STRATEGI MANAJEMEN LAHAN PASCA-TAMBANG UNTUK PRAKTIK AGROFORESTRI DI PT.ARUTMIN INDONESIA KALIMANTAN SELATAN MUHAMMAD IMANULLAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STRATEGI MANAJEMEN LAHAN PASCA-TAMBANG UNTUK PRAKTIK AGROFORESTRI DI PT.ARUTMIN INDONESIA KALIMANTAN SELATAN MUHAMMAD IMANULLAH"

Transkripsi

1 STRATEGI MANAJEMEN LAHAN PASCA-TAMBANG UNTUK PRAKTIK AGROFORESTRI DI PT.ARUTMIN INDONESIA KALIMANTAN SELATAN MUHAMMAD IMANULLAH DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 ii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: STRATEGI MANAJEMEN LAHAN PASCA-TAMBANG UNTUK PRAKTIK AGROFORESTRI DI PT. ARUTMIN INDONESIA KALIMANTAN SELATAN adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka skripsi ini Bogor, Mei 2012 MUHAMMAD IMANULLAH A

3 Post-mining Landscape Evaluation For Agroforestry Practice in PT. Arutmin Indonesia South kalimantan (Muhammad Imanullah/A , mentored by Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS) Abstract Coal mining practice that carried out by PT. Arutmin Indonesia, Satui mine, especially Pit Antasena, has already entered the stage of mine closure. One of the company's responsibility is to restore the mined land, to its original state, or be able to be re-used by the community in that particular place. Agroforestry is a favored type of land use wich is supported by the stakeholders, in this case the community in the area, government, and PT. Arutmin Indonesia itself. Apart from providing community s economical benefits, agroforestry can also preserve the environment. Therefore, the strategy of sustainable management of post-mining landscape is needed to achieve this goal.the objective of research is to arrange the landscape management plan of post-mining landscapeaccording to landscape characteristic evaluation and suitability, designation for agroforestry practice. This research used Land evaluation method, according to FAO (1983), to have land suitability an agroforestri purpose. Morphoedaphic index method was used for assessing the productivity of waters, Socio-economic analyze method was used for discovering the extent to which the company s commitment regarding mine closure practice,and SWOT analyze method forplanning the scenario of landscape management strategies. Based on the research results, it s found the limiting factor of this land is lowly ph level. Company s commitment regarding mine closure practice is high. The landscape management strategies based on SWOT analyses are to define the practice zone; to handle PETI; to increase land ph level; to optimal the land restoration practice; to educate the community; to increase the environmental either in restoration practice supervision, or against the PETI.

4 RINGKASAN MUHAMMAD IMANULLAH. Strategi Manajemen Lahan Pasca-Tambang Untuk Praktik Agroforestri di PT. Arutmin Indonesia Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN. Penambangan batubara pada kawasan pertambangan yang dilakukan PT. Arutmin Indonesia, Tambang Satui, Khususnya Pit Antasena, berada pada tahap penutupan tambang. Salah satu bentuk tanggung jawab PT. Arutmin Indonesia terhadap kegiatan pertambangan ialah dengan melakukan kegiatan rehabilitasi lahan yang merupakan bagian dari kegiatan penutupan tambang. Kegiatan penutupan tambang merupakan produk akhir dari kegiatan pertambangan yang merupakan suatu penggunaan lahan yang bermanfaat bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) yang dalam hal ini adalah, masyarakat, pemerintah, serta perusahaan (PT. Arutmin Indonesia, 2005). Perusahaan menilai kawasan ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan praktik agroforestri yang selain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga dapat mengkonservasi lingkungan. Konsep agroforestri ini sangat cocok dengan visi PT Arutmin Indonesia yang berwawasan lingkungan dan berkomitmen terhadap pengembangan masyarakat (PT Arutmin Indonesia, 2005). Namun, praktik agroforestri ini tidak dapat serta merta diaplikasikan begitu saja pada lahan pascatambang. Lahan perlu dievaluasi terlebih dahulu, untuk mengetahui kesesuaian lahannya bagi praktik agroforestri. Kegiatan penelitian ini dilakukan di PT Arutmin Indonesia Tambang Satui, Pit Antasena yang terletak di Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Bumbu, Satui, Kalimantan Selatan. Kawasan ini memiliki luas areal 434,706 ha danterletak pada 03 o o LS dan 115 o o BT. Kegiatan penelitian lapang dilakukan selama empat bulan, dimulai pada Februari 2011 sampai dengan Mei Metode yang digunakan adalah, Metode evaluasi lahan yang digunakan mengacu pada FAO (1983). Dilanjutkan dengan menghitung nilai Morphoedaphic Index (MEI) untuk menilai produktifitas area danau bekas tambang. Analisis deskriptif mengenai aspek sosial-ekonomi nasyarakat digunakan untuk mengetahui informasi rona lanskap serta komitmen PT. Arutmin Indonesia dalam mempersiapkan lahan untuk tujuan agroforestri. lalu analisis Strength-Weakness- Opportunity-Threat (SWOT) untuk menentukan langkah-langkah manajemen yang sesuai dalam menyususn rencana management pasca-tambang berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan dan analisis sosial-ekonomi. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan didapatkan faktor pembatas berupa kadar ph yang rendah senilai 4.17, dan termasuk dalam kelas keseuaian lahan N1. Hal ini mengindikasikan bahwa tanah bersifat masam sehingga praktik agroforestri belum bisa dilaksanakan sebelum ph dinaikan sampai keadaan mendekati netral. Hasil perhitungan nilai MEI didapatkan pada danau ATS 1 sebesar 19,5 20,3, dan pada ATS 2 sebesar 14,8 15,7. Menurut Ryder et al, (1982) danau bekas tambang pada kawasan ini berpotensi untuk menjadi area perikanan karena nilai MEI danau tersebut masih dalam kisaran Berdasarkan analisis social-ekonomi didapatkan matapencaharian masyarakat sebagian besar sebagai petani dalam arti luas sebesar 49.8%. Komitmen perusahaan dinilai cukup tinggi. Berdasarkan analisis SWOT diperoleh strategi-

5 iv strategi pengelolaan lanskap pasca-tambang yang dapat dilakukan perusahaan seperti: pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengembangan praktik agroforestri, pembuatan batasan yang jelas pada kawasan praktik, Penentuan jenis praktik agroforestri yang sesuai dengan kondisi kawasan, program pembibitan tanaman hutan, sebagai salah satu kegiatan konservasi lingkungan, pemberian pelatihan terhadap masyarakat sebagai bekal untuk mengelola kawasan agroforestri, serta peningkatan kadar ph Kata Kunci: analisis kesesuaian lahan, analisis SWOT, morphoedaphic index, pengelolaan lanskap pasca-tambang

6 v Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluru karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 vi STRATEGI MANAJEMEN LAHAN PASCA-TAMBANG UNTUK PRAKTIK AGROFORESTRI DI PT.ARUTMIN INDONESIA KALIMANTAN SELATAN MUHAMMAD IMANULLAH Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

8 vii Judul Nama NRP Departemen : Strategi Manajemen Lahan Pasca-Tambang Untuk Praktik Agroforestri di PT. Arutmin Indonesia Kalimantan Selatan : Muhammad Imanullah : A : Arsitektur Lanskap Disetujui, Dosen pembimbing Prof. Dr. Ir. H. Hadi Susilo Arifin, M.S. NIP Diketahui, Ketua Departemen Arsitektur Lanskap Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP Tanggal Lulus :

9 viii KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah, dan kehendak-nya skripsi yang berjudul Strategi Manajemen Lahan Pasca-Tambang Untuk Praktik Agroforestri di PT. Arutmin Indonesia Kalimantan Selatan dapat dirampungkan. Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang telah dilakukan dan merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing, mengarahkan, serta memberikan masukannya kepada penulis. Selain itu, penulis juga mengucapakan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing, memotivasi, dan membantu penulis selama berkuliah di IPB, Ibu Vera Dian Damayanti, SP. MLA., selaku pembimbing akademik; Departemen Arsitektur Lanskap, kepada Ibu Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA, selaku ketua departemen, segenap dosen, dan karyawan; Pihak PT. Arutmin Indonesia Tambang Satui, khususnya departemen Safety, Health, and Environement, dengan segenap jajaran pimpinannya; dan seluruh pihak yang telah membantu akan terselesaikannya skripsi ini. Last but not least, terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Juhdi Syarif, dan Ibu Enizar Muaz selaku orang tua, juga kepada Dini Inaya, dan Abdul Haris yang kehadirannya selalu memberikan keceriaan, dan semangat bagi penulis. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi PT. Arutmin Indonesia Tambang Satui dan pihak yang memerlukannya. Kritik dan saran akan penulis terima dengan tangan terbuka. Bogor, Mei 2012 Penulis

10 RIWAYAT HIDUP Muhammad Imanullah dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Januari 1990 dari Ibunda Enizar Muaz dan Ayahanda Juhdi Syarif. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dengan kakak bernama Dini Inaya, dan adik bernama Abdul Haris. Penulis mengawali pendidikannya di Taman Kanak-kanak Said Naum pada tahun 1993 sampai dengan tahun Penulis memasuki jenjang Sekolah Dasar pada tahun 1995 sampai dengan 2001 di SDN Gondangdia 01 Pagi, menteng, Jakarta. Kemudian pada tahun 2004 penulis menyelesaikan studi di SLTPN 1 Cikini, dan pada tahun 2007 penulis lulus SMA Sekolah Indonesia Riyadh, Arab Saudi. Pada tahun 2007, penulis berhasil diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Selama menjalankan studi di IPB, penulis aktif diberbagai keorganisasian, seperti menjadi staff Badan Pengawas Himpunana Profesi Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (BPHIMPRO HIMASKAP) periode 2009/2010. Pada periode selanjutnya penulis diberikan amanat, dengan terpilih sebagai Ketua Himpunan (Kahim) Himaskap periode 2010/2011. Penulis juga aktif mengikuti beberapa lomba dan kompetisi baik di bidang akademik maupun di luar akademik seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2010 di bidang Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat, Sayembara Desain Babakan Siliwangi, Bandung 2011 sebagai peserta, dan mengikuti berbagai pelatihan dan seminar yang mendukung kegiatan akademis. Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Pengelolaan Lanskap.

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat Kerangka Pikir... 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Penambangan Batu Bara Lanskap Pasca-Tambang Batubara Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan Lanskap Agroforestri... 7 BAB 3 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Metode Evaluasi lahan Analisis Sosial-Ekonomi Strategi Manajemen Lanskap Pasca-Tambang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Rona Lanskap Topografi Tanah Iklim Hidrologi Vegetasi Satwa Kependudukan Tipe Pemanfaatan Lahan Peta Satuan Lahan... 33

12 xi 4.4 Hasil Kesesuaian Lahan Evaluasi Lahan Dengan Kerangka FAO Morphoedaphic Index Analisis Sosial-Ekonomi Analisis SWOT Identifikasi kekuatan, peluang, dan ancaman Penilaian faktor internal dan external Pembuatan matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan matriks External Factor Evaluation (EFE) Matriks SWOT Pembuatan Tabel Peringkat Alternatif Strategi Strategi Manajemen Lanskap Pasca-Tambang Bagi Peruntukan Agroforestri Pelibatan Masyarakat dalam Kegiatan Pengembangan Praktik Agroforestri Pembuatan Batas Kawasan Yang Jelas Penentuan Jenis Praktik Agroforestri Program Pembibitan Tanaman Hutan Pemberian Pelatihan Masyarakat Peningkatan Kadar ph BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 68

13 DAFTAR TABEL 1. Data Penelitian Terkait Kesesuaian untuk perikanan berdasarkan nilai TSS Formulir tingkat kepentingan faktor internal Formulir tingkat kepentingan faktor eksternal Formulir pembobotan faktor internal dan eksternal Skala penilaian peringkat untuk Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE) Formulir matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Formulir matriks External Factor Evaluation (EFE) Matriks SWOT Formulir perangkingan alternatif strategi dari matriks SWOT Rincian Luas Kawasan Pertambangan PT Arutmin Indonesia, Tambang Satui, Pit Antasena Kualitas air permukaan danau 1 dan Kadar zat terlarut pada kedalaman tertentu Vegetasi Area Tidak Diganggu Vegetasi Area Revegetasi Satwa di Pit Antasena Jumlah Penduduk Desa Salaman dan Riam Adungan Mata Pencaharian Penduduk Preferensi Pemangku Kepentingan Kualitas dan Karakteristik lahan Klasifikasi Kemiringan Lahan Untuk Pertanian Kelas Kesesuaian Lahan zona I Kelas kesesuaian lahan zona II Kelas kesesuaian lahan zona III Kelas kesesuaian lahan zona IV Hasil perhitungan nilai MEI dan TSS Tingkat kepentingan faktor internal Tingkat kepentingan faktor eksternal Penilaian bobot faktor strategis internal... 55

14 xiii 30. Penilaian bobot faktor strategis eksternal Matriks IFE Matriks EFE Matrix SWOT Tabel Ranking Alternatif Strategi Kebutuhan Kapur... 64

15 DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka Pikir Penelitian Peta orientasi daerah Satui, Kabupaten Tanah bumbu, Kalimantan Selatan Ilustrasi Pemetaan Unit Lahan Lokasi areal Tambang Satui Peta Kawasan Pit Antasena Peta TopografiAntasena Curah Hujan Rata-rata Bulanan ( ) Suhu udara rata-rata bulanan ( ) Kelembaban relatif rata- rata bulanan ( ) Danau ATS Danau ATS Area Tidak Diganggu Area revegetasi Peta Kemiringan Lahan Peta Satuan Lahan Peta kesesuaian tanaman karet Peta kesesuaian tanaman kelapa sawit Peta kesesuaian tanaman padi gogo Peta kesesuaian tanaman ubi kayu Peta kesesuaian tanaman tomat Peta kesesuaian tanaman buncis Peta kessuaian tanaman rumput gajah Peta kesesuaian perairan Matriks Internal-Eksternal (IE) Peta overlay kesesuaian Rencana Lanskap... 62

16 DAFTAR LAMPIRAN 1. Rekomendasi Pemerintah Daftar Pertanyaan Wawancara Masyarakat Kriteria kesesuaian lahan komoditas... 73

17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penambangan batubara sangat erat kaitannya dengan isu perusakan lingkungan. PT. Arutmin Indonesia menerapkan metode penambangan terbuka (open pit mining) dalam usahanya untuk mengekstrak batubara. Menurut Mulyanto (2008) metode ini menimbulkan dampak terhadap perubahan lanskap dan kondisi makhluk hidup yang terdapat di sekitar kawasan pertambangan. Perubahan lanskap ini meliputi perubahan topografi, pola hidrologi, kerusakan tubuh tanah, perubahan vegetasi penutup permukaan tanah, yang pada akhirnya merubah ekosistem tempat dilakukan penambangan terbuka. Berubahnya ekosistem ini menyebabkan kualitas lingkungan menurun, baik dari segi estetika maupun fungsinya. Salah satu upaya dalam memperbaiki kondisi lingkungan pada area pertambangan adalah dengan kegiatan reklamasi. Kegiatan reklamasi meliputi dua tahapan, pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya, dan mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya. Kegiatan pertambangan batubara yang dilakukan PT. Arutmin Indonesia, Pit Antasena, yang dijadikan wilayah studi, sudah selesai dan berada pada tahap reklamasi. Dalam mempersiapkan lahan untuk pemanfaatan kembali, PT. Arutmin Indonesia merencanakan kawasan untuk dikembangkan menjadi kawasan praktik agroforestri. Sejatinya, praktik agroforestri dari hulu hingga ke hilir dapat berbentuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang selain memiliki peran dalam produksi kebutuhan sandang, papan dan pangan (ekonomi), juga secara ekologis dikelola untuk bisa berperan dalam jasa ekosistem yang meliputi konservasi keragaman jenis hayati, manajemen sumber daya air, penurunan karbon di udara, serta menjaga keindahan lanskap (Arifin et al., 2009). Konsep agroforestri ini sangat cocok dengan visi PT Arutmin Indonesia yang berwawasan lingkungan dan berkomitmen terhadap pengembangan masyarakat. Tentu saja keberhasilan dari rencana ini tidak lepas dari keterlibatan para pemangku kepentingan

