VIII. STRATEGI ARAHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN GAS IKUTAN YANG MENGUNTUNGKAN SECARA EKONOMI, EKOLOGI DAN SOSIAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VIII. STRATEGI ARAHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN GAS IKUTAN YANG MENGUNTUNGKAN SECARA EKONOMI, EKOLOGI DAN SOSIAL"

Transkripsi

1 VIII. STRATEGI ARAHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN GAS IKUTAN YANG MENGUNTUNGKAN SECARA EKONOMI, EKOLOGI DAN SOSIAL Abstrak Besarnya potensi gas yang dimiliki Indonesia dan semakin menurunnya produksi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia, telah mendorong pemerintah untuk mengubah kebijakannya yang semala ini diarahkan pada pemanfaatan BBM menjadi bahan bakar gas (BBG) sebagai alternatif energi yang murah dan ramah lingkungan. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian untuk menentukan strategi arahan kebijakan pengelolaan gas ikutan. Penelitian menggunakan metode analisis data analitycal hierarchy process (AHP) untuk menyusun strategi arahan kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat. Sedangkan untuk mengetahui kendala utama yang dihadapi dan kebutuhan program dilakukan analisis interpretatif structural modeling (ISM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan yang perlu dikembangkan di Lapangan Minyak Tugu Barat adalah pemanfaatan liquified petroleum gas (LPG). Tujuan yang diharapkan dalam pengembangan pemanfaatan LPG adalah terpeliharanya kualitas lingkungan dalam rangka menuju clean development mechanism (CDM). Untuk mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan pemerintah disamping sumberdaya manusia yang tersedia, sumberdaya alam (ketersediaan gas ikutan), permodalan, teknologi, dan sarana dan prasarana. Oleh karena itu diperlukan kebijakan pemerintah dan peningkatan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam pengelolaan gas ikutan di lapanagn Tugu Barat. Saat ini kebijakan pemerintah khususnya terkait dengan pengelolaan gas ikutan belum ada, sehingga dalam pengelolaannya masih lebih mengacu pada kebijakan tentang pengembangan sumberdaya energi secara umum. Sedangkan sumberdaya manusia yang berkualitas yang dimaksud adalah selain memiliki keterampilan dalam mengelola manajemen industri tetapi memiliki pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dimana SDM tersebut dimanfaatkan. Di sisi lain perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan agar dalam pengembangannya dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan. Kata kunci : Kebijakan, pengelolaan gas ikutan, AHP, ISM 8.1. Pendahuluan Ditengah meningkatnya kebutuhan minyak dan semakin menurunnya jumlah produksi minyak dalam negeri membuat pemerintah mencari sumberdaya energi lainnya untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Salah satu sumberdaya energi yang memiliki peran besar dalam rangka memenuhi kebutuhan energi dalam negeri selain minyak dan dalam rangka diversifikasi energi adalah pemanfaatan gas dimana dalam pemanfaatannya harganya lebih murah dan ramah lingkungan. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah mengubah kebijakannya yang selama ini lebih diarahkan pada pemanfaatan

2 165 minyak seperti minyak tanah dan solar sebagai sumber bahan bakar beralih pada pemanfaatan gas. Bersamaan dengan menurunnya jumlah produksi minyak dan besarnya jumlah pemanfaatan minyak yang selama ini dilakukan untuk digunakan sebagai bahan bakar, membuat pemanfaatan gas sebagai bentuk diversifikasi energi perlu dimanfaatkan lebih banyak lagi untuk digunakan sebagai bahan bakar yang lebih murah dan ramah lingkungan. Hal ini penting dimana pemanfaatan gas dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menuju pembangunan bersih (clean development mechanism/cdm) dalam pengelolaan minyak dan gas di Indonesia dalam rangka mendukung pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, melaporkan bahwa pemanfaatan gas baik dalam kegiatan rumah tangga, industri, dan transportasi sangat sedikit menimbulkan gas buang yang dapat berbahaya bagi lingkungan seperti gas rumah kaca (GRK) dibandingkan dengan penggunaan minyak terutama minyak tanah dan solar. Di sisi lain, pemanfaatan gas dalam berbagai kegiatan pembangunan, diharapkan akan memberikan keuntungan yang besar baik dilihat dari manfaat ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial. Namun demikian keputusan pemerintah untuk memanfaatkan energi gas yang lebih murah dan ramah lingkunganini bagi penggunaan domestik telah mempengaruhi besarnya jumlah beban pemerintah untuk menyediakan gas dalam jumlah yang besar. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa ketersediaan gas dalam negeri belum cukup untuk memenuhi kebutuhan gas domestik yang cukup besar. Pada tahun 2002, suplai gas oleh pertamina baru mencapai ton per tahun sementara permintaan telah mencapai per tahun ( Dari data tersebut mencerminkan bahwa kebutuhan akan gas dalam negeri masih kekurangan sekitar ton per tahun. Untuk menutupi kekurangan akan gas tersebut, maka Pertamina meningkatkan impor gas disamping mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan akan gas yang besar tersebut. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemanfaatan gas ikutan yang terkandung dalam minyak mentah. Keberadaan gas ikutan dalam industri minyak dan gas bumi sangat memegang peran penting dalam mendukung ketersediaan energi nasional khususnya yang berasal dari bahan-bahan fosil, sehingga proses penyediaan pemanfaatan gas ikutan yang ada di dalam proses produksi minyak mentah

3 166 sangat diperlukan. Saat ini proses produksi gas ikutan masih jarang dilakukan. Hal ini disebabkan selain masih kurangnya dukungan pemerintah dalam produksi gas ikutan tersebut, juga dalam proses produksi juga dibutuhkan investasi yang besar. Di sisi lain cadangan minyak dan gas yang semakin berkurang yang menyebabkan pengelolaan gas ikutan dapat menjadi tidak ekonomis. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disusun suatu strategi sebagai arahan kebijakan dalam rangka pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan. Penelitian bertujuan untuk menentukan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan secara ekonomi, ekologi dan sosial 8.2. Metode Analisis Strategi Kebijakan Pemanfaatan Gas Ikutan Metode analisis yang digunakan dalam menganalisis strategi kebijakan gas ikutan sekaligus menggali kendalah dan kebutuhan dalam pengelolaan gas ikutan adalah analytical hierarchy process (AHP) dan interpretatif structural modeling (ISM). a. Analytical Hierarchy Process (AHP) AHP ini digunakan untuk menentukan elemen-elemen kunci untuk ditangani. Dalam analisis AHP didasarkan pada hasil pendapat pakar (expert judgment) untuk mengetahui kendala-kendala dan kebutuhan utama serta menjaring berbagai informasi dari beberapa elemen-elemen yang berpengaruh dalam penyusunan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan. Skala penilaian oleh pakar didasarkan pada skala nilai yang dikeluarkan oleh Saaty (1993) yang berkisar antara nilai 1 9, seperti pada Tabel 20. Tabel 20. Skala penilaian perbandingan berpasangan (Saaty, 1993) Tingkat Kepentingan Keterangan Penjelasan 1 Kedua elemen sama pentingnya Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama pentingnya 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen lainnya 5 Elemen yang satu sedikit lebih cukup daripada elemen lainnya Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas lainnya 7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya Satu elemen yang kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek 9 Satu elemen mutlak Bukti yang menyokong elemen

4 penting daripada elemen lainnya 2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Sumber : Saaty, 1993 yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai ini diberikan jika ada dua kompromi diantara dua pilihan 167 Menurut Saaty (1994) bahwa tahapan analisa data dengan AHP adalah sebagai berikut : 1. Mendefinisikan dan menentukan solusi masalah; 2. Membuat struktur hierarki yang dimulai dengan penentuan tujuan umum, subsub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkat kriteria yang paling bawah. Penyusunan hierarki dilakukan melalui diskusi mendalam dengan pakar yang mengetahui persoalan yang sedang dikaji. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya, Untuk mengkuantifikasi data kualitatif digunakan nilai skala 1-9, Skala perbandingan secara berpasangan seperti Tabel 20 di atas 4. Melakukan pengolahan perbandingan berpasangan. Pengolahan dilakukan untuk menyusun prioritas setiap elemen dalam hierarki terhadap sasaran utama. Jika NPpq didefenisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama, maka : NPpq = S t 1 NPHpq( t, q 1) xnptt( q 1) Keterangan : p = 1,2,...,r T = 1,2,...,s NPpq = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama NPHpq = Nilai prioritas elemen ke-p pada tingkat ke-q NPTt = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat q-1 5. Mengisi konsistensi judgment stakeholder dengan menghitung consistency ratio, Nilai konsistensi yang dianggap baik adalah < 0,1 Jika tidak konsisten

5 168 (nilainya > 0,1) maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi, consistency ratio merupakan parameter yang digunakan untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh pakar telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak (Marimin, 2004). Nilai consistency ratio dihitung dengan rumus : CR = CI RI Keterangan : CI = Indeks konsistensi CI = (p n) / (n 1) RI = Indeks Random p = rata-rata Consistensy Vector n = Banyak alternatif Sedangkan RI merupakan nilai random indeks sebagaimana yang ditetapkan oleh Oarkridge laboratory (Marimin, 2004) seperti pada Tabel 21 Tabel 21. Nilai indeks random untuk menghitung nilai consistency ratio N RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56

6 169 Fokus Model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Faktor Sumberdaya manusia Sumberdaya alam Modal Teknologi Sarana dan prasarana Kebijakan pemerintah Stakeholders Pemerintah Pengelola/Pertamina Perbankan Masyarakat Tujuan Terpeliharanya Kualitas lingkungan menuju CDM Perluasan lapangan kerja Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan Peningakatn Pendapatan Asli Daerah Alternatif LPG KONDENSAT LEAN GAS (POWER CO 2 GENERATOR) Gambar 49. Hierarki pengambilan keputusan model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih 169

7 170 b. Interpretatif Structural Modeling (ISM) Pada penelitian ini akan dibuat teknik permodelan interpretasi struktural (interpretatif structural modelling) dalam rangka merumuskan alternatif kebijakan di masa yang akan datang. Tahapan ISM akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hirarki dan klasifikasi subelemen (Eriyatno, 2003). Adapun tahapantahapan dalam analisis ISM secara rinci dijelaskan sebagai berikut: 1. Penyusunan Hierarki (a) Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen, dan setiap elemen akan diuraikan menjadi sejumlah subelemen. (b) Menetapkan hubungan kontekstual antara subelemen yang terkandung adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi subordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan (oleh pakar). Jika jumlah pakar lebih dari satu maka dilakukan perataan. Penilaian hubungan kontekstual pada matriks perbandingan berpasangan menggunakan simbol VAXO dimana : V jika e ij = 1 dan e ji = 0; V = subelemen ke-i harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-j A jika e ij = 0 dan e ji = 1; A = subelemen ke-j harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-i X jika e ij = 1 dan e ji = 1; X = kedua subelemen harus ditangani bersama O jika e ij = 0 dan e ji = 0; O = kedua subelemen bukan prioritas yang ditangani Pengertian nilai e ij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai e ji = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j. (c) Hasil olahan tersebut tersusun dalam structural self interaction matrix (SSIM). SSIM dibuat dalam bentuk tabel reachability matrix (RM) dengan mengganti V, A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Adapun tabel SSIM seperti di bawah ini.

8 171 Tabel 22. Structural self interaction matrix (SSIM) awal elemen Setelah Structural self interaction matrix (SSIM) terisi sesuai pendapat responden, maka simbol (V, A, X, O) dapat digantikan dengan simbol (1 dan 0) sesuai dengan ketentuan sehingga dari situ akan dapat diketahui nilai dari hasil reachability matrix (RM) final elemen. Bentuk pengisian hasil reachability matrix (RM) final elemen disajikan pada Tabel 23 Tabel 23. Hasil reachability matrix (RM) final elemen DP R D L Keterangan : DP = driver power R = rangking D = dependence L = level/hierarki Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui nilai driver power, dengan menjumlahkan nilai subelemen secara horizontal; untuk nilai rangking ditentukan

9 172 berdasarkan nilai dari driver power yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil; nilai dependence diperoleh dari penjumlahan nilai subelemen secara vertikal; untuk nilai level ditentukan berdasarkan nilai dari dependence yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil. 2. Klasifikasi subelemen Secara garis besar klasifikasi subelemen digolongkan dalam 4 sektor yaitu: (a) Sektor 1, weak driver-weak dependent variabels (Autonomous). Subelemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Subelemen yang masuk pada sektor 1 jika: Nilai DP 0.5 X dan nilai D 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. (b) Sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels (Dependent). Umumnya subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah subelemen yang tidak bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 2 jika : Nilai DP 0.5 X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. (c) Sektor 3; strong driver- strongly dependent variabels (Lingkage). Subelemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada subelemen akan memberikan dampak terhadap subelemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Subelemen yang masuk pada sektor 3 jika : Nilai DP > 0.5 X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. (d) Sektor 4; strong driver-weak dependent variabels (Independent). Subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 4 jika : Nilai DP > 0.5 X dan nilai D 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. Adapun analisa matrik dari klasifikasi subelemen disajikan pada Gambar 50.

10 173 Daya Dorong (Drive Power) Independent Variable Sektor IV Autonomous Variable Sektor I Lingkage Variablel Sektor III Dependent Variable Sektor II Ketergantungan (Dependence) Gambar 50. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor (Marimin, 2004) 8.3. Hasil dan Pembahasan Penyusunan Strategi Kebijakan Pemanfaatan Gas Ikutan Sebagaimana telah diuraikan pada Bab III, bahwa untuk mengetahui strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan digunakan analisis AHP (analytical hierarchy process) berdasarkan hasil diskusi dengan pakar dan penelitian di lapangan ada 5 level hirarki yang terkait secara nyata mempengaruhi strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yaitu: (1) level fokus; (2) level faktor; (3) level stakeholder; (4) level tujuan dan (5) level alternatif seperti yang terlihat pada Gambar 49 di atas. Hasil analisis AHP secara terperinci seperti pada Tabel 24. Tabel 24. Hasil analisis AHP strategi kebijakan pemanfaatan gas ikutan No ELEMEN PENGELOLAAN GAS IKUTAN PENDAPAT PAKAR I. Strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan II Faktor 1. SDM 0, SDA 0, Modal 0, Teknologi 0, Sarana dan Prasarana 0, Kebijakan Pemerintah 0,270 III. Stakeholder 1. Pemerintah 0, Pengelola/Pertamina 0, Perbankan 0, Masyarakat 0,137 IV. Tujuan 1. Terpeliharanya Kualitas Lingkungan Menuju CDM 0, Perluasan Lapangan Kerja 0, Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan 0,310

11 Peningkatan Pendapatan Asli Daerah 0,173 V. Alternatif 1. LPG 0, Kondensat 0, Lean Gas (Power Generator) 0, CO2 0, Level Fokus Peran masing-masing stakeholder dan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan difokuskan pada pengelolaan gas ikutan. karena besaran (size) dan kompleksitas permasalahan dan ketergantungan masing-masing sektor dan pihak yang terkait dalam pengelolaan gas ikutan merupakan salah satu alat yang berpengaruh untuk efisiensi pencapaian tujuan pelaksanaan kebijakan baik oleh pemerintah maupun perusahaan yang berperan sebagai pengelola sehingga alternatif yang dihasilkan berdampak positif dan mengurangi resiko selama berlangsungnya kegiatan. 2. Level Faktor Berdasarkan hasil survey pakar yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat 6 (enam) faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan antara lain : (1) sumberdaya manusia, (2) sumberdaya alam, (3) modal, (4) teknologi, (5) sarana dan prasarana, dan (6) kebijakan pemerintah. Hasil analisis pendapat pakar terhadap 6 (enam) faktor tersebut diperoleh bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengelolaan gas ikutan adalah kebijakan pemerintah dengan skor tertinggi 27,0 % dan selanjutnya diikuti oleh factor lainnya yaitu factor sumberdaya manusia dengan skor 21,2 %, sumberdaya alam 18,5 %, teknologi 13,1 %, sarana dan prasarana 10,6 %, dan modal 9,5 %. Tingginya nilai skor faktor kebijakan pemerintah dibandingkan faktor lainnya menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sangat penting dalam pengelolaan gas ikutan sebagai pedoman dalam bentuk undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengatur pengelolaan gas ikutan dimulai dari perencanaan, proses produksi, pemasaran, penentuan kerjasama, subsidi dan program-program pengelolaan lingkungan industri yang dapat dilaksanakan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, baik bagi industri maupun masyarakat. Adanya kebijakan pemerintah diharapkan mampu menjamin ketersediaan energi yang berasal dari gas ikutan secara berkelanjutan. Adapun

12 175 nilai scoring pada setiap factor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan dapat dilihat seperti pada Gambar % 27,0% 25% 21,2% Persentasi (%) 20% 15% 10% 18,5% 9,5% 13,1% 10,6% 5% 0% SDM SDA Modal Teknologi Sarana dan Prasarana Faktor Kebijakan Pemerintah Gambar 51. Prioritas faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu Dengan adanya kebijakan pemerintah akan mampu mengawasi dan mengontrol penggunaan sumberdaya yang tidak terpebaharui ini sehingga pengelolaannya dapat berjalan secara transparan artinya bahwa tidak ada pihak yang akan dirugikan baik pihak pengelola, pemerintah maupun masyarakat sebagai pemakai atau konsumen terakhir. Dengan adanya kebijakan pemerintah eksploitasi sumberdaya gas tidak dimonopoli oleh satu pihak dan memaksa industri untuk memperhatikan aspek lingkungan terhadap dampak yang akan ditimbulkan. Kebijakan pemerintah mampu mengakomodir dan menjembatani semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan gas ikutan terutama merangkul pihak swasta untuk berinvestasi dalam pengelolaan gas ikutan. Kebijakan pemerintah juga berperan dalam mengontrol dan mengawasi seluruh kegiatan industri sehingga kegiatan yang dilakukan tidak memberikan dampak negatif baik untuk lingkungan maupun industri. Kebijakan pemerintah mampu mengatur dan menentukan apa saja kegiatan industri yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta memuat dengan jelas tentang sanksi-sanksi bagi industri yang tidak menjalankan aturan yang diberlakukan dalam kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah dalam bidang industri minyak dan gas dapat berupa aturan tentang subsidi, kebijakan mengenai konversi minyak tanah ke gas, penentuan harga migas dan lain-lain.

13 176 Adanya kebijakan pemerintah akan mampu memberikan perlindungan kepada konsumen maupun pelaku industri sehingga pemenuhan kebutuhan akan energi bagi masyarakat dapat terpenuhi secara efektif dan efisien. Kebijakan pemerintah untuk memanfaatkan energi gas bagi penggunaan domestik dan bahan bakar minyak untuk ekspor telah mempengaruhi besarnya jumlah beban pemerintah atas subsidi yang harus dipenuhi akibat meningkatnya harga minyak dunia, yang juga semakin diperburuk dengan melemahnya nilai tukar akan sangat membantu daya beli terhadap kebutuhan energi masyarakat terutama masyarakat ekonomi lemah. Kebijakan pemerintah berperan untuk mengantisipasi perdagangan energi terutama gas sehingga terciptanya kondisi yang lebih kondusif dan memberikan kesempatan bagi pihak swasta atau investor untuk mengelola energi alternatif secara swadaya melalui bantuan finansial maupun penyediaan sumberdaya manusia yang berkualitas dan potensial dalam pengelolaan sumberdaya alam baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak terbaharui. Untuk keberhasilan pengelolaan gas ikutan diperlukan komitmen dan tanggungjawab moral pembangunan dari pihak yang terkait terutama pemerintah dalam bentuk kebijakan, sehingga pengelolaan gas ikutan dapat dilakukan secara efektif, efisien, terintegrasi, dan sinkron dengan sistem kelembagaan dan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak yang terlibat. Kebijakan dapat berupa peraturan peraturan yang mengikat dan memaksa perusahaan untuk ikut terlibat secara langsung dalam pengelolaan lingkungan salah satunya adanya peraturan-peraturan yang mewajibkan industri untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan limbah yang dihasilkan melalui pengelolaan yang ramah lingkungan sehingga tidak melabihi baku mutu lingkungan yang ditetapkan. Artinya pihak industri yang merusak lingkungan akan diberikan sanksi atau denda sehingga menimbulkan efek jera bagi pihak industri yang tidak mematuhinya. Sedangkan bagi industri yang mampu mengurangi dan mengelola limbahnya dengan baik akan diberikan insentif baik dalam bentuk pajak maupun kemudahan dalam hal regulasi dan pengawasan. Namun demikian, keberhasilan pengelolaan gas ikutan tidak saja ditentukan oleh faktor kebijakan pemerintah, tetapi perlu didukung oleh faktor-faktor lainnya seperti ketersediaan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sarana dan prasarana, teknologi dan modal. Pengelolaan gas ikutan dapat melakukan sistem kemitraan atau kerjasama dengan investor lain yang bergerak dibidang industri sejenis, dengan masyarakat

14 177 maupun dengan pihak swasta secara simbiosis dimana masing-masing pihak memiliki tugas, tanggung jawab dan wewenang yang jelas yang tertuang dalam perjanjian kerjasama sehingga dalam menjalankan tugas tidak terjadi ketimpangan. Kebijakan pemerintah juga dapat berupa keputusan pembentukan komisi khusus yang mengawasi dan mengontrol seluruh kegiatan industri yang dilakukan oleh pengusaha dan kebijakan yang memberikan sanksi yang berat terhadap perusahaan yang tidak menjalankan aturan yang ditetapkan dalam kebijakan pemerintah sebaliknya memberikan penghargaan (apresiasi) terhadap industri yang secara nyata memberikan konstribusi positif terhadap peningkatan kualitas perusahaan secara ekonomi maupun lingkungan yang diatur dalam peraturan perundangan, dan adanya pedoman-pedoman pengelolaan gas ikutan yang mudah diakses dan diterapkan oleh masyarakat. 3. Level Stakeholder Untuk mencapai tujuan dari strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu Barat Indramayu, stakeholder yang paling berperan adalah pengelola yaitu Pertamina dengan nilai skor tertinggi yaitu 32,1 %, selanjutnya pemerintah dengan nilai skor 29,2 %, perbankan 25,0 % dan masyarakat 13,7 %. Adapun nilai skoring pada setiap stakeholder yang berperan dalam pengelolaan gas ikutan dapat dilihat seperti pada Gambar 52. Stakeholder yang Berperan 13,7% 29,2% 25,0% 32,1% Pemerintah Pengelola/Pertamina Perbankan Masyarakat Gambar 52. Prioritas stakeholder yang berperan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu

15 178 Pakar menilai bahwa Pertamina selaku pengelola memiliki nilai skor tertinggi karena selama ini pertamina dianggap memiliki pengalaman, konstribusi dan andil besar dalam pengelolaan dan pertumbuhan ekonomi dalam industri minyak dan gas. Pertamina sebagai pengelola merupakan pihak yang memiliki modal besar atau padat modal sehingga mampu melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral termasuk pemanfaatan gas ikutan yang menguasai perdagangan minyak dan gas di Indonesia baik dari segi proses produksi sampai pada tahap distribusi. Peran Pertamina/pengelola sangat penting dalam pengembangan kawasan industri minyak dan gas, oleh karena itu pemerintah wajib menjaga iklim kondusif dan persaingan yang sehat dalam dunia usaha sehingga pemilik modal tetap menanamkan modalnya pada perusahaan yang ada di wilayahnya sehingga dampak merosotnya ekonomi dapat dihindarkan. Pertamina/pengelolan dan manajemen sangat berpengaruh dalam hal pengelolaan perusahaan dari segi manajemen. Dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan sampai produk dihasilkan serta distribusi ke pihak konsumen. Manajemen bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan perusahaan atau industri oleh karena itu dibutuhkan tenaga yang profesional dan memiliki keahlian dibidangnya. Selanjutnya peran pemerintah tidak saja dilihat dari kebijakannya dalam menetapkan sistem pengelolaan gas ikutan dengan mengeluarkan surat keputusan atau peraturan-peraturan, tetapi juga menfasilitasi setiap kegiatan industri dalam bentuk program-program pengelolaan industri yang dapat dilaksanakan dalam jangka pendek maupun jangka panjang baik bagi industri maupun masyarakat sekitar misalnya kegiatan penyuluhan, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat sekitar sehingga masyarakat mendapat manfaat baik secara pendidikan maupun ekonomi. Pemerintah juga berperan dalam mengontrol dan mengawasi seluruh kegiatan industri sehingga kegiatan yang dilakukan tidak memberikan dampak negatif baik untuk lingkungan maupun industri. Pemerintah memiliki wewenang dan kapasitas dalam menentukan apa saja kegiatan industri yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dalam pengelolaan industri gas ikutan tentunya didukung oleh para stakeholder lain yang terkait seperti perbankan dan masyarakat. Peran perbankkan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi perusahaan baik dari segi modal maupun tingkat suku bunga yang akan berpengaruh terhadap pemberlakuan pajak dan penerimaan perusahaan. Peran masyarakat

16 179 baik sebagai konsumen maupun sebagai pelaku dan yang terkena dampak akibat adanya industri pengelolaan gas sangat penting diperhatikan. Misalnya masyarakat sebagai konsumen, Pertamina/pengelola diharapkan mampu menyediakan dan mencukupi kebutuhan energi khususnya gas dengan harga murah yang dapat dijangkau oleh masyarakat serta adanya jaminan keamanan dalam penggunaan produk. Sedangkan masyarakat sebagai pelaku adalah bahwa masyarakat sekitar mampu diberdayakan dan dilibatkan dalam kegiatan pengeloaan industri gas ikutan sehingga kualitas SDM harus ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan yang difasilitasi oleh perusahaan. Masyarakat yang terkena dampak keberadaan industri harus mendapatkan kompensasi misalnya melalui kegiatan pemberdayaan ekonomi sehingga pendapatan mereka meningkat dan secara langsung meningkatkan kesejahteraan rakyat. 4. Level Tujuan yang Diharapkan dalam Pengelolaan Gas Ikutan Hasil diskusi dengan pakar dan pihak terkait dalam penelitian penyusunan kebijakan pengelolaan gas ikutan di lapangan, diperoleh 4 (empat) tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan gas ikutan. Keempat tujuan tersebut meliputi : (1) Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM (2) Perluasan lapangan kerja (3) Peningkatan nilai guna gas ikutan (4) Peningkatan pendapatan asli daerah Hasil analisis pendapat pakar terhadap 4 (empat) tujuan tersebut diperoleh bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan adalah terpeliharanya kualitas lingkungan menuju menuju mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/cdm) karena memiliki nilai skor paling tinggi yaitu 32,3 %, selanjutnya peningkatan nilai guna gas ikutan, perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan asli daerah dengan nilai skor masing-masing adalah 31,0 %, 19,4 % dan 17,3 %. Tingginya nilai skor tujuan terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM dibandingkan dengan tujuan lainnya menunjukkan bahwa terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM menjadi perhatian utama pengelola industri minyak dan gas, hal ini sangat penting dimasukkan ke dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan industri. Karena terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM sebagai parameter dan asset utama perusahaan dalam menjamin

17 180 ketersediaan sumberdaya energi secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan energi. Adapun nilai skoring pada setiap tujuan yang diharapkan tercapai dalam pengelolaan gas ikutan dapat dilihat seperti pada Gambar 53. Tujuan yang Diharapkan 17,3% 32,3% 31,0% 19,4% Terpeliharanya Kualitas Lingkungan Menuju CDM Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan Perluasan Lapangan Kerja Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Gambar 53. Prioritas tujuan yang diharapkan tercapai dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu Mekanisme pembangunan bersih (CDM) atau clean development mechanism (CDM) merupakan salah satu mekanisme Protokol Kyoto dalam kerangka konvensi PPB mengenai perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC). Protokol tersebut mengikat negaranegara industri (Pihak-pihak Annex-1) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai target yang telah ditentukan. Target batas emisi yang ditentukan adalah beberapa persen dibawah tingkat emisi. Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto melalui UU No. 17/2004, yang merupakan langkah pertama partisipasi Indonesia dalam CDM. Lebih lanjut, pembentukan Komisi Nasional CDM pada tahun 2005 menjadikan Indonesia siap sepenuhnya untuk implementasi kegiatan-kegiatan CDM. (World Bank, 2007) Protokol Kyoto yang ditandatangani tahun 1997 akhirnya mulai berlaku sejak 16 Februari Sejak penandatanganan Persetujuan Marrakesh tahun 2001, yang menetapkan aturanaturan dasar bagi mekanisme Kyoto Clean Development Mechanism (CDM)/Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB), Joint Implementation (JI)/Implementasi Bersama, dan Emission Trading (ET)/

18 181 Perdagangan emisi. Walaupun minat untuk melaksanakan CDM cukup tinggi dan perbaikan dalam aturan-aturan terus berlanjut, banyak investor dan pengembang proyek yang masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan proyek CDM. Salah satu faktor yang menjadi penghalang penerapan CDM adalah masalah kemampuan suatu negara untuk menarik investor asing. Faktor penghalang lain yang langsung berkenaan dengan keefektifan penerapan CDM adalah belum siapnya negara berkembang untuk menjadi tuan rumah proyek CDM. Penyebabnya antara lain belum matangnya perkembangan institusi, kompleksnya sistem untuk pengesahan suatu proyek, kurangnya pengalaman para pegawai pemerintah, dan kurangnya koordinasi diantara Kementerian dan institusi pemerintah lainnya yang relevan (KLH et al., 2005). Sumber utama emisi GRK di sektor energi adalah pembakaran bahan bakar minyak dalam proses produksi dan prosesing sumber energi primer terutama minyak dan gas, pembangkit tenaga, dan proses pembakaran di industri-industri lainnya (Abrahamson, 1989). Umumnya sektor ini masih banyak menggunakan teknologi yang tidak menghasilkan emisi GRK lebih rendah. Berdasarkan catatan KLH (2000) banyak teknologi rendah emisi GRK yang tersedia di pasaran untuk sektor energi, namun demikian, karena berbagai sebab sebagian besar masih sulit diterapkan. World Bank (2007) melaporkan bahwa sektor minyak dan gas Indonesia memiliki peluang yang signifikan untuk memperoleh keuntungan dari kredit karbon dalam penerapan CDM. Hal ini dilihat dari potensi pengurangan gas ikutan dan pemanfaatan dari gas ikutan (associated gas) pada beberapa lapangan produksi minyak bumi Indonesia cukup besar. Pada tahun 2005, sekitar 110 BSCF gas ikutan dibakar. Berdasarkan Kajian Strategi Nasional (National Strategic Study, NSS) CDM yang disusun untuk sektor energi Indonesia pada tahun , implementasi proyek-proyek pengurangan gas ikutan berpotensi mengurangi emisi GRK sebesar 10,5 juta ton CO2 per tahun. Potensi proyek-proyek pengurangan gas ikutan termasuk penangkapan dan penjualan/pemanfaatan gas ikutan, pemanfaatan gas ikutan dalam fasilitas produksi minyak, dan re-injeksi ke dalam reservoir. Sebagai mekanisme baru, CDM memerlukan perangkat baru berupa prosedur teknik dan non-teknik serta peraturan yang perlu diikuti oleh pihak-pihak manapun yang tertarik dalam mengembangkan proyek-proyek CDM atau terlibat dalam proses CDM.

19 182 Menurut KLH (2005) pengurangan emisi dari pembakaran gas ikutan merupakan proyek yang potensial untuk CDM di Indonesia. Bahkan adanya pemanfaatan gas ikutan merupakan salah satu upaya untuk melakukan CDM dengan cara mengurangi karbon dioksida dari sumbernya (Saloh dan Clogh, 2002). Hasil perhitungan, menunjukkan bahwa Indonesia membakar sekitar 4.6 milyar m 3 gas ikutan per tahun, yang menghasilkan sekitar 11 juta ton emisi CO 2 per tahun. Pemerintah Indonesia yakin bahwa gas bakaran dapat dimasukkan ke dalam pembangkit tenaga listrik skala kecil dalam rangka memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat, dan pada saat yang sama menghasilkan pengurangan emisi GRK dibandingkan penggunaan sumber energi lainnya yang berasal dari energi yang tidak terbarukan. Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM akan berpengaruh terhadap penurunan dampak atau resiko terhadap kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi karena lingkungan menyediakan sistem pendukung kehidupan untuk mempertahankan keberadaan manusia dan keberlanjutan suatu aktivitas ekonomi jangka panjang. Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM industri mempunyai masa guna yang panjang, dan dapat memanfaatkan gas ikutan melalui proses daur ulang (recycle) menjadi bahan baku oleh industri lain yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam proses produksi dan pemanfaatan sumberdaya tersedia sehingga kebutuhan materi dan energi dapat ditekan sampai seminimum mungkin. Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM dalam kegiatan industri mempunyai implikasi yang luas dalam rangka memperpanjang daur guna (use cycle) materi, sehingga disamping mengurangi pencemaran, juga mampu mengurangi laju deplesi sumberdaya (Soemarwoto, 2001). Oleh karena itu perlu adanya kerjasama dan hubungan simbiosis berbagai industri minyak dan gas dalam rangka mendukung terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM menjamin semua sumberdaya yang tersedia maupun sisa produksi untuk dapat dimanfaatkan menjadi sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi sehingga secara tidak langsung pengelola mampu menyediakan sumberdaya cadangan dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi untuk masyarakat secara berkelanjutan. Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM diharapkan mampu menghasilkan produk yang kompetitif dan mampu bersaing dalam pasar global. Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM bertujuan bahwa dalam setiap proses produksi tidak menghasilkan limbah artinya limbah yang dihasilkan akan menjadi sumberdaya

20 183 yang terbarukan dan bermanfaat dalam meningkatkan pertumbuhan dan keberlanjutan ekonomi dan ekologi perusahaan. Berdasarkan uraian di atas bahwa dalam pengelolaan gas ikutan terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM akan mampu meningkatkan nilai guna gas ikutan sehingga membuka dan memperluas lapangan kerja bagi sumberdaya manusia yang berkualitas melalui pengembangan industri gas ikutan yang belih besar dan kompetitif. Pengelolaan industri gas ikutan yang ramah lingkungan dapat memberikan pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan sosial masyarakat sekitar kawasan industri. Industri harus mampu memberikan dampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar melalui program-program pemberdayaan dan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam kegiatan industri dengan menciptakan lingkungan yang baik bagi masyarakat yang ada disekitarnya. Hal ini akan mampu meminimalisasi konflik dan kesenjangan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat sekitar kawasan industri, sehingga menjamin stabilitas penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar dan mengurangi angka kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat lokal, memperhatikan keanekaragaman budaya dan hayati dengan mengakui dan menghargai sistem ekologi, sistem sosial dan kebudayaan yang berlaku, mendorong partisipasi masyarakat lokal sehingga mampu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya melalui pemberian tanggung jawab kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka. Selain tujuan utama yaitu terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM dalam pengelolaan gas ikutan, tujuan lain seperti perluasan lapangan kerja, peningkatan nilai guna gas ikutan, dan peningkatan PAD yang berasal dari pengelolaan gas ikutan juga perlu mendapat perhatian. Saat ini tingkat pengangguran tenaga kerja cukup besar, apalagi ditengah krisis global yang menyebabkan perusahaan banyak merumahkan karyawannya akan menambah tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Pengembangan industri gas ikutan, setidaknya sangat membantu pemerintah untuk menurunkan tingkat pengangguran mengingat pengembangan industri gas ikutan di Indonesia masih cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa masih banyak ladangsumur baru yang potensial untuk dikembangkan.

21 184 Dalam proses produksi gas ikutan, peningkatan nilai guna gas ikutan selayaknya menjadi prioritas utama agar produk gas ikutan yang berkualitas ini memiliki nilai jual yang tinggi baik di pasar domestik maupun di pasar global. Di sisi lain, nilai pemanfaatan gas ikutan ini akan sangat baik dari sisi lingkungan, karena kandungan gas buang dari pengolahan gas ikutan potensi untuk meningkatkan pencemaran lingkungannya sangat kecil. Apabila pengembangan industri gas ikutan ini berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sangat membantu dalam penyediaan stok gas dalam negeri baik untuk kepentingan rumah tangga maupun untuk kegiatan industri. Tentunya juga akan memberikan sumbangan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) di tempat industri tersebut berada. 5. Level Alternatif Kebijakan dalam Pengelolaan Gas Ikutan Berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai serta peran para aktor dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu Barat seperti diuraikan di atas, berbagai alternatif pengelolaan gas ikutan lapangan Tugu Barat seperti pengelolaan dan pemanfaataan LPG, Kondensat, lean gas (power generator) dan CO 2. Gas ikutan tersebut diperoleh dari proses pemisahan antara minyak mentah dan gas bumi. Gas ikutan diperoleh melalui proses tekanan hidrokarbon yang diberikan dengan batas maksimum antara 25 % 30 %. Dalam proses produksi minyak mentah, biasanya dilakukan tidak bersamaan dengan penyaringan gas ikutan (associated gas/flaring gas) karena hal ini sangat berpengaruh terhadap kandungan minyak mentah dan gas yang dihasilkan serta biaya operasional yang diperlukan dalam proses pemisahaan juga besar. Di sisi lain keempat gas ikutan tersebut memiliki niali ekonomi dan dampak terhadap lingkungan yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan analisis untuk menentukan alternatif dalam pengembangannya sebagai salah satu kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan. Alternatif-alternatif kebijakan tersebut, dianalisis berdasarkan pendapat pakar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alternatif pengelolaan dan pemanfaatan LPG menduduki prioritas pertama yang perlu dikembangkan. Hal ini terlihat dari hasil penilaian para pakar dengan memberikan nilai sebesar 38,2% dan selanjutnya diikuti oleh lean gas dengan nilai skor 31,7 %, kondensat 20,4 % dan CO 2 dengan skor 9,7 %.

22 185 Adapun nilai skoring pada setiap alternatif kebijakan dalam dalam pengelolaan gas ikutan dapat dilihat seperti pada Gambar 54. Persentasi (%) 40,0% 35,0% 30,0% 25,0% 20,0% 15,0% 10,0% 5,0% 0,0% 38,2% 31,7% 20,4% 9,7% LPG Kondensat Lean Gas CO2 Alternatif Kebijakan Gambar 54. Prioritas alternatif kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu Tingginya nilai skoring yang diberikan oleh pakar terhadap alternatif kebijakan pengembangan LPG dibandingkan dengan alternatif lainnya adalah menunjukkan bahwa penggunaan LPG selain dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi yang cukup besar karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi dibandingkan jenis bahan bakar lainnya, dan juga mempunyai kandungan gas buang yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Pengembangan kebijakan pemanfaatan LPG ini juga sangat membantu meringankan beban pemerintah dalam mengatasi permasalahan penyediaan energi di dalam negeri, khususnya bahan bakar minyak dengan subsidi yang sangat tinggi. Di sisi lain kebijakan pemanfaatan LPG ini akan mendukung kebijakan diversifikasi energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak khususnya minyak tanah dengan mengalihkan ke penggunaan LPG. Potensi gas yang dimiliki Indonesia yang sangat besar dan dengan semakin meningkatnya kebutuhan gas domestik khususnya penggunaan LPG di Indonesia, telah mendorong masyarakat untuk lebih memanfaatkan LPG sebagai

23 186 alternatif energi yang murah dan ramah lingkungan. Produksi LPG Indonesia pada tahun 2006 mencapai ton, sedangkan angka konsumsi hanya mencapai ton sehingga masih mempunyai kuota untuk ekspor sebesar 289 ton (Departemen ESDM, 2007). Apabila kebutuhan LPG domestik ini dipenuhi dapat terpenuhi dengan baik dan mendukung terjadinya alih penggunaan pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) kepada penggunaan gas sebagai energi, sehingga dapat membantu mengurangi kelangkaan BBM. Kebijakan konversi minyak tanah bersubsidi ke LPG mempunyai maksud untuk mengurangi subsidi. Perhitungan pengurangan subsidi melalui program konversi minyak tanah bersubsdi ke LPG berdasarkan perhitungan seperti Tabel 25 berikut. Tabel 25. Perbandingan subsidi minyak tanah dibandingkan dengan LPG MINYAK TANAH LPG PERBANDINGAN Kesetaraan 1 Liter 0.57 Kg Harga Jual ke Masyarakat Rp /Ltr Rp /Kg Pengalihan Volume Minyak Kiloliter Tanah Subsidi MT/Tahun Asumsi Harga Keekonomian Rp /Liter Rp /Kg Harga Jual Rp /Liter Rp /Kg Besaran Subsidi Rp /Liter Rp /Kg Total Subsidi Rp Triliun/Tahun Rp Triliun/Tahun Selisih Rp Triliun/Tahun Dari Tabel 25 di atas terlihat bahwa Pemerintah Indonesia dapat menghemat subsidi sebesar Rp 20 triliun/ tahun dari pengalihan penggunaan minyak tanah dengan LPG. Perhitungan penghematan subsidi sebesar itu dengan asumsi seluruh volume minyak tanah bersubsidi dikonversi ke LPG 3 kg. Hal ini akan mengurangi beban pemerintah dalam menyediakan subsidi yang besar dan beban subsidi tersebut dapat dialokasikan kepada sektor lain yang lebih membutuhkan, seperti pendidikan dan kesehatan Kendala dan kebutuhan dalam Pengelolaan gas ikutan a. Kendala dalam Pengelolaan gas ikutan Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas ikutan di wilayah lapangan minyak dan gas Tugu Barat, Indramayu. Berdasarkan hasil pendapat

24 187 pakar, ditemukan 10 sub elemen kendala yaitu: (1) Belum ada pengembangan pasar gas domestik, (2) Terbatasnya kebijakan gas ikutan, (3) Sistem fiskal yang rumit, (4) Harga gas ikutan yang masih rendah, (5) Terbatasnya sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan, (6) Akses pengelolaan gas yang terbatas, (7) Modal usaha terbatas, (8) Kebijakan otonomi daerah, (9) Kualitas SDM yang masih rendah, (10) Mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah. Hasil analisis dengan menggunakan metode ISM, memperlihatkan sebaran setiap sub elemen kendala menempatkan tiga sektor masing-masing sektor I, II, dan IV seperti terlihat pada Gambar 51. Pada Gambar 51 terlihat bahwa sub elemen kendala terbatasnya kebijakan gas ikutan (2) dan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia (9), terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kunci yang sangat berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat. Sub elemen tersebut memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pengembangan kawasan dengan tingkat ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap sub elemen kendala lainnya. Apabila kedua sub elemen ini tidak ditangani dengan baik akan menjadi faktor penghambat utama dalam pengelolaan gas ikutan. Sub elemen seperti (1) Belum ada pengembangan pasar gas domestik, (3) Sistem fiskal yang rumit, (4) Harga gas ikutan yang masih rendah, (7) Modal usaha terbatas, dan (10) Mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah menempati kuadran II yang berarti sub elemen tersebut memiliki kekuatan pendorong yang rendah tetapi tingkat ketergantungannya terhadap sub elemen lainnya tinggi. Sub elemen (8) Kebijakan otonomi daerah menempati kuadran I dimana sub elemen ini memiliki kekuatan pendorong dan ketergantungan yang rendah. Kedelapan sub elemen kendalah tersebut dapat diartikan bahwa apabila kendala kebijakan pengelolaan gas ikutan dan sumberdaya mansuai dapat teratasi dengan baik, maka penyelesaian kedepalan kendala dapat dengan mudah untuk diatasi. Adapun posisi masing-masing sub elemen kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas ikutan seperti pada Gambar 55.

25 Driver Power 2, Sektor IV Sektor III 7 Indepencence Linkage Sektor I 52 1 Sektor II Autonomous Depencence 1 3 7, Dependence Gambar 55 Matriks driver power dependence untuk elemen kendala dalam pengelolaan gas ikutan Struktur hierarkhi hubungan antara sub elemen kendala program pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan Tugu Barat secara rinci dapat dilihat pada Gambar 56 di bawah ini. Level Level Level 2 6 Level Gambar 56. Struktur hierarkhi sub elemen kendala program pengelolaan gas ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat, Indramayu. Pada Gambar 56 terlihat bahwa penanganan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan tugu barat dapat dilakukan melalui empat tahap. Pada tahap pertama yang diperlukan dalam pengelolaan gas ikutan adalah perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan (2) dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (9). Selanjutnya pada tahap kedua adalah

26 189 memudahkan dalam akses pengelolaan gas yang terbatas (6). Pada tahap tiga yang perlu dilakukan adalah pengembangan pasar gas domestik (1), peningkatan sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan (5), penetapan kebijakan otonomi daerah (8). Pada tahap terakhir (keempat) yang dapat dilakukan dalam rangka penanganan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas ikutan adalah mempermudah sistem fiskal yang rumit (3), meningkatkan harga gas ikutan yang masih rendah (4), penyediaan modal usaha terbatas (7), dan meningkatkan mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah (10). b. Kebutuhan Program Pengelolaan gas ikutan Berdasarkan hasil pendapat pakar, ditemukan 10 sub elemen kebutuhan yang diperlukan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat Indramayu. Adapun sub elemen tersebuat yaitu (1) Tersedianya pasar gas ikutan dalam dan luar negeri, (2) Sistem fiskal yang lebih mudah, (3) Harga gas ikutan yang lebih tinggi, (4) Sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan, (5) Akses pengelolaan gas ikutan yang lebih mudah, (6) Kemudahan dalam memperoleh modal usaha, (7) Tersedianya kebijakan pengelolaan gas ikutan, (8) Kualitas SDM yang terampil dan siap pakai, (9) Mutu hasil olahan gas ikutan yang lebih baik, (10) Keamanan dalam berinvestasi. Semua sub elemen tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode ISM untuk mendapatkan sub elemen kunci yang merupakan kebutuhan utama program pengelolaan gas ikutan. Hasil analisis ISM seperti disajikan pada Gambar 57.

27 190 Sektor IV Indepencence , 8, Sektor III Linkage Sektor I Sektor II 3 2, 5 Autonomous Dependence , 4, 6 Gambar 57. Matriks driver power dependence untuk elemen kebutuhan pengelolaan gas ikutan. Berdasarkan hasil analisis seperti pada Gambar 57 tersebut memperlihatkan bahwa ada tiga sub elemen terpenting dalam rangka pemenuhan kebutuhan pengelolaan gas ikutan, yaitu: tersedianya kebijakan pengelolaan gas ikutan (7) kualitas SDM yang terampil dan siap pakai (8), keamanan dalam berinvestasi (10). Ketiga sub elemen ini terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kebutuhan program yang perlu mendapat perhatian serius karena merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pengelolaan gas ikutan, dan memiliki ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap program. Ketiga sub elemen ini menjadi sub elemen kunci pada kebutuhan program. Sub elemen yang terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kebutuhan program yang perlu mendapat perhatian serius karena merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pengelolaan gas ikutan, dan memiliki ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap program. Sub elemen ini menjadi sub elemen kunci pada kebutuhan program pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan gas Tugu Barat. Seperti diketahui sampai saat ini kebijakan yang khusus berkaitan dengan pengelolaan gas ikutan belum ada, sehingga dalam pengembangannya masih menggunakan kebijakan-kebijakan pengembangan industri minyak dan gas bumi secara umum. Adapun kebijakan-kebijakan yang selama ini digunakan dalam pengelolaan gas ikutan di Indonesia antara lain :

28 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 2. UU Nomor 18 Tahun 2006 tentang APBN tahun Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan usaha hilir Migas 4. Pperaturan Menteri (PERMEN) No Tahun 2005 tentang Tata Cara Perizinan Hilir Migas. 5. Keputusan Dirjen migas No. 25K/36/DDJM/1990 yang mngatur yang mengatur tentang spesifikasi LPG yang beredar di dalam negeri. Selain perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan yang merupakan kebutuhan utama dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan gas Tugu Barat, keamanan berinvestasi dalam pengembangan gas ikutan di Indonesia juga merupakan kebutuhan yang perlu segera ditangani dengan baik. Adanya keengganan para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia terutama dalam pengembangan industri gas ikutan diantaranya disebabkan oleh lemahnya keamanan dalam berinvestasi. Sumberdaya manusia dalam suatu industri termasuk industri pengolahan gas ikutan juga sangat memegang peran penting terhadap kelangsungan usaha. Banyak industri yang mengalami kebangkrutan atau gulung tikar disebabkan kesalahan manajemen dan kesalahan manajemen disebabkan salah satunya adalah ketidakmampuan sumberdaya manusia yang dimiliki untuk mengelola usaha dengan baik. Terkait dengan sumberdaya manusia dalam pengelolaan industri gas ikutan, dimaklumi bahwa sumberdaya manusia yang potensial dan terampil dibidang tersebut masih sangat terbatas, sehingga untuk memenuhinya masih lebih banyak memanfaatkan tenaga-tenaga asing. Sementara tenaga kerja lokal lebih banyak dimanfaatkan pada pekerjaan-pekerjaan yang kasar. Oleh karena itu, dalam rangka pengembangan industri gas ikutan ke depan melalui pemberdayaan sumberdaya manusia lokal, maka peran lembaga pendidikan sangat dibutuhkan untuk menyediakan sumberdaya manusia yang berkualitas. Menurut Suhariadi (2007) bahwa pada era saat ini, kepemilikan modal, sumberdaya alam, tenaga kerja yang murah, mesin, dan teknologi tidak lagi menjamin bahwa suatu organisasi seperti industri bukan lagi sebagai driver organisasi/industri untuk mampu berkiprah dengan baik dalam suatu populasi organisasi/industri. Namun yang sangat dipentingkan adalah pemilikan dan penguasaan pengetahuan para karyawan industri, sehingga driver utama bagi kelangsungan hidup industri adalah kepemilikan pengetahuan para

STRATEGI KEBIJAKAN TEKNO EKONOMI PENGELOLAAN GAS IKUTAN (ASSOCIATED GAS) Zulkifli Rangkuti

STRATEGI KEBIJAKAN TEKNO EKONOMI PENGELOLAAN GAS IKUTAN (ASSOCIATED GAS) Zulkifli Rangkuti STRATEGI KEBIJAKAN TEKNO EKONOMI PENGELOLAAN GAS IKUTAN (ASSOCIATED GAS) Zulkifli Rangkuti Jurusan Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Abstract

Lebih terperinci

VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK. Kata kunci: Selat Rupat, pencemaran minyak, pengendalian pencemaran.

VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK. Kata kunci: Selat Rupat, pencemaran minyak, pengendalian pencemaran. 104 VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK Abstrak Industri pengolahan minyak, transportasi kapal di pelabuhan serta input minyak dari muara sungai menyebabkan perairan Selat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 18 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan September-November 2010 di Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh Kabupaten Aceh Barat Pemerintahan Aceh

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN

MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN 140 MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN Model kelembagaan klaster agroindustri minyak nilam dirancang melalui pendekatan sistem dengan menggunakan metode ISM (Interpretative Structural Modelling). Gambar 47 menunjukkan

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik BAB V Kesimpulan dan Saran 5. 1 Kesimpulan 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto. Indonesia merupakan negara pengekspor energi seperti batu bara dan gas alam. Seiring

Lebih terperinci

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN 5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN Dalam bab ini akan membahas mengenai strategi yang akan digunakan dalam pengembangan penyediaan air bersih di pulau kecil, studi kasus Kota Tarakan. Strategi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Pembangunan daerah merupakan langkah yang ditempuh dalam mewujudkan visi dan misi yang ingin dicapai oleh Kota Depok, pembangunan daerah memiliki

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013 Analisis Terhadap Kendala Utama Serta Perubahan yang Dimungkinkan dari Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Ziarah Umat Katholik Gua Maria Kerep Ambarawa Ari Wibowo 1) *, Boedi Hendrarto 2), Agus Hadiyarto

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Bogor dan lingkungan industri Kota Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Analisis Ekonomi dan Kebijakan Bisnis Pemanfaatan Gas Bumi di Indonesia dilatarbelakangi oleh rencana Pemerintah merealokasi pemanfaatan produksi gas bumi yang lebih

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dengan lokasi meliputi kawasan DKI Jakarta dan Perairan Teluk Jakarta yang dilaksanakan pada bulan Agustus 005-April 006. Teluk Jakarta,

Lebih terperinci

PENERAPAN TEKNIK INTERPRETIVE STRUCTURAL MODELING (ISM) DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)

PENERAPAN TEKNIK INTERPRETIVE STRUCTURAL MODELING (ISM) DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) PENERAPAN TEKNIK INTERPRETIVE STRUCTURAL MODELING (ISM) DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Heri Apriyanto NRP. P062100201 Dadang Subarna NRP. P062100081 Prima Jiwa Osly NRP. P062100141 Program Studi

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009 INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009 Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 2009 Indonesia Energy Outlook (IEO) 2009 adalah salah satu publikasi tahunan

Lebih terperinci

STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT. Syahril Nedi 1)

STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT. Syahril Nedi 1) Jurnal Perikanan dan Kelautan 17,1 (2012) : 26-37 STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT ABSTRACT Syahril Nedi 1) 1) Staf Pengajar Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data-data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan gabungan antara data primer dan data sekunder. Data primer mencakup hasil penggalian pendapat atau

Lebih terperinci

Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan

Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan Focus Group Discussion Pendanaan Energi Berkelanjutan Di Indonesia Jakarta, 20 Juni 2013 Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Peningkatan kebutuhan akan energi di Indonesia terus meningkat karena makin bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan serta pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model Rekayasa sistem kelembagaan penelusuran pasokan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin mutu produk melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas penentu kelangsungan perekonomian suatu negara. Hal ini disebabkan oleh berbagai sektor dan kegiatan ekonomi di Indonesia

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

SUBSIDI BBM DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

SUBSIDI BBM DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SUBSIDI BBM DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA I. PENDAHULUAN Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah satu input di dalam meningkatkan ekonomi masyarakat dan pada gilirannya akan mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang sarana transportasi.sektor transportasi merupakan salah satu sektor

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang sarana transportasi.sektor transportasi merupakan salah satu sektor 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya laju pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia menyebabkan kebutuhan masyarakat juga semakin tinggi. Salah satunya adalah dalam bidang sarana transportasi.sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Energi listrik merupakan kebutuhan utama pada semua sektor kehidupan. Seiring bertambahnya kebutuhan manusia, maka meningkat pula permintaan energi listrik. Suplai

Lebih terperinci

VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI CILEGON MENUJU ECO INDUSTRIAL PARK

VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI CILEGON MENUJU ECO INDUSTRIAL PARK VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI CILEGON MENUJU ECO INDUSTRIAL PARK Abstrak Pengembangan kawasan industri Cilegon menuju eco industrial park sangat memegang peranan penting dalam pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan krisis Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia sudah mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Di satu sisi konsumsi masyarakat (demand) terus meningkat,

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini dan perubahan tersebut terjadi akibat dari ulah manusia yang terus mengambil keuntungan dari

Lebih terperinci

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Pengembangan Kelembagaan Ekonomi dan Iklim Usaha Kondusif 1. Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi Investasi Mendukung terciptanya kesempatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI KAJIAN

III. METODOLOGI KAJIAN III. METODOLOGI KAJIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Kajian Penelitian Kajian dilakukan di Kabupaten Indramayu. Dasar pemikiran dipilihnya daerah ini karena Kabupaten Indramayu merupakan daerah penghasil minyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut merupakan kebutuhan yang esensial bagi keberlangsungan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut merupakan kebutuhan yang esensial bagi keberlangsungan hidup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Sumber daya alam tersebut merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... ABSTRACT...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... ABSTRACT... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL..... HALAMAN PENGESAHAN...... KATA PENGANTAR..... DAFTAR ISI..... DAFTAR TABEL..... DAFTAR GAMBAR..... ABSTRAK... ABSTRACT... i ii iii v vii x xi xii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar

Lebih terperinci

PERUMUSAN STRATEGI KORPORAT PERUSAHAAN CHEMICAL

PERUMUSAN STRATEGI KORPORAT PERUSAHAAN CHEMICAL PERUMUSAN STRATEGI KORPORAT PERUSAHAAN CHEMICAL Mochammad Taufiqurrochman 1) dan Buana Ma ruf 2) Manajemen Industri Program Studi Magister Manajemen Teknologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Lebih terperinci

BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL

BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL Pencapaian sasaran tujuan pembangunan sektor perikanan dan kelautan seperti peningkatan produktivitas nelayan dalam kegiatan pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan minyak tanah dalam kehidupannya sehari hari.

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan minyak tanah dalam kehidupannya sehari hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini tingkat ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) sangatlah besar. Hal ini dapat dilihat dari jumlah konsumsi BBM yang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

INSTRUMEN KELEMBAGAAN KONDISI SAAT INI POTENSI DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ENERGI INDIKASI PENYEBAB BELUM OPTIMALNYA PENGELOLAAN ENERGI

INSTRUMEN KELEMBAGAAN KONDISI SAAT INI POTENSI DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ENERGI INDIKASI PENYEBAB BELUM OPTIMALNYA PENGELOLAAN ENERGI MENUJU KEDAULATAN ENERGI DR. A. SONNY KERAF KOMISI VII DPR RI SEMINAR RENEWABLE ENERGY & SUSTAINABLE DEVELOPMENT IN INDONESIA : PAST EXPERIENCE FUTURE CHALLENGES JAKARTA, 19-20 JANUARI 2009 OUTLINE PRESENTASI

Lebih terperinci

Oleh Asclepias R. S. Indriyanto Institut Indonesia untuk Ekonomi Energi. Disampaikan pada Forum Diskusi Sore Hari LPEM UI 5 Agustus 2010

Oleh Asclepias R. S. Indriyanto Institut Indonesia untuk Ekonomi Energi. Disampaikan pada Forum Diskusi Sore Hari LPEM UI 5 Agustus 2010 Kebijakan Energi dan Implementasinya Tinjauan dari Sisii Ketahanan Energi Oleh Asclepias R. S. Indriyanto Institut Indonesia untuk Ekonomi Energi Disampaikan pada Forum Diskusi Sore Hari LPEM UI 5 Agustus

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1 Kesimpulan 1. Model DICE ( Dinamic Integrated Model of Climate and the Economy) adalah model Three Boxes Model yaitu suatu model yang menjelaskan dampak emisi

Lebih terperinci

Penerapan Analytical Hierarchy Process (AHP) Dalam Evaluasi Agen Pangkalan LPG 3 kg

Penerapan Analytical Hierarchy Process (AHP) Dalam Evaluasi Agen Pangkalan LPG 3 kg Prosiding INSAHP5 Semarang,14 Mei 2007 ISBN :... Penerapan Analytical Hierarchy Process (AHP) Dalam Evaluasi Agen Pangkalan LPG 3 kg Evi Yuliawati Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANTUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Kajian Kajian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, dengan batasan waktu data dari tahun 2000 sampai dengan 2009. Pertimbangan pemilihan lokasi kajian antar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mobil merupakan suatu hal penting yang dianggap mampu membantu mempermudah hidup manusia. Untuk dapat dipergunakan sebagai mana fungsinya mobil menggunakan tenaga mesin

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PEMANFAATAN AIR TANAH YANG BERKELANJUTAN DI KOTA SEMARANG ABSTRAK

ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PEMANFAATAN AIR TANAH YANG BERKELANJUTAN DI KOTA SEMARANG ABSTRAK ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PEMANFAATAN AIR TANAH YANG BERKELANJUTAN DI KOTA SEMARANG Agus Susanto FMIPA Universitas Terbuka Email Korespondensi: Sugus_susanto@yahoo.com ABSTRAK Kota Semarang yang

Lebih terperinci

III. LANDASAN TEORETIS

III. LANDASAN TEORETIS III. LANDASAN TEORETIS 1. Pemodelan Deskriptif dengan Metode ISM (Interpretative Structural Modeling) Eriyatno (1999) mengemukakan bahwa dalam proses perencanaan strategik seringkali para penyusunnya terjebak

Lebih terperinci

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas Sektor industri merupakan salah satu sektor yang mampu mendorong percepatan

Lebih terperinci

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

Sembuh Dari Penyakit Subsidi BBM: Beberapa Alternatif Kebijakan

Sembuh Dari Penyakit Subsidi BBM: Beberapa Alternatif Kebijakan Sembuh Dari Penyakit Subsidi : Beberapa Alternatif Kebijakan Hanan Nugroho Penyakit subsidi yang cukup lama menggerogoti APBN/ ekonomi Indonesia sesungguhnya bisa disembuhkan. Penyakit ini terjadi karena

Lebih terperinci

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA 2015-2019 DAN PELUANG MEMANFAATKAN FORUM G20 Siwi Nugraheni Abstrak Sektor energi Indonesia mengahadapi beberapa tantangan utama, yaitu kebutuhan yang lebih besar daripada

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 27 III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan ilmiah dengan kerangka berfikir logis. Kajian strategi pengembangan agroindustri bioetanol

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 Â Krisis keuangan global yang melanda dunia sejak 2008 lalu telah memberikan dampak yang signifikan di berbagai sektor perekonomian, misalnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia bukanlah negara pengekspor besar untuk minyak bumi. Cadangan dan produksi minyak bumi Indonesia tidak besar, apalagi bila dibagi dengan jumlah penduduk. Rasio

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda indonesia pada tahun 1998 menunjukkan nilai yang positif, akan tetapi pertumbuhannya rata-rata per

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumber : OPEC dalam Nasrullah (2009) Gambar 1 Perkembangan harga minyak dunia.

PENDAHULUAN. Sumber : OPEC dalam Nasrullah (2009) Gambar 1 Perkembangan harga minyak dunia. 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Energi memainkan peranan penting dalam semua aspek kehidupan manusia. Peningkatan kebutuhan energi mempunyai keterkaitan erat dengan bertambahnya jumlah penduduk. Remi (2008)

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN 1 (satu) bulan ~ paling lama Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri sebagaimana

Lebih terperinci

III. LANDASAN TEORITIS

III. LANDASAN TEORITIS III. LANDASAN TEORITIS 3.1. Quality Function Deployment (QFD) QFD dikembangkan pertama kali oleh Mitsubishi s Kobe Shipyard sebagai cara menjabarkan harapan konsumen, selanjutnya secara sistematis diterjemahkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan kemajuan teknologi dan industri telah memacu pertumbuhan konsumsi enerji yang cukup tinggi selama beberapa dasawarsa terakhir di dunia, sehingga mempengaruhi

Lebih terperinci

REKOMENDASI KEBIJAKAN Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Jakarta, 13 Mei 2015

REKOMENDASI KEBIJAKAN Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Jakarta, 13 Mei 2015 REKOMENDASI KEBIJAKAN Tim Reformasi Tata Kelola Migas Jakarta, 13 Mei 2015 Outline Rekomendasi 1. Rekomendasi Umum 2. Pengelolaan Penerimaan Negara Dari Sektor Minyak dan Gas Bumi 3. Format Tata Kelola

Lebih terperinci

8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES

8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES 8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES 8.1 Pendahuluan Untuk dapat memahami persoalan dalam pemanfaatan dan pengelolaan

Lebih terperinci

9 BAB I 10 PENDAHULUAN. minyak, yang dimiliki oleh berbagai perusahaan minyak baik itu milik pemerintah

9 BAB I 10 PENDAHULUAN. minyak, yang dimiliki oleh berbagai perusahaan minyak baik itu milik pemerintah 9 BAB I 10 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak lokasi pengolahan minyak, yang dimiliki oleh berbagai perusahaan minyak baik itu milik pemerintah maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

2 Di samping itu, terdapat pula sejumlah permasalahan yang dihadapi sektor Energi antara lain : 1. penggunaan Energi belum efisien; 2. subsidi Energi

2 Di samping itu, terdapat pula sejumlah permasalahan yang dihadapi sektor Energi antara lain : 1. penggunaan Energi belum efisien; 2. subsidi Energi TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI SUMBER DAYA ENERGI. Nasional. Energi. Kebijakan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 300) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK C'ONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BBM punya peran penting untuk menggerakkan perekonomian. BBM

BAB I PENDAHULUAN. BBM punya peran penting untuk menggerakkan perekonomian. BBM BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang sangat vital. BBM punya peran penting untuk menggerakkan perekonomian. BBM mengambil peran di hampir semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang. peranan sangat vital dalam menggerakkan semua aktivitas ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang. peranan sangat vital dalam menggerakkan semua aktivitas ekonomi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang peranan sangat vital dalam menggerakkan semua aktivitas ekonomi. Selain sebagai komoditas publik, sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Studi komparansi kinerja..., Askha Kusuma Putra, FT UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Studi komparansi kinerja..., Askha Kusuma Putra, FT UI, 2008 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Semakin meningkatnya kebutuhan minyak sedangkan penyediaan minyak semakin terbatas, sehingga untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri Indonesia harus mengimpor

Lebih terperinci

kerosin, dan gasoline, kondensat, dan lean gas. Produk yang tidak termasuk bahan bakar tersebut diperoleh melalui hasil pengolahan sekunder atau

kerosin, dan gasoline, kondensat, dan lean gas. Produk yang tidak termasuk bahan bakar tersebut diperoleh melalui hasil pengolahan sekunder atau IX. PEMBAHASAN UMUM Minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumberdaya energi tak terbarukan yang memiliki peran strategis dan sangat berpengaruh terhadap perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat terlihat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN KONSERVASI ENERGI NASIONAL

KEBIJAKAN KONSERVASI ENERGI NASIONAL KEBIJAKAN KONSERVASI ENERGI NASIONAL Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Sosialisasi Program ICCTF 2010-2011 Kementerian Perindustrian

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor mulai Desember 2010 Maret 2011. 3.2 Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi.

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumberdaya alam. Akan tetapi, sumberdaya alam yang melimpah ini belum termanfaatkan secara optimal. Salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

Daya Mineral yang telah diupayakan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah pada periode sebelumnya.

Daya Mineral yang telah diupayakan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah pada periode sebelumnya. BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi Dan Misi Dinas Energi Dan Sumber Daya Mineral VISI Memasuki era pembangunan lima tahun ketiga, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014 SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014 Bismillahirrohmanirrahim Yth. Ketua Umum INAplas Yth. Para pembicara

Lebih terperinci

MODEL KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR KELAPA SAWIT

MODEL KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR KELAPA SAWIT MODEL KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR KELAPA SAWIT Suharjito dan Marimin Program Studi Teknologi Industri Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Email : harjito@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 17 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang turut aktif dalam menandatangani kesepakatan internasional tahun 1972 di Stockholm Swedia, terkait dengan penerapan konsep

Lebih terperinci

IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN

IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN 185 IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN 9.1 Karakteristik Responden Dalam rangka pengambilan keputusan maka perlu dilakukan Analytical Hierarchy Process (AHP) Pengelolaan Usahatani Sayuran Dataran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN Penelitian pendahuluan telah dilakukan sejak tahun 2007 di pabrik gula baik yang konvensional maupun yang rafinasi serta tempat lain yang ada kaitannya dengan bidang penelitian.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. lokasi penelitian secara sengaja (purposive) yaitu dengan pertimbangan bahwa

BAB III METODE PENELITIAN. lokasi penelitian secara sengaja (purposive) yaitu dengan pertimbangan bahwa BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Tempat Penelitian Objek penelitian ini adalah strategi pengadaan bahan baku agroindustri ubi jalar di PT Galih Estetika Indonesia Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Lebih terperinci

III METODOLOGI PENELITIAN

III METODOLOGI PENELITIAN 39 III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Penelusuran data dan informasi dimulai dari tingkat provinsi sampai

Lebih terperinci

8 KEBIJAKAN STRATEGIS PENGEMBANGAN PERIKANAN

8 KEBIJAKAN STRATEGIS PENGEMBANGAN PERIKANAN 8 KEBIJAKAN STRATEGIS PENGEMBANGAN PERIKANAN 8.1 Perumusan Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan Kajian Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik dari Potensi Daerah menghasilkan dua

Lebih terperinci

PROGRAM KONSERVASI ENERGI

PROGRAM KONSERVASI ENERGI PROGRAM KONSERVASI ENERGI Disampaikan pada: Lokakarya Konservasi Energi DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA Bandung,

Lebih terperinci

MEMASUKI ERA ENERGI BARU TERBARUKAN UNTUK KEDAULATAN ENERGI NASIONAL

MEMASUKI ERA ENERGI BARU TERBARUKAN UNTUK KEDAULATAN ENERGI NASIONAL KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA MEMASUKI ERA ENERGI BARU TERBARUKAN UNTUK KEDAULATAN ENERGI NASIONAL Oleh: Kardaya Warnika Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi

Lebih terperinci

PP NO. 70/2009 TENTANG KONSERVASI ENERGI DAN MANAGER/AUDITOR ENERGI

PP NO. 70/2009 TENTANG KONSERVASI ENERGI DAN MANAGER/AUDITOR ENERGI Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral PP NO. 70/2009 TENTANG KONSERVASI ENERGI DAN MANAGER/AUDITOR ENERGI Oleh : Kunaefi, ST, MSE

Lebih terperinci

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 83 BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 5.1. Konfigurasi Model Analisis sistem pada Bab IV memperlihatkan bahwa pengembangan agroindustri sutera melibatkan berbagai komponen dengan kebutuhan yang beragam,

Lebih terperinci

PENELAAHAN PRIORITAS BESARAN CADANGAN BAHAN BAKAR NASIONAL. Agus Nurhudoyo

PENELAAHAN PRIORITAS BESARAN CADANGAN BAHAN BAKAR NASIONAL. Agus Nurhudoyo PENELAAHAN PRIORITAS BESARAN CADANGAN BAHAN BAKAR NASIONAL Agus Nurhudoyo Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi agusn@p3tkebt.esdm.go.id

Lebih terperinci

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI INEFISIENSI BBM

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI INEFISIENSI BBM INEFISIENSI BBM Kenaikan harga minyak yang mencapai lebih dari US$100 per barel telah memberikan dampak besaran alokasi dalam APBN TA 2012. Kondisi ini merupakan salah satu faktor yang mendorong pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan salah satu tolak ukur untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan salah satu tolak ukur untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan salah satu tolak ukur untuk mengetahui apakah suatu negera tersebut memiliki perekonomian yang baik (perekonomiannya meningkat)

Lebih terperinci

diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mengatasi ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan bahan bakar minyak yang ketersediaannya semakin

diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mengatasi ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan bahan bakar minyak yang ketersediaannya semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini zaman sudah semakin berkembang dan modern. Peradaban manusia juga ikut berkembang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia terus berpikir bagaimana

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian model pengelolaan energi berbasis sumberdaya alam di pulau kecil difokuskan kepada energi listrik. Penelitian dilaksanakan di gugus pulau

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan pertumbuhan penduduk di suatu negara yang terus meningkat

1 BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan pertumbuhan penduduk di suatu negara yang terus meningkat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan salah satu kebutuhan mendasar manusia. Pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk di suatu negara yang terus meningkat berbanding lurus dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan negara dalam hal menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. penting dilakukan untuk menekan penggunaan energi.

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan negara dalam hal menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. penting dilakukan untuk menekan penggunaan energi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor industri merupakan sektor yang berperan dalam meningkatkan pendapatan negara dalam hal menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Namun demikian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa Selama periode 2001-2010, terlihat tingkat inflasi Indonesia selalu bernilai positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78 persen terjadi pada

Lebih terperinci