HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lapangan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lapangan"

Transkripsi

1 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lapangan Tanaman bawang merah dari awal penanaman sampai pembungaan dan pembentukan kapsul selama 15 minggu menunjukkan pertumbuhan yang baik. Serangan hama pada tanaman bawang merah relatif rendah. Hama yang menyerang yaitu ulat bawang (Spodoptera exigua) dan kutu daun (Toxoptera spp). Hama ulat merupakan hama utama yang dapat menyebabkan kerusakan pada daun dan umbel, sedangkan kutu daun bukan merupakan hama penting dan menyerang jika media agak kering. Serangan hama ulat dapat diatasi dengan pengendalian mekanis yaitu dengan membuang daun yang terserang, dan penyemprotan insektisida selektif yang berbahan aktif spinosad dan abamectin sesuai anjuran. Pada umur 2-3 minggu setelah tanam (MST) ada gangguan embun pada ujung-ujung daun di pagi hari yang dapat menimbulkan penyakit bercak ungu (Alternaria porri), antraknose (Colletrotichum sp.) dan embun bulu (Peronospora destructor). Penyakit tersebut juga menyerang tangkai bunga, dan menyebar dengan cepat apabila kelembaban udara tinggi, dengan gejala ujung daun berwarna kuning dan berkembang ke pangkal daun. Tangkai bunga berwarna kuning kecoklatan berbentuk silindris dan akhirnya menghitam. Pengendalian dilakukan dengan menyemprotkan air dan fungisida selektif yang berbahan aktif difenoconazol pada ujung-ujung daun tersebut sesuai anjuran. Selama periode pembungaan di dataran tinggi baik pada musim kemarau maupun pada musim hujan berbagai serangga yang banyak mengunjungi bunga bawang yaitu tabu-tabuan, lebah, lalat, capung, semut dan kupu-kupu. Lebah yang ditemukan yaitu lebah besar berwarna hitam, lebah kecil seperti Apis cerana sedangkan lalat yang ditemukan yaitu lalat hijau dengan tubuh bulat, lalat besar dengan sayap lebar dan lalat kecil. Serangga yang dominan mengunjungi bunga adalah kupu-kupu dan capung (> 50%) pada musim kemarau dan lebah soliter berwarna hitam pada musim hujan. Pada musim kemarau sekitar 80% serangga yang mengunujungi bunga bawang merah didominasi oleh kupu-kupu. Puncak kunjungan terjadi pada pukul , karena pada waktu tersebut cuaca cerah dan suhu di sekitar pertanaman tidak terlalu panas ( C). Pada waktu cuaca mendung atau hujan, lalat lebih banyak mengunjungi bunga bawang. Di

2 26 dataran rendah, serangga yang dominan adalah lebah berwarna hitam dan lalat kecil. Perkembangan Bunga dan Kapsul Lama fase perkembangan bunga dan pembentukan kapsul bawang merah di dataran tinggi berbeda dengan di dataran rendah (Tabel 1). Di dataran tinggi, fase pembungaan lebih lama sekitar hari dari sejak muncul tunas umbel pertama sampai > 75% bunga mekar dalam satu umbel, sedangkan di dataran rendah hanya hari. Periode pembungaan yang lebih pendek di dataran rendah diduga disebabkan oleh suhu udara yang lebih tinggi (Lampiran 6) sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman lebih cepat (Rasul et al. 2011). Fase perkembangan bunga dapat dibagi menjadi enam tahap. Pada tahap pertama di dataran tinggi tunas umbel muncul pada hari setelah tanam (HST) (Gambar 1-1). Pada tahap kedua tunas umbel berkembang mencapai maksimum dan terbungkus oleh selaput umbel berwarna hijau muda (Gambar 1-2A) sampai HST (30-32 hari dari tahap 1 atau setelah umbel muncul) ketika selaput umbel mulai pecah (Gambar 1-2B). Pada tahap ketiga 5-10% bunga mulai mekar (Gambar 1-3) yang terjadi pada sekitar HST (40-41 hari setelah umbel muncul). Tahap empat tercapai saat > 75% bunga dalam satu umbel mekar (Gambar 1-4) yang terjadi sekitar HST (47-48 hari setelah umbel muncul). Pembentukan kapsul terjadi + 14 hari setelah bunga mekar penuh dalam satu umbel (> 75%). Bunga yang terserbuki dicirikan dengan kubah yang berwarna putih berkembang menjadi kapsul, baik bernas atau hampa. Bunga yang tidak terserbuki akan luruh. Kapsul bernas dengan tiga lokul yang berkembang berwarna hijau, dan lokul yang berisi biji bernas akan membengkak. Pada kapsul hampa, kubah tidak berkembang, berwarna coklat tapi tidak luruh. Kapsul mulai terbentuk (5-10%) pada HST (61-62 hari setelah umbel muncul) (Gambar 1-5). Proses pematangan kapsul berlangsung selama hari, pada saat kapsul yang terbentuk dalam satu umbel sudah maksimum (Gambar 1-6A) dan kemudian kapsul mulai mengering dan keriput (Gambar 1-6B). Ciri kapsul yang siap dipanen yaitu dalam satu umbel 1-3 kapsul ada yang pecah atau sebagian besar kapsul berwarna kekuningan (Gambar 1-6C). Pemanenan kapsul dilakukan secara

3 27 Tabel 1. Fase perkembangan bunga dan pembentukan kapsul bawang merah di dataran tinggi Lembang dan dataran rendah Subang Fase perkembangan bunga Dataran tinggi* Dataran rendah** dan pembentukan kapsul 1. Umbel muncul HST HST 2. Selaput umbel pecah HST (30 32 hari dari tahap 1) 3. Awal bunga mekar HST (40 41hari dari tahap 1 ) 4. > 75% bunga mekar HST (47 48 hari dari tahap 1 ) 5. Kapsul terbentuk % HST (61 62 hari dari tahap 1) HST (27 hari dari tahap 1) HST (29 hari dari tahap 1) HST (30 31 hari dari tahap 1) HST (36 38 hari dari tahap 1) 6. Panen 107 HST (88 93 hari dari tahap 1 ) 86 HST (56 hari dari tahap 1) Keterangan : HST = hari setelah tanam; *lima kali panen dengan interval lima hari sekali; **satu kali panen. 1 2A 2B A 6B VVI 6C VI Gambar 1. Fase pembungaan dan pembentukan kapsul bawang merah

4 28 bertahap. Panen pertama dilakukan pada 107 HST (88-93 hari setelah umbel muncul), panen kedua 5 hari setelah panen pertama. Begitu juga dengan panen ketiga sampai kelima dilakukan 5 hari sekali dan panen kelima (terakhir) dilakukan pada 127 HST ( hari setelah umbel muncul). Di dataran rendah, fase perkembangan bunga berlangsung lebih cepat. Munculnya tunas umbel lebih lama terjadi dibandingkan di dataran tinggi, yaitu HST, akan tetapi fase perkembangan selanjutnya terjadi lebih singkat. Selaput umbel pecah 27 hari setelah umbel muncul,dan bunga mulai mekar dua hari setelah selaput umbel pecah (59-62 HST). Bunga dalam satu umbel mekar penuh (> 75%) 3-5 hari setelah selaput umbel pecah (61-63 HST), dalam 1-2 hari bunga mekar secara serempak. Proses pembentukan kapsul berlangsung serempak sekitar satu minggu (68-69 HST) sebagian besar bunga (60-70%) telah menjadi kapsul. Panen kapsul hanya satu kali pada umur 86 HST (56 hari setelah umbel muncul) karena pembungaan di dataran rendah sedikit. Pematangan kapsul dalam satu umbel lebih serempak, >90% warna kapsul kekuningan dengan tangkai masih hijau segar sehingga pengeringan lebih mudah dan lebih cepat. Percobaan 1. Pengaruh BAP dan Boron terhadap Pembungaan, Viabilitas Serbuk Sari dan Produksi serta Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Tinggi Lembang Pembungaan Hasil uji F menunjukkan tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron terhadap pembungaan dan pembentukan kapsul bawang merah. Pemberian BAP mempengaruhi persentase tanaman berbunga, jumlah bunga per umbel dan jumlah kapsul per umbel, tetapi tidak berpengaruh terhadap waktu berbunga, jumlah umbel per tanaman dan persentase pembentukan kapsul (Tabel 2 dan 3). Waktu pembungaan tidak dipengaruhi oleh aplikasi BAP. Rata-rata tunas umbel muncul sekitar 20 hari setelah tanam, yang menunjukkan bahwa perlakuan vernalisasi cukup efektif dalam menginduksi pembungaan (Satjadipura 1990). Selain itu diduga karena kondisi lingkungan yang cukup mendukung sehingga tanaman cepat berbunga. Di dataran tinggi Lembang suhu udara minimum pada awal penanaman bawang merah yaitu 13 0 C dengan suhu rata-rata bulanan

5 29 (Agustus) 19 0 C (Lampiran 3), yang merupakan suhu optimum untuk perkembangan umbel (Rabinowitch 1990). Pada kondisi yang optimum tersebut perlakuan BAP tidak dapat mempercepat waktu muncul bunga. Tabel 2. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap waktu muncul umbel, persentase tanaman berbunga dan jumlah bunga per umbel bawang merah di dataran tinggi Lembang Perlakuan Konsentrasi BAP (ppm) rerata Dosis Boron (kg/ha) rerata Waktu muncul umbel 50% (HST) 20.1 a 19.9 a 20.0 a 19.8 a 19.6 a a 19.9 a 18.9 a 20.3 a 20.3 a 19.9 Persentase tanaman berbunga (%) bc a ab ab c a a a a a Jumlah bunga per umbel c ab a abc bc b a a a a BAP x boron tn tn tn KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; HST= hari setelah tanam; tn= tidak nyata Pemberian BAP pada konsentrasi rendah dapat meningkatkan persentase tanaman berbunga dan jumlah bunga per umbel. Perlakuan BAP 50 ppm meningkatkan persentase tanaman berbunga (97.22%) dan jumlah bunga per umbel (113.8) lebih tinggi dibanding kontrol (berturut-turut 91.11% dan 108.1) (Tabel 2). Werner et al. (2001) menyatakan bahwa sitokinin mempunyai peranan penting dalam morfogenesis meristem Nicotiana tabacum yang meningkatkan ukuran meristem sehingga kemungkinan berkembangnya meristem bunga lebih besar. Dalam penelitian ini vernalisasi umbi dapat digunakan untuk menginisiasi primordia bunga, sedangkan pemberian BAP dapat meningkatkan ukuran meristem sehingga produksi bunga per umbel meningkat. Pengaruh BAP seperti

6 30 ini juga diperoleh Prat et al. (2008) dalam penelitian mereka yang menunjukkan perluasan zona meristematik axilar pada tanaman jojoba akibat pengaruh benzyladenin atau benzylaminopurine. Pada konsentrasi yang lebih tinggi peningkatan jumlah tanaman berbunga menurun dan pada konsentrasi 200 ppm BAP menghambat pembungaan bawang merah (Tabel 2), yang menghasilkan tanaman berbunga sebesar 89.44% atau turun sekitar 1.67% dari kontrol. Data ini menunjukkan bahwa BAP 50 ppm merupakan konsentrasi optimum untuk mendorong pembungaan bawang merah di dataran tinggi. Tabel 3. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah umbel per tanaman, jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul bawang merah di dataran tinggi Lembang Perlakuan Konsentrasi BAP (ppm) rerata Dosis Boron (kg/ha) rerata Jumlah umbel per tanaman 3.4 a 3.1 a 3.4 a 3.3 a 3.6 a b 3.4 a 3.6 a 3.4 a 3.5 a Jumlah kapsul per umbel 62.3 ab 55.9 b 66.6 a 64.7 a 54.9 b 52.4 b 59.8 a 64.9 a 64.1 a 63.1 a Pembentukan kapsul (%) a a a a a a a a a a BAP x boron tn tn tn KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata Pemberian BAP konsentrasi 50 dan 100 ppm meningkatkan jumlah bunga per umbel (Tabel 2), tetapi tidak dapat meningkatkan persentase pembentukan kapsul dengan rata-rata 53.86% (Tabel 3), yang memberi indikasi bahwa proporsi bunga yang berkembang menjadi kapsul konstan. Fenomena seperti ini umumnya terjadi pada tanaman tahunan yang menghasilkan buah basah seperti sweet cherry

7 31 (Roversi et al. 1984) atau Prunus mahaleb (Guitian 1994), yang diduga dikendalikan oleh tanaman induknya untuk menghasilkan benih yang viabel. Meskipun persentase pembentukan kapsul tidak berbeda nyata antar perlakuan konsentrasi BAP, akan tetapi jika jumlah bunga per umbel meningkat maka jumlah kapsul per umbel akan meningkat pula. Persentase pembentukan kapsul yang konstan dalam penelitian ini perlu diverifikasi lebih lanjut dalam upaya meningkatkan produktivitas benih (TSS). Pemberian boron meningkatkan jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel dan jumlah kapsul per umbel, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap waktu berbunga, persentase tanaman berbunga dan proporsi bunga yang menjadi kapsul atau pembentukan kapsul (Tabel 2 dan 3). Seperti halnya pada BAP, aplikasi boron tidak mempengaruhi waktu berbunga. Hal ini menegaskan bahwa waktu berbunga umbi yang sudah diberi perlakuan vernalisasi lebih ditentukan oleh kondisi lingkungan. Boron dengan dosis 1-4 kg/ha dapat meningkatkan jumlah umbel yang dihasilkan dengan kisaran umbel per tanaman, lebih banyak dibandingkan umbel yang dihasilkan tanaman kontrol sebanyak 2.9 umbel per tanaman. Menurut Marschner (1995), boron menyebabkan terjadinya keseimbangan auksin dan sitokinin yang mendorong pembelahan sel pada bagian bunga. Peningkatan tersebut diikuti oleh peningkatan jumlah bunga per umbel (sekitar 114 bunga/umbel) dan jumlah kapsul per umbel (sekitar 63 kapsul/umbel) lebih tinggi daripada kontrol (masing-masing bunga/umbel dan 52.4 kapsul/umbel). Sebagaimana pada pemberian BAP, pemberian boron juga tidak mempengaruhi persentase bunga menjadi buah. Data ini memperkuat indikasi bahwa proporsi bunga menjadi kapsul dikendalikan oleh tanaman induk. Viabilitas dan Jumlah Serbuk Sari Viabilitas serbuk sari dipengaruhi oleh fase perkembangan bunga, yaitu pada saat bunga mekar penuh (antesis) dan satu hari setelah antesis (Gambar 2). Viabilitas serbuk sari pada saat bunga mekar (1.48%) lebih rendah daripada satu hari setelah bunga mekar (5.83%). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa antera pecah jam setelah bunga mekar. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa serbuk sari masih belum masak pada saat bunga mekar

8 32 (antesis). Pengamatan terhadap masa reseptif stigma akan memberikan informasi apakah dikogami menjadi kendala pembentukan biji. Secara umum viabilitas serbuk sari bawang merah tergolong rendah sebagaimana dikemukakan Ockendon dan Gates (1976) yang meneliti tanaman bawang bombay var. Rijnsburger. Mereka menemukan inviabilitas serbuk sari yang sangat tinggi. Serbuk sari yang tidak viabel mencapai 67.46% sedangkan serbuk sari dengan viabilitas antara 1-20% mencapai 20.8% walaupun tanaman fertil jantan secara normal. Gambar 2. Viabilitas serbuk sari pada fase perkembangan bunga Hasil uji F menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron terhadap viabilitas dan jumlah serbuk sari bawang merah. Akan tetapi pemberian BAP meningkatkan viabilitas serbuk sari yang dipanen satu hari setelah antesis (Tabel 4). Semakin tinggi konsentrasi BAP semakin tinggi pula viabilitas serbuk sari. BAP pada konsentrasi 50 ppm meningkatkan viabilitas serbuk sari empat kali lipat dibandingkan kontrol dan pada konsentrasi 200 ppm viabilitas meningkat sepuluh kali lipat (Tabel 4). Namun demikian peningkatan viabilitas serbuk sari ini tidak meningkatkan jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul. Dengan demikian viabilitas serbuk sari bukan merupakan faktor pembatas pembentukan kapsul bawang merah. Jumlah serbuk sari hanya meningkat pada konsentrasi BAP 200 ppm, mencapai butir/antera. Penggunaan BAP pada konsentrasi yang lebih tinggi dari 200 ppm perlu dikaji untuk mempelajari pengaruhnya terhadap peningkatan viabilitas dan jumlah serbuk sari yang dihasilkan. Salah satu peran BAP yang penting adalah pembelahan dan pembesaran sel (Davies 2004). Pemberian BAP

9 33 diduga meningkatkan pembelahan sel-sel induk mikrospora maupun sel tapetum di dalam mikrosporangium sebelum meiosis sehingga menghasilkan serbuk sari yang lebih banyak dengan viabilitas yang lebih tinggi (Xiaoqi & Dickinson 2010). Boron memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan viabilitas dan jumlah serbuk sari (Gambar 3 dan Tabel 4). Aplikasi boron dengan konsentrasi 4 kg/ha meningkatkan viabilitas dan jumlah serbuk sari. Aplikasi boron dalam penelitian ini diduga meningkatkan ketersediaannya untuk tanaman, karena kandungan boron dalam tanah hanya 0.08 ppm. Boron mempunyai peranan dalam siklus reproduksi tanaman antara lain dalam produksi serbuk sari dan perkecambahannya (Keefe 1998). Garg et al. (1979) menyatakan bahwa perbaikan viabilitas serbuk sari pada tanaman padi merupakan efek stimulasi boron dalam meningkatkan ketersediaan gula, aktivitas enzimatik dan respirasi Tabel 4. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap viabilitas dan jumlah serbuk sari bawang merah satu hari setelah antesis di dataran tinggi Lembang Perlakuan Konsentrasi BAP (ppm) Dosis Boron (kg/ha) Viabilitas serbuk sari (%) 1.2 c 5.1 b 4.4 b 6.2 b 12.3 a 2.9 c 3.5 bc 3.8 bc 6.1 b 12.8 a Jumlah serbuk sari per antera b b ab b a b ab ab ab a 4 BAP x Boron tn tn KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata yang diperlukan untuk perbaikan pertumbuhan serbuk sari. Namun konsentrasi boron yang tinggi menimbulkan efek menghambat yang disebabkan karena fisiologis dan kerusakan pada protoplasma. Kerusakan protoplasma ini diduga

10 34 adalah bagian membran plasma yang rusak yang menyebabkan aktivitas H + - ATPase terhambat. Orbemeyer dan Blatt (1995) dalam Wang et al. (2003) melaporkan bahwa boron mempengaruhi aktivitas H+-ATPase untuk menginisiasi perkecambahan dan pertumbuhan tabung serbuk sari. A B Gambar 3. Serbuk sari yang berkecambah dari tanaman yang diberi perlakuan Boron (A), serbuk sari yang tidak berkecambah dari tanaman kontrol (B) di dataran tinggi Lembang Produksi TSS Hasil uji F menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron dalam mempengaruhi produksi TSS. Aplikasi BAP berpengaruh terhadap bobot TSS per tanaman dan persentase TSS bernas (Tabel 5) serta bobot TSS per plot (Gambar 4). Ada indikasi konsentrasi BAP yang semakin tinggi berpotensi menurunkan bobot TSS baik per tanaman maupun bobot per plot. Meskipun jumlah tanaman berbunga dan jumlah bunga per umbel (Tabel 2) serta viabilitas serbuk sari (Tabel 4) meningkat dengan aplikasi BAP sampai konsentrasi tertentu akan tetapi secara umum benih yang dihasilkan tidak berbeda nyata (Tabel 5) dengan kontrol bahkan pada konsentrasi 200 ppm bobot TSS per tanaman dan per plot lebih rendah. Dalam hal ini peningkatan produksi bunga yang dihasilkan dengan aplikasi BAP tidak cukup tinggi sehingga dengan persentase pembentukan kapsul yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan menghasilkan jumlah dan bobot TSS per umbel yang tidak berbeda pula. Hasil serupa juga terjadi pada tanaman jojoba (Simmondsia chinensis (Link) Schneider) yang diberi BAP (Prat

11 35 et al. 2008), yang dalam hal ini diduga karena adanya kompetisi absorbsi asimilat antar kapsul dalam satu umbel. Ketika intensitas pembungaan lebih tinggi, kompetisi yang terjadi untuk memperoleh metabolit juga lebih tinggi sehingga translokasi ke masing-masing bunga untuk berkembang menjadi kapsul lebih rendah. Tabel 5. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah TSS per umbel, persentase TSS bernas, bobot TSS per umbel dan bobot TSS per tanaman di dataran tinggi Lembang Perlakuan Konsentrasi BAP (ppm) rerata Dosis Boron (kg/ha) rerata Jumlah TSS per umbel a a 174.1a a a b a a a a Persentase TSS bernas (%) b a ab ab a a a a a a Bobot TSS per umbel (g) a a a a a b a a a a Bobot TSS per tanaman (g) ab bc a abc c b a a a a BAP x boron tn tn tn tn KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata Respon bobot benih atau TSS per plot dipengaruhi oleh BAP (R 2 =0.483) dengan pola pengaruh bersifat kuadratik dimana konsentrasi BAP yang optimum adalah 37.5 ppm untuk menghasilkan bobot TSS sebesar g/12 tanaman (Y = x x ) (Gambar 4A). BAP pada konsentrasi 200 ppm justru menghambat produksi TSS dengan penurunan bobot TSS total per plot sebanyak 27.82%. Pemberian BAP hanya berpengaruh positif terhadap persentase TSS bernas (Tabel 5), dengan peningkatan persentase TSS bernas pada tanaman yang mendapat perlakuan BAP 4-5% lebih tinggi dibanding kontrol.

12 36 A B Gambar 4. Kurva respon bobot TSS terhadap konsentrasi BAP (A) dan terhadap dosis boron (B) di dataran tinggi Lembang A B Gambar 5. Produksi TSS per plot dari perlakuan dosis Boron 3 kg/ha (A) dan dari perlakuan kontrol (B) di dataran tinggi Lembang Aplikasi boron meningkatkan jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel dan bobot TSS per tanaman (Tabel 5), serta bobot TSS per plot (Gambar 4B), tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap persentase benih bernas. Semakin tinggi dosis boron semakin tinggi bobot TSS per plot sampai taraf tertentu. Seperti halnya pada perlakuan BAP, Gambar 4B menunjukkan bahwa pola pengaruh boron juga bersifat kuadratik, akan tetapi pengaruh boron terhadap peningkatan bobot TSS per plot sangat kuat (R 2 = 0.979), dengan dosis boron optimum adalah 2.9 kg/ha untuk menghasilkan bobot TSS sebesar g/12 tanaman (Gambar 5) atau setara dengan kg/ha (populasi tanaman /ha). Peningkatan hasil yang dicapai pada dosis tersebut sekitar % dari kontrol. Peningkatan bobot TSS ini disebabkan oleh peningkatan jumlah bunga per umbel, jumlah umbel per tanaman dan jumlah kapsul per umbel (Tabel 2 dan

13 37 3) yang nyata, yang didukung oleh adanya peningkatan viabilitas dan jumlah serbuk sari (Tabel 4). Menurut Misra dan Patil (1987), boron dapat meningkatkan bobot benih dengan merangsang proses-proses fisologis, terutama proses perkecambahan serbuk sari dan pemanjangan tabung serbuk sari, selama fase reproduksi. Amanullah et al. (2010) menyatakan boron juga terlibat dalam sistem translokasi karbohidrat dalam tanaman termasuk pengisian biji. Pada percobaan di dataran tinggi Lembang, tampak bahwa tanaman bawang merah sangat responsif terhadap pemberian boron. Hal ini disebabkan kandungan boron yang tersedia di dalam tanah andisol Lembang sangat rendah yaitu 0.08 ppm (Laboratorium Pengujian Tanah dan Tanaman Balitsa Lembang 2011). Kandungan boron tanah yang tersedia untuk tanaman yaitu ppm (Marschner 1995; Kelling 1999). Jenis tanah dengan karakteristik kandungan bahan organik rendah, tekstur tanah berpasir dan kelembaban tanah tinggi umumnya mempunyai ketersediaan boron tanah rendah (Kelling 1999), seperti tanah andisol Lembang. Penambahan boron 1-4 kg/ha pada tanah andisol meningkatkan boron tersedia dalam tanah yaitu rata-rata menjadi 2.06 ppm (Laboratorium Tanah dan Tanaman Balitsa Lembang 2012) yang menunjukkan bahwa penambahan boron sampai dosis 4 kg/ha tidak memberikan pengaruh yang negatif terhadap tanaman bawang merah. Menurut Kelling (1999), umumnya tanaman dapat mengalami keracunan di atas 5 ppm. Menurut Marschner (1995), aplikasi boron pada tanah yang kekurangan boron dapat mendorong peningkatan konsentrasi boron di daerah perakaran sehingga menekan auksin akar yang tinggi dan terjadi keseimbangan dengan sitokinin yang mendorong pembelahan sel dalam organ reproduktif. Selain itu menurut Meena (2010), boron yang diserap dalam bentuk BO - 3 dalam tanah terlibat dalam metabolisme protein, mensintesis kembali adenosin triphosphat (ATP) dan translokasi gula pada tahap perkembangan bunga, biji dan buah. Mutu TSS Hasil uji F menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron terhadap mutu TSS. Aplikasi BAP tidak berpengaruh terhadap mutu TSS sebagaimana ditunjukkan oleh bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi

14 38 tumbuh maksimum (Tabel 6). Hal ini diduga karena aplikasi BAP yang berkaitan dengan pembelahan sel pada jaringan meristematik tunas apikal tanaman bawang merah. Mutu benih yang dihasilkan lebih ditentukan oleh pertumbuhan tanaman induk yang cukup baik karena kondisi lingkungan yang optimum. Daya berkecambah TSS yang dihasilkan dari perlakuan BAP ppm di atas standar sertifikasi mutu benih (75%) yang ditentukan oleh Direktorat Bina Perbenihan (2007), yaitu mencapai %. Data ini menunjukkan bahwa walaupun konsentrasi BAP tidak berpengaruh terhadap daya berkecambah benih yang dihasilkan, namun BAP ppm menghasilkan benih yang memenuhi syarat untuk dipasarkan. Tabel 6. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap bobot TSS 100 butir, daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum TSS di dataran tinggi Lembang Perlakuan Konsentrasi BAP (ppm) rerata Dosis Boron (kg/ha) Bobot 100 butir (g) a a a a a c abc ab a bc Daya berkecambah (%) a a a a a b a a a a Potensi tumbuh maksimum (%) a a a a a b ab a a a 4 BAP x boron tn tn tn KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% ; tn= tidak nyata Aplikasi boron sebanyak 1 4 kg/ha meningkatkan bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum (Tabel 6). Boron merupakan unsur mikro esensial yang memiliki peran dasar dalam proses-proses fiologis tanaman seperti meningkatkan peran Ca dalam menjaga integritas struktur dinding sel dan

15 39 membran plasma, peningkatan pembelahan sel, diferensiasi jaringan dan metabolisme asam nukleat, karbohidrat, protein, fenol dan auksin sehingga dapat meningkatkan viabilitas benih dan persentase seedling normal (Marschner 1995). Dosis boron 3 kg/ha merupakan dosis optimum untuk meningkatkan bobot 100 butir. Pemberian boron 2 4 kg/ha meningkatkan daya berkecambah mencapai diatas 77% dan potensi tumbuh maksimum diatas 83%. Hasil ini telah memenuhi persyaratan untuk sertifikasi benih sehingga dapat dipasarkan. Mutu benih yang dicapai dari hasil penelitian ini juga menunjukkan perbaikan yang sangat signifikan dibandingkan hasil penelitian sebelumnya terhadap mutu TSS varietas Bima Brebes dengan daya berkecambah sekitar % (Sumarni et al. 2010). Masing-masing perlakuan menghasilkan kecambah yang normal namun kecambah normal yang dihasilkan dari perlakuan BAP maupun boron mempunyai ukuran yang lebih besar daripada kecambah normal pada kontrol (tanpa BAP dan tanpa boron) (Gambar 6). Pada kurun waktu pengecambahan yang sama (satu bulan setelah panen) kecambah normal dari perlakuan BAP atau boron membentuk hipokotil dan akar yang lebih panjang daripada kecambah normal dari kontrol. Gambar 6. Ukuran kecambah normal pada satu bulan setelah panen dari perlakuan tanpa BAP/tanpa boron (A), pada perlakuan boron (B) dan pada perlakuan BAP (C) di dataran tinggi Lembang Dari hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa aplikasi BAP mampu meningkatkan pembungaan, viabilitas dan jumlah serbuk sari serta

16 40 produksi TSS pada konsentrasi yang berbeda-beda. Mutu benih yang tercermin dari bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum tidak dipengaruhi oleh aplikasi BAP. Konsentrasi BAP yang optimum untuk produksi TSS per plot di dataran tinggi Lembang yaitu 37.5 ppm. Aplikasi boron dapat meningkatkan pembentukan bunga dan kapsul, viabilitas dan jumlah serbuk sari, maupun produksi dan mutu TSS. Dosis boron yang optimum untuk produksi TSS di dataran tinggi Lembang yaitu 2.9 kg/ha. Aplikasi BAP 37.5 ppm dan boron 2.9 kg/ha digunakan sebagai perlakuan dasar untuk semua perlakuan pada percobaan 2 dan 3 di dataran tinggi Lembang. Percobaan 1. Pengaruh BAP dan Boron terhadap Pembungaan, Viabilitas Serbuk Sari dan Produksi serta Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Rendah Subang Pembungaan Seperti di dataran tinggi, hasil uji F di dataran rendah juga menunjukkan tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron baik terhadap pembentukan bunga dan kapsul maupun terhadap viabilitas serbuk sari, produksi dan mutu benih botani bawang merah (TSS). Aplikasi BAP memperlambat pembungaan, sehingga memperpanjang waktu muncul umbel 50% (berkisar antara antara HST) dibandingkan kontrol (rata-rata 20.5 HST) (Tabel 7). Hal ini disebabkan karena persentase tanaman berbunga dan jumlah umbel per tanaman meningkat dengan aplikasi BAP dan muncul secara bertahap, sehingga walaupun umbel pertama dari tanaman yang diberi perlakuan BAP dan kontrol muncul bersamaan, akan tetapi 50% tanaman berbunga dicapai pada waktu yang berbeda. Pemberian BAP pada berbagai konsentrasi juga berpengaruh nyata terhadap persentase tanaman berbunga. Pada perlakuan kontrol tanaman yang berbunga hanya 11.67%, sedangkan pada perlakuan BAP ppm berkisar antara % (Tabel 7), meningkat sebesar %, walaupun diantara perlakuan BAP pada berbagai konsentrasi tidak ada perbedaan yang nyata terhadap persentase tanaman berbunga. Data ini memberi indikasi bahwa semakin tinggi konsentrasi BAP yang diberikan semakin tinggi persentase

17 41 tanaman yang berbunga. Begitu pula dengan peubah jumlah umbel per tanaman yang meningkat dengan aplikasi BAP tetapi tidak ada perbedaan diantara konsentrasi BAP yang diberikan. Rata-rata diperoleh 0.9 umbel/tanaman dari tanaman kontrol dan umbel/tanaman dari tanaman yang diberi perlakuan BAP (Tabel 7). Brewster dan Salter (1980) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembungaan bawang bombay (Allium sp) antara lain suhu rendah, Tabel 7. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap waktu muncul tunas umbel, persentase tanaman berbunga dan jumlah umbel per tanaman bawang merah di dataran rendah Subang Perlakuan Konsentrasi BAP (ppm) Dosis Boron (kg/ha) Waktu muncul umbel 50% (HST) 20.5 b 29.6 a 32.3 a 34.3 a 34.8 a 31.5 a 27.9 a 29.7 a 33.1 a 29.3 a 30.3 Persentase tanaman berbunga (%) b a a a a a a a a a Jumlah umbel per tanaman 0.9 b 1.3 a 1.3 a 1.2 a 1.5 a 1.2 a 1.3 a 1.2 a 1.3 a 1.2 a 1.2 Rerata BAP x boron tn tn tn KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata panjang hari, intensitas cahaya, nutrisi, hormon dan vitamin. Rabinowitch (1990) menyatakan bahwa bawang genus Allium membutuhkan suhu C untuk terjadinya bolting dan C untuk perkembangan umbel dan mekar bunga. Dalam penelitian ini vernalisasi pada suhu 10 0 C selama 4 minggu menghasilkan % tanaman berbunga di dataran rendah Subang, lebih rendah daripada di dataran tinggi yang mencapai 91.11% (Tabel 2). Pada suhu lingkungan yang tinggi di dataran rendah Subang (rata-rata suhu C) (Lampiran 6), meristem apikal yang telah terinduksi sebagian diduga mengalami devernalisasi

18 42 sehingga tidak semua tanaman berbunga (Khokhar 2009 dan Badawi et al. 2010). Menurut Amanullah et al. (2010), 6-Benzyladenin (6-Benzyl amino purine) merupakan sitokinin sintetik yang paling aktif pada berbagai proses fisiologis tanaman seperti pembelahan sel, pembesaran sel, diferensiasi jaringan dan perkembangan fase pembungaan. Pemberian BAP dalam penelitian ini diduga mampu mengurangi laju devernalisasi, sehingga tanaman menghasilkan tunas umbel yang lebih banyak. Aplikasi BAP juga berpengaruh terhadap perkembangan jumlah bunga per umbel, namun tidak ada perbedaan diantara berbagai konsentrasi yang dicobakan. Jumlah bunga per umbel pada perlakuan kontrol adalah 59.6 bunga, sedangkan pada perlakuan BAP ppm lebih tinggi daripada kontrol yaitu sekitar bunga per umbel (Tabel 8). Aplikasi BAP hanya berpengaruh terhadap pembungaan bawang merah, tetapi tidak terhadap pembentukan kapsul sebagaimana ditunjukkan oleh jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul. Hasil ini serupa dengan hasil di dataran tinggi (Tabel 3), yang menunjukkan persentase pembentukan kapsul per umbel konstan, sehingga diduga dikendalikan oleh tanaman induk. Suhu lingkungan yang tinggi diduga mengurangi respon tanaman terhadap aktivitas BAP sehingga persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran rendah Subang lebih rendah daripada di dataran tinggi Lembang. Boron tidak berpengaruh terhadap pembentukan bunga maupun kapsul, seperti terlihat pada kecepatan muncul tunas umbel, persentase tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel maupun jumlah kapsul dan persentase pembentukan kapsul (Tabel 7 dan 8). Hal ini diduga karena ketersediaan boron di dalam tanah telah mencukupi kebutuhan tanaman. Hasil pengujian kandungan boron tanah yang dilakukan di Laboratorium Tanah dan Tanaman Balitsa menunjukkan bahwa tanah latosol Subang mengandung 0.43 ppm boron. Menurut Marschner (1995) kandungan boron di dalam tanah sebanyak ppm memenuhi kriteria tersedia untuk tanaman.

19 43 Tabel 8. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul bawang merah di dataran rendah Subang Perlakuan Konsentrasi BAP (ppm) rerata Dosis Boron (kg/ha) Jumlah bunga per umbel 59.6 b a 90.7 a a 89.9 a 85.8 a 88.1 a 85.1 a 94.2 a 92.0 a 89.2 Jumlah kapsul per umbel 25.9 a 35.3 a 30.3 a 37.2 a 35.2 a a 29.9 a 28.4 a 35.7 a 38.4 a 32.8 Pembentukan kapsul (%) a a a a a a a a a a rerata BAP x boron tn tn tn KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata Viabilitas dan Jumlah Serbuk Sari Pengamatan serbuk sari dilakukan enam jam setelah bunga mekar dengan ciri antera sudah berwarna hijau tua sebelum menjadi berwarna hitam dan pecah. Suhu lingkungan yang tinggi di dataran rendah Subang mempercepat perkembangan bunga sehingga kematangan antera lebih cepat (sekitar 6 jam setelah antesis) dibandingkan dengan di dataran tinggi Lembang (22-26 jam setelah antesis). Viabilitas serbuk sari dipengaruhi oleh aplikasi BAP pada konsentrasi tinggi (200 ppm) (Tabel 9). Peningkatan viabilitas serbuk sari terjadi pada BAP konsentrasi 200 ppm, sebesar 2.33%, dibandingkan perlakuan kontrol sebesar 1.57%. BAP tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah serbuk sari per antera. Rata-rata jumlah serbuk sari pada setiap perlakuan adalah serbuk sari per antera. Seperti pada BAP, boron hanya berpengaruh nyata terhadap viabilitas serbuk sari tetapi tidak berpengaruh terhadap jumlah serbuk sari per antera (Tabel

20 44 9). Pemberian boron meningkatkan viabilitas serbuk sari. Pada perlakuan tanpa boron viabilitas serbuk sari sekitar 1.40%, dan meningkat dengan aplikasi boron 1-4 kg/ha. Pada dosis boron yang tinggi (4 kg/ha), peningkatan viabilitas serbuk sari mencapai 73.57%. Viabilitas serbuk sari yang rendah di dataran rendah Subang diduga menjadi salah satu faktor pembatas persentase pembentukan kapsul per umbel, yang lebih rendah dibandingkan dengan di dataran tinggi Lembang (Tabel 3). Menurut Shivanna dan Sawhney (1997) selain viabilitas serbuk sari, jumlah serbuk sari per antera dapat berpengaruh terhadap pembentukan kapsul dan biji. Pada percobaan ini, jumlah serbuk sari per antera tidak dipengaruhi oleh aplikasi boron. Rata-rata jumlah serbuk sari dari semua perlakuan adalah serbuk sari per antera. Tabel 9. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap viabilitas dan jumlah serbuk sari bawang merah di dataran rendah Subang Perlakuan Viabilitas serbuk sari (%) Jumlah serbuk sari per antera Konsentrasi BAP (ppm) rerata 1.57 b 1.77 b 2.00 ab 1.90 ab 2.33 a a a a a a Dosis Boron (kg/ha) rerata 1.40 c 1.77 bc 2.17 ab 1.80 bc 2.43 a a a a a a BAP x Boron tn tn KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% ; tn= tidak nyata Produksi TSS Aplikasi BAP berpengaruh nyata terhadap jumlah TSS botani bawang (TSS) per umbel dan persentase TSS bernas (Tabel 10). Peningkatan konsentrasi

21 45 Tabel 10. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah benih per umbel, persentase TSS bernas, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman dan bobot TSS per plot di dataran rendah Subang Perlakuan Jumlah TSS per umbel Konsentrasi BAP (ppm) rerata 69.7 abc a 69.6 abc 52.2 c 85.7 ab Persentase TSS bernas (%) b a a b a Bobot TSS per umbel (g) a a a a a Bobot TSS per tanaman (g) a a a a a Bobot TSS per plot (g/12 tanaman) a a a a a Dosis Boron (kg/ha) rerata 79.9 a 79.9 a 61.1 a 77.6 a 78.7 a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a BAP x boron tn tn tn tn tn KK (%) * masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata;*transformasi x+1 BAP terhadap jumlah TSS bernas per umbel yang dihasilkan tidak konsisten. BAP pada konsentrasi 50 dan 200 ppm BAP meningkatkan jumlah TSS bernas, sedangkan pada konsentrasi 150 ppm cenderung menurunkan jumlah TSS bernas per umbel. Hasil serupa juga terjadi pada persentase benih TSS per umbel. Aplikasi BAP umumnya meningkatkan persentase jumlah TSS bernas per umbel kecuali BAP konsentrasi 150 ppm. Peningkatan jumlah TSS bernas pada perlakuan BAP 50, 100 dan 200 ppm adalah sekitar % dari kontrol tetapi peningkatan tersebut tidak meningkatkan bobot TSS bernas per umbel, per tanaman maupun per plot. Rata-rata bobot TSS per umbel pada setiap perlakuan adalah g, sedangkan rata-rata bobot TSS per tanaman sekitar g. Jumlah umbel per tanaman yang hanya sekitar 1.2 umbel menyebabkan bobot TSS per umbel hampir sama dengan bobot benih per tanaman. Jumlah umbel yang dipanen per plot juga sangat rendah yaitu rata-rata 3.5 umbel per plot. Hal ini juga yang menyebabkan bobot TSS per plot sangat rendah. Selain tingkat

