BAB I PENDAHULUAN. berarti batu, sehingga dapat diartikan sebagai batu besar (Soejono, 2010).
|
|
- Suparman Kurniawan
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Megalitik berasal dari kata mega yang berarti besar dan lithos yang berarti batu, sehingga dapat diartikan sebagai batu besar (Soejono, 2010). Sebagian besar tinggalan megalitik terbuat dari susunan batuan monolit yang memiliki ukuran relatif besar, seperti menhir, dolmen, ataupun punden berundak. Berdasarkan makna kata dan tinggalan-tinggalan megalitik tersebut, megalitik selalu dikaitkan dengan budaya batu besar. Tidak hanya terkait dengan budaya batu besar, megalitik juga memiliki keterkaitan dengan pemujaan terhadap nenek moyang. Hal ini terlihat dari upacara yang dilakukan sebelum mendirikan bangunan atau monumen megalitik. Upacara ini selalu dikaitkan dengan penghormatan terhadap kematian tetua mereka atau perwujudan rasa hormat mereka terhadap nenek moyang yang telah meninggal. Oleh karena itu, dapat disimpulkan terdapat dua macam fungsi dan budaya megalitik, yaitu berkaitan dengan upacara atau ritual tertentu dan penguburan (Sukendar, tt:55). Tinggalan megalitik tersebar hampir di seluruh Kepulauan Indonesia, antara lain ditemukan di Pulau Sulawesi, Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Bali dan Lombok. Tinggalan megalitik tersebut memiliki beberapa variasi, seperti dolmen, menhir, punden berundak, meja batu, jalan
2 2 batu, watu kandang, dan kolam batu. Salah satu lokasi tinggalan megalitik adalah Pulau Sumba, di Kepulauan Nusa Tenggara, yang dapat ditemukan dolmen dan menhir yang masih digunakan sebagai bagian dari upacara penguburan yang masih dilakukan masyarakat Sumba hingga saat ini. Di Pulau Sumatra bagian utara terdapat dolmen yang berfungsi sebagai wadah kubur. Dolmen yang juga ditemukan di Pulau Nias dikenal oleh masyarakat Nias sebagai Niogadi. Dolmen tersebut dibangun untuk menghormati nenek moyang perempuan mereka (Munandar, tt: 151). Soejono tahun 2010 dalam Sejarah Nasional Indonesia 1 menyebutkan bahwa budaya-budaya megalitik ini berkembang sesuai dengan corak budaya lokal dalam kondisi masa sekarang (Soejono, 2010:448). Budaya-budaya megalitik tersebar di kepulauan Indonesia dan beberapa di antaranya masih berlangsung, bahkan berkembang sesuai dengan budaya setempat. Salah satu contoh keberlangsungan budaya megalitik tersebut terlihat di Bukit Tutari, Doyo Lama, Irian Jaya, sebagaimana yang telah dituliskan oleh Johny Eko Nugroho dalam skripsi tahun Skripsi tersebut menjelaskan keberlangsungan budaya megalitik yang disesuaikan dengan budaya setempat. Selain Papua, masyarakat di daerah Toraja, Sulawesi Selatan juga masih menjalankan budaya megalitik. Hal ini tampak dalam upacara penguburan yang berlangsung di Toraja, yakni sebelum mayat anggota keluarga mereka dimasukkan dalam peti kayu dan diletakkan dalam gua, masyarakat Toraja
3 3 melaksanakan upacara pemotongan babi sebagai ritual yang menghantarkan arwah orang yang telah meninggal. Tinggalan megalitik yang tersebar di kepulauan Indonesia hampir seluruhnya berkaitan dengan batu besar, seperti yang telah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya. Akan tetapi pada perkembangan penelitian megalitik saat ini, beberapa peneliti berpendapat bahwa budaya megalitik tidak selalu berkaitan dengan budaya batu besar. Hal ini dibuktikan oleh Jajang Agus Sonjaya dengan penelitian megalitiknya di Pulau Nias pada tahun Berdasarkan laporan penelitiannya Sonjaya menyatakan bahwa dalam upacara di Nias yang terkait dengan hal sakral sudah tidak disertai dengan pendirian monumen batu besar, bahkan pada masa sekarang batu-batu besar yang dahulu dibangun sudah tidak digunakan sesuai tujuan pendiriannya. Beberapa menhir dan dolmen yang terdapat di tengah desa saat ini digunakan sebagai tempat untuk menjemur hasil kebun dan pakaian. Hal ini terkait dengan adanya perkembangan agama baru yang melarang pendirian batu-batu besar. Pada saat ini walaupun masyarakat di Desa Boronadu (Nias) tetap melakukan upacara, akan tetapi mereka sudah tidak melakukan pendirian monumen batu besar lagi. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa untuk penguburan anggota keluarga mereka dilakukan upacara pemotongan babi, walaupun pendirian menhir tidak dilakukan lagi. Beberapa upacara bahkan disesuaikan untuk kepentingan agama baru mereka. Hal ini tampak pada pendirian altar doa tempat ibadah mereka saat
4 4 ini. Altar doa tersebut menggunakan meja batu yang mereka ambil di tengah hutan dengan mengadakan upacara pemotongan babi (Sonjaya, 2008:99). Pada artikel yang berjudul The Continuity of Megalithic Culture and Dolmen in Indonesia, Agus Aris Munandar, menyatakan pula bahwa budaya megalitik tidak selalu berkaitan dengan budaya batu besar. Berdasarkan artikel tersebut, dapat diketahui rumah adat dapat mencerminkan budaya megalitik. Lokasi yang diambil sebagai tempat penelitan adalah Pulau Kalimantan dan Lombok yang memiliki tinggalan rumah adat yang disebut sandung dan lumbung. Rumah sandung di Kalimantan difungsikan sebagai tempat penyimpanan tengkorak anggota keluarga yang telah meninggal, sedangkan pada bagian atap bangunan lumbung difungsikan sebagai tempat penyimpanan padi. Kedua konsep rumah tersebut merupakan perkembangan dari budaya megalitik yang telah ada sebelumnya, karena fungsi sandung sebagai tempat untuk tulang orang yang telah mati dianggap sebagai perwujudan dolmen yang berkaitan dengan pemujaan terhadap nenek moyang, sedangkan lumbung yang memposisikan padi pada bagian atas bangunan, menggambarkan fungsi padi yang sakral dalam budaya megalitik (Munandar, tt:152). Perkembangan budaya megalitik di setiap daerah Indonesia sangat beragam apabila dilihat dari lokasi, perkembangan budaya maupun kuantitas tinggalan megalitik, termasuk perkembangan budaya megalitik di Pulau Jawa. Di pulau ini banyak tinggalan megalitik yang ditemukan pada puncak gunung. Beberapa penelitian yang membuktikan hal tersebut antara
