BAB I PENDAHULUAN I.1.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1."

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Meningkatnya pembangunan pusat-pusat perekonomian yang dibangun di daerah perkotaan, terutama di bidang industrialisasi berdampak pada meningkatnya arus urbanisasi (Haryono,1999). Urbanisasi yang berasosiasi dengan pertambahan penduduk dan ekonomi merupakan penyebab utama terjadinya perubahan penggunaan tanah atau tutupan tanah. Perubahan seperti ini akan membawa perubahan dalam suhu udara rata-rata di kota, dimana berkurangnya vegetasi yang tergantikan oleh lahan-lahan terbangun akan memicu kontrasnya radiansi permukaan dan suhu udara di daerah kota jika dibandingkan dengan daerah desa (Weng, 2004). Perbedaan suhu udara antara daerah kota dengan daerah desa yang mengelilinginya tersebut dikenal sebagai Urban Heat Island (UHI). Urban Heat Island (UHI) telah menjadi perhatian selama lebih dari 40 tahun. Studi mengenai UHI awalnya hanya dilakukan pada daerah dengan cakupan terbatas menggunakan pengukuran suhu udara secara in-situ. Munculnya teknologi satelit penginderaan jauh telah memungkinkan untuk melakukan studi UHI secara jarak jauh dan dalam skala benua atau global. Studi fenomena UHI menggunakan satelit yang berdasar pada pengukuran suhu permukaan tanah telah menggunakan berbagai data penginderaan jauh seperti NOAA AVHRR dengan resolusi spasial sebesar 1,1 km, Landsat Thematic Mapper (TM) Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) thermal infrared (TIR) dengan resolusi spasial sebesar 120 m dan 60 m (Cao dkk., 2008). Telah diketahui bahwa beberapa indeks vegetasi yang didapat dari penginderaan jauh dapat digunakan dalam penilaian tutupan vegetasi secara kuantitatif dan kualitatif seperti Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). 1

2 2 Normalized Difference Buit-up Index (NDBI) juga telah dikembangkan untuk lahan terbangun dan/atau lahan terbuka. Kedua indeks ini telah umum digunakan di berbagai daerah untuk mendeliniasi tutupan lahan. Oleh karena itu, penggunaan NDVI dan NDBI dapat mewakili tipe tutupan lahan secara kuantitatif sehingga hubungan antara indeks-indeks tersebut dengan suhu dapat dilakukan dalam penelitian-penelitian UHI (Chen, 2005). Studi mengenai Urban Heat Island kebanyakan mengambil studi kasus pada kota-kota besar dan kota-kota metropolitan. Namun, bukan berarti bahwa Urban Heat Island hanya terjadi pada kota-kota besar dan kota-kota metropolitan. Penelitian yang dilakukan Kopec (1970) di kota kecil (Chapel Hill, North Carolina, Amerika Serikat) berpenduduk jiwa dengan luas 13 mil 2 (33,7 km 2 ) menemukan adanya perbedaan suhu yang cukup signifikan dalam rentang o F (± 4 5 o C) antara CBD dan daerah rural di sekelilingnya. Semua kota apapun ukurannya membentuk iklim tersendiri berbeda dengan iklim makro regional di mana kota itu berada, meskipun karakteristik iklim mikro urban tergantung pada iklim yang lebih besar (Kopec, 1970). Kota Surakarta (Solo) merupakan salah satu kota besar di Jawa Tengah yang menunjang kota-kota lainnya seperti Semarang maupun Yogyakarta (BPS, 2012). Pembangunan yang cukup pesat di kota ini menyebabkan pertumbuhan penduduk cukup pesat. Data BPS tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Solo pada tahun 2006 adalah sebesar kemudian naik ke angka pada tahun Pertumbuhan penduduk tersebut tentunya diimbangi dengan pertumbuhan pembangunan pemukiman dan fasilitas fisik penunjang lain di Kota Solo. I.2. Rumusan Masalah Pertumbuhan yang cepat di Kota Solo menyebabkan perubahan penggunaan lahan. Pertumbuhan tersebut mengakibatkan perubahan unsur-unsur iklim yang salah satunya adalah suhu permukaan yang lebih panas dari daerah sekitarnya (Urban Heat Island). Perubahan kawasan serta suhu permukaan di Kota Solo tersebut tidak banyak pihak yang bertindak untuk melakukan

3 pengawasan/monitoring. Pengawasan atau monitoring terhadap perubahan suhu tersebut tentunya amat penting agar dapat dilakukan penanganan lebih lanjut dimana membutuhkan data atau informasi tentang suhu permukaan serta penggunaan lahan. Data mengenai pola sebaran suhu diperlukan untuk sebagai bahan evaluasi terhadap pembangunan tipe penggunaan lahan yang dapat menaikkan suhu permukaan dapat dikendalikan sehingga peningkatan suhu tidak berlanjut. Teknologi penginderaan jauh melalui citra Landsat 8 dapat dimanfaatkan untuk pengawasan secara efisien karena citra Landsat dapat menghasilkan data suhu sekaligus penggunaan lahan yang diperlukan sebagai bahan analisis. I.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian sebelumnya dari rumusan masalah, maka didapatkan beberapa pernyataan penelitian yang akan dijawab dari hasil penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana pola sebaran suhu permukaan di Kota Solo? 2. Bagaimana hubungan pola sebaran suhu permukaan tersebut dengan pola tutupan lahan di Kota Solo? I.4. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara pola suhu permukaan dengan pola tipe tutupan lahan di Kota Solo. I.5.Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat dipandang dari dua segi, yaitu secara praktis dan keilmuan. Secara praktis, diketahuinya nilai dan distribusi suhu permukaan di Kota Solo dapat dijadikan bahan referensi untuk kebijakan penataan ruang kedepannya oleh pemerintah setempat. Secara keilmuan, penelitian ini 3

4 dapat menambah referensi khususnya dalam Urban Heat Island dalam penelitian selanjutnya pada bidang yang sama atau terkait. I.6.Batasan Masalah Pada penelitian analisis hubungan suhu permukaan dengan tipe tutupan lahan ini diberikan batasan sebagai berikut : 1. Daerah penelitian adalah seluruh wilayah Kota Solo, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia. 2. Data yang digunakan adalah citra Landsat 8 path 119 row 65 tanggal perekaman 10 Oktober 2014 dari U.S. Geological Survey. Gangguan berupa liputan awan yang terdapat pada citra tersebut lebih sedikit dibanding dengan citra dengan tanggal perekaman yang lain sehingga dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini. 3. Klasifikasi tutupan lahan dengan teknik klasifikasi digital menggunakan algoritma maximum likelihood. 4. Metode yang digunakan untuk ekstraksi suhu permukaan adalah Split Window Algorithm (SWA). Metode SWA dipilih karena SWA menormalisasikan nilai suhu permukaan dari band 10 dan band 11 sehingga diperoleh nilai yang paling baik merepresentasikan kondisi lapangan (Rahmi, 2014). 5. Skema klasifikasi Tutupan Lahan yang dipakai ialah skema klasifikasi Penggunaan Lahan berdasar SNI yang telah dimodifikasi sesuai keadaan objek di Kota Solo. I.7.Tinjauan Pustaka Data tentang Urban Heat Island di Kota Pangkalpinang tahun 2000 dan 2006 didapatkan menggunakan citra Landsat 5 TM serta Landsat 7 ETM+ (Iswanto, 2008). Penelitian tersebut menggunakan algoritma mono window untuk memperoleh informasi suhu permukaan dari citra Landsat tersebut. Suhu 4

5 permukaan hasil ekstraksi kemudian dianalisis hubungannya dengan penutup lahan, NDVI, dan NDBI. Infromasi penutup lahan sendiri didapat dari klasifikasi tak terselia ( unsupervised classification). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi pertambahan wilayah UHI, tutupan lahan urban dan lahan terbuka mempunyai suhu permukaan tertinggi, antara suhu permukaan dengan kerapatan vegetasi berkorelasi negatif, dan antara suhu permukaan dengan kerapatan lahan terbangun dan/atau lahan terbuka berkorelasi positif. Suhu permukaan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur didapatkan dari hasil eksttraksi citra Landsat 7 ETM+ (Widiastuti, 2013). Pada penelitian tersebut ekstraksi suhu pada band inframerah thermal tersebut dilakukan dengan menggunakan teknologi pengolahan citra penginderaan jauh. Beberapa tahapan yang digunakan untuk menyatakan perubahan suhu dalam penelitian ini antara lain : 1) Merubah nilai piksel pada citra menjadi nilai radiansi spektral, 2) Merubah nilai radiansi spektral menjadi nilai temperatur radian, 3) Merubah nilai temperatur radian menjadi nilai temperatur kinetik, 4) Melakukan penampalan/overlay citra untuk mengetahui perubahan suhu yang terjadi setiap tahun menggunakan metode Change Detection.Hasil dari penelitian ini adalah tampilan atau visualisasi perubahan suhu luasan genangan Lumpur Lapindo mulai dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 beserta hasil analisis dari perubahan tersebut. Tabel I.1. Tabel Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya No Nama Peneliti Judul Lokasi Penelitian Metode 1. Iswandi, P. A., Widiastuti, A., 2013 Urban Heat Island Kota Mono (UHI) di Kota Pangkalpinang Window Pangkalpinang tahun Algorithm 2000 dan 2006 Analisis dan Visualisasi Kabupaten Ekstraksi Perubahan Suhu Sidoarjo suhu Lingkungan Genangan permukaan. Sumber Data Citra Landsat 7 ETM+ dan Landsat 5. Citra Landsat 7 ETM+. 5

6 Lumpur Menggunakan Citra Landsat 7 ETM+ Multitemporal. 3. Penulis Analisis Hubungan Kota Solo Split Citra Landsat Suhu Permukaan dan Window 8 Tipe Tutupan Lahan di Algorithm. Kota Solo Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 I.8.Landasan Teori I.8.1 Satelit Landsat 8 Landsat 8 diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2013 sebagai kelanjutan dari misi Landsat sekaligus menggantikan fungsi dari Landsat 7 yang sudah mengalami kerusakan sejak tahun Satelit ini dibawa oleh roket ATLAS V yang diluncurkan dari pangkalan udara Vandenberg, California. Karakteristik Landsat 8 tidak berbeda jauh dibandingkan dengan Landsat 7. Resolusi (spasial, temporal, spektral), metode koreksi, ketinggian terbang maupun karakteristik sensor yanng dibawa memiliki kemiripan dengan Landsat 7 meskipun ada beberapa perkembangan karakteristik dan kemampuan sensor. Karakteristik Landsat 8 dapat dilihat pada tabel I.2. Tabel I.2. Karakteristik Landsat 8 ( Spesifikasi Landsat 8 Tinggi Orbit Jenis Orbit Sensor Luas Liputan per Scene 705 km Inklinasi 98.2 o, Sun-synchronous OLI (Onboard Operational Land Imager) + TIRS (Thermal Infrard Sensor) 185 km x 185 km 6

7 Resolusi Temporal 16 hari Periode Orbit 99 menit Kuantitas Data 16 bitt ( ) Landsat 8 terdiri dari dua instrumen yaitu OLI ( Onboard Operational Land Imager) dan TIRS (Thermal Infrard Sensor). OLI terdiri dari band yang ada pada Landsat 7 ETM+ sebelumnya, ditambah tiga band baru, yaitu band biru untuk studi wilayah pesisir/aerosol, band inframerah gelombang pendek untuk mendeteksi awan cirrus, dan band TIRS. TIRS mempunyai dua band termal. Kedua sensor tersebut memberikan peninngkatan sinyal terhadap noise sehingga mendapatkan karakteristik yang lebih baik dari keadaan dan kondisi tutupan lahan. Saluran band citra Landsat 8 disajikan dalam tabel I.3. Tabel I.3. Saluran Band citra Landsat 8 ( Band Panjang Gelombang Resolusi (mikrometer) (meter) Band 1 Coastal Aerosol Band 2 Blue Band 3 Green Band 4 Red Band 5 Near Infrared (NIR) Band 6 SWIR Band 7 SWIR Band 8 Panchromatic Band 9 Cirrus Band 10 Thermal Infrared (TIRS) 1 Band 11 Thermal Infrared (TIRS) 2 7

8 Landsat 8 memiliki beberapa keunggulan khusus diantaranya banyaknya band penyusun RGB komposit pada Landsat 8 dan spesifikasi band baru yaitu band 1, 9, 10, dan 11, membuat warna obyek menjadi lebih bervariasi. Band 1 (ultra blue) dapat menangkap panjang gelombang elektromagnetik lebih rendah dari pada band yang sama pada Landsat 7 ETM+, sehingga lebih sensitif terhadap perbedaan reflektan air laut atau aerosol. Band 9 lebih sensitif dalam mendeteksi awan cirrus. Band 10 dan 11 bermanfaat untuk mendeteksi perbedaan suhu permukaan bumi dengan resolusi spasial 100 meter. Tingkat keabu-abuan Landsat 8 memiliki interval yang lebih panjang yaitu 16 bit ( ), dengan ini tampilan citra akan lebih halus, baik pada citra multispektral maupun pankromatik serta dapat mengurangi terjadinya kesalahan interpretasi objek-objek di permukaan bumi (Arrofiqoh, 2014). I.8.2. Koreksi Citra Pada saat ditransmisikan ke bumi data penginderaan jauh mengalami distorsi dengan berbagai cara (Lillesla nd dan Kiefer, 1994). Banyak faktor yang berpengaruh terhadap data citra satelit (sensor, kondisi medan, kondisi atmosfer) sehingga diperlukan koreksi sebelum pengolahan citra untuk memperoleh informasi yang lebih berkualitas. Secara radiometrik, nilai digital tidak selalu tepat dalam kaitannya dengan tingkat energi obyek. Secara geometrik maka letak kenampakan pada citra tidak tepat benar bila dikaitkan dengan letaknya pada peta. Teknik koreksi bertugas untuk memperkecil gangguan ini dan menghasilkan citra yang lebih berkualitas Koreksi radiometrik. Koreksi radiometrik merupakan perbaikan kualitas citra karena adanya kesalahan pada sistem optik, kesalahan karena gangguan energi radiasi elektromagnetik pada atmosfer dan kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari (Purwadhi, 2001 dalam Iswandi, 2001). Gangguan atmosfer 8

9 menyebabkan nilai pantulan yang diterima oleh sensor mengalami penyimpangan. Besarnya penyimpangan dipengaruhi oleh besar kecilnya gangguan atmosfer pada saat perekaman. Koreksi ini dimaksudkan untuk menyusun kembali nilai pantulan yang direkam oleh sensor mendekati atau mempunyai pola seperti pantulan obyek yang sebenarnya dengan panjang gelombang perekamannya Koreksi geometrik Koreksi geometrik merupakan upaya memperbaiki kesalahan perekaman secara geometrik agar citra yang dihasilkan mempunyai sistem koordinat dan skala yang seragam, dan dilakukan dengan cara translasi, rotasi, atau pergeseran skala (Parman, 2010). Terdapat dua macam koreksi geometrik, yaitu: 1. Koreksi geometrik sistematik Kesalahan geometrik sistematik disebabkan karena kesalahan sensor dan diperlukan informasi mengenai sensor dan data ephemeris saat pemotretan untuk mengkoreksinya. Dilakukan pembetulan dan penempatan kembali posisi piksel, sehingga pada citra yang ditransformasi terlihat gambaran objek permukaan bumi yang terekam sensor. Transformasi ini diterapkan pada citra mentah (raw data) dan dapat mengubah bentuk kerangka liputan dari bujur sangkar menjadi jajaran genjang. 2. Koreksi geometrik non-sistematik Kesalahan geometrik non-sistematik disebabkan oleh orbit, perilaku satelit, dan efek rotasi bumi. Diperlukan titik kontrol tanah atau GCP ( Ground Control Point) yang permanen dan tersebar merata untuk mengkoreksinya. GCP adalah suatu lokasi titik di permukaan bumi yang dapat diindentifikasi dengan menyesuaikan koordinat piksel pada citra dengan koordinat objek yang sama pada peta (Jensen, 2004). Dengan GCP, analisis citra memperoleh dua himpunan data lokasi, yaitu koordinat piksel pada citra yang dinyatakan dalam baris dan kolom, serta koordinat 9

10 peta yang dinyatakan dalam x dan y, dapat berbentuk lintang bujur, maupun dalam satuan meter pada sistem proyeksi tertentu. Berdasarkan titik-titik ini transformasi koordinat dapat diperoleh sehingga citra yang akan dikoreksi dapat dirubah proyeksinya mengikuti sistem proyeksi koordinat referensi. I.8.3 Suhu Permukaan dan Radiasi Benda I Suhu Permukaan. Suhu permukaan / Land Surface Temperature (LST) adalah suatu indeks rata-rata energi kinetik objek permukaan bumi yang dipantulkan dan terekam oleh sensor satelit (Aguado dan Burt, 2001 dalam Hidayat, 2006). LST dapat pula didefinisikan sebagai suhu/temperatur yang dapat dirasakan tangan atau kulit saat menyentuh permukaan tanah (NASA, 200 0). Suhu permukaan memodulasi suhu udara pada lapisan paling dekat dengan permukaan, penting bagi keseimbangan energi permukaan, membantu menentukan iklim internal bangunan, dan mempengaruhi kenyamanan penduduk kota (Voogt dan Oke, 2003). I Radiasi Benda Hitam. Ketika objek menyerap energi, suhu objek akan meningkat dan akan meradiasikan Radiasi Elektromagnetik (REM) gelombang panjang ke atmosfer (Lillesland dan Kiefer, 1994). Wahana penginderaan jauh yang dapat mengukur energi yang dikeluarkan objek dan merekamnya dalam nilai digital. Semua zat pada temperatur yang lebih besar dari 0 absolut ( 0 Kelvin, o C, atau o F), mengeluarkan REM secara terus menerus. Benda hitam adalah objek yang dapat menyerap dan mengeluarkan REM secara sempurna. Gambar 1.1 memperlihatkan agihan spektral tenaga yang dipancarkan dari permukaan benda hitam mempunyai bentuk serupa dan sesuai dengan Hukum Pergeseran Wien yakni puncak tenaganya tergeser ke arah panjang gelombang yang lebih pendek sesuai dengan kenaikan suhu yang dirumuskan sebagai berikut : 10

11 =... (1) Keterangan : λm = panjang gelombang pada pancaran maksimum (m) A = konstanta (2898 m o K) T = suhu absolut benda 0 o K Gambar I.1. Agihan spektral tenaga yang dipancarkan oleh benda hitam pada berbagai suhu (Sumber : Lillesland dan Kiefer, 1994) Pancaran radian total yang datang dari permukaan benda hitam pada suatu suhu ditentukan oleh luas di bawah kurva pancaran radian spektralnya (Lillesland dan Kiefer, 1994). Artinya jika satu sensor dapat mengukur pancaran tenaga radiasi dari suatu benda hitam pada semua panjang gelombang, sinyal yang terekam sebanding dengan luas di bawah kurva radiasi benda hitam untuk suhu tertentu. Luas ini dapat dijelaskan secara matematik dengan Hukum Stefan- Boltzmann = ( ) = 4... (2) Dimana : W = pancaran radiantotal, W m -2 σ = tetapan Stefan-Boltzmann, x 10-8 W m -2 K -4 11

12 T = Suhu benda hitam ( o K) Persamaan (2) menunjukkan bahwa pancaran radian to tal dari permukaan benda hitam berubah menurut pangkat empat suhu absolutnya oleh karena itu maka pengukuran W dari jarak jauh dapat digunakan untuk menduga suhu permukaan T. Pendekatan tak langsung untuk pengukuran suhu inilah yang digunakan di dalam penginderaan thermal. Tenaga pancaran W diukur pada julat panjang gelombang tertentu dan digunakan untuk mendapatkan pancaran permukaan pemancar. I Radiasi Benda Nyata Semua material nyata hanya memancarkan sebagian kecil tenaga yang dipancarkan oleh benda hitam pada suhu yang sama ( Lilleslasnd dan Kiefer, 1994). Kemampuan pancaran benda nyata bila dibandingkan terhadap benda hitam disebut daya pancar atau emisivitas ( E ). Emisivitas ( E ) merupakan perbandingan antara tenaga pancaran suatu objek pada temperatur tertentu dengan tenaga pancaran benda hitam pada temperatur yang sama. Emisivitas dapat bernilai antara nol sampai dengan satu. Seperti pantulan, daya pancar dapat pula berubah menurut panjang gelombangnya dan sudut pengamatannya. Tergantung pada materialnya, emisivitas dapat juga sedikit berubah sesuai dengan suhu. Nilai emisivitas untuk beberapa obyek dapat dilihat pada tabel I.4. Tabel I.4 Emisivitas (E) beberapa jenis material (Lillesland dan Kiefer, 1994) Jenis Material Emisivitas (E) Jenis Material Emisivitas (E) Kulit manusia 0.98 Tanah kering 0.92 Air suling 0.96 Beton 0.92 Arang 0.95 Semen 0.91 Tanah basah 0.95 Pasir

13 Kaca 0.94 Kayu 0.90 Cat 0.94 Salju 0.85 Bata 0.93 Emas 0.02 I.8.4 Ekstraksi Suhu Dalam ekstraksi suhu dari citra satelit terdapat beberapa algoritma yang dapt digunakan. Seluruh algoritma tersebut menggunakan masukan/input berupa band thermal dari citra satelit yang digunakan. I Split Window Algorithm Perolehan suhu dari citra satelit Landsat 8 salah satunya dapat menggunakan metode Split Window Algorithm (SWA). Metode tersebut dikembangkan oleh (Rozenstein, 2014) pada Landsat 8 yang memiliki dua band termal yaitu band 10 dan 11. Penelitian ini sendiri menggunakan SWA sebagai algoritma untuk ekstraksi suhu hal ini dikarenakan SWA menormalisasikan nilai suhu permukaan dari band 10 dan band 11 sehingga diperoleh nilai yang paling baik merepresentasikan kondisi lapangan dibandingkan dengan algoritmaalgoritma lain. Variabel yang digunakan dalam algoritma ini adalah suhu kecerahan dari dua band termal landsat 8 serta emisivitas. Langkah-langkah dalam ekstraksi suhu dari citra Landsat 8 menggunakan metode SWA adalah sebagai berikut. I Mengubah Nilai Digital Piksel Menjadi Nilai Radiansi. Nilai dari Top of Atmospheric (TOA) radiansi spektral merupakan hasil perkalian dari rescalling factor dari band Thermal Infrared (TIR) yang berhubungan dengan band TIR tersebut dan ditambah menambahkan additive factor. Formula untuk mengubah nilai digital (DN) dari piksel-piksel obyek pada citra menjadi nilai radiansi spektral adalah sebagai berikut: = +... (3) 13

14 Keterangan : L λ = TOA radiance /nilai radiansi (Watts/(m2*srad*µm)) M L = Band-specific multiplicative rescaling factor (radiance_mult_band_10/11) A L = Band-specific additive rescaling factor = DN pada setiap piksel dalam band citra Landsat (DN) Q cal I Mengubah Nilai Radiansi Menjadi Suhu Kecerahan. Suhu kecerahan/ Brightness Temperature (TB) merupakan radiasi gelombang mikro yang bergerak menuju ke lapisan atas atmosfer bumi (Rajeshwari, 2014). Nilai suhu kecerahan ini didapatkan dengan mengubah nilai radiansi menjadi nilai suhu kecerahan. Suhu kecerahan untuk kedua band TIR dihitung dengan persamaan berikut: =... (4) Dimana : T(K) K1 dan K2 Lλ = suhu kecerahan (K) untuk setiap piksel = konstanta kalibrasi = radiansi spektral yang diterima oleh sensor untuk setiap piksel I Mengubah Suhu Kecerahan Menjadi Suhu Permukaan. Proses ini bertujuan untuk mengubah nilai temperatur radian menjadi temperatur pada permukaan tanah yang terkoreksi. Suhu permukaan merupakan suhu obyek sesuai dengan nilai emisivitasnya, yang ditentukan dengan formula : C 10 =...(5) Dimana: ε = nilai emisivitas τ 10 = nilai transmisi atmosferik band 10 ( ) C 11 =...(6) 14

15 Dimana: ε = citra emisivitas yang telah dibuat sebelumnya τ 11 = nilai transmisi atmosferik band 11 ( ) D 10 = (1 )(1 + (1 10)...(7) D 11 = (1 )(1 + (1 11)...(8) E 0 = D 11 *C 10 D 10 *C 11...(9) E 1 = D 11 *(1-C 10 -D 10 )/E 0...(10) E 2 =D 10 *(1-C 11 -D 11 )/E 0...(11) A= D 10 /E 0...(12) A 0 = E 1 *a 10 +E 2 *a 11...(13) A 1 =1+A+E 1 *b 10...(14) A 2 =A+E 2 *b (15) Persamaan terakhir untuk mendapatkan suhu permukaan adalah sebagi berikut: Ts = A 0 +A 1 *T 10 -A 2 *T 11...(16) Keterangan: Ts = suhu permukaan (K) A 0 = hasil perhitungan langkah 13 A 1 = hasil perhitungan langkah 14 A 2 = hasil perhitungan langkah 15 T 10 = suhu kecerahan band 10 15

16 T 11 = suhu kecerahan band 11 Hasil akhir dari ekstraksi ini berupa suhu permukaan dalam satuan Kelvin, untuk merubah ke satuan Celcius dapat dihitung dengan suhu permukaan (Kelvin) dikurangi 273 I Mono Window Algorithm Metode Mono Window Algorith (MWA) merupakan salah satu metode untuk menghasilkan informasi suhu permukaan dari citra Landsat dengan tiga parameter yaitu emisivitas, transmisi dan rata-rata efektif temperatur atmosfer (Qin, 2001). Perbedaan dengan SWA sendiri lebih ke jumlah saluran thermal yang dipakai, dimana pada MWA hanya satu saluran atau band yang dipakai, sedangkan pada SWA menggunakan dua saluran thermal. Analisis sensitifitas dari algoritma ini mengindikasikan bahwa kesalahan yang mungkin terjadi dari emisivitas tanah, dimana sulit untuk di estimasi, mempuyai dampak yang relatif tidak signifikan pada kesalahan yang mungkin terjadi pada penentuan LST, justru dapat mempengaruhi kesalahan transmisi dann suhu rata-rata atmosfer. Validasi lapangan menunjukan bahwa algoritma ini mampu menyajikan data LST yang cukup akurat dari citra landsat. I.8.5 Urban Heat Island Urban Heat Island (UHI) adalah karakteristik panasnya daerah urban dibandingkan dengan daerah non urban (Iswanto, 2008). Secara umum, UHI mengacu pada pertambahan suhu udara, tetapi juga bisa mengacu pada panas relatif permukaan atau material sub permukaan. UHI adalah perubahan iklim akibat ketidakhati-hatian karena modifikasi atmosfer dan permukaan pada daerah urban. UHI mempunyai implikasi penting bagi kenyamanan manusia, polusi udara urban, manajemen energi, dan perencanaan kota. I.8.5.1Sebab-sebab urban heat island. Menurut Voogt (200 3) formasi urban heat island dipengaruhi oleh karakteristik permukaan dan kondisi atmosferik. Tambahan panas langsung 16

17 kepada atmosfer melalui aktivitas manusia, yang dikenal sebagai panas antropogenik dapat memainkan peran penting dalam pembentukan UHI. Penyebab-penyebab itu secara lebih rinci sebagai berikut. a. Geometri Permukaan. Geometri permukaan berarti penghalangan langit oleh bangunan dan objek-objek lain pada permukaan urban yang diekspresikan sebagai sky view factor. b. Properti termal permukaan. Material bangunan urban adalah penyimpanan panas yang lebih baik. c. Kondisi permukaan. Bangunan urban yang tahan air dan pengaspalan mengurangi evaporasi; energi lebih banyak diarahkan pada panas sensibel yang dapat memanaskan udara daripada panas laten. d. Panas antropogenik. Panas yang dilepaskan oleh energi urban yang digunakan pada bangunan dan kendaraan dan juga dari manusia. e. Efek rumah kaca urban. Atmosfer urban yang terpolusi dan lebih panas mengeluarkan radiasi termal berlebih ke arah bawah menuju permukaan kota. f. Angin dan awan. UHI yang paling kuat dapat diamati ketika langit cerah dan angin tenang. g. Adveksi. Adveksi skala lokal yang dipelopori oleh sirkulasi pulau panas dapat memodifikasi suhu lokal dan kelembaban dan mengubah tingkat pendinginan. Faktor yang paling dominan penyebab dari beberapa faktor diatas adalah panas antropogenik. Pesatnya urbanisasi dan industrialisasi menyebabkan pembangunan pemukiman dan kawasan industri semakin tinggi pula, akibatnya kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan untuk vegetasi ikut berubah fungsi. Pertumbuhan tersebut juga diikuti pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor, sehingga gas buang kendaraan di udara juga semakin tinggi. I Dampak Urban Heat Island. UHI dapat menimbulkan dampak positif dan negatif bagi kota. Untuk kota beriklim hangat, atau kota iklim temperate pada musim panas, UHI meningkatkan 17

18 penggunaan energi untuk pendingin udara. Peningkatan permintaan akan energi dapat berbalik meningkatkan emisi gas rumah kaca yang digunakan untuk menyalakan listrik dan mendegradasikan kualitas udara. Pada iklim yang lebih dingin, UHI dapat memberikan efek positif seperti pengurangan penggunaan energi pada musim dingin, mengurangi panjangnya tutupan salju, dan masa tumbuh tanaman yang lebih lama (Iswanto, 2008). I.8.6. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan berkaitan dengan jenis kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu, sedangkan penutup lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesland dan Kiefer, 1979).Penggunaan lahan dapat diselidiki atau dilacak melalui penutup lahan yang dapat dilihat melalui interpretasi foto udara ataupun interpretasi citra satelit (Sutanto, 19 94).Berbeda dengan informasi penutup lahan yang dapat dikenali secara langsung menggunakan penginderaan jauh yang tepat, informasi tentang penggunaan lahan tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutup lahannya. I.8.7. Skema Klasifikasi Skema klasifikasi adalah alur atau tahapan pelaksanaan penggolongan objek ke dalam kelas-kelas berdasarkan kriteria tertentu (Kartini, 1999). Skema klasifikasi menurut SNI 7645:2010 adalah : Tabel I.5 Skema klasifikasi penggunaan lahan menurut SNI 7645:2010 No. Kelas Penutup Lahan 1 Daerah bervegetasi (vegetated area atau vegetated land) 1.1 Daerah pertanian Sawah Ladang, tegal, atau huma Perkebunan 1.2 Daerah bukan pertanian Hutan lahan kering Hutan lahan basah Semak dan belukar 18

19 1.2.4 Padang rumput, alang-alang, dan sabana Rumput rawa 2 Daerah tak bervegetasi 2.1 Lahan terbuka 2.2 Permukiman dan lahan bukan pertanian yanng berkaitan Lahan terbangun Permukiman Jaringan jalan Jalan arteri Jalan kolektor Jaringan jalan kereta api Bandar udara domestik/internasional Pelabuhan laut Lahan tidak terbangun 2.3 Perairan Danau atau waduk Rawa Sungai Anjir pelayaran Terumbu karang Pada penelitian ini menggunakan skema klasifikasi dengan modifikasi sesuai keadaan objek yang ada di Kota Solo kelas penutup lahan pada level ketiga seperti yang disajikan pada tabel I.6 berikut : Tabel I.6. Pemilihan skema klasifikasi hasil modifikasi No. Level Penutup Lahan Kelas Hasil Modifikasi Daerah pertanian Daerah Pertanian Daerah bukan pertanian Daerah non-pertanian Lahan terbuka Lahan Terbuka Permukiman dan lahan bukan pertanian yang berkaitan Permukiman dan Lahan Terbangun Perairan Perairan 19

20 Modifikasi diatas didasarkan pada kondisi lokasi penelitian yang tidak semua tutupan lahan pada SNI terdapat di daerah penelitian. Selain itu, resolusi spasial citra sebesar 30x30 meter tidak memungkinkan untuk dilakukan klasifikasi dengan level yang lebih detil. I.8.8. Klasifikasi digital Klasifikasi digital adalah cara yang digunakan untuk mengenali, menentukan letak dan melakukan pengelompokan obyek menjadi kelas-kelas tertentu menggunakan acuan kesamaan nilai spektral tiap piksel (Gonzalez, 1977 dalam Kartini, 1999). Menurut Danoedoro (2012), klasifikasi citra multispektral dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan tingkat otomasinya, yaitu klasifikasi terkontrol ( supervised classification) dan klasifikasi tidak terkontrol (unsupervised classfication). Penelitian ini menggunakan jenis klasifikasi terkontrol dimana kelas objek dibagi berdasarkan nilai piksel sampel dari tiap kelas. I Klasifikasi maximum likelihood. Menurut Lillesand (1994) klasifikasi maximum likelihoo d merupakan metode klasifikasi yang mengevaluasi secara kuantitatif varian maupun korelasi pola tanggapan spektral kategori ketika mengklasifikasi pixel yang tidak dikenal. Algoritma maximum likelihood secara statistik dikatakan sebagai algoritma yang paling mapan karena mendasarkan perhitungan kemiripan setiap piksel dengan asumsi bahwa objek homogen selalu menghasilkanhistograam yang terdistribusi normal. Piksel diklasifikasikan sebagai kelas tertentu bukan karena jarak eklidiannya, melainkan karena bentuk, ukuran, dan orientasi sampel berupa elipsoida. Ukuran elipsoida ditentukan oleh variasi pada tiap saluran, sedangkan bentuk dan orientasi elipsoida ditentukan oleh kovariannya (Danoedoro, 2012). Persamaan yang digunakan dalam algoritma ini ialah : = {0.5 ln(det )} {0.5 ( ) ( )}... (17) 20

21 Maka piksel yang bersangkutan termasuk kelas c. Keterangan : Pc = jarak suatu kelas tertentu yang diberi bobot c = suatu kelas tertentu X = vektor piksel yang diklasifikasi µc = vektor rerata sampel kelas c Vc = matriks kovarian piksel-piksel pada sampel kelas c I.8.9. Uji ketelitian klasifikasi Sangat penting mengetahui ketelitian hasil klasifikasi sebelum hasil klasifikasi tersebut dianalisis lebih lanjut (Sutanto, 1994). Ketelitian hasil klasifikasi menentukan apakah hasil klasifikasi digital sesuai dengan kondisi daerah sebenarnya. Uji ketelitian membutuhkan data sumber untuk untuk membandingkan hasil klasifikasi. Menurut Sutanto (1994) metode uji ketelitian klasifikasi dapat menggunakan point sampling accuracy dengan tahapan sebagi berikut : 1. Melakukan pengecekan lapangan pada beberapa titik uji yang dipilih dari setiap kelas objek. 2. Menilai kecocokan hasil klasifikasi dengan kondisi sebenarnya di lapangan. 3. Membuat matrik perhitungan setiap kesalahan (confusion matrix) pada kelas objek hasil klasifikasi sehingga diketahui tingkat ketelitiannya. Ketelitian analisis dibuat dalam beberapa kelas X yang dihitung dengan rumus (Short dan Nicholas, 1982) : = 100%... (18) Keterangan : MA Xcr Xo = ketelitian klasifikasi (Map Accuracy) = jumlah piksel kelas yang benar (Correct) = jumlah piksel kelas X yang masuk kelas lain (Ommision) 21

22 Xco = jumlah piksel kelas X tambahan dari kelas lain (Commision) Akurasi hasil identifikasi diuji menggunakan tabel matrik konfusi (confusionmatriks). Tabel matrik konfusi merupakan derivasi dari penjumlahan omisi, komisi,dan keseluruhan penelitian pemetaan (Short dan Nicholas, 1982). Omisi adalahjumlah kesalahan interpretasi dari objek X dibagi jumlah seluruh objek yangdiinterpretasi. Komisi adalah jumlah objek lain yang diinterpretasikan sebagai objekx dibagi jumlah seluruh objek yang diinterpretasi. Tabel tersebut juga memberikaninformasi nilai akurasi keseluruhan ( overall accuracy) masingmasing kelas. Nilai overall accuracy minimal untuk memenuhi syarat batas penentuan hasil klasifikasiditerima atau tidak adalah 85% (Short dan Nicholas, 1982). Overall accuracy menunjukkan banyaknya jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar pada tiapkelas dibanding jumlah sampel yang digunakan untuk uji akurasi pada semua kelas.rumus untuk menghitung overall accuracy, dinyatakan sebagai berikut : = 100%... (19) Keterangan : Σ diagonal N = banyaknya jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar pada tiap kelas = jumlah sampel yang digunakan untuk uji akurasi pada semua kelas I Density Slicing Density slicing merupakan suatu teknik operasi yang berasumsi bahwa tiap obyek pada citra dengan saluran tertentu memiliki rentang kecerahan tertentu yang dapat dipilah dalam kelas interval yang menggambarkan kenampakan obyek secara umum (Widiastuti, 2013). Tiap interval diberi warna penanda yang unik dan berbeda dengan interval lain agar terlihat jelas perbedaannya. Syarat utama density slicing adalah adanya rentanng nilai tiap obyek, rentang ini menentukan hasil klasifikasi dan menghasilkan color mapping. Nilai kecerahan obyek pada 22

23 citra tidak akan berubah masih tetap seperti semula, teknik ini hanya merepresentasikan nilai kecerahan tersebut kedalam warna berbeda. Nilai kecerahan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah informasi suhu yang terdapat pada tiap piksel pada citra thermal. I.9. Hipotesis Berdasarkan dasar teori dan tinjauan pustaka, maka hipotesis dari penelitin ini adalah tipee tutupan lahan berupa lahan terbangun akan mempunyai suhu permukaan tertinggi di Kota Solo, sehingga pola sebaran suhu tertinggi atau Urban Heat Island akan menyebar di pusat kota di sebelah tenggara dan utara dimana pada lokasi tersebut pembangunan fisik (lahan terbangun) paling tinggi di Kota Solo. 23

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh sistem satelit merupakan salah satu alat yang bermanfaat untuk mengukur struktur dan evolusi dari obyek ataupun fenomena yang ada di permukaan bumi.

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi PERBANDINGAN EKSTRAKSI BRIGHTNESS TEMPERATUR LANDSAT 8 TIRS TANPA ATMOSPHERE CORRECTION DAN DENGAN MELIBATKAN ATMOSPHERIC CORRECTION UNTUK PENDUGAAN SUHU PERMUKAAN Farid Ibrahim 1, Fiqih Atriani 2, Th.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan pembangunan membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan lingkungan di sekitarnya. Kegiatan pembangunan meningkatkan kebutuhan manusia akan lahan.

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) ANALISA RELASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN SUHU PERMUKAAN TANAH DI KOTA SURABAYA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTISPEKTRAL TAHUN 1994 2012 Dionysius Bryan S, Bangun Mulyo Sukotjo, Udiana Wahyu D Jurusan

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

Penginderaan Jauh Dan Interpretasi Citra Khursanul Munibah Asisten : Ninda Fitri Yulianti

Penginderaan Jauh Dan Interpretasi Citra Khursanul Munibah Asisten : Ninda Fitri Yulianti Penginderaan Jauh Dan Interpretasi Citra Khursanul Munibah Asisten : 1. Muh. Tufiq Wiguna (A14120059) 2. Triawan Wicaksono H (A14120060) 3. Darwin (A14120091) ANALISIS SPEKTRAL Ninda Fitri Yulianti A14150046

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016 ANALISIS FENOMENA PULAU BAHANG (URBAN HEAT ISLAND) DI KOTA SEMARANG BERDASARKAN HUBUNGAN ANTARA PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DENGAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA MULTI TEMPORAL LANDSAT Almira Delarizka,

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Data Ada 3 data utama yang digunakan dalam penelitian ini. Data yang pertama adalah data citra satelit Landsat 7 ETM+ untuk daerah cekungan Bandung. Data yang

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang memerlukan banyak bangunan baru untuk mendukung

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang memerlukan banyak bangunan baru untuk mendukung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksistensi Penelitian Perkembangan dan pembangunan yang terjadi di perkotaan membuat kawasan kota menjadi semakin padat. Salah satu penyebabnya adalah pertambahan jumlah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission A. Satelit Landsat 8 Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada beberapa tahun terakhir, kegiatan urbanisasi semakin meningkat, tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan berdampak dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan pada suatu negara dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas dari pemerintahan suatu negara. Pembangunan wilayah pada suatu negara dapat

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

PEMETAAN LAHAN TERBANGUN PERKOTAAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN NDBI DAN SEGMENTASI SEMI-AUTOMATIK

PEMETAAN LAHAN TERBANGUN PERKOTAAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN NDBI DAN SEGMENTASI SEMI-AUTOMATIK PEMETAAN LAHAN TERBANGUN PERKOTAAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN NDBI DAN SEGMENTASI SEMI-AUTOMATIK Iswari Nur Hidayati1, Suharyadi2, Projo Danoedoro2 1 Program Doktor pada Program Studi Geografi UGM 2 Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN DOSEN

LAPORAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN DOSEN LAPORAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN DOSEN ANALISIS TRANSFORMASI CITRA DAN PENGGUNAAN/PENUTUP LAHAN TERHADAP URBAN HEAT ISLAND BERBASIS CITRA PENGINDERAAN JAUH ISWARI NUR HIDAYATI Laboratorium Penginderaan

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian  3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan 5 Tabel 2 Kisaran nilai albedo (unitless) tiap penutup lahan Penutup Lahan Albedo (Unitless) Min Max Mean Hutan alam 0.043 0.056 0.051 Agroforest Karet 0.048 0.058 0.052 Monokultur 0.051 0.065 0.053 Karet

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh 4 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, dan fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari suatu

Lebih terperinci

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert.

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 6 memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 2.7. Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG Vembri Satya Nugraha vembrisatyanugraha@gmail.com Zuharnen zuharnen@ugm.ac.id Abstract This study

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SALURAN THERMAL INFRARED SENSOR (TIRS) LANDSAT 8 UNTUK ESTIMASI TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN

PEMANFAATAN SALURAN THERMAL INFRARED SENSOR (TIRS) LANDSAT 8 UNTUK ESTIMASI TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN PEMANFAATAN SALURAN THERMAL INFRARED SENSOR (TIRS) LANDSAT 8 UNTUK ESTIMASI TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN Ajun Purwanto 1, Agus Sudiro 2 1,2 Program Sudi Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo)

Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo) Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo) Nurul Aini Dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 3.1 Data BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Landsat-5 TM, path 122 row 065, wilayah Jawa Barat yang direkam pada 2 Juli 2005 (sumber: LAPAN). Band yang digunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan Sukristiyanti et al. / Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid 17 No.1 ( 2007) 1-10 1 Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan SUKRISTIYANTI a, R. SUHARYADI

Lebih terperinci

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

Meidi Nugroho Adi Sudaryatno

Meidi Nugroho Adi Sudaryatno PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 8 UNTUK PENENTUAN ZONASI KEKERINGAN PERTANIAN DI SEBAGIAN KABUPATEN GROBOGAN DENGAN METODE TVDI (TEMPERATURE VEGETATION DRYNESS INDEX) Meidi Nugroho Adi meidi_nugroho@yahoo.com

Lebih terperinci

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh : Hernandi Kustandyo (3508100001) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa diidentifikasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Diah Witarsih dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban

Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban A630 Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban Dhiyaulhaq Al Majid dan Bangun Muljo Sukojo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

SEBARAN TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KOTA MALANG

SEBARAN TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KOTA MALANG SEBARAN TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KOTA MALANG FANITA CAHYANING ARIE Jurusan Teknik Planologi, Institut Teknologi Nasional Malang Email : fnita3pantimena@gmail.com

Lebih terperinci

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso) JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Mar, 2013) ISSN: 2301-9271 Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip April 2017

Jurnal Geodesi Undip April 2017 ANALISIS HUBUNGAN VARIASI LAND SURFACE TEMPERATURE DENGAN KELAS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT LANDSAT (Studi Kasus : Kabupaten Pati) Anggoro Wahyu Utomo, Andri Suprayogi, Bandi Sasmito *)

Lebih terperinci

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya PEMBAHASAN 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya Pemetaan Geomorfologi,NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah Pemetaan Geomorfologi

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI Koreksi Geometrik

BAB II DASAR TEORI Koreksi Geometrik BAB II DASAR TEORI 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Grafik Suhu Permukaan Global Menunjukkan Tren Pemanasan

1 BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Grafik Suhu Permukaan Global Menunjukkan Tren Pemanasan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengantar 1.1.1 Latar Belakang Pemanasan global selalu menjadi trending topic perbincangan hampir seluruh masyarakat di dunia. Isu-isu hangat terkait pemanasan global seakan tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

BAB II PELAKSANAAN...

BAB II PELAKSANAAN... KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan karunia, kasih sayang dan ridha-nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul Pemantauan Kawasan Sabuk Hijau Waduk

Lebih terperinci