22 46 pembungaannya rendah, juga umbel yang berkembang sebagian terkena penyakit bercak ungu yang disebabkan oleh cendawan Alternaria porri, yang dipicu oleh suhu udara dan kelembaban tinggi. Tangkai umbel yang terserang penyakit bercak ungu berwarna coklat-hitam sehingga bunga tidak dapat berkembang menjadi kapsul karena aliran nutrisi terhambat. Aplikasi boron tidak berpengaruh nyata terhadap produksi TSS (Tabel 10) di dataran rendah Subang dengan jenis tanah latosol. Hal ini disebabkan karena boron tanah dapat memenuhi kebutuhan tanaman sehingga penambahan boron tidak mampu memperbaiki produksi benih TSS. Namun penambahan boron sampai dosis 4 kg/ha juga tidak sampai menjadi racun bagi tanaman, seperti yang tercermin dari produksi TSS sampai dosis 4 kg boron/ha yang memberikan hasil yang tidak menurun dari kontrol meskipun kandungan boron tanah setelah diberi pupuk boron meningkat hingga rata-rata 2,81 ppm (Laboratorium Tanah dan Tanaman Balitsa Lembang 2012). Mutu TSS Tabel 11 menunjukkan bahwa perlakuan BAP tidak berpengaruh nyata terhadap bobot benih 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum. Rata-rata bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum pada semua perlakuan berturut-turut adalah g, 75.44% dan 80.32%. Rata-rata daya berkecambah pada semua perlakuan diatas 75%, yang merupakan standar sertifikasi mutu benih bawang merah berdasarkan Direktorat Bina Perbenihan (2007). Aplikasi boron juga tidak berpengaruh nyata terhadap bobot benih 100 butir, daya berkecambah maupun potensi tumbuh maksimum. Berdasarkan hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa pemberian BAP dan boron pada tanaman bawang merah di dataran rendah Subang tidak mampu meningkatkan produksi dan mutu benih TSS. Aplikasi BAP hanya mampu meningkatkan pembungaan dan viabilitas serbuk sari bawang merah. Aplikasi BAP konsentrasi 50 ppm cukup memadai untuk meningkatkan pembungaan bawang merah di dataran rendah Subang, yang selanjutnya menjadi perlakuan dasar untuk Percobaan 2 dan 3 di lokasi yang sama. Sementara boron tidak dapat dijadikan perlakuan dasar untuk percobaan selanjutnya karena tidak mampu

23 47 memperbaiki tingkat pembungaan maupun produksi dan mutu benih TSS. Boron hanya mampu memperbaiki viabilitas serbuk sari bawang merah saja. Tabel 11. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap bobot TSS 100 butir, daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum TSS di dataran rendah Subang Perlakuan Konsentrasi BAP (ppm) rerata Dosis Boron (kg/ha) Bobot 100 butir (g) a a a a a a a a a a Daya berkecambah (%) a a a a a a a a a a Potensi tumbuh maksimum (%) a a a a a a a a a a rerata BAP x boron tn tn tn KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata Produksi dan Mutu TSS di Dua Lokasi Produksi TSS sangat dipengaruhi oleh faktor ketinggian tempat. Ketinggian tempat berkaitan dengan kondisi cuaca yang mendukung untuk inisiasi pembungaan dan perkembangan umbel. Dataran tinggi merupakan daerah agroekosistem yang mempunyai suhu rendah yang cocok untuk mendukung terjadinya pembungaan tanaman. Menurut Rabinowitch (1990) bawang merah memerlukan suhu rendah C untuk inisiasi pembungaannya dan suhu C untuk perkembangan umbel dan mekar bunga. Inisiasi pembungaan (bolting) pada bawang sangat penting untuk produksi biji. Di Indonesia, kondisi lingkungan dengan rata-rata suhu udara yang tinggi (> 18 0 C) menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat pembungaan bawang merah. Pembungaan yang

24 48 A B Gambar 7. Pembungaan bawang merah di dataran tinggi (A) dan dataran rendah (B) tinggi menyebabkan peluang tanaman untuk menghasilkan benih menjadi lebih tinggi (Gambar 7). Umumnya hasil penelitian pada percobaan ini menunjukkan bahwa produksi TSS di dataran tinggi Lembang (1250 m dpl) dengan suhu C lebih tinggi dibanding di dataran rendah Subang (100 m dpl) dengan suhu C sebagaimana ditunjukkan oleh bobot TSS per plot pada Percobaan 1 (Gambar 8A). Produksi TSS di dataran tinggi rata-rata per plot mencapai 8.12 g/12 tanaman, sedangkan di dataran rendah hanya mencapai 1.02 g/12 tanaman atau produksi benih di dataran tinggi 8 kali lipat produksi di dataran rendah. Hasil ini setara kg/ha (populasi tanaman/ha) di dataran tinggi Lembang, dan kg/ha di dataran rendah Subang (populasi tanaman/ha). Hal ini disebabkan karena tingkat pembungaan yang tinggi di dataran tinggi (Tabel 2 dan 3) jauh di atas pembungaan di dataran rendah (Tabel 7 dan 8), sebagaimana tercermin dari peubah jumlah tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman dan jumlah bunga per umbel. Tanaman bawang merah yang berbunga di dataran tinggi rata-rata mencapai 93.44% jauh di atas jumlah tanaman yang berbunga di dataran rendah yang hanya 29.89%. Jumlah umbel per tanaman di dataran tinggi yang mencapai 3.36 umbel juga berkontribusi terhadap produksi TSS yang tinggi dibandingkan dengan di dataran rendah yang hanya menghasilkan 1.3 umbel per tanaman. Produksi bunga per umbel di dataran tinggi (Tabel 2) yaitu 40% lebih tinggi daripada di dataran rendah (Tabel 8) sehingga peluang bunga menjadi kapsul yang berisi benih menjadi lebih tinggi. Namun demikian dari hasil

25 49 percobaan ini ada indikasi bahwa di dataran rendah terbuka peluang untuk peningkatan pembungaan tanaman bawang merah yang dapat meningkatkan produksi TSS. Hasil percobaan di dataran tinggi ini juga menghasilkan tingkat pembungaan dan produksi TSS yang jauh lebih tinggi daripada hasil-hasil penelitian sebelumnya. Hasil-hasil penelitian tentang pembungaan dan produksi TSS di dataran tinggi yang dilaporkan oleh Satjadipura (1990), Sumarni dan Soetiarso (1998), Sumarni dan Sumiati (2001), Rosliani et al. (2005), Sumarni et al. (2009), Sumarni et al. (2010), dan Sumarni et al. (2011) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pembungaan yang lebih rendah < 50% dengan rata-rata jumlah umbel < 1.5 per tanaman yang menghasilkan TSS setara +30 kg/ha. Gambar 8. Perbandingan bobot TSS per plot (A), bobot 100 butir (B) dan daya berkecambah TSS (C) di dataran tinggi dan dataran rendah Pengaruh ketinggian tempat terhadap bobot benih 100 butir menunjukkan bahwa bobot benih 100 butir di dataran rendah (0.398 g) lebih tinggi daripada di dataran tinggi (0.368 g) (Gambar 8B). Artinya bahwa benih yang diproduksi di dataran rendah lebih bernas atau secara fisik lebih baik daripada yang diproduksi di dataran tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sumarni et al. (2009), bahwa ada indikasi dataran rendah dengan suhu yang tinggi cocok untuk pembentukan kapsul dan biji. Rabinowitch (1990b) melaporkan bahwa untuk pembentukan kapsul dan biji bawang-bawangan genus Allium suhu yang dibutuhkan adalah 35 0 C sedangkan Putrasamedja (1995b) melaporkan bahwa untuk pengisian biji bawang merah lebih cocok di daerah yang bersuhu sekitar 25 0 C, yang berada di ketinggian tempat kurang dari 700 m dpl. Namun benih TSS asal dataran tinggi mempunyai daya berkecambah yang lebih

26 50 tinggi daripada TSS asal dataran rendah (Gambar 8C). Daya berkecambah yang lebih tinggi di dataran tinggi disebabkan penanaman di dataran tinggi dilakukan pada musim kemarau, sedangkan di dataran rendah dilakukan pada musim hujan yang dilakukan untuk mengatasi kerontokan bunga akibat cuaca yang sangat panas. Pembentukan kapsul dan benih yang terjadi pada kondisi kering tidak banyak hujan menyebabkan benih yang dipanen memiliki viabilitas benih yang baik. Percobaan 2. Sistem Perkawinan Bawang Merah terhadap Produksi dan Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Tinggi Lembang Pada percobaan ini perlakuan penyerbukan sendiri dan silang dilakukan pada tanaman yang sama, dan dari hasil seleksi diperoleh tanaman yang cukup seragam. Dari 46 umbel untuk penyerbukan sendiri hanya 22 umbel (47.83 %) yang membentuk kapsul, sedangkan pada penyerbukan silang 32 umbel (69.57%) mampu membentuk kapsul. Pada umbel yang tidak berkembang menjadi kapsul umumnya seluruh bunga menjadi layu diduga karena tidak terjadi fertilisasi. Tabel 12. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah kapsul dan persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran tinggi Lembang Perlakuan Jumlah bunga per umbel Jumlah kapsul per umbel Pembentukan kapsul (%) Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang a a 6.4 b 20.6 a 6.7 b 14.8 a masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5% Pada perlakuan penyerbukan sendiri, rata-rata persentase pembentukan kapsul per umbel hanya 6.7% atau dari bunga per umbel terdapat 6.4 bunga yang menjadi kapsul (Tabel 12). Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa pembentukan kapsul bawang merah melalui penyerbukan sendiri masih terjadi, meskipun dengan persentase yang sangat rendah. Menurut Williams dan Free (1993) tanaman bawang bombay adalah self-compatible, sehingga penyerbukan sendiri dapat menghasilkan biji. Namun Chandel et al. (2004) melaporkan bahwa penyerbukan silang merupakan penyerbukan yang umum terjadi pada bawang

27 51 grup Agregatum dan menghasilkan pembentukan biji yang lebih tinggi. Penyerbukan silang terjadi jika serbuk sari diperoleh dari umbel lain dari tanaman yang sama atau tanaman berbeda (Zdzislaw et al. 2004). Jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul dari penyerbukan silang lebih tinggi daripada penyerbukan sendiri. Namun demikian, penyerbukan silang dengan tangan (hand crossed-pollination) menghasilkan persentase pembentukan kapsul yang cukup rendah. Dari rata-rata bunga per umbel, hanya 14.8 % atau sekitar 20.6 bunga yang berkembang membentuk kapsul. Rendahnya pembentukan kapsul dari penyerbukan silang tanaman bawang merah diduga disebabkan emaskulasi antera menimbulkan pelukaan pada bunga sehingga menurunkan vigor bunga dan mempengaruhi proses fertilisasi, yang pada akhirnya mempengaruhi pembentukan kapsul. Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah TSS bernas per umbel hanya 9.5 benih dengan bobot g dari penyerbukan sendiri. Dari total jumlah TSS yang terbentuk hanya 29.45% yang merupakan benih bernas. Data ini menunjukkan bahwa produksi TSS dari penyerbukan sendiri sangat rendah. Produksi TSS dari penyerbukan silang lebih tinggi daripada penyerbukan sendiri. Penyerbukan silang menghasilkan jumlah TSS bernas per umbel rata-rata 33.1 biji dengan bobot 0.08 g dan dengan persentase benih bernas per umbel sebesar 41.93%. Produksi TSS yang diperoleh dari hasil penyerbukan silang dengan bantuan tangan pada percobaan ini sangat rendah, seperti yang diperoleh Rao dan Suryanaraya (1989) dan Chandel et al. (2004) yang meneliti bawang bombay. Namun Oz et al. (2009) melaporkan sebaliknya bahwa penyerbukan silang dengan bantuan tangan menghasilkan produksi benih yang lebih tinggi (226%) dibandingkan dengan penyerbukan terbuka maupun dengan bantuan serangga penyerbuk. Bobot TSS per umbel yang sangat rendah (0.08 g) dari percobaan ini diduga disebabkan oleh waktu pengambilan serbuk sari untuk penyerbukan yang kurang tepat. Berdasarkan pengamatan di lapangan diduga serbuk sari masak atau antera pecah pukul pada saat cuaca cerah. Viabilitas serbuk sari cepat menurun pada suhu tinggi sehingga ada kemungkinan sewaktu digunakan untuk penyerbukan viabilitasnya sudah menurun. Kelembaban udara yang tinggi menyebabkan banyak bunga yang terkena embun bulu oleh cendawan

28 52 Peronospora destructor akibat adanya pelukaan pada stamen karena emaskulasi antera. Penyerbukan silang dengan tangan dilakukan pada bulan April dan Mei dengan curah hujan berkisar mm/bulan dan RH % yang optimum untuk pertumbuhan cendawan Peronospora destructor, menyebabkan bunga yang diserbuk silang berwarna hitam. Keadaan ini berbeda dengan umbel yang diserbuk sendiri tanpa emaskulasi sehingga umbel tidak terserang cendawan Peronospora destructor, akan tetapi sebagian besar bunga layu dan kecoklatan karena tidak terjadi fertilisasi. Penyakit lain yang banyak menyerang tanaman bawang merah pada kondisi cuaca tersebut adalah penyakit bercak ungu (trotol) yang disebabkan oleh cendawan Alternaria porri dan penyakit antraknosa oleh cendawan Colletrotichum sp. Serangan penyakit cepat menyebar terutama jika ada pelukaan pada bagian tanaman. Penyakit embun bulu menyerang pada umbel, sedangkan tangkai umbelnya banyak terserang penyakit bercak ungu dan antraknose, terutama pada perlakuan penyerbukan silang yang disebabkan karena penyebaran penyakit melalui tangan dari satu tangkai ke tangkai umbel lainnya. Tabel 13. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah TSS per umbel, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel di dataran tinggi Lembang Perlakuan/ Jumlah TSS per umbel Persentase TSS bernas Bobot TSS per umbel (g) Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang 9.5 b 33.1 a b a b a masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5% Hasil uji t menunjukkan bahwa mutu TSS yang ditunjukkan oleh bobot benih 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum tidak berbeda nyata antara perlakuan penyerbukan sendiri dengan penyerbukan silang (Tabel 14). Namun ada indikasi bahwa benih dari penyerbukan silang mempunyai daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum lebih tinggi dibandingkan dengan benih dari penyerbukan sendiri.

29 53 Tabel 14. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap mutu TSS di dataran tinggi Lembang Perlakuan Bobot 100 butir (g) Daya berkecambah (%) Potensi tumbuh maksimum (%) Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang a a a a a a masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5% Percobaan 2. Sistem Perkawinan Bawang Merah terhadap Produksi dan Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Rendah Subang Percobaan 2 di dataran rendah Subang menghasilkan tingkat pembungaan bawang merah yang rendah sehingga pengambilan sampel sangat terbatas. Dari 150 tanaman hanya 10 tanaman dapat dijadikan sampel yang mempunyai jumlah umbel memadai untuk penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang dalam satu tanaman. Meskipun demikian rata-rata jumlah bunga per umbel untuk penyerbukan sendiri lebih tinggi daripada yang digunakan untuk penyerbukan silang (Tabel 15). Hasil uji t menunjukkan bahwa penyerbukan sendiri menghasilkan jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul yang sama dengan penyerbukan silang, meskipun jumlah bunga per umbel yang digunakan dalam penyerbukan sendiri lebih tinggi daripada penyerbukan silang. Tabel 15. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah kapsul dan persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran rendah Subang Perlakuan Jumlah bunga per umbel Jumlah kapsul per umbel Pembentukan kapsul (%) Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang 97.1 a 79.6 b 10.9 a 12.4 a a a masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5% Antara penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri juga tidak ada perbedaan yang nyata terhadap jumlah TSS, bobot TSS maupun persentase TSS bernas per umbel (Tabel 16). Hal ini menunjukkan bahwa penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang tidak berpengaruh terhadap produksi TSS. Keberhasilan

30 54 penyerbukan silang salah satunya dipengaruhi oleh ketepatan tingkat kematangan serbuk sari yang akan diserbukkan ke stigma yang reseptif. Pembentukan kapsul dan biji yang rendah dapat disebabkan oleh waktu penyerbukan yang tidak tepat antara serbuk sari yang matang dengan stigma reseptif, yang akan berpengaruh terhadap mutu TSS (Tabel 17). Hal ini terlihat pada daya berkecambah dari penyerbukan silang yang lebih rendah daripada penyerbukan sendiri. Daya berkecambah pada penyerbukan sendiri memenuhi persyaratan benih bermutu >75%), sedangkan dari penyerbukan silang diperoleh TSS dengan daya berkecambah 66.67%, yang tidak memenuhi persyaratan benih bermutu. Bobot benih 100 butir dan potensi tumbuh maksimum antara kedua sistem perkawinan juga tidak berbeda nyata. Tabel 16. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah TSS per umbel, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel di dataran rendah Subang Perlakuan Jumlah TSS per umbel Persentase TSS bernas Bobot TSS per umbel (g) Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang 14.2 a 18.8 a a a a a masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5% Tabel 17. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap mutu TSS di dataran rendah Subang Perlakuan Bobot 100 butir (g) Daya berkecambah (%) Potensi tumbuh maksimum (%) Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang a a a b a a masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5% Dari hasil percobaan di atas diketahui bahwa di dataran tinggi Lembang penyerbukan silang menghasilkan produksi TSS yang lebih tinggi daripada penyerbukan sendiri, walaupun mutu TSS yang dihasilkan tidak berbeda nyata (Tabel 13 dan 14). Sementara di dataran rendah Subang penyerbukan sendiri dan silang menghasilkan produksi TSS yang tidak berbeda nyata (Tabel 16 dan 17),

31 55 akan tetapi daya berkecambah TSS dari penyerbukan sendiri lebih tinggi daripada penyerbukan silang. Data ini menegaskan hasil percobaan sebelumnya bahwa kondisi lingkungan dataran rendah cukup optimum untuk pemasakan kapsul. Selain itu hasil ini juga memberikan indikasi pentingnya peran polinator dalam meningkatkan produksi TSS terutama di dataran tinggi, sementara di dataran rendah upaya peningkatan pembungaan bawang merah masih diperlukan. Percobaan 3. Peran Serangga Penyerbuk dalam Meningkatkan Produksi dan Mutu Benih Botani (TSS) dengan di Dataran Tinggi Lembang Pembentukan Kapsul Pengamatan jumlah bunga per umbel dilakukan sebelum pelepasan serangga penyerbuk ke dalam kerodong kain kasa. Rerata jumlah bunga per umbel adalah bunga (Tabel 18). Serangga penyerbuk yang digunakan ada empat jenis yaitu lebah madu introduksi Apis mellifera, lebah madu lokal Apis cerana, lebah hutan Trigona sp. dan lalat hijau Lucilia sp dan penyerbukan terbuka sebagai control. Hasil pengamatan pada penyerbukan terbuka diketahui bahwa serangga penyerbuk yang mengunjungi bunga bawang merah antara lain tabu-tabuan, lebah besar, lalat hijau, lalat kecil, semut dan kupu-kupu (Gambar 9). Umumnya serangga tersebut mengunjungi bunga bawang pada cuaca cerah antara pukul , tetapi pada saat cuaca mendung atau hujan hanya lalat yang masih mengunjungi bunga bawang merah. Serangga penyerbuk berperan nyata dalam pembentukan kapsul per umbel (Gambar 10 dan Tabel 18). Lebah madu A. cerana merupakan penyerbuk yang paling efektif diantara penyerbuk lainnya dalam menghasilkan kapsul bawang merah. Jumlah kapsul bernas per umbel yang terbentuk dengan bantuan A. cerana tidak berbeda nyata dengan A. mellifera dan penyerbukan terbuka, berkisar antara buah/umbel, dan proporsi bunga menjadi kapsul (persentase pembentukan kapsul bernas per umbel) berkisar antara %. Persentase kapsul bernas per umbel yang dihasilkan pada perlakuan A. cerana lebih tinggi jika dibandingkan dengan Trigona sp. dan Lucilia sp.

32 56 Gambar 9. Berbagai jenis serangga penyerbuk pada perlakuan penyerbukan terbuka: lebah, kupu-kupu, semut, lalat, dan tabu-tabuan, di dataran tinggi Lembang Kapsul yang terbentuk dalam satu umbel baik pada perlakuan serangga penyerbuk maupun pada perlakuan penyerbukan terbuka terdiri atas kapsul bernas dan kapsul hampa. Kapsul bernas berwarna hijau (Gambar 10) mempunyai ukuran yang besar dengan tiga lokul yang membengkak yang berisi biji (bernas atau hampa), sedangkan kapsul yang hampa berwarna coklat dengan ukuran lebih kecil dan tidak beruang (tidak berbiji). Persentase pembentukan kapsul bernas per umbel dari Trigona sp. dan Lucilia sp. rendah yaitu masing-masing 14.15% dan 23.40% (Tabel 18). Hasil penelitian Rao dan Suryanaraya (1989) melaporkan bahwa tanpa bantuan serangga penyerbuk atau ketidaktersediaan penyerbuk efektif selama periode pembungaan, penyerbukan silang pada bawang bombay hanya menghasilkan pembentukan kapsul bernas sebesar 17%.

33 57 Tabel 18. Jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per umbel pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang Perlakuan Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka Rerata Jumlah bunga per umbel a a a a a Jumlah kapsul bernas per umbel 56.6 a 66.5 a 25.3 c 39.7 b 57.7 a Pembentukan kapsul bernas per umbel (%) ab a c bc ab KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%; transformasi (x+1) Gambar 10. Kapsul bawang merah yang terbentuk dari penyerbukan dengan bantuan A. mellifera (A), A. cerana (B), Trigona sp. (C), Lucilia sp. (D), penyerbukan terbuka (E) di dataran tinggi Lembang. Perilaku A. cerana dalam menyerbuki bunga bawang merah berbeda dengan penyerbuk lainnya, termasuk A. mellifera yang sama-sama lebah madu. A. cerana umumnya lebih lama mengunjungi bunga dan aktif bergerak mengitari seluruh bunga dalam satu umbel. Lebah madu tersebut biasanya bergerombol 3-6

34 58 ekor pada satu umbel dari pukul pada saat cuaca cerah. Apis mellifera cenderung hinggap sebentar saja pada satu umbel tetapi berpindahpindah antar umbel dan tidak bergerombol. Pada penyerbukan terbuka, serangga yang berperan dalam produksi kapsul diduga lebah besar berwarna hitam yang mempunyai perilaku seperti A. cerana tetapi populasi di alam terbatas, dipengaruhi tanaman lain yang sedang berbunga di sekitar pertanaman bawang merah. Pada percobaan ini di sekitar pertanaman bawang merah ditanami tagetes yang berbunga kuning untuk menarik serangga pengunjung lainnya. Perilaku Lucilia sp. atau lalat hijau hampir seperti lebah besar yang soliter. Trigona sp hanya sesekali hinggap di bunga bawang dengan frekuensi yang rendah dan waktu yang singkat, umumnya hanya terbang di atas tanaman dan hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya. Perbedaan perilaku serangga tersebut menunjukkan efektivitasnya dalam membantu penyerbukan dan produksi kapsul bawang merah. Menurut Yucel dan Duman (2005) perilaku berkelibang serangga digunakan untuk menentukan penyerbuk yang efektif dalam kaitannya dengan peningkatan penyerbukan silang. Perpindahannya antar bunga dalam satu umbel atau antar umbel dalam satu tanaman atau antar tanaman mempengaruhi keberhasilan penyerbukan dan fertilisasi terutama pada tanaman yang menyerbuk silang. Berdasarkan jumah kapsul per umbel, Trigona sp. merupakan penyerbuk yang tidak efektif untuk tanaman bawang merah sebagaimana dilaporkan oleh Heard (1999) bahwa meskipun menjadi pengunjung utama tanaman bawang bombay tetapi Trigona sp. hanya kadang-kadang menyerbuki bunganya. Produksi TSS Sejalan dengan pembentukan kapsulnya, A. cerana menghasilkan jumlah dan bobot TSS (benih bernas) per umbel paling tinggi (Tabel 19). Banyaknya benih bernas dari satu umbel yang dihasilkan oleh A. cerana yaitu butir dengan bobot g memberikan indikasi tingginya penyerbukan oleh A. cerana. Persentase TSS bernas per umbel pada perlakuan A. cerana yang mencapai 93.12% dari total TSS per umbel menunjukkan bahwa hampir semua benih yang dihasilkan merupakan benih bernas yang viabel. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa jumlah benih bernas per umbel pada perlakuan A. cerana

35 59 berbeda nyata dengan perlakuan penyerbuk lainnya. Perlakuan A. mellifera, lalat hijau dan penyerbukan terbuka menghasilkan jumlah dan bobot TSS bernas per umbel yang tidak berbeda nyata (Tabel 19). Trigona sp. merupakan penyerbuk yang menghasilkan produksi benih bernas yang paling rendah (0.164 g/umbel), yang ditunjukkan juga dalam persentase pembentukan kapsul per umbel yang rendah (Tabel 18). Perilaku Trigona sp. yang kurang aktif berkelibang pada bunga diduga menyebabkan serangga ini tidak banyak membantu transfer serbuk sari dari antera ke permukaan stigma, sehingga kurang efektif membantu penyerbukan. Selain banyaknya bunga yang terserbuki, pembentukan benih per umbel terkait dengan banyaknya serbuk sari viabel yang dapat menempel pada stigma. Diduga dengan semakin aktif serangga penyerbuk semakin banyak serbuk sari viabel yang menempel pada stigma. Tabel 19. Jumlah TSS, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang Perlakuan Jumlah TSS per umbel Persentase TSS bernas per umbel (%) Bobot TSS per umbel (g) Apis mellifera b a b (Lebah madu) Apis cerana a a a (Lebah madu) Trigona sp c a c (Lebah hutan) Lucilia sp b a b (Lalat Hijau) Penyerbukan b a b terbuka rerata KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5% Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa bobot TSS bernas per tanaman berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 20). Hasil tertinggi dicapai oleh perlakuan A. cerana (1.328 g/tanaman), namun hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan perlakuan Lucilia sp. (0.898 g/tanaman) dan A. mellifera (0.888 g/tanaman). Berdasarkan bobot benih per umbel dan per tanaman tampaknya lalat hijau Lucilia sp. merupakan penyerbuk kedua yang efektif untuk produksi TSS di

36 60 dataran tinggi setelah A. cerana. Sajjad et al. (2008) juga melaporkan penyerbuk tersebut merupakan penyerbuk efektif kedua setelah lebah madu dan penyerbuk paling baik diantara golongan Diptera pada bawang bombay. Kelemahan lalat hijau sebagai penyerbuk adalah karena lalat meninggalkan kotoran pada bunga yang menyebabkan bunga membusuk sehingga justru mengganggu pembentukan kapsul dan benih. Kendala ini yang mengurangi produksi TSS oleh lalat hijau. Dari penyerbukan terbuka bobot TSS bernas per tanaman yang dihasilkan cenderung lebih rendah daripada A. mellifera dan lalat hijau. Bobot TSS bernas per tanaman pada Trigona sp. paling rendah, hanya g (Tabel 20). Bobot TSS per tanaman ini setara dengan hasil bobot TSS per umbel pada perlakuan A. cerana (Tabel 19). Tabel 20. Bobot TSS per tanaman, bobot TSS per plot dan jumlah umbel dipanen per plot pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang Perlakuan Bobot TSS per tanaman (g) Bobot TSS per plot (g/60 tanaman) Jumlah umbel dipanen per plot Apis mellifera ab bc b (Lebah madu) Apis cerana a a b (Lebah madu) Trigona sp c 8.82 c b (Lebah hutan) Lucilia sp ab ab b (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka bc ab a KK (%) 8.99* 7.75* masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%; *transformasi (x+1) Jumlah umbel yang dipanen pada setiap plot perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata antara perlakuan penyerbukan terbuka dengan perlakuan serangga penyerbuk (Tabel 20). Pada plot perlakuan penyerbukan terbuka umbel yang dipanen sebanyak umbel. Semua plot perlakuan serangga penyerbuk menghasilkan jumlah umbel dipanen yang tidak berbeda nyata, berkisar umbel. Rendahnya umbel yang dapat dipanen pada plot serangga penyerbuk disebabkan karena kondisi iklim mikro di dalam kerodong kain kasa sangat

37 61 mendukung untuk perkembangan penyakit bercak ungu (cendawan Alternaria porri), antraknose (cendawan Colletrotichum sp.) dan embun bulu (cendawan Peronospora destructor) yang menyerang daun dan tangkai bunga bawang merah (Gambar 11). Suhu di dalam kerodong kain kasa berkisar C dengan kelembaban antara 70 75% (Lampiran 5), sedangkan suhu di luar kerodong kain kasa antara C dengan kelembaban antara 82 87% (Lampiran 4). Kurangnya sirkulasi udara di dalam kerodong kain kasa menyebabkan penyakit cepat menyebar ke tangkai bunga yang berdekatan. Serangan penyakit pada stadia kapsul telah terbentuk masih memungkinkan panen kapsul. Namun serangan yang terjadi pada stadia bunga menyebabkan tangkai umbel yang terkena penyakit menghitam sehingga umbel tidak dapat berkembang menjadi kapsul karena tidak ada pasokan nutrisi ke umbel untuk perkembangan kapsul dan biji. Beberapa umbel tetap segar sampai panen walaupun bunga tidak berkembang menjadi kapsul. A B Gambar 11. Tiga penyakit utama bawang merah yang menyerang tangkai umbel (A) dan daun (B): bercak ungu, antraknose dan embun bulu di dataran tinggi Lembang Bobot TSS per plot dari perlakuan A. mellifera dan Lucilia sp. lebih rendah daripada penyerbukan terbuka (Tabel 20 dan Gambar 12), meskipun bobot TSS bernas per umbel dan per tanaman lebih tinggi. Bobot TSS per plot dari perlakuan A. cerana paling tinggi (62.15 g/60 tanaman) diantara perlakuan lainnya meskipun jumlah umbel yang dipanen lebih rendah daripada perlakuan penyerbukan terbuka, karena bobot TSS per umbel dan per tanaman lebih tinggi

38 62 daripada perlakuan lainnya. Produksi TSS yang dihasilkan dari perlakuan A. cerana meningkat sebesar 56.8% dibanding penyerbukan terbuka. Trigona sp. hanya dapat memproduksi benih botani bawang merah sebanyak 8.82 g/60 tanaman yang merupakan hasil terendah diantara semua perlakuan (Tabel 20 dan Gambar 12). Gambar 12. Produksi TSS per plot (60 tanaman) di dataran tinggi pada perlakuan A. mellifera (A), A cerana (B), Trigona sp.(c), Lucilia sp. (D) dan penyerbukan terbuka (E) di dataran tinggi Lembang. Hasil pengamatan di atas memberikan indikasi bahwa A. cerana dapat membantu penyerbukan bawang merah dan meningkatkan produksi TSS, akan tetapi tidak satupun koloni yang digunakan dalam penelitian ini bertahan sampai penelitian selesai. Semua koloni bubar diduga karena nectar bawang merah bukan nectar yang disukai serangga tersebut untuk mempertahankan koloninya. Oleh karena itu pemanfaatan A. cerana dalam skala luas untuk meningkatkan produksi TSS bawang merah perlu pengkajian yang lebih mendalam. Mutu TSS Mutu TSS yang diamati meliputi bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum (Tabel 21). Bobot 100 butir dan potensi tumbuh maksimum tidak dipengaruhi oleh jenis penyerbuk. Rata-rata bobot benih 100 butir yang dihasilkan dari berbagai perlakuan jenis penyerbuk sebesar g,

39 63 sedangkan potensi tumbuh maksimum yang dihasilkan oleh berbagai perlakuan rata-rata 77.09%. Namun daya berkecambah dipengaruhi oleh jenis serangga penyerbuk, dimana benih yang diproduksi oleh penyerbuk A. cerana mempunyai daya berkecambah yang lebih tinggi (77%) diantara perlakuan lainnya, dan memenuhi kriteria benih bermutu. Disamping A.cerana, Lucilia sp juga menghasilkan benih dengan daya berkecambah memenuhi kriteria benih bermutu sebesar 75.8% (Tabel 21). Tabel 21. Bobot TSS 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum TSS pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang Perlakuan Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka Rerata Bobot 100 butir (g) a a a a Daya berkecambah (%) b a ab ab Potensi tumbuh maksimum (%) a a a a a ab a KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5% Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut di atas, maka lebah madu lokal Apis cerana merupakan penyerbuk yang efektif dalam meningkatkan produksi dan mutu benih bawang merah dari biji (TSS). Produksi Umbi Bawang Merah Tanaman bawang merah yang memproduksi bunga dan TSS ternyata juga dapat menghasilkan umbi (Tabel 22 dan Gambar 13). Jumlah umbi dan bobot umbi bawang merah per tanaman tidak berbeda nyata antar perlakuan serangga penyerbuk. Rata-rata setiap tanaman menghasilkan sekitar 5.9 umbi dengan bobot g. Namun ukuran umbi yang dihasilkan berbeda antar perlakuan serangga penyerbuk. Tanaman bawang merah yang menghasilkan TSS paling rendah

40 64 Tabel 22. Jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman, dan ukuran umbi bawang merah pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang Perlakuan Jumlah umbi per Bobot umbi per Ukuran umbi (g) tanaman tanaman (g) Apis mellifera 6.7 a a ab (Lebah madu) Apis cerana 5.6 a a b (Lebah madu) Trigona sp. 6.1 a a a (Lebah hutan) Lucilia sp. 5.7 a a ab (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka rerata 5.4 a a ab KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5% A B Gambar 13. Produksi umbi pada tanaman bawang merah yang memproduksi TSS di dataran tinggi (A) dan di dataran rendah (B) (Tabel 20) menghasilkan ukuran umbi paling besar (pada perlakuan Trigona sp.) (Tabel 22). Sebaliknya tanaman yang menghasilkan TSS paling tinggi menghasilkan ukuran umbi paling kecil (pada perlakuan A. cerana). Perlakuan A.mellifera, Trigona sp. dan penyerbukan terbuka mempunyai ukuran umbi yang besar (> 5 g), sedangkan A. cerana dan Lucilia sp. mempunyai ukuran umbi yang sedang (4-5 g). Umumnya produksi umbi yang dihasilkan pada setiap perlakuan serangga penyerbuk menunjukkan hasil yang cukup tinggi, yaitu g per tanaman, tetapi umbi yang dipanen berbentuk protolan karena umbi tidak

41 65 memiliki daun sebagaimana panen umbi umumnya. Hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa ada dua keuntungan atau nilai tambah dalam memproduksi TSS, karena sekaligus juga dapat menghasilkan umbi. Percobaan 3. Peran Serangga Penyerbuk dalam Meningkatkan Produksi dan Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Rendah Subang Pembentukan Kapsul Intensitas pembungaan di dataran rendah Subang lebih rendah daripada di dataran tinggi Lembang. Tanaman yang berbunga rata-rata berkisar % pada setiap plot perlakuan dan rata-rata jumlah umbel per tanaman adalah 1.06 umbel, sedangkan rata-rata jumlah bunga per umbel yaitu bunga/umbel. Seperti di dataran tinggi, perbedaan jenis serangga penyerbuk menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per umbel (Tabel 23). Tabel 23. Jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per umbel pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang Perlakuan Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilla sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka Rerata Jumlah bunga per umbel 86.4 a 88.4 a 87.7 a 88.9 a 87.6 a Jumlah kapsul bernas per umbel 37.3 abc 59.1 a 12.8 c 23.3 bc 37.7 ab Pembentukan kapsul per umbel (%) ab a b b ab 87.8 KK (%) * masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%;*transformasi (x+1) A. cerana menghasilkan jumlah kapsul bernas per umbel tertinggi, disusul oleh perlakuan penyerbukan terbuka dan A. mellifera. Dari rata-rata 88.4 bunga

42 66 per umbel, sebanyak 59.1 bunga (66.77%) berkembang menjadi kapsul bernas oleh bantuan A.cerana (Tabel 23). Apis mellifera menghasilkan persentase pembentukan kapsul yang tidak berbeda nyata dengan penyerbukan terbuka. Lalat hijau Lucilia sp. ternyata menghasilkan persentase pembentukan kapsul yang rendah (26.40%) diikuti oleh Trigona sp. (14.3%). Serangga yang membantu penyerbukan secara terbuka adalah lebah besar berwarna hitam sebagaimana ditemukan di dataran tinggi dan merupakan serangga yang aktif mengunjungi bunga bawang dengan perilaku berkelibang menyerupai A. cerana. Selain lebah besar, yang datang mengunjungi bunga bawang di dataran rendah adalah lalat kecil bukan lalat hijau. Populasi kedua serangga tersebut sangat terbatas, tidak sebanyak di dataran tinggi. Suhu udara yang lebih tinggi diduga mempengaruhi perilaku berkelibang serangga penyerbuk di dataran rendah. Produksi TSS A. cerana menghasilkan jumlah TSS per umbel dan bobot TSS per umbel yang paling tinggi diantara serangga penyerbuk yang lain, berturut-turut sebesar butir/umbel dan 0.453g/umbel. Persentase TSS bernas per umbel tidak berbeda antara serangga penyerbuk, berkisar antara %, sehingga produksi TSS lebih ditentukan oleh persentase pembentukan kapsul dan jumlah TSS per umbel. (Tabel 24). Efektivitas A. cerana diikuti oleh A. mellifera yang menghasilkan benih bernas sebanyak 85.4 butir/umbel dengan bobot g, yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan penyerbukan terbuka dengan hasil benih bernas sebanyak 90.3 butir/umbel seberat g (Tabel 24). Lalat hijau Lucilia sp menghasilkan jumlah dan bobot TSS per umbel yang rendah, yaitu 40.3 butir/umbel dengan bobot g. Hasil tersebut cenderung tidak berbeda nyata dengan Trigona sp. yang mempunyai jumlah dan bobot TSS sangat rendah yaitu 20.3 butir/umbel dengan bobot g yang menunjukkan bahwa Trigona sp tidak efektif dalam penyerbukan bunga bawang merah.

43 67 Tabel 24. Jumlah TSS, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang Perlakuan Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka rerata Jumlah TSS per umbel 85.4 ab a 20.3 c 40.3 bc 90.3 ab Persentase TSS bernas per umbel (%) a a a a a Bobot TSS per umbel (g) ab a c bc ab KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5% Jumlah umbel yang dipanen tidak berbeda antar perlakuan (Tabel 25), namun ada kecenderungan jumlah umbel yang dipanen pada A. cerana, Lucilia sp. dan penyerbukan terbuka lebih tinggi daripada A.mellifera dan Trigona sp. Banyaknya jumlah umbel yang dipanen dapat mempengaruhi bobot TSS per plot. Bobot TSS total per plot tertinggi dihasilkan dari perlakuan A. cerana dan dapat meningkatkan produksi TSS per tanaman sebesar 61.3% daripada penyerbukan terbuka (Tabel 25 dan Gambar 14). Bobot TSS per plot dari perlakuan penyerbukan terbuka lebih tinggi daripada A.mellifera maupun Lucilia sp. dan Trigona sp. menghasilkan bobot TSS per plot terendah, sebesar 0.957g. Tingginya bobot benih yang dihasilkan dari penyerbukan terbuka diduga karena peran lebah besar yang efektif dalam membantu penyerbukan walaupun populasinya rendah. Kondisi yang serupa dilaporkan Parker (1982) bahwa umbel bawang bombay yang dikunjungi oleh lebah soliter seperti Halictus farinosus menghasilkan benih yang lebih banyak daripada lebah madu terutama ketika penyerbuk tersebut banyak, karena benih yang gugur pada umbel yang diserbuki lebah tersebut lebih sedikit. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan populasi lebah besar yang soliter tersebut diduga dapat meningkatkan produksi TSS.

44 68 Tabel 25. Bobot TSS per tanaman, bobot TSS per plot dan jumlah umbel dipanen per plot pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang Perlakuan Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka rerata Bobot TSS per tanaman (g) b a d cd bc Bobot TSS per plot (g/60 tanaman) b a c b ab Jumlah umbel dipanen per plot 18.3 a 26.1 a 17.4 a 26.6 a 26.7 a 23.0 KK (%) masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5% Gambar 14. Produksi TSS per plot (60 tanaman pada perlakuan A. mellifera (A), A. cerana (B), Trigona sp. (C), Lucilia sp. (D) dan penyerbukan terbuka (E) di dataran rendah Subang Lalat hijau Lucilia sp menghasilkan produksi benih yang rendah. Dari hasil pengamatan di lapangan lalat hijau kurang aktif mengunjungi bunga bawang, lebih banyak hinggap pada umpan udang busuk sebagai makanannya dan bahkan banyak yang tidak dapat bertahan hidup selama penelitian berlangsung. Kondisi

Gambar 3. Tanaman tanpa GA 3 (a), Tanaman dengan perlakuan 200 ppm GA 3 (b)

Gambar 3. Tanaman tanpa GA 3 (a), Tanaman dengan perlakuan 200 ppm GA 3 (b) 45 Pembahasan Penggunaan benih yang bermutu baik merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan produksi tanaman bawang merah. Rendahnya produksi tanaman bawang merah khususnya di daerah sentra

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang (ketinggian tempat 1250 m di atas permukaan laut/dpl) dan di Kebun Percobaan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PRODUKSI TSS SEBAGAI ALTERNATIF PENYEDIAAN BENIH BAWANG MERAH

TEKNOLOGI PRODUKSI TSS SEBAGAI ALTERNATIF PENYEDIAAN BENIH BAWANG MERAH TEKNOLOGI PRODUKSI TSS SEBAGAI ALTERNATIF PENYEDIAAN BENIH BAWANG MERAH Budidaya bawang merah umumnya menggunakan umbi sebagai bahan tanam (benih). Pemanfaatan umbi sebagai benih memiliki beberapa kelemahan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PERBENIHAN BAWANG MERAH MELALUI TSS (TRUE SHALLOT SEED) S u w a n d i

TEKNOLOGI PERBENIHAN BAWANG MERAH MELALUI TSS (TRUE SHALLOT SEED) S u w a n d i TEKNOLOGI PERBENIHAN BAWANG MERAH MELALUI TSS (TRUE SHALLOT SEED) S u w a n d i Dasar Pemikiran Sumber benih B. merah Umbi Masalah: benih bermutu terbatas: 15-16% (Dirjen Hort, 2010) produktivitas rendah:

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Margahayu Lembang Balai Penelitian Tanaman Sayuran 1250 m dpl mulai Juni 2011 sampai dengan Agustus 2012. Lembang terletak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini berlangsung di kebun manggis daerah Cicantayan Kabupaten Sukabumi dengan ketinggian 500 700 meter di atas permukaan laut (m dpl). Area penanaman manggis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas sayuran unggulan yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomi tinggi, serta mempunyai prospek pasar yang baik.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar Hasil Uji t antara Kontrol dengan Tingkat Kematangan Buah Uji t digunakan untuk membandingkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Benih merupakan salah satu sarana produksi utama dalam kegiatan. budidaya tanaman. Kebutuhan benih padi di Indonesia pada tahun 2013

I. PENDAHULUAN. Benih merupakan salah satu sarana produksi utama dalam kegiatan. budidaya tanaman. Kebutuhan benih padi di Indonesia pada tahun 2013 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Benih merupakan salah satu sarana produksi utama dalam kegiatan budidaya tanaman. Kebutuhan benih padi di Indonesia pada tahun 2013 cukup tinggi yaitu sebesar

Lebih terperinci

Rosliani, R et al. : Pengaruh Benzilaminopurin J. Hort. 23(4): , dan Boron Rosliani, R 1), Palupi, ER 2), dan Hilman, Y 3) 1)

Rosliani, R et al. : Pengaruh Benzilaminopurin J. Hort. 23(4): , dan Boron Rosliani, R 1), Palupi, ER 2), dan Hilman, Y 3) 1) J. Hort. ():9-9, dan Boron... Pengaruh Benzilaminopurin dan Boron Terhadap Pembungaan, Viabilitas Serbuk Sari, Produksi, dan Mutu Benih Bawang Merah di Dataran Rendah (The Effect of Benzylaminopurine and

Lebih terperinci

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Parahu 517, Lembang, Bandung )

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Parahu 517, Lembang, Bandung ) J. Hort. Vol. No., J. Hort. ():-5, Penggunaan Benzil Amino Purin dan Boron untuk Meningkatkan Produksi dan Mutu Benih True Shallots Seed Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum) di Dataran Tinggi Rosliani,

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKSI BENIH BOTANI BAWANG MERAH (Allium cepa var. ascalonicum L.) MENGGUNAKAN BENZIL AMINO PURIN DAN ZnSO 4 DI DATARAN RENDAH

PENINGKATAN PRODUKSI BENIH BOTANI BAWANG MERAH (Allium cepa var. ascalonicum L.) MENGGUNAKAN BENZIL AMINO PURIN DAN ZnSO 4 DI DATARAN RENDAH PENINGKATAN PRODUKSI BENIH BOTANI BAWANG MERAH (Allium cepa var. ascalonicum L.) MENGGUNAKAN BENZIL AMINO PURIN DAN ZnSO 4 DI DATARAN RENDAH RATNA ARRULLIA WATI DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru, Darmaga Bogor pada bulan Januari 2009 hingga Mei 2009. Curah hujan rata-rata dari bulan Januari

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

PERBAIKAN TEKNOLOGI PRODUKSI TSS (TRUE SHALLOT SEED) UNTUK MENINGKATKAN PEMBUNGAAN DAN PEMBIJIAN BAWANG MERAH

PERBAIKAN TEKNOLOGI PRODUKSI TSS (TRUE SHALLOT SEED) UNTUK MENINGKATKAN PEMBUNGAAN DAN PEMBIJIAN BAWANG MERAH PERBAIKAN TEKNOLOGI PRODUKSI TSS (TRUE SHALLOT SEED) UNTUK MENINGKATKAN PEMBUNGAAN DAN PEMBIJIAN BAWANG MERAH NANI SUMARNI SUWANDI NENI GUNAENI SARTONO PUTRASAMEJA PENDAHULUAN. Selain dengan umbi bibit,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. panennya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (hasil analisis disajikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. panennya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (hasil analisis disajikan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Air Berdasarkan analisis varian satu jalur terhadap variabel kadar air biji sorgum yang berasal dari posisi yang berbeda pada malai sorgum disetiap umur panennya menunjukkan

Lebih terperinci

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida, PEMBAHASAN PT National Sago Prima saat ini merupakan perusahaan satu-satunya yang bergerak dalam bidang pengusahaan perkebunan sagu di Indonesia. Pengusahaan sagu masih berada dibawah dinas kehutanan karena

Lebih terperinci

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010 No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010 Perakitan Varietas dan Teknologi Perbanyakan Benih secara Massal (dari 10 menjadi 1000 kali) serta Peningkatan Produktivitas Bawang merah (Umbi dan TSS) (12

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Bawang Merah

TINJAUAN PUSTAKA Botani Bawang Merah 6 TINJAUAN PUSTAKA Botani Bawang Merah Bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum) termasuk tanaman semusim yang merupakan salah satu bentuk dari bawang bombay (A. cepa) yang dikembangbiakan secara vegetatif

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya Botani Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonae, Ordo: Liliales/ Liliflorae, Famili:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) adalah anggota sayuran genus Phaseolus yang

I. PENDAHULUAN. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) adalah anggota sayuran genus Phaseolus yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Buncis (Phaseolus vulgaris L.) adalah anggota sayuran genus Phaseolus yang paling dikenal. Walaupun tidak menghasilkan jumlah protein dan kalori setinggi buncis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penanaman dilakukan pada bulan Februari 2011. Tanaman melon selama penelitian secara umum tumbuh dengan baik dan tidak ada mengalami kematian sampai dengan akhir penelitian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman. antara pengaruh pemangkasan dan pemberian ZPT paklobutrazol. Pada perlakuan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman. antara pengaruh pemangkasan dan pemberian ZPT paklobutrazol. Pada perlakuan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman Dari (tabel 1) rerata tinggi tanaman menunjukkan tidak ada interaksi antara pengaruh pemangkasan dan pemberian ZPT paklobutrazol. Pada perlakuan pemangkasan menunjukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Syarat Tumbuh Bawang Merah Bawang merah adalah salah satu komoditas sayuran unggulan yang telah lama diusahakan oleh petani

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Syarat Tumbuh Bawang Merah Bawang merah adalah salah satu komoditas sayuran unggulan yang telah lama diusahakan oleh petani 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Syarat Tumbuh Bawang Merah Bawang merah adalah salah satu komoditas sayuran unggulan yang telah lama diusahakan oleh petani secara intensif. Bawang merah dapat dibudidayakan dengan

Lebih terperinci

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jl. Raya Ragunan 29A, Pasarminggu, Jakarta Selatan )

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jl. Raya Ragunan 29A, Pasarminggu, Jakarta Selatan ) J. Hort. Vol. 24 No. 2, 2014 J. Hort. 24(2):154-161, 2014 Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Pembungaan, Produksi, dan Mutu Benih Botani Bawang Merah (The Effect of Altitude On Flowering, Production,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wilayah beriklim sedang, tropis, dan subtropis. Tanaman ini memerlukan iklim

II. TINJAUAN PUSTAKA. wilayah beriklim sedang, tropis, dan subtropis. Tanaman ini memerlukan iklim 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Tanaman Buncis Buncis berasal dari Amerika Tengah, kemudian dibudidayakan di seluruh dunia di wilayah beriklim sedang, tropis, dan subtropis. Tanaman ini memerlukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian dilakukan dari April Juli 2007 bertepatan dengan akhir musim hujan, yang merupakan salah satu puncak masa pembungaan (Hasnam, 2006c), sehingga waktu penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedelai tetap dipandang penting oleh Pemerintah dan telah dimasukkan dalam program pangan nasional, karena komoditas ini mengandung protein nabati yang tinggi 38%, lemak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Kedelai Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja atau Soja max, tetapi pada tahun 1984 telah disepakati nama botani yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setelah beras. Selain itu juga digunakan sebagai pakan ternak dan bahan baku

I. PENDAHULUAN. setelah beras. Selain itu juga digunakan sebagai pakan ternak dan bahan baku I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung di Indonesia merupakan bahan pangan penting sumber karbohidrat kedua setelah beras. Selain itu juga digunakan sebagai pakan ternak dan bahan baku industri.

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. dalam, akar dapat tumbuh hingga sekitar 1 m. Dengan adanya bakteri Rhizobium, bintil

I. TINJAUAN PUSTAKA. dalam, akar dapat tumbuh hingga sekitar 1 m. Dengan adanya bakteri Rhizobium, bintil I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Buncis Sistem perakaran berbagai jenis buncis tidak besar atau ekstensif, percabangan lateralnya dangkal. Akar tunggang yang terlihat jelas biasanya pendek, tetapi pada tanah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1. Pengaruh Perendaman Benih dengan Isolat spp. terhadap Viabilitas Benih Kedelai. Aplikasi isolat TD-J7 dan TD-TPB3 pada benih kedelai diharapkan dapat meningkatkan perkecambahan

Lebih terperinci

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jln. Tangkuban Parahu 517 Lembang, Bandung Barat )

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jln. Tangkuban Parahu 517 Lembang, Bandung Barat ) J. Hort. Vol. 24 No. 4, 2014 J. Hort. 24(4):326-335, 2014 Teknik Pemberian Benzilaminopurin dan Pemupukan NPK untuk Meningkatkan Produksi dan Mutu Benih True Shallot Seed di Dataran Rendah (Benzylaminopurine

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai (Capsicum sp.) berasal dari Amerika dan menyebar di berbagai negara di dunia. Cabai termasuk ke dalam famili terong-terongan (Solanaceae). Menurut

Lebih terperinci

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili Papilionaceae; genus Arachis; dan spesies Arachis hypogaea L. Kacang tanah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pertumbuhan dan perkembangan stek pada awal penanaman sangat dipengaruhi oleh faktor luar seperti air, suhu, kelembaban dan tingkat pencahayaan di area penanaman stek.