5 5 lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Andhika Arief Drajat Priyatno tahun 2010 di Gunung Muria. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tinggalan megalitik dengan masyarakat pendukungnya saat ini. Penelitian lainnya dilakukan pada Gunung Wilis oleh Dias Maradona. Pada Gunung Wilis tinggalan megalitik juga tersebar di kawasan puncaknya, sama seperti gunung-gunung di Pulau Jawa lainnya, seperti Argopuro dan Welirang. Gunung-gunung yang telah disebutkan di atas merupakan lokasi yang dianggap suci oleh masyarakat sekitarnya, termasuk diantaranya adalah Gunung Lawu yang memiliki tinggalan megalitik pada kawasan puncak maupun lereng-lerengnya. Puncak gunung sampai saat ini masih dianggap sebagai tempat bertemunya manusia dengan Tuhan. Hal ini telah ditulis oleh H. Quaritch Wales pada tahun 1953 dalam buku The Mountains of God. Kepercayaan yang berkaitan dengan kesakralan puncak gunung tersebut masih dapat ditemukan juga pada kawasan puncak Gunung Lawu. Hingga saat ini di puncak Gunung Lawu tradisi ritual 1 Suro. Dalam tradisi ini masyarakat pendukungnya memanfaatkan tinggalan megalitik pada kawasan Gunung Lawu untuk melakukan ritual tertentu. Tinggalan megalitik yang terdapat di kawasan puncak Gunung Lawu seringkali diasosiasikan dengan sejarah Kerajaan Majapahit. Legenda menyebutkan bahwa gunung ini merupakan tempat moksa raja terakhir Kerajaan Majapahit, yakni Prabu Brawijaya. Berdasarkan beberapa toponim di Gunung Lawu seperti Padang Bulak Paparangan diasumsikan
6 6 bahwa telah terjadi peperangan yang besar sehingga menyebabkan Prabu Brawijaya moksa. Toponim yang dikenal pada jalur pendakian lereng barat, pos keempat tersebut diyakini sebagai tempat bertahan Brawijaya pada saat Kerajaan Demak menyerang. Tidak hanya toponim, beberapa legenda yang berkembang di masyarakat juga menceritakan bahwa situs punden berundak Argo Dalem timur merupakan tempat pertapaan Prabu Brawijaya. Pada daerah puncak Gunung Lawu juga ditemukan sejumlah punden berundak. Balar Yogyakarta melaporkan bahwa di puncak Lawu terdapat 10 punden, akan tetapi berdasarkan hasil survei terbaru untuk penulisan skripsi ini dapat diketahui adanya 13 punden, dengan keadaan fisik yang tidak terawat dengan baik. Beberapa punden masih digunakan untuk laku tertentu oleh para petapa. Secara umum laku yang dijalankan oleh petapa dimaksudkan untuk kesejahteraan hidup. Pada bagian lereng selatan Gunung Lawu, berdasarkan survei yang dilakukan penulis juga terdapat dua situs punden berundak, yaitu Jogolarangan dan Puncak Candi, dan dua toponim, yaitu Sidoramping dan Tapak Nogo. Situs punden berundak paling sakral pada lereng selatan berada di puncak Jogolarangan, yang penyebutannya berasal dari kata Jogo dan Larang, yang berarti dijaga dan dilarang untuk dimasuki. Situs punden berundak kedua di lereng selatan berada di salah satu puncak yang dikenal masyarakat sebagai Puncak Candi. Pada lereng barat Gunung Lawu juga terdapat banyak tinggalan megalitik, seperti Candi Kethek, Punden Cemoro Bulus dan watu kandang
7 7 yang tersebar luas di Kecamatan Matesih. Bahkan beberapa tinggalan, seperti Candi Cetho, Candi Sukuh, Candi Planggatan, dan Candi Menggung diyakini memiliki unsur megalitik, walaupun tampak unsur Hindu yang dominan pada keempat candi tersebut. Menurut Surjanto tahun 1994 hal ini menunjukkan bahwa keempat candi tersebut merupakan hasil sinkretisme antara budaya megalitik dan agama Hindu (Surjanto, 1994:107) Tinggalan-tinggalan megalitik yang terdapat di kawasan Gunung Lawu masih banyak yang digunakan oleh masyarakat sekarang untuk bertapa meminta kesejahteraan hidup, sehingga tinggalan-tinggalan tersebut dianggap sebagai living megalithic (Listyanto, 1992:7). Akan tetapi berdasarkan angka tahun 1438 M pada prasasti yang ditemukan pada Punden Argo Dumilah Atas di kawasan puncak Gunung Lawu (Darmoesoetopo, 1976:44), diketahui bahwa angka tahun tersebut berjarak 3 4 abad sebelum erupsi Gunung Lawu yang terjadi, yaitu pada tahun 1752 M dan 1885 M (BPPTKG, 2015). Dengan demikian, terdapat petunjuk bahwa tinggalan megalitik di Gunung Lawu pernah ditinggalkan oleh masyarakat pendukung awal. Tinggalan megalitik di Gunung Lawu sejauh ini dapat diketahui tersebar pada kawasan puncak, lereng barat dan selatan. Tinggalan tersebut berupa punden berundak sebanyak 13 punden pada bagian puncak, 2 punden pada lereng barat dan 2 punden pada lereng selatan. Tinggalan lainnya, berupa watu kandang yang tersebar hanya pada lereng barat, sedangkan tinggalan berupa lumpang batu, menhir, jalan batu dan kolam tersebar di
8 8 puncak dan lereng. Sebaran tinggalan-tinggalan tersebut di bagian puncak dan lereng tampaknya memiliki pola tersendiri. Pola-pola tersebut dapat terbentuk oleh banyak faktor, walaupun keberadaan tinggalan arkeologi pada puncak gunung tidak bisa lepas oleh faktor kosmologis ataupun kepercayaan. Akan tetapi, selain faktor kosmologis tersebut tentu masyarakat pendukungnya memperhatikan faktor lingkungan untuk mendukung keberadaan situs, baik di bagian puncak Lawu, maupun lerenglerengnya. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan penjabaran di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pola distribusi tinggalan megalitik pada lereng barat, puncak dan lereng selatan Gunung Lawu? 2. Apakah pola distribusi tinggalan megalitik berkaitan dengan daya dukung lingkungan yang terdapat di kawasan Gunung Lawu? C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini memiliki tujuan awal untuk menggambarkan pola distribusi tingggalan megalitik yang ada di kawasan Gunung Lawu, dari lereng selatan, lereng barat, sampai dengan puncak. Berdasarkan pola distribusi tersebut kemudian dilihat daya dukung lingkungan menjadi berpengaruh terhadap keberadaan situs megalitik ini. Pola distribusi
9 9 tinggalan Megalitik dianalisis dengan metode site catchment analysis, sehingga daya dukung lingkungan terhadap pola tinggalan yang ada dapat diketahui. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi mengenai latar belakang persebaran tinggalan megalitik dan daya dukung lingkungannya di kawasan Gunung Lawu, sehingga dapat bermanfaat khususnya bidang arkeologi di Indonesia dan masyarakat luas. D. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian megalitik telah banyak dilakukan di Indonesia. Khusus untuk tinggalan megalitik di Gunung Lawu telah terdapat dua skripsi yang membahasnya. Skripsi pertama memilih lokasi penelitian pada kawasan puncak Gunung Lawu, berjudul Tradisi Megalitik di Kawasan Puncak Lawu (Tinjauan Arsitektural Bangunan Berundak), ditulis oleh Septihandri Budi Listyanto pada tahun Secara garis besar skripsi ini membahas mengenai ciri arsitektur tinggalan punden berundak pada puncak Gunung Lawu dan pada bagian tertentu tulisan skripsi ini membahas mengenai tipologi punden berundak. Akan tetapi punden yang dibahas secara menyeluruh hanya tujuh, dari sepuluh punden yang disebutkan. Skripsi lain yang membahas mengenai tinggalan megalitik di Gunung Lawu berjudul Studi Wilayah Atas Kepurbakalaan Lereng Barat Gunung Lawu (Sebuah Studi Akulturasi) ditulis oleh Didiek Surjanto pada tahun Skripsi ini secara umum menguraikan mengenai tinggalan megalitik pada lereng barat Gunung Lawu, yang secara khusus skripsi ini
10 10 membahas mengenai empat candi besar, yaitu Sukuh, Cetho, Planggatan dan Menggung. Skripsi ini menghasilkan kesimpulan bahwa keempat candi tersebut merupakan hasil sinkretisme antara budaya megalitik dan budaya Hindu. Berdasarkan laporan F. Junghun dalam majalah JAVA no. II tahun 1853 pada tahun 1987 HIMA (Himpunan Mahasiswa Arkeologi) UGM juga telah melakukan penelitian di Gunung Lawu. HIMA melaporkan terdapat delapan punden yang dapat diidentifikasi dan diketahui lokasinya. Hasil penelitian Junghun, kemudian diteliti kembali oleh Balar Yogyakarta pada tahun 2011 dan mengeluarkan laporan mengenai tinggalan megalitik di puncak Gunung Lawu, yang berjudul Laporan Pola Sebaran Bangunan Megalitik di Puncak Gunung Lawu. Dalam laporan ini tertulis mengenai pola sebaran dan hasil ekskavasi pada beberapa punden. Selain itu, dalam laporan ini juga terdapat ukuran-ukuran punden yang terdapat di puncak. Dalam laporan Balar Yogyakarta dituliskan 10 tinggalan punden berundak dan hasil ekskavasi pada punden-punden tersebut. Hasil ekskavasi yang yang disebutkan dalam laporan tersebut adalah fragmen tembikar, keramik dan arang. Temuan ekskavasi tersebut berada pada spit 1 3, spit 4 5 kondisi tanah telah steril. Balar Yogyakarta juga melakukan penelitian pada daerah lereng barat Gunung Lawu pada tahun Penelitian ini didasarkan pada pertanyaan mengenai gambaran spasial atas sebaran dan keragaman situs pada lereng barat wilayah yang secara administrasi masuk dalam wilayah
11 11 Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Balar Yogyakarta mengeluarkan laporan penelitian eksplorasi jejak peradaban di lereng Gunung Lawu Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Dalam laporan ini dideskripsikan mengenai keadaan tinggalan saat ini dan pengelolaan terhadap situs. Situs-situs yang dijabarkan meliputi situs-situs dari masa prasejarah hingga masuknya agama Islam. Penelitian-penelitian lainnya yang pernah dilakukan di wilayah Gunung Lawu adalah penelitian yang dilakukan oleh Riboet Darmosoetopo. Penelitian yang berjudul Peninggalan-Peninggalan Kebudayaan Di Lereng Barat Gunung Lawu dilaksanakan pada tahun Penelitian ini menjabarkan mengenai arti dan fungsi dari empat situs utama yang berada di lereng barat Gunung Lawu. Hasil penelitian ini menyimpulkan tinggalan arkeologis pada situs Matesih adalah peninggalan megalitik, sedangkan Candi Sukuh dan Cetho merupakan peninggalan Indonesia-Hindu yang memiliki unsur megalitik, adapun situs Planggatan yang terletak di lereng barat Gunung Lawu merupakan peninggalan menjelang keruntuhan Majapahit. Tjahyono Prasodjo melakukan penelitian mengenai Relief Rumah pada Candi di Jawa Sebuah Gambaran Rumah Jawa pada Abad IX XVI Masehi pada tahun Sumber data primer penelitian tersebut berasal dari relief pada Candi Sukuh dan Cetho. Penelitian lainnya dilakukan oleh Priyatno H.S. dengan judul Pergeseran Pusat Kegiatan
12 12 Upacara di Situs Megalitik Puncak Gunung Lawu dan diterbitkan oleh Berkala Arkeologi tahun Penelitian megalitik selain dilakukan dalam kawasan Gunung Lawu, juga telah dilakukan di banyak tempat. Berdasarkan kronologi waktunya, pada tahun 1995 Slamet Prihadi Sudarsono menulis skripsi yang berjudul Pola Sebaran Situs-Situs Megalitik di Bondowoso Kajian Spasial Skala Mikro. Skripsi lainnya yang juga membahas mengenai megalitik adalah Peninggalan Megalitik Di Bukit Tutari Doyo Lama Irian Jaya ditulis oleh Johny Eko Nugroho pada tahun Skripsi yang ditulis oleh Andhika Arief Drajat Priyatno pada tahun 2013 membahas mengenai megalitik di Gunung Muria dengan judul Kontekstualisasi Situs-Situs Megalitik Di Kajian Etnoarkeologi. Selain skripsi, berbagai penelitian lain mengenai tinggalan megalitik telah banyak dilakukan, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Agus Aris Munandar mengenai megalitik dan dolmen di Indonesia. Bagyo Prasetyo yang menulis mengenai sebaran megalitik di Bondowoso dan Priyatno Hadi Sulistyo mengenai pola sebaran situs megalitik di Gunung Slamet. Peneliti lainnya adalah Haris Sukendar yang telah banyak melakukan penelitian megalitik di Indonesia. Salah satunya adalah penelitian mengenai budaya megalitik yang masih berkembang di Indonesia bagian timur. Selain peneliti dalam negeri, banyak peneliti asing yang juga melakukan penelitian tentang megalitik, salah satunya adalah Ron L. Adams
13 13 yang meneliti mengenai megalitik di Sumba dengan metode etnoarkeologi pada tahun E. KEASLIAN PENELITIAN Kajian mengenai Gunung Lawu memang telah banyak dilakukan, akan tetapi penelitian yang mencari hubungan antara pola distribusi dan daya dukung lingkungan terhadap tinggalan megalitik pada kawasan Gunung Lawu belum pernah dilakukan. F. RUANG LINGKUP PENELITIAN Objek penelitian ini adalah tinggalan-tinggalan megalitik, termasuk di dalamnya punden berundak, menhir, batu lumpang, watu kandang, kolam dan jalan batu, yang terdapat pada kawasan lereng selatan, puncak dan lereng barat Gunung Lawu. Kata kawasan digunakan untuk setiap lokasi tinggalan megalitik, karena di setiap lokasi tersebut terdapat lebih dari satu situs. Hal ini disesuaikan dengan pengertian kawasan, yaitu kelompok data arkeologi yang lebih besar dan luasnya lebih mudah disesuaikan (Sharer, 1993:118). Ketiga kawasan tersebut dipilih karena memiliki data tinggalan megalitik yang mudah diakses ataupun di survei secara langsung. Lereng Gunung Lawu lainnya, yaitu utara dan timur tidak masuk dalam lokasi penelitian karena keterbatasan data yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, meskipun beberapa info dari penduduk menyampaikan
14 14 bahwa di sekitar lokasi penelitian, pada lereng utara dan timur juga terdapat beberapa tinggalan megalitik. Hanya saja tinggalan ini belum dapat dikonfirmasi kebenarannya secara ilmiah dan belum disurvei secara langsung, sehingga tidak dibahas dalam penelitian ini. Pembagian kawasan pada penelitian ini berdasarkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa arti lereng yaitu sisi bidang tanah yang landai atau miring. Berdasarkan arti kata tersebut dapat diketahui bahwa mdpl merupakan sisi landai atau miring Gunung Lawu termasuk dalam kategori lereng. Oleh karena itu, pembagian kawasan puncak dan lereng ditentukan oleh ketinggian mdpl masing-masing situs. Kawasan puncak masuk dalam ketinggian mdpl, dan diambil berdasarkan area keberadaan 5 puncak tertinggi yang terdapat di Gunung Lawu, sedangkan untuk lereng diambil dari titik setelahnya yaitu mdpl. G. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode site cacthment analysis, untuk melihat sejauh mana daya dukung lingkungan terhadap keberadaan situs. Pada umumnya metode ini digunakan untuk melihat daya jangkau masyarakat dari pemukimannya terhadap lingkungan untuk menopang kehidupan mereka. Geoff Bailey (2005: ) menulis dalam Archaeology the Key, bahwa metode ini menggunakan daerah tangkapan hingga 10 km untuk melihat daerah eksploitasi berburu manusia dan 5 km untuk jangkauan bercocok tanam. Namun karena topografi lokal dapat
15 15 mempengaruhi pergerakan manusia, maka untuk beberapa daerah dengan bentang lahan tertentu menggunakan batasan waktu berjalan 2 jam untuk daerah berburu dan 1 jam untuk daerah bercocok tanam. Buku tersebut juga menulis mengenai dua tujuan utama dari metode ini. Pertama untuk melihat keterkaitan variabel lingkungan terhadap situs arkeologi. Tujuan yang kedua yaitu untuk merangsang hipotesis baru mengenai praktik ekonomi yang diterapkan pada suatu situs dan menyarankan pandangan baru mengenai suatu penelitian dengan tes data yang relevan. Salah satu contoh penelitian yang menggunakan metode site catchment analysis dilakukan oleh Charles Birkett dengan objek Walkunder Archeology Cave, yang berada di daerah North Queensland. Hasil dari penelitian ini yaitu diketahuinya daya jangkau individu dari situs ini untuk mencari sumber air dan sumber makanan. Penjelasan dalam tulisan ini juga menekankan mengenai kelemahan dari metode ini, seperti faktor perubahan lingkungan yang terjadi, sehingga menyebabkan adanya kemungkinan perubahan yang besar. Akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan kecanggihan teknologi yang ada saat ini untuk merekontruksi ulang lingkungan yang pernah ada. Metode ini juga melihat beberapa lokasi sementara yang digunakan oleh individu dari situs yang sama. Secara umum metode ini digunakan untuk melihat daya dukung lingkungan terhadap keberadaan suatu pemukiman. Penjabaran mengenai metode ini memang lebih pada kegunaannya untuk melihat pemukiman. Penggunaan metode ini untuk situs megalitik
16 16 seperti yang terdapat di Gunung Lawu ini akan berbeda, karena tinggalan megalitik pada kawasan ini bukanlah bangunan pemukiman. Metode ini digunakan untuk melihat sejauh mana daya dukung lingkungan terhadap keberadaan situs megalitik, seperti ketersediaan bahan bangunan, makanan dan minum. Metode site catchnent analysis ini diharapkan dapat menjawab daya dukung lingkungan terhadap pola distribusi situs. H. TAHAP PENELITIAN Berdasarkan metode yang telah dijabarkan di atas, maka penelitian ini memiliki tahap-tahap sebagai berikut. a) Pengumpulan data Pengumpulan data jenis tinggalan dan keadaan lingkungan tinggalan megalitik dilakukan dengan tahapan survei lapangan, studi pustaka dan wawancara. Survei lapangan dilakukan secara bertahap pada dua lereng, puncak dan secara menyeluruh dari lereng barat menuju puncak, kemudian turun melalui lereng selatan. Selama survei berlangsung, dilakukan wawancara dengan masyarakat sekitar situs dan dengan pelaku ritual yang masih menggunakan punden sebagai tempat bertapa. Wawancara dilakukan dengan memberikan pertanyaan terbuka kepada responden. Data tambahan dikumpulkan melalui studi pustaka. Pustaka yang digunakan baik berupa skripsi, thesis maupun artikel ilmiah mengenai budaya megalitik khususnya di Gunung Lawu. Beberapa laporan penelitian
17 17 yang telah diterbitkan oleh Balar Yogyakarta dan BPCB Jawa Tengah juga termasuk ke dalam daftar pustaka yang dapat digunakan sebagai referensi. b) Deskripsi data Pada tahap ini data yang telah dikuumpulkan dideskripsikan berdasarkan keadaan bangunan saat ini, keletakan, elevasi, orientasi dan mengenai keadaan lingkungan. Tahap selanjutnya adalah analisis artefaktual, yaitu pengelompokan data-data situs ke dalam tipe-tipe tinggalan megalitik yang ada di Indonesia. Pengelompokan ini dilakukan berdasarkan kesamaan ciri-ciri situs terhadap tinggalan megalitk yang telah ada. Selain itu, dijabarkan juga tinggalan-tinggalan pendukung lainnya yang berada di sekitar situs, baik itu data toponim maupun data temuan lepas. c) Analisis daya dukung lingkungan Pada tahap ini dilakukan analisis lanjutan, yaitu analisis pola distribusi dan daya dukung lingkungan tinggalan megalitik. Berikut penjelasannya: i. Analisis pola distribusi tinggalan megalitik dengan Arcgis Metode ini digunakan untuk menyusun peta lokasi situs. Titiktitik lokasi situs dimasukkan dalam peta dan setelah keseluruhan titik lokasi situs dimasukkan, maka akan terlihat pola dari persebaran situs ini. ii. Analisis daya dukung lingkungan dengan metode site cacthment analysis
18 18 Analisis dilakukan dengan membuat peta daya jangkau individu yang membangun situs dari sumber bahan yang dibutuhkan. Daya jangkau yang digunakan dalam tahap ini adalah satu sampai dengan dua jam perjalanan kaki, sesuai dengan metode site catchment analysis. Selain sumber bahan untuk situs, analisis juga dilakukan untuk melihat daya jangkau sumber daya lingkungan untuk bertahan hidup manusia yang bekerja untuk membangun situs ini. Sumberdaya lingkungan tersebut meliputi: a) Sumber bahan tinggalan megalitik b) Sumber bahan makanan c) Sumber air I. SINTESIS DATA Pada tahap ini dilakukan penafsiran atas data yang telah diolah, yaitu data analisis tinggalan megalitik, pola distribusi dan keadaan lingkungan kawasan. Hasil sintesis data tersebut memberikan gambaran mengenai kesimpulan hasil penelitian ini. J. KESIMPULAN Tahap akhir dari penelitian ini adalah penarikan kesimpulan, dilakukan setelah semuan tahapan penelitian selesai. Pada tahapan ini memberikan jawaban atas pertanyaan penelitian, yaitu memberikan gambaran pola
19 19 distribusi tinggalan megalitik dan daya dukung lingkungan pada kawasan ini.
BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Pengertian Megalitik telah banyak disinggung oleh para ahli sebagai suatu tradisi yang menghasilkan batu-batu besar, mengacu pada etimologinya yaitu mega berarti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 2003: 13). Megalitik berasal dari kata mega yang berarti besar dan lithos yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Beberapa kebudayaan diantaranya dimulai pada masa prasejarah yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hubungan dengan daerah-daerah atau bangsa-bangsa lain di luar Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Letak geografis Indonesia yang sangat strategis mengakibatkan adanya hubungan dengan daerah-daerah atau bangsa-bangsa lain di luar Indonesia. Kondisi tersebut sangat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tinggalan budaya masa lalu sebagai hasil kreativitas merupakan buah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tinggalan budaya masa lalu sebagai hasil kreativitas merupakan buah pikiran yang dapat berbentuk fisik (tangible) dan non-fisik (intangible). Tinggalan fisik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Wilayah Kerinci secara administratif merupakan salah satu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wilayah Kerinci secara administratif merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jambi, wilayahnya mencakup daerah di sepanjang aliran sungai Batang Merangin,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan pustaka yang berkaitan dengan topik yang
Lebih terperinciI.PENDAHULUAN. provinsi di Indonesia. Sebagai bagian dari Indonesia, Lampung tak kalah
1 I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki ragam budaya dan nilai tradisi yang tinggi, hal tersebut dapat dilihat dari berbagai macam peninggalan yang ditemukan dari berbagai provinsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di Indonesia. Secara harfiah megalitik sering diartikan sebagai bentuk peninggalan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Megalitik merupakan salah satu tinggalan budaya masa lampau yang ada di Indonesia. Secara harfiah megalitik sering diartikan sebagai bentuk peninggalan batu besar. Ron
Lebih terperinciSMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 3. PERADABAN AWAL INDONESIALatihan Soal 3.1. Menhir. Waruga. Sarkofagus. Dolmen
SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 3. PERADABAN AWAL INDONESIALatihan Soal 3.1 1. Bangunan megalithikum yang berbentuk batu bertingkat berfungsi sebagai tempat pemujaan terhadap nenek moyang disebut...
Lebih terperinciEksplorasi Tinggalan Batu Besar di Lereng Ciremai
Eksplorasi Tinggalan Batu Besar di Lereng Ciremai Kedaulatan Rakyat, 2001 Petualangan mencari situs-situs arkeologis di lereng timur Gunung Ciremai telah menorehkan pengalaman dan hasil yang tak terduga.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki beragam kebudayaan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya peninggalan peninggalan sejarah yang tersebar luas hampir
Lebih terperinciMENENGOK KEMBALI BUDAYA DAN MASYARAKAT MEGALITIK BONDOWOSO. Muhammad Hidayat (Balai Arkeologi Yogyakarta)
MENENGOK KEMBALI BUDAYA DAN MASYARAKAT MEGALITIK BONDOWOSO Muhammad Hidayat (Balai Arkeologi Yogyakarta) I. Budaya Megalitik Bondowoso: Permasalahan, Jenis, dan Persebarannya Tinggalan budaya megalitik
Lebih terperinciFUNGSI SITUS PAGAR BATU DI DESA PARDOMUAN, SIMANINDO, SAMOSIR, SUMATERA UTARA
1 FUNGSI SITUS PAGAR BATU DI DESA PARDOMUAN, SIMANINDO, SAMOSIR, SUMATERA UTARA Anugrah Syahputra Singarimbun Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Unud Abstract Archeology studies attempting
Lebih terperinciTINGGALAN TRADISI MEGALITIK DI DESA BASANGALAS, KECAMATAN ABANG, KABUPATEN KARANGASEM. Kadek Yogi Prabhawa Program Studi Arkeologi
1 TINGGALAN TRADISI MEGALITIK DI DESA BASANGALAS, KECAMATAN ABANG, KABUPATEN KARANGASEM Kadek Yogi Prabhawa Program Studi Arkeologi Abstrak Archeology studies try to reconstruct human culture in the past
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. Secara kronologis, sejarah Indonesia meliputi masa prasejarah, hindu-budha, masa
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara kronologis, sejarah Indonesia meliputi masa prasejarah, hindu-budha, masa pengaruh islam dan masa pengaruh eropa. Bagian yang menandai masa prasejarah, antara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara
Lebih terperinciRESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN
RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN SEJARAH PENEMUAN SITUS Keberadaan temuan arkeologis di kawasan Cindai Alus pertama diketahui dari informasi
Lebih terperinciPOLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005.
POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA 2014 Indah Asikin Nurani Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005. A. Hasil Penelitian Sampai Tahun
Lebih terperinciKONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Situs Candi Muara Takus
30 KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Wilayah perencanaan situs Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jarak kompleks candi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah dan Budaya Lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indra manusia. Semakin jelas harmonisasi dan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Kematian
BAB 1 PENDAHULUAN Menurut Vitruvius di dalam bukunya Ten Books of Architecture, arsitektur merupakan gabungan dari ketiga aspek ini: firmity (kekuatan, atau bisa dianggap sebagai struktur), venustas (keindahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dimiliki oleh Kabupaten Karanganyar. Berada di Dusun Cetho, Desa Gumeng,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Candi Cetho merupakan salah satu candi peninggalan jaman Hindu yang dimiliki oleh Kabupaten Karanganyar. Berada di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi,
Lebih terperinciBAB III IDENTIFIKASI DATA. A. Candi Cetho
BAB III IDENTIFIKASI DATA A. Candi Cetho 1. Lokasi Candi Cetho terletak di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di desa Cetho kelurahan Gumeng kecamatan Jenawi, kabupaten Karanganyar provinsi Jawa Tengah.
Lebih terperinciTINGGALAN MEGALITIK DI DESA TUHAHA KECAMATAN SAPARUA KABUPATEN MALUKU TENGAH
TINGGALAN MEGALITIK DI DESA TUHAHA KECAMATAN SAPARUA KABUPATEN MALUKU TENGAH A. Pendahuluan Maluku merupakan propinsi dengan sebaran tinggalan arkeologis yang cukup beragam. Tinggalan budaya ini meliputi
Lebih terperinci02/10/2012. Cupture 2. Sejarah Seni Rupa dan Kebudayaan Indonesia. Oleh: Handriyotopo, M.Sn NEOLITIKUM
Cupture 2 Sejarah Seni Rupa dan Kebudayaan Indonesia Oleh: Handriyotopo, M.Sn NEOLITIKUM 1 Kebudayaan Austronesia yang datang dari Yunan, Sungai Yan-Tse atau Mekong, dari Hindia Belakang telah mengubah
Lebih terperinciBAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang akan
7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dilakukan untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang akan diteliti. Dalam penelitian ini diuraikan beberapa konsep yang dapat dijadikan
Lebih terperinciHasil Kebudayaan masa Praaksara
Hasil Kebudayaan masa Praaksara 1. Hasil Kebudayaan Paleolithikum Kebudayan paleolithikum merupakan kebudayaan batu, dimana manusia masih mempergunakan peralatan yang terbuat dari batu, serta teknik pembuatanya
Lebih terperinciPENGGUNAAN TINGGALAN BATU PAMALI SEBAGAI MEDIA PELANTIKAN RAJA DI DESA LIANG KEC. TELUK ELPAPUTIH KABUPATEN MALUKU TENGAH
PENGGUNAAN TINGGALAN BATU PAMALI SEBAGAI MEDIA PELANTIKAN RAJA DI DESA LIANG KEC. TELUK ELPAPUTIH KABUPATEN MALUKU TENGAH The Use of Batu Pamali as a Medium of King s Inauguration at The Liang Village
Lebih terperinciARKENAS PERSEBARAN DAN BENTUK-BENTUK MEGALITIK INDONESIA: SEBUAH PENDEKATAN KAWASAN. Bagyo Prasetyo
PERSEBARAN DAN BENTUK-BENTUK MEGALITIK INDONESIA: SEBUAH PENDEKATAN KAWASAN 1. Pendahuluan Sebagaimana dapat dikenali dari istilah yang digunakan, studi kawasan lebih menekankan aspek ruang dalam pengkajiannya.
Lebih terperinciSITUS BATU GOONG DI DESA SUKASARI, PANDEGLANG: KAJIAN ASPEK ARKEOLOGIS
SITUS BATU GOONG DI DESA SUKASARI, PANDEGLANG: KAJIAN ASPEK ARKEOLOGIS BATU GOONG SITE IN THE SUKASARI VILLAGE, PANDEGLANG: STUDY OF THE ARCHAEOLOGICAL ASPECT Sudarti Balai Arkeologi Bandung Jl. Raya Cinunuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia dan lingkungannya (Rossler, 2009: 19). Warisan Budaya dapat diartikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Warisan budaya mengekspresikan suatu hubungan yang panjang antara manusia dan lingkungannya (Rossler, 2009: 19). Warisan Budaya dapat diartikan sebagai suatu yang
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN ASTANA GEDE. di Kabupaten Ciamis. Situs Astana Gede merupakan daerah peninggalan
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN ASTANA GEDE A. Kesimpulan Astana Gede Kawali adalah salah satu situs bersejarah yang terdapat di Kabupaten Ciamis. Situs Astana Gede merupakan daerah peninggalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulau Jawa kaya akan peninggalan-peninggalan purbakala, di antaranya ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini tersebar di
Lebih terperinciMASA BERCOCOK TANAM DAN DAN BERTERNAK a. Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam Kehidupan manusia senantiasa mengalami
MASA BERCOCOK TANAM DAN DAN BERTERNAK a. Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam Kehidupan manusia senantiasa mengalami perkembangan. Perkembangan itu dapat disebabkan karena ada
Lebih terperinciINTERAKSI KEBUDAYAAN
Pengertian Akulturasi Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing
Lebih terperinciKata Kunci: Punden Berundak, Sumber Belajar Sejarah. Dosen Pembimbing Artikel
Eksistensi Punden Berundak di Pura Candi Desa Pakraman Selulung, Kintamani, Bangli (Kajian Tentang Sejarah dan Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah) Oleh : I Wayan Pardi, (NIM 0914021066), (e-mail:
Lebih terperinciRENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS)
RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) Nama matakuliah Kode/SKS Status mata kuliah Deskripsi Singkat : ARKEOLOGI HINDU-BUDDHA : BDP 1107/ 2 SKS : Wajib : Pengenalan tinggalan arkeologi
Lebih terperinciDAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Abstrak... Halaman Persembahan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel...
DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Abstrak... Halaman Persembahan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... i ii iii v vi vii x xii BAB 1 PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar
Lebih terperinciSIMBOLISME KEPURBAKALAAN MEGALITIK DI WILAYAH PAGAR ALAM, SUMATERA SELATAN
SIMBOLISME KEPURBAKALAAN MEGALITIK DI WILAYAH PAGAR ALAM, SUMATERA SELATAN AGUS ARIS MUNANDAR Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Disampaikan dalam Seminar Nasional
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata untuk dikembangkan dan diupayakan menjadi daya tarik wisata daerah. Potensi wisata tersebut
Lebih terperinciANALISIS BATU BATA. A. Keletakan
ANALISIS BATU BATA Berdasarkan pada hasil penelitian ini dapat dipastikan bahwa di Situs Sitinggil terdapat struktur bangunan berciri masa prasejarah, yaitu punden berundak. Namun, berdasarkan pada hasil
Lebih terperinciBAB 3 PERBANDINGAN BANGUNAN PASIR KARAMAT DENGAN BANGUNAN BERKONSEP MEGALITIK
BAB 3 PERBANDINGAN BANGUNAN PASIR KARAMAT DENGAN BANGUNAN BERKONSEP MEGALITIK Pada bab ini, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian maupun konsep megalitik. Pengertian dan konsep tersebut dikeluarkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Kajian pustaka merupakan suatu pustaka yang dijadikan pedoman dalam melakukan suatu penelitian yang sering disebut
Lebih terperinciIntegrasi Budaya dan Alam dalam Preservasi Candi Gambarwetan
JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 5, No.2, (2016) 2337-3520 (2301-928X Print) G-169 Integrasi Budaya dan Alam dalam Preservasi Candi Gambarwetan Shinta Octaviana P dan Rabbani Kharismawan Jurusan Arsitektur,
Lebih terperinciBAB 1: SEJARAH PRASEJARAH
www.bimbinganalumniui.com 1. Studi tentang kebudayaan adalah suatu studi yang mempelajari... (A) Gagasan-gagasan untuk mewujudkan tindakan dan artefak (B) Kesenian (C) Karya sastra dan cerita rakyat (D)
Lebih terperinciKUBUR BATU (RETI) DI KAMPUNG KAWANGU KECAMATAN PANDAWAI KABUPATEN SUMBA TIMUR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
KUBUR BATU (RETI) DI KAMPUNG KAWANGU KECAMATAN PANDAWAI KABUPATEN SUMBA TIMUR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Ni Nyoman Ayu Vidya Trisna Prilyandani 1*, I Wayan Ardika 1, Coleta Palupi Titasari 3 [123] Program
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. Kepulauan Indonesia adalah tuan rumah budaya megalitik Austronesia di masa lalu
1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepulauan Indonesia adalah tuan rumah budaya megalitik Austronesia di masa lalu dan sekarang. Bangunan megalitik hampir tersebar di seluruh kepulauan Indonesia,
Lebih terperinciMASA PRA AKSARA DI INDONESIA
Pola Kehidupan Manusia Purba Manusia Purba di Indonesia Kedatangan Nenek Moyang Bangsa Indonesia A. Pengertian Apakah kalian sudah pernah membuat peristiwa sejarah? Tentunya setiap manusia sudah membuat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejarah kebudayaan di Nusantara terus mengalami perkembangan dari
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah kebudayaan di Nusantara terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Seperti yang telah kita ketahui bahwa perkembangan kebudayaan tersebut secara kronologis
Lebih terperinciGambar 4. Peta Lokasi Penelitian
33 METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian mengenai Rencana Penataan Lanskap Kompleks Candi Muara Takus sebagai Kawasan Wisata Sejarah dilakukan di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... LEMBAR PERNYATAAN... INTISARI... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...
Lebih terperinciKosmologi dalam Arsitektur Masyarakat Kasepuhan Banten Kiduldi Lebak Sibedug
TEMU ILMIAH IPLBI 2017 Kosmologi dalam Arsitektur Masyarakat Kasepuhan Banten Kiduldi Lebak Sibedug Ratu Arum Kusumawardhani (1), Ryan Hidayat (2) arum_q@yahoo.com (1) Program Studi Arsitektur/Fakultas
Lebih terperinciMASYARAKAT PENDUKUNG TRADISI MEGALITIK: PENGHUNI AWAL SITUS TANJUNGRAYA, KECAMATAN SUKAU, LAMPUNG BARAT
MASYARAKAT PENDUKUNG TRADISI MEGALITIK: PENGHUNI AWAL SITUS TANJUNGRAYA, KECAMATAN SUKAU, LAMPUNG BARAT MEGALITHIC PEOPLE: THE EARLY OCCUPATION OF TANJUNG RAYA SITES, SUKAU DISTRICT, WEST LAMPUNG Nurul
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk yang. terdiri dari ribuan pulau-pulau dimana masing-masing penduduk dan suku
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk yang terdiri dari ribuan pulau-pulau dimana masing-masing penduduk dan suku bangsa yang mendiaminya dan memiliki
Lebih terperinci3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa
3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 6.1 Kesimpulan. sebagai berikut: Pertama, di Kawasan Candi Cetho masih terdapat berbagai
98 BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan Dari hasil analisis yang dijabarkan sebelumnya, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: Pertama, di Kawasan Candi Cetho masih terdapat berbagai potensi
Lebih terperinciCANDI KETHEK: KARAKTER DAN LATAR BELAKANG AGAMA Kethek Temple: Character and Religion Background
CANDI KETHEK: KARAKTER DAN LATAR BELAKANG AGAMA Kethek Temple: Character and Religion Background Heri Purwanto; Coleta Palupi Titasari; dan I Wayan Sumerata Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana dan
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mapun pembahasan, penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kawasan Dataran Tinggi Dieng adalah sebuah saujana yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki culture yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki culture yang beraneka ragam, mulai dari tanah Sumatra hingga Papua sehingga tercipta kebudayaan yang berbeda
Lebih terperinciKebudayaan Masyarakat Prasejarah di Indonesia. SMA kelas X Semester 2 Tahun 2008/2009 Artmy Tirta Ikhwanto
Kebudayaan Masyarakat Prasejarah di Indonesia SMA kelas X Semester 2 Tahun 2008/2009 Artmy Tirta Ikhwanto Kebudayaan Masyarakat Prasejarah di Indonesia z Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Pra-aksara
Lebih terperinciTRADISI PENGUBURAN DALAM GUA DAN CERUK PADA MASYARAKAT WEB DI KAMPUNG YURUF DISTRIK WEB KABUPATEN KEEROM
TRADISI PENGUBURAN DALAM GUA DAN CERUK PADA MASYARAKAT WEB DI KAMPUNG YURUF DISTRIK WEB KABUPATEN KEEROM Klementin Fairyo (Balai Arkeologi Jayapura) Abstract Burial in caves and niches on the Web is a
Lebih terperinciBAB 5 KESIMPULAN PENELITIAN
BAB 5 KESIMPULAN PENELITIAN Para ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai pembagian gaya seni candi masa Majapahit maupun Jawa Timur antara lain adalah: Pitono Hardjowardojo (1981), Hariani Santiko
Lebih terperinciCagar Budaya Candi Cangkuang
Cagar Budaya Candi Cangkuang 1. Keadaan Umum Desa Cangkuang Desa Cangkuang terletak di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat, yang antara lain
Lebih terperinciPOLA PERSEBARAN TINGGALAN BUDAYA MEGALITIK DI LEUWISARI, TASIKMALAYA The Distribution Pattern of Megalithic Cultural Remains in Leuwisari, Tasikmalaya
POLA PERSEBARAN TINGGALAN BUDAYA MEGALITIK DI LEUWISARI, TASIKMALAYA The Distribution Pattern of Megalithic Cultural Remains in Leuwisari, Tasikmalaya Balai Arkeologi Bandung Jl. Raya Cinunuk K.17 Cileunyi,
Lebih terperinci2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan tanah terbuka pada suatu daerah yang dapat menjadi salah satu faktor penentu kualitas lingkungan. Kondisi lahan pada suatu daerah akan mempengaruhi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembentukannya setiap budaya yang dimunculkan dari masing-masing daerah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan Indonesia memiliki ragam suku dan budaya, dalam proses pembentukannya setiap budaya yang dimunculkan dari masing-masing daerah memiliki nilai sejarah. Pembentukan
Lebih terperinciSARKOFAGUS SAMOSIR: KREATIVITAS LOKAL MASYARAKAT SAMOSIR
SARKOFAGUS SAMOSIR: KREATIVITAS LOKAL MASYARAKAT SAMOSIR TAUFIQURRAHMAN SETIAWAN Abstrack One of the megalithic culture is sarcophagus. It appeared in someplace in Indonesia, such as Sulawesi, Nusa Tenggara,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yogyakarta merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sangat kaya akan peninggalan kebudayaan pada jaman Hindu Budha. Kebudayaan sendiri berasal dari bahasa sansekerta
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Pemanfaatan gua-gua atau ceruk di sekitar pegunungan karst berasal dari Asia
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Pemanfaatan gua-gua atau ceruk di sekitar pegunungan karst berasal dari Asia Tenggara menjelang akhir plestosen, yang didasarkan akan adanya kebutuhan manusia akan tempat yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek Pelestarian budaya bukan hanya yang berhubungan dengan masa lalu, namun justru membangun masa depan yang menyinambungkan berbagai potensi masa lalu
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 18 /KPTS/013/2015 TENTANG
GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 18 /KPTS/013/2015 TENTANG PENETAPAN SATUAN RUANG GEOGRAFIS KAWASAN PENANGGUNGAN SEBAGAI KAWASAN CAGAR BUDAYA PERINGKAT PROVINSI GUBERNUR JAWA
Lebih terperinciSITUS-SITUS MEGALITIK DI MALANG RAYA: KAJIAN BENTUK DAN FUNGSI
SITUS-SITUS MEGALITIK DI MALANG RAYA: KAJIAN BENTUK DAN FUNGSI Slamet Sujud Purnawan Jati & Deny Yudo Wahyudi Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang Abstrak: Kajian bentuk dan fungsi
Lebih terperinciKEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA
31 KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA Administrasi Secara administratif pemerintahan Kabupaten Katingan dibagi ke dalam 11 kecamatan dengan ibukota kabupaten terletak di Kecamatan
Lebih terperinciPRASEJARAH INDONESIA
Tradisi Penguburan Jaman Prasejarah Di Liang Bua dan Gua Harimau E. Wahyu Saptomo Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta PRASEJARAH INDONESIA Prasejarah Indonesia dapat dibagi dua yaitu: - Prasejarah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan masyarakat masa lampau merupakan catatan sejarah yang sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau pegangan hidup bagi masyarakat
Lebih terperinciARKEOLOGI PEMUKIMAN SITUS PONGKA, KABUPATEN BONE, SULAWESI SELATAN. The Settlement Archaeology at Pongka Site, District Bone, South Sulawesi
Jurnal Walennae, Vol. 15, No. 1, Juni 2017: Hal. 43-58 ARKEOLOGI PEMUKIMAN SITUS PONGKA, KABUPATEN BONE, SULAWESI SELATAN The Settlement Archaeology at Pongka Site, District Bone, South Sulawesi Yohanis
Lebih terperinciPENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN WISATA CANDI PENATARAN DI BLITAR JAWA TIMUR
LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN WISATA CANDI PENATARAN DI BLITAR JAWA TIMUR Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana
Lebih terperinciPENELITIAN ASPEK MEGALITIK PADA BATU MEJA DI SITUS DESA WAEYASEL, KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT PROVINSI MALUKU
Karyamantha Surbakti. Penelitian aspek megalitik pada batu meja di situs Desa Waeyasel, Kabupaten Seram bagian barat Provinsi Maluku PENELITIAN ASPEK MEGALITIK PADA BATU MEJA DI SITUS DESA WAEYASEL, KABUPATEN
Lebih terperinciBANGKITNYA TRADISI NEO-MEGALITHIK DI GUNUNG ARJUNO
BANGKITNYA TRADISI NEO-MEGALITHIK DI GUNUNG ARJUNO Marsudi Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang Abstrak: Pada masa Majapahit akhir di Jawa Timur muncul kembali tradisi keagamaan
Lebih terperinciPola pemukiman berdasarkan kultur penduduk
Pola Pemukiman Terpusat Pola Pemukiman Linier Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk Adanya pemukiman penduduk di dataran rendah dan dataran tinggi sangat berkaitan dengan perbedaan potensi fisik dan
Lebih terperinciDAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA LEMBAR PENGESAHAN.. HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN UCAPAN TERIMKASIH ABSTRACT...
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA LEMBAR PENGESAHAN.. HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN UCAPAN TERIMKASIH ABSTRAK. ABSTRACT... DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR TABEL.. DAFTAR LAMPIRAN..
Lebih terperinciINTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM
INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM AKULTURASI : menerima unsur baru tapi tetap mempertahankan kebudayaan aslinya jadi budaya campuran ASIMILASI : pernggabungan kebudayaan lokal dan unsur baru tapi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan
9 II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan dijadikan topik penelitian, dimana dalam tinjauan pustaka
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. Kunjungan dilakukan pada hari Sabtu tanggal 12 Maret tahun 2011, hari
BAB III METODE PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian Penelitian lapangan dilaksanakan dalam beberapa kali kunjungan. Kunjungan dilakukan pada hari Sabtu tanggal
Lebih terperinciBAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili 4.2 Tanah dan Geologi
BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili Secara administratif pemerintah, areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili dibagi menjadi dua blok, yaitu di kelompok Hutan Sungai Serawai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh kebudayaan bangsa-bangsa asing yang datang ke Indonesia.
A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Inkulturasi budaya Indonesia berawal dari masuknya bangsa-bangsa asing ke Indonesia yang awalnya memiliki tujuan untuk berdagang. Dengan masuknya budaya-budaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Lawu adalah gunung yang terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung ini mempunyai ketinggian 3265 m.dpl. Gunung Lawu termasuk gunung dengan
Lebih terperinciPEMBERDAYAAN PENGUSAHA JASA WISATA DAN KULINER DI KAWASAN CANDI CETO
PEMBERDAYAAN PENGUSAHA JASA WISATA DAN KULINER DI KAWASAN CANDI CETO Oleh: Wahyu Purwiyastuti, S.S., M.Hum Dra. Emy Wuryani, M.Hum Disampaikan dalam Seminar Hasil Pengabdian Masyarakat (IbM) Bekerjasama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN #Lereng#Gunung#Lawu#Kabupaten#Magetan#sebagai#Kota# Pariwisata#
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1.#Lereng#Gunung#Lawu#Kabupaten#Magetan#sebagai#Kota# Pariwisata# Lereng Gunung lawu merupakan salah satu tujuan wisata yang masih alami. Lereng gunung lawu ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. m.dpl. dan dikelilingi oleh Pergunungan Api Dieng. Secara administratif Plato
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Plato 1 Dieng merupakan sebuah dataran tinggi yang berada di atas 2000 m.dpl. dan dikelilingi oleh Pergunungan Api Dieng. Secara administratif Plato Dieng berada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan keanekaragaman
Lebih terperinciUNIVERSITAS INDONESIA PUNDEN BERUNDAK DI SITUS GUNUNG GENTONG, KUNINGAN, JAWA BARAT SKRIPSI ADITYA NUGROHO
UNIVERSITAS INDONESIA PUNDEN BERUNDAK DI SITUS GUNUNG GENTONG, KUNINGAN, JAWA BARAT SKRIPSI ADITYA NUGROHO 0705030023 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ARKEOLOGI DEPOK JULI 2011 UNIVERSITAS
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan
Lebih terperinciKISI-KISI PENYUSUNAN SOAL UJIAN SEKOLAH PENYUSUN : 1. A. ARDY WIDYARSO, DRS. ID NO :
KISI-KISI PENYUSUNAN SOAL UJIAN SEKOLAH JENJANG PENDIDIKAN : PENDIDIKAN DASAR SATUAN PENDIDIKAN : SEKOLAH DASAR (/MI) MATA PELAJARAN : ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) ALOKASI WAKTU : 120 MENIT JUMLAH SOAL
Lebih terperinciBAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI
BAB I KONDISI FISIK A. GEOGRAFI Kabupaten Lombok Tengah dengan Kota Praya sebagai pusat pemerintahannya merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara
Lebih terperinciSMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 5. PERADABAN AWAL INDONESIA DAN DUNIALATIHAN SOAL BAB 5. 1, 2 dan 3. 1, 2 dan 4. 1, 2 dan 5.
SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 5. PERADABAN AWAL INDONESIA DAN DUNIALATIHAN SOAL BAB 5 1. Perhatikan hasil budaya masa pra aksara berikut ini! 1. Kjokken moddinger 2. Abris souche roche 3. Flakes
Lebih terperinciUNIVERSITAS INDONESIA IDENTIFIKASI KOMPONEN-KOMPONEN BANGUNAN BERUNDAK KEPURBAKALAAN SITUS GUNUNG ARGOPURO SKRIPSI RIZKY AFRIONO
UNIVERSITAS INDONESIA IDENTIFIKASI KOMPONEN-KOMPONEN BANGUNAN BERUNDAK KEPURBAKALAAN SITUS GUNUNG ARGOPURO SKRIPSI RIZKY AFRIONO 0705030406 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ARKEOLOGI DEPOK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Sumber buku karangan Nirwabda Wow Building, 2014 : 88 2 Ibid : 88
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang teletak di bagian Asia tenggara yang dilalui garis khatulistiwa. Indonesia berada diantara benua Asia dan Australia serta diantara
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. METODE PENELITIAN Metode Survey Deskriptif Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey deskriptif. Metode survey deskriptif merupakan metode untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Setiap kelompok etnik tersebut memiliki
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Sulawesi Selatan dan Barat terdapat empat etnik dominan dan utama, yakni Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Setiap kelompok etnik tersebut memiliki ragam
Lebih terperinci