SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI"

Transkripsi

1 SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat, Kasus Di Taman Nasional Meru Betiri ERVIZAL AMZU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

2 ABSTRACT ERVIZAL AMZU. Community Attitude and Conservation, An Analysis on Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.) As Medicinal Plant Stimulus to the Community, Case in Meru Betiri National Park. Under supervision of KURNIA SOFYAN, LILIK BUDI PRASETYO and HARIADI KARTODIHARDJO. Ten years of direct experience in Meru Betiri National Park (MBNP) had shown that the community attitude and conservation was one united action. Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) conservation in the natural forest of MBNP was not going well and there were no natural regeneration of kedawung for over the last 10 years. This research studied the root of conservation problem viewed from the relation of attitude and conservation action taking shape in the field, through the study of the attitude of pendarung community to kedawung stimulus in the natural forest. Pendarung is small community in MBNP, which had conducted nontimber forest products collection for generations, one of which is kedawung. Ideal conservation attitude toward kedawung is the motivation of crystallization of kedawung stimulus to the attitude components of cognitive, affective and behavior/overt action. The research assessed the attitude and behavior of community and manager by conducting interview to the statements of kedawung stimulus to conservation. The stimulus being assessed were divided into three groups, which were natural stimulus (mainly stimulus related to rarity, population characteristics and regeneration, ecological function), benefit stimulus (economic and medicinal), and religious stimulus (spiritual values, ethics, culture which encourage the willingness to sacrifice for conservation). Result of the research had obviously shown that the conservation of kedawung did not happen in the field. The root of the problem was because the three group of stimulus had not simultaneously become the stimulant to the attitude and conservation action of the community and manager. There were also no willingness to sacrifice for conservation action, both in the community and the manager. Kedawung stimulus strongly responded by the community were only the benefit stimulus (economic value) and natural stimulus (ecological function value). However, the stimulus had not encouraged the attitude and action of the community to conservation of kedawung. The solution to the problem root of this research findings were to build the attitude of community and manager with the concept of tri-stimulus amar konservasi and to revise national park management policies, particularly regulation, and to improve the capacity and performance of human resources. Prerequisite of the realization of conservation in the real world was the creation of the attitude of community and manager strongly encouraged by tristimulus amar konservasi, which was the crystallization or intact union of natural stimulus, benefit stimulus, and religious stimulus. The implication of the research to the national park and biodiversity management was that the concept of tri-stimulus amar konservasi is the tool and gate to conduct management policies revision, started from regulation up to the substantial of management activity in the field. Key Words : stimulus, attitude, amar, pendarung community, conservation, kedawung, national park

3 ABSTRAK ERVIZAL AMZU. Sikap Masyarakat dan Konservasi, Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.) Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat, Kasus di Taman Nasional Meru Betiri. Dibimbing oleh KURNIA SOFYAN, LILIK BUDI PRASETYO DAN HARIADI KARTODIHARDJO. Pengalaman langsung (direct experience) 10 tahun di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), menunjukkan bahwa sikap masyarakat dan konservasi merupakan satu kesatuan aksi. Konservasi kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) di hutan alam TNMB tidak berjalan dengan baik dan tidak terjadinya regenerasi kedawung secara alami selama lebih dari 10 tahun terakhir. Penelitian disertasi ini mengkaji akar permasalahan konservasi yang ditinjau dari kaitan sikap dan aksi konservasi yang terwujud di lapangan melalui kajian sikap masyarakat pendarung terhadap stimulus kedawung yang terjadi di hutan alam. Masyarakat pendarung merupakan masyarakat kecil di TNMB yang telah melakukan secara turun temurun kegiatan pengambilan hasil hutan non-kayu, diantaranya spesies kedawung. Sikap konservasi terhadap kedawung yang ideal adalah merupakan dorongan dari kristalisasi stimulus kedawung terhadap komponen sikap cognitive, affective dan behavior/overt action. Penelitian ini menguji sikap dan perilaku masyarakat dan pengelola dengan cara wawancara terhadap pernyataan-pernyataan stimulus kedawung untuk konservasi. Stimulus yang diujikan terdiri dari tiga kelompok, yaitu stimulus alamiah (terutama stimulus yang berkaitan dengan kelangkaan, karakteristik populasi dan regenerasi, fungsi ekologis), stimulus manfaat (ekonomi dan obat) dan stimulus religius (nilai-nilai spritual, etika, budaya yang mendorong terjadinya kerelaan berkorban untuk konservasi). Hasil penelitian secara nyata menunjukkan bahwa konservasi kedawung tidak terwujud di lapangan. Akar permasalahannya adalah karena ketiga kelompok stimulus kedawung tidak secara simultan menjadi pendorong terhadap sikap dan aksi konservasi masyarakat maupun pengelola. Begitu juga tidak terjadi kerelaan berkorban untuk aksi konservasi pada masyarakat pendarung maupun pada pengelola. Stimulus kedawung yang direspon kuat oleh masyarakat hanyalah stimulus manfaat (nilai ekonomi) dan stimulus alamiah (nilai fungsi ekologis). Namun ternyata stimulus ini tidak mendorong sikap dan aksi masyarakat untuk konservasi terhadap kedawung. Penyelesaian akar permasalahan dari temuan penelitian ini adalah membangun sikap masyarakat dan pengelola dengan konsep tri-stimulus amar konservasi dan memperbaiki kebijakan pengelolaan taman nasional terutama merevisi peraturanperundangan serta meningkatkan kapasitas dan kinerja SDM pengelola. Prasyarat terwujudnya konservasi di kehidupan dunia nyata adalah terciptanya sikap masyarakat dan sikap pengelola yang didorong kuat oleh tri-stimulus amar konservasi, yaitu kristalisasi atau kesatuan utuh dari stimulus alamiah, stimulus manfaat dan stimulus religius. Implikasi dari penelitian ini bagi pengelolaan taman nasional dan sumberdaya keanekaragaman hayati adalah bahwa konsep tri-stimulus amar konservasi merupakan alat dan pintu masuk untuk melakukan penyempurnaan kebijakan pengelolaan, yaitu mulai dari peraturan perundangan sampai kepada substansi kegiatan pengelolaan di lapangan Kata kunci : stimulus, sikap, amar, masyarakat pendarung, pengelola, konservasi, kedawung, taman nasional

4 SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat, Kasus Di Taman Nasional Meru Betiri ERVIZAL AMZU Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

5 Judul : SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat, Kasus di Taman Nasional Meru Betiri Nama Mahasiswa : Ervizal Amzu Nomor Pokok : E Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan Menyetujui : Komisi Pemimbing Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan Ketua Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Anggota Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Anggota Mengetahui, Ketua Program Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MScF Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal ujian : 3 September 2007 Tanggal lulus :

6 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang berjudul : SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI : Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat, Kasus di Taman Nasional Meru Betiri, merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar Doktor pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Juli 2007 Ervizal AMZU

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 SABAQA L MUFARRIDUN (Al Hadist) Pasti menang orang-orang yang meng-esakan Tuhan

9 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT serta shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad SAW. Hanya dengan izin dan rahmat-nya penelitian ini dapat diselesaikan dengan judul SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI : Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat, Kasus di Taman Nasional Meru Betiri yang hasilnya dituangkan dalam tulisan disertasi ini. Pada kesempatan ini penulis perlu menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan, selaku ketua komisi pembimbing; Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc. dan Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S. masing-masing selaku anggota komisi pembimbing yang telah dengan sabar memberikan banyak bimbingan, saran, kritikan dan semangat yang hangat untuk penyelesaian tulisan ini. 2. Prof. Dr. Ir. Ali M.A. Rachman, MA yang banyak memberikan inspirasi dan sekaligus sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup; Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS. sebagai Wakil Dekan Fakultas Kehutanan IPB yang memimpin sidang dan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. yang mewakili Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada ujian tertutup, atas saran dan kesediaannya membantu penulis untuk memperbaiki tulisan ini. 3. Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka serta atas saran dan kesediaannya membantu penulis untuk memperbaiki tulisan ini. 4. Dr. Herwasono Soedjito, sebagai penguji luar komisi luar IPB pada ujian terbuka dan atas sarannya untuk perbaikan tulisan ini. 5. Rektor IPB yang telah memberikan tugas belajar dan kesempatan penulis untuk melanjutkan program Doktor. 6. Dekan Fakultas Kehutanan IPB yang telah memberikan tugas belajar dan kesempatan penulis untuk melanjutkan program Doktor di IPB, sekaligus mewakili Rektor IPB sebagai ketua sidang ujian terbuka. 7. Ketua Departemen Konservasi Sumnberdaya Hutan dan Ekowisata IPB Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F yang telah memberikan tugas belajar, kesempatan dan dukungan moril dan materil kepada penulis untuk menyelesaikan program Doktor di IPB. 8. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menempuh pendidikan Doktor pada SPs-IPB. 9. Direktorat Pendidikan Tinggi, DIKNAS-RI yang telah memberikan dukungan beasiswa program doktor melalui proyek BPPS. 10. Kawan-kawan di Laboratorium Konservasi Tumbuhan : Prof. Dr. Ir. Ali M.A. Rachman; Dr. Ir. Agus Hikmat; Ir. Siswoyo, Msi.; Ir. Edhi Sandra, M.Si; Pak Mingan; Minah, dan Santa yang telah banyak memberikan inspirasi dan dukungan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan disertasi ini. x

10 11. Semua kawan-kawan di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB yang telah banyak memberikan dukungan, kritikan dan inspirasi kepada penulis. 12. Kepala dan staf TN. Meru Betiri Ir. Nadzrun Jamil. Masyarakat Pendarung kedawung yang banyak membantu penulis di lapangan, terutama Mbah Setomi dan Mbah Rogayah. Kawan-kawan dari LSM-KAIL : Mas Ir. Kaswinto, Mas Kirman dan isteri, Mas Halim dan isteri, Mas Budi, Mas Nur Hadi dan Mas Suparno. Juga kepada semua mahasiswa-mahasiswa yang penulis bimbing penelitiannya di TNMB mulai tahun 1993 sampai tahun 2007: Mujenah, Nana, Mirwan, Baihaki, Albert, Sofyan, Sari, Sihotang, Dewi H., Aji, Yanie, Dewi dan Joko yang telah ikut membantu dalam pengumpulan data di lapangan. 13. Bapak-bapak di IWF : Prof. Dr. Rubini (alm); Ir. Soedjadi Hartono; Prof. Dr. Abdul Bari; Prof.Dr. Kasijan Romimohtarto (alm) ; Prof.Dr. Dedi Sudarma; Drs. Djoko Setiono; Drs. Ismu S. Suwelo; Sukandi SH; dan ibu Dr. Sri Murni Soenarno, MS yang telah memberikan dukungan dan semangat. 14. Kepada teman-teman dari Puslitbang Biologi LIPI dan Kebun Raya Bogor, Dr. Y. Mogea, Dr. Irawati, Dr. Didik, serta Direktur LATIN Ir. Arif Aliadi yang telah bersedia hadir dalam ujian terbuka. 15. Kepada semua teman dan kolega yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu secara materi dan non-materi yang memungkinkan penulis menyelesaikan studi dan penelitian ini. Hanya Allah SWT. saja yang dapat membalasnya. Penulis menyampaikan penghargaan kepada isteri Hj. Nurluklu in Maknun dan anak-anak tercinta (Mahzhous, Putri, Zaiemah, Louayy, Rabbani, Rahmat dan Ahmad), serta Ibunda Hj. Zuraida, Ibu mertua Hj. Siti Musrifah dan kakak-kakak, adik-adik, kakak-kakak ipar dan adik-adik ipar yang telah memberikan pengertian, semangat dan dorongan. Akhirnya izinkanlah penulis menyampaikan penghargaan secara khusus yang setulus-tulusnya kepada kedua Maha Guru yang telah banyak membimbing hidup penulis hampir 30 tahun terakhir ini, yaitu YML Al Arif Billah Al Hafidz Mawlana Syeikhul Akbar Al Mufarridun Al Haji Muhammad Makmun dan Mawlana Syeikh Al Haji DM. Asy ari Al Hakiem, Sebagai penutup, penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, saran-saran yang bersifat konstruktif dari para pembaca diterima dengan senang hati. Khususnya kepada para peneliti muda dan caloncalon doktor, penulis mengharapkan dapat meneruskan, mengembangkan dan menyempurnakan hasil-hasil penelitian ini, sehingga dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan IPTEKS konservasi keanekaragaman hayati di masa kini dan masa mendatang. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat. Amiiiin. Bogor, September 2007 Penulis, Ervizal AMZU x

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Dabo Singkep (Riau), 18 Juni 1959 sebagai anak ke- 3 dari 7 bersaudara dari Bapak Amir Muhammad (almarhum) dan Ibu Hj. Zuraida. Pendidikan dasar dan menengah pertama diselesaikan di Bukittinggi pada tahun Kemudian dilanjutkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Bukittinggi dan selesai pada tahun 1977 akhir. Selanjutnya pada awal tahun 1978 penulis diterima menjadi mahasiswa undangan di tingkat persiapan bersama IPB. Akhir tahun 1978 penulis memilih masuk Fakultas Kehutanan IPB. Pada tahun 1981 penulis menjadi mahasiswa angkatan pertama Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan lulus menjadi sarjana kehutanan dalam bidang konservasi sumberdaya hutan pada tahun Pada tahun 1984 penulis mulai bekerja menjadi asisten dosen di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Pada tahun 1985 diangkat menjadi PNS di Jurusan yang sama. Pada tahun penulis mengikuti pendidikan S2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari Ditjen Dikti dan lulus pada tahun Pada tahun 1990 penulis ikut mendirikan Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia (POKJANASTOI) di Bogor. Sejak tahun 2000 penulis menjabat Kepala Laboratorium Konservasi Tumbuhan dengan jabatan Lektor Kepala dibidang konservasi tumbuhan. Penulis pernah menjadi mahasiswa pada Program Doktor Pascasarjana UI bidang studi konservasi biologi selama 2 semester (1997/1998). Penulis menikah dengan Hj. Nurluklu in Maknun dan dikaruniai 5 orang anak bernama Mahzhuzh Al Mutawally, Putri Syahierah, Zaiemah Asy-Syifa, Lou-ayy Al Farouqi dan Syawkat Ar Rabbani. i

12 DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN..... ABSTRAK. ABSTRACT..... SURAT PERNYATAAN.. RIWAYAT HIDUP. PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN Halaman i ii iii v viii ix xi xiv xv xvii I. PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang.. 1 B. Permasalahan.. 6 C. Fokus Penelitian... 7 D. Tujuan Penelitian... 8 E. Manfaat Penelitian.. 9 II. METODOLOGI PENELITIAN. A. Kerangka Pemikiran Teori hubungan stimulus dan sikap 2. Hubungan sistem nilai dengan stimulus Aliran informasi dalam ekosistem sebagai stimulus.. 4. Stimulus, sikap dan konservasi Hipotesis penelitian. 21 B. Metoda Lokasi dan waktu penelitian Data yang dikumpulkan Teknik pengumpulan data Pengukuran sikap Tahapan penelitian Stimulus kedawung Pengolahan dan analisis data.. 34 III. PROFIL TAMAN NASIONAL MERU BETIRI. 35 A. Sejarah Kawasan. 35 B. Letak dan Luas 36 C. Topografi 1. Kelas ketinggian Kelas lereng... D. Tipe Iklim dan Hidrologi E. Penutupan Vegetasi 39 F. Potensi Fauna.. 40 G. Sejarah Lahan Tetelan di Zona Rehabilitasi xi

13 IV. PROFIL MASYARAKAT A. Masyarakat Umum Jumlah penduduk Tingkat pendidikan 3. Penggunaan lahan.. 4. Perekonomian desa 5. Budaya masyarakat B. Sejarah Masyarakat Pendarung C. Karakteristik Masyarakat Pendarung Kedawung.. 49 V. PROFIL KEDAWUNG A. Botani Morfologi Distribusi geografis Ekologi. 52 B. Status Konservasi Kedawung Populasi Kondisi regenerasi Produksi biji kedawung Penyebar biji Penyebaran spasial.. 58 C. Status Kedawung dengan Tumbuhan Obat Lainnya Habitus Khasiat Kekariban dengan spesies lain D. Nilai Manfaat Kedawung Kegunaan untuk obat Kandungan kimia Nilai ekonomi.. 71 VI. PERMASALAHAN KONSERVASI.. 73 A. Sikap dan Aksi Konservasi Ketidak-terkaitan stimulus dengan sikap masyarakat Ketidak-terkaitan stimulus dengan sikap pengelola Bias stimulus terhadap sikap masyarakat dan pengelola Ketidak-sejalanan stimulus dengan aksi masyarakat Ketidak-sejalanan stimulus dengan aksi pengelola Bias stimulus terhadap aksi masyarakat dan pengelola Kerelaan berkorban masyarakat Kerelaan berkorban pengelola Perbedaan pengalaman masyarakat dengan pengelola Ketidak-sejalanan stimulus terhadap sikap dan aksi B. Ketidak-berlanjutan Pengetahuan Lokal Alih generasi dan intervensi informasi global Keanekaragaman hayati yang tinggi Intervensi dari kebijakan pengelolaan. 119 xii

14 C. Masalah Kebijakan Pengelolaan Peraturan perundangan Kegiatan pengelolaan VII. SINTESIS PENYELESAIAN MASALAH A. Membangun Sikap Pro-konservasi Membangun sikap tri-timulus amar konservasi. 2. Menjadikan nilai religius sebagai stimulus kuat sikap konservasi.. 3. Menyambungkan dan mengembangkan pengetahuan tradisional.. B. Kebijakan Pengelolaan 1. Peraturan perundangan 2. Aspek legalitas pendarung sebagai kelompok masyarakat pelestari 3. Pengembangan tetelan sebagai hutan kebun kedawung. 4. Peningkatan kapasitas dan kinerja SDM pengelola.. 5. Membangun kemitraan industri jamu dengan masyarakat.. 6. Membangun image stimulus tumbuhan obat kedawung VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan B. Implikasi Teori Kebijakan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN. 169 xiii

15 DAFTAR TABEL Halaman 1. Beberapa contoh informasi kejadian alam sebagai stimulus Rumusan pernyataan stimulus, aksi dan kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung yang diuji terhadap sikap masyarakat Jumlah penduduk desa sekitar kawasan TNMB Tingkat pendidikan masyarakat desa sekitar kawasan TNMB Pola penggunaan lahan di desa sekitar kawasan TNMB Jenis mata pencaharian penduduk desa sekita kawasan TNMB Karakteristik masyarakat pendarung kedawung Kondisi anakan kedawung yang tumbuh di bawah pohon induknya Kondisi diameter batang, tinggi, diameter tajuk, dugaan jumlah biji, tanah, tumbuhan bawah dan dipanen atau tidak Kelimpahan populasi kedawung antara bagian Barat dan bagian Timur kawasan TNMB Jumlah spesies tumbuhan obat di TNMB berdasarkan habitus Macam penyakit yang dapat diobati dengan spesies tumbuhan obat Sembilan tumbuhan obat yang sering dijumpai bersama kedawung Harga jual biji kedawung berdasarkan mata rantai perdagangannya Keterkaitan stimulus dengan sikap masyarakat dan sikap pengelola Perbedaan pengalaman pendarung dengan pengelola tentang kedawung Hasil analisis kandungan tri-stimulus amar konservasi dengan peraturan perundangan yang terkait dengan kebijakan pengelolaan Kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan tahun dan keterkaitannya dengan tri-stimulus amar konservasi Kegiatan pengelolaan sedang dan akan dilakukan tahun dan keterkaitannya dengan tri-stimulus amar konservasi Analisis kandungan keterkaitan visi, misi, strategi, tujuan, sasaran, kegiatan dan tugas pokok pengelola dengan tri-stimulus amar konservasi

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema konsep stimulus dan sikap Sistem nilai Aliran informasi dalam ekosistem masyarakat tradisional Hubungan sinyal kedawung, informasi kelangkaan, stimulus bagi sikap dan informasi untuk aksi konservasi Diagram tahap penelitian Peta lokasi TNMB Histogram kondisi populasi kedawung berdasarkan kelas diameter Kelimpahan kedawung berdasar penyebaran pada kelas ketinggian Kelimpahan kedawung berdasar penyebaran pada kelas kemiringan Kelimpahan pohon kedawung berdasarkan jarak dengan sungai Frekuensi kedawung ditemukan berdasarkan kelas luas bidang dasar pada 129 plot pengamatan Peta penyebaran spesial kedawung dan peta habitat potensial Kelimpahan kedawung berdasarkan kelas jarak dengan kampung Fungsi multi guna kedawung dalam masyarakat Afrika Barat Keterkaitan sikap masyarakat terhadap stimulus manfaat ekonomi Alat dan bahan patek (a), pendarung sedang memanjat pohon (b), dan bekas patek yang tertancap di pohon kedawung (c) Sikap masyarakat terhadap stimulus nilai manfaat obat Sikap masyarakat terhadap stimulus tentang kelangkaan kedawung Sikap masyarakat yang terkait stimulus fungsi ekologis kedawung Bentuk tajuk pohon kedawung dilihat dari kejauhan Sikap pengelola yang terkait dengan stimulus manfaat ekonomi Sikap pengelola terhadap nilai manfaat obat Sikap pengelola terhadap kondisi populasi dan regenerasi kedawung Sikap pengelola terhadap nilai manfaat ekologis Stimulus terkait dan bias dengan sikap pendarung dan pengelola Aksi masyarakat untuk konservasi kedawung Percabangan utama pohon kedawung yang dipotong masyarakat pada waktu memanen buah kedawung Pertumbuhan pohon kedawung yang kerdil, sejak ditanam tahun 1994 dengan jarak tanam yang rapat 6x5 m Pohon kedawung umur 3 tahun dan umur 12 tahun Pohon kedawung berumur 10 tahun Aksi pengelola tidak sejalan dengan harapan konservasi Bias pemahaman stimulus, tidak sejalan dengan aksi pendarung dan aksi pengelola untuk konservasi kedawung Kerelaan berkorban masyarakat belum ada untuk konservasi Kerelaan berkorban pengelola untuk konservasi belum terjadi Bias pemahaman stimulus, sikap dan aksi pendarung atau pengelola untuk konservasi tidak berjalan simultan Bagan ketidak-sejalanan stimulus dengan sikap dan aksi pendarung dan pengelola untuk konservasi kedawung

17 37. Biji kedawung yang diolah menjadi camilan biji kedawung yang gurih dijual pedagang asongan di Probolinggo (a); Dadawa makanan khas masyarakat Afrika yang terbuat dari biji Parkia biglobosa (b) Sketsa areal hutan alam yang dibabat dan diganti menjadi tanaman jati prosesnya mulai 1955 sampai 1967, kemudian tahun 2000 dijadikan areal rehabilitasi Diagram alir tri-stimulus amar konservasi Kristalisasi tri-stimulus amar konservasi Sistem bagan keempat komponen religius Serapan biji kedawung oleh dua industri jamu besar

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Nilai rata-rata, standar deviasi, modus dan median skor sikap masyarakat Nilai rata-rata, Standar deviasi, modus dan median skor sikap pengelola Analsis Kandungan Hasil Wawancara Mendalam Kepada 10 Responden Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap masyarakat berdasarkan kels umur dengan menggunakan SPSS Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap masyarakat berdasarkan etnis dengan menggunakan SPSS Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap masyarakat berdasarkan tigkat pendidikan menggunakan SPSS Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap masyarakat berdasarkan umur mulai mengenal kedawung dengan menggunakan SPSS Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap masyarakat berdasarkan anak dari pemanen kedawung dengan menggunakan SPSS Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap masyarakat berdasarkan lama pengalaman menggunakan SPSS Korelasi antara sikap konservasi masyarakat dengan umur dan lama pengalaman memanen kedawung berdasarkan Uji Pearson Correlation Spesies pohon yang hidup berdekatan dengan pohon kedawung di TNMB Analisis kedawung substansi: visi, misi, strtegi kebijakan dan tujuan Pengelolaan TNMB terhadap konservasi dan kesejahteraan masyarakat Analisi kandungan tri-stimulus amar konservasi dengan peraturan perundangan yang terkait dengan kebajikan pengelolaan taman nasional dan serta peran serta masyarakat Analisis kandungan tri-stimulus amar konservasi kegiatan pengelolaan TNMB yang telah dilakukan pada tahun Kegiatan pengelolaan yang sedang dan akan dilakukan tahun , berkaitan dengan tri-stimulus amar konservasi Sejarah Ringkas Perkembangan Desa Curahnongko (konsorsium FAHUTAN IPB-LATIN, 1995) Kondisi sosial ekonomi masyarakat desa sekitar TNMB Kedawung di Afrika Barat

19 DAFTAR SINGKATAN AMAR = Alamiah, manfaat dan religius IPB = Institut Pertanian Bogor LATIN = Lembaga Alam Tropika Indonesia LSM KAIL = Lembaga Swadaya Masyarakat Konservasi Alam Indonesia Lestari lbds = luas bidang dasar mdpl = meter dari permukaan laut MBNP = Meru Betiri National Park PA = Pelestarian Alam SDM = Sumber Daya Manusia TNMB = Taman Nasional Meru Betiri WWF = World Wide Fund For Nature

20 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada akhir millenium kedua dan di awal millenium ketiga ini agaknya merupakan puncak teratas atau titik kulminasi peradaban manusia terhadap hutan yang terburuk semenjak sejarah manusia ada di muka bumi ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sudah sangat canggih pada masyarakat global, namun tidak diikuti dengan perkembangan sikap manusia yang terpuji terhadap alam, khususnya kepada hutan alam, bahkan menghasilkan nilai kemanusiaan yang mungkin terendah selama sejarah dunia berkembang. Kemajuan pesat IPTEK menimbulkan kontra-produktif terhadap kelestarian dan rusaknya sumberdaya alam hayati yang menjadi modal dasar bagi kehidupan di bumi ini. Kerusakan dan pengurangan kawasan hutan di dunia telah terjadi dimana-mana, yaitu di awali dari kerusakan hutan di Amerika Utara, Amerika Serikat, Eropah, bekas wilayah Uni Soviet dan lain-lain. Kemudian dalam waktu 50 tahun terakhir ini telah terjadi kerusakan dan penyempitan kawasan hutan tropika dunia yang masih tersisa secara drastis pada hutan hujan tropika Amerika di Brazilia, hutan tropika Afrika di Zaire dan hutan tropika Malaesiana di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Papua (Barber, Johnson dan Hafild, 1999; Meffe dan Carroll, 1994). Hutan tropika menjadi suatu masalah politik atas berbagai alasan. Hutan tropika memuat 50 hingga 90 persen keanekaragaman hayati planet ini (Reid dan Miller, 1989). Hutan ini menjadi hunian berjuta-juta penduduk asli, suku dan penduduk tradisional lainnya yang menggantungkan nafkah mereka pada hutan dan juga dalam hal tertentu menggantungkan kelangsungan kebudayaannya (Durning, 1992; Myers, 1989). Saat ini secara global, hutan tropika sedang menciut jauh lebih cepat daripada hutan di wilayah iklim sedang (Dudley, 1992 dan WRI, 1992). Begitu juga kerusakan hutan alam yang terjadi di Indonesia, direfleksikan dari angka kerusakan hutan alam di Indonesia mencapai 59,63 juta hektar. Kawasan hutan alam yang rusak terdiri dari hutan konservasi mencapai 4,69 juta

21 hektar, hutan lindung mencapai 10,52 juta hektar dan hutan alam produksi mencapai 44,42 juta hektar (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Tanggapan-tanggapan resmi tentang kondisi hutan dunia yang memburuk dalam dekade terakhir ini berupa upaya-upaya internasional, seperti dibentuknya Rencana Langkah-langkah Hutan Tropika (Tropical Forestry Action Plan, TFAP) dan Organisasi Internasional Kayu Tropika (International Tropical Timber Organisation, ITTO) dan peningkatan pesat rencana langkah-langkah nasional, strategi, program dan proyek. Namun, kesehatan hutan dunia terus memburuk dan juga sangat mengancam terjadinya pemanasan global. Pendekatan pengelolaan hutan yang sempit berdasarkan ilmu kehutanan tidak dapat menembus kekuatan-kekuatan ekonomi, politik dan sosial yang pada umumnya menentukan masa depan hutan itu (Barber, Johnson dan Hafild, 1999). Selama ini pendekatan pengelolaan kawasan hutan konservasi sangatlah sempit, yaitu berdasarkan ilmu konservasi konvensional yang terfokus pada aspek bio-ekologi, dan tidak memasukkan aspek-aspek ekonomi, politik dan sosio-budaya menjadi satu kesatuan pengelolaan. Selanjutnya Barber, Johnson dan Hafild (1999) menyatakan, bahwa ada tiga rangkaian masalah tentang pandangan yang lebih luas terhadap krisis hutan dan memahami hambatan-hambatan struktural utama tentang pengelolaan kawasan hutan berkelanjutan dalam abad ke-21, yaitu pada 3 rangkaian masalah : (1) tata laksana hak milik hutan, (2) pembagian kerugian dan keuntungan pengelolaan dan penggunaan kawasan hutan, dan (3) proses politik untuk menetapkan kebijakan kehutanan. Untuk mengetahui akar permasalahan yang termasuk pada rangkaian masalah di atas, maka perlu dilakukan penelitian yang bersifat grass root, lokal, tajam tetapi bersifat holistik yang mencakup interaksi hutan dengan masyarakat kecil sekitar hutan. Harris dan Hillman (1989) menyatakan bahwa tumbuhan dan habitat serta budaya masyarakat tak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia sejak awal keberadaannya di muka bumi. Sayangnya pengetahuan, pengalaman dan budaya ini tak dapat berkelanjutan karena adanya terjadi proses intervensi yang mengakibatkan kehidupan saat ini kehilangan arah, 2

22 terjadi pemutusan kelanjutan evolusi genetik tersebut dan tidak dipahami lagi oleh generasi muda. Berdasarkan pengalaman langsung (direct experience) selama lebih dari 10 tahun di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) dalam melakukan kegiatan program konservasi tumbuhan obat kedawung bersama masyarakat, membuktikan bahwa konservasi taman nasional belum berhasil terwujud di lapangan sesuai dengan tujuan ideal suatu taman nasional (Konsorsium FAHUTAN IPB LATIN, 2001). Berdasarkan pengalaman tersebut di atas diyakini konservasi hutan secara nyata di lapangan sangat berkaitan dengan sikap masyarakat dan sikap pengelola. Konservasi kedawung di hutan alam TNMB tidak berjalan dengan baik, hal ini ditunjukkan oleh tidak terjadinya regenerasi kedawung secara alami selama lebih 10 tahun terakhir. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sejak tahun 1993 sampai tahun 2006 di kawasan TNMB tentang kondisi populasi kedawung hanya ditunjukkan oleh 3 individu anakan dan 136 individu pohon dewasa, sedangkan individu tingkat pancang dan tingkat tiang sama sekali tidak ada. Ini sangat beda dengan pohon bendo (Artocarpus elasticus Rein ex. Bl.)) yang melimpah di TNMB pada berbagai tingkat anakan sampai tingkat pohon. Begitu juga kedawung yang ditanam bersama dan oleh masyarakat pada tahun 1994 sebanyak 1870 bibit di demplot rehabilitasi seluas 7 hektar saat ini pertumbuhannya sangat lambat dan kerdil, karena ditanam dengan jarak tanam yang rapat, yaitu 5 m x 6 m. Penjarangan selama ini tidak pernah dilakukan karena terkendala dengan peraturan perundangan yang berlaku. Kedawung dalam skala nasional termasuk satu diantara 30 spesies tumbuhan obat langka Indonesia dengan status kelangkaan dan ancaman jarang, populasinya di Indonesia menurun, bahkan dirasakan mulai jarang dijumpai di habitat aslinya. Biji kedawung sangat sukar berkecambah tanpa perlakuan, sedangkan persentase perkecambahannya di alam sangat kecil (Wiriadinata, 1992). Proses regenerasi kedawung dapat dipastikan secara alami di hutan alam terjadi dengan sangat lambat. Sehingga kalau tidak ada intervensi kebijakan dan campur tangan manusia dalam pengembang-biakannya dapat dipastikan akan punah. 3

23 Fakta di lapangan membuktikan bahwa pohon kedawung yang ditanam oleh pengelola dan masyarakat (didampingi oleh konsorsium IPB-LATIN) pada tahun 1989 sampai 1994 di blok Wonowiri, saat ini pohon kedawung telah berumur sekitar tahun dan tidak satu pohonpun yang berhasil berbuah. Hasil-hasil penelitian mengenai aspek bioekologi dan kelangkaannya yang dilakukan di TNMB sampai 2006, diketahui bahwa kedawung adalah termasuk spesies pohon hutan yang besar dengan tajuk (canopy) strata A (strata tajuk tertinggi), bersifat intoleran (tidak suka naungan), sehingga regenerasinya secara alami di hutan tropika primer sangat sulit terjadi. Hal ini ditunjukkan dengan sulitnya menjumpai individu pohon remajanya di habitat hutan alam. Pohon ini hidupnya soliter dengan sesamanya, tetapi hidup berdampingan dan menaungi berbagai spesies tumbuhan lainnya, yang terdiri beraneka bentuk habitus pohon, liana, perdu maupun tumbuhan bawah (Mirwan, 1994; Dewi, 1999; Rinekso, 2000; Winara, 2001; Zuhud et.al, 2003; Subastian, 2007). Pola penyebaran spasial kedawung di kawasan TNMB bagian barat lebih bersifat mengelompok dibanding dengan pola penyebaran spasialnya pada kawasan bagian timur (Subastian, 2007). Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat pendarung 1) diduga berpengaruh terhadap konservasi kedawung di TNMB, yaitu fenomena ini diduga adanya pengaruh masyarakat pendarung dulunya dalam pola penyebaran biji kedawung di hutan alam. Berdasarkan manfaatnya kedawung merupakan salah satu spesies tumbuhan obat yang dikenal sebagai obat penyakit pencernaan (perut kembung). Biji kedawung merupakan kelompok 10 bahan baku yang terbanyak dibutuhkan industri jamu di Jawa (Mujenah, 1993; Sandra dan Kemala, 1994; Purwandari, 2001). Kedawung di TNMB merupakan pohon tumbuhan obat yang bernilai ekonomi bagi masyarakat pendarung, yaitu sebagai sumber mata pencaharian pada saat musim kemarau dan paceklik. Berdasarkan keterangan di atas, pohon kedawung baik secara bioekologis maupun secara sosio-ekonomi masyarakat merupakan spesies penting di TNMB dan spesies ini sedang menuju kelangkaan. Hal inilah yang menjadi stimulus 1 ) Istilah digunakan untuk kelompok masyarakat yang mengambil hasil hutan non kayu, biasanya mereka bermalam di hutan 2-5 hari. 4

24 memilih spesies kedawung sebagai salah satu spesies tanaman pokok untuk dikembangkan di lahan rehabilitasi. Penelitian disertasi ini mengkaji akar permasalahan konservasi yang ditinjau dari kaitan sikap dan aksi konservasi masyarakat dan pengelola yang terwujud di lapangan. Penelitian ini dilakukan melalui kajian kasus tentang sikap masyarakat pendarung terhadap sinyal dan stimulus kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) yang terjadi di hutan alam. Masyarakat pendarung merupakan masyarakat kecil di TNMB yang melakukan kegiatan pengambilan hasil hutan non-kayu, antara lain terhadap spesies tumbuhan pohon obat kedawung. Kegiatan masyarakat pendarung ini di TNMB sudah berlangsung secara turun temurun lebih dari 50 tahun yang lalu. Penelitian ini juga menggunakan pengalaman dan data dari hasil kegiatan domestikasi dan budidaya kedawung di lahan rehabilitasi tetelan 2) yang dilakukan sejak tahun 1993 bersama dan oleh masyarakat sekitar TNMB. Selama ini tidak ditemukan penelitian mengenai sinyal, stimulus atau informasi karakteristik bioekologi suatu spesies yang dikaitkan dengan sikap masyarakat untuk kegiatan konservasinya. Walaupun sudah banyak penelitian yang mengaitkan konservasi dengan sikap masyarakat, namun penelitian mengenai sikap masyarakat dan konservasi yang dikaitkan dengan stimulus tumbuhan tidak ditemukan. Suatu spesies tumbuhan yang banyak berinteraksi dengan manusia dalam jangka waktu yang panjang, diyakini konservasi dan bioekologinya banyak terkait dengan sikap dan perilaku manusia. Konservasi atau keberlanjutan suatu spesies dapat terjadi apabila sikap dan perilaku manusia tersebut sesuai dengan kebutuhan hidup spesies itu di alam. Artinya konservasi kedawung dapat berlangsung apabila sinyal dari kedawung di alam yang menginformasikan kelangkaan dapat ditangkap dan dipahami oleh masyarakat maupun pengelola menjadi stimulus atau pendorong sikap masyarakat maupun sikap pengelola untuk aksi konservasinya. Pengertian stimulus adalah sinyal, fenomena dan informasi yang diperlihatkan oleh kedawung yang dapat dipahami dan menjadi pendorong atau perangsang masyarakat untuk bersikap dan berperilaku konservasi. Seperti halnya 2) Istilah yang digunakan masyarakat untuk menyebut lahan rehabilitasi di TNMB. 5

25 dalam masyarakat Afrika Barat nilai kedawung ini telah menjadi stimulus bagi sikap dan aksi konservasi masyarakat lokalnya (Hall, Tomlinson, Oni, Buchy dan Aebischer, 1997; Quedraogo, 1995; Shao, 2002). Kelompok masyarakat kecil yang dipilih untuk diteliti adalah masyarakat pendarung kedawung, karena mereka inilah orang yang paling dekat dan paling banyak berinteraksi dengan kedawung selama ini. Penelitian ini dilakukan secara bertahap, yaitu terdiri dari penelitian pendahuluan dalam bentuk klarifikasi dan verifikasi hasil-hasil penelitian tentang karakteristik bioekologi kedawung kepada beberapa tokoh masyarakat pendarung dan pengelola. Hal ini bertujuan terutama untuk merumuskan pernyataanpernyataan stimulus kedawung dan pernyataan aksi konservasi yang disesuaikan dengan bahasa dan pengalaman masyarakat, sehingga dapat dijadikan sebagai alat ukur sikap yang valid. Selanjutnya dilakukan penelitian wawancara langsung secara sensus untuk menguji sikap masyarakat pendarung dan sikap pengelola dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang telah disusun seperti yang disebutkan di atas. Sehingga dari hasil penelitian ini dapat diketahui sejauh mana stimulus kedawung ini menjadi sikap dan aksi masyarakat untuk konservasinya B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang diungkapkan di atas dapat dikemukakan rumusan permasalahan penelitian secara umum, dalam bentuk pertanyaan penelitian, sebagai berikut : Mengapa sampai saat ini belum terwujud cita-cita ideal taman nasional dalam kenyataan, yaitu terpeliharanya potensi keanekaragaman hayati alamiah dan asli dari suatu ekosistem hutan primer dan sekaligus bermanfaat dan dimanfaatkan sebesar besarnya secara berkelanjutan bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat? Apa dan mengapa tujuan ideal taman nasional belum terwujud, penulis mencoba mengaktualisasikan dengan kasus konservasi kedawung. Khususnya lagi fokus penelitian ini adalah yang berhubungan dengan sikap masyarakat dan sikap pengelola taman nasional terhadap stimulus kedawung untuk aksi 6

26 konservasi. Pertanyaan-pertanyaan berikut ini merupakan rincian permasalahan yang diharapkan dapat diperoleh jawaban yang tajam dari penelitian, yaitu : 1. Apakah sikap masyarakat berkaitan erat dengan stimulus kedawung yang telah dan sedang terjadi di kawasan taman nasional? 2. Apakah sikap pengelola taman nasional berkaitan erat dengan stimulus kedawung yang telah dan sedang terjadi di kawasan taman nasional? 3. Apakah sikap masyarakat dan sikap pengelola berkaitan erat atau bias dengan stimulus kedawung guna keberlanjutan konservasi di habitat alaminya? 4. Apakah keterkaitan stimulus kedawung dan aksi konservasi oleh masyarakat berjalan simultan? 5. Apakah keterkaitan stimulus kedawung dan aksi konservasi oleh pengelola berjalan simultan? 6. Apakah terjadi bias pemahaman stimulus kedawung dengan aksi konservasi oleh masyarakat dan pengelola? 7. Apakah sikap dan aksi konservasi oleh masyarakat dilandasi kesediaankerelaan berkorban? 8. Apakah sikap dan aksi konservasi oleh pengelola dilandasi kesediaan-kerelaan berkorban? 9. Apakah ada perbedaan pengalaman antara masyarakat dengan pengelola? 10. Apakah masyarakat dan atau maupun pengelola memahami bahwa stimulus kedawung, sikap dan aksi konservasi itu seharusnya dilaksanakan simultan? C. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah mengetahui secara mendalam dan rinci tentang sikap masyarakat dan sikap pengelola terhadap stimulus kedawung yang sedang berlangsung saat ini di kawasan TNMB. Masyarakat yang dimaksud terdiri dari individu-individu masyarakat pendarung yang sudah berpengalaman dan berulang-ulang selama lebih 10 tahun berinteraksi dengan pohon kedawung, terutama dalam kegiatan pengambilan buahnya di hutan taman nasional. Berdasarkan alasan atau argumen di atas, maka ditetapkan asumsi penelitian ini bahwa masyarakat pendarung kedawung merupakan kelompok masyarakat yang 7

27 paling bisa menangkap sinyal menjadi stimulus untuk mendorong sikap dan aksi konservasi kedawung di TNMB. D. Tujuan Penelitian Mengetahui faktor-faktor pendorong berupa stimulus apa saja yang terkait kuat dengan sikap masyarakat maupun pengelola secara aktual di lapangan. Sekaligus mengetahui dan memastikan kelompok stimulus kuat (evoking stimulus) apa saja yang seharusnya menjadi pendorong dan perangsang sikap masyarakat dan pengelola untuk aksi konservasi, sehingga terwujud tujuan ideal taman nasional seperti apa yang telah disebutkan dalam permasalahan di atas. Penelitian ini dilakukan dan didekati dengan contoh kasus konservasi kedawung di TNMB, melalui perumusan tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui stimulus kedawung apa saja yang terkait dengan sikap masyarakat 2. Mengetahui stimulus kedawung apa saja yang terkait dengan sikap pengelola 3. Mengetahui keterkaitan stimulus kedawung antara sikap masyarakat dengan sikap pengelola untuk konservasi 4. Mengetahui stimulus kedawung apa saja yang terkait dengan aksi masyarakat untuk konservasi 5. Mengetahui stimulus kedawung apa saja yang terkait dengan aksi pengelola untuk konservasi 6. Mengetahui stimulus kedawung apa saja yang bias dengan aksi masyarakat dan aksi pengelola untuk konservasi 7. Mengetahui sikap yang terkait dengan kerelaan berkorban masyarakat untuk aksi konservasi. 8. Mengetahui sikap yang terkait dengan kerelaan berkorban pengelola untuk aksi konservasi 9. Mengetahui perbedaan pengalaman dalam sikap dan aksi konservasi antara masyarakat dan pengelola 10. Mengetahui ketidak sejalanan stimulus kedawung dengan sikap dan aksi konservasi antara masyarakat dan pengelola. 8

28 E. Manfaat Penelitian Penelitian ini menghasilkan rumusan akar permasalahan dan sekaligus sintesis penyelesaian masalah bagi pengelolaan kawasan konservasi taman nasional ditinjau dari sikap masyarakat dan implikasi konservasinya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai alat (tool) untuk membantu penyelesaian masalah pengelolaan untuk mendukung terwujudnya tujuan ideal taman nasional atau bentuk kawasan hutan konservasi lainnya. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat menjadi pintu masuk bagi penyusunan, perbaikan dan penyempurnaan peraturan perundangan sampai kepada program aksi di lapangan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan hutan konservasi maupun kawasan hutan lainnya. 9

29 II. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran 1. Teori hubungan stimulus dan sikap Menurut Rosenberg dan Hovland (1960), sikap merupakan kecenderungan bertindak (tend to act), kesediaan bereaksi atau berbuat terhadap sesuatu hal dalam masyarakat, menunjukkan bentuk, arah, dan sifat yang merupakan dorongan, respon dan refleksi dari stimulus. Sikap berisikan komponen berupa cognitive (pengalaman, pengetahuan, pandangan, dan lain-lain), affective (emosi, senang, benci, cinta, dendam, marah, masa bodoh, dan lain-lain) dan behavioral / overt actions (perilaku, kecenderungan bertindak). Berikut ini dikemukakan skema konsep sikap menurut Rosenberg dan Hovland (1960) dalam bukunya berjudul Attitude Organization and Change : Measurable Independent variables Stimulus (individuals, situations, social issues, social groups, and other attitude objects ) Intervening variables Attitudes Measurable dependent variables Affective: Sympathetic nervous responses Verbal statement of affective Cognitive: Perceptual responses Verbal statement of beliefs Behavior: Overt actions (tand to act) Verbal statement concerning behavior Gambar 1. Skema konsep stimulus dan sikap Menurut Rosenberg (1960) dan Krech, Crutchfield & Ballachey (1962), pembentukan sikap dipengaruhi oleh faktor dari luar berupa stimulus. Individu menanggapi lingkungan luarnya bersifat selektif, ini berarti bahwa apa yang datang dari luar tidak semuanya begitu saja diterima, tetapi individu mengadakan seleksi mana yang akan diterima, mana yang akan ditolak atau tidak direspon, yaitu tidak menjadi stimulus. Hal ini berkaitan erat dengan apa yang telah ada dalam komponen cognitive dan affective pada diri individu dalam menanggapi stimulus dari luar. Hal ini akan menentukan apakah sesuatu stimulus dapat diterima atau tidak, karena itu faktor individu justru merupakan faktor penentu.

30 Rosenberg (1960) mengemukakan teori affetive-cognitive consistency dalam hal sikap (attitudes), teori ini kadang disebut dengan teori dua faktor. Teori ini memusatkan perhatian pada hubungan komponen cognitive dan komponen affective. Komponen affective berhubungan dengan bagaimana perasaan yang timbul pada seseorang yang menyertai sikapnya, dapat positif tetapi juga dapat negatif terhadap stimulus. Bila seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap stimulus, maka ini berarti adanya hubungan pula dengan nilainilai positif yang lain yang berhubungan dengan stimulus tersebut, demikian juga dengan sikap yang negatif. Ini berarti menurut Rosenberg (1960), bahwa komponen affective akan selalu berhubungan dengan komponen cognitive dan hubungan tersebut dalam keadaan konsisten. Ini berarti pula bahwa bila seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap sesuatu stimulus, maka indeks cognitive-nya juga akan tinggi, demikian sebaliknya. Suatu hal yang penting dalam penerapan teori Rosenberg (1960) ialah dalam kaitannya dengan perubahan sikap. Karena hubungan komponen affective dengan komponen cognitive konsisten, maka bila komponen affective berubah maka komponen cognitive-nya juga akan berubah. Pada umumnya dalam rangka pengubahan sikap, orang akan mengubah dahulu komponen cognitive-nya, hingga akhirnya komponen affective-nya akan berubah. Dalam rangka pengubahan sikap, Rosenberg (1960) mencoba mengubah komponen affective terlebih dahulu dan dengan berubahnya komponen affective akan berubah pula komponen cognitivenya, yang akhirnya akan berubah pula sikapnya. Jadi pada dasarnya komponen sikap cognitive (objektif) adalah berupa rasionalitas yang didasarkan pada pengalaman sendiri atau pengetahuan yang menjadikan seseorang anggota masyarakat membentuk perilakunya. Komponen sikap affective (subjektif) cenderung membangkitkan emosional baik suka maupun sedih atau tidak suka terhadap suatu stimulus yang merangsang untuk berbuat atau bertindak. Komponen sikap yang ketiga behavioral/overt action adalah kecenderungan bertindak nyata yang merupakan operasional dan kristalisasi komponen cognitive dan affective. 11

31 2. Hubungan sistem nilai dengan stimulus Pengertian cognitive dalam sikap tidak hanya mencakup tentang pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan stimulus, melainkan juga mencakup beliefs atau kepercayaan tentang hubungan antara stimulus itu dengan sistem nilai yang ada dalam diri individu (Rosenberg, 1960; dan Krech, Crutchfield & Ballachey, 1962). Pemahaman tentang sistem nilai dalam suatu masyarakat tradisional atau masyarakat kecil sekitar hutan yang relevan dengan penelitian ini antara lain: Nilai ekonomi. Nilai ini berkaitan erat dengan pandangan praktis atau pragmatis, yang bahkan menjadi pegangan banyak orang, terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai, baik pada tingkat individu, kelompok maupun masyarakat. Kehadiran nilai ini mendorong manusia bersikap realistik, baik menentukan tujuannya maupun dalam menentukan standar tingkat kepuasan yang ingin diperoleh. Nilai ini relatif mudah diamati dan diukur sehingga sering dikaitkan harga padanya (Siagian, 2004). Nilai varietas tanaman tradisional seperti tumbuhan dan hewan yang kurang dikenal akan tetapi mempunyai nilai nutrisi atau tumbuhan obat yang dipanen dari hidupan liar ternyata dapat menyediakan basis ekonomi yang penting bagi masyarakat membantu mereka untuk menyangga dan menopang hidupnya di kala rawan pangan (Soedjito dan Sukara, 2006). Nilai sosio-budaya. Manusia adalah makhluk sosial, setiap individu sangat mendambakan penerimaan yang ikhlas oleh orang lain terhadap keberadaannya. Manusia tidak hidup sendiri di dunia ini akan tetapi, dikelilingi oleh komunitas dan alam semesta sekitarnya. Manusia harus memelihara hubungan baik dengan sesamanya, cinta kepada sesama, cinta dan rela berkorban untuk hak-hak generasi mendatang, mengutamakan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi, bersifat harmoni dalam interaksi dengan orang lain dan lingkungan alam. Hal ini merupakan contoh nilai-nilai sosial-budaya yang penting. Nilai sosial-budaya sangat perlu ditanamkan, dikembangkan dan dipupuk dalam kehidupan berkelompok dan bermasyarakat karena akan memperlancar segala usaha dan kebersamaan dalam komunitas, untuk mencapai tujuan bersama (Siagian, 2004 dan Fathoni, 2006). Contoh manfaat sosio-budaya dalam masyarakat adat adalah 12

32 sistem spritual dan kepercayaan masyarakat yang terpusat pada konsep sifat keramat, seperti hutan keramat dan lansekap keramat yang dapat berperan penting dalam konservasi keanekaragaman hayati (Soedjito dan Sukara, 2006). Nilai sosio-ekologi. Manusia hidup sangat tergantung kepada keberlanjutan sediaan sumberdaya alam dalam jangka panjang. Manusia secara fisik biologis merupakan bagian dari ekosistem alam di bumi ini. Manusia tidak dapat hidup tanpa terpeliharanya sistem lingkungan alam yang sehat dan berkelanjutan, seperti terpeliharanya fungsi ekosistem hutan untuk stabilisasi fungsi-fungsi hidrologis, daur oksigen, perlindungan kesuburan tanah dan longsor, menjaga stabilitas iklim, perlindungan sumberdaya keanekaragaman hayati, menjaga kesimbangan lingkungan, dan lain-lain. Kesemua ini merupakan contoh nilai-nilai ekologis yang sangat penting bagi keberlanjutan hidup manusia sepanjang masa. Nilai ekologis ini sangat erat hubungannya dan saling mendukung dengan nilai-nilai sosial, yang merupakan motivator untuk melakukan aksi bersama mencapai tujuannya, seperti halnya tujuan konservasi (McNeely, 1992). Cara bagaimana masyarakat melestarikan dan memanipulasi kekompleksan keanekaragaman hayati dan ekosistem memberi kontribusi kepada ketahanan ekosistem dan memperkuat kapasitas masyarakat dalam menanggulangi perubahan lingkungan (Soedjito dan Sukara, 2006). Nilai religius. Nilai-nilai religius menempati peringkat yang sangat tinggi dalam kehidupan seorang yang beradab. Dikatakan demikian karena nilai-nilai religius berkaitan dengan kebenaran Ilahi yang bersifat absolut yang berangkat dari dan bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan seseorang dengan Penciptanya. Sesungguhnya nilai religius tidak semata-mata berkaitan dengan kehidupan keagamaan seseorang, akan tetapi tercermin juga dalam kehidupan sehari-hari seperti menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tertentu, seperti kejujuran, kesediaan berkorban, kesetiaan dan lain sebagainya (Siagian, 2004). Nilai-nilai religius inilah merupakan motivator utama dalam sejarah kehidupan umat manusia yang hidup dimasa hayat nabi-nabi yang telah menjadi stimulus yang efektif dalam membangun sikap dan perilaku manusia di zaman itu. Begitu juga nilai-nilai religius agama Shinto yang merupakan kepercayaan rakyat Jepang kepada Kaisar Keramat Keturunan Dewa, dapat dipergunakan oleh 13

33 para pemimpin Jepang sebagai energi stimulus untuk melaksanakan pembangunan atas nama Kaisar yang keramat. Unsur-unsur ajaran Shinto itu terjalin langsung ke dalam kehidupan kekeluargaan dan kehidupan sehari-hari orang Jepang, sehingga menjadi jaminan partisipasi sepenuhnya dari setiap individu rakyat Jepang dalam pembangunan. Nilai ini pula yang menjadi motivasi utama bagi perilaku orang Jepang setelah perang dunia kedua berakhir dalam membangun negaranya (Koentjaraningrat, 1974 dan Siagian, 2004). Keterputusan suatu sistem nilai yang sudah mengakar di masyarakat secara turun temurun dengan sistem nilai baru yang diterapkan, seperti yang dibahas dalam teori sistem nilai yang dikemukan oleh Ndraha (2003), akan menimbulkan discontinuity, inconsistency, disparity dan distorsion. Sesuatu yang terpenting mungkin bukan yang terbaik, sementara yang terbaik belum tentu yang paling benar. Jadi yang ideal adalah, jika suatu hal merupakan yang terpenting, terbaik, dan juga terbenar. Kombinasi dari berbagai kategori nilai terpenting, terbaik dan terbenar pada skala masing-masing itulah yang membentuk sistem nilai dan titik temu. Ndraha (2005) mengemukakan, bahwa suatu nilai terputus atau tidak bertemu karena nilai tersebut tidak berada atau lepas dari sistem nilainya. Misalnya bangunan sistem nilai N dengan menggunakan tiga sumbu dengan nilai skala (X,Y dan Z) : penting (nilai-guna), baik (nilai-etika/moral), dan benar (nilai-fakta). Sistem nilai N tersebut dapat digambarkan seperti di bawah ini : Penting (nilai guna) (Y) Buruk Salah (X) Benar (nilai fakta) (Z) Baik (nilai etika/moral) Tak Penting(nilai guna) Gambar 2. Sistem nilai (Sumber: Ndraha, 2005) 14

34 Gambar di atas dapat dibuat suatu sistem nilai kedawung yang direfleksikan dari stimulus, yaitu N= f(x,y,z). Sumbu Y penting adalah stimulus kedawung berupa nilai-guna/manfaat kedawung, sumbu X baik adalah stimulus kedawung berupa nilai-etik, moral, kerelaan, sikap atau perilaku untuk konservasi, dan sumbu Z benar adalah stimulus kedawung berupa nilai-fakta bioekologi dan kondisi populasi/regenerasi untuk terwujudnya konservasi. Walaupun sistem nilai dapat berubah, dan nilai N di dalam sistempun dapat berubah, namun N harus selalu berada di dalam ruang sistem sumbu X, Y dan Z, yaitu dalam gambar ruang pada skala garis kontinu, bukan berada dalam gambar ruang garis putus-putus. Apabila nilai terlepas dari sistemnya, maka terjadi keterputusan nilai, sehingga terjadilah discontinuity, inconsistency, disparity dan distortion terhadap konservasi kedawung. 3. Aliran informasi dalam ekosistem sebagai stimulus Menurut Rachman (1996), masyarakat tradisional menggunakan informasi alam sebagai pedoman utama untuk melakukan aksi atau tindakan dalam kehidupan mereka berinteraksi dengan lingkungan habitat alami. Pakar antropologi pertanian IPB yang pernah menjadi murid dari Terry A. Rambo yang disebutkan di atas menggambarkan aliran informasi dalam suatu ekosistem masyarakat tradisional sebagai berikut : Energi dan materi Sinyal Stimulus Ditangkap pikiran masyarakat Keputusan Aksi atau tindakan (Sumber : Rachman, 1996) Gambar 3. Aliran informasi dalam ekosistem masyarakat tradisional Selanjutnya Rachman (1996) mengemukakan di dalam masyarakat tradisional terjadi tukar menukar informasi antara sistem sosial masyarakat dengan ekosistemnya, yaitu antara lain berupa : a. Input dari ekosistem ke sistem sosial masyarakat. Input ini antara lain dapat berbentuk informasi (misal: suara, penglihatan/visual). b. Input dari sistem sosial masyarakat ke ekosistem. Input informasi yang diperoleh sistem sosial masyarakat dapat menghasilkan informasi baru sebagai input terhadap ekosistem, misalnya informasi untuk aksi konservasi. 15

35 Berikut dikemukakan beberapa contoh informasi tentang sinyal-sinyal alam yang ditangkap oleh kelompok individu atau kelompok masyarakat menjadi stimulus bagi sikap dan selanjutnya menjadi informasi untuk bertindak atau beraksi. Tabel 1. Beberapa contoh informasi kejadian alam sebagai stimulus Sumber Informasi untuk stimulus (variabel bebas) Kelompok yg dituju Makna informasi jadi stimulus bagi sikap Informasi untuk bertindak (variabel tak bebas) 1. Suara monyet Pemburu Kehadiran monyet Dekati, jerat atau tembak 2. Cahaya merah terang di langit saat matahari terbenam 3. Banyak binatang mengungsi turun dari gunung 4. Air laut di pantai surut drastis dan banyak ikan terdampar 5. Buah kedawung menghitam di Pohonnya 6. Di hutan alam taman nasional hanya ada pohon-pohon kedawung berdiameter besar. Pelaut Masyarakat sekitar gunung Masyarakat pinggir pantai Masyarakat pendarung buah kedawung Pengelola dan masyarakat pendarung kedawung Besok hari akan cerah dan baik Gunung segera akan meletus Bencana tsunami segera akan terjadi Buah kedawung masak dan siap dipanen Proses regenerasi terhambat atau terputus, pohon kedawung akan menjadi langka dan bahkan punah Berangkat untuk melaut Segera mengungsi menjauhi gunung ke tempat aman Segera berlari menjauhi pantai ke tempat aman Segera memanen buah kedawung Lakukan segera pengayaan atau penanaman pohon kedawung di hutan alamtaman nasional Pada Tabel 1 di atas dapat dipahami bahwa suatu sinyal adalah mengandung informasi, apabila informasi tersebut dapat dipahami dan disadari oleh kelompok yang dituju, maka sinyal akan menjadi stimulus dan akan mendorong menjadi sikap. Selanjutnya stimulus-sikap kemudian akan memberikan informasi untuk bertindak atau beraksi. Kalau semua proses ini dapat terjadi dan berlangsung baik dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, maka barulah tindakan atau aksi yang diinginkan sesuai dengan bentuk, arah dan sifat stimulus akan dapat terwujud dengan baik. Contoh yang baik dan mudah dipahami adalah seperti terjadi pada peristiwa bencana alam Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 di Aceh yang telah menimbulkan banyak korban nyawa manusia. Sebelum Tsunami, terjadi gempa kuat yang berpusat di dasar laut, sesaat kemudian muncul dua fenomena atau sinyal alam sekaligus, yaitu air laut surut seketika dan banyak ikan terdampar. Dua sinyal alam yang terjadi sekaligus ini, tidak lain adalah merupakan dua variabel bebas yang merupakan informasi dari alam. Informasi tersebut mendorong dan merangsang sikap dan aksi masyarakat (variabel tak bebas). Masyarakat umumnya berlari mendekati laut berebut memungut ikan 16

36 yang terdampar, bukannya informasi ini menjadi stimulus bagi masyarakat untuk segera lari menjauhi pantai! Akhirnya mereka banyak menjadi korban tsunami. 4. Stimulus, sikap dan aksi konservasi Menurut Harris dan Hillman (1989) dalam buku yang disuntingnya Foraging and Farming, The Evolution of Plant Expoitation. Buku ini merupakan himpunan makalah hasil kongres Anthropology dan Archaeology, dimana lebih dari 850 ilmuwan peserta dari 70 negara dunia dalam One World Archaeology di London bulan September Buku ini mengungkapkan bahwa tumbuhan dan habitat serta budaya masyarakat tak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia sejak awal keberadaannya di muka bumi. Namun sayangnya pengetahuan, pengalaman dan budaya ini tak dapat berkelanjutan karena terjadi suatu proses intervensi yang mengakibatkan kehidupan terkini kehilangan arah yang memutuskan kelanjutan evolusi genetik tersebut dan tidak dipahami lagi oleh masyarakat generasi muda. Salah satu kegagalan manusia dalam berinteraksi dengan alam tumbuhan adalah karena manusia tidak memahami kedudukan serta makna rahasia alam tumbuhan dan hewan serta habitatnya dalam rangka kepentingan untuk keberlanjutan hidup manusia itu sendiri (Tompkinn dan Bird, 2004). Kunci dari pemaknaan tersebut antara lain adalah mengenal sinyal-sinyal dan fenomenafenomena, yang merupakan informasi kebenaran dari alam yang tersebar di alam tumbuhan, hewan dan habitatnya. Informasi itu semua, semestinya dapat menyatu padu dan mengkristal menjadi stimulus sikap dan menjadi informasi untuk aksi konservasi dan harmoni terhadap dunia tumbuhan dan habitatnya. Hal ini dapat terwujud dengan prasyarat adanya kerelaan berkorban untuk konservasi dan hendaknya merupakan sekaligus sebagai wujud pertanggung-jawaban setiap individu manusia kepada alam itu sendiri dan kepada Sang Pencipta. Penelitian ini memfokuskan kepada masalah stimulus kedawung yang dapat mendorong dan terkait erat dengan sikap masyarakat pendarung maupun sikap pengelola untuk aksi konservasi kedawung. Sikap merupakan kecenderungan bertindak (tend to act), kesediaan bereaksi atau berbuat terhadap sesuatu hal dalam masyarakat dan menunjukkan bentuk, arah, dan sifat sebagai refleksi dari nilai-nilai yang dimiliki satu-kesatuan 17

37 masyarakat (society as a whole). Sikap ini berisikan komponen setidak-tidaknya berupa cognitive (pengalaman, pengetahuan, pandangan, dan lain-lain), affective (emosi, senang, benci, cinta, dendam, marah, masa bodoh, dan lain-lain) dan overt actions (perilaku, kecenderungan bertindak). Jadi sikap itu merupakan organisasi pendapat dan keyakinan seseorang mengenai objek yang disertai adanya pikiran dan perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau bertindak dalam cara tertentu yang dipilihnya (Rosenberg dan Hovland, 1960; Krech, Crutchfield & Ballachey, 1962). Pengertian stimulus dalam penelitian ini adalah sinyal, fenomena atau gejala, yang diperlihatkan oleh komponen ekosistem hutan yang dapat menjadi perangsang masyarakat untuk bersikap terhadap sesuatu. Khusus dalam penelitian ini, yang dimaksud adalah sinyal yang diinformasikan atau ditunjukkan oleh pohon kedawung yang dapat menjadi stimulus bagi sikap masyarakat untuk aksi konservasinya. Sinyal baru dapat menjadi stimulus apabila dapat ditangkap dan dipahami oleh komponen sikap (cognitive dan affective). Pada dasarnya komponen sikap terdiri dari objektif (cognitive) berupa rasionalitas yang didasarkan pengalaman sendiri atau pengetahuan yang menjadikan seseorang anggota masyarakat membentuk sikapnya. Keadaan seperti ini bisa terjadi pada pengelola maupun anggota masyarakat. Komponen sikap juga bersifat subjektif (affective) yang cenderung membangkitkan emosional baik sedih atau gembira, suka maupun tidak suka terhadap suatu stimulus yang merangsang untuk berbuat atau bertindak konservasi. Apabila keadaan seperti ini berlanjut tanpa terjadi dialog yang melibatkan komponen sikap lainnya (cognitive) bisa meghasilkan bentuk, sifat maupun arah sikap yang berbeda dari konservasi. Komponen sikap yang ketiga, yaitu kecenderungan bertindak nyata (overt action) yang mungkin mengarah kepada bentuk, sifat dan arah yang memperkuat konservasi atau malahan sebaliknya memperlemah atau bahkan menolak. Keterkaitan stimulus-sikap akan memungkinkan terjadinya keterkaitan yang erat dengan aksi konservasi. Hal itu karena ada asumsi bahwa sifat bioekologi dan manfaat akan dirasakan oleh masyarakat secara ekonomi, ekologi maupun sosial-budaya. Tetapi sebaliknya keterkaitan stimulus-sikap, memungkinkan pula putusnya keberlanjutan konservasi, sebagai contoh stimulus 18

38 manfaat ekonomi dari kedawung telah membuat sikap masyarakat pada periode Agustus-September setiap tahun untuk masuk hutan dan memanen semua buah yang masak untuk dijual ke tengkulak. Bahkan mereka mengambil semua buah kedawung yang berada di ranting tajuk terluar dengan memotong cabang tanpa menyisakan biji untuk regenerasi kedawung di hutan. Sikap ini berdampak negatif terhadap konservasi dan hal ini ditunjukkan dengan sulitnya terjadi regenerasi kedawung di hutan alam. Diagram pada Gambar 4 berikut ini menggambarkan aliran informasi dari sistem bioekologi kedawung ke sistem sosial masyarakat. Informasi untuk aksi konservasi (prasyarat : adanya kerelaan berkorban, hak kepemilikan jelas Aksi Sikap dan peraturan perundangan yang jelas konservasi Masyarakat Kedawung (prasyarat : sinyal dapat ditangkap dan dipahami oleh Stimulus komponen cognitive dan affective dari setiap individu Sinyal informasi tentang manfaat, kelangkaan, harapan konservasi, dll Gambar 4. Hubungan sinyal kedawung, informasi kelangkaan, stimulus bagi sikap dan informasi untuk aksi konservasi Dalam kerangka pemikiran ini dapat diperhatikan tiga hal utama, yaitu (1) sikap masyarakat, (2) stimulus yang berkaitan dengan sikap masyarakat, dan (3) aksi konservasi yang bakal terjadi. Gejala yang diperhatikan selama penelitian berjalan adalah stimulus yang direfleksikan oleh spesies tumbuhan obat kedawung dengan segala sifat-sifat bioekologi dan manfaatnya yang mempengaruhi pula sikap dan perilaku hewan dan manusia yang menggunakan spesies tumbuhan ini. Aspek lain yang diperhatikan pula adalah faktor yang terkait dengan akumulasi pengetahuan, pengalaman baik masyarakat yang sistematis yang diwariskan turun temurun yang amat relevan dengan sifat-sifat di luar bioekologi kedawung dalam habitatnya. Pengalaman seperti ini diwarisi masyarakat yaitu dengan membaca fenomena alam yang dijabarkan dalam pengalaman selama hidupnya. Konservasi kedawung dapat terwujud apabila sinyal dari kedawung yang menuntut untuk kebutuhan keberlanjutan hidupnya dapat menjadi stimulus kuat 19

39 yang dapat mendorong sikap masyarakat pendarung dan pengelola serta sekaligus memberikan informasi untuk aksi konservasi. Keterkaitan sikap-stimulus, memungkinkan pengelola TNMB dapat berperan aktif untuk mewujudkan konservasi bersama masyarakat dengan menghilangkan perbedaan atau bias dalam kesamaan pandang yang selama ini tidak terjadi. Fenomena yang terakhir yaitu hubungan sikap-stimulus menghasilkan bias dalam konservasi adalah suatu yang patut dikaji lebih lanjut karena ternyata kebijakan TNMB dan pengetahuan masyarakat terhadap konservasi ada kecenderungan berbeda. Dalam hal ini bisa kemungkinan terjadi karena kebijakan yang ditempuh bersama, baik oleh masyarakat maupun oleh pengelola menimbulkan bias. Untuk itu dapat dikaji dalam komponen pembentuk sikap, baik pengelola maupun masyarakat. Rangkaian informasi sinyal menjadi stimulus (sifat genetik tumbuhan obat kedawung, bioekologinya, guna, nilai, dan seterusnya) akan mendorong sikap masyarakat untuk beraksi. Artinya belum bisa disebut stimulus bagi masyarakat apabila sinyal, informasi, issu atau sifat genetik, bioekologi, guna atau nilai tertentu tumbuhan obat kedawung tersebut belum menjadikan masyarakat berlaku atau bertindak positif untuk melakukan konservasi. Oleh karenanya sesuatu issu, sinyal, fenomena atau informasi dan sebagainya barulah menjadi stimulus kalau masyarakat terdorong atau terangsang mewujudkan sikapnya terhadap issu, fenomena atau sifat tertentu dari suatu benda, dalam hal ini tumbuhan obat kedawung. Topik disertasi ini dipilih berdasarkan pada pengalaman peneliti selama lebih 10 tahun bekerja diprogram konservasi tumbuhan obat bersama masyarakat di TNMB. Peneliti meyakini bahwa berbagai sifat atau karakter tumbuhan obat kedawung haruslah menjadi stimulus bagi masyarakat pendarung untuk bersikap konservasi dan hal ini merupakan sebagai prasyarat terwujudnya aksi konservasi tumbuhan obat tersebut di TNMB. Pemantapan hubungan stimulus-sikap masyarakat yang didasarkan kepada kesatuan bulat komponen sikap merupakan kesatuan yang mendorong aksi masyarakat untuk konservasi. Pemantapan ini didapat dengan satu proses yang panjang dan kemungkinan bergenerasi secara informal. Pertanyaannya adalah 20

40 sejauh mana peranan dari masyarakat sendiri turun temurun membentuk pengetahuan ataukah peranan datang dan berasal dari pengelola. Kedua-duanya patut diuji dalam penelitian ini. Bagi disertasi ini konservasi adalah ideal kalau pada akhirnya masyarakat pendarung sendiri yang lebih besar peranannya untuk melaksanakan konservasi kedawung. Keberlanjutan suatu konservasi merupakan harapan semua pihak, tetapi bagaimana pengendalian sikap masyarakat agar menjadi masyarakat yang konservasionis? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini termasuk juga hendak dijawab dalam penelitian ini, yaitu stimulus apa saja yang seharusnya menjadi pendorong dan pengendali sikap masyarakat dan pengelola untuk aksi konservasi. 5. Hipotesis Penelitian Untuk mengarahkan penelitian agar dapat menjawab tujuan penelitian dengan tepat dan fokus, maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut : Kegagalan konservasi kedawung terjadi karena stimulus kedawung yang telah dan sedang terjadi di ekosistem hutan alam TNMB tidak menjadi sikap masyarakat maupun pengelola taman nasional, serta tidak adanya kerelaan berkorban masyarakat maupun pengelola untuk melakukan aksi konservasi. Hipotesis penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut, bahwa kegagalan konservasi kedawung di TNMB terjadi karena : 1. Stimulus tidak sejalan dengan sikap masyarakat dan sikap pengelola. 2. Sikap masyarakat dan sikap pengelola tidak berkaitan erat dengan stimulus. 3. Keterkaitan stimulus dan aksi konservasi oleh masyarakat dan pengelola tidak berjalan simultan. 4. Terjadi bias pemahaman stimulus dengan aksi konservasi oleh masyarakat dan pengelola 5. Tidak ada kerelaan berkorban masyarakat dan pengelola untuk aksi konservasi. 6. Perbedaan pengalaman dalam sikap dan aksi konservasi antara masyarakat dengan pengelola. 7. Masyarakat dan atau maupun pengelola tidak memahami bahwa stimulus, sikap dan aksi konservasi itu dilaksanakan simultan. 21

41 Hipotesis penelitian ini dengan kata lain mendasarkan bahwa upaya-upaya konservasi kedawung tidak akan terwujud apabila tidak ada persamaan dan persepahaman sikap masyarakat dan sikap pengelola taman nasional terhadap stimulus kedawung yang menginformasikan tuntutan kebutuhan tumbuhan obat kedawung untuk konservasinya di hutan alam. Persepahaman akan terjadi apabila sikap masyarakat dan sikap pengelola taman nasional kedua-duanya sejalan dengan evolusi pengalaman masyarakat dalam konservasi, domestikasi dan budidaya sumberdaya tumbuhan hutan. Taman nasional belumlah berfungsi sebagai sumberdaya bank genetik sebagaimana diharapkan untuk pengembangan komoditi baru pertanian dan kehutanan. Sebaliknya apabila terjadi pemahaman yang utuh terhadap stimulus pada kedua belah pihak, baik masyarakat pendarung maupun pengelola taman nasional, terhadap tuntutan stimulus sumberdaya alam taman nasional itu sendiri, maka sikap konservasi semua pihak dapat terefleksi seutuhnya dalam aksi konservasi di lapangan, sehingga dengan demikian terjadi sustainability. Hipotesis disertasi ini mengarahkan bahwa konservasi kedawung dan hutan yang dikenal hari ini sepatutnyalah tak lain dari estafet tradisional and local knowledge dari sustainability domestication of plant resources yang prosesnya adalah evolusi tumbuhan dalam ekosistem atau habitat dimana terjadi interaksi masyarakat dengan tumbuhan itu. Tentu saja interaksi tersebut terjadi atas dasar kebutuhan dan upaya trial and error dari masyarakat terhadap tumbuhan tersebut sehingga sampai kepada domestikasi. Evolusi merupakan suatu proses pembelajaran masyarakat terhadap tumbuhan liar dalam suatu habitat hutan alam secara berkelanjutan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Konservasi yang terjadi masa ini adalah hal yang tak dapat dipisahkan dari proses yang kemungkinan terputus sambungannya ke masa lalu (Harris dan Hillman, 1989). Perilaku masyarakat pendarung kedawung diduga tidak ada yang dengan sengaja menyemaikan biji untuk regenerasi kedawung di hutan, sehingga dampaknya sangat kurang sekali atau tidak terjadi proses regenerasi. Konservasi mungkin juga tidak terjadi di lapangan karena pengalaman masyarakat pendarung kedawung kurang tergali oleh pengelola, sehingga pengelola tidak dapat membuat umpan balik (feedback) kepada masyarakat pendarung. 22

42 Hipotesis disertasi ini juga mengarahkan bahwa prasyarat keberlanjutan konservasi erat hubungan dengan kerelaan berbuat atau berkorban oleh masyarakat pendarung maupun pengelola. Misalnya mutlak adanya kerelaan untuk menyemaikan biji kedawung di hutan atau memindahkan anakan ke areal yang terbuka yang sesuai untuk kebutuhan hidup anakan kedawung. Hal ini harus dilakukan manusia, karena berdasarkan pengalaman dan hasil penelitian penyebar biji kedawung terutama dilakukan oleh manusia. Kerelaan berbuat dan berkorban ini menurut fakta sejarah dari berbagai masyarakat etnis maupun bangsa, sangat kuat kaitannya dengan nilai-nilai kepercayaan, nilai-nilai keyakinan, norma-norma atau nilai-nilai religius yang dianut seseorang atau kelompok (Krech, Crutchfield & Ballachey, 1962 dan Siagian, 2004) Penyelesaian masalah dalam penelitian ini adalah berpangkal dari hipotesis di atas diarahkan agar masyarakat, pengelola (pemerintah) dan perguruan tinggi sepatutnya bersama-sama melanjutkan proses pembelajaran dengan tidak melupakan pengalaman masyarakat pendarung yang telah terlebih dahulu bertungkus lumus berinteraksi dengan sumberdaya tumbuhan di habitat mereka. Keterlibatan upaya konservasi oleh pengelola dan perguruan tinggi perlu diupayakan terus menerus untuk membangun sikap masyarakat yang konservasi. Tanpa itu konservasi tak dapat berlanjut dengan memuaskan, karena pada kenyataannya sustainability itu secara aktual di lapangan sehari-hari sesungguhnya ada sepenuhnya ditangan masyarakat. Titik temu perlu dicari sehingga masyarakat kecil seperti masyarakat hutan dan kebijakan pemerintah patut bersambut dari dalam masyarakat hutan atau masyarakat tradisional manapun. Hal ini memerlukan satu kearifan bersama dari kedua belah pihak. Kemungkinan besar tidak adanya titik temu itulah kebijakan konservasi menjadi kurang atau tidak dapat berlanjut menjadi kenyataan di lapangan. B. Metoda Penelitian ini difokuskan hanya pada konservasi pohon kedawung, seperti disebutkan pada bab pendahuluan, khusus untuk memahami bagaimana sikap masyarakat yang terkait dengan konservasi kedawung. Penelitian ini 23

43 menekankan hubungan antara sikap masyarakat pendarung dan konservasi kedawung sebagaimana ditunjukkan pada tujuan penelitian dan mengacu kepada kerangka pemikiran dan hipotesis. Informasi atau input data yang digunakan dalam penelitian disertasi ini adalah bersumber dari (1) hasil penelitian bioekologi kedawung selama lebih kurang 10 tahun; (2) penelitian Mujenah (1993) tentang interaksi masyarakat dengan tumbuhan obat di TNMB digunakan untuk acuan penelusuran kelompok masyarakat pendarung yang menjadi kajian; (3) pengalaman masyarakat pendarung dan pengelola; dan (4) dari berbagai literatur lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Pelaksanaan penelitian dilakukan secara bertahap dengan cara penyesuaian dan penyempurnaan metoda setelah diuji di lapangan secara berulang. 1. Lokasi dan waktu penelitian Penelitian mengambil lokasi contoh di TNMB sebagai habitat kedawung dan difokuskan pada masyarakat pendarung di desa Andongrejo dan Curahnongko. Masyarakat desa ini dipilih, karena merupakan masyarakat desa yang terbanyak dan sudah lama secara turun temurun memanen tumbuhan obat kedawung di hutan semenjak zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Desa Andongrejo merupakan desa baru pemekaran dari desa Curahnongko, yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional, terutama masyarakat kampung Timur Sawah yang hampir semuanya pernah menjadi pemungut buah kedawung. Masyarakat dari kampung inilah yang terbanyak terlibat dalam program budidaya kedawung sejak tahun 1994 di zona rehabilitasi, yang merupakan program kerjasama antara pengelola TNMB, Fakultas Kehutanan IPB dan LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia). Waktu pengambilan data bio-ekologi kedawung di lapangan dilakukan secara bertahap sejak tahun 1995, sedangkan pengambilan data dan pengujian sikap masyarakat dilakukan selama 3 bulan, yaitu mulai Februari sampai April Pengolahan data, analisis dan penulisan disertasi dilakukan sampai bulan Mei

44 2. Data yang dikumpulkan a. Karakteristik kawasan lokasi penelitian, meliputi kondisi potensi fisik dan biologi taman nasional dan demografi. Data diambil dari dokumen yang tersedia di kantor TNMB. b. Karakteristik nilai ekonomi dan bio-ekologi kedawung. Data dan informasi diambil dari semua laporan hasil penelitian dan literatur yang berhubungan dengan kedawung, wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat pendarung dan pengelola yang sudah banyak berpengalaman dengan kedawung, pengamatan langsung di lapangan. Data dan informasi ini digunakan untuk bahan menyusun kuesioner pernyataan stimulus kedawung untuk konservasi. c. Pernyataan-pernyataan stimulus kedawung, pernyataan aksi konservasi dan pernyataan kerelaan berkorban. Pernyataan-pernyataan ini dirumuskan dari sumber informasi yang disebutkan dalam butir 2 di atas dengan menggunakan bahasa sehari-hari masyarakat melalui analisis kandungan (content analysis) hasil wawancara mendalam kepada 5 orang tokoh masyarakat pendarung kedawung dan 5 orang staf taman nasional terpilih yang dianggap banyak berpengalaman dengan kedawung. d. Sikap masyarakat dan pengelola tentang konservasi kedawung yang diuji melalui wawancara secara sensus kepada 80 responden masyarakat pendarung kedawung di dua desa (Andongrejo dan Curahnongko) dan kepada 40 staf pengelola dengan menggunakan kuesioner pernyataan stimulus konservasi kedawung yang materinya disusun dan disempurnakan secara bertahap. e. Sikap masyarakat dan pengelola yang diukur dengan skala (skor) (Walgito, 2003), yaitu : sikap terhadap stimulus nilai manfaat ekonomi, sikap terhadap stimulus nilai manfaat obat, sikap terhadap stimulus nilai manfaat ekologis, sikap terhadap stimulus kondisi populasi dan regenerasi kedawung, aksi nyata dan kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung. f. Kebijakan pengelolaan, berupa peraturan perundangan dan programprogram kegiatan pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan Taman 25

45 Nasional Meru Betiri, periode tahun dan peroide , khususnya yang berkaitan dengan konservasi kedawung. 3. Teknik pengumpulan data a. Mengumpulkan dan mengkaji semua dokumen hasil penelitian, laporanlaporan dan buku teks mengenai kedawung dan analisis data hasil penelitian bioekologi kedawung di TNMB yang penulis lakukan sejak tahun 1994 bersama-sama dengan mahasiswa program sarjana yang langsung penulis bimbing, yaitu Ahmadi (1994); Konsiliwati (1994); Baihaki (1995); Mirwan (1995); Sihotang (1996); Nugroho (1998); Rinekso (2000); Winara (2001); Ardiani (2001); Iskandar (2003); dan Subastian (2007). b. Wawancara mendalam (indeepth interview) terhadap 5 tokoh masyarakat pemungut kedawung dan 5 tokoh pengelola taman nasional yang dianggap banyak berpengalaman mengenai kedawung. Dalam penelitian ada satu tokoh masyarakat pendarung yaitu mbah Setomi dari kampung Timur Sawah desa Andongrejo yang banyak memberikan masukan yang dikutib dalam disertasi ini. c. Wawancara dengan pengambil buah kedawung secara sensus di dua desa, yaitu desa Andongrejo dan desa Curahnongko berjumlah 80 orang dan pengelola taman nasional yang bertugas di lapangan dipilih 40 orang. Wawancara menggunakan kuesioner yang disusun berdasarkan hasil butir 1 dan butir 2, tentang pernyataan stimulus kedawung, aksi dan kerelaan berkorban untuk konservasi. Wawancara dengan masyarakat menggunakan bahasa Jawa yang dibantu penterjemah Sukirman dari staf LSM KAIL yang sudah bekerja dalam program selama 12 tahun bersama masyarakat. Masyarakat pendarung dari desa Andongrejo dan desa Curahnongko diketahui dengan cara penelusuran berdasarkan acuan hasil penelitian Mujenah (1993). d. Untuk mengkaji kebijakan pengelolaan dilakukan analisis kandungan tentang : (1) Peraturan perundangan yang berkaitan, (2) Rencana 26

46 strategis pengelolaan TNMB, dan (3) Rencana karya lima tahun TNMB periode dan Periode Pengukuran sikap Menurut Walgito (2003) mengukur sikap bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, salah satu kesulitannya adalah karena objek yang diukur tidak tampak, tidak dapat langsung dilihat, tidak langsung dapat dipegang dan yang diamati adalah manifestasi dari kehidupan psikis seseorang. Pengukuran sikap agar tidak terjadi variasi atau bias, maka alat yang digunakan untuk mengukur harus distandarisasi. Standarisasi alat ukur dalam penelitian ini dilakukan melalui pengujian berulang-ulang pernyataan stimulus dan aksi konservasi yang telah disusun kepada tokoh-tokoh masyarakat pendarung dan pengelola. Hasil pengujian ini dilanjutkan dengan seleksi, penyempurnaan dan penghalusan pernyataan stimulus dan aksi konservasi. Pernyataan-pernyataan yang terpilih diambil dari seluruh pernyataan yang telah disaring melalui proses uji coba berulang kali terhadap responden/subjek uji coba. Kemudian dipilih pernyataan-pernyataan yang cukup baik, baik yang bersifat favorable atau positif maupun bersifat unfavorable atau negatif. Selanjutnya Walgito (2003) menyatakan, bahwa variasi hasil pengukuran sikap tidak hanya ditimbulkan karena alat ukur yang digunakan, tetapi juga dapat bersumber dari faktor-faktor lain, yaitu (1) keadaan objek yang diukur, (2) situasi pengukuran, (3) alat ukur yang digunakan, (4) penyelenggaraan pengukuran, dan (5) pembacaan atau penilaian hasil pengukuran. Faktor-faktor ini juga menjadi perhatian yang penting dalam penelitian ini. Menurut Walgito (2003), pengukuran sikap secara garis besar ada dua macam cara, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Pengukuran secara langsung terdiri dari dua macam, yaitu langsung berstruktur dan langsung tidak berstruktur. Secara langsung tidak berstruktur misalnya mengukur sikap dengan wawancara bebas (free interview), dengan pengamatan langsung atau dengan survei (misal public opinion survey). Sedangkan cara langsung yang berstruktur, yaitu pengukuran sikap dengan menggunakan alat berupa pernyataan-pernyataan yang disusun sedemikian rupa dan langsung diujikan kepada subjek yang diteliti. 27

47 Penelitian ini melakukan pengukuran sikap secara langsung. Penelitian tahap pendahuluan pengukuran sikap dilakukan secara langsung tidak berstruktur, kemudian dilanjutkan pengukuran sikap secara langsung dengan berstruktur. Menurut Wang (1932), Thurstone and Chave (1929), Likert (1932), Bird (1940), dan Edwards dan Kilpatrick (1948) dalam Edwards (1957) menyarankan kriteria untuk menyusun pernyataan stimulus yang digunakan untuk mengetahui konstruksi sikap, sebagai berikut : 1. Menghindari pernyataan yang berbentuk waktu masa lalu. 2. Menghindari pernyataan yang interpretasinya memerlukan kecakapan 3. Menghindari pernyataan yang bisa menimbulkan pengertian lebih dari satu 4. Menghindari pernyataan yang tidak relevan dengan pertimbangan objek psikologis 5. Menghindari pernyataan yang mungkin dibenarkan oleh setiap orang atau sebaliknya 6. Memilih pernyataan yang diyakini mencakup seluruh lingkup minat affective 7. Menggunakan bahasa pernyataan yang sederhana, jelas dan langsung. 8. Menggunakan pernyataan yang singkat, tidak lebih dari 20 kata 9. Setiap pernyataan mengandung hanya satu topik yang lengkap 10. Menhindari pernyataan yang bermakna universal, seperti kata semua, selalu, tidak atau tanpa yang dapat menimbulkan dua pengertian 11. Kata-kata hanya, masih dan lain-lain yang serupa seharusnya digunakan dengan hati-hati dengan penulisan pernyataan yang tidak berlebihan. 12. Sedapat mungkin pernyataan dibuat dalam bentuk kalimat sederhana dan tidak kalimat kompleks 13. Menghindari kata-kata yang tidak dimengerti oleh responden 14. Menghindari penggunaan pernyataan negatif ganda Pengukuran sikap menggunakan pernyataan-pernyataan dengan menggunakan 5 alternatif jawaban atau tanggapan atas pernyataan-pernyataan. Subjek yang diteliti diminta memilih salah satu dari lima alternatif jawaban yang disediakan. Lima alternatif jawaban diberi skor sebagai berikut (Walgito, 2003) : - sangat suka (strongly like), diberi skor 5 atau 1 sesuai pernyataan positif atau negatif 28

48 - suka (like), diberi skor 4 atau 2, sesuai bentuk pernyataan positif atau negatif - tidak tahu atau tidak mempunyai pendapat (undecided), diberi skor 3 - kurang suka (dislike), diberi skor 2 atau 4, sesuai bentuk positif atau negatif - tidak suka (strongly dislike), diberi skor 1 atau 5, sesuai bentuk positif atau negatif. Subjek yang diwawancara langsung diminta memilih salah satu kemungkinan jawaban terhadap pernyataan yang diajukan kepadanya, dengan memberi tanda silang (x) jawaban mana yang disukai atau disetujui. Jadi dalam tiap-tiap pernyataan akan memberikan gambaran bagaimana seseorang dalam menanggapi pernyataan tersebut. Nilai skor tertinggi diberikan kepada sikap positif, sedangkan nilai skor yang terendah diberikan kepada sikap negatif. Validitas suatu alat ukur dapat diketahui melalui hasil pengolahan statistika, yaitu dilihat dari standar deviasi, modus dan median yang diolah dengan menggunakan program excel. Apabila nilai skor yang diperoleh oleh seseorang makin tinggi, merupakan indikasi bahwa orang tersebut sikapnya makin positif terhadap objek sikap, demikian sebaliknya. 5. Tahapan penelitian Penelitian ini dilakukan secara bertahap, yaitu mulai dari pengumpulan data, mengolah data dan menganalisisnya yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan tujuan penelitian dan batasan-batasan penelitian yang dituangkan dalam kerangka pemikiran dan hipotesis. Tahapan penelitian dilakukan seperti dikemukan pada diagram berikut : 29

49 Tahap 1. Menyusun karangan cerita tentang kedawung berdasarkan hasil-hasil penelitian bioekologi kedawung dan pengalaman selama 10 tahun terakhir. Tahap 2. Revisi karangan cerita untuk bahan indepth interview dengan pertanyaan-pertanyaan Tahap 3. Melakukan indepth interview kepada 10 orang responden terpilih yang dianggap banyak tahu tentang kedawung (5 orang staf TNMB, 5 orang tokoh masyarakat) Tahap 4. Menganalis kandungan (content analysis) tentang pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan kedawung dari 10 orang responden. Tahap 5. Perumusan Sikap Harapan Kedawung, berdasarkan Content Analysis pernyataanpernyataan 10 responden, pengamatan lapangan dan hasil-hasil penelitian bioekologi kedawung yang sudah dilakukan selama 10 tahun dan literatur lainnya. Tahap 6. Merumuskan pernyataan-pernyataan : stimulus kedawung, aksi konservasi dan kerelaan berkorban untuk konservasi dengan menggunakan bahasa masyarakat untuk diujikan kepada masyarakat pendarung dan pengelola Tahap 7. Uji coba, menyeleksi dan memperbaiki kalimat pernyataan stimulus, aksi konservasi dan kerelaan berkorban kepada masyarakat pendarung dan pengelola yang difokuskan terhadap untuk menjawab tujuan penelitian. Tahap 8. Wawancara secara sensus kepada 80 responden masyarakat pendarung kedawung dan 40 orang pengelola dengan kuesioner yang dihasilkan pada tahap 7. Tahap 9. Pengolahan dan analisis data, menggunakan program excel, analisis ragam satu arah (oneway anova) dan pearson correlation untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian berdasarkan tujuan penelitian dan perumusan permasalahan kebijakan pengelolaan taman nasional. Tahap 10. Kesimpulan, Implikasi teori dan kebijakan Gambar 5. Diagram tahapan penelitian 6. Stimulus kedawung Berdasarkan analisis kandungan (content analysis) dari hasil wawancara mendalam (terhadap 5 tokoh masyarakat pendarung dan 5 tokoh pengelola taman nasional pada tahap penelitian pendahuluan), maka stimulus kedawung dapat diketahui mengandung 3 kelompok stimulus. Ketiga kelompok stimulus itu adalah : (1) stimulus alamiah yang berkaitan dengan karakteristik bioekologi kedawung; (2), stimulus manfaat yang berkaitan dengan kepentingan atau kegunaan kedawung bagi masyarakat; dan (3) stimulus religius yang berkaitan 30

50 dengan nilai religius, nilai akhlak dan nilai kearifan yang ada dalam masyarakat yang memotivasi sikap untuk rela berkorban bagi konservasi kedawung. Berikut ini disajikan hasil penelitian tahap 1 sampai tahap 7 tentang pernyataan stimulus, pernyataan aksi konservasi dan pernyataan kerelaan berkorban untuk diujikan terhadap sikap masyarakat dan sikap pengelola. Secara bertahap pernyataan-pernyataan yang disusun disempurnakan dan dihaluskan melalui uji-coba kepada masyarakat dan kepada pengelola, seperti tahapan penelitian yang telah dikemukakan pada Gambar 5. Rumusan artikulasi pernyataan-pernyataan stimulus kedawung ini merupakan kristalisasi : (1) analisis kandungan dari wawancara mendalam (indeepth interview) dan mendalam dengan tokoh masyarakat pendarung kedawung dan termasuk juga staf pengelola yang dianggap sudah berpengalaman dengan kedawung, (2) hasil penelitian penulis sendiri bersama mahasiswa yang penulis bimbing, (3) hasil-hasil penelitian kedawung lainnya dan (4) berbagai literatur tentang kedawung dari dalam dan luar negeri. Hasil analisis kandungan wawancara dapat dilihat pada Lampiran 3. Artikulasi pernyataan-pernyataan stimulus kedawung, aksi dan kerelaan berkorban untuk konservasi menggunakan bahasa masyarakat sehari-hari (bahasa Jawa), agar benar-benar dapat dipahami, dimengerti dan dihayati oleh masyarakat. Hasil akhir pernyataan-pernyataan disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Rumusan pernyataan stimulus, aksi dan kerelaan berkorban untuk konservasi yang diuji terhadap sikap masyarakat dan sikap pengelola Kebutuhan konservasi kedawung Nilai Manfaat Ekonomis (Stimulus manfaat) Buah pohon kedawung diharapkan dapat dipanen secara lestari menjadi sumber mata pencaharian masyarakat hutan yang bernilai ekonomi tinggi. Adanya nilai manfaat ini akan memancing masyarakat untuk mengambil buahnya dan sekaligus berarti ada peluang untuk penyebaran biji yang jauh dari pohon induknya. Artikulasi nilai manfaat ekonomis ini dirumuskan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan dan wawancara dengan tokoh masyarakat pendarung (Amzu, 2004). Pernyataan stimulus, aksi dan kerelaan berkorban yang diuji untuk mengetahui sikap masyarakat dan sikap pengelola 1. Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang telah menghitam (Bungah ndelok wit kedawung wohe akeh sing tuwo) 2. Saat pohon kedawung berbuah, masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya (Pas wayahe kedawung akeh wong mlebu alas ngapek). 3. Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat (Wit kedawung wis suwe dadi tambah penghasilane masyarakat). 4. Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu (Woh kedawung wis suwe digunakne pabrik jamu) 31

51 Nilai Manfaat Obat (Stimulus manfaat) Pohon kedawung merupakan tumbuhan obat atau pohon sumber waras (istilah dari masyarakat). Bijinya dimanfaatkan secara lestari untuk mengobati berbagai macam penyakit perut dan untuk memelihara kesehatan pencernaan, sakit perut nyeri dan mulas, nyeri dan kejang-kejang pada waktu haid, atau akan bersalin, demam nifas, kolera, mulas, masuk angin, antidiare, mencret, borok, kudis, luka, sakit pinggang, sakit jantung mengipas, cacingan, radang usus, penguat lambung, cacar air dan lainlain. Artikulasi nilai manfaat obat ini dirumuskan berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat pendarung dan studi literatur (Amzu, 2004) Nilai Fungsi Ekologis (Stimulus alamiah) Pohon kedawung sebagai pohon tertinggi pada strata tajuk hutan dengan diameter batang yang besar dan tajuk lebar serta melindungi berbagai jenis pohon lain yang ada di sekitarnya. Anakan kedawung membutuhkan tempat tumbuh di areal-areal terbuka dan lereng-lereng bukit terjal yang mendapatkan sinar matahari langsung. Kedawung merupakan tumbuhan soliter, dengan jarak satu individu pohon dengan individu pohon sejenis lainnya berjauhan, lebih dari 30 m. Buah muda kedawung menjadi makanan satwa Lutung/Budeng. Kedawung pada musim berbunga memerlukan penyerbuk bunga antara lain oleh lebah madu dan sekaligus bisa menyumbangkan nektar dan senyawa biologi lainnya untuk pakan lebah madu, yang akhirnya sangat bermanfaat bagi manusia. Artikulasi pernyataan stimulus nilai manfaat ekologis ini dirumuskan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan dan wawancara dengan tokoh masyarakat pendarung (Amzu, 2004 ) 5. Biji kedawung dipakai sendiri untuk obat sakit perut kembung (Biasane woh Kedawung dikanggokne dewe kangge loro weteng).. 6. Biji kedawung selalu ada disimpan di rumah untuk obat (Ono woh kedawung sing disimpen nduk omah kangge obat). 7. Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung (Woh kedawung kangge nambani wong loro weteng). 8. Pohon kedawung adalah tumbuhan obat yang banyak khasiatnya (Wit kedawung akeh khasiate kangge sekabehane obat), 9. Pohon kedawung banyak tumbuh di lereng bukit yang terjal (Wit kedawung akeh thukul nduk lemah sing miring-miring) 10. Pohon kedawung adalah pohon besar dan tinggi sebagai pengayom tumbuhan lainnya di hutan (Wit kedawung wit sing gedhe ngayomi kanggo wit sing liyane nduk alas) 11. Pohon kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah madu (Wit kedawung sing wis kembang ditekani tawon) 12. Pohon kedawung menggugurkan daunnya sebanyak 1 atau 2 kali dalam setahun (Wit kedawung nggrontokne godong ping pisan utowo loro setahun) 13. Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng (Woh kedawung sing ijik enom sok dipangan budeng) 32

52 Kondisi populasi dan regenerasi, terutama informasi kelangkaan (Stimulus alamiah) Persen perkecambahan biji kedawung secara alami (tanpa perlakuan) sangat rendah, hanya sekitar 8 %. Saat ini individu pohon kedawung di hutan alam sebagian besar terdiri dari individu-individu dari pohon tua, sangat sedikit individu-individu dari pohon muda di hutan. Anakan kedawung sangat sulit dijumpai di hutan alam Anakan kedawung sangat jarang atau tidak pernah dijumpai hidup di bawah atau sekitar pohon induknya. Artikulasi pernyataan stimulus alamiah, tentang kondisi populasi dan regenerasi kedawung ini dirumuskan berdasarkan penelitian pendahuluan dan wawancara dengan tokoh masyarakat pendarung (Amzu, 2004) Aksi dan Kerelaan berkorban (Stimulus religius) Pohon kedawung mengharapkan masyarakat tidak memangkas atau memotong cabang-cabang, agar buahnya tetap berbuah lebat. Karena pada cabang-cabang pinggir tajuk inilah buahnya yang banyak tumbuh dan sebagian disisakan/disisihkan untuk sumber benih. Pohon kedawung membutuhkan bantuan tangan manusia untuk menanam atau menyebarkan bijibijinya ke tempat-tempat yang terkena sinar matahari langsung dan berjauhan dengan pohon induknya. Kedawung membutuhkan bantuan manusia untuk mempercepat dan memperbesar persen kecambah, kulit biji kedawung yang tua berwarna hitam dan keras memerlukan perlakuan, yaitu bisa dengan memotong sedikit ujung kulit biji dengan gunting. Atau merendam biji dengan air panas 5 menit, lalu dengan air dingin satu malam, lalu ditiriskan untuk langsung dikecambahkan. Artikulasi aksi dan kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung ini dirumuskan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan dan wawancara dengan tokoh masyarakat pendarung (Zuhud, 2003; Amzu, 2004) 14. Anakan kedawung sangat jarang dijumpai tumbuh menjadi besar di sekitar pohon induknya (Thukulan kedawung arang-arang thukul nduk ngisore wite) 15. Pohon kedawung yang masih kecil/muda sangat jarang ditemukan di kawasan hutan alam (Thukulan kedawung arang-arang ditemoni nduk alas) 16. Anakan kedawung hanya hidup dan tumbuh di tempat terbuka terkena sinar matahari (Thukulan kedawung thukule ndik panasan sing panas) 17. Pohon kedawung dewasa lebih banyak dibanding pohon yang mudanya di hutan alam (Wit kedawung luweh akeh dibandingne karo thukulan kedawung nduk alas) 18. Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di hutan alam (Nguncalke who kedawung nduk alas) 19. Buah kedawung yang tergantung di pinggir tajuk terluar tidak semuanya dipungut (Woh kedawung gak dipek kabeh sing ora gedok) 20. Biji kedawung yang dipanen sendiri ada yang dijadikan bibit (Woh kedawung sing dipek ono sing saloke digawe bibit) 21. Kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam (Wit kedawung saiki perlu kudu ono sing nandur nduk alas) 22. Ada buah/biji kedawung yang tercecer diperjalanan pulang di hutan saat memikulnya sehabis memanen (Ono woh kedawung kececer turut dnalan pas muleh panen ko alas) 23. Biji kedawung direndam air panas 5 menit, dalam air biasa 1 malam, dan kemudian disemaikan (Woh kedawung dikum banyu panas limang menit, terus dikum banyu biasa sewengi, terus dithukulne). 24. Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya (Woh kedawung ben ndang thukul dilongi saithik pucuke) 25. Jarak tanam pohon kedawung di lahan rehabilitasi diperlebar minimal 30 m (Jarak tanduran kedawung nduk tetelan di arangne kiro-kiro 30 m). 26. Patroli dan larangan masyarakat masuk hutan, bukan kegiatan penting yang harus dilakukan (Keliling patroli lan gak oleh mlebu nang alas, ngak perlu dilakokne) 27. Pohon kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia (Wit kedawung perlu dibantu wong nyawurne woh kedawung nduk alas). 33

53 28. Pohon kedawung ditanam di lahan rehabilitasi tanpa imbalan menanam palawija (Wit kedawung ditandur nang lahan tetelan tanpo upah nandur palawija). 29. Pohon kedawung ditanam di lahan pertanian milik pribadi masyarakat (Wit kedawung ditandur nduk tegalane dhewe-dhewe). 30. Permudaan dan perbanyakan pohon kedawung di hutan alam tidak bisa diserahkan kepada alam saja (Thukulan lan kelestariane kedawung ora biso diserahne wae neng alam) 31. Biji kedawung yang dipanen selama ini, ada yang disisakan/ditinggalkan di hutan (Woh kedawung dipanenni ono dingengehi nduk alas). 7. Pengolahan dan analisis data Data diolah dengan progam excel dan dianalisis berdasarkan nilai rata-rata skor (skala) untuk mengetahui keterkaitan stimulus dan sikap, yang antara lain gunanya untuk membedakan antara sikap masyarakat dan pengelola. Olahan seperti ini diharapkan dapat menganalisis sikap dan perilaku masyarakat dan pengelola terhadap konservasi kedawung. Hasil olahan data disajikan dalam bentuk tabel dibantu dengan gambar. Potensi Stimulus yang dikeluarkan oleh pohon kedawung dapat menjadi stimulus bagi aksi konservasinya apabila nilai rata-rata skor masing-masing pernyataan mencapai sama atau melebihi nilai 3,8 yaitu rata-rata masyarakat dan pengelola yang menyatakan sikapnya sangat suka atau suka, sangat setuju atau setuju terhadap suatu pernyataan. Selain nilai skor rata-rata juga dihitung nilai simpangan baku (standar deviasi), modus dan median untuk memastikan apakah nilai rata-rata sudah mendekati dan menggambarkan fakta yang sebenarnya atau tidak. Data hubungan karakteristik masyarakat dan sikapnya juga diolah dan diuji dengan menggunakan statistik nonparametrik, melalui Analisis Ragam Satu Arah (Oneway Anova) dan Pearson Correlation dengan SPSS (Siegel, 1956; Sudjana, 2002; dan Rahayu, 2005). Peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan taman nasional dan kegiatan pengelolaan taman nasional dianalisis kandungannya (content analysis) terhadap peranan stimulus dalam aksi konservasi. Sehingga dapat diketahui apakah peraturan perundangan dan kegiatan pengelolaan telah mengandung stimulus untuk aksi konservasi atau tidak. 34

54 III. PROFIL TAMAN NASIONAL MERU BETIRI A. Sejarah Kawasan Kawasan hutan Meru Betiri pada awalnya berstatus sebagai hutan lindung yang penetapannya berdasarkan Besluit van den Directur van Landbouw Neverheiden Handel Nomor : 7347/ B pada tanggal 29 Juli 1931 serta Besluit Directur van Economiche Zaken Nomor : 5751 tanggal 28 April Pada tahun 1967 kawasan ini ditunjuk sebagai calon Suaka Alam dan pada periode berikutnya kawasan hutan lindung ini ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa seluas Ha. Penetapan ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 276/Kpts/Um/6/1972 tanggal 6 Juni 1972 dengan tujuan utama perlindungan terhadap spesies harimau jawa (Panthera tigris sondaica). Sedangkan pada tahun 1982 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 529/Kpts/Um/6/1982 tanggal 21 Juni 1982 kawasan Suaka Margasatwa Meru Betiri diperluas jadi Ha. Perluasan ini mencakup perkebunan PT. Bandealit dan PT. Sukamade Baru seluas Ha, serta kawasan hutan lindung sebelah Utara dan kawasan perairan laut sepanjang pantai selatan seluas 845 Ha. Pada perkembangan berikutnya yaitu dengan diterbitkannya Surat Pernyataan Menteri Pertanian Nomor : 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 Suaka Margasatwa Meru Betiri dinyatakan sebagai calon Taman Nasional, pernyataan ini dikeluarkan bersamaan dengan diselenggarakannya Konggres Taman Nasional Sedunia III di Denpasar, Bali. Status Taman Nasional kawasan hutan Meru Betiri ditetapkan dengan keluarnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 277/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 seluas Ha yang terletak pada dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Jember seluas Ha dan Kabupaten Banyuwangi seluas Ha. Konsep konservasi alam di Indonesia selama beberapa dekade ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan ide-ide konservasi dari Amerika yang berangkat dari logika preservasi-mengawetkan alam untuk dinikmati kalangan aristokrat yang mengacu pada Yellowstones National Park. Kita tidak pernah mengkaji bagaimana proses sejarah terbentuk dan berkembangnya taman nasional tersebut yang disahkan kongres Amerika tahun 1872, termasuk bagaimana konflik

55 kepentingan yang terjadi dengan masyarakat lokal suku Indian yang hidup di sekitar the Greater Yellowstone Ecosystem yang sudah menjadi tradisinya berburu satwa bison dan rusa (Meffe and Carroll, 1994). B. Letak dan Luas Kawasan TNMB secara geografis terletak pada 113º º58 30 BT dan 8º º33 48 LS dengan wilayah administrasi pemerintahan terletak di Kab. Jember dan Kab. Banyuwangi. Batas-batas wilayah kawasannya meliputi : a. Sebelah Utara berbatasan dengan kawasan PT. Perkebunan Nusantara XII Kebun Malangsari dan kawasan hutan Perum PERHUTANI. b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kali Sanen, kawasan PT. Perkebunan Nusantara XII Kebun Sumberjambe, PT. Perkebunan Treblasala dan Desa Sarongan. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. d. Sebelah Barat berbatasan dengan kawasan hutan Perum PERHUTANI, PT. Perkebunan Nusantara XII Kebun Kalisanen, Kebun Kotta Blater, Desa Sanenrejo, Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko. Balai TNMB mengelola kawasan dengan sistem zonasi, sesuai Keputusan DITJEN PKA Nomor : 185/Kpts/DJ-V/1999 tanggal 13 Desember 1999 dengan pembagian zonasi : (a) zona inti ha; (b) zona rimba ha; (c) zona pemanfaatan intensif ha dan (d) zona rehabilitasi ha. Gambar 6 berikut menunjukan lokasi Taman Nasional Meru Betiri. (Sumber : Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004a) Gambar 6. Peta lokasi Taman Nasional Meru Betiri 36

56 C. Topografi Topografi TNMB umumnya berbukit-bukit dengan kisaran elevasi mulai dari tepi laut hingga ketinggian meter dari permukaan laut (dpl) di puncak Gunung Betiri. Gunung yang terdapat di Seksi Konservasi Wilayah II Ambulu adalah G. Rika (535 m dpl), G. Guci (329 m dpl), G. Alit (534 m dpl), G. Gamping (538 m dpl), G. Sanen (437 m dpl), G. Butak (609 m dpl), G. Mandilis (844 m dpl) dan G. Meru (344 m dpl). Sedangkan gunung yang terdapat di Seksi Konservasi Wilayah I Sarongan adalah G. Betiri (1.223 m dpl) yang merupakan gunung tertinggi, G. Gendong (840 m dpl), G. Sukamade (806 m dpl), G. Sumberpacet (760 m dpl), G. Permisan (568 m dpl), G. Sumberdadung (520 m dpl) dan G. Rajegwesi (160 m dpl). Pada umumnya keadaan topografi di sepanjang pantai berbukit-bukit sampai bergunung-gunung dengan tebing yang curam. Sedangkan pantai datar yang berpasir hanya sebagian kecil, dari Timur ke Barat adalah Pantai Rajegwesi, Pantai Sukamade, Pantai Permisan, Pantai Meru dan Pantai Bandealit. 1. Kelas ketinggian Kawasan TNMB memiliki ketinggian yang bervariasi. Kegiatan pembuatan kelas ketinggian yang diolah dari peta kontur kawasan Taman Nasional Meru Betiri menghasilkan informasi bahwa, Taman Nasional Meru Betiri memiliki 12 kelas tinggi dengan setiap kelas ketinggian berjarak 100 meter. Kelas ketinggian yang memiliki luasan terbesar adalah kelas ketinggian mdpl yaitu dengan luas 9165 Ha dan kelas ketinggian yang memiliki luasan terendah adalah kelas ketinggian mdpl dengan luas 53 Ha. Persentase terbesar kelas ketinggian mdpl dijumpai pada resort Bandealit yaitu sebesar 31.2 %. Kelas ketinggian mdpl pada wilayah resort Bandealit menempati urutan kedua setelah kelas ketinggian mdpl dalam hal luasan terbesar. Kelas ketinggian mdpl dan mdpl yang ada pada wilayah resort Bandealit juga memiliki persentase luasan yang besar terhadap luas total ketinggian kawasan, yaitu 26.4 % untuk kelas ketinggian mdpl dan 23.8 % untuk kelas ketinggian mdpl. 37

57 Resort Malangsari memiliki persentase luasan yang besar pada rentang ketinggian mdpl dibanding resort lainnya yaitu kelas ketinggian mdpl sebesar 20.8 %, kelas ketinggian mdpl sebesar 29 % dan kelas ketinggian mdpl sebesar 40.1 %. Sedangkan untuk kelas ketinggian mdpl memiliki nilai persentase diatas 50%. Nilai persentase tersebut meliputi 59.3% untuk kelas ketinggian mdpl, 70.8% untuk kelas ketinggian mdpl, 85% untuk kelas ketinggian mdpl, 95.2% untuk kelas ketinggian mdpl dan 93.3% untuk kelas ketinggian mdpl. 2. Kelas lereng Kelas lereng adalah suatu informasi berbagai tingkat kemiringan lereng yang dinyatakan dalam satuan-satuan nilai tertentu. Nilai tersebut dapat berupa persentase dan dapat berupa derajat. Kelas lereng yang dibuat dinyatakan dalam 5 kelas dan satuan nilai yang digunakan dalam mendefinisikan kelas lereng pada kegiatan penelitian adalah persen. Kelas lereng yang memiliki luas terbesar adalah kelas lereng pada rentang 15-25% yaitu sebesar Ha. Secara umum kelas lereng 15-25% merupakan kelas lereng yang memiliki luas yang paling besar dibandingkan dengan kelas lereng lainnya pada setiap kelas lereng yang ada di wilayah wiayah kerja setiap resort. Luasan terkecil dari kelas lereng untuk setiap resort umumnya sama yaitu pada kelas lereng %. D. Tipe Iklim dan Hidrologi Kawasan TNMB bagian Utara dan Tengah termasuk tipe iklim B yaitu daerah tanpa musim kering dan hutan hujan tropika yang selalu hijau, sedangkan di bagian lainnya termasuk tipe iklim C yaitu daerah dengan musim kering nyata dan merupakan peralihan hutan hujan tropika ke hutan musim berdasar tipe iklim Schmidt dan Ferguson (Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004b). Curah hujan di kawasan ini bervariasi antara mm per tahun dengan bulan basah antara bulan Nopember - Maret, dan kering antara April - Oktober. Di daerah perkebunan Bandealit (sebelah barat) rata-rata curah hujan 38

58 sekitar mm, sedangkan bagian perkebunan Sukamade (sebelah tengah) ratarata curah hujan tahunan mm (Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004b). Sungai-sungai yang berada di kawasan TNMB antara lain Sungai Sukamade, Sungai Permisan, Sungai Meru dan Sungai Sekar Pisang yang mengalir dan bermuara di pantai selatan Pulau Jawa. E. Penutupan Vegetasi Penutupan vegetasi kawasan terdiri dari: hutan hujan tropis, hutan pantai, hutan mangrove, hutan bambu, savana, rawa, areal rehabilitasi, perkebunan, sawah, pemukiman. Hasil pengolahan data citra Lansat tahun 2002 diperoleh hasil bahwa persentase terbesar tutupan lahan adalah hutan hujan tropis sebesar 78.1% dan yang memiliki luasan terkecil adalah sawah dengan luas 0.06%. Hutan hujan tropis yang ada di kawasan menyebar dari wilayah Timur kawasan sampai wilayah Barat kawasan. Sedangkan untuk pemukiman umumnya terletak pada kawasan milik perkebunan Bandealait dan Sukamade, serta pemukiman para nelayan yang letaknya dekat dengan pantai Rajegwesi. Persentase areal perkebunan adalah 3.6% dan pemukiman sebesar 0,1%. Spesies tumbuhan yang banyak dijumpai di tipe vegetasi hutan hujan tropika diantaranya jenis walangan (Pterospermum diversifolium), winong (Tetrameles nudiflora), gondang (Ficus variegata), budengan (Diospyros cauliflora), pancal kidang (Aglaia variegata), rau (Dracontomelon mangiferum), glintungan (Bischoffia javanica), ledoyo (Dysoxylum amoroides), randu agung (Gossampinus heptaphylla), nyampuh (Litsea sp), bayur (Pterospermum javanicum), bungur (Lagerstromia speciosa), segawe (Adenanthera microsperma), aren (Arenga pinnata), langsat (Langsium domesticum), bendo (Artocarpus elasticus), suren (Toona sureni), dan durian (Durio zibethinus). Terdapat pula vegetasi bambu seperti : bambu bubat (Bambusa sp), bambu wuluh (Schizastychyum blumei), dan bambu lamper (Schizastychyum branchyladium). Di dalam kawasan juga terdapat beberapa jenis rotan, diantaranya : rotan manis (Daemonorops melanocaetes), rotan slatung (Plectomocomia longistigma), rotan warak (Plectomocomia elongata) dan lain-lain. 39

59 Hutan pantai yang ada dapat ditemui pada daerah sekitar pantai Sukamade, pantai Permisan, pantai Bandealit dan teluk Pisang. Persentase luas hutan pantai sebesar 1.2%. Hutan mangrove memiliki nilai persentase sebesar 0.4%, hutan mangrove dapat ditemui pada daerah sekitar muara sungai Bandealit dan daerah sekitar pantai Sukamade serta daerah sekitar pantai Rajegwesi. Areal rehabilitasi merupakan areal yang semula didominasi oleh hutan jati yang dulunya ditanam Perhutani, pada tahun 1982 areal ini dimasukkan kedalam kawasan taman nasional. Akibat penjarahan pada masa transisi pada tahun , areal ini ditetapkan sebagai zona rehabilitasi. Areal rehabilitasi ini memiliki persentase sebesar 7%, yaitu seluas 4023 ha dan terletak pada 2 wilayah administratif, yaitu kabupaten Banyuwangi dan kabupaten Jember. F. Potensi Fauna Sampai saat ini di kawasan TNMB telah teridentifikasi fauna sebanyak 217 spesies, terdiri dari 92 spesies yang dilindungi dan 115 spesies yang tidak dilindungi. Jumlah sebanyak itu meliputi 25 spesies mamalia (18 diantaranya dilindungi), 8 reptilia (6 spesies diantaranya dilindungi), dan 184 spesies burung (68 spesies diantaranya dilindungi). Kawasan hutan Meru Betiri merupakan habitat terakhir harimau jawa (Panthera tigris sondaica). Pada tahun 1976 oleh WWF dilaporkan bahwa harimau jawa yang ada di Meru Betiri tinggal 5 ekor atau paling banyak 6 ekor. Perjumpaan secara langsung terhadap satwa ini tidak pernah ada, namun beberapa inventarisasi yang dilakukan menunjukkan adanya tanda-tanda harimau jawa di kawasan ini yaitu berupa cakaran kuku dan kotoran (Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004). Spesies satwa lain yang potensial dan perlu mendapatkan perhatian khusus adalah populasi penyu yang sering bertelur di Pantai Sukamade. Pantai ini merupakan habitat bertelur bagi penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata), serta spesies penyu lainnya seperti penyu slengkrah (Lepidodochelys olivacea) dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Namun kondisi pantai Sukamade saat ini mengalami kerusakan yang parah akibat abrasi 40

60 air laut dan perubahan aliran sungai Sukamade yang menyisir garis pantai yang biasa dipakai penyu untuk bertelur. Beberapa spesies satwa penting yang dilindungi undang-undang yang terdapat di dalam kawasan antara lain kijang (Muntiacus muntjak), banteng (Bos javanicus), macan tutul (Panthera pardus), rusa (Cervus timorensis), kancil (Tragulus javanicus), musang luwak (Phardoxorus hermaprodytus), kukang (Nycticebus caoncang), landak (Hystrix brachiura), kera hitam/lutung budeng (Trachypithecus auratus), kera (Macaca irus), trenggiling (Manis javanicus). Beberapa spesies burung seperti elang Jawa (Spizateus bartelsi), rangkong (Buceros rhinoceros) dan lain-lain (Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004b). G. Sejarah Lahan Tetelan di Zona Rehabilitasi Sejak tahun 1992 sampai 2001 konsorsium FAHUTAN IPB - LATIN bekerjasama dengan pengelola TNMB telah melakukan program pendampingan kepada masyarakat di desa Curahnongko, Andongrejo dan Sanenrejo. Program yang dikembangkan adalah terutama pelatihan budidaya tumbuhan obat, pembangunan demplot agroforestry tumbuhan obat seluas 7 hektar dan pendampingan kelompok ibu-ibu PKK dan pengrajin jamu/obat tradisioal. Spesies tumbuhan obat pohon yang didomestikasi di areal demplot 7 ha terdiri dari kedawung (Parkia timoriana), pakem (Pangium edule), kemiri (Aleurites moluccana) dan trembesi (Enterolobium saman). Sedangkan spesies tumbuhan obat yang bukan pohon yang domestikasi adalah cabejawa (Piper retrofractum), kemukus (Piper cubeba), pulepandak (Rauvolfia serpentina), beberapa spesies empon-empon dan termasuk beberapa jenis bambu. Ketika bergulirnya reformasi tahun 1998 terjadi kegiatan illegal logging oleh masyarakat yang didalangi oleh cukong-cukong dan oknum-oknum, terutama terjadi pada periode tahun , yaitu dengan melakukan penjarahan hutan jati seluas 4000 ha (Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004). Kawasan hutan jati ini merupakan perluasan kawasan taman nasional dari Perhutani, berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 529/Kpts/Um/7/1982 tanggal 21 Juni Hutan jati ini dulunya ditanam pada tahun 1967/1968 dengan sistem tumpangsari kerjasama dengan masyarakat oleh Perum Perhutani. Istilah tetelan yang digunakan 41

61 masyarakat adalah berawal dari kejadian tahun 1998/1999, dimana hutan jati ditebangi dan ditetel-tetel (dipotong-potong, dicacah-cacah) pada masa era reformasi. Sejak inilah masyarakat petani menyebut lahan rehabilitasi bekas illegal logging hutan jati di TNMB dengan nama tetelan. Kondisi pada waktu itu oleh pengelola TNMB bekerjasama dengan Konsorsium FAHUTAN IPB LATIN segera diantisipasi dan dicegah, agar tidak terjadi konflik lahan yang berkepanjangan dan sangat berpotensi berlanjutnya penjarahan hutan alam TNMB. Paska tetelan hutan tahun 1998/1999 dilakukan pengembangan pendampingan masyarakat berupa kegiatan rehabilitasi lahan tetelan seluas hektar oleh 3556 KK dengan sistem agroforestry tumbuhan obat. Spesies tumbuhan obat yang dikembangkan sebagai tanaman pokok, antara lain adalah tumbuhan obat kedawung, kemiri, pakem, joho lawe dan lain-lain. Mulai tahun 2001 program rehabilitasi di lahan tetelan didamping oleh LSM KAIL bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Meru Betiri. LSM KAIL dibentuk oleh masyarakat lokal yang sudah ikut program rehabilitasi sejak tahun 1994 atas fasilitasi Konsorsium FAHUTAN IPB - LATIN. Sisi positif bagi masyarakat dengan terjadinya penjarahan hutan ini adalah tersedianya lahan garapan pertanian di kawasan taman nasional melalui program rehabilitasi hutan. Program ini memberi kesempatan bagi masyarakat untuk menanam tanaman palawija dengan berkewajiban menanam dan memelihara tanaman pokok yang plasma nutfahnya berasal dari hutan TNMB. Keluarnya ketentuan zona rehabilitasi taman nasional yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutaan No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, diawali contohnya dari pengalaman TNMB. Program rehabilitasi taman nasional bersama masyarakat yang awalnya dipicu karena terjadinya tragedi penjarahan pada tahun 1998, selanjutnya ke depan perlu direncanakan, diteliti, dievaluasi dan dimonitor secara berkala bersamasama dengan masyarakat. Kondisi yang sudah terjadi ini hendaknya dapat diarahkan menuju keseimbangan baru yang dapat mendukung terwujudnya tujuan ideal pengelolaan taman nasional yaitu terwujudnya kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan lestarinya kawasan serta keanekaragaman hayati TNMB. 42

62 IV. PROFIL MASYARAKAT Masyarakat di sekitar TNMB merupakan masyarakat yang hidup dan tinggal di 11 desa daerah penyangga, umumnya terdiri dari etnis Jawa dan Madura. Berikut ini dikemukakan profil masyarakat secara umum, kemudian dilanjutkan dengan sejarah dan profil masyarakat pendarung kedawung yang menjadi objek penelitian ini. Masayarakat pendarung ini merupakan bagian dari kelompok kecil dari masyarakat umum. 1. Jumlah penduduk A. Masyarakat Umum Jumlah penduduk masyarakat sekitar kawasan TNMB berdasarkan data tahun 2005 seluruhnya berjumlah jiwa ( Kepala Keluarga) terdiri atas jiwa laki-laki (49,3%) dan jiwa perempuan (50,7%). Jumlah penduduk di setiap desa dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3.Jumlah penduduk desa di sekitar kawasan TNMB No Desa Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo Kab.Banyuwangi Sarongan Kandangan Kebonrejo Luas (km 2 ) 283,4 262,8 6,2 77,9 88,9 48,4 51,3 51,5 Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan Jumlah (jiwa) Kepadatan (jiwa/km 2 ) 20,17 20, ,45 65,75 196,69 311,04 176,86 27,0 18,1 83, ,36 473,82 109,60 Jumlah 998, ,77 Sumber : Monografi Desa, 2005 Penduduk desa yang tinggal di sekitar kawasan TNMB sebagian besar adalah suku Jawa dan Madura. Kepadatan penduduk umumnya menyebar di desa-desa sekitar kawasan, bahkan terdapat perkampungan di tengah kawasan seperti Bandealit, Sukamade dan Rajegwesi. Pola hidup masyarakat terutama di desa Andongrejo, Curahnongko, Sanenrejo dan Curahtakir umumnya masih banyak bergantung hidupnya dengan sumberdaya hutan dari kawasan.

63 2. Tingkat pendidikan Masyarakat desa sekitar kawasan, umumnya berpendidikan rendah. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor, antara lain keterbatasan sarana pendidikan, jarak antara fasilitas pendidikan dengan pemukiman relatif jauh, serta kurangnya kesadaran orang-tua anak-anak akan manfaat dan pentingnya pendidikan. Kondisi tingkat pendidikan masyarakat disajikan pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Tingkat pendidikan masyarakat desa di sekitar kawasan TNMB No Desa Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo Kab.Banyuwangi Sarongan Kandangan Kebonrejo Belum/ Tidak sekolah Sumber : Monografi Desa Tahun 2005 Belum Tamat SD Tingkat Pendidikan (orang) Tamat Tamat SD/ SLTP/ Sederajat Sederajat Tamat SLTA/ Sederajat Tamat Akademi/ PT Jumlah Penggunaan lahan Desa Andongrejo, Curahnongko dan Curahtakir adalah desa-desa yang langsung berbatasan dengan kawasan TNMB dan luas lahan pertaniannya dibawah rata-rata, lebih kecil dari < 0,2 ha, sehingga ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hayati kawasan TNMB cukup tinggi dibanding desa lainnya. Masyarakat pendarung buah kedawung yang telah berlangsung secara turun temurun adalah sebagian besar berasal dari desa Andongrejo dan Curahnongko. Pola penggunaan lahan di desa sekitar TNMB disajikan pada Tabel 5 berikut. 44

64 Tabel 5. Pola penggunaan lahan di desa sekitar kawasan TNMB No Desa Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo Jumlah KK Sawah 60,27 60,17-234,00 175,65 15,00 103,00 150,00 Jenis dan luas penggunaan lahan (Ha) Bangun- Tambak Kebun Tegal an / Kolam Rakyat 105,20 33,51 127,20 139,00 89,20 73,00 190,00 112, ,00 1,00-2, ,42 170,02 248,37 177,18 267, ,00 639,00 Jumlah 318,89 266,20 375,57 550,18 532, ,00 763,00 902,00 Ha/ KK 0,186 0,203 0,147 0,163 0,326 0,591 0,130 0,320 Sumber : Monografi Desa Tahun Perekonomian desa Masyarakat di desa-desa sekitar kawasan sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, buruh tani, pekerja kebun, pencari hasil hutan, industri rumah tangga, dan pedagang. Lebih dari 70% masyarakat sekitar kawasan hidup sebagai petani atau buruh tani dengan luas pemilikan lahan ratarata sebesar 0,204 Ha/KK. Desa-desa tersebut masih belum mempunyai saluran irigasi teknis sehingga sawah-sawahnya hanya menggantungkan pengairannya dari air hujan (sawah tadah hujan). Jenis mata pencaharian masyarakat sekitar kawasan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Jenis mata pencaharian penduduk desa sekitar kawasan TNMB No Desa Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo Kab.B.wangi Sarongan Kandangan Kebonrejo Sumber : Monografi Desa Tahun Jasa Jenis Mata Pencaharian Penduduk (orang) Petani Pedagang ABRI kangan PNS/ Pertu- Nela Pemilik Buruh yan Lainlain Jumlah Budaya masyarakat Budaya masyarakat sekitar kawasan umumnya dipengaruhi oleh budaya etnis Jawa dan Madura. Agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat sekitar dengan nuansa Islam tradisional yang kental (Nahdatul 45

65 Ulama). Mulai tahun 1977 ada tradisi tahlilan, dzibaan, barzanji dan arisan yang dilakukan masyarakat di langgar setiap malam Jumat. Kesenian tradisional yang berkembang antara lain adalah Jaranan Kepang dan kesenian Kerawitan. Kegiatan gotong royong masyarakat masih tumbuh, yang terlihat antara lain kebiasaan sambatan (yaitu kegiatan membantu dalam membangun rumah kerabat/tetangga atau hajatan tanpa upah) pada saat membangun rumah para kerabat dan budaya bersih desa dan setiap ada perkawinan (Riyanto, 2005). B. Sejarah Masyarakat Pendarung Berdasarkan laporan program Konsorsium FAHUTAN IPB - LATIN (2001) dapat dikutib sejarah desa Curahnongko yang ditulis dengan metoda PRA, seperti dikemukakan berikut ini. Awal cikal bakal berdirinya desa Curahnongko yang merupakan asal muasal masyarakat pendarung dimulai pada tahun 1917 dengan kedatangan Pak Jah dan Pak Rah dua orang pendatang dari Madura. Kemudian mulai tahun dilakukan pembabatan hutan untuk perkampungan oleh kelompok Pak Jah dan Pak Rah tersebut. Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1929 telah mengeluarkan suatu ketentuan bahwa kawasan hutan Meru Betiri dan sekitarnya perlu dilindungi dan dilestarikan, kemudian ketentuan ini dikuatkan pada tahun 1938 dengan ketetapan dari. Pemerintah Hindia Belanda. Tentera Jepang masuk ke Curahnongko pada tahun Semua hasil pertanian diminta dan disita Jepang. Makanan tidak ada, mulai pada tahun inilah orang-orang mulai banyak masuk hutan Meru untuk mencari yang bisa dimakan dan membuat pakaian dari kulit pohon ancar. Makanan yang dicari adalah gadung dan ketela pandesi. Kemudian setelah Jepang pergi, pada tahun 1947 Belanda masuk kembali dan membakar perkampungan Curahnongko. Banyak masyarakat kembali masuk dan bahkan mengungsi ke hutan. Orang-orang di hutan mengambil segalanya yang bisa dimakan atau dijual, seperti : gadung, madu, buah kemiri, buah kluwek, buah kedawung, buah joho dan lain-lain. Saat itu beberapa orang (termasuk mbah Setomi) mulai mengenal daerah-daerah yang banyak terdapat pohon-pohon kedawung dan jenis lain yang hasilnya laku dijual. 46

66 Kegiatan masyarakat masuk hutan yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil, biasanya terdiri 3 5 orang, yang bertujuan mengambil hasil hutan dan biasanya mereka menginap di hutan 2-5 hari. Kegiatan ini biasanya mereka sebut m darung, dan kelompok-kelompok kecil tersebut adalah pendarung. Pada tahun 1948 mulai ada pengepul (pedagang pengumpul) tumbuhan obat, namanya Pak Alim, sebelumnya ia menerima pesanan dari luar daerah, biasanya dari Ajung, selanjutnya dia memberitahu para pendarung (mbah Setomi dan beberapa kawannya) bahwa saat ini musim buah tertentu, misalnya Kedawung sudah tua, Kemiri sudah tua dan dapat dipanen. Nanti kalau ketemu diambil dengan taksiran harga per kilo sekian. Jika harganya dirasa cocok, baru orangorang masuk hutan mencari barang yang dipesan pengepul. Jika sebelum masuk hutan tidak punya uang dapat pinjam dahulu ke pengepul, berupa uang atau beras, jagung, cengkeh, dan lain-lain. Pinjaman biasanya dibagi dua, sebagian untuk kebutuhan keluarga di rumah, sebagian untuk bekal masuk hutan bersama gandengan teman masing-masing. Kegiatan mendarung ini berlangsung sampai sekarang dan meluas kepada masyarakat dari desa Sanenrejo dan desa Curahtakir. Perkembangan masyarakat ini terjadi antara lain karena adanya perpindahan dan perkawinan penduduk Curahnongko dengan masyarakat dari luar desa. Hutan Curahnongko mulai dibabat pada tahun 1955 dan ditanami jati milik Perhutani sedang yang melakukan pembabatan adalah masyarakat petani dan yang menanam jati juga masyarakat petani Curahnongko. Sebagai upahnya petani boleh menanam palawija di sekitar tanaman jati yang masih kecil, hasilnya untuk masyarakat petani. Tanaman palawijanya adalah jagung, padi gogo dan tembakau. Setelah 3 tahun, tanaman sela ditutup dan petani harus keluar dari areal Perhutani. Model seperti ini juga dilakukan oleh Perhutani di Wonowiri, Kali Tapeh dan Pondok Jati, yang dilakukan berurutan waktunya. Daerah Wonowiri hutan alam primer ditebang pada tahun 1958 dan diganti dengan tanaman Jati. Penanaman Jati pada tahun 1967 dilakukan secara besar-besaran di sepanjang perbatasan hutan alam memanjang ke arah Barat sekitar 2000 ha. Bagi masyarakat petani yang diwakili oleh mbah Setomi pembabatan hutan alam, kemudian diganti dengan Jati itulah awal kerusakan dan kesusahan masyarakat, karena setelah itu air menjadi susah, udara menjadi panas, apalagi kalau kemarau 47

67 pasti terjadi kebakaran, padahal dulu sama sekali tidak pernah terjadi kebakaran. Sebelum itu kalau mencari madu cukup di sekitar desa saja di pinggir hutan. Biasanya mereka berangkat pagi jam 6 dan paling siang jam 9 sudah kembali dengan membawa 25 botol madu. Mencari tumbuhan obat juga tidak perlu jauhjauh ke dalam hutan, paling sore jam 5 sudah sampai rumah membawa hasil. Setelah menjadi hutan Jati, orang mulai banyak masuk jauh ke hutan sampai ke Meru, Nanggelan, Gergunung, ke tempat-tempat yang dulu terlarang dan angker. Kampung Andongrejo mulai memisahkan diri dari desa Curahnongko menjadi desa Andongrejo pada tahun Masyarakat pendarung dari desa sekitar TNMB mengambil beranekaragam sumber daya alam hayati yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri. Adapun bentuk sumberdaya hayati TNMB yang diambil oleh masyarakat pendarung dapat dikelompokkan sebagai berikut (Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004a) : 1. Pengambilan kayu jenis komersial sebagai bahan baku bangunan, perabot rumah tangga (furniture), badan perahu, bahan baku minyak wangi (parfum), dan lain-lain. Jenis kayu komersial yang sering diambil, antara lain : kayu garu (Chicoheton divergen), kayu kembang rekisi (Michelia velutina), kayu selasihan (Cinnamomum porrectum), kayu pacar gunung (Cassine glauca), kayu bindung (Tetrameles mudiflora), kayu suren (Toona sureni), kayu sapen (Pometia tomentosa), kayu kepuh (Sterculia foetida), kayu bendo (Artocarpus elasticus), kayu takir (Duabanga moluccana) dan lain-lain. 2. Pengambilan kayu bakar untuk kebutuhan sehari-hari bagi rumah tangga ataupun dijual ke pasar, bahan bakar industri genteng, dan lain-lain. 3. Pengambilan bambu; seperti bambu bubat (Bambusa sp), bambu wuluh (Schizastychyum blumei), bambu lampar (Schizastychyum branchyladium) yang diperlukan sebagai bahan baku pengasapan tembakau (sujen dan glantang), kerajinan anyaman bambu (gedhek/dinding rumah), bahan baku industri pembuatan sumpit (chopstick). 4. Pengambilan rotan; seperti rotan manis (Daemonorops melanocaetes), rotan slatung (Plectomocomia longistigma), rotan warak (Plectomocomia elongata) 48

68 yang diperlukan bahan baku kerajinan sendiri ataupun dijual dalam bentuk rotan asalan ke industri-industri kerajinan. 5. Perburuan satwa; untuk dijual dalam keadaan hidup sebagai binatang peliharaan ataupun berupa daging, tanduk, bulu, kulit, telur dan lain-lain. 6. Pengambilan tumbuhan obat ada sekitar 15 spesies yang banyak diambil, antara lain kedawung. Hasil tumbuhan obat ini umumnya sebagai bahan baku pembuatan obat-obatan tradisional yang dijual kepada tengkulak. Umumnya masyarakat pendarung ini terbagi kedalam kelompok-kelompok pendarung berdasarkan spesifik kelompok komoditi. Khusus kelompok masyarakat pendarung kedawung umumnya adalah juga pendarung komoditi tumbuhan obat lainnya dan termasuk madu. Tetapi umumnya mereka tidak mendarung komoditi lainnya selain tumbuhan obat dan madu. C. Karakteristik Masyarakat Pendarung Kedawung Masyarakat pendarung kedawung berdasarkan penelusuran kembali dengan menggunakan acuan hasil penelitian Mujenah (1993), dapat dikelompokkan menjadi suatu kelompok masyarakat kecil yang terdiri dari sekitar 80 individu, yang berada di tengah-tengah masyarakat sekitar TNMB yang berjumlah sekitar jiwa penduduk yang terdiri dari kepala keluarga (Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004c). Masyarakat kecil pendarung yang diteliti ini tinggal di desa Andongrejo dan Desa Curahnongko. Diasumsikan masyarakat pendarung dari desa Sanenrejo, Curahtakir dan Wonoasri telah dapat diwakili oleh masyarakat pendarung dari dua desa ini. Desa Andongrejo dan Curahnongko adalah desa-desa yang langsung berbatasan dengan kawasan TNMB dan luas lahan pertaniannya dibawah ratarata, sehingga ketergantungan masyarakat kepada hutan, seperti pengambilan sumberdaya hutan sangat tinggi dibandingkan desa lainnya. Karakteristik masyarakat pemanen kedawung yang berjumlah 80 orang dikelompokkan berdasarkan : kelas umur, pendidikan, asal etnis, anak dari pemanen kedawung atau tidak, lama pengalaman memanen kedawung dan umur mulai mengenal kedawung, seperti data pada Tabel 7 berikut ini. 49

69 Tabel 7. Karakteristik masyarakat pendarung kedawung No. Karakteristik Klasifikasi Jumlah (orang) 1. Kelas umur < 40 tahun 37 > 40 tahun 43 Tidak pernah sekolah Pendidikan Tidak tamat SD 15 Tamat SD Etnis Jawa 22 Madura Anak dari pemanen kedawung Ya 26 Bukan Pengalaman memanen kedawung < 10 tahun 26 > 10 tahun Umur mulai mengenal kedawung Sejak kecil 43 Sejak masuk hutan 37 Sejak masuknya TV di desa sejak tahun 1973 mulailah dirasakan oleh Mbah Setomi, Mbah Naam dan beberapa tokoh sepuh lainnya, bahwa mulai terjadi pergeseran-pergeseran persepsi, budaya, pola pikir dan pola hidup masyarakat generasi muda. Tentunya ada yang berpengaruh negatif terhadap keberlanjutan pengetahuan lokal akibat intervensi informasi global, termasuk penggunaan obat-obatan tradisional seperti biji kedawung mulai ditinggalkan masyarakat. Selain tumbuhan obat kedawung, masyarakat pendarung juga mengambil tumbuhan obat berupa : buah kemiri (Aleurites moluccana), buah pakem (Pangium edule), buah kemukus (Piper cubeba), buah joho lawe (Terminalia balerica), buah joho keling (Vitex quinata), buah kapulaga (Amomum cardonomum), buah cabe jawa (Piper retrofractum), buah serawu (Piper canimum), buah bendoh (Entada phaseoloides), sambung otot, iles-iles (Amorphophallus sp.), kulit batang pule (Alstonia scholaris), buah arjasa (Agenandra javanica), buah pinang (Areca catechu) dan madu. Nilai jual tumbuhan obat dan madu hasil pemungutan masyarakat pendarung pada tahun 2005 mencapai sekita 336,6 juta rupiah (Dewi, 2007). 50

70 V. PROFIL KEDAWUNG Kedawung sebagai objek penelitian ini memiliki profil dan karakteristik yang dapat ditinjau dari berbagai aspek, yaitu meliputi aspek botani, status konservasi di alam, status tumbuhan obat dan nilai manfaat ekonomi bagi masyarakat. Hal ini dikemukan sebagai berikut : A. Botani 1. Morfologi Sinonim dari tumbuhan obat Parkia timoriana (DC.) Merr adalah : Parkia biglobosa Auct. Non Benth; Parkia javanica (Lamk.) Merr; dan Parkia roxburghii G. Don. Nama Indonesia antara lain: Alai, kedahung. Sedangkan di Sunda namanya peundeuy, cipetir dan masyarakat Jawa dikenal dengan nama kedawung. Kedawung merupakan pohon raksasa hutan dengan tinggi bisa mencapai 50 m dengan tinggi bebas cabang 5 28 m dan diameternya bisa mencapai 143 cm (1,5 m). Pada spesies-spesies yang merupakan sinonim kedawung diatas, terdapat ciri unik yaitu jumlah daun akan semakin sedikit tetapi ukurannya akan semakin besar seiring dengan perubahan habitatnya dari daerah kering savana ke daerah tropika basah (Heyne, 1987). Batang berkayu, tegak, batang muda berwarna coklat dan setelah tua berwarna putih kotor, kasar dan lunak serta tidak mengandung kayu teras, tidak begitu awet, bercabang di atas, jumlah cabang utama bisa mencapai 7 buah, membentuk tajuk yang lebar, diameter tajuk berkisar antara 6 35 m, dengan kelas rata-rata m, posisi tajuk pohon kedawung umumnya berada diatas tajuk pohon lain dengan derajat kesempurnaan tajuk pada umumnya sempurna/bulat) membentuk payung, kedalaman tajuk berkisar antara 4 24 m. Daun majemuk menyirip ganda, tangkai daun berkelenjar, permukaan atas hijau mengkilat, beranak daun banyak, daun pasang. Bunga majemuk, umumnya berbunga pada setiap bulan April, karangan bunganya berbentuk bongkol dengan kelompok bunga jantan di bagian pangkalnya, tangkai bunga panjang dan terkulai, polong panjang dan gepeng, warna coklat tua dan berkayu, kulit keras. Pohon

71 umumnya berbanir dan tinggi banir bisa mencapai 5,5 m. Pada saat keduwung berbuah jumlah malai pada satu pohon kedawung bisa mencapai 456 malai, dalam satu malai jumlah keris yang paling banyak bisa mencapai 27 keris, kelas ratarata keris /malai antara 8-12 malai/keris, dalam satu keris terdapat 6 22 biji/keris (Rinekso, 2000) 2. Distribusi geografis Distribusi pohon kedawung di dunia meliputi : India, Bangladesh, Burma (Myanmar), Thailand, Afrika Barat (Yusuf dan Zuhud, 2001). Sedangkan di Indonesia meliputi : Jawa, Nusakambangan, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat dan Papua (berdasarkan data spesimen Herbarium Bogoriense, Winara, 2001). Di Taman Nasional Meru Betiri terdapat di lokasi : Pondok Nongko, Sembah Andong, Kandang Montor, Ungkalan, Batu Ketek, Sedomati, Jembatan Lau, Batu Kucing, Pancuran Besar, Curah Luak, Tanjakan Petek, Apak Dorodok, Tumpak Kesing, Sumber Dua, Sumber Satu, Sungai Dua, Air Terjun, Seruji, Jembatan Pinceng, Sumber Salak, Sumber Gadung, Pondok Mantri, Markas Pondok Mantri, Watu Mejo, Sungai PA, Teluk Meru Barat, Teluk Meru Timur, Sungai Lanang, Tumpak Dawung, Gumuk Pentil, Sumber Urip, Tumpak Waru dan Pondok Plastik (Rinekso, 2000; Winara, 2001 dan Zuhud, Prasetyo, Dewi dan Sumantri, 2003). 3. Ekologi Spesies pohon kedawung diduga dulunya menjadi konstruksi utama di ekosistem hutan, karena spesies ini merupakan pohon hutan raksasa yang menduduki strata teratas dari tajuk spesies-spesies pohon lainnya dan tersebar mengelompok di habitatnya (Zuhud, et al., 2003). Buah kedawung yang masih muda merupakan bahan makanan satwa lutung (Presbytis cristata) di hutan. Menurut Iskandar (2003) satwa lutung hanya memakan buah kedawung yang terdapat pada cabang-cabang utama, sedangkan buah kedawung yang terdapat di ranting-ranting kecil pada bagian lingkar tajuk terluar lutung tidak mampu mengambilnya. Buah kedawung bagian inilah secara alami yang menjadi sumber biji utama untuk regenerasinya, tetapi bagian ini 52

72 banyak dipungut masyarakat tanpa menyisakan untuk keperluan regenerasi alaminya, sehingga hal ini diduga menimbulkan permasalahan konservasi kedawung di hutan alam saat ini. Tumbuh liar di hutan dataran kering, tumbuh pada daerah dataran rendah sampai ketinggian 500 mdpl, umumnya di daerah yang panas dan mempunyai musim kemarau yang nyata. Tanah tempat tumbuh pohon kedawung memiliki ph tanah antara 5 7 dan bias tumbuh pada tanah yang kurang subur. Ketinggian tempat tumbuh mulai dari mdpl, umumnya banyak dijumpai pada kelas ketinggian mdpl, pada daerah pinggiran sungai dan puncak perbukitan. Suhu udara tempat tumbuhnya kedawung dihitung pada waktu musim panas berkisar antara C. Penyebarannya umumnya tersebar berjauhan dengan pola mengelompok pada daerah-daerah tertentu. Topografi/kelerengan tempat tumbuh mulai dari 0 % % dan paling banyak dijumpai pada kelerengan 40 % dengan arah lereng timur laut. Posisi pohon pada kelerengan umumnya berada di atas lereng. Vegetesi tumbuhan bawah banyak didominasi oleh bangban (Donax cannaeformis L.), bambu (Bambusa sp.), rayutan (Famili Vitaceae), rotan (Calamus sp.), jejerukan (Citrus sp.) dan Famili Zingiberaceae (Rinekso, 2000; Winara, 2001; Iskandar, 2003 ). Tinggi pohon kedawung yang berumur 36 tahun di Kebun Raya Purwodadi tinggi rata-ratanya lebih dari 20 m, lebar mahkota daun 15 m 20 m, diameter pohon 50 cm 70 cm, berbanir 6 9 buah, tinggi banir 0,5 m 1 m. Musim bunga berlangsung pada buan April-Mei, buah muda pada bulan Juni-Juli dan buah tua pada bulan September-Oktober (Soejono, 1993). Kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah, sehingga spesies ini merupakan sumber pakan lebah madu untuk memproduksi madu (Quedraogo, 1995). Begitu juga menurut pengamatan penulis secara langsung dan informasi masyarakat, bahwa pohon kedawung menggugurkan daun secara serempak setiap tahunnya 1 sampai 2 kali, sifat ini berdampak positif terhadap kesuburan tanah melalui daur hara. Musim berbuah bulan Juli-Agustus dan buah siap dipanen pada bulan September (Mujenah, 1993; Rinekso, 2000). Kedawung saat tidak berbuah 53

73 2Jumlah Individu memiliki daun yang lebat dan berwarna hijau tua, jika buah sudah mulai ada maka warna daun sedikit akan berubah menjadi hijau muda dan anak daun mulai rontok satu persatu. Akhirnya jika buahnya sudah masak pohon ini akan menggugurkan daun. Batang pohon kedawung yang telah berbuah lebih dari satu kali umumnya pada batang tersebut adaa bekas pantekan orang yang memanen buah kedawung. B. Status Konservasi Kedawung 1. Populasi Saat ini populasi pohon kedawung di kawasan hutan alam taman nasional tidak melebihi dari 200 individu dan sebagian besar terdiri dari individu-individu pohon yang sudah berumur tua. Pohon kedawung yang dijumpai di kawasan TNMB, berdasarkan hasil observasi lapangan padaa tahun 2006 diketahui dari 92 individu pohon kedawung yang ditemukan hidupnya soliter. Tumbuhan kedawung yang termasuk kategori anakan hanya 3 individu yang dijumpai, sedangkan 89 individu lainnya merupakan kategori pohon. Jarak terdekat antar pohon kedawung adalah 30 meter dan ini hanya dijumpaii satu kasuss saja, sedangkan jarak antar individu pohon kedawung di lapangann umumnya lebih dari 100 meter dan sampai berkilo- kilometer (Subastian, 2007). Menurut data hasil penelitian (Rinekso, 2000; Winara, 2001; Iskandar, 2003; Zuhud et al., 2003; dan Subastian (2006) di TNMB bagian Barat dan di bagian Timur dapat disimpulkan kondisi populasi kedawung berdasarkan kelas diameter seperti Gambar 7 berikut : Kelas Diameter Keterangan : Kelas diameter : 1 (< 10 cm), 2 (11-20 cm), 3 (21-30 cm), 4 (31-40 cm), 5 (41-50 cm), 6 (51-60 cm), 7 (61-70 cm), 8 (71-80 cm), 9 (81-90 cm), 10 ( cm), 11 ( cm), 12 ( cm), 13 ( cm), 14 ( cm), 15 (> 1411 cm) Gambar 7. Histogram kondisi populasi kedawung berdasarkan kelas diameter 54

74 Histogram di atas menunjukkan bahwa kondisi populasi kedawung saat ini di hutan alam taman nasional tidak normal. Hal ini terlihat dari kelas umur yang muda, yaitu kelas umur 1, 2, 3, 4 dan 5 jumlah individunya jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah individu pohon kedawung dari kelas umur lebih tua. 2. Kondisi regenerasi Selama 10 tahun terakhir penelitian vegetasi yang telah dilakukan di seluruh kawasan taman nasional dengan menggunakan metoda analisis vegetasi dengan sistem jalur, garis berpetak maupun dalam plot pengamatan tunggal seluas 100 hektar di kawasan, dapat dipastikan sangat sulit atau sangat jarang terjadi regenerasi kedawung yang ditunjukkan dengan tidak adanya atau sangat sukar menemukan tingkat anakan maupun pancang (Ahmadi, 1994; Konsiliwati, 1994; Baihaki, 1995; Mirwan, 1995; Sihotang, 1996; Nugroho, 1998; Bahrun, 2000; Rinekso, 2000; Adhiyanto, 2001; Winara, 2001; Iskandar, 2003; Subastian, 2007). Berdasarkan Gambar 7 di atas dapat diketahui proses regenerasi Kedawung secara alami di kawasan Taman Nasional tidak berjalan dengan berkesinambungan. Pola penyebaran kelas diameter tidak normal, bahkan untuk kelas diameter yang kecil sangat sedikit jumlahnya. Artinya pada waktu periode tahun terakhir ini peluang terjadinya regenerasi kedawung sangat kecil. Berdasarkan data penelitian tahun 2000, pada beberapa plot permanen pohon kedawung, ternyata biji kedawung yang berhasil berkecambah dan tumbuh menjadi anakan, ternyata pada tahun 2003 setelah diamati kembali semua anakan tersebut tidak berhasil tumbuh menjadi tingkat pancang, seperti data yang disajikan pada Tabel 8 berikut : Tabel 8. Kondisi anakan kedawung yang tumbuh dibawah pohon induknya Nomor Jumlah anakan tahun 2000 Jumlah anakan tahun 2003 Plot Kedawung yang baru berkecambah yang sudah besar (nihil) (nihil) (nihil) (nihil) (nihil) (nihil) (nihil) (nihil) (nihil) 55

75 Dari data di atas dapat diketahui bahwa tidak satupun anakan kedawung yang berkecambah secara alami dapat hidup terus menjadi tingkat pancang atau tingkat tiang di sekitar pohon induknya. Fakta ini memberikan gambaran bahwa karakter hidup pohon kedawung adalah bersifat intoleran, yaitu anakannya memerlukan cahaya penuh untuk bisa tumbuh pada ruang lantai hutan yang terbuka, yang berjauhan dari pohon induknya. Juga dari pengamatan di lantai hutan ditemukan beberapa buah polong yang jatuh, tetapi jatuhnya menyangkut di semak-semak dan tidak mengenai permukaan tanah. Beberapa buah polong yang mengenai permukaan tanah, tetapi bijinya dirusak oleh serangga dan ulat. Berdasarkan penelitian di laboratorium, lama perkecambahan tercatat berkisar antara 4 27 hari dengan persentase tumbuh biji sangat rendah, yaitu berkisar 6 30 % (Soejono, 1993; Ardiani, 2001). Faktor ini pula yang menjadi kendala menyebabkan kedawung menjadi langka. Berikut disajikan data penelitian pada plot permanen pohon kedawung yang berhubungan dengan kondisi pohon kedawung, kondisi tanah dan tumbuhan bawah tempat tumbuh, dugaan jumlah biji yang dihasilkan, serta pohon yang dipanen atau pohon yang tidak dipanen masyarakat pada bulan Agustus 1999 (Rinekso, 2000). Tabel 9. Kondisi diameter batang, tinggi, diameter tajuk, dugaan jumlah biji, tanah, tumbuhan bawah dan dipanen atau tidak (dipantek atau tidak) No. Pohon Diameter Tinggi D. tajuk Jml biji Kondisi tanah Tumbuhan bawah Dipanen Pohon dalam, subur semak, bambu, rotan ya Pohon dangkal, bebatu - tidak Pohon dalam, subur bambu, jejerukan tidak Pohon dalam, subur semak, aren ya Pohon , dalam, subur bambu, semak tidak Pohon dalam, subur jejerukan ya Pohon dalam, kering, sedikit berbatu, bambu ya Pohon dalam, kering semak, rotan tidak Pohon dangkal, berbatu, dekat sungai semak tidak Data Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa walaupun pohon Kedawung yang berbuah tidak dipanen masyarakat seperti contoh Pohon 12, 14, 42, 55 dan 57 tetap saja tidak ditemukan anakan tingkat pancang dan tiang di sekitar pohon 56

76 induknya. Hal ini menguatkan teori bahwa biji kedawung tidak bisa tumbuh di sekitar pohon induknya, karena spesies ini bersifat soliter dan sangat memerlukan bantuan penyebaran ke lokasi yang jauh dari pohon induknya. Jadi dugaan bahwa pemungutan semua buah kedawung tanpa menyisakan buahnya di pohon telah menyebabkan kelangkaan dan terputusnya regenerasi kedawung di hutan tidaklah tepat. Alasan lebih tepat adalah tidak adanya agen penyebar biji yang pasti, selain manusia, sehingga secara alami perkembangan populasi kedawung di hutan alam sangatlah lambat. Konservasi kedawung ke depan memerlukan kerelaan manusia untuk membantu menyemaikan bijinya di habitatnya yang sesuai. Biji agar mudah berkecambah, kulit biji dipecahkan pada ujung pinggir kulit biji dengan cara digunting atau dipotong, kemudian direndam dalam air panas 5 menit dan kemudian direndam air dingin selama satu malam (Sumarto dan Wahyuni, 1993). Cara ini juga telah dilakukan beberapa orang staf pengelola TNMB di resor Sarongan untuk mempercepat perkecambahan biji kedawung dan mereka mengatakan berhasil mempertinggi persen perkecambahan. 3. Produksi biji kedawung Berdasarkan data hasil pengamatan Rinekso (2000) dapat diketahui bahwa dari 101 pohon kedawung yang dijumpai di lapangan terdapat 65 pohon yang sedang berbuah dan 37 pohon yang tidak berbuah atau telah habis buahnya. Pohon-pohon yang berbuah tersebut berada pada selang diameter 41 cm sampai dengan 144 cm. Jumlah buah polong yang dihasilkan berkisar antara 49 polong (dengan berat biji kering sekitar 0,6 kg) sampai 3739 polong (berat biji kering sekitar 45 kg). Pohon-pohon yang menghasilkan buah banyak (di atas rata-rata) berjumlah 27 pohon dengan kisaran diameter 41 cm sampai dengan 123 cm. Apabila diasumsikan bahwa riap diameter kedawung (berdasarkan data dari plot percobaan penanaman kedawung) yaitu sebesar 2,25 cm/tahun maka diameter permulaan berbuah (dari pengamatan lapangan) yang bernilai 41 cm ekuivalen dengan umur sekitar 18 tahun. Hasil analisis pemanenan buah menghasilkan data jumlah rata-rata biji setiap polong sebesar 12,7 biji, dan berat rata-rata setiap polong sebesar 12 gram. Data inventarisasi tahun 1999 dan 2000 menunjukkan bahwa dalam kawasan terdapat sekitar 124 pohon kedawung dengan persentase pohon yang 57

77 berbuah per musim panen lebih kurang 70 %, rata-rata produksi biji kedawung yang kering per pohon 100 kg, sehingga produksi biji kering dari pohon kedawung di hutan alam taman nasional berkisar kg/tahun (Rinekso, 2000; Winara, 2001). Produksi biji untuk stok regenerasi setiap tahun sangat memadai, namun kedawung memerlukan agen penyebar biji. Berdasarkan hasil inventarisasi produksi biji kedawung pada tahun 2005 yang dilakukan secara sensus kepada 76 orang pemungut aktif buah kedawung di desa Andongrejo, Curahnongko dan Sanenrejo diperoleh data total biji kedawung yang dipungut dari hutan sebesar kg (Dewi, 2007). Data yang diperoleh ini tidak jauh berbeda dari hasil perhitungan berdasarkan perhitungan jumlah pohon dan produksi rata-rata per pohon seperti hasil penelitian sebelumnya (Rinekso, 2000 dan Winara, 2001). 4. Penyebar biji Sampai hari ini pelaku penyebar biji kedawung secara alami di hutan belum diketahui pasti selain manusia. Pelaku penyebar biji kedawung yang utama di hutan adalah masyarakat pemanen buah kedawung. Umumnya mereka melakukannya tanpa sengaja, yaitu adanya biji yang tercecer di sekitar jalan setapak sewaktu mereka memikul buah kedawung hasil panenan. Hal ini dapat dilihat dari fakta Gambar 12. Pernyataan ini juga sangat sesuai dengan hasil penelitian Nikiema (1993) dalam Hall et.al. (1997) bahwa pelaku utama penyebar biji Parkia biglobosa di hutan tropika Nigeria adalah manusia, ini dibuktikan dengan fakta banyaknya anakan yang tumbuh di sepanjang jalan setapak. Juga dilaporkan bahwa burung rangkong berpotensi sebagai penyebar biji ( Hall et al.,1997). 5. Penyebaran spasial a. Ketinggian dari permukaan laut Berdasarkan kelimpahan pohon kedawung ditinjau dari ketinggian tempat tumbuh dari permukaan laut, diketahui berkisar pada ketinggian m dpl, seperti dapat dilihat pada Gambar 8 berikut. 58

78 Jumlah individu Kelas ketinggian dpl (m) Gambar 8. Kelimpahan kedawung berdasar kelas ketinggian dari permukaan laut Kelimpahan kedawung menurun dengan semakin tingginya tempat dari permukaan laut, dan tempat pada ketinggian di atas 500 m dpl tidak pernah lagi dijumpai pohon kedawung. Sehingga untuk pengembangann kedawung hendaknya dilakukan di habitat yang ketinggiannya < 500 mdpl. b. Kelas kemiringan lahan Menurut Rinekso (2000) dan Winara (2001) kelimpahan kedawung berdasarkan penyebarann tempat tumbuh pada kelas kemiringan lahan tertinggi pada kelas kemiringan %, seperti dapat dilihat pada Gambar 9 berikut : Jumlah individu >101 Kelas kemiringan lahan (%) Gambar 9. Kelimpahan kedawung berdasar penyebaran kelas kemiringan lahan Tempat tumbuh kedawung mulai dari kemiringann datar sampai sangat miring, hal ini sangat tergantung kepada penyebaran biji ke lokasi lantai hutan yang banyak terkena sinar matahari langsung. Kondisi ini merupakan persyaratan utama kebutuhan hidup kedawung. 59

79 c. Kelas jarak dengan sungai Kelimpahan pohon kedawung yang terbanyak dijumpai pada areal yang berdekatan dengan sungai, semakin jauh dari sungai semakin jarang dijumpai, seperti ditunjukkan pada Gambar 10. Fenomena ini menunjukkan bahwa selain penyebaran biji kedawung dilakukan oleh manusia, juga dilakukan oleh tenaga air, terutamaa oleh aliran air hujan, maupun aliran air sungai-sungai kecil yang ada di dalam hutan TNMB. Jumlah individu < >500 Jarak dari sungai (m) Gambar 10. Kelimpahan pohon kedawung berdasarkan kelas jarak dengan sungai d. Pola penyebaran spasial kedawung dan habitat potensialnya Berdasarkan hasil penelitian Subastian (2007) dengan menggunakan aplikasi sistem informasi geografis, dengan input 3 karakter, yaitu ketinggian dari permukaan laut, kemiringan lahan dan jarak dari anak sungai, maka dapat dipetakan habitat yang potensial bagi kedawung seluas ha. Artinya lebih dari 50 % dari luas total taman nasional adalah habitat yang sesuai bagi kedawung, seperti dapat dilihat padaa Gambar 12 (areal yang diarsil warna hitam). Persyaratan penting tumbuhnya anakan kedawung di habitat potensialnya adalah adanya penyebar biji kedawung ke lantai hutan yang banyak mendapatkan cahaya matahari langsung. Prasyarat ini tidak terjadi, sehingga menyebabkan penyebaran kedawung tidak merata pada habitatt potensialnya. Berdasarkan fakta ini pengelola bersamaa masyarakat pemungut kedawung mestinya dapat melakukan pengayaan kedawung di hutan alam dengann mengacu kepada pola penyebarann habitat potensial. Khususnya lagi pada areal-areal yang 60

80 terbuka atau kerapatan vegetasinyaa yang rendah. Hal ini mengacu kepada hasil penelitian bahwa kedawung paling banyak tumbuh di areal kerapatan vegetasi yang tidak rapat. Hal ini ditunjukkan dengan penutupan kelas luas bidang dasar < 20 m 2 per ha, seperti pada Gambar 11 (Rinekso, 2000 dan Winara, 2001). Dataa ini menunjukkan bahwa karakteristik pohon kedawung termasuk pohon pionir yang bisa hidup dengann baik di tanah lahan yang tidak subur. Kedawung merupakan spesies intolerann yang membutuhkan banyak sinar matahari langsung, sehingga anakan kedawung untuk bisa hidup dan tumbuh menjadi pohon yang dewasa, memerlukan cahaya matahari langsung. Jumlah individu < >41 Kelas luas bidang dasar /lbds (m2/ha) Gambar 11. Jumlah (frekuensi) pohon kedawung ditemukan berdasarkan kelas luas bidang dasar (m2/ha) pada 129 plot pengamatan e. Kaitan kelimpahan kedawung terhadap perkampung gan masyarakat Berdasarkan analisis data hasil penelitian Rinekso (2000), Winara (2001) dan Subastian (2007) dapat diketahui kelimpahan kedawung antara bagian Barat dan bagian Timur dari kawasan seperti dapat dilihat pada Tabel 10 berikut : Tabel 10. Kelimpahan populasi kedawung antara bagian Barat dan bagian Timur dari kawasan TNMB Kawasan TNMB bagian Barat (banyak berinteraksi dg masyarakat) Resort dan Resort: Wonoasri, Sanenrejo, Andongrejo desa sekitar dan Bandealit Desa: Curahnongko, Andongrejo, Sanenrejo, Tempurejo, Curahtakir Kelimpahan 105 pohon kedawung Luas habitatt Ha potensial *) *) Data hasil penelitian Subastian (2006) Kawasan TNMB bagian Timur (sedikit berinteraksi dg masyarakat) Resort : Sarongan, Malangsari dan Sukamade Desa : Sarongan 31 pohon Ha 61

81 Keterangan : Titik-titik merah = penyebaran kedawung aktual; hitam dan merah muda merupakan habitat potensial kedawung Gambar 12. Peta penyebaran spasial kedawung dan habitat potensial kedawung

82 Tabel 10 dan Gambar 12 menunjukkan populasi kedawung lebih melimpah di kawasan taman nasional bagian Barat di banding dengan kawasan taman nasional bagian Timur. Pola penyebaran spasial kedawung di kawasan bagian Barat lebih mengelompok dibandingkan dengan kawasan bagian Timur. Hal ini terjadi karena adanya intervensi masyarakat pendarung secara tidak disengaja dalam proses penyebaran biji, yaitu pada waktu proses pengambilan biji kedawung. Sedangkan kawasan bagian Timur pola penyebarannya masih murni alami, karena sangat jarang ada kegiatan pengambilan buah kedawung oleh pendarung. Jadi secara alami prosess regenerasi kedawung di hutan alam sangatlah lambat dan tidak terjadi sepanjang tahun, seperti fenomena yang diperlihatkan histogram pada Gambar 7. Dikaitkan dengan luas habitat potensial kedawung, kualitas habitat wilayah bagian Barat dan Timur, memiliki peluang yang sama untuk dapat mendukung kehidupan kedawung. Akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa kawasan hutan bagian Barat yang berbatasan langsung dengann desa atau kampung pendarung, dimana terjadi interaksi pendarung dengan pohon kedawung, memberi pengaruh positif terhadap penyebarann biji kedawung. Pada penelitian ini telah terinventarisasi penduduk Desa Curahnongko dan Desa Andongrejo yang memungut buah kedawung sebanyak 80 orang. Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa hutan yang berdekatan dengan tempat tinggal masyarakat pemanen buah kedawung yaitu di desa Andongrejo dan Curahnongko, yaitu dibawah 5 km memiliki kelimpahan pohon kedawung yang lebih tinggi. Jarak dari kampung pendarung >5 km <5 km Jumlah individu Gambar 13. Kelimpahan pohon kedawung di kawasan hutan alam TNMB berdasarkan jarak dengan kampung < 5 km dan > 5 km 63

83 Sedangkan desa Sarongan yang berada di perbatasan kawasan taman nasional bagian Timur sejak dulu sampai sekarang sangat jarang anggota masyarakatnya yang masuk hutan melakukan pemanenan buah kedawung. Sehingga pohon kedawung bagian Timur taman nasional jarang yang dipanen buahnya oleh masyarakat. Berdasarkan fakta ini ternyata masyarakat yang setiap tahun melakukan pemanenan buah kedawung di kawasan taman nasional bagian Barat, yaitu dari desa Andonggrejo, Curahnongko dan Sanenrejo memberikan dampak positif bagi kelestarian kedawung itu sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan data kelimpahan pohon kedawung yang lebih tinggi di kawasan hutan yang berdekatan dengan desa ini. Ini tidak lain adalah bukti bahwa masyarakat ikut membantu melakukan penyebaran biji di kawasan hutan. Data Tabel 8 menunjukkan bahwa biji kedawung yang jatuh dan berkecambah secara alami di bawah pohon induknya tidak pernah bisa hidup menjadi individu pohon kedawung yang baru. Sehingga dapat dipastikan bahwa faktor manusia pemanen buah kedawung selama ini berpengaruh positif sebagai pelaku penyebaran biji. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat pemanen buah kedawung, ternyata mereka umumnya membiarkan buah atau biji tercecer di lantai hutan pada waktu memikul buah kedawung di hutan menuju pulang. Mereka menyatakan dari biji yang tercecer inilah tumbuh individu pohon kedawung yang baru, terutama di sekitar jalan setapak atau tempat-tempat yang berdekatan dengan sungai atau anak sungai sewaktu mereka beristirahat di hutan. Arah penyebaran kedawung semakin dekat ke perkampungan masyarakat atau semakin ke pinggir kawasan, karena masyarakat membawa biji kedawung pulang dari dalam hutan menuju perkampungan. Penutupan lahan di kawasan taman nasional bagian Barat lebih banyak terbuka, karena terganggu dengan aktivitas masyarakat yang melakukan pemungutan hasil hutan berupa kayu dan non-kayu. Hal ini memberi pengaruh positif bagi kelestarian kedawung untuk tumbuh individu baru, karena hidupnya bersifat intolerant, memerlukan banyak cahaya matahari langsung yang masuk ke lantai hutan. 64

84 Fakta ini telah menggugurkan dugaan sebelum penelitian ini dilakukan yang menganggap selama ini pelaku utama penyebab kelangkaan pohon kedawung di hutan alam adalah masyarakat pendarung kedawung. Malahan fakta dari hasil penelitian ini, telah membuktikan justru sebaliknya, bahwa masyarakat pendarung kedawung membantu konservasi kedawung sebagai penyebar biji di hutan, walaupun mereka lakukan dengan tidak sengaja. 1. Habitus C. Status Kedawung dengan Tumbuhan Obat Lainnya Tumbuhan obat TNMB yang berjumlah 292 spesies dapat dikelompokkan ke dalam 8 macam habitus, yaitu herba, pohon, perdu, liana, semak, terna, rumput dan efifit. Spesies tumbuhan obat yang termasuk ke dalam habitus pohon mempunyai jumlah spesies yang terbanyak dibandingkan habitus lainnya, yaitu sebanyak 142 spesies dan 46 famili. Satu di antara tumbuhan obat yang berhabitus pohon adalah kedawung dan menduduki posisi strata A (tertinggi) pada tajuk hutan alam (canopy). Data jumlah spesies dan famili berdasarkan habitus disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Jumlah spesies dan famili tumbuhan obat di TNMB berdasarkan habitus No Habitus Jumlah spesies Jumlah famili 1 Herba Pohon 142 *) 46 3 Perdu Liana Semak Memanjat Bambu 2 2 Jumlah *) satu diantaranya adalah tumbuhan obat kedawung. Sumber : Zuhud, dkk. (2003) 2. Khasiat Berdasarkan jenis penyakit yang dapat diobati dengan potensi tumbuhan obat di TNMB dapat digolongkan secara garis besar ke dalam 16 macam penyakit. Tumbuhan obat yang berkhasiat untuk mengobati penyakit pencernaan merupakan tumbuhan obat yang paling banyak jumlah spesiesnya, yaitu sebanyak 137 spesies (Zuhud et.al., 2000). Satu di antara spesies tumbuhan obat untuk penyakit pencernaan yang paling menonjol dan paling terkenal di TNMB adalah kedawung. 65

85 Tumbuhan obat kedawung merupakan tumbuhan obat yang strategis dan penting bagi pembangunan kesehatan masyarakat dan bangsa. Pohon ini terutama bijinya berkhasiat untuk memelihara kesehatan pencernaan masyarakat dan berarti sekaligus dapat membantu agar masyarakat terhindar dari penyakit lainnya. Sudah menjadi pengetahuan umum di bidang kesehatan, bahwa awal dari semua penyakit adalah bermula dari proses pencernaan yang terganggu, Data tentang jumlah jenis penyakit dan jumlah spesies tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk mengobatinya disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Macam penyakit yang dapat diobati dengan spesies tumbuhan obat di TNMB No Macam penyakit Jumlah Spesies tumbuhan Jenis penyakit 1 Penyakit kulit Penyakit saluran pencernaan 137 *) 17 3 Penyakit dalam Penyakit saluran kemih Penyakit saluran pernafasan Perawatan rambut Penawar racun Penyakit khusus wanita Penyakit tulang Penyakit pinggang Penyakit kepala Penyakit mulut dan gigi Obat kuat (tonikum) Pengobatan luka Penyakit mata Penyakit lainnya *) satu diantaranya adalah tumbuhan obat kedawung Sumber : Zuhud, dkk. (2003) 3. Kekariban dengan spesies lain Hasil-hasil penelitian pendahuluan mengenai kedawung yang dilakukan selama 10 tahun terakhir, terutama mengenai aspek ekologinya, telah diketahui bahwa pohon kedawung di hutan alam hidup berdampingan dengan berbagai spesies tumbuhan obat lainnya. Sekitar 82 % diantaranya adalah termasuk spesies tumbuhan obat. Keanekaragaman tumbuhan obat tersebut berupa pohon, liana, perdu maupun tumbuhan bawah dan umumnya di bawah naungan pohon kedawung (Mirwan, 1995; Sihotang, 1996; Rinekso, 2000; Winara, 2001; Zuhud et.al., 2003; Iskandar, 2003). Berdasarkan 129 plot pengamatan kedawung dengan luas setiap plot 0,1 ha di seluruh kawasan TNMB ditemukan 51 spesies tumbuhan obat dari 62 total 66

86 spesies tumbuhan pohon dan non-pohon yang hidup berdekatan dengan kedawung. Ada 9 spesies tumbuhan obat yang relatif sering dijumpai hidup berdekatan dengan kedawung seperti dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini. Tabel 13. Sembilan spesies tumbuhan obat yang sering dijumpai bersama kedawung No Nama Jumlah plot Persentase (%) 1 Bendoh (Artocarpus elasticus Reinw.) Rau (Dracontomelon mangiferum Bl.), Kluncing (Spondias pinnata Kurz.) Gundang (Ficus variegata L), Suluh (Parinarium corymbosum) Talesan (Polyalthia lateriflora) Glintungan (Bischofia javanica Bl.) Ademati (Aphanamixis polystachya R.N.Parker) Timo (Kleinhovia hospita) Sumber : data diolah dari Rinekso (2000) dan Winara (2001) Pohon kedawung bisa hidup berdampingan dan berdekatan dengan pohonpohon dari berbagai spesies lainnya, tetapi di hutan alam kedawung tidak pernah dijumpai hidupnya berdekatan dengan sesama spesiesnya. Daftar vegetasi tumbuhan yang hidup berdekatan dengan kedawung di hutan alam TNMB selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11. D. Nilai Manfaat Kedawung 1. Kegunaan untuk obat Daun kedawung dapat digunakan sebagai obat sakit perut nyeri dan mulas; bijinya dapat digunakan sebagai obat untuk nyeri haid, kejang-kejang pada waktu haid, atau akan bersalin, demam nifas, kholera, mulas, masuk angin, antidiare, mencret, sakit perut, karminatif, borok, kudis, luka, sakit pinggang, sakit jantung mengipas, cacingan, radang usus, penguat lambung dan cacar air; dan kulitnya dapat digunakan sebagai obat kudis (Heyne, 1987; Hadad, Taryono, Udin dan Rosita, 1993; Yuliani, Ma mun dan Tritianingsih, 1993). Kayu kedawung dapat dalam ukuran sangat besar akan tetapi karena tidak begitu awet, tidak digunakan; warnanya putih rata, kasar dan lunak serta tidak mengandung kayu teras. Menurut keterangan Koorders dalam Tectona 1910, halaman 121 yang dikutib oleh Heyne (1987), di Manila kayu tumbuhan ini digunakan sebagai bahan industri korek api akan tetapi di pabrik korek api yang 67

87 pertama di Jawa di anggap tidak dapat digunakan karena baunya yang tidak enak. Selanjutnya di Bogor diberitakan bahwa setelah kulitnya direbus dengan adaspulasari dapat digunakan sebagai obat kudis. Dikemukakan pula bahwa polong kedawung setelah ditumbuk dengan air dipakai untuk mencuci kepala. Dalam vakliteratur pernah diberitakan tentang pembuatan gula dari polong, sedangkan bijinya kadang-kadang digunakan sebagai pengganti pete tetapi rasanya pahit. Di Bogor biji dimakan dengan nasi kalau masih sangat muda (Heyne, 1987). Biji yang tua dimana-mana dipakai sebagai obat penyakit kolik dan bahan ini merupakan bagian penting dari obat kolera (diterbitkan dalam Tijdschr.v.Inl. Geneeskundigen 1910, hlm. 25). Biji dapat dipanggang seperti kopi kemudian dikupas dan ditumbuk. Tepung biji dapat diminum sebagai obat kolik angin dan seduhan dari tepung yang sama dengan daun sembung diminum untuk pengobatan kejang pada waktu haid (Heyne, 1987; Kloppenburg-Versteegh,1983). Penulis yang sama mengemukakan bahwa penggunaan kedawung sebagai tapel pada berak darah dan lendir sebagai akibat masuk angin. Orang Melayu menurut Ridley juga menggunakan sebagai obat penyakit kolik dan selanjutnya digunakan sebagai obat penguat lambung (Heyne, 1987). Pemanfaatan biji di beberapa Negara Afrika meliputi berbagai macam produk terutama produk hasil fermentasi. Biji yang dipanggang dapat dimanfaatkan sebagai pengganti kopi (Wildeman, 1906 dalam Hall, Tomlison, Oni, Buchy and Aebischer, 1997). Ekpenyong et al. (1977) dalam Hall et al. (1997), telah meneliti kemungkinan penambahan biji dalam bubur yang sering digunakan sebagai weaning food atau makanan bayi. Dalam pengobatan tradisional, biji yang telah difermentasi digunakan untuk mengobati hipertensi dan infeksi (Covi, 1971 dalam Hall et al., 1997). Ekstrak air dari bijinya menunjukan efek penghambatan terhadap sekresi dan agregasi platelet (Rendu et al., 1993 dalam Hall et al., 1997). Sedangkan masyarakat Indonesia terutama di Jawa, biji kedawung merupakan bagian penting dari obat kolera (Heyne, 1987). Saat ini masyarakat generasi muda sudah tidak mengenal lagi kedawung yang pernah dilaporkan oleh Heyne (1987), yaitu bahwa kebiasaan masyarakat pada zaman dulu memakan biji muda kedawung dengan nasi. Pengetahuan tradisional ini telah terputus, padahal jenis ini berfungsi bagi kesehatan 68

88 masyarakat dalam memelihara proses pencernaan. Seperti diketahui bahwa gangguan pencernaan merupakan awal dan sumber dari segala macam penyakit. Pada Gambar 14 dapat dilihat berbagai manfaat pohon kedawung dan bagian-bagiannya yang digunakan oleh masyakarat hutan di Afrika Barat. Pohon kedawung bagi mereka ternyata sangat penting dalam adat-istiadat dan kehidupan sehari-hari. 2. Kandungan kimia Akar kedawung mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, steroid. Kulit batang mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, steroid; daun mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, steroid. Sedangkan biji kedawung mengandung zat glukosa, damar, samak, garam-garam alkali, tanin, senyawa-senyawa sterol berupa kampesterol, stgimasterol dan sitosterol (Baihaki, 1995; Yuliani, Ma mun, Tritianingsih, 1993; Hanani, 1993; Studiawan dan Dyatmiko, 1993). Kandungan kimia biji meliputi glikosida, damar, tanin dan sistein (Ditjenpom, 1985 dalam Sumarto dan Wahyuni, 1993). Daun dapat digunakan sebagai campuran tepung sereal (Dalzeil, 1937 dalam Hall et al., 1997). Analisis kimia daun dari pohon kedawang yang tumbuh di Afrika, meliputi 9.1 % mengandung protein, 90 ppm mengandung Fe, 93 ppm mengandung Na, 0.44 % mengandung Ca dan 0.13 % mengandung Mg (Ouedraogo, 1995). Daun, kulit batang dan kulit akar kedawung memiliki senyawa yang berfungsi sebagai antimikroba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kulit batang kedawung memiliki aktivitas antimikroba yang paling tinggi dibandingkan daun dan kulit akar. Biji kedawung tidak mengandung aktivitas antimikroba terhadap keempat bakteri uji, yaitu S. aureus, B. cereus, E. coli dan V. cholerae. Kulit batang kedawung dengan konsentrasi 10,70 mg/ml (5%) telah menghambat pertumbuhan S. aureus, B. cereus, E. coli dan V. cholerae. Ekstrak kulit batang dengan konsentrasi 21,40 mg/ml (10%) menunjukkan penghambatan terbesar 69

89 Fungsi-fungsi material dan spiritual Pohon Fungsi Spiritual Penyuburan dan stabilisasi tanah Eksudat-eksudat akar telah digunakan secara luas untuk obat tradisional pada berbagai macam penyakit kulit, sistem nerveus, kencing manis, darah tinggi, dan kurang tenaga Akar Digunakan untuk tiang bangunan Kayu bakar Pulp dan Kertas Batang/ cabang Digunakan seperti simbol dalam cerita populer dan kepercayaan spiritual tertentu Sering digunakan sebagai obat tradisional dalam penyembuhan lebih dari 20 penyakit infeksi dan parasit; organ sirkulasi, pernafasan, pencernaan, kulit, sistem artikuler dan muskuler, penyakit trauma, dll. Kulit batang/ tangkai/ ranting Dikategorikan ke dalam persiapan benda-benda yang dipuja, digunakan di lapangan Peneduh dan penyubur tanah Makanan ternak Banyak digunakan sebagai obat tradisional dalam penyembuhan lebih dari 20 penyakit infeksi dan parasit, organ sirkulasi, pernafasan, pencernaan, kulit, sistem artikuler dan muskuler, trauma dan gejala lainnya. Daun Banyak digunakan dalam upacara keagamaan dan adat, kelahiran, kebangkitan, pemakaman, dan pemujaan. Pakan bagi lebah madu Untuk penyembuhan beberapa penyakit pada organ sirkulasi, untuk dimakan Bunga Buah Pemisahan daging, kulit dan biji Daging buah Kulit luar dan serat Biji Tepung dari daging, digunakan untuk makanan manusia Minuman Makanan ringan Makanan tambahan Farmakologi (resep untuk penyembuhan berbagai macam penyakit) Legendaris populer : ritus dan upacara adat Tanin, digunakan untuk ukir-ukiran dinding, pewarnaan keramik Serat untuk mengikat dan melepas anak panah Mengail ikan Farmakologi untuk penyembuhan berbagai macam penyakit Legendaris Ritus dan upacara adat Biji yang difermentasi banyak digunakan untuk makanan Biji-bijian mentah digunakan untuk penyembuhan berbagai macam penyakit Ritus dan upacara adat pada hari kelahiran, pesta, hari pemakaman dan bagi waris Sumber : Quedraogo (1995) Gambar 14. Fungsi multi guna kedawung ( Parkia biglobosa G.Don) di masyarakat tradisional Afrika Barat. 70

90 terhadap pertumbuhan keempat bakteri uji pada waktu kontak 24 jam. Bakteri Gram positif yang resisten terhadap senyawa antimikroba dari kulit batang adalah B. cereus sedangkan bakteri Gram negatif yang paling resisten adalah E. coli. Bakteri S. aureus paling sensitif terhadap senyawa antimikroba dari kulit batang dibandingkan bakteri lainnya (Sari, 2000). Potensi yang sangat menarik dari biji kedawung adalah memiliki kadar protein dan lemak yang tinggi. Biji kedawung mengandung : protein sistein yang cukup menonjol sebesar 42,3 %, lemak 24,6 %, karbohidrat 22,1 %, serat 3,6 % dan abu 7,2 % (Hall et al., 1997). Melihat besarnya kandungan protein dalam biji kedawung, maka spesies ini merupakan spesies tumbuhan sumber penghasil protein nabati dari hutan yang potensial dan memiliki prospek baik di masa datang, baik sebagai sumber nutrisi langsung yang bisa dikonsumsi manusia, maupun oleh hewan ternak. 3. Nilai ekonomi Total pemanfaatan biji kedawung secara nasional selama tahun 1998 mencapai sebesar 75 ton, sedangkan pada tahun 1996 hanya mencapai 12 ton, yang berarti selama 2 tahun terjadi peningkatan permintaan sebesar 525 % (Sandra dan Kemala, 1994). Sebagian besar kebutuhan dipenuhi dari pohon kedawung yang tumbuh liar di hutan dimana spesies ini belum banyak dibudidayakan. Manfaat biji kedawung ini secara tradisional sudah sejak lama diketahui masyarakat untuk mengobati gangguan pencernaan dan merupakan bahan baku jamu 10 terbesar yang dibutuhkan oleh industri jamu di Indonesia (Sandra dan Kemala, 1994) Kedawung yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekarang ini adalah bijinya. Biji kedawung ini diambil dari pohon kedawung yang berada di hutan alam tepatnya di kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Harga biji kedawung berkisar dari Rp per kg (pengepul tahap 1) sampai Rp per kg (pedagang toko). Berikut disajikan nilai jual biji kedawung mulai dari masyarakat pendarung kedawung di desa sampai ketingkat pedagang eceran di Jember: 71

91 Tabel 14. Harga jual biji kedawung berdasarkan mata rantai perdagangannya Mata rantai perdagangan Pendarung kedawung ke pengepul 1, di tingkat desa Pengepul 1 ke pengepul 2, di tingkat kecamatan Pengepul 2 ke pengepul 3, di tingkat kabupaten Pengepul 3 ke pengepul 4, di tingkat propinsi Pengepul 4 ke pedagang eceran/industri Pedagang eceran/toko ke masyarakat Jumlah Harga jual/kg Nilai total Selisih produk (kg) (Rp) (Rp) (margin) (Rp) Sumber : Dewi (2007) Data di atas mengungkapkan, bahwa masyarakat pendarung kedawung berada pada posisi lemah, nilai tambah yang diperoleh pihak pedagang, mulai pengepul 1, pengepul 2, pengepul 3, pengepul 4 dan pedagang eceran secara komulatif mencapai Rp ,- Margin yang diterima pedagang sangat besar dibanding yang diperoleh masyarakat pendarung kedawung, yaitu sebesar 567 % dari total nilai penjualan. Distribusi hasil penjualan terhadap total pendapatan masyarakat pendarung kedawung setiap tahunnya hanya berkisar %. Ini merupakan salah satu faktor kendala tidak terwujudnya konservasi kedawung oleh masyarakat, karena masyarakat selama ini belum mendapat insentif yang memadai yang bisa menjadi stimulus bagi aksi konservasi. Berdasarkan data di atas pendapatan pendarung dapat ditingkatkan, asal pengelola dan pemerintah melakukan penguatan dan peningkatan kapasitas masyarakat pendarung dan kelembagaannya, terutama dalam aspek pemasarannya. Menurut Purwandari (2001), perkiraan kebutuhan kedawung untuk industri jamu mencapai 100 ton per tahun. Jika harga rata-rata biji kedawung saat ini sekitar Rp/Kg, maka nilai ekonomi pohon kedawung yang ada di kawasan hutan alam diasumsikan produksi totalnya 10 ton per tahun adalah sebesar 250 juta rupiah. Kalau diasumsikan 70% pohon kedawung yang ditanam di lahan rehabilitasi 1994 berhasil berbuah 15 tahun lagi, maka nilai kedawung yang ditanam seluas 3000 ha dengan jumlah 8 pohon per ha akan mencapai 21 milyar rupiah. Nilai jual produksi kedawung per tahun ini tanpa memasukkan faktor inflasi dan biaya produksi selama 15 tahun. 72

92 VI. PERMASALAHAN KONSERVASI Akar permasalahan konservasi ditinjau dari sikap masyarakat yang menjadi fokus dari penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (a) sikap dan aksi konservasi oleh masyarakat maupun pengelola; (b) ketidak-berlanjutan pengetahuan lokal; dan (c) masalah kebijakan pengelolaan. Hal ini dijelaskan secara rinci sebagai berikut : A. Sikap dan Aksi Konservasi Berdasarkan hasil penelitian tentang sikap masyarakat pendarung dan sikap pengelola yang berkaitan erat dengan 22 pernyataan stimulus kedawung, ternyata hanya sebanyak 10 pernyataan stimulus atau 45 % saja yang berkaitan stimulus kedawung yang menjadi sikap masyarakat dan sikap pengelola hanya berupa stimulus manfaat ekonomi dan stimulus alamiah tentang fungsi ekologis. Stimulus alamiah tentang informasi kelangkaan, kondisi populasi dan regenerasi ternyata tidak menjadi stimulus sikap masyarakat pendarung maupun pengelola untuk aksi konservasi kedawung. Masyarakat pendarung dan pengelola tidak memahami atau tidak menangkap sinyal yang memberi informasi tentang kelangkaan. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi populasi dan regenerasi pohon kedawung di hutan alam yang tidak memiliki anakan dan individu remaja. Stimulus religius yang ditunjukkan atau direfleksikan dengan sikap kerelaan berkorban masyarakat pendarung maupun pengelola untuk aksi konservasi kedawung tidak nampak terefleksi secara nyata di lapangan. Berdasarkan pernyataan stimulus kedawung yang telah dirumuskan melalui penelitian tahap 1 sampai 7, seperti yang dimuat pada Bab II tentang metoda, maka ringkasan hasil uji stimulus kedawung terhadap sikap masyarakat, sikap pengelola dan aksi konservasi kedawung secara keseluruhan, seperti ditunjukkan pada Tabel 15. Sedangkan data hasil pengujian sikap secara terinci dimuat pada Lampiran 1 dan 2. Pada tabel ini menunjukkan bahwa aksi konservasi tidak terwujud di lapangan. Hal ini sangat berhubungan dengan sikap masyarakat pendarung maupun sikap pengelola. Stimulus alamiah tentang informasi kelangkaan kedawung dan stimulus religius tentang kerelaan berkorban, tidak menjadi sikap,

93 baik bagi masyarakat pendarung maupun bagi pengelola. Artinya sinyal kedawung yang sebagian besar yang berkaitan dengan informasi kelangkaan, tidak menjadi informasi bagi masyarakat maupun pengelola, sehingga tidak menjadi stimulus bagi sikap masyarakat maupun pengelola untuk aksi konservasi. Tabel 15. Keterkaitan stimulus kedawung dengan sikap masyarakat sikap pengelola terhadap aksi konservasi No Pernyataan stimulus 1. Stimulus Alamiah, Informasi kelangkaan (4 pernyataan) Informasi fungsi ekologis (5 pernyataan) 2. Stimulus Manfaat Informasi nilai ekonomi (4 pernyataan) Informasi nilai obat (4 pernyataan) 3. Stimulus Religius Direfleksikan kerelaan berkorban (7 pernyataan) S i k a p Masyarakat *) Pengelola *) (-) 3 (-) 4 (+) (+) 5 (+) 3 (-) (-) 2(-) (-) 2 (-) 3 (-) (-) 4 (+) 3 (-) Aksi Konservasi (9 pernyataan) 3 (-) 2 (-) Keterangan *) : nilai rata-rata skor > 3,9 stimulus berkait erat dengan sikap dan aksi, ditandai dengan (+) nilai rata-rata skor <3,8 stimulus tidak berkait dengan sikap dan aksi, ditandai dengan (-) Stimulus dari suatu unit atau suatu spesies keanekaragaman hayati adalah spesifik dan unik ditujukan kepada subjek yang spesifik pula. Stimulus kedawung unik dan ditujukan kepada subjek yang unik pula, yaitu kepada masyarakat pendarung yang sudah bertungkus lumut dengan kedawung. Fakta selama ini banyak mengungkapkan, bahwa sinyal manfaat suatu sumberdaya hayati adalah yang paling cepat ditangkap oleh masyarakat menjadi stimulus, karena sudah berkembangnya informasi tentang manfaat. Namun apabila sinyal lainnya (stimulus alamiah dan religius) tidak dipahami dan tidak menjadi stimulus sikap untuk aksi konservasi bagi kelompok masyarakat, maka yang akan terjadi adalah discontinuity, inconsistency, disparity dan distorsion dari sumberdaya alam hayati. Kelompok masyarakat inilah yang disebut dengan kelompok free rider atau kelompok pecundang sebagai pelaku terdepan yang menimbulkan masalah konservasi di lapangan. Masyarakat pendarung di TNMB merupakan masyarakat kecil yang menjadi salah satu stakeholder inti yang dulunya berperan sebagai subjek-kunci dalam kegiatan konservasi kedawung. Namun peran ini terkikis karena tidak terjadi pembinaan dan perlindungan tentang hak dan kewajiban mereka serta (-) 1(-) 74

94 terjadinya intervensi luar. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dari fakta pola penyebaran spasial pohon kedawung, dimana kelimpahan populasi kedawung jauh lebih tinggi di kawasan bagian barat yang berdekatan dengan perkampungan masyarakat pendarung, dibanding dengan kelimpahan kedawung yang jauh lebih rendah di kawasan bagian timur yang berjauhan dengan perkampungan penduduk. Sikap dan aksi konservasi dapat terwujud apabila ketiga kelompok stimulus alamiah, manfaat dan religius tersebut telah menjadi satu dan mengkristal menjadi pendorong sikap setiap individu masyarakat dan pengelola. Ketiga kelompok stimulus pendorong sikap untuk aksi konservasi ini disingkat dan disebut Tri-stimulus amar konservasi (amar singkatan dari alamiah, manfaat dan religius). Selanjutnya rincian analisis tentang sikap dan aksi untuk konservasi dikemukan sebagai berikut. 1. Ketidak-terkaitan stimulus dengan sikap masyarakat Berdasarkan hasil penelitian dapat dipastikan terjadi ketidak-terkaitan stimulus kedawung terhadap sikap masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stimulus kedawung yang sangat direspon masyarakat hanya stimulus manfaat ekonomi. Berikut ini dikemukakan hasil dan analisis penelitiannya. a. Stimulus manfaat Manfaat ekonomi. Berdasarkan paket pernyataan stimulus kedawung tentang manfaat ekonomi kedawung yang terdiri dari 4 pernyataan, menunjukkan sikap masyarakat memberi respon sangat suka terhadap pernyataan stimulus kedawung yang berhubungan dengan manfaat ekonomi. Sinyal kedawung tentang informasi nilai ekonomi ditangkap positif menjadi stimulus oleh masyarakat dan telah menjadi stimulus kuat (evoking stimulus) selama ini, seperti pernyataan stimulus : Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang telah menghitam. Ungkapan kegembiraan seperti inilah yang keluar dari Mbah Setomi, seorang pendarung buah kedawung yang sudah sepuh dari kampung Timur Sawah yang telah mulai memanen buah kedawung di hutan Meru Betiri sejak penjajah Jepang masuk ke kampung mereka Curahnongko tahun

95 Pernyataan stimulus : Saat pohon kedawung berbuah, masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya. Pernyataan ini sangat direspon positif oleh masyarakat. Buah pohon kedawung sudah masak/tua yaitu mulai awal bulan September sampai akhir Oktober sehingga menjadi stimulus kepada masyarakat masuk hutan untuk memanen kedawung. Kegiatan masyarakat masuk hutan untuk memanen buah kedawung ini sudah berlangsung sejak lama, jauh sebelum kawasan hutan Meru Betiri ini dikukuhkan oleh pemerintah menjadi taman nasional pada tahun 80 an. Pada bulan Agustus sampai September merupakan bulan yang menyenangkan bagi masyarakat pendarung kedawung, karena merupakan musim untuk memanen buah kedawung. Biasanya pada masa itu mereka menginap di hutan selama 3-5 hari. Berikut ini dikemukakan hasil pengolahan data seperti dapat dilihat pada Gambar 15. Sikap Masyarakat (Semua stimulus terkait dengan sikap masyarakat) Stimulus kedawung tentang manfaat ekonomi Keterangan No Pernyataan stimulus kedawung tentang nilai manfaat ekonomi Skor rata2 Sikap *) 1 Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang telah menghitam Saat pohon kedawung berbuah, masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu 4,8 + Rata-rata 4,9 + *) + = sangat suka atau suka (rata-rata skor > 3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka (rata-rata skor < 3,8) Gambar 15. Keterkaitan sikap masyarakat terhadap stimulus nilai manfaat ekonomi kedawung Sejak kawasan hutan ini menjadi taman nasional, maka kegiatan masyarakat masuk hutan dan mengambil hasil hutan dianggap suatu pelanggaran. Kegiatan pengambilan kedawung ini umumnya mereka lakukan dengan kelompok kecil yang beranggotakan 3-5 orang, yaitu satu orang sebagai pemanjat dan pemungut buah di atas pohon, sedangkan yang lain mengumpulkan buah yang sudah jatuh di bawah pohon. Teknik pengambilan buah kedawung biasanya dilakukan dengan cara dipanjat, dimana tangga yang digunakan adalah dengan cara membuat patek di pohon tersebut. Hal ini terlihat dengan adanya kayu-kayu kecil yang ditancapkan 76

96 pada pohon tersebut dengan ukuran yang disesuaikan dengan tapak kaki dan langkah kaki si pemanjat. Tidak semua orang bisa memanjat pohon kedawung, karena memerlukan keberanian dan keterampilan tinggi dengan menggunakan n pantek seperti dapat dilihat pada Gambar 16 berikut ini : (a) (b) (c) Gambar 16. Alat dan bahan patek (a), seorang pendarung sedang memanjat tanpa tali pengaman ( b), dan bekas patek yang tertancap di pohon kedawung (c). Pengambilan buah kedawung dilakukan satu tahun sekali, yaitu pada bulan Agustus atau September. Adapun langkah kerja yang dilakukan dalam pengambilann kedawung adalah sebagai berikut - Pembuatan patok untuk injakann dari batang jambe yang sudah tua, jika tidak ada jambe patok dibuat dari bambu - Patok yang akan dibuat diambil dari bagian paling bawah dan dipotong dengan panjang cm - - Setiap potongan dibagi empat bagian Bagian yang dipotong empat dibentuk sedemikian rupa sehingga mudah untuk ditancapkan ke pohon kedawung (diruncingkan) - - Panjang patok yang sudah jadi/siap dipatokan panjangnya lebih kurang 15 cm Patok tersebut dibenamkan/dipatokkan ke pohon kedawung sedalam 1/3 bagian dari panjang patok - - Patok ditancapkan dengan jarak cm Setelah semua patok tertancap di batang pohon kedawung, maka pohon bisa dipanjat sampai kecabang utama dan buah kedawung bisa diambil. Untuk buah kedawung yang letaknyaa di ujung ranting, pengambilan dilakukan dengan galah yang diujungnya diikatkan pisau/clurit. Namun ada juga cabang yang potong. Dalam masyarakat ada kesepakatan tidak tertulis, yaitu apabilaa pada saat musim kedawung berbuah di hutan dan pada pohon tersebutt sudah dipasang pasak 77

97 yang baru, maka orang lain tidak boleh memanen buah kedawung pada pohon tersebut pada musim itu. Ini merupakan konsensus masyarakat yang penting untuk menghindari konflik sesama masyarakat pendarung kedawung. Sedangkan terhadap pernyataan Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat, semua masyarakat menyatakan sikapnya sangat suka. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi masyarakat memandang pohon kedawung itu merupakan salah satu sumber pendapatan mereka sejak lama dan dapat memberikan sumbangan pendapatan bagi kehidupan keluarga terutama di masa paceklik. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat ikatan hidup yang erat antara mereka dengan pohon kedawung, tetapi ikatan nilai ekonomi ini belum menjadikan pendorong bagi masyarakat untuk berbuat konservasi kedawung di hutan alam. Secara sadar ataupun tidak disadari masyarakat pendarung TNMB telah ikut dan berperan di dunia global melalui kedawung. Berdasar hasil wawancara dengan masyarakat diketahui semua biji kedawung setiap tahun habis terjual kepada tengkulak. Hal ini sesuai dengan penelitian Purwandari (2001), bahwa semua hasil biji kedawung habis terserap oleh industri jamu di Jawa dan kebutuhan industri masih belum bisa terpenuhi, suplai biji kedawung langsung diserap industri jamu meningkat setiap tahunnya dan rata-rata per tahun mencapai 88 ton. Biji kedawung digunakan oleh sepuluh industri jamu di Jawa, lima diantaranya termasuk industri jamu besar yang sudah mengekspor produknya ke mancanegara. Sekitar 51 macam produk obat tradisional atau jamu berbahan baku biji kedawung. Masa kini dan mendatang perlu dijalin kerjasama yang saling menguntung antara masyarakat, pengelola dan industri jamu untuk konservasi kedawung. Pemerintah seharusnya berperan sebagai fasilitator dan regulator secara proaktif bagi kepentingan ketiga belah pihak dengan prinsip keadilan yang berkelanjutan, misalnya pajak yang dipungut oleh pemerintah dari industri jamu hendaknya disalurkan untuk kepentingan penelitian, peningkatan kapasitas masyarakat untuk konservasi dan peningkatan nilai tambah bagi masyarakat. Manfaat obat. Berdasarkan paket pernyataan stimulus kedawung tentang manfaat obat yang terdiri dari 4 pernyataan, hanya satu pernyataan, yaitu: Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung yang menjadi sikap 78

98 masyarakat, tetapi hanya sebatas mengetahui dan menyukai biji kedawung bermanfaat untuk obat sakit perut. Masyarakat sekarang ini sehari-hari tidak lagi memanfaatkan biji kedawung untuk mengobati sakit perut. Mereka sudah banyak beralih menggunakan obat-obat pabrik farmasi yang dijual bebas di warungwarung, karena praktis dan terpengaruh dengan siaran TV yang mulai masuk tahun Saat ini sudah terjadi perubahan budaya masyarakat tentang menjaga kesehatan keluarga. Hanya beberapa orang tua yang selalu menyimpan biji kedawung di rumahnya untuk dijadikan persediaan obat keluarga. Sedangkan masyarakat umumnya tidak lagi menyimpan biji kedawung. Masyarakat tidak mengetahui manfaat atau khasiat kedawung yang beranekaragam, selain untuk dapat mengobati sakit perut. Berbeda dengan masyarakat tradisional di Afrika yang banyak tahu tentang manfaat kedawung selain untuk obat sakit perut (Hall, Tomlison, Oni, Buchy dan Aebischer, 1997). Walaupun begitu ada beberapa orang yang sangat suka dengan pohon kedawung seperti yang diungkapkan oleh Suparno, seorang pendarung kedawung. Dia memberi julukan untuk pohon kedawung sebagai pohon kehidupan - pohon sumber waras. Pohon ini banyak sekali jasanya baik sebagai pelestarian hutan melalui peningkatan kesuburan tanah, mencegah longsor, erosi. Juga pohon ini memberikan manfaat kalau bijinya dikonsumsi secara teratur ia akan memelihara kesehatan perut. Berikut dikemukan rincian hasil dalam bentuk Gambar 17. Sikap Masyarakat Stimulus kedawung: nilai manfaat obat, yang belum terkait sikap masyarakat 5, 6 dan 8 Stimulus kedawung yg terkait sikap masyarakat : 7 Keterangan No Pernyataan stimulus kedawung tentang nilai manfaat obat Skor rata2 Sikap*) 5 Biji kedawung dipakai sendiri untuk obat sakit perut kembung. 2,7-6 Biji kedawung selalu ada disimpan di rumah untuk obat. 2-7 Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung. 4,4 + 8 Pohon kedawung adalah tumbuhan obat yang banyak khasiatnya. 3,2 - Rata-rata 3,1 - *) + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9); - = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8) Gambar 17. Sikap masyarakat terhadap stimulus nilai manfaat obat kedawung 79

99 Begitu juga Mbah Setomi mengungkapkan perasaannya, bahwa kedawung merupakan pohon tumbuhan obat yang unggul. Sejak zaman Jepang kedawung paling banyak dipakai untuk mengobati penyakit dan kedawung sangat dikenal di masa itu untuk obat segala macam penyakit dan dicampur dengan temulawak. Makan biji kedawung dapat menghaluskan kulit, melancarkan pernapasan. Pohon kedawung adalah pohon yang membanggakan di hutan, karena manfaat dan fungsinya yang dirasakan Mbah Setomi berdasarkan pengalamannya. Berdasarkan analisis data terbukti bahwa sikap masyarakat terhadap nilai manfaat obat berbeda nyata pada kelas umur masyarakat pendarung. Begitu juga ada korelasi yang nyata antara kelas umur dengan sikap manfaat obat. Masyarakat kelas umur di atas 40 tahun ternyata lebih merespon stimulus nilai manfaat obat. Hasil analisis menunjukkan pula bahwa dalam masyarakat mulai terjadi ketidak-keberlanjutan pengetahuan tentang manfaat obat kedawung dari generasi tua ke generasi muda. Faktor yang menjadi penyebabnya adalah terutama generasi muda lebih banyak dipengaruhi dengan informasi luar dan menganggap obat kedawung sudah kuno. Tokoh masyarakat Mbah Setomi mengatakan (1) banyak generasi muda sekarang tidak tahu, karena tidak pernah mengambil buah kedawung di hutan; (2) banyak anak muda sombong, membanggakan obat-obat modern; (3) menganggap obat dari kedawung tidak praktis dan merepotkan dan (4) obat yang dijual di warung atau toko sudah siap pakai dan manjur. TNMB memiliki banyak spesies tumbuhan obat untuk mengobati penyakit perut dan gangguan pencernaan, yaitu dari 355 spesies tumbuhan obat telah diketahui sebanyak 135 spesies berkhasiat untuk mengobati penyakit perut atau gangguan pencernaan, salah satu di antaranya yang paling dikenal masyarakat adalah pohon kedawung. Pengetahuan tradisional masyarakat hutan di Afrika Barat tentang manfaat dan pengolahan kedawung jauh lebih banyak, berkembang dan maju dibanding masyarakat TNMB. Hal ini dapat dimengerti karena keanekaragaman tumbuhan di hutan alam di Afrika Barat jauh lebih sedikit dibanding ekosistem hutan hujan tropika Indonesia. Masyarakat Afrika tidak punya banyak pilihan terhadap spesies 80

100 yang bermanfaat, seperti masyarakat hutan TNMB. Maka proses trial and error pada masyarakat Afrika jauh lebih intensif terjadi dan dalam waktu panjang. b. Stimulus alamiah Kelangkaan. Sinyal alamiah tentang kelangkaan, kondisi populasi dan regenerasi kedawung secara menyeluruh tidak menjadi informasi bagi masyarakat, sehingga sinyal ini tidak menjadi stimulus bagi masyarakat untuk aksi konservasi. Masyarakat tidak menyukai kehidupan kedawung yang bersifat soliter, tidak bisa hidup berdekatan dengan sesama jenisnya. Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan kedawung yang anakannya tidak bisa tumbuh menjadi besar di sekitar pohon induknya, bahwa masyarakat tidak suka dengan kondisi dan sifat kedawung ini. Begitu juga masyarakat tidak memahami sinyal tentang sulitnya menjumpai anakan pohon kedawung di hutan alam sebagai informasi dan pertanda ancaman kelangkaan, sehingga sinyal ini tidak menjadi stimulus bagi sikap untuk aksi konservasi. Masyarakat menyukai pohon kedawung dewasa yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding pohon yang muda atau anakannya. Artinya mereka tidak memahami sinyal ini sebagai informasi kelangkaan, mereka hanya fokus aspek ekonomi jangka pendek, yaitu kepada pohon kedawung dewasa yang bisa berbuah terkini. Sikap masyarakat terhadap stimulus ini untuk lebih jelasnya ditunjukkan pada Gambar 18 berikut ini. Sikap Masyarakat Stimulus kedawung: Kondisi populasi dan regenerasi yang belum terkait sikap masyarakat 14, 15 dan 17 Stimulus kedawung yg terkait sikap masyarakat : 16 Keterangan No Pernyataan stimulus kedawung: kondisi populasi dan regenerasinya Skor rata2 Sikap*) 14 Anakan kedawung sangat jarang menjadi besar di sekitar pohon induknya. 2,7-15 Pohon kedawung muda sangat jarang ditemukan di kawasan hutan alam. 3,1-16 Anakan kedawung hanya tumbuh di tempat terbuka terkena sinar matahari. 4, Pohon dewasa jauh lebih banyak dibanding pohon mudanya di hutan 1,4 - Rata-rata 3 - *) + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8) Gambar 18. Sikap masyarakat terhadap stimulus tentang kelangkaan kedawung 81

101 Berdasarkan analisis data ternyata bahwa masyarakat kelas umur diatas 40 tahun lebih memahami kondisi populasi kedawung yang sudah menuju langka. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa tidak terjadi keberlanjutan pengetahuan tentang konservasi dari masyarakat lebih tua kepada masyarakat yang lebih muda. Berdasarkan hal di atas, maka penyuluhan dan pendampingan tentang konservasi kedawung perlu diprioritaskan pada kelompok masyarakat umur < 40 tahun. Fungsi ekologis. Berdasarkan 5 pernyataan stimulus kedawung, ada 4 pernyataan yang dipahami dan disukai masyarakat, seperti pernyataan stimulus nomor 9, 10, 11 dan 12, seperti dapat dilihat pada Gambar 19. Pernyataan stimulus 13 direspon negatif oleh masyarakat, yaitu pernyataan buah kedawung yang muda dimakan satwa lutung. Masyarakat umumnya tidak suka dan tidak rela buah kedawung muda dimakan satwa budeng, karena akan mengurangi hasil panenannya. Ini artinya, stimulus nilai ekologis yang berbenturan dengan stimulus nilai ekonomi, maka sikap masyarakat akan lebih berpihak kepada nilai ekonomi. Penelitian menunjukkan bahwa kedawung secara alami hidup berdampingan dengan berbagai spesies tumbuhan, yaitu sekitar 75 % diantaranya adalah termasuk spesies tumbuhan obat. Keanekaragaman tumbuhan obat tersebut berupa pohon, liana, perdu maupun tumbuhan bawah. Masyarakat memahami kedawung dapat memberi kehidupan kepada jenis tumbuhan lain. Sinyal dari karakteristik kedawung ini dapat dijadikan informasi bagi masyarakat, sehingga menjadi stimulus bagi sikap masyarakat untuk aksi konservasi. Sikap masyarakat yang terkait dengan stimulus : 9,10, 11 dan 12 Stimulus kedawung: Nilai fungsi ekologis, yang tidak terkait dengan sikap masyarakat : 13 Keterangan No Pernyataan stimulus kedawung tentang nilai fungsi ekologis Skor rata2 Sikap*) 9 Kedawung banyak tumbuh di lereng bukit yang terjal 4, Kedawung adalah pohon tertinggi pengayom tumbuhan lainnya di hutan 4, Kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah madu. 4, Kedawung menggugurkan daunnya sebanyak 1 atau 2 kali setiap tahun. 4, Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng 1,8 - Rata-rata 4,0 + *) + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8) Gambar 19. Sikap masyarakat yang terkait stimulus fungsi ekologis kedawung 82

102 Contoh beberapa spesies tumbuhan obat tingkat pohon yang ada antara lain: bendo (Artocarpus elasticus Rein Ex Bl.), timo (Kleinhovia hospita L), gundang (Ficus variegata Bl.), waru (Hibiscus tiliaceus L.), winong (Tetrameles nudiflora R.Br.), glintungan (Bischofia javanica Bl.), suren (Toona sureni Bl.) dan lain-lain (Mirwan, 1995; Sihotang, 1996; Dewi, 1999; Rinekso, 2000; Winara, 2001; Iskandar, 2003). Masyarakat pendarung menyadari fungsi pohon kedawung dapat mencegah erosi dan longsor. Menurut mereka seperti yang diungkapkan oleh Mbah Setomi sebagai berikut: Pohon kedawung sangat jarang tumbuh di tempat datar di hutan dan umumnya pohonnya punya tamping (banir). Pohon kedawung berperan sebagai penjaga longsor serta tumbuh banyak dilereng-lereng bukit, karena dia perlu sinar matahari. Kedawung pohon paling tinggi dan lurus, tapi kalau pohon apak (beringin) tumbuh lebih dulu, maka kedawung akan kalah atau pohon kedawungnya bisa berbelok mencari sinar matahari. Dia setuju dan semangat sekali kalau kedawung dilestarikan di hutan, termasuk juga pohon joho. Begitu juga masyarakat memahami dan menyukai pohon kedawung karena dapat berfungsi menyuburkan tanah di sekitar tempat tumbuhnya dengan guguran daunnya secara serentak sebanyak 1 atau 2 kali dalam satu tahun. Kalimat lain yang diucapkan dengan penuh kebanggaan oleh Mbah Setomi adalah : Saya suka dan bangga dengan pohon kedawung. Kedawung menyediakan pupuk untuk menyuburkan tanah hutan dan sangat bermanfaat bagi jenis tumbuhan lain yang ada di sekitarnya. Pohon kedawung itu adalah pohon penyubur hutan, karena dia setiap tahun menggugurkan daunnya, bahkan ada yang sampai 3 kali menggugurkan semua daunnya dalam satu tahun. Musim kemarau dia mengugurkan daun, tidak serentak mengugurkan daun, masing-masing individu berbeda waktu gugur daunnya. Pada saat itu akan banyak sekali sampah yang menjadi pupuk dan juga sinar matahari akan lebih banyak masuk ke lantai hutan waktu mengugurkan daun. Orang yang tidak tahu mengira pohon kedawung mati. Banyak orang yang tak mengerti dengan kelebihan kedawung ini dalam konservasi hutan. Masyarakat pendarung kedawung, juga sekaligus sebagai pendarung madu lebah di hutan. Mereka mengetahui dan menyukai pohon kedawung ketika sedang berbunga banyak didatangi lebah madu untuk mengambil pakan. Menurut masyarakat, madu dari lebah yang pakannya dari bunga kedawung ini dicirikan dengan madu berwarna kuning. Berikut ini pada Gambar 20 dapat dilihat bentuk tajuk pohon kedawung dari kejauhan di hutan taman nasional Meru Betiri. 83

103 Gambar 20. (a) (b) Bentuk tajuk pohon kedawung dari kejauhan (yang dilingkar) (a), bunga kedawung yang merupakan sumber pakan lebah madu (b). Pohon kedawung yang merupakan salah satu spesies pohon tertinggi dan terbesar di TNMB memiliki berbagai nilai manfaat penting bagi kehidupan manusia dan ekosistem hutan. Pohon kedawung adalah pohon kehidupan yang sangat berpotensi membangun image dan stimulus bagi masyarakat untuk berperilaku aksi konservasi, asal saja disosialisasikan, disambungkan pengetahuan ini dengan baik dan secara konsistenn kepada masyarakat pendarung. Masyarakat tidak senang apabila satwa budeng memakan buah kedawung yang muda, karena akan mengurangi hasil panenan mereka. Namun ada persepsi lain seperti pernyataan Mbah Setomi yang bersifat konservasionis bebagai berikut: Budeng tidak bisa mengambil buah kedawung di ujung ranting, karena rantingnya kecil dan bisa patah, dia akan jatuh. Budeng makan buah kedawung muda secara teratur, masing-masing individu makan bergantian. Buah gompol diambil seperlunya dan dibawa ke dahan lain untuk memakannya dan kemudian mengulangnya kembali secara bergantian. Kalau buah padaa satu gompol itu habis baru pindah ke gompol yang lain dan kalau sudah kenyang dia akan pergi. Budeng sangat hemat dalam memakan buah kedawung dan dia tidak makan mengacak semua gompol yang ditemui, melainkan satu gompol ke gompol lainnya. Budeng itu sangat hemat dan masih banyak meninggalkan buah kedawung yang utuh, apalagi buah yang tumbuh diujung ranting, ini tidak diambilnya. Budeng tidak bisa memanjat pohon kedawung yang berdiameter besar, sehingga tidak semua pohon kedawung yang bisa dipanjatnya. Namun kalau manusia, semuanya diambil, bahkan kalau banyak yang menebang cabang pohon kedawung! Ungkapan di atas dapatlah dipastikan bahwa telah terjadi ketidak- berlanjutan pengetahuan lokal kepada generasi muda, khususnya tentang pemahaman konservasi. 84

104 Berdasarkan hasil analisis data, sikap terhadap nilai fungsi ekologis tidak berbeda nyata antara masyarakat pendarung kelompok umur di bawah 40 tahun dengan kelompok umur di atas 40 tahun. Walaupun hubungan kelas umur dengan sikap terhadap stimulus fungsi ekologis tidak nyata, tetapi ada kecenderungan bahwa masyarakat pendarung yang berumur di atas 40 tahun cenderung lebih respon terhadap stimulus fungsi ekologis kedawung. 2. Ketidak-terkaitan stimulus dengan sikap pengelola Berdasarkan hasil penelitian dapat terbukti terjadi ketidak-terkaitan antara stimulus kedawung terhadap sikap pengelola. Hanya stimulus manfaat, yaitu yang berhubungan nilai manfaat ekonomi yang terkait erat dengan sikap pengelola. Sedangkan stimulus alamiah tentang kelangkaan, kondisi populasi dan regenerasi yang memberikan sinyal bahwa kedawung saat ini terancam langka belum menjadi informasi dan stimulus bagi sikap pengelola. Berdasarkan hasil penelitian ini ternyata bahwa stimulus kedawung yang berkaitan dengan sikap pengelola hanya stimulus manfaat ekonomi saja. Stimulus tentang manfaat obat kedawung tidak dipahami oleh pengelola, yaitu bahwa kedawung memiliki manfaat obat untuk berbagai macam penyakit, selain untuk obat sakit perut kembung. Sedangkan stimulus alamiah tentang kelangkaan serta kondisi populasi dan regenerasi sama sekali belum menjadi pendorong sikap bagi pengelola untuk konservasi. Analisis lebih jauh mengenai masalah ini diuraikan sebagai berikut ini : a. Stimulus manfaat Manfaat ekonomi. Berdasarkan paket pernyataan stimulus manfaat ekonomi kedawung yang terdiri dari 4 pernyataan, menunjukkan bahwa sikap pengelola merespon positif terhadap stimulus manfaat ekonomi, yaitu pada pernyataan stimulus 1, 3 dan 4. Namun pernyataan stimulus : Saat pohon kedawung berbuah, banyak masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya disikapi negatif oleh pengelola. Pengelola tidak suka masyarakat masuk kawasan hutan karena pengelola beranggapan dan memandang masyarakat masuk hutan adalah pelanggaran peraturan perundangan yang berlaku dan masyarakat dianggap sebagai aktor perusak kawasan hutan taman nasional. 85

105 Pernyataan Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat, kurang disukai oleh sebagian pengelola dan masih mengkhawatirkan akan berdampak negatif terhadap konservasi taman nasional. Namun lebih dari 50 % pengelola menyadari dan menyukai bahwa kedawung sudah sejak lama menjadi sumber mata-pencaharian masyarakat. Mereka merasa terkendala dan terikat dengan peraturan perundangan yang berlaku yaitu bahwa memasuki kawasan taman nasional dilarang tanpa izin. Selama ini pengelola belum berupaya mencari jalan keluar agar masyarakat secara legal dapat mengambil buah kedawung di kawasan secara lestari. Pernyataan Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu disukai oleh juga pengelola, namun tanda suka ini belum direfleksikan dalam program pengembangan kedawung yang terencana dan benar. Program peningkatan nilai tambah kedawung untuk ekonomi masyarakat belum dilakukan, terbukti dari masyarakat selama 50 tahun terakhir masih menjual dalam bentuk biji kedawung kepada tengkulak. Selama ini nilai tambah hanya dinikmati oleh industri jamu dengan mengekspor berbagai produk jamu dari bahan baku kedawung, seperti yang dilakukan oleh dua Industri Jamu Besar di Jawa. Analisis hasil penelitian lebih jelasnya disajikan dalam bentuk Gambar 21 sebagai berikut. Sikap pengelola Stimulus kedawung Nilai manfaat ekonomi yang belum terkait dengan sikap pengelola : 2 Stimulus kedawung yg terkait dengan sikap pengelola : 1, 3 dan 4 Keterangan No Pernyataan stimulus kedawung tentang nilai manfaat ekonomi Skor rata2 Sikap *) 1 Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang menghitam 4,7 + 2 Saat kedawung berbuah, banyak masyarakat masuk hutan memanen buahnya. 2,3-3 Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat. 3,9 + 4 Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu 4,6 + Rata-rata 4,0 + *) + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9); - = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8) Gambar 21. Sikap pengelola yang terkait dengan stimulus manfaat ekonomi kedawung 86

106 Selama ini pengelola hanya memberikan perhatian kepada 3 spesies yang dianggap prioritas menurut pengelola taman nasional, yaitu spesies harimau jawa (Panthera tigris Sondaica), bunga padma (Rafflesia zollingeriana) dan penyu hijau (Chelonia mydas) (Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004). Ketiga spesies ini tidak berkaitan langsung dengan kepentingan hidup masyarakat pendarung maupun masyarakat lain yang hidup di sekitar kawasan TNMB. Walaupun pengelola melakukan program rehabilitasi dengan salah satu tanaman pokoknya kedawung, tetapi sampai hari ini masih sebatas agar lahan rehabilitasi segera hijau ditutupi vegetasi. Penanaman kedawung dilakukan dengan jarak tanam yang salah, yaitu terlalu rapat. Pengelola belum bersikap bahwa pohon kedawung penting dan merupakan komoditi strategis yang bisa menjadi stimulus untuk masyarakat berperilaku konservasi. Manfaat obat. Berdasarkan paket pernyataan stimulus kedawung tentang nilai manfaat obat kedawung yang terdiri dari 4 pernyataan, menunjukkan bahwa sikap pengelola secara keseluruhan terhadap pernyataan stimulus kedawung memberi respon tidak suka atau tidak tahu. Pernyataan Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung merupakan satu-satunya yang direspon positif oleh pengelola, tetapi hanya sebatas mengetahui dan menyukai biji kedawung bermanfaat untuk obat sakit perut. Namun pengelola jarang atau tidak pernah memanfaatkan biji kedawung untuk mengobati sakit perut. Sama juga dengan masyarakat, ternyata pengelola kalau sakit perut menggunakan obat-obat pabrik farmasi yang dijual bebas di toko-toko obat. Pengelola juga tidak mengetahui tentang potensi manfaat pohon kedawung lainnya seperti halnya pengetahuan masyarakat tradisional di Afrika Barat yang banyak tahu tentang manfaat kedawung (Hall, Tomlison, Oni dan Buchy, 1997). Analisis hasil penelitian lebih jelasnya disajikan dalam bentuk Gambar 22 sebagai berikut. 87

107 Sikap pengelola Stimulus kedawung Nilai manfaat obat yang tidak terkait dengan sikap pengelola : 5, 6 dan 8 Stimulus kedawung yg terkait dengan sikap pengelola : 7 Keterangan No Pernyataan stimulus kedawung tentang nilai manfaat obat Skor rata2 Sikap *) 5 Biji kedawung dipakai sendiri untuk obat sakit perut kembung. 1,9-6 Biji kedawung selalu ada disimpan di rumah untuk obat. 1,3-7 Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung. 4,3 + 8 Pohon kedawung adalah tumbuhan obat yang banyak khasiatnya. 3,0 - Rata-rata 2,6 - *) + = sangat suka atau suka/setuju (>3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka/setuju (<3,8) Gambar 22. Sikap pengelola terhadap nilai manfaat obat b. Stimulus alamiah Kelangkaan. Sikap pengelola ternyata belum berkaitan dengan stimulus alamiah. Sinyal tentang kelangkaan yang menginformasikan kondisi populasi dan regenerasi kedawung belum menjadi informasi bagi pengelola, sehingga sinyal ini belum menjadi stimulus bagi sikap pengelola untuk aksi konservasi. Pengelola tidak menyukai kondisi terhadap sifat atau karakter kedawung yang anakannya tidak bisa tumbuh menjadi besar di sekitar pohon induknya. Hakl ini artinya bahwa pengelola tidak memahami karakter kedawung yang hidup soliter dan tidak bisa hidup berdekatan sesama spesiesnya, sehingga perlu dibantu menyebarkan bijinya. Pengelola juga tidak merespon positif atau tidak memahami terhadap kondisi seperti sulitnya menjumpai pohon kedawung yang muda di hutan alam serta tentang pohon kedawung dewasa yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding pohon kedawung yang muda. Padahal fenomena atau sinyal ini merupakan informasi yang sangat penting, yaitu bahwa regenerasi kedawung di hutan alam terputus karena sangat sulit terjadi regenerasi. Pengelola tidak menangkap sinyal tentang kondisi populasi kedawung sebagai informasi kelangkaan, sehingga tidak menjadi stimulus bagi sikap pengelola untuk aksi konservasi. Pernyataan stimulus 14, 15, 16 dan 17 tersebut 88

108 sama sekali tidak ada yang overlap dengan sikap pengelola, seperti terlihat pada Gambar 23 berikut ini. Sikap pengelola Stimulus kedawung Kondisi populasi dan regenerasi belum terkait dengan sikap pengelola : 14, 15, 16 dan 17 Keterangan No Pernyataan stimulus: kondisi populasi dan regenerasinya Skor rata2 Sikap *) 14 Anakan kedawung sangat jarang menjadi besar di sekitar pohon induknya. 2,1-15 Pohon kedawung muda sangat jarang ditemukan di kawasan hutan alam. 3,7-16 Anakan kedawung hanya tumbuh di tempat terbuka terkena sinar matahari. 2,8-17 Pohon kedawung dewasa jauh lebih banyak dari pohon mudanya di hutan. 2,2 - Rata-rata 2,7 - + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka/tidak setuju (< 3,8) *) Gambar 23. Sikap pengelola terhadap kondisi populasi dan regenerasi kedawung Fungsi ekologis. Berdasarkan uji terhadap 5 pernyataan stimulus kedawung, ternyata pengelola kurang memahami dan kurang berpengalaman dengan fungsi ekologis pohon kedawung dibandingkan dengan masyarakat pendarung. Ada tiga pernyataan yang direspon negatif oleh pengelola. Pengelola belum menyadari bahwa pohon kedawung merupakan pohon besar dan bertajuk tertinggi pada canopy hutan yang menaungi berbagai jenis tumbuhan penting lainnya. Pengelola tidak mengetahui bahwa bunga kedawung merupakan pakan yang disukai lebah madu. Begitu juga pengelola tidak mengetahui bahwa pohon kedawung menggugurkan daun 1 sampai 2 kali dalam setahun. Kondisi ini merupakan sifat fisiologis kedawung untuk mengatasi kekeringan dan sekaligus menjadi hal yang sangat positif bagi pendauran hara dalam menyuburkan tanah dan memelihara kualitas lingkungan hidup hutan alam. Berikut dapat dilihat analisis hasil penelitian seperti pada Gambar

109 Sikap pengelola Stimulus kedawung Fungsi ekologis yang tidak terkait dengan sikap pengelola : 10, 11 dan 12. Stimulus kedawung yg terkait dengan sikap pengelola : 9 dan 13 Keterangan No Pernyataan stimulus kedawung tentang fungsi ekologis Skor rata2 Sikap *) 9 Pohon kedawung banyak tumbuh di lereng bukit yang terjal 4, Kedawung adalah pohon besar dan tinggi mengayom tumbuhan lainnya 3,4-11 Pohon kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah madu. 3,5-12 Pohon kedawung menggugurkan daun sebanyak 1 atau 2 kali per tahun. 3,2-13 Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng 4,4 + Ratarata 3,7 - *) + = sangat suka atau suka/setuju (>3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka/setuju (<3,8) Gambar 24. Sikap pengelola terhadap nilai manfaat ekologis 3. Bias stimulus terhadap sikap masyarakat dan sikap pengelola Berdasarkan hasil penelitian ternyata bahwa sikap masyarakat dan sikap pengelola terjadi bias dengan stimulus kedawung terhadap sikap konservasi. Informasi alamiah tentang kelangkaan, kondisi populasi dan regenerasi kedawung di hutan alam tidak dipahami oleh masyarakat maupun oleh pengelola (pernyataan 14, 15 dan 17). Informasi tentang kelangkaan yang penting ini tidak menjadi stimulus bagi sikap konservasi masyarakat maupun pengelola. Namun demikian pada Gambar 25 ditunjukkan bahwa masyarakat dibandingkan dengan pengelola lebih menangkap dan memahami informasi yang diberikan kedawung untuk aksi konservasi, yaitu seperti pernyataan 10, 11, 12 dan 16. Ini menunjukkan bahwa masyarakat pendarung mempunyai pengalaman yang lebih banyak tentang kedawung dibandingkan dengan pengelola. Hal ini sangat logis karena masyarakat lebih banyak dan lebih intensif berinteraksi dengan kedawung, paling tidak pada saat mereka mengambil buah kedawung setiap tahunnya. 90

110 Stimulus Kedawung yg berkaitan erat dg sikap masyarakat 2, 3, 10, 11, 12 dan 16 Stimulus Kedawung yang bias dengan sikap masyarakat dan sikap pengelola: manfaat obat (5,6,8), kondisi populasi dan regenerasi (14,15,17) Stimulus Kedawung yg berkaitan erat dg sikap pengelola: nilai fungsi ekologis (13) Stimulus Kedawung terkait erat dg sikap masyarakat dan pengelola: nilai ekonomi (1, 4), nilai obat (7), nilai fungsi ekologis (9) Keterangan No Pernyataan stimulus kedawung Masyarakat *) Pengelola*) Nilai manfaat ekonomi (Stimulus manfaat) (+) (+) 1 Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang telah menghitam (+) (+) 2 Saat pohon kedawung berbuah, masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya. (+) (-) 3 Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat. (+) (-) 4 Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu (+) (+) Nilai manfaat obat (Stimulus manfaat) (-) (-) 5 Biji kedawung dipakai sendiri untuk obat sakit perut kembung. (-) (-) 6 Biji kedawung selalu ada disimpan di rumah untuk obat. (-) (-) 7 Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung. (+) (+) 8 Pohon kedawung adalah tumbuhan obat yang banyak khasiatnya. (-) (-) Nilai fungsi ekologis (Stimulus alamiah) (+) (-) 9 Kedawung banyak tumbuh di lereng bukit yang terjal (+) (+) 10 Kedawung adalah pohon raksasa pengayom tumbuhan lainnya di hutan (+) (-) 11 Kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah madu. (+) (-) 12 Kedawung menggugurkan daunnya sebanyak 1 atau 2 kali setahun. (+) (-) 13 Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng (-) (+) Kondisi populasi dan regenerasi (Stimulus alamiah) (-) (-) 14 Anakan kedawung sangat jarang menjadi besar di sekitar pohon induknya. (-) (-) 15 Pohon kedawung muda sangat jarang ditemukan di kawasan hutan alam. (-) (-) 16 Anakan kedawung hanya hidup di tempat terbuka terkena sinar matahari. (+) (-) 17 Kedawung dewasa jauh lebih banyak dibanding pohon mudanya di hutan (-) (-) *) + = sangat suka atau suka/setuju - = tidak suka atau kurang suka/tidak setuju Gambar 25. Stimulus yang terkait dan bias dengan sikap masyarakat dan pengelola 4. Ketidak-sejalanan stimulus dengan aksi konservasi masyarakat Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi ketidak-sejalanan stimulus kedawung dengan aksi masyarakat untuk konservasi. Berdasarkan 8 pernyataan aksi konservasi kedawung yang paling mungkin dan mudah dilakukan oleh masyarakat yang diartikulasikan berdasarkan pernyataan stimulus kondisi populasi dan regenerasi kedawung, ternyata ada perbedaan seperti yang dapat 91

111 dilihat pada Gambar 26. Hanya satu pernyataan disukai masyarakat, yaitu melakukan penjarangan kedawung yang ditanam di lahan rehabilitasi. Masyarakat tidak melakukan aksi konservasi secara sadar di dalam kawasan hutan. Pernyataan 22 yaitu Ada biji kedawung yang tercecer diperjalanan pulang di hutan sehabis memanen ternyata ada kurang lebih 50 % dari masyarakat secara tidak sengaja berperan sebagai penyebar biji di hutan alam, yaitu adanya buah atau biji yang tercecer pada waktu memikul hasil panenannya pulang ke rumah. Aksi Masyarakat Aksi Konservasi kedawung yang belum direspon dengan aksi masyarakat 18,19,20,21,22,23, dan 24 Aksi konservasi kedawung yg terkait aksi masyarakat : 25 Keterangan No Pernyataan Aksi Konservasi Kedawung Skor rata2 Sikap*) 18 Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di areal hutan alam. 1,6-19 Buah kedawung yg tergantung di pinggir tajuk terluar tidak semuanya dipungut 2,3-20 Biji kedawung yang dipanen sendiri selalu ada yang dijadikan bibit. 2,3-21 Kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam. 2,4-22 Ada biji kedawung tercecer diperjalanan pulang di hutan sehabis memanen 2,9-23 Biji direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, lalu disemaikan. 2,2-24 Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya. 2,7-25 Jarak tanam Kedawung di lahan rehabilitasi baiknya diperlebar minimal 30 m. 4,7 + Rata-rata 2,6 - *) + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9); - = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8) Gambar 26. Aksi masyarakat untuk konservasi kedawung Pernyataan dan pengakuan Mbah Setomi tentang penyebaran kedawung adalah sebagai berikut : Waktu saya memikul buah kedawung pulang, sering beberapa buah kedawung jatuh di hutan dan saya biarkan dengan harapan agar bisa tumbuh. Buahnya saya bawa ke rumah, kemudian baru bijinya dikeluarkan. Walaupun orang mengambil semuanya tanpa tersisa, namun ada saja yang tertinggal karena ada yang tak bisa diambil dengan genter, terutama buah yang paling di ujung. Ini akan menjadi sumber benih yang penting di hutan. Bukti ini dapat dilihat pada Gambar 12 tentang peta penyebaran pohon kedawung dengan menggunakan GIS. Pada gambar tersebut terlihat pola penyebaran spasial kedawung semakin mendekati ke arah perkampungan 92

112 masyarakat pendarung kedawung dan bersifat mengelompok, yaitu di desa Curahnongko dan Andongrejo. Terlihat jelas ada Pengaruh intervensi manusia terlihat jelas dalam pola penyebaran kedawung. Proses ini terjadi pada masyarakat pendarung dari generasi tua atau satu generasi sebelum generasi sekarang ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya dijumpai pohon kedawung yang remaja. Sebaliknya pola penyebaran spasial kedawung di kawasan hutan alam bagian Timur yang berjauhan dengan perkampungan masyarakat, penyebarannya jarang dan satu-satu dengan jarak sangat berjauhan lebih dari 500 meter. Kajian kesesuaian habitat kedawung berdasarkan faktor ketinggian dari permukaan laut, topografi dan kedekatan dengan sungai menghasilkan peta habitat potensial kedawung di kawasan TNMB seperti pada Gambar 12. Pola penyebaran spasial kedawung ini menginformasikan bahwa faktor pelaku penyebar biji kedawung di hutan alam adalah manusia pendarung kedawung, selain kemungkinannya juga dilakukan oleh aliran air hujan. Adanya interaksi masyarakat pendarung kedawung dengan TNMB memberi dampak positif bagi konservasi kedawung. Jadi dugaan tentang masyarakat pendarung kedawung sebagai pelaku utama yang menyebabkan kelangkaan kedawung tidaklah benar dan tidak sesuai dengan fakta, bahkan mereka berperan positif terhadap penyebaran biji kedawung di hutan alam. Pernyataan aksi konservasi yang 7 butir lagi, justru yang sangat penting bagi kebutuhan konservasi kedawung tidak dilakukan oleh masyarakat, seperti dapat dilihat pada Gambar 26 di atas. Masyarakat sangat jarang melakukan penanaman kedawung di hutan alam dan dari 80 responden hanya 3 orang yang menyatakan pernah dengan sengaja menyebarkan biji kedawung di hutan alam. Menurut pengakuan Mbah Setomi hal ini terjadi sebagai berikut ini : Buah yang jatuh di bawah pohon kedawung dan tidak kena cahaya matahari langsung tidak bisa tumbuh dan dimakan ulat dan menjadi busuk. Kalau diserahkan ke alam saja, maka banyak yang tidak tumbuh. Mbah Setomi kalau pergi ke hutan dia sering membuang buah kedawung tua di lahan hutan yang terbuka disana, sini, dan dia melihat tahun berikutnya tumbuh menjadi anakan kedawung baru, ini berdasarkan pengalamannya. Mbah Setomi sudah lama melakukan ini jauh sebelum program rehabilitasi, ini dilakukan karena dia tidak punya lahan sendiri. Biji kedawung 93

113 perlu sinar matahari langsung untuk tumbuh secara alami di lantai hutan. Kalau jauh jatuhnya dari pohon induknya dan kena sinar matahari baru biji tersebut bisa tumbuh. Kalau di bawah kedawung ada jenis tumbuhan lain yang duluan tumbuh, sehingga biji dan anakan kedawung tak bisa hidup lagi. Mbah Setomi selain menanam kedawung, juga dia menanam kluwek, kemiri dan lain-lain. Kalau secara sadar masyarakat ikut melakukan konservasi kedawung dengan membantu menyebarkan biji kedawung sejak dahulu, seperti mbah Setomi, maka tentu panenan buah kedawungnya akan lebih banyak dan dapat meningkatkan pendapatan mereka yang sangat nyata sekarang ini. Karena pekerjaan yang relatif kecil dan sederhana ini tidak dilakukan sejak dahulu secara sadar, maka dampak negatifnya sangat dirasakan sekarang. Masyarakat sudah kehilangan modal waktu selama 50 tahun lebih untuk dapat memanen buah kedawung yang lebih banyak padahal pohon kedawung baru mulai berbuah pada umur sekitar tahun (Soejono, 1993). Inilah yang dimaksud oleh Watt (1973), bahwa waktu termasuk kedalam kategori modal, selain keanekaragaman dan ruang yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat tidak termotivasi untuk menanam kedawung di kawasan hutan alam, karena umumnya mereka belum menyadari dan belum memahami bahwa pohon kedawung sudah mulai langka. Masyarakat tidak menyadari, bahwa kedawung memerlukan bantuan tenaga mereka untuk menyebarkan biji bagi proses regenerasinya. Masyarakat belum memahami teknologi untuk mempermudah biji kedawung berkecambah seperti melalui perendaman dengan air panas, padahal teknologi sederhana ini sudah sejak tahun 1994 dikembangkan melalui hasil penelitian IPB. Hal ini berarti bahwa sosialisasi hasil penelitian kepada masyarakat tidak terjadi. Mbah Setomi juga mendukung kondisi ini dengan menyatakan bahwa sampai tahun 1992 tidak pernah ada pembinaan atau penyuluhan dari petugas PA (staf taman nasional) maupun Perhutani, sehingga masyarakat tidak pernah berhubungan dengan PA, kecuali dicegat apabila masyarakat membawa hasil dari hutan. Petugas PA sudah hafal jalan-jalan orang mencari madu, kedawung, kluwek, joho dan lain-lain, sehingga mereka tinggal menunggu di jalan saja dan menyita hasil hutan bawaan masyarakat. 94

114 Masyarakat juga dalam melakukan pengambilan buah kedawung sering melakukan pemotongann cabang atau ranting pohon kedawung yang banyak buahnya dan sulit untuk dijangkau dengan galah. Perilaku masyarakat memanen buah kedawung seperti ini bersifat tidak konservasi karena menganut pola pikir jangka pendek dan tidak berpikir jangka panjang. Hal ini diketahui berdasarkan pengamatan beberapa kali di hutan, dimana masyarakat melakukan pemotongan dahan besar yaitu rata-rata 2 atau 3 dahan untuk setiap pohon kedawung. Hal ini sejalan dengan sinyal 19 Buah kedawung yang tergantung di pinggir tajuk terluar tidak semuanya dipungut, bahwa sebagian besar masyarakat sangat suka melakukan pemungutan semua buah kedawung, termasuk yang terdapatt di pinggir tajuk. Hal ini tidak mungkin dilakukan dengan bantuan galah dan satu-satunya cara memanen buah yang terdapat di pinggir tajuk adalah dengan cara memangkas dahan dan cabang pohon kedawung seperti terlihat pada Gambar 27 berikut ini. Gambar 27. Percabangan utama pohon kedawung yang dipotong masyarakat pada waktu memanenn buah kedawung (tanda lingkaran putih). Perilaku masyarakat ini akan mengurangi produksi buah kedawung untuk tahun-tahun mendatang karena luas permukaan percabangan tempat tumbuhnya buah kedawung semakin berkurang. Disini terlihat masyarakat belum berpikir jangka panjang, atau mereka berpikir berbuat seperti itu percuma, karena orang lain akan berbuat setelah mereka pulang dari hutan. Untuk mengatasi perilaku ini perlu ditemukan atau dicari teknologi pengambilan buah kedawung yang tidak merusak. Peran laboratorium perguruan tinggi, khususnya dibidang teknologi 95

115 pemanenan hasil hutan non kayu sangat penting dan diperlukan untuk memecahkan permasalahan ini. Berdasarkan analisis data kelas umur ternyata, bahwa masyarakat pendarung dari kelas umur > 40 tahun lebih berperilaku konservasi. Hasil analisis ini menunjukkan perlu penyuluhan dan pendampingan tentang konservasi kedawung yang diprioritaskan kepada masyarakat pendarung kelompok umur muda dibawah 40 tahun. Faktor-faktor pembatas lingkungan ekosistem alam ini harus menjadi stimulus bagi manusia dalam berperilaku terhadap alam, karena stimulus yang diberikan oleh kedawung saat musim dia berbuah yaitu dimana buah yang tumbuh dari ujung ranting-ranting pada lingkar tajuk terluar diperuntukkan bagi proses regenerasi kedawung. Buah ini tidak bisa dipungut oleh satwa budeng karena akan membahayakan dirinya dengan resiko jatuh. Namun dipihak lain buah inilah yang diambil habis oleh manusia tanpa menyisakan dan tanpa menyemaikannya di hutan, sehingga spesies ini menjadi langka di hutan. Kurangnya stok biji yang tersebar jauh dari pohon induknya adalah penyebab sangat lambatnya proses regenerasi terjadi di hutan alam. Tidak tertutup kemungkinan bahwa aksi yang dilakukan oleh seseorang tidak sejalan dengan sikapnya. Oleh karena itu kemudian muncul keraguan terhadap konsistensi hubungan antara sikap dengan perilaku seseorang. Ada beberapa alasan yang menyebabkan perilaku masyarakat pendarung tidak sesuai dengan sikapnya. Pertama, ketidaksesuaian antara sikap orang tersebut dengan informasi mengenai kenyataan sesungguhnya atau kenyataan yang terjadi. Kedua, ketidaksesuaian antara sikap orang tersebut dengan sikap panutannya. Ketiga, adalah karena hak kepemilikan yang atau perasaan tidak memiliki. Contoh untuk alasan pertama misalnya seseorang yang mengambil sikap menentang pengambilan semua buah kedawung yang tua di hutan TNMB, tetapi dia sendiri melakukannya karena dia melihat orang banyak melakukan hal yang sama. Jika ia tidak memungut buah kedawung yang tua semuanya, dia tetap merasa sia-sia dan merasa rugi karena orang lain memungutnya tanpa menyisakan buah yang tua untuk sumber biji bagi regenerasi kedawung di hutan TNMB. 96

116 Sehingga sikap seseorang yang positif menjadi sirna karena tidak adanya komitmen dari sikap bersama. Contoh alasan pertama dapat pula dipakai sebagai contoh untuk alasan yang kedua, karena orang yang menjadi panutannya setuju dengan tindakan mengambil semua buah kedawung yang tua di hutan tanpa menyisakan sebagian buah tua untuk regenerasi kedawung. Hal ini sesuai menurut Koentjaraningrat (1974), bahwa konsep panutan ke atas masih dominan di kalangan masyarakat Indonesia. Konsep seperti itu mendorong seseorang untuk menghindari perbedaan pendapat dengan panutannya. Alasan ketiga adalah yang paling dominan pada masyarakat pendarung, yaitu adalah masalah kebijakan pengelolaan taman nasional yang membatasi hak masyarakat akses ke sumberdaya hayati taman nasional dengan alasan perlindungan dan pelestarian potensi sumberdaya hayati. Pengalaman yang berharga tentang domestikasi dan budidaya kedawung adalah yang dilakukan oleh konsorsium FAHUTAN IPB LATIN bersama masyarakat pendarung pada areal demplot 7 ha pada tahun Kedawung yang ditanam pada periode 4 tahun pertama ternyata pertumbuhan anakannya sangat cepat yaitu mencapai 7 m lebih seperti ditunjukkan grafik pada Gambar 28. tinggi (cm) umur (tahun) Series1 Gambar 28. Pertumbuhan pohon kedawung yang kerdil, sejak ditanam tahun 1994 dengan jarak tanam yang rapat 6 m x 5 m Setelah tahun ke 4 dan selanjutnya pertumbuhan tinggi maupun diameternya sangat lambat atau kerdil. Hal ini karena jarak tanam kedawung terlalu rapat (6 m x 5 m), sehingga terjadi persaingan antar spesies yang sama, maupun dengan spesies pohon trembesi (Enterolobium saman PRAIN) yang sama-sama ditanam pada tahun 1994, seperti dapat dilihat pada Gambar 29 berikut ini : 97

117 Gambar 29. (a) (b) Pohon kedawung umur 3 tahun (a); dan pohon kedawung tumbuh kerdil berumurr 12 tahu dg tingginya hanya 8,5 meter (b) Pengalaman pada demplot 7 ha ini menunjukkan bahwa stimulus alamiah kedawung di hutan alam belum dapat dipahami dengann baik, terutama oleh Konsorsium FAHUTAN IPB - LATIN dan pengelola pada tahun 1994 waktu itu. Padahal di hutan alam fenomena alamiah ini sangat jelas ditunjukkan oleh kedawung, yaitu tidak adanya anakan kedawung yang bisa tumbuh dan hidup di sekitar pohon induknya. Jarak antar individu pohon kedawung di hutan alam yang paling dekat yang pernah dijumpai adalah sekitar 30 m dan kejadian ini sangat jarang. Padaa kondisi normal pohon kedawung yang berumur 10 tahun tingginya dapat mencapai 15 meter atau lebih seperti terlihat pada Gambar 30. Hal ini karena tempat tumbuhnya terbuka dan tidak ternaungi, sehingga mendapat cahaya yang cukup untuk kebutuhan hidupnya. Dalam masyarakat sendiri belum berkembang proses pembelajaran mandiri tentang budidaya kedawung di hutan alam. Hal ini terjadi karena banyak faktor penyebab, tetapi paling tidak hal ini didorong dan suatu refleksi sikap masa bodoh dari komponen sikap affective dari masyarakat pendarung yang telah tertanam dipikiran masyarakat sejak dahulu. Kebijakan pengelolaan TNMB telah menutup akses masyarakat terhadap sumberdaya hayati taman nasional. Masyarakat pendarung kedawung merasa tidak memilikii hutan Meru Betiri lagi seperti terungkap dari pernyataan mereka bahwa alas iku duwek e londo (hutan ini milik Belanda); di masaa Perhutani: alas iku duwek e mandor (hutan ini milik 98

118 mandor), dan masa pengelolaan Taman Nasional alas iku duwek e PA (hutan itu miliknya taman nasional). (a) (b) Gambar 30. Pohon kedawung umur 10 tahun tumbuh di lahan rehabilitasi TNMB (a) dan pohon kedawung berumur 10 tahun yang ditanam di kampus IPB Darmaga Bogor yang ditanam pada tahun 1995 (b). 5. Ketidak-sejalanan stimulus dengan aksi konservasi pengelola Secara keseluruhan stimuluss kedawung yang sedang terjadi di hutan alam belum berjalan simultan dengan aksi konservasi oleh pengelola. Berdasarkan 6 pernyataan aksi konservasi kedawung yang diartikulasikan sesuai dengan pernyataan stimulus alamiah kedawung tentang kelangkaan, kondisi populasi dan regenerasinya, ternyata seperti yang ditunjukkan pada Gambar 31 tidak satupun pernyataan yang disikapi dan dilakukan positif oleh pengelola. Patroli dan larangan masyarakat masuk hutan, menjadi kegiatan penting konservasi yang dilakukan pengelola seperti yang terlihat pada pernyataan nomor 26, padahal ini tidak ada kaitannya dengan stimulus alamiah untuk konservasi kedawung. Masyarakat selama ini terkesan menerima peringatan-peringatan dalam bentuk larangan memasuki kawasan taman nasional. Pengelola selama ini mempersepsikan masyarakat bukan sebagai mitra, bukan sebagai bagian dari subjek taman nasional, masyarakat lebih cenderung dilihat sebagai pelaku perusak 99

119 hutan taman nasional. Walaupun pengelola menganggap penting penyuluhan kepada masyarakat, namun sebenarnya pengelola belum memahami apa substansi penyuluhan yang akan diberikan kepada masyarakat. Ini ditunjukkan melalui respon negatif yang diberikan pengelola, bahwa sebenarnya pengelola belum memahami kebutuhan konservasi kedawung. Aksi Pengelola Aksi Konservasi kedawung yang tidak terkait dengan aksi pengelola 18, 21, 23, 24, 25 dan 26 Keterangan No Pernyataan kebutuhan aksi konservasi kedawung Skor rata2 Sikap*) 18 Menyemaikan atau menyebarkan biji Kedawung di areal hutan alam. 1,6-21 Pohon kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam. 2,9-23 Biji kedawung direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, lalu dikecambahkan. 2,8-24 Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya. 3,2-25 Jarak tanam kedawung di lahan rehabilitasi sebaiknya diperlebar sekurangnya 30 m. 2,8-26 Patroli dan larangan masyarakat masuk hutan, bukan kegiatan penting untuk dilakukan 2,2 - *) + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8) Gambar 31. Aksi pengelola tidak sejalan dengan harapan konservasi kedawung Pernyataan 25 tentang Jarak antar pohon kedawung di lahan rehabilitasi sebaiknya diperlebar/berjauhan, pihak pengelola menyikapinya negatif dan hanya memandang sisi sempit saja, yaitu agar tetelan (istilah masyarakat untuk lahan rehabilitasi) segera tertutup dengan vegetasi, tanpa melihat kualitas apa yang akan terjadi pada tanaman pokok itu sendiri. Pengalaman dan fakta dari demplot kedawung 7 ha menunjukkan bahwa pertumbuhan pohon kedawung lambat dan kerdil. Sampai saat ini pengelola tetap mengharuskan masyarakat melakukan penanaman dengan jarak tanam 6 m x 5 m dan sejak tahun 1999 lebih dari pohon kedawung yang ditanam. Sekiranya pohon kedawung yang ditanam di tetelan (lahan rehabilitasi) tidak segera dijarangi sesuai dengan sifat hidupnya di hutan alam, yaitu hidup soliter dari jenis sesamanya, maka akan terjadi kegagalan pada panen kedawung di masa datang. Secara keseluruhan pengelolapun belum memahami tentang teknologi untuk mempermudah biji kedawung berkecambah, seperti melalui perendaman dengan air panas. Padahal teknologi sederhana ini sudah lama dikembangkan. Juga di 100

120 dalam kalangan pengelola sendiri belum berkembang proses pembelajaran mandiri tentang budidaya kedawung di hutan alam meskipun ada beberapa orang staf taman nasional di Resort Sarongan yang telah berpengalaman dengan teknik mempercepat berkecambahnya biji dengan memotong sedikit ujung biji dengan menggunakan gunting kuku dan persentase berkecambahnya meningkat. Sampai sekarang pola pikir pengelola dalam menjalankan tugas sehariharinya berpegang pada tafsiran peraturan perundangan yang kaku dan sempit. Pengelola masih berpikir pengelolaan taman nasional dan konservasi adalah perlindungan kawasan dan memisahkan masyarakat dengan hutan habitat tempat hidup mereka. Padahal paradigma pengelolaan kawasan konservasi saat ini dan ke depan seharusnya masyarakat lokal sekitar hutan berperan sebagai subjek yang merupakan satu kesatuan sistem pengelolaan kawasan konservasi yang dinamis. 6. Bias stimulus terhadap aksi konservasi masyarakat dan pengelola Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa terjadi bias terhadap pemahaman stimulus kedawung, sehingga aksi konservasi oleh masyarakat maupun aksi konservasi oleh pengelola tidak terjadi atau tidak dilakukan sejalan dengan stimulus kedawung. Bias pemahaman terutama terjadi terhadap stimulus kelangkaan, kondisi populasi dan regenerasinya. Hal ini menunjukan bahwa sinyal tentang kelangkaan tidak menjadi informasi bagi masyarakat dan pengelola yang ditunjukkan oleh kedawung di hutan alam melalui tidak adanya anakan yang hidup dan tumbuh selama lebih dari 10 tahun terakhir. Begitu juga buah kedawung yang tumbuh di pinggir tajuk umumnya diambil masyarakat dan ini sangat sukar bagi masyarakat mengambilnya tanpa melakukan dengan cara memotong cabang atau ranting (seperti pernyataan 19). Artinya sinyal atau fenomena ini menginformasikan bahwa buah kedawung yang tumbuh pada bagian pinggir tajuk terluar sangat berguna bagi pohon kedawung untuk regenerasinya secara alami. Berikut ini penjelasan secara keseluruhan dikemukakan dalam bentuk Gambar 32, bahwa aksi-aksi konservasi yang diharapkan oleh kedawung terjadi, tetapi hal ini tidak dilakukan oleh masyarakat maupun pengelola. 101

121 Aksi masyarakat yg terkait erat harapan konservasi kedawung : 25 Harapan aksi konservasi kedawung Terjadi bias pemahaman stimulus kedawung, sehingga harapan konservasi kedawung tidak sejalan dengan aksi masyarakat dan aksi pengelola : Aksi pengelola Keterangan No Pernyataan Harapan Aksi Konservasi Kedawung Masyarakat*) Pengelola*) 18 Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di areal hutan alam. (-) (-) 19 Buah kedawung yg tergantung di pinggir tajuk tidak semuanya dipungut (-) 0 20 Biji kedawung yang dipanen sendiri selalu ada yang dijadikan bibit. (-) 0 21 Kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam. (-) (-) 22 Ada biji kedawung tercecer diperjalanan di hutan sehabis memanen (-) 0 23 Biji direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, lalu disemaikan. (-) (-) 24 Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya. (-) (-) 25 Jarak tanam kedawung di lahan rehabilitasi diperlebar min. 30 m (+) (-) 26 Patroli dan larangan masuk hutan, bukan kegiatan penting dilakukan 0 (-) Rata-rata 2,6 (-) (-) *) 0 = tidak relevan untuk diujikan + = sangat suka atau suka/setuju ; - = tidak suka atau kurang suka/kurang setuju Gambar 32. Bias pemahaman stimulus kedawung, tidak sejalan dengan aksi masyarakat dan aksi pengelola untuk konservasi kedawung 7. Kerelaan berkorban masyarakat untuk aksi konservasi Penelitian untuk mengkaji stimulus religius apakah telah berperan mendorong sikap masyarakat pendarung untuk aksi konservasi didekati melalui kerelaan berkorban untuk aksi konservasi. Berdasarkan hasil penelitian, secara keseluruhan menunjukkan dengan menguji 7 pernyataan tentang kerelaan berkorban dapat diketahui, bahwa sikap dan aksi masyarakat tidak dilandasi kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung. Artinya nilai-nilai religius dan nilai-nilai sosio-budaya masyarakat tradisional tidak menjadi stimulus bagi kerelaan berkorban untuk aksi konservasi. Pernyataan Biji kedawung yang dipanen, ada yang disisakan/ditinggalkan di hutan menggambarkan bahwa sinyal ini tidak dipahami masyarakat, yaitu bahwa kedawung butuh bijinya disisihkan sebagian kecil untuk sumber bibit di hutan. Dipihak lain bagi masyarakat menganggap bahwa semua biji kedawung 102

122 yang dipanen dapat dijadikan uang. Sangat jarang dengan kesadaran sendiri masyarakat rela menyisihkan sebagian kecil biji untuk dibibitkan. Dari 80 orang responden hanya 3 orang yang membibitkan kedawung dari biji yang mereka panen sendiri. Alasannya adalah karena pohon kedawung masih banyak di hutan dan bisa tumbuh sendiri secara alami. Rincian hasilnya dapat dilihat pada Gambar 33 berikut. Kerelaan berkorban masyarakat Kerelaan berkorban untuk konservasi : Nihil 13, 20, 27, 28, 29, 30 dan 31 Keterangan No Pernyataan kerelaan berkorban masyarakat untuk konservasi Skor rata2 Sikap 13 Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng 1,8-20 Biji kedawung yang dipanen sendiri selalu ada yang dijadikan bibit. 2,3-27 Kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia. 2,3-28 Kedawung ditanam di lahan rehabilitasi tanpa imbalan menanam palawija. 1,4-29 Kedawung ditanam di lahan pertanian hak milik pribadi masyarakat. 1,4-30 Permudaan kedawung di hutan tidak bisa diserahkan kepada alam saja. 2,3-31 Biji kedawung yang dipanen selama ini, ada yang ditinggalkan di hutan 1,8 - Rata-rata 1,9 - + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8) Gambar 33. Kerelaan berkorban masyarakat belum ada untuk konservasi kedawung Masyarakat pendarung tidak ada yang rela memindahkan anakan kedawung yang tumbuh dibawah pohon induknya, kecuali Mbah Setomi. Walaupun mereka mengetahui bahwa biji kedawung di bawah pohon induknya, tidak akan pernah bisa tumbuh menjadi pohon besar, kecuali dipindahkan jauh dari pohon induknya. Masyarakat tidak pernah menanam pohon kedawung di lahan pertanian milik mereka sendiri, karena mereka tahu pohon kedawung yang sudah besar akan banyak mengambil luasan lahan pertanian mereka yang sempit. Hal ini sangat penting diperhatikan oleh pengelola, bahwa agar berhasil konservasi kedawung memerlukan lahan hutan atau perkebunan yang relatif luas. Namun begitu, dapat diketahui bahwa masyarakat pendarung kelas umur diatas 40 tahun lebih rela berkorban untuk konservasi kedawung, sehingga 103

123 penyuluhan dan pendampingan tentang konservasi kedawung perlu diprioritaskan kepada masyarakat kelompok umur muda dibawah 40 tahun. Menurut Quedraogo (1995) nilai-nilai spritual pada masyarakat tradisional sekitar hutan di Afrika Barat sangat mendorong mereka untuk bersikap dan berperilaku untuk aksi konservasi terhadap sejenis pohon kedawung yang nama lokalnya nere (Parkia biglobosa Jack.). Pohon nere mempunyai fungsi spritual, dimana batangnya digunakan sebagai simbol dalam cerita populer dan kepercayaan spritual mereka. Daun nere banyak digunakan dalam upacara keagamaan dan adat, kelahiran, kebangkitan, pemakaman dan pemujaan. Bijinya banyak digunakan untuk ritus dan upacara adat pada hari kelahiran, pesta, hari memakaman dan bagi waris. Nilai-nilai religius inilah yang telah menjadi stimulus kuat bagi sikap dan perilaku konservasi nere dalam masyarakat tradisional Afrika Barat. Mereka sudah sejak turun temurun membudidayakan nere dan bahkan pengetahuan mereka mengenai pemanfaatan biji spesies ini sudah maju sampai kepada proses fermentasi. Walaupun ada tradisi pada masyarakat pendarung yaitu bahwa sebelum mereka berangkat ke hutan, sehari sebelumnya mereka akan membuat acara syukuran di rumah bersama-sama keluarga dan anggota pendarung agar hasil panenan yang bisa dibawa pulang banyak. Namun tradisi religius ini tidak menjadi stimulus bagi sikap dan kerelaan berkorban masyarakat pendarung untuk aksi konservasi. Menurut pengalaman penulis waktu kecil di kampung, kakek dan orangorang tua dulu menanam pohon durian dengan niat untuk anak cucunya agar dapat memanen buah durian dimana mereka hanya berharap pahala dari Tuhan. Begitu juga dari pengalaman masyarakat adat suku Dayak di Kalimantan Barat yang pernah penulis wawancarai pada tahun 2005, bahwa terdapat norma dan hukum adat yang tidak memperbolehkan menebang pohon sialang tempat bersarang lebah madu, karena madu sangat berguna bagi kehidupan mereka. Pohon durian untuk anak cucu, pahala dan pohon sialang tempat bersarang lebah madu, merupakan stimulus untuk pembentukan sikap konservasi bagi orang-orang tua dahulu dan bagi masyarakat adat yang hidup di sekitar hutan 104

124 Berdasarkan uraian tersebut ternyata bahwa stimulus manfaat ekonomi dari kedawung telah mendorong dan menjadi sikap masyarakat pendarung untuk masuk hutan dan memanen buahnya. Namun stimulus manfaat ekonomi ini belum menjadikan bentuk motivasi dar masyarakat untuk berbuat konservasi terhadap kedawung di hutan alam. Hal ini terjadi karena modal sosial, spritual dan nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat sudah mulai menghilang. Menurut Pranadji (2006) tata nilai maju suatu masyarakat yang berkaitan dengan keberlanjutan adalah masyarakat yang memiliki tata nilai dasar kuat yang merupakan gabungan keseluruhan atau beberapa tata nilai maju yang sekaligus membentuk nilai composit (gabungan) masyarakat untuk keberlanjutan. Nilai-nilai religius yang bersifat universal ini, yaitu : (1) rasa malu dan harga diri, (2) kerja keras, (3) rajin dan disiplin, (4) hidup hemat, tidak mubazir dan tidak boros (5) gandrung inovasi, (6) menghargai prestasi,(7) berpikir sistematik, (8) empati tinggi, (9) rasional/ impersional, (10) sabar dan syukur, (11) amanah (high trust), dan (12) visi jangka panjang. Nilai-nilai dasar inilah yang mulai melemah, belum berkelanjutan dan belum terpelihara dan berkembang dalam diri masyarakat. Hal ini terlihat dari sikap dan perilaku mereka antara lain kurang berempati kepada kedawung, tidak punya visi jangka panjang, tidak gandrung inovasi, kurang sabar dan syukur. Kondisi ini terjadi, diduga kuat penyebabnya adalah karena adanya intervensi luar yang telah berlangsung lama dalam masyarakat pendarung. Berkaitan dengan dibatasinya akses masyarakat ke sumberdaya hutan taman nasional yang sudah berlangsung sejak tahun 1929, yaitu sejak ditetapkannya hutan Meru Betiri menjadi hutan lindung sampai sekarang ini. Faktor hak kepemilikan yang sangat mempengaruhi kerelaan berkorban masyarakat untuk aksi konservasi. Hal yang berbeda terjadi di masyarakat adat Pesisir Krui di Lampung yang berhasil melestarikan repong hutan damar mata kucing secara turun temurun. Keberhasilan ini terjadi, karena hak kepemilikan masyarakat adat terhadap sumberdaya hutannya legal dan jelas. Faktor yang bersifat psikis dan sudah melekat pada komponen sikap affective dari kebanyakan masyarakat pendarung adalah antara lain masalah keteladanan dan ketidak keharmonisan hubungan dengan staf taman nasional. 105

125 Ungkapan kekecewaan dan benci yang direfleksikan oleh tetua masyarakat, seperti diungkapkan Mbah Setomi. Petugas PA sejak tahun 1972 mulai melarang dan menyita hasil hutan yang masyarakat bawa dari hutan. Mereka dituduh sebagai tukang ngerusak hutan, tukang membakar hutan, apa saja yang dihasilkan (dibawa) dari hutan akan dirampas semua. Tetapi kalau sudah berwujud uang, petugas juga meminta bagian. Pada tahun 1988 boreg-boreg (cukong-cukong pencuri kayu) kayu jati mulai ada, mereka mendatangi penduduk agar mau ngempleng (mencuri) jati dengan diiming-imingi pendapatan tinggi. Sejak itu pencurian kayu jati mulai marak dan terang-terangan, bahkan sampai ada yang memakai gergaji senso (chain saw. Masyarakat menjadi sangat kecewa, karena pelaku tidak ada yang ditangkap, bahkan mereka kerjasama dengan petugas PA, polisi dan tentara. Akhirnya masyarakat berpikir untuk apa menjaga kelestarian hutan. 8. Kerelaan berkorban pengelola untuk aksi konservasi Berdasarkan hasil penelitian dengan menguji 5 pernyataan tentang kerelaan berkorban dapat diketahui, bahwa sikap dan aksi pengelola tidak dilandasi kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung, maupun kerelaan berkorban untuk masyarakat, seperti ditunjukkan pada Gambar 34. Pernyataan stimulus 2 yaitu : Saat pohon kedawung berbuah, masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya. Sebagaimana telah disebutkan di bagian awal dari bab ini, bahwa pengelola tidak suka masyarakat masuk kawasan hutan, pengelola beranggapan dan memandang masyarakat masuk hutan adalah pelanggaran peraturan perundangan yang berlaku dan masyarakat masih dianggap aktor perusak kawasan hutan taman nasional. Dari pernyataan sikap pengelola ini menunjukkan bahwa pengelola belum rela berkorban dan menyisihkan waktu, tenaga serta pikirannya untuk berpikir dan melakukan penyuluhan, bimbingan dan pendampingan kepada masyarakat. Masyarakat dengan cara demikian dapat tetap melakukan pemungutan buah kedawung secara lestari. Bahkan sekiranya pengelola meminta masyarakat untuk menyebarkan biji kedawung di hutan, maka masyarakat pendarung secara sukarela akan melakukan penyebaran biji kedawung ke tempat terbuka yang jauh dari pohon induknya dan sesuai bagi persyaratan kedawung untuk hidup. 106

126 Kerelaan berkorban pengelola Kerelaan berkorban pengelola tidak ada untuk konservasi : 2, 3, 23, 27dan 30 Keterangan No Pernyataan kerelaan berkorban pengelola untuk konservasi Skor ratarata*) 2 Saat kedawung berbuah, banyak masyarakat masuk hutan untuk memanennya. 2,0-3 Kkedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat. 3,5-27 Kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia. 2,6-28 Kedawung yg ditanam di lahan rehabilitasi dapat imbalan menanam palawija. 3, Permudaan kedawung di hutan alam tidak bisa diserahkan kepada alam saja. 2,6 - Rata-rata 2,9 - *) + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka/tak setuju (<3,8) Gambar 34. Kerelaan berkorban pengelola untuk konservasi kedawung belum terjadi. Sikap*) Hanya sebagian kecil pengelola yang suka dengan masyarakat yang menanam kedawung di lahan rehabilitasi dengan mendapat imbalan menanam palawija. Artinya dalam jangka panjang pengelola sangat khawatir lahan hutan dikuasai oleh masyarakat dan belum rela berkorban untuk membina masyarakat agar resiko yang dkhawatirkan tidak terjadi atau sekecil mungkin terjadi. Ini juga terlihat dalam surat DITJEN PKA 16 Des 1999 no. 1354/DJ-V/KK/1999 kepada Kepala Balai TNMB tentang kegiatan rehabilitasi kawasan butir 3 c alinea (3) Areal rehabilitasi dapat digarap oleh peserta rehabilitasi dalam jangka waktu 3 tahun dan setelah itu peserta harus dengan sukarela meninggalkan kawasan tanpa kompensasi. Begitu juga pernyataan 27, 28 dan 30 yang direspon negatif oleh sebagian besar pengelola menunjukkan bahwa pengelola belum mempunyai kerelaan berkorban untuk aksi konservasi kedawung, yaitu pengelola belum rela berkorban untuk melakukan penyemaian bibit kedawung di hutan alam. Nilai-nilai religius tidak menjadi stimulus bagi kinerja pengelola untuk rela berkorban terhadap aksi konservasi. Hal ini juga dipengaruhi karena rendahnya insentif dan reward yang diberikan negara kepada pengelola selama ini. 107

127 9. Perbedaan pengalaman masyarakat dengan pengelola Berdasarkan hasil penelitian terbukti, bahwa ada perbedaan pengalaman antara masyarakat dengan pengelola, seperti ditunjukkan pada Tabel 16 berikut : Tabel 16. Perbedaan pengalaman masyarakat dengan pengelola tentang kedawung No Pernyataan stimulus dan aksi konservasi kedawung terhadap sikap masyarakat dan sikap pengelola Masyarakat Penge -lola Nilai manfaat ekonomi (stimulus manfaat) 1 Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang telah menghitam Saat pohon kedawung berbuah, masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu + + Nilai manfaat obat (stimulus manfaat) 5 Biji kedawung dipakai sendiri untuk obat sakit perut kembung Biji kedawung selalu ada disimpan di rumah untuk obat Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung Pohon kedawung adalah tumbuhan obat yang banyak khasiatnya. - - Nilai fungsi ekologis (stimulus alamiah) 9 Kedawung banyak tumbuh di lereng bukit yang terjal Kedawung adalah pohon raksasa pengayom tumbuhan lainnya di hutan Kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah madu Kedawung menggugurkan daunnya sebanyak 1 atau 2 kali setahun Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng - + Kondisi populasi dan regenerasi (stimulus alamiah) 14 Anakan kedawung sangat jarang menjadi besar di sekitar pohon induknya Pohon kedawung muda sangat jarang ditemukan di kawasan hutan alam Anakan kedawung hanya hidup di tempat terbuka terkena sinar matahari Kedawung dewasa jauh lebih banyak dibanding pohon mudanya di hutan - - Aksi konservasi kedawung dan kerelaan berkorban 18 Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di areal hutan alam Buah kedawung yg tergantung di pinggir tajuk terluar tidak semuanya dipungut Biji kedawung yang dipanen sendiri selalu ada yang dijadikan bibit Kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam Ada biji kedawung yang tercecer diperjalanan pulang di hutan sehabis memanen Biji direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, lalu disemaikan Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya Jarak tanam Kedawung di lahan rehabilitasi baiknya diperlebar min. 30 m Patroli dan larangan masuk hutan, bukan kegiatan penting untuk dilakukan Pohon kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia Pohon kedawung ditanam di lahan rehabilitasi tanpa imbalan menanam palawija Pohon kedawung ditanam di lahan pertanian hak milik pribadi masyarakat Permudaan kedawung di hutan alam tidak bisa diserahkan kepada alam saja Biji kedawung yang dipanen selama ini, ada yang ditinggalkan di hutan = sangat suka atau suka/setuju - = tidak suka atau kurang suka/setuju/tak tahu Berdasarkan Tabel 16 di atas dapat diketahui bahwa ternyata masyarakat lebih berpengalaman dengan kedawung, masyarakat lebih memahami potensi 108

128 stimulus kedawung, terutama stimulus tentang nilai manfaat ekonomi dan nilai fungsi ekologis. Sebagian masyarakat berpengalaman dalam menyebarkan biji di hutan alam, walaupun mereka melakukannya tidak sengaja atau tidak dengan sadar, yaitu melalui cara tercecernya biji waktu proses pengangkutan di dalam hutan. Hal ini terjadi karena masyarakatlah yang lebih banyak berinteraksi dengan kedawung dan interaksi ini terjadi berulang-ulang setiap tahun, terutama pada saat panen buah kedawung atau saat mereka masuk hutan mengambil tumbuhan obat lainnya. Adanya perbedaan pengalaman antara masyarakat dan pengelola ini, akan menyebabkan perbedaan sikap dan perilaku untuk konservasi kedawung. Pengelola sampai saat ini masih menganggap masyarakat yang masuk hutan memanen buah kedawung adalah pelaku utama yang menyebabkan kedawung menjadi langka. Padahal berdasarkan pengalaman masyarakat malahan sebaliknya, tanpa disadari sebenarnya mereka membantu untuk konservasi kedawung dengan ikut menyebarkan biji di hutan. Oleh karena itu seharusnya pengelola menjadikan kelompok masyarakat pendarung kedawung sebagai pelaku utama dalam konservasi kedawung. Cara ini bisa dilakukan secara sadar, mudah dan murah serta melakukan terlebih dahulu peningkatan kapasitas masyarakat pendarung tersebut. Hubungan sikap-stimulus, erat keterkaitannya dengan keberlanjutan konservasi atau memungkinkan pula putusnya keberlanjutan konservasi tersebut. Sebagai contoh adalah stimulus manfaat ekonomi dari kedawung yang telah membuat sikap masyarakat pada periode Agustus-Oktober secara turun temurun untuk masuk hutan dan memanen buah masak dari tumbuhan obat ini. Semua biji habis mereka jual tanpa ada yang dijadikan bibit (pernyataan stimulus 2 dan 3). Masyarakat pendarung kedawung belum secara sadar untuk menyemaikan biji kedawung di areal hutan yang terbuka dan terkena sinar matahari. Keadaan seperti ini telah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Pengalaman dan perilaku masyarakat pendarung ini kurang tergali oleh pengelola, sehingga pengelola tidak dapat membuat umpan balik (feedback) kepada masyarakat. Misalnya, pengelola belum pernah memberikan penyuluhan kepada masyarakat pendarung agar mau dengan sadar menyemaikan biji kedawung di tempat-tempat terbuka di hutan yang 109

129 berjauhan dari pohon induknya. Hal ini sangat berguna bagi masyarakat pendarung dan generasi penerusnya agar dapat memanen buah kedawung secara berkelanjutan, bahkan dapat meningkatkan hasilnya, karena mereka melakukan intervensi untuk regenerasinya. Berdasarkan hasil analisis data diketahui adanya perbedaan yang nyata pada sikap nilai manfaat obat, sikap terhadap kondisi populasi dan regenerasi, serta sikap dan aksi terhadap kebutuhan konservasi kedawung. Hal ini terjadi pada masyarakat dengan pengalaman lebih dari 10 tahun yang memiliki sikap lebih konservasi. Keadaan ini wajar dalam masyarakat yang normal, karena semakin banyak dan lama pengalaman mendarung kedawung, maka mereka akan semakin memiliki sikap dan aksi konservasi kedawung yang lebih baik. Sikap terhadap nilai manfaat ekonomi, sikap nilai manfaat ekologis dan kerelaan berkorban tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara masyarakat yang sudah lama berpengalaman lebih dari 10 tahun dengan masyarakat yang berpengalaman kurang dari 10 tahun. Hal ini menunjukkan sangat lambatnya perkembangan pengetahuan tentang kedawung dalam masyarakat serta sangat kurangnya informasi tentang kedawung yang sampai kepada masyarakat. Ini dibuktikan dari hasil penelitian bahwa tidak ada penyuluhan maupun program upaya peningkatan pengetahuan kedawung yang dilakukan oleh pengelola kepada masyarakat. Berdasarkan uji Pearson Correlation ditemukan korelasi yang nyata antara umur dan lama pengalaman terhadap sikap konservasi. Semakin tua umur dan semakin lama pengalaman, ternyata sikap, aksi dan kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung semakin besar. Hubungan atau korelasi yang nyata dan positif terjadi antara sikap manfaat obat dengan aksi konservasi kedawung, Hubungan nyata yang positif terjadi pula antara kerelaan berkorban dengan sikap dan aksi konservasi kedawung. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan masyarakat untuk bersikap dan beraksi untuk konservasi kedawung, walaupun hal ini belum cukup memadai untuk mewujudkan tercapainya konsevasi kedawung yang diharapkan. Untuk meningkatkan atau menghilangkan perbedaan ini perlu dilakukan pendampingan kepada mayarakat serta perlu dibangun image bahwa 110

130 hutan Meru Betiri adalah untuk kesejahteraan masyarakat yang perlu dilestarikan agar manfaatnya berkesinambungan. Pandangan (image) bahwa alas iku duwe e pemerintah harus dihilangkan dari pola pikir masyarakat, dan diganti dengan hutan ini modal dasar dan utama untuk terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang harus dikonservasi dan dikembangkan nilai tambahnya oleh masyarakat untuk masyarakat bersama-sama dengan pengelola. 10. Ketidak-sejalanan stimulus terhadap sikap dan aksi konservasi masyarakat dan pengelola Berdasarkan hasil penelitian ternyata, bahwa perilaku masyarakat dan pengelola tidak sejalan dengan kebutuhan konservasi kedawung yang seharusnya dilaksanakan simultan sesuai dengan kaedah keterkaitan dan kesejalanan stimulus, sikap dan aksi konservasi. Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 35 diketahui bahwa terjadi bias pemahaman stimulus kedawung oleh masyarakat maupun oleh pengelola. Sebanyak 9 aksi konservasi dan kerelaan berkorban yang diharapkan kedawung untuk dilakukan, yang direfleksikan terutama dari stimulus alamiah tentang kelangkaan, kondisi populasi dan regenerasi, ternyata masyarakat maupun pengelola tidak dilakukan. Artinya bahwa informasi yang dikeluarkan kedawung yang sedang terjadi di kawasan hutan alam, belum menjadi stimulus pendorong bagi sikap maupun aksi konservasi oleh masyarakat maupun oleh pengelola. Masyarakat hanya memahami informasi dan menyukai pernyataan 16 bahwa, Anakan kedawung hanya hidup di tempat terbuka terkena sinar matahari tetapi stimulus ini tidak secara simultan mendorong aksi konservasi oleh masyarakat. Padahal sesuai dengan harapan kedawung dari sinyal atau informasi yang ditunjukkannya terutama melalui kondisi populasinya seharusnya masyarakat pendarung ataupun pengelola rela berkorban untuk memindahkan anakan kedawung yang tumbuh di bawah pohon induknya atau menyemaikan bijinya di areal-areal yang terbuka terkena langsung sinar matahari dan yang berjauhan dari pohon induknya. Ada tiga pernyataan penting (yaitu nomor 14, 15 dan 17) tentang kondisi populasi dan regenerasi kedawung yang dipahami bias oleh masyarakat maupun pengelola, sehingga sikap dan aksi konservasi kedawung tidak berjalan. 111

131 Perbedaan stimulus kedawung dengan sikap dan aksi masyarakat dan pengelola dapat digambarkan sebagai berikut. Sikap dan Aksi masyarakat yg terkait erat harapan konservasi kedawung : 16, 22 Harapan aksi konservasi kedawung Terjadi bias pemahaman stimulus kedawung, sehingga sikap dan aksi masyarakat atau pengelola untuk konservasi tidak berjalan : 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 24, 26 Sikap dan aksi pengelola Keterangan No Pernyataan stimulus kelangkaan (kondisi populasi dan regenerasi) Masyarakat Pengelola 14 Anakan kedawung sangat jarang menjadi besar di sekitar pohon induknya Pohon kedawung muda sangat jarang ditemukan di kawasan hutan alam Anakan kedawung hanya hidup di tempat terbuka terkena sinar matahari Kedawung dewasa jauh lebih banyak dibanding pohon mudanya di hutan - - Pernyataan Aksi Konservasi Kedawung 18 Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di areal hutan alam Buah kedawung yg tergantung di pinggir tajuk tidak semuanya dipungut Biji kedawung yang dipanen sendiri selalu ada yang dijadikan bibit Kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam Ada biji kedawung yang tercecer diperjalanan di hutan sehabis memanen Biji direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, lalu disemaikan Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya Jarak tanam kedawung di lahan rehabilitasi baiknya diperlebar min. 30 m Kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia. - - Keterangan : 0 = tidak relevan untuk diujikan ; + = sangat suka atau suka/setuju; - = tidak suka atau kurang suka/setuju Gambar 35. Bias pemahaman stimulus kedawung, sikap dan aksi pendarung atau pengelola untuk konservasi tidak berjalan simultan Kegiatan penjarangan pohon kedawung di lahan rehabilitasi adalah sekaligus merupakan kegiatan pemuliaan kedawung dengan melakukan seleksi pohon-pohon yang berkualitas. Penampakan morfologi pohon kedawung yang unggul dapat didekati dari tinggi, percabangan dan luas tajuknya. Pohon unggul diharapkan dapat menghasilkan buah yang lebih banyak. Hal ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan Etherington (1975) dalam bukunya Environment and Plant Ecology dan hasil penelitian Rinekso (2000) di TNMB. 112

132 Masyarakat dan atau pengelola tidak menjalankan ke-13 aksi dari 14 aksi konservasi penting yang dibutuhkan kedawung. Pada Gambar 36 dikemukakan bagan alir stimulus kedawung, sikap dan aksi konservasi kedawung yang seharusnya simultan terjadi. Akan tetapi hal itu tidak terjadi, padahal itu sebagai prasyarat terwujudnya konservasi kedawung di hutan alam. Variabel bebas Stimulus Alamiah Kelangkaan, kondisi populasi dan regenerasi : (14) Anakan Kedawung sangat jarang tumbuh menjadi besar di sekitar pohon induknya, (15) Pohon Kedawung yang masih kecil/ muda sangat jarang ada di kawasan hutan alam, (16) Anakan Kedawung hanya hidup dan tumbuh di tempat terbuka terkena sinar matahari, (17) Pohon Kedawung dewasa jauh lebih banyak dibanding pohon mudanya di hutan alam; Fungsi ekologis: (9) Pohon Kedawung banyak tumbuh di lereng bukit terjal, (10) Kedawung merupakan pohon besar dan tinggi pengayom berbagai jenis tumbuhan hutan lain, (11) Pohon Kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah madu, (12) Pohon Kedawung gugurkan daunnya sebanyak 1 atau 2 kali setiap tahun; (13) Buah Kedawung yang muda menjadi bahan makanan satwa budeng; Stimulus Manfaat Manfaat ekonomi (1) Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang telah menghitam, (2) Saat pohon Kedawung berbuah, banyak masyarakat masuk hutan memanen buahnya; (3) Pohon Kedawung di hutan sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat; (4) Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu Manfaat obat (5) Biji Kedawung disangrai berkhasiat untuk mengobati sakit perut kembung ; (6) Biji kedawung disimpan di rumah untuk obat (7) Pohon Kedawung adalah tumbuhan obat yang banyak khasiatnya; (8) Biji Kedawung disangrai suka dipakai sendiri untuk obat sakit perut kembung, Stimulus Religius (termasuk nilai sosio-budaya) Stimulus ini berpengaruh atau tidak kepada sikap, dinilai dari pendekatan dan refleksi dari kerelaan berkorban untuk konservasi (pernyataan no. : 18, 19, 27, 28, 31) Sikap Variabel tak bebas Aksi dan Kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung (18) Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di areal hutan alam, (19) Buah kedawung yang tergantung di pinggir tajuk terluar tidak semuanya dipungut, (20) Biji kedawung yang dipanen sendiri ada yang dijadikan bibit, (21) Pohon kedawung saat ini perlu penanaman di hutan alam, (22) ) Ada biji yang tercecer diperjalanan pulang di hutan sehabis memanen, (23) Biji kedawung direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, kemudian disemaikan, (24) Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya. (25) Jarak tanam kedawung di lahan rehabilitasi diperlebar minimal 30 m. (26) Patroli dan larangan masyarakat masuk hutan, bukan kegiatan penting untuk dilakukan (27) Pohon Kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia. (28)Pohon kedawung ditanam di lahan rehabilitasi tanpa imbalan menanam palawija. (29) Pohon kedawung ditanam di lahan pertanian hak milik masyarakat. (30)Permudaan kedawung di hutan alam tidak bisa diserahkan kepada alam saja. (31) Biji kedawung yang dipanen selama ini, ada yang ditinggalkan sengaja di hutan untuk sumber bibit Gambar 36. Bagan ketidak-sejalanan stimulus dengan sikap dan aksi pendarung dan pengelola untuk konservasi kedawung (yang digaris bawah). Pernyataan yang digaris bawah, artinya pernyataan yang disikapi positif dan dilakukan oleh masyarakat pendarung maupun oleh pengelola. 113

133 B. Ketidak-berlanjutan Pengetahuan Lokal Salah satu hipotesis penelitian ini adalah bahwa konservasi kedawung dan hutan yang dikenal hari ini adalah merupakan suatu estafet local and traditional knowledge dari sustainability domestication of plant resources yang merupakan suatu proses evolusi tumbuhan dengan masyarakat dalam ekosistem atau habitatnya (Harris dan Hillman, 1989). Dalam hal ini evolusi merupakan suatu proses pembelajaran bagi masyarakat terhadap tumbuhan liar dan suatu habitat hutan alam yang secara berkelanjutan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Pada masyarakat hutan Meru Betiri, ini sukarnya proses konservasi yang terjadi masa ini adalah tidak lain karena proses pembelajaran dari masa lalu tidak bersambung ke masa kini. Daya kreativitas dan kemandirian masyarakat untuk berinovasi dalam konservasi kedawung atau dalam peningkatan nilai tambah produknya selama ini tidak berkembang atau stagnant. Mereka hanya sebagai pengumpul biji (gather) dan menjualnya kepada tengkulak yang datang ke rumah mereka. Proses ini telah berlangsung secara turun temurun selama lebih dari 50 tahun tanpa ada perubahan atau kemajuan dari kearifan masyarakatnya. Sebelum konsorsium IPB dan LATIN pada tahun 1994 melakukan pendampingan terhadap masyarakat pendarung, ternyata mereka belum pernah melakukan pembibitan dan budidaya kedawung. Masyarakat pendarung dari kelompok umur di bawah 40 tahun dibanding dengan umur di atas 40 tahun, ternyata memiliki perbedaan sikap yang nyata, dimana masarakat yang berumur di atas 40 tahun memiliki sikap dan perilaku untuk aksi konservasi yang lebih baik. Ini menunjukkan bahwa komponen cognition yaitu pengetahuan lokal dan pengalaman tentang kedawung kurang memadai di dalam diri individu pendarung, terutama kelompok yang berumur di bawah 40 tahun. Hasil analisis data juga menunjukkan bahwa pendidikan dasar formal bagi masyarakat pendarung kedawung tidak berpengaruh nyata terhadap sikap, aksi maupun kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung. Berdasarkan analisis ini terlihat pendidikan sekolah dasar belum berperan sebagai agen untuk memelihara keberlanjutan pengetahuan lokal bagi anak-anak generasi mudanya. Ini diperkuat dengan hasil wawancara dengan anak-anak SD Curahnongko, bahwa ternyata 114

134 mereka banyak tidak tahu tentang hutan Meru Betiri, apalagi tentang kedawung, umumnya mereka tidak tahu. Hal ini menggambarkan bahwa pendidikan formal di sekolah sudah tidak mengaitkan materi kurikulum lokalnya dengan menggunakan contoh-contoh potensi sumberdaya alam lokalnya. Tidak ada perbedaan nyata dari sikap dan aksi konservasi antara masyarakat yang bapaknya pendarung kedawung dengan bukan pendarung kedawung. Malahan sebaliknya, perbedaan yang nyata aksi konservasi kedawung terjadi pada masyarakat yang bapaknya bukan sebagai pendarung kedawung, yaitu lebih bersikap konservasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat tidak terjadi keberlanjutan pengetahuan lokal tentang konservasi kedawung dari bapak ke anak. Berdasarkan wawancara terbuka dengan masyarakat, diketahui tidak adanya keberlanjutan pengetahuan lokal masyarakat yang memadai untuk meningkatkan nilai tambah kedawung di dalam kelompok mereka. Sebagai contohnya, bahwa mereka sampai saat ini belum mengetahui teknologi pengolahan biji kedawung menjadi camilan biji kedawung yang gurih, seperti dilakukan oleh masyarakat Jawa di Probolinggo. Camilann biji kedawung sering dijual oleh pedagang asongan di terminal bus Probolinggo. Bagi masyarakat sekitar hutan di Afrika Barat makanan yang namanya Dadawa yang terbuat dari hasil fermentasi biji sejenis kedawung (Parkia biglobosa) sangat terkenal, seperti contoh dapat dilihat pada gambar berikut : Gambar 37. (a) (b) Biji kedawung yang diolah menjadi camilan biji kedawung yang gurih dijual pedagang asongan di Probolinggo (a); Dadawaa makanan khas masyarakat Afrika yang terbuat dari biji Parkia biglobosa (b) 115

135 Penelitian tentang ketidak-berlanjutan pengetahuan lokal tentang kedawung ini bukanlah menjadi lingkup penelitian ini. Tetapi faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak-berlanjutan pengetahuan lokal tersebut dapat diduga, yaitu (1) karena terjadi alih generasi dan intervensi informasi global, (2) kedawung bukan menjadi komoditi utama ekonomi masyarakat pendarung, (3) telah terjadi lama intervensi luar terutama kebijakan pengelolaan taman nasional yang membatasi akses masyarakat kepada sumberdaya TNMB. 1. Alih generasi dan intervensi informasi global Hasil analisis data menunjukkan adanya perbedaan respon setiap kelas umur responden terhadap 5 kelompok pernyataan : yaitu sikap nilai manfaat ekonomi, sikap nilai manfaat obat, sikap nilai manfaat ekologis, sikap terhadap kondisi populasi dan regenerasi kedawung, aksi konservasi kedawung dan kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung. Sikap terhadap nilai manfaat ekonomi dan nilai manfaat ekologis tidak berbeda nyata antara masyarakat kelompok umur di bawah 40 tahun dengan kelompok umur di atas 40 tahun. Walaupun hubungan kelas umur dengan sikap manfaat ekonomi tidak nyata, tetapi ada kecenderungan bahwa masyarakat yang berumur di bawah 40 tahun semakin respon terhadap stimulus manfaat nilai ekonomi. Begitu juga kelas umur tidak berhubungan nyata dengan sikap manfaat ekologis, namun begitu masyarakat kelas umur di atas 40 tahun cenderung lebih respon terhadap stimulus manfaat ekologis kedawung. Sikap terhadap nilai manfaat obat berbeda nyata pada kelas umur pendarung, begitu juga ada korelasi yang nyata antara kelas umur dengan sikap manfaat obat. Masyarakat pendarung kelas umur di atas 40 tahun lebih merespon stimulus nilai manfaat obat. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat generasi muda sudah mulai berkurang pengetahuan mereka tentang manfaat obat kedawung. Generasi muda sudah tidak menggunakan lagi biji kedawung untuk mengobati sakit perut dan beralih ke obat produk industri farmasi yang dijual bebas di warung. Nasehat dan tradisi orang-orang tua agar tetap menggunakan biji kedawung untuk obat sakit perut dianggap generasi muda suatu yang sudah kuno, 116

136 tidak praktis, terbelakang dan berbagai alasan lain. Faktor penyebabnya, diduga generasi muda banyak dipengaruhi oleh informasi global yang menganggap obat kedawung sudah kuno. Pemikiran dan temuan di atas ternyata bahwa keberlanjutan awal evolusi pertanian masyarakat hutan dan masyarakat kecil dalam era globalisasi telah mengalami intervensi. Hal ini menimbulkan gangguan untuk tumbuh dan berkembangnya pengetahuan lokal yang belum mudah dapat bersambung dengan nilai-nilai moderen dan global, bahkan sering nilai-nilai global terputus dengan nilai-nilai pengetahuan lokal dan atau tradisional. Pengetahuan moderen yang berkembang di masyarakat Indonesia sekarang ini banyak terputus dari jatidiri dan sumberdaya alam lokal sekitarnya. Seharusnya adalah ideal sekali apabila evolusi pertanian dari masyarakat hutan yang di dalamnya mengandung muatan nilainilai pengetahuan lokal dan atau tradisional berlanjut dan bersambung ke era Global yang moderen, sehingga keberlanjutan keanekaragaman hayati, kedirian dan kekhasan setiap daerah tetap terpelihara, terajut dan terbangun sebagai prasyarat terwujudnya kemandirian bangsa. 2. Keanekaragaman hayati yang tinggi Tingginya keanekaragaman hayati hutan hujan tropika di kawasan hutan TNMB, menjadikan banyak pilihan bagi masyarakat pendarung untuk memanfaatkannya. Faktor ini diduga akan dapat mempengaruhi dan melonggarkan daya juang dan semangat masyarakat pendarung untuk menggali, mengembangkan dan memelihara pengetahuan lokal mereka tentang nilai tambah kedawung. Hal ini berbeda dengan masyarakat tradisional yang hidup di hutan sub tropika di Afrika Barat, dimana keanekaragaman hayati tumbuhannya sangat terbatas, sehingga faktor ini sangat mempengaruhi budaya, sikap dan perilaku masyarakatnya untuk bertahan hidup, terutama untuk mempertahankan, menggali dan mengembangkan pengetahuan lokal mereka terhadap sumberdaya hayati tumbuhan nere (Parkia biglobosa) yang menjadi salah satu komoditi ekonomi andalan bagi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lama waktu dan frekuensi interaksi masyarakat pendarung di TNMB dengan kedawung efektifnya berkisar antara 1 sampai 2 bulan setiap tahunnya, yaitu pada saat kedawung sudah berbuah 117

137 masak siap panen, terutama pada bulan September dan Oktober. Hal ini juga diduga dapat mempengaruhi terpecahnya konsentarasi belajar masyarakat pendarung di alam. Selain tumbuhan obat kedawung, masyarakat pendarung juga banyak mengambil buah kemiri (Aleurites moluccana), buah pakem (Pangium edule), buah kemukus (Piper cubeba), buah joho lawe (Terminalia balerica), buah joho keling (Vitex quinata), buah kapulaga (Amomum cardonomum), buah cabe jawa (Piper retrofractum), buah serawu (Piper canimum), buah bendoh (Entada phaseoloides), kulit batang pule (Alstonia scholaris), buah arjasa (Agenandra javanica) dan buah pinang (Areca catechu). Masyarakat pendarung juga umumnya mengambil madu hutan. Dengan beranekaragamnya hasil hutan non kayu yang dipungut masyarakat setiap tahun seperti disebut di atas, juga dapat memecahkan konsentrasi dan perhatian masyarakat pendarung terhadap kedawung. Pengetahuan tradisional masyarakat di Afrika tentang manfaat dan pengolahan produk kedawung jauh lebih lengkap, lebih berkembang dan lebih maju dibanding masyarakat TNMB. Hal ini dapat dipahami karena perbedaan budaya dan adanya keanekaragaman tumbuhan di ekosistem savana di Afrika yang jauh lebih sedikit dibanding ekosistem hutan hujan tropika TNMB. Masyarakat Afrika tidak punya banyak pilihan spesies bermanfaat lainnya, sedangkan yang dimiliki masyarakat TNMB memiliki banyak pilihan, seperti yang telah diungkapkan di atas. Dapat dipastikan proses trial and error terhadap spesies kedawung ini pada masyarakat Afrika Barat jauh lebih intensif terjadi dan dalam waktu panjang. Masyarakat Afrika Barat memandang tumbuhan pohon sejenis kedawung (Parkia biglobosa) merupakan pohon yang dianggap sakral. Ada kaitan yang erat antara kedawung dengan budaya masyarakat lokal di Afrika Barat, contohnya pohon kedawung biasa digunakan untuk kegiatan upacara perkawinan, upacara menyambut kelahiran bayi, upacara sunatan, upacara kematian, bahan untuk hadiah (gift), upacara agama sehubungan dengan informasi pertanian. Misalnya di Gambia : kalau buahnya tergantung dipercabangan yang rendah, berarti kurang menguntungkan pertanian, yaitu menunjukkan kurang hujan. Sebaliknya kalau 118

138 buahnya tergantung tinggi memberi sinyal baik untuk kegiatan pertanian yang menunjukkan banyak hujan. Hal ini dapat dimaklumi karena Afrika merupakan daerah kering (Quedraogo, 1995 dan Hall, et al., 1997). Budaya seperti ini, bagi orang Indonesia belum ada yang melaporkan secara tertulis, apakah budaya ini belum pernah ada atau memang sudah pernah ada, lalu terjadi ketidak-berlanjutan pengetahuan lokal dan tradisional dalam masyarakat Indonesia? 3. Intervensi dari kebijakan pengelolaan Genetik tumbuhan, habitat serta budaya masyarakat tak dapat dipisahkan satu sama lain serta sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia sejak awal keberadaannya di muka bumi. Sayangnya hubungan kehidupan seperti itu tak dapat berlanjut karena adanya proses intervensi (Harris dan Hillman, 1989). Ketidak-berkelanjutan pengetahuan lokal dan proses pembelajaran terhadap sumberdaya genetik yang ada di TNMB antara lain karena terjadi proses intervensi yang mengakibatkan putusnya rantai evolusi genetik, sehingga kehidupan terkini kehilangan arah kelanjutan dan tidak dapat dipahami lagi oleh masyarakat generasi muda. Selain intervensi global yang saat ini terus berjalan tanpa terkendali, terutama melalui media massa. Sesungguhnya juga terjadi intervensi luar yang secara langsung telah lama terjadi dan telah memisahkan masyarakat dengan hutan, yaitu dimulai sejak ditetapkannya hutan Meru Betiri sebagai hutan lindung di zaman penjajahan Belanda pada tahun 1938, kemudian tahun 1972 oleh pemerintah RI dirubah menjadi hutan suaka margasatwa untuk konservasi harimau jawa, tahun 1982 ditetap sebagai calon taman nasional dan terakhir tahun 1997 sebagai taman nasional. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang dibuat selama ini yang lebih banyak memisahkan hutan secara fisik dengan kehidupan masarakat lokal, tujuan ideal dari konservasi hutan dari suatu taman nasional sampai saat ini tidak atau belum dapat terwujudkan. Transformasi nilai-nilai baru ke dalam kehidupan kelompok masyarakat pendarung dan kelompok masyarakat lain sekitar hutan telah mengubah sikap mereka terhadap kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai baru yang tidak ada berkaitan dengan kedawung oleh sebagian masyarakat banyak diadopsi sehingga terjadi 119

139 gesekan nilai-nilai diantara generasi muda dan generasi tua yang masih menyimpan kearifan terhadap stimulus alam yang terdapat di sekitar lingkungan hidupnya. Selain itu nilai-nilai yang dikembangkan oleh pemegang kebijakan dalam kehutanan (terutama kebijakan baru tentang didirikannya taman nasional) tidak bisa dipahami oleh masyarakat, tanpa ada upaya menyambungkan persamaan nilai tradisional dan nilai-nilai baru tersebut. Sejak hutan Meru Betiri ditetapkan oleh pemerintah Belanda sebagai hutan lindung pada tahun 1938, kemudian menjadi suaka margasatwa dan taman nasional oleh pemerintah Indonesia, maka akses masyarakat lokal secara legal ke sumberdaya hutan menjadi hilang. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pola pikir, pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan umumnya dan khususnya terhadap kedawung. Diubahnya hutan alam menjadi hutan jati pada tahun 1967 tersebut, maka akses masyarakat ke hutan alam semakin sulit dan memerlukan pengorbanan waktu dan tenaga yang lebih besar. Kondisi ini sudah merubah lingkungan hidup menjadi asing bagi mereka. Kesempatan bagi orang tua untuk mentransfer pengetahuan tradisionalnya kepada anak-anaknya semakin kecil. Hal ini diduga dapat mempengaruhi ketidak-keberlanjutan pengetahuan tradisional masyarakat mengenai keanekaragaman hayati hutan bagi generasi anak-anak mereka. Penanaman pohon jati secara besar-besaran di sepanjang perbatasan hutan alam yang memanjang dari arah Barat ke Utara sekitar 30 km dengan lebar sekitar 500 m, juga telah memisahkan kampung masyarakat dengan kawasan hutan taman nasional, seperti ditunjukkan pada Gambar 38. Hutan jati ini pada tahun semasa era reformasi terjadi penebangan besar-besaran secara illegal oleh masyarakat. Pada lahan inilah yang oleh masyarakat dinamai dengan tetelan. Sejak tahun 1999 pengelola taman nasional bekerjasama dengan KAIL melakukan program rehabilitasi bersama masyarakat dengan tanaman pokok utamanya adalah kedawung. 120

140 Gambar 38. Sketsa areal hutan alam yang dibabat dan diganti menjadi hutan jati prosesnya mulai tahun 1955 sampai 1967 (areal yang diarsir hitam tua), kemudian tahun 2000 dijadikan areal rehabilitasi (tetelan) setelah terjadi illegal logging pada tahun C. Masalah Kebijakan Pengelolaan 1. Peraturan perundangan Paling tidak ada 12 peraturan perundangan yang penting terkait dan mendasari kebijakan pengelolaann taman nasional, khususnya yang mengatur peran serta masyarakat. Peraturan perundangann yang ada cukup banyak, namun implementasinya di lapangan masih sangat minim dilakukan. Hal ini banyak yang menjadi kendala, antaraa lain yang terkait dengan kapasitas staf pengelola yang belum banyak memahami substansi peraturan perundangan, kecuali substansi yang berkaitan dengan larangan-larangan dan sangsi. Berdasarkan analisis kandungan peraturan perundangan dengan tri- stimulus amar konservasi dapat diketahui bahwa substansi yang berkaitan umumnya adalah mengenai stimulus alamiah, namun substansi yang berkaitan stimulus manfaat dan stimulus religius dapat diketahui masih sangat kurang. Sikap pemerintah sebagai pengelola TNMB yang dicerminkan dari semua peraturan perundangan terkait dan kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan tidak mencerminkan kristalisasi sikap dan perilaku tri-stimulus amar konservasi. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan perundangan selama ini dibuat kurang berdasarkan penafsirann dari faktaa lapangan yang dihasilkan dari hasil-hasil 121

141 penelitian yang grass root. Tidak terjadi kelanjutan proses evolusi berpikir yang runut, sistematis dan dari pembuatan undang-undang ke peraturan pemerintah, dan dari peraturan pemerintah ke peraturan menteri dan seterusnya, sehingga akhirnya menghasilkan alat yang tidak operasional di lapangan. Kelompok stimulus alamiah yang sudah menjadi sikap konservasi pemerintah umumnya bersifat aksi perlindungan yang sangat makro dan kegiatan perlindungan ekosistem yang menjauhkan dari campur tangan masyarakat kecil, seperti masyarakat pendarung kedawung. Sedangkan stimulus manfaat, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat lokal dan stimulus religius yang berkaitan dengan nilai-nilai religius dan nilai-nilai sosio-budaya masyarakat setempat/tradisional yang berpotensi sebagai modal sosial untuk mendorong kerelaan berkorban bagi konservasi, belum menjadi sikap dan belum menjadi perhatian pemerintah yang jelas dan tegas di dunia praktis. Tabel 17 berikut ini menunjukkan analisis kandungan tri-stimulus amar konservasi dalam peraturan perundangan yang terkait dengan kebijakan pengelolaan taman nasional dan peran serta masyarakat, yaitu sebagai berikut : Tabel 17. Hasil analisis kandungan tri-stimulus amar konservasi dengan peraturan perundangan yang terkait dengan kebijakan pengelolaan taman nasional dan peran serta masyarakat S t i m u l u s No UU, PP atau SK Menhut Alamiah Manfaat Religius 1. UU No. 05 Tahun 1990 : Konservasi Sumber Daya Alam hayati kuat lemah cukup dan Ekosistemnya 2. UU No. 24 Tahun 1992 : Penataan Ruang cukup cukup lemah 3. UU No. 23 Tahun 1997 : Pengelolaan Lingkungan Hidup kuat cukup cukup 4. PP No. 68, 1998 : Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam kuat lemah lemah 5. UU No. 41 Tahun 1999 : Kehutanan cukup cukup 1) cukup 6. PP No. 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar cukup lemah lemah 7. PP Nomor 34 Tahun 2002 : Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Peng. cukup cukup 1) lemah Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan 8. Surat Keputusan Menhut No. 6186/ Kpts.-II/ Juni 2002 cukup lemah lemah Organisasi dan Tatakerja Balai Taman Nasional. 9. UU No. 20 Tahun 2003 : Sistem Pendidikan Nasional cukup cukup kuat 10. UU No. 32 Tahun 2004 : Pemerintahan Daerah lemah cukup lemah 11. Peraturan Menhut, No. : P.01/Menhut-II/2004 : Pemberdayaan Masyarakat cukup kuat cukup Setempat di dalam atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry 12. Peraturan Menhut No. : P.19/Menhut-II/2004 Kolaborasi cukup lemah 2) lemah Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam 13. Peraturan Menteri Kehutanan No: P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional kuat cukup cukup Keterangan: 1) terkendala dengan UU no. 5 th dan PP No. 68 th.1998 : Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam 2) bisa negatif atau merugikan masyarakat 122

142 Stimulus manfaat kawasan taman nasional bagi masyarakat lokal terkendala dengan UU no. 5 tahun 1990 dan PP No. 68 tahun 1998, yaitu ditutupnya akses masyarakat untuk memanfaatkan secara lestari sumberdaya hayati yang ada dalam kawasan. Begitu juga mengenai stimulus religius belum secara jelas atau belum secara eksplisit dimuat di dalam peraturan perundangan yang ada, kecuali dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hasil analisis kandungan selengkapnya dimuat pada Lampiran 13. Dari hasil analisis kandungan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan taman nasional yang dibuat mulai tahun 1990 sampai tahun 2006 dapat diketahui tidak terjadi keberlanjutan berpikir yang sistematis. Tidak terjadi pendalaman substansi yang runut yang lebih operasional, lebih sesuai dan lebih mendukung kondisi sosio-bioekologi lapangan. 2. Kegiatan pengelolaan Konservasi TNMB sekarang ini dirasakan gagal, hal ini disebabkan adanya bias pemahaman stimulus yang berbeda antara masyarakat dan pengelola. Akibatnya program konservasi berlangsung dengan pondasi yang rapuh dan tidak berangkat dari upaya mengatasi akar permasalahan. Konsep sustainability itu sendiri belum pernah terjadi dan diterapkan sepenuhnya di lapangan. Berikut ini dikemukakan analisis kandungan kegiatan pengelolaan TNMB berdasarkan tristimulus amar konservasi pada periode kegiatan yang sudah dilakukan dan yang akan dilakukan. a. Kegiatan pengelolaan tahun Berdasarkan buku laporan Balai Taman Nasional Meru Betiri (2004c), dapat diketahui program kegiatan tahun 1998 sampai Substansi program kegiatan ini dianalisis keterkaitannya dengan stimulus amar, yaitu alamiah, manfaat dan religius dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan konservasi potensi keanekaragaman hayati TNMB, seperti Tabel 18 berikut : 123

143 Tabel 18. Kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan tahun dan keterkaitannya dengan tri- stimulus amar konservasi Aspek Judul kegiatan S.alamiah S. manfaat S. religius 1. Perlindungan Patroli thd pencurian hasil hutan Tak jelas tidak ada Tak ada dan pengamanan Penanganan kebakaran hutan 2. Pemantapan dan Rehabilitasi melalui penanaman Ada Ada Tak ada Pengadaan bibit tanaman untuk rehabilitasi Pendampingan petani kawasan rehabilitasi kawasan Tak jelas Ada Ada Tak jelas Tak jelas Tak ada 3. Pengelolaan keanekaragaman hayati 4. Pengembangan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan 5. Bantuan untuk peningkatan usaha ekonomi masyarakat 6. Penyebaran informasi dan promosi rehabilitasi, dll Inventarisasi burung air Survey potensi vegetasi Identifikasi burung reptor Pembinaan populasi penyu Monitoring satwa dg fototrap Inventarisasi banteng Inventarisasi tumbuhan obat Inventarisasi burung merak, dll Pembinaan kader konservasi dan generasi muda pencinta alam, dll 5 ekor sapi ke masyarakat. tungku untuk masyarakat 1 perahu ke masyarakat 2 mesin perahu keramba kepiting alat-alat pembuat jamu modal grup TOGA etelase utk pemasaran jamu Pembuatan dan penyebaran leaflet, brosur, stiker dan buku Pameran dan ekspose Penyuluhan konservasi sumberdaya alam Pengadaan peta-peta kawasan Tak jelas idem Tak ada idem Tak jelas idem Tak jelas Tak jelas Tak jelas Tak ada Idem Ada Ada Ada Ada Tak jelas Idem Tak jelas Tak jelas Ada Tak jelas Tak ada Idem Tak jelas Tak jelas Tak jelas Tak jelas Berdasarkan informasi pada Tabel 18 di atas dapat diketahui bahwa selama 7 tahun terakhir ada 55 judul kegiatan pengelolaan yang dilakukan, ternyata tidak satupun kegiatan yang dilakukan dengan lengkap sejalan dengan tristimulus amar konservasi (alamiah, manfaat dan religius). Bahkan 65 % dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan sama sekali bias dengan tri-stimulus amar konservasi. Sasaran kegiatan tidak tepat, tidak ada yang fokus kepada pemecahan permasalahan utama lapangan, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan dan manfaat bagi masyarakat lokal. Kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan kapasitas masyarakat lokal, khususnya kepada masyarakat pendarung tumbuhan obat kedawung belum 124

144 pernah dilakukan. Hampir semua kegiatan yang dilakukan tidak berkaitan dengan kehidupan masyarakat sekitar hutan yang sehari-harinya banyak berinteraksi dengan sumberdaya hayati taman nasional, yang seharusnya sangat berkaitan dengan stimulus manfaat. Padahal sumber akar permasalahan konservasi saat ini berasal dari interaksi masyarakat lokal dengan sumberdaya taman nasional yang belum pernah secara tuntas dikaji dan direkayasa agar menjadi interaksi positif yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualistis. Stimulus alamiah, manfaat dan religius (kerelaan berkorban) tidak menjadi pendorong utama dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan kawasan. Penyebaran informasi dan promosi selama ini ditujukan bukan kepada masyarakat lokal, apalagi khususnya kepada masyarakat pendarung kedawung. Substansi informasi dan promosi yang disebarkan sampai saat ini hanya terbatas pada materi objek wisata, dan ditujukan umumnya kepada masyarakat yang hidupnya jauh dari ekosistem taman nasional. Sedangkan hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan kedawung, terutama aspek budidaya dan konservasinya belum disosialisasikan oleh pengelola kepada masyarakat pendarung. Apalagi yang berkaitan dengan IPTEK yang dapat meningkatkan nilai tambah dari hasil sumberdaya hutan yang dipungut masyarakat, belum pernah dilakukan. Pengelola tidak memahami atau tidak merespon apa yang terjadi dengan kelangkaan kedawung di hutan, terlihat tidak ada satupun kegiatan selama 10 tahun terakhir yang berhubungan dengan penyuluhan dan pendampingan masyarakat untuk peningkatan sikap, perilaku dan kapasitas masyarakat bagi pelestarian pemanfaatan kedawung dari hutan alam, kecuali hanya kegiatan penanaman kedawung di kawasan rehabilitasi yang sampai hari ini belum berhasil berbuah. Padahal dengan memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada masyarakat agar setelah memungut buah kedawung, mereka mau membantu menyebarkan segenggam bijinya yang terbaik ke areal-areal yang terbuka di kawasan hutan yang berjauhan dari pohon induknya. Ini merupakan kegiatan yang kecil, ringan, sederhana dan murah, tetapi sangat penting dan sangat besar artinya bagi keberlanjutan konservasi kedawung di hutan alam taman nasional. Untuk lebih jelasnya analisis kandungan selengkapnya dimuat pada Lampiran

145 b. Kegiatan pengelolaan tahun Berdasarkan analisis kandungan pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa kegiatan pengelolaan yang berkaitan dengan stimulus amar (alamiah, manfaat dan religius) sangat terbatas dilakukan. Sampai saat ini pengelola masih melakukan kegiatan-kegiatan yang belum mengacu kepada visi dan misi pengelolaan dan belum terkait dengan stimulus amar. Penetapan kegiatan oleh pengelola belum mengacu kepada visi yang sudah dirumuskan dan belum mengenai sasaran pada pemecahan akar permasalahan. Kegiatan-kegiatan belum berpedoman kepada tuntutan karakteristik dan kebutuhan sumberdaya alam hayati lokal maupun tuntutan kebutuhan masyarakat sekitar hutan, seperti dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 19. Kegiatan pengelolaan sedang dan akan dilakukan tahun yang berkaitan dengan tri-stimulus amar konservasi Judul kegiatan Stimulus alamiah Stimulus manfaat Stimulus religius 1. Penataan kawasan Review Zonasi Taman Nasional Meru Betiri, Dll Tidak jelas Tidak jelas Tidak ada 2. Pembinaan daya dukung kawasan Pembinaan habitat banteng, Dll Ada Tidak ada Tidak ada 3. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Identifikasi dan inventarisasi jenis flora Identifikasi dan inventarisasi jenis fauna Pembuatan demplot tumbuhan obat pulepandak Ada Ada Ada Tidak jelas Tidak jelas Ada Tidak ada Tidak ada Tidak jelas 4. Pemanfaatan Kawasan Penyusunan master plan pariwisata alam Pembinaan kader konservasi dan pecinta alam Penyusunan buku informasi tumbuhan obat, Dll Ada Ada Ada Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas 5. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Operasi pengamanan fungsional, Dll Tidak jelas Tidak ada Tidak jelas 6. Pembinaan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan latihan penjenjangan. Pelatihan/penyegaran POLHUT dan PPNS, Dll Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas 7. Pembinaan Partisipasi Masyarakat Membantu urus hak paten/ merek 20 produk jamu Pengadaan bibit oleh petani mitra rehabilitasi. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi Pendampingan kelompok tani mitra rehabilitasi Penyuluhan konservasi. Tidak ada Ada Tidak jelas Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Tidak ada Ada Ada Ada Ada Sumber : Balai Taman Nasional Meru Betiri (2004c) 126

146 Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa kegiatan pengelolaan taman nasional yang dilakukan selama ini sangat kurang atau belum mengaitkan dengan stimulus manfaat. Ini dapat diketahui dari bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya hasil hutan Taman Nasional Meru Betiri oleh masyarakat sekitar di antaranya adalah : pengambilan tumbuhan obat, pengambilan kayu komersial untuk bahan bangunan, pengambilan kayu bakar (perencekan), pengambilan jenis bambu, pengambilan rotan, perburuan satwa, dan pengambilan madu. Bentuk-bentuk interaksi masyarakat hutan yang disebutkan di atas selalu dipandang oleh pengelola sebagai kegiatan pelanggaran hukum, karena selama ini pemahaman tentang substansi peraturan perundangan kurang memadai yang membuat mereka bersikap seperti itu. Peraturan perundangan tentang pengelolaan taman nasional selama ini belum banyak dioperasionalkan dan diimplementasikan dengan kondisi karakteristik lokal lapangan (Lampiran 13). Masyarakat pendarung kedawung selama ini dianggap melanggar hukum dan merupakan faktor penyebab langkanya kedawung di hutan. Padahal dalam penelitian ini masyarakat pendarung sebaliknya sangat berperan sebagai penyebar biji untuk regenerasi kedawung di hutan. Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang tugas pokok dan fungsi pengelola taman nasional adalah salah satu contoh produk peraturan yang kaku dan tidak operasional dengan kondisi dan karakteristik lokal lapangan. Tugas pokok dan fungsi pengelola tidak dengan tegas dan tidak dengan nyata menyebutkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan masyarakat sekitar hutan yang sudah lama bergantung dan berinteraksi dengan hutan taman nasional, termasuk pengembangan pengetahuan tradisional masyarakat yang mendukung konservasi. Berdasarkan bentuk-bentuk interaksi masyarakat dengan kawasan hutan serta dikaitkan dengan tri-stimulus amar konservasi seharusnya disusun prioritas program kegiatan pengelolaan kawasan taman nasional. Pengelola harus benarbenar memahami kegiatan mana yang perlu dilakukan dan kegiatan mana yang tidak perlu dilakukan atau tidak prioritas untuk dilakukan. Banyak kegiatan yang dilakukan selama ini tidak berhubungan langsung dengan kepentingan kesejahteraan masyarakat sekitarnya (stimulus manfaat) dan banyak yang tidak berkaitan dengan kebutuhan konservasi sumberdaya hayati kawasan itu sendiri 127

147 (stimulus alamiah), seperti yang diungkapkan dan ditemukan dalam penelitian disertasi ini (Lampiran 15). 3. Titik temu pengelolaan taman nasional dengan kepentingan masyarakat Berdasarkan analisis kandungan visi, misi, strategi kebijakan, tujuan, sasaran, kegiatan dan tugas pokok pengelola yang disebutkan di atas, maka dapat diringkas hasil analisis secara keseluruhan seperti pada Tabel 20 berikut : Tabel 20. Analisis kandungan visi, misi, strategi, tujuan, sasaran, kegiatan dan tugas pokok pengelola dengan tri-stimulus amar konservasi Kebijakan pengelolaan Stimulus Stimulus Stimulus religius alamiah manfaat 1. Visi Ada Ada Tidak jelas 2. Misi Ada Tidak jelas Tidak jelas 3. Strategi Ada Tidak ada Tidak jelas 4. Tujuan Tidak jelas Tidak ada Tidak jelas 5. Sasaran Tidak jelas Tidak ada Tidak jelas 6. Kegiatan Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas 7. Tugas pokok pengelola Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Pengalaman lapangan dari penelitian ini memberikan pembelajaran yang berharga, bahwa ternyata ada perbedaan visi antara masyarakat sekitar hutan dengan pengelola taman nasional yang harus dipertemukan menjadi visi bersama. Kalau tidak akan sulit terwujudnya konservasi hutan taman nasional, yang pada akhirnya akan berdampak negatif kepada masyarakat lokal dan terjadinya kerusakan lingkungan. Titik temu ini belum bertemu, karena masyarakat terkendala dengan hak akses ke sumberdaya alam hayati, sedangkan pengelola terkendala dengan peraturan perundangan yang berlaku, termasuk kurangnya kapasitas SDM pengelola untuk memahami dan mengimplementasikan materi peraturan perundangan yang berlaku. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat hutan dan pengelola taman nasional memiliki agenda yang sangat berbeda terhadap taman nasional sehingga harus dibuat síntesis teori dan paradigma baru agar menjadi suatu kebijakan pengelolaan taman nasional yang disepakati semua pihak, terutama dengan masyarakat lokal. 128

148 Masyarakat hutan yang masih miskin materi maupun pengetahuan saat ini berpikir dan menyikapi sumberdaya hutan sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi hidup keluarganya. Agenda masyarakat hutan hampir selalu dimulai dengan kebutuhan untuk melindungi dan melegalisasi hak akan sumberdaya hutan termasuk lahan rehabilitasi yang mereka garap untuk memenuhi kebutuhan hidup dan untuk pemanfaatan mereka sendiri. Mereka menekankan pada pentingnya mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari sumberdaya hutan dan termasuk lahan rehabilitasi. Mereka mengharapkan kepastian hukum akan hak memanen hasil tanaman pokok yang mereka tanam di lahan rehabilitasi. Mereka menjadikan dokumentasi sejarah yang mereka buat melalui kegiatan rehabilitasi sebagai jaminan agar bisa tetap memanfaatkan sumberdaya hutan yang mereka bangun secara lestari. Berikut ini beberapa pernyataan yang muncul di masyarakat yang menunjukkan hubungan tidak harmonis dengan pengelola : (1) Kami tahu bahwa dengan program agroforestri kami masyarakat Timur Sawah tidak lagi keluar masuk hutan untuk mencari berbagai jenis tumbuhan obat. Kami merasa telah terentaskan dari cap negatif sebagai masyarakat yang berada di bibir hutan. (2) Seringnya kami masuk keluar hutan menjadikan posisi kami di mata petugas (pengelola) tidak lebih dari seorang pesakitan yang serba salah dan kami selalu menjadi target operasi para penjaga hutan. (3) Kami selalu menjadi pihak yang dipersalahkan. Kami selalu menjadi ajang olokan sebagai masyarakat yang tidak mengerti apa itu kelestarian, apa itu keanekaragaman hayati dan sebagainya. Dipihak pengelola taman nasional memiliki agenda yang seringkali dimulai dengan kepentingan untuk melindungi kawasan taman nasional yang terlarang bagi masyarakat berdasarkan pemahaman dan implementasi peraturan perundangan yang berlaku, sesuai dengan paradigma pengelolaan yang konservatif. Apabila pengelola melibatkan masyarakat lokal dalam rencana kerjanya, pengelola cenderung memandang masyarakat tersebut tidak lebih sebagai suatu sarana yang memungkinkan untuk mencapai tujuan konservatif, bukan melihat masyarakat itu sebagai subjek dan tujuan konservasi itu sendiri yang harus diwujudkan kesejahteraannya. Dari hasil penelitian ternyata bahwa program kegiatan pengelolaan yang selama ini sangat sedikit yang berkaitan dengan kepentingan peningkatan 129

149 kesejahteraan masyarakat dan peningkatan nilai tambah kedawung (stimulus manfaat) maupun yang berkaitan dengan konservasi potensi (stimulus alamiah). Pemahaman pengelola terhadap substansi peraturan perundangan yang berlaku yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan taman nasional sangatlah minim. Paradigma baru pengelolaan taman nasional ádalah bagaimana sintesa kedua hal di atas, yaitu memposisikan masyarakat hutan sebagai subjek konservasi taman nasional. Sedangkan pengelola dan akademisi perguruan tinggi memfasilitasi masyarakat hutan untuk mewujudkan kesejahteraan dirinya sendiri melalui pelestarian pemanfaatan sumberdaya keanekaragaman hayati taman nasional. Hal ini semua merupakan prasyarat terwujudnya konservasi taman nasional yang berkelanjutan. Sebagai contoh adalah perlu segera disempurnakannya konsep rehabilitasi lahan hutan oleh masyarakat, termasuk aspek legalitas yang menjamin hak-hak dan kewajiban masyarakat, sehingga penguatan dan pengembangan kapasitas masyarakat terbangun dengan wajar sesuai juga dengan pengetahuan yang mereka miliki. Pendekatan yang lazim dipakai membangun dan mengelola taman nasional serta hutan-hutan negara, cenderung mengakibatkan konflik sumberdaya yang tidak terelakkan, terutama dengan masyarakat lokal. Taman nasional merupakan kawasan yang relatif luas, dimana penguasa tertinggi di sebuah negara awalnya mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau melenyapkan sesegera mungkin pemukiman penduduk dalam seluruh wilayah dan memberlakukan penghargaan lebih tinggi kepada nilai-nilai unsur-unsur biologi, ekologi, geomorfologi, atau estetis yang membentuk pembangunannya, ketimbang manusia masyarakat lokalnya. Konsep ini memunculkan pandangan, bahwa wilayah-wilayah bernilai tinggi bagi negara secara keseluruhan hanya dapat dikelola untuk melindungi sumberdaya hayati secara baik, apabila penduduk tidak menghuni atau jauh dari wilayah itu (McNeely, 1992). Praktek pengelolaan taman nasional selama beberapa dekade ini, menggunakan sistem nilai konservasi alam di Indonesia berupa pengawetan dan perlindungan hutan yang menekan sekecil mungkin interaksi hutan dengan aktivitas masyarakat. Berarti pula secara tidak disadari melepaskan sistem nilai kearifan dan kepentingan masyarakat lokal terhadap hutan. Padahal sistem nilai 130

150 hutan dalam masyarakat lokal ini telah melekat dan mentradisi sudah secara turun temurun sebagai sumber dan bagian dari kehidupannya dan sekaligus telah terbangun suatu kearifan lokal yang justru dapat mendukung ke arah terwujudnya konservasi hutan itu sendiri. Sistem nilai ini kalau diuraikan ternyata mengandung dan sangat berkaitan dengan konsep tri-stimulus amar konservasi. Sebagai contoh dapat dilihat pada sistem nilai dan kearifan tradisional masyarakat lokal yang berkembang dalam masyarakat adat berikut praktek pengelolaan hutan lestari yang dilakukannya (Hardjodarsono et.al., 1986), seperti (1) Perkebunan tengkawang (Shorea stenoptera) di Kalimantan Barat ditemukan sudah ada oleh Prof. De Vriese ketika melakukan perjalanan dinas tahun 1857; (2) Hutan rakyat kayu pertukangan (jati, tembesu, merawan) di Palembang diketahui telah ada pada tahun 1932, ditemukan oleh C.N.A.de Voogd; (3) Perkebunan kemenyan (Styrax benzoin) di Palembang yang telah ada pada zaman Pemerintah Hindia Belanda tahun 1885, ekspor kemenyan dari Palembang antara tahun yang diperkirakan sebenyak 668 ton per tahun; dan (4) Hutan damar mata kucing (Shorea javanica) milik rakyat Krui, telah lama ada dan pada tahun 1937 ditemukan oleh Ir. F.W. Rappard pada saat mengumpulkan bahan untuk herbarium famili Dipterocarpaceae. Contoh-contoh ini merupakan wujud nyata bentuk-bentuk aksi konservasi sumberdaya hayati tumbuhan hutan yang berkembang atas inisiatif masyarakat lokal secara mandiri berlandaskan kepada nilai-nilai dan pengetahuan tradisional yang berkembang di kalangan mereka sendiri, jauh dari campur tangan pemerintah jajahan Hindia Belanda waktu itu. Hal inilah dikemukakan Awang (2005) bahwa siapapun yang mengelola hutan publik hendaknya mau mempelajari tradisi-tradisi kehutanan yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian upaya-upaya dapat lebih bijak demi untuk kepentingan perlindungan kehidupan dalam arti yang lebih luas dalam memaknai keberadaan hutan di tengah masyarakat. Hutan merupakan satu aset yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena hutan memberi banyak barang, jasa dan kepuasan batin kepada manusia, terutama bagi masyarakat sekitar hutan itu sendiri, yaitu berupa kelompokkelompok masyarakat kecil dan unik, seperti contohnya masyarakat pendarung tumbuhan obat di TNMB. 131

151 VII. SINTESIS PENYELESAIAN MASALAH Sintesis penyelesaian akar masalah berdasarkan temuan dari penelitian ini dikelompokkan melalui dua pendekaan, yaitu pendekatan dengan (1) membangun sikap masyarakat pro-konservasi; serta (2) perbaikan dan penyempurnaan kebijakan pengelolaan. Kedua pendekatan sintesis penyelesaian akar masalah ini menggunakan konsep tri-stimulus amar konservasi. Membangun sikap masyarakat pro konservasi, yaitu melalui (1) membangun sikap tri-stimulus amar konservasi; (2) menjadikan nilai religius sebagai stimulus kuat untuk membangun sikap; dan (3) menyambungkan dan mengembangkan pengetahuan tradisional masyarakat menjadi pengetahuan modern, yaitu yang bersifat adaptif terhadap perkembangan terkini. Perbaikan dan penyempurnaan kebijakan pengelolaan dilakukan dengan pendekatan : (1) peraturan perundangan yang terkait; (2) aspek legalitas pendarung sebagai kelompok masyarakat pelestari; (3) pengembangan tetelan sebagai hutan kebun kedawung; (4) peningkatan kapasitas dan kinerja SDM pengelola; (5) membangun kemitraan industri jamu dengan masyarakat; dan (6) membangun image stimulus tumbuhan obat kedawung. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : A. Membangun Sikap Pro-konservasi Tumbuhan dan habitat serta budaya masyarakat tak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia sejak awal keberadaannya di muka bumi. Ini merupakan prasyarat terwujudnya konservasi, kemandirian dan kesejahteraan suatu masyarakat kecil hutan yang berkelanjutan. Masyarakat kecil yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat pendarung tumbuhan obat di TNMB dari kelompok generasi tua seperti Mbah Setomi, Mbah Na am dan Mbah Rogayah. Hal ini sejalan dengan pendapat Barber, Johnson dan Hafild (1999), bahwa masyarakat dengan hubungan yang beragam, ganda dan dalam waktu panjang dengan hutan lebih cenderung menghargai keutuhan jangka panjang seluruh ekosistem dibanding dengan masyarakat yang hubungannya terbatas pada satu atau dua sasaran sempit, seperti pengambilan kayu atau penambangan. 132

152 Menurut Dasmann, Milton dan Freeman (1977), bahwa sejak zaman dulu manusia telah memenuhi keperluan hidupnya dengan memodifikasi komunitas alam dan ekosistem, kadang-kadang dengan cara sederhana untuk meningkatkan suatu hasil tertentu yang diinginkannya. Kemudian dengan timbulnya pertanian, peradaban dan teknik moderen modifikasi itu dilakukannya dengan cara-cara yang makin radikal, yang telah menimbulkan dampak negatif yang merusak ekosistem dan lingkungan alam, yang akhir sangat mempengaruhi kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat manusia itu sendiri. Modifikasi dapat menjadi produktif dan stabil, apabila stimulus alamiah sebagai pembatas-pembatas lingkungan ekosistem alam dipahami, disikapi dan diamalkan secara benar oleh manusia. Dalam konteks sistem nilai ke 3 kelompok stimulus konservasi (alamiah, manfaat dan religius) yang telah berhasil dirumuskan pada penelitian ini tidak lain adalah kristalisasi dari nilai-nilai : kebenaran, kepentingan dan kebaikan. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Ndraha (2005) tentang sistem nilai dalam bukunya Teori Budaya Organisasi. Kristalisasi atau resultant atau kombinasi dari nilai-nilai inilah yang dapat menjadi penggerak, penyeimbang dan pengendali terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi yang berkelanjutan secara kongkrit. Hal ini dijelaskan secara rinci sebagai berikut : 1. Membangun sikap tri-stimulus amar konservasi Konsep tri-stimulus amar konservasi merupakan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai alat untuk mengimplementasikan pegelolaan kawasan konservasi atau taman nasional, khususnya untuk membangun sikap masyarakat yang pro-konservasi. Konservasi gagal dan sukarnya tujuan konservasi terwujud memuaskan dalam kenyataan hari ini, tidak lain penyebabnya adalah terjadi bias pemahaman dan pengalaman dalam masyarakat antara konteks nilai-nilai alamiah (bio-ekologi dan kelangkaan), nilai-nilai manfaat (ekonomi) dan nilai-nilai religius (agama, keikhlasan, moral dan sosio-budaya). Sikap konservasi masyarakat harus dibangun dan merupakan wujud dari kristalisasi tri-stimulus amar konservasi. Sikap masyarakat yang seperti ini merupakan prasyarat terwujudnya aksi konservasi secara nyata di lapangan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Erasmus 133

153 (1963) dan Rachman (2000), bicara economic sekaligus adalah bicara culture dan bicara believe, tidak bisa dipisah-pisahkan. Gambar 39 berikut menunjukkan bagan alir tiga kelompok stimulus yang harus mengkristal sebagai pendorong sikap konservasi masyarakat : Tri-Stimulus Amar Konservasi Stimulus Alamiah Nilai-nilai kebenaran dari alam, kebutuhan keberlanjutan sumberdaya alam hayati sesuai dengan karakter bioekologinya Stimulus Manfaat Nilai-nilai kepentingan untuk manusia: manfaat ekonomi, manfaat obat, manfaat biologis/ekologis dan lainnya Stimulus Religius Nilai-nilai kebaikan, terutama ganjaran dari Sang Pencipta Alam, nilai spritual, nilai agama yang universal, pahala, kebahagiaan, kearifan budaya/ tradisional, kepuasan batin dan lainnya Sikap Konservasi Cognitive persepi, pengetahuan, pengalaman, pandangan, keyakinan Affective emosi, senangbenci, dendam, sayang, cinta dll Overt actions kecenderungan bertindak Perilaku Aksi Konservasi Konservasi Gambar 39. Diagram alir tri-stimulus amar konservasi : stimulus, sikap dan perilaku aksi konservasi Tri-stimulus amar konservasi bukanlah suatu konsep baru yang diciptakan atau diadakan dari hasil penelitian ini, tetapi merupakan perumusan determinasi stimulus melalui hasil penelitian tentang apa yang sebenarnya sudah berlaku, terjadi dan berjalan di dalam kehidupan masyarakat kecil tradisional yang telah pernah berhasil mewujudkan konservasi di dunia nyata. Hal ini pernah terjadi dalam masyarakat pendarung kedawung di TNMB pada generasi tua, yaitu generasi Mbah Setomi dan generasi sebelumnya. Buktinya di lapangan adalah kelimpahan populasi kedawung yang terdiri dari individu-individu pohon yang dewasa yang tersebar mendekati perkampungan masyarakat pendarung, seperti dapat di lihat pada Gambar 12. Pada Gambar 40 berikut menggambarkan ketiga kelompok stimulus alamiah, manfaat dan religius yang harus mengkristal menjadi satu kesatuan stimulus kuat (evoking stimulus) sebagai penggerak dan pendorong sikap untuk aksi konservasi. 134

154 Stimulus Religius Sikap Konservasi Stimulus Alamiah Stimulus Manfaat Gambar 40. Kristalisasi tri-stimulus amar konservasi Prasyarat terwujudnya sikap masyarakat tri-stimulus amar konservasi di lapangan adalah : (1) ditujukan untuk masyarakat lokal yang spesifik dan unik, yaitu masyarakat yang sudah bertungkus lumus berinteraksi dengan hutan dan sumberdaya hayati setempat dalam kehidupannya sehari-hari dan bahkan sudah turun temurun dan mempunyai pengetahuan lokal tentang sumberdaya hayati tersebut; (2) hak akses, hak kepemilikan, hak memanen dan hak memanfaatkan sumberdaya hayati bagi masyarakat yang dimaksud pada butir (1) harus jelas; (3) harus ada keberlanjutan pengetahuan lokal dari generasi tua kepada generasi muda dan harus ada pembinaan dan penyambungan pengetahuan lokal/tradisional ke pengetahuan moderen dalam masyarakat pada butir (1). Komponen sikap affective pada masyarakat yang selama ini negatif (perasaan dendam, benci, masa bodoh, tidak peduli, perasaan tidak memiliki dan lainnya) harus dirubah menjadi postif. Kebijakan pengelolaan taman nasional yang berlaku selama ini harus dirubah, terutama aspek legalitas akses masyarakat lokal (dalam hal ini misalnya kelompok pendarung) kepada sumberdaya hayati TNMB. Terbukti dari pengalaman sejarah pendekatan yang lazim dipakai selama ini guna membangun dan mengelola taman nasional serta hutan-hutan negara, cenderung mengakibatkan konflik-konflik sumberdaya yang tidak terelakkan, terutama dengan masyarakat lokal. 135

155 2. Menjadikan nilai religius sebagai stimulus kuat bagi sikap konservasi Sejarah masyarakat masa lalu, terutama dalam masyarakat tradisional stimulus religius sangat berpengaruh dan efektif mendorong terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi. Aksi konservasi saat ini dan masa datang hendaknya difokuskan pada pengalaman masyarakat masa lalu, terutama pengalaman masyarakat tradisional. Masalah konservasi timbul karena terjadinya penyimpangan atau bias sikap dan perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan alam. Masyarakat berinteraksi dengan alam hendaknya tidak ditinjau hanya secara mekanistik dan materialistik saja, melainkan juga mengikat interaksi tersebut dengan nilai-nilai religius yang universal, nilai-nilai kearifan budaya, etika, dosa dan pahala. Nilai-nilai religius menempati peringkat yang sangat tinggi dalam kehidupan seorang yang beradab. Dikatakan demikian karena nilai-nilai religius berkaitan dengan kebenaran Ilahi yang bersifat absolut dan universal yang berangkat dari dan bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan seseorang dengan Penciptanya. Sesungguhnya nilai religius tidak semata-mata berkaitan dengan kehidupan ritual keagamaan seseorang, akan tetapi tercermin juga dalam kehidupan seharihari seperti menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tertentu, seperti kejujuran, keikhlasan, kesediaan berkorban, kesetiaan dan lain sebagainya (Siagian, 2004). Nilai-nilai religius telah terbukti merupakan motivator utama dan kuat dalam sejarah kehidupan umat manusia yang hidup dimasa hayat nabi-nabi yang telah menjadi energi stimulus dan sangat efektif dalam membangun sikap dan perilaku individu manusia di zaman itu sampai zaman sekarang. Konsep religius tentang masalah lingkungan hendaknya terfokus pada pemikiran bahwa masalah lingkungan adalah masalah perilaku sebagai akibat dari penyimpangan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Pada zaman moderen ini ada kecenderungan manusia berinteraksi dengan lingkungan secara materi, tanpa mengikat interaksi tersebut dengan aturan-aturan hukum dan etika. Pemecahan masalah adalah meluruskan pandangan, pola pikir, sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan dengan aturan-aturan dan dasar-dasar akhlak mulia berdasarkan nilai-nilai religius. 136

156 Contoh sabda Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan konservasi tumbuhan yang bernilai religius dan dapat menjadi energi stimulus bagi setiap individu manusia muslim pada waktu itu dan masa setelahnya yang telah diamalkan oleh para sahabat Nabi dan orang-orang tua terdahulu, yaitu (artinya) : Barang siapa yang telah menanam pohon, dan pohonnya berbuah, lalu buahnya dimakan oleh orang atau binatang, maka Tuhan memberinya pahala yang tiada putus-putusnya. Dalam hadist Nabi SAW lainnya yang sangat relevan dan up to date dengan kondisi dan permasalahan saat ini untuk mendorong dan menjadi energi bagi sikap konservasi, yaitu artinya : Apabila kiamat sedang terjadi dan ditanganmu menggenggam benih kurma, sekiranya kamu mampu menanamkannya, maka tanamkanlah, niscaya kamu akan memetik hasilnya di akherat kelak (Al-Jazairi, 2003). Allah memerintahkan agar manusia menggunakan semua panca indera dan nuraninya, serta pengetahuan-pengetahuan dari manusia pendahulunya yang Allah telah berikan untuk mengenal dan membaca fenomena kehidupan alam, yang harus meresap kesetiap diri sanubari menjadi stimulus yang kuat dan kenyal untuk bersikap dan berperilaku konservasi. Kerusakan lingkungan hutan yang berdampak buruk kepada kehidupan manusia yang tidak memahami atau tidak mau memahami atau bahkan yang memahami tapi tidak peduli dengan stimulus keinginan dan tuntutan hutan sebagai mahkluk ciptaan Allah. Allah mengingatkan manusia agar kembali ke jalan yang benar, kembali memahami dan meresapi fenomena alam ekosistem hutan untuk stimulus aksi konservasi. Hal inilah yang pernah dimiliki oleh nenek, buyut dan moyang kita terdahulu, karena mereka banyak belajar dengan sinyal-sinyal atau fenomena-fenomena yang diberikan oleh alam. Fenomena alam adalah firman Sang Pencipta yang tak tertulis, pasti mutlak benar, pastilah sangat paling ilmiah, secara global mengingatkan setiap individu manusia agar mau mengoreksi kesalahannya terhadap mengelola dan memanfaatkan lingkungan alam hidupnya. Kalau manusia mengingkarinya, maka individu manusia tersebut dapat sangsi kesusahan dimasa hidupnya di dunia berupa rusaknya alam dan sangsi siksaan azab kubur dan neraka di alam akhirat sebagai wujud pertanggungjawaban secara individual. Inilah sistem hukum yang 137

157 diciptakan Allah yang harus diyakini (belief), pasti terlaksana dengan sangat adil. Nilai-nilai dan norma-norma inilah yang selayaknya kita jadikan dan tumbuhkembangkan sebagai stimulus utama dalam melakukan keberlanjutan konservasi alam, khususnya konservasi taman nasional di Indonesia dan di dunia. Akhirnya konservasi itu baru dapat diwujudkan di dunia nyata, apabila pada setiap diri individu manusia memiliki keikhlasan dan kerelaan berkorban untuk konservasi. Umar bin Al-Khatab ra. sangat memperhatikan konservasi alam dimasa pemerintahannya di tanah Arab pada abad ke 7, yang memerintahkan untuk menjaga dan mengembangbiakkan tumbuhan dan hewan. Bukti empiris tentang perhatiannya terhadap perilaku konservasi, diriwayatkan oleh Ammarah bin Khuzaimah bin Tsabit : Aku mendengar Umar bin Al-Khatab berkata kepada ayahku, apa yang menghalangimu menanami tanahmu? Ayahku berkata, aku adalah orang yang sudah tua, aku akan mati besok!. Maka Umar ra. berkata, aku mendorongmu untuk menanam pohon!. Umar ra. terlihat menanami pohon dengan tangannya sendiri bersama ayahku! Kelihatan bahwa Umar bin Al-Khatab mendorong orang tersebut menanami tanahnya, walaupun dia mengira bahwa tidak akan melihat hasilnya. Umar ra. mengetahui bahwa perhatian terhadap pertanian adalah penting bagi generasi yang akan datang, penting juga untuk menjaga lingkungan di samping pasti adanya kemaslahatan pribadi, yaitu ganjaran pahala dari Tuhan (Al-Haritsi, 2006). Pengalaman Kaswinto, seorang sarjana kehutanan lulusan IPB yang telah melakukan pendampingan masyarakat TNMB selama 10 tahun lebih, telah banyak dapat merobah motivasi dan sikap masyarakat ke arah konservasi, yang dulunya mereka sebagai pelaku illegal logging di hutan TNMB. Inilah pengalamannya : Mengaitkan setiap kegiatan dengan agama merupakan salah satu cara yang paling ampuh dalam memotivasi masyarakat untuk mendukung program konservasi. Menyandarkan kepada kekuasaan dan kemurahan Allah memiliki andil yang paling besar dalam suksesnya kegiatan pendampingan masyarakat. Berprinsip bahwa keberhasilan atau kegagalan kegiatan konservasi tidak hanya dinilai berdasarkan kacamata dunia, tetapi juga akhirat. Selalu berdoa dan minta kepada Allah untuk kesuksesan dan selalu berbuat kepada masyarakat dan kepada alam dengan hati yang ikhlas dan bertawakal kepada Allah. 138

158 Secara empiris berdasarkan pengalaman pribadi penulis waktu kecil di kampung Tilatang Kamang (pinggiran kota Bukittinggi), bahwa kakek penulis dahulu waktu menanam pohon durian di parak (istilah kebun campuran di daerah minang) dengan niat agar cucunya dapat memanen dan memakan buah durian kamang yang terkenal lezat. Stimulus religius sangat berpengaruh dalam mendorong sikap konservasi, hal ini dapat divalidasi dengan berbagai contoh dalam masyarakat tradisional. Secara empiris dalam kehidupan masyarakat tradisional stimulus religius terbukti efektif mendorong sikap masyarakat untuk rela berkorban bagi konservasi. Bukti empiris ini contohnya dapat dilihat antara lain pada sikap dan kerelaan berkorban untuk konservasi pada : (1) Masyarakat tradisional muslim Afrika Barat, ditemukan berbagai legenda, anekdot dan peribahasa tentang P. biglobosa yang berkaitan dengan nilai-nilai religius, menjadi dasar pengetahuan dan terbukti sangat berpengaruh menjadi stimulus sikap bagi perlindungan dan pelestarian spesies ini sampai hari ini (Quedraogo, 1995); (2) Masyarakat adat Toro yang hidup dipinggiran Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, mereka telah berhasil secara turun temurun melindungi hutan dan tidak menebang pohon di sekitar mata air dan sungai. Mereka menganut falsafah Mahintuwu mampanimpu katuwua toiboli topehoi yang berarti Melindungi dan memelihara bersama-sama lingkungan hidup kita, seperti yang dianugerahkan Sang Pencipta (Golar, 2006). Masyarakat adat Toro meyakini tiga pilar utama kehidupan, yaitu Tuhan Pencipta, manusia dan alam. Masyarakat Toro percaya bahwa hutan adalah milik Sang Pencipta yang dititipkan kepada masyarakat sekarang untuk generasi mendatang (Shohibuddin, 2003 dan Nainggolan, 2007). Nilai-nilai religius dalam masyarakat adat Toro terbukti telah sangat kuat memotivasi dan mengontrol sikap dan perilaku individu anggota masyarakatnya untuk tetap menjaga keberlanjutan konservasi ekosistem alami yang merupakan habitat tempat hidup mereka; (3) Masyarakat tradisional suku Asmat di Irian Jaya pada saat memanen sagu, mereka melakukan upacara syukuran pohon sagu sebagai pohon kehidupan. Masyarakat yang banyak disebut orang primitif ini ternyata mereka sangat menyadari akan dosa-dosa kepada alam dan ini menandakan mereka termasuk manusia beradab (Sharp dan Compost, 1994). (4) Masyarakat suku Mee di Papua menurut kepala sukunya Neles Tebay mempunyai empat nilai fundamental yang mengandung nilai-nilai religius sebagai berikut : Hidup bekelimpahan, kebun, hewan peliharaan, sungai dan hutan merupakan kebutuhan hidup setiap orang; Komunitas, manusia dan lingkungan alam merupakan satu kesatuan utuh; Hubungan serasi, hubungan antar-manusia dengan keserasian alam lingkungan, ini tak lepas dari bantuan roh suci leluhur. kami diajarkan nenek moyang untuk melibatkan bantuan roh leluhur, hutan, 139

159 pohon besar, batu alam, gunung, dan benda alam lain juga bagian dari sistem alam lingkungan kami; Azas timbal balik, ini mengukuhkan hubungan antar-warga dan komunitas, termasuk hubungan menghormati hubungan dan berperilaku bagus terhadap alam. Misalnya orang mengotori sungai dan merusak lingkungan, akan mendapat balasan (sungai) banjir (Badil, 2007; dikutib dari artikel harian Kompas tanggal 20 Agustus 2007). Koentjaraningrat (1974) sekitar 33 tahun yang lalu mengemukakan nilainilai religius yang ada dalam masyarakat tradisional dalam bukunya Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Namun nilai-nilai religius ini belum dikaitkan secara eksplisit dengan aksi konservasi masyarakat tradisional. Menurut pakar antroplogi ini nilai-nilai religius merupakan suatu sistem yang terdiri dari 4 komponen, yaitu : 1. Emosi religius yang menyebabkan manusia menjadi religius 2. Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta persepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta tentang wujud alam gaib (supernatural) 3. Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk halus yg mendiami alam gaib 4. Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut dalam butir 2 dan yang melakukan sistem upacara tersebut dalam butir 3 Keempat komponen tersebut di atas terjalin erat satu dengan lainnya menjadi suatu sistem yang terintegrasi secara bulat. Emosi religius kalau ditinjau dalam teori komponen sikap adalah termasuk komponen affective, dimana emosi religius merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa dan sikap manusia. Namun teori ini belum banyak digunakan dan diterapkan dalam program konservasi sumberdaya alam hayati, yang selama ini konservasi terpisah mengkajinya dengan nilai-nilai religius yang dianut oleh masyarakat. Koentjaraningrat (1974) mengungkapkan sistem religius dari 4 komponen dari sistem religius seperti bagan pada Gambar 41 berikut ini : 140

160 Sistem Kepercayaan (bilief) Emosi religius Kelompok religius Sistem upacara religius Gambar 41. Sistem bagan keempat komponen dari religius Sejak dahulu, terutama diawal konsep konservasi dikembangkan para peneliti masalah konservasi dan lingkungan di Indonesia banyak dipengaruhi dengan konsep dari Barat, yang menganggap bahwa hubungan antara manusia dan lingkungan adalah hubungan materi semata. Konsep pengetahuan dari pengikut peradaban Barat yang materialistik terhadap hubungannya dengan lingkungan sampai saat ini terbukti belum bisa memberikan solusi yang berarti, bahkan sebaliknya permasalahan lingkungan bertambah besar dan kompleks. Scientist yang berkaitan dengan bidang konservasi sumberdaya alam dari Indonesia berpeluang besar untuk mengembangkan konsep tri-stimulus amar konservasi, khususnya stimulus religius sebagai penggerak utama aksi konservasi di Indonesia dan bahkan dunia, karena Indonesia negara satu-satunya di dunia yang memiliki falsafah negara PANCASILA yang bersifat universal dan konsep ini dapat diterima oleh semua religius. 3. Menyambungkan dan mengembangkan pengetahuan tradisional menjadi pengetahuan moderen Pengetahuan masyarakat Afrika Barat seharusnya dapat dikembangkan bagi penyempurnaan dan melengkapi pengetahuan masyarakat TNMB. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Harris dan Hillman (1989), bahwa hendaknya lintas persepahaman budaya atau cross-cultural understanding tentang nilai-nilai kehidupan masyarakat hutan dunia masa lalu, juga sepatutnya berkelanjutan hingga masyarakat hutan masa kini, walaupun dipastikan ada 141

161 perbedaan budaya maupun lingkungan alam antar masyarakat hutan dari kedua tempat ini. Hal ini amat penting karena proses pembelajaran terhadap kehidupan tumbuhan dengan segala sifatnya yang dipandang dari sisi ekologi dan perilaku di habitat hutan, dialami oleh seluruh hidup generasi tua hingga kepada generasi berikutnya secara estafet. Nilai-nilai kehidupan masyarakat kecil masa lalu, sepatutnya berkelanjutan hingga masyarakat kecil masa kini, melalui tukarmenukar informasi, pengalaman atau sharing knowledge and experience Sebenarnya masyarakat global yang hidup jauh di luar TNMB, bahkan sampai luar negeri saat ini telah menikmati produk jamu dari bahan baku kedawung, dari produksi perusahaan industri jamu yang moderen di Jawa Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa produk tumbuhan obat kedawung dari masyarakat pendarung TNMB ikut mendukung pemeliharaan kesehatan saluran pencernaan masyarakat global, walaupun masyarakat pendarung tidak mengetahuinya atau tidak menyadarinya. Ini sebagai bukti bahwa sebenarnya telah terjadi persambungan masyarakat kecil dari hutan, yaitu masyarakat pendarung ke masyarakat global. Namun persambungan ini tidak terjadi feed back kepada masyarakat, terutama dalam informasi IPTEK yang dapat meningkatkan kapasitas masyarakat untuk aksi konservasi dan kesejahteraan masyarakat pendarung. Peran pengelola dan perguruan tinggi sangat penting sebagai pelaku yang dapat menyambungkan pengetahuan lokal masyarakat yang sudah terputus saat ini kepada pengetahuan moderen dan sekaligus mengembangkannya dengan tetap berbasis kepada karakteristik sumberdaya keanekaragaman alam hayati lokal. Sehingga tri-stimulus amar konservasi dan sikap merupakan gabungan dari komponen cognitive, affective dan overt actions dalam setiap individu masyarakat dapat terpelihara, berlanjut dan berkembang-seimbang menjadi perilaku konservasi sumberdaya alam hayati. Akhirnya sekaligus tuntutan kebutuhan hidup dan kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi secara berkelanjutan. Peran dan fungsi para scientist perguruan tinggi, terutama yang mendukung untuk konservasi di masa sekarang dan ke depan sangatlah diharapkan dan sangat menentukan keberhasilan untuk meminimalkan dampak negatif dan mengoptimalkan dampak positif dari arus globalisasi dunia. Terutama berkaitan dengan : 142

162 (1) penyambungan keberlanjutan pengetahuan masyarakat tradisional (semua tingkat evolusi sosiobudaya) dengan ilmu pengetahuan modern, atas dasar kearifan dan perpaduan saling menguatkan antara keduanya; (2) terpeliharanya keberlanjutan asli genetik dalam bentuk dinamika sistem bagi kesejahteraan manusia; (3) sebagai kesatuan utuh dalam keseimbangan sistem ekologi; (4) untuk kesejahteraan dan perdamaian manusia dan masyarakat seutuhnya dan seluruhnya. Masyarakat dan Perguruan Tinggi sepatutnya bersama-sama melanjutkan proses pembelajaran dengan tidak melupakan pengalaman masyarakat yang telah bertungkus lumut dengan sumberdaya tumbuhan di habitat mereka. Kemitraan upaya konservasi antara perguruan tinggi dan masyarakat perlu, tanpa itu konservasi sulit dapat berlanjut dengan memuaskan. Pada akhirnya bahwa kelestarian atau sustainability tumbuhan itu sepenuhnya diserahkan dan ada pada tangan masyarakat. Setiap laboratorium di perguruan tinggi dituntut proaktif mendidik dirinya sendiri dan berkecimpung dengan permasalahan lapangan yang berkaitan dengan pengembangan bidang keilmuan yang dimandati. Setiap laboratorium hendaknya berperan maksimal mendarma baktikan peranan tri dharma perguruan tinggi kepada masyarakat. Rachman (2000) juga mengemukakan bahwa laboratorium bersifat persekoncoan yang hendaknya lebih memihak kepada kepentingan jangka pendek dan jangka panjang masyarakat banyak yang merupakan kumpulan dari masyarakat kecil-masyarakat kecil. Kegiatan laboratorium hendaknya mencari titik temu perbedaan kepentingan antara kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan sekelompok kecil masyarakat yang lebih profesional, berpunya dan berkemampuan, seperti kelompok pengelola taman nasional. Cabang ilmu yang relevan, berguna bagi masyarakat kecil sekitar taman nasional patut dikembangkan oleh laboratorium dan oleh karena itu laboratorium harus memiliki kemampuan profesional. Sepatutnyalah laboratorium menjadi handalan perguruan tinggi atau universitas untuk membuka pengetahuan baru kepada anak didik sebagai kader sumberdaya manusia masa depan untuk konservasi sumberdaya hayati hutan tropika Indonesia. 143

163 B. Kebijakan Pengelolaan 1. Peraturan perundangan Untuk mendukung paradigma pengelolaan taman nasional yang bertujuan untuk keberlanjutan konservasi dan kesejahteraan masyarakat, maka perlu dilakukan revisi dan penyempurnaan perundang-undangan yang berlaku. Hak-hak masyarakat kecil di sekitar hutan untuk dapat akses ke pemanfaatan secara lestari sumberdaya taman nasional belum tegas diakomodir dalam UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Nomor 5 tahun 1990 dan PP Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Akses masyarakat kecil (misalnya pendarung) sangat dibatasi atau bahkan ditutup untuk memanfaatkan secara lestari sumberdaya taman nasional Pedoman operasionalnya di lapangan perlu rasionalitas, ketegasan dan kongkrit bagi kepentingan hidup mayarakat dan bagi kebutuhan konkrit pengelolaan keberlanjutan taman nasional di lapangan. Wewenang operasional yang kreatif, fleksibel, tetapi tetap dalam koridor konservasi yang bertanggung jawab perlu diberikan kepada pengelola lapangan taman nasional secara penuh. Ini yang belum banyak diakomodir dalam Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah yang berhubungan dengan Taman Nasional. Hal ini perlu karena setiap taman nasional memiliki kekhasan sumberdaya keanekaragam hayati dan sosio-budaya yang khas pula. Hendaknya peraturan perundangan direvisi dan disempurnakan dengan memperhatikan kandungan substansi tri-stimulus amar konservasi. Peraturan perundangan yang perlu direvisi dan disempurnakan segera adalah : (1) UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Nomor 5 tahun Pasal 31 ayat (1) Di dalam taman nasional,.. dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Saran penyempurnaan, ditambahkan dengan : pemanfaatan secara tradisional oleh masyarakat lokal yang diketahui secara pasti sudah lama hidup berinteraksi positif dengan sumberdaya hutan. Pasal 36 ayat (1) ditambahkan butir i. pemanenan secara lestari hasil hutan non-kayu, khusus untuk masyarakat lokal yang unik 144

164 diketahui secara pasti sudah lama hidup berinteraksi positif dengan sumberdaya hutan. (2) PP Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51, yaitu masing-masing pada ayat (1) butir d. kegiatan penunjang budidaya ditambahkan dengan kata-kata : pemanenan secara lestari hasil hutan non-kayu, khusus untuk masyarakat lokal yang unik diketahui secara pasti sudah lama hidup berinteraksi positif dengan sumberdaya hutan. (3) Peraturan Menhut No. : P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Substansi peraturan menteri kehutanan ini perlu direvisi secara menyeluruh, terutama yang berkaitan stimulus manfaat yang berkaitan langsung bagi masyarakat kecil yang hidup di habitat sekitar kawasan hutan taman nasional. (4) Peraturan Menhut No.: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Sebaiknya kegiatan pemanfaatan tradisional sumberdaya alam hayati oleh masyarakat kecil dan unik yang telah hidup turun temurun di dalam atau di sekitar taman nasional, tidak dibatasi dalam bentuk wilayah atau zona tradisional. Tetapi yang perlu dibuat batasan dan definisi yang jelas adalah terhadap spesies, bentuk, sifat dan intensitas kegiatan pemanfaatan tradisional apa saja yang boleh dilakukan. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat bukti-bukti empiris di lapangan, seperti contoh kasus kedawung bahwa ada hubungan yang bersifat positif antara masyarakat dengan konservasi potensi sumberdaya hayati kedawung. Sehingga kurang relevan kalau pemanfaatan tradisional di batasi oleh wilayah atau areal tradisional saja, karena ada kemungkinan penyebaran spesies yang menjadi kebutuhan masyarakat ada di berbagai zona taman nasional. 2. Aspek legalitas pendarung sebagai kelompok masyarakat pelestari Stimulus setiap spesies atau unit suatu sumberdaya hayati itu (misalnya kedawung) adalah bersifat spesifik, sehingga stimulus itu juga ditujukan kepada subjek atau masyarakat yang spesifik pula, bukan ditujukan kepada masyarakat umum. Suatu sinyal, baru menjadi informasi dan menjadi stimulus, apabila sinyal 145

165 tersebut ditangkap oleh subjek yang memang memahami sifat dan karakteristik dari objek yang mengeluarkan sinyal tersebut. Stimulus kedawung seharusnya terutama ditujukan kepada masyarakat pendarung kedawung dan kepada kelompok pengelola taman nasional yang bertugas untuk pengelola sumberadaya alam hayati Masyarakat pendarung kedawung, merupakan masyarakat kecil sekitar hutan yang terbentuk alami secara turun temurun, kalau dibina sikap dan perilakunya dengan kaedah tri-stimulus amar konservasi, maka mereka adalah aset pelaku aksi konservasi di lapangan. Pandangan negatif kepada masyarakat pendarung, sebagai pelaku utama ancaman konservasi taman nasional tidaklah semuanya benar, bahkan sebaliknya telah ditunjukkan dengan kasus masyarakat pendarung kedawung yang telah berlangsung lama, mereka berperan positif bagi konservasi sebagai penyebar utama biji di hutan alam, walaupun itu umumnya mereka lakukan secara tidak sengaja. Kebijakan pengelolaan taman nasional hendaknya disempurnakan dengan menjadikan masyarakat pendarung atau masyarakat hutan atau masyarakat lokal atau masyarakat kecil atau masyarakat tradisional sebagai subjek yang ikut mengelola taman nasional. Sekaligus membangun akses kelompok masyarakat pendarung ini kepada sumberdaya alam hayati taman nasional. Terutama akses kepada hasil hutan non-kayu dari spesies yang selama ini telah bertungkus lumut berinteraksi positif dengan masyarakat pendarung. Tentunya masyarakat pendarung perlu dilakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas dengan membangun sikap dan perilaku tri-stimulus amar konservasi. Kelompok masyarakat pendarung fungsikan sebagai kelompok masyarakat kecil yang paling bertanggungjawab dengan keberlanjutan konservasi kedawung di TNMB. Pengelola TNMB hendaknya menetapkan aspek legal membership group dari pendarung dengan secara periodik melakukan pendataan membership, pembinaan dan pengembangan program kepada membershippendarung dengan berbasis konsep tri-stimulus amar konservasi. Kembangkan program berdasarkan konsep ini, bahkan harus sampai kepada persyaratan minimal yang harus dimiliki oleh setiap individu pendarung dan secara periodik harus dilakukan pembinaan untuk meningkatkan kapasitas individu pendarung. 146

166 Membership-pendarung harus relatif tetap dan terdaftar baik, bahkan kalau perlu menggunakan card-membership-pendarung, tetapi semua ini hendaknya diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat pendarung, pengelola TNMB dan perguruan tinggi sebaiknya berfungsi sebagai fasilitator dan pembina. Berubahnya membership- group akan dapat pula mengubah sikap seseorang, akan dapat berubah pula norma-norma yang ada dalam diri individu itu. Di masa lalu taman nasional sebagaimana didefinisikan oleh IUCN merupakan kawasan yang relatif luas, dimana penguasa tertinggi di sebuah negara mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau melenyapkan sesegera mungkin pemukiman penduduk dalam seluruh wilayah dan memberlakukan penghargaan lebih tinggi kepada nilai-nilai unsur-unsur biologi, ekologi, geomorfologi, atau estetis yang membentuk pembangunannya, ketimbang manusia masyarakat lokalnya. Konsep ini memunculkan pandangan, bahwa wilayah-wilayah bernilai tinggi bagi negara secara keseluruhan hanya dapat dikelola untuk melindungi sumberdaya hayati secara baik, apabila penduduk tidak menghuni atau jauh dari wilayah itu. Konsep ini ternyata banyak tidak relevan dengan pengalaman dan fakta yang terjadi di lapangan atau di dunia nyata. Konservasi alam di Indonesia berupa pengawetan dan perlindungan hutan yang menekan sekecil mungkin interaksi hutan dengan aktivitas masyarakat hendaknya dirubah menjadi meningkatkan interaksi hutan dengan aktivitas masyarakat berbasis konsep tri-stimulus amar konservasi. Selama ini yang terjadi di kehidupan dunia nyata secara tidak disadari melepaskan sistem nilai kearifan dan pengetahuan masyarakat lokal terhadap hutan. Padahal sistem nilai hutan dalam masyarakat lokal ini telah melekat dan mentradisi sudah secara turun temurun sebagai aset, sumber dan bagian dari kehidupannya dan sekaligus telah terbangun suatu kearifan lokal yang justru dapat mendukung ke arah terwujudnya konservasi hutan itu sendiri. Uraian di atas dapat diringkas bahwa perlu ditetapkan segera hak-hak masyarakat pendarung dengan definisi dan batasan yang jelas, yaitu meliputi : (1) hak akses (2) hak berpartisipasi untuk mengelola, (3) hak memanen, (4) hak memanfaatkan dan (5) hak menjual-membeli. Tentunya hak-hak ini dibatasi hanya kepada sumberdaya alam hayati, bukan kepada kawasan. Hal ini sangat 147

167 sesuai dan sejalan dengan pernyataan Barber, Johnson dan Hafild (1999), bahwa suatu masyarakat kecil yang memiliki sumberdaya dan lahan hutan setempat, mereka cenderung memelihara sumber daya tersebut dalam jangka panjang. Bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan, tetapi mempunyai kepentingan, seperti upah yang ditimbulkan oleh penebangan, taruhan mereka dalam keseluruhan kesehatan hutan jangka panjang adalah kecil. 3. Pengembangan tetelan sebagai hutan kebun kedawung dan keanekaragam hayati khas Meru Betiri Penerapan konsep tri-stimulus amar konservasi ini sebagai alternatif pemecahan masalah yang merupakan titik temu antara masyarakat sekitar hutan dan kebijakan pemerintah untuk pengelolaan taman nasional di masa mendatang. Khusus untuk TNMB titik temu ini adalah meneruskan program rehabilitasi hutan di zona rehabilitasi seluas sekitar 4023 ha. Kegiatan rehabilitasi ini dimulai sejak tahun 2000 dengan mengacu demplot 7 ha yang dibangun tahun Masyarakat hutan menamakan lahan rehabilitasi ini dengan istilah tetelan. Masyarakat yang terlibat dalam program ini sampai tahun 2005 sebanyak 3556 kepala keluarga, terdiri dari 108 kelompok petani tetelan yang berasal dari 5 desa dengan luas kawasan yang direhabilitasi 2250 ha. Hendaknya program rehabilitasi ini merupakan pengembangan hutan kebun keanekaragaman hayati menggunakan konsep tri-stimulus amar konservasi. Tetelan dapat merupakan suatu model hutan sistem agroforesty khas masyarakat Meru Betiri yang bercirikan keanekaragaman spesies tumbuhan obat. Keberhasilan konservasi melalui pengelolaan hutan oleh masyarakat dengan hak kepemilikan yang jelas dapat kita ketahui dari beberapa contoh berikut. Seperti yang sudah kita kenal dengan parak di Sumatera Barat, pelak di Kerinci Jambi, tembawang di Kalimantan Barat, talun di Jawa Barat dan repong di Pesisir Krui Lampung, masing-masing dengan ciri khasnya (Foresta, Kusworo, Michon dan Djatmiko, 2000). Hendaknya pengelola TNMB segera melakukan program evaluasi kebijakan program rehabilitasi dengan melibatkan perguruan tinggi agar tetelan benar-benar secara bertahap tapi mantap merupakan titik temu antara masyarakat hutan 148

168 dengan kebijakan pengelolaan TNMB, sehingga tujuan ideal TNMB dapat terwujud di dunia nyata. Kebijakan pengelolaan zona rehabilitasi TNMB yang mendesak untuk dilakukan adalah : (1) Melakukan penjarangan tanaman pokok kedawung untuk sesama spesiesnya, minimal dengan jarak 30 m, kalau ini tidak segera dilakukan akan terjadi kegagalan konservasi kedawung ex situ. (2) Melakukan domestikasi serta pengembangan budidaya dari berbagai spesies tumbuhan obat selain kedawung yang telah banyak berinteraksi dengan masyarakat pendarung dan telah menjadi komoditi ekonomi masyarakat, yaitu kemiri (Aleurites moluccana), pakem (Pangium edule), kemukus (Piper cubeba), joho lawe (Terminalia balerica), joho keling (Vitex quinata), kapulaga (Amomum cardonomum), cabe jawa (Piper retrofractum), serawu (Piper canimum), bendoh (Entada phaseoloides), kulit batang pule (Alstonia scholaris), arjasa (Agenandra javanica), suren (Toona sureni), kayu selasih, aren (Arenga pinnata) dan pinang (Areca catechu), serta berbagai jenis bambu dan lain-lain. (3) Melakukan domestikasi dan budidaya berbagai spesies tumbuhan yang berasosiasi dengan kedawung di hutan alam tempat habitat alaminya. Adapun daftar spesies tumbuhan yang dimaksud dapat dilihat pada Lampiran 11. Kegiatan ini perlu dilakukan untuk membangun habitat kedawung agar mendekati habitat alaminya, sehingga proses-proses bioekologisnya seperti siklus hara dan proses penyerbukan dapat terjadi secara normal dan bahkan kalau bisa lebih optimal. (4) Melakukan domestikasi dan budidaya jenis kayu komersial sebagai bahan baku bangunan, perabot rumah tangga (furniture), badan perahu, bahan baku minyak wangi (parfum), dan lain-lain. Jenis kayu komersial yang sering diambil masyarakat dari TNMB, antara lain : kayu garu (Chicoheton divergen), kayu kembang rekisi (Michelia velutina), kayu selasihan (Cinnamomum porrectum), kayu pacar gunung (Cassine glauca), kayu bindung (Tetrameles mudiflora), kayu suren (Toona sureni), kayu sapen (Pometia tomentosa), kayu kepuh (Sterculia foetida), kayu bendo (Artocarpus 149

169 elasticus), kayu takir (Duabanga moluccana), kayu putat (Plachonella elasticus) dan kayu bungur (Lagerstroemia speciosa). Program rehabilitasi dengan menanam tanaman pokok dari spesies pohon asli dari taman nasional yang bermanfaat dan bernilai ekonomi yang sudah lama dikenal dan berinteraksi dengan masyarakat. Sehingga kedepan bisa memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara berkelanjutan dan sekaligus terwujudnya konservasi keanekaragaman hayati taman nasional yang benar-benar langsung dapat dilakukan aksi konservasinya oleh masyarakat dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Selama ini kita bicara konservasi plasma nutfah, namun sangat kurang sekali menggali dan mengembangkan manfaat plasma nutfah tumbuhan hutan bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Pihak pengelola bekerjasama dengan akademisi perguruan tinggi hendaknya melakukan kajian-kajian yang intensif dan sistematis untuk menjadikan dan meningkatkan nilai tambah sumberdaya keanekaragaman hayati yang terdapat dalam kawasan konservasi agar menjadi komoditi yang dapat bermanfaat secara langsung maupun tak langsung bagi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat sekitar hutan, baik untuk pangan, papan dan kesehatan. Jenis-jenis tumbuhan obat yang selama ini dikembangkan perlu diteruskan dengan konsep Agro-forestry sekaligus mengembangkan agroindustry skala rumah tangga. Sekitar 16 jenis tumbuhan obat unggulan yang sudah lama dipanen dari hutan oleh masyarakat, seperti kedawung, cabe jawa, kemiri, kluwek, joho lawe, pule pandak, kemukus, pule dan lain-lain. Begitu juga jenis-jenis penghasil kayu untuk perumahan rakyat seperti jenis suren, aromatik untuk parfum, penyedap pangan dari tumbuhan hutan seperti kluwek. Pengembangan lebah madu dan termasuk kemampuan untuk proses paska panen madu, peningkatan kualitas dan pengemasan harus sudah dimiliki kemampuan ini oleh masyarakat. Masyarakat peserta rahabilitasi lahan tetelan dan ini dapat menjadikan hutan semi alami seperti wujud hutan kebun repong yang sudah dibangun dan dikembangkan lebih 100 tahun yang lalu oleh masyarakat hutan di Pesisir Krui Lampung. Komposisi spesies vegetasi yang tumbuh di sekitar pohon kedawung di hutan secara alami sangatlah penting untuk dijadikan acuan dalam pengembangan 150

170 penanaman pohon kedawung secara agroforestry di tetelan zona rehabilitasi. Selama ini dalam pengembangan kedawung di zona rehabilitasi belum mengikut sertakan penanaman spesies-spesies seperti acuan di atas. Kedawung tidak menyukai sesama spesiesnya hidup berdekatan, tetapi spesies lain yang beranekaragam seperti yang disebutkan di atas dia dapat hidup sehat, hal ini antara lain sebagai suplai nutrisi melalui pembusukan dan pendauran serasah dari beranekaragam spesies, maupun fungsi-fungsi interaksi yang saling menguntungkan yang belum banyak diketahui, seperti habitat hewan pelaku proses penyerbukan, dan lain-lain. Semua ini diduga akan sangat memberi pengaruh terhadap berbuahnya pohon kedawung yang ditanam selama ini. Berikut dikemukan suatu pengalaman di hutan Amazona Brasilia yang dikemukan oleh Mendes (1994) mengenai domestikasi sejenis pohon polongpolongan, yaitu kacang Brazil (Bertholletia excelsa) secara monokultur yang gagal menghasilkan buah di suatu areal perkebunan. Amerika Serikat setiap tahunnya mengimpor lebih dari 16 juta dolar polong- polongan Brasil yang dikumpulkan orang Indian dan masyarakat pengumpul dari pohon-ohon yang bertebaran di hutan-hutan alam Amazona. Beberapa tahun yang lalu, seorang pengusaha memutuskan untuk menanam pohon polong-polongan itu di sebuah perkebunan, karena dianggapnya lebih efisien. Pohon-pohon itupun ditanam dan tumbuh dengan baik dan pada masanya pohon-pohon itupun berbunga. Tapi pohon-pohon itu tidak berbuah. Tak seorangpun tahu pasti bagaimana pohon polong-polongan Brasil diserbuki. Tapi tampaknya itu bergantung pada kerja gabungan berbagai jenis lebah tertentu dan anggrek yang kesemuanya tidak ada di perkebunan. Penyerbukan atau perkembangbiakan spesies ini bergantung pada suatu interaksi yang rumit dengan lingkungannya, maka membersihkan lingkungannya secara efektif akan membunuh pohon itu. Inilah juga yang dikhawatir bisa atau sedang terjadi di lahan tetelan zona rehabilitasi, bahwa pohon kedawung yang sudah ditanam secara agroforestry sejak tahun 1994 dengan berbagai jenis tanaman semusim belum ada yang berbuah, tidak seperti pohon kedawung yang terdapat di hutan alam. Perlu diwaspadai pengalaman di Brazil dengan penanaman pohon kacang Brazil secara besar-besaran yang disebutkan di atas, yang gagal berbuah. Pengalaman masyarakat hutan Meru Betiri ada kesamaan dengan pengalaman masyarakat hutan Amazona Brasil yang sama-sama merupakan ekosistem hutan hujan tropika. Peran perguruan tinggi dimasa global ini seperti yang dimuat kerangka pemikiran dalam penelitian ini, sangatlah penting. 151

171 Terutama berhubungan dengan perkembangan pengetahuan dan tukar menukar informasi dan pengalaman bagi masyarakat hutan dan pengelola untuk penyempurnakan pengelolaan hutan yang lestari pada masing-masing tempat. Sehingga tidak membuat kesalahan yang sama yang menimbulkan pemborosan waktu, tenaga dan biaya, sehingga segera terwujudnya kesejahteraan masyarakat hutan yang berkesinambungan dan sekaligus konservasi taman nasional tercapai. 4. Peningkatan kapasitas dan kinerja SDM pengelola Kapasitas sumber daya manusia pengelola TNMB perlu segera ditingkatkan, terutama staf fungsional untuk (1) penyuluhan dan pendampingan kepada masyarakat di lapangan; (2) memahami dan mampu menyusun dan menterjemahkan program sesuai dengan peraturan dan perundangan yang mendukung dan berkaitan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaannya yang berkelanjutan. Peningkatan kapasitas SDM harus dapat meningkatkan kemampuan dan penguasaan karakteristik bioekologi potensi sumberdaya keanekaragaman hayati TNMB. Sekaligus memahami sosio-budaya masyarakat, agar mampu memotivasi dan mendorong masyarakat untuk bersikap dan berperilaku untuk aksi konservasi. Kapasitas SDM pengelola sangat akan berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan taman nasional. Namun sebagai salah satu prasyarat agar kinerja SDM pengelola TNMB dapat baik dan meningkat adalah cukupnya insentif dan reward yang diperoleh secara legal oleh setiap individu pengelola untuk memenuhi kebutuhan hidup materilnya secara normal, wajar dan rasional. Argumen pakar ekonomi UI Tarmidi (2005) yang dikemukakannya di harian Kompas tanggal 16 Mei 2005 tentang kinerja dan perlunya kenaikan gaji pegawai negeri sangatlah ilmiah dan dapat diterima akal sehat. Menaikkan gaji pegawai negeri adalah yang utama lebih dahulu dilakukan. Bagaimana benang bisa ditegakkan jika tidak digosok lilin dulu? Mengambil contoh negara-negara maju, di sana tingkat gaji pegawai negeri sudah setara dengan sektor swasta atau harga pasar, sehingga orang bisa konsentrasi bekerja dengan tenang melaksanakan tugasnya masing-masing tanpa harus memikirkan akan makan apa, bagaimana membiaya anak yang sakit atau sekolah. Sebaliknya, tidak mungkin bisa 152

172 mengharapkan pegawai negeri dengan gaji rendah bisa mengabdi dengan jujur, baik, dan sarana yang tersedia. Namun, ini baru memenuhi necessary condition, belum memenuhi prasyarat sufficient condition. Tanpa dilengkapii sufficient condition ini, program pemberantasan korupsi tidak akan berhasil. Sufficient conditions yang harus dipenuhi adalah penegakkan hukum, dan program ini harus terus dijalankan dengan konsisten. Syarat sufficient condition lainnya adalah menempatkan pejabat-pejabat yang jujur dan berkompeten di jajaran pimpinan dan menjadikan kebersihan diri sebagai acuan untuk menduduki jabatan. Tindakan terakhir ini akan menjadi senjata ampuh, karena orang tahu, hanya pegawai yang bersih yang bisa menduduki jabatan pimpinan. 5. Membangun kemitraan industri jamu dengan masyarakat pendarung Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat pendarung, bahwa setiap tahun hasil panenan biji kedawung habis terjual untuk industri jamu, melaui perantara tengkulak. Hal ini sesuai dengan penelitian Purwandari (2001) semua hasil biji kedawung habis terserap oleh industri jamu di Jawa dan kebutuhan industri masih belum bisa terpenuhi, suplai biji kedawung langsung diserap industri jamu meningkat setiap tahunnya dan rata-rata per tahun mencapai 88 ton. Biji kedawung digunakan oleh 10 industri jamu di Jawa untuk memproduksi 51 macam produk obat tradisional atau jamu yang sebagian produknya telah diekspor ke mancanegara. Kecenderungan suplay-demand biji kedawung selama 5 tahun ( ) oleh 2 industri jamu yang terbanyak membutuhkan biji kedawung untuk produk jamunya ditunjukkan pada Gambar 42 berikut (Purwandari, 2001) : 60 Ton Tahun 1999 Air Mancur Jamu Jago Gambar 42. Serapan biji kedawung oleh dua industri jamu besar tahun Masaa kini dan mendatang perlu dijalin kerjasama yang saling menguntung antara masyarakat, pengelola dan industri jamu untuk konservasi kedawung. 153

173 Pemerintah daerah seharusnya berperan sebagai fasilitator dan regulator secara proaktif bagi kepentingan ketiga belah pihak dengan prinsip keadilan yang berkelanjutan, misalnya pajak yang dipungut oleh pemerintah dari industri jamu hendaknya disalurkan untuk kepentingan penelitian, peningkatan IPTEK dan kapasitas masyarakat bagi konservasi kedawung dan peningkatan nilai tambahnya bagi masyarakat. Pemerintah daerah hendaknya memfasilitasi untuk menjalin kemitraan masyarakat pendarung dengan industri jamu, terutama industri jamu yang menggunakan bahan baku kedawung dan bahan baku tumbuhan obat lainnya yang berasal masyarakat pendarung kawasan TNMB. Kemitraan ini penting dijalin agar pihak industri jamu maupun masyarakat pendarung dapat memberikan feed back kepada kedua belah pihak, terutama feed back berupa nilai tambah kepada masyarakat pendarung yang berada pada posisi nilai tawar yang lebih rendah. Pihak industri jamu hendaknya mengalokasikan sebagian keuntungannya untuk investasi dalam bentuk menyediakan dana pendidikan dan penelitian untuk pengembangan IPTEK konservasi sumberdaya alam hayati tumbuhan obat. Adanya kemitraan yang saling menguntungkan dengan aturan main yang disepakati kedua belah pihak ini dapat mendorong secara nyata terwujudnya tujuan ideal taman nasional, yaitu terpeliharanya potensi keanekaragaman hayati dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat sekitar taman nasional. Akhirnya akan berdampak positif, yaitu terwujudnya kelompok stakehoders kedawung yang kuat dan tangguh dari hulu sampai hilir, sehingga dapat berperan dan diperhitungkan di dunia global. 6. Membangun image stimulus tumbuhan obat kedawung sebagai pohon kehidupan untuk memelihara kesehatan rakyat Sejarah manfaat kedawung sangat dikenal dizaman penjajahan Belanda sampai di awal kemerdekaan, informasi ini dapat dilihat dalam buku Heyne (1987) dan Kloppenburgh-Veerteegh (1983), terutama pada masyarakat dari suku Jawa dan Melayu. Berdasarkan wawancara langsung dengan seorang mantan pejabat tinggi Departemen Kehutanan, yaitu Bpk. Ir. Soedjadi Hartono sesepuh yang lahir tahun 1935, bahwa dimasa kecilnya di Jawa Timur sejak umur 7 tahun sudah mengenal dan mengetahui manfaat kedawung. Beliau mengatakan 154

174 berdasarkan pengalamannya bahwa masyarakat suku Jawa umumnya dahulu mengenal dan menggunakan biji kedawung untuk mengobati sakit perut dan untuk peluruh kentut. Bukti dapat dilihat betapa tingginya dahulu masyarakat Jawa mengingati kedawung sebagai pohon penting, antara lain dengan memberi nama dan lambang perusahaan yang pernah besar di Jawa Timur dengan kedawung. Begitu juga berdasarkan wawancara langsung dengan etnis Jawa, Madura di TNMB dan etnis Dayak di Sintang Kalimantan Barat tahun 2005 menunjukkan bahwa walaupun tidak ada terjadi komunikasi antar etnis, tetapi ada kesamaan manfaat kedawung, mereka semua telah memberikan pernyataan yang sama bahwa kedawung dikenal dan digunakan untuk obat kembung, sakit perut dan memperlancar proses pencernaan. Ini ada kesamaan dengan masyarakat tradisional sekitar hutan tropika di Afrika Barat (Hall, Tomlinson, Oni, Buchy dan Aebischer, 1997; Quedraogo, 1995). Fakta ini menunjukkan ada nilai-nilai universal yang terdapat dalam tumbuhan obat kedawung, yaitu tumbuhan yang berkhasiat mengobati dan memelihara kesehatan pencernaan masyarakat dunia. Menurut Rubi (2005) pada tahun 2000, penyakit diare dan gastritis merupakan urutan penderita terbesar ke 3 dan ke 4 dari sepuluh terbanyak macam penyakit yang diderita penduduk miskin di Indonesia. Sudah menjadi pendapat umum di dunia kesehatan dan dunia kedokteran, bahwa segala macam penyakit fisik yang diderita manusia, umumnya berawal dari terganggunya proses pencernaan dan penyakit perut khronis yang tidak segera diobati. Sehingga dengan fakta ini pohon kedawung tidak saja penting fungsi keberadaannya di ekosistem hutan, tetapi juga penting bagi kehidupan masyarakat untuk memelihara kesehatan masyarakat seperti yang sudah sangat dikenal dalam kehidupan masyarakat generasi tua, terutama di Jawa dan Kalimantan. Berdasarkan fakta dan keterangan di atas, maka sangat strategis untuk membangun kembali image stimulus tumbuhan obat kedawung sebagai pohon kehidupan yang mempunyai multi-effect, baik dipandang dari aspek ekologis, ekonomi rakyat, maupun kesehatan rakyat banyak. Seharusnyalah dapat terwujud kesehatan masyarakat Indonesia dengan mudah dan murah, yaitu mentradisikan kembali konsumsi biji kedawung melalui makanan ataupun minuman sehari-hari. 155

175 Tumbuhan obat kedawung hendaknya dikembangkan dengan baik, yaitu mulai berangkat dari pengetahuan tradisional sampai bersambung dengan IPTEK terkini, sehingga kedawung benar-benar dapat berdampak positif didalam kehidupan masyarakat sehari-hari untuk mendukung paradigma sehat yang sudah dicanangkan pemerintah pada tahun 2000 yang lalu. Sintesis penyelesaian masalah yang diungkapkan semua di atas yaitu membangun sikap pro-konservasi dan menyempurnakan kebijakan pengelolaan hendaknya dilakukan secara simultan dan berkelanjutan dengan pentahapan yang runut dan sistematis. Hal ini mengingat karena umumnya semua aspek yang dikemukakan di atas saling berkaitan dan saling mempengaruhi. 156

176 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan 1. Konservasi kedawung di lapangan gagal, karena terjadi ketidak-sejalanan antara stimulus dengan sikap dan aksi konservasi masyarakat maupun pengelola. Sinyal kedawung tentang kelangkaan selama ini tidak menjadi informasi bagi masyarakat pendarung maupun pengelola. Sehingga sinyal kedawung yang menginformasikan tindakan yang seharusnya dilakukan, tidak menjadi stimulus bagi masyarakat maupun pengelola untuk bertindak konservasi. 2. Stimulus kedawung tidak terkait erat dengan sikap masyarakat dan sikap pengelola, kecuali stimulus manfaat ekonomi. Tetapi stimulus manfaat ekonomi ini tidak simultan menjadi pendorong sikap dan aksi konservasi di lapangan. Begitu juga stimulus tentang manfaat obat tidak menjadi sikap untuk aksi konservasi. 3. Terjadi bias terhadap pemahaman stimulus kedawung, terutama yang berkaitan dengan kegagalan proses regenerasi, sehingga tidak menjadi stimulus bagi sikap dan aksi konservasi oleh masyarakat maupun oleh pengelola. 4. Tidak adanya kerelaan dari masyarakat untuk aksi konservasi, hal ini terjadi karena : (1) masyarakat tidak memahami dan tidak menyadari sifat bioekologi kedawung sangat memerlukan bantuan manusia untuk penyebaran biji di alam; (2) nya hak kepemilikan atau hak pemanfaatan yang legal bagi masyarakat, hal ini menjadikan sikap masyarakat bersifat masa bodoh terhadap aksi konservasi; (3) nilai-nilai religius dan nilai-nilai sosio-budaya tidak lagi menjadi stimulus bagi sikap dan aksi masyarakat untuk konservasi. 5. Terjadi perbedaan pengalaman dalam sikap dan aksi konservasi antara masyarakat dengan pengelola. Ternyata masyarakat lebih berpengalaman dengan konservasi kedawung dibanding dengan pengelola. Misalnya masyarakat ikut membantu konservasi kedawung melalui penyebaran biji di hutan walaupun hal ini umumnya mereka lakukan tanpa disengaja pada waktu mengangkut biji, yaitu adanya biji yang tercecer di lantai hutan.

177 6. Masyarakat dan pengelola tidak memahami dan tidak menyadari bahwa stimulus, sikap dan aksi konservasi harus dilaksanakan secara simultan. Prasyarat terwujudnya konservasi kedawung atau konservasi sumberdaya hayati taman nasional lainnya secara nyata di lapangan apabila totalitas dari tristimulus amar (alamiah, manfaat dan religius) konservasi harus simultan dan mengkristal (menyatu) menjadi pendorong bagi sikap masyarakat dan pengelola untuk aksi konservasi. 7. Stimulus kedawung untuk konservasi adalah unik (spesifik) dan akan menjadi efektif apabila ditujukan kepada subjek masyarakat yang unik (spesifik) pula. Dalam hal ini yaitu kepada masyarakat pendarung yang sudah bertungkus lumut dengan kedawung. Apabila ada kelompok masyarakat yang tidak menangkap atau tidak memahami stimulus alamiah dan stimulus religius, tetapi menyikapi positif stimulus manfaat ekonomi, maka kelompok masyarakat tersebut akan menjadi kelompok masyarakat free rider yang dapat mengancam bagi keberlanjutan konservasi kedawung. 8. Tujuan ideal konservasi taman nasional gagal terwujud di lapangan. Sikap pemerintah sebagai pengelola yang dicerminkan dari semua peraturan perundangan yang terkait dan kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan tidak mencerminkan kristalisasi sikap dan perilaku tri-stimulus amar konservasi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa peraturan perundangan selama ini dibuat sangat kurang berdasarkan stimulus, fakta dan karakteristik lapangan yang dihasilkan dari hasil-hasil penelitian yang grass root. 9. Pihak pengelola menyikapi stimulus alamiah bersifat sempit, kaku dan terbatas pada aksi perlindungan kawasan dan memutuskan hubungan interaksi dengan masyarakat kecil, seperti masyarakat pendarung kedawung. Sedangkan stimulus manfaat (terutama berkaitan dengan kebutuhan masyarakat lokal) dan stimulus religius (berkaitan dengan nilai-nilai religius dan nilai-nilai sosiobudaya masyarakat setempat/tradisional) yang berpotensi sebagai modal sosial untuk konservasi, tidak menjadi sikap dan perhatian pengelola. 158

178 B. Implikasi 1. Teori Konsep konservasi sumberdaya alam hayati pada saat ini dan masa mendatang harus mencakup juga pembangunan dan pemeliharaan sikap masyarakat manusia yang pro-konservasi yang selama ini banyak terabaikan. Masalah konservasi timbul karena terjadinya penyimpangan atau bias sikap dan perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan alam. Masyarakat manusia berinteraksi dengan alam hendaknya tidak ditinjau secara mekanistik dan materialistik saja, melainkan juga mengikat interaksi tersebut dengan nilai-nilai religius yang universal, nilai-nilai kearifan budaya, etika, bahkan sampai kepada dosa dan pahala. Tri-Stimulus Amar Konservasi dapat memberikan suatu masukan bagi penyempurnaan teori sikap dan perilaku konservasi, khususnya sumbangan bagi determinasi tentang kelompok stimulus untuk aksi konservasi sumberdaya keanekaragaman hayati yang harus menjadi satu kesatuan tindak yang utuh. Stimulus yang dimaksud adalah sebagai pendorong kuat kepada sikap dan perilaku masyarakat untuk terwujudnya aksi konservasi secara kongkrit di lapangan. Tri-Stimulus Amar Konservasi merupakan pendorong utama sikap dan aksi konservasi dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu stimulus alamiah, stimulus manfaat dan stimulus religius. Ketiga kelompok stimulus ini tidak dapat dipisah dan harus telah mengkristal menjadi satu kesatuan sebagai stimulus kuat (evoking stimulus) penggerak, pendorong dan pembentuk sikap-perilaku untuk aksi konservasi. Hal ini sekaligus sebagai prasyarat terwujudnya konservasi di dunia nyata atau di dunia grass root. Dalam konteks sistem nilai ke tiga kelompok stimulus ini tidak lain adalah kristalisasi dari nilai-nilai : kebenaran, kepentingan dan kebaikan. Kristalisasi atau resultant atau kombinasi dari nilai-nilai inilah yang dapat menjadi penggerak, penyeimbang dan pengendali terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi yang berkelanjutan di kehidupan nyata. Aksi konservasi saat ini dan masa datang hendaknya merupakan keberlanjutan dan persambungan dari pengalaman masyarakat masa lalu, terutama 159

179 pengalaman masyarakat tradisional sampai kepada pengalaman masyarakat modern yang diikat dan didorong oleh tri-stimulus amar konservasi. Sesungguhnya nilai religius tidak semata-mata berkaitan dengan kehidupan ritual keagamaan seseorang, akan tetapi tercermin juga dalam kehidupan sehari-hari seperti menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, seperti kejujuran, keikhlasan, kesediaan berkorban, kesetiaan dan lain sebagainya. Nilainilai religius telah terbukti merupakan motivator utama dan kuat dalam sejarah kehidupan umat manusia yang hidup dimasa hayat nabi-nabi yang telah menjadi energi stimulus dan sangat efektif dalam membangun sikap dan perilaku individu manusia di zaman itu sampai zaman sekarang. Konsep religius tentang masalah lingkungan sangat efektif meluruskan pandangan, pola pikir, sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan dengan aturan-aturan dan dasar-dasar akhlak mulia. Nilai-nilai dan norma-norma inilah yang selayaknya kita jadikan dan tumbuh-kembangkan sebagai stimulus utama dalam melakukan keberlanjutan konservasi alam hayati dan lingkungan, khususnya konservasi taman nasional di Indonesia dan di dunia. Sejarah telah membuktikan, bahwa konservasi itu baru dapat terwujud dikehidupan nyata, apabila pada setiap diri individu manusia memiliki keikhlasan dan kerelaan berkorban untuk orang lain dan untuk konservasi alam. Teknologi tentang ikhlas yang sangat powerful yang telah diajarkan agama selama ini sudah mulai banyak digali dan dikembangkan secara ilmiah oleh para pakar untuk diterapkan disemua bidang kehidupan. Saat ini dan dimasa mendatang teori dan teknologi tentang keikhlasan merupakan sesuatu yang sangat penting dan up to date digali dan ditumbuh-kembangkan dalam pembangunan sikap masyarakat yang pro-konservasi. 2. Kebijakan Untuk mendukung tujuan ideal pengelolaan taman nasional yaitu bertujuan untuk keberlanjutan konservasi dan kesejahteraan masyarakat, maka perlu dilakukan revisi dan penyempurnaan peraturan perundangan yang berlaku. Konsep tristimulus amar konservasi merupakan pintu masuk dan sekaligus alat (tool) yang dapat digunakan efektif untuk melakukan perubahan, revisi dan penyempurnaan 160

180 peraturan perundangan sampai kepada program kegiatan pengelolaan taman nasional di lapangan. Konsep konservasi alam di Indonesia berupa pengawetan dan perlindungan hutan yang menekan sekecil mungkin interaksi hutan dengan aktivitas masyarakat hendaknya dirubah menjadi memelihara dan meningkatkan interaksi hutan dengan aktivitas masyarakat lokal berbasis konsep tri-stimulus amar konservasi, sebagaimana yang telah diterapkan oleh masyarakat tradisional sekitar hutan dari berbagai etnis di Indonesia Implikasi dari penelitian ini adalah kebijakan pengelolaan taman nasional hendaknya disempurnakan dengan menjadikan masyarakat pendarung atau masyarakat hutan atau masyarakat lokal atau masyarakat kecil atau masyarakat tradisional sebagai subjek yang ikut mengelola taman nasional. Sekaligus membangun aspek legalitas mengenai akses kelompok masyarakat pendarung ini kepada sumberdaya alam hayati taman nasional. Terutama hak dan akses kepada hasil hutan non-kayu dari spesies yang selama ini telah bertungkus lumut berinteraksi positif dengan masyarakat pendarung. Tentunya masyarakat pendarung perlu dilakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas dengan membangun sikap dan perilaku tri-stimulus amar konservasi. 161

181 DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, OO Suryono Kajian Faktor-Faktor Lingkungan Biotik Tumbuhan Obat Kemukus (Piper cubeba L.F) di Taman Nasional Meru Betiri. Skripsi Sarjana, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan. Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir Ensiklopedi Muslim, Minhajul Muslim. Darul Falah. Jakarta Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khatab. Khalifa. Jakarta. Amzu, E Karakteristik Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.): Potensi Stimulus untuk Aksi Konservasi di Taman Nasional Meru Betiri. Media Konservasi Vol.IX No. 2, Desember 2004: Ardiani, Amalia Pengaruh Ukuran dan Berat Biji Kedawung (Parkia roxburghii G.Don) Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Semai.. Skripsi Sarjana, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan. Awang, S.A Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. BIGRAF Publishing. Yokyakarta. Baihaki, C Kajian Potensi Fitokimia dari Hutan di Blok Kebonsegoro- Manung-Tanjungpring-Ngaleng Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Skripsi Sarjana, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan. Bahrun Beberapa Aspek Ekologi Pakem (Pangium edule Reinw.) di Taman Nasional Meru Betiri. Skripsi Sarjana, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan. Balai Taman Nasional Meru Betiri. 2004a. Recana Strategis Taman Nasional Meru Betiri. Jember. Tidak dipublikasikan b. Rencana Karya Lima Tahun Taman Nasional Meru Betiri Periode Jember. Tidak dipublikasikan c. Statistik Balai Taman Nasional Meru Betiri Tahun Jember. Tidak dipublikasikan. Barber, C.V., N.C. Johnson dan E. Hafild (Terjemahan). Menyelamatkan Sisa Hutan di Indonesia dan Amerika Serikat. Yayasan Obor. Jakarta. Hal : 1-4; Dasmann, R.F., J.P. Milton, P.H. Freeman Prinsip Ekologi untuk Pembangunan Ekonomi. PT. Gramedia. Jakarta. Dewi, Helianthi Klasifikasi Vegetasi di Taman Nasional Meru Betiri. Skripsi Sarjana, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan.

182 Dewi, Yanie N Pengambilan Sumberdaya Hutan Berkhasiat Obat Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Meru Betiri. Skripsi Sarjana. Departemen KSH, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Dipublikasikan. Hal: 63 Dudley, N Forest in Trouble: A Review of the Status of Temperate Forests Worldwide. Worldwide Fund for Nature, Gland, Switzerland. Durning, A Guardians of the Land: IndigenousPeoples and the Health of the Earth. Washington, D.C., Worldwatch Institute Paper 112. Edwards, Allen L Techniques of Attitude Scale Construction. Appleton- Century-Crofts, Inc. New York. Hal 13-14; Erasmus, C.J Man Takes Control. University of Minnesota Press. Minneapolis. Etherington, J.R Environment and Plant Ecology. Wiley Eastern Limited. New Delhi. Faqih, Ahmad Sekilas tentang Motivasi Berprestasi. hl motivasi. Foresta, H de, A. Kusworo, G.Michon dan WA. Djatmiko Ketika Kebun Berupa Hutan: Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan Masyarakat. IRD. Bogor. Golar, Adaptasi Sosio-Kultural Komunitas Adat Toro dalam Mempertahankan Kelestarian Hutan. Dalam Soedjito, H. (Penyunting) Kearifan Tradisional dan Cagar Biosfer di Indonesia. Komite Nasional MAB Indonesia, LIPI. Jakarta. Hal : 42 Hadad, M., Taryono, Udin, SD., dan Rosita, SMD Pemanfaatan Meniran dan Kedawung dalam Obat Tradisional di Jawa Barat. Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. 2 No. 5. Hal 1-2. Hall, J.B., H.F. Tomlison, P.I. Oni, M. Buchy, and D.P. Aebischer Parkia biglobosa. A Monograph. School of Agricultual and Forest Science, University of Wales, Banggor, U.K. Hanani, E Isolasi dan Identifikasi Sterol dari Biji dan Kalus Parkia javanica. Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. 2 No. 5. Hal 9-10 Hardjodarsono, H.M.S., R.I.S.Pramoedibyo, S.Sudibya, T. Siswosoenarko Sejarah Kehutanan Indonesia I. Periode Pra sejarah Tahun Departemen Kehutanan. Jakarta. Harris, D.R. and Hillman, G.C. (edited) Foraging and Farming. The Evolution of Plant Exploitation. One World Archaeology. Unwin Hyman. London. Iskandar, Sofyan Interaksi Lutung (Trachypithecus auratus E. Geoffroy, 1812) dengan Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr) Ditinjau dari Perilaku Makannya di Taman Nasional Meru Betiri. Skripsi Sarjana, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan. 163

183 Kasali, Rhenald Re-Code Your Change DNA Membebaskan Belenggu- Belenggu untuk Meraih Keberanian dan Keberhasilan dalam Pembaharuan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Kementerian Lingkungan Hidup Status Lingkungan Hidup Indonesia Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta. Hal: 212. Kloppenburgh-Veerteegh Petunjuk Lengkap Mengenai Tanaman-tanaman di Indonesia dan Khasiatnya sebagai Obat-obatan Tradisional. Jilid I. Bagian Botani. Yayasan Dana Sejahtera dan CD. RS. Bethesda Yokyakarta. Diterjemahkan oleh CD. R.S. Bethesda Yokyakarta. Koentjaraningrat Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. PT. Gramedia. Jakarta. Hal : Konsiliwati, Peny Kristin Kajian Ekologi Cabejawa (Piper retrofractum Vahl.) di Taman Nasional Meru Betiri. Skripsi Sarjana, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan. Konsorsium FAHUTAN IPB LATIN, The Indonesian Tropical Forest Medicinal Program. Final Report Tidak dipublikasikan. Krech, D., R.S.Crutchfield and E.L.Ballachey Individual In Society. A Textbook of Social Psychology. University of California, Berkeley.McGraw-Hill Book Company, Inc.New York. Hal: 20-21; 26; 349. Maslow, A.H Motivation and Personality. Harper & Row Publisher, New York. McNeely, J.A. and J.W. Thorsell Enhancing the Role of Protected Areas in Conserving Medicinal Plants, in : O. Akerele, V. Heywood and H. Synge (eds) Conservation of Medicinal Plants. Cambridge University Press. Cambridge McNeely, J.A Ekonomi Keanekaragaman Hayati: Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Meffe, G. K. dan C.R. Carroll Principles of Conservation Biology. Sinauer Associates, Inc. Publishers. Sunderland, Massachusetts. USA. Hal : ; Mendes, Chico (terjemahan). Berjuang Menyelamatkan Hutan, Sebuah kata Hati. WALHI dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Mirwan Analisis Vegetasi dan Uji Fitokmia pada Blok Andongrejo- Jambean, Resort Guci Betiri, Taman Nasional Meru Betiri, Jember-Jawa Timur. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Skripi. Tidak dipublikasikan. Mujenah Interaksi Masyarakat dengan Tumbuhan Obat di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Skripsi Sarjana, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan. Myers, N Deforestation Rates in Tropical Forests and Their Climatic Implications. London, Friends of the Earth. 164

184 Nainggolan, R Teladan dari Toro : Harmonis Bersama Alam. Harian Kompas, Selasa 1 Mei 2007, halaman 14. Ndraha, Taliziduhu Teori Budaya Organisasi. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Nugroho, I. A Studi Penyebaran 11 Spesies Tumbuhan Obat di Taman Nasional Meru Betiri dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografi. Skripsi Sarjana, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 : Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Peraturan Menteri Kehutanan Nomaor: P.01/Menhut-II/2004 : Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.19/Menhut-II/2004 Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Peraturan Pemerintah No. 68, 1998: Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Purwandari, S.S Studi Serapan Tumbuhan Obat sebagai Bahan Baku pada Berbagai Industri Obat di Indonesia. Tesis Master Sains pada Program Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Quedraogo, Abdou-Salam Parkia biglobosa (Leguminosae) en Afrique de l Quest : Biosystematique et Amelioration. Institut for Forestry and Nature Research IBN-DLO. Wageningen, The Netherlands. Hal; Rachman, Ali M.A Social Integration and Energy Utilization. Dalam A. Terry Rambo and Kathleen Gillogly : Profiles in Cultural Evolution. Ann Arbor, University of Michigan. USA. Hal Traditional Information Capture and Environmental Knowledge. Dalam Mimbar Sosek. Journal of Agricultural and Resource Socio-Economics. Volume 9 No. 2, December Hal : Pemberdayaan Masyarakat Kecil Memasuki Era Global: Suatu Reformasi Kerangka Pikir Konseptual Dalam Ekologi Manusia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ekologi Manusia. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan Masyarakat Kecil Dalam Era Global. Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Bangi Membangun Moral dan Etika Kepemimpinan Nasional Guna Terjaminnya Pemerintahan yang Bersih Dalam Rangka Mendukung Stabilitas Sosial Budaya. Kertas Karya Perorangan Kursus Singkat Angkatan XI Lemhanas RI. Tidak Dipublikasikan. 165

185 Rahayu, S SPSS Versi Dalam Pemasaran. Alfabeta. Bandung. Reid, W.V. dan Miller, K.R Keeping Options Alive: The Scientific Basis for Conserving Biodiversity. Washington, D.C., World Resources Institute. Rinekso, A. J Model Penduga Produksi Biji Kedawung (Parkia roxburghii G. Don) di Taman Nasional Meru Betiri. Skripsi Sarjana, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan. Riyanto, B Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. Bogor. Hal : 145 Rosenberg, M.J. and G.I. Hovland Cognitive, Affective, and Behavioral Components of Attitudes. In M.J. Rosenberg et al., Attitude Organization and Change. New Haven, Conn. Yale University Press. London. Hal Rosenberg, M.J An Analysis of Affective-Cognitive Consistency. In M.J. Rosenberg et al., Attitude Organization and Change. New Haven, Conn. Yale University Press. London. Hal Rubi, M Pendanaan Kesehatan Bagi Penduduk Miskin dalam Thabrany, H. (ed.) Pendanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana Kesehatan di Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta. Hal: 133. Salamah, Wahyu Kusbandi Perbanyakan Tumbuhan Obat Cabejawa (Piper retrofractum Vahl.) dengan Menggunakan Stek Batang. Skripsi Sarjana, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan. Sandra, E. dan S. Kemala Tinjauan Permintaan Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia dalam Zuhud, E.A.M. dan Haryanto (Editor) Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN). Bogor. Sari, P.P Potensi Antimikroba Ekstrak Biji, Daun, Kulit Akar dan Kulit Batang Kedawung (Parkia roxburghii G. Don) Terhadap Bakteri Patogen dan Perusak Makanan. Skripsi Sarjana. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Sardjono, M.A Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press. Jokjakarta. Hal : 270 Sharp, I dan A. Compost Green Indonesia, Tropical Forest Encounters. Oxford University Press. Kuala Lumpur. Hal : 175. Shohibuddin, M Artikulasi Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Sebagai Proses Reproduksi Budaya (Studi Komunitas Toro di Pinggiran Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah). Sekolah Pascasarjana. IPB. Thesis. Tidak diterbitkan. Siagian, S. P Teori Motivasi dan Aplikasinya. PT Rineka Cipta. Jakarta. 166

186 Siegel, S Nonparametric Statistics: For the Behavioral Sciences. McGraw- Hill. New York. Sihotang, P Potensi Tumbuhan Obat di Daerah Penangan Hingga Kebon Segor, Bandealit, TN Meru Betiri. JKSH, Fahutan IPB. Skripsi. Tidak dipublikaskan. Simon, H Prinsip dan Watak Pengelolaan Sumberdaya Hutan yang Lestari dan Berkelanjutan. Dalam Awang, S.A. (Ed.) Forest for People Berbasis Ekosistem. BIGRAFF Publishing, Yokyakarta. Soedjito, H dan E. Sukara Mengilmiahkan Pengetahuan Tradisional: Sumber Ilmu Masa Depan Indonesia. Dalam Soedjito, H. (Penyunting) Kearifan Tradisional dan Cagar Biosfer di Indonesia. Komite Nasional MAB Indonesia, LIPI. Jakarta. Hal : 4 Soejono Perilaku Tanaman Kedawung (Parkia javanica Lamk. Merr.) Koleksi Cabang Balai Kebun Raya Purwodadi. Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia, Vol.2 No. 5 hal 5-6. Studiawan, H., W. Dyatmiko Isolasi dan Identifikasi Sterol dari Ekstrak Heksana Biji Kedawung (Parkia javanica). Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. No. 5. Hal Sudjana Metoda Statistika. Penerbit Tarsito. Bandung. Sumarto dan S. Wahyuni Pengaruh Perlakuan Terhadap Perkecambahan Kedawung. Di dalam Jurnal Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Surat Keputusan Menhut No. 6186/ Kpts.-II/ Juni 2002 : Organisasi dan Tatakerja Balai Taman Nasional. Triawan, Deddy Kata Pengantar dalam Chico Mendes Berjuang Menyelamatkan Hutan, sebuah kata hati. WALHI dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Walgito, Bimo Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), Edisi Revisi. Penerbit Andi. Yokyakarta 167

187 Watt, K.E.F., Principles of Environmental Science. McGraw-Hill Book Co. New York. Wibowo, D. A Etnobotani, Nilai Manfaat dan Karakteristik Masyarakat Pemanen Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.) Studi Kasus di Desa Klino, Kec. Ngambon, Kab. Bojonegoro dan Desa Klangon, Kec. Saradan, Kab. Madiun. Skripsi Sarjana Jurusan KSH, Fahutan IPB. Tidak dipublikasikan. Winara, A Beberapa Aspek Ekologi Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr) di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur. Skripsi Sarjana, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan. Wiriadinata, H Parkia roxburghii G.Don dalam M.A. Rifai, Rugayah dan E.A. Widjaja (penyunting). Tiga Puluh Tumbuhan Obat Langka Indonesia. Sisipan Floribunda 2: 21-22, 17 Juli Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia- WWF. Bogor. World Resources Institute (WRI), World Resources : A Guide to the Global Environment. Oxford University Press, New York. Yuliani, Sri., Ma mun, Tritianingsih Analisis Kadar Tanin Biji Kedawung (Parka javanica Merr.) dari Berbagai Lokasi Secara Spektrofotometri. Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2 No. 5. Hal 8-9 Yusuf, U.K. dan E.A.M. Zuhud dalam Plants Resources of South-East Asia No 12(2): Medicinal and poisonous plants 2. Backhuys Publishers, Leiden. Zuhud, E.A.M. & Siswoyo Penelitian Pendahuluan Budidaya Tumbuhan Obat Kedawung (Parkia roxburghii G. Don). Jurnal Media Konservasi Vol IV (2): Zuhud, E.A.M., E. Hikmat, Siswoyo, E.Sandra dan H. Sumantri Inventarisasi, Identifikasi dan Pemetaan Potensi Wanafarma, Propinsi Jawa Timur: Taman Nasional Bromo Tengger, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Alas Purwo. Kerjasama DITJEN RLPS DEPHUT dengan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Zuhud, E.A.M Conservation of Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.) Based On Local People s Participation in Meru Betiri National Park, East Java, Indonesia. Jurnal Media Konservasi Vol. VIII, No.3, Desember 2003: Zuhud, E.A.M., L.B. Prasetyo, H. Dewi, H. Sumantri Kajian Vegetasi dan Pola Penyebaran Tumbuhan Obat Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Lab. Konservasi Tumbuhan KSH-IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. 168

188 Lampiran 2. Nilai rata-rata, standar deviasi, modus dan median skor sikap pengelola No Pernyataan Stimulus Sikap terhadap Nilai Manfaat Ekonomi X SD Mo Me 1 Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang telah menghitam 4,7 0, Saat pohon Kedawung berbuah, banyak masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya. 2,5 1, Pohon Kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat. 4,0 1, Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu 4,6 0,5 5 5 Rata-rata nilai skor untuk sikap nilai manfaat ekonomi 4 Sikap terhadap Nilai Manfaat Obat 5 Biji kedawung suka dipakai sendiri untuk obat sakit perut kembung. 1,9 1, Biji kedawung disimpan di rumah untuk obat. 1,3 0, Biji Kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung. 4,3 0, Pohon Kedawung merupakan tumbuhan obat yang banyak khasiatnya. 3, Rata-rata nilai skor untuk sikap nilai manfaat obat 3 Sikap terhadap Nilai Fungsi Ekologis 9 Pohon kedawung banyak tumbuh di lereng bukit yang terjal 4,2 0, Pohon kedawung adalah pohon raksasa pelindung/pengayom tumbuhan lainnya di hutan. 3,3 1, Pohon kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah madu. 3,5 0, Pohon kedawung menggugurkan daunnya 1 atau 2 kali dalam setahun. 3,2 0, Buah kedawung yang muda suka dimakan satwa budeng 4,4 0,8 5 5 Rata-rata nilai skor untuk nilai fungsi ekologis 4 Sikap terhadap Kodisi Populasi dan Regenerasi Kedawung (nilai kelangkaan) 14 Anakan kedawung sangat jarang dijumpai tumbuh menjadi besar di sekitar pohon induknya. 2,1 1, Pohon kedawung remaja/muda sangat jarang ditemukan di kawasan hutan alam. 3,7 1, Anakan kedawung hanya hidup dan tumbuh di tempat terbuka terkena sinar matahari. 2,8 1, Pohon kedawung dewasa lebih banyak dibanding pohon mudanya di hutan alam 2,2 1,1 1 2 Rata-rata nilai skor untuk kelangkaan 2 Aksi Konservasi 18 Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di areal hutan alam. 1,6 1, Buah Kedawung yang tergantung di pinggir tajuk terluar tidak semuanya dipungut 3,9 1, Pohon kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam. 2,9 1,6 4 3 Biji kedawung direndam air panas 5 menit, dalam air biasa 1 malam, dan kemudian disemaikan. 2,8 1, Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya. 3,2 1, Jarak tanam kedawung di lahan rehab sebaiknya diperlebar sekurangnya 30 m 2,8 1, Patroli dan larangan masyarakat masuk hutan, bukanlah kegiatan penting yang harus dilakuka 2,2 1,3 2 2 Rata-rata skor aksi konservasi 2 Kerelaan Berkorban untuk Konservasi Kedawung 2 Saat kedawung berbuah, banyak masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya 2 1, Pohon Kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat. 2,3 1,2 2 2 Jarak tanam pohon kedawung di lahan rehabilitasi sebaiknya diperlebar sekurangnya 30 meter 1,8 0, Kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia. 2,2 1, Permudaan kedawung di hutan alam tidak bisa diserahkan kepada alam saja. 1,9 1,1 1 2 Rata-rata skor kerelaan berkorban untuk konservasi Keterangan X : nilai rata-rata; SD : standar deviasi; Mo : modus; Me : median Sikap, aksi dan kerelaan berkorban nyata apabila nilai > 3.9 Sangat suka: 5; Suka: 4; Tak tahu: 3; Kurang suka: 2; Tidak suka: 1

189 Lampiran 3. Analisis Kandungan Hasil Wawancara Mendalam Kepada 10 Responden No Kelompok Pokok Kalimat Topik/ Pokok Kalimat Setomi (1) Rogayah (2) 1 Ciri pohon besar, tinggi, lurus besar, tinggi, lurus 2 Teknik panen panjat, pasang pantek, galah panjat, pasang pantek, galah 3 Manfaat obat biji untuk perut kembung, penghalus kulit, memperlancar nafas, menghangatkan tubuh, rebusan kulit kedawung untuk mengobati mencret biji: perut kembung, sipilis, memperlancar buang air kecil. 4 Manfaat ekologi mengayomi dan menaungi tumbuhan lain, cegah longsor mengayomi dan menaungi tumbuhan lain, cegah longsor 5 Manfaat ekonomi sumber mata pencaharian sumber mata pencaharian dari penjualan buah dan madu 6 Gugur daun 3 kali pertahun, berkala, tak serentak, bulan Maret dan setelah panen Oktober 7 Permudaan alami Sulit menemukan anakan Kedawung di hutan Sulit menemukan anakan Kedawung di hutan 8 Lutung/Budeng Buah dekat cabang utama, teratur dan bergantian dalam 1 bonggol 9 Kualitas dan kuantitas buah di ujung ranting lebih baik dan banyak dari pada buah buah dan biji yang dekat cabang utama 10 Syarat tumbuh daerah terbuka, terkena sinar matahari, tidak memiliki pesaing 11 Persebaran berjauhan, jarak sekitar 200 m, kecuali di Tumpak Dawung, jarak kedawung 30 m Buah dekat cabang utama, teratur dan bergantian dalam 1 bonggol buah yang tumbuh di tepi lebih banyak jumlahnya perlu sinar matahari jarak 300 m, tidak pernah melihat yang berdekatan 12 Lokasi tumbuh lereng, bukit, tempat kering bukit-bukit 13 Masa reproduksi-produksi Agustus panen Agustus mulai panen 14 Pengetahuan tradisional anak muda lebih menyukai kepraktisan, pengobatan pemuda dan kepraktisan dalam pemakaian sekarang pun hasil pengetahuan tradisonal 15 Sumber anakan hasil panen tercecer hasil panen tercecer 16 Penurunan hasil panen pohon tua, cabang dan ranting dipotong pohon tua, cabang dan ranting dipotong, regenerasi tidak ada karena biji dimakan ulat, pohon tidak berbuah 17 Sifat tumbuh anakan tidak dapat tumbuh di bawah pohon induk, membutuhkan sinar matahari dan tanpa pesaing 18 Bunga-madu tidak tahu, tapi kalau benar bunga kedawung dimakan lebah madu, maka pohon kedawung sangat penting manusia. biji perlu sinar matahari, jauh dari pohon induk banyak menemukan lebah madu mengerubungi bunga kedawung

190 Lampiran 3 (lanjutan) No Kelompok Pokok Kalimat Topik/ Pokok Kalimat Denni (3) Parno (4) 1 Ciri pohon bongggol banyak, besar, tinggi, lurus, berbanir tinggi, batang putih, kulit batang kayu tipis, tak banyak lendir sehingga tahan kering, berbanir, daun tak rapat, bebas cabang tinggi 2 Teknik panen panjat, pasang pantek, galah panjat, pasang pantek, galah 3 Manfaat obat obat perut kembung biji untuk perut kembung 4 Manfaat ekologi cegah erosi, pelindung bagi tumbuhan lain mengayomi dan menaungi tumbuhan lain, cegah longsor 5 Manfaat ekonomi dijual untuk tambahan pendapatan sumber mata pencaharian 6 Gugur daun setelah panen (bulan 11 dan 12), bulan 2 daun sempurna, bulan 3 kembali rontok, bulan 4 kembali tumbuh hingga bulan 5 muncul bunga, bulan 6 dan 7 mulai buah muda, bulan 8 dan 9 buah menua, bulan 10 panen terakhir. 7 Permudaan alami Anakan Kedawung sangat jarang - 2 kali pertahun, daun rontok, kemudian muncul daun, setelah panen rontok 8 Lutung/Budeng. Buah dekat cabang utama, teratur dan bergantian dalam 1 bonggol 9 Kualitas dan kuantitas buah yang di tengah lebih banyak, kerisnya panjangpanjang, buah di ujung dan pinggir tajuk berkualitas baik, biji buah dan biji ukuran biji sama besar, walau bonggol dan jumlah keris lebih sedikit 10 Syarat tumbuh 11 Persebaran jarak berjauhan (0,5-1 km), dalam 1 ha terdapat 1 pohon tidak berkelompok 12 Lokasi tumbuh terjal, miring, di atas bukit, tempat kering dapat hidup di tanah gersang, tak subur, dan kekurangan air 13 Masa reproduksi-produksi bulan 5 bunga, bulan 6 buah muda, bulan 8 dan 9 buah masak, tua, penyerbukan dengan bantuan lebah 14 Pengetahuan tradisional pemuda perlu penyuluhan, generasi muda menyukai kepraktisan 15 Sumber anakan sisa pangkasan dan ceceran panen buah susulan, buah rusak dengan biji masih utuh, tercecer 16 Penurunan hasil panen pohon tua, cabang dan ranting dipotong pohon sudah tua 17 Sifat tumbuh anakan ada yang tumbuh di bawah pohon induk, tetapi tidak dapat tidak ada yang tumbuh di bawah pohon induk menjadi besar ukurannya 18 Bunga-madu banyak menemukan lebah madu mengerubungi bunga kedawung lebah mengambil sari bunga tanpa mengganggu kedawung, meningkatkan produksi madu

191 Lampiran 3. (lanjutan) No Kelompok Pokok Kalimat Topik/ Pokok Kalimat Rawi (5) Widi (6) 1 Ciri pohon berbanir Raksasa, lurus, tinggi, akarserabut, tak berbanir papan, cabang dan ranting melebar, bebas cabang hingga 8 m, tajuk tak rimbun 2 Teknik panen panjat, pasang pantek, galah Panjat pohon, galah, pangkas cabang, ranting, mengambil kedawung tua, panen habis 3 Manfaat obat obat kembung, peluruh kentut obat sakit perut, kembung, nyeri: belum memanfaatkan 4 Manfaat ekologi cegah longsor dan erosi, pelindung dan pengayom tumbuhan lain Menaungi dan mengayomi tumbuhan lain 5 Manfaat ekonomi mata pencaharian Dapat dikadikan mata pencaharian dari penjualan buah kedawung dan madu 6 Gugur daun 2 kali pertahun, daun rontok, kemudian muncul daun, setelah panen rontok Belum melihat gugur daun saat kemarau dan buah menghitam 7. Permudaan alami Jarang melihat anakan kedawung di hutan Jarang menjumpai pohon Kedawung yang mua 8 Lutung bisa makan dari ujung ranting Kedawung muda, tak pernah jatuh, membantu penyebaran 9 Kualitas dan kuantitas buah di bagian tengah lebih bagus, jumlah bonggol dan keris bagian yang dekat maupun yang jauh dari batang buah dan biji lebih banyak utama sama kualitas dan kuantitasnya 10 Syarat tumbuh perlu sinar matahari, tempat terbuka mudah tumbuh dimana saja 11 Persebaran tersebar jauh, tunggal 12 Lokasi tumbuh Dataran rendah hingga tinggi, daerah datar-miring, daerah puncak dan terjal jarang 13 Masa reproduksi-produksi mulai berbunga bulan 4 hingga 5 Tidak memperhatikan 14 Pengetahuan tradisional pemuda dan kepraktisan dalam pemakaian Hasil obrolan, pewarisan informasi akan terus ada jika kedawung ada. Melibatkan anak-anak saat kehutan. 15 Sumber anakan hasil panen tercecer Buah tua, baik bagian tengah maupun tepi (ujung ranting). Biji alami dari hutan lebih baik 16 Penurunan hasil panen tidak tahu masyarakat menghabiskan buah yang sudah tua agar tidak kembali ke pohon semula 17 Sifat tumbuh anakan tidak ada yang tumbuh di bawah pohon induk Ada dibawah pohon induk, mudah hidup, ditemukan pula berjauhan 18 Bunga-madu lebah mengambil sari bunga, meningkatkan produksi madu, panen meningkat kemungkinan lebah menghisap madu

192 Lampiran 3. (lanjutan) No Kelompok Pokok Kalimat Topik/ Pokok Kalimat Gunadi (7) Jamil (8) 1 Ciri pohon Raksasa, lurus, tinggi, tajuk bercabang, beranting, berbuah, akar mengarah ke dalam dan samping, banir mencapai 2 m Banir besar, kecuali di tempat datar, cabang lebar, ranting lebar, daun majemuk 2 Teknik panen Mengambil kedawung tua, panjat pohon, galah, Memanjat dengan patok, pangkas, gantrol pangkas cabang, ranting, terkadang menebang dan memangkas. 3 Manfaat obat Obat kembung (pernah mencoba) obat sakit perut, pencahar 4 Manfaat ekologi cegah erosi dan menaungi tumbuhan lain Cegah erosi, tak semua sebagai pelindung, 5 Manfaat ekonomi Dapat dikadikan mata pencaharian dari penjualan buah mata pencaharian kedawung dan madu 6 Gugur daun Saat hujan dan kemarau, daun tua, sebagian Mulai akhir Juni 7 Permudaan alami 8 Lutung 9 Kualitas dan kuantitas buah dan biji 10 Syarat tumbuh Sulit menjumpai anakan tingkat pancang maupun tiang Buah muda, pupus daun capai tajuk terluar, tak jatuh dapat tumbuh dimana saja, kecuali dekat dengan laut Pernah melihat biji berkecambah di bawah pohon induk, tetapi tidak bisa hidup menjadi individu pohon Mengambil buah muda, tak semua dimakan, menu makanan tambahan, saat tertentu terkena sinar matahari 11 Persebaran berjauhan, ada pula yang ditemukan di bawah pohon induk terdapat blok kedawung 12 Lokasi tumbuh 13 Masa reproduksi-produksi Rendah hingga tinggi, datar sampai miring, kecuali dekat laut Berbuah Agustus-September 14 Pengetahuan tradisional Belum tentu terwariskan karena generasi muda tidak turut ke hutan 15 Sumber anakan Buah bagus, bulat lonjong, tua. Penyemaian dari buah berusia 1 bulan, diambil dari hutan. 16 Penurunan hasil panen selain buah yang diambil, bagian temapt tumbuh buah juga dimakan oleh lutung 17 Sifat tumbuh anakan 18 Bunga-madu Menemukan di bawah pohon karena buah tua dan rontok, jarak berjauhan Tidak ada madu yang dihasilkan dari bunga kedawung Tempat terjal, lereng, dekat sungai, beberapa di tempat relatif datar April (bulan 4) berbunga, Juni (bulan 6) berbuah, kedawung jeda berbuah pada tempat relatif datar Manfaat jarang diketahui, generasi muda tak mau tahu, informasi dari generasi tua tidak ada Sisa buah, ceceran panen, kedawung yang sulit dijangkau Regenerasi semakin berkurang. Anakan yang diharapkan menjadi tumbuhan induk tidak dapat hidup karena ternaungi dan tertimpa sesuatu. Sisa buah, perlu sinar matahari, disukai Macaca, regenerasi di alam baik, di bawah pohon induk tidak ada madu bagi lebah pada akhir musim hujan

193 Lampiran 3. (lanjutan) No Kelompok Pokok Kalimat Topik/ Pokok Kalimat Suhartono (9) Budi (10) 1 Ciri pohon pohon raksasa, lurus, tinggi, tajuk bercabang, beranting, berbuah Raksasa, lurus, tinggi, tajuk bercabang, beranting, berbuah, akar tunggang dan akar serabut, banir kecil 2 Teknik panen Panjat pohon dengan patok, galah, potong cabang, 2 Memanjat dengan patok, pemanenan bertahap pekerja: pemanjat dan pengumpul buah 3 Manfaat obat obat sakit perut dan gangguan pencernaan, obat masuk angin 4 Manfaat ekologi Cegah longsor, erosi tergantung akar, menaungi tumbuhan lain, tetapi dapat bersaing, Melindungi tanah dari longsor dan erosi, mengayomi dan menaungi tumbuhan lain 5 Manfaat ekonomi sumber mata pencaharian bagi petani buah kedawung dapat dijual oleh masyarakat 6 Gugur daun Bulan berbuah, gugur bergantian, tak seluruh bagian Musim kemarau, gugur seluruh daun 7 Permudaan alami Pernah menjumpai anakan - 8 Lutung mencari kedawung muda di cabang utama hingga tajuk terluar, tak pernah jatuh, berkelompok, membantu penyebaran 9 Kualitas dan kuantitas buah dan biji 10 Syarat tumbuh memerlukan sinar matahari mudah tumbuh 11 Persebaran jarak berjauhan, meter jarak tumbuh berjauhan Memakan bagian tengah, jika kehabisan makanan menuju ujung ranting, tak jatuh, bulan Agustus kualitas dan kuantitas sama, baik di ujung dan dekat batang utama 12 Lokasi tumbuh Kisaran luas, datar atau miring, dataran rendah dan tinggi, Rendah hingga tinggi, datar sampai miring, kecuali banyak di tempat terjal, tebing dekat laut 13 Masa reproduksi-produksi Berbuah bulan 9, berbunga hingga berbuah bulan 7-9 Berbunga bulan 7, berbuah bulan 9 14 Pengetahuan tradisional Masyarakat yang memanfaatkan terbatas, masih kurang tertarik, informasi tidak terputus, masih berinteraksi, komunikasi masyarakat Generasi muda mengenal ciri-ciri kedawung, tidak untuk mengetahui khasiatnya 15 Sumber anakan buah tua, penyebaran oleh bantuan satwa Buah tua. Penyemaian dengan merendam biji 16 Penurunan hasil panen 17 Sifat tumbuh anakan Dibawah induk tidak ada, jarak jauh dan buah tua Menemukan di bawah pohon karena buah tua dan rontok. Tumbuh tidak baik akibat terinjak. 18 Bunga - madu lebah tak dapat madu karena bunga berguguran kemungkinan menghasilkan sari bagi lebah

194 Lampiran 3. (lanjutan) No Kelompok Pokok Kalimat Sintesis (11) 1 Ciri pohon Raksasa, lurus, tinggi, tajuk bercabang, beranting, berbuah, punya akar banir 2 Teknik panen Teknik pengambilan buah kedawung yang umum dilakukan masyarakat dengan cara memanjat pohon sambil memasang pantek, memotong tangkai buah menggunakan galah. Ada pula yang memangkas bagian cabang bahkan hingga menebangnya. Umumnya buah dipanen semua tanpa disisakan dengan sengaja 3 Manfaat obat Merupakan pohon sumber waras, bijinya bermanfaat untuk obat sakit perut kembung 4 Manfaat ekologi mengayomi dan menaungi tumbuhan jenis lain, mencegah longsor, mencegah erosi, menyuburkan tanah, bahan makanan satwa lutung 5 Manfaat ekonomi Menjadi sumber tambahan mata pencaharian masyarakat 6 Gugur daun Daun gugur 2 kali setahun, setelah buah tua daun rontok, kemudian muncul daun pada musim hujan, kemudian daun rontok lagi kemudian tumbuh yang dilanjutkan dengan munculnya bunga. Gugur daun tidak serempak semua pohon. Daun gugur setelah panen (bulan 11 dan 12), bulan 2 daun tumbuh sempurna, bulan 3 kembali rontok, bulan 4 kembali tumbuh hingga bulan 5 muncul bunga, bulan 6 dan 7 mulai buah muda, bulan 8 dan 9 buah menua, bulan 10 panen terakhir. 7 Permudaan alami Anakan Kedawung tingkat tiang maupun pancang sangat jarang ditemukan di hutan 8 Lutung Lutung memakan buah Kedawung yang muda, tetapi tidak menghabiskannya. Masyarakat merasa bersaing dengan satwa (lutung) dalam pengambilan buah kedawung 9 Kualitas dan kuantitas Kualitas buah dan biji yang baik di ujung dan pinggir tajuk, walau bonggol dan jumlah keris lebih sedikit buah dan biji 10 Syarat tumbuh Kedawung merupakan tumbuhan yang mudah tumbuh asal kena sinar matahari langsung 11 Persebaran biji Kedawung merupakan tumbuhan yang bersifat soliter Pada umumnya kedawung tumbuh berjauhan antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat secara tidak sadar melakukan penyebaran biji saat memikul buah ada yang jatuh dalam perjalanan mereka pulang. Satwa belum diketahui ikut berperan dalam penyebaran biji. 12 Lokasi tumbuh Datar sampai miring, dataran rendah dan agak dekat ke pantai, banyak di bagian barat kawasan taman nasional. 13 Masa reproduksi Bulan 4-5 muncul bunga, bulan 6 dan 7 mulai buah muda, bulan 8 dan 9 buah menua, bulan 10 panen terakhir. 14 Pengetahuan tradisional Pengetahuan tradisional masyarakat tentang Kedawung hanya tentang manfaat biji kedawung untuk obat sakit perut, pengetahuan lainnya sangat kurang 15 Sumber benih Buah tua menjadi sumber benih yang baik. Kegiatan rehabilitasi memerlukan pengetahuan mengenai persemaian untuk mendapatkan benih dan bibit yang baik. 16 Penurunan hasil panen Masyarakat memanen semua buah kedawung, tidak jarang melakukan pemotongan cabang, sehingga dapat mengurangi lebar dan tinggi tajuk yang berdampak kepada penurunan produksi buah pada musim tahun berikutnya 17 Sifat tumbuh anakan Anakan Kedawung jarang dijumpai di hutan alam. Juga sangat jarang ditemukan anakan yang tumbuh di bawah pohon kedawung. Anakan yang ada di bawah kedawung tidak dapat tumbuh menjadi besar. Anakan terpisah dari pohon induknya. Di bawah dan sekitar pohon induknya Kedawung tidak bisa hidup tumbuh menjadi individu yang dewasa. Hal ini dikarenakan anakan kedawung merupakan tumbuhan yang tidak membutuhkan naungan. 18 Bunga-madu Masyarakat mengetahui bahwa lebah menyukai sari bunga kedawung dan hal ini akan sangat bermanfaat dan menambah penghasilannya dengan memanen dan menjual madu

195 Lampiran 4. Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap masyarakat berdasarkan kelas umur dengan menggunakan SPSS Descriptives Sikap Manfaat Ekonomi Sikap Manfaat Obat Sikap Manfaat Ekologis Sikap terhadap Konservasi Kedawung Aksi Konservasi Kedawung Kerelaan Berkorban <= 40 tahun > 40 tahun Total <= 40 tahun > 40 tahun Total <= 40 tahun > 40 tahun Total <= 40 tahun > 40 tahun Total <= 40 tahun > 40 tahun Total <= 40 tahun > 40 tahun Total 95% Confidence Interval for Mean N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 37 15,62,794,131 15,36 15, ,40,979,149 15,09 15, ,50,900,101 15,30 15, ,92 4,329,712 6,48 9, ,70 2,924,446 8,80 10, ,88 3,726,417 8,05 9, ,30 2,039,335 18,62 19, ,09 2,438,372 18,34 19, ,19 2,251,252 18,69 19, ,89 3,213,528 13,82 15, ,19 3,275,499 15,18 17, ,59 3,291,368 14,86 16, ,16 6,189 1,017 25,10 29, ,79 4,263,650 30,48 33, ,65 5,702,637 28,38 30, ,65 2,263,372 10,89 12, ,47 3,411,520 12,42 14, ,63 3,058,342 11,94 13, Sikap Manfaat Ekonomi Sikap Manfaat Obat Sikap Manfaat Ekologis Sikap terhadap Konservasi Kedawung Aksi Konservasi Kedawung Kerelaan Berkorban Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total ANOVA Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1, ,018 1,261,265 62,982 78,807 64, , ,923 4,747, , , ,750 79,830 1,830,162, , , , , ,308 3,160, , , , , ,057 15,514, , , , , ,620 7,604, , , ,

196 Lampiran 5. Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap masyarakat berdasarkan etnis dengan menggunakan SPSS Descriptives Sikap Manfaat Ekonomi Sikap Manfaat Obat Sikap Manfaat Ekologis Sikap terhadap Konservasi Kedawung Aksi Konservasi Kedawung Kerelaan Berkorban Madura Jawa Total Madura Jawa Total Madura Jawa Total Madura Jawa Total Madura Jawa Total Madura Jawa Total 95% Confidence Interval for Mean N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 58 15,55,882,116 15,32 15, ,36,953,203 14,94 15, ,50,900,101 15,30 15, ,57 3,666,481 7,60 9, ,68 3,847,820 7,98 11, ,88 3,726,417 8,05 9, ,29 2,176,286 18,72 19, ,91 2,467,526 17,82 20, ,19 2,251,252 18,69 19, ,50 3,219,423 14,65 16, ,82 3,541,755 14,25 17, ,59 3,291,368 14,86 16, ,64 5,603,736 28,16 31, ,68 6,090 1,298 26,98 32, ,65 5,702,637 28,38 30, ,84 3,042,399 12,04 13, ,05 3,093,660 10,67 13, ,63 3,058,342 11,94 13, ANOVA Sikap Manfaat Ekonomi Sikap Manfaat Obat Sikap Manfaat Ekologis Sikap terhadap Konservasi Kedawung Aksi Konservasi Kedawung Kerelaan Berkorban Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Sum of Squares df Mean Square F Sig.,564 1,564,694,407 63,436 78,813 64, , ,753 1,431, , , , , ,352,461, , , , , ,615,148, , , ,388 79,031 1,031,001, , , , , ,192 1,091, , , ,

197 Lampiran 6. Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan dengan menggunakan SPSS Descriptives Sikap Manfaat Ekonomi Sikap Manfaat Obat Sikap Manfaat Ekologis Sikap terhadap Konservasi Kedawung Aksi Konservasi Kedawung Kerelaan Berkorban Tidak sekolah Tidak tamat SD SD Total Tidak sekolah Tidak tamat SD SD Total Tidak sekolah Tidak tamat SD SD Total Tidak sekolah Tidak tamat SD SD Total Tidak sekolah Tidak tamat SD SD Total Tidak sekolah Tidak tamat SD SD Total 95% Confidence Interval for Mean N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 29 15,45,948,176 15,09 15, ,40 1,056,273 14,82 15, ,58,806,134 15,31 15, ,50,900,101 15,30 15, ,41 3,510,652 8,08 10, ,93 3,615,933 6,93 10, ,42 3,974,662 7,07 9, ,88 3,726,417 8,05 9, ,79 2,455,456 18,86 20, ,60 1,724,445 18,65 20, ,53 2,145,357 17,80 19, ,19 2,251,252 18,69 19, ,69 2,904,539 14,58 16, ,40 3,942 1,018 14,22 18, ,17 3,317,553 14,04 16, ,59 3,291,368 14,86 16, ,41 4,468,830 28,71 32, ,53 5,055 1,305 28,73 34, ,25 6,570 1,095 26,03 30, ,65 5,702,637 28,38 30, ,03 3,201,594 11,82 14, ,13 3,335,861 11,29 14, ,08 2,812,469 11,13 13, ,63 3,058,342 11,94 13, ANOVA Sikap Manfaat Ekonomi Sikap Manfaat Obat Sikap Manfaat Ekologis Sikap terhadap Konservasi Kedawung Aksi Konservasi Kedawung Kerelaan Berkorban Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Sum of Squares df Mean Square F Sig.,478 2,239,289,749 63,522 77,825 64, , ,016,571, , , , , ,428 2,992, , , , , ,290,761, , , , , ,341 2,231, , , , , ,651 1,033, , , ,

198 Lampiran 7. Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap masyarakat berdasarkan umur mulai mengenal kedawung dengan menggunakan SPSS Descriptives Sikap Manfaat Ekonom Sikap Manfaat Obat Sikap Manfaat Ekologi Sikap terhadap Konservasi Kedawung Aksi Konservasi Kedawung Kerelaan Berkorban Sejak masuk hutan Sejak kecil Total Sejak masuk hutan Sejak kecil Total Sejak masuk hutan Sejak kecil Total Sejak masuk hutan Sejak kecil Total Sejak masuk hutan Sejak kecil Total Sejak masuk hutan Sejak kecil Total 95% Confidence Interval for Mean N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 37 15,43,987,162 15,10 15, ,56,825,126 15,30 15, ,50,900,101 15,30 15, ,73 3,863,635 7,44 10, ,00 3,645,556 7,88 10, ,88 3,726,417 8,05 9, ,57 2,467,406 17,75 19, ,72 1,919,293 19,13 20, ,19 2,251,252 18,69 19, ,81 3,161,520 14,76 16, ,40 3,424,522 14,34 16, ,59 3,291,368 14,86 16, ,41 5,766,948 26,48 30, ,72 5,487,837 29,03 32, ,65 5,702,637 28,38 30, ,14 3,011,495 11,13 13, ,05 3,070,468 12,10 13, ,63 3,058,342 11,94 13, Sikap Manfaat Ekonomi Between Groups Sikap Manfaat Obat Sikap Manfaat Ekologis Sikap terhadap Konservasi Kedawung Aksi Konservasi Kedawung Kerelaan Berkorban Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total ANOVA Sum of Squares df Mean Square F Sig.,314 1,314,385,537 63,686 78,816 64, , ,453,103, , , , , ,455 5,521, , , , , ,433,314, , , , , ,630 3,379, , , , , ,519 1,784, , , ,

199 Lampiran 8. Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap masyarakat berdasarkan anak dari pemanen kedawung dengan menggunakan SPSS Descriptives Sikap Manfaat Ekonom Bukan pemanen Kedawung Pemanen Kedawung Total Sikap Manfaat Obat Bukan pemanen Kedawung Pemanen Kedawung Total Sikap Manfaat Ekologis Bukan pemanen Kedawung Pemanen Kedawung Total Sikap terhadap Bukan pemanen Konservasi Kedawung Kedawung Pemanen Kedawung Total Aksi Konservasi Bukan pemanen Kedawung Kedawung Pemanen Kedawung Total Kerelaan Berkorban Bukan pemanen Kedawung Pemanen Kedawung Total 95% Confidence Interval for Mean N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 54 15,56,816,111 15,33 15, ,38 1,061,208 14,96 15, ,50,900,101 15,30 15, ,91 3,687,502 7,90 9, ,81 3,878,761 7,24 10, ,88 3,726,417 8,05 9, ,28 2,078,283 18,71 19, ,00 2,608,511 17,95 20, ,19 2,251,252 18,69 19, ,74 3,366,458 14,82 16, ,27 3,169,622 13,99 16, ,59 3,291,368 14,86 16, ,57 5,364,730 29,11 32, ,73 6,004 1,177 25,31 30, ,65 5,702,637 28,38 30, ,80 3,123,425 11,94 13, ,27 2,947,578 11,08 13, ,63 3,058,342 11,94 13, Sikap Manfaat Ekonomi Sikap Manfaat Obat Sikap Manfaat Ekologis Sikap terhadap Konservasi Kedawung Aksi Konservasi Kedawung Kerelaan Berkorban Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total ANOVA Sum of Squares df Mean Square F Sig.,513 1,513,630,430 63,487 78,814 64,000 79,175 1,175,012, , , , , ,354,265, , , , , ,902,357, , , , , ,881 4,561, , , , , ,875,518, , , ,

200 Lampiran 9. Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap masyarakat berdasarkan lama pengalaman dengan menggunakan SPSS Descriptives Sikap Manfaat Ekonomi Sikap Manfaat Obat Sikap Manfaat Ekologis Sikap terhadap Konservasi Kedawung Aksi Konservasi Kedawung Kerelaan Berkorban <= 10 tahun > 10 tahun Total <= 10 tahun > 10 tahun Total <= 10 tahun > 10 tahun Total <= 10 tahun > 10 tahun Total <= 10 tahun > 10 tahun Total <= 10 tahun > 10 tahun Total 95% Confidence Interval for Mean N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 26 15,46,948,186 15,08 15, ,52,885,120 15,28 15, ,50,900,101 15,30 15, ,73 3,955,776 6,13 9, ,43 3,516,478 8,47 10, ,88 3,726,417 8,05 9, ,27 2,616,513 18,21 20, ,15 2,078,283 18,58 19, ,19 2,251,252 18,69 19, ,62 3,324,652 13,27 15, ,06 3,200,436 15,18 16, ,59 3,291,368 14,86 16, ,31 5,152 1,010 25,23 29, ,78 5,652,769 29,23 32, ,65 5,702,637 28,38 30, ,46 2,746,538 11,35 13, ,70 3,219,438 11,83 13, ,63 3,058,342 11,94 13, ANOVA Sikap Manfaat Ekonomi Sikap Manfaat Obat Sikap Manfaat Ekologis Sikap terhadap Konservasi Kedawung Aksi Konservasi Kedawung Kerelaan Berkorban Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Sum of Squares df Mean Square F Sig.,057 1,057,070,793 63,943 78,820 64, , ,431 3,759, , , ,750 79,257 1,257,050, , , , , ,400 3,467, , , , , ,328 6,994, , , , , ,029,109, , , ,

201 Lampiran 10. Korelasi antara sikap konservasi masyarakat dengan umur dan lama pengalaman memanen kedawung berdasarkan Uji Pearson Correlation Sikap Manfaat Eko Sikap Manfaat Oba Sikap Manfaat Eko Sikap terhadap Konservasi Kedawu Aksi Konservasi Kedawung Kerelaan Berkorban Umur (tahun) Rata-rata lama di Pearson Correlat Sig. (2-tailed) N Pearson Correlat Sig. (2-tailed) N Pearson Correlat Sig. (2-tailed) N Pearson Correlat Sig. (2-tailed) N Pearson Correlat Sig. (2-tailed) N Pearson Correlat Sig. (2-tailed) N Pearson Correlat Sig. (2-tailed) N Pearson Correlat dalam hutan setiap Sig. (2-tailed) memanen buah N kedawung (hari) Lama pengalaman Pearson Correlat memanen KedawunSig. (2-tailed) (tahun) N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Correlations Sikap terhadap Aksi Sikap Manfaat Sikap Manfaat Sikap ManfaatKonservasi Konservasi Kerelaan Ekonomi Rata-rata lama di dalam hutan setiap kali Lama memanen pengalaman buah memanen kedawung Kedawung Obat Ekologis Kedawung Kedawung BerkorbanUmur (tahun) (hari) (tahun) 1 -,072 -,053 -,028,017 -,055 -,045 -,080,046,527,640,807,879,627,693,480, ,072 1,012 -,116,478**,140,203,143,181,527,917,307,000,215,070,205, ,053, ,041,156,187,124,109,038,640,917,720,167,097,272,336, ,028 -,116 -,041 1,104,198,168 -,103,162,807,307,720,361,078,137,361, ,017,478**,156,104 1,504**,416**,191,328**,879,000,167,361,000,000,090, ,055,140,187,198,504** 1,365**,090,251*,627,215,097,078,000,001,429, ,045,203,124,168,416**,365** 1,270*,791**,693,070,272,137,000,001,015, ,080,143,109 -,103,191,090,270* 1,229*,480,205,336,361,090,429,015, ,046,181,038,162,328**,251*,791**,229* 1,688,108,739,150,003,025,000,

202 Lampiran 11. Spesies pohon yang hidup berdekatan dengan pohon kedawung No Nama Daerah Nama Latin *) Family Jumlah Ind. (n) Frekuensi Kehadiran di plot (n) 1 Rao Dracontomelon mangiferum Anacardiaceae Apak Ficus pelludica Puncrata Moraceae Segawe Adenanthera microsperma Binn. Meliaceae Kalak Orophea eneandra Anonaceae Seurut Streblus asper Meliaceae Teloran Xanthophyllum excelsum Miq Polygalaceae Timo Kleinhovia hospita L Sterculiaceae Pancal Kidang Aglaia dokko K&V Meliaceae Sentul Sandoricum koetjape Merr K&V Meliaceae Gundang Ficus variegata Bl Moraceae Putat Barringtonia spicata Bl Lecythidaceae Beringin Ficus benjamina Moraceae Meniran Tdi Tdi Mangar Tdi Tdi Jerukan Glycosmis cochicinensis Pirre Rutaceae Sapen Potentilla tomentosa Moraceae Kenanga Canangium odoratum Annonaceae Katesan Polyscias nodosa (Bl) Seeman Araliaceae Kedawu Tdi Tdi Langsepan Lansium domesticum Corre Meliaceae Bendo Artocarpus elasticus Rein Ex Bl Moraceae Pawan Tdi Tdi Ampelas Ficus ampelas Burm Moraceae Cangkring Eythrina fusca Lour Papilionaceae Waru Hibiscus tiliaceus L Malvaceae Nyampu Achtinodaphne procera Bels Lauraceae Winong Tetrameles nudiflora Datiscaceae Nangka Arthocarpus heterophylla Moraceae Jiret Symplocos fasciculata Zull Symplocaceae Kalak Putih Uvaria sp Annonaceae Kupen Tdi Tdi Jati Awang Hymenodictyon excelsum Wall Rubiaceae Besulih Chydenanthus excelsisi (Bl)Miers Lecythidaceae Penggung Barringtonia racemosa (L)Bl. Lecythidaceae Lu Ficus glomerata Moraceae Beringin Putih Ficus sp Moraceae Bayur Pterospermum javanicum Sterculiaceae Budengan Diospyros cauliflora Ebenaceae Kloncing Spondias pinnata Kurz Anarcardiaceae Ketangi Langestroma spiciosa (L) Pers Lecythidaceae Tutup Mallotus molucanus Muell Arg Euphorbiaceae Ceremai Phyllanthus acidus (L) Steel Euphorbiaceae Glintungan Bischofhia javanica Bl Euphorbiaceae Kalten Tdi Tdi Garu Antidesma montanum Blome Euphorbiaceae Pancal Gunung Aglaia sp Meliaceae Jiprah Tdi Tdi Kismis Tdi Tdi Suren Toona sureni Meliaceae Kemiri Aleuritas mollucana (L) Wild Euphorbiaceae Bentisan Tdi tdi Kemadu Laportea sinuata (Bl) ex. Miq Urticaceae 1 1 *) Tdi = tidak teridentifikasi 184

203 Lampiran 12. Analisis kandungan substansi: visi, misi, strategi kebijakan dan tujuan Pengelolaan TNMB terhadap konservasi dan kesejahteraan masyarakat Kandungan substansi a. Visi Terwujudnya pengelolaan taman nasional secara optimal, lestari, adil dan bermanfaat bagi masyarakat. Melindungi dan mempertahankan keutuhan kawasan, b. Misi potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Memanfaatkan potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan. Memberdayakan masyarakat sekitar kawasan melalui kemitraan. c. Strategi Menjaga dan mempertahankan keutuhan kawasan agar kebijakan berfungsi optimal. Mengelola jenis flora dan fauna dan ekosistemnya, terutama jenis-jenis langka dan terancam punah. Mengembangkan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. Meningkatkan kerjasama pengelolaan dengan stakeholders. d. Tujuan Tujuan 1 : dan Menjaga keberadaan dan kelestarian sumber daya hayati dan ekosistemnya dalam kawasan, sasaran Sasaran : Terwujudnya kondisi kawasan yang sesuai dengan rencana pengelolaan. Terpelihara dan terlindunginya proses ekologis esensial dan sistem penyangga kehidupan. Konservasi potensi taman nasional Ada, jelas Ada, jelas Ada, tak jelas Ada, jelas Ada, jelas Ada, jelas Ada, tak jelas Ada, jelas Ada, jelas Ada, tak jelas Ada, jelas Kesejahteraan masyarakat lokal Ada, jelas Ada, tak jelas Ada, tak jelas Ada, tak jelas Ada, tak jelas Ada, tak jelas Ada, tak jelas Ada, tak jelas Ada, tak jelas Ada, tak jelas Ada, tak jelas Terlaksananya pengendalian kebakaran hutan Ada, jelas Tidak ada Terselenggaranya pengelolaan taman nasional yang Ada, jelas Ada, tak jelas efektif dan efisien. Tujuan 2: Mengurangi tingkat gangguan keamanan terhadap kawasan, Ada, jelas Tidak ada Sasaran : Menurunnya laju perambahan kawasan. Ada, jelas Tidak ada Berkurangnya pemungutan hasil hutan secara illegal. Ada, jelas Tidak ada Terputusnya rantai peredaran hasil hutan secara illegal. Ada, jelas Tidak ada Tujuan 3 : Meningkatkan upaya penegakan hukum dalam penyelesaian kasus pelanggaran di kawasan, Sasaran : Terjalinnya koordinasi antar instansi dalam rangka penanganan kasus pelanggaran hutan. Ada, jelas Ada, jelas Tidak ada Tidak ada Terselesaikannya kasus-kasus pelanggaran hutan secara Ada, jelas Tidak ada tuntas. Terkendalinya praktek pelanggaran hutan di kawasan TN Ada, jelas Tidak ada Meru Betiri. Meningkatnya kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya kelestarian hutan. Ada, jelas Tujuan 4 : Meningkatkan pengelolaan dan pembinaan kawasan, Ada, jelas Tidak ada Sasaran Tersosialisasinya pengelolaan taman nasional (mulai dari tingkat desa sampai dengan tingkat kabupaten). Ada, jelas Ada, tak jelas Ada, tak jelas Mantapnya kawasan dengan batas-batas yang jelas, baik Ada, jelas Tidak ada 185

204 batas luar kawasan maupun batas antar zonasi. Tersosialisasinya batas-batas hukum kawasan bagi Ada, jelas Tidak ada masyarakat sekitar kawasan. Tersusunnya review rencana pengelolaan taman nasional Ada, tak jelas Tidak ada dan rencana tapak zona pemanfaatan. Teridentifikasi dan terinventarisasinya flora, fauna dan Ada, jelas Ada, tak jelas ekosistemnya. Berkembangnya sitem monitoring evaluasi dan pelaporan Ada, tak jelas Tidak ada kondisi kawasan dan potensinya. Terbinanya habitat dan populasi satwa. Ada, jelas Tidak ada Tersedianya plasma nutfah menunjang budidaya. Ada, jelas Ada, tak jelas Berkembangnya sistem dokumentasi, publikasi dan Ada, tak jelas Tidak ada promosi. Tujuan 5 : Meningkatkan manfaat ekonomi sumber daya hutan dan Ada, tak jelas Ada, tak jelas jasa wisata Sasaran : Teridentifikasi dan terinventarisasi potensi wisata dan Ada, tak jelas Tidak ada pemanfaatan jasa lingkungan, serta analisis pemanfaatannya. Tersedianya sarana prasarana wisata alam. Tidak ada Tidak ada Terselenggaranya penyuluhan konservasi sumber daya Ada, tak jelas Ada, tak jelas alam hayati dan ekosistemnya. Terselenggaranya promosi dan informasi. Tidak ada Tidak ada Terbentuknya kader konservasi dan pecinta alam. Ada, jelas Tidak ada Terselenggaranya pameran konservasi. Ada, tak jelas Tidak ada Terselenggaranya pelatihan pemandu wisata alam tingkat Ada, jelas Ada, tak jelas pemula. Terselenggaranya perkemahan konservasi. Tidak ada Tidak ada Terselenggaranya pembinaan cinta alam. Ada, tak jelas Tidak ada Tujuan 6 : Mengembalikan fungsi kawasan yang mengalami kerusakan dengan program rehabilitasi kawasan, Ada, jelas Tidak ada Sasaran : Bertambahnya luas kawasan yang telah direhabilitasi. Ada, jelas Ada, tak jelas Tersedianya bibit tanaman rehabilitasi. Ada, tak jelas Ada, tak jelas Tujuan 7 : Memberdayakan masyarakat sekitar kawasan dalam pengelolaan kawasan, Sasaran : Terciptanya peluang usaha dan kesempatan kerja secara luas bagi masyarakat sekitar kawasan. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam mendukung upaya pengelolaan kawasan. Tumbuhnya kesadaran masyarakat sekitar kawasan dan rasa memiliki terhadap taman nasional. Meningkatnya pendapatan masyarakat dan tumbuhnya ekonomi setempat yang kondusif. Ada, jelas Ada, jelas Ada, jelas Ada, tak jelas Ada, tak jelas Ada, tak jelas Ada, jelas Ada, tak jelas Ada, tak jelas Ada, tak jelas 186

205 Lampiran 13. Analisis kandungan tri-stimulus amar konservasi dengan peraturan perundangan yang terkait dengan kebijakan pengelolaan taman nasional dan peran serta masyarakat 1. UU No. 23 Tahun 1997 : Pengelolaan Hasil analisis Lingkungan Hidup Undang-undang ini menjadi payung terhadap peraturan dan perundangan mengenai pengelolaan sumber daya alam Stimulus alamiah kuat Stimulus manfaat cukup dan lingkungan. Pasal 4 memuat sasaran pengelolaan Stimulus religius cukup lingkungan hidup al. adalah: (a) tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; (c) terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; (e) terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana. Pasal 5 ayat (1) setiap orang mempunyai hak yang sama atas Apa-apa yang sudah diatur dalam undangundang ini harus dioperasionalkan dan dievaluasi secara maksimal di dunia nyata, penerapan aturan-aturan ini memerlukan upaya-upaya yang berkesinambungan yang lingkungan hidup yang baik dan sehat; setiap orang difasilitasi oleh pihak pemerintah sebagai mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang pengayom dan pelayan masyarakat. Hal berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan inilah yang sampai saat ini belum banyak hidup (3) mengatur tentang peran serta masyarakat, yaitu dilaksanakan. Kita sudah banyak membuat Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam undang-undang, tetapi sangat lemah dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku mengimplementasikannya di dunia nyata, apalagi mengevaluasinya, terutama yang Pasal 6 ayat (1) Setiap orang berkewajiban berhubungan dengan peningkatan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta kesejahteraan publik atau masyarakat mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Pada Pasal 7 memuat Masyarakat banyak. Peran pemerintah dan pengelola sebagai pelayan publik di dunia nyata mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya belumlah menjadi suatu perilaku atau untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup belum menjadi suatu tuntutan kebutuhan Pelaksanaan ketentuan pada ayat yang disebut di atas, tolak ukur kinerja. dilakukan dengan cara al.: (1) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; (2) menumbuhkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; Kapasitas SDM pengelola sangat kurang (3) menumbuhkan ketanggapsertaan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; (4) memberikan saran pendapat; (5) menyampaikan informasi dan atau menyampaikan laporan. 2. UU No. 24 Tahun 1992 : Penataan Ruang Hasil analisis Menimbang : a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan YME kepada bangsa Indonesia dengan letak dan kedudukan yang strategis Stimulus alamiah kuat Stimulus manfaat cukup Stimulus religius cukup sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman Berdasarkan undang-undang ini ekosistemnya. Merupakan sumber daya alam yang perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila; b. bahwa pengelolaan sumber daya alam yang beranekaragam di daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanbjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam masyarakat punya hak untuk ikut proses menentukan tata ruang kawasan taman nasional. Ini merupakan kemajuan dari undang-undang terdahulu Nomor 5 Tahun Saat ini zona rehabilitasi dengan luasan sekitar 4000 perlu dikelola dengan baik bersama masyarakat. Lahan zona rehabilitasi ini yang masyarakat namakan satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tertap dengan tetelan adalah menjadi tumpuan memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai hidup bagi sekitar 4000 kepala keluarga dengan pembangunan berwawasan lingkungan, yang masyarakat sekitar hutan yang tidak berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Pasal 4 ayat (2) huruf b, mengatur tentang peran serta masyarakat sebagai berikut: Setiap orang berhak untuk memiliki lahan pertanian yang memadai. Undang-undang ini dapat menjadi acuan dan dasar hukum bagi pengelolaan dan berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, penentuan fungsi zona rehabilitasi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. tetelan untuk dan oleh masyarakat bagi 187

206 Selanjutnya Pasal 5 ayat (1) menyebutkan sebagai berikut: Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang. Pasal ini ditindaklanjuti dengan PP nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Dalam Pasal 2 PP menyebutkan : Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat berhak : (1) Berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; (2) Mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang kawasan dan rencana rinci tata ruang kawasan. mewujudkan kesejahteraan yang mandiri berbasis pengembangan sumberdaya hayati lokal dan mendukung konservasi taman nasional. Kapasitas SDM pengelola sangat kurang 3. UU No. 05 Tahun 1990 : Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya Pada pasal 28 disebutkan Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar Selanjutnya pada Pasal 36 ayat (1) butir g disebutkan bahwa pemanfaatan jenis tumbuhan dapat dilaksanakan dalam bentuk : budidaya tanaman obat-obatan, dengan ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peaturan Pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 37 ayat (1) diatur bahwa peranserta rakyat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna; ayat (2) disebutkan dalam pengembangan peranserta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan. Hasil analisis Stimulus alamiah kuat Stimulus manfaat lemah Stimulus religius lemah Undang-undang ini belum dengan tegas mengakomodir pencapaian kesejahteraan masyarakat sekitar taman nasional melalui pemanfaatan secara lestari sumberdaya hayati yang terdapat di dalam taman nasional. Dalam Undang-undang di atas belum diatur bahwa eksistensi taman nasional harus memprioritaskan secara langsung maupun tak langsung dapat berperan mendukung tercapainya kesejahteraan masyarakat hutan sekitar taman nasional. Ketentuan Pasal tersebut menunjukkan bahwa peran serta rakyat dalam pengelolaan kawasan pelestarian alam masih berpola top-down. Inilah yang menjadi kendala, tidak operasional di lapangan dan banyak menjadi pertentangan di masyarakat. Pasal tersebut bermakna pemberdayaan masyarakat untuk konservasi hutan, tetapi tidak diimbangi dengan jelas insentif yang diperoleh masyarakat dari kegiatan konservasi. Masyarakat tidak diberi akses legal mengenai pemanfaatan sumberdaya hutan taman nasional, melalui pemungutan secara lestari, seperti yang sudah berlangsung terhadap tumbuhan obat kedawung selama turun temurun sejak zaman Belanda dahulu. Juga pemerintah daerah dan pengelola taman nasional secara legalitas dalam peraturan perundangan yang berlaku belum diberi mandat yang tegas dan tanggungjawab yang jelas untuk ikut mengurus mewujudkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan melalui konservasi dan pemanfaatan potensi taman nasional. Padahal sebagai prasyarat utama terwujudnya konservasi taman nasional di Jawa yang padat penduduk ini adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat sekitar taman nasional, sebagaimana yang dikemukakan dalam kerangka pemikiran dari disertasi ini. Kapasitas SDM pengelola sangat kurang 188

207 Lampiran 13 (Lanjutan) 4. UU No. 32 Tahun 2004 : Pemerintahan Daerah Hasil analisis Pada pasal 22 huruf b dan huruf d mengatur tentang pemberdayaan masyarakat. Pasal tersebut pada prinsipnya mewajibkan pada pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan mewujudkan keadilan dan pemerataan. Dalam konsideran menimbang disebutkan bahwa untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam penjelasan umum undang-undang ini angka 1 huruf b antara lain disebutkan : Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat Stimulus alamiah lemah Stimulus manfaat cukup Stimulus religius lemah 5. UU No. 41 Tahun 1999 : Kehutanan Hasil analisis Pasal 23 : Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pasal 46 : Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari. Pasal 52: ayat (1) Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan SDM berkualitas yang bercirikan penguasaan IPTEK yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan; (2) Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan, wajib memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat. Pasal 67 ayat (1) huruf c diatur bahwa pemerintah berkewajiban untuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Selanjutnya dalam Pasal 68 diatur hak masyarakat terhadap hutan sebagai berikut ayat (1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan; ayat (2) Masyarakat dapat : (a) memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan yang berlaku; (b) mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan; (c) memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan dan ;(d) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. Ketentuan Pasal 68 ayat (3) mengatur bahwa masyarakat di dalam dan sekitar hutan berhak memperoleh Berdasarkan ketentuan pasal tersebut terbuka peluang bagi pemerintah daerah untuk menyusun peraturan daerah khususnya yang mengatur masalah pengelolaan zona penyangga, zona rehabilitasi dan perlindungan kawasan taman nasional, serta peraturan daerah tentang pemberdayaan masyarakat. Perguruan tinggi dapat berperan membantu pemerintah daerah untuk menyusun bersama-sama dengan masyarakat tentang peraturan daerah ini. Kapasitas SDM pengelola kurang Stimulus alamiah cukup Stimulus manfaat cukup Stimulus religius cukup Ketentuan pasal-pasal tersebut bertujuan untuk mengakomodasi masyarakat sekitar hutan untuk berkiprah dalam pembangunan kehutanan, sehingga masyarakat memperoleh hasil dari pembangunan kehutanan. Proses pemberdayaan masyarakat perlu secara terus menerus ditingkatkan dan terprogram dengan baik, sistematis dan terencana. Pada tataran Peraturan Pemerintah hingga saat ini belum disusun mengenai peran serta masyarakat dalam pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya Hal inilah yang membuat pengelola ragu dan takut untuk melangkah, karena khawatir melanggar hukum atau aturan, sekalipun yang dikerjakan itu baik untuk masyarakat maupun untuk taman nasional. Program pemberdayaan masyarakat di kawasan hutan pelestarian alam, khususnya seperti di zona rehabilitasi taman nasional Meru Betiri, tidak terprogram dengan baik. Program rehabilitasi ini dikerjakan secara crash program dengan tujuan utama agar lahan kosong taman nasional dapat segera tertutupi dengan vegetasi dan tidak ada lahan taman nasional yang diserobot masyarakat. Program rehabilitasi tetelan dapat mendukung keberlanjutan kesejahteraan masyarakat ke depan dan 189

208 kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pasal 69 ayat (1) diatur kewajiban masyarakat dalam pengelolaan hutan, yaitu masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan. Ketentuan Pasal 69 ayat (2) mengatur bahwa dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau pemerintah. sekaligus terwujudnya kelestarian taman nasional belum disusun secara holistik berdasarkan hasil-hasil penelitian yang akurat, termasuk sosial budaya masyarakat. PP tentang peran serta masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan taman nasional perlu segera dibuat Kapasitas SDM pengelola sangat kurang 6. UU No. 20 Tahun 2003 : Sistem Pendidikan Nasional Hasil analisis Pasal 1. Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pasal 4 (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pasal 26 mengatur tentang Pendidikan nonformal, pada ayat (3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Dalam bagian penjelasan undang-undang ini merumuskan, bahwa pendidikan kecakapan hidup (life skills) adalah pendidikan yang memberikan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri. Pasat 26 ayat (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam penjelasan disebutkan, bahwa: kursus dan pelatihan sebagai bentuk pendidikan berkelanjutan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan, standar kompetensi, pengembangan sikap kewirausahaan serta pengembangan kepribadian profesional. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Kemudian dalam Pasal 36 mengatur kurikulum sebagai berikut : pada ayat (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi Stimulus alamiah cukup Stimulus manfaat cukup Stimulus religius cukup Undang-undang ini telah mengatur tentang pendidikan nonformal bagi masyarakat, bahkan kurikulumnya diatur sesuai dengan kompetensi dan karakteristik sumberdaya alam dan budaya masyarakat setempat. Ini semua tidak lain adalah dalam rangka pembangunan kapasitas manusia Indonesia yang mandiri, beradab dan berkeadilan. Namun sampai saat ini implementasi undang-undang ini, khususnya di bagian pendidikan non-formal masih belum banyak yang diimplementasikan di dunia nyata, khususnya di lokasi-lokasi taman nasional dimana masyarakatnya khas dan sudah lama berinteraksi dan bergantung hidupnya dengan sumberdaya hutan. Setiap ekosistem hutan dan masyarakat asli sekitarnya, merupakan aset yang berharga dari suatu proses koevolusi, paling tidak untuk bahan pengembangan pembelajaran dan pengembangan pengetahuan tradisional masyarakat menuju pengembangan IPTEK moderen yang berbasis sumberdaya alam dan sumberdaya manusia Indonesia setempat yang mandiri. Salah satu pendidikan nonformal yang dapat dikembangkan antara lain adalah untuk pendidikan kapasitas masyarakat tentang konservasi tumbuhan obat, pendidikan peramuan tumbuhan obat menjadi herbal, budidaya tumbuhan obat dan aspek-aspek lain yang mendukung pengembangan pelestarian pemanfaatan tumbuhan obat bagi kesejahteraan dan perekonomian masyarakat di setiap lokasi kawasan hutan taman nasional di Indonesia. Lahan zona rehabilitasi TNMB seluas 4000 Ha sangat baik untuk 190

209 sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Penjelasan: Pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi dimaksudkan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah. dikembangkan sekolah lapang agroforestry-industry tumbuhan obat secara terpadu bersama-sama masyarakat dan perguruan tinggi. Kapasitas SDM pengelola sangat kurang 7. PP Nomor 34 Tahun 2002 : Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 15 ayat (1) Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarian hutan; (2) Pemanfaatan hutan secara lestari sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari; (3) Kriteria dan indikator sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Pasal 51 ayat (1) mengatur : Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dimaksud untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dalam pemanfaatan hutan. Ayat (2) : untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan difasilitasi oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah. Dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) dinyatakan bahwa : Masyarakat setempat adalah masyarakat yang berada di dalam dan atau sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial yang berdasarkan pada persamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan. Memberdayakan masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam memanfaatkan hutan.... Ayat (2) : fasilitas oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah dilaksanakan sesuai dengan kewenangannya antara lain melalui pengakuan status legalitas, penguatan kelembagaan, bimbingan produksi, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, akses terhadap pasar, serta pemberian hak dalam pemanfaatan. Hasil analisis Stimulus alamiah cukup Stimulus manfaat cukup Stimulus religius lemah Pemanfaatan lestari sumberdaya alam hayati di kawasan taman nasional, terkendala UU No Peraturan Pemerintah ini dengan jelas dan tegas telah mengatur tentang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Pengelolaan taman nasional seharusnya menjadikan program pemberdayaan masyarakat ini sebagai salah satu prioritas utama, seperti yang disebutkan ayat (2) di atas guna miningkatkan nilai tambah dan keuntungan yang maksimal bagi masyarakat. Namun kebijakan ini belum menjadi program yang penting dan belum prioritas. Kapasitas SDM pengelola kurang 8. PP Nomor 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam konsideran huruf a : bahwa tumbuhan dan satwa liar merupakan bagian dari sumberdaya alam hayati yang dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 35 mengatur : Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar yang berasal dari habitat alam untuk keperluan budidaya tanaman obat-obatan dilakukan dengan tetap memelihara Hasil analisis Stimulus alamiah cukup Stimulus manfaat lemah Stimulus religius nihil PP ini dengan jelas menyebutkan dan mendorong pemanfatan tumbuhan untuk kesejahteraan masyarakat, terutama melalui budidaya. Sampai saat ini program pengelolaan kawasan belum banyak melakukan domestikasi dan budidaya berbagai jenis tumbuhan liar hutan yang sudah sejak lama dikenal dan dipungut masyarakat dan sudah menjadi komoditi perdagangan di pasar, kecuali untuk jenis kedawung. Hutan taman nasional sebagai bank plasma nutfah dari beranekaragam spesies dan manfaat tumbuhan sampai saat ini belum diperankan oleh pengelola sebagai pensuplai bibit untuk kawasan budidaya yang dapat mendukung terwujudnya sentra produksi berbagai komoditi tumbuhan perdagangan 191

210 kelangsungan potensi, populasi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan liar. unggulan, seperti tumbuhan obat kedawung dan lain-lain. Sekaligus secara nyata akan dapat mendukung terwujudnya kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan yang berbasis sumberdaya alam hayati unggulan dan khas setempat. Kapasitas SDM pengelola kurang 9. Peraturan Menteri Kehutanan, No. : P.01/Menhut-II/2004 : Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry Dalam konsideran huruf a : bahwa sumberdaya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan perlu dikelola dan dipertahankan keberadaannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan ; huruf c : bahwa social forestry dimaksudkan untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun Pasal 1 Ayat (1) mengatur : Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau sekitar hutan adalah upaya-upaya yang ditempuh dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat ; Ayat (2) : Pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat adalah kegiatan pengelolaan hutan secara utuh yang dilakukan oleh masyarakat setempat ; Ayat (3): Masyarakat setempat adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan atau sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial didasarkan pada mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan ; Ayat (4) : Social Forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Pasal 2 Ayat (1) : Maksud pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan adalah untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan hutan dalam rangka social forestry ; Ayat (2) : Tujuan pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari. Pasal 5 mengatur: Prinsip dasar pemberdayaan masyarakat setempat meliputi, Ayat (1) : Penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat ; Ayat (2) : Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat ; Ayat (3) : Melindungi masyarakat melalui keberpihakan kepada masyarakat untuk mencegah dampak persaingan yang tidak sehat. Selanjutnya Pasal 7 mengatur : Social Forestry dilaksanakan berdasarkan pengelolaan hutan berbasis pemberdayaan masyarakat dengan memperhatikan prinsip-prinsip: manfaat dan lestari, swadaya, kebersamaan dan kemitraan, keterpaduan antar sektor, bertahap, berkelanjutan, spesifik lokal, dan adaptif. Pasal 8 mengatur rambu-rambu penyelenggaraan social forestry, Ayat (1) : Tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan ; Ayat (2) : Tidak memberikan hak kepemilikan atas kawasan hutan, kecuali hak pemanfaatan sumber daya hutan ; Ayat (3) : Tidak parsial tetapi pengelolaan hutan yang dilaksanakan secara utuh. Pasal 10 Ayat (3) mengatur, bahwa : Peran para pihak dalam pengembangan social forestry dimaksudkan untuk mensinergikan peran berbagai pihak terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat. Hasil analisis Stimulus alamiah cukup Stimulus manfaat cukup Stimulus religius lemah Peraturan Pemerintah di atas sudah jelas dan tegas, bahwa penyelenggaraan social forestry dalam pengelolaan hutan, termasuk taman nasional merupakan suatu keharusan yang merupakan pengelolaan hutan yang dilaksanakan secara utuh, tidak parsial. Namun peraturan pemerintah ini belum diimplementasikan secara optimal di taman nasional, dan belum menjadi program yang utama yang terintegrasi dengan programprogram lainnya, seperti dapat dilihat pada bahasan sub bab terakhir dari disertasi ini. Kapasitas SDM pengelola kurang 192

211 Lampiran 13 (Lanjutan) 10. Peraturan Menteri Kehutanan, No. : P.19/Menhut-II/2004 Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pada Pasal 4 mengatur pelaksanaan kolaborasi pengelolaan, Ayat (1) : Kolaborasi dalam rangka pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam adalah proses kerjasama yang dilakukan oleh para pihak yang bersepakat atas dasar prinsip-prinsip saling menghormati, saling menghargai, saling percaya dan saling memberikan kemanfaatan. Ayat (3) menyebutkan, bahwa para pihak sebagaimana dalam ayat (1), antara lain : Pemerintah Pusat termasuk Kepala UPT KSDA/TN, Pemerintah Daerah, Kelompok Masyarakat Setempat, Perorangan baik dari dalam maupun luar negeri, LSM setempat, nasional dan internasional yang bekerja di bidang konservasi sumberdaya alam hayati, BUMN, BUMD, BUMS atau Perguruan Tinggi/Lembaga Ilmiah/Lembaga Pendidikan. Hasil analisis Stimulus alamiah cukup Stimulus manfaat lemah dan malahan bisa negatif Stimulus religius nihil Kalau dilihat para pihak yang disebutkan di atas kolaborasi dapat dilakukan oleh pihak dari luar masyarakat sekitar, terutama yang berasal dari pihak non pemerintah. Sekiranya pihak tersebut bertujuan untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan materil, maka dapat dipastikan akan merugikan masyarakat sekitar karena posisi tawar masyarakat sekitar lebih rendah. Masyarakat sekitar akan tersingkir dan hanya akan menjadi korban yang dirugikan, apabila tujuan utama kerjasama dengan pihak luar bukan untuk kegiatan pendampingan masyarakat guna meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat sekitar itu sendiri. Contohnya adalah berdasarkan hasil wawancara penulis bulan September 2006 dengan Kepala Taman Nasional Komodo, ada indikasi bahwa masyarakat sekitar Taman Nasional Komodo tersisih dan menjadi bertambah tidak berdaya, karena adanya kolaborasi taman nasional dengan pihak LSM internasional, yang bertujuan utama untuk mengelola sendiri secara langsung kegiatan ekowisata dari mancanegara untuk mendapatkan keuntungan materil, tanpa melibatkan dan tanpa melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas masyarakat sekitar. Peraturan Menteri Kehutanan No 19 tahun 2004 ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No 1 tahun 2004, bahwa pada Pasal 10 Ayat (3) mengatur, bahwa : Peran para pihak dalam pengembangan social forestry dimaksudkan untuk mensinergikan peran berbagai pihak terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat. Peraturan Menhut ini sebaiknya segera direvisi, terutama materi kolaborasi pengelolaan dengan pihak luar seharusnya bertujuan utama untuk membantu terwujudnya konservasi taman nasional dan sekaligus dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat untuk meningkatkan kapasitas, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat sekitar dengan berbasis pemanfaatan sumberdaya alam hayati taman nasional secara berkelanjutan dan terencana. 193

212 Lampiran 13 (Lanjutan) 11. PP No. 68, 1998 : Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Hasil analisis Dalam konsideran huruf a menyatakan: bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan kekayaan alam yang sangat tinggi nilainya karena itu perlu dijaga keutuhan dan kelestarian fungsinya untuk dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam penjelasan umum disebutkan pada alinea 5 bahwa : pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam pada hakekatnya merupakan salah satu aspek pembangunan yang berkelanjutan serta wawasan lingkungan, sehingga dampaknya sangat positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, yang sekaligus akan meningkatkan pula pendapatan negara dan penerimaan devisa negara, yang pada gilirannya dapat memajukan hidup dan kehidupan bangsa. Sedangkan pada alinea 6 : oleh karena itu, pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam tidak hanya kesejahteraan didasarkan pada prinsip konservasi untuk konservasi itu sendiri, tetapi konservasi untuk kepentingan bangsa dan seluruh masyarakat Indonesia. langsung Pasal 48 : Kawasan Taman Nasional dapat dimanfaatkan sesuai dengan sistem zonasi pengelolaannya. Pasal 49 (1) Zona inti dapat dimanfaatkan untuk keperluan : a. penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan; b. ilmu pengetahuan; c. pendidikan; dan atau d. kegiatan penunjang budidaya. Pasal 50 (1) Zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk keperluan : a. pariwisata alan dan rekreasi; b. penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan; c. pendidikan; dan atau d. kegiatan penunjang budidaya. (2) Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi (4) Kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil-hasil penelitian serta peragaan dokumentasi tentang potensi kawasan tersebut. Pasal 51 (1) Zona Rimba dapat dimanfaatkan untuk keperluan : a.penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan; b. ilmu pengetahuan; c. pendidikan; d. kegiatan penunjang budidaya; e. wisata alam terbatas. 12. Surat Keputusan Menhut No. 6186/ Kpts.- II/ Juni 2002 : Organisasi dan Tatakerja Balai Taman Nasional. Mengatur Balai Taman Nasional Meru Betiri mempunyai tugas pokok melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan TNMB dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku (Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004). Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Balai TNMB menyelenggarakan fungsi, yaitu : (a) penyusunan rencana, program dan evaluasi pengelolaan taman nasional; (b) pengelolaan taman nasional; (c) pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman nasional; (d) perlindungan, pengamanan, penanggulangan kebakaran taman nasional; (e) promosi dan informasi, bina wisata dan cinta alam, serta penyuluhan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; (f) kerja sama pengelolaan taman nasional; (g) pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Hasil analisis Stimulus alamiah kuat Stimulus manfaat lemah Stimulus religius lemah Akses masyarakat terhadap sumberdaya alam taman nasional sangat terbatas Peraturan Pemerintah ini tidak mengatur bahwa potensi sumberdaya taman nasional dapat dimanfaatan secara lestari untuk kepentingan dan masyarakat. Artinya ini bahwa pengelolaan taman nasional belum secara memprioritaskan program yang berkaitan dengan pelestarian pemanfaatan taman nasional untuk dapat mendukung secara optimal terwujudnya kesejahteraan masyarakat lokal yang berkelanjutan. Aktivitas dan wewenang pengelola untuk dapat mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat lokal sangat terbatas dan terkendala dengan peraturan yang berlaku. Stimulus alamiah cukup Stimulus manfaat lemah Stimulus religius lemah Tugas pokok dan fungsi pengelola taman nasional terlihat menyebutkan yang berkaitan dengan pemberdayaan, pembinaan dan pembangunan kehidupan masyarakat lokal sekitar taman nasional seperti yang sudah diatur dengan tegas dan jelas dalam undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan menteri kehutanan yang telah dikemukakan sebelumnya. Seharusnya tugas pokok dan fungsi pengelola merupakan turunan dan terjemahan operasional dari UU dan PP. Tugas pokok pengelola harus mampu menangani secara holistik dan sistematis permasalahan di lapangan berkaitan dengan masyarakat sekitar, terutama berkaitan dengan interaksi dan saling-ketergantungan dengan sumberdaya hutan secara positif. Kapasitas SDM pengelola sangat kurang 194

213 Lampiran 13 (Lanjutan) 13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: 56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Jenis Zona Pasal 3 (1) Zona dalam kawasan taman nasional terdiri dari: a. Zona inti; b. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan; c. Zona pemanfaatan; d. Zona lain, antara lain: 1. Zona tradisional; 2. Zona rehabilitasi; 3. Zona religi, budaya dan sejarah; 4. Zona khusus. (2) Penataan zona taman nasional didasarkan pada potensi dan fungsi kawasan dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial, ekonomi dan budaya. (4) Kriteria zona tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d angka 1 meliputi: a. Adanya potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya; b. Di wilayah perairan terdapat potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati tertentu yang telah dimanfaatkan melalui kegiatan pengembangbiakan, perbanyakan dan pembesaran oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. (5) Kriteria zona rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d angka 2 meliputi: a. Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara ekologi berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang pemulihannya diperlukan campur tangan manusia; b. Adanya invasif spesies yang mengganggu jenis atau spesies asli dalam kawasan; c. Pemulihan kawasan pada huruf a, dan b sekurang-kurangnya memerlukan waktu 5 (lima) tahun. Hasil analisis Stimulus alamiah cukup Stimulus manfaat cukup Stimulus religius lemah Sebaiknya kegiatan pemanfaatan tradisional sumberdaya alam hayati oleh masyarakat kecil dan unik yang telah hidup turun temurun di dalam atau di sekitar taman nasional, tidak dibatasi dalam bentuk wilayah atau zona tradisional. Tetapi yang perlu dibuat batasan dan definisi yang jelas adalah terhadap spesies, bentuk, sifat dan intensitas kegiatan pemanfaatan tradisional apa saja yang boleh dilakukan. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat bukti-bukti empiris di lapangan, seperti contoh kasus kedawung bahwa ada hubungan yang bersifat positif antara masyarakat dengan konservasi potensi sumberdaya hayati kedawung. Sehingga kurang relevan kalau pemanfaatan tradisional di batasi oleh wilayah atau areal tradisional saja, karena ada kemungkinan penyebaran spesies yang menjadi kebutuhan masyarakat ada di berbagai zona taman nasional. 195

214 Lampiran 14. Analisis kandungan tri-stimulus amar konservasi kegiatan pengelolaan TNMB yang telah dilakukan pada tahun Stimulus Stimulus Stimulus Alamiah Manfaat Religius A. PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN KAWASAN 1 Patroli rutin Operasi pengamanan fungsional Polhut Operasi pengamanan hutan gabungan Operasi khusus Operasi pengamanan swakarsa Monitoring dan evaluasi hasil operasi pengamanan kawasan Koordinasi pengamanan kawasan dan penanganan pelanggaran B. PEMANTAPAN KAWASAN KONSERVASI 8 Rehabilitasi kawasan melalui penanaman dan pengayaan Pendampingan petani rehabilitasi kawasan Penyediaan bibit tanaman rehabilitasi Sosialisasi batas-batas kawasan Rekonstruksi batas kawasan Penggantian pal batas yang hilang/rusak C. PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN 14 Pembentukan posko siaga Pemadaman kebakaran hutan D. PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI 16 Inventarisasi rusa Inventarisasi satwa penyu dan predator Inventarisasi burung paruh besar Monitoring harimau jawa dan fauna lainnya dengan metode fototrap Inventarisasi burung air Inventarisasi vegetasi Identifikasi primata Identifikasi burung raptor Monitoring satwa dengan fototrap Identifikasi dan inventarisasi tanaman obat Identifikasi dan inventarisasi banteng Inventarisasi tumbuhan rafflesia Identifikasi dan inventarisasi merak Identifikasi dan inventarisasi kijang Identifikasi dan inventarisasi anggrek hutan Rehabilitasi habitat di lapangan penggembalaan (Pringtali) Pembinaan habitat penyu Pembinaan habitat rafflesia Penangkaran rusa Pelestarian penyu di Sukamade Pembinaan habitat banteng E PENGEMBANGAN WISATA ALAM DAN JASA LINGKUNGAN 37 Pelatihan pemandu wisata alam Identifikasi dan inventarisasi potensi jasa lingkungan Perkemahan konservasi Pembuatan jalur tracking Bandealit - Meru - Permisan - Sukamade 0 0 0

215 Lampiran 14. (Lanjutan) F PENYEBARAN INFORMASI DAN PROMOSI 41 Penyebaran informasi dan promosi (leaflet, brosur, stiker, dan lain-lain) Penyuluhan konservasi sumber daya alam Pengadaan peta-peta kawasan TNMB Labelisasi jenis-jenis pohon G PENINGKATAN USAHA EKONOMI MASYARAKAT 45 Pemberian bantuan hewan ternak Pemberian bantuan perahu dan mesin perahu Pembangunan kios jamu Pemberian bantuan tungku api Pemberian bantuan peralatan pengolahan jamu tradisional Pembuatan karamba kepiting Pemberian bantuan modal usaha pengolahan jamu tradisional Pemberian bantuan etalase untuk pemasaran jamu tradisional H PENINGKATAN SARANA PRASARANA 53 Pengadaan barang Rehabilitasi bangunan Pembangunan Keterangan 1 ada 0 tidak ada

216 Lampiran 15. Kegiatan pengelolaan yang sedang dan akan dilakukan tahun , berkaitan dengan tri-stimulus amar konservasi Aspek Judul kegiatan Stimulus manfaat 5.1. Program penataan kawasan 5.2. Program pembinaan daya dukung kawasan Program Pengelolaan Keanekaragaman Hayati 5.4. Program Pemanfaatan Kawasan Review Zonasi Taman Nasional Meru Betiri. Penyelesaian tata batas kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Pemeliharaan/penggantian pal batas kawasan yang hilang/rusak. Penanaman pohon pada jalur batas kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Pembinaan habitat banteng Pembinaan habitat rafflesia Rehabilitasi nesting area penyu Rehabilitasi kawasan melalui penanaman dan pengayaan tanaman pokok. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan rehabilitasi Identifikasi dan inventarisasi jenis flora Identifikasi dan inventarisasi jenis fauna Pembuatan demplot percontohan tumbuhan obat jenis pule pandak Penangkaran rusa Pelestarian penyu dg pembiakan semi alami Inventarisasi harimau dengan foto trap Pembuatan bibit tanaman rehabilitasi Lomba pelaksanaan kegiatan rehabilitasi oleh Kelompok Tani Mitra Rehabilitasi. Kerjasama pelestarian penyu dengan WWF Kerjasama monitoring harimau dengan STP Penyusunan master plan pengembangan pariwisata alam TNMB Penataan camping ground Pembentukan/pembinaan kader konservasi dan pecinta alam Perkemahan konservasi Pembinaan Cinta Alam Pemberdayaan kader konservasi Ekspose pengelolaan TNMB Pembuatan booklet, leaflet, poster, sticker dll Pembuatan kalender TNMB Pembuatan film potensi kawasan dalam CD Pembuatan buku informasi taman nasional versi Indonesia dan Inggris Pembuatan website Penggandaan buku saku peraturan perundangan bidang PHKA Penyusunan buku panduan interpretasi TNMB Penyusunan data base TNMB Lomba lintas alam Inventarisasi dan identifikasi wisata alam Penyusunan buku informasi tumbuhan obat. ada ada ada ada ada Stimulus alamiah ada ada ada ada ada ada ada ada ada ada Stimulus religius ada ada ada 198

217 Program Perlindungan dan Pengamanan Potensi Kawasan Program Pembinaan Sumber Daya Manusia 5.8. Program Pembinaan Partisipasi Masyarakat Pembuatan papan nama/pengumuman/larangan/informasi/petunju k pada tempat-tempat strategis Operasi pengamanan fungsional Operasi pengamanan hutan gabungan Operasi khusus pengamanan hutan Monitoring dan evaluasi hasil operasi pengamanan kawasan Penanggulangan kebakaran kawasan. Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam rangka penyelesaian kasus pelanggaran di TNMB. Pelaksanaan koordinasi penanganan kasus pelanggaran kehutanan Koordinasi PPNS dengan instansi terkait Rapat koordinasi tingkat Muspika Rapat koordinasi pengelolaan hutan terpadu dengan fokus TNMB Pendidikan dan latihan penjenjangan. Pelatihan/penyegaran POLHUT, PEH dan PPNS. Pelatihan/penyegaran perencana, penyusun program dan anggaran. Pelatihan/peyegaran pengelola administrasi barang Inventaris Kekayaan Milik Negara (IKMN). Pelatihan/penyegaran administrasi keuangan. Pelatihan/penyegaran pengelola kegiatan/proyek. Pelatihan/penyegaran pemandu wisata. Latihan menembak bagi Polhut. Membantu pengurusan hak paten dan merek produk jamu tradisional 20 jenis Pengadaan bibit tanaman rehabilitasi oleh kelompok tani mitra rehabilitasi. Pertemuan kelompok tani mitra rehabilitasi Pelibatan masyarakat sekitar kawasan dalam kegiatan rehabilitasi Pendampingan kelompok tani mitra rehabilitasi Penyuluhan konservasi. ada ada ada ada ada ada ada ada ada ada ada ada Sumber : Balai Taman Nasional Meru Betiri (2004c) 199

218 Lampiran 16. Sejarah Ringkas Perkembangan Desa Curahnongko (Konsorsium FAHUTAN IPB-LATIN, 1995). Tahun Kejadian 1917 Awal cikal bakal berdirinya desa Curahnongko Dilakukan pembabatan hutan untuk perkampungan oleh kelompok Pak Jah dan Pak Rah yang 1921 datang dari Madura 1929 Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan suatu ketentuan bahwa kawasan hutan Meru Betiri dan sekitarnya perlu dilindungi dan dilestarikan Beberapa orang masuk hutan mengambil madu, bambu dan kayu, tetapi waktu itu hanya dipakai untuk kebutuhan sendiri seperti untuk mendirikan rumah dan membuat gedek. Jumlahnya juga sedikit sekali karena hanya jika ada orang butuh dan sebatas kebutuhan sendiri saja, sedikit sekali yang dijual. Kompleks hutan Meru Betiri ditetapkan sebagai hutan lindung, yaitu di zaman Ratu Yuliana kompleks hutan Meru Betiri ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan Besluit Directeur van Economiche Zaken tanggal 29 April 1938 nomor Tentera Jepang masuk ke Curahnongko dan membuat asrama. Semua hasil pertanian diminta dan disita Jepang. Makanan tidak ada, orang-orang mulai masuk alas (hutan) Meru untuk mencari yang bisa dimakan dan membuat pakaian dari kulit pohon ancar. Makanan yang dicari adalah gadung dan ketela pandesi Perkampungan dibakar oleh Belanda. Banyak penduduk masuk dan bahkan mengungsi ke hutan. Orang-orang di hutan mengambil segalanya yang bisa dimakan atau dijual, seperti : gadung, madu, buah kemiri, buah kluwek, buah kedawung, buah joho dan lain-lain. Saat itu beberapa orang (termasuk mbah Setomi) mulai mengenal daerah-daerah yang banyak terdapat pohon-pohon kedawung dan jenis lain yang hasilnya laku dijual Mulai ada pengepul (pedagang pengumpul) tumbuhan obat, namanya Pak Alim, sebelumnya ia menerima pesanan dari luar daerah, biasanya dari Ajung, selanjutnya dia memberitahu para pendarung (mbah Setomi dan beberapa kawannya) bahwa saat ini musim buah tertentu, misalnya Kedawung sudah tua, Kemiri sudah tua dan dapat dipanen. Nanti kalau ketemu diambil dengan taksiran harga per kilo sekian. Jika harganya dirasa cocok, baru orang-orang masuk hutan mencari barang yang dipesan pengepul. Jika sebelum masuk hutan tidak punya uang dapat pinjam dahulu ke pengepul, berupa uang atau beras, jagung, cengkeh, dll. Pinjaman biasanya dibagi dua, sebagian untuk kebutuhan keluarga di rumah, sebagian untuk bekal masuk hutan bersama gandengan teman masing-masing Hutan Curahnongko mulai dibabat dan ditanami jati milik Perhutani, yang melakukan pembabatan adalah masyarakat petani dan yang menanam jati juga masyarakat petani Curahnongko, sebagai upahnya petani boleh menanam palawija di sekitar tanaman jati yang masih kecil, hasilnya untuk masyarakat petani. Tanaman palawijanya adalah jagung, padi gogo dan tembakau. Setelah 3 tahun, tanaman sela ditutup dan petani harus keluar dari areal Perhutani. Model seperti ini juga dilakukan oleh Perhutani di Wonowiri, Kali Tapeh dan Pondok Jati, yang dilakukan berurutan waktunya Daerah Wonowiri hutan alam primer ditebang dan diganti dengan tanaman pohon Jati Banyak anggota masyarakat yang dibantai karena dituduh terlibat G30S/PKI di hutan Jati Wonowiri Penanaman pohon Jati secara besar-besaran di sepanjang perbatasan hutan alam memanjang ke arah barat sekitar 2000 ha. Bagi masyarakat petani yang diwakili oleh mbah Setomi pembabatan hutan alam, kemudian diganti dengan Jati itulah awal kerusakan dan kesusahan kami, karena setelah itu air menjadi susah, udara menjadi panas, apalagi kalau kemarau pasti terjadi kebakaran, padahal dulu sama sekali tidak pernah terjadi kebakaran. Sebelum itu kalau cari madu cukup di sekitar sini saja di pinggir hutan, kalau berangkat pagi jam 6, nanti paling siang jam 9 sudah kembali dan membawa 25 botol madu, mencari tumbuhan obat juga tidak perlu jauh-jauh ke dalam hutan, paling sore jam 5 sudah sampai rumah membawa hasil. Setelah menjadi hutan Jati, orang-orang mulai masuk jauh ke dalam hutan sampai Meru, Nanggelan, Gergunung, ke tempat-tempat yang dulu terlarang dan angker Penduduk ada yang sudah punya radio. Pasar Curahnongko mulai ada 1970 Dibangun pos penjagaan (Resort Guci Betiri). Pintu keluar dari kompleks hutan lindung Meru Betiri 1972 Kompleks Hutan Lindung Meru Betiri seluas ha ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 276/Kpts/Um/6/1972 tanggal 6 Juni Petugas PA SM Meru Betiri mulai melarang dan merampas hasil hutan yang kami bawa dari 200

219 hutan, kita (mbah Setomi dkk.) dituduh sebagai tukang ngrusak hutan, tukang mbakar hutan, apa saja yang kita hasilkan dari hutan akan dirampas semua, kalau sudah berwujud uang, mereka juga masih minta bagian Kesenian reog sudah punah. Pesawat TV mulai masuk 1975 Alat transportasi dokar punah diganti dengan kenderaan bermotor roda dua dan roda empat 1976 Penyerahan kawasan hutan jati Perhutani untuk perluasan kawasan Suaka Margasatwa 1977 Mulai ada tradisi tahlilan, dzibaan, barzanji dan arisan. Pendirian masjid di kampung Timur Sawah yang merupakan hasil swadaya murni masyarakat Orang saat itu beramai-ramai mencari dan menebang kayu Gaharu, terutama di di Tumpak Gondel, Tapen, Growong, Pondok Jati, dll. Pacar Gunung mulai susah ditemukan, yang banyak tinggal kayu putihan saja, yaitu Bendoh, Bindung dan Rawu Suaka Margasatwa Meru Betiri diperluas menjadi ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 529/Kpts/Um/7/1982tanggal 21 Juli Kemudian pada tanggal 14 Oktober 1982 berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian Nomor : 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 Suaka Margasatwa Meru Betiri dinyatakan sebagai Calon Taman Nasional Meru Betiri Mulai ada Puskesmas di Curahnongko. Berdirinya Posyandu. Ada KKN gelombang I dari Universitas Jember 1986 Salah seorang putra desa ada yang meneruskan ke perguruan tinggi Boreg-boreg kayu Jati mulai ada, yang mendatangi penduduk agar mau ngempleng jati dengan iming-imingi pendapatan tinggi. Sejak itu pencurian kayu jati mulai marak dan terangterangan, bahkan sampai ada yang memakai gergaji senso (chain saw) segala. Tetapi tidak ada yang ditangkap, mungkin mereka kerjasama dengan petugas PA, polisi dan tentara (mbah Setomi) Kerusakan Alas Meru benar-benar terasa, saat itu terjadi pengambilan bambu secara besarbesaran guna memnuhi kebutuhan pabrik Sumpit dan untuk Sajen. Setiap hari bertruk-truk bambu di bawa keluar, padahal kalau untuk Sumpit yang bisa dipakai hanya pangkal dan tengah batang, setengah pucuk ke atas harus dibuang, sehingga mengering dan mudah terbakar Kampung Andongrejo mulai memisahkan diri dari desa Curahnongko menjadi desa Andongrejo 1991 Terjadi banjir yang merobohkan jembatan dan menghancurkan satu rumah penduduk. Dibentuknya Mitra Jaya organisasi pemuda yang aktif dalam olahraga. Sampai tahun ini tidak pernah ada pembinaan atau penyuluhan dari petugas PA maupun Perhutani, sehingga masyarakat tidak pernah berhubungan dengan PA, kecuali jika ketemu saat membawa hasil dari hutan. Jadi pembinaan tidak ada, kalau cegatan setiap hari ada, soalnya PA sudah hafal jalan-jalan orang mencari madu, kedawung, kluwek, joho dan lain-lain. Sehingga mereka tinggal menunggu dijalan saja Mahasiswa S1 IPB Mujenah melakukan penelitian mengenai Interaksi Masyarakat dengan Tumbuhan Obat di Taman Nasional Meru Betiri. Penelitian ini melakukan wawancara dengan masyarakat pendarung tumbuhan obat dari dukuh Timur Sawah Desa Andongrejo dan dari desa Curahnongko, pada waktu itu ada 4 jenis tumbuhan obat yang banyak dipanen masyarakat dari hutan, yaitu buah Kedawung, buah Pakem, buah Kemukus dan buah Joho Lawe Pembangunan Demplot rehabilitasi seluas 7 ha oleh 43 KK masyarakat dari kampung Timur Sawah, yang didampingi oleh Konsorsium IPB-LATIN dengan ketua kelompoknya Mbah Setomi. Penanaman tanaman pokok dimulai pada bulan September dengan jenis pohon kedawung, pakem, kemiri, trembesi dan tumbuhan obat bukan pohon berupa cabejawa dan pule pandak Panen Jagung pertama masyarakat di demplot 7 ha. lahan rehabilitasi. Kelompok TOGA Sari Hutani dan Sumber Waras mulai memproduksi berbagai jamu instan, seperti instan temulawak, temu mangga, teh lampes, pule pandak dll. TOGA Sumber Waras mulai dikenal dengan produknya instan Morus alba yang telah banyak menyembuhkan penderita sakit asam urat Status Balai Taman Nasional Meru Betiri ditetapkan dengan keluarnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 277/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 seluas ha Mulai terjadi penebangan jati besar-besaran di areal terluar kawasan Taman Nasional Meru Betiri, sepanjang desa Curahnongko, Sanenrejo dan Curahtakir 1999 Mulai dilakukan program rehabilitasi lahan bersama masyarakat di zona rehabilitasi seluas sekitar 2500 ha dengan pendampingan yang dilakukan oleh Konsorsium IPB-LATIN 2001 Kegiatan pendampingan masyarakat rehabilitasi diteruskan oleh LSM KAIL, LSM masyarakat lokal yang difasilitasi pembentukannya oleh Konsorsium IPB-LATIN. 201

220 Lampiran 17. Kondisi sosial ekonomi masyarakat desa sekitar TNMB a. Jumlah penyebaran dan kepadatan penduduk desa sekitar kawasan TNMB No. Desa Luas (km 2 ) Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo Kab.Banyuwangi Sarongan Kandangan Kebonrejo 283,4 262,8 6,2 77,9 88,9 48,4 51,3 51,5 27,0 18,1 83,2 Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan Jumlah (jiwa) Kepadatan (jiwa/km 2 ) 20,17 20, ,45 65,75 196,69 311,04 176,86 219,36 473,82 109,60 Jumlah 998, ,77 Sumber : Monografi Desa, 2005 b. Tingkat pendidikan masyarakat desa sekitar kawasan TNMB No Desa Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo Kab.Banyuwangi Sarongan Kandangan Kebonrejo Belum/ Tidak sekolah Sumber : Monografi Desa Tahun 2005 Belum Tamat SD Tingkat Pendidikan (orang) Tamat SLTP/ Sederajat Tamat SD/ Sederajat Tamat SLTA/ Sederajat Tamat Akademi/ PT Jumlah c. Pola penggunaan lahan di desa sekitar kawasan TNMB No Desa Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo Jumlah KK Sawah 60,27 60,17-234,00 175,65 15,00 103,00 150,00 Jenis dan luas penggunaan lahan (Ha) Bangunan/ Tambak/ Kebun Tegal Halaman Kolam Rakyat 105,20 33,51 127,20 139,00 89,20 73,00 190,00 112, ,00 1,00-2, ,42 170,02 248,37 177,18 267, ,00 639,00 Jumlah 318,89 266,20 375,57 550,18 532, ,00 763,00 902,00 Ha/ KK 0,186 0,203 0,147 0,163 0,326 0,591 0,130 0, Kab. B.wangi Sarongan Kandangan Kebonrejo ,60 350,00 220,00 225,34 225, , ,75 128,00 158,12 689,69 703, ,89 0,468 0,271 0,696 Sumber : Monografi Desa Tahun

221 Lampiran 17 (Lanjutan) d. Jenis mata pencaharian penduduk desa sekitar kawasan TNMB No Desa Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo Kab.B.wangi Sarongan Kandangan Kebonrejo Sumber : Monografi Desa Tahun Jasa Jenis Mata Pencaharian Penduduk (orang) Petani Pedagang ABRI kangan PNS/ Pertu- Nelayan Pemilik Buruh Lainlain Jumlah

222 Lampiran 18. Kedawung di Africa Barat Guinea, Fouta Djallon Thierno Maadjou Bah and Mamadou Mouctar Sow 204

SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI

SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat, Kasus Di Taman Nasional Meru Betiri ERVIZAL AMZU SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan 1. Konservasi kedawung di lapangan gagal, karena terjadi ketidak-sejalanan antara stimulus dengan sikap dan aksi konservasi masyarakat maupun pengelola. Sinyal

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

Naskah ini merupakan bagian dari disertasi Ervizal Amzu 2)

Naskah ini merupakan bagian dari disertasi Ervizal Amzu 2) SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI: SUATU ANALISIS KEDAWUNG (Parkia timoriana (DC) Merr.) SEBAGAI STIMULUS TUMBUHAN OBAT BAGI MASYARAKAT, KASUS DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI 1) (Community s Attitudes and

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

VI. PERMASALAHAN KONSERVASI

VI. PERMASALAHAN KONSERVASI VI. PERMASALAHAN KONSERVASI Akar permasalahan konservasi ditinjau dari sikap masyarakat yang menjadi fokus dari penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (a) sikap dan aksi konservasi oleh

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus: Rumahtangga Nelayan Tradisional Di Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten) RANTHY PANCASASTI SEKOLAH

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA

SEKOLAH PASCASARJANA ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: Sri Martini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ANALISIS DAMPAK

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebun Raya Bogor (KRB) memiliki keterikatan sejarah yang kuat dalam pelestarian tumbuhan obat. Pendiri KRB yaitu Prof. Caspar George Carl Reinwardt merintis kebun ini

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

LAPORAN ECOLOGICAL SOCIAL MAPPING (ESM) 2012 FOREST MANAGEMENT STUDENT S CLUB

LAPORAN ECOLOGICAL SOCIAL MAPPING (ESM) 2012 FOREST MANAGEMENT STUDENT S CLUB LAPORAN ECOLOGICAL SOCIAL MAPPING (ESM) 2012 FOREST MANAGEMENT STUDENT S CLUB The Exploration of Resources and Communities Interaction in Gunung Walat University Forest DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 i SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN Oleh : Dewi Maditya Wiyanti PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BIO-EKOLOGI TUMBUHAN OBAT KEDAWUNG (Parkia timoriana (DC) Merr.) DI HUTAN ALAM TAMAN NASIONAL MERU BETIRI

BIO-EKOLOGI TUMBUHAN OBAT KEDAWUNG (Parkia timoriana (DC) Merr.) DI HUTAN ALAM TAMAN NASIONAL MERU BETIRI BIO-EKOLOGI TUMBUHAN OBAT KEDAWUNG (Parkia timoriana (DC) Merr.) DI HUTAN ALAM TAMAN NASIONAL MERU BETIRI (Bioecological of kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) medicinal plant in natural forest Meru

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah)

KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah) KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah) ARIEF KURNIAWAN NASUTION DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH)

PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH) PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH) MUH. ANSAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN RANTAI NILAI EKOWISATA KEBUN RAYA BOGOR

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN RANTAI NILAI EKOWISATA KEBUN RAYA BOGOR ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN RANTAI NILAI EKOWISATA KEBUN RAYA BOGOR Oleh : D O N I Y U S R I PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN

ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK ISKANDAR ZULKARNAIN. Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA Lis Noer Aini Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Arsitektur

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

KONFLIK KEPENTINGAN DI LAHAN THETHELAN

KONFLIK KEPENTINGAN DI LAHAN THETHELAN KONFLIK KEPENTINGAN DI LAHAN THETHELAN SEKITAR HUTAN TAMAN NASIOANAL MERU BETIRI (TNMB) (Studi Diskriptif Konflik Kepentingan Antara TNMB, LSM Dan Petani Thethelan di Desa Andongrejo Kecamatan Tempurejo

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA M A R D I N PROGRAM STUDI ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN SEKOLAH

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PENGUKURAN DAN PEMETAAN BATAS BIDANG TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA DEPOK.

ANALISIS KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PENGUKURAN DAN PEMETAAN BATAS BIDANG TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA DEPOK. ANALISIS KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PENGUKURAN DAN PEMETAAN BATAS BIDANG TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA DEPOK Oleh : Bambang Irjanto PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG

PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG (Studi Kasus Pada Unit Bisnis Jasa Angkutan Divisi Regional Sulawesi Selatan) Oleh : Retnaning Adisiwi PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH

PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI

SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

II. METODOLOGI PENELITIAN

II. METODOLOGI PENELITIAN II. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran 1. Teori hubungan stimulus dan sikap Menurut Rosenberg dan Hovland (1960), sikap merupakan kecenderungan bertindak (tend to act), kesediaan bereaksi atau

Lebih terperinci

PENERAPAN KAMPANYE BANGGA UNTUK MENGUBAH POLA PENGELOLAAN TERNAK MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA DI JANTHO ACEH BESAR

PENERAPAN KAMPANYE BANGGA UNTUK MENGUBAH POLA PENGELOLAAN TERNAK MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA DI JANTHO ACEH BESAR PENERAPAN KAMPANYE BANGGA UNTUK MENGUBAH POLA PENGELOLAAN TERNAK MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA DI JANTHO ACEH BESAR CUT MEURAH INTAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

MODEL HIDROGRAF SATUAN SINTETIK MENGGUNAKAN PARAMETER MORFOMETRI (STUDI KASUS DI DAS CILIWUNG HULU) BEJO SLAMET

MODEL HIDROGRAF SATUAN SINTETIK MENGGUNAKAN PARAMETER MORFOMETRI (STUDI KASUS DI DAS CILIWUNG HULU) BEJO SLAMET MODEL HIDROGRAF SATUAN SINTETIK MENGGUNAKAN PARAMETER MORFOMETRI (STUDI KASUS DI DAS CILIWUNG HULU) BEJO SLAMET SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR STUDI PERUBAHAN PERILAKU PADA GERAKAN SOSIAL KONSERVASI DENGAN KAMPANYE PRIDE DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI POTORONO DAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SUMBING MAGELANG PANJI ANOM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI OLEH SUCI NOLA ASHARI A14302009 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI Oleh: Darsini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Hak cipta milik

Lebih terperinci

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini

Lebih terperinci

PARTISIPASI KELOMPOK TANI MITRA REHABILITASI DI DESA CURAHNONGKO RESORT ANDONGREJO DALAM PROGRAM REHABILITASI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI

PARTISIPASI KELOMPOK TANI MITRA REHABILITASI DI DESA CURAHNONGKO RESORT ANDONGREJO DALAM PROGRAM REHABILITASI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI PARTISIPASI KELOMPOK TANI MITRA REHABILITASI DI DESA CURAHNONGKO RESORT ANDONGREJO DALAM PROGRAM REHABILITASI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI SKRIPSI Oleh: Samsul Arifin NIM 091510601049 PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

Lebih terperinci

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ... itj). tt'ii;,i)ifir.l flni:l l,*:rr:tililiiii; i:.l'11, l,.,it: I lrl : SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI DAFTAR SINGKATAN viii tx xt xii... xviii BAB

Lebih terperinci

ANALISIS EKUITAS MEREK MINUMAN ISOTONIK MIZONE PADA MAHASISWA DI KOTA SOLO. Oleh : Andrew Kresnoputro

ANALISIS EKUITAS MEREK MINUMAN ISOTONIK MIZONE PADA MAHASISWA DI KOTA SOLO. Oleh : Andrew Kresnoputro ANALISIS EKUITAS MEREK MINUMAN ISOTONIK MIZONE PADA MAHASISWA DI KOTA SOLO Oleh : Andrew Kresnoputro PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG

EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG ASEP AANG RAHMATULLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH

HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH (Kasus Desa Waimital Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat) RISYAT ALBERTH FAR FAR SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA POTENSI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN HUJAN TROPIS MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE

MODEL PENDUGA POTENSI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN HUJAN TROPIS MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE MODEL PENDUGA POTENSI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN HUJAN TROPIS MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE (Studi Kasus di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Bungo) URIP AZHARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi

Lebih terperinci

Oleh : Dewi Mutia Handayani A

Oleh : Dewi Mutia Handayani A ANALISIS PROFITABILITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MENURUT LUAS DAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN (Studi Kasus Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh : Dewi Mutia Handayani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 POTENSI

Lebih terperinci

KAJIAN MANAJEMEN TEKNOLOGI PERUSAHAAN TEH (Kasus Pada PT Perkebunan Nusantara VI Kebun Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi) Oleh : M U S W A D I

KAJIAN MANAJEMEN TEKNOLOGI PERUSAHAAN TEH (Kasus Pada PT Perkebunan Nusantara VI Kebun Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi) Oleh : M U S W A D I KAJIAN MANAJEMEN TEKNOLOGI PERUSAHAAN TEH (Kasus Pada PT Perkebunan Nusantara VI Kebun Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi) Oleh : M U S W A D I PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENGARUH BRAND IMAGE DAN PERSONAL SELLING DALAM MEYAKINKAN KONSUMEN TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN PADA PERHIASAN BVLGARI

PENGARUH BRAND IMAGE DAN PERSONAL SELLING DALAM MEYAKINKAN KONSUMEN TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN PADA PERHIASAN BVLGARI PENGARUH BRAND IMAGE DAN PERSONAL SELLING DALAM MEYAKINKAN KONSUMEN TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN PADA PERHIASAN BVLGARI SKRIPSI NAMA : SRI DEWI YULIANTI NIM : 43109110086 FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI

KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya

Lebih terperinci

PENILAIAN EKONOMI DAN JASA LINGKUNGAN PUSAT KONSERVASI TUMBUHAN KEBUN RAYA BOGOR RINDRA RI KI WIJAYANTI

PENILAIAN EKONOMI DAN JASA LINGKUNGAN PUSAT KONSERVASI TUMBUHAN KEBUN RAYA BOGOR RINDRA RI KI WIJAYANTI PENILAIAN EKONOMI DAN JASA LINGKUNGAN PUSAT KONSERVASI TUMBUHAN KEBUN RAYA BOGOR RINDRA RI KI WIJAYANTI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL (Studi Kasus di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor) SRI HANDAYANI

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM

Lebih terperinci

PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA

PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN (Kasus Kampung Cimenteng, Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci