kepercayaan Hindu Bali digolongkan sebagai orang jang belum beragama (Geertz 1964, Ramstedt 2004).
|
|
- Indra Hardja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I. PENDAHULUAN Sebagai sebuah proses yang dinamis, identitas tidak dapat dilepaskan dari sejarah atas identitas itu sendiri. Identitas kekinian merupakan cerminan sejarah. Melalui kesejarahan tersebut tampak bagaimana proses pembentukan identitas yang dinamis berdasarkan konteksnya. Aspek kesejarahan ini yang digunakan oleh para peneliti Bali seperti Vickers (1996), Robinson (1995), Schulte Nordholt (2009), dan Picard (1997) untuk mengkaji secara kritis bagaimana identitas masyarakat Bali dikonstruksi di masa pemerintahan kolonial sebagai paradise, di mana hasil kontruksi identitas tersebut dilanjutkan di masa pemerintahan republik untuk mendukung industri pariwisata di Bali. Vickers (1995) dan Picard (1997) lebih spesifik menguraikan bagaimana citra paradise itu sebagai sesuatu yang dikonstruksikan. Schulte Nordholt (2009) dan Robinson (1995) secara implisit mendukung tesis yang dikemukakan oleh Vickers (1996) bahwa identitas yang dikontruksi pemerintah kolonial atas Bali sebagai paradise bertolak-belakang dengan realitas di dalam masyarakat Bali yang penuh dengan kekerasan. Schulte Nordholt yang mengkaji sejarah perpolitikan Bali menemukan bahwa perpolitikan Bali di masa pra-kolonial dipenuhi dengan intrik-intrik politik cerdas, penuh dengan kudeta dan peperangan antar kerajaan pusat dan satelit. Begitu pula dengan Robinson (1995) yang mengkaji sejarah perpolitikan Bali yang penuh dengan kekerasan yang disebutkan dengan tegas dalam bukunya yang berjudul The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali. Jika Schulte Nordholt lebih terfokus sejarah perpolitikan Bali masa pra-kolonial, maka Robinson lebih terfokus di masa kolonial dan pasca kolonial. Meskipun konstruksi identitas Bali sebagai paradise tetap dipertahankan di masa pemerintahan republik untuk menjaga industri pariwisata di Bali, namun konstruksi dan rekonstruksi identitas terhadap Bali dalam bentuk lain masih dilakukan oleh pemerintah maupun elit lokal Bali. Pada masa pemerintahan Orde Lama, masyarakat Bali dihadapkan pada realitas politik bahwa kepercayaan Hindu Bali-nya belum dapat 7
2 diakui sebagai sebuah agama resmi versi pemerintah 1 sampai mendapatkan pengakuan dari pemerintah Orde Lama melalui Presiden Sukarno 1 Januari 1959 dan mendapatkan pengakuan penuh di tahun 1963 (Schulte Nordholt 2004, Ramstedt 2004, Picard 2004). Jika ingin mendapatkan pengakuan yang sah dari negara, bahwa kepercayaan Hindu Bali merupakan sebuah agama resmi, maka mereka diharuskan memenuhi kriteria-kriteria baku untuk menjadi sebuah agama resmi yang diakui pemerintah. Ironisnya, kriteria-kriteria tersebut harus didasarkan atas kriteria agama berdasarkan konsep kepercayaan Samawi (Yudea-Kristen- Islam), seperti: memiliki nabi (rasul), kitab suci, memiliki sistem hukum atau aturan bagi para pengikut, mendapatkan pengakuan dunia internasional, dan keanggotaannya tidak terbatas pada satu etnis tertentu (Ramstedt 2004, Picard 2004, Bagus 2004). Geertz (1964) menyebut situasi dilematis yang dihadapi masyarakat Bali dengan internal conversion, di mana merupakan fenomena ambigu karena masyarakat Bali harus meredefenisikan dirinya sebagai Hindu yang sebenarnya sudah menjadi Hindu. Lain halnya yang terjadi di masa peralihan pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru yang diawali dengan peristiwa Gerakan 30 September. Pasca Gerakan 30 September, terjadi pembantaian massal di Bali yang berlangsung sejak bulan Desember 1965 sampai awal tahun 1966 (Robinson 1995, Rossa 2008). Peristiwa pembantaian massal tersebut menghancurkan identitas Bali sebagai paradise yang telah terkonstruksi sebelumnya. Namun, citra paradise tersebut segera direkonstruksikan kembali oleh Suharto (setelah berhasil menduduki kursi kepresidenan) dengan berkunjung ke Bali bulan November 1967 sebagai upaya memulihkan dan memajukan industri pariwisata di Bali sebagai tujuan pariwisata dunia (Robinson 1995, Vickers 1996). Pada era reformasi dan otonomi daerah (pasca jatuhnya Suharto tahun 1998) Bali menghadapi dilema atas kebertahanan dan keberlanjutan kebudayaan atau identitas kebaliannya. Industri pariwisata yang berkembang pesat dengan aliran dana investasi asing dianggap (para elit lokal di Bali) dapat menggerus 1 Sebelum mendapatkan pengakuan penuh dari pemerintah sebagai agama resmi, kepercayaan Hindu Bali digolongkan sebagai orang jang belum beragama (Geertz 1964, Ramstedt 2004). 8
3 kebudayaan Bali yang sebenarnya menjadi modal bagi industri pariwisata. Usaha Bali untuk mempertahankan kebudayaan Balinya tanpa menutup diri terhadap dunia luar disebut Schulte Nordholt (2007) sebagai benteng terbuka. Usaha tersebut diwancanakan dan berkembang menjadi sebuah fenomena Ajeg Bali wacana dan fenomena ini berkembang signifikan pasca aksi Bom Bali I dan II (Schulte Nordholt 2007). Dalam konteks Barat dan masyarakat jaringan di era informasi, Castells (2002) merumuskan tiga bentuk bangunan atau konstruksi identitas berdasarkan bentuk dan asal-usulnya, yaitu legitimizing identity (identitas yang sahih), resistance identity (identitas perlawanan), dan project identity (identitas proyek). Bila melihat sejarah atau proses pembentukan identitas Bali sebagai paradise yang dikonstruksikan oleh sebuah otoritas (pemerintah atau negara), maka pola bangunan atau konstruksi identitas Bali dapat dikategorikan ke dalam legitimizing identity. Dalam konteks identitas Bali yang terkonstruksi, pola yang dipakai adalah pola hubungan antara negara pusat dan satelit, bukan pola hubungan dalam masyarakat jaringan di era informasi seperti konteks Barat. Di masa pra-kolonial (kerajaan), negara pusat dijadikan sebagai percontohan negara satelit (daerah kekuasaan), di mana negara satelit ini mengorientasikan segala sesuatu dalam orbitnya (Geertz 1980: 11-9). Di masa kolonial dan pasca kolonial, pusat diduduki oleh pemerintah sebagai pihak yang berkuasa atau berwenang atas Bali, di mana Bali menjadi satelitnya. Melalui pola hubungan pusat dan satelit inilah identitas kebalian Bali dikonstruksi oleh pusat agar menjadi identitas yang sahih. Semester kedua (Juli-Agustus) tahun 1963 pasca letusan kedua Gunung Agung (16 Mei 1963) sekelompok masyarakat Bali di wilayah pegunungan Nusa Penida atas inisiatif sendiri memutuskan bertransmigrasi ke Lampung. Setelah melalui perjalanan panjang dari Nusa Penida ke Lampung dan berhasil melewati masa-masa awal yang sulit di daerah transmigrasi, komunitas transmigran Bali Nusa ini berhasil mendirikan sebuah desa yang bernama Balinuraga. Desa ini merupakan desa transmigran Bali Nusa yang berasal dari Dusun Soyor, Desa Tonglat, Nusa Penida. Saat ini Desa Balinuraga menjadi salah satu desa di wilayah Lampung Selatan yang mayoritas dihuni masyarakat Bali Nusa. Kedudukan Desa Balinuraga sebagai sebuah desa adat Bali Nusa sangat 9
4 jelas sama seperti desa adat yang ada di Bali. Sebagai sebuah komunitas Bali Hindu, Desa Balinuraga dengan ketujuh banjar-nya memiliki perangkat-perangkat desa adat dan infrastruktur-infrastruktur sosialkeagamaan penyanggah desa adat meskipun desa adat di Balinuraga menjadi satu dengan desa administratif. Salah satunya yang menjadi syarat mutlak berdirinya desa adat adalah Pura Kahyangan Tiga. Kedudukannya sebagai sebuah desa adat mempertegas posisi Desa Balinuraga sebagai sebuah negara satelit komunitas Bali Hindu di luar Bali menjadi sebuah desa yang dibangun di atas fondasi identitas kebalian. Pusat (Bali dan Nusa Penida) dijadikan satelit (Balinuraga) sebagai contoh bagaimana membangun sebuah negara Bali di luar Bali. Kedudukan pusat sebagai sebuah contoh menjadikannya dalam posisi yang pasif. Satelit berada dalam posisi yang aktif, karena komunitas ini sebagai sebuah desa atau negara dibangun secara mandiri. Satelit diberikan sebuah otonomi untuk membangun negara-nya berdasarkan konsep kala dan patra. Desa Balinuraga dengan identitas kebaliannya tidak menjadi ada dengan sendirinya. Ada proses pembentukan identitas di dalam komunitas ini. Tidak hanya kedudukannya sebagai sebuah desa adat, tetapi juga anggota komunitas (pawongan) di dalamnya yang terdiri dari tiga kelompok warga (klan) yang merupakan golongan jaba (non-bangsawan atau puri), yaitu Pasek, Pandé, dan Arya. Kedudukan warga-warga di Balinuraga diperkuat dengan keberadaan Pura Kawitan dan peran penting sulinggih warga sebagai pemimpin adat-keagamaan Ketika bertransmigrasi ke Lampung mereka sudah datang dengan identitasnya sebagai Bali Hindu, namun identitas tersebut belum matang. Pusat (Bali) pun masih diperhadapkan dengan proses pembentukan identitas melalui pengkonstruksian yang dilakukan oleh pemerintah maupun elit-elit yang ada di Bali. Kondisi di tahun 1963 adalah Bali masih berjuang mematangkan posisi kepercayaan mereka Hindu Bali sebagai sebuah agama resmi yang diakui oleh negara. Di sisi yang lain, golongan jaba di pusat masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan yang setara atas kedudukan, khususnya kesulinggihan warga, agar tidak tergantung penuh dengan dominasi pendeta brahmana. Ini merupakan bentuk dari resistance identity (identitas perlawanan) yang dibangun oleh golongan jaba. Di samping itu, sebagian transmigran belum memiliki identitas warga yang 10
5 jelas terkait dengan kedudukan Pulau Nusa Penida yang dijadikan wilayah pembuangan di masa kerajaan 2. Identitas warga yang menjadi basis kebalian mereka masih perlu mendapatkan legitimasi dari pusat (Bali) yang diwakili oleh lembaga formal warga-warga yang berada di bawah naungan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia). Faktanya adalah Balinuraga dengan kedudukannya sebagai negara satelit tidak dapat melepaskan dirinya dengan pusat (Bali). Pusat dibutuhkan untuk melegitimasi identitas kebalian mereka, sekaligus menjadi contoh membangun komunitas mereka sebagai sebuah desa adat dengan identitas kebaliannya, baik sistem desa maupun infrastrukturinfrastruktur sosial (adat-keagamaan). Begitu pula sebaliknya, pusat membutuhkan negara satelit komunitas Bali di luar Bali seperti di Balinuraga untuk memperkuat kedudukannya, baik melalui donasi dana maupun massa. Fakta ini diperkuat dengan penelitian Geertz (1959) yang menyebutkan bahwa masyarakat Bali memiliki ikatan-ikatan sosial yang bersifat mengikat, seperti kewajiban agama dan adat pada pura tertentu (dadya, paibon, kahyangan tiga), banjar, subak, status sosial (wangsa), ikatan kekerabatan berdasarkan ikatan darah dan perkawinan, keanggotaan terhadap seka tertentu dan keperbekelan 3. Kuatnya ikatan ini menyebabkan mengapa Balinuraga sebagai satelit tidak dapat melepaskan dirinya dari pusat setelah berada di luar Bali. Sebagai pusat Bali tetap menjadi acuan bagi Balinuraga sebagai satelit atas identitas kebaliannya. Pola hubungan pusat dan satelit Balinuraga dan Bali menjadi penting dalam proses pembentukan identitas komunitas Balinuraga melalui proses pengkonstruksian identitas kebalian oleh pusat dalam bentuk legitimizing identity, menggambarkan identitas kebalian Balinuraga, dan usaha pelestarian identitas yang dilakukan. Menjadi penting dikarenakan pusat dan satelit sama-sama sedang dalam proses pembentukan identitas, dan Balinuraga sebagai satelit membutuhkan pusat sebagai acuan dan melegitimasi identitas kebaliannya sekaligus sebagai konstruktor identitas. 2 Lihat: David Stuart-Fox (2002), Pura Besakih: Temple, religion and society in Bali, Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. 3 Geertz (1959) dalam Form and Variation in Bali Village Structure, dalam American Antropologist Vol. 61. Pp , 11
6 Di sisi lain, meskipun satelit mengorbit pada pusat dengan menjadikannya sebagai acuan, namun satelit memiliki otonomi membentuk resistance identity. Faktor jarak antara pusat dan satelit, kemandirian Balinuraga membangun negara-nya, lingkungan baru yang berbeda dengan pusat, serta filosofi kala dan patra menjadi faktor penting satelit membentuk resistance identity dan project identity (bentuk politik identitas). Seperti yang ditunjukkan kasus upacara ngaben di Balinuraga. Prosedur atau tata upacara (dan upakara) mengikuti prosedur umum seperti yang ada di pusat. Namun dengan adanya faktor-faktor di atas, mereka (pihak penyelenggara upacara ngaben di Balinuraga) sebagai golongan jaba memiliki kemampuan (otonomi) untuk membentuk resistance identity. Ini ditunjukkan dengan bagaimana mereka membangun bade yang berbeda dengan yang umumnya digunakan di pusat dan menggunakan lembu sebagai patulangan (sarana penempatan pitra). Oleh karena itu, pola hubungan pusat-satelit dijadikan sebagai alat analisa untuk menggambarkan dan menjelaskan proses pembentukan identitas, identitas kebalian Balinuraga, dan usaha pelestarian identitas. Ini bukan pola hubungan pusat-satelit yang kaku seperti yang digambarkan oleh Geertz (1980) dalam negara teater. Satelit tetap menjadikan pusat sebagai acuan identitas kebalian, namun satelit dengan otonominya menjadikan memiliki posisi yang independent sekaligus dependt. Terkait identitas kebalian di Balinuraga dan berdasarkan realitas di atas menuntun pada tiga pertanyaan penelitian: (1) bagaimana proses pembentukan identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga; (2) seperti apakah identitas kebalian di Balinuraga; (3) bagaimana proses pelestarian identitas yang dilakukan sebagai bagian dari proses pembentukan identitas itu sendiri. Untuk pertanyaan penelitian pertama hal lain yang perlu ditilik lebih jauh adalah aktor-aktor (agen, patron) yang memegang peranan penting dalam proses pembentukan identitas kebalian di Balinuraga, proses pembentukan identitas itu sendiri, dan faktorfaktornya. Pada pertanyaan penelitian kedua adalah sejauh mana sistem sosial kemasyarakat Bali Hindu yang mencerminkan identitas kebalian mereka dilaksanakan setelah berada di Lampung, dan dalam (bentuk) apa identitas kebalian itu dimanifestasikan. Pada pertanyaan penelitian ketiga 12
7 adalah kondisi apa yang menyebabkan mereka melestarikan identitasnya, serta upaya apa yang dilakukan dalam upaya pelestarian identitas. Ketiga pertanyaan penelitian tersebut memberikan gambaran yang komprehensif dinamika identitas kebalian di Lampung. Dalam kasus ini adalah komunitas Bali Nusa di Balinuraga. Bermula dari anggapan bahwa identitas kebalian yang ada di dalam komunitas ini tidak menjadi ada dengan sendirinya. Ada proses pembentukan identitas yang melibatkan proses pengkonstruksian. Melalui proses pembentukan identitas tersebut dapat dilihat gambaran atau deskripsi atas identitas kebalian mereka dan kaitannya dengan proses pembangunan, serta menunjukkan bahwa proses pembentukan identitas itu sendiri terkait erat bagaimana komunitas ini melestarikan identitasnya. Dikarenakan identitas kebalian di Balinuraga dalam proses pembentukannya tidak dapat berdiri sendiri dan melepaskan diri dari Bali sebagai pusat atau induk dari identitas kebalian mereka, maka pola hubungan pusat-satelit menjadi soko guru dalam penelitian ini. Dengan kata lain, untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tersebut, maka turut disertakan kajian tentang proses pembentukan identitas Bali yang terkonstruksi sebagai sebuah kesatuan. Artinya, untuk mengkaji komunitas Bali Nusa di Balinuraga, tidak dapat dilepaskan dari Nusa Penida dan Bali sebagai pusat dari identitas kebalian mereka. Secara keseluruhan disertasi ini tersusun menjadi tujuh bab. Bab Dua merupakan telaah literatur mengenai identitas dan Bali. Bagian pertama lebih mengedepankan diskusi singkat secara teoritis atau konseptual tentang identitas dari berbagai ragam atau variasi dari berbagai pemikir tentang identitas, lebih bersifat abtrak tentang identitas itu sendiri. Bagian kedua lebih mengedepankan atau difokuskan pada identitas Bali yang terkonstruksi. Tidak semua literatur dimasukkan dalam diskusi ini, karena beberapa literatur lainnya sudah dimasukkan atau dijadikan satu dalam pembahasan pada bab-bab berikutnya. Bab Tiga merupakan uraian mengenai kesejarahan yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama dalam Bab Tiga menjelaskan sejarah migrasi Bali Nusa. Melalui sejarah migrasi dapat diketahui bahwa proses migrasi Bali Nusa berdampak atas proses pembentukan identitasnya dan identitasnya itu sendiri. Bagian kedua membahas mengenai sejarah mikro Balinuraga dan posisinya saat ini sebagai desa administratif. 13
8 Bab Empat menjelaskan proses pembentukan identitas di Balinuraga. Tema-tema pokok yang diuraikan adalah aktor-aktor sentral pembentuk (konstruktor) identitas Bali Nusa (individu sebagai patron, komunitas, dan lembaga formal), perjalanan identitas Bali Nusa (proses pembentukan identitas), dan faktor-faktor pembentuk identitas. Bab Lima mendeskripsikan identitas kebalian di Balinuraga dan proses pembangunan di dalamnya. Melalui pendeskripsian ini dapat dilihat bagaimana kompleksitas identitas kebalian dan eksistensinya, serta bagaimana keberfungsian sistem sosial dalam masyarakat Bali di Balinuraga yang menjadi identitas kebaliannya menjadi satu dalam proses pembangunan komunitas ini. Bab Enam menjelaskan kondisi yang menyebabkan komunitas Balinuraga melestarikan identitasnya dan upaya pelestarian identitas. Menjadi benteng tertutup adalah gambaran bagaimana komunitas Balinuraga melestarikan identitas kebaliannya sebagai bagian dari proses pembentukan identitas itu sendiri. Bab Tujuh atau bab terakhir dalam disertasi ini merupakan kesimpulan hasil penelitian mengenai proses pembentukan identitas, kompleksitas sebuah identitas, dan pelestarian identitas, serta signifikansinya terhadap studi pembangunan. 14
Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam masyarakat Bali pra-kolonial yang menunjukkan
Bab VII. KESIMPULAN Pembentukan identitas merupakan sebuah proses yang dinamis. Proses ini tidak terhenti pada satu titik tertentu, tetapi terus berjalan seiring dengan berjalannya waktu dan sejarah identitas
Lebih terperinciBAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS
BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS Bab keempat dilandaskan pertanyaan penelitian pertama, yaitu bagaimana proses pembentukan identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga. Untuk menggambarkan
Lebih terperinciBAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN
BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN Bab Lima merupakan deskripsi bentuk identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Balinuraga. Sebuah (bentuk) identitas kebalian yang kompleks, tidak kaku (monoton) dan
Lebih terperinciBab I. Pendahuluan. muncul adalah orang yang beragama Hindu. Dan identitasnya seringkali terhubung
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Jika seseorang mendengar kata pura maka asosiasinya adalah pulau Bali dan agama Hindu. Jika seseorang mengaku berasal dari Bali maka asosiasi yang muncul adalah orang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana
Lebih terperinciMEMBALI di LAMPUNG. STUDI KASUS IDENTITAS KEBALIAN di DESA BALINURAGA, LAMPUNG SELATAN. Yulianto. Program Pascasarjana
Program Pascasarjana MEMBALI di LAMPUNG STUDI KASUS IDENTITAS KEBALIAN di DESA BALINURAGA, LAMPUNG SELATAN Yulianto Universitas Kristen Satya Wacana MEMBALI di LAMPUNG STUDI KASUS IDENTITAS KEBALIAN di
Lebih terperinciBAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam
BAB V P E N U T U P A. Kesimpulan Berdasarkan uraian bab demi bab dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam kepercayaan kepada Gikiri Moi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang unik. Bali dipandang sebagai daerah yang multikultur dan multibudaya. Kota dari provinsi Bali adalah
Lebih terperinciberagam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara majemuk yang dikenal dengan keanekaragaman suku dan budayanya, dimana penduduk yang berdiam dan merupakan suku asli negara memiliki
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. merupakan suatu hal yang dapat memperlambat lajunya pembangunan, walaupun
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara yang sedang melaksanakan pembangunan selalu dihadapkan pada masalah penduduk dan peningkatan pendapatan penduduk. Kedua permasalahan di atas merupakan suatu hal
Lebih terperinciBAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITAS
BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITAS Kata benteng secara umum diartikan sebagai sebuah tempat untuk melindungi diri dari serangan musuh. Kata benteng (fortrees) digunakan oleh Schulte Nordholt (2007) untuk
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dari pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan daerah lainnya. Hal tersebut
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang terletak di pulau Sumatera, tepatnya berada di ujung Pulau Sumatera yang merupakan pintu masuk pendatang dari pulau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika
1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kasta merupakan suatu sistem pembagian atau pengelompokan masyarakat berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tersebut bekerja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan dibagi menjadi empat sub-bab yang berisi mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan metode perancangan dari seminar tugas akhir. Pembahasan latar belakang menguraikan
Lebih terperinciKesimpulan. Bab Sembilan
Bab Sembilan Kesimpulan Rote adalah pulau kecil yang memiliki luas 1.281,10 Km 2 dengan kondisi keterbatasan ruang dan sumberdaya. Sumberdayasumberdaya ini tersedia secara terbatas sehingga menjadi rebutan
Lebih terperinciKONSEP DASAR SOSIOLOGI PERDESAAN. Pertemuan 2
KONSEP DASAR SOSIOLOGI PERDESAAN Pertemuan 2 BERBAGAI KESATUAN HIDUP 1. Keluarga 2. Golongan/ kelompok 3. Masyarakat INDIVIDU Sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi lagi, satuan terkecil dan terbatas Individu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakatmasyarakat suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa atau nasion (nation),
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, kepercayaan kepada leluhur
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desa Adat Kuta sebagaimana desa adat lainnya di Bali, merupakan suatu lembaga adat yang secara tradisi memiliki peran dalam mengorganisasi masyarakat dan menyelenggarakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dahulu masalah kasta atau wangsa merupakan permasalahan yang tak kunjung sirna pada beberapa kelompok masyarakat di Bali, khususnya di Denpasar. Pada zaman
Lebih terperinci66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)
66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan
Lebih terperinciPENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda
YURISKA, VOL. 2, NO. 1, AGUSTUS 2010 72 PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda ABSTRAK Hubungan
Lebih terperinci5. Materi sejarah berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
13. Mata Pelajaran Sejarah Untuk Paket C Program IPS A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kerajaan Jawa dipegang oleh raja baru dari Kerajaan Majapahit. Majapahit merupakan
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Setelah era kerajaan Kediri mengakhiri kekuasaannya akibat penyerbuan dari Raden Wijaya sebagai aksi pembalasan karena telah menghancurkan Singhasari, praktis percaturan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010.
BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan 7 sub bab antara lain latar belakang penelitian yang menjelaskan mengapa mengangkat tema JFC, Identitas Kota Jember dan diskursus masyarakat jaringan. Tujuan penelitian
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil. Dalam sistem ini dijelaskan bahwa kepala eksekutif
Lebih terperinciProblem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan
Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160906163356-21-156465/problem-papua-dan-rapuhnya-relasi-kebangsaan/ Arie Ruhyanto, CNN Indonesia Kamis, 15/09/2016 08:24
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya ini pemerintah berupaya mencerdaskan anak bangsa melalui proses pendidikan di jalur
Lebih terperinci3. Proses Sosial dalam Hubungan Antaretnik di Desa Pakraman Ubud a. Proses Sosial Disosiatif b. Proses Sosial Asosiatif...
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PERSETUJUAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv UCAPAN TERIMAKASIH... vi ABSTRAK... xi ABSTRACT... xii DAFTAR ISI... xiii DAFTAR TABEL... xvii DAFTAR GAMBAR...
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas
BAB V KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dari temuan penelitian di lapangan dan didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas penguasaan tanah ulayat oleh negara sejak masa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menguntungkan, salah satunya adalah pertukaran informasi guna meningkatkan. ilmu pengetahuan diantara kedua belah pihak.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebuah bangsa besar adalah bangsa yang memiliki masyarakat yang berilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari berbagai sumber, misalnya lembaga
Lebih terperinciBAB VI SIMPULAN DAN SARAN
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Sentralisme pemerintahan yang telah lama berlangsung di negeri ini, cenderung dianggap sebagai penghambat pembangunan daerah. Dari sekian banyak tuntutan yang diperhadapkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Bali selama ini dikenal dengan kebudayaannya yang khas. Beragam tradisi yang mencerminkan adat Bali menarik banyak orang luar untuk melihat lebih dekat keunikan
Lebih terperinciTugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater : Clifford Geertz : Isnan Amaludin : 08/275209/PSA/1973
Tugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater Penulis : Clifford Geertz Oleh : Isnan Amaludin NIM : 08/275209/PSA/1973 Prodi : S2 Sejarah Geertz sepertinya tertarik pada Bali karena menjadi suaka
Lebih terperinciEXECUTIVE SUMMARY Kajian Evaluasi Pembentukan, Pemekaran, Penggabungan dan Penghapusan Daerah
EXECUTIVE SUMMARY Kajian Evaluasi Pembentukan, Pemekaran, Penggabungan dan Penghapusan Daerah Era reformasi yang ditandai dengan meningkatnya tuntutan untuk melakukan pemekaran daerah berjalan seiring
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menentukan arah/kebijakan pembangunan. 2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulau Bali sebagai daerah yang terkenal akan kebudayaannya bisa dikatakan sudah menjadi ikon pariwisata dunia. Setiap orang yang mengunjungi Bali sepakat bahwa
Lebih terperinciLatar Belakang BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam meningkatkan pelayanan di bidang pemerintahan yang sifatnya memberikan kemudahan bagi warga masyarakat, dibentuklah Kabupaten Bengkayang yang merupakan daerah pemekaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kita hidup ditengah derasnya perkembangan sistem komunikasi. Media massa adalah media atau sarana penyebaran informasi secara massa dan dapat diakses oleh masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbicara dalam konteks pendidikan formal. Mahasiswa dalam peraturan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan sebuah status yang disandang seseorang ketika ia menjalani pendidikan formal pada sebuah perguruan tinggi. Seseorang dapat dikatakan sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Hal ini dapat dilihat pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Hal ini dapat dilihat pada pembagian wilayah
Lebih terperinciPEDOMAN PRAKTIKUM.
PEDOMAN PRAKTIKUM 1 PENGEMBANGAN SILABUS DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN SEJARAH Oleh : SUPARDI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik dan memiliki wilayah kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman etnis, budaya, adat-istiadat serta agama. Diantara banyaknya agama
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan ini merupakan inti pembahasan yang disesuaikan dengan permasalahan penelitian yang dikaji. Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian
Lebih terperinciSEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG
Jurnal Sejarah. Vol. 1(1), 2017: 151 156 Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia DOI: 10.17510/js.v1i1. 59 SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG Sumber Gambar: Tempo.co Professor
Lebih terperinciHubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni
Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni INDUSTRIALISASI DAN PERUBAHAN SOSIAL Industrialisasi menjadi salah satu strategi pembangunan ekonomi nasional yang dipilih sebagai
Lebih terperinciBAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945
BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945 Menjawab Permasalahan dan Tujuan Penelitian Permasalahan penelitian kedua ialah, bagaimana kekuasaan beroperasi dengan membentuk dan mengelola beragam diskursus dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali telah terkenal dengan kebudayaannya yang unik, khas, dan tumbuh dari jiwa Agama Hindu, yang tidak dapat dipisahkan dari keseniannya dalam masyarakat yang berciri
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hampir semua negara majemuk termasuk Indonesia mempunyai kelompok minoritas dalam wilayah nasionalnya. Kelompok minoritas diartikan sebagai kelompok-kelompok
Lebih terperinciBAB V PENUTUP A. Kesimpulan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan pemekaran kabupaten Simalungun. Adanya pergantian anggota dewan untuk 5 tahun ke depan pasca
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemekaran kabupaten Simalungun seperti sebuah kemustahilan, hal ini jika dilihat dari pertama kali dilontarkan tanggal 22 Juni 2001 sampai sekarang belum terealisasi.
Lebih terperinciKONSEP DASAR SOSIOLOGI PERDESAAN. Pertemuan 2
KONSEP DASAR SOSIOLOGI PERDESAAN Pertemuan 2 BERBAGAI KESATUAN HIDUP 1. Individu 2. Keluarga 3. Golongan/ kelompok 4. Masyarakat INDIVIDU Sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi lagi, satuan terkecil dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memberikan identitas kultural terhadap seseorang (Jayanti, 2008: 48).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dunia fashion terus mengalami kemajuan sehingga menghasilkan berbagai trend mode dan gaya. Hal ini tidak luput dari kemajuan teknologi dan media sehingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi masih menjadi masalah mendasar di dalam berjalannya demokrasi di Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi menjadi terhambat.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mulai dilaksanakan pada tanggal 1 januari 2001, pemekaran daerah kabupaten dan kota dan juga propinsi menjadi suatu
Lebih terperinci"Ojo Dumeh" Peningkatan Kapasitas Perangkat Desa. Ivanovich Agusta
"Ojo Dumeh" Peningkatan Kapasitas Perangkat Desa Ivanovich Agusta Kegiatan peningkatan kapasitas perangkat desa menyisakan kekhawatiran dominasi birokrasi kepada warga. Kepala desa dan aparatnya mendominasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. penerima program pembangunan karena hanya dengan adanya partisipasi dari
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Strategi pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung dari masyarakat penerima program
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Terjadinya perkawinan yang dilakukan oleh para pendatang Flores
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Terjadinya perkawinan yang dilakukan oleh para pendatang Flores dengan orang kampung merupakan sebuah intrumen agar dualitas para pendatang dan orang kampung kemudian menjadi
Lebih terperinciBAB V PENUTUP KESIMPULAN. Rangkaian perjalanan sejarah yang panjang terhadap upaya-upaya dan
BAB V PENUTUP KESIMPULAN Rangkaian perjalanan sejarah yang panjang terhadap upaya-upaya dan Strategi Republik Kosovo dalam Proses Mencapai Status Kedaulatannya pada Tahun 2008 telah berlangsung sejak didirikannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Rencana reklamasi Teluk Benoa ini digagas oleh PT Tirta Wahana Bali
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setidaknya sejak 2013 terjadi perdebatan di lingkup masyarakat Bali pada khususnya dan nasional juga internasional pada umumnya yang dikarenakan adanya rencana untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara dan Gereja dalam hal subjeknya mempunyai kesamaan yakni warganegara (Sulasmono, 2010:17). Hal ini sejalan dengan pendapat Darmaputera (1994:16) yang menyatakan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. Pada kehidupan masyarakat pulau Ende pertukaran menjadi dasar dari
BAB V KESIMPULAN Pada kehidupan masyarakat pulau Ende pertukaran menjadi dasar dari perekonomiannya. Melalui pertukaran, relasi yang terbangun antar kerabat menjadi kuat. Akan tetapi, di samping itu relasi
Lebih terperinciRENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( RPP ) A. Standar Kompetensi : Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan mobilitas sosial
PEMERINTAH KABUPATEN BANTUL DINAS PENDIDIKAN MENENGAH DAN NON FORMAL SMA NEGERI 1 BANGUNTAPAN Ngentak Baturetno Banguntapan Bantul Yogyakarta 55197 Telepon (0274) 4436140 RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan dan kebiasaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas atau jatidiri mereka. Kebudayaan yang
Lebih terperinci8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI
8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), Negara Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. transportasi telah membuat fenomena yang sangat menarik dimana terjadi peningkatan
BAB V KESIMPULAN Mencermati perkembangan global dengan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi telah membuat fenomena yang sangat menarik dimana terjadi peningkatan arus perjalanan manusia yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menduduki peringkat 70 dari 140 negara di dunia (sumber : Tribunenews.com 13
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keindahan alam dan daya tarik pariwisata. Daya tarik serta daya saing pariwisata Indonesia sendiri kini menduduki peringkat
Lebih terperinciMata Pelajaran : Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ) Satuan Pendidikan : SMP 1 Karangdadap Kelas/Semester : VII s/d IX /1-2
PERANGKAT PEMBELAJARAN STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR Mata Pelajaran : Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ) Satuan Pendidikan : SMP 1 Karangdadap Kelas/Semester : VII s/d IX /1-2 Nama Guru : Rina Suryati,
Lebih terperinciBAB VI P E N U T U P
188 BAB VI P E N U T U P A. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan antara lain: Pertama, peran kiai pondok pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata dalam dinamika politik ada beberapa bentuk, yakni
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan 1.1.1. Latar Belakang Desa pakraman, yang lebih sering dikenal dengan sebutan desa adat di Bali lahir dari tuntutan manusia sebagai mahluk sosial yang tidak mampu hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali sebuah pulau kecil dengan beribu keajaiban di dalamnya. Memiliki keanekaragaman yang tak terhitung jumlahnya. Juga merupakan sebuah pulau dengan beribu kebudayaan
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PURA AGUNG BESAKIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PURA AGUNG BESAKIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Kawasan Pura Agung Besakih
Lebih terperinciSekilas Perkawinan Dini di Bali. Sita T. van Bemmelen
Sekilas Perkawinan Dini di Bali Sita T. van Bemmelen Perkawinan Dini: usia minimal U.U. Perkawinan 1974: 16 tahun untuk perempuan, 18/19 untuk laki-laki (patokan untuk kontribusi ini) Walau ada perubahan
Lebih terperincikinerja DPR-GR mengalami perubahan, manakala ada keberanian dari lembaga legislatif untuk kritis terhadap kinerja eksekutif. Pada masa Orde Baru,
i K Tinjauan Mata Kuliah onsep perwakilan di Indonesia telah terejawantahkan dalam berbagai model lembaga perwakilan yang ada. Indonesia pernah mengalami masa dalam pemerintahan parlementer meski dinyatakan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Bertolak dari pemaparan hasil penelitian dan penggkajian dengan menggunakan prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang dapat disimpulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perekonomian dan pembangunan di Bali sejak tahun 1970-an. Oleh karena itu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan salah satu daerah tujuan wisata internasional yang sangat terkenal di dunia. Sektor kepariwisataan telah menjadi motor penggerak perekonomian dan pembangunan
Lebih terperinci2017, No Pemajuan Kebudayaan Nasional Indonesia secara menyeluruh dan terpadu; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hur
No.104, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DIKBUD. Kebudayaan. Pemajuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6055) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Partai politik merupakan fenomena modern bagi negara-negara di dunia.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partai politik merupakan fenomena modern bagi negara-negara di dunia. Istilah tersebut baru muncul pada abad 19 Masehi, seiring dengan berkembangnya lembaga-lembaga
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menganut paham demokrasi, dan sebagai salah satu syaratnya adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Semenjak Arab Saudi didirikan pada tahun 1932, kebijakan luar negeri
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak Arab Saudi didirikan pada tahun 1932, kebijakan luar negeri Arab Saudi pada dasarnya berfokus pada kawasan Timur Tengah yang dapat dianggap penting dalam kebijakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Bentrokan massa kembali terjadi di Kabupaten Lampung Selatan antara Desa
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bentrokan massa kembali terjadi di Kabupaten Lampung Selatan antara Desa Agom Kalianda dan sekitarnya dengan massa Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji Lampung Selatan pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Desa atau yang disebut dangan nama lainnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah suatu kesatuan masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)
BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) menyebutkan bahwa tujuan dari dibentuknya negara Indonesia adalah:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nasionalisme adalah suatu konsep dimana suatu bangsa merasa memiliki suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes (Chavan,
Lebih terperinciBAB I PASAR SENI DI WAIKABUBAK SUMBA BARAT NTT ARSITEKTUR TRADISIONAL SEBAGAI ACUAN PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
BAB I PASAR SENI DI WAIKABUBAK SUMBA BARAT NTT ARSITEKTUR TRADISIONAL SEBAGAI ACUAN PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuatu yang hidup dialam ini merupakan makluk hidup
Lebih terperinciMASUKNYA HINDU-BUDHA KE INDONESIA
MASUKNYA HINDU-BUDHA KE INDONESIA A. Masuknya Hindu Ada pendapat yang menganggap bahwa bangsa Indonesia bersikap Pasif dan hanya menerima saja pengaruh budaya yang datang dari India. Menurut para ahli
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi itu telah mewujudkan Negara
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan
BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang baru pertama kali dilakukan di dalam perpolitikan di Indonesia, proses politik itu adalah Pemilihan
Lebih terperinciPOLITICS AND GOVERNANCE IN INDONESIA:
MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN BEDAH BUKU POLITICS AND GOVERNANCE IN INDONESIA: THE POLICE IN THE ERA OF REFORMASI (RETHINKING
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki aneka ragam budaya. Budaya pada dasarnya tidak bisa ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan individu yang ada dari
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Negara Indonesia ini terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat, pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan perempuan dan
Lebih terperinciPENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Identitas Nasional. Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Hubungan Masyarakat. Ramdhan Muhaimin, M.Soc.
Modul ke: 03 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Identitas Nasional Fakultas Ilmu Komunikasi Program Studi Hubungan Masyarakat Ramdhan Muhaimin, M.Soc.Sc Sub Bahasan 1. Pengertian Identitas Nasional 2. Parameter
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan Daerah Istimewaan yang berbeda dengan Provinsi yang lainnya,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yogyakarta merupakan Daerah Istimewaan yang berbeda dengan Provinsi yang lainnya, dimana Gurbenur dan Wakil Gurbenur tidak dipilih secara demokrasi tetapi merupakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam hubungannya
Lebih terperinciPELAYANAN KONSULTASI ADAT/BUDAYA BALI BALI SHANTI UNIVERSITAS UDAYANA Astariyani 1 N. L. G., I K. Sardiana 2 dan W. P.
1 PELAYANAN KONSULTASI ADAT/BUDAYA BALI BALI SHANTI UNIVERSITAS UDAYANA Astariyani 1 N. L. G., I K. Sardiana 2 dan W. P. Windia 1 ABSTRACT The present community service aimed to give consultation in order
Lebih terperinci