Mangium adalah jenis pohon cepat tumbuh (fasf growing species) yang. banyak digunakan untuk Hutan Tanaman lndustri (HTI) di Indonesia.
|
|
- Inge Hartono
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangium Mangium adalah jenis pohon cepat tumbuh (fasf growing species) yang banyak digunakan untuk Hutan Tanaman lndustri (HTI) di Indonesia. Pemilihan jenis tersebut didasarkan antara lain pada: (1) pertumbuhannya yang cepat sehingga dalam waktu yang relatif singkat sudah dapat dipanen, (2) rnarnpu beradaptasi dan tumbuh dengan baik pada tanah-tanah marjinal sehingga dengan input yang relatif rendah sudah diperoleh kualitas tegakan yang cukup memuaskan (Bastoni, 1999). Menurut National Research Council (1983), pohon rnangium dapat rnencapai tinggi 30 cm, dengan batang lurus dan bebas cabang sampai setengah tinggi total. Riap rata-rata tahunan adalah m3 per hektar dengan daur 10 tahun. Pada lahan yang terganggu, seperti bekas kebakaran, tanah lempung yang sudah kurus dengan dasar batu vulkanis, tanah gersang bekas perladangan liar, lereng terjal, lahan alang-alang, produksi kayu rata-rata 20 rn3 per hektar per tahun. Pada tempat tumbuh yang baik, mangium dapat mencapai tinggi 23 m dengan diameter 23 ern pada urnur 9 tahun. Tegakan yang tidak terpelihara pada umur 9 tahun dapat rnenghasilkan 415 m3 per hektar atau dengan riap tahunan 46 rn31ha (Sindusuwarno dan Utomo, 1981). Hasil percobaan di PT ltcl Balikpapan, tegakan mangium yang berumur 3 tahun bisa mencapai tinggi 14 meter, diameter 11 cm dengan riap rata-rata berkisar antara rn3 per hektar per tahun (Adisubroto dan Priasukmana, 1985). Jenis rnangium tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang tinggi, ia mampu untuk turnbuh baik pada lahan yang miskin dan tidak subur, padang alang-
2 11 alang, pada lahan bekas tebangan serta mudah beradaptasi terhadap lingkungan tersebut. Pada lahan yang tidak subur, mangium masih dapat tumbuh lebih baik dari jenis pohon cepat tumbuh lainnya (Sindusuwarno dan Utomo, 1981). Jenis mangium dapat tumbuh baik pada tanah podzolik, baik di padang alang-alang, bekas penebangan, tanah tererosi, tanah miskin mineral, berbatu-batu dan pada tanah aluvial. Di samping itu jenis ini mampu tumbuh pada tanah dengan ph 4,2. Hal ini sangat penting karena tanah-tanah asam tersebar luas di daerah tropik (Retnowati, 1988). Menurut Nationai Research Council (1983), kayu mangium adalah salah satu jenis pohon serbaguna dan mempunyai masa depan yang baik. Kayu ini dapat dibuat meubel, kusen, moulding dan veneer, papan parlikel, pulp dengan kualitas yang memuaskan dan kayu bakar. Tanaman jenis ini berguna untuk memperbaiki sifat tanah, sekat bakar, tanaman hias, pelindung angin dan erosi, untuk tanaman campuran dalam sistem agroforestry serta dapat menekan pertumbuhan rumput alang-alang. B. Pengusahaan Hutan Tanaman Pengusahaan hutan adalah mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan kayulpemungutan hasil hutan, permudaan dan pemeliharaan hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Pengusahaan hutan diselenggarakan berdasarkan asas kelestarian hutan dan asas perusahaan menurut rencana karya atau bagan kerja yang meliputi penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan (Departemen Kehutanan, 1998).
3 12 Menurut Davis dan Johnson (1987) menyebutkan bahwa sebuah proyek untuk melaksanakan pengelolaan hutan khususnya kayu, terdapat beberapa kegiatan yang menurut preskripsi silvikultur perlu dipertimbangkan antara lain penyiapan lahan dan penanaman, penyemprotan sernak belukar dengan herbisida, pemupukan dan penjarangan yang tidak menghasilkan, pemupukan dan penjarangan yang menghasilkan, dan pemanenan. Proses Produksi di bidang kehutanan terdiri dari komponen-komponen pembentuk sistemnya, yaitu (1) proses permudaan, (2) pemeliharaan hutan, (3) perlindungan hutan dan, (4) pernanenan hasil hutan. Kempat kornponen tersebut merupakan kegiatan yang harus utuh, seimbang, dan berulang sepanjang masa sehingga kelestarian pengusahaan hutan bisa tercapai. Apabila salah satu komponen tersebut tidak berada dalam komando sistern pengusahaan hutan pada areal yang bersangkutan, rnaka sistern pengusahaan hutan akan terganggu yang kernudian akan menimbulkan kerusakan hutan itu sendiri (Warsito, 1997). C. Biaya Pengusahaan Hutan Tanaman Biaya adalah pengorbanan surnber ekonomi yang diukur dengan satuan uang yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu (Mulyadi, 1991). Menurut Duerr (1960), biaya adalah nilai uang dari semua input dalarn suatu proses produksi. Menurut Gregory (1974) dalam Andayani (1998), proses produksi dalarn sektor kehutanan adalah proses pembentukan tegakan sampai dengan menghasilkan kayu bulat yang dapat diperdagangkan, yang memiliki ciri khusus yaitu jangka waktu proses produksi antara investasi awal sampai dengan tegakan siap ditebang (pada
4 13 daur ekonomi tertentu) memerlukan jangka waktu yang sangat panjang (puluhan tahun). Dalam kaitannya dengan proses produksi di bidang kehutanan, biaya yang digucakan untuk produksi pada suaiu perusahaan dapat digolongkan ke dalam beberapa katagori, salah satunya adalah pembagian biaya menurut fungsi pokok dalam perusahaan, yaitu biaya produksi, biaya pemasaran dan biaya administrasi dan umum (Mulyadi, 1991). 1. Biaya produksi adalah biaya-biaya yang terjadi dalam hubungannya dengan proses pengolahan bahan baku menjadi barang jadi atau biaya yang dibebankan dalam proses produksi selama suatu periode dan disebut juga sebagai beban penurunan dalam modal pemilik yang biasanya melalui pengeluaran uang atau penggunaan aktiva yang terjadi dalam usaha untuk memperoleh pendapatan (Soemarsono, 1990). 2. Biaya pemasaran adalah biaya-biaya yang dikeluarkan dalam hubungannya dengan usaha untuk memperoleh pesanan atau memenuhi pesanan (Rivai dan Yogie, 1991). 3. Biaya administrasi dan umum adalah biaya-biaya yang terjadi dalam hubungannya dengan kegiatan yang tidak dapat diidentifikasikan dengan aktivitas produksi maupun pemasaran (Rivai dan Yogie, 1991). Biaya pengusahaan hutan merupakan jumlah nilai seluruh faktor input yang digunakan pengusahaan hutan. Sehingga biaya total pengusahaan hutan mencakup seluruh pembiayaan sejak penanaman sampai tanaman mencapai siap panen (akhir daur), yang disebut dengan biaya tegakan (sfumpage cost). Untuk menghilangkan perbedaan harga yang disebabkan oleh perbedaan lokasi, maka lokasi terakhir
5 14 produksi berada di TPK, sehingga biaya pengusahaan hutan meliputi biaya tegakan dan biaya pemungutan hasil sampai dengan produksi mencapai TPK. Biaya pengusahaan hutan yang demikian ini dapat dikatakan sebagai biaya produksi (Warsito,l995). Dalam pengusahaan hutan sebagai ini it HPH, biaya produksi merupakan biaya dari seluruh kegiatan dari tahap survei sampai kayu tiba di loanding point dan sampai kayu terjual. Jadi pada hakekatnya biaya produksi yang dimaksud, meliputi biaya-biaya dalam pos-pos pengeluaran administrasi, pembinaan dan pengembangan, pemanenan (eksploitasi) dan pemasaran (Mangundikoro, 1973). Biaya eksploitasi kayu terdiri atas : (1). biaya persiapan, yang terdiri dari pembagian blok tebangan, klem dan penomoran kayu, dan pengadaan sarana dan prasarana tebangan, (2). biaya tebangan, yang meliputi penebangan dan pembagian batang, (3). biaya pengangkutan dari hutan ke TPK (Suparno, 2000). Dalam analisis biaya, biaya diklasifikasikan atas bermacam-macam biaya, ha1 ini bertujuan untuk :(1). mengetahui besarnya biaya total, biaya dalam bagian-bagian atau sektor-sektor, sehingga memungkinkan untuk mengadakan penekananpenekanan biaya pada sektor-sektor produksi tertentu apabila dianggap terlalu besar, (2). menghitung harga pokok, sehingga dapat ditentukan harga penjualan untuk menghitung keuntungan dan kerugian (Elias, 1987). D. Nilai Waktu Dalam lnvestasi Kehutanan sebagai produsen kayu memiliki sifat khusus yaitu adanya periode waktu yang lebih panjang. Waktu yang dibutuhkan agar suatu tegakan hutan dapat dipanen, atau apa yang disebut daur, biasanya sangat panjang. Dalam waktu yang panjang menyebabkan biaya investasi dalam bentuk bunga atas modal berpengaruh
6 15 sangat besar dan menentukan (Damsman, 1989). Oleh karena itu suku bunga merupakan ha1 yang sangat penting dalam kehutanan karena waktu produksi yang lama. Karena produksi yang cukup panjang tersebut, maka produksi di bidang kehutanan selalu ada faktor kctidakpastiaan terhadap output yang akan diperoleh, sehingga mengakibatkan orang akan menilai saat sekarang lebih tinggi dari pada nilai waktu yang akan datang (time preference) (Andayani, 1985). Oleh karena itu untuk mengetahui berapa besar penyesuaian yang perlu d~lakukan terhadap nilai benefit di masa datang, Gray, et al., (1992 ) menyatakan gagasan social opportunity cost yang merupakan benefit yang dikorbankan karena sejumlah sumber yang ada telah digunakan untuk kegiatan X, dan bukan kegiatan Y atau yang lainnya. Kemudian Warsito (1995) menyebutkan bahwa kehilangan keuntungan apabila dana yang tidak digunakan untuk investasi pengusahaan hutan, melainkan digunakan untuk investasi di sektor usaha lain yang diandaikan (opportunity cost) maka kehilangan tersebut merupakan biaya, yang penghitungannya didekati dengan biaya bunga atas modal. Biaya tersebut dimasukkan sebagai salah satu komponen biaya dalam penghitungan biaya pengusahaan hutan. Davis (1966), menyatakaan bahwa biaya-biaya yang digunakan untuk suatu sumber daya yang mempunyai tenggang waktu, sewa, atau harga biaya per unit waktu diukur dengan tingkat bunga. Biaya bunga berpengaruh sekali pada analisis teknik finansial, termasuk dalam ilmu hitung bunga compound.
7 E. Pembentukan Harga 1. Penentuan Harga Pokok Metode penentuan harga pokok produksi adalah cara memperhitungkan unsur-unsur biaya ke dalam harga pokok produksi. Berdasarkan cara memproduksi produk, penentuan harga pokok produksi dibedakan menjadi dua macam yaitu metode harga pokok pesanan dan metode penentuan harga pokok proses (Mulyadi, 1991). Metode harga pokok pesanan adalah pengumpulan harga pokok produk di mana biaya dikumpulkan untuk setiap pesanan secara terpisah. Sedangkan metode harga pokok proses adalah metode pengumpulan harga pokok produk di mana biaya dikumpulkan untuk setiap satuan waktu tertentu misalnya bulan, triwulan, semester, tahun. Pada metode harga pokok proses, perusahaan menghasilkan produk yang homogen, bentuk produk bersifat standar tidak tergantung spesifikasi yang diminta pembeli, sehingga produksi dapat dilakukan secara terus-menerus (Supriyono, 1995). lnformasi harga pokok produksi yang dihitung untu k jangka waktu tertentu bermanfaat bagi manajemen untuk : (a). menetukan harga jual produk, (b), memantau realisasi biaya produksi, (c). menghitung rugi atau laba periodik, dan (d). menentukan harga pokok persediaan produk jadi dan produk dalam proses yang disajikan dalam neraca (Mulyadi, 1991). Ada dua kemungkinan yang akan ditemui apabila perusahaan tidak teliti dalam melakukan perhitungan harga pokok (Mulyadi, 1991), yaitu : a. Harga pokok yang diperhitungkan terlalu rendah Harga pokok yang terlalu rendah akan menyebabkan harga yang ditawarkan oleh perusahaan terlalu rendah, dengan sendirinya maka barang atau produk
8
9 contoh-contoh faktor-faktor yang sulit untuk diramalkan, yang mempengaruhi pembentukan harga jual produk atau jasa di pasar (Mulyadi, 1993). Faktor yang memiliki kepastian relatif tinggi yang berpengaruh dalam penentuan harga jual adalah biaya. Biaya memberikan informasi batas bawah suatu harga jual harus ditentukan. Biaya penuh (biaya total) rnerupakan total pengorbanan sumber daya untuk menghasilkan produk atau jasa, sehingga pengorbanan tersebut harus ditutup dengan pendapatan yang diperoleh dari penjualan produk atau jasa (Mulyadi, 1993). Penentuan harga jual memerlukan informasi biaya penuh sebagai dasar penentuan harga jual produk atau jasa. Metode penentuan harga jual seringkali disebut dengan istilah cost plus pricing, karena harga jual ditentukan dengan menarnbahkan biaya dengan laba yang diharapkan termasuk faktor resiko dan ketidakpastian (Mulyadi, 1993, Garrison, 1988, dan Fess dan Warren, 1990). Menurut Garrison (1988), penentuan harga produk standar dengan formula costplus-pricing merupakan pendekatan yang paling banyak. Sedangkan Fess dan Warren (1990) mengatakan bahwa penentuan harga jual normal dengan pendekatan cost-plus merupakan pendekatan yang paling praktis, karena manajer rnenentukan harga produk dengan menambahkan jumlah cost-plus yang dinamakan laba yang diharapkan termasuk faktor resiko dan ketidakpastian. Menurut Fess dan Warren (1990), penggunaan konsep biaya total dalam penentuan harga jual produk adalah sernua biaya produksi ditambah biaya umum dan administrasi dan pernasaran dimasukkan ke dalam biaya total ditambahkan dengan margin keuntungan termasuk faktor resiko dan ketidakpastian. Jika disederhanakan dalarn formula adalah sebagai berikut :
10 Harga Jual = Biaya Total (1 + Persentase Margin Keuntungan & Resiko serta Ketidakpastian) Penetapan harga dengan cara cost plus masih banyak digunakan dengan beberapa alasan diantaranya penjual dapat menentukan biaya dengan lebih mudah daripada memperkirakan permintaan. Dengan mengaitkan harga dan biaya maka proses penetapan harga jual dapat lebih disederhanakan (Kotler, 1997). F. Penentuan Tingkat Keuntungan Pada umumnya tujuan suatu perusahaan tidak pernah terlepas dari keinginan untuk mendapatkan laba, dan laba yang diharapkan adalah keuntungan maksimum. Menurut Lipsey, et al (1991), apabila perusahaan yang bertujuan memaksimumkan keuntungan mengetahui harga yang dapat ditetapkan untuk penjual produknya, maka akan dapat dihitung penerimaannya. Apabila biaya juga diketahui maka keuntungan yang akan didapat pada tingkat penjualan akan dapat dipisahkan. Perusahaan juga akan dapat menentukan tingkat penjualan yang memungkinkan untuk mendapatkan keuntungan maksimum. G. Hubungan Permintaan Kayu dan Harga Permintaan menunjukkan jumlah suatu barang atau jasa yang dikehendaki oleh pasar pada suatu periode waktu tertentu dalam berbagai kondisi pemasaran. Permintaan merupakan salah satu faktor terpenting selain faktor biaya untuk diperhatikan perusahaan dalam rnenyusun berbagai rencana, termasuk rencana pemasaran (Asri, 1991). Hubungan antara harga dengan jumlah permintaan adalah "Hukum Perminfaan" ; yang mengatakan bahwa jumlah barang yang diminta dalam suatu
11 20 periode tertentu berhubungan negatif dengan harganya. Dengan kata lain, jika harga barang atau jasa rneningkat rnaka jurnlah yang dirninta akan berkurang, sebaliknya jika harga barang atau jasa tersebut mengalarni penurunan rnaka jurnlah permintaan akan rneningkat. Dalam istilah ekonorni disebut Hukurn Permirltaan yang sernakin berkurang (the law of deminishing demand) (Asri, 1991). Hukurn perrnintaan ini berlaku untuk keadaan di mana seseorang (konsumen! berfikir rasional dan rnernpunyai pengetahuan yang cukup tentang berbagai ha1 seperti: barang-barang pengganti (substitusi), budget yang terbatas, dan rnanfaat rnaksirnurn yang ingin dicapai). Kebijakan rnenaikkan harga tergantung elasitas perrnintaan. Apabila perrnintaan bersifat elastis, maka menaikkan harga akan rnengakibatkan total penerirnaan rnenjadi berkurang. Karena kenaikan harga sedikit akan rnendatangkan pengaruh penurunan perrnintaan yang besar. Sebaliknya jika perrnintaan bersifat inelastis, dengan rnenaikkan tingkat harga suatu barang justru akan rnenaikkan pula jurnlah penerirnaan meskipun jurnlah perrnintaan rnenurun. Tetapi, pada dasarnya perlu juga diperhatikan bahwa sifat ini berlaku pada range tertentu, sesuai dengan bentuk kurva perrnintaan yang lengkung. Di luar batas tersebut, mungkin barang sudah bersifat elastis sehingga kenaikan harga akan rnengurangi jurnlah penerimaan (Asri, 1991).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam Hutan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Hal
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan hasil paduserasi TGHK - RTRWP pada tahun 1999, luas kawasan hutan alam diduga sekitar 120.353.104 ha (Purnama, 2003), dimana diperkirakan hutan alam yang terdegradasi,
Lebih terperinciPSAK NO. 32 AKUNTANSI KEHUTANAN
PSAK NO. 32 AKUNTANSI KEHUTANAN PENDAHULUAN Karakteristik Perusahaan Pengusahaan Hutan 01 Proses produksi hasil hutan untuk mendapatkan kayu bulat memerlukan waktu yang panjang, dimulai dari penanaman,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan dengan manusia di muka bumi. Hutan menjadi pemenuhan kebutuhan manusia dan memiliki fungsi sebagai penyangga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi untuk mencukupi kebutuhan kayu perkakas dan bahan baku industri kayu. Guna menjaga hasil
Lebih terperinciKETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION
LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 369/Kpts-IV/1985 TANGGAL : 7 Desember 1985 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN
Lebih terperinciMG-8 PERMINTAAN DAN PENAWARAN HASIL HUTAN
MG-8 PERMINTAAN DAN PENAWARAN HASIL HUTAN Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc Asti Istiqomah, SP, M.Si EKONOMI KEHUTANAN ESL 325 (3-0) PERMINTAAN HASIL HUTAN Pengertian Permintaan:
Lebih terperinciB. BIDANG PEMANFAATAN
5 LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 145/Kpts-IV/88 Tanggal : 29 Februari 1988 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. PURUK CAHU JAYA KETENTUAN I. KETENTUAN II. TUJUAN PENGUSAHAAN
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kelestarian Hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu elemen yang paling penting dalam pengelolaan hutan adalah konsep kelestarian hasil hutan (sustained yield forestry). Definisi kelestarian
Lebih terperinciPEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB)
LAMPIRAN 4. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB) 1 PEDOMAN
Lebih terperinciPEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)
LAMPIRAN 2. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN
Lebih terperinciKRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI
LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 21/Kpts-II/2001 Tanggal : 31 Januari 2001 KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI No KRITERIA STANDAR
Lebih terperinciMG-6 DAUR DAN ETAT PEMANENAN KAYU
MG-6 DAUR DAN ETAT PEMANENAN KAYU Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc Asti Istiqomah, SP EKONOMI KEHUTANAN ESL 325 (3-0) PENGERTIAN DAUR DAUR: Jangka waktu yang diperlukan oleh
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang dapat diperbaharui,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam
Lebih terperinci11. SITUASI SISTEM PENETAPAN HJD SAAT IN1
11. SITUASI SISTEM PENETAPAN HJD SAAT IN1 A. Terdapat Economic Loss Bagi manajemen sebuah perusahaan, penetapan harga merupakan salah satu keputusan yang penting, tidak terkecuali bagi PT. Perhutani. Hal
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis merupakan sektor yang paling penting di hampir semua negara berkembang. Sektor pertanian ternyata dapat
Lebih terperinci3. METODOLOGI PENELITIAN
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mencakup wilayah kawasan hutan dimana akan dilakukan kegiatan penambangan batu kapur dan lempung oleh PT Tambang Semen Sukabumi (PT
Lebih terperinciBAB IX ANGGARAN PENDAPATAN PERUSAHAAN HUTAN
BAB IX ANGGARAN PENDAPATAN PERUSAHAAN HUTAN 9.1. Pendapatan Perusahaan Hutan Tujuan perusahaan hutan adalah kelestarian hutan. Dalam hal ini dibatasi dalam suatu model unit perusahaan hutan dengan tujuan
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Menimbang : Presiden Republik Indonesia, a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang
Lebih terperinciPEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR)
LAMPIRAN 3. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM
Lebih terperinciMEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia
www.greenomics.org MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia 5 Desember 2011 HPH PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa -- yang beroperasi di Provinsi Riau -- melakukan land-clearing hutan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jati merupakan jenis kayu komersil yang bermutu dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu kayu penting yang
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
10 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Wangunjaya Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan selama satu
Lebih terperinciLAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990
LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. WAPOGA MUTIARA TIMBER KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN HUTAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan hutan terutama pemanenan kayu sebagai bahan baku industri mengakibatkan perlunya pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang lestari. Kurangnya pasokan bahan baku
Lebih terperinciKONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA
Hadirin sekalian, penulis berpendapat, beberapa permasalahan besar di muka sangatlah penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan hutan, akan tetapi pembahasan terhadap konsep-konsep dasar ilmu kehutanan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. keuangan setiap negara. Bank antara lain berperan sebagai ternpat penyirnpanan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang lndustri perbankan, khususnya bank urnurn, rnerupakan pusat dari sistern keuangan setiap negara. Bank antara lain berperan sebagai ternpat penyirnpanan dana, rnernbantu
Lebih terperinciBAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian
Lebih terperinciPERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN
Laboratorium Silvikultur &Agroforestry Jurusan Budidaya Hutan FakultasKehutanan, UGM PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN SILVIKULTUR Metode Permudaan Metode permudaan merupakan suatu prosedur dimana suatu
Lebih terperinciindustri hilir pengolahan kayu yang menggunakan bahan baku kayu lndustri kayu lapis lndonesia di pasaran dunia mengalami
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kayu lapis merupakan salah satu produk hasil pengembangan industri hilir pengolahan kayu yang menggunakan bahan baku kayu bulatlkayu gelondongan (log). Produk ini merupakan
Lebih terperinciFORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN ALAM
Lampiran : I Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : 51/KPTS/VI-PHP/2003 Tanggal : 28 Oktober 2003 BENTUK DAN ISI A. Bentuk FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA
Lebih terperinciBAB II PENENTUAN HARGA JUAL DENGAN PENDEKATAN VARIABEL COSTING
BAB II PENENTUAN HARGA JUAL DENGAN PENDEKATAN VARIABEL COSTING II.1. Harga Jual Penentuan harga jual suatu produk atau jasa merupakan salah satu keputusan penting manajemen karena harga yang ditetapkan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penurunan produktivitas hutan alam telah mengakibatkan berkurangnya suplai hasil hutan kayu yang dapat dimanfaatkan dalam bidang industri kehutanan. Hal ini mendorong
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Dalarn pernbangunan ekonorni Indonesia, sektor perdagangan luar
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Dalarn pernbangunan ekonorni Indonesia, sektor perdagangan luar negeri rnernpunyai peranan yang sangat penting. Pada periode tahun 1974-1981 surnber utarna pernbangunan
Lebih terperinciMETODOLOGI PENELITIAN
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sarnpai bulan Juni 200 1. Lokasi penelit~an berlokasi di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Parung Panjang
Lebih terperinciLampiran 1 KUESIONER RESPONDEN/PETANI HUTAN RAKYAT
Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN/PETANI HUTAN RAKYAT ANALISIS FINANSIAL PERBANDINGAN USAHA HUTAN RAKYAT MONOKULTUR DENGAN USAHA HUTAN RAKYAT CAMPURAN (Studi Kasus di Desa Jaharun, Kecamatan Galang, Kabupaten
Lebih terperinciBAB II PENENTUAN TARIF BERDASARKAN METODE WAKTU DAN BAHAN
BAB II PENENTUAN TARIF BERDASARKAN METODE WAKTU DAN BAHAN 2.1 Jasa 2.1.1 Definisi Jasa Jasa adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak pada pihak lain dan pada dasarnya tidak
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 53 TAHUN 2001 T E N T A N G IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciRUANG LINGKUP PERLINDUNGAN HUTAN
RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN HUTAN a. Perlindungan terhadap kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan harus sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Penggunaan kawasan hutan yang menyimpang harus mendapat persetujuan
Lebih terperinciPresiden Republik Indonesia,
PP 7/1990, HAK PENGUSAHAAN... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tanggal: 16 MARET 1990 (JAKARTA) Sumber: LN 1990/11; TLN NO. 3404 Tentang:
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah
Lebih terperinciMenimbang : Mengingat :
1:1414 PERATURAN PEMERINTAH NO.7 TAHUN1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang dapat diperbaharui, yang perlu dimanfaatkan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.65/Menhut-II/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.11/MENHUT-II/2009 TENTANG SISTEM SILVIKULTUR DALAM AREAL IZIN USAHA
Lebih terperinciPaket ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN FINANSIAL PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU
Paket ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN FINANSIAL PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU Jenis Bambang Lanang Analisis Ekonomi dan Finansial Pembangunan Hutan Tanaman penghasil kayu Jenis bawang Analisis
Lebih terperinciKenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.
Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%
Lebih terperinciSUMBER DAYA HUTAN* Resume by Opissen Yudisyus , Ilmu Ekonomi
SUMBER DAYA HUTAN* Resume by Opissen Yudisyus 20100430019, Ilmu Ekonomi Hutan adalah asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. (imperata cylindrical). Bukit Batu Agung merupakan area perladangan
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Bukit Panjang merupakan bagian dari hamparan Bukit Batu Agung yang berada di Nagari Paninggahan dengan kondisi area yang didominasi oleh alangalang (imperata cylindrical). Bukit
Lebih terperinciPEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)
LAMPIRAN 1. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Bela kang. Hutan sebagai sumber kekayaan alam merupakan suatu modal dasar
PENDAHULUAN Latar Bela kang Hutan sebagai sumber kekayaan alam merupakan suatu modal dasar pembangunan nasionai yang perju dimanfaatkan secara maksimal dan lestan untuk kesejahteraan rakyat, baik materia1
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m. Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk
34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk jarak tanam 3 m x 3 m terdapat 3 plot dengan jumlah
Lebih terperinciV HASIL DAN PEMBAHASAN
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Responden Tingkat pendidikan di Desa Babakanreuma masih tergolong rendah karena dari 36 responden sebagian besar hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SD,
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaku Pemasaran Kayu Rakyat Pelaku pemasaran kayu rakyat di Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Tanggeung terdiri dari petani hutan rakyat, pedagang pengumpul dan sawmill (industri
Lebih terperinciKUESIONER RESPONDEN PEMILIK ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN PROSPEK PEMASARAN BUDIDAYA GAHARU PENGENALAN TEMPAT PETUGAS PROGRAM STUDI KEHUTANAN
Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN PEMILIK ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN PROSPEK PEMASARAN BUDIDAYA GAHARU Dusun PENGENALAN TEMPAT Desa Kecamatan Kabupaten Provinsi Sumatera Utara No urut sampel PETUGAS
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Jati (Tectona grandis L.f) Menurut Sumarna (2002), klasifikasi tanaman jati digolongkan sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) berperan penting dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. UMKM sebagai pelaku utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai sektor.
Lebih terperinciPENGUMPULAN DATA KEHUTANAN
PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN TRIWULANAN 2014 PEDOMAN PENCACAHAN BADAN PUSAT STATISTIK ii KATA PENGANTAR Kegiatan pengumpulan Data Kehutanan Triwulanan (DKT) dilakukan untuk menyediakan data kehutanan per
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1990 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1990 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa reboisasi merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan guna menjamin kelestarian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Hutan sendiri
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehutanan menurut pasal 1 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Disisi lain, wisata juga dapat rnerusak suatu daerah jika tidak
1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Kesadaran pernerintah akan besarnya potensi kelautan Indonesia, rnenyebabkan paradigrna pernbangunan yang selarna ini kurang rnernperhatikan sektor kelautan rnulai ditinggalkan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang dikaruniakan oleh
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk umat-nya. Dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian
Lebih terperinciKementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Multisistem.
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Policy ISSN : 2085-787X Volume 4 No. 4 Tahun 2010 Daftar Isi Ringkasan 1 Latar
Lebih terperinciPOLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati
POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati Ringkasan Penelitian ini dilakukan terhadap anggota Kelompok Tani
Lebih terperincitertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang
PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur
47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan
Lebih terperinciBAB II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, Dan HIPOTESIS
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, Dan HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian dan Penggolongan Biaya Biaya dalam akuntansi biaya diartikan dalam dua pengertian yang berbeda, yaitu biaya
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 201/KPTS-II/1998. Tentang
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 201/KPTS-II/1998 Tentang PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DENGAN SISTEM TEBANG PILIH DAN TANAM JALUR KEPADA ATAS
Lebih terperinciPEDOMAN PELAPORAN KEUANGAN PEMANFAATAN HUTAN PRODUKSI DAN PENGELOLAAN HUTAN (DOLAPKEU PHP2H)
PEDOMAN PELAPORAN KEUANGAN PEMANFAATAN HUTAN PRODUKSI DAN PENGELOLAAN HUTAN (DOLAPKEU PHP2H) Pelatihan APHI 18 MEI 2011 Dwi Martani & Taufik Hidayat Staf Pengajar Departemen Akuntansi FEUI Tim Penyusun
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha
Lebih terperinciBAB II PENENTUAN HARGA JUAL. laba yang ingin dicapai perusahaan juga mempengaruhi kelangsungan hidup
14 BAB II PENENTUAN HARGA JUAL Keputusan penentuan harga jual sangat penting, karena selain mempengaruhi laba yang ingin dicapai perusahaan juga mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan. Oleh karena
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciVIII. KESIMPULAN DAN SARAN
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dari pemaparan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Untuk Propinsi Kalimantan Selatan secara keseluruhan realisasi tanam masih
Lebih terperinciPENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah
PENDAHULUAN Latar Belakang Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan working plan perhitungan dan pengaturan hasil Manajemen Hutan
1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan Manajemen hutan merupakan suatu pengertian luas dari pengetrapan / aplikasi pengetahuan tentang kehutanan dan ilmu yang sejenis dalam mengelola hutan untuk kepentingan
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada lokasi umur yang berbeda yaitu hutan tanaman akasia (A. crassicarpa) di tegakan berumur12 bulan dan di tegakan berumur 6 bulan. Jarak
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Akuntansi Pada dasarnya informasi dari suatu perusahaan terutama informasi keuangan dibutuhkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan, baik pihak
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan Kegiatan inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP) dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan berdiameter 20 cm dan pohon layak tebang.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga
Lebih terperinciSistem Tebang Parsial & Tebang Habis
SISTEM SILVIKULTUR Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis Laboratorium Silvikultur &Agroforestry Jurusan Budidaya Hutan FakultasKehutanan, UGM Tebang Parsial (Seed tree dan Shelterwood method) Seedtree Shelterwood
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
20 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan HTI Sengon 5.1.1 Pembibitan Bibit merupakan komponen input penting dalam pembangunan hutan tanaman yang sejak awal harus diperhitungkan pengadaannya, baik
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan lindung menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Lindung Hutan lindung menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan
Lebih terperincikepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen
Lampiran 1 Verifikasi Kelayakan Hutan Rakyat Kampung Calobak Berdasarkan Skema II PHBML-LEI Jalur C NO. INDIKATOR FAKTA LAPANGAN NILAI (Skala Intensitas) KELESTARIAN FUNGSI PRODUKSI 1. Kelestarian Sumberdaya
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,
GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN HUTAN PRODUKSI
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN POSO
PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa sumber
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang : a. bahwa semangat penyelenggaraan
Lebih terperinciBAB II PENENTUAN HARGA JUAL. berwujud serta tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. M enurut Hansen. menggunakan produk atau fasilitas organisasi.
BAB II PENENTUAN HARGA JUAL 2.1 Jasa 2.1.1 Pengertian Jasa M enurut Kotler (2000:428), jasa adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak pada pihak lain dan pada dasarnya tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang dilakukan untuk memperoleh
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
5 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Akuntani Biaya 1. Pengertian biaya Biaya merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam proses produksi dalam satu perusahaan manufaktur. Terdapat
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tanaman dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi guna memenuhi kebutuhan bahan baku indutri dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan
Lebih terperinciPENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA
PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA Oleh : Apul Sianturi 1) Adanya isu sentral tentang pengelolaan hutan produksi alam yang lestari merupakan bukti semakin tingginya tuntutan yang
Lebih terperinciDewasa ini lndustri kehutanan di lndonesia telah berkembang pesat. sejaian dengan era industrialisasi yang sedang berkembang, disatu sisi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini lndustri kehutanan di lndonesia telah berkembang pesat sejaian dengan era industrialisasi yang sedang berkembang, disatu sisi produk-produknya telah mampu memasuki
Lebih terperinci