Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak"

Transkripsi

1 Bab Delapan Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak Pengantar Dari bahasan bab-bab empiris sebelumnya, pada bab sintesa ini saya membahas tentang bagaimana perempuan memiliki peran yang sentral dalam pelaksanaan ritual-ritual subak. Sebagai salah satu daerah dengan budaya dan adat yang masih kuat, maka perempuan Bali sering dihadapkan pada isu-isu ketidak setaraan gender. Walaupun dari penggalian data di lapangan maka isu kesetaraan gender terutama pada pelaksanaan ritual subak tidak sepenuhnya terbukti. Justru dalam pelaksanaan ritual subak akses bagi perempuan sangat terbuka, terutama akses akan pengambilan keputusan. Hal ini dapat dibuktikan pada saat anggota perempuan harus memutuskan semua persiapan ritual sampai dengan pelaksanaannya, tanpa campur tangan anggota subak laki-laki. Peran masing-masing gender dalam hal ini adalah khas. Jadi dalam studi ini kesetaraan gender lebih berkaitan dengan budaya, sehingga terkadang perempuan memaknainya sebagai suatu kewajiban. Ritual sebagai salah satu unsur yang terkait dengan pura subak juga berperan penting dalam setiap gerak langkah subak. Kondisi dilematis antara pelestarian kearifan lokal (revitalisasi pertanian) dan perkembangan Bali sebagai daerah wisata memberikan dampak secara menyeluruh (multiplier effects) pada keberadaan subak dengan kegiatan ritualnya. Permasalahan yang dihadapi umat Hindu di Bali tentang bagaimana keefektifan pelaksaaan ritual baik secara individu maupun kolektif dan perubahan pada elemen subak yang lain seperti 177

2 Perempuan Bali dalam Ritual Subak luasan lahan pertanian, mobilitas anggota subak serta sarana irigasi yang tidak terhindarkan akibat adanya pengaruh perkembangan pulau Bali sebagai daerah pariwisata menjadi sesuatu yang perlu dipikirkan pemecahannya. Yang menjadi menarik adalah di tengah perubahanperubahan yang terjadi maka subak masih tetap melaksanakan kegiatan ritual yang berkaitan dengan kegiatan di lahan pertanian. Situasi seperti ini oleh (Nordholt dalam Harris et al, 2004) disebut dengan konsep "changing continuities" menggambarkan apa yang 'tetap bertahan' dalam perubahan sebagai-mana terjadi dalam sebuah proses perkembangan. Elemen lain seperti lahan pertanian, anggota subak dan sistem irigasi boleh berubah (seperti telah dikemukakan dalam bab empiris), akan tetapi ritual yang berkaitan dengan elemen pura subak tetap bertahan. Walaupun sangat sulit untuk menjelaskan secara logis makna dari setiap pelaksanaan ritual tersebut, akan tetapi realitasnya ritual tersebut menjadi spirit yang mampu menjamin keajegan pertanian dan produksi pangan di Subak Wongaya Betan. Di samping itu adanya kepercayaan dan keyakinan akan agama Hindu yang dianut anggota subak, maka ritual seperti sebuah habitus bagi anggota subak. Sehingga subak akan merasakan kehilangan identitas apabila tidak melaksanakan ritual dalam pengusahaan lahan pertanian mereka. Konsep habitus yang dikemukakan Bourdieu (1990) yang menyatakan bahwa akan ada keterkaitan antara praktik, habitus dan ranah (practice, habitus and field), pemaknaan realitas kehidupan (Berger and Luckman, 2006), dan spiritualitas (Zohar and Marshall, 2004) merupakan beberapa konsep yang saling mendukung dalam menjelaskan fenomena ritual di lahan pertanian yang tetap diajegkan oleh subak dalam rangka menjamin ketahanan pangan dan katahanan hayati di Subak Wongaya Betan. Peran Ritual dalam Kehidupan Masyarakat Hindu di Bali Dalam pemahaman umat Hindu di Bali Ritual atau Upacara merupakan bagian dari tiga filosofi Agama Hindu yaitu Tattwa, Etika dan Upakara (ritual). Dalam pelaksanaannya memang diakui dari ketiga filosofi tersebut aspek ritual masih menempati posisi terbanyak 178

3 Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak dilakukan Umat Hindu di Bali. Hal ini diduga karena memang dari sisi penghayatan tentang ajaran agama Hindu maka masyarakat di Bali masih memilih melaksanakan filosofi ritual dalam mengungkapkan rasa Bhakti kehadapan Sang Pencipta. Walaupun aspek Tattwa dan Etika tetap menjadi dasar dalam setiap tindakan umat. Karena dalam pelaksanaannya ketiga filosofi ini akan berjalan bersamaan, walaupun memang porsi penekanannya berbeda sesuai dengan penghayatan masing-masing individu atau kelompok. Ada pengertian yang ambigu (mendua) tentang manfaat ritual dalam pelaksanaannya. Dari persepsi suci baan banten, suci baan kenehe, yang memiliki arti kesucian bisa diraih dengan banten (sesajen), dan kesucian juga dapat diraih dengan perasaan (kenehe) tanpa banten (tanpa ritual) maka kesucian atau kebahagiaan hidup sebenarnya dapat diraih baik melalui perasaan suci, maupun bisa dicapai melalui pelaksanaan ritual yang menggunakan sesajen sebagai perangkatnya. Berger and Luckman (1990) menyikapi ambigusitas dari ritual dan menyatakan adanya pengertian yang mendua dari manfaat ritual mendorong banyak keraguan dengan fungsi dan manfaat dari ritual terutama dikalangan generasi muda, yang mulai merasakan adanya keterbatasan waktu karena tuntutan pekerjaan terutama disektor pariwisata. Golongan yang lebih memberikan penekanan pada konsep suci baan kenehe (meraih kesucian tanpa melalui pelaksanaan ritual) biasanya akan lebih memilih penekanan pada filosofi etika dibandingkan dengan kerepotan melaksanakan ritual yang tentu saja harus disertai dengan persiapan pembuatan sesajen, sehingga sering ada persepsi bahwa pelaksanaan ritual pada agama Hindu sebenarnya merupakan implikasi dari budaya dan adat di Bali. Hal ini sebenarnya sudah diamati oleh Geertz (1992) bahwa agama Hindu di Bali memang tidak dapat dipisahkan dari adat, budaya dan seni yang sudah mengakar pada masyarakat Bali. Pada penelitian ini ditemukan bahwa masyarakat Hindu di Bali termasuk subak masih memposisikan ritual sebagai cara yang terbaik untuk mengekspresikan ketaatan dan kepercayaan terhadap Tuhan. Sehingga ritual adalah sesuatu yang mutlak dan menjadi spirit bagi 179

4 Perempuan Bali dalam Ritual Subak masyarakat untuk tetap mempertahankan kawasan suci sebagai refleksi tempat berstananya (tempat tinggal) Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya. Sebagai agama yang diakui oleh Negara maka ritual dalam agama Hindu akan berbeda dengan ritual suku yang masih eksis di beberapa daerah (misalnya seperti Marapu di Sumba 1 dan Sedulur Sikep di Sukalila) 2. Ritual dalam agama Hindu memiliki legitimasi sehingga dalam pelaksanaannya mendapat dukungan penuh dari pemerintah, sehingga pengakuan akan ritual-ritual dalam agama Hindu lebih mempermudah untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah dan lebih mempermudah menggunakannya sebagai modal pemberdayaan masyarakat dalam hal ini dalam menjamin ketahanan pangan dan ketahanan hayati khususnya untuk Bali. Fenomena ini yang kemudian menimbulkan penguatan pada kebalian orang Bali (identitas orang Bali sebagai umat Hindu dan anggota adat). Aspek kebalian ini juga diteliti oleh Yulianto (2011) pada komunitas masyarakat Bali Nuraga di Lampung. Akan tetapi Yulianto belum secara eksplisit membahas tentang manfaat dari kebertahanan kebalian komunitas Bali Nuraga terhadap peran serta komunitas tersebut dalam mendukung pembangunan. Padahal sebenarnya banyak aspek dari kebalian yang dipertahankan oleh komunitas Bali Nuraga yang dapat diarahkan menjadi sebuah partisipasi dalam pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini membuktikan keterkaitan yang sangat erat antara masyarakat Hindu Bali dengan konsep Tri Hita Karana yang menghormati keseimbangan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Di samping itu masih eksisnya kearifan lokal (subak) yang secara intensif dan berkelanjutan melaksanakan kepercayaan dan keyakinannya untuk menghormati alam dalam rangka menjamin ketahanan pangan dan ketahanan hayati. Demikian juga dengan adanya kawasan suci termasuk pura subak yang harus dipelihara dan disungsung oleh anggota subak dengan mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana untuk 1 Marapu hasil penelitian Palekahelu, (2010) 2 Sedulur Sikep hasil penelitian Samiyono, D (2010) 180

5 Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak menjamin ketahanan pangan dan hayati. Selain itu adanya pengakuan dunia terhadap keberhasilan subak dalam menjaga kelestarian budaya dan lingkungan dengan adanya pengakuan wilayah ini sebagai kawasan budaya dunia (culture heritage) yang lebih menguatkan wilayah ini sebagai model pemberdayaan masyarakat dalam rangka penjaminan ketahanan pangan dan ketahanan hayati seperti disajikan dalam Gambar 1. Sumber Daya Perempuan sebuah Kekuatan dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Hayati di Bali Dalam mengimplemtasikan konsep harmonisasi Tri Hita Karana ternyata peran perempuan sangatlah besar. Malahan pada beberapa kegiatan seperti persiapan dan pelaksanaan ritual peran tersebut sangat dominan. Seperti telah dipaparkan pada bab enam bahwa perempuan sebagai bagian dari subak sangat menentukan pelaksanaan ritual pertanian yang berkaitan dengan awig-awig subak. Walaupun terkadang ritual yang dilakukan secara personal sebagai bagian dari keluarga Hindupun menjadi tanggung jawab perempuan. Kegiatan ritual yang dilakukan sangat intensif dan merupakan realitas kehidupan perempuan sebagai individu maupun sebagai bagian dari anggota subak. Hal ini bila dikaitkan dengan adanya pura yang harus disungsung 3 sebagai bagian keluarga Hindu dan anggota subak yang termasuk dalam desa Adat, maka dapat dikatakan bahwa ritual sebagai realitas kehidupan perempuan dan Subak Wongaya Betan. Sebagai anggota desa Adat ada Pura Kahyangan Tiga yang harus disungsung, sedangkan sebagai bagian dari anggota Subak Wongaya Betan mereka memiliki pura subak yang harus disungsung. Walaupun sering perempuan dikatakan masih menghadapi ketidak setaraan dalam setiap perannya, akan tetapi dalam hal penentuan kegiatan ritual dalam keluarga dan subak, ternyata perempuan memiliki otoritas. Jadi pada saat akan melakukan kegiatan ritual di subak ternyata yang menentukan hari pelaksanaan ritual adalah sangkep 3 Nyungsung adalah bentuk kata kerja dari sungsung yang berarti melakukan persembahyangan wajib di pura tersebut. 181

6 Perempuan Bali dalam Ritual Subak (rapat) krama istri subak. Setelah diperoleh kesepakatan antar krama istri, baru kemudian disiarkan kepada seluruh anggota subak yang lainnya (dijelaskan dengan lebih detail pada bab enam). Jadi fakta ini menunjukkan bahwa dalam komunitas Hindu dan juga subak ternyata ketimpangan peran yang selalu didengungkan dialami oleh perempuan tidak terjadi. Pengambilan keputusan dalam beberapa kegiatan dapat dilakukan oleh krama istri. Dalam pelaksanaan ritual di komunitas Hindu di Bali termasuk subak, tidak terjadi ketimpangan peran gender. Malahan dari hasil wawancara dan observasi di lapangan, ternyata banyak sekali kewenangan yang dimiliki oleh krama istri. Misalnya saja anggota perempuan Subak Wongaya Betan memiliki peran khusus dalam mengatur organisasi pengolah teh dan kopi beras merah organik KTT Kuntum Sari. Seperti diketahui Subak Wongaya Betan mengusahakan pertanian beras organik dan pengolahan limbah ternak sapi. Dalam pelaksanaan usaha ini memang anggota secara struktural adalah anggota subak pria, akan tetapi dalam pelaksanaan kegiatan seperti pemasaran produk dan pemeliharaan jaringan dengan pihak pembeli dilakukan oleh anggota subak perempuan. Salah satunya adalah Ibu Kadek Rusmini selaku Ketua Kelompok Kuntum Mekar. Dari fenomena ini dapat dilihat bahwa Subak Wongaya Betan tidak memposisikan perempuan sebagai anggota kelas dua, tetapi subak memberikan kewenangan yang sama kepada perempuan. Hal ini juga dibuktikan dengan tidak adanya pembatasan peran gender dalam awigawig subak yang menjadi kaki dan tangan dari organisasi subak, sekaligus akan mematahkan pendapat bahwa pada masyarakat dengan adat dan budaya yang masih berlaku kuat, biasanya perempuan ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. Terbukti di Bali terutama dalam organisasi tradisional subak ketimpangan posisi ini tidak ditunjukkan baik dalam bentuk peraturan maupun implikasinya di lapangan. Perlu mendapat perhatian pemerintah terutama yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat pedesaan dan Dinas Pertanian terkait dengan ruang lingkup subak untuk lebih memperhatikan pemberdayaan perempuan sebagai aset yang memiliki potensi yang 182

7 Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak sama dengan petani pria. Untuk ke depannya tidak akan terdengar lagi slogan-slogan bahwa petani itu selalu dianalogikan dengan pria. Hal ini untuk lebih memberikan pemberdayaan yang lebih merata dalam konteks gender. Hasil penelitian yang dilakukan Griya (1985) di Subak Rejasa juga menghasilkan kenyataan bahwa etos kerja merupakan prinsip kehidupan petani. Dengan prinsip ini maka petani sebagai anggota subak akan terus berusaha untuk bekerja. Prinsip kehidupan petani berupa etos kerja berlaku baik bagi petani pria maupun perempuan. Karena memang secara normatif jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan adalah spesifik gender. Walaupun memang pada kasus di Subak Wongaya Betan, masa kini banyak pekerjaan petani pria diambil alih oleh petani perempuan. Inti dari bahasan sub bab ini adalah perempuan merupakan sumber daya yang mampu mendukung pencapaian ketahanan pangan dan hayati. Hal ini sangat relevan dikedepankan karena semua aspek yang berkaitan dengan pelestarian budaya, lingkungan, ketahanan pangan dan ketahanan hayati hampir semuanya mendapat sentuhan pemikiran perempuan. Misalnya saja dari peran perempuan dalam keluarga, dalam subak dan dalam masyarakat adat yang ditempatkan pada posisi-posisi strategis. Jadi pada kenyataannya masyarakat Hindu dan subak di Bali menganut kehidupan berprinsip etos kerja spesifik gender. Hubungan Sebab Akibat (Karmapala) sebagai Buffer Kepercayaan dan keyakinan akan adanya reinkarnasi (roh tidak pernah mati akan tetapi akan kembali menjelma pada kehidupan berikutnya) juga merupakan satu kekuatan yang melekat sebagai identitas Umat Hindu di Bali. Keterkaitan keyakinan reinkarnasi ini akan terimplikasi pada keyakinan dan kepercayaan adanya Karmapala (pahala dan sanksi) bagi umat Hindu yang melakukan perbuatan baik dan buruk (bertentangan dengan aturan agama Hindu). Fenomena ini akan sangat terkait dengan adanya sanksi moral, sosial dan spiritual pada setiap gerak kehidupan umat Hindu di Bali. Dari makna kata karmapala yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti karma 183

8 Perempuan Bali dalam Ritual Subak adalah perbuatan dan pala adalah buah atau pahala atas perbuatan yang dilakukan maka setiap gerak gerik umat Hindu akan selalu terikat dengan konsep karmapala ini. Pandit (2005: ) menyatakan sesuai dengan kepercayaan Hindu bahwa manusia menciptakan nasib sendiri, melalui pikiran dan perbuatan masing-masing individu, sehingga ada petikan dari tulisannya yaitu apa yang engkau tanam, itulah yang akan engkau tuai. Perbuatan manusia tidak terjadi begitu saja tanpa akibat, akan tetapi diyakini oleh umat Hindu bahwa perbuatan akan selalu bersifat dinamis. Yang lebih menguatkan dan meyakinkan umat terhadap konsep ini adalah bahwa segala karmapala yang dihadapi akan berpengaruh pada keturunan berikutnya. Jadi kalau generasi saat ini berbuat maka dengan adanya kepercayaan dan keyakinan reinkarnasi maka generasi berikut akan mewarisi semua pahala generasi sebelumnya. Jadi konsep-konsep yang diyakini oleh umat Hindu di Bali dari Tri Hita Karana, Karmapala dan juga Reinkarnasi merupakan spirit bagi umat Hindu untuk berbuat yang terbaik dalam setiap fase kehidupannya. Konsep ini memang merupakan konsep yang dianut oleh agamaagama kuno seperti halnya juga Buddha, yang mungkin agak berbeda dengan sanksi hukuman dan pahala pada agama modern (Islam dan Kristen) yang mungkin tidak akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Menyimak fakta di lapangan maka sebenarnya kehidupan menurut pandangan hidup masyarakat Hindu termasuk petani di Bali ditentukan oleh dua hal yaitu nasib dan perbuatan. Hal ini memiliki makna bahwa kehidupan petani memiliki dua dimensi yaitu niskala (berhubungan dengan kepercayaan terhadap Tuhan dan hal-hal yang diluar batas dunia nyata), dan sekala yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan dunia nyata. Sebenarnya konsep ini pun sangat terkait dengan filosofi Tri Hita Karana yang masih terimplementasi dengan baik pada seluruh aras kehidupan masyarakat petani. Ini tampak pada kehidupan petani yang bersifat religius dan juga realistis, bahwa dalam setiap sendi kehidupan petani akan muncul aktivitas dan kreativitas di samping juga kekuatan supranatural. Kenyataan ini merupakan suatu 184

9 Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak hubungan yang sangat kuat di tengah semakin ditinggalkannya beberapa kearifan lokal yang sebenarnya masih mengakar di masyarakat petani. Dalam setiap kehidupan petani akan selalu dilandasi dengan keyakinan dan kepercayaan bahwa apa yang diperbuat saat ini akan mendatangkan sesuatu yang bersifat causa prima (sebab akibat). Keyakinan ini sebenarnya merupakan kekuatan untuk tetap menjaga setiap perbuatan dalam kehidupan nyata. Sesuai dengan tema pada bagian ini yaitu karmapala sebagai buffer (penyangga) segala perbuatan umat Hindu untuk selalu berpegang pada konsep keseimbangan Tri Hita Karana dan keyakinan akan karmapala, maka sangat mungkin konsep-konsep ini menjadi sebuah modal tetap bertahannya cara-cara berkehidupan secara tradisional yaitu kehidupan berpegang pada praktek kearifan lokal menuju ketahanan pangan dan ketahanan hayati. Praktik Kearifan Lokal Modal Kearifan Lingkungan Pengertian kearifan lokal yang masih dipraktikkan di daerah penelitian adalah kepercayaan lokal dan praktik tradisional yang masih dilakukan sejak jaman nenek moyang sampai saat ini. Jadi nilai kearifan lokal merupakan nilai warisan leluhur yang masih dipercaya dan diyakini oleh masyarakat sehingga tetap dilaksanakan sampai saat ini. Kalau menyimak kearifan lokal yang dibahas oleh Gerung (2008) yang akan merekonstruksi kebudayaan, maka kearifan lokal yang masih eksis di Bali memang merupakan bagian dari budaya Bali dan bahkan agama yang dianut masyarakat Bali. Jadi kearifan lokal adalah bagian dari kebudayaan karena secara tidak langsung apabila kearifan lokal sudah memiliki nilai dan menjadi norma bagi masyarakat sekitar maka kearifan lokal tersebut akan dapat disebut sebagai kebudayaan. Seperti misalnya kepercayaan dan keyakinan umat Hindu di Bali akan adanya azab apabila salah satu ritual yang harus dilaksanakan dilanggar oleh penganut Hindu. Kepercayaan dan keyakinan inilah yang mendorong begitu kuatnya keterikatan umat Hindu di Bali termasuk subak untuk melaksanakan ritual-ritual yang telah ditetapkan pada penanggalan 185

10 Perempuan Bali dalam Ritual Subak Hindu termasuk ritual-ritual di lahan pertanian yang dilakukan oleh anggota subak. Palekahelu (2010) sebenarnya juga membahas tentang praktik tradisional Marapu di Sumba yang disebut dengan kepercayaan lokal, yang dipercaya oleh masyarakat sebagai kekuatan dalam mempertahankan ketersediaan pangan pada masyarakat Wunga. Akan tetapi praktik Marapu hanya berdasarkan kepada agama suku yang tidak mendapatkan legitimasi dari negara, sehingga tidak memiliki kekuatan mengikat terhadap pemerintah. Berbeda halnya dengan ritual yang menjadi kepercayaan lokal masyarakat Hindu di Bali yang merupakan implementasi dari agama Hindu yang diakui pemerintah sebagai agama negara. Keuntungan dari ritual yang dipraktikkan oleh agama Hindu adalah adanya dukungan dari pemerintah terhadap praktik-praktik yang dilaksanakan, sehingga akan mempermudah melegalisasi praktikpraktik agama negara untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan kata lain bahwa ritual maupun praktik tradisional yang dilaksanakan subak akan lebih mudah mendapatkan legitimasi sebagai salah satu modal mempercepat pembangunan melalui penjaminan ketahanan pangan dan hayati. Karena seperti penjelasan Triguna (2006) bahwa kearifan lokal adalah modal sosial dalam kearifan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam sebagai basis dalam pemenuhan kehidupan manusia. Sehingga dengan praktikpraktik kearifan lokal maka kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan dasar manusia baik berupa sandang, pangan dan papan selalu akan mengacu pada pelestarian sumberdaya alam yang merupakan asas dasar dari pembangunan berkelanjutan. Ritual sebagai Media Penghayatan Religiositas dan Modal Sosial Pada beberapa penjelasan bab terdahulu memang ritual mendatangkan berbagai tanggapan baik dari umat non-hindu bahkan dari Umat Hindu sendiri. Banyak yang menilai ritual yang dilakukan demikian intensif oleh umat Hindu tidak masuk akal, hanya hura-hura, pemborosan dan tanpa makna yang jelas. Berbagai pandangan ini memang akhirnya menjadi tantangan bagi umat Hindu untuk men- 186

11 Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak jelaskan dan meyakinkan diri bahwa berbagai pandangan tersebut tidak semuanya benar. Pertama yang perlu dipahami bahwa ritual yang dilakukan umat Hindu memiliki tujuan dan maksud tertentu yang dipercaya dan diyakini oleh umat yang melaksanakannya. Kedua adalah keyakinan para pelaksana ritual akan arti ritual yang dilaksanakan sangatlah penting karena dengan kayakinan penuh maka akan muncul kesadaran untuk melaksanakan ritual dengan tulus ikhlas sesuai dengan makna sebenarnya (dalam istilah Hindu bagian Tattwa). Pandit (2005: ) menyatakan ritualisme yang dilakukan oleh umat Hindu sebenarnya dimaksudkan sebagai alat pemula dalam menjalankan kehidupan spiritual. Dalam Hindu ritualisme dianggap mampu menciptakan lingkungan yang suci, yang mendorong timbulnya rasa pengabdian bagi umat ke hadapan Sang Pencipta. Walaupun memang pernah disinggung bahwa ritual sebenarnya bukan merupakan keharusan untuk dilakukan oleh Umat Hindu. Akan tetapi dari hasil penelitian Geertz (1992) tentang Kebudayaan dan Agama maka bagi umat Hindu di Bali agama, budaya dan seni adalah saling mendukung dan menguatkan. Sehingga bagi umat Hindu di Bali ritualisme sudah terikat dalam budaya kehidupan masyarakat Hindu Bali. Pada kenyataannya memang setiap ritual keagamaan yang dilakukan memiliki dasar filsafat (dasar keilmuan), tidak ada ritual yang dilakukan atas dasar dogma (hanya mengikuti yang sudah dilaksanakan oleh pendahulu tanpa pemahaman yang jelas). Fenomena ini juga dapat dibuktikan dalam serangkaian ritual yang dilakukan oleh subak di daerah penelitian. Misalnya, ritual yang mengawali kegiatan pertanian di sawah yaitu mendak toya (mapag toya) merupakan satu ritual yang dimaksudkan untuk menjemput air dari sumber air yang terletak di hulu subak. Dalam pelaksanaan ritual ini maka seluruh anggota subak (laki-laki) akan melakukan pembersihan di sekitar sumber air, memperbaiki saluran air menuju masing-masing sawah anggota subak. Dari kegiatan ini terlihat arti yang sangat dalam bahwa subak harus selalu menjaga dan memelihara sumber air agar tetap mampu menyediakan air bagi sawah anggota subak. Di sisi lain adalah bahwa masih ada hubungan yang baik antara anggota subak dalam memikir- 187

12 Perempuan Bali dalam Ritual Subak kan kepentingan bersama. Dalam rangka persiapan sesajen untuk ritual juga terlihat adanya kebersamaan diantara anggota subak perempuan yaitu dalam mempersiapkan sesajen (pada bab 7 sudah dipaparkan dengan lebih jelas tentang proses persiapan sesajen), sehingga dalam setiap kegiatan ritual di samping terjadi penggalangan kebersamaan juga terjadi penghayatan religiositas bagi anggota subak. Kalau dilihat dari realitas ini maka sangat jelas terlihat bahwa ada usaha pemeliharaan modal sosial dalam aktivitas ritual yang dilaksanakan. Gambar 23 Sumber air Subak Wongaya Betan (Sumber: Dokumentasi Martiningsih, 2010) Seperti dijelaskan juga dalam Pandit (2005) bahwa ritual keagamaan Hindu sebenarnya juga membantu dalam perkembangan dan peningkatan kualitas moral. Hal ini ditunjukkan dengan adanya persembahan materi (sesajen) yang dilakukan dengan ketulusan hati 188

13 Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak dan pengabdian sehingga ritual akan mengarahkan manusia Hindu untuk melayani diri sendiri. Sangatlah tepat apabila ritual Hindu sebenarnya merupakan habitus 4 bagi umat Hindu di Bali karena dengan pelaksanaan ritual maka akan mengarahkan individu maupun komunitas kepada penyucian ego. Kebajikan yang terdapat dalam individu akan jauh lebih mulia dan berarti untuk perkembangan individu, yang akan mengarahkan perubahan sosial yang lebih bermartabat. Perubahan sosial yang terjadi disini dalam konteks perubahan yang mengarah pada manusia sebagai individu yang lebih menghargai lingkungan. Konsep pemujaan kehadapan Sang Pencipta melalui ritual merupakan alat efektif mengejar keyakinan akan konsep Tri Hita Karana, Karmapala dan Reinkarnasi, juga merupakan spirit bagi umat Hindu untuk selalu meningkatkan kualitas diri dalam menghormati sesama ciptaan Tuhan yang dipercaya mengandung atman. Dalam kaitannya dengan intensitas ritual yang dilakukan di Subak Wongaya Betan, dan bagaimana keyakinan anggotanya akan fungsi dan kebermanfaatan dari ritual yang dilakukan maka dapat dikatakan bahwa ritual sebagai realitas kehidupan Subak Wongaya Betan. Memang secara realita anggota subak merasa harus dan yakin bahwa ritual sangat penting dilaksanakan dalam rangka memohon keberhasilan pertanian mereka. Namun jika pendekatannya dari sisi identitas maka ritual merupakan identitas subak di Bali. Dari kemampuan Subak Wongaya Betan dalam menerima inovasi dan memanfaatkan teknologi moderen, maka identitas Subak Wongaya Betan terbentuk secara terbuka (Nordolt, 2007). Dari bahasan ini dapat dikatakan bahwa ritual adalah identitas petani Hindu di Bali dan penghayatan pribadi terimplikasi dalam penghayatan komunitas, sesuai dengan konsep habitus yang dikemukakan oleh Bourdieu (1990: 2003). Gambar 24 menunjukkan diagram proses habitualisasi individu perempuan terhadap ritual yang berdasarkan kesadaran dilakukan 4 Menurut Bourdieu, 2003: 5-8) praktik individual dan kolektif akan dibangun berdasarkan pengalaman individual dan kolektif sehingga pengalaman akan menjadi penentu arah kehidupan selanjutnya. Pada pelaksanaan ritual umat Hindu, selain sebagai arah kehidupan juga mampu sebagai penyucian ego dan ambisi sehingga individu mampu bersikap lebih bijak. 189