18 2 (stakeholders) yaitu, tidak hanya perusahaan, tetapi juga masyarakat sekitar dan pemerintah. Lahan pasca-tambang perlu dievaluasi terlebih dahulu untuk mengetahui kesesuaian lahannya bagi praktik agroforestri. Evaluasi lahan adalah penilaian terhadap rona lanskap untuk tujuan tertentu (FAO, 1983). Evaluasi ini dilakukan dengan melakukan penilaian kesesuaian lahan pasca-tambang dengan tujuan pengaplikasian praktik agrofoerstri. Hasil evaluasi lahan ini kemudian dianalisis menggunakan analisis SWOT yang dielaborasi dengan analisis sosial-ekonomi, untuk mendapatkan strategi pengelolaan yang berkelanjutan. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah menyusun strategi pengelolaan lanskap pascatambang berdasarkan evaluasi karakteristik lanskap dan kesesuaiannya, bagi peruntukan praktik agroforestri. 1.3 Manfaat Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pihak perusahaan mengenai kegiatan pengelolaan lanskap yang berkelanjutan di area pasca-tambang. 1.4 Kerangka Pikir Strategi pengelolaan lanskap dinilai perlu sebagai usaha untuk mengembangkan kegiatan praktik agroforestri di lahan reklamasi. Kawasan tambang dinyatakan ditutup ketika kandungan batubara pada sebuah kawasan dinilai habis atau tidak dapat memberikan keuntungan ekonomi lagi dari kegiatan pertambangannya. Kawasan inilah yang disebut kawasan pasca-tambang yang kemudian direklamasi. Kawasan reklamasi dipengaruhi oleh aspek ekologi, sosial budaya, dan ekonomi. Dari ketiga aspek ini kemudian akan dievaluasi kesesuaiannya sesuai dengan usulan tipe penggunaan lahan (promotted utilization type) sebagai praktik agroforestri. Evaluasi kesesuaian lahan dan Analisis sosialekonomi dilakukan untuk mendapatkan kelas kesesuaian lahan bagi komoditas agroforestri, dan kondisi rona lanskap dari kawasan penelitian. Analisis SWOT digunakan untuk merumuskan strategi manajemen pasca-tambang untuk praktik agroforestri (Gambar 1).

19 3 Kegiatan Penambangan Batubara Reklamasi Kawasan Pasca-tambang Aspek Ekologi: - Karakteristik lahan - Tingkat degradasi Aspek Sosial dan Budaya: - Demografi - Pengetahuan masyarakat - Preferensi sosial Aspek Ekonomi - Komitmen owner Promotted Land Utilization Types (agroforestry) Evaluasi Lahan Analisis Sosial Ekonomi Kelas Kesesuaian Lahan (FAO, 1983) Kesesuaian Lahan untuk Agroforestri Informasi Rona Lanskap Analisis SWOT Strategi Manajemen Lanskap Pasca-tambang Untuk Agroforestri Berupa: kebijakan dan rencana lanskap Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batu Bara Kegiatan penambangan merupakan proses ekstraksi bahan mineral yang bernilai ekonomis dari lapisan bumi demi memenuhi kebutuhan manusia (Gregory, 1983 disitasi oleh Burley, 2001). Proses penambangan merupakan salah satu mata rantai dari kegiatan penambangan yang berfungsi untuk menyediakan bahan baku. Agar penyediaan bahan baku tersebut dapat terjamin maka kegiatan penambangan harus ditangani secara baik dan sistematis. Bapedal (2001) mengemukakan bahwa kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut: 1. eksplorasi 2. pembangunan infrastruktur, jalan akses dan sumber energi 3. pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman 4. ekstraksi dan pembuangan limbah batuan 5. pengolahan bijih dan operasional 6. penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya Menurut Arnold (2001) klasifikasi letak deposit mineral batubara dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama, letak deposit batubara jauh dibawah permukaan tanah, sehingga cara penambangannya biasa dikenal dengan subsurface mining atau deep mining, atau biasa disebut pertambangan dalam. Kedua, letak deposit mineral batubara yang tidak jauh dari permukaan tanah antara 5 s/d 25 meter dibawah permukaan tanah. Untuk mendapatkan mineral ini biasa didikenal dengan pertambangan permukaan (surface mining). Sistem penambangan batubara di Indonesia kshususnya di Pulau Kalimantan tidak dilakukan dengan cara deep mining, melainkan surface mining. Kegiatan penambangan batubara dengan metode ini meliputi: 1. pembukaan lahan 2. pengupasan dan penimbunan tanah tertutup 3. pengambilan dan pengangkatan batubara serta pengecilan ukuran tanpa proses pencucian batubara (Setyawan, 2004 disitasi oleh Feriansyah, 2009)

21 5 2.2 Lanskap Pasca-Tambang Batubara Kondisi lanskap pasca-tambang batubara selalu terkait dengan bagaimana cara mineral tersebut ditambang, hal tersebut tergantung letak deposit batubara yang tersedia dari permukaan tanah. Pengeksploitasian deposit mineral batubara yang dilakukan PT. Arutmin Indonesia ialah penambangan secara terbuka (open pit mining). Kegiatan ini dapat mengakibatkan gangguan seperti berikut: 1. menimbulkan lubang besar pada tanah 2. penurunan muka tanah atau bentuk cadangan pada sisa bahan galian yang dikembalikan ke dalam lubang galian. 3. penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutupi kembali atau yang ditelantarkan. Penambangan yang dibiarkan terlantar akan mengakibatkan permasalahan. 4. bahan galian tambang apabila ditumpuk atau disimpan dapat mengakibatkan bahaya longsor, dan senyawa beracun dapat tercuci ke daerah hilir. 5. mengganggu proses penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutup kembali atau yang ditelantarkan terutama bila terdapat bahan beracun, kurang bahan organikk/humus atau unsur hara telah tercuci. 2.3 Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan Pengelolaan lanskap merupakan upaya dalam penataan, pemanfaatan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, dan pengembangan lingkungan hidup suatu kawasan. Urgensi kegiatan pengelolaan lanskap adalah untuk menjaga keadaan suatu lanskap beserta infrastruktur yang ada di dalamnya, agar tetap sesuai dengan yang direncanakan. Pengelolaan berlangsung dengan membuat program pengelolaan yang terstruktur dan terorganisasi. Program yang terstruktur dan terorganisasi bertujuan agar lanskap tersusun secara sistematis dan mudah dikelola. Program perencanaan perlu mempertimbangkan aspek fisik, sosial, budaya, ekologi, dan ekonomi. Program pengelolaan biasa disebut dengan rencana pengelolaan (management plan).

22 6 Manajemen suatu tapak mempunyai beberapa prinsip yang harus dimiliki pengelola. Sternloff dan Warren (1984) mengemukakan bahwa ada dua belas prinsip sebagai petunjuk dasar untuk mewujudkan program pengelolaan. Yaitu: a. menetapkan tujuan dan standar pemeliharaan b. pemeliharaan harus berdasarkan penggunaan waktu, tenaga, alat, dan bahan secara ekonomis c. pelaksanaan pemeliharaan berdasarkan perencanaan pemeliharaan tertulis d. jadwal pekerja pemeliharaan harus berdasarkan pada pertimbangan prioritas dan kebijakan e. seluruh bagian pemeliharaan hendaknya menekankan pada pemeliharaan pencegahan (preventive maintenance) f. divisi pemeliharaan harus dikelola dengan baik g. adanya sumberdaya dana yang cukup untuk mendukung program pemeliharaan h. adanya sumberdaya tenaga kerja yang cukup untuk melaksanakan fungsi pemeliharaan i. adanya tanggung jawab terhadap keamanan pegawai serta masyarakat j. program pengelolaan harus dirancang untuk memelihara lingkungan alami k. pemeliharaan harus menjadi pertimbangan utama dalam perancangan dan pembangunan taman dan fasilitasnya l. pegawai bagian pemeliharaan bertanggung jawab bagi pencitraan masyarakat terhadap dinas pertamanan Dalam hubungannya dengan pertambangan, kegiatan pengelolaan lanskap ini memiliki fungsi penting dalam mengembalikan kondisi lahan pasca-tambang. Kegiatan pasca-tambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan (UU RI No 4 Tahun 2009).

23 7 2.4 Lanskap Agroforestri Lanskap agroforestri (agroforestry landscape) merupakan objek bentang alam yang dalam penggunaannya dimanfaatkan untuk kegiatan yang berpola agroforestri (Arifin et al., 2009). Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (subyek). Dengan demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada masalah teknik dan biofisik saja tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang selalu berubah dari waktu ke waktu, sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis. Pengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek sesuai dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian agroforestri yang paling umum, tetapi juga sekaligus yang paling mendasar adalah ditinjau dari komponen yang menyusunnya. Pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan secara lebih mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau para pemilik lahan. Komponen penyusun utama agroforestri adalah komponen kehutanan, pertanian, dan/atau peternakan. Menurut Sardjono et al., (2003) Ditinjau dari komponen penyusunnya, agroforestri dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Agrosilvikultur Agrosilvikultur adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/ woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree crops/ perenial) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops). Dalam agrosilvikultur, ditanam pohon serbaguna atau pohon dalam rangka fungsi lindung pada lahan. b. Silvopastura Sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture) disebut sebagai sistem silvopastura. Beberapa contoh silvopastura, antara lain: Pohon atau perdu pada padang penggembalaan (Trees and shrubs on pastures), atau produksi terpadu antara ternak dan produk kayu (integrated production of animals

24 8 and wood products). Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai pada ruang dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak di bawah tegakan pinus). Meskipun demikian, banyak pegiat agroforestri tetap mengelompokkannya dalam silvopastura, karena interaksi aspek konservasi dan ekonomi bersifat nyata dan terdapat komponen berkayu pada manajemen lahan yang sama. c. Agrosilvopastura Agrosilvopastura adalah pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit manajemen lahan yang sama. Tegakan hutan alam bukan merupakan sistem agrosilvopastura, walaupun ketiga komponen pendukungnya juga bisa dijumpai dalam ekosistem dimaksud. Pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya komponen berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan bahwa kombinasi dimaksud juga didukung oleh permudaan alam dan satwa liar. Interaksi komponen agroforestri secara alami ini mudah diidentifikasi. Interaksi paling sederhana sebagai contoh, adalah peranan tegakan bagi penyediaan pakan satwa liar, dan sebaliknya fungsi satwa liar bagi proses penyerbukan atau regenerasi tegakan, serta sumber protein hewani bagi petani pemilik lahan.

25 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan di PT Arutmin Indonesia Tambang Satui. Secara georafis, lokasi tambang ini terletak di Kecamatan Satui Provinsi Kalimantan Selatan (Gambar 2). Secara astronomis areal kawasan Tambang Satui terletak pada 03 o o LS dan 115 o o BT. Kegiatan penelitian lapang dilakukan selama empat bulan, dimulai pada Februari 2011 sampai dengan Mei Sumber: (2011) Gambar 2. Peta orientasi daerah Satui, Kabupaten Tanah bumbu, Kalimantan Selatan 3.2 Alat dan Bahan Alat yang dibutuhkan pada saat pengambilan data yaitu kamera digital, Relevee sheet, dan kuisioner wawancara. Pengolahan data atau gambar secara komputerisasi, menggunakan software Auto Cad, Arc View GIS 3.3, Sketch Up, serta Adobe Photoshop. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data aspek ekologis, sosial budaya, dan ekonomi, referensi berupa laporan terdahulu yang terdapat di tempat penelitian, serta dokumen perusahaan yang bersifat menunjang kegiatan penelitian seperti, dokumen AMDAL, dan laporan

26 10 pemantauan lingkungan. Data yang digunakan pada penelitian ini sebagian besar sudah disediakan oleh perusahaan. 3.3 Metode Penelitian dilakukan untuk memperoleh hasil berupa strategi manajemen lahan pasca-tambang berdasarkan evaluasi karakteristik lahan kawasan, untuk pemanfaatan kegiatan agroforestri. Proses Penelitian yang dilakukan meliputi evaluasi lahan, analisis sosial-ekonomi, sampai penyusunan strategi manajemen pasca-tambang Evaluasi lahan Metode evaluasi lahan yang digunakan mengacu pada FAO (1983). Metode ini digunakan untuk memilih tata guna lahan yang optimal bagi satuan lahan yang telah ditentukan, dengan mempertimbangkan aspek fisik dan sosialekonomi, juga juga aspek lingkungan atau bio-fisik dari suatu lahan (FAO, 1983). Kegiatan evaluasi lahan terdiri atas dua hal penting yaitu, penjelasan atas tata guna lahan terkait atau tipe pemanfaatan lahan (land utilization type), dan penilaian atas syarat-syarat tata guna lahan tersebut. Tahapan dari evaluasi ini meliputi, peninjauan rona lanskap, penentuan tipe pemanfaatan lahan, pemetaan unit lahan (land unit mapping), pengklasifikasian kelas kesesuaian (class suitability) Penentuan Tipe Pemanfaatan Lahan Tipe pemanfaatan lahan (land utilization type) merupakan penjelasan secara rinci atas tata guna lahan, berdasarkan spesifikasi teknis dari keadaan aspek fisik, dan sosial ekonomi, seperti komponen penyusun yang digunakan, dan interaksinya dengan masyarakat (FAO, 1983). Pada skala tertentu jenis tanaman dapat dianggap sebagai tipe pemanfaatan lahan dengan menyediakan pernyataan kepentingan akan keadaan ekonomi-sosial pada kawasan tersebut. Tipe pemanfaatan lahan harus ditentukan diawal kegiatan evaluasi dikarenakan penilaian syarat tata guna lahan mengacu pada hal tersebut Peninjauan Rona Lanskap Kondisi rona lanskap meliputi kondisi umum, dan biofisik kawasan (Tabel 1). Peninjauan kondisi rona lanskap menggunakan formulir survei Relevee Sheet.