Lebih terperinci

4. HASIL PENELITIAN 4.1. Pengamatan Selintas Serangan Hama dan Penyakit Tanaman Keadaan Cuaca Selama Penelitian

4. HASIL PENELITIAN 4.1. Pengamatan Selintas Serangan Hama dan Penyakit Tanaman Keadaan Cuaca Selama Penelitian 4. HASIL PENELITIAN Hasil pengamatan yang disajikan dalam bab ini diperoleh dari dua sumber data pengamatan, yaitu pengamatan selintas dan pengamatan utama. 4.1. Pengamatan Selintas Pengamatan selintas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman semusim yang tumbuh merambat

I. PENDAHULUAN. Melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman semusim yang tumbuh merambat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman semusim yang tumbuh merambat dan bersifat herbacious (Ashari, 2008). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2012

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas

I. PENDAHULUAN. Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia. Nilai ekonominya yang

Lebih terperinci

I. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. HASIL DAN PEMBAHASAN digilib.uns.ac.id 21 I. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perkecambahan Biji 1. Kecepatan Kecambah Viabilitas atau daya hidup biji biasanya dicerminkan oleh dua faktor yaitu daya kecambah dan kekuatan tumbuh. Hal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. diklasifikasikan sebagai berikut. Divisi: Spermatophyta; Subdivisi:

TINJAUAN PUSTAKA. diklasifikasikan sebagai berikut. Divisi: Spermatophyta; Subdivisi: TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Dalam sistematika tumbuhan, kedudukan tanaman bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut. Divisi: Spermatophyta; Subdivisi: Angiospermae; Kelas: Monocotyledoneae; Ordo:

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih Fakultas Pertanian,, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai dari bulan April 2016 hingga Mei

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU BENIH BOTANI ( TRUE SHALLOT SEED

PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU BENIH BOTANI ( TRUE SHALLOT SEED PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU BENIH BOTANI (TRUE SHALLOT SEED) BAWANG MERAH (Allium cepa var. ascalonicum) DENGAN BAP DAN BORON, SERTA SERANGGA PENYERBUK RINI ROSLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bawang merah adalah sebagai berikut: Kingdom: Plantae; Divisi: Spermatophyta;

TINJAUAN PUSTAKA. bawang merah adalah sebagai berikut: Kingdom: Plantae; Divisi: Spermatophyta; TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Brewster (1994) dalam Handayani (2004) klasifikasi tanaman bawang merah adalah sebagai berikut: Kingdom: Plantae; Divisi: Spermatophyta; Subdivisi: Angiospermae;

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan, termasuk klasifikasi sebagai berikut; divisio : spermatophyta;

TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan, termasuk klasifikasi sebagai berikut; divisio : spermatophyta; 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedudukan tanaman bawang merah dalam tata nama atau sistematika tumbuhan, termasuk klasifikasi sebagai berikut; divisio : spermatophyta; subdivisio : angiospermae; kelas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Caisin Caisin (Brassica chinensis L.) merupakan tanaman asli Asia. Caisin dibudidayakan di Cina Selatan dan Tengah, di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia,

Lebih terperinci

J. Hort. Vol. 24 No. 4, J. Hort. 24(4): , 2014

J. Hort. Vol. 24 No. 4, J. Hort. 24(4): , 2014 J. Hort. Vol. 24 No. 4, 2014 J. Hort. 24(4):316-325, 2014 Teknik Aplikasi Benzilaminopurin dan Pemeliharaan Jumlah Umbel Per Tanaman untuk Meningkatkan Produksi dan Mutu Benih Botani Bawang Merah (True

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Tanaman Caisin Tinggi dan Jumlah Daun Hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan pupuk hayati tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun caisin (Lampiran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman gandum. Fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman gandum meliputi muncul daun ke permukaan (emergence),

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Taksonomi Tanaman Dracaena Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan beruas-ruas. Daun dracaena berbentuk tunggal, tidak bertangkai,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Vegetatif Dosis pupuk kandang berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman (Lampiran 5). Pada umur 2-9 MST, pemberian pupuk kandang menghasilkan nilai lebih

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Viabilitas Benih 2.1.1 Viabilitas benih Viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi kecambah. Istilah lain untuk viabilitas benih adalah daya kecambah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan viabilitas diperlukan untuk menduga keberhasilan proses fertilisasi atau viabilitas suatu polen yang ditunjukkan oleh diameter polen pepaya, daya berkecambah polen pepaya,

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BENIH BAWANG MERAH. BALAI PENELITIAN TANAMAN SAYURAN Jl. Tangkuban Parahu No. 517, Lembang - Bandung Barat 40791

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BENIH BAWANG MERAH. BALAI PENELITIAN TANAMAN SAYURAN Jl. Tangkuban Parahu No. 517, Lembang - Bandung Barat 40791 TEKNOLOGI PERBANYAKAN BENIH BAWANG MERAH BALAI PENELITIAN TANAMAN SAYURAN Jl. Tangkuban Parahu No. 517, Lembang - Bandung Barat 40791 PENDAHULUAN Bawang Merah komoditas penting, pemicu inflasi Permintaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Subdivisio Angiospermae, Klas Monocotyledoneae, Ordo Liliaceae Family:

TINJAUAN PUSTAKA. Subdivisio Angiospermae, Klas Monocotyledoneae, Ordo Liliaceae Family: 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Klasifikasi tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut Subdivisio Angiospermae, Klas Monocotyledoneae, Ordo Liliaceae Family: Liliales, Genus Allium,SpeciesAllium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman semusim yang saat ini

I. PENDAHULUAN. Tanaman melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman semusim yang saat ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman semusim yang saat ini banyak dibudidayakan di Indonesia. Buah melon banyak digemari oleh masyarakat karena

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Keadaan tanaman cabai selama di persemaian secara umum tergolong cukup baik. Serangan hama dan penyakit pada tanaman di semaian tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Benih Kedelai. penyediaan benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih kedelai dalam jumlah yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Benih Kedelai. penyediaan benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih kedelai dalam jumlah yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Benih Kedelai Salah satu faktor pembatas produksi kedelai di daerah tropis adalah cepatnya kemunduran benih selama penyimpanan hingga mengurangi penyediaan benih berkualitas tinggi.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan Oktober 2014 hingga Maret

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan yang terletak di Desa Rejomulyo,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan yang terletak di Desa Rejomulyo, III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan yang terletak di Desa Rejomulyo, Kecamatan Metro Selatan, Kota Metro pada bulan Maret Mei 2014. Jenis tanah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ordo: Polypetales, Famili: Leguminosea (Papilionaceae), Genus:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ordo: Polypetales, Famili: Leguminosea (Papilionaceae), Genus: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kedelai Suprapto (1999) mennyatakan tanaman kedelai dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisi: Spermatophyta, Kelas: Dicotyledone, Ordo:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Caisim (Brassica juncea L.) Caisim merupakan jenis sayuran yang digemari setelah bayam dan kangkung (Haryanto dkk, 2003). Tanaman caisim termasuk dalam famili Cruciferae

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Manjung, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kecamatan Sawit memiliki ketinggian tempat 150 m dpl. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berikut ini disampaikan hasil penelitian yang terdiri dari pengamatan selintas dan pengamatan utama. Pengamatan selintas adalah pengamatan yang datanya tidak diuji secara

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Layout Penelitian

LAMPIRAN. Lampiran 1. Layout Penelitian LAMPIRAN Lampiran 1. Layout Penelitian P1(a) P4 (2) P3 (a) P1 (b) P5 (a) P4 (b) P3 (1) P3 (a) P5 (a) P4 (1) P2 (2) P3 (2) P1 (a) P4 (a) P2 (1) P4 (a) P1 (2) P3 (1) P4 (1) P3 (2) P4 (b) P2 (b) P4 (2) P2

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Buah per Tandan. Perkembangan ini dapat dilihat dari beberapa indikator seperti jumlah buah,

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Buah per Tandan. Perkembangan ini dapat dilihat dari beberapa indikator seperti jumlah buah, 20 IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Pengamatan Buah per Tandan Salah satu ciri perkembangan pada buah yang baik yaitu ditentukan bertambahnya volume dan biomassa selama proses tersebut berlangsung.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman tropis, secara morfologi bentuk vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun berbentuk pita dan berbunga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Tanaman Jengkol Klasifikasi tanaman jengkol dalam ilmu tumbuh-tumbuhan dimasukkan dalam klasifikasi sebagai berikut (Pitojo,1992). Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledonae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Sistem perakaran tanaman bawang merah adalah akar serabut dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Sistem perakaran tanaman bawang merah adalah akar serabut dengan TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Rukmana (2005), klasifikasi tanaman bawang merah adalah sebagai berikut: Divisio Subdivisio Kelas Ordo Famili Genus : Spermatophyta : Angiospermae : Monocotyledonae

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Curah hujan harian di wilayah Kebun Percobaan PKBT IPB Tajur 1 dan 2 pada Februari sampai Juni 2009 berkisar 76-151 mm. Kelembaban udara harian rata-rata kebun tersebut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) berasal dari benua Amerika Selatan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) berasal dari benua Amerika Selatan, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Kacang Tanah Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) berasal dari benua Amerika Selatan, diperkirakan dari lereng pegunungan Andes, di negara-negara Bolivia, Peru, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk Indonesia. Produksi padi nasional mencapai 68.061.715 ton/tahun masih belum mencukupi

Lebih terperinci

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan IV. Hasil dan pembahasan A. Pertumbuhan tanaman 1. Tinggi Tanaman (cm) Ukuran tanaman yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manis dapat mencapai ton/ha (BPS, 2014). Hal ini menandakan bahwa

I. PENDAHULUAN. manis dapat mencapai ton/ha (BPS, 2014). Hal ini menandakan bahwa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt) atau sweet corn ialah salah satu tanaman pangan yang mempunyai prospek penting di Indonesia. Hal ini disebabkan jagung

Lebih terperinci

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium dan vitamin B1 yang efektif bila dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada proses perbanyakan tanaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika Darmaga, Bogor (Tabel Lampiran 1) curah hujan selama bulan Februari hingga Juni 2009 berfluktuasi. Curah hujan terendah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Berdasarkan hasil analisis tanah di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor, tanah yang digunakan sebagai media tumbuh dikategorikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani

TINJAUAN PUSTAKA Botani TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman apel berasal dari Asia Barat Daya. Dewasa ini tanaman apel telah menyebar di seluruh dunia. Negara penghasil utama adalah Eropa Barat, negaranegara bekas Uni Soviet, Cina,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Konsentrasi Air Kelapa (Cocos nucifera) terhadap Viabilitas Rosella Merah (Hibiscus sabdariffa var. sabdariffa) Berdasarkan hasil analisis (ANAVA) pada lampiran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Hijau Kacang-kacangan (leguminosa), sudah dikenal dan dimanfaatkan secara luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Bawang Merah Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama telah diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merill) merupakan salah satu komoditas pangan utama

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merill) merupakan salah satu komoditas pangan utama 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merill) merupakan salah satu komoditas pangan utama setelah padi yang dikenal sebagai sumber utama protein nabati yang dapat dimanfaatkan

Lebih terperinci

Lampiran 2. Daftar Sidik Ragam Tinggi Tanaman 2 MST

Lampiran 2. Daftar Sidik Ragam Tinggi Tanaman 2 MST 38 Lampiran 1. Data Tinggi Tanaman (cm) 2 MST Jumlah Rataan V1 20.21 18.41 25.05 63.68 21.23 V2 22.19 22.80 19.40 64.39 21.46 V3 24.56 23.08 21.39 69.03 23.01 V4 24.95 26.75 23.08 74.78 24.93 V5 20.44

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Tinggi tanaman (cm) Hasil pengamatan yang diperoleh terhadap tinggi tanaman jagung manis setelah dilakukan sidik ragam (Lampiran 9.a) menunjukkan bahwa pemberian kompos sampah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tanaman kacang buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman

I PENDAHULUAN. Tanaman kacang buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman 2 I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Tanaman kacang buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman sayuran yang penting karena memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Setiap 100 gram kacang

Lebih terperinci

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Muhammadiyah Yogyakarta dalam suhu ruang. Parameter penelitian di. normal di akhir pengamatan (Fridayanti, 2015).

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Muhammadiyah Yogyakarta dalam suhu ruang. Parameter penelitian di. normal di akhir pengamatan (Fridayanti, 2015). IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Invigorasi Terhadap Viabilitas dan Vigor Penelitian dilakukan di Laboratorium Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dalam suhu ruang. Parameter

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian tanaman pangan merupakan sektor pertanian yang memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan sektor pertanian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan dilakukan di Desa Dukuh Asem, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka pada tanggal20 April sampai dengan 2 Juli 2012. Lokasi percobaan terletak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi termasuk golongan tumbuhan Graminae dengan batang yang tersusun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi termasuk golongan tumbuhan Graminae dengan batang yang tersusun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Padi Padi termasuk golongan tumbuhan Graminae dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Ruas-ruas itu merupakan bubung atau ruang kosong. Panjang tiap ruas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Genus Gladiolus yang tergolong dalam famili Iridaceae ini mempunyai 180 jenis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Genus Gladiolus yang tergolong dalam famili Iridaceae ini mempunyai 180 jenis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Gladiol Genus Gladiolus yang tergolong dalam famili Iridaceae ini mempunyai 180 jenis (Herlina, 1991). Tanaman gladiol berasal dari Afrika Selatan dan menyebar di Asia dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Penelitian Penelitian dilaksanakan di rumah kaca C Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini dilakukan selama kurun waktu 4 bulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Variabel Hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Variabel Hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Variabel Hama 1. Mortalitas Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai fase dan konsentrasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas hama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam peradaban manusia. Padi sudah dikenal sebagai tanaman pangan sejak jaman prasejarah.

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh waktu pemberian GA3 terhadap pertumbuhan tanaman leek

5. PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh waktu pemberian GA3 terhadap pertumbuhan tanaman leek 5. PEMBAHASAN Pembahasan mengenai pengaruh waktu pemberian Giberelin (GA 3 ) terhadap induksi pembungaan dan pertumbuhan tanaman leek (Allium ampeloprasum L.) meliputi umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Bayam Bayam (Amaranthus sp.) merupakan tanaman semusim dan tergolong sebagai tumbuhan C4 yang mampu mengikat gas CO 2 secara efisien sehingga memiliki daya adaptasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengamatan Selintas 4.1.1. Keadaan Cuaca Lingkungan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman sebagai faktor eksternal dan faktor internalnya yaitu genetika

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang disajikan dalam bab ini antara lain pengamatan selintas dan pengamatan Utama 4.1. Pengamatan Selintas Pengamatan selintas merupakan pengamatan yang hasilnya

Lebih terperinci

Blok I Blok II Blok III 30 cm

Blok I Blok II Blok III 30 cm Lampiran 1. Bagan Lahan Penelitian Blok I Blok II Blok III 30 cm P 0 V 1 P 3 V 3 P 2 V 1 T 20 cm P 1 V 2 P 0 V 1 P 1 V 2 U S P 2 V 3 P 2 V 2 P 3 V 1 B P 3 V 1 P 1 V 3 P 0 V 3 Keterangan: P 0 V 2 P 0 V

Lebih terperinci