14 Perempuan Bali dalam Ritual Subak sehingga terjadi keberlanjutan dalam pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Strisno dan Putranto (2005) yang membahas tentang teori modal Bourdieu bahwa dengan keterikatan individu maupun masyarakat dengan budaya maka praktik-praktik budaya yang dilakukan oleh statu individu maupun komunitas akan memiliki keterikatan emosional dengan pelaksananya. Hal ini akan berimplikasi pada ketergantungan untuk tetap melaksanakan kegiatan tersebut. Oleh karena pelaksanaan ritual di subak dilakukan berdasarkan tuntunan agama Hindu sehingga semua pelaksanaannya dilakukan dengan berdasarkan pada kesadaran pelaksananya. Bertitik tolak dari Gambar 20 pada bab enam, maka pemaknaan individu perempuan akan ritual akan dimulai dengan terbentuknya kesadaran, kemudian dengan adanya keterikatan emosional akan ritual tersebut karena berkaitan denga keyakinan veragama dan kepercayaan terhadap Tuhan maka keberlanjutan akan praktik tersebut akan terbentuk. Dari proses ini kalau menyimak pendapat Luckman and Burger (1999) bahwa sesuatu yang sudah menjadi kegiatan sehari-hari (the reality of life) suatu individu akan mendorong terjadinya pemaknaan akan praktik-praktik yang dilakukan. Pemaknaan ini akan membentuk habitus dalam anggota subak akan pelaksanaan ritual, dimulai dengan terbentuknya kesadaran akan keberlanjutan kehidupan karena anugrah Tuhan yang kemudian dimplikasikan dengan pelaksanaan ritual yang berlanjut. Berfiloisofi pada konsep Tri Hita Karana, maka pelaksanaan ritual harus menjaga keberlanjutan keseimbangan ke 3 hubungan termasuk dengan pelestarian pertanian dan lingkungan. 190

15 Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak Ritual Anggota subak Praktek/ internalisasi kesadaran keberlanjutan Habitus habitualisasi Gambar 24 Proses habitualisasi (pembentukan habitus) ritual pada tingkat individu anggota subak Kawasan Suci sebagai Identitas Hindu di Bali Seperti telah disinggung pada bahasan terdahulu (bab empat) tentang empat elemen subak dan fungsi subak maka yang berkaitan khusus dengan konsep pertama Tri Hita Karana adalah hubungan keseimbangan dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa). Berkaitan dengan hubungan keseimbangan ini maka subak yang didasari oleh kepercayaan dan keyakinan Hindu maka ritual adalah salah satu fungsi subak dalam mengimplementasikan salah satu konsep Tri Hita Karana. Implementasi ini juga berhubungan erat dengan elemen subak yaitu adanya pura subak (Water Temple). Dalam kepercayaan dan keyakinan agama Hindu di Bali maka konsep Tri Hita Karan akan diaktualisasi oleh umat Hindu dengan melakukan persembahan berupa sesajen melalui kegiatan ritual. Kegiatan ritual dalam kepercayaan Hindu (Krisnu, 1991) merupakan salah satu dari tiga dasar filosofi Hindu di Bali (tattwa, etika dan upacara/ritual). Sebagai umat Hindu maka masyarakat di Bali akan melakukan ritual baik secara personal di 191

16 Perempuan Bali dalam Ritual Subak rumah tangga masing-masing, juga ritual kolektif yang berkaitan dengan kegiatan keluarga besar (klan) adanya pura kawitan, adat (adanya pura Kahyangan Tiga) maupun dalam lingkup organisasi seperti juga dalam subak (pura Subak). Semua jenis kawasan suci (pura) tersebut di atas menjadi tanggung jawab individu dan komunitas dalam pemeliharaannya maupun dalam pelaksanaan ritual-ritualnya, sehingga akan selalu ada keterkaitan antara pura-pura tersebut dengan pelaksanaan ritual. Kawasan suci ini bagi umat Hindu di Bali memiliki kekuatan untuk tetap dilestarikan, sehingga kawasan suci sebenarnya juga merupakan identitas orang Hindu di Bali. Pada saat individu tersebut sebagai sebuah anggota klan maka dia akan merepresentasikan diri sebagai warga dari klan tertentu dengan mengikuti pelaksanaan ritual pada pura kawitan klan tersebut. Sedangkan pada saat yang berbeda ketika individu tersebut berperan sebagai anggota adat, maka dia akan mempresentasikan identitas dari desa adat tempat individu tersebut bergabung, demikian juga pada saat individu tersebut berperan dalam subak sebagai anggota subak, maka identitas sebagai anggota subak tertentu akan muncul pada individu itu. Identitas seorang Hindu di Bali dapat diketahui juga dari lokasi kawasan sucinya. Dengan adanya keterkaitan antara identitas individu dengan kawasan suci maka akan terbentuk kekuatan untuk tetap mempertahankan identitas dengan tetap mempertahankan kawasan suci mereka. Konsep menjadikan kawasan suci sebagai identitas akan mampu memperkuat pelestarian kawasan suci itu sendiri dan lingkungan sekitarnya. Hal ini juga akan terjadi pada pura subak, dimana anggota subak (Subak Wongaya Betan) masih secara intensif melaksanakan ritual pada masing-masing tahapan kegiatan di lahan pertanian, baik secara personal maupun kolektif. Fenomena ini menunjukkan bahwa kesadaran individu terkadang lebih berpengaruh dibandingkan dengan kesadaran kelompok. Kesadaran personal dari tiap anggota subak akan terlihat dari ketakutan setiap anggota dengan sanksi yang tidak terlihat terhadap kehidupan mereka, sedangkan untuk kegiatan ritual kolektif selain karena kesadaran personal juga akibat adanya awig-awig yang mengikat setiap anggota subak. Ketika anggota subak melakukan pelanggaran maka 192

17 Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak mereka harus menanggung sanksi finansial disamping sanksi moral dan ritual. Seperti telah dijelaskan bahwa subak memiliki awig-awig yang berkaitan dengan Tri Hita Karana yaitu awig-awig-parhyangan, awigawig-palemahan dan awig-awig pawongan (dijelaskan pada bab 4). Oleh karena awig-awig sangat mengikat anggota subak, maka konsep Tri Hita Karana yang terimplementasi salah satunya melalui kegiatan ritual, menjadikan ritual merupakan suatu kewajiban tetap bagi anggota subak. Walaupun dari hasil wawancara di lapangan ternyata ritual sebenarnya juga merupakan sesuatu yang melekat sebagai sebuah kesadaran dari individu. Jadi sebenarnya kesadaran pribadi lebih memiliki kekuatan mendorong fenomena ritual yang khas dilakukan oleh umat Hindu anggota subak. Seperti pemikiran Bourdieu (1990) tentang fenomena sosial bahwa yang mendasari adalah aktivitas individu, yang kemudian menjadi kesadaran kolektif sehingga mampu menghasilkan sebuah fenomena sosial. Fenomena sosial yang terjadi di antara umat Hindu di Bali adalah fenomena bahwa masyarakat tidak mampu terlepas dari pelaksanaan ritual, yang hampir dilakukan dalam setiap tindak kehidupannya. Apalagi dalam pandangan Hindu, individu adalah atman 5 (Pandit 2005) yang berada dalam tubuh manusia, hewan maupun tumbuhan. Dengan kepercayaan bahwa dalam setiap individu baik manusia, hewan dan tumbuhan berstana atman, maka secara tidak langsung akan terjadi hubungan saling menghormati dalam setiap individu tersebut. Hal ini yang akan menguatkan bahwa modal religius 6 (agama) dan modal budaya akan mendorong munculnya modal spiritual pada masyarakat Hindu di Bali. 5 Atman adalah sebutan bagi Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan) yang berada dalam diri setiap manusia atau bisa juga disebut dengan roh yang dalam kepercayaan Hindu bersifat kekal abadi. 6 Religiositas dan spiritualitas adalah sesuatu yang memiliki pengertian yang berbeda (Zohar and Marshall, 2004). Hal ini disebabkan karena nilai-nilai religiositas selalu bisa dikaitkan dengan kegiatan keagamaan, akan tetapi nilai-nilai spiritual terkadang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan keagamaan, akan tetapi mampu di kenali melalui peruabahan-perubahan yang terjadi dalam individu atau masyarakat. 193

18 Perempuan Bali dalam Ritual Subak Kaitannya dengan masyarakat petani yang tergabung dalam organisasi subak, maka di Bali subak merupakan elemen penting dalam pelestarian pertanian, ketahanan pangan dan lingkungan (hayati) (Sirtha, 1996: Sutawan, 2008; Wiguna dan Surata, 2008). Di samping itu adanya keyakinan dan kepercayaan terhadap konsep Tri Hita Karana mendukung adanya spirit harmonisasi antara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Harmonisasi ini sangat melekat pada masyarakat Hindu di Bali temasuk warga subak. Seperti yang teramati dari beberapa praktik di lapangan yaitu pada kegiatan ritual yang menyebabkan terjadinya resiprositas antara Tuhan, manusia dan lingkungan. Harmonisasi juga mendorong adanya kegiatan perluasan dan pemeliharaan jejaring baik antara anggota dalam Subak Wongaya Betan (bonding), jejaring antara subak di satu wilayah dengan subak wilayah lainnya melalui ritual pertanian seperti mendak toya, nangluk merana (briging), dan juga jejaring antara subak dengan pemerintah (linking). Perluasan dan pemeliharaan jejaring ini tentu saja masih dalam keterkaitannya dengan katahanan pangan dan hayati, melalui pelestarian pertanian dan lingkungan. Menyimak pemikiran Berger dan Luckman (2006) bahwa realitas kehidupan manusia adalah merupakan refleksi dari pemaknaan manusia terhadap segala sesuatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Kalau dikaitkan dengan keterikatan manusia Hindu dengan ritual yang merupakan ungkapan rasa syukur, rasa terimakasih dan malahan rasa bersalah terhadap Tuhan, manusia dan lingkungan maka ritual tidak mungkin dipisahkan dengan umat Hindu di Bali. Dalam setiap gerak langkah umat Hindu dan juga anggota subak yang terefleksi dari awig-awig subak maka ritual dapat dikatakan sebagai habitus bagi masyarakat Hindu di Bali termasuk bagi anggota subak. Walaupun banyak yang mempertanyakan relevansi pelaksanaan ritual dengan realitas kehidupan masyarakat petani, akan tetapi akhirnya disadari bahwa sangat sulit mencari penjelasan yang logis. Dalam melaksanakan kegiatan ritual melekat kepercayaan, sugesti, keyakinan, kewajiban, rasa syukur, kepasrahan, persembahan sehingga akan 194

19 Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak tercermin hubungan yang sangat kompleks antara individu-individu dalam organisasi subak. Kalau dicermati tentang sanksi yang akan mereka tanggung kalau melanggar awig-awig parahyangan, maka biasanya anggota subak sebagai individu akan merasa lebih takut akan sanksi moral dan sanksi ritual yang diyakini diberikan oleh Sang pencipta, dibandingkan dengan sanksi moral dan sanksi finansial yang dikenakan oleh awig-awig subak. Menariknya lagi bahwa sanksi moral dan sanksi finansial akan lengkap terbayar kalau sudah dilaksanakan sanksi ritual untuk menebus kesalahan yang dilakukan oleh masingmasing anggota baik sebagai anggota subak maupun sebagai personal di rumah tangga mereka masing-masing. Dari fenomena ini dapat katakan bahwa ritual merupakan spirit dalam rangka penghormatan terhadap Sang Pencipta, memanusiakan manusia dan alam lingkungan. Ritual Berperan Penting dalam Subak (Elemen Pelestarian Budaya Pertanian) Pada bab-bab sebelumnya telah disinggung tentang budaya Bali yang sangat identik dengan budaya pertanian (Geertz, 1973; 1983) menjelaskan bagaimana perbedaan perkembangan pertanian yang terjadi di Pulau Jawa dan Bali, khususnya di kota Tabanan. Selanjutnya dijelaskan sampai saat ini pertanian di Bali masih mampu melestarikan praktik-praktik tradisional yang telah dilakukan petani-petani di Bali beberapa tahun lalu. Berbeda halnya dengan praktik pertanian di Pulau Jawa (Geertz, 1989) yang hampir meninggalkan semua warisan praktik-praktik tradisional yang juga pernah dikenal oleh petani-petani di Pulau ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa petani di Bali lebih mampu menjaga warisan leluhur dan lebih selektif dalam menerima inovasi baru yang berkaitan dengan praktik-praktik pertanian. Selektif dalam konteks ini berarti petani tetap menerima masukan teknologi baru, akan tetapi tetap menyesuaikan dengan praktik-praktik tradisional yang sudah mereka yakini tetap menjaga keseimbangan antara hubungan dengan kehidupan saat ini dan kehidupan niskala. Hal ini karena Bali memiliki keterkaitan yang sangat kuat antara kepercayaan terhadap Agama Hindu dengan budaya Bali. Jadi walaupun berbagai 195

20 Perempuan Bali dalam Ritual Subak kebudayaan menggempur Bali sejak tahun 1980-an, akan tetapi beberapa daerah sampai hari ini masih melakukan praktik tradisional dan masih setia dengan praktik-praktik ritual sehari-hari maupun yang berkaitan dengan pertanian. Pengaruh modernisasi berupa industri pariwisata yang sangat kuat dan terus menerus, ternyata tidak menyebabkan masyarakat Hindu di Bali keluar dari pakem budaya Hindu Bali akan tetapi justru masyarakat Bali masih tetap melaksanakan praktik tradisional seperti misalnya masih eksisnya organisasi pembagian air tradisional yaitu Subak. Walaupun di satu sisi dengan berkembangnya industri pariwisata menyebabkan lahan pertanian semakin menyempit karena terdesak dengan alih fungsi sebagai insfrastruktur pariwisata, akan tetapi subak sebagai organisiasi yang berkaitan langsung dengan pengelolaan lahan sawah tetap menggeliat. Salah satunya karena ternyata masyarakat Bali dan pemerintah tersadar bahwa di tengah terjepitnya kehidupan sebagai petani, ternyata kehidupan ini memiliki daya tahan yang lebih kuat dibandingkan dengan perekonomian yang hanya menggantungkan perekonomian pada industri pariwisata. Salah satu bukti bahwa sektor pertanian merupakan penyangga perkembangan industri pariwisata adalah kejadian bom Bali pada tahun Dari pengalaman ini akhirnya masyarakat Bali dan pemerintah disadarkan bahwa industri pariwisata tanpa dukungan sektor pertanian adalah sangat rapuh. Hal tersebut sebenarnya sudah banyak dibuktikan oleh beberapa kelompok masyarakat yang melakukan praktik pertanian sebagai dasar pengembangan industri pariwisata yaitu dengan mengembangkan wisata alam seperti salah satunya adalah kawasan Catur Angga yang mengembangkan industri pariwisata pada keindahan pemandangan sawah bertingkat yang selama ini dikoordinir oleh kelompok masyarakat (adat ) setempat. Seperti dijelaskan dan digambar dalam bab empat, Gambar 7, dimana kedudukan subak dalam kelembagaan desa dan adat di desa Mengesta, lebih menguatkan bahwa sebenarnya subak adalah bagian dari adat. Walaupun dalam kenyataannya sering terjadi negosiasi dalam pelaksanaan kegiatan antara kelembagaan-kelembagaan tersebut. Hal 196

21 Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak ini sesuai dengan konsep desa kala patra dari komunitas Hindu di Bali. Konsep ini menjelaskan tentang adanya kelenturan dan fleksibilitas dalam segala pelaksanaan kehidupan termasuk kegiatan-kegiatan budaya dan ritual. Dengan sedemikian kuatnya peran subak dalam melestarikan pertanian di Bali dan dengan adanya struktur dan awig-awig subak yang dapat mengikat baik ke dalam organisasi subak maupun ke luar organisasi maka sangat tepat dikatakan bahwa subak merupakan satu elemen yang berfungsi sebagai pelestari pertanian di Bali dan juga penyumbang kelestarian ketahanan hayati dan ketahanan pangan bagi masyarakat pedesaan di Bali. Hal ini juga dikuatkan dengan adanya konsep keseimbangan Tri Hita Karana yang menjadi filosofi organisasi subak. Konsep ini akan selalu diterapkan oleh subak dalam setiap kegiatannya. Windia (2010) dan Sutawan (2008) menekankan adanya empat elemen subak yang harus selalu dilestarikan adalah adanya lahan pertanian (sawah), organisasi, anggota dan pura subak. Dengan adanya elemen ini maka subak memiliki peran dalam pelestarian ketahanan pangan dan hayati. Apalagi bila dikaitkan dengan adanya pura subak yang sangat berkaitan erat dengan konsep keseimbangan Tri Hita Karana dalam menjaga hubungan yang harmonis dengan Sang Pencipta. Seperti yang dijelaskan oleh Geertz (1992) tentang hubungan dengan Tuhan akan divisualisasikan dalam agama Hindu yang dianut semua anggota subak. Selanjutnya Agama Hindu di Bali tidak terpisahkan dengan adat dan budaya yang sangat mengikat kehidupan masyarakat di Bali. Hal ini juga menjadi penekanan Surata (2009) yang menyatakan hampir setiap pengambilan keputusan di tingkat komunitas di Bali kepemimpinan lokal (adat) lebih berpengaruh dibandingkan dengan pemerintah. Ini merupakan satu kekuatan bagi lembaga tradisional seperti organisasi subak untuk berperan sebagai penerus kebijakan pemerintah yang mengarahkan pada kebijakan pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati di tingkat komunitas. Bukti lainnya yang menunjukkan organisasi tradisional memiliki kekuatan dalam menggerakkan masyarakat pedesaan di Bali adalah 197

22 Perempuan Bali dalam Ritual Subak bagaimana subak mampu lebih berperan sebagai penengah konflik antar masyarakat dalam hal pembagian air di lahan pertanian demikian juga dengan konflik lainnya yang berkaitan dengan kelembagaan tradisional. Ada pengalaman menarik yang dialami pemerintah Bali khususnya Dinas Pekerjaan Umum dalam menangani konflik pembagian air. Konflik tersebut merupakan dampak dari adanya bantuan saluran irigasi teknis kepada subak dari pemerintah, yang menyebabkan terjadi perubahan dalam aturan pembagian air. Konflik ini akhirnya mampu diselesaikan dengan baik oleh subak. Kejadian ini membuktikan bagaimana kelembagaan tradisional lebih memiliki kekuatan dalam mengatasi masalah dibandingkan dengan kelembagaan dinas. Sehingga bagi masyarakat pedesaan di Bali pelestarian cara-cara lokal (kearifan lokal) dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat sangat diperlukan. Subak ternyata memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan dalam mentransfer kebijakan pemerintah terutama dalam kebijakankebijakan pertanian. Hal ini telah dibuktikan dengan bagaimana kuatnya pengaruh subak pada saat dimulainya teknologi modern yang dikenal dengan revolusi hijau. Pemerintah pada saat itu seolah memanfaatkan organisasi subak dalam mempercepat kesuksesan programprogram revolusi hijau. Pemerintah pada masa itu memanfaatkan pengurus subak dalam mentransfer atau meneruskan teknologi revolusi hijau kepada masyarakat petani di pedesaan. Walaupun sebenarnya ada perlawanan dari anggota subak akan tetapi karena yang diberikan wewenang adalah kepala subak (pekaseh) yang memiliki kekuasaan dalam menjalankan awig-awig subak maka semua anggota subak memiliki kewajiban untuk melaksanakan kebijakan revolusi hijau pada masa itu. Di sisi lain pada saat terjadinya transformasi pertanian organik pun ternyata petani inovator yang juga warga Subak Wongaya Betan, akhirnya mampu meneruskan teknologi pertanian organik kepada seluruh warga subak. Pada saat ini praktik pertanian organik sudah menjadi salah satu awig-awig subak di Wongaya Betan, sehingga melaksanakan pertanian organik merupakan kewajiban anggota subak 198

23 Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak di Wongaya Betan. Pengusulan Kawasan Catur Angga sebagai kawasan budaya dunia (world heritage) pun sebenarnya berkaitan dengan keberhasilan subak di kawasan ini (termasuk Subak Wongaya Betan) dalam menjaga kelestarian lingkungan dan wilayah pertanian (terutama pemandangan sawah bertingkatnya). Seperti dalam bab 4 disebutkan bahwa paling tidak ada 15 subak yang berada dalam kawasan budaya dunia tersebut. Hal ini menimbulkan konsekuensi yang sangat berat bagi subak-subak di kawasan itu. Dengan adanya penetapan sebagai kawasan budaya dunia (world heritage) maka di satu sisi ada kebanggaan dari masyarakat setempat dan juga warga Bali, akan tetapi di sisi lainnya masyarakat merasa akan ada konsekuensi moral dan ekonomis yang harus mereka hadapi. Sehingga masyarakat yang nantinya akan berada pada kawasan budaya dunia memerlukan dukungan dan perhatian pemerintah baik berupa sosialisasi dan pendampingan secara terus menerus dalam mempertahankan prestasi yang telah dicapai. Misalnya saja dukungan kebijakan dan aturan pemerintah yang tegas tentang bagaimana kontribusi yang akan diberikan kepada wilayah subak yang termasuk dalam kawasan world heritage tersebut. Beberapa realitas tersebut menunjukkan bahwa subak merupakan salah satu elemen yang mampu mempertahankan budaya pertanian di Bali. Hal ini juga diperkuat dengan adanya perhatian dan aturan pemerintah (dalam bab 4) bahwa subak memang telah diakui keberadaannya sebagai organisasi tradisional yang selain berperan dalam pengorganisasian air bagi petani padi tetapi juga mampu berperan sangat relevan sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam meneruskan kebijakan-kebijakan pemerintah, baik kebijakan pertanian maupun kebijakan-kebijakan lainnya. Mengingat posisi subak dalam struktur desa di Bali berada di bawah struktur desa dinas dan desa adat, akan tetapi kalau melihat kewenangan dan otoritas subak maka subak merupakan organisasi yang mandiri. Akan tetapi sering memiliki peran yang sangat penting dalam keputusan dan kegiatan desa adat dan desa Dinas (Gambar 3 dalam bab 4). 199

24 Perempuan Bali dalam Ritual Subak Oleh karena kekuatan dan peran penting dari subak dalam organisasi pemerintahan desa di Bali maka memberdayakan elemen subak, fungsi subak dan awig-awig subak dalam percepatan pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan dan hayati di Bali sangat penting. Pemberdayaan ini mendorong percepatan pencapaian dan pelestarian ketahanan pangan dan hayati serta penyelamatan lingkungan di Bali. Sehingga subak dapat dikatakan sebagai unsur pelestarian pertanian, sebagai modal kolektif dalam pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati. Keterkaitan Ritual dengan Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati Dalam bahasan ini ketahanan pangan dan ketahanan hayati akan dibahas dalam satu kesatuan, karena penulis menganggap bahwa antara ketahanan pangan dan ketahanan hayati merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Istilah ketahanan pangan yang menjadi wacana pemerintah adalah kemampuan masyarakat petani menghasilkan pangan terutama beras, dan tersedianya akses bagi masyarakat untuk membeli pangan (Sujono, 2009). Ketercapaian ketahanan pangan akan secara otomatis menghasilkan katahanan hayati dalam lingkungannya, karena menurut Surata (2009) ketahanan hayati adalah lestarinya sumbersumber hayati yang sangat terkait dengan kehidupan manusia termasuk sumber pangan. Dalam setiap usaha pencapaian ketahanan pangan melalui kecukupan produksi pangan, maka ketahanan hayati yang meliputi kelestarian makhluk hidup disekitar area produksi pangan harus juga mendapat perhatian untuk pelestariannya. Dalam konteks ketahanan pangan dan ketahanan hayati di Subak Wongaya Betan terlihat bahwa dengan kembalinya anggota subak pada praktek organik, maka beberapa hewan sawah seperti capung, belut, dan ular sawah sudah terlihat lagi di areal persawahan Subak Wongaya Betan (Wiguna, 2008). Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan dengan proses pencapaian ketahanan pangan dengan ketahanan hayati. Di samping itu konsep kelestarian lahan pertanian juga sangat terkait dengan kelestarian sumberdaya alam dan ketahanan hayati. Seperti 200

25 Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak yang dikemukakan oleh Menteri Perikanan dan Kelautan (2007) 7 bahwa dengan tercapainya ketahanan hayati maka akan mendorong ketahanan pangan secara berkelanjutan. Konteks katahanan pangan dan hayati di tingkat subak sebenarnya sudah terimplikasi pada beberapa ritual yang ditujukan kepada alam 8. Dengan adanya ritual kepada alam, kepercayaan dan keyakinan masyarakat tentang perlunya menjaga kelestarian alam dan lahan pertanian akan muncul dengan sendirinya sehingga akan mengikat setiap gerak individu untuk melaksanakan ritual-ritual tersebut. Bagaimana implementasi ritual dengan ketahanan pangan dan hayati di Subak Wongaya Betan akan dilandasi dengan kepercayaan akan konsep suci leteh (cemar) umat Hindu di Bali. Konsep Suci dan Leteh (cemar) sebagai Dasar Ketahanan Pangan dan Hayati Konsep ketahanan pangan bagi masyarakat adalah tersedianya bahan pangan (beras), adanya kemampuan dan akses masyarakat untuk membeli, dan juga tidak adanya ketergantungan pangan masyarakat. Berbicara masalah ketahanan pangan tidak akan terlepas dari pertanian, karena sampai saat ini pertanian adalah satu-satunya sumber pangan masyarakat. Kalau memang pemerintah ingin mempertahankan ketahanan pangan masyarakat maka setidaknya ada keinginan dan tindakan nyata pemerintah melindungi usaha pertanian. Usaha pertanian akan berhasil apabila beberapa sarana pendukung seperti air, lahan pertanian, pemasaran harus tersedia dengan baik. Dilema yang dihadapi pemerintah maupun masyarakat dunia saat ini adalah semakin menyempitnya lahan pertanian, semakin berkurangnya sumber air bagi pertanian karena terdesak oleh pembangunan sarana lainnya seperti perumahan, infrstruktur baik pariwisata maupun kebutuhan untuk tempat tinggal umat manusia. 7 ) Disampaikan pada konferensi tentang perubahan iklim Global di Nusa Dua Bali. 8 Pengertian ketahanan pangan dan ketahanan hayati bagi SWB telah dipaparkan pada bab lima. 201

Kesimpulan. Bab Sembilan. Subak sebagai organisasi tradisional yang memiliki aturan (awigawig)

Kesimpulan. Bab Sembilan. Subak sebagai organisasi tradisional yang memiliki aturan (awigawig) Bab Sembilan Kesimpulan Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian di Indonesia hingga saat ini masih berperan penting dalam penyediaan dan pemenuhan pangan bagi masyarakatnya. Dengan adanya eksplositas

Lebih terperinci

Pendahuluan. Bab Satu

Pendahuluan. Bab Satu Bab Satu Pendahuluan Pagi menjelang siang hari itu, di satu petak sawah di sebuah desa di kawasan Jatiluwih, Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan-Bali beberapa wisatawan asing bergegas turun dari mobil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Subak merupakan lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosioreligius terutama bergerak dalam pengolahan air untuk produksi tanaman setahun khususnya padi berdasarkan

Lebih terperinci

Bab Tiga Metode Penelitian

Bab Tiga Metode Penelitian Bab Tiga Metode Penelitian Seperti Menatap Cermin Ketertarikan saya dengan bidang pertanian berawal ketika pada masa kanak-kanak sampai remaja (masa Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas) sering menemani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi

BAB I PENDAHULUAN. Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi petani tersebut berwatak sosio agraris religius. Subak sebagai lembaga sosial dapat dipandang

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP Simpulan

BAB VI PENUTUP Simpulan BAB VI PENUTUP 6.1. Simpulan Kajian tentang implementasi prinsip-prinsip university governance berlandaskan Tri Hita Karana di Universitas Mahasaraswati Denpasar menemukan: 6.1.1. Pelaksanaan Prinsip-Prinsip

Lebih terperinci

LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN

LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN AKTIVITAS ASPEK TRADISIONAL RELIGIUS PADA IRIGASI SUBAK: STUDI KASUS PADA SUBAK PILING, DESA BIAUNG, KECAMATAN PENEBEL, KABUPATEN TABANAN I Nyoman Norken I Ketut

Lebih terperinci

Peranan Subak Dalam Pengembangan Agribisnis Padi

Peranan Subak Dalam Pengembangan Agribisnis Padi Peranan Subak Dalam Pengembangan Agribisnis Padi I. Pendahuluan Visi pembangunan pertanian di Indonesia adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtra khususnya petani melalui pembangunan sistem agribisnis

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI 8.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan dalam penelitan ini maka dibuat kesimpulan dari fokus kajian mengenai, perubahan ruang hunian, gaya hidup dan gender,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia juga memiliki keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa dan sub-suku

Lebih terperinci

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. instruksi, mengolah data sesuai dengan instruksi dan mengeluarkan hasilnya

I. PENDAHULUAN. instruksi, mengolah data sesuai dengan instruksi dan mengeluarkan hasilnya I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sistem informasi adalah suatu sistem yang menerima input data dan instruksi, mengolah data sesuai dengan instruksi dan mengeluarkan hasilnya (Davis, 1991). Dalam era globalisasi

Lebih terperinci

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati: Kajian Pustaka

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati: Kajian Pustaka Bab Dua Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati: Kajian Pustaka Pengantar Analisa Howe (2005) menyebutkan bahwa orang Bali terutama generasi muda sangat sulit bersaing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21 perkembangan pesat terjadi dalam bidang 4T

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21 perkembangan pesat terjadi dalam bidang 4T BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memasuki abad ke-21 perkembangan pesat terjadi dalam bidang 4T (Transportation, Technology, Telecommunication, Tourism) yang disebut sebagai The Millenium 4.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan Negara yang penuh dengan keanekaragaman Suku Bangsa, Bahasa, Agama, dan Kebudayaan. Keberagaman budaya bangsa Indonesia bukan berarti untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat

Lebih terperinci

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan 2016 2019 PUSKAMUDA Isu Strategis dalam Kerangka Strategi Kebijakan 1. Penyadaran Pemuda Nasionalisme Bina Mental Spiritual Pelestarian Budaya Partisipasi

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP. khususnya dalam pengelolaan sumberdaya air irigasi. Pengelolaan sumberdaya

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP. khususnya dalam pengelolaan sumberdaya air irigasi. Pengelolaan sumberdaya BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP 3.1 Kerangka Berpikir Subak sangat berperan dalam pembangunan pertanian beririgasi, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya air irigasi. Pengelolaan sumberdaya air irigasi

Lebih terperinci

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN. a. Upaya pemertahanan bahasa Bali dalam keluarga. Hal ini tampak dalam situasi

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN. a. Upaya pemertahanan bahasa Bali dalam keluarga. Hal ini tampak dalam situasi 126 BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan Tulisan ini dapat disimpulkan sebagai berikut. 1). Upaya-upaya pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar adalah sebagai berikut.

Lebih terperinci

Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati di Subak Wongaya Betan

Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati di Subak Wongaya Betan Bab Tujuh Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati di Subak Wongaya Betan Pengantar Ada tantangan yang dihadapi subak saat ini dan masa yang akan datang yaitu dalam menghadapi globalisasi

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi

Lebih terperinci

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN Perumusan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran pembangunan daerah lima tahun kedepan yang dituangkan dalam RPJMD Semesta Berencana Kabupaten Badung Tahun 2016-2021

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang ada di Indonesia dan masih terjaga kelestariannya. Kampung ini merupakan kampung adat yang secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan dan kebiasaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas atau jatidiri mereka. Kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat beberapa hal pokok yang akan ditegaskan sebagai inti pemahaman masyarakat Tunua tentang fakta

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

PELESTARIAN KAWASAN PUSAKA BERKELANJUTAN (Studi Kasus: Kawasan Taman Ayun, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)

PELESTARIAN KAWASAN PUSAKA BERKELANJUTAN (Studi Kasus: Kawasan Taman Ayun, Kabupaten Badung, Provinsi Bali) PELESTARIAN KAWASAN PUSAKA BERKELANJUTAN (Studi Kasus: Kawasan Taman Ayun, Kabupaten Badung, Provinsi Bali) Dr. Taufan Madiasworo, ST., MT. Kepala Sub Direktorat Kawasan Permukiman Perdesaan Disampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, kepercayaan kepada leluhur

BAB I PENDAHULUAN. dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, kepercayaan kepada leluhur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desa Adat Kuta sebagaimana desa adat lainnya di Bali, merupakan suatu lembaga adat yang secara tradisi memiliki peran dalam mengorganisasi masyarakat dan menyelenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu dapat dikenali dari keanekaragaman budaya, adat, suku, ras, bahasa, maupun agama. Kemajemukan budaya menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Bali selama ini dikenal dengan kebudayaannya yang khas. Beragam tradisi yang mencerminkan adat Bali menarik banyak orang luar untuk melihat lebih dekat keunikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 275 juta orang pada tahun Sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari

BAB I PENDAHULUAN. 275 juta orang pada tahun Sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia (Syarief, 2011). Jumlah penduduk Indonesia diprediksi akan menjadi 275 juta orang pada tahun

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua. BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Kematian bagi masyarakat Tionghoa (yang tetap berpegang pada tradisi) masih sangat tabu untuk dibicarakan, sebab mereka percaya bahwa kematian merupakan sumber malapetaka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Hutan lindung sesuai fungsinya ditujukan untuk perlindungan sistem

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Hutan lindung sesuai fungsinya ditujukan untuk perlindungan sistem BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan lindung sesuai fungsinya ditujukan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tri Hita Karana

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tri Hita Karana BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Organisasi tradisional petani yang mengelola air irigasi dapat ditemui di berbagai belahan dunia, salah satunya adalah sistem irigasi subak di Bali. Subak merupakan

Lebih terperinci

TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Visi : Terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih menuju maju dan sejahtera Misi I : Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang profesional, transparan, akuntabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan yang biasanya dilakukan setiap tanggal 6 April (Hari Nelayan)

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan yang biasanya dilakukan setiap tanggal 6 April (Hari Nelayan) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Upacara Adat Labuh Saji berlokasi di Kelurahan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, pada tahun ini upacara dilaksanakan pada tanggal 13 Juni hal tersebut dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki beragam adat dan budaya daerah yang masih terjaga kelestariannya. Bali adalah salah satu provinsi yang kental adat dan budayanya.

Lebih terperinci

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 2018 Visi Terwujudnya Kudus Yang Semakin Sejahtera Visi tersebut mengandung kata kunci yang dapat diuraikan sebagai berikut: Semakin sejahtera mengandung makna lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra tradisional yang tersimpan dalam naskah lontar banyak dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang 1 BAB I PENDAHULUAN Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang sangat sering dihadapi dalam perencanaan keruangan di daerah pada saat ini, yaitu konversi kawasan lindung menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain (Sears dalam

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain (Sears dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu pekerjaan dengan tingkat tekanan yang tinggi adalah auditor internal. Pekerjaan ini memiliki beban kerja yang berat, batas waktu pekerjaan yang

Lebih terperinci

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar KAJIAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM TRADISI NGAYAH DI TENGAH AKSI DAN INTERAKSI UMAT HINDU DI DESA ADAT ANGGUNGAN KELURAHAN LUKLUK KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, setiap individu terkait dengan persoalan politik dalam arti luas. Masyarakat sebagai kumpulan individu-individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan sesuai dengan dinamika peradaban yang terjadi. Misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan sesuai dengan dinamika peradaban yang terjadi. Misalnya, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan dan masyarakat akan selalu berkembang dan akan mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA Dalam mengemban amanat masyarakat desa, pemerintah desa melakukan upaya terencana dan terprogram yang tersusun dalam dokumen perencanaan desa baik RPJMD maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat patrilineal. Patrilineal adalah kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki.

Lebih terperinci

BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 7.1 Kebijakan Umum Perumusan arah kebijakan dan program pembangunan daerah bertujuan untuk menggambarkan keterkaitan antara bidang urusan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan BAB - VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN 6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Strategi adalah langkah-langkah berisikan program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi, yang dirumuskan dengan kriterianya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, tarian dan adat istiadat yang dimiliki oleh setiap suku bangsa juga sangat beragam. Keanekaragaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku besar berciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, dan ada juga sejumlah suku-suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia di era globalisasi sekarang ini sudah mengarah pada krisis multidimensi. Permasalahan yang terjadi tidak saja

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi

TINJAUAN PUSTAKA. Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Alih Fungsi Lahan dan Faktor-Faktor Penyebabnya Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali telah terkenal dengan kebudayaannya yang unik, khas, dan tumbuh dari jiwa Agama Hindu, yang tidak dapat dipisahkan dari keseniannya dalam masyarakat yang berciri

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Simantri, Subak Renon, Dampak.

ABSTRAK. Kata kunci : Simantri, Subak Renon, Dampak. ABSTRAK Ahmad Surya Jaya. NIM 1205315020. Dampak Program Simantri 245 Banteng Rene Terhadap Subak Renon di Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar. Dibimbing oleh: Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia, SU dan Ir.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial, berinteraksi, bermasyarakat dan menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Lahirnya Kelembagaan Lahirnya kelembagaan diawali dari kesamaan karakteristik dan tujuan masing-masing orang dalam kelompok tersebut. Kesamaan kepentingan menyebabkan adanya

Lebih terperinci

Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam masyarakat Bali pra-kolonial yang menunjukkan

Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam masyarakat Bali pra-kolonial yang menunjukkan Bab VII. KESIMPULAN Pembentukan identitas merupakan sebuah proses yang dinamis. Proses ini tidak terhenti pada satu titik tertentu, tetapi terus berjalan seiring dengan berjalannya waktu dan sejarah identitas

Lebih terperinci

TERWUJUDNYA MASYARAKAT SELOMARTANI YANG AGAMIS SEJAHTERA BERBUDAYA DAN MANDIRI DENGAN KETAHANAN PANGAN PADA TAHUN 2021

TERWUJUDNYA MASYARAKAT SELOMARTANI YANG AGAMIS SEJAHTERA BERBUDAYA DAN MANDIRI DENGAN KETAHANAN PANGAN PADA TAHUN 2021 VISI TERWUJUDNYA MASYARAKAT SELOMARTANI YANG AGAMIS SEJAHTERA BERBUDAYA DAN MANDIRI DENGAN KETAHANAN PANGAN PADA TAHUN 2021 MISI 1 Menigkatkan kerukunan keharmonisan kehidupan masyarakan dalam melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memiliki julukan lumbung beras Provinsi Bali, memiliki luas 839,33

I. PENDAHULUAN. memiliki julukan lumbung beras Provinsi Bali, memiliki luas 839,33 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tabanan merupakan salah satu kabupaten di Bali yang memiliki peran sentral dalam pertanian. Kabupaten Tabanan yang memiliki julukan lumbung beras Provinsi Bali,

Lebih terperinci

kepercayaan Hindu Bali digolongkan sebagai orang jang belum beragama (Geertz 1964, Ramstedt 2004).

kepercayaan Hindu Bali digolongkan sebagai orang jang belum beragama (Geertz 1964, Ramstedt 2004). BAB I. PENDAHULUAN Sebagai sebuah proses yang dinamis, identitas tidak dapat dilepaskan dari sejarah atas identitas itu sendiri. Identitas kekinian merupakan cerminan sejarah. Melalui kesejarahan tersebut

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. A. Badan Kesbangpol dan Linmas Kab. Lampung Selatan. badan yang memiliki struktur dan bidang-bidangnya masing-masing dalam

IV. GAMBARAN UMUM. A. Badan Kesbangpol dan Linmas Kab. Lampung Selatan. badan yang memiliki struktur dan bidang-bidangnya masing-masing dalam 43 IV. GAMBARAN UMUM A. Badan Kesbangpol dan Linmas Kab. Lampung Selatan Badan Kesbangpol dan Linmas Kabupaten Lampung Selatan, atau Badan Kesatuan, Politik dan Perlindungan Masyarakat Lampung Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. wilayahnya masing-masing. Budaya sebagai tuntunan kehidupan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. wilayahnya masing-masing. Budaya sebagai tuntunan kehidupan tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap masyarakat menciptakan dan mengembangkan kebudayaan sebagai tuntunan yang memandu kehidupan, sesuai dengan lingkungan sosial dan fisik di wilayahnya masing-masing.

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN V.1. Visi Menuju Surabaya Lebih Baik merupakan kata yang memiliki makna strategis dan cerminan aspirasi masyarakat yang ingin perubahan sesuai dengan kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.34/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN SEMINAR TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN SEMINAR TUGAS AKHIR BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang; rumusan masalah; tujuan; serta metodologi penelitian penyusunan landasan konsepsual Museum Nelayan Tradisional Bali di Kabupaten Klungkung.

Lebih terperinci

Budaya (kearifan local) Sebagai Landasan Pendidikan Indonesia Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa

Budaya (kearifan local) Sebagai Landasan Pendidikan Indonesia Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa Mata Kuliah : Landasan Pendidikan NamaDosen : Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag, M.Pd.H. Budaya (kearifan local) Sebagai Landasan Pendidikan Indonesia Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa Oleh; PUTU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhlik hidup ciptaan Allah SWT. Allah SWT tidak menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup ciptaan Allah yang lain adalah

Lebih terperinci

Ketika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari

Ketika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari Ketika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari Kuwati, M. Martosupono dan J.C. Mangimbulude Magister Biologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Email: kuwatifolley@yahoo.co.id Pendahuluan Kabupaten

Lebih terperinci

PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK

PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK Katalog Dalam Terbitan (KDT) 338.195986 Nig Ni Gst. Ag. Gde Eka Martiningsih P Perempuan Bali dalam Ritual Subak / Ni Gst. Ag. Gde Eka

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KEPURBAKALAAN DALAM MENUNJANG PROFIL KEARIFAN LOKAL DI DAERAH MALUKU. M. Nendisa

PERKEMBANGAN KEPURBAKALAAN DALAM MENUNJANG PROFIL KEARIFAN LOKAL DI DAERAH MALUKU. M. Nendisa PERKEMBANGAN KEPURBAKALAAN DALAM MENUNJANG PROFIL KEARIFAN LOKAL DI DAERAH MALUKU M. Nendisa Kebudayaan suatu masyarakat pada pokoknya berfungsi menghubungkan manusia dengan alam disekitarnya dan dengan

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Bayu Dwi Nurwicaksono, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Bayu Dwi Nurwicaksono, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Tradisi sedekah bumi dengan berbagai macam istilah memang banyak diadakan di berbagai tempat di pulau Jawa. Namun, tradisi ini sudah tidak banyak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. organisasi baik organisasi swasta maupun pemerintah untuk mengadakan

PENDAHULUAN. organisasi baik organisasi swasta maupun pemerintah untuk mengadakan BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai pengaruh perubahan yang terjadi akibat reformasi menuntut organisasi baik organisasi swasta maupun pemerintah untuk mengadakan inovasiinovasi guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya alih fungsi ruang hijau menjadi ruang terbangun, merupakan sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua Kabupaten Kota di Indonesia.

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH 41 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH Kerangka Berpikir Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dahulu masalah kasta atau wangsa merupakan permasalahan yang tak kunjung sirna pada beberapa kelompok masyarakat di Bali, khususnya di Denpasar. Pada zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar kota di Negara Indonesia tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir. Setiap fenomena kekotaan yang berkembang pada kawasan ini memiliki karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya yang berada di daerah-daerah di dalamnya. Kebudayaan itu sendiri mencakup pengertian yang sangat luas. Kebudayaan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Subak telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh

BAB I PENDAHULUAN. Subak telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Subak telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui The United Nations Educational and Cultural Organization (UNESCO)

Lebih terperinci

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN Visi dan misi merupakan gambaran apa yang ingin dicapai Kota Surabaya pada akhir periode kepemimpinan walikota dan wakil walikota terpilih, yaitu: V.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dengan berbagai suku bangsa mempunyai keanekaragaman kearifan lokal, kearifan tradisional, dan budaya yang didalamnya terkandung nilai-nilai etik dan moral,

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN PERORANGAN MODAL SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL: STUDI SOSIOLOGI TERHADAP KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT YOGYAKARTA DAN BALI

LAPORAN PENELITIAN PERORANGAN MODAL SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL: STUDI SOSIOLOGI TERHADAP KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT YOGYAKARTA DAN BALI LAPORAN PENELITIAN PERORANGAN MODAL SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL: STUDI SOSIOLOGI TERHADAP KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT YOGYAKARTA DAN BALI Ujianto Singgih Prayitno BIDANG KESEJAHTERAAN SOSIAL PUSAT PENELITIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Penjelasan pertama pada pendahuluan akan menjelaskan mengenai latar belakang dengan melihat kondisi yang ada secara garis besar dan dari latar belakang tersebut didapatkan suatu rumusan

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN V.1. Visi Menuju Surabaya Lebih Baik merupakan kata yang memiliki makna strategis dan cerminan aspirasi masyarakat yang ingin perubahan sesuai dengan kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat budaya. Setiap suku

Lebih terperinci