27 11 Kata Relevee, berasal dari bahasa perancis yang dapat diartikan sebagai daftar, pernyataan atau rekapitulasi. Dalam penggunaanya, relevee sheet terdiri atas daftar tanaman beserta informasi kondisi lingkungan yang mendukungnya (Minnesota Department of Natural Resources, 2007). Oleh karena itu, dengan formulir survei ini, akan didapatkan data fisik dan biofisik dari kawasan tersebut. Selain itu, studi literatur juga dilakukan dengan menggunakan dokumen AMDAL tahun 2009 yang dibuat pihak perusahaan setelah penambangan pada kawasan ini selesai. Data juga didapatkan dari hasil penilitian baik mahasiswa maupun pihak professional yang pernah melakukan penelitian pada kawasan pertambangan PT Arutmin Indonesia. Tabel 1. Data Penelitian Terkait No. Jenis Data Indikator Pengamatan 1 Kondisi Umum Letak dan batas wilayah 2 Kondisi biofisik dan fisik Unit Sumber Analisis Kegunaan Rona Lanskap (ekologi) koordinat Pihak pengelola Deskriptif Mengetahui kesesuaian lahan Luas area ha Pihak pengelola Vegetasi spesies Observasi/ Pihak pengelola Satwa spesies Observasi/ Pihak pengelola Topografi - Observasi/ Pihak pengelola Curah hujan mm/ bulan Pihak pengelola Temperatur 0 C Pihak pengelola Kelembaban % RH Pihak pengelola relatif Tanah - Observasi/ Pihak Hidrologi 3 Demografi Jumlah pemukim, Pekerjaan 4 Preferensi sosial 5 Mata pencaharian penduduk Presepsi dari masyarakat, pemerintah, dan perusahaan Jenis mata pencaharian penduduk Kualitas air pengelola Observasi/ Pihak pengelola Evaluasi kesesuaian lahan Morphoedaphic index Aspek Sosial-budaya orang Wawancara/ Analisis Observasi Pihak deskriptif pengelola - Wawancara/ Analisis Observasi pihak deskriptif pengelola Aspek Ekonomi - Wawancara Pihak pengelola Analisis deskriptif Mengetahui kesesuaian lahan Mengetahui komitmen perusahaan Mengetahui komitmen perusahaan Mengetahui komitmen perusahaan

28 Pemetaan Satuan Lahan Menurut FAO (1983) satuan lahan (land unit) adalah area atau lahan yang memliki karakteristik dan kualitas lahan spesifik yang biasa disajikan dengan pemetaan, yang digunakan sebagai dasar dari evaluasi lahan (Gambar 3). Karakteristik lahan (land characteristic) mencakup faktor-faktor lahan yang dapat diukur atau ditaksir besarnya seperti lereng, curah hujan, tekstur tanah, air tersedia dan sebagainya. Sedangkan, Kualitas lahan (land quality) adalah sifat-sifat lahan yang tidak dapat diukur langsung karena merupakan interaksi dari beberapa karakterisitik lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) Gambar 3. Ilustrasi Pemetaan Unit Lahan Dalam memetakan satuan lahan ini, masing-masing dari tiap kelompok lahan memiliki karakteristik serta kualitas lahan yang seragam. Pengelompokan haruslah sesuai untuk penggunaan lahan yang ditentukan. Unit lahan yang sudah ditentukan, pada akhir survei, akan ditinjau ulang dan dicocokan dengan tipe penggunaan lahan (kesesuaian lahan). Dengan peninjauan ulang ini akan didapatkan hasil yang lebih akurat Pengklasifikasian Kesesuain a. Pengklasifikasian Kelas Kesesuaian Lahan Pengklasifikasian kelas kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan keseuaiannya atau kemampuannya untuk tujuan penggunaan tertentu. Metode yang digunakan masih mengacu pada kerangka klasifikasi menurut FAO (1983). Secara ringkas, metode FAO membagi kesesuain lahan dengan menyesuaikan kualitas lahan yang telah dievaluasi dengan komoditas (tipe

29 13 pemanfaatan lahan), dengan membaginya berdasarkan kelas kelas. Adapun pembagian kelas tersebut secara kualitatif, sebagai berikut: 1. Kelas S1: Sangat sesuai. Lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikan masukan yang telah biasa diberikan 2. Kelas S2: Cukup sesuai. Lahan memiliki pembatas yang cukup besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau kuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan 3. Kelas S3: Kurang sesuai. Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus ditetapkan.pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan. 4. Kelas N1: tidak sesuai pada saat ini. Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diatasi dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. 5. Kelas N2: Tidak sesuai untuk selamanya. Lahan mmpunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan pengunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Dengan melakukan analisis kesesuaian lahan, maka didapatkan kelas kesesuaian lahannya. Kelas kesesuaian lahan menunjukan keadaan lahan pada saat ini yang belum mempertimbangkan usaha perbaikan dan pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi faktor faktor pembatas yang ada. b. Morphoedaphic Index (MEI) Metode ini merupakan salah satu metode yang efisien untuk menilai produktivitas perairan. Dengan melihat produktifitas perairan, maka kita dapat mengasumsikan apakah perairan ini cocok atau tidak untuk perikanan (Santoso, 2008). MEI didapatkan dengan menghitung ratio antara padatan terlarut total (Total Dissolved Solid/ TDS) dengan nilai tengah dari kedalaman perairan.

30 14 Semakin tinggi nilai MEI maka perairan akan semakin berkurang tingkat produktivitasnya. Keterangan: MEI Total Dissolved Solids Mean depth : Nilai Morphoedaphic Indeks : Padatan terlarut total : Rata-rata kedalaman Kemudian dari nilai padatan tersuspensi total (Total Suspended solid/ TSS) dapat diklasifikasikan sebuah perairan atau danau baik atau tidaknya untuk kegiatan perikanan. Tabel kesesuaian untuk perikanan berdasarkan nilai TSS dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kesesuaian untuk perikanan berdasarkan nilai TSS Nilai TSS (mg/l) Pengaruh Terhadap Kepentingan Perikanan < 25 Tidak berpengaruh Sedikit berpengaruh Kurang baik > 400 Tidak baik Sumber: Alabaster dan Lloyd, 1982 disitasi Santoso, Analisis Sosial-Ekonomi Analisis sosial-ekonomi digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana komitmen PT. Arutmin Indonesia dalam mempersiapkan lahan untuk penggunaan lahan selanjutnya. Peninjauan kondisi sosial-budaya dan ekonomi menggunakan wawancara dengan kuisioner (Lampiran 2) yang dilakukan terhadap Key Person dari kalangan masyarakat maupun perusahaan. Hal ini perlu dilakukan mengingat penggunaan lahan merupakan tanggung jawab bersama Strategi Manajemen Lanskap Pasca-Tambang Pada tahap ini kelas kesesuaian lahan yang didapatkan akan ditentukan strategi pengelolaannya agar tipe penggunaan lahan bisa sesuai dengan lahannya, berdasarkan data yang sudah diinventarisasi dan dianalisis. Tahap pertama dari pengevaluasian ini ialah dengan mensitesis data yang sudah dianalisis dengan menggunakan metode SWOT. Setelah data disintesis, maka akan didapatkan strategi yang dibutuhkan oleh pengelola. Strategi ini kemudian digunakan sebagai acuan dalam mengevaluasi lahan pasca-tambang, yang kemudian dikembangkan,

31 15 sehingga tercipta suatu rencana pengelolaan lanskap pasca-tambang yang sesuai dan berkelanjutan Metode SWOT Menurut Rangkuti (2009) Metode Swot digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi. Metode ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths), dan peluang (Opputunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness). dan ancaman (Threats). Proses perumusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, dan kebijakan perusahaan. Dari metode SWOT ini akan dihasilkan matriks SWOT. Matriks SWOT merupakan suatu alat yang digunakan untuk menghasilkan empat golongan alternatif strategi yang dapat menghasilkan 4 strategi kemungkinan alternative berdasarkan aspek S (strengths), W (weakness), O (oppoturnities), dan T (threats). Keempat strategi itu antara lain: SO, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya ST, yaitu strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman WO, yaitu strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan yang ada WT, yaitu strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT adalah sebagai berikut: a. Analisis Penilaian Faktor Internal dan Faktor Eksternal Penilaian faktor internal (IFE) adalah untuk mengetahui sejauh mana kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dengan cara mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan serta memberikan dasar untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi hubungan antara area-area tersebut. Sedangkan penilaian faktor eksternal (EFE) adalah untuk mengetahui sejauh mana ancaman dan peluang

32 16 yang dimiliki dengan cara mendaftarkan ancaman dan peluang (David, 2008 yang disitasi Rangkuti, 2009). Identifikasi berbagai faktor tersebut secara sistematis digunakan untuk merumuskan strategi untuk manajemen Kawasan. b. Penentuan Bobot Setiap Variable Sebelum melakukan pembobotan faktor internal maupun eksternal, terlebih dahulu ditentukan tingkat kepentingannya. Setiap faktor internal dan eksternal diberi nilai berdasarkan tingkat kepentingannya (Tabel 3 dan 4). Tabel 3. Formulir tingkat kepentingan faktor internal Simbol Faktor kekuatan (strength) Tingkat kepentingan S1 S2 S3 Sn Simbol Faktor kelemahan (weakness) Tingkat kepentingan W1 W2 W3 Wn Sumber: Rangkuti, 2009 Tabel 4. Formulir tingkat kepentingan faktor eksternal Simbol Faktor peluang (oportunity) Tingkat kepentingan O1 O2 O3 On Simbol Faktor ancaman (threat) Tingkat kepentingan T1 T2 T3 Tn Sumber: Rangkuti, 2009 Penentuan bobot dilakukan dengan cara mengajukan identifikasi faktor strategis internal dan eksternal kepada pihak pengelola. Metode tersebut digunakan untuk memberikan penilaian terhadap bobot setiap faktor penentu internal dan eksternal (Tabel 5).

33 17 Tabel 5. Formulir pembobotan faktor internal dan eksternal Faktor strategis internal/ external A B C D E Total A B C D E Total Sumber: Rangkuti, 2009 Menurut David (2008) yang disitasi Rangkuti (2009), penentuan bobot setiap variabel menggunakan skala 1, 2, 3, dan 4. Variabel diberi bobot 1 jika indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator faktor vertikal. Variabel diberi bobot 2 jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor vertical. Variabel diberi bobot 3 jika indikator faktor horizontal lebih penting daripada indikator faktor vertical. Bobot 4 diberikan pada variabel jika indikator faktor horizontal sangat penting daripada indikator faktor internal. Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus: Keterangan: ai = bobot variable ke-i xi = nilai variable ke-i i = 1,2,3,,n n = jumlah variabel c. Penentuan Peringkat (rating) Penentuan tiap variabel terhadap kondisi objek diukur dengan menggunakan nilai peringkat berskala 1-4 terhadap masing-masing faktor strategis yang dimiliki Kawasan. Nilai dari pembobotan dikalikan dengan peringkat pada setiap faktor dan semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara vertikal untuk memperoleh total skor pembobotan (Tabel 6). Total skor pembobotan berkisar antara 1-4 dengan rata-rata 2,5. Jika total skor pembobotan IFE di bawah 2,5 maka dapat dinyatakan bahwa kondisi internal lemah, sedangkan jika berada di atas 2,5 maka dinyatakan kondisi internal kuat, Demikian juga total pembobotan EFE, jika dibawah 2,5 menyatakan bahwa

34 18 kondisi eksternal lemah dan jika di atas 2,5 menyatakan bahwa kondisi eksternal kuat (Tabel 7 dan Tabel 8). d. Penyusunan Alternatif Strategi Alat yang digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan adalah matriks SWOT (Tabel 9). Hubungan antara kekuatan dan kelemahan dengan peluang dan ancaman digambarkan dalam matriks tersebut. Matriks ini menghasilkan beberapa alternatif strategi sehingga kekuatan dan peluang dapat ditingkatkan serta kelemahan dan ancaman dapat diatasi. Tabel 6. Skala penilaian peringkat untuk Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE) Nilai Matriks IFE Matriks EFE Peringkat Strength (S) Weakness (W) Opportunity (O) Threat (T) Kekuatan Kelemahan Peluang rendah, Ancaman 1 sangat kecil sangat berarti respon kurang sangat besar Kekuatan Kelemahan yang Peluang rendah 2 Ancaman besar sedang berarti respon rata-rata Peluang tinggi, Kekuatan Kelemahan yang Ancaman 3 respon di atas besar kurang berarti sedang rata-rata 4 Sumber: Rangkuti, 2009 Kekuatan sangat besar Kelemahan yang tidak berarti peluang sangat tinggi, respon di atas rata-rata Ancaman sedikit Tabel 7. Formulir matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Faktor strategis internal Bobot Rating Skor (Bobot x Rating) Kekuatan 1. Kelemahan 1. Total Sumber: Rangkuti, 2009 Tabel 8. Formulir matriks External Factor Evaluation (EFE) Faktor strategis External Bobot Rating Skor (Bobot x Rating) Peluang 1. Ancaman 1. Total Sumber: Rangkuti, 2009

35 19 e. Pembuatan Tabel Rangking Alternatif Strategi Penentuan prioritas dari strategi yang dihasilkan dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Jumlah dari skor pembobotan akan menetukan rangking prioritas strategi (Tabel 10). Jumlah skor ini diperoleh dari penjumlahan semua skor di setiap faktor-faktor strategis yang terkait. Rangking akan ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar sampai terkecil dari semua strategi yang ada. Perangkingan ini dilakukan secara subjektif dimana strategi akan berupa usaha memaksimumkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) serta meminimumkan ancaman (threats) dan kelemahan (weaknesses). Tabel 9. Matriks SWOT Eksternal Oppotunities Threats Internal Strengths Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil kesempatan yang ada Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mentgatasi ancaman yang dihadapi Weakness Mendapatkan keuntungan dari kesempatan yang ada untuk mengatasi kelemahankelemahan Sumber: Rangkuti, 2009 Meminimumkan kelemahan dan menghindari ancaman yang ada Tabel 10. Formulir perangkingan alternatif strategi dari matriks SWOT Alternatif strategi Keterkaitan dengan unsur SWOT Nilai Rangking SO1 SO2 SOn WO1 WO2 WOn ST1 ST2 STn WT1 WT2 WTn Sumber: Rangkuti, 2009

36 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rona Lanskap Kawasan Tambang ini secara administratif terletak pada Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu dan Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut. Kawasan Tambang Satui PT. Arutmin Indonesia dapat ditempuh melalui jalan provinsi dengan jarak 165 km dari Ibu Kota Kalimantan Selatan Banjarmasin ke arah tenggara (Gambar 4). Kawasan Penilitian difokuskan pada Pit Antasena yang terletak di Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Bumbu. Kawasan ini memiliki luas areal 434,706 ha (Tabel 11). Pit antasena selesai ditambang pada tahun 2009, dan sampai sekarang kegiatan reklamasi pada kawasan ini masih terus dilakukan (Gambar 5). Hal ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab serta kewajiban PT Arutmin Indonesia terhadap lingkungan. Tabel 11. Rincian Luas Kawasan Pertambangan PT Arutmin Indonesia, Tambang Satui, Pit Antasena 2009 No. Kawasan Luas (Ha) Persentase (%) 1 Areal Penimbunan Tanah Pucuk 5,38 1,24 2 Areal Tambang Aktif 64,37 14,81 3 Areal Telah Ditanami 162,15 37,30 4 Areal Telah Ditata Kembali 68,74 15,81 5 Areal Telah Ditebar Tanah Pucuk 55,01 12,66 6 Areal Tidak Diganggu 12,72 2,93 7 Areal Timbunan Batuan Penutup di Dalam Tambang 57,68 13,27 8 Jalan Angkut 4,49 1,03 9 Kolam Pengendapan 4,13 0,95 Total 434,70 100,00 Sumber: PT Arutmin, 2011

37 21 21 Pit Antasena Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009 Gambar 4. Lokasi areal Tambang Satui

38 22 Sumber: Dokumen PT. Arutmin Indonesia, 2009 Gambar 5. Peta Kawasan Pit Antasena Topografi Keadaan permukaan kawasan pasca-tambang Pit Antasena relatif bergelombang (undulating). Hal ini disebabkan oleh adanya timbunan bahan galian dari proses penambangan. Secara umum topografi area reklamasi didesain sesuai dengan standar operasional (SOP) untuk pelaksanaan reklamasi yaitu sampai kemiringan lereng secara umum maksimal 25% pada daerah timbunan (dumping area) yang berlereng melalui kegiatan cut and fill. Sedangkan untuk daerah yang relatif datar akan dibiarkan seperti itu sehingga membentuk topografi akhir tambang ketika tambang akan ditutup. Titik tertinggi Pit Antasena terletak pada ketinggian 67 meter dari permukaan laut (m dpl), dan titik terendahnya berada pada -93 m dpl yang berada di dasar danau tambang. (Gambar 6) Tanah Pada kawasan penelitian Tanah Ultisol (podsolik) merupakan jenis tanah dengan areal yang terluas. Ultisol merupakan tanah yang berkembang lanjut. Tanah ini bersifat masam dengan kandungan basa pencucian yang ekstensif. Tanah di wilayah penelitian memliki tekstur lempung liat berpasir dengan persentase pasir sebesar 52%, debu 4%, dan liat 44%. Dengan tekstur seperti ini, tanah memiliki perkembangan struktur yang kuat.

39 23 23 Gambar 6. Peta TopografiAntasena Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

40 24 Beradasarkan uji laborotorium sample tanah (AMDAL, 2009), didapatkan kadar kemasaman tanah di wilayah penelitian cukup masam, dengan ph Sifat kimia tanah di lokasi studi dapat dikarakteristikan dengan kandungan kapasitas tukar kation (KTK) sebesar (me/100 g), C-organik sebesar 1.56% kandungan nitrogen sebesar 0.19%, dan kandungan P 2 O 5 sebesar 9.37 mg/ 100 gram tanah. Kandungan Ca-tukar sebesar 3.06 me/ 100 gram tanah, dan kandungan Mg-tukar sebesar 0.77 me/ 100 gram tanah. Kandungan K-tukar sebesar 0.19 me/100 gram tanah, kandungan alumunium pada tanah sebesar 6.17 %, dan kandungan Fe tanah sebesar ppm Iklim Berdasarkan data curah hujan tahun (Gambar 7) curah hujan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Juni dengan nilai 400 mm. Nilai curah hujan terendah sebesar 150 mm terjadi pada bulan September dengan bulan kering (<60mm) sebanyak 1 2 bulan. Suhu udara di kawasan memiliki fluktuasi yang tidak terlalu signifikan. Suhu tertinggi terjadi pada bulan September sebesar 27.7 o C, dan suhu terendah terjadi pada bulan Januari sebesar 26.6 o C (Gambar 8). Kelembaban relatif udara rata-rata bulanan berkisar antara 74 % 85 % (Gambar 9) Curah Hujan (mm) JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2011 Gambar 7. Curah Hujan Rata-rata Bulanan ( )

41 Suhu Udara ( o C) JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009 Gambar 8. Suhu udara rata-rata bulanan ( ) Kelembaban Relatif (%) JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009 Gambar 9. Kelembaban relatif rata- rata bulanan ( ) Hidrologi Kegiatan pertambangan pada Pit Antasena yang sudah berlangsung menghasilkan dua lubang bukaan tambang (void). Danau ini terbentuk dari tampungan air hujan, dan aliran permukaan. Void diberi nama Danau ATS 1, dan Danau ATS 2 (Gambar 10 dan Gambar 11). Kualitas air permukaan danau ini disampaikan pada Tabel 12 dan Tabel 13.

42 26 Sumber: Pengamatan, 2011 Gambar 10. Danau ATS 1 Sumber: Pengamatan, 2011 Gambar 11. Danau ATS 2 Tabel 12. Kualitas air permukaan danau 1 dan 2 No. Parameter ATS 1 ATS 2 Satuan 1 ph Residu tersuspensi (TSS) mg/l 3 Residu terlarut (TDS) mg/l 4 Fe mg/l 5 Mn mg/l 6 Cd mg/l 7 Zn mg/l 8 Sulfat mg/l 9 Pb mg/l Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2011 Tabel 13. Kadar zat terlarut pada kedalaman tertentu Kedalaman (m) ATS 1 TSS (mg/l) TDS (mg/l) Kedalaman (m) ATS 2 TSS (mg/l) TDS (mg/l) Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2011

43 Vegetasi Berdasarkan AMDAL (2009), vegetasi pada kawasan penelitian dapat dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan area tumbuhnya yaitu, area tidak terganggu (undisturbed area) dan area revegetasi. Vegetasi pada area tidak terganggu terdiri atas tanaman hutan sekunder, alang-alang serta semak (Tabel 14). Pada kawasan ini ditemukan tanaman Ulin (Eusideroxylon zwageri) yang merupakan tanaman khas daerah Kalimantan, yang sudah sulit ditemukan. Area yang tidak diganggu ini dipertahankan keberadaannya selain dapat menjadi habitat satwa lokal, area tidak diganggu ini dapat menjadi sumber bibit, untuk diperbanyak, sehingga dapat dimanfaatkan kembali untuk lingkungan (Gambar 12). Tabel 14. Vegetasi Area Tidak Diganggu No. Nama Botani Nama Lokal 1 Acacia mangium Akasia 2 Alstonia sp. Pulai 3 Anthocepalus cadamba Jabon 4 Arthocarpus elastica Tarap 5 Artocarpus sp. Mada 6 Dillenia grandifolia Simpur 7 Dracontomelon mangiferum Singkuang 8 Eugenia sp. Jambu Burung 9 Eusideroxylon zwageri Ulin 10 Ficus variegata Luwa 11 Hibiscus tiliaceus Waru 12 Litsea sp. Medang 13 Macaranga sp. Mahang 14 Peronema canescens Sungkai 15 Pterospermum celebicum Bayur 16 Shorea sp. Latung 17 Vitex pubescens Alaban Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009 Gambar 12. Area Tidak Diganggu

44 28 Area revegetasi dibentuk oleh tanaman cepat tumbuh (fast growing) yang sengaja ditanam pada tahap reklamasi (Gambar 13). Kegiatan revegetasi atau penanaman kembali lahan-lahan yang terbuka dimaksudkan untuk mengembalikan penutupan lahan dan memulihkan kesuburan tanah. Perusahaan mengkombinasikan tanaman introduksi dan tanaman lokal dalam penerapannya. Tanaman introduksi seperti, akasia daun kecil (Accacia auriculiformis), dan akasia daun lebar (Accacia mangium). Untuk tanaman lokal PT. Artumin Indonesia menggunakan sengon (Paraserianthes falcataria) (Tabel 15). Tabel 15. Vegetasi Area Revegetasi No. Nama Botani Nama Lokal 1 Accacia auriculiformis Akasia daun kecil 2 Accacia mangium Akasia daun lebar 3 Paraserianthes falcataria Sengon Sumber: AMDAL PT. Arutmin Indonesia 2009 Gambar 13. Area revegetasi Satwa Satwa yang ditemukan berupa jenis Aves, yang menjadikan area hutan sekunder sebagai habitatnya. Beberapa jenis Aves yang terlihat antara lain, elang (Nisaetus cirrhatus), gagak (Carvus macrorhynchus), keruang (Pycnonotus brunneus), layang-layang (Delichon dasypus), pipit (Lonchura leucogasta). Selain jenis Aves, pada kawasan ini juga ditemukan satwa jenis mamalia berupa bajing (Glyphotes simus), dan reptilia seperti kadal (Mabouya fasiculate), ular tanah (Angkistrodon rhodostima), dan biawak (Varanus albigularis) (Tabel 16).

45 29 Tabel 16. Satwa di Pit Antasena No. Nama Species Nama Ilmiah Aves 1 Elang Nisaetus cirrhatus 2 Gagak Carvus macrorhynchus 3 Keruang Pycnonotus brunneus 4 Layang-layang Delichon dasypus 5 Pipit Lonchura leucogasta Mamalia 6 Bajing Glyphotes simus Reptilia 7 Kadal Mabouya fasciculate 8 Ular Tanah Angkistrodon rhodostima 9 Biawak Varanus albigularis Sumber: Data pemantauan lingkungan PT. Arutmin, Kependudukan Pada kecamatan Kintap tersebar 6 desa, meliputi: Salaman, Riam Adungan, Pasir Putih, Sungai Cuka, Kintapura dan Kintap Kecil. Pada penelitian ini difokuskan pada Desa Salaman dan Riam Adungan karena letaknya yang paling berdekatan dengan Pit Antasena Demografi Keadaan kependudukan pada masing-masing desa wilayah studi Berdasarkan data Kecamatan Satui dan Kecamatan Kintap dalam angka cukup bervariasi. Kepadatan penduduk di Desa Salaman sebesar 122 jiwa per km 2 dan Desa Riam Adungan sebesar 6 jiwa per km 2. Berdasarkan perbandingan antara jumlah laki-laki dengan perempuan, dapat dilihat jumalah penduduk laki-laki relatif lebih banyak disbanding perempuan, hal ini umum terjadi pada daerahdaerah yang menjadi tujuan pendatang (Tabel 17). Tabel 17. Jumlah Penduduk Desa Salaman dan Riam Adungan No. Desa Penduduk (jiwa) Jumlah Luas Kepadatan (km 2 rumah ) Laki- Perempuan Jumlah (jiwa/km 2 ) Laki tangga Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut 1 Salaman 10, Riam Adungan 191, Sumber: Kecamatan Kintap dan Satui dalam Angka, 2007/2008

46 Mata Pencaharian Penduduk Jumlah penduduk menurut mata pencaharian terbesar adalah sebagai petani (dalam arti luas) yang mencapai 490 orang (atau sebesar 49.8%) dari seluruh jumlah penduduk yang sudah bekerja sebanyak 983 orang. Petani pemilik sub sektor tanaman pangan menduduki urutan tertinggi dengan jumlah 250 orang (25.4%), petani perkebunan sebanyak 40 orang (4.1%), dan peternak sebanyak 30 orang (3.1%). Selain sebagai petani pemilik, juga terdapat buruh tani yang mencapai 170 orang atau sebesar 17.3%, yang umumnya merupakan buruh lepas di perusahaan-perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri. Selain sebagai petani pemilik dan buruh tani terdapat mata pencaharian lainnya dengan jumlah sebanyak 493 orang (50,2%). Kategori mata pencaharian lainnya ini antara lain, PNS (TNI, POLRI, Pensiunan), pedagang, Jasa transportasi (supir angkutan, ojek), buruh bangunan, pekerja bengkel, karyawan, dan tukang. Walaupun memiliki presentasi yang besar, apabila dirincikan lebih detail memiliki nilai yang tidak terlalu signifikan (Tabel 18). Tabel 18. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan/ Desa Persentase No. Mata Pecaharian Riam Jumlah Salaman (%) Adungan 1 Petani tanaman pangan Petani Perkebunan Peternak Buruh Tani Lainnya Jumlah Sumber: Kantor Kepala Desa, 2009 Selain Mata pencaharian yang telah disebutkan diatas, masyarakat juga ada yang bermata pencaharian sebagai penambang tanpa ijin (PETI). Keberadaan PETI ini sedikit banyak menggangu lahan yang sudah direklamasi. Selain itu, kegiatan pengangkutan hasil tambang yang dilakukan PETI ini juga dinilai mengganggu masyarakat sekitar.

47 Tipe Pemanfaatan Lahan Dalam mempersiapkan lahan untuk penggunaan lahan selanjutnya, kontribusi dari para pemangku kepentingan sangat dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soelarno (2008) yang menyatakan bahwa, kegiatan perencanaan penutupan tambang harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Salah satu bentuk keterlibatan para pemangku kepentingan dalam perencanaan penutupan tambang ialah menentukan tipe pemanfaatan lahan. Dalam mengambil keputusan ini, harus didapatkan visi yang sejalan sehingga pembangunan nantinya dapat berjalan selaras dan lestari. Preferensi pemerintah dapat kita tinjau dari keputusan yang ada. Berdasarkan surat rekomendasi gubernur No. surat: 522/750/pola/dishut (Lampiran 1), pemerintah menetapkan bahwa wilayah satui khususnya letak Pit Antasena, terdapat pada Area Penggunaan Lain (APL). Pada dokumen RTRWP, dijelaskan bahwa area ini termasuk dalam Kawasan Budidaya Tanaman Pertanian (KBTP). Dalam RTRWK, area penelitian dibagi atas dua wilayah, yaitu kawasan hutan produksi tetap, dan kawasan budidaya perikanan. Preferensi masyarakat didapatkan dari wawancara yang dilakukan terhadap beberapa key person dari masyarakat dengan menggunakan daftar pertanyaan (Lampiran 2). Berdasarkan hasil wawancara penduduk sekitar sudah mengerti akan dampak yang disebebkan oleh kegiatan pertambangan. Dalam pemanfaatan lahan selanjutnya, penduduk sangat menginginkan area reklamasi di Antasena untuk dijadikan lahan perkebunan karet/ kelapa sawit. Hal ini dikarenakan masyarakat sudah familiar dengan komoditas tersebut. Menurut mereka, daripada tanaman akasia yang dibiarkan begitu saja, lebih baik ditanami karet atau sawit yang lebih cepat menghasilkan produk. Selain itu mereka juga menginginkan adanya keramba untuk usaha perikanan. Preferensi perusahaan didapatkan melalui kegiatan wawancara dengan key person dari perusahaan yaitu karyawan PT. Arutmin Indonesia departemen Keamanan Kesehatan dan Lingkungan (K2L). PT. Arutmin Indonesia Tambang Satui mengusulkan agroforestri sebagai rencana pemanfaatan lahan. Selain dapat memberikan jasa bagi lingkungan dengan mengkonservasi keanekaraman hayati, agroforestri juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui hasil

48 32 panen. Latar belakang masyarakat yang berbasis pada bidang pertanian dinilai cocok dengan rencana ini. Agroforestri dinilai cocok dengan visi PT. Arutmin Indonesia yang berwawasan lingkungan dan berkomitmen terhadap pengembangan masyarakat (PT Arutmin Indonesia, 2005). Tabel 19. Preferensi Pemangku Kepentingan Pemangku Preferensi kepentingan Pemerintah Menetapkan bahwa wilayah satui khususnya letak Pit Antasena, terdapat pada Area Penggunaan Lain (APL), dan dapat dikembangkan menjadi Kawasan Budidaya Tanaman Pertanian (KBTP), khususnya hutan produksi tetap dan perikanan Masyarakat Perusahaan Sumber: Pengamatan, 2011 Memiliki latar belakang pertanian, perkebunan, dan peternakan, juga menginginkan adanya kawasan perkebunan karet/ kelapa sawit, dan keramba untuk usaha perikanan Mempromosikan agroforestri sebagai pemanfaatan lahan yang mampu mengkonservasi lingkungan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Tabel 19, untuk mengakomodasi preferensi dari para pemangku kepentingan tipe pemanfaatan lahan yang dapat diterapkan adalah tipe penggunaan lahan majemuk (compound land utilization type). Pada tipe ini terdapat lebih dari satu pemanfaatan lahan yang dapat dirangkai dalam satu kawasan yang pada dasarnya berbeda namun dijadikan satu tujuan evaluasi dengan satuan lahan yang sama (FAO, 1983). Praktik agroforestri dengan sistem agrosilvopastura+fisheries dinilai mampu mengakomodasi preferensi dari para pemangku kepentingan. Praktik ini mengkombinasikan tanaman pohon, cash crop, peternakan, dan perikanan. Pemilihan komoditas masing-masing pemanfaatan lahan menggunakan komoditas yang umum ditanam masyarakat, berdasarkan data Biro Pusat dan Statistika (BPS) Kabupaten Tanah Bumbu, Satui, Kalimantan Selatan tahun Dari masing-masing pemanfaatan lahan diambil dua komoditas yang memiliki nilai produksi paling tinggi. Untuk pemanfaatan lahan agroforestri, yang merupakan kombinasi dari tanaman tegakan (pohon) dan cash crop, didapatkan

49 33 komoditas unggulan untuk pohon adalah tanaman karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A), dan kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.). Sedangkan untuk tanaman pertanian berupa ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.), dan padi lahan kering (Oryza sativa L.). Untuk peternakan komoditas unggulan berupa sapi (Bos Taurus) dan kerbau (Bos bubalus), dengan pakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.). Untuk tanaman sayur didapatkan Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.). Untuk perikanan, PT. Arutmin Indonesia Tambang Satui sudah pernah mencoba melakukan percobaan pembibitan ikan pada kolam bekas tambang dengan jenis bawal (Pampus Argentus), nila (Oreochromis niloticus), mas (Cyprinus Carpio), dan patin (Pangasius pangasius). 4.3 Peta Satuan Lahan Untuk memetakan satuan lahan dibutuhkan karakteristik serta kualitas dari lahan. Kualitas lahan yang dijadikan patokan disini adalah kualitas lahan untuk pertumbuhan tanaman seperti, rejim suhu, ketersediaan air, media perakaran, retensi hara, ketersediaan hara, toksisitas, dan potensi mekanisasi. Untuk nilai karakteristik yang mempengaruhi rejim suhu antara lain, temperatur rerata tahunan sebesar 27 o C. Untuk ketersediaan air, karakteristik lahan yang mempengaruhinya antara lain, curah hujan tahunan sebesar mm/ tahun, Bulan kering (< 60mm) selama 1-2 bulan, dan kelembaban udara sebesar 80.92%. karakteristik lahan yang mempengaruhi media perakaran antara lain, drainase dengan kualitas yang sedang, tekstur tanah yang agak halus (SCL), dan kondisi tanah pucuk dengan ketebalan cm. Untuk retensi hara, karakteristik lahan yang mempengaruhinya antara lain, nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) sebesar me/100 g, kadar c-organik sebesar 1.56 %, dan ph sebesar Untuk Hara tersedia dipengaruhi oleh kadar P 2 O 5 HCl sebesar 9.37 mg/100 g tanah, K 2 O sebesar mg/100 g, dan kadar total N sebesar 0.19%. Karakterisitik lahan yang mempengaruhi toksisitas antara lain, kadar Fe (jika berlebih) sebesar 25361ppm, dan kadar alumunium (Al) sebesar 6.17 %. Untuk potensi mekanisasi dipengaruhi oleh kemiringan lahan yang bervariatif dan jumlah batuan penutup permukaan sebesar 0% (Tabel 20).

50 34 Tabel 20. Kualitas dan Karakteristik lahan Kualitas Lahan Karakteristik Lahan Nilai data Rejim suhu (t) Temperatur rerata tahunan ( o C) 27 Ketersediaan air (w) Curah hujan tahunan (mm) Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan Kelembaban udara (%) Media perakaran (r) drainase sedang tekstur agak halus (SCL) ketebalan (tanah pucuk) cm Retensi hara (f) KTK (me/100 g) C-Organik (%) 1.56 ph 4.17 Hara tersedia (n) P2O5 HCl (mg/100 g tanah) 9,37 K2O (mg/100g) Total N (%) 0.19 Toksisitas (x) Fe (ppm) Al (%) 6.17 Potensi Mekanisasi (m) Kemiringan lahan Bervariatif Batuan penutup permukaan 0% Sumber: AMDAL PT. Arutmin Indonesia 2009 Karakteristik lahan pada kawasan ini dianggap seragam karena termasuk skala mikro. Oleh karena itu, penentuan batas pada peta satuan lahan menggunakan karakteristik tanah yang mudah dipetakan seperti relief, lereng, atau bentukan lahannya (landform) sesuai dengan yang ditentukan FAO (1983). Bentukan lahan bisa kita dapatkan dari menganalisis peta kemiringan lahan. Peta kemiringan lahan daerah penelitian dibuat dengan mengolah data topografi menggunakan bantuan software Arc GIS (Gambar 14). Klasifikasi kemiringan dilakukan untuk memudahkan dalam melakukan penilaian nantinya. Parameter kemiringan lahan dibagi atas lima kelas berdasarkan kelas kesesuaian lahan yang ditetapakan oleh FAO 1983 untuk area pertanian. (Tabel 21). Tabel 21. Klasifikasi Kemiringan Lahan Untuk Pertanian No. Persen Lereng (%) Bentukan lahan Luas (ha) Datar Landai Bergelombang Berbukit >30 Curam Sangat curam Sumber: FAO, 1983 Setelah didapatkan peta kemiringan lahan, kemudian masing masing klasifikasi kemiringan digeneralisasi sehingga didapatkan batasan batasan landform yang akan digunakan sebagai batas pada peta satuan lahan (Gambar 15).

51 35 Gambar 14. Peta Kemiringan Lahan 35

52 36 Gambar 15. Peta Satuan Lahan 36

53 Hasil Kesesuaian Lahan Hasil kesesuaian lahan dapat diidentifikasi dari kelas kesesuaian lahan yang merupakan hasil dari evaluasi lahan dengan Kerangka FAO, dan Morphoedaphic Index Evaluasi Lahan Dengan Kerangka FAO Metode ini mengacu pada kerangka evaluasi lahan FAO (1983). Lahan dinilai kesesuaiannya berdasarkan komoditas yang sesuai dengan tipe penggunaan lahan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Penilaian kesesuaian lahan ini didasarkan pada kriteria kesesuaian lahan dari tiap komoditas yang dikeluarkan oleh LREP II, 1994 dan PPT, 2003 (Lampiran 3). Dari hasil evaluasi lahan pada Zona I (0-3%) didapatkan kelas kesesuaian tanaman karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A) S3 atau kurang sesuai, dengan faktor pembatas ketersediaan P 2 O 5 yang rendah pada tanah. Untuk kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.) didapatkan kelas kesesuaian lahan N1 dengan faktor yang pembatasnya ialah rendahnya kadar ph. Kesesuaian yang sama juga berlaku pada tanaman padi gogo (Oryza sativa L.) dan ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.). Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 atau kurang sesuai dengan faktor pembatas curah hujan dan kadar ph yang rendah. Untuk penggembalaan yang menggunakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas kadar ph yang rendah (Tabel 22). Pada Zona II (3-8%) juga didapatkan hasil kesesuaian yang sama. Tanaman karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A) S3 atau kurang sesuai, dengan faktor pembatas ketersediaan P 2 O 5 yang rendah pada tanah. Untuk kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.) didapatkan kelas kesesuaian lahan N1 dengan faktor yang pembatasnya ialah rendahnya kadar ph. Kesesuaian yang sama juga berlaku pada tanaman padi gogo (Oryza sativa L.) dan ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.). Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 atau kurang sesuai dengan faktor pembatas curah hujan dan kadar ph yang rendah. Untuk penggembalaan yang menggunakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas kadar ph yang rendah (Tabel 23).

54 38 Pada Zona III (8-15%) didapatkan kelas kesesuaian tanaman karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A) S3 atau kurang sesuai, dengan faktor pembatas ketersediaan P 2 O 5 yang rendah pada tanah. Untuk kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.) didapatkan kelas kesesuaian lahan N1 dengan faktor yang pembatasnya ialah rendahnya kadar ph. Kesesuaian yang sama juga berlaku pada tanaman padi gogo (Oryza sativa L.) dan ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.). Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 atau kurang sesuai dengan faktor pembatas curah hujan dan kadar ph yang rendah. Untuk penggembalaan yang menggunakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas kadar ph yang rendah dan kemirigan yang terlalu curam (Tabel 24). Untuk Zona IV (3-8%) juga didapatkan hasil kesesuaian yang sama. Tanaman karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A) S3 atau kurang sesuai, dengan faktor pembatas ketersediaan P 2 O 5 yang rendah pada tanah dan kemringan yang terlalu curam. Untuk kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.) didapatkan kelas kesesuaian lahan N1 dengan faktor yang pembatasnya ialah rendahnya kadar ph. Kesesuaian yang sama juga berlaku pada tanaman ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.). untuk padi gogo (Oryza sativa L.), memiliki kelas kesesuaian lahan N1 dengan factor pembatas kadar ph dan kelerengan. Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 atau kurang sesuai dengan faktor pembatas curah hujan dan kadar ph yang rendah. Untuk penggembalaan yang menggunakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.) memiliki kelas kesesuaian lahan N1 dengan faktor pembatas kemiringan lahan yang terlalu curam (Tabel 25). Dari tabel kesesuaian ini, kita dapat menentukan kesesuaian lahan bagi masing-masing komoditas pada satuan lahan yang telah ditentukan. Penentuan kesesuaian lahan ini menggunakan peta kesesuaian lahan, yang bertujuan untuk memberikan informasi kesesuaian secara spasial bagi masing masing komoditas yang telah ditentukan (Gambar 16, Gambar 17, Gambar 18, Gambar 19, Gambar 20, Gambar 21, dan Gamabar 22).

55 Tabel 22. Kelas Kesesuaian Lahan zona I A

56 Tabel 22. Kelas Kesesuaian Lahan Zona I Karakteristik Lahan Nilai data Pertanian Tegakan Buah dan sayur Peternakan Ubi kayu Padi gogo Karet Kelapa Sawit Tomat Buncis Penggembalaan Rejimsuhu (t) S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1 Temperatur rerata ( o C) 27 S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1 Ketersediaan air (w) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1 Curah hujan tahunan (mm) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1 Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan S1 S1 S1 S1 - - S1 Kelembaban udara (%) S1 - - S2 S2 - Media perakaran (r) S3 S3 S2 S3 S2 S2 S2 Drainase dalam tanah sedang S2 S3 S2 S1 S2 S2 S1 lereng (%) 0-3% S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 Tekstur Agak halus (SCL) S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 ketebalan (tanah pucuk) cm S3 S1 S2 S3 S2 S2 - Retensihara (f) N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3 KTK (me/100 g) (rendah) S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2 C-Organik (%) 1.56 (rendah) S1 S1 - - S1 S1 - ph 4.17 N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3 Hara tersedia (n) - S3 S3 S3 - - S2 P 2 O 5 HCl (mg/100 g tanah) 9,37 (sangat rendah) - S3 S3 S3 - - S2 K 2 O (mg/100g) (sedang) - S1 S1 S1 - - S1 Total N (%) 0.19 (rendah) - S2 S2 S2 - S2 Toksisitas (x) Fe (ppm) Al (%) 6.17 (sangatrendah) Kelas kesesuaian lahan N1f N1f S3n N1f S3wf S3wf S3f 39

57 Tabel 23. Kelas Kesesuaian Lahan Zona II Karakteristik Lahan Nilai data Pertanian Tegakan Buah dan sayur Peternakan Ubi kayu Padi gogo Karet Kelapa Sawit Tomat Buncis Penggembalaan Rejimsuhu (t) S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1 Temperatur rerata ( o C) 27 S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1 Ketersediaan air (w) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1 Curah hujan tahunan (mm) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1 Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan S1 S1 S1 S1 - - S1 Kelembaban udara (%) S1 - - S2 S2 - Media perakaran (r) S3 S3 S2 S3 S2 S2 S2 Drainase dalam tanah sedang S2 S3 S2 S1 S2 S2 S1 lereng (%) 3-8% S1 S2 S1 S1 S1 S1 S2 Tekstur Agak halus (SCL) S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 ketebalan (tanah pucuk) cm S3 S1 S2 S3 S2 S2 - Retensihara (f) N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3 KTK (me/100 g) (rendah) S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2 C-Organik (%) 1.56 (rendah) S1 S1 - - S1 S1 - ph 4.17 N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3 Hara tersedia (n) - S3 S3 S3 - - S2 P 2 O 5 HCl (mg/100 g tanah) 9,37 (sangat rendah) - S3 S3 S3 - - S2 K 2 O (mg/100g) (sedang) - S1 S1 S1 - - S1 Total N (%) 0.19 (rendah) - S2 S2 S2 - S2 Toksisitas (x) Fe (ppm) Al (%) 6.17 (sangatrendah) Kelas kesesuaian lahan N1f N1f S3n N1f S3wf S3wf S3f 40

58 Tabel 24. Kelas Kesesuaian Lahan Zona III Karakteristik Lahan Nilai data Pertanian Tegakan Buah dan sayur Peternakan Ubi kayu Padi gogo Karet Kelapa Sawit Tomat Buncis Penggembalaan Rejimsuhu (t) S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1 Temperatur rerata ( o C) 27 S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1 Ketersediaan air (w) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1 Curah hujan tahunan (mm) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1 Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan S1 S1 S1 S1 - - S1 Kelembaban udara (%) S1 - - S2 S2 - Media perakaran (r) S3 S3 S2 S3 S2 S2 S3 Drainase dalam tanah sedang S2 S3 S2 S1 S2 S2 S1 lereng (%) 8-15% S2 S3 S2 S2 S2 S2 S3 Tekstur Agak halus (SCL) S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 ketebalan (tanah pucuk) cm S3 S1 S2 S3 S2 S2 - Retensihara (f) N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3 KTK (me/100 g) (rendah) S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2 C-Organik (%) 1.56 (rendah) S1 S1 - - S1 S1 - ph 4.17 N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3 Hara tersedia (n) - S3 S3 S3 - - S2 P 2 O 5 HCl (mg/100 g tanah) 9,37 (sangat - S3 S3 S3 - - S2 rendah) K 2 O (mg/100g) (sedang) - S1 S1 S1 - - S1 Total N (%) 0.19 (rendah) - S2 S2 S2 - S2 Toksisitas (x) Fe (ppm) Al (%) (sangatrendah) Kelas kesesuaian lahan N1f N1f S3n N1f S3wf S3wf S3rf 41

59 Tabel 23.Kelas Kesesuaian Lahan Zona IV Karakteristik Lahan Nilai data Pertanian Tegakan Buah dan sayur Peternakan Ubi kayu Padi gogo Karet Kelapa Sawit Tomat Buncis Penggembalaan Rejimsuhu (t) S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1 Temperatur rerata ( o C) 27 S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1 Ketersediaan air (w) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1 Curah hujan tahunan (mm) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1 Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan S1 S1 S1 S1 - - S1 Kelembaban udara (%) S1 - - S2 S2 - Media perakaran (r) S3 N1 S3 S3 S3 S3 N1 Drainase dalam tanah sedang S2 S3 S2 S1 S2 S2 S1 lereng (%) 15-30% S3 N1 S3 S3 S3 S3 N1 Tekstur Agak halus (SCL) S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 ketebalan (tanah pucuk) cm S3 S1 S2 S3 S2 S2 - Retensihara (f) N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3 KTK (me/100 g) (rendah) S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2 C-Organik (%) 1.56 (rendah) S1 S1 - - S1 S1 - ph 4.17 N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3 Hara tersedia (n) - S3 S3 S3 - - S2 P 2 O 5 HCl (mg/100 g tanah) 9,37 (sangat rendah) - S3 S3 S3 - - S2 K 2 O (mg/100g) (sedang) - S1 S1 S1 - - S1 Total N (%) 0.19 (rendah) - S2 S2 S2 - S2 Toksisitas (x) Fe (ppm) Al (%) 6.17 (sangatrendah) Kelas kesesuaian lahan N1f N1rf S3rn N1f S3wrf S3wrf N1r 42

60 Tabel 23. Kelas kesesuaian lahan zona II 40

61 Tabel 24. Kelas kesesuaian lahan zona III 41

62 Tabel 25. Kelas kesesuaian lahan zona IV 42

63 43 Gambar 16. Peta kesesuaian tanaman karet 43

64 44 Gambar 17. Peta kesesuaian tanaman kelapa sawit 44

65 45 Gambar 18. Peta kesesuaian tanaman padi gogo 45

66 46 Gambar 19. Peta kesesuaian tanaman ubi kayu 46

67 47 Gambar 20. Peta kesesuaian tanaman tomat 47

68 48 Gambar 21. Peta kesesuaian tanaman buncis 48

69 49 Gambar 22. Peta kessuaian tanaman rumput gajah 49

70 50 Secara umum dapat kita lihat bahwa faktor pembatas pada kawasan penelitian ialah kadar ph yang rendah dengan nilai 4,17. Kondisi ini bisa disebabkan oleh pemberian pupuk anorganik pada tanah yang cenderung meningkatkan suasana masam dalam tanah seperti senyawa pembawa nitrogen, yang menyuplai ammonia atau yang menghasilkan amonia. Hal ini didukung Ardianto (2008) yang menyatakan bahwa, kadar ph tanah pada area reklamasi berkisar 4, Morphoedaphic Index Penilaian kesesuaian untuk danau buatan menggunankan metode Morphoedephic index (MEI). Berdasarkan hasil perhitungan, nilai MEI didapatkan pada ATS 1 sekitar 19,5 20,3. Untuk ATS 2 didapatkan nilai MEI sekitar 14,8 15,7. Menurut Ryder et al., (1982) kisaran nilai MEI yang menyatakan sebagai perairan yang berproduktivitas tinggi adalah Nilai MEI yang didapatkan menunjukan bahwa kedua danau ini berpotensi untuk memiliki produktivitas untuk perikanan (Gambar 23). Nilai padatan tersuspensi total (Total Suspended Solids) (TSS) yang didapatkan cukup bervariasi. Untuk ATS 1 nilai TSS berkisar antara 22 26, sedangkan untuk ATS 2 berkisar antara Kandungan zat terlarut dan tersuspensi masih dalam jumlah yang wajar. Hal ini dapat diartikan cahaya yang dibutuhkan oleh organisme air dapat lewat dengan mudah, sehingga kemungkinan organisme untuk bertahan hidup besar. Nilai TSS yang didapatkan untuk ATS 1 masih dapat dikatergorikan aman. Kadar TSS sedikit lebih banyak pada kedalaman 30 m sebesar 26 mg/l yang berpengaruh sedikit terhadap perikanan. Untuk ATS 2 pada kedalaman 30 m didapatkan nilai TSS yang cukup besar 154 mg/l yang kurang baik untuk perikanan (Tabel 26). Dengan ini kita dapat asumsikan bahwa danau bekas tambang pada kawasan ini sesuai untuk praktik perikanan. Tabel 26. Hasil perhitungan nilai MEI dan TSS Kedalaman (m) Danau 1 Danau 2 TSS (mg/l) TDS (mg/l) MEI TSS (mg/l) TDS (mg/l) MEI , , , , , ,6

71 51 Gambar 23. Peta kesesuaian perairan 51

72 Analisis Sosial-Ekonomi Komitmen PT. Arutmin Indonesia dalam mempersiapkan kawasan untuk penggunaan lahan selanjutnya dinilai cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan kebijakan serta tindakan yang sudah dilakukan oleh perusahaan. Komitmen perusahaan pada kegiatan pertambangan perusahaan salah satunya ialah dengan menerapkan sistem pertambangan dengan metode backfill. Metode backfill merupakan suatu sistem penimbunan kembali block yang sudah ditambang dengan timbunan material penutup (over burden) dari block yang sedang ditambang. Metode ini sangat efektif dalam mengurngai luasan bukaan lahan tambang, yang nantinya akan menjadi danau bekas tambang. Untuk kegiatan penutupan tambang, Perusahaan bekerja sama dengan PT. LAPI ITB dalam pengkajian ulang perencanaan lubang bukaan akhir tambang (danau bekas tambang). Dalam hasil penelitianya PT LAPI ITB merekomendasikan lubang bukaan akhir tambang (void) untuk dimanfaatkan sebagai konservasi sumber daya air, dan pengembangan biodiversitas akuatik. PT. Arutmin Indonesia sampai saat ini, sudah mengeluarkan biaya sebesar ,99 USD untuk kegiatan pemulihan lahan pasca-tambang. Kegiatan pemulihan lahan dibagi atas 2 tahap, yaitu reklamasi dan revegetasi. Pada kegiatan reklamasi, mencakup kegiatan pengaturan bentuk lahan (regrading), penyebaran tanah pucuk (top soil spreading), dan pembuatan sistem drainase (drainage system). Pada kegiatan revegetasi pekerjaan yang tercakup didalamnya meliputi, pemulsaan (mulching), penanaman tanaman pionir berupa tanaman penutup tanah (cover crop) dan tanaman pohon (perennial crop), dan pengawasan (maintenance). Selain itu PT. Arutmin Indonesia juga telah meberikan program pembinaan bagi masyarakat sekitar. Program pembinaan yang diberikan untuk Desa Salaman, yaitu program pembinaan pertanian/ peternakan, sedangkan untuk Desa Riam Adungan diberikan pembinaan yang sama yaitu pertanian/ peternakan. 4.6 Analisis SWOT Penentuan strategi manajemen lanskap pasca-tambang bagi peruntukan praktik agroforestri dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan cara dalam menentukan strategi dengan menganalisis faktor internal dan faktor eksternal yang dalam penelitian ini didasarkan pada hasil

73 53 kesesuaian lahan dan keadaan rona lanskap kawasan. Faktor internal terdiri dari kekuatan (Strengths) dan kelemahan (weaknesses), sedangkan faktor eksternal terdiri dari peluang (opportunities) dan ancaman (threats) Identifikasi kekuatan, peluang, dan ancaman 1. Kekuatan a. Potensi wilayah untuk praktik agroforestri Kawasan pasca-tambang Pit Antasena ini cukup berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan agroforestri. Lahan memiliki elemen lanskap yang beragam sehingga dapat mengkombinasikan berbagai macam pola agroforetri. b. Dukungan dari para stakeholders Preferensi dari pemangku kepentingan sangatlah penting, mengingat setelah kontrak penambangan selesai, pengelolaan kawasan dikembalikan kepada masyarakat, dan juga pemerintah. c. Potensi undisturbed area Undisturbed area pada kawasan pertambangan berpotensi sebagai sumber bibit untuk perbanyakan tanaman kehutanan sebagai salah satu upaya mengkonservasi lingkungan. d. Mata pencaharian masyarakat Sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah petani. Hal ini menyebabkan sistem agroforestri akan lebih mudah diterima masyarakat. e. Komitmen perusahaan tinggi PT. Arutmin Indonesia dalam menjalankan perannya sebagai perusahaan yang berwawasan lingkungan dan berkomitmen terhadap pengembangan masyarakat dinilai cukup tinggi dilihat dari tindakan serta kebijakan yang sudah dilakukan. 2. Kelemahan a. Rendahnya kadar ph Kadar ph yang rendah menjadi faktor pembatas dalam penilaian kesesuaian lahan untuk komoditas tanaman. Oleh karena itu, nilai ph pada kawasan perlu ditingkatkan.

74 54 b. Keberadaan PETI Keberadaan PETI dinilai merugikan kawasan dengan merusak lingkungan dan mengganggu kenyamanan masyarakat lain. Oleh karena itu, perlu ada tindakan untuk mengatasi keberadaaan PETI ini. 3. Peluang a. Kerja sama dengan pihak lain Dengan berkerja sama dengan pihak lain, maka akan timbul banyak ide sehingga management lanskap dapat berjalan dengan baik 4. Ancaman a. Gangguan penduduk desa lain Area agroforestri yang luas perlu dilakukan pengawasan yang baik. Hal ini digunakan untuk mencegah kemungkinan terjadinya gangguan dari luar seperti, penebang liar, dan penjarah hasil pertanian Penilaian faktor internal dan external Sebelum melakukan pembobotan faktor internal maupun eksternal, terlebih dahulu ditentukan tingkat kepentingan dari masing-masing faktor tersebut. Setiap faktor internal dan eksternal diberi nilai berdasarkan tingkat kepentingannya (Tabel 27 dan 28). Setelah memperoleh tingkat kepentingan dari setiap faktor internal dan eksternal, selanjutnya dilakukan pembobotan (Tabel 29 dan 30). Tabel 27. Tingkat kepentingan faktor internal Simbol Faktor kekuatan (strength) Tingkat kepentingan S1 Potensi wilayah untuk praktik agroforestri Sangat penting S2 Dukungan dari para stakeholders Sangat penting S3 Potensi undisturbed area Penting S4 Komitmen perusahaan tinggi Penting S5 Mata pencaharian masyarakat Sedang Simbol Faktor kelemahan (weakness) Tingkat kepentingan W1 Rendahnya kadar ph Sangat penting W2 Keberadaan PETI penting

75 55 Tabel 28. Tingkat kepentingan faktor eksternal Simbol Faktor peluang (oportunity) Tingkat kepentingan O1 Kerja sama dengan pihak lain Penting Simbol Faktor ancaman (threat) Tingkat kepentingan T1 Gangguan penduduk desa lain Sangat penting Tabel 29. Penilaian bobot faktor strategis internal Faktor strategis internal S1 S2 S3 S4 S5 W1 W2 Total Bobot S S S S S W W Total Tabel 30. Penilaian bobot faktor strategis eksternal Faktor strategis external O1 T1 Total Bobot O T Total Pembuatan matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan matriks External Factor Evaluation (EFE) Setelah diperoleh bobot dari masing-masing faktor strategis internal dan eksternal, selanjutnya dilakukan penetuan peringkat (rating) antara 1-4. Kemudian rating setiap faktor tersebut dikali dengan bobot untuk memperoleh skor pembobotan yang tercantum dalam matriks IFE dan EFE (Tabel 31 dan 32). Tabel 31. Matriks IFE Faktor strategis internal Bobot Rating Skor Kekuatan Potensi wilayah untuk praktik agroforestri Dukungan dari para stakeholders Potensi undisturbed area Komitmen perusahaan tinggi Mata pencaharian masyarakat Kelemahan Rendahnya kadar ph Keberadaan PETI Total

76 56 Tabel 32. Matriks EFE Faktor strategis eksternal Bobot Rating Skor Peluang Kerja sama dengan pihak lain Ancaman Gangguan penduduk desa lain Total Berdasarkan perhitungan IFE dan EFE yang didapatkan, kondisi internal memiliki nilai total skor 3.03 dan kondisi external dengan skor Menurut David (2008) yang disitasi Rangkuti (2009) jika nilai total skor IFE dan EFE lebih dari 2.5, maka nilai tersebut menunjukkan kondisi yang kuat. Berdasarkan skor yang didapat dari pembobotan rangking di atas, akan diketahui posisi kawasan Pit Antasena pada kuadran tertentu yang dapat menyatakan kekuatan dan kelemahannya melalui matriks internal-eksternal (IE). Matriks IE didasarkan pada dua dimensi kunci, yaitu skor total matriks IFE (3.03) pada sumbu x dan total matriks EFE (3.75) pada sumbu y. Hasil pemetaan matriks IFE dan EFE dapat dilihat pada Gambar 24. Total Skor IFE Total Skor EFE 4.00 Tinggi 3.00 Menengah 2.00 Rendah 1.00 Kuat 3.00 Sedang 2.00 Lemah 1.00 I II III IV V VI VII VIII IX Gambar 24. Matriks Internal-Eksternal (IE) Berdasarkan nilai total skor IFE dan EFE, Kawasan Pit Antasena berada pada kuadran I. Hal ini menunjukkan pengelolaan kawasan Pit Antasena berada pada posisi Grow and build. Strategi yang sesuai adalah strategi pengembangan produk dalam hal ini kegiatan pengelolaan lanskap pasca-tambang. Menambah kualitas pengelolaan serta pengembangan-pengembangan yang berfungsi menunjang kegiatan pengelolaan. Secara spesifik, strategi manajemen yang dapat

77 57 di ambil oleh Perusahaan dalam mengelola kawasan akan diperoleh dari matriks SWOT di subbab berikutnya Matriks SWOT Matriks SWOT menunjukkan beberapa strategi yang dapat diambil untuk mengatasi permasalahan dan mengembangkan potensi yang ada. Adapun strategi yang dihasilkan, yaitu: a) Penentuan jenis praktik agroforestri yang sesuai dengan kondisi kawasan; b) Program pembibitan tanaman hutan, sebagai salah satu kegiatan konservasi lingkungan; c) Pembuatan batasan yang jelas pada kawasan praktik; d) Peningkatan kadar ph; e) Pemberian pelatihan terhadap masyarakat sebagai bekal untuk mengelola kawasan; f) Melibatkan masyarakat dalam kegiatan pengembangan praktik agroforestri (Tabel 33). Tabel 33. Matrix SWOT Eksternal Peluang (Opportunities) Ancaman (Threats) Internal 1. Kerja sama dengan pihak lain 1. Gangguan dari luar Kekuatan (Strengths) Strategi SO Strategi ST 1. Potensi wilayah untuk praktik agroforestri Penentuan jenis praktik agroforestri yang sesuai dengan kondisi kawasan. 2. Dukungan dari para stakeholders 3. Potensi undisturbed area 4. Komitmen perusahaan tinggi 5. Mata pencaharian masyarakat Kelemahan (Weaknesses) 1. Rendahnya kadar ph Program pembibitan tanaman hutan, sebagai salah satu kegiatan konservasi lingkungan Strategi WO Peningkatan kadar ph 1. Keberadaan PETI Pemberian pelatihan terhadap masyarakat sebagai bekal untuk mengelola kawasan agroforestri. Pembuatan batasan yang jelas pada kawasan praktik Strategi WT Melibatkan masyarakat dalam kegiatan pengembangan praktik agroforestri Pembuatan Tabel Peringkat Alternatif Strategi Berdasarkan analisis data secara kuantitatif yang dilakukan dengan pembobotan dan pemberian rating pada setiap alternatif strategi, diperoleh skor tertinggi 0.91 yaitu Pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengembangan praktik agroforestri dan terendah 0,79 yaitu Peningkatan kadar ph dengan bekerjasama dengan institut terkait (Tabel 34).

78 58 Tabel 34. Tabel Ranking Alternatif Strategi Peringkat Strategi Keterkaitan antar unsur SWOT Skor 1 Pelibatan masyarakat dalam kegiatan W2, T pengembangan praktik agroforestri 2 Pembuatan batasan yang jelas pada kawasan S2, T praktik 3 Penentuan jenis praktik agroforestri yang S1, S2, S4, S5, 0.68 sesuai dengan kondisi kawasan. O1 5 Program pembibitan tanaman hutan, sebagai S3, S4, O salah satu kegiatan konservasi lingkungan 4 Pemberian pelatihan terhadap masyarakat W2, O sebagai bekal untuk mengelola kawasan agroforestri. 6 Peningkatan kadar ph W1, O Strategi Manajemen Lanskap Pasca-Tambang Bagi Peruntukan Agroforestri Strategi-strategi yang dihasilkan dari analisis diatas kemudian dijadikan acuan dalam penyusunan pengelolaan lanskap pasca-tambang. Adapun strategistrategi yang dapat dilakukan perusahaan meliputi, pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengembangan praktik agroforestri, pembuatan batasan yang jelas pada kawasan praktik, Penentuan jenis praktik agroforestri yang sesuai dengan kondisi kawasan, program pembibitan tanaman hutan, sebagai salah satu kegiatan konservasi lingkungan, pemberian pelatihan terhadap masyarakat sebagai bekal untuk mengelola kawasan agroforestri, serta peningkatan kadar ph Pelibatan Masyarakat dalam Kegiatan Pengembangan Praktik Agroforestri Bentuk pelibatan masyarakat dapat berupa Focus Group Discussion (FGD) mengenai arah pengembangan praktik agroforestri yang dihadiri oleh para stakeholders. FGD adalah suatu metode riset kualitatif yang didefinisikan sebagai suatu proses pengumpulan informasi mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok (Irwanto, 2006). Dengan metode ini akan tercipta kesatuan visi, serta keluaran yang bermanfaat bagi para stakeholders. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ini dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan kesadaran masyarakat akan lingkungan yang diharapkan dapat meminimalisir keberadaan penambang tanpa ijin (PETI). Hal ini didukung oleh Ekawan (2004), yang menyatakan bahwa, ada 3 faktor utama pemicu kemunculan PETI ini. Faktor pertama ialah ekonomi, penambangan liar ini dijadikan jalan pintas bagi masyarakat untuk memperoleh keuntungan, kedua, ialah faktor peraturan, dan kapasitas aparatur yang lemah.

79 59 Faktor ketiga, ialah pola hubungan dan kebijakan perusahaan berijin yang dijarah kurang baik. Dampak yang disebabkan peti tidak hanya lingkungan saja, tetapi juga berakibat pada berkurangnya cadangan sumberdaya, serta kerugian ekonomi secara makro (jangka panjang). Dengan keberadaan praktik agroforestri ini diharapkan masyarakat dapat mengambil keuntungan, sehingga tidak ada lagi yang bermatapencaharian sebagai penambang liar. Selain memberikan keuntungan secara finansial, sistem agroforestri juga mampu memberikan jasa lingkungan dengan mengkonservasi keragaman jenis hayati Pembuatan Batas Kawasan Yang Jelas Keamanan kawasan dinilai cukup penting untuk diperhatikan pada kawasan ini. Lahan yang luas, serta letaknya yang ditengah hutan, dengan tanaman produktif, akan mengundang niat kejahatan bagi penduduk desa lain. Bentuk kejahatan dapat berupa: penyadapan hasil produksi, penebangan liar, pencurian ternak, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, perlu dibuat batas kawasan yang jelas. Batasan kawasan praktik agroforestri ini mengikuti batasan pada kawasan pasca-tambang pit antasena. Bentuk batasan bisa menggunakan pagar kawat berduri. Selain itu perlu disediakan pos penjaga pada tiap-tiap akses masuk menuju kawasan ini Penentuan Jenis Praktik Agroforestri Dilihat dari elemen lanskap penyusunnya, lanskap pasca-tambang Pit Antasena cukup variatif. Pada tapak tersebut terdapat danau, dataran-dataran yang luas, serta bukit-bukit. Untuk karakter lanskap seperti di kawasan ini, sistem agroforestri yang cocok ialah sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri kompleks merupakan sistem-sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, liana, herba, tanaman semusim dan juga rumput (Arifin et al., 2009). Penampilan fisik dan dinamika di dalam sistem ini mirip dengan ekosistem hutan alam primer maupun sekunder. Pada kawasan ini sangat memungkinkan untuk pengembangan sistem agroforestri dengan komponen agrosilvopastura+fisheries. Sistem ini mengkombinasikan tanaman pohon, cash crop, dengan peternakan, dan perikanan. Komoditas yang disarankan untuk digunakan dalam praktik ini, antara lain: karet

80 60 (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A), dan kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.) untuk tanaman pohon. Sedangkan untuk tanaman pertanian berupa ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.), dan padi lahan kering (Oryza sativa L.). Untuk peternakan komoditas yang disarankan berupa sapi (Bos Taurus) dan kerbau (Bos bubalus), dengan pakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.). Untuk tanaman sayur didapatkan Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.). Untuk perikanan komoditas yang dapat disarankan seperti bawal (Pampus Argentus), nila (Oreochromis niloticus), mas (Cyprinus Carpio), dan patin (Pangasius pangasius). Lokasi kawasan praktik ditentukan dengan meng-overlay peta-peta kesesuaian lahan tanaman untuk mendapatkan kelas kesesuaian lahan yang paling sesuai pada kawasan tersebut. Hasil yang didapatkan untuk kelas kesesuaian tanaman karet adalah (S3n), kelapa sawit (N1f), padi gogo (N1f), ubi kayu (N1f), tomat (S3wf), buncis (S3wf), dan rumput gajah (S3f). sedangkan untuk komoditas ikan yang digunakan adalah mas, patin, nila, dan bawal (Gambar 25). Penerapan sistem peternakan dapat menggunakan sistem peternakan organik. Hewan ternak dilepaskan di kawasan agroforestri, sehingga hewan tersebut dapat mencari makanannya sendiri. Dengan menerapkan sistem ini perawatan terhadap hewan ternak pun cukup mudah, karena tidak seintensif sistem peternakan modern. Hal yang paling pokok diperhatikan dari sistem ini ialah pakan yang diberikan haruslah organik. Pakan organik yang dianjurkan ialah yang berasal dari area penggembalaan atau lapangan rumput. Selain itu pupuk yang digunakan pun haruslah pupuk organik. Dalam pemilihan bibit ternaknya pun diusahakan menggunakan bibit lokal (Sitepoe, 2009). Untuk perikanan digunakan sistem keramba jaring apung. Keramba ini berupa wadah pemeliharaan ikan yang terbuat dari kerangka, jaring atau bahan lainnya, pelampung, pemberat, atau jangkar yang diletakan di atas permukaan air. Dengan menggunakan sistem ini ikan akan tetap berada di permukaan, sehingga memudahkan dalam perawatan. Dalam penerapan praktik agroforestri nantinya, tidak tertutup kemungkinan apabila komoditas yang dipilih disesuaikan dengan trend komoditas yang sedang diminati pada waktu tertentu (Gambar 26).

81 61 Gambar 25. Peta overlay kesesuaian 61

82 62 Gambar 26. Rencana Lanskap Program Pembibitan Tanaman Hutan

83 63 Undisturbed area pada kawasan penelitian dapat digunakan sebagai sumber bibit tanaman khas Kalimantan yang sudah hampir punah seperti pohon ulin (eusideroxylon zwagery). Ulin atau disebut juga dengan bulian atau kayu besi terutama dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, seperti konstruksi rumah, jembatan, tiang listrik, dan perkapalan. Ulin merupakan salah satu jenis kayu hutan tropika basah yang tumbuh secara alami di wilayah Sumatera bagian selatan dan Kalimantan. Ironisnya, pohon ulin ini sudah jarang ditemukan di sekitar kawasan penelitian. Oleh karena itu, perlu ada program pembibitan pohon ulin ini, sebagai upaya mengkonservasi keanekaragaman hayati tanaman lokal Kalimantan. Dalam pembibitan pohon ulin ini, perusahaan bisa berkerja sama dengan para ahli seperti institusi pendidikan, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang konservasi sumber daya alam Pemberian Pelatihan Masyarakat Masyarakat sebagai pelaksana kegiatan agroforestri nantinya, sebaiknya memiliki wawasan terlebih dahulu mengenai sistem agroforestri maupun praktik yang akan dilakukan dikawasan tersebut. Salah satu kewajiban perusahaan ialah dengan memberikan pelatihan dan penyuluhan bagi masyarakat. Sampai saat ini pelatihan yang sudah diberikan perusahaan berupa pembekalan mengenai kegiatan pertanian serta peternakan. Pelatihan masyarakat perlu ditingkatkan mengingat praktik agrosilvopastura+fisheries yang juga mencakup kegiatan perikanan. Masyarakat perlu dibimbing pada bidang perikanan karena mereka belum memiliki latar belakang pengelolaan perikanan sebelumnya. Pemberian pelatihan dapat dilakukan dengan pihak lain seperti LSM maupun institusi pendidikan, sperti universitas, ataupun sekolah pertanian/ perikanan. Oleh karena itu, perlu dibangun demplot pertanian, sebagai pusat pelatihan juga nantinya sebagai pusat kegiatan agroforestri di kawasan tersebut Peningkatan Kadar ph Kandungan ph tanah pada kawasan ini sebesar Kondisi ph yang rendah ini menjadi batasan bagi komoditas tanaman yang akan ditanam dan perlu ditingkatkan kadarnya sampai mendekati netral agar aman untuk komoditas

84 64 pertanian yaitu 6. Untuk meningkatkan kadar ph tanah dapat dilakukan dengan cara pengapuran. Pengapuran yang dilakukan salah satunya dapat dengan menggunakan dolomit CaMg(CO 3 ) 2. Kebutuhan kapur CaMg(CO 3 ) 2 dapat ditentukan dengan mengetahui selisih antara ph yang diinginkan dengan ph pada kawasan penelitian (Sutanto, 2009). Kemudian hasil selisih ph ini disesuaikan dengan tabel kebutuhan kapur (Tabel 35). Selisih ph pada kawasan didapatkan sebesar 1.83, sehingga kapur yang dibutuhkan untuk kawasan ini sebesar 6.19 ton/ha. Peningkatan ph ini tidak bisa terjadi seketika, melainkan bertahap. Tabel 35. Kebutuhan Kapur Selisih nilai ph Kebutuhan Kapur CaMg(CO 3 ) 2 (ton/ha) 2, , , , , , , , , , , Sumber: Sutanto, 2009

85 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan pola agroforestri yang dapat diterapkan pada kawasan ini ialah agrosolvipastura+fisheries. Pola ini mengkombinasikan penanaman tanaman pohon, berupa karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A) (S3n), dan kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.) (N1f); tanaman cash crop, berupa ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) (N1f), dan padi lahan kering (Oryza sativa L.) (N1f); dengan komoditas peternakan berupa sapi (Bos Taurus) dan kerbau (Bos bubalus) dengan pakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.)/ penggembalaan (S3f); untuk tanaman sayur didapatkan Tomat (Solanum lycopersicum L.) (S3wf) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.) (S3wf); dan komoditas perikanan seperti bawal (Pampus Argentus), nila (Oreochromis niloticus), mas (Cyprinus Carpio), dan patin (Pangasius pangasius). 5.2 Saran Untuk menjadikan kawasan pasca-tambang sebagai area praktik agroforestri, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Masyarakat sekitar kawasan perlu dilibatkan dalam kegiatan pengembangan agroforestri. Dengan melibatkan masyarakat, sama halnnya dengan memberikan lapang pekerjaan kepada mereka, sehingga dapat mengurangi keberadaan PETI. Selain itu, rendahnya kadar ph tanah perlu ditingkatkan atau kawasan tidak akan berhasil untuk digunakan sebagai lahan untuk praktik agroforestri. Peningkatan kadar ph tanah salah satunya dapat menggunakan pengapuran. Kapur yang digunankan ialah kapur pertanian/ dolomite (CaMg(Co 3 ) 2 ) sebanyak 6.19 ton/ ha untuk menaikan ph sekarang sebesar 4.17 sampai nilai yang aman untuk praktik agroforestri atau mendekati netral sebesar 6.

86 DAFTAR PUSTAKA Ardianto, AE Pengaruh Pemberian Bahan Amelioran Senyawa Humat, Bahan Organik dan Kapur Terhadap Pertumbuhan Koro Benguk (Mucuna pruriens) Pada Lahan Bekas Tambang Batubara PT. Arutmin Indonesia Tambang Batulicin Kalimantan Selatan. Skripsi. Bogor:Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor. Arifin, HS, Wulandari, C, Pramukanto, Q, dan Kaswanto, RL Analisis Lanskap Agroforestri. Bogor: IPB Press. Arnold, BH The Evaluation of Reclamation Derelict Land and Ecosystems. Journal Land Rehabilitation and Restoration Ecology. 7 (2): Massachusetts. USA. [Bapedal], Aspek Lingkungan Dalam Amdal Bidang Pertambangan. Bapedal. Jakarta. Burley, JB Environmental Design For Reclaiming Surface Mines. The Edwin Mellen Press. New York. Ekawan, R Mencari Solusi Penanganan PETI, (Online), ( sub=news_minerbapabum&news_id=1228, diakses 18 januari 2012). [FAO] Guidelines: Land Evaluation For Rainfed Agriculture. Caracalla: Italy Feriansyah, C Pelaksanaan Proyek Reklamasi Lanskap Pascapenambangan Batubara di PT Arutmin Indonesia Tambang Batulicin, site Mangkalapi, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Skripsi. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Hardjowigeno, S., Widiatmaka Evaluasi Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Irwanto Focused Group Discussion (FGD): Sebuah Pengantar Praktis. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Khairuman,, dan Khairul Amri Buku Pintar Budi Daya 15 Ikan Konsumsi. Jakarta: AgroMedia Pustaka. [Minnesota Department of Natural Resources] A Handbook For Collecting Vegetation Plot Data In Minnesota: The Relevé Method. St. Paul: Minnesota Department of Natural Resources. Mulyanto, B Hubungan Fungsi Tanah Dan Kelembagaan Pengelolaan Pasca-tambang [SEMINAR DAN WORKSHOP REKLAMASI DAN PENGELOLAAN KAWASAN PASCA PENUTUPAN TAMBANG]. Bogor. [PT Arutmin Indonesia] Langkah Perjalanan PT Arutmin Indoensia Menegakkan Good Mining Practices. COMDES. Kalimantan.

87 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT.Arutmin Indonesia Tambang Satui. Satui: PT AI. Rangkuti, F Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan Strategi untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ryder, RA The Morphoedaphic Index--Use, Abuse, and Fundamental Concept. Transactions of The American Fhisheries Society, 11 (1): Santoso, AD. 2008, Studi Penentuan Produktivitas Danau Buatan dengan MEI (Morphoedaphic Index) Analysis. Jurnal Hidrosfir Indonesia, 3 (2): Sardjono, MA, Djogo, T, Arifin, HS, dan Wijayanto, N Bahan Ajaran Agroforestri 2: Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen Agroforestri. Bogor: World Agroforestry Center (ICRAF) Sitepoe, M Cara Memelihara Sapi Organik. Jakarta: Indeks Publishing Soelarno S. W Perencanaan Pembangunan Pasca-tambang Untuk Menunjang Pembangunan Berkelanjutan. [Disertasi]. Jakarta : Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Sternloff, RE. and Roger Warren Park and Recreation Maintenance Management. New York: John Wiley & Sons Inc. Sutanto, R Teknik Penyuburan Tanah. (Online). ( diakses 18 Januari 2012) Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

88 LAMPIRAN

89 Lampiran 1. Rekomendasi Pemerintah 69

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batu Bara Kegiatan penambangan merupakan proses ekstraksi bahan mineral yang bernilai ekonomis dari lapisan bumi demi memenuhi kebutuhan manusia (Gregory, 1983 disitasi

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan permukiman Sentul City yang terletak pada 06 33 55-06 37 45 LS dan 106 50 20-106 57 10 BT di wilayah administrasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Magang Kegiatan magang ini berlokasi di permukiman Telaga Golf Sawangan, yang terletak di Depok.

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Magang Kegiatan magang ini berlokasi di permukiman Telaga Golf Sawangan, yang terletak di Depok. 9 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Magang Kegiatan magang ini berlokasi di permukiman Telaga Golf Sawangan, yang terletak di Depok. U Gambar 2. Peta Telaga Golf Sawangan, Depok Sumber: Anonim 2010.

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Area Magang Sentul City: Masterplan Sentul City (Atas) dan Lokasi magang di kawasan permukiman Sentul City (Bawah)

Gambar 2. Peta Area Magang Sentul City: Masterplan Sentul City (Atas) dan Lokasi magang di kawasan permukiman Sentul City (Bawah) 10 III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Magang Magang ini dilakukan di kawasan permukiman Sentul City yang terletak pada Kecamatan Citeureup dan Kecamatan Kedung Halang meliputi, Desa Babakan Madang, Sumurbatu,

Lebih terperinci

Sumber: & google earth 2007 Gambar 2. Lokasi Penelitian

Sumber:  & google earth 2007 Gambar 2. Lokasi Penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Waktu kegiatan penelitian ini kurang lebih 5 bulan yaitu pada bulan Februari 2012 hingga Juni 2012. Lokasi penelitian yaitu di daerah Bogor Tengah dengan sampel

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian: Masterplan Sentul City (Atas); Jalur Sepeda Sentul City (Bawah) Tanpa Skala

BAB III METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian: Masterplan Sentul City (Atas); Jalur Sepeda Sentul City (Bawah) Tanpa Skala BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini mengambil lokasi di jalur sepeda Sentul City, Bogor, Indonesia (Gambar 4). Adapun waktu kegiatan penelitian ini kurang lebih selama

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian (Sumber: Bappeda, 2004 dan 2010)

BAB III METODOLOGI. Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian (Sumber: Bappeda, 2004 dan  2010) 12 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Kegiatan penelitian mengambil lokasi di Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution yang terletak di Jalan Belitung No. 1, Kelurahan Merdeka, Kecamatan Sumur

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara 4 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009, pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 2. Peta Jakarta Timur Gambar 3. Pata Lokasi Taman Mini Indonesia (Anonim, 2010b) Indah (Anonim, 2011)

BAB III METODOLOGI. Gambar 2. Peta Jakarta Timur Gambar 3. Pata Lokasi Taman Mini Indonesia (Anonim, 2010b) Indah (Anonim, 2011) BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Magang Kegiatan magang dilaksanakan di Taman Burung, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) (Gambar 3). Lokasi Taman Burung TMII ini berada di Kompleks TMII, Jalan Pondok

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. (c)foto Satelit Area Wisata Kebun Wisata Pasirmukti

BAB III METODOLOGI. (c)foto Satelit Area Wisata Kebun Wisata Pasirmukti BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Magang Kegiatan magang dilaksanakan di Kebun Wisata Pasirmukti yang terletak pada Jalan Raya Tajur Pasirmukti Km. 4, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Lebih terperinci

Gambar 2 Tahapan Studi

Gambar 2 Tahapan Studi 13 III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Studi dilakukan di Lembah Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat (Gambar 1). Pelaksanaan studi dimulai dari bulan Maret 2010 sampai

Lebih terperinci

METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu

METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu 19 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu Lokasi penelitian adalah Kelurahan Lenteng Agung RW 08. Waktu sejak pelaksanaan studi hingga pembuatan laporan hasil studi berlangsung selama 10 bulan (Maret 2011- Januari

Lebih terperinci

Sumber: Anonim (2011) Gambar 2. Peta Lokasi Ocean Ecopark Ancol

Sumber: Anonim (2011) Gambar 2. Peta Lokasi Ocean Ecopark Ancol 10 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Magang Kegiatan magang dilaksanakan di Ocean Ecopark Ancol yang terletak di Jalan Lodan Timur No.7, Jakarta Utara (Gambar 2). Ocean Ecopark yang terletak

Lebih terperinci

METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 9 METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan Situs Ratu Boko, Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tepatnya berjarak

Lebih terperinci

Jenis data Indikator Pengamatan Unit Sumber Kegunaan

Jenis data Indikator Pengamatan Unit Sumber Kegunaan 31 BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lanskap wisata TNB, Sulawesi Utara tepatnya di Pulau Bunaken, yang terletak di utara Pulau Sulawesi, Indonesia. Pulau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tambang batubara merupakan salah satu penggerak roda perekonomian dan pembangunan nasional Indonesia baik sebagai sumber energi maupun sumber devisa negara. Deposit batubara

Lebih terperinci

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA Antung Deddy Asdep Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Kerusakan Lahan Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan

Lebih terperinci

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN PENDAHULUAN Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi berdampak terhadap air tanah dan air permukaan. Perubahan

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 12 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE Penelitian di lapang berlangsung dari April 2011 sampai Juni 2011. Kegiatan penelitian ini berlokasi di Kawasan Industri Karawang International

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Penambangan Batubara

TINJAUAN PUSTAKA Penambangan Batubara 4 TINJAUAN PUSTAKA Penambangan Batubara Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009, pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri.

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri. Restorasi Organik Lahan Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri Ex-Tambang Restorasi Perubahan fungsi lahan pada suatu daerah untuk pertambangan,

Lebih terperinci

Departemen Arsitektur Lanskap Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Departemen Arsitektur Lanskap Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 85 Lampiran 1. Kuisioner SWOT Departemen Arsitektur Lanskap Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor KUISIONER EVALUASI JENIS POHON BAGI KONSERVASI KERAGAMAN TANAMAN HUTAN KOTA DI DKI JAKARTA Kepada

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A34203009 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP DALAM PEMBUKAAN TAMBANG

PERENCANAAN LANSKAP DALAM PEMBUKAAN TAMBANG PERENCANAAN LANSKAP DALAM PEMBUKAAN TAMBANG Oleh : Handoko Setiadji, S.T. Abstrak Berakhirnya sebuah tambang bukan merupakan berakhirnya suatu alur kegiatan pertambangan. Justru pada saat penutupan tambang

Lebih terperinci

Kayu bawang, faktor-faktor yang mempengaruhi, strategi pengembangan.

Kayu bawang, faktor-faktor yang mempengaruhi, strategi pengembangan. Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Agroforestry Koordinator : Ir. Budiman Achmad, M.For.Sc. Judul Kegiatan : Paket Analisis Sosial, Ekonomi, Finansial, dan Kebijakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG DISUSUN OLEH : BAGIAN HUKUM SETDA KOLAKA UTARA PEMERINTAH KABUPATEN KOLAKA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. di industri perunggasan khususnya telur ayam ras petelur. AAPS berlokasi di km

IV. METODE PENELITIAN. di industri perunggasan khususnya telur ayam ras petelur. AAPS berlokasi di km 37 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perusahaan AAPS, perusahaan yang bergerak di industri perunggasan khususnya telur ayam ras petelur. AAPS berlokasi

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA OLEH: MOCH SAEPULLOH A44052066 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN A. Pengumpulan Data

III. METODE KAJIAN A. Pengumpulan Data 27 III. METODE KAJIAN A. Pengumpulan Data Lokasi tempat pelaksanaan Program Misykat DPU DT berada di kelurahan Loji Gunung Batu, Kecamatan Ciomas, Kotamadya Bogor, Jawa Barat. Waktu pengumpulan data selama

Lebih terperinci

CARA PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN

CARA PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN CARA PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN keberadaan UU No.32 Tahun 2009 KHLS (Kajian Lingkungan hidup Strategis) Tata ruang Baku mutu lingkungan Kreteria baku kerusakan lingkungan Amdal UKL-UPL Perizinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya alam tambang di kawasan hutan telah lama dilakukan dan kegiatan pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia.

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur.

IV METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini PENDAHULUAN Latar Belakang Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini terkait dengan aspek ketahanan pangan dan kualitas lingkungan. Degradasi tanah menyebabkan penurunan LQ (land quality

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem

BAB I PENDAHULUAN. Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem tambang terbuka (open pit mining) dengan teknik back filling. Sistem ini merupakan metode konvensional

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.138, 2010 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. Reklamasi. Pasca Tambang. Prosedur. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN (Kasus Kampung Cimenteng, Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Kemasyarakatan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PETELUR PADA PERUSAHAAN AAPS KECAMATAN GUGUAK, KABUPATEN 50 KOTA, SUMATERA BARAT

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PETELUR PADA PERUSAHAAN AAPS KECAMATAN GUGUAK, KABUPATEN 50 KOTA, SUMATERA BARAT STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PETELUR PADA PERUSAHAAN AAPS KECAMATAN GUGUAK, KABUPATEN 50 KOTA, SUMATERA BARAT Oleh: NIA YAMESA A14105579 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI

PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI SKRIPSI Oleh: MEILAN ANGGELIA HUTASOIT 061201019/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG SKRIPSI ACHMAD SUBANDY

PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG SKRIPSI ACHMAD SUBANDY PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG SKRIPSI ACHMAD SUBANDY PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN DAN ANALISIS Faktor-faktor strategis pembentuk SWOT PT. KLS

BAB V PEMBAHASAN DAN ANALISIS Faktor-faktor strategis pembentuk SWOT PT. KLS BAB V PEMBAHASAN DAN ANALISIS 5.1. Faktor-faktor strategis pembentuk SWOT PT. KLS Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan strategi, dan kebijakan perusahaan.

Lebih terperinci

EVALUASI KEBERLANJUTAN MASYARAKAT DESA DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CISADANE MENUJU ECOVILLAGE DANI ABDURRAHMAN BASYIR

EVALUASI KEBERLANJUTAN MASYARAKAT DESA DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CISADANE MENUJU ECOVILLAGE DANI ABDURRAHMAN BASYIR EVALUASI KEBERLANJUTAN MASYARAKAT DESA DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CISADANE MENUJU ECOVILLAGE DANI ABDURRAHMAN BASYIR PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 31 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Bulan Februari 2013 hingga Agustus 2013 di kelompok pembudidaya Padasuka Koi Desa Padasuka, Kecamatan Sumedang Utara

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. Daerah penelitian adalah wilayah pesisir di Kecamatan Punduh Pidada,

III METODE PENELITIAN. Daerah penelitian adalah wilayah pesisir di Kecamatan Punduh Pidada, 35 III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Daerah penelitian adalah wilayah pesisir di Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Pemilihan daerah penelitian dilakukan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua desa yaitu di Desa Tangkil dan Hambalang di Kecamatan Citereup, Kabupaten Bogor. Penelitian di kedua desa ini adalah

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA MINUMAN INSTAN JAHE MERAH (Zingiber officinale Linn.Var.rubrum) CV.HANABIO - BOGOR. Disusun Oleh :

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA MINUMAN INSTAN JAHE MERAH (Zingiber officinale Linn.Var.rubrum) CV.HANABIO - BOGOR. Disusun Oleh : STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA MINUMAN INSTAN JAHE MERAH (Zingiber officinale Linn.Var.rubrum) CV.HANABIO - BOGOR Disusun Oleh : SYAIFUL HABIB A 14105713 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu B. Metode Kerja 1. Pengumpulan data

III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu B. Metode Kerja 1. Pengumpulan data 15 III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu Pengambilan data dilakukan di PT. Mitra Bangun Cemerlang yang terletak di JL. Raya Kukun Cadas km 1,7 Kampung Pangondokan, Kelurahan Kutabaru, Kecamatan Pasar

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kedua tempat usaha di kota Bogor, yaitu KFC Taman Topi dan Rahat cafe. KFC Taman Topi berlokasi di Jalan Kapten Muslihat

Lebih terperinci

KONSEP PEDOMAN TEKNIS INVENTARISASI BAHAN GALIAN TERTINGGAL DAN BAHAN GALIAN BERPOTENSI TERBUANG PADA WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN. Oleh : Tim Penyusun

KONSEP PEDOMAN TEKNIS INVENTARISASI BAHAN GALIAN TERTINGGAL DAN BAHAN GALIAN BERPOTENSI TERBUANG PADA WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN. Oleh : Tim Penyusun KONSEP PEDOMAN TEKNIS INVENTARISASI BAHAN GALIAN TERTINGGAL DAN BAHAN GALIAN BERPOTENSI TERBUANG PADA WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN Oleh : Tim Penyusun 1. PENDAHULUAN Pemanfaatan bahan galian sebagai sumber

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A34201023 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN YULIANANTO

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Wisata Agro Tambi yang terletak di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Pemilihan lokasi ini ditentukan secara sengaja

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Ciapus Bromel yang terletak di Ciapus Jl. Tamansari Rt 03/04, Desa Tamansari, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: 2460-6499 Perencanaan Kegiatan dan Biaya Reklamasi Penambangan Batuan Andesit di Gunung Siwaluh, Kampung Bolang, Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Lahan adalah lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaan lahannya (Hardjowigeno et

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penambangan batubara dapat dilakukan dengan dua cara: yaitu penambangan dalam dan penambangan terbuka. Pemilihan metode penambangan, tergantung kepada: (1) keadaan

Lebih terperinci

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH :

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH : EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH : AGNES HELEN R. PURBA 080303065 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA HARY RACHMAT RIYADI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Lahan Sitorus (1985) menjelaskan ada empat kelompok kualitas lahan utama : (a) Kualitas lahan ekologis yang berhubungan dengan kebutuhan tumbuhan seperti ketersediaan

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan Evaluasi Lahan Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan merupakan proses penilaian atau keragaab lahan jika

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Tata Ruang Lahan Daerah Penelitian. Menurut penataan ruang Kaupaten Lebak lokasi penambangn ini

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Tata Ruang Lahan Daerah Penelitian. Menurut penataan ruang Kaupaten Lebak lokasi penambangn ini BAB V PEMBAHASAN 5.1 Tata Ruang Lahan Daerah Penelitian Menurut penataan ruang Kaupaten Lebak lokasi penambangn ini diperuntukan untuk perkebunan dan budidaya. Disebelah timur lokasi tambang pada jarak

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perusahaan Tyas Orchid yang berkantor di Bukit Cimanggu City Blok Q6 No 19 Jl. KH. Sholeh Iskandar, Bogor. Pemilihan objek

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN 37 IV. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Loka Farm yang terletak di Desa Jogjogan, Kelurahan Cilember, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi ini

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP SEKOLAH ISLAM TERPADU UMMUL QURO BERDASARKAN KONSEP TAMAN ISLAMI FISQA TASYARA A

PERANCANGAN LANSKAP SEKOLAH ISLAM TERPADU UMMUL QURO BERDASARKAN KONSEP TAMAN ISLAMI FISQA TASYARA A PERANCANGAN LANSKAP SEKOLAH ISLAM TERPADU UMMUL QURO BERDASARKAN KONSEP TAMAN ISLAMI FISQA TASYARA A34203058 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Dengan ini

Lebih terperinci

PENGELOLAAN LANSKAP JALUR HIJAU KOTA JALAN JENDERAL SUDIRMAN JAKARTA PADA DINAS PERTAMANAN DKI JAKARTA. Oleh : RIDHO DWIANTO A

PENGELOLAAN LANSKAP JALUR HIJAU KOTA JALAN JENDERAL SUDIRMAN JAKARTA PADA DINAS PERTAMANAN DKI JAKARTA. Oleh : RIDHO DWIANTO A PENGELOLAAN LANSKAP JALUR HIJAU KOTA JALAN JENDERAL SUDIRMAN JAKARTA PADA DINAS PERTAMANAN DKI JAKARTA Oleh : RIDHO DWIANTO A34204013 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi, Bogor, Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada Agustus Oktober 2010, mencakup pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian yang dilakukan ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa perlu dilaksanakan pengembangan agroindustri serat sabut kelapa berkaret. Pengembangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian berlokasi di Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan yang berada di kawasan Taman Wisata Perairan Gili Matra, Desa Gili Indah,

Lebih terperinci

PERENCANAAN EKOWISATA DI ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (TNUK), BANTEN (Kasus Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang)

PERENCANAAN EKOWISATA DI ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (TNUK), BANTEN (Kasus Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang) PERENCANAAN EKOWISATA DI ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (TNUK), BANTEN (Kasus Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang) AINI HARTANTI A34204035 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN Oleh : Mutiara Ayuputri A34201043 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di PT. Godongijo Asri yang berlokasi di Jalan Cinangka Km 10, Kecamatan Sawangan, Kotamadya Depok. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Asahan, untuk melihat kajian secara

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Asahan, untuk melihat kajian secara III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Asahan, untuk melihat kajian secara umum. Sedangkan untuk kajian detil dilakukan di kecamatan-kecamatan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Jan

IV. METODOLOGI 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Jan IV. METODOLOGI 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Tapak secara geografis terletak di 3 o 16 32-3 o 22 43 Lintang Selatan dan 114 o 3 02 114 o 35 24 Bujur Timur administratif termasuk ke dalam Kelurahan Kertak

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu jenis tanaman budidaya yang dimanfaatkan bagian akarnya yang membentuk umbi

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Koperasi Unit Desa (KUD) Puspa Mekar yang berlokasi di Jl. Kolonel Masturi, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat.

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batu Bara pada ruang

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batu Bara pada ruang 23 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batu Bara pada ruang lingkup wilayah kerja Dinas Perkebunan Kabupaten Batu Bara dan Dinas Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Metode Pengambilan Sampel

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Metode Pengambilan Sampel IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di peternakan domba Tawakkal Farm (TF) Jalan Raya Sukabumi Km 15 Dusun Cimande Hilir No. 32, Caringin, Bogor. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri dan Kawasan Industri Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri, industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 33 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Studi ini dilakukan di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Secara administrasi pemerintahan Kota Padang Panjang terletak di Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan hakekatnya merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dari generasi ke generasi. Sudah sejak lama, komitmen pertambangan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data

METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua lokasi, yakni Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, khususnya di Kesatuan Bisnis Mandiri (KBM) Agroforestry yang membawahi

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci