SKRIPSI YOGI KARSONO F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKRIPSI YOGI KARSONO F"

Transkripsi

1 PENGARUH UMUR KOAGULAN WHEY TAHU DAN SUHU AWAL PROSES KOAGULASI TERHADAP POLA ELEKTROFORESIS PROTEIN TERKOAGULASI DAN MUTU TEKSTUR CURD KEDELAI (Glycine max) SKRIPSI YOGI KARSONO F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 The Effect of Coagulant-Tofu Whey s Age and Initial Temperature of Coagulation Process to The Electrophoretic Pattern of Coagulated Protein and Texture Quality of Soybean Curd (Glycine max) Yogi Karsono 1, Dahrul Syah 1 dan Dadang Supriatna 2 1 Departement of Food Science and Technology, Bogor Agricultural University, Kampus IPB Dramaga Bogor 16002, Indonesia 2 Center for Agro-Based Industry, Industrial-Ministry Republic of Indonesia, Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122, Indonesia ABSTRACT Nowadays consumer preference in consuming food is not only about nutrition value but also good shape, taste, and mouthfeel. Tofu is nutritious food that belongs to curd-basis food. Tofu needs good shape, taste, and mouthfeel so it can be accepted by consumer. One of the tofu mouthfeel parameter is texture. Curd/tofu texture is influenced by soybean quality, coagulant type, coagulation process, and curd protein composition. Whey or tofu whey, one of the acid coagulant types, is usually used by tofu industries in Indonesia. The Influences of whey age and initial temperature of coagulation process to coagulated protein electrophoretic pattern and texture quality of curd have been studied by this research. There were three aged-difference whey; one, two and three-days, and two initial temperature of coagulation process; 63 o C and 83 o C, used in this research. One, two, and three-days whey have different ph value which are 3.81, 3.83, and 3.87 respectively. Different whey age causes different texture profile. Three-days whey produced curd with lowest hardness value, 1.48 kg Force at 63 o C and 1.98 kg Force at 83 o C. Hardness value has direct proportional correlation with cohesiveness, gumminess, and springiness. Two-days whey produced curd with highest hardness value, 1.74 kg Force at 63 o C and 2.66 kg Force at 83 o C. Hardness has proportional correlation with portion of glycinin, glycinin/β-conglycinin ratio and curd protein content. But hardness has inversely correlation with curd water content, portion of β-conglycinin, and curd solid content. Different coagulation temperature also causes different texture profile. Keywords: curd, whey, tofu, texture, protein, coagulation

3 Yogi Karsono. F Pengaruh Umur Koagulan Whey Tahu dan Suhu Awal Proses Koagulasi terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi dan Mutu Tekstur Curd Kedelai (Glycine max). Di bawah bimbingan Dahrul Syah dan Dadang Supriatna RINGKASAN Curd kedelai adalah produk hasil koagulasi (penggumpalan) protein susu kedelai menggunakan bahan penggumpal (koagulan). Koagulasi protein menjadi bagian penting dalam pengolahan produk pangan seperti curd. Proses koagulasi protein berpengaruh terhadap pembentukan matriks curd yang berimplikasi terhadap karakteristik mutu produk akhir, khususnya tekstur. Karakteristik koagulan dan kondisi koagulasi akan memberikan hasil koagulasi yang berbeda dan mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap tekstur curd yang dihasilkan. Kondisi koagulasi yang berpengaruh terhadap mutu tekstur curd antara lain: suhu, waktu, ph, dan kecepatan pengadukan selama proses koagulasi. Whey tahu atau biang tahu merupakan salah satu koagulan jenis asam yang banyak digunakan oleh industri tahu skala kecil dan menengah di Indonesia. Pada penggunaan koagulan whey tahu, kemampuan dalam menggumpalkan protein kedelai dipengaruhi oleh umur dan konsentrasi koagulan yang ditambahkan. Selain itu, suhu ketika koagulan whey tahu ditambahkan juga berpengaruh terhadap kemampuannya dalam menggumpalkan protein kedelai. Pengetahuan mengenai pengaruh proses koagulasi, baik umur koagulan whey tahu maupun suhu awal proses koagulasi, terhadap mutu tekstur curd yang diperoleh akan membantu para pelaku industri tahu skala kecil dan menengah dalam memproduksi tahu yang berkualitas dan konsisten secara organoleptik. Melalui penelitian ini, telah dipelajari pengaruh umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi terhadap profil whey pres dan curd hasil koagulasi protein kedelai dan pola elektroforesis protein yang muncul, serta pengaruhnya terhadap mutu tekstur curd yang dihasilkan, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang diperlukan dalam pengembangan produk berbasis curd. Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu: 1) tahap penelitian pendahuluan yang meliputi karakterisasi ph koagulan whey tahu dan penentuan standar pembuatan curd, 2) tahap penelitian utama yang meliputi pembuatan curd, pelarutan protein curd dan analisis curd serta whey curd. Curd diperoleh melalui proses koagulasi protein susu kedelai KOPTI pada suhu awal proses koagulasi 63 o C dan 83 o C dengan menggunakan koagulan whey tahu berumur 1, 2, dan 3 hari sebanyak 20% (v/v) susu kedelai. Analisis yang dilakukan pada tahap penelitian utama meliputi analisis tekstur curd secara objektif dan subjektif, analisis kadar protein Kjeldahl, analisis kadar air, analisis ph whey pres, analisis transmitan dan kadar protein whey pres, pelarutan protein, analisis kadar protein terlarutkan, dan analisis SDS-PAGE. Perlakuan yang berbeda terhadap suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey tahu memberikan variasi pada profil whey pres dan curd hasil koagulasi protein. Profil whey pres dan curd hasil koagulasi ini dapat diamati melalui pengukuran parameter-parameter kimia seperti ph whey (ph koagulasi), kadar protein whey, transmitan whey, kadar protein curd, kadar air curd, massa curd, serta total padatan curd. Semakin tua umur koagulan whey tahu yang digunakan, semakin tinggi ph koagulasi yang diperoleh. Suhu awal proses koagulasi juga berpengaruh terhadap ph koagulasi atau ph whey pres. Suhu awal proses koagulasi 63 o C menghasilkan curd dengan ph whey pres yang lebih rendah ( ) dibandingkan suhu awal proses koagulasi 83 o C ( ). Selain itu, curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C memiliki kandungan protein (b/b) yang lebih rendah (8.99%-10.73%) dan kadar air (b/b) yang lebih tinggi (81.45%-82.25%) dibandingkan dengan curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 83 o C (kadar protein (b/b) berkisar antara 11.46% sampai 12.84%; kadar air (b/b) = 79.59%-80.19%). Kondisi ph optimum untuk koagulasi protein kedelai KOPTI berada pada kisaran ph 5.42 yang diperoleh pada suhu awal proses koagulasi 83 o C dan penambahan koagulan whey tahu berumur 1 hari (ph 3.81).

4 Pita-pita protein hasil SDS-PAGE secara visual tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Protein yang diekstrak dari curd dengan berbagai perlakuan menghasilkan pola pita yang hampir sama atau bahkan sama dan diduga sebagian besar protein dalam curd adalah globulin, yang terdiri atas subunit-subunit glisinin dan β-konglisinin. Oleh karena itu, dilakukan analisis densitas pita protein. Rata-rata curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C memiliki proporsi glisinin sebesar 73.27%, lebih rendah dari rata-rata proporsi glisinin pada curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 83 o C (75.21%). Rata-rata β-konglisinin dalam curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C lebih tinggi, sekitar 26.73%, dibandingkan dengan rata-rata β-konglisinin dalam curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 83 o C (24.79%). Proporsi glisinin tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan penggunaan umur koagulan whey tahu berumur 2 hari, sedangkan proporsi terendah diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan penggunaan koagulan whey tahu berumur 2 hari. Proporsi β-konglisinin berbanding terbalik dengan proporsi glisinin. Parameter tekstur curd yang diamati secara objektif menggunakan instrumen TA-XT2i menunjukkan bahwa nilai kekerasan sampel curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C lebih rendah daripada curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 83 o C dengan nilai kisaran masing-masing kg F dan kg F. Kisaran nilai untuk parameter kohesivitas dan daya kunyah sampel curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C dan 83 o C masing-masing adalah % dan % serta kg F dan kg F. Baik pada suhu awal proses koagulasi 63 o C maupun 83 o C, koagulan whey tahu berumur 3 hari menghasilkan curd yang paling lunak dibandingkan dengan koagulan whey tahu berumur 1 dan 2 hari. Curd yang paling keras, dengan nilai kekerasan paling tinggi, diperoleh dari penggunaan koagulan whey tahu berumur 2 hari. Nilai kekerasan curd berkorelasi positif/berbanding lurus dengan kadar protein, proporsi glisinin, dan rasio glisinin dengan β-konglisinin dalam protein curd pada taraf 5%. Namun, pada taraf yang sama, nilai kekerasan curd berkorelasi negatif/berbanding terbalik dengan proporsi β-konglisinin, kadar air, dan total padatan dalam curd. Jadi, kekerasan curd dipengaruhi oleh profil curd hasil koagulasi (kadar protein, kadar air, dan total padatan curd) dan proporsi protein penyusun curd. Penilaian kekerasan tekstur curd secara subjektif dilakukan dengan menggunakan persamaan hubungan antara nilai objektif dan subjektif tekstur curd komersial, yang secara matematis dirumuskan y = 2.876x (R 2 = 0.935), dengan x mewakili nilai kekerasan objektif curd dan y mewakili nilai kekerasan subjektif curd. Berdasarkan persamaan di atas, curd yang dihasilkan dari perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey memiliki nilai kekerasan subjektif berkisar 5.63 hingga 9.00 pada skala garis uji rating yang panjangnya 15 cm, dari sangat lunak (0) hingga sangat keras (15). Curd paling keras diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 2 hari. Sedangkan curd paling lunak diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 3 hari. Meskipun kekerasan yang dihasilkan bervariasi antar perlakuan, uji rating skala garis menunjukkan bahwa curd yang dihasilkan memiliki kekerasan sedang.

5 PENGARUH UMUR KOAGULAN WHEY TAHU DAN SUHU AWAL PROSES KOAGULASI TERHADAP POLA ELEKTROFORESIS PROTEIN TERKOAGULASI DAN MUTU TEKSTUR CURD KEDELAI (Glycine max) SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh YOGI KARSONO F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

6 Judul Skripsi : Pengaruh Umur Koagulan Whey Tahu dan Suhu Awal Proses Koagulasi terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi dan Mutu Tekstur Curd Kedelai (Glycine max) Nama : Yogi Karsono NIM : F Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II (Dr. Ir. Dahrul Syah) (Ir. Dadang Supriatna, M.P.) NIP : NIP : Mengetahui, Ketua Departemen (Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP : Tanggal Ujian Sarjana : 15 Desember 2010

7 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Umur Koagulan Whey Tahu dan Suhu Awal Proses Koagulasi Terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi dan Mutu Tekstur Curd Kedelai (Glycine max) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, 15 Desember 2010 Yang membuat pernyataan Yogi Karsono F iii

8 Hak cipta milik Yogi Karsono, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya iv

9 BIODATA PENULIS Yogi Karsono. Lahir di Pemalang, Jawa Tengah, 8 Mei 1988 dari ayah Salamun dan ibu Rianah, sebagai putra pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2006 dari SMAN 1 Pemalang, dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun ke-2 penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjalani studi, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) IPB, Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI) Komisariat IPB, majalah Emulsi, dan Ikatan Mahasiswa Pelajar Pemalang (IMPP) IPB. Penulis juga pernah mengikuti beberapa kegiatan seminar dan pelatihan seperti Pelatihan Leadership and Entrepreneurship School (LES) BEM KM IPB tahun 2007, Pelatihan Penyuluh PMTAS (Penyuluhan Makanan Tambahan Anak Sekolah) tahun 2008, Seminar Food Ethics, Culture, and Regulation oleh Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan (HMTP) UPH tahun 2009, dan Pelatihan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) with ISO Himitepa tahun Pada tahun ajaran 2009/2010 penulis menjadi asisten praktikum Evaluasi Sensori dan Pengantar Komputer di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Selain aktif dalam organisasi kemahasiswaan, penulis juga mengikuti berbagai kompetisi nasional dalam bidang inovasi pangan dan bisnis dengan hasil yang cukup membanggakan, diantaranya Juara I National Food Innovation HMTP UPH tahun 2009, Juara I National Food Innovation Competition Himitepa IPB tahun 2009, Juara I Agroindustrial Product Competition Himalogin IPB tahun 2009, Peserta Trust Day Trust by Danone Danone Indonesia tahun 2010, Juara II Functional Food Poster Competition Ilmagi UGM tahun 2010, Juara I National Product Design Competition Hi-Great 2010 Himatitan Universitas Brawijaya tahun 2010, Juara I dan Juara Favorit National Food Technology Competition 2010 BEM FTP Unika Widya Mandala Surabaya tahun Berbagai kompetisi di atas mengantarkan penulis menjadi salah satu Mahasiswa Berprestasi IPB di Bidang Ekstrakurikuler pada tahun Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Umur Koagulan Whey Tahu dan Suhu Awal Proses Koagulasi terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi dan Mutu Tekstur Curd Kedelai (Glycine max) di bawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah dan Ir. Dadang Supriatna, M.P. v

10 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Pengaruh Umur Koagulan Whey Tahu dan Suhu Awal Proses Koagulasi terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi dan Mutu Tekstur Curd Kedelai (Glycine max) dilaksanakan di Laboratorium SEAFAST Center IPB dan Laboratorium Departemen ITP IPB sejak bulan Maret sampai November Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Dahrul Syah selaku dosen pembimbing akademik atas waktu, arahan, kritik, saran dan seluruh bentuk bimbingan yang diberikan. 2. Ir. Dadang Supriatna, M.P. selaku pembimbing lapang atas waktu, arahan, kritik, dan saran yang mendukung terselesaikannya skripsi ini. 3. Faleh Setia Budi, S.T., M.T. selaku dosen penguji atas waktu, kritik, dan saran yang diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 4. Orang tuaku tercinta, Bapak Salamun dan Ibu Rianah, serta adik-adikku tersayang, Sri Wilujeng dan Alip Santoso, atas segala bentuk dukungan, semangat, dan doa yang diberikan hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 5. Mba Dilla atas waktu, kritik, saran, dan bantuannya selama ini. 6. Teman satu bimbingan dan satu perjuangan, Victor dan Mba Dita, atas kebersamaan, kerja sama dan bantuannya selama ini. 7. Teman-teman panelis terlatih dalam bidang kekerasan tekstur curd, Trancy, Tami, Melia, Nadea, Lukman, Rozak, Belinda, Rossy, Ajeng, Nadiah, dan Chintia, atas kerja sama dan bantuannya selama ini. 8. Teman-teman laboratorium biokimia pangan dan SEAFAST, mba Maya, mba Dwi, mba Vidi, mba Elvi, Widi, Wina, Neng, Vani, Ipit, Jupe, Tsani, Yurin, mas Nono, mba Alin, dan mas Arif, atas kebersamaan dan bantuannya selama ini. 9. Sahabat-sahabatku, Ega, Abdi, Aan, Anto, Stef, Pram, Sadek, Yua, Henni, Laras, Eri, Helen, Pales, Sandra, Septi, Wejhe, Erick, Iyus, Widi, Rincil, dan Tito, atas persahabatannya selama ini dan atas semua dukungan dan doa yang mendukung terselesaikannya skripsi ini. 10. Dini Queentasari, atas kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini, serta atas canda, tawa, dan doa yang selalu memberikan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 11. Laboran yang saya hormati Abah, pak Jun, pak Deni, bu Rub, pak Gatot, pak Wahid, pak Yahya, pak Sidiq, pak Rojak untuk semua bimbingan, bantuan dan dukungan yang diberikan. 12. Sahabat-sahabatku ITP 43, 42, 44, 45, 46, dan keluarga besar ITP. 13. Semua pihak yang sudah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan memberikan kontribusi nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pangan khususnya pembuatan curd kedelai. Bogor, Desember 2010 Yogi Karsono vi

11 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG TUJUAN HIPOTESIS MANFAAT... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA KEDELAI Komposisi Kimia Kedelai Protein Kedelai Gelasi Protein Kedelai KOAGULASI DAN KOAGULAN CURD KEDELAI WHEY CURD PELARUTAN PROTEIN TEKNIK ELEKTROFORESIS DALAM ANALISIS PROTEIN TEKSTUR III. METODOLOGI PENELITIAN BAHAN DAN ALAT TAHAPAN PENELITIAN Tahap Penelitian Pendahuluan Tahap Penelitian Utama PROSEDUR ANALISIS Analisis Kadar Air Metode Oven Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl Analisis ph dan Transmitan Whey Pres Pelarutan Protein Analisis Kadar Protein Metode Bradford Analisis SDS-Polyacrylamide Gel Electrophoresis Analisis Densitas Pita Protein Analisis Tekstur Curd secara Objektif Analisis Kekerasan Curd secara Subjektif RANCANGAN PERCOBAAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN TAHAP PENELITIAN PENDAHULUAN Penguasaan Teknik Pembuatan Curd vii

12 4.1.2 Penentuan Standar Pembuatan Curd Karakterisasi ph koagulan Whey Tahu (Biang Tahu) Diazara Tresna Penentuan Jumlah Koagulan yang Ditambahkan Penentuan Suhu dan Waktu Koagulasi serta Jumlah Pengadukan Penentuan Tekanan Pres TAHAP PENELITIAN UTAMA Profil Whey Pres dan Curd Hasil Koagulasi Pelarutan Protein Analisis Elektroforesis Analisis Objektif Tekstur Curd Analisis Subjektif Kekerasan Curd V. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii

13 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi kimia kedelai dan bagian-bagiannya dalam basis kering... 4 Tabel 2. Beberapa golongan bahan penggumpal tahu yang umum digunakan... 8 Tabel 3. Hasil analisis proksimat whey curd Tabel 4. Beberapa karakteristik mekanikal dan definisinya Tabel 5. Setting TA-XT2i untuk pengukuran TPA curd Tabel 6. Profil ph koagulan whey tahu (biang tahu) Diazara Tresna Tabel 7. Trial jumlah whey tahu yang ditambahkan sebagai koagulan Tabel 8. Kadar protein whey dan transmitan whey hasil pengepresan curd Tabel 9. Kadar protein*, kadar air, massa, dan total padatan curd Tabel 10. Perbandingan total protein terekstrak dengan total protein Kjeldahl sampel bebas lemak masing-masing perlakuan Tabel 11. Korelasi antara glisinin, β-konglisinin dan kekerasan curd Tabel 12. Perbandingan kekerasan curd secara objektif dengan kekerasan curd secara subjektif ix

14 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kedelai (Anonim c, 2010)... 3 Gambar 2. Model pita protein: (a) Glycinin (11S) subunit A 3 B 4 (G5) (Anonim a, 2003), dan (b) β-conglycinin (7S) subunit α (Maruyama et al., 2010)... 5 Gambar 3. Model pembentukan struktur matriks protein dengan perubahan konsentrasi protein, ph, dan kekuatan ion (Hegg, 1982; Oakenfull et al., 1997)... 6 Gambar 4. Curd kedelai (Reta, 2010)... 9 Gambar 5. Whey pres (Reta, 2010) Gambar 6. Skema alat SDS-PAGE (Jage, 2008) Gambar 7. Grafik TPA untuk produk pangan secara umum beserta parameter analisis dan perhitungannya (Anonim b, 2010) Gambar 8. Diagram alir tahap penelitian utama Gambar 9. Diagram alir ekstraksi protein modifikasi Mujoo et al. (2003) Gambar 10. Diagram alir pembuatan tahu Sumedang di pabrik Diazara Tresna Gambar 11. Diagram alir standar pembuatan curd yang meliputi: (a) persiapan susu kedelai dan (b) koagulasi Gambar 12. Koagulan whey tahu pabrik Diazara Tresna berumur 1, 2, dan 3 hari Gambar 13. Alat pencetak tahu skala laboratorium (a) yang dibuat mirip alat pencetak tahu di pabrik Diazara Tresna (b) Gambar 14. Grafik pengaruh umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi terhadap ph whey pres Gambar 15. Mekanisme pemutusan ikatan disulfida oleh 2-merkaptoetanol (Rabilloud, 1996) Gambar 16. Profil SDS-PAGE: (a) protein tepung kedelai dan (b) protein curd terlarut Gambar 17. Perbandingan proporsi polipeptida penyusun glisinin (11S) dan β-konglisinin (7S) dalam protein curd dan protein tepung kedelai terlarut Gambar 18. Grafik TPA hasil pengukuran TPA curd perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan penggunaan koagulan whey tahu berumur 1 hari Gambar 19. Profil tekstur curd berbagai perlakuan x

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Larutan-larutan untuk SDS-PAGE Lampiran 2. Kuesioner uji segitiga dan uji rangking untuk seleksi panelis Lampiran 3. Kuesioner uji rating penekanan curd Lampiran 4. Penentuan tekanan penekan cetakan curd di Diazara Tresna (Fahmi, 2010) Lampiran 5. Data analisis ph koagulan whey (biang tahu) pabrik Diazara Tresna Lampiran 6. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh umur penyimpanan terhadap ph koagulan whey (biang tahu) pabrik Diazara Tresna Lampiran 7. Data analisis ph whey pres hasil penekanan curd Lampiran 8. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap ph whey pres Lampiran 9. Data analisis kadar protein metode Bradford untuk whey pres hasil penekanan curd Lampiran 10. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap kadar protein whey pres dengan metode Bradford Lampiran 11. Data analisis transmitan whey pres hasil penekanan curd Lampiran 12. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap transmitan whey pres Lampiran 13. Hasil analisis korelasi antara ph, kadar protein metode Bradford, dan transmitan whey pres Lampiran 14. Data analisis kadar protein curd metode Kjeldahl (% basis basah) Lampiran 15. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap kadar protein Kjeldahl curd (% basis basah) Lampiran 16. Data analisis kadar air curd (% basis basah) Lampiran 17. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap kadar air curd (% basis basah) Lampiran 18. Data analisis massa curd Lampiran 19. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap massa curd Lampiran 20. Data analisis total padatan curd Lampiran 21. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap total padatan curd Lampiran 22. Hasil analisis korelasi antara ph whey, kadar protein metode Bradford dan transmitan whey pres xi

16 Lampiran 23. Data analisis kadar protein curd bebas lemak Lampiran 24. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap kadar protein curd bebas lemak Lampiran 25. Data analisis ekstraksi protein Lampiran 26. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap total protein terekstrak Lampiran 27. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap persen recovery ekstraksi protein Lampiran 28. Hubungan Rf dengan log BM untuk sampel ekstrak protein Lampiran 29. Data analisis densitas pita protein hasil SDS-PAGE Lampiran 30. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap pita protein hasil elektroforesis ekstrak curd Lampiran 31. Data analisis objektif tekstur curd Lampiran 32. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap tekstur curd Lampiran 33. Hasil analisis korelasi antara kadar protein, kadar air, total padatan curd, dan parameter tekstur curd Lampiran 34. Hasil analisis korelasi antara subunit protein globulin dan kekerasan curd Lampiran 35. Hasil analisis korelasi antara glisinin, β-konglisinin, glisinin/β-konglisinin dan kekerasan curd Lampiran 36. Data analisis objektif tekstur curd komersial Lampiran 37. Data analisis rating skala garis kekerasan curd komersial secara subjektif Lampiran 38. Hubungan antara kekerasan curd komersial secara objektif dan secara subjektif Lampiran 39. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap kekerasan curd secara subjektif xii

17 I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Bentuk, rasa, dan mouthfeel yang baik dari suatu produk pangan seringkali menjadi faktor utama yang berperan dalam penerimaan konsumen. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas produk pangan dari segi organoleptik tanpa melupakan kandungan gizi yang terkandung di dalamnya. Hal inilah yang mendorong dilakukannya berbagai penelitian ilmiah dalam bidang rekayasa pangan. Mutu organoleptik produk pangan dapat ditingkatkan melalui proses rekayasa pangan dengan memanfaatkan sifat fungsional komponen produk pangan tersebut. Salah satu komponen yang bersifat fungsional adalah protein, yaitu berupa gelasi protein yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan karakteristik organoleptik tertentu. Tahu atau tofu merupakan produk curd dari kacang-kacangan yang memanfaatkan sifat gelasi protein. Pada pembuatan tahu, gelasi protein terjadi ketika koagulan ditambahkan ke dalam susu kedelai. Proses ini dikenal dengan koagulasi protein (Obatulu, 2007). Koagulasi protein menjadi bagian penting dalam pengolahan produk pangan berbasis curd seperti tahu. Curd yang terbentuk akan mempengaruhi mutu akhir dari produk yang dihasilkan. Pembentukan curd ini tergantung dari penggunaan koagulan sebagai penggumpal protein, sehingga akan dihasilkan produk dengan ciri khas yang unik. Pada produk tahu, dikenal berbagai jenis tahu dengan tingkat kekerasan yang berbeda-beda, mulai dari tahu sangat keras (extra firm tofu) hingga tahu paling lembut (silken tofu) (Muchtadi, 2010). Oleh karena itu, untuk memperoleh produk dengan karakteristik organoleptik yang seragam diperlukan pengetahuan mengenai hubungan antara penggunaan koagulan dengan sifat organoleptik yang dihasilkan, khususnya tekstur. Perbedaan tekstur diduga karena adanya perbedaan komposisi dalam curd, khususnya protein dan kadar air. Penggunaan koagulan dan kondisi koagulasi tertentu dapat mengendapkan subunit protein tertentu yang berkorelasi dengan kualitas curd dan kemampuan mengikat komponen lain yang berpengaruh terhadap tekstur curd (Poysa et al., 2006). Subunit protein yang berbeda akan menghasilkan mutu tekstur produk yang berbeda pula, baik secara objektif (menggunakan alat) maupun secara subjektif (menggunakan indera manusia). Menurut Sarwono dan Saragih (2003), whey tahu atau biang tahu merupakan salah satu jenis koagulan asam yang sering digunakan pada industri tahu skala kecil dan menengah di Indonesia. Umur koagulan whey berpengaruh terhadap kualitas tekstur curd yang dihasilkan (Supriatna, 2007). Tekstur curd juga dipengaruhi oleh kondisi koagulasi, seperti suhu dan ph koagulasi serta kecepatan pengadukan selama koagulasi (Blazek, 2008; Mujoo et al., 2003). Suhu pada saat penambahan koagulan akan mempengaruhi kecepatan proses koagulasi dan agregasi protein menjadi curd. Pada suhu tinggi, protein memiliki energi vibrasi dan rotasi yang tinggi sehingga koagulasi berlangsung cepat. Energi vibrasi dan rotasi yang tinggi menyebabkan pergerakan partikel-partikel protein semakin cepat dan intensitas pembentukan agregat protein semakin besar. Kecepatan koagulasi protein akan mempengaruhi banyaknya protein yang menyatu membentuk matriks curd dan kemampuan matriks protein untuk mengikat komponen lain, khususnya air yang pada akhirnya akan mempengaruhi tekstur curd yang dihasilkan (Milewski, 2001). Mekanisme koagulasi protein dalam menghasilkan tekstur tertentu belum banyak diteliti, meskipun hal ini penting dalam upaya memperoleh produk pangan dengan tekstur yang konsisten. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh korelasi yang spesifik antara umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi dengan tekstur curd yang dihasilkan, baik secara objektif

18 maupun subjektif. Selain itu diharapkan akan diperoleh pula hubungan antara umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi dengan fraksi protein yang terkoagulasikan. 1.2 TUJUAN 1. Mempelajari pengaruh umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi terhadap profil whey pres dan curd hasil koagulasi protein kedelai serta pola elektroforesis protein yang muncul. 2. Mempelajari pengaruh umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi terhadap kualitas tekstur curd, baik secara objektif maupun subjektif 1.3 HIPOTESIS Suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey tahu mempengaruhi tekstur curd yang dihasilkan. Perbedaan tekstur diduga karena adanya perbedaan profil whey pres dan curd hasil koagulasi protein dan kecepatan koagulasi dalam pembuatan curd. Kondisi koagulasi tertentu akan menghasilkan profil whey pres dan curd serta kecepatan koagulasi tertentu yang mempengaruhi kemampuan protein mengikat komponen lain dalam pembentukan curd. Umur koagulan whey tahu yang berbeda akan menghasilkan profil whey pres dan curd yang berbeda dan suhu awal proses koagulasi yang berbeda akan menghasilkan kecepatan koagulasi yang berbeda. 1.4 MANFAAT Manfaat penelitian ini adalah memberikan dasar ilmiah dalam proses rekayasa pangan, khususnya dalam teknik pembuatan produk pangan berbasis curd. 2

19 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KEDELAI Kedelai atau Glycine max merupakan tanaman kacang-kacangan yang termasuk dalam famili Leguminosa, subfamili Papilionidae, genus Glycine, dan spesies max (Koswara, 1992). Menurut Saidu (2005), seluruh bagian kedelai termasuk daun, batang, dan bijinya dapat dimanfaatkan untuk pangan, obat, dan pakan. Penampakan fisik kedelai dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Kedelai (Anonim c, 2010) Penampakan fisik kedelai memiliki keragaman yang cukup luas. Warna, ukuran, bentuk biji, sifat fisik maupun sifat kimia kacang kedelai sangat bervariasi. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor varietas dan keadaan lingkungan tanamnya (Smith dan Circle, 1977). Menurut Koswara (1992), struktur biji kedelai terdiri atas 3 bagian utama, yaitu 7.3% kulit, 90.3% kotiledon, dan 2.4% hipokotil. Bagian keping biji (kotiledon) merupakan bagian yang paling umum untuk diolah menjadi berbagai produk olahan pangan. Keping biji memiliki kandungan protein dan lemak yang tinggi (Wolf dan Cowan, 1971). Berbagai varietas kedelai yang ada di Indonesia memiliki kandungan protein antara 30.53% hingga 44% dan lemak antara 7.5% hingga 20.9% (Koswara, 1992) Komposisi Kimia Kedelai Kedelai mengandung jumlah protein yang bervariasi antara 38% hingga 49% (Saidu, 2005). Sebagian besar protein kedelai (85%-95%) terdiri atas globulin (Koswara,1992). Protein kedelai mengandung asam amino esensial yang lengkap dengan metionin sebagai asam amino pembatas. Leusin, isoleusin, lisin, dan valin merupakan asam amino yang paling tinggi kandungannya di dalam kedelai. Kadar protein kedelai yang tinggi menjadikan tanaman ini memiliki kualitas yang sama dengan protein hewani (Liu, 1997). Komposisi kimia bagian biji kedelai dapat dilihat pada Tabel 1. Kedelai juga mengandung lemak yang cukup tinggi. Menurut Muchtadi (2010), kedelai mengandung sekitar 18% - 20% lemak. Kandungan lemak total kedelai sekitar 19.9 g/100 g; yang terdiri atas 2.9 g/100 g lemak jenuh, 4.4 g/100 g asam lemak tidak jenuh tunggal dan 11.3 g/100 g asam lemak tidak jenuh jamak. Menurut Saidu (2005), sebanyak 85% bagian lemak kedelai merupakan asam lemak tak jenuh dan tinggi akan kandungan asam linoleat dan asam linolenat. Kandungan asam lemak lainnya dalam kedelai, antara lain asam oleat (23%), asam palmitat (16%), serta asam stearat dan arachidat (2%) (Saidu, 2005; Syarief dan Irawati, 1988). Selain itu, lemak

20 kedelai juga mengandung beberapa fosfolipida penting, yaitu lesitin, sepalin, dan lipositol (Koswara, 1992). Tabel 1. Komposisi kimia kedelai dan bagian-bagiannya dalam basis kering Bagian Kedelai Porsi Keseluruhan (%) Protein (%) Lemak (%) KH (%) Abu (%) Keseluruhan Kotiledon Kulit Hipokotil Sumber: Wolf dan Cowan (1971) Kedelai mengandung karbohidrat sekitar 30%, terdiri atas 15% karbohidrat tak dapat larut (insoluble carbohydrate) dan 15% karbohidrat yang dapat larut (soluble carbohydrate) (Saidu, 2005). Karbohidrat yang dapat dimanfaatkan secara biologis hanya 12% - 14% dari total yang terkandung dalam kedelai. Karbohidrat pada kedelai terdiri atas golongan oligosakarida dan polisakarida (Koswara, 1992). Kedelai juga mengandung beberapa vitamin dan mineral. Vitamin-vitamin tersebut antara lain vitamin A, vitamin B (terutama niacin, riboflavin, dan tiamin), vitamin D, vitamin E, dan vitamin K. Sedangkan mineral yang terkandung dalam kedelai, antara lain Ca, P, Fe, Na, K, dan yang terdapat dalam jumlah kecil seperti Mg, Mn, Zn, Co, Cu, Se, dan F (Smith dan Circle, 1977). Selain itu, kedelai juga mengandung isoflavon dan zat anti-nutrisi, seperti saponin, fosfolipid, protease inhibitor, fitat, dan tripsin inhibitor (Saidu, 2005) Protein Kedelai Komponen kimia tertinggi dalam kedelai adalah protein, yaitu antara 38% hingga 49% (Saidu, 2005). Menurut Wolf dan Cowan (1971), protein kedelai terdiri atas campuran komponen-komponen yang mempunyai berat molekul antara 8 kda hingga 600 kda. Melalui ultra-sentrifugasi, protein kedelai dapat digolongkan menjadi empat golongan utama, yaitu protein 2S, 7S, 11S dan 15S. Penggolongan ini didasarkan pada kecepatan sedimentasi ketika protein kedelai dilarutkan dalam buffer ph 7.6 dan kekuatan ion 0.5 M (Koshiyama, 1969). Protein kedelai juga dapat digolongkan ke dalam empat fraksi berdasarkan kelarutannya, yaitu albumin (larut dalam air), globulin (larut dalam larutan garam), prolamin (larut dalam alkohol 70%), dan glutelin (larut dalam basa encer) (Belitz dan Grosch, 1999). Kandungan protein kacang kedelai didominasi oleh globulin (85% - 95%) serta sisanya adalah albumin, proteosa, prolamin, dan glutelin (Wolf, 1977; Koswara, 1992). Menurut Zayas (1997), kelarutan protein kedelai dalam air meningkat dengan meningkatnya ph dari 6 ke 8 dan suhu dari 10 o C sampai 70 o C. Ketika suhu meningkat, struktur protein terbuka (unfold) menjadi rantai lurus sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan interaksi antara protein dan air, dan kelarutan protein kedelai pun ikut meningkat. Globulin merupakan protein terpenting pada kedelai. Protein ini tidak larut dalam air di sekitar titik isoelektriknya, tetapi akan segera larut dengan penambahan garam seperti natrium klorida atau kalsium klorida. Globulin larut dalam larutan garam encer pada ph di atas atau di bawah titik isoelektriknya (Pearson, 1983). Pada ph sekitar , kelarutan protein kedelai mencapai minimum; kisaran ph tersebut dikenal sebagai titik isoelektrik protein kedelai (Berk, 1992). Protein 7S dan 11S merupakan dua protein utama yang menyusun globulin dengan jumlah masing-masing sekitar 18.5% 4

21 dan 31% dari total protein kedelai (Wolf dan Cowan, 1971). Baik globulin 7S maupun globulin 11S terdiri atas subunit-subunit protein (Liu et al., 2008). Model diagram pita globulin 7S dan 11S dapat dilihat pada Gambar 2. (a) (b) Gambar 2. Model pita protein: (a) Glisinin (11S) subunit A 3 B 4 (G5) (Anonim a, 2003), dan (b) β-konglisinin (7S) subunit α (Maruyama et al., 2010) Glisinin atau protein 11S merupakan protein heksamer (AB) 6 dengan berat molekul berkisar 300 kda kda. Glisinin terdiri atas lima subunit yang diberi label A 1a B 1b (G1), A 2 B 1a (G2), A 1b B 2 (G3), A 5 A 4 B 3 (G4), dan A 3 B 4 (G5) (Szczapa, 2001). Subunit-subunit glisinin terdiri atas polipeptida asam (A) dan polipeptida basa (B) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida (Blazek, 2008; Liu et al., 2008; Staswick et al., 1984). Hanya polipeptida asam A 4 yang tidak dihubungkan dengan polipeptida basa oleh ikatan disulfida (Staswick et al., 1984). Struktur kuartener glisinin distabilkan oleh interaksi elektrostatik dan hidrofobik serta ikatan disulfida (Badley et al., 1975, Peng et al., 1984). Polipeptida asam dalam glisinin memiliki berat molekul sekitar 35 kda, sedangkan polipeptida basanya memiliki berat molekul sekitar 20 kda (Mujoo et al., 2003). Berat molekul polipeptida A 3, grup polipeptida asam (A 1, A 2 dan A 4 ), A 5 dan polipeptida basa (B) masing-masing adalah 36 kda, 34 kda, 10 kda, dan 15 kda (Fontes et al., 1984; Thanh et al., 1975). Subunit asam memiliki titik isoelektrik pada kisaran ph 4.75 hingga 5.40 sedangkan subunit basa berada pada kisaran ph 8.0 hingga 8.5 (Hermansson, 1994). β-konglisinin merupakan protein trimer yang tersusun atas 3 subunit utama, yaitu α, α, dan β (Liu et al., 2008; Mujoo et al., 2003). Subunit-subunit ini disatukan oleh interaksi hidrofobik dan ikatan hidrogen tanpa ikatan disulfida (Thanh dan Shibasaki, 1978). Subunit α memiliki berat molekul sekitar 72 kda, sedangkan α dan β memiliki berat molekul masing-masing sekitar 68 kda dan 52 kda (Mujoo et al., 2003). Kombinasi subunit-subunit tersebut memberikan berat molekul sekitar 180 kda tergantung dari subunit penyusunnya (Blazek, 2008). Menurut Lewis dan Chen (1979), β- konglisinin merupakan glikoprotein yang mengandung 3.8% - 5.4% karbohidrat. Jenis gula yang terdapat dalam protein ini adalah manosa dan glukosamin Gelasi Protein Kedelai Protein kedelai memiliki banyak sifat fungsional yang menentukan karakteristik mutu pangan. Sifat fungsional itu, antara lain kemampuan larut, kemudahan terdenaturasi oleh panas, kemampuan membentuk gel, emulsifier, kemampuan membentuk busa, kemampuan mengikat air (water holding capacity), kemampuan membentuk karakteristik struktur dan sifat reologi, serta kemampuan membentuk tekstur (Liu et al., 2008). Kapasitas gelasi protein merupakan salah satu sifat fungsional 5

22 protein yang menentukan karakteristik mutu suatu produk pangan, khususnya sifat tekstur dan juiciness (Zayas, 1997). Gelasi protein merupakan tahapan penting dalam pembentukan tekstur produk pangan. Denaturasi oleh panas yang diikuti proses agregasi dan pembentukan gel merupakan tahapan penting untuk menjamin semua protein dalam suspensi menyatu dan membentuk struktur matriks protein (Aguilera, 1995). Sifat gelasi protein ini berhubungan dengan agregasi protein. Gelasi protein terjadi ketika protein beragregasi membentuk jaringan (Tay et al., 2005). Menurut Schmidt (1981) yang dikutip oleh Zayas (1997), gelasi protein adalah fenomena agregasi protein saat interaksi polimerpolimer dan polimer-pelarut setimbang sehingga jaringan atau matriks tersier terbentuk. Menurut Tay et al. (2005), agregasi protein dapat terjadi melalui pemanasan, pengaturan ph, atau pengaturan kekuatan ionik dalam larutan protein. Menurut Hettiarachchy dan Kalapathy (1998), pembentukan gel oleh perlakuan panas terjadi pada konsentrasi protein lebih besar dari 8 %. Pengaruh konsentrasi protein, ph, dan kekuatan ion terhadap pembentukan struktur matriks protein dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Model pembentukan struktur matriks protein dengan perubahan konsentrasi protein, ph, dan kekuatan ion (Hegg, 1982; Oakenfull et al., 1997). Gel terbentuk ketika protein yang strukturnya terbuka sebagian (unfold) terurai menjadi segmen-segmen polipeptida yang kemudian berinteraksi pada titik tertentu untuk membentuk jaringan ikatan silang tiga dimensi. Protein dengan struktur unfold, dimana struktur sekundernya mengalami perubahan, diperlukan pada proses gelasi protein. Perubahan ini dapat terjadi melalui perlakuan panas, asam, alkali, dan urea (Zayas, 1997). Menurut Zayas (1997), pada pembentukan gel, transisi dari bentuk alami menjadi bentuk terdenaturasi merupakan prekursor penting dalam interaksi protein-protein. Jaringan gel baru terbentuk setelah sebagian protein terdenaturasi. Pembentukan gel protein merupakan hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ionik dan hidrofobik, ikatan Van der Waals, dan ikatan kovalen disulfida. Gel yang terbentuk memiliki sifat reologi yang bervariasi, yaitu kekerasan, kelengketan, kohesivitas, dan adesivitas. Protein sering digunakan untuk menghasilkan tekstur dengan sifat tertentu melalui fenomena gelasi protein. Sifat unik dari gel protein adalah bentuknya yang padat tetapi memiliki karakteristik seperti cairan (Zayas, 1997). Water-Holding Capacity (WHC) protein kedelai memegang peranan utama dalam menentukan parameter tekstur berbagai jenis pangan. Banyaknya air yang terperangkap dalam protein dipengaruhi oleh komposisi asam amino, konformasi protein, hidrofobisitas permukaan, ph, kekuatan ionik, suhu, dan konsentrasi protein (Hettiarachchy dan Kalapathy, 1998). 6

23 Sifat gelasi protein kedelai sering dihubungkan dengan keberadaan protein 7S dan 11S yang merupakan penyusun utama protein globulin kedelai. Kandungan protein 11S dan rasio 11S dan 7S dilaporkan memberikan korelasi positif terhadap kekerasan gel protein kedelai (Mujoo et al., 2003). Menurut Corredig (2006), gel yang diperoleh dari isolasi glisinin (11S) memberikan karakter gel yang lebih keras dibandingkan gel yang diperoleh dari β-konglisinin dan struktur jaringan yang terbentuk oleh keduanya memiliki perbedaan, tergantung dari komposisi protein. Kekerasan gel glisinin kedelai berbanding lurus dengan banyaknya subunit A 3, komponen terbesar dari polipeptida asam glisinin (Szczapa, 2001). Rasio 11S dan 7S mempengaruhi kekerasan dan elastisitas gel. Glisinin berkontribusi terhadap kekerasan dan kekokohan gel, sedangkan β-konglisinin berkontribusi terhadap elastisitas gel yang dihasilkan (Blazek, 2008). Gel yang terbentuk dari fraksi protein 11S mempunyai kekuatan gel dan WHC yang besar dibandingkan dengan gel yang terbentuk dari fraksi protein 7S. Perbedaan ini dikarenakan adanya ikatan disulfida pada protein 11S yang mempengaruhi dissosiasi/assosiasi dan perilaku subunit protein unfold (struktur terbuka). Ikatan disulfida dalam protein 11S mempromosikan terbentuknya matriks tiga dimensi selama proses gelasi sehingga menghasilkan gel yang lebih kuat dan WHC yang lebih besar (Hettiarachchy dan Kalapathy, 1998). 2.2 KOAGULASI DAN KOAGULAN Meng et al. (2002) mendefinisikan koagulasi protein sebagai interaksi acak molekul-molekul protein yang menyebabkan terbentuknya agregat-agregat protein, baik bersifat larut maupun tidak larut. Koagulasi dapat terjadi dengan penambahan bahan penggumpal protein (koagulan). Koagulasi susu kedelai merupakan tahapan yang paling penting dalam pembuatan curd sekaligus menjadi tahapan yang paling sulit dikendalikan karena merupakan hasil interaksi kompleks dari berbagai variabel (Blazek, 2008; Prabhakaran et al., 2006). Menurut Obatolu (2007), proses koagulasi susu kedelai dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara jenis kedelai, suhu pemasakan, volum, kandungan padatan, ph, jenis dan jumlah koagulan, serta waktu koagulasi. Penggunaan jenis dan konsentrasi koagulan yang berbeda akan mempengaruhi rendemen, sifat tekstur, dan flavor curd yang dihasilkan (Blazek, 2008; Mujoo et al., 2003). Poysa dan Woodrow (2004), menyatakan bahwa koagulan yang berbeda akan memberikan tekstur serta flavor yang berbeda pula. Koagulasi protein susu kedelai berlangsung pada ph Melalui proses tersebut, diperoleh curd yang mengandung protein yang sebagian besar terdiri atas globulin. Hermansson (1994) melaporkan bahwa kehadiran garam (koagulan) dan pemanasan menyebabkan curd terbentuk pada kisaran ph 4 hingga 6. Menurut Prabhakaran et al. (2006), perbedaan jenis koagulan yang digunakan akan menghasilkan perbedaan kandungan air dalam curd. Kekuatan anion dan kation berpengaruh terhadap pembentukan struktur jaringan gel yang berimplikasi terhadap kemampuan gel protein kedelai dalam mengikat air (WHC). Oleh karena itu, konsentrasi koagulan dan jenis anion ini mempengaruhi kekerasan curd yang dihasilkan. Konsentrasi koagulan yang terlalu rendah menyebabkan pengendapan protein menjadi tidak sempurna serta pemisahan whey dan curd menjadi sulit (Blazek, 2008). Pengendapan protein yang tidak sempurna menyebabkan struktur matriks curd menjadi renggang sehingga curd yang terbentuk terlalu lunak (Obatolu, 2007). Sebaliknya, kelebihan konsentrasi koagulan membuat tekstur curd kedelai menjadi keras dan dapat mengurangi palatabilitas (Blazek, 2008). Johnson dan Wilson (1984) menyatakan bahwa jumlah koagulan yang dibutuhkan tergantung pada kadar padatan yang terdapat dalam susu kedelai. Rendemen pembentukan curd dipengaruhi oleh penggunaan koagulan. Semakin lambat kemampuan koagulan dalam mengkoagulasi susu akan memberikan rendemen massa curd yang lebih 7

24 baik karena agregat protein dalam curd memerangkap air lebih banyak. Sebaliknya, koagulan yang mengkoagulasikan protein lebih cepat kurang memerangkap air sehingga massa curd yang dihasilkan lebih sedikit (Obatolu, 2007). Menurut Blazek (2008), peningkatan suhu koagulasi dan kecepatan pengadukan sesaat setelah penambahan koagulan juga akan menurunkan rendemen curd dan mempengaruhi kekerasan curd yang terbentuk. Shurtleff dan Aoyagi (1984) menggolongkan bahan penggumpal tahu menjadi empat golongan, yaitu: 1) golongan garam klorida atau nigari; 2) golongan garam sulfat; 3) golongan lakton; dan 4) golongan asam. Beberapa golongan bahan penggumpal tahu yang umum digunakan disajikan dalam Tabel 2. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1984), penambahan bahan penggumpal sebaiknya dilakukan setelah susu kedelai mencapai suhu 70 o C - 90 o C, tergantung dari jenis bahan penggumpal yang digunakan. Pada koagulan golongan garam, kation logam yang terdapat di dalamnya (seperti Mg 2+ atau Ca 2+ ) bereaksi dengan protein susu kedelai dan mengendapkannya bersama lemak untuk menghasilkan curd. Tabel 2. Beberapa golongan bahan penggumpal tahu yang umum digunakan Golongan Garam klorida (nigari) Garam sulfat Lakton Sumber: Shurtleff dan Aoyagi (1984) Jenis yang Umum Digunakan Nigari alami, MgCl 2.6H 2 O, air laut, CaCl 2, CaCl 2.2H 2 O CaSO 4 dan MgSO 4.7H 2 O C 6 H 10 O 6 (glukono-δ-lakton)/gdl Asam Asam laktat, sari buah jeruk, asam asetat, cuka (larutan asam asetat 4%) Nigari alami diekstrak dari air laut dengan menghilangkan sebagian besar garam (NaCl) dan air. Koagulan jenis ini mengandung komponen mineral air laut alami terutama magnesium klorida. Penggunaan koagulan jenis nigari membutuhkan waktu pembuatan tahu yang cukup lama karena koagulan jenis ini harus ditambahkan sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan, akibatnya dibutuhkan teknik yang baik dalam pembuatan tahu. Selain itu, penggunaan koagulan nigari akan menghasilkan tahu dengan tekstur yang cenderung kurang lembut (Shurtleff dan Aoyagi, 1984). Garam sulfat merupakan golongan koagulan yang paling umum digunakan dalam pembuatan curd protein kedelai. Koagulan ini akan terdispersi perlahan di dalam susu kedelai sehingga memberikan waktu koagulasi yang lambat (Shurtleff dan Aoyagi, 1984). Koagulan sulfat mengkoagulasi protein kedelai dengan cara membentuk jembatan antar molekul protein dan meningkatkan ikatan silang polimer sehingga terjadi agregasi protein (Obatolu, 2007). Lakton, yang dikenal sebagai glukono-δ-lakton, merupakan koagulan yang umum digunakan untuk membuat tahu Jepang dengan tekstur sangat lembut. Tahu ini dikenal dengan sebutan tahu sutra (silken tofu). Pada dasarnya, koagulan golongan lakton berbeda dengan nigari maupun garam sulfat. Penggunaan glukono-δ-lakton sebagai koagulan akan menurunkan ph susu kedelai dan meningkatkan sifat hidrofobik dan ketidaklarutan sehingga terjadi agregasi protein terdenaturasi (Kohyama dan Nishinari, 1993). Ketika koagulan dicampur dengan susu kedelai dan dipanaskan, lakton menghasilkan asam glukonat yang mengkoagulasikan protein susu kedelai menjadi curd tahu sutra (Shurtleff dan Aoyagi, 1984). Keistimewaan lakton dalam pembuatan curd adalah dalam jumlah sedikit dapat dicampurkan pada susu kedelai dingin, kemudian dimasukkan dalam wadah, dan ditutup rapat. Selanjutnya dicelupkan dalam air panas pada suhu o C selama menit sehingga terbentuk curd. Panas 8

25 tersebut akan mengaktifkan lakton untuk menghasilkan tahu dalam wadah tanpa pemisahaan whey dan curd dengan pengepresan. Koagulan asam mampu mengkoagulasi dan mengagregasi protein dengan menurunkan ph sistem (Obatolu, 2007). Asam laktat, salah satu koagulan jenis asam, diperoleh melalui aktivitas bakteri asam laktat. Asam laktat menurunkan ph susu kedelai menjadi 4.5 yang merupakan titik isoelektrik bagi protein globulin kedelai. Penurunan ph mendekati titik isoelektrik menyebabkan terjadinya koagulasi protein. Di Indonesia, koagulan asam laktat secara tradisional diperoleh melalui fermentasi whey hasil pengolahan tahu sebelumnya. Koagulan tersebut dikenal sebagai koagulan whey tahu atau biang tahu. Di industri tahu, penggunaan koagulan whey tahu dikombinasikan dengan pemanasan (Kastyanto, 1985; Koswara, 1992). Pemanasan susu kedelai merupakan prasyarat terbentuknya gel. Pemanasan membuat struktur molekul protein kedelai terbuka (unfold), akibatnya ikatan hidrogen (-SH), ikatan disulfida (S-S), dan sisi rantai asam amino hidrofobik akan terekspos dengan lingkungan luar. Melalui penambahan koagulan, misalnya koagulan asam, muatan negatif molekul protein akan berkurang akibat protonasi COO- pada residu asam amino. Akibatnya, molekul-molekul protein akan cenderung saling mendekat karena memiliki muatan yang sama. Ikatan hidrogen (-SH), ikatan disulfida (S-S), serta interaksi hidrofobik pun terjadi secara intermolekul. Reaksi ini memfasilitasi terjadinya agregasi protein membentuk struktur jaringan tiga dimensi gel curd (Liu et al., 2004). Pemanasan juga mempengaruhi laju koagulasi serta tekstur curd yang dihasilkan. Pada suhu yang tinggi, protein memiliki energi vibrasi dan rotasi tinggi yang menyebabkan koagulasi berlangsung cepat. Curd yang dihasilkan cenderung memiliki Water Holding Capacity (WHC) yang rendah, tekstur yang keras dan kasar, serta rendemen yang rendah. Suhu koagulasi yang rendah memiliki efek sebaliknya. Namun jika suhu terlalu rendah, koagulasi menjadi tidak sempurna, curd mengandung banyak air, dan tidak mampu mempertahankan bentuknya (Liu, 2008). 2.3 CURD KEDELAI Curd adalah produk hasil penggumpalan protein larutan susu. Curd kedelai, yang secara komersial dikenal sebagai tahu, merupakan hasil penggumpalan protein susu kedelai menggunakan bahan penggumpal (koagulan). Curd diperoleh dengan mengekstrak protein kacang kedelai kemudian mengendapkannya menggunakan koagulan. Setelah itu, curd dipres untuk membentuk padatan curd (Cai et al., 1997). Hasil dari curd yang dipres tampak pada Gambar 4. Gambar 4. Curd kedelai (Reta, 2010) Pembentukan curd merupakan fenomena yang memanfaatkan sifat fungsional protein kedelai, yaitu sifat gelasi protein. Curd memiliki kemampuan untuk membentuk matriks yang mampu 9

26 menahan air, lemak, polisakarida, flavor, dan komponen lainnya. Karakteristik utama gel protein kedelai adalah kemampuannya dalam menahan air yang disebut sebagai WHC (Water Holding Capacity) (Zayas, 1997). Rendemen dan kualitas curd dipengaruhi oleh varietas kedelai, kualitas kedelai, kondisi selama proses, serta koagulan yang dipakai (Cai et al., 1997). Koagulasi susu kedelai dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks antara jenis kedelai, suhu pemasakan, volum, kandungan padatan, ph, tipe koagulan, serta waktu koagulasi (Cai dan Chang, 1998). Menurut Obatolu (2007), kualitas pembentukan curd dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu mutu kedelai, kondisi pengadukan, koagulan, serta penekanan yang diberikan pada curd. Perbedaan penggunaan jenis dan konsentrasi koagulan, pengadukan yang dilakukan selama koagulasi, dan penekanan terhadap curd akan memberikan variasi tekstur curd mulai dari keras hingga lunak dengan kandungan air berkisar 70% hingga 90% dan kandungan protein 5% hingga 16% berdasarkan berat basah (Blazek, 2008). Pembuatan curd terdiri atas dua tahap utama, yaitu tahap pembuatan susu kedelai dan tahap koagulasi (penggumpalan) susu kedelai, sehingga terbentuk agregat protein yang selanjutnya dipres membentuk curd (Shurtleff dan Aoyagi, 1984). Kedelai yang akan dibuat susu terlebih dahulu direndam dalam air bersih dengan tujuan melunakkan struktur seluler kedelai sehingga mempermudah dan mempercepat penggilingan, serta menghasilkan ekstrak protein kedelai yang optimum. Lamanya perendaman perlu diperhatikan. Perendaman yang terlalu singkat akan membuat biji kedelai sulit dipecahkan ketika penggilingan, sedangkan bila terlalu lama akan terjadi pembentukan busa pada permukaan air rendaman akibat fermentasi kedelai (Subardjo dkk, 1987). Kedelai yang telah direndam kemudian digiling hingga menghasilkan bubur kedelai. Penggilingan kedelai ini bertujuan meningkatkan efektivitas ekstraksi protein kedelai selama pemasakan. Selanjutnya, bubur kedelai dimasak pada suhu mendidih dan kemudian disaring untuk memperoleh susu/sari kedelai. Supriatna (2007) menyebutkan bahwa untuk menghasilkan sari kedelai yang optimal dari segi kualitas dan kuantitasnya, bubur kedelai dimasak dahulu sebelum akhirnya disaring. Koswara (1992) melaporkan bahwa ekstraksi dengan panas menghasilkan rendemen yang lebih tinggi. Menurut Liu et al. (2004), pemanasan optimal dalam pembuatan susu kedelai dilakukan selama 3-10 menit setelah mendidih dengan tujuan mengekstrak protein kedelai, mendenaturasi protein, dan memudahkan proses koagulasi. Fungsi lain dari pemanasan dalam pembuatan susu kedelai menurut Koswara (1992) adalah mengurangi bau langu, menginaktivasi antitripsin, meningkatkan daya cerna, dan menambah daya awet produk. Proses selanjutnya adalah penggumpalan protein susu kedelai dengan bantuan bahan penggumpal. Penggumpalan dilakukan pada suhu tertentu, tergantung jenis koagulan yang dipakai. Koswara (1992) menyebutkan bahwa bahan penggumpal yang biasa digunakan secara tradisional adalah biang tahu, yaitu cairan yang keluar pada waktu pengepresan dan sudah diasamkan semalam. Selain biang tahu, air jeruk, cuka, larutan asam laktat, larutan CaCl 2 atau CaSO 4 juga dapat digunakan sebagai zat penggumpal. Gumpalan protein kedelai ini selanjutnya dipres dan dicetak. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1984), untuk mendapatkan hasil yang baik pengepresan dilakukan pada tekanan sebesar psi selama menit. Obatolu (2007) melaporkan bahwa perbedaan karakteristik tekstur curd dapat dihubungkan dengan kandungan air di dalam curd. Curd dengan kekerasan tinggi memiliki kemampuan menahan air (WHC) yang rendah. Curd yang lunak memiliki kandungan air yang tinggi, yaitu antara 84% hingga 90%. Lunaknya curd juga disebabkan oleh tidak sempurnanya pengendapan protein kedelai yang mengakibatkan renggangnya jaringan (matriks) yang terbentuk. Curd dengan kandungan air yang tinggi secara visual akan memberikan penampakan yang lembut sedangkan curd dengan 10

27 kandungan air yang rendah cenderung memiliki penampakan yang kasar. Menurut Muchtadi (2010), curd atau tahu keras lebih banyak mengandung protein, lemak, dan kalsium dibandingkan jenis tahu lainnya. 2.4 WHEY CURD Whey curd merupakan limbah cair sisa penggumpalan protein kedelai. Hasil samping dari pembuatan curd ada 2 macam, yaitu limbah cair sisa penggumpalan protein kedelai (whey) dan limbah padat (ampas curd) yang merupakan sisa kedelai yang telah diekstrak proteinnya. Menurut Sarwono dan Saragih (2003) whey atau disebut juga biang tahu merupakan bahan penggumpal berupa air sisa penggumpalan sari kedelai. Sebelum digunakan, cairan ini didiamkan dulu selama 1 sampai 2 malam agar bakteri yang ada menghasilkan asam laktat. Asam laktat inilah yang banyak berperan dalam pengendapan protein kedelai pada pembuatan curd berikutnya. Akan tetapi apabila penanganannya tidak higienis, whey akan terkontaminasi oleh bakteri proteolitik. Penampakan fisik dari whey curd dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Whey pres (Reta, 2010) Whey curd mengandung hanya 1% padatan dan 59% diantaranya merupakan protein yang tidak terkoagulasi; 9% protein kedelai larut bersama whey (Shurtleff dan Aoyagi, 1984). Linaya dan Singkanparan (1983) melaporkan bahwa pada waktu pembuatan curd, tidak semua kandungan protein kedelai yang terekstrak dapat diendapkan atau tergumpalkan. Protein kedelai yang terdapat pada curd hanya sekitar 73.5%, sedangkan 9% akan terbuang bersama whey-nya. Selain itu, whey curd mengandung vitamin larut air khususnya vitamin B dalam persentase yang cukup besar dan lesitin. Whey curd juga mengandung 60% 80% oligosakarida yang dipercaya dapat menyebabkan flatulensi, 70% koagulan yang ditambahkan, dan 76% inhibitor tripsin dari kedelai (Shurtleff dan Aoyagi, 1984). Hasil analisis proksimat dari whey curd dapat dilihat pada Tabel 3. Whey atau biang tahu tergolong penggumpal asam. Koagulan atau penggumpal asam akan menurunkan ph sistem sehingga memungkinkan terjadinya agregasi protein (Obatolu, 2007). Pada umumnya curd yang dibuat dengan penggumpal asam akan mempunyai rasa lebih asam dengan tekstur partikel yang kecil-kecil, halus dan kurang kompak sehingga curd bersifat rapuh dan mudah pecah karena banyaknya air yang terkandung di dalamnya (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Menurut Kastyanto (1985), whey curd dapat digunakan sebagai bibit dalam pembuatan curd. Limbah cair yang digumpalkan dengan asam asetat masih dapat digunakan sebagai penggumpal lagi dalam pembuatan curd berikutnya, sedangkan limbah cair curd yang digumpalkan dengan batu tahu (garam kalsium sulfat) tidak dapat dimanfaatkan lagi. 11

28 Tabel 3. Hasil analisis proksimat whey curd Komposisi Jumlah Kadar air (%) Kadar abu (%) 0.06 Total padatan (%) 0.67 Protein (%) 0.17 Lemak (%) 0.09 Karbohidrat (%) 0.35 ph 4.27 Isoflavon (mg/g bahan) x 10 3 Sumber: Hariyadi dkk. (2002) Umur biang tahu atau whey memberikan efek yang berbeda terhadap tekstur curd yang dihasilkan. Umur biang satu hari akan menghasilkan curd dengan tekstur yang keras. Sementara biang tahu berumur dua atau tiga hari akan menghasilkan curd dengan tekstur yang lebih halus dan gurih (Supriatna, 2007). 2.5 PELARUTAN PROTEIN Pelarutan protein didefinisikan sebagai pemutusan interaksi antara protein dengan zat pengganggu, menghilangkan zat pengganggu dan mencegah protein mengalami agregasi kembali selama pemisahan. Intinya proses ini bertujuan memecah gaya agregasi antara protein dengan komponen lain (Rabilloud, 1996). Umumnya rantai polipeptida tidak terikat dalam kompleks biologis oleh ikatan kovalen, kecuali ikatan disulfida, dan ikatan yang dibentuk oleh transglutaminase (TAG). TAG menginisiasi terbentuknya ikatan amida yang secara kimia tak dapat dibedakan dari ikatan peptida. Ikatan ini tidak dapat dipecah selain dengan mendegradasi protein tersebut menjadi bentuk asam aminonya. Sementara itu, ikatan disulfida merupakan ikatan kovalen yang dapat dengan mudah dirusak tanpa harus mendegradasi protein. Sebagai ikatan kovalen, ikatan disulfida dapat diputus secara kimiawi, namun reagen perusak harus dapat masuk dan kontak dengan ikatan disulfida tersebut. Sementara itu, ikatan disulfida terletak di dalam struktur protein sehingga dibutuhkan proses denaturasi untuk membuka sebagian struktur protein (unfold) dan reagen perusak pun dapat menyerang ikatan disulfida. Reagen perusak yang dapat memutus ikatan disulfida, antara lain merkaptoetanol, tiogliserol, sisteamin, ditiotreitol (DTT), atau ditioeritritol (DTE) (Rabilloud, 1996). Pemanasan menyebabkan perubahan konformasi protein sehingga mengekspos bagian reaktif yang sebelumnya tersembunyi dalam struktur tiga dimensinya (Corredig, 2006). Atau dengan kata lain, pemanasan menyebabkan struktur protein terbuka (unfold) sehingga bagian terdalam dari protein terekspos (Wang dan Damodaran, 1991). Selama pemanasan, struktur protein kedelai yang unfold memungkinkan terbentuknya interaksi hidrofobik dan perubahan ikatan disulfida. Setelah itu, ikatan hidrogen akan terbentuk terutama selama dan setelah pendinginan (Corredig, 2006). Menurut Utsumi dan Kinsella (1985), ikatan hidrogen menyebabkan terbentuknya gel globulin 7S. Sementara interaksi elektrostatik dan ikatan disulfida terlibat dalam pembentukan struktur matriks protein 11S. Menurut Rabilloud (1996), selain dapat memutus ikatan disulfida, pelarutan protein juga dapat merusak gayagaya nonkovalen yang menjamin gaya kohesi dari kompleks supramolekuler protein. 12

29 2.6 TEKNIK ELEKTROFORESIS DALAM ANALISIS PROTEIN Elektroforesis didefinisikan sebagai migrasi molekul atau partikel bermuatan di dalam larutan atau medium karena adanya pengaruh medan listrik (Nielsen, 2003). Migrasi partikel bermuatan tersebut dapat terjadi karena perbedaan muatan total, ukuran, dan bentuk partikel (Pomeranz dan Meloan, 1994). Metode analisis elektroforesis protein merupakan metode analisis yang memisahkan molekul protein berdasarkan berat molekulnya (Bolag dan Edelstein, 1991). Copeland (1994) menyebutkan bahwa teknik elektroforesis telah banyak digunakan dalam analisis protein untuk menentukan tingkat kemurnian sampel, berat molekul, maupun titik isoelektrik. Selain itu, menurut Nielsen (2003) teknik elektroforesis juga sering digunakan untuk menentukan komposisi protein dari suatu produk pangan. Sebagai contoh, dalam penentuan komposisi konsentrat protein kedelai dan konsentrat protein whey. Pemisahan protein berdasarkan muatannya tergantung pada karakter asam dan basa protein. Hal ini ditentukan oleh jumlah dan jenis rantai samping (gugus R) yang dapat terionisasi dalam rantai polipeptida serta ph lingkungan. Pada ph lingkungan yang lebih besar daripada ph isoelektriknya (pi), protein akan memiliki muatan negatif sehingga migrasi protein akan menuju anoda yang bermuatan positif. Sebaliknya, bila ph lingkungan di bawah pi, muatan protein menjadi positif yang membuatnya akan bermigrasi menuju katoda yang bermuatan negatif (Autran, 1996). Hal inilah yang menjadi dasar pemisahan protein dengan elektroforesis. Metode elektroforesis protein yang paling umum dan banyak dilakukan adalah SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis). SDS-PAGE merupakan teknik elektroforesis dalam sistem buffer diskontinyu yang menggunakan dua tipe gel sebagai medianya, yaitu stacking gel dan separating gel. Sistem buffer yang diskontinyu membuat sampel terkonsentrasi dalam stacking gel sehingga menghasilkan resolusi yang lebih baik ketika pemisahan protein terjadi di separating gel (Garfin, 1990). Skema alat elektroforesis SDS-PAGE dapat dilihat pada Gambar 6. Garfin (1990) menambahkan, resolusi yang dihasilkan melalui SDS-PAGE tergantung dari ukuran pori-pori polimer gel, sehingga persentase akrilamid yang digunakan pada tahap persiapan gel akan mempengaruhi kemampuan elektroforesis dalam memisahkan protein. Gambar 6. Skema alat SDS-PAGE (Jage, 2008) Gel poliakrilamid dibentuk dari hasil ko-polimerisasi monomer akrilamid, CH 2 =CH-CO-NH 2, dengan bantuan senyawa yang bertindak sebagai cross-linking agent, yaitu N,N -metilen-bisakrilamid, CH 2 =CH-CO-NH-CH 2 -NH-COCH=CH 2. Mekanisme polimerisasi akrilamid tersebut dikatalisis oleh TEMED (tetrametietilendiamin) dan APS (amonium persulfat). TEMED akan menyebabkan pembentukan radikal bebas dari amonium persulfat yang mengakibatkan reaksi pembentukan 13

30 akrilamid aktif. Akrilamid aktif ini akan bereaksi dengan akrilamid lainnya membentuk rantai polimer yang panjang. Hasil dari polimerisasi ini adalah terbentuknya gel dengan struktur jala dari rantai akrilamid. Ukuran pori dan jala gel tersebut ditentukan oleh jumlah akrilamid yang digunakan per unit volumnya dan derajat ikatan silangnya (Autran, 1996; Garfin, 1990). Sodium dodecyl sulfate (SDS) adalah detergen anionik yang paling umum digunakan dalam elektroforesis. SDS memiliki dua fungsi, yaitu: 1) untuk memisahkan protein-protein yang beragregasi, hidrofobik, atau memiliki kelarutan yang rendah, seperti membran protein; dan 2) memisahkan protein berdasarkan bentuk, ukuran dan berat molekulnya. SDS menyelimuti protein dengan muatan negatif, serta mengikat protein dengan rasio yang konstan, yaitu 1.4 g SDS per gram polipeptida (Autran, 1996; Garfin, 1990). Interaksi SDS dengan protein akan merusak seluruh ikatan non-kovalen protein sehingga struktur protein akan terbuka. Selanjutnya, penggunaan reducing agent seperti 2-merkaptoetanol atau ditiothreitol akan membantu mendenaturasi protein melalui pemutusan ikatan disulfida pada protein sehingga memecahnya menjadi subunit-subunit protein. Akibatnya, mobilitas elektroforetik dari kompleks detergen-polipeptida hanya merupakan fungsi dari berat molekul protein (Garfin, 1990). Penggunaan buffer dalam elektroforesis gel dapat digunakan dengan dua sistem, yaitu kontinyu (homogenous) dan diskontinyu (multiphasic) (Copeland, 1994). Perbedaan mendasar pada sistem diskontinyu adalah penggunaan dua gel dalam satu slab, yaitu stacking gel dan separating gel. Buffer dan konsentrasi akrilamid yang digunakan pada kedua jenis gel tersebut berbeda (Boyer, 1993). Pada stacking gel digunakan buffer dengan ph 6.8 dan konsentrasi akrilamid yang lebih rendah (ukuran pori besar) sedangkan pada separating gel digunakan buffer dengan ph 8.8 dan konsentrasi akrilamid yang tinggi (ukuran pori kecil) (Wilson dan Walker, 2000). Hal ini akan menghasilkan pemisahan yang baik dengan pita yang tajam karena protein terkonsentrasi pada stacking gel dan mengalami resolusi yang tinggi pada separating gel. 2.7 TEKSTUR Tekstur merupakan salah satu faktor penting penentu penerimaan produk pangan oleh konsumen selain penampakan dan flavor. Apabila salah satu dari ketiga faktor tersebut tidak memenuhi harapan konsumen, produk tersebut tidak akan dikonsumsi, atau apabila dikonsumsi akan menimbulkan respon yang negatif dari konsumen. Menurut Smith (2004), tekstur menjadi faktor kunci penerimaan konsumen atas produk pangan. Bourne (2002), yang dikutip oleh Smith (2004), mendefinisikan sifat tekstur produk pangan sebagai sekelompok karakteristik fisik yang: 1) diperoleh dari elemen struktural produk pangan, 2) dipersepsikan oleh indera peraba, dan 3) berhubungan dengan deformasi, disintegrasi, dan gaya yang diberikan, serta 4) diukur secara objektif sebagai fungsi dari massa, waktu, dan jarak. Analisis tekstur produk pangan dapat dilakukan secara instrumen menggunakan alat ataupun secara organoleptik menggunakan indera manusia. Analisis secara instrumen akan memberikan hasil yang lebih akurat karena bersifat objektif. Sebaliknya, analisis tekstur secara organoleptik memberikan hasil yang subjektif dan beragam, tergantung pada penilaian yang diberikan oleh panelis dalam pengujian. (Peleg, 1983). Menurut Scott-Blair (1958) yang dikutip Rosenthal (1999), teknik instrumental untuk pengukuran tekstur pangan dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) pengukuran empiris, yaitu metode yang mengukur atribut mekanik produk dengan mengombinasikan beberapa tipe prinsip pengujian seperti penetrasi, kompresi, pemotongan, dan sebagainya; 2) pengukuran imitatif, yaitu 14

31 metode pengukuran yang didesain dengan mengimitasi pengunyahan makanan di dalam mulut manusia. Dalam hal ini,, Texture Profile Analysis (TPA) merupakan metode yang paling umum dipakai; 3) pengukuran fundamental, yaitu metode yang mengukur atribut reologi atau fisik seperti viskositas atau modulus elastis. Analisis tekstur dapat dilakukan menggunakan alat atau instrumen seperti Instron, LFRA Texture Analyser, dan Stable Micro System TA-XT2i Texture Analyser (Smewing, 1999). Umumnya, karakteristik tekstur curd secara objektif dianalisis menggunakan instrumen texture analyser TA-XT2i dengan metode Texture Profile Analysis (TPA). Analisis dilakukan terhadap parameter-parameter mekanik seperti kekerasan, kohesivitas, dan daya kunyah (Prabhakaran et al., 2006). Grafik hasil pengukuran tekstur pangan secara umum dengan metode TPA dan perhitungan parameter mekanik dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Grafik TPA untuk produk pangan secara umum beserta parameter analisis dan perhitungannya (Anonim b, 2010) Persepsi manusia terhadap tekstur tidak hanya ditentukan ketika produk pangan berada di dalam mulut. Faktor lain seperti penampakan dan pengaruh indera pendengaran juga memberikan persepsi tentang tekstur suatu produk (Kilcast, 2004). Kilcast (1999) juga menyebutkan bahwa persepsi tekstur yang diterima oleh manusia melalui indera peraba dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu: somesthesis (secaraa taktil) yang merupakan respon yang diperoleh manusia melalui sentuhan dari kulit, dan kinesthesis, yaitu respon yang diterima melalui aktivitas otott dan tendon. Stimulus sentuhan dapat dilakukan melalui pengujian produk pangan menggunakan tangan dan jari sedangkan kontak oral (kinesthesis) diperoleh melalui pengujian di dalam mulut akibat aktivitas bibir, lidah, langit-langit mulut, dan gigi. Szczesniak (1963) yang dikutip Faridi dan Faubion (1990) menyatakan bahwa parameter- sensori terdiri atas parameter tekstur yang digunakan untuk mengklasifikasikan atribut tekstur secara tiga kategori, diantaranya: 1) karakteristik mekanikal, yaitu reaksi bahan pangan terhadap tekanan yang dipersepsikan oleh indra kinestetik, meliputi kekerasan, kohesivitas, viskositas, dan kerenyahan; 2) karakteristik geometrikal, yaitu karakteristik yang berhubungan dengann ukuran, bentuk dan orientasi partikel yang dipersepsikan oleh syaraf pengecap dalam mulut atau dengan sentuhan meliputi gritty, grainy, flaky, stringy, dan smooth; dan 3) karakteristik lain, meliputi atribut mouthfeel yang 15

32 berhubungan dengan persepsi terhadap lemak dan air selama pengunyahan dan penelanan. Beberapa karakteristik mekanikal dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Beberapa karakteristik mekanikal dan definisinya Karakteristik Definisi Sensorial Definisi Instrumental Kekerasan Gaya yang diberikan hingga terjadi perubahan bentuk (deformasi) pada objek Kekerasan Kerapuhan Adesivitas Titik dimana besarnya gaya yang diberikan membuat objek menjadi patah (break/fracture) Gaya yang dibutuhkan untuk menahan tekanan yang timbul diantara permukaan objek dan permukaan benda lain saat terjadi kontak antara objek dengan benda tersebut Elastisitas Kohesivitas Laju suatu objek untuk kembali kebentuk semula setelah terjadi perubahan bentuk (deformasi) Kekuatan dari ikatan-ikatan yang berada di dalam objek yang menuyusun bentuk objek Siklus = Kontak kedua Kontak pertama Elastisitas = Siklus untuk material inelastik - Siklus untuk pangan Kohesivitas = B/A Tenaga yang dibutuhkan untuk menghancurkan (memecah) pangan Daya kunyah semi padat menjadi bentuk yang siap untuk ditelan. Gumminess berhubungan dengan hardness dan cohesiveness Tenaga yang dibutuhkan untuk mengunyah (menghancurkan) pangan Kelengketan padat menjadi bentuk yang siap untuk ditelan. Chewiness berhubungan dengan hardness, cohesiveness dan elasticity Sumber: DeMan (1985); Rosenthal (1999) = Kekerasan x Kohesivitas = Kekerasan x Kohesivitas x Elastisitas 16

33 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu kedelai KOPTI dan koagulan whey (biang tahu) dari pabrik Tahu Sumedang Diazara Tresna Darmaga Bogor. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis, antara lain: NaOH, n-heksana, coomassie brilliant blue G-250, etanol 95%, asam fosforat 85%, dan bovine serum albumin (BSA), K 2 SO 4, HgO, H 2 SO 4 pekat, Na 2 S 2 O 3.5H 2 O, H 3 BO 3, HCl, akuades, indikator metilen, akrilamid, N,N -metilen bisakrilamid, amonium persulfat (APS), sodium dodecyl sulfate (SDS), tetrametil-etilendiamin (TEMED), tris base, glisin, gliserol, bromphenol blue, 2-merkaptoetanol, coomassie brilliant blue R-250, methanol, asam asetat glasial, akua-biodestilat, standar low molecular weight protein (LMW) Fermentas. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan curd antara lain blender, kompor, sodet kayu, panci, termometer, kain saring, cetakan tahu (10x10 cm 2 ) dan penekan curd. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah alat Soxhlet, alat Kjeldahl, IECCentra-8 Centrifuge, Hettich Zentifugen (mikro 22R), perangkat alat SDS-PAGE Bio-Rad Mini Protean 3 cell, Bio-Rad Gel Doc, tabung Eppendorf, mikropipet, magnetic stirrer, gelas piala, timbangan analitik, ph meter, labu takar, gelas ukur, hot plate, sudip, sarung tangan, spektrofotometer uv-vis Shimadzu UV-2450, tabung reaksi, penangas air Napco model 220A, kuvet, pipet, vortex, alat gelas untuk analisis sensori, dan perangkat alat analisis tekstur (TA-XT2i). 3.2 TAHAPAN PENELITIAN Secara umum, penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama, yaitu tahap penelitian pendahuluan berupa penguasaan teknik pembuatan curd, karakterisasi ph koagulan whey (biang tahu) pabrik tahu Sumedang Diazara Tresna Darmaga Bogor, penetapan variabel proses selain umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi, dan penetapan standar pembuatan curd. Tahap kedua merupakan tahap penelitian utama. Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap bahan baku kacang kedelai serta produk hasil berupa curd dan whey pres Tahap Penelitian Pendahuluan Teknik pembuatan curd diadopsi dari pembuatan tahu pada pabrik tahu Sumedang Diazara Tresna di daerah Darmaga Bogor. Teknik ini kemudian diaplikasikan dalam pembuatan curd pada skala laboratorium. Penentuan standar pembuatan curd skala laboratorium dilakukan secara trial and error dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan tekstur curd. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dan ditentukan pada penelitian pendahuluan, yaitu perbandingan total penambahan air, suhu koagulasi, jumlah koagulan yang ditambahkan, waktu koagulasi, dan tekanan penekan curd. Karakterisasi ph koagulan whey tahu (biang tahu) dari pabrik tahu Sumedang Diazara Tresna perlu dilakukan, mengingat fermentasi yang terjadi selama penyimpanan adalah fermentasi alami sehingga perlu dilihat keseragaman ph whey tahu (biang tahu) yang akan digunakan sebagai koagulan. 17

34 3.2.2 Tahap Penelitian Utama Penelitian utama meliputi pembuatan curd dengan standar proses pada tahap penelitian pendahuluan, pelarutan protein tepung kedelai dan curd, dan analisis curd serta whey hasil samping produk curd. Analisis yang dilakukan meliputi analisis tekstur curd secara objektif dan subjektif, analisis kadar protein Kjeldahl, analisis kadar air, analisis ph whey pres, analisis transmitan whey pres, ekstraksi protein, analisis kadar protein Bradford, dan analisis SDS-PAGE. Diagram alir tahap penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 8. Kacang Kedelai Whey umur 1, 2, atau 3 hari sebanyak 20% (v/v) susu kedelai Susu Kedelai Tepung Kedelai Proses Koagulasi (63 o C atau 83 o C, diaduk 5x (dengan sodet) kecepatan ± 1 putaran/detik) Whey Curd Penghilangan Lemak Analisis Kadar Protein Kjedahl Analisis Kadar Air Analisis Tekstur Analisis Kadar Protein Kjeldahl Analisis Objektif Subjektif Pelarutan Protein Transmitan ph Protein Bradford Larutan Protein Analisis Kadar Protein Bradford Variabel tetap dalam penelitian ini: - Jumlah koagulan whey yang ditambahkan 20 % (v/v) susu kedelai - Waktu koagulasi 10 menit - Jumlah pengadukan 5x dengan V = 1 putaran/detik - Tekanan cetakan 4.71 g/cm 2 Variabel bebas dalam penelitian ini: - Umur koagulan whey 1, 2, atau 3 hari - Suhu awal koagulasi 63 o C atau 83 o C Keterangan: = Jalur produk = Jalur tepung kedelai SDS-PAGE Gel Analisis Densitas Pita Protein Gambar 8. Diagram alir tahap penelitian utama 18

35 3.3 PROSEDUR ANALISIS Analisis Kadar Air Metode Oven (SNI, 1992 yang Dimodifikasi) Sejumlah sampel (1-2 g) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 o C hingga diperoleh berat yang konstan. Perhitungan kadar air dilakukan berdasarkan berat basah menggunakan rumus : (a - b) Kadar air = 100% c Dimana : a = berat cawan dan sampel awal (g) b = berat cawan dan sampel akhir (g) c = berat sampel awal (g) Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC, 1995 yang Dimodifikasi) Sejumlah sampel ( mg) ditimbang ke dalam labu Kjeldahl. Kemudian ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K 2 SO 4, 40 ± 10 mg HgO dan 2 ± 0.1 ml H 2 SO 4. Sampel dididihkan selama jam dengan kenaikan suhu secara bertahap sampai cairan menjadi jernih, lalu didinginkan. Sejumlah kecil akuades diteteskan secara perlahan lewat dinding labu, kemudian labu digoyang pelan agar kristal yang terbentuk larut kembali. Isi labu kemudian dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml akuades. Selanjutnya ditambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH-5% Na 2 S 2 O 3 ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer yang berisi 5 ml H 3 BO 3 dan 2 tetes indikator metilen red-metilen blue diletakkan di bawah kondensor dengan kondisi ujung kondensor terendam di bawah larutan H 3 BO 3. Destilasi dilakukan hingga diperoleh destilat sebanyak ± 15 ml. Destilat yang diperoleh selanjutnya diencerkan hingga ± 50 ml dan dititrasi dengan HCl terstandar sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Perhitungan kadar protein dilakukan dengan rumus : (ml HCl - ml blanko) % N = N HCl mg sampel Kadar protein g g bahan basah = % N Faktor konversi Analisis ph dan Transmitan Whey Pres (Moizuddin et al., 1999) Tingkat keasaman whey hasil pengepresan curd diukur menggunakan ph meter pada suhu ruang, sedangkan % transmitan (%T) whey diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 400 nm Pelarutan Protein (Mujoo et al., 2003 yang Dimodifikasi) Pelarutan atau ektraksi protein terhadap tepung kedelai dan curd dilakukan setelah penghilangan kandungan lemak yang terdapat dalam sampel. Sebanyak 20 mg sampel tepung kedelai atau curd yang telah dihilangkan lemaknya dilarutkan/diekstraksi menggunakan pelarut protein (Buffer Tris [Tris(hydroxymethyl)aminomethane] ph 8.4 yang mengandung 0.02 M β- mercaptoethanol) dalam tiga tahap sehingga diperoleh larutan atau supernatan protein. Sampel diekstrak dengan 500 µl larutan pengekstrak, kemudian divorteks dan diinkubasi dengan water bath (Napco ) pada suhu 80 o C selama 1 jam. Selama proses inkubasi, larutan divorteks selama 1 menit tiap 10 menit. Setelah itu larutan disentrifugasi (Hettich Zentifugen, mikro 22R) dengan kecepatan rpm selama 20 menit pada suhu 25 o C. Supernatan yang diperoleh kemudian dimasukkan ke 19

36 dalam tabung mikro sebagai larutan stok protein. Sisa protein yang belum terekstrak (endapan) diekstraksi kembali pada tahap 2 dan 3. Diagram alir ekstraksi protein dapat dilihat pada Gambar ml pelarut buffer Tris ph 8.4 yang mengandung 0.02 M 2-Merkaptoetanol 20 mg sampel bebas lemak Homogenisasi (vorteks, 1 menit) Inkubasi pada penangas air suhu 80 o C selama 1 jam (vorteks setiap 10 menit selama 1 menit) Sentrifugasi (20 menit, 25 o C, rpm) Supernatan 0.5 ml pelarut buffer Tris ph 8.4 yang mengandung 0.02 M 2-Merkaptoetanol Endapan Homogenisasi (vorteks, 1 menit) Inkubasi pada penangas air suhu 80 o C selama 1 jam (vorteks setiap 20 menit selama 1 menit) Sentrifugasi (20 menit, 25 o C, rpm) Supernatan 0.5 ml pelarut buffer Tris ph 8.4 yang mengandung 0.02 M 2-Merkaptoetanol Endapan Homogenisasi (vorteks, 1 menit) Inkubasi pada penangas air suhu 80 o C selama 40 menit (vorteks setiap 20 menit selama 1 menit) Sentrifugasi (20 menit, 25 o C, rpm) Supernatan Endapan Larutan Stok Gambar 9. Diagram alir ekstraksi protein modifikasi Mujoo et al. (2003) 20

37 3.3.5 Analisis Kadar Protein Metode Bradford (Bradford, 1976) a. Preparasi pereaksi Bradford Sebanyak 100 mg pewarna CBB G-250 dilarutkan ke dalam 50 ml etanol 95%. Selanjutnya ditambahkan 100 ml asam fosforat 85% dan ditepatkan hingga 1 L menggunakan akuades. Larutan kemudian disaring menggunakan kertas Whatman No.1, kemudian disimpan dalam botol gelap dan suhu refrigerasi. b. Pembentukan kurva standar Sebanyak 100 µl larutan BSA ( µg/ml) dipipet ke dalam tabung reaksi berukuran 1.2 x 10 cm. Kemudian ditambahkan 5 ml pereaksi Bradford. Larutan kemudian divorteks dan diukur secara spektrofotometri pada λ= 595 nm setelah 5 menit. Untuk blanko, sebanyak 100 µl akuades ditambahkan 5 ml perekasi Bradford dan diukur dengan cara yang sama. Kurva standar yang diperoleh digunakan untuk mengukur konsentrasi sampel. c. Pengukuran sampel Sebanyak 100 µl sampel dipipet ke dalam tabung reaksi berukuran 1.2 x 10 cm. Kemudian ditambahkan 5 ml pereaksi Bradford. Larutan kemudian divorteks dan diukur secara spektrofotometri pada λ= 595 nm setelah 5 menit Analisis SDS-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (Bollag dan Edelstein, 1991) Analisis SDS-PAGE dilakukan menggunakan gel akrilamid dengan konsentrasi separating gel 12% dan stacking gel 5%. Sampel yang dielektroforesis adalah supernatan protein hasil ekstraksi protein dari sampel curd kedelai. Tahapan yang harus dilakukan dalam analisis SDS-PAGE adalah 1) pembuatan separating gel; 2) pembuatan stacking gel; 3) preparasi dan injeksi sampel; 4) running SDS-PAGE; 5) pewarnaan gel; 6) destaining gel; dan 7) penentuan berat molekul protein-protein yang terpisahkan. Pembuatan larutan stok dan larutan kerja untuk analisis SDS-PAGE dapat dilihat pada Lampiran 1. a. Pembuatan separating gel Dua lempengan kaca (mini slab) yang akan digunakan sebagai cetakan gel dirangkai sesuai dengan petunjuk pemakaian. Sebanyak 4 ml larutan A dipipet ke dalam gelas piala, kemudian ditambahkan 2.5 ml larutan B dan 3.5 ml akua-biodestilat. Campuran tersebut kemudian diaduk perlahan dengan menggoyangkan gelas piala. Selanjutnya, sebanyak 50 µl APS 10% dan 5 µl TEMED ditambahkan ke dalam campuran dan diaduk kembali dengan perlahan. Campuran dimasukkan ke dalam lempengan kaca (mini slab) tanpa menimbulkan gelembung udara dengan menggunakan mikropipet sampai sekitar 1 cm dari atas lempengan. Bagian yang tidak diisi gel diberi akuades untuk meratakan gel yang terbentuk. Gel kemudian dibiarkan mengalami polimerisasi selama menit. b. Pembuatan stacking gel Air dibuang dari atas separating gel dan dikeringkan dengan menggunakan tisu. Akuabiodestilat, larutan A, dan larutan C masing-masing sebanyak 2.3 ml, 0.67 ml, dan 1.0 ml dicampurkan ke dalam gelas piala dan diaduk perlahan dengan menggoyangkan gelas piala. Selanjutnya, sebanyak 30 µl APS 10% dan 5 µl TEMED ditambahkan ke dalam campuran dan diaduk kembali dengan perlahan. Kemudian sisir dimasukkan dengan cepat tanpa menimbulkan gelembung udara. Stacking gel dibiarkan mengalami polimerisasi selama menit. Setelah gel berpolimerisasi, sisir diangkat dari atas gel dengan perlahan dan slab ditempatkan ke dalam 21

38 wadah elektroforesis. Buffer elektroforesis dimasukkan ke wadah elektroforesis di bagian dalam dan luar agar gel terendam. c. Preparasi dan injeksi sampel Sebanyak 40 µl sampel dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf dan ditambahkan 10 µl buffer sampel. Tabung kemudian dipanaskan selama 5 menit dalam air mendidih 100 o C. Sampel kemudian siap diinjeksikan ke dalam sumur menggunakan mikropipet. Mikropipet dibilas menggunakan akuades setiap kali ingin memasukkan sampel lain. Pada salah satu sumur, ditempatkan sebanyak 7 µl protein marker. d. Running SDS-PAGE Katup elektroda dipasang dengan arus mengalir ke anoda. Sumber listrik dinyalakan dan dijaga konstan pada 70 V. Running dilakukan selama 180 menit sampai migrasi dye tersisa sekitar 0.5 cm dari dasar. Setelah selesai, aliran listrik dimatikan dan katup elektroda dilepaskan, lalu plat gel dipindahkan dari elektroda. e. Pewarnaan gel Gel diangkat dari slab dan dipindahkan ke dalam wadah tertutup yang telah berisi pewarna coomassie brilliant blue (kurang lebih 20 ml). Kemudian digoyang-goyangkan sesekali selama 5-10 menit. f. Destaining gel Gel diangkat dan dicuci menggunakan akuades beberapa kali. Larutan penghilang warna ditambahkan (destaining solution) dan digoyangkan sesekali hingga latar belakang pita protein menjadi terang. Selanjutnya, larutan penghilang warna dibuang dan gel siap dianalisis. g. Penentuan berat molekul protein yang terpisahkan Berat molekul protein sampel dapat dihitung dari persamaan regresi antara mobilitas relatif protein marker (penanda protein) dan logaritma dari berat molekul marker yang telah diketahui. Mobilitas relatif protein dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein, diukur dari garis awal separating gel sampai ujung pita protein, dan jarak migrasi tracking dye. Mobilitas relatif tersebut dirumuskan sebagai: Rf = Jarak migrasi protein Jarak migrasi tracking dye Analisis Densitas Pita Protein Densitas dari pita protein yang terlihat dalam gel dianalisis dengan software ImageJ 1.42q dari Wayne Rasband, National Institutes of Health, USA ( Gel Doc (Bio-Rad) digunakan untuk memperoleh foto gel dalam bentuk digital untuk kemudian dianalisis dengan software ImageJ 1.42q Analisis Tekstur Curd secara Objektif Tekstur curd dianalisis dengan metode Texture Profile Analysis (TPA) menggunakan alat TA- XT2i. Setting alat TA-XT2i untuk pengukuran TPA curd dapat dilihat pada Tabel 5. Pengukuran sampel curd dilakukan sebanyak empat kali dari empat titik yang berbeda. Sampel curd yang akan diukur dipotong berbentuk silinder dengan diameter ±1 cm. Sampel dianalisis menggunakan probe P/100 dengan diameter 100 mm. Parameter yang diukur menggunakan metode TPA adalah kekerasan, kohesivitas, dan daya kunyah. 22

39 Tabel 5. Setting TA-XT2i untuk pengukuran TPA curd Setting Nilai Pre-test speed 1.5 mm/sec Test speed 1.5 mm/sec Post-test speed 1.0 mm/sec Target mode 0 = distance Unit distance % strain Distance 60% Time 5 sec Trigger type 0 = Auto (force) Unit force Grams Trigger force 20 g Tare mode 0 = Auto Analisis Kekerasan Curd secara Subjektif Analisis kekerasan curd secara subjektif dilakukan dengan memplotkan nilai kekerasan curd objektif pada persamaan kurva standar kekerasan curd komersial. Kurva ini diperoleh dari pengujian sederetan curd komersial dengan berbagai tingkat kekerasan menggunakan panelis terlatih dalam bidang kekerasan curd. Pengujian kekerasan curd dilakukan menggunakan telunjuk dan ibu jari panelis terlatih. Panelis terlatih ini diperoleh dari proses seleksi dan pelatihan calon panelis terpilih. Serangkaian uji segitiga terhadap kekerasan curd dilakukan dalam beberapa tahap untuk menyeleksi panelis. Selanjutnya, calon panelis terlatih diberikan pelatihan mengenai pengujian kekerasan curd menggunakan telunjuk dan ibu jari. Pelatihan yang dilakukan meliputi teknik pengujian, penyamaan persepsi kekerasan, penentuan sampel referen, dan teknik penilaian organoleptik. Dalam pelatihan panelis, dilakukan uji rating 3 sampai 4 sampel curd komersial terhadap sampel referen hingga diperoleh konsistensi panelis pada penilaian sampel tahu komersial. Selanjutnya, panelis diminta menguji lebih banyak (6) sampel curd komersial mentah menggunakan uji rating skala garis (15 cm) dari sangat lunak (ujung kiri) dan sangat keras (ujung kanan). Kuesioner uji rating penekanan sampel curd dapat dilihat pada Lampiran 3. Pengolahan data uji penekanan menggunakan bantuan program statistik SPSS RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang digunakan meliputi suhu awal proses koagulasi (α) dan umur koagulan whey (β). Faktor suhu awal proses koagulasi terdiri atas dua taraf, yaitu 63 o C (α1) dan 83 o C (α2), sedangkan umur koagulan whey terdiri atas tiga taraf, yaitu 1 hari (β1), 2 hari (β2), dan 3 hari (β3). Model matematika untuk rancangan percobaan ini adalah: Y ijk = µ + α i + β j + (αβ) ij + Σ ij 23

40 dimana: Y ijk = respon pada perlakuan α ke-i, perlakuan β ke-j, ulangan ke-k µ = pengaruh rata-rata sebenarnya α i = pengaruh perlakuan suhu awal proses koagulasi ke-i β j = pengaruh perlakuan umur koagulan whey ke-j (αβ) ij = pengaruh interaksi α ke-i dan β ke-j Σ ij = pengaruh acak (galat pada perlakuan ke-i kelompok ke-j) i = 1, 2 j = 1, 2, 3 Pengaruh dari perlakuan suhu awal proses koagulasi, umur whey, maupun interaksi keduanya terhadap ph whey pres, kadar protein whey pres, kadar air curd, kadar protein curd, tekstur curd, massa curd, total padatan curd, recovery pelarutan protein, dan proporsi protein penyusun curd dianalisis dengan program SPSS 15.0 pada taraf nyata 5%. Uji lanjut Duncan digunakan jika pengaruh perlakuan di atas memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Adanya perbedaan tersebut diperlihatkan dengan adanya subset-subset yang terpisah pada tabel uji Duncan. Perbedaan subset juga dapat disimbolkan dengan huruf di belakang (superscript) nilai respon, yaitu huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar hasil analisis. 24

41 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 TAHAP PENELITIAN PENDAHULUAN Penguasaan Teknik Pembuatan Curd Tahap pertama penelitian pendahuluan, dilakukan pengamatan pembuatan tahu Sumedang di pabrik tahu Diazara Tresna yang terletak di daerah Darmaga, Bogor. Pabrik Diazara Tresna dipilih sebagai lokasi pengamatan sekaligus acuan pembuatan curd karena letaknya yang dekat dengan lokasi penelitian dan produksinya yang setiap hari sehingga memudahkan pengamatan. Pabrik ini menggunakan kacang kedelai yang diperoleh dari KOPTI (Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia). Kedelai yang digunakan merupakan kedelai asal Amerika dengan mutu baik yang biasa digunakan untuk pembuatan tahu. Melalui kegiatan ini, peneliti diharapkan dapat mengetahui serta menguasai teknik dan tata cara pembuatan tahu yang baik dan benar. Teknik dan tata cara pembuatan tahu yang diperoleh kemudian dijadikan sebagai acuan dalam pembuatan curd skala laboratorium. Alat-alat utama yang digunakan pabrik tahu Diazara Tresna dalam pembuatan tahu Sumedang, meliputi alat penggiling kedelai (waring blender), baskom sebagai penampung bubur kedelai hasil penggilingan, tungku api dengan kuali perebus bubur kedelai (diameter 90 cm, kedalaman 45 cm) dan terbuat dari stainless steel, tempat penampungan susu kedelai sekaligus tempat proses koagulasi yang terbuat dari kayu jati (tahang, diameter atas 75 cm, diameter bawah 60 cm, tinggi 80 cm), tanggok, kain saring berbahan sifon polos berwarna terang (150 cm x 150 cm), perangkat pengepres dan pencetak dari kayu jati dengan ukuran 45 cm x 45 cm x 10 cm, tempat tahu mentah hasil cetakan yang terbuat dari anyaman bambu (ancak), serta tungku api besar dengan kuali penggoreng (diameter 120 cm, kedalaman 35 cm) yang terbuat dari stainless steel. Dalam pembuatan tahu, pabrik tahu ini menggunakan whey tahu umur 2 hingga 3 hari sebagai koagulan. Pabrik tahu Diazara Tresna memproduksi tahu Sumedang dengan takaran proses yang cenderung tidak spesifik. Pabrik ini tidak memiliki takaran yang tetap dalam proses produksinya, takaran berdasarkan perkiraan dan pengalaman pegawai, sehingga diperlukan penetapan proses baku dalam penelitian utama nantinya. Berdasarkan pengamatan, tahapan proses produksi tahu Sumedang secara umum di pabrik tahu Diazara Tresna disajikan dalam Gambar Penentuan Standar Pembuatan Curd Penentuan standar pembuatan curd perlu dilakukan dengan beberapa alasan teknis, yaitu: 1) tidak adanya takaran yang tepat dalam proses produksi tahu di pabrik yang menjadi acuan proses, 2) penelitian utama dilakukan pada skala laboratorium yang lebih kecil sehingga diperlukan adanya penyesuaian dengan keadaan dan alat yang tersedia, 3) penelitian memerlukan pembuatan curd yang reproducible, yang dapat memberikan hasil konsisten. Penentuan standar pembuatan curd dilakukan melalui trial and error menggunakan acuan pembuatan tahu di pabrik Diazara Tresna dan hasil penelitian Fahmi (2010). Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, studi literatur, hasil penelitian Fahmi (2010) dan hasil trial and error dirumuskan proses baku pembuatan curd skala laboratorium seperti yang terlihat pada Gambar 11. Proses koagulasi susu kedelai menjadi curd merupakan proses interaksi yang kompleks antar beberapa variabel. Setidaknya terdapat 11 variabel yang mempengaruhi proses terbentuknya curd, yaitu jenis kedelai, kualitas kedelai, suhu pemasakan, volume air yang ditambahkan, kandungan

42 padatan, ph, jenis koagulan, jumlah koagulan yang digunakan, waktu koagulasi, jumlah pengadukan, dan penekanan curd (Obatolu, 2007). Umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi merupakan variabel bebas dalam penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penentuan standar pembuatan curd perlu ditentukan variabel proses yang mungkin mempengaruhi variasi hasil curd, sehingga hanya variabel umur whey dan suhu awal proses koagulasilah yang diharapkan akan mempengaruhi pembentukan tekstur curd. Kedelai Perendaman dengan air (suhu kamar) sebanyak 2x vol kedelai selama ± 4 jam Pencucian dan pembersihan Penirisan selama menit Penggilingan basah dengan debit air 0.5 liter/menit Bubur Kedelai Mentah Air hangat (1/5-1/4 vol bubur kedelai) Perebusan sampai cukup matang, air untuk merebus dipanaskan dulu (air : bubur = 1 : 4) Bubur Kedelai Matang Penyaringan dengan kain sifon Ampas Susu Kedelai Pencucian dengan air panas (3x pencucian) Ditambahkan koagulan whey berumur 3 hari, sambil diaduk dengan gayung hingga whey merata Didiamkan Pemisahan Whey Curd Pencetakan Penirisan dan Pemotongan Perendaman dalam larutan bumbu Penggorengan Tahu Sumedang Gambar 10. Diagram alir pembuatan tahu Sumedang di pabrik Diazara Tresna 26

43 Kedelai Susu Kedelai Dicuci dan direndam dengan air sebanyak 3x berat kedelai selama ± 6 jam Dipanaskan sambil diaduk hingga suhu 63 o C atau 83 o C Digiling Ditambahkan air sebanyak 6x berat awal kedelai Dikoagulasi dan diaduk 5x, 1 putaran/detik Koagulan whey Bubur Kedelai Ditambahkan air sebanyak 4x berat awal kedelai Didiamkan selama 10 menit Dididihkan selama 3 menit sambil diaduk Pemisahan curd dan whey Ampas Curd Disaring Susu Kedelai Dibilas air mendidih sebanyak 5x berat awal kedelai Dicetak dan dipress dengan tekanan 4.71 g/cm 2 selama 30 menit (a) Curd Pres Whey (b) Gambar 11. Diagram alir standar pembuatan curd yang meliputi: (a) persiapan susu kedelai dan (b) koagulasi Kedelai yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari satu sumber yang sama (kedelai KOPTI). Suhu pemasakan bubur kedelai dan jumlah pengadukan dijaga agar selalu sama setiap kali pembentukan curd dilakukan, sedangkan ph susu kedelai relatif tidak akan memiliki perbedaan bila digunakan bahan dan teknik yang sama. Oleh karena itu variabel-variabel tersebut diasumsikan tidak akan memberikan pengaruh yang besar terhadap pembentukan tekstur curd Karakterisasi ph Koagulan Whey Tahu (Biang Tahu) Diazara Tresna Hasil dan mutu tekstur tahu dipengaruhi oleh varietas kedelai, mutu kedelai, dan kondisi proses koagulasi (Oboh, 2006). Penggunaan jenis maupun konsentrasi koagulan yang berbeda akan mempengaruhi rendemen, sifat tekstur, dan flavor curd (Blazek, 2008; Mujoo et al., 2003). Whey termasuk kategori koagulan asam yang mengkoagulasi protein kedelai dengan menurunkan ph. Menurut Obatulu (2007), koagulan asam akan menurunkan ph sistem sehingga memungkinkan agregasi protein terjadi. Menurut Sarwono dan Saragih (2003), asam laktat banyak berperan dalam pengendapan protein kedelai pada pembuatan tahu menggunakan koagulan whey. Akan tetapi, apabila penanganannya tidak higienis, whey akan terkontaminasi oleh bakteri proteolitik. Oleh karena itu, sebelum whey digunakan sebagai koagulan, perlu dilakukan karakterisasi ph koagulan whey untuk menjamin keseragaman tahu yang dihasilkan. Karakterisasi ph koagulan whey dilakukan dengan pengukuran terhadap ph koagulan whey berumur 1, 2, dan 3 hari selama satu minggu. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa ph koagulan 27

44 whey semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Tabel 6 menunjukkan ph whey umur 1, 2, dan 3 hari berturut-turut adalah 3.81, 3.83, dan Analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa ph ketiga koagulan whey berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Nilai ph yang semakin meningkat dengan lamanya penyimpanan dikarenakan terjadinya pemecahan protein dan asam amino menjadi NH 3. Adanya NH 3 ini diketahui dari terciumnya amonia pada saat pengamatan bau. Foto whey pabrik Diazara Tresna dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Koagulan whey tahu pabrik Diazara Tresna berumur 1, 2, dan 3 hari Tabel 6. Profil ph koagulan whey tahu (biang tahu) Diazara Tresna Umur whey (hari) ph ± a ± b ± c Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) Penentuan Jumlah Koagulan yang Ditambahkan Whey atau biang tahu yang digunakan sebagai koagulan merupakan whey hasil samping pembuatan tahu yang disimpan dan mengalami fermentasi selama penyimpanan secara alami. Proses fermentasi pada umumnya akan menghasilkan asam dan menurunkan ph. Jumlah whey yang ditambahkan sebagai koagulan akan berpengaruh terhadap tekstur curd yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlu ditentukan jumlah whey yang harus ditambahkan sebagai koagulan agar hanya umur whey yang diharapkan akan berpengaruh terhadap tekstur curd. Penentuan jumlah koagulan whey yang ditambahkan dilakukan dengan mengamati proses koagulasi/penggumpalan yang terjadi akibat penambahan whey berumur 3 hari mulai dari 5% sampai 50% (v/v) dari susu kedelai, seperti terlihat pada Tabel 7. Whey berumur 3 hari dipilih karena memiliki tingkat keasaman yang paling rendah dan menghasilkan kondisi ph koagulasi paling jauh dari titik isoelektrik protein kedelai jika dibandingkan dengan whey berumur 1 dan 2 hari. Sedangkan whey yang lebih asam (umur 1 dan 2 hari) menghasilkan kondisi ph koagulasi yang lebih mendekati titik isoelektrik protein kedelai sehingga diasumsikan lebih mudah mengkoagulasikan protein dibandingkan dengan koagulan whey berumur 3 hari. Berdasarkan trial yang dilakukan selama penelitian, proses koagulasi protein kedelai mulai terjadi dengan penambahan whey berumur 3 hari sebanyak 15% (v/v) dari susu kedelai. Jumlah whey sebanyak 15% (v/v) dari susu kedelai menghasilkan matriks curd yang renggang dan mudah hancur. Menurut Obatulu (2007), jumlah koagulan yang kurang juga akan menghasilkan pembentukan struktur matriks curd yang renggang karena tidak sempurnanya pengendapan, akibatnya curd yang terbentuk terlalu lunak. Dengan mempertimbangkan hasil koagulasi dan untuk mempermudah 28

45 perhitungan maka dipilih jumlah whey sebanyak 20% (v/v) dari susu kedelai untuk pembuatan curd pada tahap berikutnya. Tabel 7. Trial jumlah whey tahu yang ditambahkan sebagai koagulan Jumlah whey yang ditambahkan Penggumpalan* Keterangan (% v/v susu kedelai) 5 - whey keruh 10 - whey keruh 15 + curd tidak sempurnaa 20 + curd halus (optimal) 30 + curd kasar 40 + curd sangat kasar 50 + curd sangat kasar *Ket : (-) tidak terjadi penggumpalan (+) terjadi penggumpalan Blazek (2008) juga menyebutkan bahwa kurangnya jumlah koagulan yang digunakan untuk koagulasi akan menyebabkan pengendapan protein menjadi tidak sempurna serta menyulitkan pemisahan whey pres dan curd. Sebaliknya, kelebihan jumlah koagulan akan membuat tekstur curd kedelai menjadi keras dan mengurangi palatabilitas. Oleh karena itu, penentuan banyaknya whey (biang tahu) yang harus ditambahkan perlu dilakukan untuk menghasilkan tahu dengan mutu yang baik Penentuan Suhu dan Waktu Koagulasi serta Jumlah Pengadukan Suhu koagulasi protein kedelai ditentukan melalui evaluasi proses koagulasi pada suhu 60 o C, 70 o C, dan 80 o C, dengan penambahan whey (biang tahu) sebanyak 20 % (v/v) dari susu kedelai. Pada perlakuan suhu koagulasi terendah, yaitu 60 o C, proses koagulasi dapat berlangsung walaupun lambat, sebaliknya pada perlakuan suhu koagulasi tertinggi, yaitu 80 o C, proses koagulasi berlangsung sangat cepat. Pada suhu 70 o C, koagulasi juga berlangsung cepat dan dihasilkan koagulat yang secara visual sama dengan koagulat yang dihasilkan proses koagulasi pada suhu 80 o C. Dengan pertimbangan agar terlihat pengaruh yang nyata dari suhu terhadap proses koagulasi serta tekstur curd yang dihasilkan maka dipilih suhu koagulasi 60 o C dan 80 o C. Namun, agar hasil lebih seragam dan pertimbangan alat yang digunakan (kompor), maka ditentukan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan 83 o C. Waktu koagulasi ditentukan melalui pengamatan terhadap waktu yang dibutuhkan untuk mengkoagulasi seluruh protein menggunakan koagulan whey (biang tahu) sebanyak 20 % (v/v) dari susu kedelai. Indikator selesainya waktu koagulasi dilihat dari terpisahnya bagian curd dengan bagian whey pres dan warna whey pres menjadi transparan. Waktu koagulasi 10 menit dipilih karena waktu tersebut mampu mengkoagulasi protein susu kedelai sampai indikator selesainya koagulasi tercapai. Jumlah pengadukan mempengaruhi kualitas curd yang terbentuk. Oleh karena itu, perlu ditetapkan jumlah pengadukan yang dilakukan setelah penambahan koagulan. Pada penelitian ini, sodet kayu digunakan dalam proses pengadukan. Pengadukan ditentukan sebanyak 5 kali dengan kecepatan ± 1 putaran/detik Penentuan Tekanan (Pres) Pengepresan dilakukan dalam alat pencetak dari kayu yang didesain mirip alat pencetak yang ada di pabrik Diazara Tresna dan beban penekan berupa botol berisi air. Alat ini berukuran 10x10 29

46 cm 2 dan berlubang-lubang kecil sebagai tempat keluarnya whey pres. Tekanan penekan curd ditentukan sebesar 4.71g/cm 2 selama 30 menit. Nilai ini ditentukan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Fahmi (2010) pada tahun 2009 di pabrik tahu Diazara Tresna. Penekanan sebesar 4.71 g/cm 2 selama 30 menit dipilih karena pertimbangan kesamaan desain alat penekan curd dengan penekan curd dimiliki oleh pabrik tahu Diazara Tresna (Fahmi, 2010). Alat pencetak tahu yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 13. (a) (b) Gambar 13. Alat pencetak tahu skala laboratorium (a) yang dibuat mirip alat pencetak tahu di pabrik Diazara Tresna (b) 4.2 TAHAP PENELITIAN UTAMA Profil Whey Pres dan Curd Hasil Koagulasi Profil whey pres dan curd hasil koagulasi diamati dan diukur setelah koagulasi terjadi. Koagulasi protein kedelai diawali dengan pembuatan susu kedelai. Total penambahan air yang digunakan untuk membuat susu kedelai dalam penelitian ini adalah 15 kali berat kedelai. Menurut Fahmi (2010), perbandingan berat kedelai dan air 1:15 menghasilkan padatan total susu kedelai sebesar 5% Brix. Padatan ini diasumsikan mewakili konsentrasi protein yang terdapat dalam susu kedelai. Total padatan susu kedelai penting dalam tahap koagulasi, karena semakin banyak protein yang terdapat dalam susu kedelai, koagulan yang dibutuhkan juga semakin banyak (Blazek, 2008). Proses koagulasi susu kedelai memerlukan pemanasan sebagai prekursor terjadinya agregasi protein (Boye et al., 1997). Pada penelitian ini, dilakukan dua kali pemanasan, yaitu: 1) pemanasan pada suhu 100 o C selama 3 menit saat pembuatan susu kedelai, dengan tujuan mengekstrak protein kedelai serta mendenaturasi struktur alami protein kedelai; dan 2) perlakuan pemanasan susu kedelai pada suhu 83 o C dan suhu 63 o C pada tahap koagulasi dengan tujuan mempercepat proses koagulasi protein. Koagulasi dengan koagulan whey (biang tahu) berumur 1, 2, dan 3 hari yang ditambahkan pada suhu 63 o C dan 83 o C menunjukkan bahwa proses koagulasi terjadi pada kondisi ph yang berbeda. Semakin tua umur koagulan whey yang digunakan, ph whey pres (ph koagulasi) yang dihasilkan semakin tinggi. Hasil analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata dalam hal penggunaan umur koagulan whey terhadap ph koagulasi atau ph whey pres yang dihasilkan. Namun, perlakuan suhu awal proses koagulasi menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap ph whey pres yang dihasilkan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, suhu awal proses koagulasi 83 o C memberikan kondisi koagulasi pada ph yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu awal 30

47 proses koagulasi 63 o C. Grafik pengaruh perlakuan umur koagulan whey dan suhu awal proses koagulasi terhadap ph whey pres dapat dilihat pada Gambar 14. Koagulan whey atau biang tahu termasuk koagulan golongan asam. Oleh karena itu, mekanisme koagulasinya disebabkan oleh penurunan ph ke titik isoelektrik protein kedelai. Menurut Berk (1992), protein kedelai memiliki kelarutan minimum pada ph , kisaran ph tersebut dikenal sebagai titik isoelektrik protein kedelai. Namun, kombinasi penambahan koagulan dan pemanasan menyebabkan curd terbentuk pada ph antara 4 hingga 6 (Hermansson, 1994). Nilai ph pada proses koagulasi akan berpengaruh terhadap banyaknya protein yang terkoagulasikan menjadi curd dan kadar protein yang ada di dalam whey hasil pengepresan curd. Nilai ph koagulasi yang mendekati titik isoelektrik protein kedelai akan lebih efektif dalam mengkoagulasikan protein kedelai dibandingkan nilai ph koagulasi yang jauh dari titik isoelektrik protein kedelai. Untuk mengetahui keefektifan proses koagulasi, dilakukan pengukuran terhadap kadar protein (Bradford) dan transmitan whey hasil pengepresan curd. Selain itu, tujuan pengukuran tersebut adalah menduga banyaknya protein yang terkoagulasi oleh perlakuan umur koagulan whey dan suhu awal proses koagulasi. Tabel 8 menunjukkan hasil pengukuran kadar protein Bradford whey dan transmitan whey ph Susu kedelai 1-63 C 2-63 C 3-63 C 1-83 C 2-83 C 3-83 C Perlakuan Gambar 14. Grafik pengaruh umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi terhadap ph whey pres Tabel 8. Kadar protein whey dan transmitan whey hasil pengepresan curd Suhu Awal Proses Koagulasi ( o C) Umur Koagulan Whey (Hari) Kadar Protein* (mg/ml) Transmitan (%T) a a a a a a a b a b a b Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) *Diukur dengan metode Bradford 31

48 Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 10), terlihat bahwa baik umur koagulan whey maupun suhu awal proses koagulasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein whey pres, dengan kadar protein berkisar mg/ml hingga mg/ml. Umur koagulan whey tidak berpengaruh nyata terhadap transmitan whey pres, sementara suhu awal proses koagulasi memberikan pengaruh nyata terhadap transmitan whey pres (Lampiran 12). Suhu awal proses koagulasi 83 o C cenderung menghasilkan nilai transmitan whey pres yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu awal proses koagulasi 63 o C. Rata-rata koagulasi pada suhu awal 83 o C menghasilkan nilai transmitan sebesar %T dan suhu awal proses koagulasi 63 o C menghasilkan nilai transmitan %T. Data nilai transmitan whey pres di atas, mengindikasikan bahwa suhu awal proses koagulasi 83 o C lebih efektif dalam mengkoagulasikan protein dibandingkan dengan suhu awal proses koagulasi 63 o C. Hal ini dibuktikan dengan tingginya nilai transmitan whey pres yang diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C, yang menunjukkan rendahnya kadar protein terlarut yang tersisa di dalam whey pres. Namun, indikasi ini tidak didukung oleh data kandungan protein whey pres yang terukur dengan metode Bradford, yaitu suhu awal 83 o C memberikan nilai rata-rata kadar protein whey pres yang sama dengan koagulasi pada suhu awal 63 o C. Hal ini dikarenakan whey pres yang dihasilkan tidak homogen dan sulit dihomogenkan sehingga data yang dihasilkan tidak beraturan. Selain itu, nilai transmitan tidak hanya ditentukan oleh protein terlarut dalam whey pres, tetapi juga ditentukan komponen terlarut lain (seperti karbohidrat). Oleh karena itu, seharusnya perlu dilakukan perlakuan untuk memisahkan padatan selain protein yang dapat mengganggu analisis transmitan. Namun perlakuan tersebut tidak dilakukan dalam penelitian ini. Nilai korelasi antara kadar protein Bradford dan transmitan whey pres juga tidak signifikan (Lampiran 13), atau dengan kata lain keduanya tidak memiliki korelasi. Seharusnya antara kadar protein Bradford dan transmitan whey pres memiliki korelasi berbanding terbalik. Fahmi (2010) melaporkan semakin tinggi nilai transmitan whey akan semakin rendah kadar protein Bradford. Lampiran 13 juga menunjukkan korelasi positif yang kuat antara ph whey pres (ph koagulasi) dan transmitan whey pres. Pada kisaran ph 4.66 sampai 5.57, tingginya nilai ph koagulasi diikuti oleh tingginya nilai transmitan whey pres. Korelasi positif ini berbeda dengan teori Berk (1992) yang menyebutkan kelarutan minimum protein kedelai berada pada ph Selain ph koagulasi, suhu awal proses koagulasi memegang peranan penting dalam menentukan nilai transmitan whey pres. Suhu awal proses koagulasi yang tinggi (83 o C) menyebabkan partikel protein bergerak lebih cepat dan intensitas untuk berinteraksi membentuk agregat juga semakin besar, atau dengan kata lain agregasi protein pada suhu awal proses koagulasi 83 o C berlangsung cepat. Suhu awal proses koagulasi yang lebih rendah, dalam hal ini 63 o C, menyebabkan proses agregasi belangsung lambat sehingga dalam waktu yang ditentukan (10 menit) masih banyak koagulat protein yang belum teragregasi membentuk curd. Koagulat yang belum teragregasi ini tidak larut sempurna dalam whey pres sehingga mengganggu pengukuran transmitan dan menyebabkan nilai transmitan rendah. Dalam waktu yang sama (10 menit) proses agregasi protein kedelai pada suhu awal 83 o C lebih cepat dibandingkan dengan agregasi pada suhu awal 63 o C sehingga koagulasi pada suhu awal 83 o C menghasilkan whey dengan nilai transmitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan koagulasi pada suhu awal 63 o C. Menurut Milewski (2001), pemanasan akan meningkatkan energi vibrasi dan rotasi dari protein terlarut. Flokulasi pada ph yang mendekati titik isoelektrik protein akan dipercepat oleh pemanasan sehingga mempercepat terjadinya proses koagulasi. Tabel 9 menunjukkan kadar protein, kadar air, massa, dan total padatan sampel curd yang terbentuk melalui berbagai perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey. Melalui analisis ragam (Lampiran 15), terlihat bahwa interaksi suhu awal proses koagulasi dengan umur 32

49 koagulan whey berpengaruh nyata terhadap kadar protein Kjeldahl curd. Suhu awal proses koagulasi 83 o C rata-rata menghasilkan curd dengan kadar protein Kjeldahl basis basah yang lebih tinggi, sekitar 12.14%, dibandingkan dengan suhu awal proses koagulasi 63 o C yang hanya 9.59%. Curd dengan kadar protein Kjeldahl tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan koagulan whey berumur 1 hari, sementara curd dengan kadar protein Kjeldahl terendah diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan koagulan whey berumur 1 hari. Hasil analisis ragam (Lampiran 17, 19, dan 21) menunjukkan bahwa hanya suhu awal proses koagulasi yang berpengaruh nyata terhadap kadar air, massa, dan total padatan curd, sementara umur koagulan whey tidak memberikan pengaruh nyata terhadap ketiga parameter tersebut. Nilai rata-rata kadar air, massa, dan total padata curd untuk perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan 83 o C dalam basis basah masing-masing adalah 81.94% dan 79.96% untuk kadar air, g dan g untuk massa, serta g dan g untuk total padatan curd. Tabel 9. Kadar protein*, kadar air, massa, dan total padatan curd Suhu Awal ( o C) Umur Koagulan Whey (Hari) Kadar Protein** (g/100g) Kadar Air** (g/100g) Massa** (g) Total Padatan (g) a b b b a b b b b b b b c a a a b,c a a a b,c a a a Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) * Diukur dengan metode Kjeldahl ** Diukur dalam basis basah Pengaruh interaksi suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey terhadap kadar protein Kjeldahl curd memperlihatkan suatu pola, yaitu kadar protein Kjeldahl curd semakin tinggi dengan semakin tuanya umur koagulan whey untuk suhu awal proses koagulasi 63 o C dan berlaku sebaliknya untuk suhu awal proses koagulasi 83 o C. Data tersebut juga menunjukkan bahwa kadar protein Kjeldahl curd tertinggi, %, dihasilkan pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan whey berumur 1 hari. Jika dihubungkan dengan data ph koagulasi atau ph whey pres pada Gambar 14, kadar protein curd tertinggi diperoleh ketika ph koagulasi 5.42 dan turun dengan turun/naiknya ph koagulasi. Dengan demikian, kondisi ph optimum untuk koagulasi protein kedelai KOPTI berada pada ph ± Kondisi ph optimum tersebut diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan penambahan koagulan whey berumur 1 hari (ph 3.81) sebanyak 20% (v/v) susu kedelai. Kadar protein curd erat kaitannya dengan kadar protein whey pres. Keduanya memiliki hubungan berbanding terbalik. Semakin banyak persentase protein yang terkoagulasikan menjadi curd, maka akan semakin sedikit protein yang tertinggal di dalam whey pres. Efektivitas proses koagulasi dapat dilihat dari nilai keduanya. Semakin banyak persentase protein yang terkoagulasikan menjadi curd, semakin efektif proses koagulasi. Curd yang dihasilkan melalui koagulasi pada suhu awal 63 o C memiliki kandungan air yang lebih tinggi dibandingkan curd yang dihasilkan pada suhu awal 83 o C. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 17) perlakuan suhu awal proses koagulasi memberikan perbedaan yang signifikan terhadap kadar air curd, sementara perbedaan umur whey tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Curd 33

50 dengan kadar air tertinggi, 82.25%, diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 63 o C dengan koagulan whey berumur 3 hari. Sedangkan curd dengan kadar air terendah diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 83 o C dengan koagulan whey berumur 2 hari. Perbedaan kandungan air pada curd ini disebabkan oleh kecepatan agregasi protein dalam membentuk matriks curd. Agregasi pada suhu awal proses koagulasi 63 o C berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan agregasi pada suhu awal proses koagulasi 83 o C. Agregasi yang lambat memungkinkan untuk memerangkap air lebih banyak dibandingkan dengan proses agregasi yang cepat. Menurut Milewski (2001), pemanasan akan meningkatkan energi vibrasi dan rotasi protein terlarut. Semakin tinggi suhu pemanasan akan semakin tinggi pula energi vibrasi dan rotasi protein terlarut. Tingginya energi vibrasi dan rotasi ini menyebabkan peluang protein untuk bertabrakan dan menyatu menjadi lebih besar sehingga proses agregasi pun menjadi lebih cepat. Massa curd dipengaruhi oleh kandungan air dan protein di dalam curd serta komponenkomponen lain yang terperangkap dalam matriks curd. Analisis ragam (Lampiran 19) menunjukkan bahwa perbedaan massa curd yang dihasilkan dipengaruhi suhu awal proses koagulasi. Melalui analisis korelasi Pearson (Lampiran 22), kombinasi perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey menghasilkan massa curd yang berbanding lurus dengan kandungan air dan total padatan curd serta berbanding terbalik dengan ph whey pres (ph koagulasi) dan kadar protein Kjeldahl curd. Massa curd tertinggi diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 63 o C dengan koagulan whey berumur 3 hari, yaitu curd dengan kadar air dan total padatan tertinggi. Sedangkan massa curd terendah diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 83 o C dengan koagulan whey berumur 2 hari, yaitu curd dengan kadar air dan total padatan terendah. Data ini didukung oleh pernyataan Obatulu (2007), semakin lambat kemampuan koagulan dalam mengkoagulasi susu akan memberikan rendemen massa curd yang lebih baik karena agregat protein akan memerangkap air lebih banyak di dalam curd. Sebaliknya, koagulan yang mengkoagulasikan protein lebih cepat kurang memerangkap air sehingga massa curd yang dihasilkan lebih sedikit. Total padatan curd merupakan selisih antara massa total curd dengan massa air di dalam curd. Data ini mencerminkan massa padatan yang ada dalam curd, baik protein maupun nonprotein yang terperangkap dalam matriks curd. Berdasarkan analisis korelasi Pearson (Lampiran 22), total padatan yang ada dalam curd berbanding lurus dengan massa curd dan berbanding terbalik dengan ph whey pres (ph koagulasi). Semakin tinggi massa curd yang terbentuk maka akan semakin tinggi pula total padatan di dalam curd dan semakin tinggi ph maka akan semakin rendah total padatan dalam curd. Hasil analisis ragam (Lampiran 21) menunjukkan bahwa suhu awal proses koagulasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap total padatan curd. Total padatan curd tertinggi diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 63 o C dengan koagulan whey berumur 3 hari, sedangkan total padatan terendah diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 83 o C dengan koagulan whey berumur 2 hari Pelarutan Protein Pelarutan dilakukan untuk mengekstrak protein sampel tepung kedelai dan curd sehingga dapat dilakukan analisis proporsi protein dalam kedelai dan curd dengan SDS-PAGE. Pelarutan tepung kedelai dilakukan sebagai pembanding hasil yang diperoleh dari pelarutan curd, terutama komposisi polipeptida penyusunnya. Pelarut yang mengandung 2-merkaptoetanol, yaitu alkil tiol yang dapat menghasilkan tiol bebas berlebih, digunakan untuk melarutkan protein sampel tepung kedelai dan curd. Senyawa ini mampu melarutkan protein curd dengan memutus ikatan disulfida, interaksi hidrofobik, dan ikatan hidrogen yang terjadi bersamaan dengan terbentuknya curd. Menurut Rabilloud (1999), penambahan 2-merkaptoetanol dan pemanasan akan merusak struktur tiga dimensi protein. Senyawa 2-merkaptoetanol akan memutus ikatan disulfida dan mereduksinya menjadi gugus 34

51 sulfihidril. Adapun mekanisme pemutusan ikatan disulfida oleh 2-merkaptoetanol dapat dilihat pada Gambar 15. Pelarutan protein merupakan syarat agar protein sampel tepung kedelai dan curd dapat dirunning dalam alat SDS-PAGE. Sampel yang akan dilarutkan/diekstrak terlebih dahulu dihilangkan kandungan lemaknya agar tidak mengganggu pelarutan protein. Lemak dihilangkan dengan merendam sampel dalam larutan heksan selama 6 jam kemudian mensentrifusenya pada kecepatan rpm selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh dari proses ekstraksi diukur kadar proteinnya dengan metode Bradford. Untuk mengetahui efektivitas proses pelarutan, hasil pengukuran kadar protein Bradford supernatan dibandingkan dengan kadar protein Kjeldahl sampel bebas lemak. Hasil pengukuran kadar protein Bradford dan perbandingannya dengan kadar protein Kjeldahl sampel bebas lemak untuk semua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10. Gambar 15. Mekanisme pemutusan ikatan disulfida oleh 2-merkaptoetanol (Rabilloud, 1996) Tabel 10. Perbandingan total protein terekstrak dengan total protein Kjeldahl sampel bebas lemak masing-masing perlakuan Sampel Total Protein Terekstrak* Total Protein Kjeldahl* Recovery (%) Tepung Kedelai o C 83 o C Whey 1 Hari 4.84 a a a Whey 2 Hari 5.21 a a a Whey 3 Hari 5.68 a a a Whey 1 Hari 5.57 a a a Whey 2 Hari 5.17 a a a Whey 3 Hari 5.06 a a a Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) * Diukur dalam satuan mg/100mg berat sampel 35

52 Hasil analisis ragam (Lampiran 26) menunjukkan bahwa baik perlakuan suhu awal proses koagulasi maupun umur koagulan whey tidak berpengaruh nyata terhadap total protein yang dapat terekstrak dengan metode pelarutan protein. Selain itu, analisis ragam (Lampiran 24) juga menunjukkan bahwa perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey juga tidak berpengaruh terhadap total protein Kjeldahl curd bebas lemak sehingga persen recovery yang diperoleh pun tidak berbeda nyata. Rata-rata persen recovery pelarutan protein hanya mencapai 41.35%, lebih tinggi daripada persen recovery pelarutan tepung kedelai yang hanya 33.56%. Persen recovery dari pelarutan protein tidak mencapai 100%. Total protein yang diukur dengan metode Kjeldahl adalah total nitrogen (N) yang ada di dalam curd, baik N yang berasal dari protein maupun N yang berasal dari komponen nonprotein. Sementara Bradford hanya mengukur protein yang terlarut dalam supernatan hasil pelarutan protein. Jika dilihat dari akurasinya, metode Bradford memiliki akurasi yang lebih baik daripada metode Kjeldahl. Selain itu, pembuatan curd yang menggunakan pemanasan juga mengubah konformasi dan komposisi protein kedelai sehingga kemudahan protein untuk dilarutkan juga mengalami perubahan. Menurut Corredig (2006), pemanasan pada pembuatan curd mengubah konformasi protein kedelai dan ikatan disulfida serta menginisiasi terbentuknya interaksi hidrofobik dan ikatan hidrogen. Hasil penelitian Sulieman et al. (2008) menunjukkan perubahan proporsi globulin, albumin, prolamin, dan glutelin dalam protein empat kultivar lentil (famili leguminosa) akibat pemasakan. Pemasakan menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap keempat protein tersebut. Globulin, albumin, dan prolamin mengalami penurunan yang signifikan, rata-rata sekitar 4% untuk globulin, 23% untuk albumin, dan 0.35% untuk prolamin. Sementara glutelin mengalami peningkatan rata-rata sekitar 22% sehingga protein tak terlarut meningkat sekitar 4.5%. Fahmi (2010) juga melaporkan bahwa proporsi protein kedelai mengalami perubahan setelah pemasakan menjadi curd. Baik menggunakan koagulan CaSO 4.2H 2 O maupun CH 3 COOH rata-rata protein globulin, albumin, dan prolamin mengalami penurunan masing-masing sekitar 3%, 10%, dan 0.03%. Berbeda dengan ketiga protein tersebut, ratarata glutelin mengalami peningkatan sebesar 3%. Hasil kedua penelitian ini ikut memperjelas penyebab dari nilai protein recovery yang hanya mencapai 41% Analisis Elektroforesis Supernatan yang diperoleh melalui hasil pelarutan protein dielektroforesis (SDS-PAGE) untuk mengetahui berat molekul subunit penyusun protein terlarut. Pewarnaan yang dilakukan dalam elektroforesis pada penelitian ini menggunakan pewarna coomassie yang memiliki sensitivitas deteksi protein hingga 0.1µg (Bolag dan Edelstein, 1991). Jumlah protein yang dimasukkan ke dalam sumur dihitung agar tidak kurang dari limit deteksi pewarna coomassie. Elektroforesis digunakan dalam penelitian ini karena memiliki peran sangat penting dalam pemisahan molekul-molekul biologi, khususnya protein. Selain tidak mempengaruhi struktur biopolimer, elektroforesis juga sangat sensitif terhadap perbedaan muatan dan berat molekul yang cukup kecil (Bachrudin, 1999). Protein dialirkan dalam medium yang mengandung medan listrik sehingga senyawa protein yang bermuatan akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan muatan molekul protein. Prinsip inilah yang digunakan untuk memisahkan molekul-molekul dengan muatan berbeda. Menurut Pomeranz dan Meloan (1994), migrasi partikel bermuatan tersebut dapat terjadi akibat perbedaan muatan total, ukuran dan bentuk partikel Penggunaan SDS dan merkaptoetanol disertai dengan pemanasan akan memecah struktur tiga dimensi protein, terutama ikatan disulfida menjadi subunit-subunit polipeptida secara individual. SDS akan bereaksi dengan protein membentuk kompleks SDS-protein bermuatan negatif sehingga protein 36

53 akan bergerak dalam medan listrik hanya berdasarkan ukuran molekul. Kompleks SDS-protein memiliki muatan yang identik dan bergerak pada gel hanya berdasarkan ukuran protein (Wijaya & Rohman, 2005). Dalam hal ini, ukuran molekul suatu protein dapat dilihat dari berat molekul atau BM-nya. Jadi kompleks SDS-protein yang berukuran lebih besar (BM besar) mempunyai mobilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kompleks SDS-protein yang berukuran lebih kecil (BM kecil). Marker, yang digunakan sebagai standar protein, dalam penelitian ini terdiri atas proteinmengandung tujuh jenis protein dengan berat molekul kecil (Low Molecular Weight). Marker tersebut protein standar, yaitu β-galactosidase (BM : 116 kda), bovine serum albumin (BM : 66.2 kda), ovalbumin (BM : 45 kda), lactase dehidrogenase (BM : 35 kda), REase BSP 981 (BM : 25 kda), β- Lactoglobulin (BM : kda), dan lysozime (BM : 14.4 kda). Penentuann berat molekul sampel dihitung berdasarkan kurva standar marker, yang diperoleh melalui hubungan antara mobilitas elektroforetik (Rf) dengann nilai logaritma berat molekul (Log BM) marker. Profil SDS-PAGE untuk protein yang terekstrak dari sampel tepung kedelai dan curd berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16b. menunjukkan bahwa protein curd yang terlarut dari berbagai perlakuan memiliki pita protein dengan berat molekul yang relatif sama antar perlakuan. (a) (b) Gambar 16. Profil SDS-PAGE: (a) protein tepung kedelai dan (b) protein curd terlarut Hasil analisis SDS-PAGE menunjukkan bahwa jenis protein yang ada dalam curd sama dengan jenis protein yang ada dalam tepung kedelai, yaitu polipeptida-polipeptida penyusun glisinin (11S) dan β-konglisinin (7S). Menurut Fukushima (2004), sekitar 90% protein kedelai merupakan protein simpanan yang sebagian besar terdiri atas glisinin (11S) dan β-konglisinin (7S). Glisinin terdiri atas polipeptida A 3, grup polipeptida asam (A 1, A 2, dan A 4 ), A 5, dan polipeptida basa (B) dengan berat molekul masing-masing sekitar 36 kda, 34 kda, 10 kda, dan 15 kda (Fontes et al., 1984; Thanh et al., 1975). β-konglisinin (7S) terdiri atas α, α, dan β dengan berat molekul masing-masing sekitar 72 kda, 68 kda, dan 52 kda (Mujoo et al., 2003). Polipeptida A 5 memiliki BM yang paling rendah dibandingkan dengan polipeptida lain penyusun glisinin (11S) dan β-konglisinin (7S). Hal ini menyebabkan A 5 memiliki mobilitas yang paling tinggi dan menempuh jarak terjauh dalam gel elektroforesis seperti yang terlihat pada Gambar 16. Sementara polipeptida α memiliki BM tertinggi sehingga mobilitasnya juga paling rendah dan menempuh jarak terpendek dalam gel elektroforesis. 37

54 Pita-pita hasil SDS-PAGE pada Gambar 16 secara visual tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Protein yang diekstrak dari curd dengan berbagai perlakuan menghasilkan pola pita yang hampir sama atau bahkan sama. Oleh karena itu, dilakukan analisis densitas dari pita-pita protein yang terbentuk untuk melihat pengaruh dari perlakuan pembuatan curd (suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey) terhadap profil elektroforesis protein. Profil elektroforesis yang dihasilkan mencerminkan protein yang tergumpalkan menjadi curd. Analisis densitas pita protein dilakukan dengan menggunakan software ImageJ 1.42q dari Wayne Rasband, National Institutes of Health, USA ( Software ini dapat mengkuantitatifkan intensitas warna dari pita protein yang terbentuk. Hasilnya mencerminkan densitas dari pita protein yang terbentuk sehingga dapat diketahui proporsi polipeptida-polipeptida penyusun protein terlarut, dalam hal ini glisinin (11S) dan β-konglisinin (7S). Hasil dari analisis densitas pita protein dengan software ImageJ 1.42q dapat dilihat pada Gambar 17. Persen Protein (%) 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 c b b a b c b a c a c a a c a,b a,b b,c c b a b b a c b c a c a b,c , C 2-63 C 3-63 C 1-83 C 2-83 C 3-83 C T. Kedelai Perlakuan α and α β Acidic (A3, A1, A2, A4) Basic A5 Gambar 17. Perbandingan proporsi polipeptida penyusun glisinin (11S) dan β-konglisinin (7S) dalam protein curd dan protein tepung kedelai terlarut Polipeptida penyusun globulin dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yaitu α dan α, β, kelompok asam (A 3, A 1, A 2, dan A 4 ), basa, dan A 5. Menurut Mujoo et al. (2003), pengelompokkan ini berdasarkan kedekatan pita protein dalam gel elektroforesis dan bertujuan untuk mempermudah analisis perhitungan densitas pita protein. Hasil analisis densitas pita protein menunjukkan bahwa sebagian besar protein globulin penyusun curd didominasi oleh glisinin (11S), yang merupakan hasil penjumlahan polipeptida kelompok asam (A 3, A 1, A 2, dan A 4 ), basa dan A 5, yaitu sekitar % untuk curd yang dikoagulasikan pada suhu awal 63 o C dan sekitar % untuk curd yang dikoagulasikan pada suhu awal 83 o C. Sedangkan kandungan β-konglisinin (7S) hanya sekitar untuk curd yang dikoagulasikan pada suhu awal 63 o C dan sekitar % untuk curd yang dikoagulasikan pada suhu awal 83 o C. Jika dibandingkan dengan proporsi polipeptida tepung kedelai, pemanasan menyebabkan kenaikan glisin (dari % hingga mencapai %) dan penurunan β- konglisinin (dari % hingga mencapai %). 38

55 Polipeptida α dan α merupakan penyusun β-konglisinin (7S). Menurut Mujo et al. (2003), subunit α memiliki berat molekul sekitar 72 kda, sedangkan α memiliki berat molekul sekitar 68 kda. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 30a) interaksi suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proporsi (%) kedua polipeptida ini di dalam protein curd yang dihasilkan. Proporsi α dan α tertinggi (21.708%) diperoleh dari perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 2 hari, sedangkan proporsi α dan α terendah (13.880%) diperoleh dari perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 2 hari. Uji Duncan umur koagulan whey (Lampiran 30a) menunjukkan bahwa whey berumur 3 hari memberikan proporsi α dan α yang berbeda dan lebih tinggi dibandingkan dengan whey berumur 1 dan 2 hari. Selain α dan α, β-konglisinin (7S) juga tersusun atas polipeptida β yang memiliki berat molekul sekitar 52 kda (Mujo et al., 2003). Analisis ragam (Lampiran 30b) menunjukkan bahwa proporsi polipeptida β dalam protein curd hanya dipengaruhi oleh umur koagulan whey. Uji Duncan umur koagulan whey (lampiran 30b) menunjukkan bahwa whey berumur 3 hari menghasilkan curd dengan proporsi yang berbeda dan lebih kecil dibandingkan dengan whey berumur 1 dan 2 hari. Proporsi polipeptida β tertinggi (7.713%) diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 1 hari, sedangkan proporsi polipeptida β terendah (4.623%) diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 3 hari. Polipeptida golongan asam (A 3, A 1, A 2, dan A 4 ), penyusun glisinin (11S), mendominasi proporsi protein curd pada beberapa perlakuan yang dilakukan dalam penelitian ini. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 30c), interaksi antara suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey berpengaruh terhadap proporsi polipeptida golongan asam (A 3, A 1, A 2, dan A 4 ) dalam protein curd yang dihasilkan. Proporsi polipeptida golongan asam tertinggi diperoleh pada curd yang dihasilkan dari perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 3 hari, sedangkan proporsi polipeptida golongan asam terendah diperoleh pada curd yang dihasilkan dari perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 3 hari. Rata-rata koagulasi pada suhu awal 83 o C menghasilkan curd dengan proporsi polipeptida golongan asam yang lebih tinggi, sekitar %, dibandingkan dengan koagulasi pada suhu awal 63 o C yang hanya sekitar %. Polipeptida golongan basa mendominasi proporsi protein curd pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C (whey berumur 2 dan 3 hari), bersaing dengan golongan asam (A 3, A 1, A 2, dan A 4 ). Hasil analisis ragam (Lampiran 30d) menunjukkan bahwa interaksi antara suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey mempengaruhi proporsi polipeptida golongan basa dalam protein curd yang terbentuk. Proporsi polipeptida golongan basa tertinggi diperoleh pada curd yang dihasilkan dari perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 2 hari, sedangkan proporsi polipeptida golongan basa terendah diperoleh pada curd yang dihasilkan dari perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 3 hari. Suhu awal proses koagulasi 63 o C cenderung menghasilkan proporsi polipeptida golongan basa yang lebih tinggi daripada koagulasi pada suhu awal 83 o C. Rata-rata suhu awal proses koagulasi 63 o C menghasilkan proporsi polipeptida golongan basa sebesar % sedangkan suhu awal proses koagulasi 83 o C hanya sekitar %. Berdasarkan uji Duncan, rata-rata penggunaan koagulan whey berumur 3 hari menghasilkan proporsi polipeptida golongan basa yang berbeda dan lebih rendah daripada penggunaan koagulan whey berumur 1 dan 2 hari. Adapun rata-rata proporsinya masingmasing adalah % untuk koagulan whey berumur 3 hari, % untuk koagulan whey berumur 1 hari, dan % untuk koagulan whey berumur 2 hari. 39

56 Polipeptida A 5 merupakan polipeptida asam penyusun glisinin (11S). Meskipun terpisah dari polipeptida asam yang lain, polipeptida A 5 memiliki proporsi yang sukup besar di dalam protein curd yang dihasilkan. Hasil analisis ragam (Lampiran 30e) menunjukkan bahwa interaksi suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey menghasilkan pengaruh yang nyata terhadap proporsi polipeptida A 5. Proporsi polipeptida A 5 tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 2 hari, yaitu sebesar %, sedangkan proporsi terendah diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 2 hari, yaitu sebesar 6.384%. Selain itu, suhu awal proses koagulasi 63 o C menghasilkan proporsi polipeptida A 5 yang lebih kecil, sekitar 7.951%, dibandingkan dengan rata-rata proporsi polipeptida A 5 yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 80 o C (11.706%) Analisis Objektif Tekstur Curd Tekstur merupakan salah satu atribut penting dalam menentukan penerimaan konsumen, tak terkecuali untuk produk berbasis curd. Dalam penelitian ini, tekstur curd diukur secara objektif dengan metode TPA menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i. Parameter tekstur yang diukur dalam penelitian ini meliputi kekerasan, kohesivitas, dan daya kunyah. Ketiga parameter tersebut dipilih karena mewakili karakteristik tekstur curd secara keseluruhan. Grafik TPA untuk pengukuran TPA curd dapat dilihat pada Gambar 18. Dari grafik ini diperoleh nilai ketiga parameter tekstur curd di atas. Hasil pengukuran tekstur curd yang dihasilkan dari berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 18. Grafik TPA hasil pengukuran TPA curd perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan penggunaan koagulan whey tahu berumur 1 hari Curd dengan nilai kekerasan paling rendah dihasilkan pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 3 hari, sedangkan nilai kekerasan paling tinggi dihasilkan pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 2 hari. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 32a), interaksi antara suhu awal proses 40

57 koagulasi dan umur koagulan whey memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kekerasan curd pada tingkat signifikansi 5%. Curd paling keras diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 2 hari, sedangkan curd paling lunak diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 3 hari. Koagulasi pada suhu awal 63 o C menghasilkan curd yang lebih lunak daripada koagulasi pada suhu awal 83 o C dengan rataan nilai kekerasan masing-masing 1.64 Kg F dan 2.22 Kg F. Baik pada suhu awal proses koagulasi 63 o C maupun 83 o C, koagulan whey berumur 3 hari menghasilkan curd yang paling lunak, sedangkan whey berumur 2 hari menghasilkan curd yang paling keras. Nilai kekerasan curd sejalan dengan kadar air dari masing-masing curd pada Tabel 9, semakin tinggi kadar air, curd semakin lunak. Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson 2-tailed (Lampiran 33), kadar air memberikan korelasi negatif terhadap kekerasan, kohesivitas, dan daya kunyah curd pada taraf 5%. Semakin tinggi kadar air curd, semakin rendah nilai kekerasan, kohesivitas, dan daya kunyah curd. Total padatan curd juga memberikan korelasi negatif terhadap kekerasan dan daya kunyah curd. Sedangkan kadar protein curd berkorelasi positif terhadap kekerasan dan kohesivitas curd pada taraf 5%. Tekstur curd yang dihasilkan semakin keras dan kompak seiring dengan meningkatnya kadar protein curd. Lampiran 33 juga menunjukkan adanya korelasi positif antara parameter tekstur lain, yaitu kohesivitas dan daya kunyah, dengan kekerasan curd pada taraf 5%. 3,00 d 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 a,b c c b a a a a a a a a a a a a a 0, C 2-63 C 3-63 C 1-83 C 2-83 C 3-83 C Perlakuan Kekerasan (kg F) Kohesivitas Daya kunyah (kg F) Gambar 19. Profil tekstur curd berbagai perlakuan Menurut Obatulu (2007), peningkatan kekerasan curd seringkali dihubungkan dengan penurunan kemampuan matriks dalam menahan air (Water Holding Capacity). Curd yang keras memiliki struktur matriks yang padat karena molekul-molekul protein berdekatan satu dengan lainnya sebagai akibat dari hilangnya air atau ketidakmampuan memerangkap air pada tahap koagulasi. Curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 83 o C memiliki kepadatan yang lebih tinggi daripada curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C, terlihat dari kadar protein Kjeldahl yang relatif lebih tinggi dan kadar air curd yang relatif lebih rendah dibandingkan curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C. Oleh karena itu, kekerasan curd hasil koagulasi pada suhu awal 83 o C lebih tinggi dibandingkan dengan curd hasil koagulasi pada suhu awal 63 o C. Menurut Muchtadi (2010), tahu keras mengandung lebih banyak protein, lemak, dan kalsium dibandingkan jenis tahu lainnya. 41

58 Parameter kohesivitas menunjukkan kekompakan struktur matriks curd. Interaksi suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kohesivitas curd pada taraf 5% (Lampiran 32b). Namun, pada Lampiran 32b secara terpisah suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey berpengaruh nyata terhadap nilai kohesivitas pada taraf 5%. Nilai rataan kohesivitas untuk curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C dan 83 o C masing-masing adalah 39.04% dan 42.72%. Suhu awal proses koagulasi 83 o C menghasilkan struktur curd yang kompak dengan kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C. Selain itu, terlihat bahwa koagulan whey berumur 1 hari menghasilkan curd dengan kohesivitas yang paling tinggi sedangkan koagulan whey berumur 3 hari menghasilkan curd dengan kohesivitas yang paling rendah. Nilai kohesivitas yang kecil menunjukkan bahwa curd yang terbentuk memiliki struktur yang tidak kompak. Parameter daya kunyah menunjukkan kemudahan sampel dipecah menjadi bagian-bagian kecil sebelum ditelan ketika sampel berada di dalam mulut. Daya kunyah dipengaruhi oleh kekerasan serta kekompakan sampel (DeMan, 1985). Berdasarkan analisis ragam pada Lampiran 32c, umur koagulan whey berpengaruh nyata terhadap daya kunyah curd pada taraf 5%. Selain itu, suhu awal proses koagulasi juga berpengaruh nyata terhadap daya kunyah curd. Walaupun demikian, interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap daya kunyah curd pada taraf 5%. Curd hasil koagulasi pada suhu awal 63 o C memiliki daya kunyah yang lebih rendah, berkisar 0.66 kg F, dibandingkan dengan curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 83 o C (0.95 kg F). Daya kunyah yang rendah ini disebabkan curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C memiliki nilai kekerasan yang lebih kecil dibandingkan dengan curd yang dihasilkan pada suhu awal 83 o C. Selain itu, kekompakan struktur curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C lebih rendah daripada kekompakan struktur curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 83 o C. Semakin tinggi kekerasan dan kekompakan struktur curd, semakin tinggi daya kunyahnya. Hal yang sama dapat diamati pada perlakuan umur koagulan whey. Curd yang dihasilkan dari penggunaan koagulan whey berumur 2 hari memiliki nilai kekerasan dan kohesivitas tinggi sehingga menghasilkan daya kunyah yang juga tinggi. Karakteristik tekstur curd kedelai juga dipengaruhi oleh kandungan proteinnya. Menurut Blazek (2008), protein kedelai mempunyai sifat gelasi yang berbeda-beda sehingga banyak peneliti berusaha mengkorelasikan komposisi protein dengan kualitas curd kedelai yang dihasilkan. Menurut Cai dan Chang (1999) di dalam Blazek (2008), perbedaan komposisi protein yang terkandung dalam curd kedelai, khususnya glisinin and β-konglisinin, sangat berpengaruh terhadap rendemen, kekerasan, dan mutu sensori curd kedelai. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan perlakuan dalam pembuatan curd. Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson 2-tailed (Lampiran 34), hanya subunit α dan α dari β-konglisinin serta A 5 dari glisinin yang berkorelasi dengan kekerasan curd pada taraf 5%. Subunit α dan α berkorelasi negatif dengan kekerasan curd, artinya semakin banyak protein dengan BM 65 kda hingga 75 kda (diduga α dan α), semakin lunak tekstur curd. Sedangkan subunit A 5 berkorelasi positif dengan kekerasan curd. Kekerasan curd akan semakin tinggi dengan semakin tingginya kadar subunit ber-bm 10 kda hinga 15 kda (diduga A 5 ) di dalam curd. Selain dipengaruhi oleh keberadaan subunit α dan α dari β-konglisinin serta A 5 dari glisinin, kekerasan curd juga dipengaruhi proporsi glisinin, β-konglisinin, dan rasio keduanya. Pengaruh proporsi glisinin, β-konglisinin, dan rasio keduanya terhadap kekerasan curd dapat dilihat pada Tabel 11. Analisis korelasi Pearson 2-tailed (Lampiran 35) menunjukkan adanya korelasi antara proporsi glisinin, β-konglisinin, rasio keduanya, dan kekerasan curd. Proporsi glisinin dan rasio glisinin/βkonglisinin berkorelasi positif dengan kekerasan curd pada taraf nyata 5%. Sementara proporsi β- 42

59 konglisinin berkorelasi negatif dengan kekerasan curd. Dengan kata lain, semakin tinggi proporsi glisinin dan semakin rendah proporsi β-konglisinin, semakin keras tekstur curd. Tabel 11. Korelasi antara glisinin, β-konglisinin, dan kekerasan curd Sampel Kadar Glisinin (%) Kadar β- Konglisinin (%) Rasio* α dan α A 5 Kekerasan (kg F) Whey 1 Hari b b 3.12 b b 8.65 a 1.69 a,b 63 o C Whey 2 Hari a c 2.50 a c 6.38 a 1.74 b Whey 3 Hari a,b b,c 2.66 a,b c 8.82 a,b 1.48 a Whey 1 Hari a c 2.58 a c 8.32 a 2.03 c 83 o C Whey 2 Hari c a 3.96 c a c 2.66 d Whey 3 Hari a,b b,c 2.80 a,b c b,c 1.98 c Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) * glisinin/β-konglisinin Kandungan protein 11S dan rasio 11S/7S dilaporkan memberikan korelasi positif terhadap kekerasan gel dari protein kedelai (Mujoo et al., 2003). Rasio 11S/7S mempengaruhi karakter kekerasan dan elastisitas gel. Glisinin berkontribusi terhadap peningkatan kekerasan dan kekokohan gel, sedangkan β-konglisinin memberikan pengaruh terhadap elastisitas gel yang dihasilkan (Blazek, 2008). Perbedaan ini dikarenakan adanya ikatan disulfida pada protein 11S yang mempengaruhi dissosiasi/assosiasi dan perilaku subunit protein unfold (struktur terbuka). Ikatan disulfida dalam protein 11S mempromosikan terbentuknya matriks tiga dimensi selama proses gelasi sehingga menghasilkan gel yang lebih kuat dan WHC yang lebih besar (Hettiarachchy dan Kalapathy, 1998). Ikatan protein dalam curd menentukan ketiga parameter tekstur yang diukur pada penelitian ini. Menurut Rosenthal (1999), kekerasan adalah gaya yang diberikan hingga terjadi perubahan bentuk pada objek. Nilai kekerasan ditentukan dari nilai puncak pertama pada grafik TPA curd, yang menunjukkan kekuatan maksimum curd dalam menahan gaya yang diberikan oleh probe Texture Analyser (TA) sampai terjadi perubahan bentuk. Kemampuan curd menahan gaya tidak hanya ditentukan oleh kadar protein dan komponen lain yang terperangkap dalam matriks curd, tetapi juga oleh ikatan yang terjadi antar protein dalam matriks curd. Semakin besar energi interaksi yang terbentuk karena ikatan tersebut, semakin kuat curd dalam menahan gaya yang diberikan oleh probe TA. Sama halnya dengan kekerasan, kohesivitas juga ditentukan oleh ikatan yang terjadi antar protein dalam curd. Rosenthal (1999) menyebutkan bahwa kohesivitas adalah rasio usaha yang dibutuhkan untuk menekan pangan pada gigitan kedua dibandingkan dengan usaha yang dibutuhkan untuk menekan pangan pada gigitan pertama. Kohesivitas curd menunjukkan kekompakan dan kekokohan curd, serta menunjukkan kekuatan dari ikatan-ikatan dalam curd yang mempertahankan bentuk curd. Dalam TPA curd, kohesivitas ditentukan berdasarkan rasio luas area di bawah kurva puncak kedua dengan luas area di bawah kurva puncak pertama. Luas di bawah kurva TPA menunjukkan integral waktu (t) terhadap gaya (F). Semakin kuat interaksi yang dibentuk oleh ikatan antar protein dalam curd, semakin kuat curd mempertahankan bentuknya. Selain kedua parameter tekstur di atas, daya kunyah juga dipengaruhi oleh ikatan yang terjadi antar protein dalam membentuk matriks curd. Menurut Rosenthal (1999), ikatan disulfida adalah ikatan pembentuk matriks curd dengan energi interaksi yang paling tinggi, sekitar 40 kkal, dibandingkan dengan ikatan dan interaksi lain dalam curd. Hettiarachchy dan Kalapathy (1998) menyebutkan bahwa ikatan disulfida terdapat dalam protein glisinin (11S) dan tidak terdapat dalam protein β-konglisinin (7S). Oleh karena itu, semakin besar proporsi glisinin (11S), semakin keras dan kokoh curd yang terbentuk. Hal sebaliknya berlaku 43

60 untuk β-konglisinin, semakin besar proporsi β-konglisinin (7S), curd yang terbentuk akan semakin lunak dan elastis Analisis Subjektif Kekerasan Curd Kekerasan curd dianalisis secara subjektif dengan pendekatan sensori. Pengujian sensori ini diperlukan untuk melihat respon konsumen terhadap sampel curd. Menurut Szczesniac (1987) yang dikutip oleh Faridi dan Faubion (1990), tekstur merupakan atribut sensori yang hanya dipersepsikan, dijelaskan, dan diukur dengan indera manusia seperi peraba, penglihatan dan pendengaran. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis sensori terhadap tekstur curd tersebut. Analisis kekerasan curd dilakukan oleh panelis terlatih dalam bidang kekerasan curd dengan menekan curd mentah menggunakan telunjuk dan ibu jari. Dalam penelitian ini, panelis tidak melakukan penilaian secara langsung terhadap curd hasil perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey. Analisis subjektif kekerasan tekstur curd dilakukan menggunakan persamaan yang diperoleh dari hubungan antara tekstur objektif dan subjektif curd komersial. Sebelas panelis terlatih dalam bidang kekerasan curd dilibatkan dalam analisis kekerasan curd. Sebelumnya, sekitar 30 calon panelis diseleksi dengan uji segitiga dan uji rangking terhadap kekerasan beberapa curd kedelai komersial. Kuesioner uji segitiga dan uji rangking yang digunakan dalam proses seleksi ini dapat dilihat pada Lampiran 2. Sebanyak 12 calon panelis terlatih yang lolos seleksi kemudian dilatih dalam Focus Group Discussion (FGD). Dari 12 calon panelis yang lolos seleksi, hanya 11 orang yang aktif hingga akhir pelatihan. Menurut Kemp et al. (2009), analisis deskriptif hanya membutuhkan 6-18 panelis terlatih dengan kemampuan sensori yang baik dan telah menerima pelatihan. Curd yang diuji dan digunakan selama pelatihan panelis adalah curd kedelai komersial berbagai merek yang diperoleh dari pasar swalayan di Bogor. Sebelumnya, tekstur curd komersial dianalisis secara objektif menggunakan metode TPA dengan Texture Analyzer TA-XT2i. Curd komersial dengan parameter kekerasan yang konsisten (hasil ulangan pengukuran baik) dipilih sebagai sampel curd untuk pelatihan panelis dan pengujian rating kekerasan curd. Berdasarkan hasil seleksi, diperoleh enam merek curd komersial dengan kisaran kekerasan 0.46 kg F hingga 4.75 kg F. Curd yang terpilih sebagai sampel dapat dilihat pada Lampiran 36. Tiga hingga empat sampel curd komersial yang telah diketahui nilai kekerasan objektifnya digunakan dalam pelatihan panelis. Panelis diminta memberi penilaian kekerasan masing-masing curd komersial dalam skala garis yang panjangnya 15 cm, antara sangat lunak hingga sangat keras. Kuesioner pelatihan dan pengujian dapat dilihat pada Lampiran 3. Skala garis memungkinkan panelis lebih fleksibel dalam menilai kekerasan sampel (Kem et al., 2009). Pelatihan panelis bertujuan menyamakan persepsi semua panelis. Kesamaan persepsi merupakan prasyarat agar keragaman penilaian antar panelis dapat diminimalkan. Pelatihan panelis juga dilakukan agar panelis memberikan penilaian yang konsisten terhadap sampel curd yang sama. Kem et al. (2009) menyebutkan bahwa tujuan pelatihan panelis tidak hanya meningkatkan kemampuan panelis dalam mendeteksi, membedakan, dan mendeskripsikan sampel, melainkan juga meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi ragam antar penelis. Sebanyak enam sampel curd komersial terpilih diuji menggunakan metode rating skala garis oleh 11 panelis terlatih dalam bidang kekerasan curd. Meskipun panelis sudah dilatih dan dikenalkan dengan sampel uji selama satu bulan, panelis masih memberikan penilaian yang cukup variatif. Oleh karena itu, dipilih minimal 6 panelis yang memberikan penilaian kekerasan curd relatif sama. Enam 44

61 panelis dianggap cukup mewakili penilaian satu parameter tekstur curd, yaitu kekerasan. Hasil penilaian rating skala garis kekerasan tekstur curd komersial dapat dilihat pada Lampiran 37. Berdasarkan hasil analisis tekstur curd komersial secara objektif dan subjektif, diperoleh persamaan hubungan antara nilai kekerasan objektif dan nilai kekerasan subjektif seperti terlihat pada Lampiran 38. Persamaan tersebut, yaitu y = 2.876x (R 2 = 0.935), dengan x mewakili nilai kekerasan objektif curd dan y mewakili nilai kekerasan subjektif curd. Persamaan di atas digunakan untuk menentukan kekerasan curd hasil perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey secara subjektif. Berdasarkan persamaan di atas, diperoleh nilai kekerasan subjektif curd berbagai perlakuan seperti yang tercantum dalam Tabel 12. Curd hasil perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey memiliki nilai kekerasan subjektif berkisar 5.63 hingga 9.00 pada skala garis uji rating dari sangat lunak (0) hingga sangat keras (15). Nilai tersebut menunjukkan curd hasil perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey rata-rata memiliki tingkat kekerasan sedang. Tabel 12. Perbandingan kekerasan curd secara objektif dengan kekerasan curd secara subjektif Suhu Awal ( o C) Umur koagulan whey Tekstur (Hari) Objektif (kg F) Subjektif* a,b 6.23 a,b b 6.37 b a 5.63 a c 7.20 c d 9.00 d c 7.04 c Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) *Menggunakan persamaan y = 2.876x (R 2 = 0.935) Hasil analisis ragam (Lampiran 39) menunjukkan bahwa interaksi suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey berpengaruh nyata terhadap kekerasan curd secara subjektif. Curd dengan kekerasan tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan koagulan whey berumur 2 hari. Sedangkan curd dengan kekerasan terendah diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 3 hari. Meskipun kekerasan yang dihasilkan bervariasi antar perlakuan, hasil uji rating skala garis menunjukkan bahwa curd yang dihasilkan memiliki kekerasan sedang. 45

62 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Suhu awal proses koagulasi berpengaruh nyata terhadap profil whey pres dan curd hasil koagulasi seperti nilai ph koagulasi, transmitan whey, kadar protein curd, kadar air curd, massa curd serta total padatan curd. Koagulasi pada suhu awal 83 o C menghasilkan ph koagulasi, transmitan whey, dan kadar protein curd yang lebih tinggi dibandingkan dengan koagulasi pada suhu awal 63 o C. Sedangkan kadar air curd, massa curd dan total padatan curd, koagulasi pada suhu awal 63 o C memberikan hasil yang lebih tinggi daripada koagulasi pada suhu awal 83 o C. Umur koagulan whey tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap profil whey pres dan curd hasil koagulasi. Meskipun demikian, interaksi suhu awal proses koagulasi dan umur whey berpengaruh terhadap banyaknya protein dapat diendapkan menjadi curd. Suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey juga berpengaruh tehadap pola pita fraksi protein yang muncul pada analisis elektroforesis. Meskipun secara visual pita fraksi protein yang terbentuk sama, intensitas warna dari pita fraksi protein yang terbentuk berbeda. Intensitas warna pita fraksi protein ini menunjukkan banyaknya protein ber-bm tertentu pada pita tersebut. Perbedaan ini diduga menunjukkan perbedaan proporsi subunit protein penyusun curd, dalam hal ini glisinin (11S) dan β-konglisinin (7S), yang merupakan protein dominan dalam kedelai. Suhu awal proses koagulasi berpengaruh nyata terhadap proporsi protein glisinin, β-konglisinin, rasio glisinin/β-konglisinin, proporsi subunit α dan α, grup asam (A 3, A 1, A 2, A 4 ), grup basa, dan A 5. Secara keseluruhan suhu awal proses koagulasi 83 o C menghasilkan curd dengan proporsi glisinin, rasio glisinin/β-konglisinin, proporsi subunit grup asam (A 3, A 1, A 2, A 4 ), dan A 5 yang lebih tinggi dibandingkan dengan curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C. Suhu awal proses koagulasi 63 o C lebih unggul dari suhu awal proses koagulasi 83 o C pada proporsi β-konglisinin, proporsi subunit α dan α, serta grup basa. Sementara umur koagulan whey berpengaruh nyata rasio glisinin/β-konglisinin, proporsi subunit α dan α, subunit β, dan subunit grup basa. Pengaruh umur koagulan whey terhadap pita protein yang terbentuk tidak memberikan suatu pola, hanya proporsi subunit β yang memiliki pola, yaitu semakin rendah dengan semakin tuanya umur koagulan whey yang digunakan. Koagulasi pada suhu awal 83 o C menghasilkan parameter tekstur curd, baik secara objektif maupun subjektif, yang lebih tinggi dibandingkan dengan curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C. Suhu awal proses koagulasi berpengaruh nyata terhadap parameter tekstur curd yang diukur seperti kekerasan, kohesivitas, dan daya kunyah curd. Sama halnya dengan suhu awal proses koagulasi, umur koagulan whey juga berpengaruh nyata terhadap ketiga parameter tekstur yang diukur. Koagulan whey berumur 3 hari menghasilkan curd dengan parameter tekstur terendah pada suhu awal proses koagulasi yang sama, yaitu memiliki tekstur paling lunak dengan kohesivitas dan daya kunyah yang paling rendah. Parameter tekstur curd tertinggi diperoleh dengan koagulasi menggunakan koagulan whey berumur 2 hari, baik pada suhu awal proses koagulasi 63 o C maupun 83 o C. Parameter tekstur curd erat kaitannya dengan profil whey pres dan curd hasil koagulasi dan proporsi protein di dalam curd. Kadar air, kadar protein, dan total padatan curd berkorelasi dengan parameter tekstur objektif curd, khususnya kekerasan, pada taraf 5%. Kekerasan curd semakin tinggi dengan semakin tingginya kadar protein, dan semakin rendah dengan semakin tingginya kadar air dan total padatan curd. Pada taraf yang sama, curd dengan kadar air tinggi memiliki nilai kohesivitas rendah. Sedangkan curd dengan kadar protein yang tinggi memiliki nilai kohesivitas tinggi. Selain itu,

63 curd dengan kadar air dan total padatan yang tinggi memiliki nilai daya kunyah rendah. Parameter tekstur curd, khususnya kekerasan, juga memiliki korelasi dengan fraksi protein penyusun curd pada taraf 5%. Curd dengan proporsi glisinin dan rasio glisinin/β-konglisinin tinggi memiliki nilai kekerasan tinggi. Sementara β-konglisinin memberikan pengaruh yang sebaliknya. Semakin tinggi proporsi β-konglisinin, semakin rendah nilai kekerasan curd. 5.2 SARAN Proses koagulasi memiliki pengaruh yang besar terhadap mutu produk curd, khususnya karakateristik tekstur. Karakteristik koagulan dan kondisi koagulasi menentukan kemampuan protein membentuk matriks curd dan memerangkap komponen lain yang berpengaruh terhadap tekstur curd. Selain itu, penelitian dasar mengenai koagulasi protein kacang-kacangan, khususnya kedelai, menggunakan koagulan whey (biang tahu) belum banyak dilakukan. Koagulan whey sendiri adalah salah satu koagulan yang paling banyak digunakan oleh industri kecil dan menengah tahu di Indonesia. Melalui hasil penelitian ini, perlu dilakukan: a. Penelitian lanjutan mengenai komposisi asam dalam koagulan whey tahu (biang tahu) dan pengaruhnya terhadap proporsi fraksi protein pembentuk curd b. Pengamatan scanning electron microscopic (SEM) struktur matriks curd yang terbentuk dari perlakuan umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi. c. Penelitian untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi proses koagulasi menggunakan koagulan whey tahu selain ph koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi. 47

64 DAFTAR PUSTAKA Aguilera JM Gelation of whey proteins. Food Technol. 49: Anonim a Crystal structure of soybean 11S globulin: Glycinin A 3 B 4 homohexamer [2 November 2010] b http: // [25 Oktober 2010] c [1 November 2010] AOAC [Analysis of the Asociation of Official Agriculture Chemistry] Microchemical Determination of Nitrogen. Method Chapter 12, p.7. Autran JC Elctrophoresis. Di dalam Lindex G (ed). Analytical Techniques for Foods and Agricultural Products. New York: VCH Pub Inc. Bachrudin Z Petunjuk Laboratorium: Isolasi, Identifikasi, dan Pewarnaan Protein. Yogyakarta: PAU Bioteknologi UGM. Badan Standardisasi Nasional Penentuan Kadar Air (SNI ). Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Badley RA, Atkinson D, Hauser H, Oldani D, Green JP, and Stubbs JM The structure, physical and chemical properties of the soy bean protein glycinin. Biochim Biophys Acta 412: Belitz HD and Grosch W Food Chemistry. Berlin: Springer-Verlag. Berk Z Technology of production of edible flours and protein products from soybean. FAO Agricultural Services Bulletin No. 97. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations. Blazek V Chemical and biochemical factors that influence the gelation of soybean protein and the yield of tofu [thesis]. Sydney: Faculty of Agriculture, Food and Natural Resources. Univ of Sydney. Bollag DM and Edelstein SJ Protein Method. New York: Willey-Liss Inc. Boye JI, Ma CY, and Harwalkar VR Thermal denaturation and coagulation of proteins. In: Damodaran S and Alain P (eds). Food Proteins and Their Applications. New York: Marcel Dekker Inc. Boyer RF Modern Experimental Biochemistry. 2 nd ed. California: The Benjamin/ Cumming Pb. Co., Inc. Bradford MM A rapid and sensitive method for the quantitation of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. J Analytical Biochem 72: Cai TD and Chang KC Characteristic of production scale tofu as afected by soymilk coagulation method: Propeller blade size, mixing time and coagulation concentration. Food Res Intl 31:

65 Cai TD, Chang KC, Shih MC, Hou HJ and Ji M Comparison of bench and production scale method for making soymilk and tofu from 13 soybean varieties. Food Res Intl. 30 (9): Copeland RA Methods for Protein Analysis: A Practical Guide Laboratory Protocol. 3 rd ed. New York: Chapman and Hall.. Corredig M Protein-protein interactions in food. In: Gaonkar AG and McPherson (eds). Ingredient Interactions: Efftect on Food Quality. 2 nd ed. Boca Raton: CRC Press. DeMan JM Principles of Food Chemistry. Westport, Connecticut: The AVI Publishing Company Inc. Fahmi R Mempelajari pengaruh jenis dan konsentrasi koagulan terhadap pola elektroforesis koagulasi protein serta korelasinya terhadap mutu tekstur curd yang dihasilkan [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Faridi H and Faubion JM Dough Rheology and Baked Product Texture. New York: An AVI Book. Fontes EPB, Moreira MA, Davies CS, and Nielson NC, Urea-elicited changes in relative electrophoretic mobility of certain glycinin and β-conglycinin subunits. Plant Physiology 76: Fukushima D Soy Proteins. In: Yada RY (ed) Proteins in Food Processing. Cambridge: Woodhead Publishing Limited. Garfin DE One-dimensional gel electrophoresis. In: Deutscher MP (ed). Guide to Protein Purification. London: Academic Press Inc. Hariyadi P, Budijanto S, dan Permana AW Pemanfaatan limbah cair tahu untuk memproduksi ingredien pangan fungsional [laporan penelitian]. Bogor: Lembaga Penelitian IPB. Hegg PO Conditions for the formation of heat-induced gels of some globular food proteins. J Food Sci 47: Hermansson AM Microstructure of protein gels related to functionality. In: Yada RY, Jackman RL, and Smith JL (eds). Protein Structure-Function Relationships in Foods. Bishopbriggs, Glasgow : Blackie Academic & Professional. Hettiarachchy NS and Kalapathy U Functional properties of soy proteins. In: Whitaker JR, Shahidi F, Munguia AL, Yada RY, and Fuller G. Functional Properties of Proteins and Lipids. Washington DC: American Chemical Society. Jage A SDS-PAGE. [2 November 2010] Johnson LD and Wilson LA Influence of soybean variety and the method of processing in tofu manufacturing: Comparison of methods for measuring soluble solids in soymilk. J Food Sci 49: 202. Kastyanto FW Membuat Tahu. Jakarta: Penebar Swadaya. Kemp SE, Hollowood T, and Hort J Sensory Evaluation: A Practical Handbook. West Sussex: John Wiley and Sons Ltd. Kilcast D Sensory techniques to study food texture. In: Rosenthal AJ (ed). Food Texture (Measurement and Perception). Gatherburg Maryland: Aspen Publishing Inc. 49

66 Kilcast D Measuring consumer perception of texture: an overview. In: Kilcast D (ed). Texture in Food Volume 2: Solid Foods. Cambridge England: Woodhead Publising Limited. Kohyama K, and Nishinari K Rheological studies on the gelation process of soybean 7S and 11S proteins in the presence of glucono-delta-lactone. J Agric Food Chem 41: Koshiyama I Distribution of the 7S proteins in soybean globulins by gel filtration with sephadex G-200. Agric Biol Chem 33: Koswara S Teknologi Pengolahan Kedelai. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Lewis BA dan Chen JH Effect of conformation and structure change induced by solvent and limited enzyme modification on the functionality of soy protein. In: El AP (ed). Functionality and Protein Structure. Washington DC: American Chemical Society. Linaya C and Singkanparan H The treatment of soybean curd whey by ultrafiltration using locally produced polyamide membranes. Proceeding of The Second ASEAN Workshop A Membrane Technology. ASEAN Committee on Science and Technology, Bangkok. Liu C, Wang X, Ma H, Zhang Z, Gao W, and Xiao L Functional properties of protein isolates from soybeans stored under various conditions. J Food Chem 111: Liu K Soybean: Chemistry, Technology, and Utilization. New York: Chapman and Hall International Thompson Publishing. Liu K Food use of whole soybeans. In: Johnson LA, White PJ and Galloway R (Eds.). Soybeans Chemistry, Production, Processing, and Utilization. Urbana: AOCS Press pp: Liu ZS, Chang SKC, Li LT, and Tatsumi E Effect of selective thermal denaturation of soybean proteins on soymilk viscosity and tofu s physical properties. J Food Res Intl. 37: Maruyama Y, Maruyama N, Mikami B, and Utsumi S Structure of the core region of the soybean beta-conglycinin alpha' subunit. [2 November 2010] Meng GT, Ching KM, and Ma CY Thermal aggregation of globulin from an indigenous chinese legume, phaseolus angularis (red bean). J Food Chem 79: Milewski S Protein structure and physicochemical properties. In: Sikorski ZE (ed). Chemical & Functional Properties of Food Proteins. Lancaster Pennsylvania: Technomic Publishing Company, Inc. Moizuddin S, Johnson LD, and Wilson LA Rapid method for determining optimum coagulant concentration in tofu manufacture. J Food Sci 64: 4. Muchtadi D Kedelai: Komponen untuk Kesehatan. Bandung: Alfabeta. Mujoo R, Trinh DT, and Ng PKW Characterization of storage proteins in different soybean varieties and their relationship to tofu yield and texture. J Food Chem 82: Nielsen SS Food Analysis. 3 rd ed. New York: Plenum Publisher. Oakenfull D, Pearce J, and Burley RW Protein gelation. In: Damodaran S and Paraf A (eds). Food Proteins and Their Applications. New York: Marcel Dekker, Inc. pp: Obatolu VA Effect of different coagulants on yield and quality of tofu from soymilk. J Eur Food Res and Tech 226:

67 Oboh G Coagulants modulate the hypocholesterolemic effect of tofu (coagulated soymilk). Afr J Biotechnol 5(3): Pearson AM Soy protein. In: Hudson PJF (ed). Development in Food Protein. 2 nd ed. London: The Applied Science Publisher. Peleg M The semantics of rheology and texture. J Food Techl 11: Peng IC, Quass DW, Dayton WR, and Allen CE The physicochemical and functional properties of soybean 11S globulin - A review. Cereal Chem 61: Pomeranz Y and Meloan CL Food Analysis: Theory and Practice. 3 rd ed. New York: Chapman and Hall ITP an International Thompson Publ. Co. Poysa V and Woodrow L Stability of soybean composition and its effects on soymilk and tofu yield and quality. J Food Res Int 35: Poysa V, Woodrow L, and Yu K Effect of soy protein subunit composition on tofu quality. J Food Res Int 39: Prabhakaran MP, Perera CO, and Valiyaveettil S Effect of different coagulants on the isoflavone levels and physical properties of prepared firm tofu. J Food Chem 99: Rabilloud T Solubilization of proteins for electrophoretic analyses A review. J Electrophoresis 17: Rasband W [30 Agustus 2010] Reta Making tofu. [2 November 2010] Rosenthal AJ Food Texture, Measurement and Perception. Maryland: An Aspen Publication. Saidu JEP Development, evaluation and characterization of protein-isoflavone enriched soymilk [dissertation]. Louisiana: Faculty of Agricultural and Mechanical. Louisiana State University and College. Sarwono B dan Saragih YP Membuat Aneka Tahu. Jakarta: Penebar Swadaya. Shurtleff W and Aoyagi A The Book of Tempeh. New York: Harper and Row. Shurtleff W and Aoyagi A Tofu and Soymilk Production, The Book of Tofu Vol II. Lafayete: New Age Food Study. Smewing J Hydrocolloids. In: Rosenthal AJ (ed). Food Texture: Measurement and Perception. Gaithersburg, Maryland: Aspen Publisher. Smith AC Texture and mastication. In: Kilcast D (ed). Texture in Food Volume 2: Solid Foods. England: Woodhead Publising Limited. Smith AK dan Circle SJ Chemical composition of seed. In: Smith AK and Circle SJ (eds). Soybean: Chemistry and Technology. Westport Connecticut: The AVI Publishing Co. Inc. Staswick PE, Hermodson MA, and Nielsen NC Identification of the cystines which link the acidic and basic components of the glycinin subunits. J Biol Chem 259: Subardjo SK, Ridwan IN dan Handono SW Penerapan Teknologi Pengawetan Tahu. Bogor: BPPIHP. Sulieman MA, Hassan AB, Osman GA, El Tyeb MM, El Khalil EAI, El Tinay AH, and Babiker EE Changes in total protein digestibility, fractions content and structure during cooking of lentil cultivars. Pakistan J of Nutr 7 (6):

68 Supriatna D Membuat Tahu Sumedang. Cetakan ke-3. Jakarta: Penebar Swadaya. Syarief R dan Irawati Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Jakarta: Medyatama Sarana Perkasa. Szczapa EL Legume and oilseed proteins. In: Sikorski ZE (ed). Chemical & Functional Properties of Food Proteins. Lancaster Pennsylvania: Technomic Publishing Company, Inc. Tay SL, Xu GQ, and Perera CO Aggregation profile of 11S, 7S and 2S coagulated with GDL. J Food Chem 91: Thanh VH and Shibasaki K Major proteins of soybean seeds, subunit structure of β- conglycinin. J Agric Food Chem 26: Thanh VH, Okubo K, and Shibasaki K Isolation and characterization of the multiple 7S globulins of soybean proteins. Plant Physiology 56: Utsumi S and Kinsella JE Structure-function relationships in food proteins: Subunit interactions in heat-induced gelation of 7S, 11S, and soy isolate proteins. J Agric Food Chem 33: Wang CH and Damodaran S Thermal gelation of globular proteins: Influence of protein conformation on gel strength. J Agric Food Chem 39: Wijaya SKS dan Rohman L Fraksinasi dan Karakterisasi protein Utama Biji Kedelai. Jember: Fakultas MIPA Universitas Jember. Wilson K and Walker J Principles and Techniques of Practical Biochemistry. 5 th ed. England: Cambridge University Press. Wolf WJ and Cowan JC Soybean as a Food Source. Ohio: CRC Press. Wolf WJ Purification and properties of the protein. In: Smith AK and Circle SJ (eds). Soybean: Chemistry and Technology. Westport Connecticut: The AVI Publishing Co. Inc. Zayas JF Functionality of Protein in Food. Berlin: Springer link. 52

69 LAMPIRAN

70 Lampiran 1. Larutan-larutan untuk SDS-PAGE Larutan stok : 1. Larutan A (Akrilamid 30%; 0.8 bisakrilamid), 100 ml Sebanyak 30.0 g akrilamid dan 0.8 g N,N -metilen-biasakrilamid dilarutkan dalam 100 ml akuades. Saring larutan melalui filter 0.45 µm. Pada waktu penimbangan selalu harus menggunakan sarung tangan dan tutup wadah dengan parafilm selama pelarutan. Larutan akrilamid dapat disimpan selama beberapa bulan dalam lemari pendingin bersuhu 4 o C. 2. Larutan B (4x Tris-Cl/SDS, ph 8.8), 100 ml Sebanyak g Tris base dan 4 ml 10% SDS dilarutkan dalam 40 ml akuades. Tepatkan pada ph 8.8 dengan 1 N HCl. Tambahkan akuades hingga volume total 100 ml. Saring larutan melalui filter 0.45 µm. 3. Larutan C (4x Tris-Cl/SDS, ph 6.8), 100 ml Sebanyak 6.05 g Tris base dan 4 ml 10% SDS dilarutkan dalam 40 ml akuades. Tepatkan pada ph 6.8 dengan 1 N HCl. Tambahkan akuades hingga volume total 100 ml. Saring larutan melalui filter 0.45 µm % APS, 0.5 ml Dibuat segar setiap kali akan melakukan elektroforesis. Larutkan 0.05 g amonium persulfat dalam 0.5 ml akuades. 5. 5x SDS/ buffer elektroforesis, 1 L Larutkan 15.1 g Tris base, 72.0 g glisin, dan 5.0 g SDS dalam 800 ml akuades. Setelah larut, tepatkan volume hingga 1.0 L. Untuk membuat 1x SDS/buffer elektroforesis, encerkan 1 bagian volume larutan di atas dalam 4 bagian volume akuades. 6. 2x SDS/buffer sampel, 100 ml Campurkan 30 ml 10%SDS, 10 ml gliserol, 5.0 ml 2-merkaptoetanol, 12.5 ml 4x Tris- Cl/SDS, ph 6.8 dan 5-10 mg brompgenol blue. Tepatkan volume hingga 100 ml dengan akuades. Simpan pada suhu rendah. 7. Larutan pewarna (staining) Sebanyak 1 gram coomasie brilliant blue R-250, 450 ml metanol, dan 100 ml asam asetat glasial dilarutkan dalam 450 ml akuades. 8. Larutan penghilang warna (destaining) Sebanyak 100 ml metanol, 100 ml asam asetat glasial dilarutkan dalam 800 ml akuades. 54

71 Lampiran 2. Kuesioner uji segitiga dan uji rangking untuk seleksi panelis UJI SEGITIGA Nama :... Tanggal :... Produk : Tahu Instruksi : Di hadapan anda terdapat 3 sampel dimana terdapat 2 sampel yang sama dan 1 sampel beda. Ambil dan tekan sampel dengan ujung jari telunjuk dan ibu jari secara berurut dari kiri ke kanan. Penekanan hanya diperbolehkan satu kali (tiap set) dan tidak diperkenankan mengulang penekanan. Identifikasi sampel mana yang mempunyai kekerasan berbeda dengan memberikan tanda ( ) pada kolom di bawah ini : Set 1 Set 2 Set 3 Kode Sampel Sampel beda Kode Sampel Sampel beda Kode Sampel Sampel beda UJI RANGKING Nama :... Tanggal :... Produk : Tahu Instruksi : Urutkan sampel-sampel tahu di bawah ini berdasarkan tingkat kekerasan dari dari yang paling keras (tulis angka 1 di bawah kode sampel) hingga yang paling lunak (tulis angka 3 di bawah kode sampel). Ujilah masing-masing sampel dengan melakukan penekanan sampel menggunakan ujung jari telunjuk dan ibu jari secara berurutan dari kiri ke kanan. Penekanan hanya diperbolehkan satu kali (tiap set) dan tidak diperkenankan mengulang penekanan. Set 1 Set 2 Set 3 Kode Sampel Rangking Kode Sampel Rangking Kode Sampel Rangking 55

72 Lampiran 3. Kuesioner uji rating penekanan curd UJI RATING Nama : Tanggal: Instruksi : Di hadapan anda telah tersedia sampel yang diberi label R dan sampel lain berkode. Bandingkan tingkat kekerasan sampel berkode dengan sampel R (reference) melalui penekanan menggunakan telunjuk dan ibu jari dan kemudian plotkan dengan memberi tanda pada garis di bawah ini Kode sampel :... Sangat lunak Sangat keras Kode sampel :... Sangat lunak Sangat keras Kode sampel :... Sangat lunak Sangat keras 56

73 Lampiran 4. Penentuan tekanan penekan cetakan curd di Diazara Tresna (Fahmi, 2010) Massa dan Dimensi Penekan Cetakan Ulangan Penekan Cetakan 1 Penekan Cetakan 1 Penekan Cetakan 1 Massa (kg) Dimensi (cm 2 ) Massa (kg) Dimensi (cm 2 ) Massa (kg) Dimensi (cm 2 ) x x x x x x x x x 41.5 Rataan Beban penekan Ulangan Massa Beban 1 (kg) Massa Beban 2 (kg) Massa Beban 3 (kg) Rataan Massa rata-rata penekan cetakan (kg) = = Dimensi rata-rata penekan cetakan (cm2) = = Massa rata-rata beban penekan (kg) = = Tekanan press tahu (P) = F (massa penekan cetakan + massa beban penekan) = A dimensi cetakan penekan kg = cm 2 = 4.71 g/cm 2 57

74 Lampiran 5. Data analisis ph koagulan whey (biang tahu) pabrik Diazara Tresna Umur Whey (Hari) Tanggal Sampling ph Rataan Duplo Rataan Hitung 11/03/2010 A 3.80 B /03/2010 A 3.83 B /03/ /03/2010 A 3.79 B 3.79 A 3.80 B ± /03/2010 A 3.80 B /03/2010 A 3.82 B /03/2010 A 3.79 B /03/2010 A 3.85 B /03/ /03/2010 A 3.83 B 3.84 A 3.83 B ± /03/2010 A 3.82 B /03/2010 A 3.87 B /03/2010 A 3.89 B /03/2010 A 3.87 B /03/ /03/2010 A 3.84 B 3.84 A 3.86 B ± /03/2010 A 3.84 B /03/2010 A 3.88 B

75 Lampiran 6. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh umur penyimpanan terhadap ph koagulan whey (biang tahu) pabrik Diazara Tresna Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: ph Whey Pabrik Source Type III Sum Mean df of Squares Square F Sig. Corrected Model a Intercept Umur Whey Error Total Corrected Total a R Squared = (Adjusted R Squared = 0.565) POST HOC UMUR WHEY ph Whey Pabrik Duncan a.b Umur Whey N Subset Hari Hari Hari Sig Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = a. Uses Harmonic Mean Sample Size = b. Alpha =

76 Lampiran 7. Data analisis ph whey pres hasil penekanan curd Suhu ( o C) Umur Koagulan Whey (Hari) Repetisi ph Rataan Duplo Rataan Hitung 1 1-a b a b ± a b a b ± a b a b ± a b a b ± a b a b ± a b a b ± 0.04 Lampiran 8. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap ph whey pres Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: ph Whey Press Source Type III Sum df Mean of Squares Square F Sig. Corrected Model a Intercept Suhu Koagulasi Umur Whey Suhu Koagulasi * Umur Whey Error Total Corrected Total a. R Squared = (Adjusted R Squared = 0.861) 60

77 Lampiran 9. Data analisis kadar protein metode Bradford untuk whey pres hasil penekanan curd Ulangan 1 Vol stok BSA U1 (ml) Vol aquades (ml) Konsentrasi (mg/ml) Absorbansi mg protein standar Stok BSA (mg/ml) 1.03 BSA Std (U1) Absorbansi 1, , , , , , ,00000 y = 0,82130x + 0,05019 R² = 0, ,0000 0,2000 0,4000 0,6000 0,8000 1,0000 1,2000 1,4000 Konsentrasi Ulangan 2 Vol stok BSA U2 (ml) Vol aquades (ml) Konsentrasi (mg/ml) Absorbansi mg protein standar Stok BSA (mg/ml)

78 Lampiran 9. (Lanjutan) Suhu ( o C) Umur Koagulan Whey (hari) Repetisi Absorbansi Konsentrasi (mg/ml) Rataan Duplo (mg/ml) Rataan Hitung (mg/ml) U1 a U1 b U2 a U2 b U1 a U1 b U2 a U2 b U1 a U1 b U2 a U2 b U1 a U1 b U2 a U2 b U1 a U1 b U2 a U2 b U1 a U1 b U2 a U2 b Lampiran 10. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap kadar protein whey pres dengan metode Bradford Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Bradford Whey Press Source Type III Sum Mean df of Squares Square F Sig. Corrected Model a Intercept Suhu Koagulasi Umur Whey Suhu Koagulasi * Umur Whey Error Total Corrected Total a. R Squared = (Adjusted R Squared = 0.536) 62

79 Lampiran 11. Data analisis transmitan whey pres hasil penekanan curd Suhu ( o C) Umur Whey (hari) Repetisi Transmitan (%) Rata Duplo (%) Rataan Hitung (%) 1 U1 a U1 b U2 a U2 b U1 a U1 b U2 a U2 b U1 a U1 b U2 a U2 b U1 a U1 b U2 a U2 b U2 a U2 b U3 a U3 b U1 a U1 b U3 a U3 b Lampiran 12. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap transmitan whey pres Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Transmitan Whey Press Source Type III Sum Mean df of Squares Square F Sig. Corrected Model a Intercept Suhu Koagulasi Umur Whey Suhu Koagulasi * UmurWhey Error Total Corrected Total a. R Squared = (Adjusted R Squared = 0.767) 63

80 Lampiran 13. Hasil analisis korelasi antara ph, kadar protein metode Bradford dan transmitan whey pres Correlations ph Whey Transmitan Whey Bradford Whey ph Whey Pearson Correlation ** Sig. (2-tailed) N Transmitan Pearson Correlation 0.823** Whey Sig. (2-tailed) N Bradford Whey Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Lampiran 14. Data analisis kadar protein curd metode Kjeldahl (% basis basah) Suhu ( o C) Umur Koagulan Whey (hari) Repetisi Protein Kjeldahl (%) Rataan Hitung 1 U U U U U U U U U U U U

81 Lampiran 15. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap kadar protein Kjeldahl curd (% basis basah) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Protein Curd Source Type III Sum Mean df of Squares Square F Sig. Corrected Model a Intercept Suhu Koagulasi Umur Whey Suhu Koagulasi * Umur Whey Error Total Corrected Total a. R Squared = (Adjusted R Squared = 0.869) POST HOC INTERAKSI Protein Kjeldahl Curd Duncan a.b Interaksi N Subset o C - 1 Hari o C - 2 Hari o C - 3 Hari o C - 3 Hari o C - 2 Hari o C - 1 Hari Sig Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = a. Uses Harmonic Mean Sample Size = b. Alpha =

82 Lampiran 16. Data analisis kadar air curd (% basis basah) Suhu ( o C) Umur Koagulan Whey (hari) Repetisi Kadar Air (g/100g) Rataan Duplo (g/100g) Rataan Hitung (g/100g) U1 a U1 b U2 a U2 b U1 a U1 b U2 a U2 b U1 a U1 b U2 a U2 b U1 a U1 b U2 a U2 b U1 a U1 b U2 a U2 b U1 a U1 b U2 a U2 b Lampiran 17. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap kadar air curd (% basis basah) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar Air Curd Source Type III Sum Mean df of Squares Square F Sig. Corrected Model a Intercept Suhu Koagulasi Umur Whey Suhu Koagulasi * Umur Whey Error Total Corrected Total a. R Squared = (Adjusted R Squared = 0.835) 66

83 Lampiran 18. Data analisis massa curd Suhu ( o C) Umur Koagulan Whey (hari) Repetisi Massa (g) Rataan Hitung (g) 1 U1 191,3 U2 206,1 198, U1 192,5 U2 194,7 193,6 3 U1 207,6 U2 204,6 206,1 1 U1 174,7 U2 179,5 177, U2 169,7 U3 163,1 166,4 3 U1 176,7 U3 175,2 176,0 Lampiran 19. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap massa curd Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Massa Curd Source Type III Sum Mean df of Squares Square F Sig. Corrected Model a Intercept Suhu Koagulasi Umur Whey Suhu Koagulasi * Umur Whey Error Total Corrected Total a. R Squared = (Adjusted R Squared = 0.890) 67

84 Lampiran 20. Data analisis total padatan curd Suhu ( o C) Umur Koagulan Whey (hari) Repetisi Total Padatan (g) Rataan Hitung (g) 1 U U U U U U U U U U U U Lampiran 21. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap total padatan curd Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Total Padatan Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model a Intercept Suhu Koagulasi Umur Whey Suhu Koagulasi * Umur Whey Error Total Corrected Total a. R Squared = (Adjusted R Squared = 0.323) 68

85 Lampiran 22. Hasil analisis korelasi antara ph whey, kadar protein metode Bradford dan transmitan whey pres Correlations ph Whey Massa Protein Total Kadar Air Curd Curd Padatan ph Whey Pearson Correlation ** 0.865** ** * Sig. (2-tailed) N Massa Curd Protein Curd Kadar Air Total Padatan Pearson Correlation ** * 0.953** 0.792** Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation 0.865** * ** Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation ** 0.953** ** Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation * 0.792** Sig. (2-tailed) N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). 69

86 Lampiran 23. Data analisis kadar protein curd bebas lemak Suhu ( o C) Umur Koagulan Whey (hari) Repetisi Protein Kjeldahl (%) Rataan Hitung 1 U U U U U U U U U U U U Lampiran 24. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap kadar protein curd bebas lemak Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar Protein Curd Bebas Lemak Source Type III Mean Sum of df Square Squares F Sig. Corrected Model a Intercept Suhu Koagulasi Umur Whey Suhu Koagulasi * Umur Whey Error Total Corrected Total a. R Squared = (Adjusted R Squared = 0.221) 70

87 Lampiran 25. Data analisis ekstraksi protein Lampiran 25a. Sampel curd (Ekstraksi protein ulangan 1) Sampel Vol stok BSA (ml) Vol aquades (ml) Konsentrasi (mg/ml) Absorbansi mg protein standar Std Std Std Std Std Std Stok BSA = 1.03 mg/ml Absorbansi 1,000 0,800 0,600 0,400 0,200 0,000 Std BSA y = 7,83820x + 0,07292 R² = 0, ,000 0,020 0,040 0,060 0,080 0,100 0,120 Konsentrasi (mg) Fraksi Sampel 1_63 C 2_63 C 3_63 C 1_83 C 2_83 C 3_83 C Repetisi V0 (ml) FP V2 Absorbansi Kons Rx (mg) Kons Fraksi (mg) Ms awal Curd (mg) Kadar Fraksi (mg/100mg curd) U1-a U1-b U2-a U2-b U1-a U1-b U2-a U2-b U1-a U1-b U2-a U2-b U1-a U1-b U2-a U2-b U1-a U1-b U2-a U2-b U1-a U1-b U2-a U2-b Rataan Duplo Rataan Hitung Kadar Protein Kjeldahl (%) % Recovery

88 Lampiran 25b. Sampel curd (Ekstraksi protein ulangan 2) Sampel Vol stok BSA (ml) Vol aquades (ml) Konsentrasi (mg/ml) Absorbansi mg protein standar Std Std Std Std Std Std Std Stok BSA = 1.02 mg/ml Absorbansi 1,200 1,000 0,800 0,600 0,400 0,200 0,000 Std BSA y = 9,73869x + 0,03314 R² = 0, ,000 0,020 0,040 0,060 0,080 0,100 0,120 Konsentrasi (mg) Fraksi Sampel 1_63 C 2_63 C 3_63 C 1_83 C 2_83 C 3_83 C Repetisi V0 (ml) FP V2 Absorbansi Kons Rx (mg) Kons Fraksi (mg) Ms awal Curd (mg) Kadar Fraksi (mg/100mg curd) U1-a U1-b U2-a U2-b U1-a U1-b U2-a U2-b U1-a U1-b U2-a U2-b U1-a U1-b U2-a U2-b U1-a U1-b U2-a U2-b U1-a U1-b U2-a U2-b Rataan Duplo Rataan Hitung Kadar Protein Kjeldahl % Recovery

89 Lampiran 26. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap total protein terekstrak Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Total Protein Terekstrak Source Type III Mean Sum of df Square Squares F Sig. Corrected Model a Intercept Suhu Koagulasi Umur Whey Suhu Koagulasi * Umur Whey Error Total Corrected Total a. R Squared = (Adjusted R Squared = 0.458) Lampiran 27. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey (biang tahu) terhadap persen recovery ektraksi protein Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Persen Recovery Source Type III Mean Sum of df Square Squares F Sig. Corrected Model a Intercept Umur Whey Suhu Koagulasi Suhu Koagulasi * Umur Whey Error Total Corrected Total a. R Squared = (Adjusted R Squared = ) 73

90 Lampiran 28. Hubungan Rf dengan log BM untuk sampel ekstrak protein Lampiran 28a. Ekstrak tepung kedelai Rf marker (x) BM marker Log BM (y) Log BM 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 y = -1,177x + 2,071 R² = 0,964 0,00 0,50 1,00 Rf Persamaan garis : y = x R 2 = Rf tepung log BM tepung BM tepung

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penentuan Kondisi Optimum Koagulasi Glucono δ Lactone (GDL) merupakan jenis koagulan yang biasanya digunakan pada pembuatan tahu sutera (silken tofu),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lebih murah dan terjangkau jika dibandingkan sumber protein hewani seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lebih murah dan terjangkau jika dibandingkan sumber protein hewani seperti 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kacang Hijau Kacang-kacangan (leguminosa) merupakan protein nabati yang harganya lebih murah dan terjangkau jika dibandingkan sumber protein hewani seperti daging, unggas,

Lebih terperinci

SKRIPSI MEMPELAJARI PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI TERHADAP POLA ELEKTROFORESIS PROTEIN TERKOAGULASI SERTA KORELASINYA TERHADAP TEKSTUR CURD

SKRIPSI MEMPELAJARI PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI TERHADAP POLA ELEKTROFORESIS PROTEIN TERKOAGULASI SERTA KORELASINYA TERHADAP TEKSTUR CURD SKRIPSI MEMPELAJARI PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI KOAGULAN TERHADAP POLA ELEKTROFORESIS PROTEIN TERKOAGULASI SERTA KORELASINYA TERHADAP TEKSTUR CURD KEDELAI (Glycine max) YANG DIHASILKAN Oleh : RIZAL

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI KOAGULAN GDL

PENGARUH KONSENTRASI KOAGULAN GDL PENGARUH KONSENTRASI KOAGULAN GDL (Glucono δ Lactone) DAN SUHU AWAL KOAGULASI TERHADAP POLA ELEKTROFORESIS PROTEIN TERKOAGULASI SERTA KORELASINYA TERHADAP MUTU TEKSTUR CURD KEDELAI (Glycine max) SKRIPSI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA A. KEDELAI. 1. Komposisi Kimia Kedelai

TINJAUAN PUSTAKA A. KEDELAI. 1. Komposisi Kimia Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA A. KEDELAI Kedelai merupakan tanaman kacang-kacangan yang termasuk dalam famili Leguminosa, subfamili Papilionidae, genus Glycine dan spesies max, sehingga nama latinnya dikenal sebagai

Lebih terperinci

PENGARUH PERBEDAAN VARIETAS KEDELAI LOKAL DAN KEDELAI IMPOR TERHADAP KUALITAS FISIK TAHU SUTERA (SILKEN TOFU)

PENGARUH PERBEDAAN VARIETAS KEDELAI LOKAL DAN KEDELAI IMPOR TERHADAP KUALITAS FISIK TAHU SUTERA (SILKEN TOFU) PENGARUH PERBEDAAN VARIETAS KEDELAI LOKAL DAN KEDELAI IMPOR TERHADAP KUALITAS FISIK TAHU SUTERA (SILKEN TOFU) KARYA ILMIAH OLEH: THERESIA DINNI M. W 6103011052 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI KOAGULAN CaSO SUHU TERHADAP PROSES KOAGULASI PROTEIN DAN TEKSTUR CURD SKRIPSI DITA ADI SEPTIANITA F

PENGARUH KONSENTRASI KOAGULAN CaSO SUHU TERHADAP PROSES KOAGULASI PROTEIN DAN TEKSTUR CURD SKRIPSI DITA ADI SEPTIANITA F PENGARUH KONSENTRASI KOAGULAN CaSO 4.2H 2 O DAN SUHU TERHADAP PROSES KOAGULASI PROTEIN DAN TEKSTUR CURD SKRIPSI DITA ADI SEPTIANITA F 24053053 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PROTEIN DALAM SISTEM PANGAN Protein merupakan polimer yang disusun oleh asam amino, dengan jumlah yang lebih banyak dari peptida (2-50 asam amino), bahkan mencapai ratusan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 EKSTRAKSI DAN KOAGULASI PROTEIN KEDELAI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 EKSTRAKSI DAN KOAGULASI PROTEIN KEDELAI BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 EKSTRAKSI DAN KOAGULASI PROTEIN KEDELAI Bahan baku curd tahu adalah sari kedelai hasil ekstraksi kedelai kering yang telah direndam selama 6 jam. Setiap batch pembuatan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. protein berkisar antara 20% sampai 30%. Kacang-kacangan selain sumber protein

I PENDAHULUAN. protein berkisar antara 20% sampai 30%. Kacang-kacangan selain sumber protein I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode uji KOH Protein Solubility (KOH PS). Kelarutan protein dalam larutan 0,2%

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN GARAM DAN SUHU FERMENTASI TERHADAP MUTU KIMCHI LOBAK

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN GARAM DAN SUHU FERMENTASI TERHADAP MUTU KIMCHI LOBAK PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN GARAM DAN SUHU FERMENTASI TERHADAP MUTU KIMCHI LOBAK SKRIPSI Oleh: CHERIA LESTARI 090305017/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PERENDAMAN KEDELAI DAN JENIS ZAT PENGGUMPAL TERHADAP MUTU TAHU ISMED SUHAIDI

PENGARUH LAMA PERENDAMAN KEDELAI DAN JENIS ZAT PENGGUMPAL TERHADAP MUTU TAHU ISMED SUHAIDI PENGARUH LAMA PERENDAMAN KEDELAI DAN JENIS ZAT PENGGUMPAL TERHADAP MUTU TAHU ISMED SUHAIDI Fakultas Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Kedelai (Glycine max Merr)

Lebih terperinci

PEMBUATAN TAUWA KACANG HIJAU DENGAN PENGGUMPAL GLUCONO DELTA LACTONE (GDL)

PEMBUATAN TAUWA KACANG HIJAU DENGAN PENGGUMPAL GLUCONO DELTA LACTONE (GDL) PEMBUATAN TAUWA KACANG HIJAU DENGAN PENGGUMPAL GLUCONO DELTA LACTONE (GDL) SKRIPSI Oleh : IWAN FERDIANA NPM : 0333010054 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

KEGUNAAN. Merupakan polimer dari sekitar 21 jenis asam amino melalui ikatan peptida Asam amino : esensial dan non esensial

KEGUNAAN. Merupakan polimer dari sekitar 21 jenis asam amino melalui ikatan peptida Asam amino : esensial dan non esensial PROTEIN KEGUNAAN 1. Zat pembangun dan pengatur 2. Sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O dan N 3. Sumber energi Merupakan polimer dari sekitar 21 jenis asam amino melalui ikatan peptida Asam amino

Lebih terperinci

OLEH: YULFINA HAYATI

OLEH: YULFINA HAYATI PENGOLAHAN HASIL KEDELAI (Glycine max) OLEH: YULFINA HAYATI PENDAHULUAN Dalam usaha budidaya tanaman pangan dan tanaman perdagangan, kegiatan penanganan dan pengelolaan tanaman sangat penting diperhatikan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV asil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Isolasi Kitin dari Limbah Udang Sampel limbah udang kering diproses dalam beberapa tahap yaitu penghilangan protein, penghilangan mineral, dan deasetilasi untuk

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KARAGENAN DAN ASAM SITRAT UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS TAHU

PEMANFAATAN KARAGENAN DAN ASAM SITRAT UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS TAHU PEMANFAATAN KARAGENAN DAN ASAM SITRAT UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS TAHU SKRIPSI Oleh : Windi Novitasari NPM. 0333010002 JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

A. ISOLAT PROTEIN KEDELAI

A. ISOLAT PROTEIN KEDELAI II. TINJAUAN PUSTAKA A. ISOLAT PROTEIN KEDELAI Salah satu bentuk protein kedelai yang banyak digunakan di industri adalah isolat protein kedelai. Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa, dan (7) Waktu

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C34103013 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PERCOBAAN KE 2 PEMISAHAN PROTEIN PUTIH TELUR DENGAN FRAKSINASI (NH 4 ) 2 SO 4

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PERCOBAAN KE 2 PEMISAHAN PROTEIN PUTIH TELUR DENGAN FRAKSINASI (NH 4 ) 2 SO 4 LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PERCOBAAN KE 2 PEMISAHAN PROTEIN PUTIH TELUR DENGAN FRAKSINASI (NH 4 ) 2 SO 4 Disusun oleh : Ulan Darulan - 10511046 Kelompok 1 Asisten Praktikum : R. Roro Rika Damayanti (10510065)

Lebih terperinci

KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI

KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI Oleh : Indah Asriningrum 0333010052 JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 SURVEI TAHU KOMERSIAL Survei tahu komersial bertujuan mencari jenis dan merek tahu apa saja yang dijual di pasar Indonesia, khususnya area Bogor. Survei dilakukan dengan mengunjungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tampilan dan teksturnya mirip dengan tahu yang berwarna putih bersih

BAB I PENDAHULUAN. tampilan dan teksturnya mirip dengan tahu yang berwarna putih bersih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dangke adalah sebutan keju dari daerah Enrekang, Sulawesi selatan. Merupakan makanan tradisional yang rasanya mirip dengan keju, namun tampilan dan teksturnya mirip

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisikokimia Kadar Air

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisikokimia Kadar Air BAB V PEMBAHASAN Cake beras mengandung lemak dalam jumlah yang cukup tinggi. Lemak yang digunakan dalam pembuatan cake beras adalah margarin. Kandungan lemak pada cake beras cukup tinggi, yaitu secara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK KEDELAI 1. Karakteristik Kimia (Komposisi Proksimat) Kedelai Empat varietas kedelai digunakan dalam penelitian ini yaitu B, H, G2, dan A. Karakteristik kimia yang

Lebih terperinci

SKRIPSI. OPTIMASI PEMBUATAN TAHU BERBAHAN DASAR BIJI KECIPIR (Psophocarpus tetranogobulus L.) DAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.)

SKRIPSI. OPTIMASI PEMBUATAN TAHU BERBAHAN DASAR BIJI KECIPIR (Psophocarpus tetranogobulus L.) DAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) SKRIPSI OPTIMASI PEMBUATAN TAHU BERBAHAN DASAR BIJI KECIPIR (Psophocarpus tetranogobulus L.) DAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) Oleh ARDI RAMDHANI F24050572 2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PRESENTASI TUGAS AKHIR FINAL PROJECT TK Dosen Pembimbing : Ir. Sri Murwanti, M.T. NIP

PRESENTASI TUGAS AKHIR FINAL PROJECT TK Dosen Pembimbing : Ir. Sri Murwanti, M.T. NIP PRESENTASI TUGAS AKHIR FINAL PROJECT TK 090324 Dosen Pembimbing : Ir. Sri Murwanti, M.T. NIP. 19530226 198502 2 001 INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2011 I.1. Latar Belakang Bab I Pendahuluan

Lebih terperinci

PENGARUH KOAGULAN DAN KONDISI KOAGULASI TERHADAP PROFIL PROTEIN CURD KEDELAI SERTA KORELASINYA TERHADAP TEKSTUR

PENGARUH KOAGULAN DAN KONDISI KOAGULASI TERHADAP PROFIL PROTEIN CURD KEDELAI SERTA KORELASINYA TERHADAP TEKSTUR PENGARUH KOAGULAN DAN KONDISI KOAGULASI TERHADAP PROFIL PROTEIN CURD KEDELAI SERTA KORELASINYA TERHADAP TEKSTUR [Effect of Coagulant and Coagulation Condition to Soybean Curd Protein Profile and Its Correlation

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisik Gelatin Pengujian fisik gelatin meliputi rendemen, kekuatan gel dan viskositas. Pengujian fisik bertujuan untuk mengetahui nilai dari rendemen, kekuatan

Lebih terperinci

PEMBUATAN YOGHURT SUSU KECAMBAH KACANG HIJAU

PEMBUATAN YOGHURT SUSU KECAMBAH KACANG HIJAU PEMBUATAN YOGHURT SUSU KECAMBAH KACANG HIJAU Skripsi Oleh : BERNANDA YULIASANJAYA NPM : 0333010049 PROGDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAWA TIMUR

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai Latar Belakang Penelitian, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Manfaat dan Kegunaan

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai Latar Belakang Penelitian, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Manfaat dan Kegunaan I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai Latar Belakang Penelitian, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Manfaat dan Kegunaan Penelitian, Kerangka pemikiran, Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

DAYA TERIMA DAN KUALITAS PROTEIN IN VITRO TEMPE KEDELAI HITAM (Glycine soja) YANG DIOLAH PADA SUHU TINGGI. Abstrak

DAYA TERIMA DAN KUALITAS PROTEIN IN VITRO TEMPE KEDELAI HITAM (Glycine soja) YANG DIOLAH PADA SUHU TINGGI. Abstrak DAYA TERIMA DAN KUALITAS PROTEIN IN VITRO TEMPE KEDELAI HITAM (Glycine soja) YANG DIOLAH PADA SUHU TINGGI Nurhidajah 1, Syaiful Anwar 2, Nurrahman 2 Abstrak Pengolahan pangan dengan suhu tinggi dapat menyebabkan

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU PENGUKUSAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KACANG MERAH HASIL PENYANGRAIAN SKRIPSI OLEH: NOVITA KRISTANTI

PENGARUH WAKTU PENGUKUSAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KACANG MERAH HASIL PENYANGRAIAN SKRIPSI OLEH: NOVITA KRISTANTI PENGARUH WAKTU PENGUKUSAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KACANG MERAH HASIL PENYANGRAIAN SKRIPSI OLEH: NOVITA KRISTANTI 6103012126 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGGUNAAN IE KULOH SIRA SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL DAN PENGENDAP SUSU KEDELAI. Salmyah *) ABSTRAK

PENGGUNAAN IE KULOH SIRA SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL DAN PENGENDAP SUSU KEDELAI. Salmyah *) ABSTRAK PENGGUNAAN IE KULOH SIRA SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL DAN PENGENDAP SUSU KEDELAI Salmyah *) ABSTRAK Ie kuloh sira merupakan larutan yang diperoleh dari limbah industri garam rakyat. Ie kuloh sira dapat dipakai

Lebih terperinci

PENGARUH PERBANDINGAN SARI NENAS DENGAN SARI DAUN KATUK DAN KONSENTRASI KARAGENAN TERHADAP MUTU PERMEN JELLY

PENGARUH PERBANDINGAN SARI NENAS DENGAN SARI DAUN KATUK DAN KONSENTRASI KARAGENAN TERHADAP MUTU PERMEN JELLY PENGARUH PERBANDINGAN SARI NENAS DENGAN SARI DAUN KATUK DAN KONSENTRASI KARAGENAN TERHADAP MUTU PERMEN JELLY SKRIPSI Oleh: MISYE A. LUMBANGAOL 110305028/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012 PENGARUH PERBANDINGAN BIJI NANGKA DAN AIR DAN KONSENTRASI CARBOXY METHYL CELLULOSE (CMC) TERHADAP MUTU YOGHURT SARI BIJI NANGKA SKRIPSI Oleh: SRI MARLENA KETAREN 080305013/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN PROGRAM

Lebih terperinci

PEMBUATAN SPONGE CAKE BEBAS GLUTEN DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID

PEMBUATAN SPONGE CAKE BEBAS GLUTEN DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID PEMBUATAN SPONGE CAKE BEBAS GLUTEN DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID SKRIPSI Oleh: RIRIS MARITO SIMATUPANG 100305017/ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh: ELVIRA MELISA NIM: PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

SKRIPSI. Oleh: ELVIRA MELISA NIM: PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG OPTIMASI PENGGUNAAN KOAGULAN HASIL FERMENTASI KULTUR CAMPURAN (RAGI DAN BAKTERI ASAM ASETAT) DALAM PEMBUATAN TAHU: DITINJAU DARI SIFAT FISIK, KIMIAWI, DAN SENSORIS OPTIMIZATION OF USING COAGULANT FROM

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI MINYAK NABATI TERHADAP MUTU MENTEGA KACANG (PEANUT BUTTER)

PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI MINYAK NABATI TERHADAP MUTU MENTEGA KACANG (PEANUT BUTTER) PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI MINYAK NABATI TERHADAP MUTU MENTEGA KACANG (PEANUT BUTTER) HASRINA SIJABAT 060305007/TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 CURD DAN TAHU Gelasi Protein

II. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 CURD DAN TAHU Gelasi Protein II. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 CURD DAN TAHU Curd adalah hasil penggumpalan protein melalui penambahan bahan penggumpal (koagulan). Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan

Lebih terperinci

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti yang paling utama) adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan A. Protein Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino

Lebih terperinci

PENGARUH PROPORSI DAGING BUAH PALA DENGAN AIR DAN KONSENTRASI PUTIH TELUR TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK SARI DAGING BUAH PALA SKRIPSI

PENGARUH PROPORSI DAGING BUAH PALA DENGAN AIR DAN KONSENTRASI PUTIH TELUR TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK SARI DAGING BUAH PALA SKRIPSI PENGARUH PROPORSI DAGING BUAH PALA DENGAN AIR DAN KONSENTRASI PUTIH TELUR TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK SARI DAGING BUAH PALA SKRIPSI OLEH: MEGAWATI GUNAWAN 6103010022 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGARUH PERLAKUAN PADA PROSES BLANCHING DAN KONSENTRASI NATRIUM BIKARBONAT TERHADAP MUTU SUSU KEDELAI

PENGARUH PERLAKUAN PADA PROSES BLANCHING DAN KONSENTRASI NATRIUM BIKARBONAT TERHADAP MUTU SUSU KEDELAI PROSIDING SEMINAR NASIONAL REKAYASA KIMIA DAN PROSES 2004 ISSN : 1411-4216 PENGARUH PERLAKUAN PADA PROSES BLANCHING DAN KONSENTRASI NATRIUM BIKARBONAT TERHADAP MUTU SUSU KEDELAI Susiana Prasetyo S. dan

Lebih terperinci

PEMBUATAN ES KRIM SIRSAK (Annona muricata L.) dan ANALISA EKONOMI PRODUKNYA

PEMBUATAN ES KRIM SIRSAK (Annona muricata L.) dan ANALISA EKONOMI PRODUKNYA LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN ES KRIM SIRSAK (Annona muricata L.) dan ANALISA EKONOMI PRODUKNYA Making Soursop (Annona muricata L.) Ice Cream and Product Economy Analysis Diajukan sebagai salah satu syarat

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C34101045 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM. Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056

KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM. Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056 KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk susu kedelai bubuk komersial, isolat protein kedelai, glucono delta lactone (GDL), sodium trpolifosfat

Lebih terperinci

PEMBUATAN CAKE TANPA GLUTEN DAN TELUR DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID

PEMBUATAN CAKE TANPA GLUTEN DAN TELUR DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID PEMBUATAN CAKE TANPA GLUTEN DAN TELUR DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID SKRIPSI OLEH : BOSVIN ABDALLA TAMBUNAN 100305047 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kacang Merah Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah atau kacang jogo ini mempunyai nama ilmiah yang sama dengan kacang buncis, yaitu Phaseolus vulgaris

Lebih terperinci

ldentlflkasl ENZIM EIPOKSIGENASE DARl BEBERAPW VARlETAS KACANG TANAW (Arachis hypogaea)

ldentlflkasl ENZIM EIPOKSIGENASE DARl BEBERAPW VARlETAS KACANG TANAW (Arachis hypogaea) ldentlflkasl ENZIM EIPOKSIGENASE DARl BEBERAPW VARlETAS KACANG TANAW (Arachis hypogaea) Oleh ASWATI ELIANA 1989 FAKULTAS TEKWOLOOI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH SUBSTITUSI PARSIAL TELUR DENGAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI DAN KONSENTRASI EMULSIFIER TERHADAP KARAKTERISTIK CAKE BERAS SKRIPSI

PENGARUH SUBSTITUSI PARSIAL TELUR DENGAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI DAN KONSENTRASI EMULSIFIER TERHADAP KARAKTERISTIK CAKE BERAS SKRIPSI PENGARUH SUBSTITUSI PARSIAL TELUR DENGAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI DAN KONSENTRASI EMULSIFIER TERHADAP KARAKTERISTIK CAKE BERAS SKRIPSI OLEH: ERLINDA ANDRIANI L. 6103006067 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

Lebih terperinci

PROTEIN. Yosfi Rahmi Ilmu Bahan Makanan

PROTEIN. Yosfi Rahmi Ilmu Bahan Makanan PROTEIN Yosfi Rahmi Ilmu Bahan Makanan 2-2015 Contents Definition Struktur Protein Asam amino Ikatan Peptida Klasifikasi protein Sifat fisikokimia Denaturasi protein Definition Protein adalah sumber asam-asam

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI ZAT PENSTABIL DAN KONSENTRASI YOGHURT TERHADAP MUTU PERMEN JELLY BELIMBING WULUH

PENGARUH KONSENTRASI ZAT PENSTABIL DAN KONSENTRASI YOGHURT TERHADAP MUTU PERMEN JELLY BELIMBING WULUH PENGARUH KONSENTRASI ZAT PENSTABIL DAN KONSENTRASI YOGHURT TERHADAP MUTU PERMEN JELLY BELIMBING WULUH SKRIPSI Oleh: INDAH NOVITA SARI MANURUNG 110305050/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

TEKSTUR CAKE BERAS KETAN HITAM DENGAN VARIASI LAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN SKRIPSI OLEH: ONNY MELIANA

TEKSTUR CAKE BERAS KETAN HITAM DENGAN VARIASI LAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN SKRIPSI OLEH: ONNY MELIANA TEKSTUR CAKE BERAS KETAN HITAM DENGAN VARIASI LAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN SKRIPSI OLEH: ONNY MELIANA 6103009106 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU PENGUKUSAN TERHADAP PROFIL KELARUTAN DAN VARIASI BERAT MOLEKUL FRAKSI PROTEIN TEPUNG KACANG MERAH PRE-GELATINISASI SKRIPSI

PENGARUH WAKTU PENGUKUSAN TERHADAP PROFIL KELARUTAN DAN VARIASI BERAT MOLEKUL FRAKSI PROTEIN TEPUNG KACANG MERAH PRE-GELATINISASI SKRIPSI PENGARUH WAKTU PENGUKUSAN TERHADAP PROFIL KELARUTAN DAN VARIASI BERAT MOLEKUL FRAKSI PROTEIN TEPUNG KACANG MERAH PRE-GELATINISASI SKRIPSI OLEH: DESSY RATNAWATI ANGGRAENI 6103012061 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

SUBSTITUSI TERIGU DENGAN TEPUNG LABU KUNING TERHADAP SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK MUFFIN

SUBSTITUSI TERIGU DENGAN TEPUNG LABU KUNING TERHADAP SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK MUFFIN SUBSTITUSI TERIGU DENGAN TEPUNG LABU KUNING TERHADAP SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK MUFFIN SKRIPSI OLEH: EDWIN ALEKSANDER S.B. (6103010069) PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN. Oleh : Muhammad Nabil C

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN. Oleh : Muhammad Nabil C PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN Oleh : Muhammad Nabil C03400041 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) merupakan salah satu jenis ikan demersal yang mudah didapatkan di pasar Semarang. Ikan demersal adalah ikan yang hidup di dasar

Lebih terperinci

PENGARUH SUBSTITUSI PARSIAL TELUR DENGAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN ORGANOLEPTIK CAKE BERAS SKRIPSI

PENGARUH SUBSTITUSI PARSIAL TELUR DENGAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN ORGANOLEPTIK CAKE BERAS SKRIPSI PENGARUH SUBSTITUSI PARSIAL TELUR DENGAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN ORGANOLEPTIK CAKE BERAS SKRIPSI Oleh: Ivan Wibisono 6103006041 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGARUH CARA PEMBERIAN ENZIM FITASE YANG BERBEDA DALAM PAKAN TERHADAP KECERNAAN PAKAN IKAN NILA Oreochromis niloticus

PENGARUH CARA PEMBERIAN ENZIM FITASE YANG BERBEDA DALAM PAKAN TERHADAP KECERNAAN PAKAN IKAN NILA Oreochromis niloticus PENGARUH CARA PEMBERIAN ENZIM FITASE YANG BERBEDA DALAM PAKAN TERHADAP KECERNAAN PAKAN IKAN NILA Oreochromis niloticus Oleh : Noor Fajar Sidiq C14103061 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR

Lebih terperinci

KANDUNGAN SENYAWA FITOKIMIA, TOTAL FENOL DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN LAMUN Syringodium isoetifolium NABILA UKHTY

KANDUNGAN SENYAWA FITOKIMIA, TOTAL FENOL DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN LAMUN Syringodium isoetifolium NABILA UKHTY KANDUNGAN SENYAWA FITOKIMIA, TOTAL FENOL DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN LAMUN Syringodium isoetifolium NABILA UKHTY DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI PEMBUATAN TAHU DARI BIJI NANGKA (Artocarpus heterophyllus Lamk.) DENGAN PENAMBAHAN CaSO 4 DAN LAMA PENGGUMPALAN

STUDI PEMBUATAN TAHU DARI BIJI NANGKA (Artocarpus heterophyllus Lamk.) DENGAN PENAMBAHAN CaSO 4 DAN LAMA PENGGUMPALAN Agrium ISSN 0852-1077 (Print) ISSN 2442-7306 (Online) Oktober 2014 Volume 19 No. 1 STUDI PEMBUATAN TAHU DARI BIJI NANGKA (Artocarpus heterophyllus Lamk.) DENGAN PENAMBAHAN CaSO 4 DAN LAMA PENGGUMPALAN

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK NAMA NIM KEL.PRAKTIKUM/KELAS JUDUL ASISTEN DOSEN PEMBIMBING : : : : : : HASTI RIZKY WAHYUNI 08121006019 VII / A (GANJIL) UJI PROTEIN DINDA FARRAH DIBA 1. Dr. rer.nat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dantujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis dan (7)

Lebih terperinci

PROSES PENGOLAHAN TAHU DI CV. KEDIRI BONDOWOSO

PROSES PENGOLAHAN TAHU DI CV. KEDIRI BONDOWOSO PROSES PENGOLAHAN TAHU DI CV. KEDIRI BONDOWOSO PRAKTEK KERJA INDUSTRI PENGOLAHAN PANGAN OLEH : LUCIANA HENDRIKA SUWARNO NRP 6103013078 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UJI STABILITAS PROSES HOMOGENISASI SALAD DRESSING DARI MINYAK JAGUNG DAN AIR JERUK NIPIS

UJI STABILITAS PROSES HOMOGENISASI SALAD DRESSING DARI MINYAK JAGUNG DAN AIR JERUK NIPIS TUGAS AKHIR UJI STABILITAS PROSES HOMOGENISASI SALAD DRESSING DARI MINYAK JAGUNG DAN AIR JERUK NIPIS (Stability Analysis of Homogenization Process of Corn Oil and Lime Juice Salad Dressings) Disusun Sebagai

Lebih terperinci

EKSTRAKSI POLISAKARIDA LARUT AIR KULIT KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) BERDASARKAN JUMLAH PELARUT DAN LAMA EKSTRAKSI

EKSTRAKSI POLISAKARIDA LARUT AIR KULIT KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) BERDASARKAN JUMLAH PELARUT DAN LAMA EKSTRAKSI EKSTRAKSI POLISAKARIDA LARUT AIR KULIT KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) BERDASARKAN JUMLAH PELARUT DAN LAMA EKSTRAKSI SKRIPSI Oleh: Rindang Sari Rahmawati NIM. 081710101017 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Sejak dulu, masyarakat Indonesia terbiasa

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Sejak dulu, masyarakat Indonesia terbiasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tahu merupakan salah satu produk makanan yang sudah popular di masyarakat Indonesia. Sejak dulu, masyarakat Indonesia terbiasa mengonsumsi tahu sebagai lauk pauk pendamping

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi Enzim α-amilase Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan menanam isolat bakteri dalam media inokulum selama 24 jam. Media inokulum tersebut

Lebih terperinci

STUDI EFEKTIVITAS BAHAN PENGAWET ALAMI DALAM PENGAWETAN TAHU. Ria Mariana Mustafa

STUDI EFEKTIVITAS BAHAN PENGAWET ALAMI DALAM PENGAWETAN TAHU. Ria Mariana Mustafa STUDI EFEKTIVITAS BAHAN PENGAWET ALAMI DALAM PENGAWETAN TAHU Ria Mariana Mustafa PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN RIA MARIANA

Lebih terperinci

PROSES PEMBUATAN TAHU DI U.D. SUMBER JAYA KENJERAN-SURABAYA

PROSES PEMBUATAN TAHU DI U.D. SUMBER JAYA KENJERAN-SURABAYA PROSES PEMBUATAN TAHU DI U.D. SUMBER JAYA KENJERAN-SURABAYA LAPORAN PRAKTEK KERJA INDUSTRI PENGOLAHAN PANGAN OLEH : THERESIA DINNI MAHARANI 6103011052 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGARUH PERBEDAAN JENIS LARUTAN DAN WAKTU PERENDAMAN KACANG KORO PEDANG

PENGARUH PERBEDAAN JENIS LARUTAN DAN WAKTU PERENDAMAN KACANG KORO PEDANG PENGARUH PERBEDAAN JENIS LARUTAN DAN WAKTU PERENDAMAN KACANG KORO PEDANG (Canavalia ensiformis) TERHADAP SIFAT FUNGSIONAL DAN KADAR HCN TEPUNG KORO PEDANG (Canavalia ensiformis) SKRIPSI OLEH: CHRISTINA

Lebih terperinci

SIFAT FISIK DAN FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR AYAM RAS DENGAN WAKTU DESUGARISASI BERBEDA SKRIPSI RATNA PUSPITASARI

SIFAT FISIK DAN FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR AYAM RAS DENGAN WAKTU DESUGARISASI BERBEDA SKRIPSI RATNA PUSPITASARI SIFAT FISIK DAN FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR AYAM RAS DENGAN WAKTU DESUGARISASI BERBEDA SKRIPSI RATNA PUSPITASARI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

Asam Amino dan Protein

Asam Amino dan Protein Modul 1 Asam Amino dan Protein Dra. Susi Sulistiana, M.Si. M PENDAHULUAN odul 1 ini membahas 2 unit kegiatan praktikum, yaitu pemisahan asam amino dengan elektroforesis kertas dan uji kualitatif Buret

Lebih terperinci

STUDI PEMBUATAN GUM XANTHAN DARI AMPAS TAHU. MENGGUNAKAN Xanthomonas campestris (KAJIAN KONSENTRASI KULTUR DAN PENAMBAHAN GULA) SKRIPSI

STUDI PEMBUATAN GUM XANTHAN DARI AMPAS TAHU. MENGGUNAKAN Xanthomonas campestris (KAJIAN KONSENTRASI KULTUR DAN PENAMBAHAN GULA) SKRIPSI STUDI PEMBUATAN GUM XANTHAN DARI AMPAS TAHU MENGGUNAKAN Xanthomonas campestris (KAJIAN KONSENTRASI KULTUR DAN PENAMBAHAN GULA) SKRIPSI Oleh : Asri Maulina NPM : 103301009 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN PROSES PENGOLAHAN TAHU DENGAN ClTA RASA SEBAGAI DASAR DALAM PERENCANAAN RANCANGAN PABRIK TAHU ClTA RASA

RANCANGAN PROSES PENGOLAHAN TAHU DENGAN ClTA RASA SEBAGAI DASAR DALAM PERENCANAAN RANCANGAN PABRIK TAHU ClTA RASA RANCANGAN PROSES PENGOLAHAN TAHU DENGAN ClTA RASA SEBAGAI DASAR DALAM PERENCANAAN RANCANGAN PABRIK TAHU ClTA RASA Ole h IMAM ROSYADI F 24. 1455 1991 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti bagi tubuh. Menurut Dewanti (1997) bahan-bahan pembuat es krim

BAB I PENDAHULUAN. berarti bagi tubuh. Menurut Dewanti (1997) bahan-bahan pembuat es krim BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Es krim adalah sejenis makanan semi padat yang dibuat dengan cara pembekuan tepung es krim atau campuran susu, lemak hewani maupun nabati, gula, dan dengan atau tanpa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah gizi yang umum melanda negara berkembang seperti Indonesia adalah malnutrisi. Malnutrisi merupakan kesalahan pangan terutama dalam ketidakseimbangan komposisi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS DINAS PENDIDIKAN SMA NEGERI PATIKRAJA Jalan Adipura 3 Patikraja Telp (0281) Banyumas 53171

PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS DINAS PENDIDIKAN SMA NEGERI PATIKRAJA Jalan Adipura 3 Patikraja Telp (0281) Banyumas 53171 PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS DINAS PENDIDIKAN SMA NEGERI PATIKRAJA Jalan Adipura 3 Patikraja Telp (0281) 6844576 Banyumas 53171 ULANGAN KENAIKAN KELAS TAHUN PELAJARAN 2010/ 2011 Mata Pelajaran : Kimia

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG UDANG SEBAGAI MATRIKS PENYANGGA PADA IMOBILISASI ENZIM PROTEASE. Skripsi

PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG UDANG SEBAGAI MATRIKS PENYANGGA PADA IMOBILISASI ENZIM PROTEASE. Skripsi PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG UDANG SEBAGAI MATRIKS PENYANGGA PADA IMOBILISASI ENZIM PROTEASE Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016 PENGARUH PERBANDINGAN ZAT PENSTABIL DAN KONSENTRASI KUNING TELUR TERHADAP MUTU REDUCED FAT MAYONNAISE SKRIPSI OLEH : CHRISTIAN ADITYA HUTAPEA 110305051/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

merupakan komponen terbesar dari semua sel hidup. Protein dalam tubuh pembangun, dan zat pengatur dalam tubuh (Diana, 2009). Protein sangat penting

merupakan komponen terbesar dari semua sel hidup. Protein dalam tubuh pembangun, dan zat pengatur dalam tubuh (Diana, 2009). Protein sangat penting BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Protein merupakan zat yang sangat penting bagi setiap organisme serta merupakan komponen terbesar dari semua sel hidup. Protein dalam tubuh berfungsi sebagai sumber

Lebih terperinci

PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA

PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Analisa kadar air dilakukan untuk mengetahui pengaruh proporsi daging dada ayam dan pisang kepok putih terhadap kadar air patties ayam pisang. Kadar air ditentukan secara

Lebih terperinci

PENGARUH PENGURANGAN TELUR DAN PENAMBAHAN GUM XANTHAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEKSTUR CAKE BERAS RENDAH LEMAK

PENGARUH PENGURANGAN TELUR DAN PENAMBAHAN GUM XANTHAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEKSTUR CAKE BERAS RENDAH LEMAK PENGARUH PENGURANGAN TELUR DAN PENAMBAHAN GUM XANTHAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEKSTUR CAKE BERAS RENDAH LEMAK SKRIPSI OLEH: JOHNY SUTANTO NRP 6103012103 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGARUH PERENDAMAN DALAM LARUTAN GULA TERHADAP PERSENTASE OLIGOSAKARIDA DAN SIFAT SENSORIK TEPUNG KACANG KEDELAI (Glycine max)

PENGARUH PERENDAMAN DALAM LARUTAN GULA TERHADAP PERSENTASE OLIGOSAKARIDA DAN SIFAT SENSORIK TEPUNG KACANG KEDELAI (Glycine max) PENGARUH PERENDAMAN DALAM LARUTAN GULA TERHADAP PERSENTASE OLIGOSAKARIDA DAN SIFAT SENSORIK TEPUNG KACANG KEDELAI (Glycine max) Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1

Lebih terperinci

R E A K S I U J I P R O T E I N

R E A K S I U J I P R O T E I N R E A K S I U J I P R O T E I N I. Tujuan Percobaan Memahami proses uji adanya protein (identifikasi protein) secara kualitatif. II. Teori Dasar Protein adalah suatu polipeptida yang mempunyai bobot molekul

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat 13 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 hingga Mei 2012 bertempat di Laboratorium Analisis makanan, Laboratorium pengolahan pangan, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci