BAB I PENDAHULUAN. manusia dan lingkungannya (Rossler, 2009: 19). Warisan Budaya dapat diartikan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. manusia dan lingkungannya (Rossler, 2009: 19). Warisan Budaya dapat diartikan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Warisan budaya mengekspresikan suatu hubungan yang panjang antara manusia dan lingkungannya (Rossler, 2009: 19). Warisan Budaya dapat diartikan sebagai suatu yang dilestarikan dari generasi masa lalu kemudian diwariskan kepada generasi sekarang, yang kemudian akan mewariskannya untuk generasi yang akan datang (Aksa, 2004: 1). Warisan budaya juga dapat dipergunakan untuk menghargai hasil budaya masa lalu yang bertujuan untuk melestarikan nilai-nilai bagi generasi mendatang (Aplin, 2002: 13). Byrne (2008: ) menyampaikan bahwa budaya menunjukkan totalitas yang berhubungan dengan segala sesuatu yang telah dipelajari oleh kelompok masyarakat. Hasil budaya tersebut meliputi sistem kekerabatan serta sistem politik, perilaku terhadap alam, sistem pertanian, dan keagamaan. Budaya menjadikan suatu masyarakat menjadi berbeda dengan masyarakat lainnya. Seperti dikemukakan Jokilehto (2005: 5), bahwa warisan budaya menjadi bagian penting dalam penegasan dan pengayaan identitas budaya. Mengingat pentingnya warisan budaya, masyarakat perlu didorong untuk berpartisipasi dalam upaya pelestariannya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Bab II Pasal 2 menyebutkan bahwa salah satu asas pelestarian cagar budaya adalah asas partisipasi. Asas partisipasi yang dimaksud adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan

2 aktif dalam pelestarian cagar budaya. Partisipasi masyarakat menjadi hal penting dalam pelestarian cagar budaya, seperti tercantum dalam pertimbangan UUCB poin a : Cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, faktanya sering terjadi kerusakan warisan budaya baik yang disengaja maupun tidak disengaja dengan dalih peningkatan pembangunan ataupun perekonomian. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan bagi penggiat warisan budaya dan masyarakat yang melakukan pembangunan untuk dapat menemukan solusi yang tidak merugikan keduanya. Salah satu warisan budaya yang sering mengalami kerusakan adalah tinggalan budaya megalitik dari masa prasejarah. Menurut Prasetyo (2012: 305), diantara warisan budaya dari masa prasejarah adalah tinggalan megalitik yang maksud pendiriannya adalah sebagai manifestasi dalam menjalin hubungan antara yang hidup dengan yang mati. Kebudayaan megalitik adalah kebudayaan yang menghasilkan tinggalan-tinggalan dari batu-batu besar (Soekmono, 1991: 72), walaupun dalam kondisi riilnya, ada juga warisan budaya megalitik yang berukuran kecil, bahkan ada pula yang dibuat dari bahan kayu (Atmosudiro, 2012: 1). Budaya megalitik di Indonesia belum dapat ditentukan secara pasti kurun waktunya. Munculnya seni bangunan pada masa prasejarah dapat dihubungkan

3 dengan pergantian sistem mata pencaharian dari berburu dan mengumpulkan makanan ke sistem bercocok tanam. Sesuai dengan itu maka cara hidup mengembara ditinggalkan, manusia tinggal di suatu tempat untuk masa yang lama (Atmosudiro, 2001:42). Data pertanggalan secara absolut baru dapat menunjukkan bahwa usia budaya megalitik di Indonesia relatif cukup muda. Usia paling tua diperkirakan mulai periode logam, yaitu sekitar awal abad Masehi (Prasetyo, 2012: 311). Bangunan megalitik tersebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia seperti di Sumatera, Kalimantan, Sumbawa, Sulawesi, Flores, Timor, Bali, dan Jawa (Soejono, 2010: ). Salah satu tinggalan budaya megalitik di Jawa adalah watu kandang yang berada di Dukuh Ngasinan, Desa Karangbangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah yang sekaligus menjadi fokus penelitian tesis ini (lihat gambar 1.1 dan 1.2). U Gambar 1.1. Tanda lingkaran adalah lokasi Kabupaten Karanganyar. Sumber: dengan modifikasi arah utara dan tanda lingkaran

4 U Gambar 1.2. Peta Kab. Karanganyar, tanda panah adalah lokasi penelitian di Desa Karangbangun Sumber: dengan modifikasi arah utara dan tanda panah Watu kandang adalah istilah yang diberikan oleh masyarakat setempat untuk menyebut suatu susunan batu berbentuk persegi atau rectangular of stones. Situs watu kandang di Kabupaten Karanganyar tersebar di tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Matesih, Kecamatan Tawangmangu dan Kecamatan Kerjo. Situs Watu Kandang di Kecamatan Matesih berada di Desa Karangbangun (Dukuh Ngasinan dan Dukuh Bodagan), Desa Matesih (Dukuh Kedungsari), dan Desa Plosorejo (Dukuh Ploso). Situs watu kandang di Kecamatan Tawangmangu terletak di Desa Plumbon (Dukuh Pakem), sedangkan Situs Watu Kandang di Kecamatan Kerjo terletak di Desa Karangrejo. Hasil penelitian dalam tesis Gunadi (1994: 36-60) menyebutkan luas sebaran Situs Watu Kandang dan jumlahnya di masing-masing lokasi (lihat Tabel 1.1).

5 Kecamatan Desa Dukuh Luas (m²) Jumlah watu kandang (Unit) Matesih Karangbangun Ngasinan Bodagan * 4 Matesih Kedungsari Plosorejo Ploso * 4 Tawangmangu Plumbon Pakem Kerjo Karangrejo Karangrejo * 4 Salestri Sudah tidak ada Sabrang Sudah tidak ada Gondang 6 Tabel 1.1. Luas sebaran situs watu kandang dan jumlah (unit) Keterangan : *Tidak disebutkan dalam hasil penelitian Sumber: Gunadi tahun 1994 Gunadi (1994: 45) juga merujuk hasil laporan penelitian Nitihaminoto (1978), yang menunjukkan bahwa jumlah watu kandang berkurang dari waktu ke waktu bahkan sudah tidak dapat ditemukan lagi. Di Dukuh Sabrang, Desa Matesih, Kecamatan Matesih pada penelitian tahun 1978 masih dijumpai 7 unit Watu Kandang, namun sekarang sudah hilang. Watu Kandang di Dukuh Ngasinan, Desa Karangbangun, Kecamatan Matesih semula dilaporkan berjumlah 160 unit tetapi pada tahun 1994 tinggal 27 unit. Watu Kandang di Desa Karangrejo, Kecamatan Kerjo dahulu berjumlah 45 unit, kini tinggal 4 unit (lihat Tabel 1.2). Berkurangnya jumlah watu kandang disebabkan oleh aktivitas para petani penggarap lahan tempat watu kandang-watu kandang tersebut berada. Selain itu,

6 watu kandang juga menjadi incaran pencari batu untuk dipecah dan dijual sebagai bahan bangunan. Tabel 1.2. Perbandingan jumlah (unit) watu kandang Kecamatan Desa Dukuh Tahun 1978 Tahun 1994 Matesih Matesih Sabrang 7 unit Sudah tidak ada Matesih Kedungsari * 17 unit Karangbangun Ngasinan 160 unit 27 unit Plosorejo Ploso 4 unit Kerjo Karangrejo 45 unit 4 unit Tawangmangu Plumbon Pakem * 20 unit Keterangan : Tanda (*)Tidak disebutkan dalam hasil penelitian Tahun 1978 berdasarkan Gunadi Nitihaminoto Tahun 1994 berdasarkan penelitian tesis Gunadi Berdasar data jumlah watu kandang tahun 1978 dan 1994, Watu Kandang di Dukuh Ngasinan, Kecamatan Matesih memiliki jumlah paling banyak. Lokasi Situs Watu Kandang di Dukuh Ngasinan secara astronomis terletak pada koordinat 7º Lintang Selatan dan 111º Bujur Timur sekitar 20 km di sebelah tenggara Kota Karanganyar. Situs Watu Kandang sebelah utara dibatasi Sungai Samin, sebelah timur dibatasi oleh jalan desa, sebelah selatan dibatasi oleh Jalan raya alternatif Karanganyar-Tawangmangu, sedangkan sebelah barat dibatasi oleh pemukiman penduduk (lihat gambar 1.3). Watu Kandang di Kabupaten Karanganyar ditemukan di halaman rumah, kebun dan sebagian besar berada di persawahan milik perseorangan. Demikian pula watu kandang di Dukuh Ngasinan sebagian besar berada di persawahan milik perorangan (lihat gambar 1.4).

7 Kota Karanganyar Tawangmangu Gambar 1.3. Lokasi Situs Watu Kandang Ngasinan Sumber : Google dengan modifikasi anak panah a b c d Gambar 1.4.a,b,c,d. Watu kandang yang berada di persawahan Dokumentasi M. Junawan

8 Letak watu kandang yang berada di areal terbuka menyebabkan terjadinya pemanfaatan situs yang tidak berwawasan pelestarian. Pada tahun 2012 terjadi penggalian liar yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mencari harta karun. Selain itu terjadi perusakan batu watu kandang untuk dijadikan pondasi rumah. Upaya pelestarian situs watu kandang yang telah dilakukan adalah rangkaian kegiatan penelitian yang meliputi ekskavasi, zonasi, pembelian tanah, dan penetapan Peraturan Daerah. Penggalian dilakukan tahun 1977 oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dengan hasil temuan pecahan gerabah, manik-manik, dan fragmen besi. Tahun 1978, dalam kegiatan proyek penelitian dan penggalian purbakala DIY ditemukan fitur bekas galian berukuran 70 cm x 170 cm, lempengan emas dan perak, pecahan gerabah, manik-manik, dan fragmen besi. Tahun 1994 dalam penelitian Gunadi dilakukan penggalian dan ditemukan pecahan gerabah yang memiliki pola hias, fragmen besi, fitur bekas galian. Pada tahun 2014 Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah merintis pemanfaatan dan pengembangan Situs Watu Kandang di Kecamatan Matesih dengan kegiatan zonasi Situs Watu Kandang di Kecamatan Matesih. Menurut UUCB Bab I Pasal 1, zonasi bertujuan untuk menentukan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan. Fungsi ruang ditentukan dengan sistem zonasi yang terbagi atas zona inti, penyangga, pengembangan, dan atau zona penunjang (UUCB Bab VII Pasal 73 ayat (3). Untuk keperluan perlindungan dan sebagai sarana masyarakat dalam mengapresiasi watu kandang, BPCB Jawa Tengah telah melakukan pembelian

9 tanah seluas 1000 m² di Dukuh Ngasinan yang di dalamnya terdapat sebelas unit watu kandang (lihat gambar 1.5). Watu kandang lainnya tetap berada di areal persawahan yang saat ini masih dimanfaatkan oleh penduduk untuk aktivitas pertanian (lihat gambar 1.6). Gambar 1.5. Warna coklat (inset) adalah lahan milik pemerintah dan titik merah menunjukkan sebaran batu penyusun watu kandang Sumber: BPCB Jawa Tengah dengan modifikasi penambahan inzet

10 Gambar1.6. Peta kepemilikan lahan Sumber: BPCB Jawa Tengah

11 Pemerintah Kabupaten Karanganyar juga melakukan upaya pelestarian watu kandang beserta lingkungannya dengan menetapkan Situs Watu Kandang Ngasinan sebagai Kawasan Pelestarian Alam dan Cagar Budaya serta Kawasan Lindung Arkeologi dalam Perda Kabupaten Karanganyar Nomor 1 Tahun 2013 tentang RTRW Kabupaten Karanganyar Adapun Watu Kandang di Pedukuhan lainnya hingga penulisan tesis dilaksanakan tidak dimasukkan dalam kawasan tersebut. Pemanfaatan dan pengembangan warisan budaya Situs Watu Kandang di Dukuh Ngasinan belum dilakukan secara optimal untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat. Dalam UUCB Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (29) disebutkan bahwa pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi cagar budaya serta pemanfaatannya melalui penelitian, revitalisasi, dan adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan pelestarian. Belum optimalnya pemanfaatan dan pengembangan tersebut tampak dalam minimnya apresiasi masyarakat setempat dan jumlah pengunjung yang menurut data BPCB Jawa Tengah rata-rata hanya orang setiap bulannya. Uraian di atas menunjukkan belum adanya pemahaman yang jelas tentang warisan budaya oleh pemangku kepentingan (stakeholder). Stakeholder yang dimaksud seperti yang dikemukakan Freeman (1984: 41-42) adalah kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu tujuan tertentu. Grimble (1998: 1), mendefinisikan stakeholder dari segi posisi penting dan pengaruh yang mereka miliki.

12 Pemahaman tersebut berupa interpretasi tentang warisan budaya yang bersifat tidak hanya mengajari sesuatu tetapi memberikan makna tertentu (Carter, 2007: 3). Seperti halnya disampaikan juga oleh Colquhoun (2005: 7), bahwa interpretasi merupakan komunikasi tentang makna tempat, masyarakat dan peristiwa, sehingga masyarakat mengerti tentang apa, mengapa dan bagaimana sesuatu hal itu harus dihargai. Interpretasi warisan budaya yang tepat merupakan hal penting dalam memudahkan upaya memberikan pemahaman tentang warisan budaya. Tilden (1957: 58) juga mengemukakan pendapatnya bahwa melalui interpretasi akan muncul pemahaman, dengan pemahaman menghasilkan apresiasi dan akhirnya melindungi. Kaelan (2012: ) menyebutkan bahwa interpretasi merupakan upaya menyampaikan pesan dan makna objek yang secara eksplisit dan implisit terkandung di dalamnya. Pesan dan makna objek disampaikan oleh interpretator, sehingga pesan dan makna objek dapat dikomunikasikan kepada masyarakat. Interpretasi berfungsi untuk mengungkapkan, menerangkan dan menterjemahkan. Fungsi mengungkapkan yaitu menuturkan, mengatakan sesuatu yang merupakan esensi realitas. Menerangkan, yaitu dengan mengitrodusir faktor dari luar, artinya upaya untuk mengungkapkan makna objek dalam hubungannya dengan faktor-faktor yang berada di luar objek. Menterjemahkan, yaitu memindahkan arti, esensi atau makna yang terkandung dalam objek ke dalam kehidupan manusia modern. ICOMOS Charter (2008: 4), menjelaskan bahwa interpretasi dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang situs warisan

13 budaya dengan cara mengkomunikasikan interpretasi situs warisan budaya melalui presentasi. Makna baru yang merupakan hasil interpetasi untuk selanjutnya diinformasikan melalui presentasi kepada masyarakat Rumusan Masalah Pelestarian warisan budaya adalah upaya untuk mempertahankan nilai-nilai lanskap, tempat dan objek, baik secara individu maupun kolektif, sehingga masyarakat dapat menghargai warisan budayanya. Masyarakat dapat belajar dari warisan budaya dan mewariskannya kembali kepada generasi mendatang (Heritage Interpretation Policy, 2005: 2). Interpretasi dan presentasi situs warisan budaya menjadi hal yang penting untuk dijadikan landasan pengelolaan situs. Menurut Carter (2010: 5), interpretasi situs warisan budaya berkaitan erat dengan pengelolaan fisik situs atau presentasi objeknya. Pengelolaan fisik dan presentasi objek warisan budaya harus menghargai dan meningkatkan kualitas situs atau koleksinya, serta memberikan kepada masyarakat pengetahuan baru terhadap keberadaan situs warisan budaya. Permasalahan yang terjadi di Situs Watu Kandang Dukuh Ngasinan dapat menjadi ancaman untuk kelestarian Situs Budaya Megalitik di Kabupaten Karanganyar dimasa yang akan datang jika tidak segera diketahui sumber permasalahannya. Situasi dan kondisi seperti ini tidak mudah begitu saja untuk menyalahkan masyarakat jika menganggap Watu Kandang Ngasinan hanya merupakan benda mati dan tidak membawa manfaat apapun. Sangat ironis, bahwa masyarakat sebagai pemilik aktif budaya di lingkungannya (Byrne, 2003: 58) justru belum memahami makna keberadaan warisan budayanya.

14 Situs Watu Kandang Ngasinan merupakan contoh kasus situs warisan budaya yang belum ditangani secara optimal baik interpretasi maupun presentasinya. Sementara itu, keberadaan watu kandang di Dukuh Ngasinan semakin lama semakin berkurang baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Mengacu pemaparan yang telah diuraikan, maka muncul pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Apa saja interpretasi yang berkembang diantara stakeholder terhadap Situs Watu Kandang Ngasinan? 2. Mengapa interpretasi diantara stakeholder terhadap Situs Watu Kandang Ngasinan dapat berkembang? 3. Bagaimana interpretasi dan model presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan yang mudah dipahami masyarakat? 1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasar pada permasalahan dan pertanyaan penelitian, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu : 1. Mengetahui interpretasi masyarakat terhadap Situs Watu Kandang Ngasinan 2. Mengetahui penyebab munculnya interpretasi terhadap Situs Watu Kandang Ngasinan yang berkembang diantara stakeholder 3. Menyusun interpretasi dan model presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan agar pemahaman tentang watu kandang dapat optimal. Model presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan yang dibuat diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap Situs Watu Kandang sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan. Melalui presentasi yang baik,

15 masyarakat tidak hanya melihat namun muncul cara pandang baru tentang warisan budaya. Selanjutnya masyarakat setempat selaku pemilik warisan budaya dapat berperan aktif dalam pelestarian Situs Watu Kandang. 1.4.Tinjauan Pustaka Penelitian tentang Situs Watu Kandang Ngasinan belum banyak dilakukan. Hingga saat ini penelitian yang ada sebatas pada aspek fungsi watu kandang. Skripsi Respati Hardjajanta tahun 1978 dengan judul Fungsi Watu Kandang Situs Megalitik Matesih, meneliti tentang fungsi watu kandang sebagai tempat penguburan dan pemujaan. Fungsi penguburan didasarkan pada istilah untuk menyebut tinggalan megalitik yaitu kuburan budho. Fungsi pemujaan didasarkan pada peninggalan megalitik yang dianggap keramat dan dihubunghubungkan dengan kepercayaan mereka. Soejono mengulas tentang Situs Watu Kandang Matesih dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (1984) jilid I dengan judul Jaman Prasejarah di Indonesia. Menurut Soejono, secara tipologis watu kandang dapat dihubungkan dengan peti kubur di Bali yang terkait dengan fungsi religi. Sukendar (1986) menulis artikel dengan judul Susunan Batu Gelang (Enclosure of Stones), Tinjauan Bentuk dan Fungsi dalam Tradisi Megalitik dalam PIA IV. Sukendar berpendapat bahwa batu temugelang di Matesih berfungsi sebagai tempat penguburan. Kesimpulan para peneliti seperti Nitihaminoto (1977), Hardjajanta (1983), dan Gunadi (1994) menyebutkan bahwa watu kandang Matesih berfungsi sebagai tempat penguburan.

16 Gunadi (1994) menulis tesis dengan judul Situs-Situs Watu Kandang di Lembah Sungai Kali Samin, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah : Suatu Penelitian Peninggalan Megalitik dengan Pendekatan Lingkungan. Penelitiannya difokuskan pada hubungan situs watu kandang dengan potensi sumberdaya alamnya. Selain itu disampaikan pula sepaham dengan peneliti lainnya bahwa situs watu kandang berfungsi sebagai kubur atau tanda kubur. Hal ini didasarkan pada hasil ekskavasi berupa fitur yang diidentifikasi sebagai liang lahat dan temuan artefaktual berupa manik, gerabah, fragmen emas, perak dan besi, meskipun tidak ditemukan sisa rangka manusia. Benda-benda tersebut diperkirakan berfungsi sebagai bekal kubur. Pemukiman masyarakat yang mendirikannya terletak relatif tidak jauh dari situs watu kandang, yaitu ditandai dengan faktor-faktor lingkungan yang mendukungnya serta kepadatan temuan gerabah. Menurut Gunadi, salah satu keunikan dari watu kandang ini adalah arah hadap yang tidak berkiblat pada puncak gunung, tetapi pada arah munculnya matahari. Jika dikaitkan dengan pembangunan watu kandang, maka watu kandang diduga dibangun pada saat curah hujan kecil sehingga masyarakat tidak melakukan aktivitas pertanian. Pada saat itulah masyarakat memiliki waktu untuk melaksanakan aktivitas religinya. 1.5.Landasan Teori Pelestarian warisan budaya seharusnya tidak hanya berhenti pada aspek pelestarian dan penelitian saja, namun harus memikirkan juga aspek pemanfaatan dan pengembangannya, sehingga tidak lagi terlihat seperti benda mati dalam

17 kehidupan masyarakat, tetapi memiliki kebermaknaan sosial (Byrne:2003). Memunculkan kebermaknaan sosial inilah yang sebenarnya hakekat kinerja Cultural Resource Management (Sulistyanto, 2011). Seperti tercantum dalam The Burra Charter (1999) bahwa makna budaya (cultural significance) berarti nilai estetis, historis, ilmu pengetahuan, sosial dan keagamaan untuk generasi masa masa lalu, saat ini dan yang akan datang. Penyampaian makna budaya suatu warisan budaya diperlukan komunikasi yang baik sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat keberadaan warisan budaya yang mereka miliki. Di sinilah pentingnya interpretasi, seperti dikemukakan (Howard, 2003: 24) bahwa interpretasi mencakup perencanaan berbagai cara berkomunikasi tentang warisan budaya kepada masyarakat. Melalui interpretasi akan muncul pemahaman, dengan pemahaman menghasilkan apresiasi dan akhirnya melindungi. Interpretasi adalah seni bercerita yang baik, atau dengan kata lain interpretasi membantu menghubungkan pengunjung dengan yang mereka lihat. Interpretasi tidak hanya mangajari sesuatu tetapi memberikan makna tertentu (Carter, 2007: 3). Interpretasi merupakan komunikasi tentang makna tempat, orang dan peristiwa sehingga pengunjung mengerti tentang apa, mengapa dan bagaimana sesuatu hal itu harus dihargai (Colquhoun, 2005: 7). Tanudirjo (2003) mengemukakan bahwa pelestarian pada hakekatnya adalah upaya mempertahankan agar suatu sumberdaya budaya tetap berada pada konteks sistem (lingkungan budaya yang masih berlangsung) agar dapat berfungsi aktif atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sumberdaya budaya yang sudah berada

18 pada konteks arkeologis akan dapat dilestarikan kalau sumberdaya itu dapat dimasukan kembali ke dalam konteks sehingga sumberdaya budaya yang sudah tidak lagi bermakna menjadi memiliki makna atau arti penting bagi sistem budaya yang masih berlangsung. Hal serupa disampaikan oleh (Carter, 2001: 4) bahwa inti dari interpretasi adalah mengungkapkan wawasan baru ke dalam tempat atau lokasi yang dianggap memiliki arti khusus. Interpretasi merupakan aktivitas pendekatan untuk menentukan nilai penting dan makna baru warisan budaya pada sistem budaya yang masih berlangsung. Seperti dikemukakan Pearson dan Sullivan (2006: 16-17), proses penentuan nilai budaya memiliki dua unsur yang saling terkait dan saling tergantung. Pertama adalah penentuan unsur-unsur yang membuat tempat menjadi signifikan, dan jenis atau tipe signifikansi yang diwujudkan. Kedua adalah penentuan tingkatan nilai tempat bagi masyarakat. Penilaian adalah suatu usaha yang hampir selalu mengungkapkan informasi baru dan memberikan wawasan baru ke dalam tempat budaya atau tempat yang dinilai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, interpretasi situs warisan budaya merupakan salah satu upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam situs warisan budaya. Seperti disampaikan oleh Atmosudiro (2013: 8), bahwa kemampuan nenek moyang pendiri bangunan cagar budaya yang sarat makna itu pada masa sekarang mulai dilupakan, bahkan banyak yang kurang dipahami. Oleh karena itu, upaya pelestarian tidak hanya fisik bangunan cagar budaya, tetapi juga aktualisasi nilai-nilai yang dikandungnya.

19 Nilai-nilai warisan budaya selanjutnya dikomunikasikan kepada masyarakat melalui presentasi situs warisan budaya. Pengertian presentasi situs warisan budaya menurut ICOMOS Charter (2008: 4) adalah lebih khusus menunjukkan komunikasi yang direncanakan dengan baik dan merupakan hasil interpretasi melalui penyampaian informasi yang mudah dipahami, kemudahan untuk mengakses lokasi, dan infrastruktur di situs warisan budaya. Menurut Shalaginova (2008: 2), presentasi warisan budaya adalah proses komunikasi yang dirancang untuk menyampaikan makna dari suatu situs warisan budaya kepada pengunjung dan masyarakat setempat dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat, pemahaman tentang situs warisan budaya dan memperoleh dukungan publik dalam kegiatan diarahkan pada pengelolaan dan pelestarian. Kegiatan presentasi warisan budaya diarahkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap situs. 1.6.Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian yang telah dilakukan masih menitikberatkan pada fungsi watu kandang dan belum ada perumusan mengenai nilai penting, interpretasi, dan presentasinya kepada masyarakat. Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk menyampaikan alternatif dalam pemanfaatan situs watu kandang. Alternatif pemanfaatan situs dilakukan dengan cara melakukan interpretasi dan penyusunan model presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan sehingga mempermudah masyarakat dalam memahami makna yang terkandung di dalam watu kandang. Setelah masyarakat memperoleh pemahaman tentang watu

20 kandang, diharapkan masyarakat dapat mengapresiasi dan melestarikan watu kandang yang ada di Kabupaten Karanganyar. 1.7.Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian. Oleh karena itu, metode kualitatif senantiasa memiliki sifat holistik, yaitu penafsiran terhadap data dalam hubungannya dengan berbagai aspek yang mungkin ada ( Bogdan dan Taylor, 1975 dalam Kaelan, 2012: 5). Metode penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu penentuan lokasi penelitian, pengumpulan data, analisis, perumusan interpretasi, dan penyusunan model presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan Penentuan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian difokuskan di Dukuh Ngasinan, Desa Karangbangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar dengan beberapa pertimbangan Potensi Arkeologis Jumlah watu kandang di daerah ini paling banyak dibandingkan dengan lokasi lain di Kabupaten Karanganyar serta memiliki cakupan areal yang luas yaitu m². Dalam laporan pengolahan data Situs Matesih yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah tahun 1992, di Dukuh Ngasinan juga terdapat tinggalan budaya megalitik berupa menhir, dolmen, lumpang batu, dan batu dakon.

21 Potensi lingkungan Sebagian besar Watu Kandang berada di areal terbuka (persawahan) sehingga lebih memudahkan dalam merancang model presentasi. Posisi areal terbuka juga memudahkan penelitian tentang hubungan antara situs dengan lingkungannya Potensi aksesibilitas Situs Watu Kandang di Dukuh Ngasinan dilalui oleh jalan raya yang menghubungkan Kota Karanganyar dengan Tawangmangu sehingga memudahkan dalam pengembangan situs Potensi gangguan terhadap situs. Kondisi situs yang berada di areal terbuka berpotensi dimanfaatkan masyarakat untuk pemukiman atau kepentingan lain sehingga potensi kerusakan situs lebih besar Teknik Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian berupa data primer dan sekunder. Data primer dilakukan dengan cara observasi dan wawancara dengan stakeholder sehingga diperoleh informasi terkini watu kandang berserta lingkungannya, aktivitas masyarakat dan budaya yang berlangsung. Data sekunder dengan cara mengkaji laporan-laporan penelitian sebelumnya serta data tertulis lain yang terkait dengan Situs Watu Kadang. Data

22 yang diperoleh dipergunakan sebagai data dukung interpretasi dan penyusunan model presentasi Data Primer Observasi difokuskan pada aspek budaya materi (watu kandang dan tinggalan budaya megalitik lainnya), budaya non materi (adat istiadat, kesenian, dan kondisi sosial) serta lingkungan alamnya. Observasi pada aspek budaya materi dilakukan untuk mengkonfirmasi ulang hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti sebelumnya. Selain itu, diharapkan memperoleh data baru pada objek budaya materi (watu kandang dan tinggalan budaya megalitik lainnya). Observasi terhadap budaya non materi berupa adat istiadat, kesenian serta kondisi sosial sangat perlu dilakukan untuk mengetahui secara langsung aktivitas masyarakatnya. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan pertimbangan dalam interpretasi dan presentasi situs kepada masyarakat, sehingga tidak bertentangan dengan kondisi sosial dan budaya setempat. Lingkungan alam Situs Watu Kandang di Dukuh Ngasinan dan lingkungannya sebagian besar masih alami. Lingkungan alam menjadi fokus observasi untuk memperoleh karakter lingkungan serta keterkaitannya dengan Situs Watu Kandang. Dengan demikian, interpretasi dan presentasi warisan budaya watu kandang menjadi satu kesatuan yang harmonis. Interpretasi stakeholder terhadap situs watu kandang saat ini belum diketahui secara jelas. Untuk mengetahuinya diperlukan wawancara terhadap stakeholder sehingga diperoleh informasi keterkaitan antara interpretasi dan

23 perilaku stakeholder terhadap situs watu kandang. Wawancara juga bertujuan untuk menggali pendapat dan pengetahuan masyarakat tentang watu kandang sehingga interpretasi dan presentasi sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Wawancara dilakukan pada masyarakat yang lahannya terdapat watu kandang, masyarakat yang tidak mengetahui informasi tentang watu kandang, pengunjung situs watu kandang, dan pemerintah. Wawancara dilakukan dengan teknik semi terstruktur sehingga responden dapat terbuka dalam menyampaikan informasi. Informasi yang bersifat lebih fokus dilakukan FGD (Focus Group Discussion) dengan stakeholder Data Sekunder Interpretasi dan Presentasi situs warisan budaya memerlukan data yang dapat diterima secara ilmiah sehingga informasi yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan. Data tersebut berupa laporan-laporan hasil penelitian yang berkaitan dengan situs watu kandang. Informasi lain yang diperlukan adalah monografi desa dan data Karanganyar dalam angka, sehingga diketahui gambaran umum tentang data sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Kedua data ini sangat diperlukan agar interpretasi dan presentasi yang disampaikan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Presentasi hasil interpretasi tentunya memerlukan sarana dan prasarana sehingga membutuhkan ruang yang sesuai dengan informasi yang akan disampaikan. Data tersebut dapat diketahui dari Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Karanganyar dan zonasi cagar budaya.

24 Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 1 Tahun 2013 tentang RTRW Kabupaten Karanganyar berisi tentang zona pemanfaatan ruang daerah. Zonasi Cagar Budaya berisi tentang penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan pelestarian. Berdasar pada data tersebut maka dapat ditentukan sarana dan prasarana yang sesuai Langkah-Langkah Analisis Data Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun menjadi 3 (tiga) unit analisis, yaitu; (1) interpretasi stakeholder (2) hasil penelitian, peraturan, dan kebijakan, dan pustaka (3) karakteristik ekologi, sosial, dan budaya. Ketiga unit analisis kemudian diklasifikasi menjadi; (1) kondisi kerusakan dan kelengkapan batu komponen watu kandang; (2) upaya pelestarian Situs Watu Kandang yang telah dilakukan stakeholder; (3) hasil penelitian; (4) karakteristik sosial dan budaya (5) nilai penting Perumusan Interpretasi Situs Watu Kandang Ngasinan Interpretasi berkaitan dengan upaya menyampaikan nilai penting dan makna situs kepada berbagai kalangan masyarakat. Oleh karena itu, interpretasi Situs Watu Kandang Ngasinan harus diawali dengan penentuan nilai penting sehingga dapat diketahui makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang terkandung di dalam Situs Watu Kandang merupakan bentuk aktualisasi, sehingga masyarakat mudah dalam memahami pentingnya memelihara warisan budayanya. Masyarakat diharapkan mengerti tentang apa, mengapa dan bagaimana warisan budaya harus dilestarikan.

25 Penyusunan Model Presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan Berdasar interpretasi yang telah dirumuskan, selanjutnya ditentukan tema presentasi yang mewakili nilai penting dan makna situs. Penentuan tema akan dapat lebih memfokuskan gagasan dan ide peneliti dalam menyampaikan nilai dan makna objek, sehingga dapat membantu dalam mengatur lokasi dalam sebuah kesinambungan (Carter, 2001: 6-7). Tema di Situs Watu Kandang Ngasinan dilakukan dengan menentukan tema utama watu kandang yang merupakan warisan budaya megalitik. Selanjutnya untuk lebih mempermudah dalam menyampaikan pesan, maka ditentukan sub-sub tema yang menjelaskan makna yang terkandung dalam watu kandang melalui lokasi atau area yang telah ditentukan. Langkah-langkah penelitian yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan dalam bagan alur berikut: penelitian Teknik Pengumpulan Data : 1. Data primer, melalui observasi dan wawancara 2. Data sekunder, melalui studi pustaka Unit Analisis : 1. Interpretasi stakeholder 2. Hasil Penelitian terdahulu, peraturan dan kebijakan 3. Karakter ekologi, sosial dan budaya 4. Nilai penting Analisis Data Interpretasi Situs Watu Kandang Ngasinan Penyusunan Model Presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan Penentuan Tema Presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan Bagan 1.1. Alur Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Pengertian Megalitik telah banyak disinggung oleh para ahli sebagai suatu tradisi yang menghasilkan batu-batu besar, mengacu pada etimologinya yaitu mega berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tinggalan budaya masa lalu sebagai hasil kreativitas merupakan buah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tinggalan budaya masa lalu sebagai hasil kreativitas merupakan buah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tinggalan budaya masa lalu sebagai hasil kreativitas merupakan buah pikiran yang dapat berbentuk fisik (tangible) dan non-fisik (intangible). Tinggalan fisik

Lebih terperinci

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gua Pawon dengan segala bentuk temuan prasejarah yang terkandung di dalamnya, begitu juga dengan lingkungannya bila di kaitkan dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata untuk dikembangkan dan diupayakan menjadi daya tarik wisata daerah. Potensi wisata tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara. Perkembangan suatu kota dari waktu ke waktu selalu memiliki daya tarik untuk dikunjungi.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Secara kronologis, sejarah Indonesia meliputi masa prasejarah, hindu-budha, masa

BAB I. PENDAHULUAN. Secara kronologis, sejarah Indonesia meliputi masa prasejarah, hindu-budha, masa BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara kronologis, sejarah Indonesia meliputi masa prasejarah, hindu-budha, masa pengaruh islam dan masa pengaruh eropa. Bagian yang menandai masa prasejarah, antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peninggalan sejarah merupakan warisan budaya masa lalu yang

BAB I PENDAHULUAN. Peninggalan sejarah merupakan warisan budaya masa lalu yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peninggalan sejarah merupakan warisan budaya masa lalu yang mempresentasikan keluhuran dan ketinggian budaya masyarakat. Peninggalan sejarah yang tersebar di

Lebih terperinci

KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Situs Candi Muara Takus

KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Situs Candi Muara Takus 30 KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Wilayah perencanaan situs Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jarak kompleks candi

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. provinsi di Indonesia. Sebagai bagian dari Indonesia, Lampung tak kalah

I.PENDAHULUAN. provinsi di Indonesia. Sebagai bagian dari Indonesia, Lampung tak kalah 1 I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki ragam budaya dan nilai tradisi yang tinggi, hal tersebut dapat dilihat dari berbagai macam peninggalan yang ditemukan dari berbagai provinsi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. dituliskan dalam berbagai sumber atau laporan perjalanan bangsa-bangsa asing

BAB V KESIMPULAN. dituliskan dalam berbagai sumber atau laporan perjalanan bangsa-bangsa asing BAB V KESIMPULAN Barus merupakan bandar pelabuhan kuno di Indonesia yang penting bagi sejarah maritim Nusantara sekaligus sejarah perkembangan Islam di Pulau Sumatera. Pentingnya Barus sebagai bandar pelabuhan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan Fenomena kebudayaan selalu hadir dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan Fenomena kebudayaan selalu hadir dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Fenomena kebudayaan selalu hadir dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Seperti halnya Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mereka sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mereka sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya arkeologi adalah semua bukti fisik atau sisa budaya yang ditinggalkan oleh manusia masa lampau pada bentang alam tertentu yang berguna untuk menggambarkan,

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 33 METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian mengenai Rencana Penataan Lanskap Kompleks Candi Muara Takus sebagai Kawasan Wisata Sejarah dilakukan di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2003: 13). Megalitik berasal dari kata mega yang berarti besar dan lithos yang

BAB I PENDAHULUAN. 2003: 13). Megalitik berasal dari kata mega yang berarti besar dan lithos yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Beberapa kebudayaan diantaranya dimulai pada masa prasejarah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan jangka panjang Indonesia mempunyai sasaran utama. terciptanya landasan yang kuat dari bangsa Indonesia untuk tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan jangka panjang Indonesia mempunyai sasaran utama. terciptanya landasan yang kuat dari bangsa Indonesia untuk tumbuh dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan jangka panjang Indonesia mempunyai sasaran utama terciptanya landasan yang kuat dari bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 31 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Bio-Fisik Kawasan Karst Citatah Kawasan Karst Citatah masuk dalam wilayah Kecamatan Cipatat. Secara geografis, Kecamatan Cipatat merupakan pintu gerbang Kabupaten

Lebih terperinci

DAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA LEMBAR PENGESAHAN.. HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN UCAPAN TERIMKASIH ABSTRACT...

DAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA LEMBAR PENGESAHAN.. HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN UCAPAN TERIMKASIH ABSTRACT... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA LEMBAR PENGESAHAN.. HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN UCAPAN TERIMKASIH ABSTRAK. ABSTRACT... DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR TABEL.. DAFTAR LAMPIRAN..

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat. Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 163) yakni,

BAB I PENDAHULUAN. berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat. Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 163) yakni, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Friedman (2000) mengatakan, dalam perspektif global saat ini tidak banyak dipertentangkan tentang fakta bahwa homogenisasi dunia barat, tetapi kebanyakan masyarakat

Lebih terperinci

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan 2014

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan 2014 Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan 2014 Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Situs Sangiran (Sangiran Early Man Site) adalah salah satu Kawasan

BAB I PENDAHULUAN. Situs Sangiran (Sangiran Early Man Site) adalah salah satu Kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Situs Sangiran (Sangiran Early Man Site) adalah salah satu Kawasan Warisan Budaya Dunia yang ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 1996 dengan nomor register C.593. Kawasan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : a.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan pustaka yang berkaitan dengan topik yang

Lebih terperinci

PRASEJARAH INDONESIA

PRASEJARAH INDONESIA Tradisi Penguburan Jaman Prasejarah Di Liang Bua dan Gua Harimau E. Wahyu Saptomo Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta PRASEJARAH INDONESIA Prasejarah Indonesia dapat dibagi dua yaitu: - Prasejarah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti batu, sehingga dapat diartikan sebagai batu besar (Soejono, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. berarti batu, sehingga dapat diartikan sebagai batu besar (Soejono, 2010). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Megalitik berasal dari kata mega yang berarti besar dan lithos yang berarti batu, sehingga dapat diartikan sebagai batu besar (Soejono, 2010). Sebagian besar tinggalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN.. KATA PENGANTAR. UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR BAGAN... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... A. LATAR BELAKANG...

DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN.. KATA PENGANTAR. UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR BAGAN... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... A. LATAR BELAKANG... DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN.. KATA PENGANTAR. UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR BAGAN... DAFTAR TABEL.... DAFTAR GAMBAR..... i ii iii vi vii xii xiii xiv BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya dinikmati segelintir orang-orang yang relatif kaya pada awal

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya dinikmati segelintir orang-orang yang relatif kaya pada awal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Diawali dari kegiatan yang semula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

TINGGALAN TRADISI MEGALITIK DI DESA BASANGALAS, KECAMATAN ABANG, KABUPATEN KARANGASEM. Kadek Yogi Prabhawa Program Studi Arkeologi

TINGGALAN TRADISI MEGALITIK DI DESA BASANGALAS, KECAMATAN ABANG, KABUPATEN KARANGASEM. Kadek Yogi Prabhawa Program Studi Arkeologi 1 TINGGALAN TRADISI MEGALITIK DI DESA BASANGALAS, KECAMATAN ABANG, KABUPATEN KARANGASEM Kadek Yogi Prabhawa Program Studi Arkeologi Abstrak Archeology studies try to reconstruct human culture in the past

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan masyarakat masa lampau merupakan catatan sejarah yang sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau pegangan hidup bagi masyarakat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Kepulauan Indonesia adalah tuan rumah budaya megalitik Austronesia di masa lalu

1. PENDAHULUAN. Kepulauan Indonesia adalah tuan rumah budaya megalitik Austronesia di masa lalu 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepulauan Indonesia adalah tuan rumah budaya megalitik Austronesia di masa lalu dan sekarang. Bangunan megalitik hampir tersebar di seluruh kepulauan Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak peninggalan sejarah, baik yang berupa bangunan (candi, keraton, benteng pertahanan), maupun benda lain seperti kitab

Lebih terperinci

GERABAH MAMBANG JOMBANG: TRADISI PRASEJARAH YANG MASIH BERLANGSUNG SAMPAI SEKARANG SEBAGAI WUJUD ENKULTURASI. Oleh: Andik Suharyanto

GERABAH MAMBANG JOMBANG: TRADISI PRASEJARAH YANG MASIH BERLANGSUNG SAMPAI SEKARANG SEBAGAI WUJUD ENKULTURASI. Oleh: Andik Suharyanto GERABAH MAMBANG JOMBANG: TRADISI PRASEJARAH YANG MASIH BERLANGSUNG SAMPAI SEKARANG SEBAGAI WUJUD ENKULTURASI Oleh: Andik Suharyanto Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI LOKASI OBJEK PENELITIAN. Batang Hari. Candi ini merupakan peninggalan abad ke-11, di mana Kerajaan

BAB II DESKRIPSI LOKASI OBJEK PENELITIAN. Batang Hari. Candi ini merupakan peninggalan abad ke-11, di mana Kerajaan BAB II DESKRIPSI LOKASI OBJEK PENELITIAN A. Deskripsi Objek Wisata Candi Muaro Jambi Candi Muaro Jambi terletak di Kabupaten Muaro Jambi, tepatnya di Kecamatan Muaro Sebo, Provinsi Jambi. Lokasi candi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHLUAN. Pulau Bali merupakan daerah tujuan pariwisata dunia yang memiliki

BAB I PENDAHLUAN. Pulau Bali merupakan daerah tujuan pariwisata dunia yang memiliki BAB I PENDAHLUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Bali merupakan daerah tujuan pariwisata dunia yang memiliki keunikan tersendiri berupa keindahan panorama alam dan budayanya, sehingga menarik perhatian wisatawan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luas hutan Indonesia sebesar 137.090.468 hektar. Hutan terluas berada di Kalimantan (36 juta hektar), Papua (32 juta hektar), Sulawesi (10 juta hektar) Sumatera (22 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL Proyek yang direncanakan dalam Studio Konsep Perancangan Arsitektur (SKPA) berjudul Boyolali Historical Park sebagai Pengembangan Taman Sonokridanggo. Maksud dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan suatu proses kepergian seseorang menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya. Hal yang mendorong kepergiannya seperti kepentingan agama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, hal ini disebabkakan oleh kehidupan dan kebudayaan masyarakat Bali yang

BAB I PENDAHULUAN. dunia, hal ini disebabkakan oleh kehidupan dan kebudayaan masyarakat Bali yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pulau Bali merupakan salah satu dari kepulauan Indonesia yang terkenal di dunia, hal ini disebabkakan oleh kehidupan dan kebudayaan masyarakat Bali yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ashriany Widhiastuty, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ashriany Widhiastuty, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari sabang hingga merauke. Oleh karena itu Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku dan budaya serta

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mapun pembahasan, penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kawasan Dataran Tinggi Dieng adalah sebuah saujana yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan 19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan alamnya dari masa ke masa. Berbagai lingkungan mempunyai tatanan masing masing sebagai

Lebih terperinci

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan tanah terbuka pada suatu daerah yang dapat menjadi salah satu faktor penentu kualitas lingkungan. Kondisi lahan pada suatu daerah akan mempengaruhi

Lebih terperinci

PERUBAHAN FASADE DAN FUNGSI BANGUNAN BERSEJARAH (DI RUAS JALAN UTAMA KAWASAN MALIOBORO) TUGAS AKHIR. Oleh: NDARU RISDANTI L2D

PERUBAHAN FASADE DAN FUNGSI BANGUNAN BERSEJARAH (DI RUAS JALAN UTAMA KAWASAN MALIOBORO) TUGAS AKHIR. Oleh: NDARU RISDANTI L2D PERUBAHAN FASADE DAN FUNGSI BANGUNAN BERSEJARAH (DI RUAS JALAN UTAMA KAWASAN MALIOBORO) TUGAS AKHIR Oleh: NDARU RISDANTI L2D 005 384 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 3. PERADABAN AWAL INDONESIALatihan Soal 3.1. Menhir. Waruga. Sarkofagus. Dolmen

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 3. PERADABAN AWAL INDONESIALatihan Soal 3.1. Menhir. Waruga. Sarkofagus. Dolmen SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 3. PERADABAN AWAL INDONESIALatihan Soal 3.1 1. Bangunan megalithikum yang berbentuk batu bertingkat berfungsi sebagai tempat pemujaan terhadap nenek moyang disebut...

Lebih terperinci

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk Pola Pemukiman Terpusat Pola Pemukiman Linier Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk Adanya pemukiman penduduk di dataran rendah dan dataran tinggi sangat berkaitan dengan perbedaan potensi fisik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai yang terdapat di Pulau Jawa. Sungai Ciliwung ini dibentuk dari penyatuan aliran puluhan sungai kecil di kawasan Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Moses, 2014 Keraton Ismahayana Landak Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Moses, 2014 Keraton Ismahayana Landak Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesenian merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Selain itu kesenian juga mempunyai fungsi lain, seperti

Lebih terperinci

Gambar 4. Lokasi Penelitian

Gambar 4. Lokasi Penelitian 19 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama sembilan minggu, mulai akhir bulan Februari 2011 sampai dengan April 2011. Kegiatan penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sofyan Alamhudi, 2014 Kajian Visual Celengan Gerabah Di Desa Arjawinangun Blok Posong Kabupaten Cirebon

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sofyan Alamhudi, 2014 Kajian Visual Celengan Gerabah Di Desa Arjawinangun Blok Posong Kabupaten Cirebon BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sejak zaman dahulu selalu melakukan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dari kebutuhan pokok hingga kepuasan batin. Banyak teori yang mengemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah dan Budaya Lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indra manusia. Semakin jelas harmonisasi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang , 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang , 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, terletak di daerah khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari target yang ditetapkan. Kegiatan pertambangan mengalami penurunan seiring

BAB I PENDAHULUAN. dari target yang ditetapkan. Kegiatan pertambangan mengalami penurunan seiring BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kota Sawahlunto merupakan kota yang tumbuh karena pertambangan batu bara. Akan tetapi pada tahun 1997, produksi batu bara di PT. BA UPO kurang dari target

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang akan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang akan 7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dilakukan untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang akan diteliti. Dalam penelitian ini diuraikan beberapa konsep yang dapat dijadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah penghasil sumber daya alam khususnya tambang. Kegiatan penambangan hampir seluruhnya meninggalkan lahan-lahan terbuka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang luas lautan yang merupakan pesisir utara pulau Jawa. Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. membentang luas lautan yang merupakan pesisir utara pulau Jawa. Kabupaten BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Tuban provinsi Jawa Timur merupakan wilayah yang berada di Jalur Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa. Sebelah utara Kabupaten Tuban membentang luas lautan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Wilayah Kerinci secara administratif merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Wilayah Kerinci secara administratif merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wilayah Kerinci secara administratif merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jambi, wilayahnya mencakup daerah di sepanjang aliran sungai Batang Merangin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan tradisi dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan tradisi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan tradisi dan budaya. Salah satu warisan budaya yang menjadi identitas dari bangsa Indonesia adalah Batik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan salah satu faktor penunjang kehidupan di muka bumi baik bagi hewan, tumbuhan hingga manusia. Lahan berperan penting sebagai ruang kehidupan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Sumatera Selatan memiliki lahan yang cukup luas dan banyaknya sungai-sungai yang cukup besar. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dan untuk mencapai Lumbung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan,

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang turut mengembangkan perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang dilewati oleh dua jalur pegunungan muda dunia sekaligus, yakni pegunungan muda Sirkum Pasifik dan pegunungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan dengan daerah-daerah atau bangsa-bangsa lain di luar Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. hubungan dengan daerah-daerah atau bangsa-bangsa lain di luar Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Letak geografis Indonesia yang sangat strategis mengakibatkan adanya hubungan dengan daerah-daerah atau bangsa-bangsa lain di luar Indonesia. Kondisi tersebut sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam tersebut tersebar di seluruh propinsi yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam tersebut tersebar di seluruh propinsi yang ada di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang cukup banyak. Di sektor pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, pertambangan dan energi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara Timur. Di pulau ini ditemukan banyak tinggalan arkeologis yang

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara Timur. Di pulau ini ditemukan banyak tinggalan arkeologis yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pulau Alor merupakan salah satu pulau yang terletak di Kepulauan Nusa Tenggara Timur. Di pulau ini ditemukan banyak tinggalan arkeologis yang diperkirakan berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam masalah yang dihadapi pada saat ini. Masalah pertama yaitu kemampuan lahan pertanian kita

Lebih terperinci

BAB V A. KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya

BAB V A. KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya BAB V A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya ilmiah ini, diperoleh beberapa kesimpulan yang dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan penelitian, akan diuraikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia termasuk Negara Kepulauan yang memiliki rangkaian pegunungan dengan jumlah gunung berapi yang cukup tinggi, yaitu sekitar 240 gunung. Diantaranya, sekitar 70

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara kepulauan yang berada di garis khatulistiwa dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT 1 BUPATI BANDUNG BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN SITUS GUA PAWON DAN LINGKUNGANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-undang Republik Indonesia No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dan bersifat multidimensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang berkembang secara dinamis. Sebagai pusat pemerintahan, Kota Jakarta dilengkapi dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ternilai harganya, baik yang berupa budaya materi (tangible) maupun budaya non materi

BAB I PENDAHULUAN. ternilai harganya, baik yang berupa budaya materi (tangible) maupun budaya non materi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seperti telah lama diketahui bahwa bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang tak ternilai harganya, baik yang berupa budaya materi (tangible) maupun budaya non

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya ini pemerintah berupaya mencerdaskan anak bangsa melalui proses pendidikan di jalur

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan keberadaan hutan disekitarnya, pemanfaatan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya karena dapat membantu melestarikan warisan budaya sebagai jati diri

BAB I PENDAHULUAN. budaya karena dapat membantu melestarikan warisan budaya sebagai jati diri 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata budaya merupakan salah satu jenis pariwisata yang memanfaatkan perkembangan potensi hasil budaya manusia sebagai objek daya tariknya. Jenis wisata ini

Lebih terperinci

METODOLOGI. Hutan untuk Masa Depan Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia

METODOLOGI. Hutan untuk Masa Depan Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia Hutan untuk Masa Depan 2 METODOLOGI Struktur Buku ini adalah sebuah upaya untuk menampilkan perspektif masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan berkelanjutan. Buku ini bukanlah suatu studi ekstensif

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SITUS PURA MAOSPAHIT TONJA DENPASAR DALAM UPAYA PELESTARIANNYA

PENGELOLAAN SITUS PURA MAOSPAHIT TONJA DENPASAR DALAM UPAYA PELESTARIANNYA PENGELOLAAN SITUS PURA MAOSPAHIT TONJA DENPASAR DALAM UPAYA PELESTARIANNYA Luh Putu Sri Sugandhini Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana ABSTRACT Based on the fact in a pattern of religious

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah memiliki keanekaragaman budaya yang tak terhitung banyaknya. Kebudayaan lokal dari seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki beragam kebudayaan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya peninggalan peninggalan sejarah yang tersebar luas hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Desa Karangtengah merupakan salah satu desa agrowisata di Kabupaten Bantul,

BAB I PENDAHULUAN. Desa Karangtengah merupakan salah satu desa agrowisata di Kabupaten Bantul, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Karangtengah merupakan salah satu desa agrowisata di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya berdekatan dengan tempat wisata makam raja-raja Mataram. Menurut cerita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai macam suku, yang memiliki seni budaya, dan adat istiadat, seperti tarian tradisional. Keragaman yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya, merupakan sebuah sistem yang saling terkait satu sama lain. Manusia dalam menjalani kehidupannya

Lebih terperinci

Integrasi Budaya dan Alam dalam Preservasi Candi Gambarwetan

Integrasi Budaya dan Alam dalam Preservasi Candi Gambarwetan JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 5, No.2, (2016) 2337-3520 (2301-928X Print) G-169 Integrasi Budaya dan Alam dalam Preservasi Candi Gambarwetan Shinta Octaviana P dan Rabbani Kharismawan Jurusan Arsitektur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang terkenal akan kemajemukan suku bangsanya, terdapat lebih dari 654 komunitas lokal atau sub suku bangsa dari 19 suku bangsa tersebar di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Larasita Puji Daniar, 2014 Legenda Ciung Wanara Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. Larasita Puji Daniar, 2014 Legenda Ciung Wanara Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penciptaan Legenda merupakan salah satu warisan budaya yang harus dilestarikan. Di Indonesia terdapat berbagai macam legenda yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DAN PERMUSEUMAN DI INDONESIA. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman 2013

KEBIJAKAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DAN PERMUSEUMAN DI INDONESIA. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman 2013 KEBIJAKAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DAN PERMUSEUMAN DI INDONESIA Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman 2013 Perubahan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Menjadi Kementerian Pendidikan dan

Lebih terperinci

RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH

RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH Reny Kartika Sary Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Palembang Email : renykartikasary@yahoo.com Abstrak Rumah Limas

Lebih terperinci