INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA GUNUNGKIDUL 2014 HUMAN DEVELOPMENT INDEX

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA GUNUNGKIDUL 2014 HUMAN DEVELOPMENT INDEX"

Transkripsi

1

2 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA GUNUNGKIDUL 2014 HUMAN DEVELOPMENT INDEX

3 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA GUNUNGKIDUL (HUMAN DEVELOPMENT INDEX) 2014 No. ISSN : - No. Publikasi : Katalog BPS : Ukuran Buku Penulis Editor : 21,3 cm x 29,2 cm : Nur Hidayati, S.ST : Kasi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS Kabupaten Gunungkidul Cover : Buhari Muslim, S.ST Diterbitkan oleh : BPS Kabupaten Gunungkidul Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya

4 SAMBUTAN KEPALA BADAN PERENCANAAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur panjang, sehat dan menjalankan kehidupan yang produktif. Hal ini tampaknya merupakan suatu kenyataan sederhana. Tetapi hal ini seringkali terlupakan oleh berbagai kesibukan untuk memberikan perhatian utama pada pertumbuhan ekonomi saja. Upaya pemberdayaan manusia secara komprehensif merupakan tujuan utama pembangunan serta menjadi indikator keberhasilan pembangunan itu sendiri. Buku ini membahas aspek pembangunan manusia sebagai sasaran pembangunan dengan maksud sebagai bahan evaluasi hasil pemberdayaan manusia yang telah dicapai. Dengan terwujudnya publikasi ini, atas bantuan dan kerjasama semua pihak yang terlibat, saya ucapkan terima kasih. Wonosari, Oktober 2015 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Gunungkidul Kepala, Ir. Syarief Armunanto, M.M. NIP Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul, 2014 iii

5 KATA PENGANTAR Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dikembangkan sebagai salah satu alat evaluasi aspek pemberdayaan penduduk dalam konteks pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. IPM memiliki tiga komponen utama yakni aspek kesehatan, pendidikan, dan pendapatan yang berkaitan dengan kemampuan daya beli penduduk. Tercapainya kualitas ketiga aspek tersebut secara seimbang diharapkan mampu menempatkan manusia secara beradab dalam proses pembangunan. Sehingga pembangunan tidak hanya mengejar angka-angka target perkembangan namun juga mengandung unsur pemberdayaan penduduk baik secara ekonomi dan sosial. Pada edisi kali ini, IPM yang ditampilkan merupakan IPM yang dihitung dengan metode baru. Hal ini menyebabkan dampak secara umum level IPM menjadi lebih rendah dibandingkan dengan metode sebelumnya. Kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya publikasi ini, khususnya kepada Bappeda Kabupaten Gunungkidul atas kerjasamanya dalam penyusunan buku ini, kami sampaikan terima kasih. Kritik dan saran untuk penyempurnaan publikasi ini di masa mendatang sangat diharapkan. Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca. Wonosari, Oktober 2015 Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul Kepala, Agus Handriyanto, SE, M.Si NIP Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul, 2014 iv

6 DAFTAR ISI Sambutan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... iii iv v vii viii I. Pendahuluan Latar Belakang Tujuan... 4 II. Metodologi Sumber Data Metode Penghitungan Komponen dan Indikator Penyusun IPM Angka Harapan Hidup Pendidikan Pengeluaran per Kapita Disesuaikan... 7 III. Deskripsi Obyek Kajian Kondisi Geografis Kependudukan Ketenagakerjaan Penduduk yang Bekerja dan Menganggur Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha Bekerja Menurut Status Tingkat Pengangguran Terbuka Tingkat Setengah Pengangguran IV. Potensi Ekonomi Struktur Ekonomi Laju Pertumbuhan Ekonomi PDRB Per kapita V. Kesehatan Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul, 2014 v

7 5.1 Usia Harapan Hidup Angka Kesakitan Fasilitas Kesehatan Masyarakat VI. Pendidikan Fasilitas dan Sarana Pendidikan Rasio Murid-Guru Tingkat Partisipasi Sekolah Harapan Lama Sekolah Rata-rata Lama Sekolah VII. Posisi Pembangunan Manusia VIII. Penutup Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul, 2014 vi

8 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Konversi Tahun Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan... 7 Tabel 2.2. Nilai Maksimum dan Minimum komponen IPM... 9 Tabel 3.1. Gambaran Penduduk Kabupaten Gunungkidul, Tabel 3.2. Indikator Ketenagakerjaan Kabupaten Gunungkidul, Tabel 4.1. Kinerja Ekonomi Kabupaten Gunungkidul, Tabel 5.1. Indikator Kesehatan Kabupaten Gunungkidul, Tabel 6.1. Indikator Pendidikan Kabupaten Gunungkidul, Tabel 7.1. Indikator IPM Kabupaten Gunungkidul, Tabel 7.2. Perbandingan Nilai IPM Kabupaten Gunungkidul dengan Daerah Lainnya di Provinsi D.I Yogyakarta, Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul, 2014 vii

9 DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Gunungkidul, (Persen) Gambar 3.2. Komposisi Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Gunungkidul, 2014 (Persen) Gambar 3.2. Komposisi Penduduk Bekerja Menurut Status Pekerjaan di Kabupaten Gunungkidul, 2014 (Persen) Gambar 3.3. Tingkat Pengangguran Terbuka Kabupaten Gunungkidul, (Persen) Gambar 3.4. Jumlah Penduduk Bekerja <35 Jam per Minggu di Kabupaten Gunungkidul, (Persen) Gambar 4.1. Peranan Kategori PDRB Kabupaten Gunungkidul, 2014 (Persen) Gambar 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Gunungkidul, (Persen) Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul, 2014 viii

10 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. Pengalaman pada dekade tersebut menunjukkan adanya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi gagal memperbaiki taraf hidup sebagaian besar penduduknya. Oleh karena itu, selama kurun waktu , pemerintah berupaya keras untuk menerapkan paradigma pemerataan pembangunan di seluruh wilayah. Pemerintah secara sentralistik menerapkan program-program pembangunan kepada daerah-daerah miskin dan pelosok-pelosok desa untuk mengejar ketertinggalan. Hasil akhir dari pembangunan manusia tersebut adalah lahirnya manusia yang mandiri dan mampu memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan pembangunan nasional di seluruh wilayah. Pada tahun 1991 Bank Dunia menerbitkan laporan yang menegaskan bahwa tantangan utama pembangunan adalah memperbaiki kualitas kehidupan. Maka dari itu, pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur soaial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi nasional. Sejalan dengan perkembangan pembangunan, konsep pembangunan manusia muncul untuk memperbaiki kelemahan konsep pertumbuhan ekonomi karena selain memperhitungkan aspek pendapatan juga memperhitungkan aspek kesehatan dan pendidikan. Pembangunan manusia yang berkualitas selama ini menjadi isu utama ketika berbagai pihak berbicara mengenai tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Komitmen ini tidak hanya menjadi isu regional atau nasional tetapi merupakan komitmen bersama seluruh masyarakat internasional seperti yang tertuang dalam Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Developnent Goals MDG s). Komitmen yang disepakati para pemimpin dunia dalam KTT pada bulan September 2000 memuat delapan butir pernyataan sebagai berikut : 1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan 2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua 3. Mendorong kesetaraan dan pemberdayaan jender 4. Menurunkan angka kematian anak Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

11 5. Meningkatkan kesehatan ibu 6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya 7. Memastikan kelestarian lingkungan hidup 8. Mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan Dari butir-butir pernyataan di atas, tersirat bahwa penanggulangan kemiskinan dan upaya pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan merupakan prioritas perhatian. Sasaran semua itu adalah manusia. Keberpihakan ini tentu saja tidak cukup tertuang dalam komitmen, namun memerlukan implementasi yang nyata. Dalam lingkup nasional, pemerintah dewasa ini gencar melaksanakan programprogram pembangunan yang menyangkut pembiayaan untuk mengangkat kondisi sosial ekonomi masyarakat secara langsung khususnya bagi penduduk berpendapatan rendah. Program yang bersifat intervensi tersebut dianggap perlu mengingat terbatasnya akses penduduk miskin terhadap faktor-faktor produksi maupun layanan pendidikan dan kesehatan. Di bidang pendidikan, Pemerintah menyalurkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membantu biaya penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah dan membantu meringankan biaya sekolah bagi murid yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Di bidang kesehatan dilakukan dengan peningkatan gizi masyarakat yang diharapkan meningkatkan kecerdasan bangsa sehingga usia hidup rata-rata bangsa Indonesia juga akan meningkat. Dalam lingkup daerah, ada empat arah Kebijakan Pembangunan yang akan ditempuh pemerintah Kabupaten Gunungkidul baik dalam jangka panjang maupun pendek. Keempat arah kebijakan tersebut adalah pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, pemberdayaan masyarakat, penanggulangan pengangguran, dan pengentasan kemiskinan. Keempat arah tersebut juga telah dituangkan ke dalam sasaran pembangunan di semua sektor. Kebijakan di atas sejalan dengan rekomendasi United Nations Development Programme (UNDP) terkait dengan kebutuhan pembiayaan yang lebih memadai bagi masyarakat miskin untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Secara eksplisit UNDP menyarankan bahwa Indonesia perlu memberikan prioritas investasi yang lebih tinggi pada upaya pembangunan manusia dan bagaimana cara pembiayaannya. Ditambahkan pula bahwa pembangunan manusia merupakan hak azasi manusia yang sangat penting untuk meletakkan dasar yang kokoh bagi pertumbuhan ekonomi dan menjamin keberlangsungan demokrasi dalam jangka panjang. Telah banyak kritik yang diserukan Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

12 para pengamat maupun lembaga-lembaga internasional yang meneliti tingkat ketimpangan pendapatan karena peran pembangunan ekonomi yang hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun mengabaikan kesempatan bagi manusia untuk hidup lebih berkualitas. Teori pembangunan yang utamanya berlandaskan pada ilmu ekonomi sedikit banyak telah mengantarkan kita kepada penilaian bahwa kesejahteraan penduduk dapat diukur dengan nilai tambah ekonomi yang dihasilkan, yang umumnya dihitung dengan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk skala nasional atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk regional. Pada era 1970-an dunia mengenal indeks PDB (atau PNB) yang digunakan sebagai indikator tunggal untuk menilai besarnya kekayaan negara. Logikanya, semakin tinggi PDB suatu negara maka semakin besar pula penghasilan penduduk dan semakin sejahtera negara itu. Namun, ternyata ada kesenjangan antara skala PDB dengan kondisi nyata di lapangan. Beberapa negara mencatat indeks PDB yang cukup mengesankan, namun ternyata kemudian diketahui masih banyak penduduknya yang tidak bisa membaca. Stewart, Streeten, dan Hicks (1981) mulai merumuskan metode pengukuran kebutuhan dasar manusia, yang dipertegas oleh Amartya Sen (1985) melalui kritiknya terhadap skala GNP. Menurut Amartya, taraf hidup manusia tidak boleh hanya dipandang dari sekadar tingkat pendapatan, namun juga kualitas hidup yang dimilikinya. Akhirnya tahun 1995, Mahbub Ul-Haq, ilmuwan Pakistan yang bekerja di UNDP mengembangkan indikator progres ekonomi baru yaitu Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan besaran agregat PNB, tingkat harapan hidup, serta harapan lamanya sekolah dan lamanya sekolah. Skala IPM hingga kini digunakan di berbagai penjuru dunia sebagai tolok ukur kesejahteraan suatu bangsa. Meskipun demikian, IPM juga tak lepas dari kritik karena indikator ini tak dapat mengukur dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan pembangunan. Karena sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan bahwa pembangunan adalah untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengabaikan kepentingan generasi mendatang. Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini yang diakibatkan oleh pembangunan akan menurunkan kualitas hidup manusia di masa mendatang. Terlepas dari kritik di atas, pada bagian buku ini selanjutnya, kita akan membahas konsep IPM sebagai salah satu ukuran untuk melihat kualitas pembangunan manusia dengan mengabaikan isu atau kritik terhadap IPM. Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

13 IPM mencakup tiga aspek kebutuhan dasar manusia yakni kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Tiga aspek ini menunjukkan tingkat pembangunan manusia suatu wilayah melalui pengukuran penduduk yang sehat dan berumur panjang, berpendidikan dan berketrampilan, serta memiliki pendapatan yang memungkinkan untuk hidup layak. Pembangunan tiga aspek yang menjadi fokus perhatian dalam penghitungan IPM tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan sinergi diantara ketiganya. Diperlukan peran pemerintah sebagai penyusun kebijakan pembangunan dalam rangka memberi kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidup melalui keterlibatan mereka dalam pembangunan. 1.2 Tujuan Tujuan penulisan buku ini untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten Gunungkidul melalui pengamatan pada aspek yang menjadi indikator dalam penghitungan IPM, yakni kesehatan, pendidikan dan pendapatan penduduk. Buku ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah serta pengguna data lainnya tentang posisi pembangunan manusia di Kabupaten Gunungkidul. Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

14 II. METODOLOGI 2.1 Sumber Data Data yang digunakan dalam pembahasan ini sebagian besar berasal dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta beberapa data penunjang yang berasal dari dinas/instansi yang terkait seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan dan instansi lainnya. 2.2 Metode Penghitungan Metode pembahasan dalam buku ini merupakan kombinasi analisis deskriptif dan analisis induktif. Dalam penghitungan IPM dibutuhkan beberapa indikator utama, antara lain lamanya hidup (longevity), pengetahuan (knowledge) dan standar hidup layak (decent living). Dalam penghitungan, masing-masing indikator tersebut diukur dengan variabel yang mewakili komponen-komponen yang menyusun IPM. Komponen usia harapan hidup diukur dengan angka harapan hidup (e 0 ), pengetahuan diwakili oleh harapan lama sekolah dan rata-rata lamanya sekolah. Adapun komponen standar hidup diukur dengan nilai konsumsi riil per kapita yang disesuaikan dengan rumus Atkinson. Pada tahun 2010, UNDP memperkenalkan penghitungan IPM dengan metode baru. Tahun 2011 dan 2014 dilakukan penyempurnaan metodologi (IPM Metode Baru). Indonesia mulai menerapkan penghitungan IPM dengan metode baru ini pada tahun Adapun dampak dari perubahan metodologi baru ini secara umum level IPM dengan metode baru lebih rendah dibanding dengan IPM metode lama serta terjadi perubahan peringkat IPM, dan peringkat IPM tersebut tidak dapat diperbandingkan akibat adanya perbedaan indikator dan metodologi. Alasan yang dijadikan dasar perubahan metodologi penghitungan IPM antar lain: yang pertama, beberapa indikator sudah tidak tepat untuk digunakan dalam penghitungan IPM. Angka melek huruf sudah tidak relevan dalam mengukur pendidikan secara utuh karena tidak dapat menggambarkan kualitas pendidikan. Selain itu, karena angka melek huruf di sebagian besar daerah sudah tinggi, sehingga tidak dapat membedakan tingkat pendidikan antardaerah dengan baik. PDRB per kapita juga tidak Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

15 dapat menggambarkan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah. Alasan kedua yaitu penggunaan rumus rata-rata aritmatik dalam penghitungan IPM menggambarkan bahwa capaian yang rendah di suatu dimensi dapat ditutupi oleh capaian tinggi dari dimensi lain. Artinya, untuk mewujudkan pembangunan manusia yang baik, ketiga dimensi harus memperoleh perhatian yang sama besar karena sama pentingnya. Pada metodologi yang baru ini indikator angka melek huruf pada metode lama diganti dengan angka harapan lama sekolah. Sedangkan metode penghitungan secara diubah dari rata-rata aritmatik menjadi rata-rata geometrik. 2.3 Komponen dan Indikator Penyusun IPM Angka Harapan Hidup Angka harapan hidup penduduk pada waktu lahir yang biasa dilambangkan dengan e 0 adalah rata-rata jumlah tahun yang akan dijalani oleh sekelompok orang yang dilahirkan pada suatu waktu tertentu jika pola mortalitas untuk kelompok umur tersebut bersifat tetap pada masa mendatang. Penghitungan e 0 dapat dilakukan dengan bantuan Life Table, namun hal ini belum dapat dilakukan di Indonesia. Sistem registrasi penduduk masih belum dikelola secara baik dan berkesinambungan, sehingga data yang dibutuhkan yakni data kematian menurut kelompok umur tidak tersedia. Untuk itu, ditempuh alternatif penghitungan secara tidak langsung dengan menggunakan dua variabel yakni rata-rata anak yang dilahirkan hidup (live birth) dan rata-rata anak yang masih hidup (still living) untuk setiap wanita berusia tahun menurut kelompok umur lima tahunan. Penghitungan e 0 dilakukan dengan perangkat lunak Mortpak for Windows, Version 4.0. Angka e 0 yang diperoleh dengan metode tak langsung ini merujuk pada keadaan 3-4 tahun dari tahun survei Pendidikan Dalam penghitungan IPM ada dua indikator bidang pendidikan yang digunakan, yaitu harapan lama sekolah dan rata-rata lamanya sekolah. Angka harapan lama sekolah didefinisikan lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada usia tertentu di masa mendatang. Diasumsikan bahwa peluang anak tersebut akan tetap bersekolah pada umur-umur berikutnya sama dengan peluang penduduk yang bersekolah per jumlah penduduk untuk umur yang sama saat ini. Angka harapan lama Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

16 sekolah dihitung untuk penduduk berusia 7 tahun ke atas. HLS dapat digunakan untuk mengetahui kondisi pembangunan sistem pendidikan di berbagai jenjang yang ditunjukkan dalam bentuk lamanya pendidikan (dalam tahun) yang diharapkan dapat dicapai oleh setiap anak. Sedangkan rata-rata lamanya sekolah merupakan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk dalam menjalani pendidikan formal. Diasumsikan bahwa dalam kondisi normal rata-rata lama sekolah suatu wilayah tidak akan turun. Cakupan penduduk yang dihitung dalam penghitungan rata-rata lama sekolah adalah penduduk berusia 25 tahun ke atas. Lamanya sekolah dikonversi dari jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan seperti terlihat pada Tabel 2.1 berikut ini. Tabel 2.1. Konversi Tahun Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Lamanya Sekolah (tahun) (1) (2) 1. Tidak/belum pernah sekolah 0 2. Sekolah Dasar 6 3. SMP 9 4. SMA Diploma I/II 13/14 6. Akademi/Diploma III Diploma IV/Sarjana S2/S3 18/ Pengeluaran per Kapita Disesuaikan Pengeluaran per kapita yang disesuaikan ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas daya beli (Purchasing Power Parity-PPP). Rata-rata pengeluaran per kapita setahun diperoleh dari susenas, rata-rata pengeluaran per kapita dibuat konstan/riil dengan tahun dasar 2012=100. Perhitungan paritas daya beli pada metode baru menggunakan 96 komoditas dimana 66 komoditas merupakan makanan dan sisanya merupakan komoditas nonmakanan. Metode penghitungan paritas daya beli menggunakan Metode Rao. Penghitungan PPP/unit dilakukan dengan rumus : Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

17 Dimana : p ik : harga komoditas i di Jakarta Selatan p ij m : harga komoditas i di kab/kota j : jumlah komoditas Sebelum dihitung menjadi sebuah indeks komposit (gabungan), masing-masing komponen IPM distandardisasi dengan nilai minimum dan maksimum. Rumus yang digunakan sebagi berikut : Dimensi Kesehatan : Dimensi Pendidikan : Dimensi Pengeluaran : Jadi masing-masing indeks komponen IPM tersebut merupakan rasio selisih antara nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih antara nilai maksimum dan nilai minimum yang bersangkutan. Standar nilai masing-masing komponen IPM dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut : Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

18 Tabel 2.2. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Indikator Satuan Minimum Maksimum UNDP BPS UNDP BPS Angka Harapan Hidup saat Lahir (AHH) Harapan Lama Sekolah (HLS) Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Tahun Tahun Tahun Pengeluaran per Kapita Disesuaikan 100 (PPP U$) * (Rp) (PPP U$) ** (Rp) Batas maksimum minimum mengacu pada UNDP kecuali indikator daya beli Keterangan: * Daya beli minimum merupakan garis kemiskinan terendah kabupaten tahun 2010 (data empiris) yaitu di Tolikara-Papua ** Daya beli maksimum merupakan nilai tertinggi kabupaten yang diproyeksikan hingga 2025 (akhir RPJPN) yaitu perkiraan pengeluaran per kapita Jakarta Selatan tahun 2025 Selanjutnya IPM dihitung menggunakan rumus : Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

19 III. DESKRIPSI OBYEK KAJIAN 3.1 Kondisi Geografis Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah Provinsi DIY yang berada di bagian tenggara dengan luas wilayah sekitar 1.485,36 km 2 atau 46,63 persen dari luas wilayah Provinsi DIY. Untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan, kabupaten ini secara berjenjang terbagi menjadi 18 kecamatan dan 144 desa. Wilayah bagian utara Kabupaten Gunungkidul berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah dan bagian selatan berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Adapun di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Sleman, yang keduanya juga merupakan bagian dari Provinsi DIY serta pada bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri (Provinsi Jawa Tengah). Berdasarkan letak geografisnya, Kabupaten Gunungkidul terbentang pada ' hingga ' Lintang Selatan dan ' hingga ' Bujur Timur. Wilayah kabupaten ini berada pada ketinggian antara 0 hingga 700 meter di atas permukaan air laut dengan topografi wilayah yang cukup bervariasi mulai pantai, dataran, hingga lereng dan berbukit-bukit. Berdasarkan penggunaannya sebagian besar wilayah Kabupaten Gunungkidul merupakan areal pertanian. Namun demikian, sekitar 90 persennya merupakan lahan kering tadah hujan yang pemanfaatan potensinya sangat tergantung dari curah hujan yang ada. 3.2 Kependudukan Berdasarkan Proyeksi Hasil Sensus Penduduk (SP) 2010, jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2014 tercatat sebanyak jiwa. Selama periode , jumlah penduduk mengalami pertumbuhan rata-rata 0,79 persen per tahun. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, maka tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Gunungkidul mencapai 470,47 jiwa/km 2. Dilihat menurut komposisinya, penduduk Kabupaten Gunungkidul terdiri dari penduduk laki-laki dan penduduk perempuan sehingga rasio jenis kelaminnya tercatat sebesar 93,63 persen. Hal ini berarti dari setiap seratus orang penduduk perempuan di Kabupaten Gunungkidul terdapat sekitar 94 orang penduduk laki-laki. Selama beberapa tahun terakhir rasio jenis kelamin penduduk di Kabupaten Gunungkidul berada pada kisaran 94 persen. Salah satu faktor yang cukup mempengaruhi adalah mobilitas penduduk laki-laki yang lebih tinggi dari Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

20 penduduk wanita, terutama pada penduduk yang sudah berusia kerja. Terbatasnya kesempatan kerja yang tersedia bagi para penduduk yang mulai memasuki usia kerja menyebabkan banyak penduduk laki-laki produktif yang ke luar Gunungkidul untuk mencari pekerjaan. Dependency ratio, angka rasio ketergantungan yang menyatakan besarnya beban yang menjadi tanggungan kelompok umur produktif tahun 2014 terhitung sebesar 52,90 yang berarti bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung sekitar 53 orang yang belum produktif dan sudah tidak produktif lagi. Angka tersebut didapatkan dari data jumlah penduduk kelompok umur tahun sebanyak jiwa atau sekitar 65,40 persen. Sedangkan sisanya, sebanyak jiwa atau 34,60 persen merupakan penduduk kelompok umur muda (0-14 tahun) dan kelompok umur tua (65 tahun keatas). Namun demikian, ukuran ini masih sangat kasar karena hanya memandang penduduk dari sisi umur saja. Sementara sisi yang lain seperti status sekolah, status pekerjaan serta aktivitas sehari-harinya diabaikan. Ditinjau menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan, mayoritas penduduk Kabupaten Gunungkidul yang berumur 15 tahun ke atas didominasi oleh mereka yang menamatkan tingkat pendidikan SD ke bawah. Jumlahnya mencapai 50,58 persen. Kelompok penduduk yang telah menamatkan pendidikan sampai tingkat SMP jumlahnya sekitar 23,62 persen. Adapun mereka yang menamatkan pendidikan sampai SMA tercatat sebesar 18,16 persen dan selebihnya sekitar 7,64 persen adalah penduduk yang menamatkan pendidikan tingkat Diploma ke atas. Dalam lima tahun terakhir proporsi penduduk yang hanya berpendidikan SD ke bawah berkisar pada angka 48 hingga 50 persen. Sedang persentase mereka yang berpendidikan SMP berada pada rentang antara persen dari penduduk usia 15 tahun ke atas dan yang berpendidikan SMA menjadi 18,16 persen dari 18,3 persen pada tahun sebelumnya. Adapun penduduk yang mengenyam pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi naik dari angka 4 persen menjadi 7 persen. Namun demikian, jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi DIY, Kabupaten Gunungkidul masih memiliki persentase penduduk yang menamatkan pendidikan sampai dengan tingkat SD yang terbesar. Hal ini menandakan secara relatif rata-rata tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Gunungkidul masih lebih rendah dibandingkan daerah lainnya. Kondisi ini membawa konsekuensi perlunya upaya lebih kuat untuk meningkatkan tingkat pendidikan penduduk baik melalui jalur pendidikan Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

21 formal maupun non formal. Berdasarkan klasifikasi wilayahnya juga terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara daerah perkotaan dan pedesaan seputar pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduknya. Hal ini terkait dengan belum meratanya persebaran fasilitas dan sarana belajar serta jumlah pengajar pada masing-masing tingkat sekolah. Tabel 3.1. Gambaran Penduduk Kabupaten Gunungkidul, Uraian Jumlah Penduduk 1) a. Laki-laki b. Perempuan Penduduk menurut Kelompok Umur a b c. 65 ke atas Rasio Beban Ketergantungan 54,52 55,93 53,45 52,80 52,90 4. Tingkat Pendidikan Penduduk Usia 15+ (%) a. SD ke bawah 48,8 48,2 48,6 49,2 50,58 b. Tamat SMP 26,8 30,6 30,8 28,3 23,62 c. Tamat SMA 19,8 17,2 17,4 18,3 18,16 d. Diploma/Universitas 4,6 4,1 3,2 4,1 7,64 Sumber : BPS Kabupaten Gunungkidul Catatan : 1) Jumlah penduduk menggunakan data hasil proyeksi 3.3 Ketenagakerjaan Sasaran yang ingin dicapai dalam bidang pembangunan sumberdaya manusia adalah memperluas kesempatan berusaha bagi penduduk, baik di sektor formal maupun sektor informal. Sasaran ini dapat dicapai jika terjadi keseimbangan antara penawaran (supply) dan permintaan (demand) di pasar kerja. Kenyataannya, kedua faktor tersebut tidak pernah mencapai keseimbangan, sehingga terjadi akumulasi pencari kerja baik karena ketiadaan lapangan pekerjaan atau karena ketrampilan yang dimiliki para pencari Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

22 kerja tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Pilihan bekerja pada sektor informal tak dapat dihindari karena terbatasnya penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Di samping itu, masih besarnya porsi tenaga kerja tidak trampil (unskilled labor) turut memicu pertumbuhan sektor informal, karena hanya sektor ini yang bisa menampung mereka. Tekanan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pasca krisis ekonomi berdampak besar pada pertumbuhan lapangan kerja. Kondisi pertumbuhan ekonomi yang melambat di satu sisi dengan tingginya penawaran tenaga kerja di sisi lain menyebabkan upaya penciptaan kesempatan kerja bagi penduduk menjadi terganggu. Berdasarkan konsep dari International Labour Organization (ILO), penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) dibagi menjadi dua golongan yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Termasuk dalam kelompok angkatan kerja adalah penduduk yang bekerja dan penduduk yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (menganggur). Sedangkan bukan angkatan kerja mencakup penduduk yang berstatus sekolah, mengurus rumah tangga, pensiunan dan lain-lain. Konsep bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan tujuan memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan dan dilakukan paling sedikit selama satu jam berturut-turut dalam satu minggu. Sedangkan pengangguran didefinisikan sebagai penduduk usia kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha atau sudah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja atau mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Beberapa aspek ketenagakerjaan yang dibahas dalam publikasi ini mengkaitkan beberapa hal, diantaranya adalah tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK), tingkat pengangguran terbuka, tingkat setengah pengangguran, kualitas tenaga kerja yang tersedia serta daya serap masing-masing sektor ekonomi Penduduk yang Bekerja dan Mengganggur Berdasarkan hasil Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2014, jumlah penduduk yang berusia kerja (15 tahun ke atas) di Kabupaten Gunungkidul mencapai jiwa atau 79,54 persen dari seluruh penduduk. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah penduduk berusia kerja naik sebanyak 1,20 persen. Penduduk usia kerja terbagi menjadi dua golongan, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari penduduk yang statusnya bekerja dan Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

23 pengangguran terbuka. Jumlah penduduk bekerja di Kabupaten Gunungkidul dari hasil estimasi Sakernas tahun 2014 tercatat sebanyak jiwa. Jumlah ini lebih banyak dibanding tahun sebelumnya dengan kenaikan sebesar 1.00 persen. Jumlah penduduk bekerja di gunungkidul menjadi sangat mudah berubah presentasenya karena berpindahnya status sebagian penduduk bukan angkatan kerja karena alasan mengurus rumah tangga, sekolah atau yang lainnya yang mulai bekerja namun hal ini banyak terjadi pada penduduk bekerja yang berstatus sebagai pekerja tak dibayar/pekerja keluarga yang umumnya memiliki jam kerja di bawah jam kerja normal. Jumlah penduduk yang menganggur pada tahun 2014 tercatat sebanyak jiwa. Yang jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah pengangguran mengalami penurunan sebesar 3,93 persen. Adapun angka pengangguran terbuka ini sebesar 1,61 persen dari penduduk angkatan kerja. Hal ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang sebesar 1,69 persen, yang berarti masih ada penduduk angkatan kerja yang belum terserap di pasar kerja. Walaupun angkanya cukup kecil, tetapi perlu diupayakan oleh pihak terkait untuk menambah bekal penduduk angkatan kerja tersebut antara lain melalui pendidikan dan pelatihan tenaga kerja. Laju pertumbuhan ekonomi tahun 2014 yang relatif rendah yaitu sebesar 4,54 persen diduga sebagai penyebab banyaknya angkatan kerja yang tidak tertampung dalam pasar kerja. Angka ini turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 4,97 persen. Pemerintah melalui instrumen kebijakan fiskal diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga dapat memacu pertumbuhan lapangan kerja baru. Adapun sektor swasta dapat membuka penanaman modal baru yang mendorong naiknya kapasitas produksi sehingga dapat menciptakan lowongan kerja baru Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) TPAK merupakan rasio antara jumlah angkatan kerja dengan jumlah penduduk yang berusia kerja. Angkatan kerja mencakup penduduk berumur 15 tahun ke atas yang berstatus bekerja, atau mempunyai pekerjaan namun sementara sedang tidak bekerja dan pengangguran. Secara umum indikator ini menunjukkan persentase penduduk yang terlibat aktif dalam dunia kerja dan yang membutuhkan pekerjaan (aktif secara ekonomi). Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

24 Gambar 3.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Gunungkidul, (Persen) TPAK Kabupaten Gunungkidul selama periode menunjukkan pola yang menarik dicermati terutama pergerakan tahun Pada tahun 2010 angka TPAK tercatat yang naik menjadi 75,93 persen, dan kemudian mengalami kenaikan lagi hingga 80,43 persen pada tahun 2012 atau yang tertinggi dalam kurun lima tahun terakhir. Namun turun kembali tahun 2013 dan 2014 menjadi 77,87 persen dan 77,65 persen. Secara umum, TPAK pada tahun 2014 ini menggambarkan besarnya jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul yang terlibat aktif dalam kegiatan perekonomian. Walaupun tingkat partisipasi sekolah pada jenjang SMA terus meningkat namun masih banyak diantara anak-anak sekolah tersebut yang ikut membantu pekerjaan keluarganya walaupun hanya sebagai pekerja keluarga. Untuk melihat kualitas pekerja, dapat kita cermati dari komposisi mereka yang bekerja ditinjau dari jenjang pendidikan yang mereka tamatkan. Pada tahun 2014, kelompok penduduk yang bekerja didominasi oleh mereka yang hanya berpendidikan SD ke bawah yakni sekitar persen. Kelompok berikutnya adalah mereka yang berpendidikan SMP sebesar 20,36 persen dan SMA 17,94 persen. Sedangkan sisanya, sekitar 8,60 persen penduduk yang bekerja mengenyam pendidikan sampai tingkat diploma/universitas. Kecenderungan meningkatnya penduduk bekerja berpendidikan rendah dan menurunnya yang berpendidikan menengah dan tinggi menyiratkan kurangnya lapangan kerja yang tersedia untuk golongan pencari kerja berpendidikan sehingga menyebabkan adanya migrasi ke kota-kota lain pada golongan ini. Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

25 Hal ini juga berimplikasi kepada adanya kesimpulan bahwa pengembangan usaha yang membutuhkan tenaga terampil dan skill yang tinggi tentu akan sulit dikembangkan di daerah ini karena pasar kerja yang tersedia tidak akan bergeser secara drastis dari kondisi saat ini. Persoalan masih rendahnya tingkat pendidikan pekerja, akan mempengaruhi produktivitas kerja yang cenderung lebih rendah, sehingga balas jasa yang diterima juga rendah. Dampak akhirnya adalah kesejahteraan sulit terangkat walau mereka telah berusaha untuk bekerja secara maksimal. Upaya untuk lebih meningkatkan kemampuan kerja mereka dapat ditempuh dengan berbagai program, antara lain melalui pelatihan ketrampilan serta pengetahuan untuk berusaha secara mandiri/wiraswasta dengan menggunakan ketrampilan dasar yang telah dikuasai. Berusaha secara mandiri merupakan pilihan yang realistis karena mereka akan sulit bersaing untuk bekerja di lapangan kerja formal yang umumnya mensyaratkan pendidikan dan ketrampilan yang lebih tinggi. Upaya sinkronisasi antara kebutuhan dunia kerja terhadap pekerja dengan tingkat ketrampilan yang dimiliki oleh pekerja yang dihasilkan oleh dunia pendidikan juga perlu mendapat perhatian serius dari pihak-pihak yang berwenang. Kecenderungan naik turunnya mobilitas pekerja antar sektor khususnya sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh kualitas pekerja dan faktor musiman. Ini terjadi pada pekerja yang memiliki ketrampilan terbatas dengan status sebagai buruh atau pekerja lepas yang banyak terjadi di sektor pertanian. Kelompok ini terdiri dari pekerja yang bisa berganti pekerjaan tergantung permintaan tenaga kerja yang tersedia. Pekerja di sektor pertanian umumnya memiliki mobilitas tinggi untuk berganti pekerjaan dan tergantung musim tanam komoditas pertanian. Ketika musim kering, umumnya pekerja sektor pertanian melakukan mobilitas kerja karena tidak mungkin mengandalkan dari hasil pertanian yang sebagian besar diusahakan di lahan kering/tadah hujan. Berganti lapangan usaha lainnya atau berusaha bekerja pada sektor informal di kota menjadi pilihan sambil menunggu musim tanam kembali. Keterbatasan pilihan dan posisi tawar yang lemah mendorong mereka berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang bersifat temporer yang umumnya banyak tersedia di sektor informal Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha Struktur perekonomian Kabupaten Gunungkidul masih didominasi oleh kategori pertanian. Hal ini tercermin dari dominannya kategori pertanian dalam menyerap tenaga Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

26 kerja yakni mencapai 52,61 persen, kemudian disusul oleh kategori perdagangan yakni sebesar 13,17 persen serta kategori kontruksi dan industri yang masing-masing sebesar 8,04 persen dan 7,13 persen, sedangkan kategori yang lain nilainya masing-masing dibawah 5 persen. Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 13.17% Konstruksi 8.04% Industri Pengolahan 7.13% Jasa Pendidikan 4.62% Pertanian, Kehuta nan, dan Perikanan 52.61% Lainnya 14.42% Gambar 3.2. Komposisi Penduduk Bekerja menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Gunungkidul, 2014 (Persen) Kecenderungan tingginya pekerja pada kategori pertanian sangat dipengaruhi oleh keadaan alam di Gunungkidul. Pertanian yang dimiliki Kabupaten Gunungkidul sebagian besar adalah lahan kering tadah hujan yang tergantung pada daur iklim khususnya curah hujan. Lahan sawah beririgasi relatif sempit dan sebagian besar sawah tadah hujan. Pekerja di kategori pertanian umumnya memiliki mobilitas tinggi untuk berganti pekerjaan dan tergantung musim tanam komoditas pertanian. Ketika musim kering, umumnya pekerja pertanian melakukan mobilitas kerja karena tidak mungkin mengandalkan dari hasil pertanian yang sebagian besar diusahakan di lahan kering/tadah hujan. Berganti lapangan usaha lainnya atau berusaha bekerja pada sektor informal di Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

27 kota menjadi pilihan sambil menunggu musim tanam kembali. Keterbatasan pilihan dan posisi tawar yang lemah mendorong mereka berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang bersifat temporer yang umumnya banyak tersedia di sektor informal Bekerja Menurut Status Status bekerja menunjukkan posisi seseorang dalam suatu wadah dimana seseorang atau sekelompok orang sepakat untuk melakukan suatu kegiatan ekonomi dengan mekanisme kerja dan tujuan yang disepakati bersama. Posisi ini juga memperlihatkan kemampuan baik manajerial maupun ketrampilan seseorang ketika berperan di dalam kelompoknya. Jika seseorang tak ingin melibatkan diri pada kelompok tertentu, dia dapat memilih mengelola usaha sendiri dimana dia berperan sebagai manajer sekaligus pekerja. Berusaha sendiri 10.02% Pekerja bebas di non pertanian 7.69% Pekerja bebas di pertanian 1.52% Pekerja keluarga/tak dibayar 28.14% Buruh/karyawan /pegawai 21.52% Berusaha dibantu buruh tidak tetap/tak dibayar 29.06% Berusaha dibantu buruh tetap/dibayar 2.06% Gambar 3.3. Komposisi Penduduk Bekerja menurut Status Pekerjaan di Kabupaten Gunungkidul, 2014 (Persen) Secara umum kualitas penduduk yang berstatus bekerja di Kabupaten Gunungkidul masih relatif rendah. Hal ini tercermin dari besarnya persentase penduduk yang berstatus sebagai pekerja tidak dibayar atau pekerja keluarga. Jumlahnya mencapai 28,14 persen dari seluruh penduduk yang bekerja pada tahun Sejalan dengan itu, jumlah penduduk yang berusaha dengan dibantu oleh pekerja tidak dibayar/pekerja tidak tetap juga cukup tinggi, yakni sekitar 29,06 persen. Kenyataan ini menjadi nilai Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

28 pengurang terhadap rendahnya angka pengangguran di Gunungkidul. Sebagian besar diantaranya melakukan kegiatan usaha pada sektor pertanian atau sektor perdagangan, hotel dan restoran yang umumnya bekerja membantu kepala rumah tangga tanpa memperoleh bayaran/upah. Penduduk bekerja yang berstatus sebagai buruh/karyawan/pegawai juga cukup banyak, yakni mencapai 21,52 persen. Sedangkan jumlah penduduk yang berusaha sendiri sekitar 10,02 persen. Umumnya mereka memiliki keterbatasan ketrampilan dan kemampuan secara ekonomi. Sehingga bekerja secara mandiri bagi mereka merupakan alternatif untuk dijalani karena kesulitan bersaing dengan pekerja lainnya. Disamping itu, sektor formal lebih memilih untuk menampung pekerja dengan ketrampilan dan kemampuan yang lebih baik. Oleh karena itu, mereka terpaksa bekerja pada sektor pertanian maupun sektor informal yang lainnya. Kelompok penduduk bekerja yang memiliki jiwa kewirausahaan relatif lebih tinggi adalah mereka yang berstatus bekerja dengan dibantu oleh pekerja dibayar. Persentase penduduk dalam kelompok ini terbilang kecil, hanya 2,06 persen dari seluruh penduduk bekerja. Angka ini lebih kecil sedikit jika dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya yang angkanya juga hanya mencapai 2,89 persen Tingkat Pengangguran Terbuka Permasalahan umum yang sering dijumpai dalam bidang ketenagakerjaan di semua wilayah/negara di dunia adalah tingkat pengangguran yang cenderung tinggi. Tingginya angka pengangguran mempunyai implikasi sosial yang sangat luas, karena akan semakin besar pula potensi kerawanan sosial yang ditimbulkan. Sebaliknya, semakin rendah angka pengangguran maka stabilitas sosial dalam masyarakat akan semakin baik. Indikator yang digunakan untuk mengukurnya adalah tingkat pengangguran terbuka (TPT). TPT dihitung dari perbandingan antara penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja yang berstatus menganggur dengan jumlah penduduk yang termasuk angkatan kerja pada periode tertentu. TPT Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2014 tercatat sebesar 1,61 persen, lebih rendah dibandingkan TPT tahun 2013 yang sebesar 1,69 persen. Dalam beberapa tahun terakhir TPT Gunungkidul cenderung menurun dengan landai, jika kurun waktu sebelum 2012 berada dalam kisaran 2-4 persen, dan pada tahun TPT di Gunungkidul berada pada kisaran di bawah 2 persen. Meskipun angka TPT ini relatif kecil, namun tetap Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

29 mengindikasikan adanya permasalahan dalam penciptaan lapangan kerja baru, sehingga mereka yang siap untuk bekerja tidak tertampung oleh bursa tenaga kerja. Akumulasi pencari kerja yang tidak tertampung akan semakin besar dari tahun ke tahun. Jika kondisi ini tidak segera dipecahkan, dalam beberapa tahun mendatang akan terjadi akumulasi yang semakin besar yang dapat berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Di masa mendatang program pembangunan untuk menciptakan peluang ketersediaan lapangan pekerjaan serta upaya memberi ketrampilan bagi penduduk agar berusaha mandiri perlu diprioritaskan melalui program pendidikan ketrampilan bagi penduduk usia kerja. Peran pemerintah sebagai regulator kebijakan hendaknya diarahkan pada upaya yang memungkinkan terbukanya lapangan kerja baru dengan memberi insentif serta pembinaan yang berkelanjutan bagi usaha-usaha tersebut Gambar 3.4. Tingkat Pengangguran Terbuka Kabupaten Gunungkidul, (Persen) Untuk mengetahui kualitas penduduk yang menganggur dapat dicermati dari jenjang pendidikan yang ditamatkan. Sekitar 50,22 persen penduduk yang mencari kerja berlatar belakang pendidikan SMA sederajat dengan 27,74 persen diantaranya adalah SMA. Komposisi terbesar berikutnya adalah penduduk yang berlatar belakang pendidikan SD ke bawah, yakni sebesar 22,35 persen, dan penganggur yang berlatar belakang Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

30 pendidikan SMP sederajat sekitar 18,00 persen. Sisanya sebesar 9,41 persen merupakan penduduk menganggur yang berpendidikan tinggi (Diploma ke atas). Besarnya persentase penduduk menganggur yang berpendidikan SMA ke atas lebih banyak disebabkan karena terbatasnya jumlah kesempatan kerja yang tersedia, sehingga mereka terpaksa menunggu untuk mendapatkan pekerjaan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang kemudian pergi ke luar Gunungkidul untuk mencari pekerjaan yang sesuai. Kenyataan ini menuntut perlunya kebijakan khusus dalam memilih jenis investasi untuk pembukaan lapangan kerja baru di Kabupaten Gunungkidul. Jika pemerintah lebih berorientasi pada lapangan usaha yang relatif padat modal dan menuntut pekerja dengan kualitas tinggi maka dikhawatirkan banyak pencari kerja yang tidak dapat memenuhi spesifikasi keahlian yang diminta. Diamati berdasarkan usianya, sebagian besar penduduk yang menganggur didominasi oleh mereka yang berusia produktif. Sebanyak 74,85 persen merupakan penduduk yang berusia tahun. Mereka inilah yang terlibat aktif untuk mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha baru Tingkat Setengah Pengangguran Selain masalah pengangguran terbuka, hal yang cukup menarik pula untuk dicermati adalah masalah penganggur terselubung atau yang biasa dikenal dengan istilah setengah pengangguran. Penganggur tipe ini adalah mereka yang berstatus bekerja namun memiliki jam kerja kurang dari 35 jam selama seminggu. Dengan profil ketenagakerjaan yang didominasi oleh pekerja yang berpendidikan relatif rendah, maka bekerja di bawah jam kerja normal berimplikasi pada produktivitas yang rendah. Kondisi ini tidak dapat dielakkan karena umumnya mereka bekerja hanya membantu pekerjaan kepala rumah tangga atau sebagai pekerja tidak dibayar. Penduduk yang termasuk dalam kelompok ini juga sangat rentan terpengaruh kondisi makro perekonomian, sehingga jika tidak mendapatkan perhatian serius dari semua pihak kelompok ini sangat potensial menambah jumlah pengangguran terbuka. Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

31 Gambar 3.5. Persentase Penduduk Bekerja <35 Jam per Minggu di Kabupaten Gunungkidul, Persentase penduduk yang tergolong sebagai pengganggur terselubung di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2014 tercatat sekitar 32,67 persen. Jika dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan, sebanyak 63,29 persen penduduk yang termasuk dalam kelompok penganggur terselubung berpendidikan SD ke bawah. Sebanyak 19,87 persen hanya berpendidikan setingkat SMP. Yang perlu menjadi perhatian lebih adalah jumlah pengangguran terselubung berusia kurang dari 50 tahun berjumlah 49,89 persen yang menunjukkan kurang produktifnya penduduk usia produktif di Gunungkidul. Karakteristik lain dari penganggur terselubung Gunungkidul adalah didominasi oleh anggota rumah tangga yang membantu kepala rumah tangga yang umumnya sebagai pekerja keluarga atau pekerja tidak dibayar (49,35 persen). Sebanyak 68,35 persen dari penganggur terselubung berjenis kelamin perempuan dan bekerja untuk sekedar membantu kepala rumah tangga dalam meringankan beban ekonomi keluarga. Dalam gambaran budaya agraris hal itu merupakan hal yang wajar. Gambaran ini mengisyaratkan bahwa ketergantungan ekonomi daerah ini yang masih tinggi kepada sektor pertanian diikuti dengan produktivitas pekerja yang rendah. Hal ini disebabkan besarnya pekerja yang hanya berstatus membantu pekerja kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga lainnya sebagai pekerja tak dibayar. Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

32 Tabel 3.2. Indikator Ketenagakerjaan Kabupaten Gunungkidul, Uraian (1) (2) (3) (4) (5) 1. Angkatan Kerja a. Bekerja b. Pengangguran Terbuka TPAK (%) 75,93 80,43 77,87 77,65 3. Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 2,23 1,38 1,69 1,61 4. Bekerja Kurang dari 35 Jam Seminggu (%) 41,41 38,92 57,83 32,17 6. Bekerja Menurut Status (%) a. Berusaha Sendiri 10,76 10,38 9,58 10,01 b. Berusaha Dgn Buruh Tdk Tetap 34,48 30,17 32,43 29,06 c. Berusaha Dgn Buruh Tetap 2,43 2,32 2,89 2,06 d.buruh/karyawan/pegawai 26,84 26,56 26,96 21,52 e. Pekerja Tidak Dibayar 25,49 30,56 28,14 28,14 Sumber : Sakernas , BPS Kabupaten Gunungkidul Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

33 IV. POTENSI EKONOMI Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan agregat nilai tambah aktivitas perekonomian di suatu wilayah selama waktu tertentu. Angka PDRB yang dibagi dengan jumlah penduduk menghasilkan nilai PDRB per kapita. Indikator ini sering digunakan sebagai salah satu ukuran untuk melihat taraf hidup atau tingkat kemakmuran suatu daerah atau negara. Akan tetapi, banyak kritik yang menyatakan PDRB per kapita belum sepenuhnya dapat mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. PDRB per kapita hanya merupakan suatu agregat yang belum tentu dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk dalam suatu wilayah. Bahkan tidak menutup kemungkinan pendapatan tersebut sama sekali tidak dinikmati oleh penduduk, karena nilai tambah yang tercipta tersebut langsung ditransfer ke wilayah lain. Hal itu mungkin terjadi jika faktor-faktor produksi dikuasai oleh orang/lembaga yang bukan berasal dari daerah bersangkutan. 4.1 Struktur Ekonomi PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Gunungkidul dalam lima tahun terakhir menunjukkan trend yang semakin meningkat, dari 8.848,04 milyar rupiah pada tahun 2010 hingga mencapai ,58 milyar rupiah pada tahun Namun demikian, angka tersebut belum menggambarkan kondisi riil perkembangan perekonomian, karena masih dipengaruhi oleh faktor inflasi/perubahan harga. Nilai PDRB atas dasar harga konstan 2010 sebagai nilai PDRB yang sudah menghilangkan pengaruh inflasi Kabupaten Gunungkidul pada periode yang sama juga menunjukkan trend yang semakin meningkat, dari 8.848,04 milyar rupiah pada tahun 2010 menjadi ,47 milyar rupiah pada tahun Nilai PDRB inilah yang menunjukkan perkembangan riil kinerja perekonomian Kabupaten Gunungkidul selama periode tersebut. Struktur perekonomian sebagian masyarakat Gunungkidul masih didominasi kategori Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Sumbangan kategori ini masih mencapai lebih dari seperempat nilai PDRB. Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir sumbangan kategori ini semakin kecil. Sumbangan masing-masing kategori pada 2014 ini masih dipimpin oleh kategori tersebut, diikuti oleh kategori konstruksi; kategori industri pengolahan; kategori administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib serta kategori perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor. Kategori lain yang menyumbang lebih dari 5 persen adalah kategori transportasi dan pergudangan; Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

34 kategori penyediaan akomodasi dan makan minum, kategori informasi komunikasi, serta kategori jasa pendidikan. Sementara peranan kategori lainnya di bawah 5 persen. Administrasi Jasa Pemerintahan, Per Pendidikan tahanan dan 6.08% Jaminan Sosial Wajib 9.17% Lainnya 13.07% Pertanian, Kehuta nan, dan Perikanan 25.77% Informasi dan Komunikasi 7.20% Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 5.71% Transportasi dan Pergudangan 5.19% Konstruksi 9.58% Industri Pengolahan 9.47% Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 8.76% Gambar 4.1. Peranan Kategori PDRB Kabupaten Gunungkidul, 2014 (Persen) Masih tingginya ketergantungan ekonomi terhadap sektor pertanian, seyogyanya membuat pemerintah harus memperhatikan kesinambungan sektor ini dalam menyerap tenaga kerja selama belum ada sektor lain yang dapat dikembangkan untuk menyerap limpahan pekerjanya. Di samping itu, penerapan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian juga diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Apalagi diketahui selama ini sektor pertanian menjadi limpahan pengangguran terselubung atau pekerja keluarga yang secara teoritis memiliki produktivitas yang rendah. Sehingga upaya untuk mendorong pertumbuhan sektor ini membutuhkan peningkatan produktivitas yang nyata. Di masa mendatang, pengembangan sektor lainnya untuk menampung kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian perlu diperhatikan. Secara teoritis pengalihan ini tidak akan menyebabkan turunnya output sektor pertanian. Dengan asumsi marginal produktivitas tenaga kerja sektor pertanian yang rendah bahkan nol, maka relokasi tenaga kerja juga akan mendorong naiknya produktivitas pekerja sektor pertanian Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

35 sehingga peluang meningkatkan kesejahteraan penduduk yang bekerja di sektor pertanian makin terbuka. 4.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi Laju pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan perubahan PDRB atas dasar harga konstan tahun yang bersangkutan terhadap tahun sebelumnya merupakan salah satu indikator makro untuk melihat kinerja perekonomian riil di suatu wilayah. Pengaruh perubahan harga/tingkat inflasi sudah dihilangkan, sehingga nilai pertumbuhan yang diperoleh merupakan penambahan kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan dan bukan penambahan nilai yang disebabkan oleh perubahan harga. Pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai pertambahan jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh semua sektor kegiatan ekonomi yang ada di suatu wilayah selama kurun waktu setahun. Perekonomian Gunungkidul pada tahun 2014 mengalami perlambatan dibandingkan pertumbuhan tahun-tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan PDRB Gunungkidul tahun 2014 mencapai 4,54 persen, sedangkan tahun 2013 sebesar 4,97 persen. Pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai oleh kategori Jasa Keuangan dan Asuransi sebesar 11,05 persen. Seluruh kategori ekonomi PDRB yang lain pada tahun 2014 mencatat pertumbuhan yang positif, kecuali kategori pertanian, kehutanan dan perikanan yang tumbuh negatif 0,62 persen. Adapun kategori-kategori lainnya berturut-turut mencatat pertumbuhan yang positif, di antaranya kategori Jasa Keuangan dan Asuransi mencatat 11,05 persen, kategori Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum mencatat sebesar 8,61 persen, kategori Jasa Pendidikan sebesar 8,13 persen, kategori Real Estat 8,09 persen, kategori Informasi dan Komunikasi 7,60 persen, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial sebesar 7,37 persen, kategori Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor sebesar 6,77 persen, kategori jasa lainnya 6,42 persen, kategori Jasa Perusahaan 6,37 persen, diikuti kategori Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 5,79 persen dan kategori Konstruksi 5,06 persen. Adapun kategori yang pertumbuhannya kurang dari lima persen adalah kategori Pengadaan Listrik dan Gas sebesar 4,22 persen, kategori Industri Pengolahan 4,11 persen, kategori Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 3,88 persen, kategori Transportasi dan Pergudangan sebesar 2,43 persen, kategori Pertambangan dan Penggalian sebesar 1,60 persen. Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

36 * 2014** Gambar 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Gunungkidul, (Persen) 4.3 PDRB Per kapita PDRB per kapita menyatakan rata-rata nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh setiap penduduk di suatu daerah dalam waktu setahun. Salah satu komponen dalam nilai tambah tersebut adalah upah dan gaji yang diterima masyarakat sebagai balas jasa tenaga kerja. Jika PDRB per kapita meningkat, secara hipotesis pendapatan masyarakat juga akan meningkat. Ukuran ini sering dijadikan salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat. Secara nominal, PDRB per kapita Kabupaten Gunungkidul terus mengalami peningkatan dari 13,06 juta rupiah pada tahun 2010 menjadi 17,97 juta rupiah pada tahun Dengan pertumbuhan sebesar 9,09 persen, Pertumbuhan ini merupakan yang tertinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya yang secara berturut-turut sejak 2012 sebesar 8,85 persen, 7,09 persen dan 8,15 persen. Peningkatan tersebut mengisyaratkan terjadinya peningkatan pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Peningkatan pendapatan ini diharapkan dapat memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi masyarakat. Namun demikian, PDRB per kapita nominal ini belum menggambarkan kenaikan kesejahteraan masyarakat secara riil. Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

37 Tabel 4.1. Kinerja Ekonomi Kabupaten Gunungkidul, Uraian * 2014** (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. PDRB atas dasar harga berlaku (juta Rp) 8,848, ,739, ,545, ,530, ,715, Struktur Ekonomi (%) Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Industri Pengolahan Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Lainnya PDRB atas dasar harga konstan 2010 (juta Rp) 4. Pertumbuhan ekonomi (%) 5. PDRB Per kapita (juta Rp) Ket : *) Angka sementara **) Angka sangat sementara Sumber : PDRB menurut lapangan usaha 2014, BPS Kabupaten Gunungkidul 8,848, ,248, ,695, ,177, ,639, Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

38 V. KESEHATAN Pembangunan bidang kesehatan bertujuan meningkatkan derajat kesehatan penduduk yang ditandai dengan kemampuan yang lebih besar untuk melaksanakan pola hidup sehat. Untuk itu, terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bersifat menyeluruh, merata dan terpadu serta dapat terjangkau oleh sebagian besar masyarakat menjadi sangat penting. Proses pembangunan kesehatan yang baik akan ditandai oleh kemudahan masyarakat dalam mengakses serta memperoleh layanan kesehatan serta meningkatnya kemampuan ekonomi untuk belanja kesehatan. Upaya pelayanan kesehatan dilakukan oleh pemerintah maupun swasta dimaksudkan untuk menjangkau masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan. Indikator yang dapat mengukur pencapaian pembangunan kesehatan, diantaranya adalah usia harapan hidup dan angka kematian bayi (infant mortality rate - IMR). Disamping itu, ada beberapa variabel yang dapat mempengaruhi indikator tersebut seperti: angka kesakitan, lamanya sakit serta rasio ketersediaan fasilitas kesehatan. 5.1 Usia Harapan Hidup Indikator ini menunjukkan kondisi dan sistem pelayanan kesehatan masyarakat, karena mampu merepresentasikan output dari upaya pelayanan kesehatan secara komprehensif. Hal ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa jika seseorang memiliki derajat kesehatan yang semakin baik maka yang bersangkutan akan berpeluang memiliki usia lebih panjang atau mempunyai angka harapan hidup yang tinggi. Angka harapan hidup merupakan indikator yang cukup efektif untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada khususnya. Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan di suatu wilayah akan disertai oleh peningkatan usia harapan hidup penduduknya, namun sebaliknya semakin rendah usia harapan hidup di suatu wilayah mencerminkan buruknya kualitas pembangunan kesehatan. Angka harapan hidup menggambarkan perkiraan ratarata tahun hidup yang akan dijalani oleh bayi yang baru lahir pada suatu tahun tertentu. Usia harapan hidup penduduk Kabupaten Gunungkidul selama periode menunjukkan tren yang semakin meningkat. Pada tahun 2010, usia harapan hidup penduduk mencapai 73,35 tahun, dan terus meningkat menjadi 73,39 tahun pada tahun Secara umum, angka ini menunjukkan usia rata-rata yang akan dijalani oleh Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

39 seorang bayi yang dilahirkan hidup pada tahun 2014 adalah mencapai 73,39 tahun. Peningkatan usia harapan hidup ini secara tidak langsung menunjukkan adanya perbaikan kualitas kesehatan penduduk. Program perbaikan kualitas kesehatan penduduk terutama pada kelompok yang berpendapatan rendah selama beberapa tahun terakhir dilakukan melalui program Askeskin (asuransi kesehatan bagi keluarga miskin), jamkesmas dan jamkesos. Program intervensi ini diharapkan dapat menaikkan kualitas kesehatan penduduk secara umum dengan sasaran utama mereka yang memiliki daya beli rendah terhadap pelayanan kesehatan. Sebagai perbandingan, usia harapan hidup rata-rata secara nasional pada tahun 2014 sekitar 70,59 tahun, sedangkan di Provinsi DIY sekitar 74,50 tahun. Dengan demikian seperti tahun-tahun sebelumnya, rata-rata angka harapan hidup penduduk Kabupaten Gunungkidul masih berada di bawah rata-rata angka harapan hidup penduduk DIY, namun jika dibandingkan dengan rata-rata Indonesia, angka harapan hidup kabupaten ini berada di atas rata-rata nasional. 5.2 Angka Kesakitan Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi kesehatan masyarakat dalam suatu wilayah adalah angka kesakitan penduduk dan rata-rata lamanya sakit. Angka kesakitan penduduk merupakan proporsi penduduk yang mengalami gangguan kesehatan sehingga menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari, baik bekerja, sekolah maupun yang lainnya. Sedangkan rata-rata lamanya sakit menyatakan rata-rata lamanya hari penduduk mengalami keluhan sampai menyebabkan terganggunya aktivitas. Rata-rata lamanya sakit menunjukkan tingkat keparahan penduduk akibat dari akumulasi sakit yang dirasakan penduduk. Kedua ukuran ini dihitung berdasarkan data hasil Susenas. Waktu rujukan yang digunakan untuk mengamati indikator ini adalah selama sebulan yang lalu dari saat pencacahan. Besaran ini menggambarkan derajat kesehatan penduduk yang diwakili oleh angka kesakitan dan rata-rata lama sakit. Berdasarkan hasil Susenas, persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan selama tahun 2014 tercatat sebanyak 41,84 persen. Sedikit mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 38,3 persen. Akan tetapi tingkat keparahan penyakit yang diukur dari rata-rata lamanya sakit mengalami penurunan dari 4,70 hari pada tahun 2013 menjadi 4,68 hari pada tahun Fenomena ini mengindikasikan insiden kesakitan yang terjadi pada masyarakat relatif meningkat Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

40 akan tetapi berkurangnya angka rata-rata lama kesakitan mengindikasikan tingkat pelayanan fasilitas kesehatan yang lebih baik. Angka kesakitan penduduk yang cukup tinggi ini membutuhkan perhatian serius melalui upaya peningkatan kualitas pelayanan dan penanganan penyakit yang diderita oleh penduduk. Keluhan kesehatan yang banyak dialami oleh masyarakat adalah penyakit akibat perubahan musim seperti pilek, batuk dan panas. Penyebab utama jenis penyakit tersebut adalah daya tahan tubuh yang kurang menunjang, disamping faktor kesehatan lingkungan serta perubahan cuaca yang terjadi secara mendadak. Selama tahun 2014, tercatat sebanyak 19,6 persen penduduk menderita keluhan batuk dan 17,5 persen penduduk menderita pilek. Adapun penyakit lainnya yang cukup banyak dikeluhkan penduduk adalah sakit panas yang dialami sekitar 11,8 persen penduduk. 5.3 Fasilitas Kesehatan Masyarakat Upaya mengatasi keluhan kesehatan yang diderita penduduk harus didukung oleh ketersediaan fasilitas dan sarana kesehatan yang mudah diakses oleh penduduk. Disamping itu, keterjangkauan akses dari sisi harga juga perlu diperhatikan. Karakteristik ekonomi sebagian besar masyarakat Kabupaten Gunungkidul yang masih lemah, harus ditanggulangi dengan memberikan kesehatan relatif murah. Jenis fasilitas kesehatan yang masih menjadi rujukan utama penduduk dalam berobat adalah puskesmas dan puskesmas pembantu (pustu). Ketersediaan fasilitas kesehatan masyarakat milik Pemerintah yang berbiaya murah ini serta dekat dengan lingkungan penduduk sekitarnya diharapkan mampu memberi layanan kesehatan yang umumnya diderita oleh penduduk seperti penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi, bukan penyakit degeneratif. Sampai dengan tahun 2014, jumlah fasilitas kesehatan di Kabupaten Gunungkidul yang terdiri dari 1 rumah sakit, 30 puskesmas dan 110 puskesmas pembantu. Jika diasumsikan setiap penduduk memiliki akses yang sama terhadap fasilitas tersebut, maka setiap unit puskesmas memiliki beban untuk melayani jiwa penduduk dan setiap pustu melayani jiwa penduduk. Sehingga rata-rata sebuah fasilitas kesehatan baik rumah sakit, puskesmas maupun pustu di Kabupaten Gunungkidul memiliki beban untuk melayani penduduk. Angka ini masih lebih rendah dari rekomendasi PBB yang menyatakan setiap fasilitas puskesmas dan pustu kesehatan yang tersedia maksimal melayani sebanyak penduduk. Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

41 Di samping kedua fasilitas kesehatan tersebut, masih terdapat juga fasilitas kesehatan lainnya yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta seperti klinik kesehatan, rumah sakit, panti, dokter praktek, perawat praktek, bidan desa dan yang lainnya. Diharapkan pada masa mendatang beban sebuah puskesmas dalam melayani penduduk dapat lebih ringan lagi. Namun karena umumnya tarif fasilitas kesehatan selain puskesmas dan pustu relatif lebih mahal, tidak semua lapisan masyarakat mampu menjangkau dan memanfaatkannya sesuai dengan prosedur berobat yang resmi. Sehingga tumpuan masyarakat untuk memperoleh layanan ke puskesmas dan pustu tetap merupakan pilihan utama bagi penduduk untuk mengatasi masalah kesehatan. Prasyarat yang cukup menentukan semakin baiknya derajat kesehatan penduduk adalah kondisi makro ekonomi yang meningkat yang akan ditandai pula dengan membaiknya daya beli masyarakat. Hal ini akan menaikkan kemampuan penduduk mengakses fasilitas kesehatan yang memadai jika mengalami masalah kesehatan. Pemberian fasilitas berobat terutama kepada keluarga miskin melalui kartu Askeskin/Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) juga akan membantu peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Hal terpenting yang perlu menjadi perhatian serius pemerintah daerah adalah peningkatan kualitas layanan dari fasilitas yang tersedia serta ketersediaan obat/vaksin yang memadai. Distribusi pelayanan yang merata di semua wilayah juga harus mendapat perhatian serius. Masih besarnya persentase penduduk terutama yang tinggal di daerah pedesaan pinggiran masih kesulitan mengakses sarana kesehatan yang tersedia. Dari sisi biaya kesehatan, sebagian besar masyarakat sudah mampu menjangkau. Namun mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk transportasi ke fasilitas kesehatan yang tersedia. Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

42 Tabel 5.1. Indikator Kesehatan Kabupaten Gunungkidul, Uraian (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. Usia harapan hidup (tahun) 1) a. Jumlah Puskesmas 2) b. Rasio penduduk-puskesmas a. Jumlah Pustu 2) b. Rasio penduduk-pustu Penduduk mengalami gangguan kesehatan (%) 1) 24,15 14,50 38,5 38,3 41,84 5. Rata-rata lamanya sakit (hari) 1) 5,43 5,03 4,75 4,70 4,68 Sumber : 1) BPS Kabupaten Gunungkidul 2) Dinas Kesehatan Kab. Gunungkidul Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

43 VI. PENDIDIKAN Peranan pendidikan dalam pembangunan kualitas manusia lebih diarahkan pada peningkatan ketrampilan (skill) dan kemampuan beradaptasi dengan dunia kerja dan lingkungan sosial. Dengan pengetahuan dan skill yang lebih baik, masyarakat diharapkan mampu memberdayakan diri mereka untuk berperan dalam lingkungan dan mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi. Dalam perkembangan kehidupan mutakhir dewasa ini, peran pendidikan tidak hanya terbatas pada kesempatan mengenyam pendidikan formal. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan diluar jalur tersebut yang diperoleh dalam interaksi dalam masyarakat juga sangat bermanfaat bagi terbentuknya karakter serta kemampuan individu secara komprehensif. Pembentukan karakter yang relevan dengan kebutuhan pembangunan sangat tergantung sistem pendidikan yang diprogramkan oleh masing-masing lembaga pendidikan. Pengayaan karakter individu akan menentukan peran dan kesempatan masing-masing penduduk berpartisipasi dalam pembangunan. 6.1 Fasilitas dan Sarana Pendidikan Upaya mendorong pemerataan kesempatan bagi penduduk dalam mengenyam pendidikan merupakan tanggung jawab utama pemerintah untuk mencerdaskan penduduk. Untuk itu, ketersediaan fasilitas serta infrastruktur seperti gedung sekolah, ruang belajar, perpustakaan serta tenaga pengajar dengan distribusi yang merata antar daerah merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Salah satu indikator yang biasa digunakan untuk mengukur ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan adalah rasio murid-kelas. Indikator ini menyatakan perbandingan antara jumlah murid yang terdaftar pada jenjang pendidikan tertentu dengan ruang belajar/kelas yang tersedia. Rasio murid-kelas pada tingkat sekolah dasar di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2014 tercatat sebesar 11. Hal ini berarti rata-rata setiap kelas pada tingkat SD menampung sebanyak 11 orang murid. Angka ini menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun dalam beberapa tahun terakhir. Jika diamati pada masing-masing komponen yang menyusunnya, terjadi penurunan jumlah murid SD setiap tahun. Namun jumlah sekolahnya tetap dan unit kelas tahun 2014 mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya. Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

44 Rasio murid-kelas pada tingkat SMP relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat SD. Pada tahun 2014, rasio murid-kelas di tingkat SMP mencapai 32. Hal ini berarti rata-rata satu kelas pada tingkat SMP menampung sebanyak 32 orang murid. Angka tersebut turun dari tahun sebelumnya yang terhitung mencapai 37. Penurunan ini dikarenakan menurunnya jumlah murid SMP pada tahun 2014 sementara jumlah unit kelasnya cenderung meningkat. Pada tingkat SMA dan SMK, rasio murid-kelas SMK setiap tahun meningkat namun sebaliknya SMA malah menurun demikian halnya dengan jumlah kelas untuk kedua jenis sekolah tersebut, hal ini menunjukkan adanya perubahan mindset reference dari orangtua dan minat anak lulusan SMP untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah tingkat menengah atas. Tercatat rasio murid-kelas SMK sebesar 27 orang murid per kelas selama tahun 2013, sedangkan untuk SMA hanya Rasio Murid-Guru Di samping kualitas anak didik dan ketersediaan sarana pendidikan, kualitas tenaga pengajar juga sangat menentukan kualitas pendidikan. Peran tenaga pengajar dalam proses pendidikan menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar karena fungsinya sebagai fasilitator dan pemandu kurikulum yang telah dicanangkan. Namun karena kesulitan untuk menilai indikator ini, maka peran guru dalam penyelenggaraan pendidikan hanya dilihat dengan mengamati rasio kecukupan tenaga pengajar terhadap anak didik. Beban seorang guru ketika mengajar tidak boleh melebihi batas kemampuannya dalam mengendalikan kelas dan membimbing anak didik secara intensif. Beberapa praktisi pendidikan menyarankan bahwa kemampuan ideal seorang guru mengelola kelas dengan jumlah murid sekitar 20 orang per kelas, sehingga proses belajar-mengajar bisa berlangsung efektif dan efisien. Secara umum rasio murid-guru di semua jenjang pendidikan di Kabupaten Gunungkidul sudah cukup ideal. Hal ini dapat dilihat dari besarnya rasio murid-guru selama lima tahun terakhir yang kurang dari 20. Jika diamati secara rinci, semakin tinggi jenjang/tingkat pendidikan maka rasio murid-guru juga semakin menurun. Salah satu penyebab utamanya adalah tingkat partisipasi sekolah penduduk yang juga semakin menurun seiring dengan kenaikan jenjang/tingkat pendidikan. Pada tingkat SD, rasio murid-guru pada tahun 2014 di Kabupaten Gunungkidul adalah sebesar 11. Hal ini berarti jumlah beban murid yang harus diawasi, dibimbing serta Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

45 diajar oleh seorang guru adalah sebanyak 11 orang murid. Dibandingkan tahun sebelumnya angka ini cenderung naik. Kondisi ini disebabkan jumlah guru mengalami penurunan, sementara jumlah input murid SD justru relatif stabil. Pada tingkat SMP, seorang guru memiliki beban untuk mengajar sebanyak 11 orang murid selama tahun Angka ini menurun dibanding Rasio yang sama pada tingkat SMP pada tahun sebelumnya dengan angka 17 orang murid. Selanjutnya, rasio murid-guru baik untuk tingkat SMA tercatat 7 dan SMK sebesar 9, angka ini cenderung stabil jika dibanding tahun sebelumnya, yang berarti bahawa pertambahan jumlah murid diiringi dengan pertambahan jumlah guru. 6.3 Tingkat Partisipasi Sekolah Tingkat partisipasi sekolah merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Angka tersebut memperhitungkan adanya perubahan komposisi penduduk terutama penduduk usia muda. Tingkat partisipasi sekolah peserta didik, salah satunya dapat diukur dengan mengamati angka partisipasi murni (APM). APM merupakan rasio antara murid berusia tertentu pada suatu jenjang pendidikan dengan penduduk usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. Penduduk usia sekolah untuk jenjang SD adalah mereka yang berumur antara 7-12 tahun, SMP tahun dan jenjang SMA adalah mereka yang berusia tahun. Nilai APM masih memiliki kelemahan, misalnya seorang anak berusia 6 tahun yang telah masuk SD tidak dilibatkan dalam penghitungan APM SD, karena usia di luar kisaran usia SD. Demikian pula bagi anak-anak yang terpaksa mengulang kelas sehingga usianya melampaui 12 tahun namun masih duduk di bangku SD, juga tidak dicakup dalam penghitungan APM SD. APM penduduk usia SD (7-12 tahun) di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2014 mencapai 100 persen; yang berarti dari 100 orang penduduk usia SD semuanya masih aktif bersekolah pada tingkat SD. Hal ini membutuhkan kajian yang lebih mendalam dari dinas yang terkait. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya APM penduduk pada tingkat SD sedikit mengalami peningkatan dari 99 persen pada tahun Peningkatan APM pada tingkat SD diikuti untuk tingkat SMP dan SMA. APM tingkat SMP terlihat naik dari 73,59 persen pada tahun 2013 menjadi 74,16 persen pada tahun Demikian juga dengan APM tingkat SMA yang angkanya tahun 2014 ini mencapai Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

46 70,74 persen, angka ini mengalami kenaikan dibanding tahun 2012 yang terhitung 68,16 persen. Meskipun angka APM pada tahun 2014 dari tingkatan SD, SMP hingga SMA mengalami kenaikan, namun hal ini tidak serta merta meningkatkan angka rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf karena kedua indikator tersebut sangat dipengaruhi oleh rentang umur dalam konsep yang mensyaratkan minimal 15 tahun dan tanpa batas atas. Namun semakin tingginya APM tingkat SMP dan SMA sekarang adalah harapan bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi angka rata-rata lama sekolah dan melek huruf akan segera meninngkat dengan asumsi anak-anak yang sekarang bersekolah tersebut akan tetap menjadi penduduk Kabupaten Gunungkidul. Program prioritas pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun yang mencakup SD dan SMP dengan biaya gratis perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan partisipasi sekolah penduduk. Pemerintah Daerah juga dapat mendorong program serupa untuk golongan usia SMP dan SMA karena APM pada tingkat SMP dan SMA yang masih rendah, jauh tertinggal dari APM SD yang telah melampaui angka 100 persen. 6.4 Harapan Lama Sekolah Angka Harapan Lama Sekolah (HLS) didefinisikan sebagai lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa mendatang. HLS dapat digunakan untuk mengetahui kondisi pembangunan sistem pendidikan di berbagai jenjang. Untuk penghitungannya, umur yang digunakan adalah 7 tahun ke atas karena mengikuti kebijakan pemerintah yaitu program wajib belajar. Untuk mengakomodir penduduk yang tidak tercakup dalam Susenas, HLS dikoreksi dengan siswa yang bersekolah di pesantren. Untuk mendapatkan data pesantren diperoleh dari Direktorat Pendidikan Islam. Angka harapan lama sekolah penduduk Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2014 sebesar 12,82 tahun, yang artinya lamanya sekolah yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur 7 tahun adalah sampai lulus SMA (12 tahun) atau Diploma I (13 tahun). Angka relatif mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni hanya naik 0,33 persen dari tahun sebelumnya. Kecilnya kenaikan angka harapan lama sekolah penduduk tidak berarti bahwa proses pembangunan di bidang pendidikan yang telah dilakukan tidak mengalami kemajuan. Hal ini terjadi karena pendidikan merupakan Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

47 sebuah proses yang panjang dan hasilnya pun tidak dapat dilihat atau dirasakan secara instan. 6.5 Rata-rata Lama Sekolah Di samping kemampuan dasar baca tulis, diperlukan suatu indikator yang dapat mewakili tingkat ketrampilan bagi mereka yang telah memperoleh pendidikan. Semakin lama mereka mengenyam bangku sekolah diharapkan memiliki ketrampilan yang lebih baik. Indikator yang digunakan untuk menggambarkan hal itu adalah rata-rata lama sekolah yang dijalani oleh penduduk berusia lima belas tahun ke atas. Ukuran ini memberikan informasi sejauh mana tingkat pendidikan yang telah dicapai oleh penduduk. Pada tahun 2014, rata-rata lama sekolah penduduk mencapai 6,45 tahun. Ratarata lamanya penduduk berusia 15 tahun ke atas ini setara dengan kelas enam SD atau kelas tujuh SMP. Dibandingkan dengan daerah lain di DIY, relatif lebih rendahnya ratarata lama sekolah penduduk di Kabupaten Gunungkidul menunjukkan prioritas meningkatkan akses penduduk untuk memperoleh pendidikan masih perlu perhatian serius di daerah ini. Lebih lanjut, jika dicermati ada perbedaan yang cukup signifikan angka partisipasi sekolah pada level SMP dan SMA penduduk Kabupaten Gunungkidul dengan lainnya memberi petunjuk perlunya kesempatan yang lebih luas bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan SMP dan SMA. Tabel 6.1. Indikator Pendidikan Kabupaten Gunungkidul, Uraian Rasio Murid-Kelas 1) a. SD b. SMP c. SMA Rasio Murid-Guru 1) a. SD b. SMP c. SMA Angka Partisipasi Murni 2) a. SD 90,96 93,67 99, b. SMP 71,95 73,04 73,59 74,15 c. SMA 55,55 65,18 68,16 70,75 4. Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 2) Harapan lama sekolah (tahun) 2) Sumber : 1) Dinas Pendidikan Kabupaten Gunungkidul 2) BPS Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

48 VII. POSISI PEMBANGUNAN MANUSIA Bab ini menyajikan hasil penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan menggunakan indikator-indikator yang menyusunnya seperti yang telah disajikan pada Bab I. IPM sebagai indikator komposit memiliki nilai antara 0 hingga 100. Semakin besar nilai IPM mengindikasikan kualitas pembangunan manusia yang semakin baik. Penggolongan IPM berdasarkan kriteria dari United Nations Development Programme (UNDP) adalah sebagai berikut: nilai IPM yang kurang dari 60 digolongkan sebagai kategori rendah ; rentang antara 60 hingga 69 masuk kriteria sedang; rentang antara 70 hungga 79 masuk kriteria tinggi dan nilai 80 keatas merupakan kelompok sangat tinggi. Karena keterbatasan indikator komposit yang hanya memberikan gambaran secara agregat, maka implementasi hasil penghitungan IPM dalam program-program pembangunan membutuhkan pencermatan lebih lanjut pada indikator atau variabel yang terkait dengan indikator utama yang digunakan dalam menyusun IPM. Hasil penghitungan IPM dengan metode baru pada tahun 2014 untuk Kabupaten Gunungkidul menunjukkan perkembangan yang positif. Komponen harapan hidup, pendidikan dan pengeluaran riil perkapita meningkat dari tiap tahunnya. Ini mengindikasikan selama tahun terjadi perbaikan kualitas pembangunan manusia dari sisi kesehatan, pendidikan dan daya beli penduduk. Indeks harapan hidup penduduk meningkat dari 82,08 pada tahun 2010 menjadi 82,14 pada tahun Indeks pendidikan meningkat dari 50,63 pada tahun 2010 menjadi 57,12 pada tahun Sedangkan indeks pendapatan meningkat dari 63,67 pada tahun 2010 menjadi 64,20 pada tahun Berdasarkan rata-rata geometrik ketiga indeks yang menyusun IPM, diperoleh nilai IPM Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2014 sebesar 67,03. Selama lima tahun terakhir nilai IPM Kabupaten Gunungkidul terus mengalami peningkatan, dari 64,20 pada tahun 2010 menjadi 67,03 pada tahun Secara umum hal ini menggambarkan terjadinya perbaikan kualitas pembangunan sumber daya manusia selama lima tahun terakhir di Kabupaten Gunungkidul. Menurut kategorinya, IPM Kabupaten Gunungkidul selama lima tahun terakhir termasuk dalam kelompok sedang, yakni kelompok daerah dengan nilai IPM berkisar antara 60 hingga dibawah 70. Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

49 Tabel 7.1. Indikator IPM Kabupaten Gunungkidul, Angka Harapan Hidup (tahun) Uraian Harapan Lama Sekolah (tahun) 3. Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 4. Konsumsi riil perkapita (000 Rp) (1) (2) (3) (4) (5) (6) Komponen IPM ,093 8,138 8,170 8,202 8,235 Indeks 1. Harapan Hidup Pendidikan Pendapatan IPM Sumber : BPS Kabupaten Gunungkidul Untuk melihat pencapaian IPM Kabupaten Gunungkidul dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi DIY, berikut ini disajikan hasil penghitungan IPM kabupaten/kota pada tahun Dalam perbandingan antar kabupaten/kota se DIY, IPM Kabupaten Gunungkidul juga masih belum beranjak dari peringkat 5 dari 5 kabupaten/kota se DIY. Fenomena ini menunjukkan tingkat pencapaian kualitas pembangunan di beberapa kabupaten/kota lainnya yang lebih cepat dibanding Gunungkidul. Tabel 7.2. Perbandingan Nilai IPM Kabupaten Gunungkidul dengan Daerah Lainnya di Provinsi D.I Yogyakarta, Tahun Wilayah/Daerah Nilai IPM Peringkat se DIY D I YOGYAKARTA Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta Sumber : BPS Kabupaten Gunungkidul Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

50 VIII. PENUTUP 1. Posisi Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2014 tercatat sebesar 67,03; meningkat dari 66,31 pada tahun Indeks komponen harapan hidup meningkat sebesar 0,01 poin selama Indeks komponen pendidikan yang mewakili tingkat ketrampilan dan penguasaan ilmu pengetahuan penduduk mengalami kenaikan 1,72 poin. Sementara itu, indeks komponen pendapatan mengalami kenaikan 0,12 poin. Dapat dilihat bahwa pendorong utama kenaikan IPM pada tahun 2014 berasal dari aspek pendidikan. 2. Indeks harapan hidup merupakan indeks yang berkembang paling pelan dibanding indeks lainnya. Indeks harapan hidup tahun ini hanya meningkat 0,01 poin, juga merupakan peningkatan terendah dalam lima tahun terakhir, setelah sebelumnya meningkat 0,02 poin. Pembangunan di bidang kesehatan merupakan proses yang sangat panjang, hasilnya tidak dapat dinikmati secara instan. Oleh karena itu diperlukan adanya reformasi di bidang kesehatan untuk mengatasi ketimpangan hasil pembangunan kesehatan antar daerah dan antar golongan. 3. Kesenjangan penduduk dalam menjangkau fasilitas kesehatan dapat dikurangi dengan lebih mengoptimalkan peran puskesmas, puskesmas pembantu serta puskesmas keliling. Keberadaan posyandu sampai tingkat pedukuhan disertai dengan peningkatan kemampuan kader kesehatan serta penempatan bidan desa juga dapat diupayakan untuk meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat di daerah pedesaan. Selain itu adanya program pemerintah dalam membantu penduduk yang tidak mampu melalui program jamkesmas, jamkesos, jamkesta atupun askeskin diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan penduduk secara keseluruhan. Meskipun tetap diperlukan adanya pengawasan untuk mengawal jalannya program tersebut, sehingga penyimpangan seperti tidak tepat sasaran, ataupun dananya tidak sampai kepada yang berhak menerima dapat diminimalisir. 4. Kemudahan penduduk untuk menjangkau sarana pendukung kegiatan pendidikan terutama pada tingkat SMP dan SMA masih belum merata antara daerah perkotaan dan pedesaan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah lebih mengoptimalkan peran SMP dan SMA di ibukota kecamatan. Perbaikan sarana transportasi juga perlu diperhatikan, karena salah satu sebab tingginya angka putus sekolah di daerah pinggiran adalah kendala transportasi. Upaya penempatan guru selaku fasilitator yang tinggal di daerah setempat juga bisa lebih mengoptimalkan peran sekolah. Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

51 5. Beberapa faktor utama yang menjadi kendala dalam pemberdayaan sumber daya manusia di masa mendatang adalah masih rendahnya kualitas angkatan kerja dan relatif tingginya tingkat pengangguran. Pada tahun 2014, tingkat pengangguran terbuka memang kecil hanya 1,20 persen, namun tingkat pengangguran terselubungnya cukup besar 31,18 persen. Penciptaan kesempatan berusaha serta pembukaan lapangan kerja baru merupakan prioritas yang dapat ditempuh untuk meningkatkan akses penduduk terhadap sumber-sumber pendapatan. Peningkatan tingkat ketrampilan/skill dan jiwa kewirausahaan penduduk, terutama bagi mereka yang akan memasuki bursa kerja melalui program pelatihan kerja juga perlu lebih digiatkan. Diperlukan proses sinkronisasi antara kebutuhan dunia usaha terhadap tenaga kerja dengan tingkat ketrampilan tenaga kerja yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan. Penciptaan lapangan kerja juga akan mengurangi tingkat migrasi keluar penduduk berpendidikan yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap indeks pendidikan. 6. Untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Gunungkidul, Pemerintah Daerah dapat menempuh beberapa program dengan kelompok sasaran utama adalah penduduk miskin. Kendala utama untuk meningkatkan kualitas manusia terletak pada ketidakberdayaan secara ekonomi. Kegiatan tersebut meliputi pemenuhan kebutuhan dasar penduduk dengan subsidi pangan murah, bantuan penyelenggaraan pendidikan serta pelayanan kesehatan. Kebijakan pemerintah pusat melalui program wajib belajar sembilan tahun yang didukung dengan pembebasan biaya pendidikan pada sekolah negeri sampai tingkat SMP perlu lebih disosialisasikan secara luas. Upaya ini dapat mengurangi angka putus sekolah di tingkat SMP secara signifikan. Dukungan alokasi dana untuk sektor pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Bantuan pembiayaan bagi penduduk miskin melalui program Asuransi Kesehatan bagi Keluarga Miskin (Askes Gakin dan Jamkesmas) untuk bidang kesehatan dan bantuan usaha untuk mengangkat daya beli masyarakat perlu mendapat dukungan pemerintah daerah sehingga program ini lebih tepat sasaran. Pada akhirnya kondisi tersebut diharapkan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan mereka. Indeks Pembangunan Manusia Gunungkidul,

52

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN GUNUNGKIDUL (HUMAN DEVELOPMENT INDEX)

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN GUNUNGKIDUL (HUMAN DEVELOPMENT INDEX) INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN GUNUNGKIDUL (HUMAN DEVELOPMENT INDEX) 2009 Kerjasama BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH dengan BPS KABUPATEN GUNUNGKIDUL INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT 2.1. Gambaran Umum 2.1.1. Letak Geografis Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu Kabupaten di Pulau Sumba, salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN. A. Kondisi Geografis dan Profil Singkat Daerah Istimewa Yogyakarta. Gambar 4.1

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN. A. Kondisi Geografis dan Profil Singkat Daerah Istimewa Yogyakarta. Gambar 4.1 58 BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN A. Kondisi Geografis dan Profil Singkat Daerah Istimewa Yogyakarta Gambar 4.1 Peta Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), D.I.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014

DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014 DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014 ISSN : No. Publikasi : Katalog BPS : Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : iii + 20 halaman Naskah: Penanggung Jawab Umum : Sindai M.O Sea, SE Penulis

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) yakni di

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) yakni di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu proses prioritas pembangunan nasional sebagaimana dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) 2005-2009 yakni di bidang sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan suatu negara secara terus menerus dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf

Lebih terperinci

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 04/01/34/Th.XI, 05 Januari 2009 No. 47/12/34/Th.XI, 01 Desember 2009 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN (Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan pokok yang dialami oleh semua negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah kehilangan kesejahteraan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014 No. 06/05/53/Th. XV, 5 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014 FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 1,97% Angkatan kerja NTT pada Februari 2014 mencapai 2.383.116 orang, bertambah

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013 DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013 DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013 KATA PENGANTAR Buku Distribusi Pendapatan Penduduk Kota Palangka Raya Tahun 2013

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Lokasi 1. Kondisi Fisik Nusa Tenggara Barat a. Peta wilayah Sumber : Pemda NTB Gambar 4. 1 Peta Provinsi Nusa Tenggara Barat b. Konsisi geografis wilayah Letak dan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015 No. 06/05/53/Th. XV, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015 FEBRUARI 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,12% Angkatan kerja NTT pada Februari 2015 mencapai 2.405.644 orang, bertambah

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Kondisi Fisik Daerah Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara 7.33-8.12 Lintang Selatan dan antara 110.00-110.50 Bujur

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 29/05/32/Th.XIX, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI JAWA BARAT FEBRUARI 2017 Angkatan kerja pada Februari 2017 sebanyak 22,64 juta orang, naik sekitar 0,46 juta orang

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI DIY PADA AGUSTUS 2012 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,97 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI DIY PADA AGUSTUS 2012 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,97 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 04/01/34/Th.XI, 05 Januari 2009 No. 52/11/34/Th.XIV, 5 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI DIY PADA AGUSTUS 2012 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,97

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2015 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 78//35/Th. XIII, 5 November 05 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 05 AGUSTUS 05: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA JAWA TIMUR SEBESAR 4,47 PERSEN Jumlah angkatan kerja di

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 74/11/35/Th. XIV, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA JAWA TIMUR SEBESAR 4,21 PERSEN Jumlah angkatan

Lebih terperinci

Indikator Ketenagakerjaan KABUPATEN WAROPEN TAHUN Oleh : Muhammad Fajar

Indikator Ketenagakerjaan KABUPATEN WAROPEN TAHUN Oleh : Muhammad Fajar KABUPATEN WAROPEN TAHUN 2014 Oleh : Muhammad Fajar KATA PENGANTAR Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik mengamanatkan Badan Pusat Statistik (BPS) bertanggung jawab atas perstatistikan di

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 20 BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 3.1. SITUASI GEOGRAFIS Secara geografis, Kota Bogor berada pada posisi diantara 106 derajat 43 30 BT-106 derajat 51 00 BT dan 30 30 LS-6 derajat 41 00 LS, atau kurang

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN NGADA, TAHUN O15

PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN NGADA, TAHUN O15 BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN NGADA No. 0/07/Th. VIII, 1 Juli 016 PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN NGADA, TAHUN 011 - O15 Selama kurun waktu 011-015, IPM Kabupaten Ngada meningkat dari

Lebih terperinci

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN Adi Setiyanto PENDAHULUAN Tenaga kerja merupakan motor penggerak dalam pembangunan ekonomi. Tenaga kerja sebagai sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik atau meningkat. Pembangunan Nasional yang berlandaskan. dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik atau meningkat. Pembangunan Nasional yang berlandaskan. dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang belum ada menjadi ada atau membuat suatu perubahan yaitu membuat sesuatu menjadi lebih baik atau meningkat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN *

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * Oleh: Kecuk Suhariyanto, Badan Pusat Statistik Email: kecuk@mailhost.bps.go.id 1. PENDAHULUAN Menjelang berakhirnya tahun 2007, 52

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Administrasi Kabupaten Majalengka GAMBAR 4.1. Peta Kabupaten Majalengka Kota angin dikenal sebagai julukan dari Kabupaten Majalengka, secara geografis terletak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan manusia, kreativitas dan keterampilan serta kemampuan orang-orang dalam masyarakat. Pengembangan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI LAMPUNG KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017 AGUSTUS 2017 TINGKAT PENGANGGUR- AN TERBUKA SEBESAR 4,33 PERSEN Penduduk yang bekerja pada Agustus 2017 berkurang

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM 51 BAB IV GAMBARAN UMUM A. Keadaan Geografis 1. Keadaan Alam Wilayah Kabupaten Bantul terletak antara 07 o 44 04 08 o 00 27 Lintang Selatan dan 110 o 12 34 110 o 31 08 Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dalam bangsa, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dalam bangsa, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang dinamis dalam mengubah dan meningkatkan kesehjateraan masyarakat. Ada tiga indikator keberhasilan suatu pembangunan dalam

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Kondisi Alam 1. Letak dan Batas Wilayah Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang ada di pulau Jawa, letaknya diapit oleh dua provinsi besar

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 1. Batas admistrasi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di pulau Jawa bagian tengah, di bagian selatan dibatasi lautan Indonesia, sedangkan di bagian

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) METODE BARU

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) METODE BARU INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) METODE BARU H.Nevi Hendri, S.Si Soreang, 1 Oktober 2015 Pendahuluan Metodologi IPM Hasil Penghitungan IPM Metode Baru Penutup Pendahuluan SEJARAH PENGHITUNGAN IPM 1990:

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN NGADA, TAHUN O14

PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN NGADA, TAHUN O14 BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN NGADA No. 02/10/Th. VII, 05 Oktober 2015 PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN NGADA, TAHUN 2010-2O14 (PENGHITUNGAN DENGAN MEMAKAI METODE BARU) Selama kurun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2016 No.36/05/52/Th. IX, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,66 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Nusa Tenggara Barat pada Februari 2016 mencapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI No. xxx/05/21/th. V, 10 Mei 2010 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN FEBRUARI 2010 TINGKAT PENGANGGURAN KEPRI TERENDAH DALAM EMPAT TAHUN

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat Keadaan Ketenagakerjaan No. 69/11/76/Th. XI, 6 November BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SULAWESI BARAT Keadaan Ketenagakerjaan Di Provinsi Sulawesi Barat : Tingkat Pengangguran Terbuka di Sulawesi Barat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014

ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014 ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014 (Oleh Endah Saftarina Khairiyani, S.ST) 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perkembangan era globalisasi menuntut setiap insan untuk menjadi

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2014 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 06/05/18/Th.VII, 5 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2014 FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,05 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia turut serta dan berperan aktif dalam setiap kegiatan dan program-program pembangunan yang menjadi agenda organisasi negara-negara

Lebih terperinci

No. 03/05/81/Th.XVIII, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN MALUKU 2017 Jumlah Angkatan Kerja di Provinsi Maluku pada Februari 2017 mencapai 769.108 orang, bertambah sebanyak 35.771 orang dibanding angkatan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016 No.75/11/52/Th. X, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,94 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Nusa Tenggara Barat pada Agustus 2016 mencapai

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2015 No.36/05/52/Th. IX, 5 November 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2015 AGUSTUS 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,69 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Nusa Tenggara Barat pada Agustus 2015 mencapai

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 31/05/32/Th. XVII, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015 FEBRUARI 2015 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 8,40 PERSEN Berdasarkan hasil Sakernas bulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2017 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 01/05/18/Th.X, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2017 FEBRUARI 2017: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,43 PERSEN Penduduk yang bekerja pada Februari

Lebih terperinci

jayapurakota.bps.go.id

jayapurakota.bps.go.id INDEKS PEMBANGUNGAN MANUSIA DAN ANALISIS SITUASI PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAYAPURA TAHUN 2015/2016 ISSN: Nomor Katalog : 2303003.9471 Nomor Publikasi : 9471.1616 Ukuran Buku Jumlah Halaman Naskah : : 16,5

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan merupakan suatu masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian di setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau berkembang adalah

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2016 No. 06/11/53/Th. XIX, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,25 % Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT Agustus 2016 mencapai

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses multidimensional yang mencakup berbagai

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses multidimensional yang mencakup berbagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi nasional,

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI TENAGA KERJA KONSTRUKSI. Tenaga kerja konstruksi merupakan bagian dari sektor konstruksi yang mempunyai

BAB IV KONDISI TENAGA KERJA KONSTRUKSI. Tenaga kerja konstruksi merupakan bagian dari sektor konstruksi yang mempunyai BAB IV KONDISI TENAGA KERJA KONSTRUKSI 4.1 Umum Tenaga kerja konstruksi merupakan bagian dari sektor konstruksi yang mempunyai peran yang signifikan dalam pembangunan ekonomi nasional. Dalam Analisis Kebutuhan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Yogyakarta Agustus 2017 No. 65/11/34/Thn.XIX, 6 Nopember 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI D.I YOGYAKARTA Keadaan Ketenagakerjaan Yogyakarta Agustus 2017

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan milenium (Millenium Development Goals/MDG s), yang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan milenium (Millenium Development Goals/MDG s), yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara berkembang seperti Indonesia, peranan sumber daya manusia mengambil tempat yang sentral, khususnya dalam setiap pencapaian pembangunan ekonomi, di

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DKI JAKARTA AGUSTUS 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DKI JAKARTA AGUSTUS 2017 Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Provinsi DKI Jakarta No. 55/11/31/Th. XIX, 6 November 2017 PROVINSI DKI JAKARTA KEADAAN KETENAGAKERJAAN DKI JAKARTA AGUSTUS 2017 Tingkat P Terbuka (TPT) sebesar 7,14

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang terintegrasi dan komprehensif dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang tidak terpisahkan. Di samping mengandalkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG 1. Metodologi No. 03/6474/Th. VI, 07 Desember 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KOTA BONTANG Tahun 2015 Secara nasional Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2015 berdasarkan metode baru Tahun 2010

Lebih terperinci

TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI DI KOTA YOGYAKARTA, NAMUN JUMLAH PENGANGGUR TERBANYAK

TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI DI KOTA YOGYAKARTA, NAMUN JUMLAH PENGANGGUR TERBANYAK BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 03/01/34/Th.X, 02 Januari 2008 SAKERNAS AGUSTUS 2007 MENGHASILKAN ANGKA PENGANGGURAN PERBANDINGAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI DIY : TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 BPS PROVINSI JAWA TIMUR KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 No. 33/05/35/Th.XV, 5 Mei 2017 FEBRUARI 2017: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,10 PERSEN Penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Timur

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 No.33/05/52/Th. XI, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 FEBRUARI 2017: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,86 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Nusa Tenggara Barat pada Februari 2017 mencapai

Lebih terperinci

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG IV. DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG 4.1. Provinsi Lampung 4.1.1. Gambaran Umum Provinsi Lampung meliputi wilayah seluas 35.288,35 kilometer persegi, membentang di ujung selatan pulau Sumatera, termasuk pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Indeks Pembangunan Manusia Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan

Lebih terperinci

Ketenagakerjaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Ketenagakerjaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Katalog BPS : 2301003.34 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Statistik BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015 FEBRUARI 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,98 PERSEN No.36/05/52/Th. IX, 5 Mei 2015 Jumlah angkatan kerja di Nusa Tenggara Barat pada Februari 2015 mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pembangunan ekonomi nasional yang dapat dicapai melalui pembenahan taraf hidup masyarakat, perluasan lapangan

Lebih terperinci

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Sejak tahun 2000, Indonesia telah meratifikasi Millenium Development Goals (MDGs) di bawah naungan Persatuan Bangsa- Bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir seluruh Negara di dunia, terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016 No. 06/05/53/Th. XVI, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,59% Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT Februari 2016 mencapai 3,59

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2017 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,84 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2017 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,84 PERSEN q BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No.29/05/34/Th.XIX, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2017 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,84 PERSEN Pada Februari 2017, Penduduk

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Maluku Utara Agustus 2017

Keadaan Ketenagakerjaan Maluku Utara Agustus 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI MALUKU UTARA Keadaan Ketenagakerjaan Maluku Utara Agustus 2017 Agustus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Maluku Utara sebesar 5,33 persen. Angkatan kerja pada Agustus

Lebih terperinci

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5 IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN.1. Kondisi Geografi dan Topografi Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam memperkuat suatu perekonomian agar dapat berkelanjutan perlu adanya suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu negara sangat

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK No. 74/11/35/Th.XV, 6 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR Keadaan Ketenagakerjaan Jawa Timur Agustus 2017 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Jawa Timur sebesar

Lebih terperinci

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia,

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia, Kemiskinan Termasuk bagian penting dari aspek analisis ketenagakerjaan adalah melihat kondisi taraf kehidupan penduduk, yang diyakini merupakan dampak langsung dari dinamika ketenagakerjaan. Kemiskinan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN FEBRUARI 2017 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No.29/05/73/Th. XI, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN FEBRUARI 2017 Februari 2017 jumlah angkatan kerja 3.991.818 orang, jika dibandingkan Februari 2016

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Sumatera Barat Agustus 2017 No. 62/11/13/Th. XX, 06 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Sumatera Barat Agustus 2017 Agustus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai

Lebih terperinci

No. Katalog :

No. Katalog : No. Katalog : 23303003.3375 No. Katalog: 2303003.3375 PROFIL KETENAGAKERJAAN KOTA PEKALONGAN 2014 BADAN PUSAT STATISTIK KOTA PEKALONGAN PROFIL KETENAGAKERJAAN KOTA PEKALONGAN 2014 ISSN : - Nomor Publikasi

Lebih terperinci

DISUSUN OLEH : BIDANG STATISTIK DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN BAPPEDA PROVINSI SUMATERA BARAT Edisi 07 Agustus 2015

DISUSUN OLEH : BIDANG STATISTIK DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN BAPPEDA PROVINSI SUMATERA BARAT Edisi 07 Agustus 2015 DISUSUN OLEH : BIDANG STATISTIK DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN Edisi 07 Agustus 2015 Buku saku ini dalam upaya untuk memberikan data dan informasi sesuai dengan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2015 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 42/05/21/Th. X, 4 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2015 FEBRUARI 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 9,05 PERSEN Jumlah angkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang diarahkan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Keberhasilan sebuah pemerintah

Lebih terperinci

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Bandung Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Soreang, 1 Oktober 2015 Ir. R. Basworo Wahyu Utomo Kepala BPS Kabupaten Bandung Data adalah informasi

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 143 2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 2.2.1 Evaluasi Indikator Kinerja Utama Pembangunan Daerah Kinerja pembangunan Jawa Timur tahun 2013 diukur

Lebih terperinci