BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah orang dengan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah orang dengan"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para penjaja seks komersial dan penyalah-guna narkotika, psikotropika, dan zat aditif (NAPZA) suntikan di beberapa provinsi seperti Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized epidemic). Hasil estimasi tahun 2009, di Indonesia terdapat orang dengan HIV positif (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan September 2011 tercatat jumlah Odha yang mendapatkan terapi ARV sebanyak dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi pada kelompok usia tahun (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). 2.1 HIV/AIDS Human immunodeficiency virus (HIV) atau acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) saat ini merupakan masalah kesehatan dunia yang mengancam kehidupan jutaan manusia. HIV mempunyai kemampuan untuk merusak semua organ tubuh manusia baik disebabkan secara langsung oleh virus itu sendiri maupun akibat kerentanan tubuh terhadap berbagai penyakit infeksi yang bersifat oportunistik (Gazzard, 1996)

2 2.1.1 Patogenesis Infeksi dan Siklus hidup HIV HIV termasuk famili retroviridae, klas retrovirus dan subklas lentivirus, merupakan viruss ribonucleic acid (RNA) karena menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik. Ada dua 1, merupakan jenis yang dominan di seluruh dunia d dan jenis yaitu HIV- HIV-2 terutama terdapat di Afrika Barat. HIV menyerang limfosit T helperr yang memiliki reseptor CD4 pada permukaannya, juga limfosit B, monosit, dan makrofag (Gazzard, 1996) Siklus hidup HIV terdiri dari fase perlengketan dan penempelan, reverse transcriptase, transkripsi, translasi, assembly, dann budding yaitu keluarnya HIV yang telah aktif dari sel setelah membajak m proses mekanisme normal dari sel (gambar 2.1) ). (WHO, 2010) Nevirapine sebagai non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor terhadap HIV-1 akan menghambat replikasi virus melalui inaktivasi enzim reverse transciptase (RT) dengan caraa berikatan secara langsung, sehingga mencegah terjadinya polimerisasi RNA virus pada p deoxyribonucleic acid (DNA) (gambar 2.1). (Harris, et al., 2008) Setelah terinfeksi HIV, dua sampai enam minggu terjadilah sindrom retroviral akut, selanjutnya s merupakan fase asimtomatik rata-rata 8 tahun, t dengan adanya infeksi oportunistik maka perjalanan penyakitt telah memasuki stadium AIDS. Faktor risiko yang menyebabkan cepatnya progresivitas penyakit ini antara lain viral load (VL), penurunan CD4 yang cepat, usia lanjut dan pengguna NAPZAA suntik (Gazzard, 1996)

3 Gambar 2.1. Siklus Hidup dan Patogenesis HIV dan target ART (Pomerantz and Horn, 2003) Klasifikasi klinis HIV/AIDS Ada dua klasifikasi utama untuk HIV/AIDS, yaitu klasifikasi menurut Centeres for Disease Control and Prevention (CDC) dan WHO. Klasifikasi klinis dari WHO seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Klasifikasi Klinis HIV berdasarkan kriteria WHO (2010) Stadium I 1. Asimtomatik 2. Limfadenopati generalisata

4 Stadium II 1.Berat badan menurun < 10 % 2. Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren, kheilitis angularis. 3. Herves Zoster dalam 5 tahun terakhir 4. Infeksi saluran nafas atas seperti sinusitis bakterialis Stadium III 1. Berat badan menurun > 10 %. 2. Diare kronis yang berlangsung > 1 tahun. 3. Demam > 1 bulan. 4. Kandidiasis orofaringeal. 5. Oral Hairy Leukoplakia. 6. TB paru dalam tahun terakhir. 7. Infeksi bakterial yang berat seperti pneumonia, piomiositis Stadium IV 1. HIV wasting syndrome. 2. Pneumonia Pneumocystis Carini. 3. Toksoplasmosis Otak. 4. Diare kriptosporidiosis > 1 bulan. 5. Kriptokokosis ekstrapulmonal. 6. Retinitis virus Citomegalo. 7. Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan. 8. Leukoensefalopati multifokal progresif. 9. Mikosis diseminata seperti histoplasmosis. 10. Kandidiosis esofagus,trakea, bronkus dan paru. 11. Mikobakteriosis atipikal diseminata. 12. Septikemia salmonelosis non-tifoid. 13. Tuberkulosis di luar paru. 14. Limfoma. 15. Sarkoma Kaposi. 16. Ensefalopati HIV Tatalaksana Pemberian ARV Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan penentuan stadium klinis infeksi dengan tujuan untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat untuk mendapat ARV atau tidak (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Untuk pasien baru HIV/AIDS, ada 4 pilihan paduan ARV sebagai lini pertama pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO dan juga dipakai di

5 Indonesia (Tabel 2.2) (WHO, 2010; Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Tabel 2.2. Paduan ARV sebagai lini pertama (Kementrian kesehatan Republik Indonesia, 2011) AZT + 3TC + NVP Zidovudine + ATAU Lamivudine + Nevirapine AZT + 3TC + EFV Zidovudine + ATAU Lamivudine + Efavirenz TDF + 3TC (atau FTC) + NVP Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + ATAU TDF + 3TC (atau FTC) + EFV Nevirapine Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz Pemantauan klinis dan laboratorium selama terapi ARV lini pertama Frekuensi Pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV. Sebagai batasan minimal, pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu ke- 2, 4, 8, 12 dan 24 sejak memulai ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil (WHO, 2010; Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Pengukuran SGPT dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda dan gejala, dan bukan pemeriksaan yang rutin. Bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara sel/mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu ke-2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV, dilanjutkan dengan pemantauan gejala klinis. Pengukuran VL tidak dianjurkan untuk monitoring pasien yang mendapat ARV terutama pada tempat-tempat dengan fasilitas dan kemampuan pasien yang terbatas.

6 Pemeriksaan VL umumnya digunakan sebagai alat diagnostik untuk menentukan gagal terapi. VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan pemantauan klinis atau pemeriksaan jumlah CD4. Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka terapi yang diberikan diharapkan menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi (undetectable) setelah bulan ke 6 (WHO, 2010; Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). 2.2 Antiretroviral (ARV) Prinsip pemberian ARV tidak untuk menyembuhkan, tetapi menghambat proses penyakit pada penderita HIV untuk beberapa tahun. Komponen terapi ARV terdiri dari beberapa obat yang dapat memperlambat reproduksi HIV pada tubuh, agar obat-obat tersebut dapat efektif dalam waktu yang lama maka diperlukan terapi kombinasi dari beberapa obat ARV (Ammassari, et al., 2002) Terdapat tiga kelompok obat ARV. Masing-masing ARV memliki cara yang berbeda dalam merusak atau menghambat HIV (Ammassari, et al., 2002; Fauci, 2003; Pomerantz and Horn, 2003; WHO, 2010; Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) yaitu: Reverse Transcriptase Inhibitors HIV membutuhkan suatu enzim yang dikenal dengan reverse transcriptase untuk menginfeksi sel induk dan mereproduksi dirinya. Seperti namanya, obat ini memperlambat produksi enzim transkriptase sehingga HIV tidak dapat menginfeksi sel dan menduplikasi diri. Golongan obat reverse transcriptase ini terdiri dari:

7 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI) Obat ini juga dikenal sebagai nukleoside analog, adalah obat jenis pertama untuk menghambat HIV yang diperkenalkan sejak tahun Non- Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) Golongan ini mulai dikenal pada tahun 1997 dan secara umum dikenal sebagai non-nukleosid Nukleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NtRTI) Hanya ada satu jenis obat dari golongan ini, yaitu tenofovir. Obat ini bekerja dengan mencegah reverse transkriptase enzim tetapi dalam cara yang berbeda dengan obat reverse transcriptase lain. Tabel 2.3. ARV golongan Reverse Transcriptase Inhibitors NRTI NNRTI NtRTI - Lamivudine - Abacavir - Zidovudine - Stavudine - Didanosin - Emtricitabine - Delavirdine - Efavirenz - Nevirapine Tenofovir Protease Inhibitor (PI) Golongan obat ini diperkenalkan pertama kali tahun 1995, cara kerjanya dengan menginhibisi protease, yaitu suatu enzim digestif untuk memecah protein yang digunakan oleh HIV dalam proses menduplikasikan dirinya. Tabel 2.4. Obat Protease Inhibitor Protease Inhibitor (PI)

8 - Lopinavir/ritonavir - Nelfinavir - Tipranavir - Saquinavir - Amprenavir - Ritonavir - Atazanavir - Indinavir Fusion atau Entry Inhibitor Pada permukaan sel HIV dijumpai glycoprotein 41 (gp41) dan gp120, yang berguna untuk mempersiapkan HIV melekatkan diri pada permukaan sel induk, dengan mencegah kerja dari salah satu protein tersebut, akan memperlambat proses reproduksi HIV. Sebagai contoh dari golongan ini adalah fusion inhibitor T20 yang melekat pada gp41. Obat T20 berbeda dari obat lainnya karena harus disuntikkan, karena T20 adalah suatu protein sehingga tidak dapat diberikan secara oral. Obat T20 yang dikenal saat ini adalah fruzeon atau enfuvirtid. 2.3 Nevirapine Nevirapine (NVP; gambar 2.2), salah satu non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) yang poten dan telah dapat ditoleransi dengan baik, saat ini pemberian nevirapine masih dua kali sehari. (Cheeseman, et al., 1993; Harris, et al., 2008; Parienti and Peytavin, 2011). Sediaan NVP yang beredar adalah dalam bentuk tablet 200mg (Viramune ) yang mulai dipasarkan secara luas sejak tahun 1996, dan dalam bentuk suspensi 10mg/ml. Dosis yang dianjurkan sebagai komponen kombinasi ARV adalah satu tablet 200mg sehari selama 14 hari, selanjutnya satu tablet 200mg dua kali sehari, dengan tujuan untuk menghidari kemungkinan terjadinya induksi cytochrome P 450 (CYP450) serta ruam kulit

9 sebagai efek samping akibat peningkatan konsentrasi plasma NVPP secara tiba-tiba setelah pemberian obat tersebut (Parienti and Peytavin, 2011) Gambar 2.2. Struktur kimia nevirapine (Cheeseman, et al., 1993) Nevirapine [11-cyclopropyl-5,11-dihydro-4-methyl-6H-dipyrido(3,2-b: 2,3 - e)-(1,4)-diazepin-6-one] merupakan turunann dari benzodiazepine dengan berat molekul 266,3g/mol. Serbuk NVPP berwarna putih, sangat lipofilik,, dan merupakan basa lemah dengan pk a 2,8. NVP dapat larut dalam air dengan n sempurna pada ph<3, tetapi pada ph normal NVPP hampir tidak dapat larut l sama sekali, dan relatif r tidak terlarut pada pelarut non-polar. (Cheeseman, et al., 1993; Harris, et al., 2008; Parienti dan Peytavin, 2011) Farmakodinamik NVP adalah inhibitor non-kompetitif yang selektif terhadap enzim reverse transciptase (RT) HIV-1 dengan pengaruh yang minimal terhadap HIV-2 RT, simian RT dan DNA polymerase manusia (Merluzzi, et al., 1990; Parienti and Peytavin, 2011). NVP menghamba at HIV-1 RT dengann cara berikatan secara langsung dengan enzim tersebut pada residu tyrosin yang

10 terdapat pada posisi 181 dan 188 dari subunit p66 yang berdekatan (Smerdon et al., 1994; Parienti dan Peytavin, 2011). Ikatan NVP pada sisi tersebut akan menghambat reaksi katalisasi HIV-RT secara signifikan. NVP tidak perlu melewati fosforilasi intrasel untuk menjadi aktif seperti golongan NRTI misalnya zidovudine, karena NVP dikemas dalam bentuk aktifnya secara langsung. NVP juga dapat mengikat RT virion ekstraseluler, termasuk yang dijumpai didalam plasma. (Zhang, et al., 1996; Parienti andpeytavin, 2011) Kadar inhibitory concentration 50 (IC 50 ) pada kultur sel T manusia adalah ~10µg/l (40 nmol/l). Substitusi asam amino tunggal dari HIV-1 RT dapat menghasilkan strain virus yang resisten terhadap NVP, dan strain resisten ini dapat dipicu oleh paparan NVP sebelumnya. Strain resisten dapat muncul hanya dalam beberapa minggu setelah penggunaaan NVP sebagai terapi tunggal pada penderita HIV-1 dewasa. Ketika NVP dikombinasi dengan minimal dua ARV lain sebagai komponen terapi ARV, sustained viral suppression, dan kemungkinan timbulnya strain resisten dapat dicegah pada sebahagian besar pasien. (Havlir, et al., 1996; Parienti and Peytavin, 2011) Farmakokinetik dan Metabolisme NVP diabsorbsi dengan cepat dan sempurna setelah pemberian secara oral. Kadar maksimum NVP plasma dapat dicapai dalam 4 jam setelah pemberian obat. Nevirapine memiliki bioavailabilitas yang tinggi (tabel 2.5), dapat mencapai 93% dari pemberian tablet secara oral, dan memiliki waktu paruh panjang. Pemberian obat bersamaan dengan makanan dapat menghambat absorbsi dari NVP, tetapi tidak mempengaruhi bioavailabilitas

11 obat, dengan demikian NVP dapat diberikan bersamaan atau tidak bersamaan dengan makanan (Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals Inc., 2004) Tabel 2.5 Median kadar steady-state plasma parameter farmakokinetik nevirapin dalam dosis 400mg sekali sehari dan 200mg dua kali sehari pada penderita HIV (van Heeswijk, et al., 2000) Parameter 400 mg sekali 200 mg dua kali p sehari sehari AUC0-24 h(h/μg/ml) ( ( ) 143.5) C max(μg/ml) 6.69 ( ) 5.74 ( ) 0.03 C min(μg/ml) 2.88 ( ) 3.73 ( ) <0.01 T max(h) 1.54 ( ) 2.01 ( ) 0.08 t 1/2(h) 21.5 ( ) 15.8 ( ) 0.77 Cl/F (L/h) 3.93 ( ) 3.67 ( ) 0.63 V/F (L) 116.5( ) 82.5 ( ) 0.73 Hampir 60% kadar NVP berikatan dengan protein plasma terutama albumin (Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals Inc., 2004). Nevirapine dapat melewati sawar plasenta (Cheeseman, et al., 1995; Parienti and Peytavin, 2011). Nevirapine juga terdeteksi di semen dan cerebral spinal fluid (CSF) dengan kadar masing-masing sebesar 30 dan 60% dari kadar plasma total (Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals Inc., 2004). Rute eliminasi utama NVP melalui metabolisme di hati oleh CYP450 isoenzim 3A4 dan 2B6, kemudian diekskresi terutama didalam urin melalui ginjal sebagai metabolit terhidroksilasi (80%) dan sisanya dalam bentuk metabolit utamanya (Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals Inc., 2004) Pemberian terapi jangka panjang dapat meyebebabkan terjadinya autoinduksi metabolik jalur eliminasi NVP. Akibat dari auto-induksi ini, bersihan NVP dapat meningkat 1,5-2 kali lipat dan t ½ β rata-rata akan

12 berkurang menjadi jam (Cheeseman, et al., 1995; Havlir, et al., 1995; Parienti and Peytavin, 2011) Untuk menghindari peningkatan kadar NVP secara tiba-tiba dan mengurangi toksisitas, cara pemberian NVP yang dianjurkan adalah dengan pemberian 200mg sekali sehari selama 2 minggu diikuti dengan peningkatan dosis 200mg dua kali sehari. Pemberian rejimen seperti ini dapat mempertahankan steady-state konsentrasi NVP sebesar 4000µg/l. (Cheeseman, et al., 1995; Parienti and Peytavin, 2011). Farmakokinetik NVP pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal tidak mengalami perubahan. Proses dialisis dapat meningkatkan bersihan NVP sehingga dosis pengulangan setelah dialisis dapat dipertimbangkan; pasien dengan gangguan fungsi hati sedang hingga berat (skor Child-Pugh >8, asites) memiliki resiko terjadinya akumulasi NVP, disamping itu NVP sendiri dapat menyebabkan kelainan fungsi hati berupa hepatotoksik imbas obat. Dalam kondisi seperti ini tidak dianjurkan pemberian NVP, namun Jika sangat diperlukan, harus dipertimbangkan pengurangan dosis obat (Harris, et al., 2008). Konsentrasi NVP berkaitan erat dengan supresi virologi, kadar optimal terendah yang disarankan untuk efek supresi ini >3,4mg/l; parameter farmakokinetik NVP memiliki sedikit variasi pada wanita, namun tidak ada perbedaan yang signifikan dalam konsentrasi NVP akibat perbedaan jenis kelamin setelah pemberian dosis tunggal ataupun dosis ganda. Pada orang dewasa, farmakokinetik NVP juga tidak berubah jauh akibat perbedaan usia (berkisar18-68 tahun) (Harris, et al., 2008).

13 2.3.3 Farmakokinetik nevirapine sekali sehari dan dua d kali sehari Profil steady-state plasma NVP setelahh pemberian dosis 400mg sekali sehari dan 200mg dua kali sehari telah diteliti oleh van Heeswijk, et al. (2000) menggunakan metode randomized, balanced, two-way cross-over bioequivalence study pada 20 penderita HIV-1 (van Heeswijk, et al., 2000) Paparan terhadap NVP yang diukur sebagai area under the plasma concentration vs time curve dari 0-24 jam (AUC 0-24h ) (gambar 2.3), memberikan hasil yang sebanding diantara keduaa rejimen pemberian. Untuk parameter farmakokinetik lain, seperti waktu paruh, clearence, dan volume distribusi, juga tidak berbeda diantara kedua dosis. Namun konsentrasi plasma maksimum (Cmax) lebih tinggi pada dosis sekali sehari sedangkan through nevirapine concentration (C t trough) lebih rendah pada rejimen sekali s sehari (van Heeswijk, et al., 2000). Hasil ini juga didukung oleh hasil penelitian pada 2NN studyy (van Leth, et al., 2004) Gambar 2.3 Kurva median konsentrasi steady-state plasma nevirapine berdasarkan waktu pada 200 penderitaa HIV setelah pemberiann nevirapine 400mg sekali sehari (lingkaran hitam) dan 200mg dua kali sehari (lingkaran putih) van Heeswijk,, et al. (2000)

14 2.3.4 Parameter farmakokinetik nevirapine dan respon virologi Konsentrasi nevirapine yang terbaik untuk menghambat replikasi virus dan efek jangka panjang, tidak pernah diperhitungkan sebelumnya karena steady-state nevirapine secara in vitro (median 4000ng/mL) sangat jauh diatas konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat 50% replikasi virus (IC 50 nevirapine in vitro 10.6ng/L), tetapi beberapa studi telah mendapatkan adanya kaitan antara konsentrasi NVP dengan respon virologi. Namun hasil ini belum seragam diantara semua penelitian yang telah ada dan mungkin dipengaruhi oleh tingkat kepatuhan (Cooper and van Heeswijk, 2007). INCA study menunjukkan hubungan positif diantara konsentrasi NVP dengan respon virologi (Veldkamp, et al., 2001). Pada penelitian tersebut, 51 penderita baru HIV diberikan terapi zidovudine, didanosine, dan nevirapine 200mg dua kali sehari. Penelitian ini membuktikan bahwa paparan NVP yang tinggi memiliki korelasi positif dan signifikan dengan tingkat bersihan HIV-RNA plasma pada 2 minggu pertama (inital response), serta tingkat keberhasilan setelah 52 minggu (long-term response). Konsentrasi treshold plasma nevirapine yang dianjurkan pada awal terapi dan jangka panjang adalah 3,5µg/mL. Hasil penelitian tentang farmakokinetik-farmakodinamik tersebut dapat memberikan gambaran tentang dampak negatif dari tingkat kepatuhan yang tidak baik terhadap konsentrasi obat dan respon virologi. (Cooper and van Heeswijk, 2007) Hubungan antara farmakokinetik nevirapine dengan toksisitas

15 Hubungan antara variabel farmakokinetik nevirapine dengan toksisitas yang terjadi secara klinis telah banyak diteliti, baik pada dosis standar atau pada dosis nevirapine sekali sehari. Sebahagian besar penelitian tersebut tidak menemukan hubungan yang signifikan antara konsentrasi dan paparan nevirapine dengan perubahan kadar SGOT atau SGPT. Tetapi beberapa penelitian lain mendapatkan konsentrasi nevirapine yang tinggi pada pasien yang mengalami peningkatan enzim hati, namun hal ini belum jelas apakah kadar nevirapine yang tinggi menyebabkan toksik atau peningkatan kadar nevirapine yang terjadi disebabkan oleh berkurangnya bersihan obat akibat kelainan fungsi hati yang telah terjadi sebelumnya. Satu studi yang menyimpulkan bahwa bersihan nevirapine berkurang sebesar 13,2% pada pasien-pasien dengan kadar SGOT>1,5 kali diatas nilai normal (de Matt, et all., 2002). Pemberian low-dose lead-in pada pasien baru dapat mencegah timbulnya ruam kulit. Satu studi membuktikan, peningkatan risiko terjadinya ruam kulit 2,3 kali lebih besar pada pasien yang memiliki kadar nevirapine diatas 5,3µg/mL (de Matt, et all., 2003). Penelitian lain yang membandingkan kadar nevirapine dalam darah pasien yang mendapat ruam dengan yang tidak setelah pemberian nevirapine dosis 200mg dua kali sehari, ternyata kadar obat dalam darah pasien yang mendapat ruam setelah pemberian sesuai dosis tersebut lebih tinggi secara signifikan dibanding yang tidak menderita ruam (Montaner, et al., 2003). Penelitian lain yang dilakukan oleh Launary, et al.,(2004) mendapatkan hasil yang hampir sama, dimana kadar nevirapine plasma pasien yang mendapat ruam lebih tinggi

16 dibanding dengan mereka yang tidak mendapat ruam, dengan rata-rata masing-masing 3,36 dan 3,48 µg/ml. Penelitian terbesar dan terbaru yang meneliti hubungan antara Farmakokinetik-farmakodinamik nevirapine yakni 2NN Study, tidak mendapatkan hubungan yang signifikan antara farmakokinetik nevirapine dengan parameter efek samping (Cooper and van Heeswijk, 2007) Keamanan dan Efek Samping Efek samping obat yang paling sering dilaporkan berkaitan dengan pemberian NVP adalah ruam kulit, peningkatan enzim hati, demam, fatigue, sakit kepala, dan mual. Ruam merupakan efek samping yang paling umum pada penggunaan NVP (Ammassari, et al., 2002). Ruam yang diakibatkan oleh NVP biasanya ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya. Resiko untuk timbulnya ruam terutama dijumpai pada 6 minggu pertama terapi. Dari empat uji klinis dengan menggunakan NVP, insidens terjadinya ruam oleh berbagai sebab mencapai 35% pada grup NVP dan 19% pada grup kontrol; dari total insiden ruam yang timbul, 16% diantaranya disebabkan oleh NVP; total 6.5% mengalami ruam tingkat 3 dan 4 pada kelompok NVP dibandingkan dengan 1.3% pada kelompok kontrol (Gathe, et al., 2010). Dari 2861 pasien yang di terapi dengan NVP dari berbagai uji klinis, sembilan pasien mengalami Sindroma Steven-Jhonson (SJS), termasuk dua yang dilaporkan mengalami SJS/Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) (Zhang, et al., 1996 ; van Heeswijk, et al., 2000) Sampai saat ini belum dapat dibuktikan faktor predisposisi tertentu untuk terjadinya ruam pada pasien. Mekanisme NVP menyebabkan ruam

17 juga masih belum diketahui pasti. Konsentrasi plasma, jenis kelamin, ras, obat-obat yang diberikan bersamaan, riwayat ruam, ataupun stadium penyakit tidak berkolerasi dengan terjadinya ruam. Berdasarkan analisa retrospektif, dosis NVP yang saat ini dianjurkan 200mg sekali sehari selama 2 minggu, selanjutnya 200mg dua kali sehari, menunjukkan lebih jarang dikaitkan dengan terjadinya ruam, namun demikian pasien harus diperingatkan untuk hati-hati terhadap efek samping obat ini karena dapat berpotensi serius (van Heeswijk, et al., 2000; Wit, 2000) Peningkatan enzim hati dan hepatotoksik imbas obat, pernah dilaporkan pada pasien yang sedang mendapat terapi NVP. Peningkatan Isolated gammaglutamyl transpeptidase juga cukup sering dijumpai, namun hal ini tidak memiliki arti secara klinis, dan sering dikaitkan dengan auto induksi enzim-enzim hati pada metabolisme NVP. Dari suatu penelitian controlled clinical trials didapatkan, 9 dari 906 (1%) pasien yang mendapat terapi NVP jangka lama, mengalami hepatotoksik imbas obat (Pollard, et al., 1998; Harris, et al., 2008; Gathe, et al., 2010), dan terjadinya hepatitis berat juga pernah dilaporkan pada pasien yang diberi terapi NVP (Wit, 2002; Harris, et al., 2008). Data dari penelitian the blinded FTC-302 study, studi fase III yang membandingkan efikasi pemberian NRTI emtricitabine dengan lamivudine, dikobinasi dengan stavudine, dimana keseluruhan subjek distratifikasi berdasarkan kadar baseline viral load untuk diberi nevirapine atau efavirenz. Dari semua peserta, 87% merupakan kulit hitam, dan 59% diantaranya adalah wanita. Para peneliti mendapatkan insiden hepatotoksik grade 3 dan 4 yang lebih tinggi pada kelompok yang diberi NVP yaitu 58

18 dari 468 pasien(15%) dan dua kasus diantaranya fatal (Harris, et al., 2008). Secara umum, hepatitis muncul pada 8 minggu pertama terapi, pada saat terjadinya peningkatan konsentrasi NVP akibat peningkatan dosis dari 200 menjadi 400mg sehari pada hari ke-14 pengobatan. Secara statistik, kejadian hepatotoksik imbas obat lebih banyak dua kali lipat pada wanita. (Bennett, et al., 2005; Harris, et al., 2008). Saat ini pemberian NVP tidak dianjurkan pada wanita dengan jumlah CD4>250 sel/mm 3 atau pria dengan jumlah CD4>400 sel/mm 3 untuk mengurangi resiko terjadinya hepatotoksik (Leith, et al., 2005; Harris, et al., 2008). Insiden terjadinya hepatotoksik meningkat seiring dengan durasi pemberian terapi yang lebih lama, dan adanya polymorphisms pada gen MDRI drug pump, P-glycoprotein. (Martinez, et al., 2001; Haas, 2005; Harris, et al., 2008) Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mencari faktor risiko terjadinya hepatotoksik imbas obat, diperkirakan pasien dengan koinfeksi hepatitis C cenderung memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya hepatotoksik imbas obat bila diberikan terapi NVP (Martinez et al., 2001; Wit, 2002; Harris, et al., 2008) Uji klinis dosis nevirapine pada manusia Dosis harian Nevirapine yang pernah diteliti pada pasien dewasa adalah 12.5, 50, 200, dan 400 mg. Dose-proportional effects terbaik ditemukan dengan pemberian dosis 400mg/hari. Dari studi terpisah untuk dosis 600mg dijumpai peningkatan toksisitas namun tidak disertai peningkatan keuntungan dan manfaatnya. Batasan utama untuk Doselimiting toxicity dilihat dari timbulnya ruam, dan peningkatan enzim hati.

19 Oleh karena itu, dosis 400mg sehari dipilih untuk pengembangan klinis. (Cheeseman, et al., 1995; Havlir, et al., 1995; Harris, et al., 2008; Parienti and Peytavin, 2011) Uji klinis pemberian Nevirapine sekali sehari dan Penyederhanaan dosis Dalam konteks untuk penyederhanaan rejimen pengobatan dan meningkatkan kepatuhan berobat, pengembangan dosis obat sekali sehari semakin menarik perhatian dan atensi para peneliti demi meningkatkan keberhasilan pengobatan pasien-pasien HIV/AIDS. Ada empat jenis ARV yang sudah diakui di Eropa dan Amerika serikat untuk diberikan sekali-sehari sebagai kombinasi pengobatan HIV, yaitu lamivudine, didanosine, tenofovir, dan efavirenz, sementara nevirapine masih dalam tahap penelitian (Ena and Pasquau, 2003) Saat ini dosis pemberian nevirapine adalah 200mg dua kali sehari, tetapi karena nevirapine memiliki waktu paruh plasma pada kadar steady state plasma yang panjang (25-30 jam), nevirapine menjadi kandidat yang layak dikembangkan untuk pemberian sekali sehari (Ena and Pasquau, 2003; Post, et al., 2010) Tabel 2.6. ARV yang telah disetujui sekali sehari (Ena and Pasquau, 2003) FDA-approved agents Investigational agents Efavirenz Emtricitabine (FTC) Didanosine, enteric coated Stavudine, extended release Tenofovir Atazanavir Lamivudine T-1249 Amprenavir/ritonavir Nevirapine a Abacavir a

20 Lopinavir/ritonavira Boosted PIs a a Under evaluation for once-daily use NN study (van Leth, et al., 2004) 2NN study merupakan multicentre, open-label, randomised trial, yang membandingkan efikasi pemberian NNRTI nevirapine and efavirenz, pada 1216 penderita HIV/AIDS baru. Pada penelitian tersebut, seluruh pasien dibagi ke dalam empat kelompok terapi secara acak; (1) nevirapine 400mg sekali sehari, (2) nevirapine 200mg dua kali sehari, (3) efavirenz 600mg sekali sehari, atau (4) nevirapine 400mg sekali sehari ditambah efavirenz 800mg sekali sehari; dan semua kelompok mendapat kombinasi terapi dengan stavudine (40mg dua kali sehari) dan lamivudine (150mg dua kali sehari) selama 48 minggu. Pada masing-masing kelompok studi, pemberian NVP diawali dengan dosis 200mg sekali sehari selama 2 minggu, dilanjutkan dengan eskalasi dosis 400mg sehari. Dari analisis terhadap efikasi primer (kegagalan virologi, progresi penyakit, dan perubahan terapi), didapatkan proporsi kegagalan terapi sebesar 43,6% pada kelompok sekali sehari dan 43,7% pada kelompok dua kali sehari pada minggu ke-48 atau sebelumnya. Khusus untuk kegagalan virologi, angka kegagalan pada kelompok dua kali sehari (18.9%) lebih tinggi dibanding dengan kelompok sekali sehari (11.4%) (p=0.016). Proporsi pasien dengan konsentrasi HIV-1 RNA plasma <50 kopi/ml pada minggu ke-48 terapi sebanding pada kedua

21 kelompok (70% pada kelompok sekali sehari dan 65.4% pada kelompok dua kali sehari) Efek samping klinis dan laboratorium pada kedua kelompok terapi juga sebanding. Hepatitis grade 3 dan 4 pada kelompok NVP sekali sehari dijumpai sebesar 1.4% sementara pada kelompok dua kali sehari dijumpai 2.1%. Ruam yang terjadi pada kelompok sekali sehari dan dua kali sehari, masing-masing 4.2 dan 3.4%. Namun peningkatan kadar enzim hati yang abnormal lebih banyak dijumpai pada pasien yang mendapat nevirapine sekali sehari (13.6% pada kelompok sekali sehari dan 8.3% pada kelompok dua kali sehari) Dengan hasil tersebut, studi tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kegagalan terapi yang signifikan diantara rejimen yang dipakai. Nevirapine sekali sehari memiliki efikasi dan keamanan yang sama dengan nevirapine dua kali sehari sehingga dapat dijadikan pilihan untuk penyederhanaan dosis Spanish scan study (Garcia, et al., 2000) Penelitian ini dilakukan terhadap 94 penderita baru HIV yang dibagi dalam dua kelompok secara random. Kelompok pertama terdiri dari 47 pasien, yang diberikan nevirapine 400mg dan didanosine 400mg sekali sehari, dan kelompok kedua dengan jumlah pasien yang sama diberikan nevirapine 200mg dua kali sehari dan didanosine 200mg dua kali sehari. Kombinasi ARV yang ketiga diberikan adalah stavudine 40mg dua kali sehari untuk kedua kelompok studi. Pada awal penelitian, kedua kelompok

22 diberikan dosis nevirapine yang sama, yaitu 200mg sekali sehari selama dua minggu. Untuk menilai efikasi dan keamanan pengobatan dilakukan dengan melihat perbandingan respon imun dan respon virologi setelah 80 minggu pemberian obat. Setelah 12 bulan pengobatan, pencapaian target viral load HIV-1 RNA <200 kopi/ml pada masing-masing kelompok studi adalah 73% pada kelompok yang mendapat nevirapine sekali sehari, dan 68% pada kelompok nevirapine dua kali sehari (intent-to-treat analysis). Tidak ada perbedaan efek samping obat secara keseluruhan yang bermakna diantara kedua kelompok studi. Empat pasien (8.5%) dari kelompok pertama (dua orang mengalami demam dan ruam kulit, satu pasien mengalami pankreatitis, dan satu pasien lagi karena lipodistrofi), serta tiga pasien (6.4%) dari kelompok kedua (semua karena ruam kulit dan demam), dikeluarkan dari penelitian dan dilakukan penggantian rejimen ARV. Sementara efek samping obat berupa hepatitis, dijumpai pada empat orang di kelompok kedua, pada kelompok pertama yang mendapat nevirapine sekali sehari tidak ada didapatkan hepatitis. Studi ini menyimpulkan bahwa penggunaan nevirapine sebagai kombinasi ARV yang aman dan dapat ditoleransi dengan baik seperti dosis standard, serta memiliki efektifitas yang sama dalam hal supresi viral load dan meningkatkan kadar CD VIRGO Study (Raffi, et al., 2000) VIRGO Study merupakan suatu penelitian nonrandomized, dengan rejimen ARV yang diberikan adalah didanosine 400mg sekali sehari,

23 stavudine 40mg dua kali sehari, dikombinasi dengan nevirapine 200mg dua kali sehari atau 400mg sekali sehari terhadap penderita HIV baru. Kelompok pertama sebanyak 60 pasien pertama diberikan nevirapine dua kali sehari, dan kelompok kedua sebanyak 40 pasien berikutnya diberikan nevirapine sekali sehari. Meskipun berbeda dalam jumlah sampel, namun kedua kelompok ini memiliki kohort yang sebanding (pria 77%, rerata umur 37 tahun, rerata berat badan 66kg, rerata CD4 432sel/ɥL), namun pasien dengan viral load > copy/mL lebih banyak pada kelompok pertama, sehingga perbedaan ini dapat menimbulkan bias pada pemeriksaan respon virologi. Setelah pemberian obat selama 24 minggu, persentase pasien yang mencapai plasma viral load <50copy/mL untuk kedua kelompok masingmasing 55 dan 67% dan perbedaan ini tidak signifikan. Efek samping yang terjadi juga tidak berbeda bermakna diantara kedua kelompok studi. Ada enam orang pasien yang dikeluarkan dari penelitian pada masing-masing kelompok karena intoleransi obat (delapan pasien menderita ruam kulit, dan empat orang mengalami peningkatan kadar transaminase). Ruam kulit akibat pemberian obat pada kelompok pertama sebanyak 24% sementara pada kelompok kedua sebanyak 23%. Ruam kulit ini umumnya terjadi pada pasien yang tidak patuh terhadap aturan pemberian dose escalation pada minggu awal pengobatan. Secara persentase, 78% pasien yang tidak patuh mengalami ruam kulit, berbanding dengan 19% pada kelompok pasien yang patuh dengan dose escalation.

24 VIRGO studi mendukung pemakaian nevirapine sekali sehari sebagai kombinasi ARV yang poten, ditoreansi dengan baik, mudah dan nyaman diaplikasikan Penelitian Negredo, et al. (2004) Penelitian Negrodo ini melihat efikasi dan keamanan perubahan dosis ARV dari berbagai rejimen ARV dua kali sehari menjadi paduan ARV dengan kombinasi nevirapine 400mg sekali sehari, didanosine 400mg dan tenofovir 300mg. Sebanyak 169 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini, 85 diantaranya diganti dengan rejimen penelitian, dan sisanya tetap melanjutkan rejimen ARV awal sebagai kelompok pembanding. Setelah 48 minggu pemberian obat, dilakukan perbandingan plasma viral load sebelum dan sesudah dilakukan perubahan rejimen obat pada kedua kelompok penelitian. Pada kelompok nevirapine sekali sehari, 65 dari 85 pasien (76%) dijumpai kadar plasma viral load tetap rendah <50 kopi/ml; sementara pada kelompok kedua yang tetap melanjutkan rejimen ARV, 72 dari 84 pasien (86%); hasil ini tidak berbeda bermakna (P=0.176). Efek samping lebih banyak dijumpai pada kelompok pasien yang dilakukan penggantian obat sesuai rejimen penelitian yaitu, 12 pasien (14.1%) berbanding 3 pasien (3.6%). Dari keseluruhan efek samping yang dijumpai, hepatitis sebanyak 5 pasien, pankreatitis akut 2 pasien, ruam kulit 2 pasien, xerostomia 2 pasien dan neruopaty perifer 1 pasien. Setelah 48 minggu pemberian obat, dilakukan penilaian kepatuhan berobat diantara kedua kelompok studi, dan dijumpai perbedaan yang

25 signifikan. Kepatuhan berobat pada kelompok pertama dengan rejimen penelitian sebesar 97% sementara pada kepatuhan berobat pada kelompok kedua yang meneruskan rejimen dua kali sehari hanya 69.2%. Data yang diperoleh dari hasil penelitian Negredo ini menunjukkan, keuntungan yang dapat diperoleh seiring dengan peningkatan kepatuhan berobat tetap lebih tinggi bila dibandingkan dengan efek samping yang terjadi NODy Study (Podzamczer, et al., 2008) Penelitian ini membandingkan efikasi, hepatotoksik dan keamanan perubahan rejimen pemberian nevirapine dua kali sehari menjadi sekali sehari pada penderita HIV-1, dengan menggunakan metode randomized, open label, multi centre selama 12 bulan yang dilakukan di Spanyol. Total sebanyak 298 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini, 143 pasien diantaranya mendapat rejimen nevirapine sekali sehari. Hasil yang didapatkan, virological success rates dan kejadian hepatotoksik grade 3-4 dijumpai sama diantara kedua kelompok studi. Koinfeksi hepatitis C dan peningkatan SGPT dari nilai awal tidak berkaitan dengan kejadian hepatotoksisitas pada penelitian ini. Peneliti menyimpulkan penggantian rejimen pengobatan menjadi nevirapine sekali sehari tetap aman karena insiden hepatotoksik yang rendah, dan rejimen tersebut masih efektif karena supresi virus dapat tetap dipertahankan DAUFIN Study (Rey, et al., 2009) DAUFIN study, suatu randomized, open-label, non-inferiority trial, membandingkan zidovudine 300mg/lamivudine 150mg ditambah

26 nevirapine 200mg dua kali sehari, dengan lamivudine 300mg tenofovir 245mg dan nevirapine 400mg sekali sehari. Sebanyak 70 pasien HIV-naif dengan CD4<350 sel/mm 3 disertakan dalam penelitian ini. Penelitian ini dihentikan setelah dijumpai adanya early virological failure pada 8/36 (22,2%) serta insiden mutasi-resistensi terhadap NNRTI lebih tinggi pada grup yang mendapat ARV sekali sehari. Kelemahan penelitian ini antara lain jenis obat yg diberikan berbeda, tingkat kepatuhan berobat terendah dari study Randomized Trial sejenis (79% vs 59%), jumlah Sampel Sedikit, median kadar VL dan CD4 lebih tinggi pada kelompok sekali sehari, kadar NVP plasma tidak dibandingkan antara yg gagal dan berhasil, data yang dipublikasikan tidak lengkap. Berdasarkan jenis mutasi yg terjadi maka kemungkinan penyebab utama resistensi adalah kadar nevirapine yang suboptimal Hubungan Frekuensi Minum Obat, Tingkat Kepatuhan dan Keberhasilan Terapi Ketidakpatuhan berobat merupakan masalah yang serius bagi pasienpasien dengan penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan jangka panjang (Srivastava, et al., 2013). Berdasarkan Internatiotal Society for Pharmacoeconomics and outcomes Research (ISPOR), kepatuhan berobat (medication compilance/adherence) didefinisikan sebagai penyesuaian diri terhadap rekomendasi yang dibuat oleh pemberi obat dengan memperhatikan waktu, dosis, dan frekuensi minum obat (Cramer, et al., 2008). Dengan tingkat kepatuhan berobat yang rendah, tingkat kegagalan pengobatan jangka pendek dapat meningkat melebihi 50% pada seluruh kasus (Srivastava, et al.,

27 2013). Masalah kepatuhan berobat ini sering dijumpai pada pasien-pasien HIV/AIDS (Carrieri, et al., 2006). Berdasarkan data yang pernah dipublikasi hingga tahun 2006, didapatkan bahwa pengurangan dosis dan frekuensi minum obat dalam sehari dapat memberikan keuntungan yang lebih besar terhadap kebiasaan dan kepatuhan berobat (Srivastava, et al., 2013). Tingkat kepatuhan berobat yang buruk pada penggunaan antiretroviral akan meningkatkan risiko terjadinya supresi virologis yang tidak optimal, perburukan penyakit dan kematian (Parienti, et al., 2009). Untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Untuk mencapai tingkat kepatuhan berobat yang optimal, pemberian dosis sekali sehari merupakan pilihan yang paling tepat (Parienti, et al., 2007). Meta-analisis terhadap tiga penelitian tentang kepatuhan berobat penderita HIV, didapatkan bahwa tingkat kepatuhan berobat dari pasienpasien yang diberikan rejimen terapi antiretroviral sekali sehari lebih tinggi secara signifikan dibandingkan pasien yang mendapat rejimen pengobatan dua kali sehari (OR 3.48, 95%CI , p=0.012, I %) (Parienti, et al., 2009; Srivastava, et al., 2013).

Pemberian ARV pada PMTCT. Dr. Janto G. Lingga,SpP

Pemberian ARV pada PMTCT. Dr. Janto G. Lingga,SpP Pemberian ARV pada PMTCT Dr. Janto G. Lingga,SpP Terapi & Profilaksis ARV Terapi ARV Penggunaan obat antiretroviral jangka panjang untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah MTCT Profilaksis

Lebih terperinci

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4),

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1,2,3. 4 United Nations Programme on HIV/AIDS melaporkan

BAB I PENDAHULUAN 1,2,3. 4 United Nations Programme on HIV/AIDS melaporkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang AIDS (Accquired Immunodeficiency Syndrom) adalah stadium akhir pada serangkaian abnormalitas imunologis dan klinis yang dikenal sebagai spektrum infeksi Human Immunodificiency

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau

I. PENDAHULUAN. Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau I. PENDAHULUAN Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusiaakibat infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome HIV merupakan virus Ribonucleic Acid (RNA) yang termasuk dalam golongan Retrovirus dan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno Deficiency Syndrome(AIDS) saat ini telah menjadi masalah kesehatan global. Selama kurun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. tertinggi dia Asia sejumlah kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. tertinggi dia Asia sejumlah kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKAA 2.1 Epidemiologi HIV/AIDS Secara global Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan kasusa HIV tertinggi dia Asia sejumlah 380.000 kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan pada tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh.

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS

TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS BAB 2 TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS 2.1 Pengenalan Singkat HIV dan AIDS Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, HIV adalah virus penyebab AIDS. Kasus pertama AIDS ditemukan pada tahun 1981. HIV

Lebih terperinci

Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang. Bagaimana HIV menular?

Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang. Bagaimana HIV menular? Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang HIV berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Ini adalah retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala akibat penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus

Lebih terperinci

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di 1 BAB II PENDAHULUANN 1.1 Latar Belakangg Humann Immunodeficiencyy Viruss (HIV) / Acquired Immuno Deficiency Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di dunia, dimana jumlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yaitu pada sel-sel darah putih yang bertugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berkurang. Data dari UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV and

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berkurang. Data dari UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV and BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan masyarakat di seluruh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV/AIDS 2.1.1 Definisi HIV/AIDS AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Jika diterjemahkan secara bahasa : Acquired artinya didapat, jadi bukan merupakan

Lebih terperinci

Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak:

Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak: Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak: Menuju akses universal Oleh: WHO, 10 Juni 2010 Ringkasan eksekutif usulan. Versi awal untuk perencanaan program, 2010 Ringkasan eksekutif Ada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sejarah Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus HIV (Human

Lebih terperinci

VI. Mulai dengan apa rejimen lini pertama yang diusulkan untuk bayi dan anak

VI. Mulai dengan apa rejimen lini pertama yang diusulkan untuk bayi dan anak ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) VI. Mulai dengan apa rejimen lini pertama yang diusulkan untuk bayi dan anak Pertimbangan untuk pengobatan dengan pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada negara- negara berkembang, HIV/AIDS merupakan salah satu ancaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada negara- negara berkembang, HIV/AIDS merupakan salah satu ancaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human immunodeficiency virus atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu penyebab utama kematian global (Saraceni et. al., 2014). Banyak

Lebih terperinci

XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV

XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV Tuberkulosis (TB) mewakili ancaman yang bermakna pada kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia Pada Pasien HIV/AIDS 2.1.1 Definisi Anemia Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis dimana konsentrasi hemoglobin kurang dari 13 g/dl pada laki-laki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun Pada

I. PENDAHULUAN. imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun Pada 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun 1981. Pada tahun 1983, agen penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai infeksi disebut dengan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS).

BAB I PENDAHULUAN. berbagai infeksi disebut dengan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah dikenal sejak tahun 1983 dan termasuk dalam golongan retrovirus. HIV menyerang sistem imun yang secara bertahap akan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1.1 Latar Belakang Penyakit human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS) disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu retrovirus yang berasal dari famili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Joint United National Program on

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Joint United National Program on BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) saat ini merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia. Berdasarkan data yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2015, United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan bahwa secara global sekitar 36.7 juta orang hidup dengan HIV dan 2.1 juta orang baru terinfeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) semakin nyata menjadi masalah kesehatan utama di seluruh

Lebih terperinci

CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV. Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi

CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV. Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di dunia, dimana penderita HIV terbanyak berada di benua Afrika dan Asia. Menurut World Health Organization

Lebih terperinci

INFORMASI TENTANG HIV/AIDS

INFORMASI TENTANG HIV/AIDS INFORMASI TENTANG HIV/AIDS Ints.PKRS ( Promosi Kesehatan Rumah Sakit ) RSUP H.ADAM MALIK MEDAN & TIM PUSYANSUS HIV/AIDS? HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS yang merupakan singkatan dari Acquired

BAB 1 PENDAHULUAN. menurunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS yang merupakan singkatan dari Acquired BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang AIDS dapat terjadi pada hampir semua penduduk di seluruh dunia, termasuk penduduk Indonesia. AIDS merupakan sindrom (kumpulan gejala) yang terjadi akibat menurunnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Berdasarkan data dari WHO di seluruh dunia pada tahun 1991 sudah ditemukan 47 penderita HIV, kemudian pada tahun 1994 dilaporkan sudah meningkat menjadi 274 penderita.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan salah satu. Penurunan imunitas seluler penderita HIV dikarenakan sasaran utama

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan salah satu. Penurunan imunitas seluler penderita HIV dikarenakan sasaran utama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan salah satu infeksi yang perkembangannya terbesar di seluruh dunia, dalam dua puluh tahun terakhir diperkirakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Imunnodeficiency Syndrome (AIDS) HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus RNA berpilin tunggal. HIV menginfeksi dan membunuh helper (CD4) T lymphocytes. Sel-sel lainnya yang mempunyai protein

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Imunnodeficiency Syndrome (AIDS) 2.1.1 Definisi HIV merupakan sebuah retrovirus yang memiliki genus lentivirus, genus ini memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS (Ramaiah, 2008). Target dari HIV adalah sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) adalah suatu jenis retrovirus yang memiliki envelope, yang mengandung RNA dan mengakibatkan gangguan sistem imun karena menginfeksi

Lebih terperinci

SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Farmasi ( S1 )

SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Farmasi ( S1 ) STUDI PENGGUNAAN ANTIRETROVIRAL PADA PENDERITA HIV(Human Immunodeficiency Virus) POSITIF DI KLINIK VOLUNTARY CONSELING AND TESTING RSUD dr. SOEBANDI JEMBER Periode 1 Agustus 2007-30 September 2008 SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. enzim reverse transcriptase, yaitu enzim yang memungkinkan virus merubah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. enzim reverse transcriptase, yaitu enzim yang memungkinkan virus merubah 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV/AIDS 2.1.1 Definisi HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk dalam golongan virus RNA, yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi AIDS Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular menjadi masalah dalam kesehatan masyarakat di Indonesia dan hal ini sering timbul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menyebabkan kematian penderitanya.

Lebih terperinci

HIV dan Anak. Prakata. Bagaimana bayi menjadi terinfeksi? Tes HIV untuk bayi. Tes antibodi

HIV dan Anak. Prakata. Bagaimana bayi menjadi terinfeksi? Tes HIV untuk bayi. Tes antibodi Prakata Dengan semakin banyak perempuan di Indonesia yang terinfeksi HIV, semakin banyak anak juga terlahir dengan HIV. Walaupun ada cara untuk mencegah penularan HIV dari ibu-ke-bayi (PMTCT), intervensi

Lebih terperinci

OBAT ANTIVIRUS GOLONGAN OBAT ANTI NONRETROVIRUS

OBAT ANTIVIRUS GOLONGAN OBAT ANTI NONRETROVIRUS OBAT ANTIVIRUS Virus hanya dapat ditanggulangi oleh antibodies selama masih berada di dalam darah. Bila virus sudah masuk ke dalam sel, segera system-interferon dengan khasiat antiviralnya turun tangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan dan kemajuan sosial. Banyak negara miskin yang sangat dipengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan dan kemajuan sosial. Banyak negara miskin yang sangat dipengaruhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epidemi HIV/AIDS merupakan krisis global dan tantangan bagi pembangunan dan kemajuan sosial. Banyak negara miskin yang sangat dipengaruhi oleh epidemi ini ditinjau dari

Lebih terperinci

ANTIVIRUS. D. Saeful Hidayat. Bagian Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

ANTIVIRUS. D. Saeful Hidayat. Bagian Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ANTIVIRUS D. Saeful Hidayat Bagian Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 1 (VISHAM = racun ) VIRUS Mikroorganisme terkecil 20 30 mikron Prion protein penyebab penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

Senarai Ubat HIV Dunia

Senarai Ubat HIV Dunia Senarai Ubat HIV Dunia Lebih daripada 20 jenis ubat anti-hiv boleh didapati sekarang ini. Kelas-kelas Ubatan HIV Ubat-ubat di bawah disusun oleh kelas ubatan. Kelas-kelas ini mempunyai nama panjang yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. (1) Saat ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Immunodeficiency Virus menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Immunodeficiency Virus menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih, 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. Human Immunodeficiency Virus menyerang salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan pada peningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab sekumpulan gejala akibat hilangnya kekebalan tubuh yang disebut Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).

Lebih terperinci

Dampak Perpaduan Obat ARV pada Pasien HIV/AIDS ditinjau dari Kenaikan Jumlah Limfosit CD4 + di RSUD Dok II Kota Jayapura

Dampak Perpaduan Obat ARV pada Pasien HIV/AIDS ditinjau dari Kenaikan Jumlah Limfosit CD4 + di RSUD Dok II Kota Jayapura PLASMA, Vol. 1, No. 2, 2015 : 53-58 Dampak Perpaduan Obat ARV pada Pasien HIV/AIDS ditinjau dari Kenaikan Jumlah Limfosit CD4 + di RSUD Dok II Kota Jayapura Comparison of the Efficacy of ARV Combination

Lebih terperinci

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). 10,11 Virus ini akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit infeksi atau keganasan tertentu yang timbul sebagai akibat menurunnya daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber: Kemenkes, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Sumber: Kemenkes, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang merupakan penyebab dari timbulnya Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), masih menjadi masalah kesehatan utama secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tersebut disebut AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). UNAIDS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tersebut disebut AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). UNAIDS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus atau HIV merupakan virus yang menyerang imunitas manusia. Kumpulan gejala penyakit yang muncul karena defisiensi imun tersebut disebut AIDS

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA. Gambar 1 Proses Infeksi Virus HIV terhadap sel Darah Putih Sehat (Feng dan Rong 2006)

MODEL MATEMATIKA. Gambar 1 Proses Infeksi Virus HIV terhadap sel Darah Putih Sehat (Feng dan Rong 2006) 5 MODEL MATEMATIKA Interaksi Virus Terhadap Sel Darah Putih Sehat AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV. Virus ini merusak sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh mudah diserang berbagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit HIV & AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang melanda dunia. Indonesia merupakan negara di ASEAN yang paling tinggi

Lebih terperinci

PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER PADA PASIEN HIV(+) YANG DIMONITOR SELAMA PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL

PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER PADA PASIEN HIV(+) YANG DIMONITOR SELAMA PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER PADA PASIEN HIV(+) YANG DIMONITOR SELAMA PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL Dr. Donna Partogi, SpKK NIP. 132 308 883 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FK.USU/RSUP

Lebih terperinci

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh adanya infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Infeksi Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang menimbulkan masalah besar di dunia.tb menjadi penyebab utama kematian

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENGETAHUAN SISWA SMA MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA TENTANG HIV/AIDS SESUDAH PEMBERIAN EDUKASI SKRIPSI

PERBEDAAN PENGETAHUAN SISWA SMA MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA TENTANG HIV/AIDS SESUDAH PEMBERIAN EDUKASI SKRIPSI PERBEDAAN PENGETAHUAN SISWA SMA MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA TENTANG HIV/AIDS SESUDAH PEMBERIAN EDUKASI SKRIPSI Oleh : FATI RIFIATUN K100070186 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Pasien ART Rendahnya imunitas dan beratnya keadaan klinis pasien saat memulai ART mempengaruhi lamanya proses perbaikan imunologis maupun klinis pasien. Tabel 2

Lebih terperinci

V. Kapan mulai terapi antiretroviral pada bayi dan anak

V. Kapan mulai terapi antiretroviral pada bayi dan anak ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) V. Kapan mulai terapi antiretroviral pada bayi dan anak Proses pengambilan keputusan untuk mulai ART pada bayi dan anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) telah menjadi masalah yang serius bagi dunia kesehatan. Menurut data World Health

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2013, United Nations Program on HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan bahwa diperkirakan 35,3 juta orang hidup dengan HIV secara global. Wilayah yang terkena dampak

Lebih terperinci

Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba

Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba Dr. Muh. Ilhamy, SpOG Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Ditjen Bina Kesmas, Depkes RI Pertemuan Update Pedoman Nasional PMTCT Bogor, 4

Lebih terperinci

X. Perubahan rejimen ARV pada bayi dan anak: kegagalan terapi

X. Perubahan rejimen ARV pada bayi dan anak: kegagalan terapi ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) X. Perubahan rejimen ARV pada bayi dan anak: kegagalan terapi Kepatuhan yang kurang, tingkat obat yang tidak cukup, resistansi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Lebih terperinci

Prevalensi Sindrom Stevens-Johnson Akibat Antiretroviral pada Pasien Rawat Inap di RSUP Dr. Hasan Sadikin

Prevalensi Sindrom Stevens-Johnson Akibat Antiretroviral pada Pasien Rawat Inap di RSUP Dr. Hasan Sadikin Prevalensi Sindrom Stevens-Johnson Akibat Antiretroviral pada Pasien Rawat Inap di RSUP Dr. Hasan Sadikin Nurmilah Maelani*, Irna Sufiawati**, Hartati Purbo Darmadji*** *Student of Dental Faculty, Padjadjaran

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : CD4, HIV, obat antiretroviral Kepustakaan : 15 ( )

ABSTRAK. Kata kunci : CD4, HIV, obat antiretroviral Kepustakaan : 15 ( ) PERBEDAAN KADAR CD4 SEBELUM DAN SESUDAH PENGGUNAAN ANTI RETROVIRAL TERAPI PADA PENDERITA HIV DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KAHURIPAN KECAMATAN TAWANG KOTA TASIKMALAYA TAHUN 2014 Prayitno ) Hidayanti 2) Program

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV dapat menyebabkan penderita

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 27 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain Penelitian yang dipilih adalah rancangan studi potong lintang (Cross Sectional). Pengambilan data dilakukan secara retrospektif terhadap data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah HIV/AIDS. Pada tahun 2012, terdapat 8.6 juta orang

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah HIV/AIDS. Pada tahun 2012, terdapat 8.6 juta orang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia hingga saat ini. TB menjadi penyakit infeksi penyebab kematian terbesar kedua di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah HIV/AIDS.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) semakin nyata menjadi masalah kesehatan utama diseluruh dunia (Yasin

Lebih terperinci

ABSTRAK. Adherence Scale (MMAS).

ABSTRAK. Adherence Scale (MMAS). iv ABSTRAK HIV positif merupakan kondisi ketika terdapat infeksi Human Immunodeficiency Virus di dalam darah seseorang. Sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) semakin menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Komplikasi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Komplikasi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Komplikasi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) terhadap perubahan status nutrisi telah diketahui sejak tahap awal epidemi. Penyebaran HIV di seluruh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir dari infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir dari infeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir dari infeksi yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus ini

Lebih terperinci

PEMBERIAN ANTI RETRO VIRAL SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN PENULARAN INFEKSI HIV DARI IBU KE BAYI. dr. Made Bagus Dwi Aryana, SpOG (K)

PEMBERIAN ANTI RETRO VIRAL SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN PENULARAN INFEKSI HIV DARI IBU KE BAYI. dr. Made Bagus Dwi Aryana, SpOG (K) PEMBERIAN ANTI RETRO VIRAL SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN PENULARAN INFEKSI HIV DARI IBU KE BAYI dr. Made Bagus Dwi Aryana, SpOG (K) BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD / RSUP SANGLAH DENPASAR 2012 AIDS.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. global.tuberkulosis sebagai peringkat kedua yang menyebabkan kematian dari

BAB I PENDAHULUAN. global.tuberkulosis sebagai peringkat kedua yang menyebabkan kematian dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan utama global.tuberkulosis sebagai peringkat kedua yang menyebabkan kematian dari penyakit menular di seluruh dunia

Lebih terperinci

spiritia Pelatihan Pendidik Pengobatan TB-HIV Buku Pedoman untuk Pelatih

spiritia Pelatihan Pendidik Pengobatan TB-HIV Buku Pedoman untuk Pelatih spiritia Pelatihan Pendidik Pengobatan TB-HIV Buku Pedoman untuk Pelatih Disusun oleh Chris W. Green 2014 Pendahuluan Beberapa penelitian membuktikan bahwa orang yang hidup dengan HIV-AIDS (Odha) yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) & Acquired Immunodeficieny Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang

Lebih terperinci

Nama : Ella Khairatunnisa NIM : SR Kelas : SI Reguler IV B Asuhan Keperawatan Klien Dengan HIV/AIDS

Nama : Ella Khairatunnisa NIM : SR Kelas : SI Reguler IV B Asuhan Keperawatan Klien Dengan HIV/AIDS Nama : Ella Khairatunnisa NIM : SR072010031 Kelas : SI Reguler IV B Asuhan Keperawatan Klien Dengan HIV/AIDS Asuhan Keperawatan Wanita Dan Anak Dengan HIV/AIDS 1. Pencegahan Penularan HIV pada Wanita dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi HIV/AIDS Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang sel darah putih dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit, diantaranya Acquired Immuno Defeciency Syndrome. (AIDS) adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh Virus

BAB I PENDAHULUAN. penyakit, diantaranya Acquired Immuno Defeciency Syndrome. (AIDS) adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh Virus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir dekade ini telah di jumpai berbagai macam penyakit, diantaranya Acquired Immuno Defeciency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh Virus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune. rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV 1.

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune. rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV 1. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia

Lebih terperinci

Pertemuan Koordinasi Kelompok Penggagas. Update pengobatan HIV. Penyembuhan. Perkembangan obat. Pertemuan Koordinasi Kelompok Penggagas

Pertemuan Koordinasi Kelompok Penggagas. Update pengobatan HIV. Penyembuhan. Perkembangan obat. Pertemuan Koordinasi Kelompok Penggagas Pertemuan Koordinasi Kelompok Penggagas Update tentang Pengobatan HIV 1. Perkenalkan diri serta pengalaman Anda. Perkenalkan sesi ini sebagai ringkasan yang sangat singkat mengenai perkembangan dalam perawatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu sindroma/

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu sindroma/ 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu sindroma/ kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit infeksi atau keganasan tertentu yang timbul sebagai akibat menurunnya

Lebih terperinci

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIRETROVIRAL PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) Edy Bachrun (Program Studi Kesehatan Masyarakat, STIKes Bhakti Husada Mulia Madiun) ABSTRAK Kepatuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari 1. Sampel Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sampel pada penelitian ini sebanyak 126 pasien. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari Juni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak

BAB I PENDAHULUAN. menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsi. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci