angka merah yang berkorelasi nyata.

56 120 Faktor 1 merepresentasikan sekitar 24 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan kecamatan (Pbe 6) dan rasio dana bantuan pemerintah kabupaten terhadap total bantuan (Pbe 9). Antar variabel penciri utama di faktor 1 berkorelasi positif, dimana semakin besar rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan kecamatan di wilayah tersebut maka rasio dana bantuan pemerintah kabupaten terhadap total bantuan juga semakin besar, dengan koefesien korelasi antara 0,80 sampai 0,95. Faktor ini dapat dianggap mencerminkan fenomena-fenomena yang terkait dengan kinerja penganggaran belanja di kawasan Joglosemar. Faktor 2 merepresentasikan sekitar 24,4 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah rataan perkapita total anggaran belanja kecamatan (Pbe 1) dan rataan per luas lahan total anggaran belanja kecamatan (Pbe 2). Antar variabel penciri utama di faktor 2 berkorelasi positif, dimana semakin besar rataan perkapita total anggaran belanja kecamatan di wilayah Joglosemar, maka rataan per luas lahan total anggaran belanja kecamatan akan semakin besar pula dengan koefisien korelasi 0,98. Faktor ini dapat dianggap mencerminkan fenomena-fenomena yang terkait dengan kinerja penganggaran belanja di Kawasan Joglosemar. Faktor 3 merepresentasikan sekitar 18 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah rasio pengeluaran anggaran rutin terhadap total realisasi anggaran kecamatan (Pbe 3) dan rasio pengeluaran anggaran lain-lain terhadap total realisasi anggaran kecamatan (Pbe 5). Variabel penciri utama di faktor 3 berkorelasi negatif, dimana semakin besar rasio pengeluaran anggaran rutin terhadap total realisasi anggaran kecamatan di wilayah Joglosemar, maka rasio pengeluaran anggaran lain-lain terhadap total realisasi anggaran kecamatan akan berkurang dengan koefisien korelasi antara 0,71 sampai 0,91. Faktor ini dapat dianggap mencerminkan fenomena-fenomena yang terkait dengan kinerja penganggaran belanja di Kawasan Joglosemar karena jumlah pengeluaran anggaran untuk lain-lain dialihkan pengalokasian anggarannya untuk pengeluaran anggaran belanja rutin kecamatan di wilayah Joglosemar.

57 121 Faktor 4 merepresentasikan sekitar 24 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah rasio pengeluaran anggaran pembangunan terhadap total realisasi anggaran kecamatan (Pbe 4) dan rasio dana bantuan pemerintah pusat terhadap total bantuan (Pbe 7). Variabel penciri utama di faktor 4 berkorelasi positif, dimana semakin besar rasio pengeluaran anggaran pembangunan maka akan semakin besar pula rasio dana bantuan pemerintah pusat di wilayah kecamatan Kawasan Joglosemar dengan koefisien korelasi antara 0,77 sampai 0,94. Secara logis kondisi ini dapat dijelaskan bahwa sebagain besar anggaran pembangunan di semua wilayah lebih banyak mengandalkan bantuan dari pemerintah pusat daripada dana yang berasal dari wilayah itu sendiri dan bantuan yang dialokasikan oleh pemerintah pusat cukup efektif untuk program pembangunan di kecamatan-kecamatan tersebut. Setelah didapatkan nilai komponen utama yang salah satunya berupa nilai skor, dilakukan analisis lanjutan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) dengan metode K-Means untuk meminimumkan keragaman di dalam kelompok dan memaksimumkan keragaman antar kelompok. Berdasarkan empat faktor utama yang diperoleh dari analisis komponen utama didapatkan 3 (tiga) kelompok besar kecamatan di Kawasan Joglosemar dengan karakteristiknya masing-masing seperti dapat dilihat pada Gambar 39. Berdasarkan kriteria jarak terkecil/terdekat dari hasil analisis klaster (1,1) karakteristik pusat klaster dapat dikategorikan kedalam : 1) 1,1 dianggap tinggi; 2) 1,1 sampai -1,1 dianggap sedang dan -1,1 dianggap rendah, untuk tiap rataan variabel pencirinya. Gambar 39 memperlihatkan perbedaan karakteristik antara ketiga kelompok kecamatan yang menggambarkan nilai tengah dari setiap faktor utama untuk masing-masing kelompok. Nilai tengah tertinggi dan terendah untuk masingmasing faktor utama akan menjadi karakteristik pembeda dari masing-masing kelompok. Berdasarkan hasil analisis gerombol yang menggunakan data faktor skor yang dihasilkan dari analisis faktor menghasilkan 3 (tiga) kelompok wilayah. Dari hasil analisis tipologi yang dilakukan, dapat diketahui bahwa di tiap wilayah ada yang memiliki tipologi wilayah tinggi, sedang atau rendah.

58 122 2,5 Plot of Means for Each Cluster 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0-0,5-1,0-1,5-2,0 F1 F2 F3 F4 Variables Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Gambar 39. Grafik Nilai Tengah Kelompok Variabel Tipologi Penganggaran Belanja Kecamatan-kecamatan yang terdapat dalam wilayah dengan tipologi I merupakan wilayah dengan karakteristik rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan kecamatan dan rasio dana bantuan pemerintah kabupaten terhadap total bantuan tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa wilayah dengan ciri tersebut merupakan kecamatan-kecamatan di Kawasan Joglosemar yang rasio dana perimbangan bantuan pemerintah lebih besar daripada pendapatan wilayah itu sendiri, sehingga sumber dana pembangunan lebih banyak mengandalkan alokasi dari pemerintah dalam hal ini pemerintah kabupaten masing-masing. Sedangkan rasio pengeluaran anggaran untuk pembangunan yang dialokasikan oleh pusat ke wilayah kecamatan cenderung rendah. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah kecamatan-kecamatan tersebut kurang efektif dalam memanfaatkan alokasi anggaran pembangunan yang berasal dari pemerintah pusat.

59 123 Kecamatan-kecamatan yang masuk tipologi II, merupakan wilayah kecamatan dimana rasio pengeluaran anggaran pembangunan yang berasal dari pemerintah pusat cenderung tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa kecamatankecamatan tersebut menggunakan bantuan yang berasal dari pemerintah pusat untuk program-program pembangunan secara efektif. Kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam wilayah tipologi III merupakan kecamatan-kecamatan dengan rasio pengeluaran anggaran pembangunan dan rasio dana bantuan pemerintah pusat cenderung rendah. Selain itu rasio anggaran rutin terhadap realisasi anggaran dan rasio pengeluaran anggaran lain-lain juga cenderung rendah. Hal ini secara logis menunjukkan bahwa wilayah kecamatankecamatan tersebut dalam mengelola pegeluaran untuk pembangunan yang dialokasikan oleh pemerintah pusat kurang efektif yang berdampak kepada membengkaknya pengeluaran anggaran rutin untuk keperluan anggaran lain-lain. Wilayah-wilayah yang masuk dalam tipologi III ini secara geografis berada di daerah yang memiliki sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang terbatas dan termasuk daerah kering serta berkapur sehingga alokasi anggaran dari pusat untuk pembangunan daerah belum efektivitasnya masih rendah. Kondisi ini dapat diperbaiki antara lain meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, melakukan pengawasan secara ketat terhadap pengeluaran anggaran lain-lain sehingga tidak mengurangi anggaran rutin dan pembangunan. Berdasarkan hasil analisis kelompok diatas maka karakteristik dari tiga kelompok tipologi wilayah penganggaran belanja di Kawasan Joglosemar dapat dilihat pada lampiran 15 dan dipetakan seperti pada gambar berikut.

60 124 Keterangan : Tipologi I Tipologi II Tipologi III : Rasio dana perimbangan dan dana pemerintah kabupaten tinggi. : Rasio pengeluaran anggaran pembangunan dari pemerintah pusat cenderung tinggi. : Rasio pengeluaran anggaran pembangunan yang berasal dari pemerintah pusat rendah. Gambar 40. Peta Konfigurasi Spasial Tipologi Penganggaran Belanja Pewilayahan dan Karakteristik Kawasan Joglosemar Hasil pewilayah dan tipologi 7 (tujuh) kelompok indeks komposit yang telah dianalisis, selanjutnya digabungkan untuk melihat pewilayah dan karakteristik Kawasan Joglosemar secara umum dari seluruh kelompok indeks komposit tersebut. Proses analisis komponen utama terhadap karakteristik di kecamatankecamatan Kawasan Joglosemar menghasilkan 4 (empat) faktor utama yang merupakan kombinasi linier dengan variabel aslinya (22 variabel) yang bersifat saling bebas. Ke empat faktor utama ini mampu menjelaskan keragaman data sebesar 79,5 % yang merupakan nilai akar ciri (eigenvalue). Angka ini menunjukkan suatu deskripsi cukup baik karena nilai akar ciri tersebut berada di atas 70 % (Tabel 31).

61 125 Tabel 31. Nilai Eigenvalue Tiap Faktor Karakteristik Kawasan Joglosemar Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 2, , , , , , , , , ,9045 4, , , , , ,48958 Sumber : Data hasil olahan Berdasarkan kriteria Factor Loading > 0,7 hasil PCA dari 22 variabel sumberdaya alam, terdapat 7 variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap variabel baru. Ke-tujuh variabel tersebut dapat dirumuskan dalam 4 faktor utama dan memiliki korelasi cukup erat dengan variabel yang dianalisis (tabel 32). Tabel 32. Nilai Factor loading Tiap Variabel Indikator Karakteristik Kawasan Joglosemar. Variabel Factor Kode Diskripsi F2Kpe Kapasitas Fiskal Daerah 0,10 0,75 0,27 0,31 F2Sda Wilayah dengan topografi berbukit 0,86 0,02 0,07-0,12 dan keragaman jenis tanaman pangan F2Sdm Pencaharian utama penduduk dari 0,81-0,00-0,25 0,09 Sektor perkebunan dan kehutanan F4Sdm Pencaharian utama penduduk dari -0,06 0,80-0,23-0,27 Sektor peternakan F1Aek Intensitas populasi ternak besar kecil ,02 0,12-0,10 dan keragaman pencaharian penduduk Sektor pertanian F3Pbe Rasio pengeluaran anggaran rutin 0,02 0,004-0,94 0,03 F4Pbe Pengeluaran angg.pemb dari pusat 0,10 0,01 0,04-0,93 Expl.Var 2,17 1,21 1,11 1,07 Prp.Totl 0,31 0,17 0,16 0,15 Sumber : Data hasil olahan Keterangan : Angka merah yang berkorelasi nyata. Faktor 1 merepresentasikan sekitar 31 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya : wilayah dengan topografi berbukit dan keragaman jenis tanaman pangan (F2Sda), pencaharian utama penduduk sektor perkebunan dan kehutanan (F2Sdm), dan intensitas populasi ternak besar kecil serta keragaman pencaharian penduduk dari sektor pertanian (F1Aek).

62 126 Antar variabel penciri utama di faktor 1 berkorelasi positif, dimana semakin besar wilayah dengan topografi berbukit dan keragaman jenis tanaman pangan maka pencaharian utama penduduk sektor perkebunan dan kehutanan, intensitas populasi ternak besar kecil serta keragaman pencaharian penduduk dari sektor pertanian di wilayah tersebut semakin besar, dengan koefesien korelasi antara 0,81 sampai 0,87. Faktor ini dapat dianggap mencerminkan fenomena-fenomena yang terkait kondisi di kawasan Joglosemar dimana sektor perkebunan dan kehutanan dikembangkan di wilayah yang berbukit karena tanaman perkebunan dan kehutanan dimanfaatkan untuk konservasi lahan selain sebagai mata pencahrian penduduk yang tinggal di wilayah dengan topografi berbukit. Selain itu populasi ternak besar dan kecil juga berkembang baik di daerah tersebut karena hal ini terkait dengan persyaratan tumbuh bagi ternak. Faktor 2 merepresentasikan sekitar 17 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah kapasitas fiskal daerah (F2Kpe) dan pencahariann utama penduduk dari sektor peternakan (F4Sdm). Antar variabel penciri utama di faktor 2 berkorelasi positif, dimana semakin besar kapasitas fiskal daerah di wilayah Joglosemar, maka penduduk yang mata pencaharian utamanya dari sektor peternakan juga semakin besar juga dengan koefisien korelasi antara 0,75 sampai 0,80. Hal ini disebabkan karena dengan semakin banyak penduduk dengan mata pencaharian utama dari sektor peternakan pada umumnya akan mendorong peningkatan kapasitas fiskal daerah di kawasan Joglosemar. Faktor 3 merepresentasikan sekitar 16 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah rasio pengeluaran anggaran rutin terhadap terhadap total realisasi anggaran (F3Pbe) dan pengeluaran anggaran pembangunan yang berasal dari pemerintah pusat (F4Pbe). Variabel penciri utama di faktor 3 berkorelasi negatif, dimana semakin besar skor faktor ini di suatu wilayah maka semakin kecil pengeluaran anggaran rutin di wilayah tersebut, dengan koefesien korelasi 0,94. Faktor 4 merepresentasikan sekitar 15 % dari keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah pengeluaran anggaran pembangunan yang berasal dari bantuan pemerintah pusat (F4Pbe).

63 127 Variabel penciri utama di faktor 4 berkorelasi negatif, dimana semakin besar skor faktor ini di suatu wilayah maka semakin kecil pengeluaran anggaran pembangunan yang berasal dari bentuan pemerintah pusat, dengan koefisien korelasi 0,93. Hal ini dijelaskan bahwa wilayah tersebut tidak lagi bergantung pada alokasi bantuan dari pemerintah pusat dalam pembangunan wilayahnya tetapi mencoba memanfaatkan dana dari pendapatan daerah dan dari kabupaten dimana wilayah tersebut berada. Setelah didapatkan nilai komponen utama yang salah satunya berupa nilai skor, dilakukan analisis lanjutan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) dengan metode K-Means untuk meminimumkan keragaman di dalam kelompok dan memaksimumkan keragaman antar kelompok. Berdasarkan empat faktor utama yang diperoleh dari analisis komponen utama didapatkan 3 (tiga) kelompok besar kecamatan di Kawasan Joglosemar dengan karakteristiknya masing-masing seperti dapat dilihat pada Gambar 41. Berdasarkan kriteria jarak terkecil/terdekat dari hasil analisis klaster (0,7) karakteristik pusat klaster dapat dikategorikan kedalam : 1) 0,7 dianggap tinggi; 2) 0,7 sampai -0,7 dianggap sedang dan 3) 0,7 dianggap rendah, untuk tiap rataan variabel pencirinya. Gambar 41 memperlihatkan perbedaan karakteristik antara ketiga kelompok kecamatan yang menggambarkan nilai tengah dari setiap faktor utama untuk masing-masing kelompok. Nilai tengah tertinggi dan terendah untuk masingmasing faktor utama akan menjadi karakteristik pembeda dari masing-masing kelompok. Berdasarkan hasil analisis gerombol yang menggunakan data faktor skor menghasilkan 5 (lima) kelompok wilayah. Dari hasil analisis tipologi yang dilakukan, dapat diketahui bahwa di tiap wilayah ada yang memiliki tipologi wilayah tinggi, sedang, atau rendah. Kecamatan-kecamatan di Kawasan Joglosemar yang terdapat di tipologi I merupakan wilayah dengan topografi berbukit dan keragaman jenis tanaman pangan dan hias serta intensitas populasi ternak besar kecil serta keragaman mata pencaharian dari sektor perkebunan dan kehutanan rendah. Hal ini secara logis menunjukkan bahwa di wilayah ini berada di daerah datar dengan jenis tanaman

64 128 pangan yang homogen, populasi ternak besar kecil rendah dan pencaharian penduduk dari perkebunan dan kehutanan rendah. Umumnya daerah ini merupakan daerah pertanian khusus tanaman padi sehingga sebagian besar penduduk hanya mengelola sawahnya tanpa melakukan diversifikasi usaha taninya. 2,0 Plot of Means for Each Cluster 1,5 1,0 0,5 0,0-0,5-1,0-1,5-2,0-2,5-3,0 Factor 1 Factor 2 Factor 3 Factor 4 Variables Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 5 Gambar 41. Grafik Nilai Tengah Kelompok Variabel Karakteristik Kawasan Joglosemar. Kecamatan-kecamatan yang masuk tipologi II, merupakan wilayah yang memiliki karakteristik pengeluaran anggaran pembangunan yang berasal dari pemerintah pusat rendah Hal ini dapat menunjukkan bahwa sumber pendanaan pembangunan di Kawasan Joglosemar yang masuk tipologi II yang berasal dari pendapatan daerah sendiri (PAD) dan bantuan dari pemerintah Kabupaten mampu menjadi modal dasar pembangunan di wilayah tersebut. Kecamatan-kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah tipologi III merupakan kecamatan-kecamatan yang memiliki karakteristik pengeluaran anggaran rutin rendah namun pengeluaran anggaran untuk pembangunan yang

65 129 berasal dari bantuan pemerintah pusat tinggi. Hal ini secara logis dapat menjelaskan bahwa wilayah dengan karakteristik seperti tipologi III ini merupakan wilayah yang anggaran pembangunannya bergantung pada bantuan pemerintah pusat. Wilayah-wilayah yang masuk ke dalam tipologi IV merupakan kecamatankecamatan yang memiliki karakteristik pengeluaran anggaran rutin dan pengeluaran anggaran untuk pembangunan yang berasal dari bantuan pemerintah pusat tinggi. Hal ini menunjukkan wilayah ini merupakan wilayah belum mampu membiayai pembangunan dari pendapatan daerah sendiri karena sebagian besar pengeluaran rutin digunakan untuk kebutuhan gaji pegawai dan kebutuhan rutin dalam pemerintahan. Wilayah kecamatan yang masuk tipologi V merupakan wilayah dengan karakteristik wilayah dengan topografi berbukit dan keragaman jenis tanaman pangan dan hias serta intensitas populasi ternak besar kecil serta keragaman mata pencaharian dari sektor pertanian dan pengeluaran untuk pembangunan yang berasal dari pemerintah pusat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa programprogram pembangunan yang digunakan untuk pengembangan sektor peternakan berasal dari pemerintah pusat. Berdasarkan hasil analisis kelompok diatas maka karakteristik dari lima kelompok tipologi wilayah gabungan di Kawasan Joglosemar dapat dipetakan seperti pada gambar berikut.

66 130 Keterangan : Tipologi I : Wilayah dengan topografi berbukit, keragaman jenis tanaman pangan, intensitas pupolasi ternak besar kecil, dan pencaharian sektor perkebunan dan kehutanan rendah. Tipologi II : Wilayah yang pengeluaran anggaran pembangunan dari pemerintah pusat rendah. Tipologi III : Wilayah yang pengeluaran anggaran rutin rendah namun anggaran pembangunan dari Tipologi IV pemerintah pusat tinggi. : Wilayah yang pengeluaran anggaran rutin dan anggaran pembangunan dari pemerintah pusat tinggi. Tipologi V : Wilayah dengan topografi berbukit, keragaman jenis tanaman pangan dan hias, intensitas populasi tenak besar kecil, keragaman pencaharian sektor pertanian dan pengeluaran anggaran pembangunan dari pemerintah pusat tinggi. Gambar 42. Peta Konfigurasi Spasial Karakteristik Kawasan Joglosemar

67 Interaksi Spasial di Kawasan Joglosemar Suatu daerah yang berada dalam satu kawasan satu sama lain saling mempengaruhi dan saling berhubungan, semakin dekat jarak suatu daerah dengan daerah lain, maka hubungan atau interaksi spasial semakin besar jika dibandingkan dengan daerah yang jaraknya satu dengan yang lain saling berjauhan. Untuk menganalisis interaksi spasial antar daerah di Kawasan Joglosemar dengan melihat pengaruh keterkaitan antar ukuran kinerja pembangunan, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sosial, aktivitas ekonomi, pengendalian ruang, penyediaan infrastruktur dan fasilitas publik, penganggaran belanja daerah dan keterkaitan antar daerah (matriks jarak) yang mendorong kinerja pembangunan ekonomi daerah menggunakan Model Durbin Spasial (LeSage, 1999). Indeks komposit yang dihasilkan dari Analisis Komponen Utama (PCA) dilakukan standarisasi dan selanjutnya dikalikan dengan matriks jarak sehingga terbentuk matriks contiguity. Setelah proses analisis komponen utama ditentukan variabel tujuan (Y) dimana pada kasus ini terdapat 2 (dua) variabel tujuan yaitu Kapasitas Fiskal Daerah (Y 1 ) dan Kesejahteraan Masyarakat (Y 2 ). Hasil tersebut dianalisis lebih lanjut dengan Spatial Durbin Model sehingga ditentukan 2 (dua) model yaitu model kapasitas fiskal dan model kesejahteraan masyarakat. Variabel bebas yang dihasilkan dari proses analisis ini adalah melihat elastisitas variabelvariabel terikatnya, dimana apabila elastisitasnya > 1 dikategorikan elastis sementara itu jika elastisitasnya < 1 dianggap tidak elastis. Elastisitas ini menunjukkan seberapa elastis suatu variabel terikat tersebut terhadap perubahan variabel bebas baik yang ditentukan oleh faktor-faktor dari dalam wilayah maupaun dari luar wilayah. Model Kesejahteraan Masyarakat Hasil analisis secara garis besar dapat dilihat pada tabel 33 yang menguji model Kesejahteraan Masyarakat.

68 132 Tabel 33. Hasil Pengujian Model Kesejahteraan Masyarakat Variabel Koefisien Regresi Galat Baku t Taraf Nyata Intercept -12, , , , LnF 2 Kpe -0,1524 0, ,6072 0, LnF 1 Sda 0,1253 0, , , LnF 4 Sdm -0,1623 0, , , LnF 2 Aek 0,2907 0, , , LnF 2 Aek 0,7063 0, , , LnF 3 Aek -0,1463 0, , , LnF 1 Pru 0,11 0, , , LnF 3 Pbe 0,1778 0, , , LnF 4 Pbe -0,1091 0, ,0948 0, WLnF 1 Kpe -3,4984 1, , , WLnF 2 Sda -1,9434 0, , , WLnF 3 Ifb -4,6835 1, , ,00842 Sumber : Hasil Analisis. R= 0,69 R 2 = 0,47 Adjusted R 2 = 0,37 Keterangan : LnF 2 Kpe LnF 1 Sda LnF 4 Sdm LnF 2 Aek LnF 2 Aek LnF 3 Aek LnF 1 Pru LnF 3 Pbe LnF 4 Pbe WLnF 1 Kpe WLnF 2 Sda WLnF 3 Ifb : Pangsa PAD dalam total pendapatan daerah di luar sisa anggaran. : Pangsa areal topografi datar. : LQ pencaharian utama ternak unggas. : KK pertanian terhadap luas lahan pertanian. : Intensitas pertanian tanaman pangan dan hias. : KK peternakan terhadap jumlah ternak. : Rataan skala penguasaan dan pola penggunaan lahan. : Rasio pengeluaran anggaran lain-lain terhadap total realisasi anggaran kecamatan. : Rasio pengeluaran anggaran pembangunan terhadap total realisasi anggaran kecamatan. : Tingkat kemiskinan di wilayah sekitar dalam kawasan. : Indeks diversitas entropy jenis tanaman pangan dan hias di wilayah sekitar dalam kawasan. : Rasio SLTP per 1000 penduduk di wilayah sekitar dalam kawasan. Model Persamaan Regresi Linier : lnf 1 Kpe(-) = -12,7 + -0,15 lnf 2 Kpe + 0,12 lnf 1 Sda + -0,16 lnf 4 Sdm + 0,29 lnf 2 Aek + 0,71 lnf 2 Aek + -0,15 lnf 3 Aek + 0,11 lnf 1 Pru + 0,18 lnf 3 Pbe + -0,11 lnf 4 Pbe + -3,50 WlnF 1 Kpe + -1,94 WlnF 2 Sda + -4,68 WlnF 3 Ifb

69 133 Hasil perhitungan model durbin seperti pada tabel diatas diperoleh hasil analisis sebagai berikut : 1. Kapasitas Fiskal di wilayah sendiri memberikan dampak negatif terhadap tingkat kemiskinan di wilayah tersebut dengan taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat tidak elastis artinya peningkatan kapasitas fiskal di wilayah sendiri mempunyai pengaruh yang sangat kecil (elastisitas 0,15) terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas fiskal di wilayah sendiri berpengaruh walaupun kecil terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat berarti menurunkan tingkat kemiskinan. 2. Wilayah yang berada di dataran rendah dengan topografi yang datar mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri dengan taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat tidak elastis artinya semakin luas wilayah dengan topografi datar dan berada di dataran rendah mempunyai pengaruh yang sangat kecil (elastisitas 0,12) terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini menunjukkan bahwa aktivitas penduduk yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat berada di wilayah dataran rendah dengan topografi datar. Hal ini didukung dengan aksesibilitas berupa jalan yang jauh lebih baik dibanding dengan wilayah yang berada di dataran tinggi dan juga pusat-pusat pasar, pusat aktivitas ekonomi juga berada di wilayah dengan karakteristik tersebut. 3. Wilayah yang memiliki mata pencaharian utama penduduknya dari sektor peternakan terutama unggas memberikan dampak negatif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri dengan taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat tidak elastis artinya semakin banyak penduduk dengan mata pencaharian utama dari sektor peternakan khususnya unggas mempunyai pengaruh yang sangat kecil (elastisitas 0,16) terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa jenis peternakan unggas belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hal ini terkait dengan skala pengusahaan yang cenderung kecil dan biasanya masyarakat mengusahakan ternak unggas hanya sebagai sampingan usaha ternak besar yang dikelolanya.

70 Wilayah yang memiliki rasio kepala keluarga pertanian terhadap luas lahan pertanian mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri dengan taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat tidak elastis artinya semakin banyak jumlah kepala keluarga pertanian yang menguasai lahan pertanian mempunyai pengaruh yang sangat kecil (elastisitas 0,29) terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian wilayah di Kawasan Joglosemar merupakan sentra pertanian dengan sebagian besar penduduknya berada di perdesaan sehingga dengan mendorong aktivitas yang berbasis pada pertanian akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 5. Wilayah yang memiliki intensitas pertanian tanaman pangan dan hias mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri dengan taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat tidak elastis artinya semakin tinggi intensitas pertanian tanaman pangan dan hias mempunyai pengaruh yang sangat kecil (elastisitas 0,71) terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa dengan mengembangkan aktivitas di sektor pertanian akan meningkatkan intensitas pertanian sehingga akan meningkatkan pendapatan masyarakat. 6. Wilayah yang memiliki rasio kepala keluarga peternakan terhadap jumlah populasi ternak berdampak negatif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri dengan taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat tidak elastis artinya semakin besar rasio kepala keluarga peternakan terhadap jumlah populasi ternak mempunyai pengaruh yang sangat kecil ( elastisitas 0,15) terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kepala keluarga peternak memiliki batasan kapasitas pengelolaan, sehingga jika melebihi kapasitas tersebut maka intensitas pengelolaan terhadap ternaknya menjadi berkurang sehingga akan menurunkan pendapatanya. 7. Wilayah yang memiliki rataan skala penguasaan lahan oleh petani dan pola penggunaan lahan pertanian mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri dengan taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat tidak elastis artinya semakin luas skala pengusaan lahan oleh petani

71 135 mempunyai pengaruh yang sangat kecil ( elastisitas 0,11) terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar skala pengusahaan lahan oleh petani akan mempengaruhi pola penggunaan lahan menjadi lebih intensif sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. 8. Wilayah yang memiliki rasio pengeluaran anggaran lain-lain terhadap total realisasi anggaran mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri dengan taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat tidak elastis artinya semakin besar memiliki rasio pengeluaran anggaran lain-lain terhadap total realisasi anggaran mempunyai pengaruh yang sangat kecil (elastisitas 0,18) terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran anggaran lainlain lebih banyak dialokasikan untuk bantuan program-program yang terkait dengan program pengentasan kemiskinan. 9. Wilayah yang memiliki rasio pengeluaran anggaran untuk pembangunan dan rasio dana bantuan pemerintah pusat berdampak negatif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri dengan taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat tidak elastis artinya semakin besar rasio pengeluaran anggaran untuk pembangunan dan rasio dana bantuan pemerintah pusat mempunyai pengaruh yang sangat kecil (elastisitas 0,11) terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran anggaran untuk pembangunan yang dialokasikan oleh pemerintah pusat belum efektif mengurangi tingkat kemiskinan. 10. Tingkat kemiskinan masyarakat di wilayah sekitar dalam kawasan memberi dampak negatif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri dengan taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat elastis 3,50 artinya jika tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah sekitar dalam kawasan ditingkatkan sebesar 1 %, maka akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri sebesar 3,5 %. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan merupakan fenomena kawasan sehingga penyebab kemiskinan suatu wilayah ditentukan juga oleh tingkat

72 136 kemiskinan di wilayah lain, sehingga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu adanya kerjasama antar wilayah. 11. Wilayah yang memiliki topografi berbukit dan indeks diversitas entropy jenis tanaman pangan di wilayah sekitar dalam kawasan berdampak negatif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri dengan taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat elastis 1,94 artinya apabila luas wilayah dengan topografi berbukit dan tingginya keragaman jenis tanaman pangan di wilayah sekitar dalam kawasan maka akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah tetangga dengan topografi berbukit menyulitkan aksesibilitas masyarakat di wilayah sendiri untuk mendapatkan informasi, memasarkan produk pertaniannya sehingga pendapatan masyarakat yang berada di wilayah perbatasan dengan topografi yang berbukit menjadi berkurang. 12. Wilayah yang memiliki rasio SLTP di wilayah sekitar dalam kawasan berdampak negatif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri dengan taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat elastis 4,68 artinya semakin besar rasio SLTP di wilayah sekitar dalam kawasan akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan level SLTP kurang mampu memenuhi kualitas sumberdaya manusia pada era sekarang, dimana tuntutan kualitas SDM jauh lebih tinggi. Kondisi ini disebabkan karena lembaga pendidikan SLTP belum berbasis kompetensi sesuai dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Secara ringkas hasil model kesejahteraan masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut :

73 137 AREAL TOPOGRAFI DATAR INTENSITAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN PENCAHARIAN UTAMA TERNAK UNGGAS SKALA PENGUASAAN & POLA PENGGUNAAN LAHAN 0,125 0,706-0,162 0,11 KK PERTANIAN KAPASITAS FISKAL 0,291-0,152 KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KK PETERNAKAN - 0,146 0,178 PENGELUARAN ANGGARAN LAIN- LAIN - 4,683-0,109-1,943-3,498 RASIO SLTP DI WILAYAH SEKITAR INDEKS DIVERSITAS ENTROPY TANAMAN PANGAN DI WILAYAH SEKITAR TINGKAT KEMISKINAN DI WILAYAH SEKITAR PENGELUARAN ANGGARAN PEMBANGUNAN Keterangan : : Variabel Elastis : Variabel Tidak Elastis Gambar 43. Diagram Model Kesejahteraan Masyarakat Berdasarkan hasil analisis pengujian model kesejahteraan masyarakat, dapat diperoleh informasi : 1. Faktor-faktor yang dapat menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah (a) kapasitas fiskal daerah, (b) pencaharian utama penduduk sebagai peternakan unggas, (c) rasio kepala keluarga peternakan, (d) pengeluaran anggaran pembangunan, (e) tingkat kemiskinan di wilayah sekitar dalam kawasan, (f) indeks diversitas entropy tanaman pangan di wilayah sekitar dalam kawasan, dan (g) rasio SLTP di wilayah sekitar dalam kawasan. 2. Faktor-faktor yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat antara lain (a) wilayah dengan areal topografi datar, (b) rasio kepala keluarga pertanian, (c) intensitas pertanian tanaman pangan, (d) skala penguasaan dan pola penggunaan lahan pertanian, dan (e) pengeluaran anggaran untuk lain-lain.

74 138 Model Kapasitas Fiskal Hasil analisis secara garis besar dapat dilihat pada tabel 36 yang menguji model kapasitas fiskal daerah Tabel 34. Hasil Pengujian Model Kapasitas Fiskal Daerah Variabel Koefisien Regresi Galat Baku t Taraf Nyata Intercept -13, ,3333-0, , LnF 1 Kpe -0,3039 0, ,6072 0, LnF 3 Sda -0,1926 0, ,3085 0, LnF 3 Sdm 0,1723 0, , , LnF 2 Pru 0,2497 0, , , WLnF 2 Sdm 3,6996 1, , , WLnF 1 Aek -8,6676 3, , , WLnF 2 Pru 7,1049 3, , , WLnF 2 Pru 7,8277 3, , , WLnF 3 Pru -5,1108 2, ,221 0, WLnF 4 Pru 11,8287 5, , , Sumber : Hasil Analisis. R= 0,55 R 2 = 0,31 Adjusted R 2 = 0,18 Keterangan : LnF 1 Kpe : Tingkat kemiskinan. LnF 3 Sda : Pangsa areal berdasarkan elevasi m. LnF 3 Sdm : LQ pencaharian utama ternak besar dan kecil. LnF 2 Pru : Persentase lahan pertanian dikuasai pemilik. WLnF 2 Sdm : LQ pencaharian utama perkebunan dan kehutanan di wilayah Sekitar dalam kawasan. WLnF 1 Aek : Intensitas populasi ternak besar kecil di wilayah sekitar dalam kawasan. WLnF 2 Pru : Persentase lahan pertanian dikuasai pemilik di wilayah sekitar dalam kawasan. WLnF 2 Pru : Persentase lahan pertanian dikuasai pemilik dan penggarap di wilayah sekitar dalam kawasan. WLnF 3 Pru : Konversi ladang ke lahan terbangun di wilayah sekitar dalam kawasan. WLnF 4 Pru : Rataan skala penguasaan lahan kehutanan di wilayah sekitar dalam kawasan. Model Persamaan Regresi Linier : lnf 2 Kpe = -13, ,30 lnf 1 Kpe + -0,19 lnf 3 Sda + 0,17 lnf 3 Sdm + 0,25 lnf 2 Pru + 3,70 WlnF 2 Sdm + -8,67 WlnF 1 Aek + 7,10 WlnF 2 Pru + 7,83 WlnF 2 Pru + -5,11 WlnF 3 Pru + 11,83 WlnF 4 Pru

75 139 Hasil perhitungan model durbin seperti pada tabel diatas diperoleh hasil analisis sebagai berikut : 1. Tingkat kemiskinan masyarakat di wilayah sendiri memberi dampak negatif terhadap peningkatan kapasitas fiskal di wilayah tersebut pada taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat tidak elastis artinya semakin tinggi tingkat kemiskinan di wilayah sendiri akan mempunyai pengaruh yang sangat kecil (elastisitas 0,30) terhadap kapasitas fiskal wilayah itu sendiri. Berarti apabila di wilayah itu sendiri tingkat kemiskinannya tinggi akan menurunkan kapasitas fiskal wilayah tersebut. Hal ini dapat dijelaskan secara logis jika tingkat kemiskinan tinggi di wilayah tersebut maka daya beli masyarakat rendah maka akan menurunkan pendapatan wilayah tersebut. 2. Wilayah yang memiliki pangsa areal berada di dataran tinggi ( m) memberi dampak negatif terhadap peningkatan kapasitas fiskal di wilayah tersebut pada taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat tidak elastis artinya semakin besar pangsa areal wilayah itu yang berada di dataran tinggi akan mempunyai pengaruh terhadap peningkatan kapasitas fiskal walaupun sangat kecil (elastisitas 0,19). Ini menunjukkan bahwa sebagai besar wilayah di Kawasan Joglosemar berada di dataran rendah dan daerah tersebut merupakan pusat-pusat aktivitas ekonomi masyarakat antara lain : pusat pasar, sentra pertanian dan sarana fasilitas publik. Selain itu wilayah yang berada di dataran rendah memiliki aksesibilitas berupa jalan yang lebih baik sehingga mampu mendorong peningkatan kapasitas fiskal. 3. Wilayah-wilayah di Kawawan Joglosemar yang mempunyai pemusatan aktivitas mata pencaharian penduduk dari sektor peternakan terutama ternak besar dan kecil mendorong peningkatan kapasitas fiskal di wilayah tersebut pada taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat tidak elastis artinya semakin menyebarnya pemusatan aktivitas penduduk dari sektor peternakan mempunyai pengaruh yang sangat kecil (elastisitas 0,17) terhadap peningkatan kapasitas fiskal. Hal ini menunjukkan wilayahwilayah yang menjadi sentra peternakan dapat mendorong peningkatan pendapatan daerah terutama daerah-daerah yang memiliki sumberdaya

76 140 alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial yang mendukung berkembangnya sektor peternakan terutama ternak besar dan kecil. 4. Persentase lahan pertanian yang dikuasai oleh pemilik di wilayah sendiri mampu mendorong peningkatan kapasitas fiskal wilayah sendiri pada taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat tidak elastis artinya semakin besar Persentase lahan pertanian yang dikuasai oleh pemilik di wilayah sendiri mempunyai pengaruh yang sangat kecil (elastisitas 0,25) terhadap peningkatan kapasitas fiskal. Hal ini menunjukkan bahwa status kepemilikan atas lahan menjadi faktor penting dalam peningkatkan pendapatan daerah artinya dengan kepemilikan yang jelas maka pajak terhadap tanah tersebut dapat beban pajak ditanggung oleh pemilik lahan itu dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan daerah. 5. Pemusatan mata pencaharian utama penduduk dari sektor perkebunan dan kehutanan di wilayah sekitar dalam kawasan akan mendorong peningkatan kapasitas fiskal di wilayah sendiri pada taraf nyata 5 %. Varibel ini bersifat elastis 3,70 artinya semakin menyebar pemusatan mata pencaharian utama penduduk dari sektor perkebunan dan kehutanan di wilayah sekitar dalam kawasan akan memberi dampak yang relatif besar terhadap peningkatan kapasitas fiskal wilayah sendiri. Hal ini menunjukkan di wilayah tetangga sebagian besar mata pencaharian penduduknya dari sektor perkebunan dan kehutanan, tetapi pusat-pusat pengolahan hasil perkebunan dan kehutanan ada di wilayah sendiri sehingga akan mendorong peningkatan fiskal wilayah sendiri. 6. Intensitas populasi ternak besar kecil di wilayah sekitar dalam kawasan berdampak negatif terhadap peningkatan kapasitas fiskal di wilayah sendiri pada taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat elastis 8,68 artinya semakin besar populasi ternak dan semakin beragam mata pencaharian penduduk di wilayah sekitar dalam kawasan akan memberi dampak yang besar terhadap peningkatan kapasitas fiskal wilayah sendiri. Hal ini menunjukkan suatu kecamatan yang bertetangga dengan kecamatan dengan kepadatan ternak tinggi dan beragamnya mata pencaharian penduduk maka kapasitas fiskal wilayah sendiri menjadi rendah. Wilayah

77 141 yang kepadatan ternaknya tinggi (overgrazing) di wilayah sekitar dalam kawasan akan mempengaruhi pola penggunaan lahan di wilayah tetangga menjadi kurang baik sehingga pendapatan masyarakat juga akan rendah dan pada akhirnya menurunkan pendapatan daerah itu sendiri. 7. Persentase lahan pertanian dikuasai pemilik di wilayah sekitar dalam kawasan mendorong peningkatan kapasitas fiskal wilayah sendiri pada taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat elastis 7,10 artinya semakin besar persentase lahan yang dikuasai oleh pemilik di wilayah sekitar dalam kawasan memberi pengaruh yang besar terhadap peningkatan kapasitas fiskal wilayah sendiri. Hal ini menunjukkan lahan-lahan di kecamatan tetangga dimiliki oleh masyarakat yang ada di wilayah sendiri, sehingga pada saat pemungutan pajak dibebankan pada pemilik yang tinggal di wilayah sendiri sehingga akan mendorong peningkatan pendapatan daerah sendiri. 8. Persentase lahan pertanian dikuasai oleh pemilik dan penggarap di wilayah sekitar dalam kawasan akan mendorong peningkatan kapasitas fiskal pada taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat elastis 7,83 artinya semakin besar persentase lahan pertanian dikuasai oleh pemilik dan penggarap di wilayah sekitar dalam kawasan akan berpengaruh relatif besar terhadap peningkatan kapasitas fiskal. 9. Konversi ladang ke lahan terbangun di wilayah sekitar dalam kawasan mempunyai dampak negatif terhadap peningkatan kapasitas fiskal pada taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat elastis 5,11 artinya semakin besar konversi ladang ke lahan terbangun di wilayah sekitar dalam kawasan mempunyai pengaruh yang besar terhadap penurunan kapasitas fiskal wilayah sendiri. Hal ini menunjukkan wilayah tetangga yang didominasi oleh lahan pertanian apabila terjadi konversi lahan ke lahan terbangun akan juga mempengaruhi terjadinya konversi lahan di wilayah yang berbatasan sehingga akan menyebabkan penurunan pendapatan daerah sendiri. Selain itu apabila aktivitas ekonomi di wilayah tetangga terganggu karena konversi lahan yang tinggi akan mempengaruhi wilayah sendiri

78 142 yang berbatasan sehingga pada akhirnya akan menurunkan pendapatan daerah di wilayah sendiri. 10. Rataan skala penguasaan lahan kehutanan di wilayah sekitar dalam kawasan akan mendorong peningkatan kapasitas fiskal pada taraf nyata 5 %. Variabel ini bersifat elastis 11,83 artinya semakin besar skala penguasaan lahan kehutanan di wilayah sekitar dalam kawasan akan memberi pengaruh yang relatif besar terhadap peningkatan kapasitas fiskal. Hal ini menunjukkan bahwa skala penguasaan lahan kehutanan dalam hal ini hutan rakyat di wilayah tetangga akan mempengaruhi aktivitas dan pola penggunaan lahan di wilayah sendiri sehingga jika skala penguasaan lahan kehutanan di wilayah sekitar dalam kawasan berubah maka akan berdampak besar terhadap peningkatan kapasitas fiskal wilayah sendiri. Secara ringkas hasil model kesejahteraan masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut : LAHAN PERTANIAN DIKUASAI PEMILIKI AREAL DATARAN TINGGI TINGKAT KEMISKINAN 0,249-0,193-0,304 PENCAHARIAN UTAMA PETERNAKAN 0,172 11,829 SKALA PENGUASAAN LAHAN KEHUTANAN DI WILAYAH SEKITAR KAPASITAS FISKAL PENCAHARIAN UTAMA PERKEBUNAN & KEHUTANAN DI WILAYAH SEKITAR 3,699-8,668 INTENSITAS POPULASI TERNAK DI WILAYAH SEKITAR 7,828-5,111 7,105 LAHAN PERTANIAN DIKUASAI PEMILIK & PENGGARAP DI WILAYAH SEKITAR LAHAN PERTANIAN DIKUASAI PEMILIK DI WILAYAH SEKITAR KONVERSI LADANG KE LAHAN TERBANGUN DI WILAYAH SEKITAR Keterangan : : Variabel Elastis : Variabel Tidak Elastis Gambar 44. Diagram Model Kapasitas Fiskal.

79 143 Berdasarkan hasil analisis pengujian model kapasitas fiskal dapat diperoleh informasi : 1. Faktor-faktor yang dapat menghambat peningkatan kapasitas fiskal adalah (a) tingkat kemiskinan, (b) wilayah dengan areal dataran tinggi, (c) intensitas populasi ternak di wilayah sekitar dalam kawasan dan (d) konversi ladang ke lahan terbangun di wilayah sekitar dalam kawasan. 2. Faktor-faktor yang dapat mendorong peningkatan kapasitas fiskal adalah (a) pencaharian utama penduduk dari sektor peternakan, (b) lahan pertanian dikuasai pemilik, (c) pencaharian utama perkebunan dan kehutanan di wilayah sekitar dalam kawasan, (d) lahan pertanian dikuasai pemilik di wilayah sekitar dalam kawasan, (e) lahan pertanian dikuasai pemilik dan penggarap di wilayah sekitar dalam kawasan, dan (f) skala penguasaan lahan kehutanan di wilayah sekitar dalam kawasan. Ke-dua model kinerja pembangunan ekonomi daerah menunjukkan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh nyata (signifikan) dan elastis terhadap variabel tujuan yaitu kinerja pembangunan ekonomi daerah di dominasi oleh variabel yang terkait dengan wilayah sekitar dalam kawasan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pentingnya kerjasama antar wilayah (inter-regional network) dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan terutama untuk mengatasi permasalahan-permasalahan pembangunan yang selalu muncul akibat proses pembangunan itu sendiri. Pendekatan pembangunan daerah yang selama ini dilaksanakan terlalu menekankan pada batas-batas administrasi yang sering tidak mengakomodasi keragaman potensi wilayah, permasalahan lokal dan adanya keterkaitan antar daerah. Keragaman potensi yang dimiliki masing-masing wilayah dan keterbatasan baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia menunjukkan pentingnya kerjasama antar wilayah terutama dalam bentuk pengembangan kerjasama kawasan strategis. Pentingnya pengembangan kerjasama kawasan strategis antara lain dapat ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, spasial, budaya secara berkelanjutan. Ditinjau dari aspek ekonomi kerjasama kawasan strategis adalah untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki masing-masing

80 144 wilayah dengan menyediakan sarana dan prasaran dasar yang memadai. Keterkaitan antara daerah hulu dan daerah hilir akan memberikan pengaruh posistif bagi perkembangan ekonomi di wilayah-wilayah kerjasama (backward and forward linkages), sehingga diharapkan dapat memberikan efek ganda (multiplier effect) yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi dalam wilayah kerjasama yang pada akhirnya dapat memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat, tidak saja dipusat-pusat pertumbuhan (growth centre) namun juga di kawasan-kawasan pinggirnya (hinterland). Pembahasan Umum dan Implikasi Kebijakan Terhadap Pembangunan Daerah di Kawasan Joglosemar Pengembangan wilayah di Kawasan Joglosemar harus dilaksanakan dalam kerangka pengembangan wilayah terpadu untuk mewujudkan pertumbuhan wilayah yang berimbang dan saling memperkuat antar wilayah di dalam kawasan tersebut. Untuk mencapai kinerja pembangunan daerah yang baik berdasarkan hasil analisis dapat disarikan beberapa hal penting dan dikaitkan dengan implikasi kebijakan yang harus dilakukan, antara lain : 1. Model peningkatan kesejahteraan masyarakat menghasilkan variabel nyata dan elastis tingkat kemiskinan di wilayah sekitar dalam kawasan menghambat pencapaian kinerja pembangunan daerah di Kawasan Joglosemar. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kemiskinan merupakan fenomena kawasan artinya apabila suatu wilayah miskin maka akan mendorong wilayah disekitarnya juga menjadi miskin. Bentuk kerjasama yang dikembangkan di Kawasan Joglosemar untuk mengurangi tingkat kemiskinan adalah dengan melakukan program pengentasan kemiskinan dengan kerjasama antar daerah secara bersama sehingga akan lebih efisien baik dari sisi biaya maupun dari sisi waktu. Gambaran secara spasial wilayah-wilayah dengan karakteristik tingkat kemiskinan dapat dilihat pada Gambar 45 berikut ini :

81 145 Gambar 45. Peta Tingkat Kemiskinan 2. Model peningkatan kesejahteraan masyarakat menghasilkan variabel nyata dan elastis indeks diversitas entropy tanaman pangan dan hias di wilayah sekitar dalam kawasan menghambat pencapaian kinerja pembangunan daerah di Kawasan Joglosemar. Hal ini terjadi di wilayah-wilayah yang berada di daerah berbukit dimana keragaman jenis tanaman pangan dan hias tinggi. Wilayah dengan karakteristik tingkat keragaman jenis tanaman pangan yang tinggi tidak mempunyai komoditas unggulan yang jelas sehingga pengembangan komoditas yang potensial baik dari sisi pasar maupun kualitas belum ditentukan. Tidak fokusnya pengembangan komoditas unggulan menyebabkan wilayah tersebut dalam penyediaan anggaran untuk sektor pertanian menjadi tidak jelas. Padahal penganggaran sektor pertanian untuk pengembangan komoditas unggulan menjadi kunci keberhasilan pembangunan sektor pertanian di Kawasan Joglosemar. Bentuk kerjasama yang dapat dikembangkan antara lain menjalin kerjasama antar daerah untuk menentukan komoditas unggulan sesuai dengan karakteristik wilayah sehingga masing-masing wilayah akan

82 146 memiliki komoditas yang berbeda sehingga jika terjadi masa panen harga komoditas tersebut tidak mengalami penurunan. Selain itu juga harus dikembangkan industri kecil yang mampu menyerap produk-produk unggulan di wilayah tersebut maupun di wilayah lain. Gambaran secara spasial wilayah dengan karakteristik indeks diversitas entropy tanaman pangan dan hias dapat dilihat pada Gambar 46 berikut ini : Gambar 46. Peta Indeks Diversitas Entropy Tanaman Pangan dan Hias 3. Model peningkatan kesejahteraan masyarakat menghasilkan variabel nyata dan elastis rasio SLTP di wilayah sekitar dalam kawasan menghambat pencapaian kinerja pembangunan daerah di Kawasan Joglosemar. Keberadaan SLTP di Kawasan Joglosemar hampir merata tersebar di seluruh wilayah karena SLTP merupakan tingkat pendidikan lajut yang harus disediakan oleh pemerintah sampai tingkat kecamatan, namun kompetensi pendidikan tersebut juga harus disesuaikan dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Selain itu kualitas pendidikan setingkat SLTP masih kurang baik sehingga akan berdampak pada kualitas pendidikan

83 147 pada jenjang yang lebih tinggi. Lembaga pendidikan adalah usaha untuk membangun kompetensi, namun jika kompetensinya tidak sesuai dengan lapangan pekerjaan yang tersedia maka ketersediaan lembaga pendidikan tersebut menjadi menghambat pencapaian kinerja pembangunan daerah. Apabila kualitas pendidikan belum sesuai baik dari sisi kualitas maupun kompetensi maka akan mempengaruhi pencapaian kinerja pembangunan daerah. Bentuk kerjasama yang perlu dikembangkan adalah peningkatan lembaga pendidikan yang berbasis kompetensi terhadap jenis lapangan kerja sehingga lulusan dari lembaga pendidikan tersebut dapat bekerja sesuai dengan bidangnya. Selain itu peningkatan kualitas guru melalui program pelatihan bersama antar wilayah sehingga terjadi tranfer ilmu antara wilayah yang maju dengan wilayah yang tertinggal merupakan salah satu usaha peningkatan kompetensi. Gambaran secara spasial wilayah dengan karakteristik rasio SLTP dapat dilihat pada Gambar 47 berikut ini : Gambar 47. Peta Rasio SLTP.

84 Model peningkatan kapasitas fiskal daerah menghasilkan variabel nyata dan elastis intensitas populasi ternak di wilayah sekitar dalam kawasan menghambat pencapaian kinerja pembangunan daerah. Terjadinya ledakan populasi ternak di wilayah lain sementara sumberdaya lahan terbatas akan berpengaruh terhadap wilayah sekitarnya. Untuk itu perlu kerjasama antar wilayah dalam mengontrol populasi ternak di wilayah tetangga maupun di wilayah sendiri sehingga tidak terjadi overgrazing. Populasi ternak yang tidak terkendali akan mempengaruhi pola penggunaan lahan dimana lahan yang produktif untuk pertanian menjadi berubah fungsi sehingga akan mengganggu pendapatan masyarakat dan akhirnya akan mempengaruhi kapasitas fiskal daerah. Menjaga keseimbangan populasi ternak dengan daya dukung lahan akan sangat mempengaruhi pola penggunaan lahan sehingga sumber daya lahan yang sifatnya terbatas mampu dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Bentuk kerjasama yang harus dikembangkan adalah memperbaiki jalur tata niaga pemasaran produk ternak sehingga mampu menyerap persediaan (supply) produksi di Kawasan Joglosemar dan wilayah sekitar. Adanya peningkatan penawaran produk peternakan perlu juga dipikirakan untuk mendorong peningkatan dari sisi permintaan sehingga antara supply dan demand akan seimbang. Selain itu menciptakan industri pengolahan hasil ternak di wilayahwilayah yang memiliki intensitas populasi ternak tinggi, sehingga dapat memberi nilai tambah produk peternakan dan diversifikasi produk. Nilai tambah yang dihasilkan dari proses pengolahan indsutri primer sektor peternakan akan berdampak kepada peningkatan pendapatan masyarakat terutama peternak yang pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas fiskal daerah tersebut. Gambaran secara spasial wilayah dengan karakteristik intensitas populasi ternak dapat dilihat pada Gambar 48 berikut ini :

85 149 Gambar 48. Peta Intensitas Populasi Ternak. 5. Model peningkatan kapasitas fiskal daerah menghasilkan variabel nyata dan elastis konversi ladang ke lahan terbangun di wilayah sekitar dalam kawasan menghambat pencapaian kinerja pembangunan daerah. Konversi ini umumnya terjadi di wilayah dengan mata pencaharian utama sektor pertanian dengan drainase baik, jika lahan tersebut dikonversi maka penduduk penduduk dengan pencaharian utama sektor pertanian akan kehilangan pekerjaan. Faktor penyebab terjadinya konversi bisa dijelaskan melalui teori Land Rent. Terbatasnya pengetahuan dan informasi juga mendorong terjadinya konversi. Sisi penjual melihat harga jual lahannya tinggi kalau dibandingkan dengan nilai hasil penggunaan lahan tesebut, namun jika dari sisi pembeli harga belinya lebih rendah daripada harapan nilai yang akan diperoleh. Konversi ladang ke lahan terbangun di wilayah sekitar menghambat peningkatan kapasitas fiskal dapat diatasi dengan melakukan kerjasama antar wilayah dalam hal mengendalikan konversi lahan di wilayah tetangga misalnya meningkatkan produktivitas tanaman dengan memperbaiki sarana prasarana penunjang pertanian seperti

86 150 ketersediaan sarana produksi, air, pilihan komoditas, informasi pasar dan akses terhadap modal. Selain itu kerjasama mengembangkan instrumen perijinan dan pajak juga dapat mengendalikan konversi. Gambaran secara spasial wilayah dengan karakteristik konversi ladang ke lahan terbangun dapat dilihat pada Gambar 49 berikut ini : Gambar 49. Peta Konversi Ladang ke Lahan Terbangun. 6. Model peningkatan kapasitas fiskal daerah menghasilkan variabel nyata dan elastis pencaharian utama perkebunan dan kehutanan di wilayah sekitar dalam kawasan mendorong pencapaian kinerja pembangunan daerah. Kondisi ini berkembang di wilayah hutan rakyat dan perkebunan yang ditanami komoditas utama dengan nilai ekonomi yang tinggi. Kerjasama yang perlu dilakukan agar pencaharian utama perkebunan dan kehutanan di wilayah sekitar akan lebih dapat mendorong peningkatan kapasitas fiskal daerah, antara lain melalui program-program pengembangan tanaman perkebunan dan kehutanan terutama hutan rakyat. Beberapa wilayah di Kawasan Joglosemar misalnya Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Magelang

87 151 mengembangkan tanaman kopi Arabika dan Robusta. Produktivitas dan kualitas hasil kopi akan dapat lebih ditingkatkan jika ada kerjasama baik dalam hal proses pemeliharaan, tranfer teknologi, informasi pasar dan proses pengolahan yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kapasitas fiskal di wilayah tersebut maupun di wilayah sekitar. Selain itu juga mengembangkan industri pengolahan hasil hutan dan perkebunan sehingga selain mampu menyerap produksi hasil hutan di wilayah itu sendiri maupun di wilayah sekitar tetapi juga untuk memberikan nilai tambah terhadap produk hasil hutan dan perkebunan tanpa mendorong terjadinya konversi. Gambaran secara spasial wilayah dengan karakteristik pencaharian utama perkebunan dan kehutanan dapat dilihat pada Gambar 50 berikut ini : Gambar 50. Peta Pencaharian Utama Perkebunan dan Kehutanan Model peningkatan kapasitas fiskal daerah menghasilkan variabel nyata dan elastis lahan pertanian dikuasai oleh pemilik dan penggarap maupun dikuasai oleh pemilik saja di wilayah sekitar dalam kawasan mendorong

88 152 pencapaian kinerja pembangunan daerah di Kawasan Joglosemar. Lahan yang dikuasai oleh pemilik dan penggarap umumnya dimiliki secara guntai dan dikerjakan oleh orang lain, sementara lahan yang dikuasai oleh pemiliknya saja walaupun tidak dikerjakan tetapi dapat meningkatkan kapasitas fiskal daerah karena hal ini terkait dengan pengenaan pajak atas lahan tersebut. Bentuk kerjasama yang dikembangkan antara lain mendorong masyarakat berkaitan dengan status kepemilikan lahan misalnya dengan program sertifikasi tanah. Hal ini perlu dilakukan karena status kepemilikan lahan yang tidak jelas akan memberi dampak negatif terhadap peningkatan kapasitas fiskal daerah. Sebaliknya jika status kepemilikan lahan sudah jelas, maka akan mendorong peningkatan kapasitas fiskal daerah karena hal ini terkait dengan prosedur pengenaan obyek pajak. Kejelasan atas kepemilikan lahan akan meningkatkan produktivitas lahan tersebut, apalagi jika didukung oleh pemilihan komoditas unggulan, tersedianya sarana faktor produksi yang memadai (pupuk, bibit, air, akses terhadap modal dan informasi pasar) akan meningkatkan pendapatan petani sehingga akan mendorong daya beli masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas fiskal daerah Gambaran secara spasial wilayah dengan karakteristik lahan pertanian dikuasai pemilik dan penggarap dapat dilihat pada Gambar 51 dan gambaran secara spasial wilayah dengan karakteristik lahan pertanian dikuasai pemilik saja dapat dilihat pada Gambar 52 berikut ini :

89 153 Gambar 51. Peta Lahan Pertanian Dikuasai Pemilik dan Penggarap Gambar 52. Peta Lahan Pertanian Dikuasai Pemilik.

90 Model peningkatan kapasitas fiskal daerah menghasilkan variabel nyata dan elastis skala penguasaan lahan kehutanan di wilayah sekitar dalam kawasan mendorong pencapaian kinerja pembangunan daerah di Kawasan Joglosemar. Hal ini dapat dijelaskan secara logis bahwa masyarakat yang memiliki mata pencaharian utama dari sektor kehutanan akan meningkat pendapatannya apabila skala penguasaan lahan kehutanan tetap tinggi. Selain itu mempertahankan lahan hutan bermanfaat dari sisi lingkungan yang pada akhirnya berdampak secara ekonomi. Bekerjasama antar wilayah dalam menjaga areal hutan dengan mengurangi terjadinya konversi lahan hutan menjadi lahan terbangun baik di wilayah sendiri maupun di wilayah sekitar. Misalnya dengan mengembangkan bangunan hemat lahan (bangunan vertikal) sehingga tidak akan mengurangi lahan hutan yang ada di wilayah sekitar. Wilayah ini juga tepat dikembangkan sebagai agrowisata yang merupakan salah satu strategi untuk menekan terjadinya konversi tetapi memberi tambahan pendapatan terhadap masyarakat di sekitar hutan. Gambaran secara spasial wilayah dengan karakteristik lahan pertanian dikuasai pemilik dan penggarap dapat dilihat pada Gambar 53 berikut ini : Gambar 53. Peta Skala Panguasaan Lahan Kehutanan.

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Wilayah Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Wilayah Joglosemar terdiri dari kota Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Secara geografis ketiga

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ii iii iv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 9 Pengertian dan Ruang Lingkup Penelitian... 9 Manfaat

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Industrialisasi pada negara sedang berkembang sangat diperlukan agar dapat tumbuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertanian merupakan salah satu basis perekonomian Indonesia. Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara agraris, maka pembangunan pertanian akan memberikan

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK A. Gambaran Umum Objek/Subjek Penelitian 1. Batas Administrasi. Gambar 4.1: Peta Wilayah Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya. KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/12/33/Th.III, 1 Desember 2009 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2009 Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dilaksanakan dua kali dalam setahun,

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 No. 50/08/33/Th. VIII, 4 Agustus 2014 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 145,04 RIBU TON, CABAI RAWIT 85,36 RIBU TON, DAN BAWANG

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Konfigurasi Spasial Karakteristik Wilayah

HASIL DAN PEMBAHASAN Konfigurasi Spasial Karakteristik Wilayah 70 HASIL DAN PEMBAHASAN Konfigurasi Spasial Karakteristik Wilayah Proses analisis komponen utama terhadap kecamatan-kecamatan di wilayah Kabupaten Banyumas yang didasarkan pada data Potensi Desa (PODES)

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 08/05/33/Th.I, 15 Mei 2007 TINGKAT PENGANGGURAN DI JAWA TENGAH MENURUN 0,1% Tingkat Penganguran Terbuka di Jawa Tengah pada Februari 2007 adalah 8,10%. Angka ini 0,10% lebih

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH No. 56/08/33 Th.IX, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 167,79 RIBU TON, CABAI RAWIT SEBESAR 107,95 RIBU TON,

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/01/33/Th.II, 2 Januari 2008 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2007 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Tengah pada Agustus 2007 adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang dinamakan dengan nawacita.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015 KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.69 /11/33/Th.VII, 06 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2013: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,02 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2013 mencapai 16,99

Lebih terperinci

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN No Kelompok Pola Harapan Nasional Gram/hari2) Energi (kkal) %AKG 2) 1 Padi-padian 275 1000 50.0 25.0 2 Umbi-umbian 100 120 6.0

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN No. 62/11/33/Th.V, 07 November 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2011 mencapai 16,92 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kehidupan yang layak, (menurut World Bank dalam Whisnu, 2004),

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.70 /11/33/Th.VIII, 05 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,68 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2014 yang sebesar

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Provinsi Jawa Tengah Sensus Ekonomi 2016 No. 37/05/33 Th. XI, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Hasil Pendaftaran

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.31 /05/33/Th.VIII, 05 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,45 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Februari 2014 yang sebesar 17,72

Lebih terperinci

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Komoditi TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Produksi Penyediaan Kebutuhan Konsumsi per kapita Faktor Konversi +/- (ton) (ton) (ton) (ton) (kg/kap/th) (100-angka susut)

Lebih terperinci

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017 REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL 13-17 JULI 2017 NO SIMBOL JENIS STAND NOMOR STAND INSTANSI 1 1 Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah 2 2 Dinas Ketahanan Pangan Provinsi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 78 TAHUN 2013 TAHUN 2012 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini mengembangkan model pengklasteran Pemerintah Daerah di Indonesia dengan mengambil sampel pada 30 Pemerintah Kota dan 91 Pemerintah Kabupaten

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No. 66/11/33/Th.VI, 05 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2012: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,63 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2012 mencapai 17,09

Lebih terperinci

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR Keterkaitan Sektor Hulu dan Sektor Hilir Hasil dari analisis dengan menggunakan PCA menunjukkan sektor-sektor perekonomian pada bagian hulu dan sektor-sektor

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH TAHUN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 56 TAHUN 201256 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 447 60 8 364 478 2.632 629 4.618 57.379 8,05 2 Purbalingga 87 145 33 174 119 1.137

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 71 A TAHUN 201356 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Regresi Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan bagaimana perbandingan pengaruh kedua variabel tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi jangka panjang. Dari satu periode ke periode berikutnya kemampuan suatu negara untuk

Lebih terperinci

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) No. 74/12/33 Th.VII, 2 Desember 2013 HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) RUMAH TANGGA PETANI GUREM JAWA TENGAH TAHUN 2013 SEBANYAK 3,31 JUTA RUMAH TANGGA, TURUN 28,46 PERSEN DARI TAHUN 2003 Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu hal yang penting bagi suatu negara. Dengan adanya pariwisata, suatu negara atau lebih khusus lagi pemerintah daerah tempat

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 748 34 3 790 684 2,379 1,165 5,803 57,379 10.11 2 Purbalingga 141 51 10 139 228

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pada tahun 2001 telah menimbulkan dampak dan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia (Triastuti

Lebih terperinci

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH Joko Sutrisno 1, Sugihardjo 2 dan Umi Barokah 3 1,2,3 Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat yang dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan pada kemampuan nasional, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia dianggap sebagai titik sentral dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan dikendalikan oleh sumber

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah merupakan Provinsi yang termasuk ke dalam Provinsi yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Keadaan Geografis a. Letak Geografis Provinsi Jawa Tengah secara geografis terletak antara 5 o 4 dan 8 o 3 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pandangan pembangunan ekonomi modern memiliki suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan ekonomi modern tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang senantiasa memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional, guna mewujudkan cita-cita

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA JAW A TENGAH 1996-2011 ISSN : 0854-6932 No. Publikasi : 33531.1204 Katalog BPS : 5203007.33 Ukuran Buku : 21 cm x 28 cm Jumlah Halaman : 245 halaman Naskah : Bidang Statistik

Lebih terperinci

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH OUT LINE 1. CAPAIAN PRODUKSI 2. SASARAN LUAS TANAM DAN LUAS PANEN 3. CAPAIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memenuhi untuk mencapai pertumbuhan angkatan kerja, yang

BAB I PENDAHULUAN. yang memenuhi untuk mencapai pertumbuhan angkatan kerja, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan menjadi suatu upaya untuk mencapai peningkatan kesejahteraan sosial, yaitu dengan gerakan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang

BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang BAB III PEMBAHASAN Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Asumsi-asumsi dalam analisis cluster yaitu sampel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan di belahan dunia. Bahkan banyak negara

Lebih terperinci

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun 1.1. UMUM 1.1.1. DASAR Balai Pemantapan Kawasan Hutan adalah Unit Pelaksana Teknis Badan Planologi Kehutanan yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 6188/Kpts-II/2002, Tanggal 10

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 80-an telah berubah, dari paradigma government driven growth ke public

BAB I PENDAHULUAN. 80-an telah berubah, dari paradigma government driven growth ke public BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paradigma pembangunan ekonomi Indonesia sejak pertenghan tahun 80-an telah berubah, dari paradigma government driven growth ke public driven growth. Semenjak itu pemerintah

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.42/06/33/Th.X, 15 Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Jawa Tengah Tahun 2015 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus

Lebih terperinci

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 17.968.449 19.510.919 1.542.470 8,58 2 Usaha Menengah (UM) 23.077.246 25.199.311 2.122.065 9,20 Usaha Kecil

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. LAMPIRAN Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap 15.24 6.68 22.78 1676090 2 Kab. Banyumas 18.44 5.45 21.18 1605580 3 Kab. Purbalingga 20.53 5.63 21.56 879880 4 Kab. Banjarnegara

Lebih terperinci

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal LP2KD Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Kendal TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL TAHUN 2012 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH Rapat Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Penanganan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Surakarta, 9 Februari 2016 Kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi. BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Dimasa pergantian era reformasi pembangunan manusia merupakan hal pokok yang harus dilakukan oleh pemerintah di Indonesia, bahkan tidak hanya di Indonesia di negara-negara

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 728 112 20 1,955 2,178 2,627 1,802 9,422 57,379 16.42 2 Purbalingga 70 50 11 471

Lebih terperinci

PENILAIAN PENGARUH SEKTOR BASIS KOTA SALATIGA TERHADAP DAERAH PELAYANANNYA

PENILAIAN PENGARUH SEKTOR BASIS KOTA SALATIGA TERHADAP DAERAH PELAYANANNYA PENILAIAN PENGARUH SEKTOR BASIS KOTA SALATIGA TERHADAP DAERAH PELAYANANNYA TUGAS AKHIR Oleh : PUTRAWANSYAH L2D 300 373 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Penutup Penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010 merupakan hajatan besar bangsa yang hasilnya sangat penting dalam rangka perencanaan pembangunan.

Lebih terperinci

BAB I BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan

BAB I BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan BAB I BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TARUN 2116 PERUBAHANPERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 63 TAHUN2015 KEBUTUHAN DAN HARGAECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIANDI

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas mengenai gambaran persebaran IPM dan komponen-komponen penyususn IPM di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab analisis dan pembahasan ini akan jelaskan tentang pola persebaran jumlah penderita kusta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, kemudian dilanjutkan dengan pemodelan

Lebih terperinci

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 184.845.034 194.426.046 9.581.012 5,18 2 Usaha Menengah (UM)

Lebih terperinci

BOKS PERKEMBANGAN KINERJA BPR MERGER DI JAWA TENGAH

BOKS PERKEMBANGAN KINERJA BPR MERGER DI JAWA TENGAH BOKS PERKEMBANGAN KINERJA BPR MERGER DI JAWA TENGAH 1. Perkembangan Jumlah BPR Merger Sejak paket kebijakan bidang perbankan digulirkan pada bulan Oktober 1988 atau yang dikenal dengan Pakto 88, jumlah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Metode penelitian merupakan cara penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Sugiyono (2010:2) mengemukakan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH Kondisi umum Provinsi Jawa Tengah ditinjau dari aspek pemerintahan, wilayah, kependudukan dan ketenagakerjaan antara lain sebagai berikut : A. Administrasi Pemerintah,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun 1 1 PENDAHULUAN Daya saing merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki dalam persaingan pasar bebas. Perkembangan daya saing nasional di tingkat internasional juga tidak terlepas dari perkembangan daya saing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tahun Budidaya Laut Tambak Kolam Mina Padi

I. PENDAHULUAN. Tahun Budidaya Laut Tambak Kolam Mina Padi 1 A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia memiliki lahan perikanan yang cukup besar. Hal ini merupakan potensi yang besar dalam pengembangan budidaya perikanan untuk mendukung upaya pengembangan perekonomian

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN (KAK) PELATIHAN DESAIN DAN DIVERSIFIKASI PRODUK IKM KERAJINAN BAMBU DI JAWA TENGAH

KERANGKA ACUAN KEGIATAN (KAK) PELATIHAN DESAIN DAN DIVERSIFIKASI PRODUK IKM KERAJINAN BAMBU DI JAWA TENGAH KERANGKA ACUAN KEGIATAN (KAK) PELATIHAN DESAIN DAN DIVERSIFIKASI PRODUK IKM KERAJINAN BAMBU DI JAWA TENGAH Melalui Kegiatan: PEMBINAAN LINGKUNGAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI DI WILAYAH IHT BIDANG IATEA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah, No.26/04/33/Th.XI, 17 April 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Jawa Tengah Tahun 2016 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2016 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah suatu proses dalam melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Proses pembangunan yang mencakup berbagai perubahan mendasarkan status sosial,

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Wilayah Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Wilayah Joglosemar terdiri dari kota Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Secara geografis ketiga

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1. Gambaran Umum Subyek penelitian Penelitian ini tentang pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksplanasi, karena dalam penelitian ini menggunakan dua variabel. Metode eksplanasi

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 NO KAB./KOTA L P JUMLAH 1 KABUPATEN REMBANG 820 530 1.350 2 KOTA MAGELANG 238 292 530 3 KABUPATEN WONOGIRI 2.861

Lebih terperinci

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH No Program Anggaran Sub Sasaran Lokasi 1. Program Rp. 1.000.000.000 Pelayanan dan Sosial Kesejahteraan Sosial Penyandang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zat-zat dalam Susu Nilai Kandungan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zat-zat dalam Susu Nilai Kandungan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pembangunan di Indonesia karena sektor pertanian mampu menyediakan lapangan kerja, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG. Bab 1 Pendahuluan 1-1

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG. Bab 1 Pendahuluan 1-1 Bab 1 Pendahuluan 1-1 1.1 TINJAUAN UMUM 1 BAB I PENDAHULUAN Sumber Daya Air merupakan salah satu unsur utama untuk kelangsungan hidup manusia, disamping itu air juga mempunyai arti penting dalam rangka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dekade 1970, pembangunan identik dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi lebih menitikberatkan pada kemampuan suatu negara untuk mengembangkan outputnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang senantiasa memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna mewujudkan cita-cita

Lebih terperinci