TINJAUAN PUSTAKA. Sub kingdom : Metazoa. Sub phylum : Vertebrata Super kelas : Tetrapoda. : Testudinata. Super famili : Chelonioidea

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. Sub kingdom : Metazoa. Sub phylum : Vertebrata Super kelas : Tetrapoda. : Testudinata. Super famili : Chelonioidea"

Transkripsi

1 16 TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Penyu Hijau Morfologi dan Klasifikasi Penyu hijau mempunyai ciri-ciri: karapaks sebagai penutup tubuh merupakan kulit keras yang terdiri dari 4 pasang coastal, 5 vertebral dan 12 pasang marginal, sepasang sisik prefrontal yang letaknya di atas hidung, memiliki sepasang kaki depan dengan sepasang kaki belakang, kuku pada kaki depan hanya satu, warna karapaksnya coklat/kehitam-hitaman dan letak bagian karapaks tidak saling menutupi satu sama lainnya. Bagian dorsal anak-anak penyu yang baru lahir (tukik) adalah berwarna hitam dan bagian ventralnya putih mulai dari kaki atau flipper (Nuitja 1992). Penyu hijau juga mempunyai ciriciri khas, yaitu 4 pasang sisik pada tempurung, 1 pasang sisik di antara kedua matanya, tempurungnya halus (sisik tidak saling tumpang tindih). Selain itu, ukuran panjang kerangkanya 1100 mm, moncong sangat pendek (rahang tidak berkait) dan ekor pendek (Priyono 1994). Klasifikasi penyu menurut Linnaeus dalam Hirth (1971) Kingdom : Animalia Sub kingdom : Metazoa Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Super kelas : Tetrapoda Kelas : Reptilia Sub kelas : Anapsida Ordo : Testudinata Sub ordo : Cryptodira Super famili : Chelonioidea Famili : Cheloniidae Genus : Chelonia Spesies : Chelonia mydas Linnaeus 1758 Nama umum (Inggris) : Green Turtle Nama lokal : Penyu hijau, penyu daging, penyu sala, penyu bulan,

2 17 penyu janjang, penyu kantung kera, penyu petelur, penyu nijual, penyu biasa, penyu kea (Nuitja, 1992). Habitat Habitat merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya satwaliar yang terdiri dari komponen fisik dan biotik. Komponen fisik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang, sedangkan komponen biotik terdiri dari vegetasi, mikro dan makro fauna serta manusia (Alikodra 2002). Habitat penyu hijau di lautan, tetapi daerah penelurannya di daratan (Nuitja 1992). Habitat untuk mencari makanan penyu hijau di daerah yang ditumbuhi oleh tanaman laut atau algae laut, meskipun masing-masing jenis mempunyai kesukaan makan algae laut tertentu (Priyono 1994). Karakteristik tempat peneluran penyu hijau secara umum adalah daratan luas dan landai yang terletak di atas bagian pantai dengan rata-rata kemiringannya 30 serta di atas pasang surut antara 30 sampai 80 meter. Meskipun demikian penyu seringkali tidak jadi bertelur di daerah tersebut jika secara kebetulan tempat itu berpasir keras karena bercampur dengan tanah atau kerikil tajam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak semua pasir dapat digunakan untuk tujuan bertelur. Tekstur tanah daerah peneluran berupa pasir tidak kurang dari 90% dan sisanya debu maupun liat dengan diameter butiran berbentuk halus dan sedang. Komponen utama yang menjadi penentu adalah pasir kuarsa atau konkresi kapur, terutama dalam ukuran halus dan sedang. Terbentuknya komponen tersebut mungkin berasal dari sumber sekitarnya atau tempat yang jauh dan dibawa oleh sungai atau gelombang (Nuitja 1978, 1982; Nuitja dan Uchida 1983). Jenis vegetasi hutan pantai yang dijadikan penyu hijau sebagai tempat bertelur di KPS berdasarkan hasil pengamatan Natih et al. (1993) dan Sani (2000), yaitu pandan laut (Pandanus tectorius), butun (Barringtonia asiatica), katapang (Terminalia cattapa), waru laut (Hibiscus tiliaceus), kuciat (Ficus septica), bintaro (Tournefortia argentia), kicepot (Gonocaryum macrophyllum) dan mengkudu (Morinda citrifolia). Jenis pandan laut merupakan tumbuhan yang paling mendominasi vegetasi hutan pantai tersebut. Demikian juga di Pantai Pangumbahan, vegetasi yang mendominasi tempat peneluran penyu hijau dari hasil penelitian Sianipar (2007) adalah pandan. Bustard (1972) menyatakan bahwa

3 18 pandan memberikan pengaruh terhadap naluri penyu hijau yang ditemukan bertelur di Heron Island, Australia. Selain itu, di Sukamade ditemukan sarangsarang penyu hijau yang letaknya di bawah naungan pohon pandan sebanyak 24.8% berada di daerah terbuka di depan formasi hutan Pandanus tersebut tetapi masih pada jalur supratidal sebanyak 75.2 % (Nuitja 1992). Perilaku Perilaku penyu hijau merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat dari pengaruh photokinetic dan phototactic yang menuju sinar terang pada garis pantai dan dapat bermodifikasi akibat pengaruh lingkungan, seperti dalam penyediaan jumlah dan makanan di habitat (Priyono 1994). Perilaku yang dapat dilihat dari penyu hijau antara lain: Mencari Makan Penyu hijau pada tahun pertama dari kehidupannya cenderung bersifat karnivora, makanan yang dibutuhkan dalam periode tersebut terutama berupa invertebrata atau zooplankton seperti kepiting, udang, kerang-kerangan, jamur dan ubur-ubur, tetapi makan semacam itu tidak ditemukan sampai 100% dalam alatalat pencernaannya, karena kadangkala sebagian kecil terdiri dari algae laut (Nuitja (1992). Penyu hijau merupakan satwa yang bermigrasi sangat luas antara daerah yang menjadi sumber makanan dan daerah penelurannya (Hirth 1997 dan Carr 1987). Bertelur Penyu biasanya bertelur dalam malam gelap, kecuali penyu sisik yang bertelur di siang hari. Penyu yang sudah siap bertelur biasanya merayap ke tempat yang aman, di atas garis pasang surut kemudian menggali lubang dengan siripnya. Penyu mulai menggali lubang dengan sirip depannya, lubang yang dibuat dangkal sebesar badannya. Kemudian dengan sirip belakang dia menggali lubang yang lebih kecil dan dalam, untuk menempatkan telurnya (Nuitja 1983). Lama waktu bertelur penyu hijau dari di Kecamatan Cipatujah berkisar antara 107 sampai 147 menit (rata-rata 25,8 menit). Tahapan yang memakan waktu terlama adalah pada tahap menutup lubang badan dan menyembunyikan

4 19 lubang sarang, berkisar antara 25 sampai 38 menit, dengan rata-rata 31,6 menit (Natih et al. 1993). Penyebaran Sarang Penyebaran penyu hijau meliputi: Sumatera, Laut Jawa, Madura, Flores, Laut Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Banda, Kepulauan Aru, Irian, Australia Utara, Formosa, India Barat, Brasil, Pantai Afrika, Laut Hindia (Priyono 1994). Penyebaran penyu hijau di KPS terdapat di 6 blok hutan pantai, yaitu Katapang, Tegal Sereh, Panarikan, Pamoekan, Selokan Wangi dan Cilutud. Demikian juga penyebaran sarangnya terdapat pada 6 blok hutan pantai tersebut (Sani 2000). Penyebaran sarang sangat dipengaruhi oleh tekstur pasir. Tekstur pasir yang dijadikan sarang penyu hijau di Pangumbahan terdiri dari fraksi pasir (pasir sangat kasar, pasir kasar, pasir sedang, pasir halus dan pasir sangat halus), liat dan debu, dengan dominasi pasir sedang %. Sedangkan di Sukawayana pasir berukuran sedang, yaitu % (Hatasura 2004). Penyu memilih daerah untuk bertelur pada daratan yang landai dan tidak terkena pasang. Di Sukamande, sarang ditemukan 0.05% pada zona intertidal, sedangkan zona supratidal mencapai 98.64%. Diantara zona tempat pandan laut tumbuh hingga ke arah daratan, hampir tidak ditemukan telur-telur penyu lagi karena daerah tersebut memang sulit untuk dilalui. Kondisi daerah tersebut memang bertanah keras dan banyak naungan, sehingga zona ini secara logis tidak disenangi penyu yang yang ingin bertelur. Sarang penyu di Sukamande ditemukan 25.0% sarang-sarang berada di bawah naungan pohon dan selebihnya adalah bebas naungan (Nuitja 1992). Musim Bertelur Penyu di Sukamade, Sukabumi bertelur sepanjang tahun. Akan tetapi jika diperhatikan, puncak musim bertelurnya terjadi pada bulan Januari sampai Maret karena curah hujan pada bulan tersebut cukup tinggi (Nuitja 1992). Penyu hijau pada satu musim bertelur mempunyai selang waktu 9-16 hari. Pergerakan yang berhubungan dengan aktivitas bertelur dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu usia, makanan dan suhu perairan (Ridla 2007). Musim bertelur penyu hijau di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

5 20 Tabel 1 Musim bertelur penyu hijau di Indonesia Lokasi Sumatera Berhala Pulau Penyu Pulau Penyu Bengkulu Musim bertelur (Bulan ke-) Puncak (Bulan ke-) Penyelidik bertelur Meermohr (1926) Nuitja dan Sukarme (1977) Nuitja dan Sukarme (1977) Nuitja (1978) Jawa Barat pangumbahan Citirem Cibulakan Sindangkerta Ujungkulon Nuitja dan Lazell (1982) Nuitja dan Lazell (1982) Nuitja (1978) Kusman (1982) FAO (1977) Jawa Timur Pulau Barung Sukamade FAO (1977) Nuitja (1985) Sumbawa Ai-Ketapang Hasan (1975) Kalimantan Timur Derawan 6-7 Wirahakusumah (1976) Maluku Kep.Sanana 3-4 Gerson (1980) Sumber: Nuitja (1992) Waktu yang paling disukai oleh penyu untuk bertelur yaitu pada tengah malam, antara pukul kemudian pukul Keadaan yang gelap gulita dan tenang memang terjadi pada tengah malam jika dibandingkan dengan waktu-waktu lainnya. Tetapi keluarnya anak-anak penyu hijau dari sarang di Pantai Pangumbahan umumnya dalam waktu tengah malam sampai pukul WIB (Nuitja 1992). Masa Inkubasi Telur-telur penyu yang berada dalam sarang akan menetas karena dipengaruhi oleh faktor suhu, kelembaban, curah hujan dan lingkungan lainnya (Priyono 1994). Curah hujan dapat mempengaruhi fluktuasi suhu dan kadar air yang kemudian mempengaruhi keberhasilan penetasan. Rendahnya kadar air sarang menyebabkan keluarnya air dari dalam telur sedangkan kadar air lingkungan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan tumbuhnya jamur pada

6 21 bagian kulit telur dan mematikan janin yang sedang berkembang. Faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan penetasan adalah faktor reproduksi dan indukan. Faktor ini meliputi hal pembuahan oleh jantan, kesehatan organ reproduksi, kesiapan induk pada proses produksi, makanan dan lain-lain (Hatasura 2004). Lama inkubasi penyu hijau di Serawak antara hari, di pantai Tortuguero antara hari (Nuitja 1992), sedangkan di India rata-rata 60 hari (Deraniyagala 1953; Carr & Orgen 1960). Pemeliharaan Tukik Hal utama yang harus diperhatikan pada pemeliharaan tukik adalah sirkulasi air. Sirkulasi air yang teratur menyebabkan sisa dari pemberian makanan dan sekresi tukik tereduksi secara terus menerus. Selain itu, mikroorganisme penyebab penyakit kulit pada tukik menjadi tidak mudah berkembang (Kafuku & Ikeone 1983 dalam Naulita 1990). Selain pengadaan sirkulasi air, luas tempat pemeliharaan juga mendapat perhatian khusus. Hal ini bertujuan untuk memberikan ruang gerak yang luas bagi tukik karena tukik merupakan hewan yang aktif bergerak (Fitrari 2007). Pelepasan Tukik Pelepasan tukik dilakukan saat tukik mampu menyerap oksigen (berumur 1 minggu) sehingga mampu menyelam 3 4 kali dalam waktu satu menit. Makin besar anak-anak penyu, maka perkembangan tumbuh paru-parunya akan lebih baik untuk digunakan menyerap oksigen (Nuitja 1992). Hari-hari pertamanya di air, tukik belum bisa menyelam karena dalam tubuhnya mengandung telur kuning yang belum tercerna seluruhnya. Keberadaan kuning telur tersebut menyebabkan berat jenis tubuh tukik jadi rendah dan hanya dapat berenang di permukaan, sehingga hal ini dapat memudahkan predator untuk memakannya (Nontji 1987).

7 22 Ekowisata Ekowisata berasal dari kata: a. Ekologi, artinya sebagai sumberdaya dan daya tarik, dan ekowisata memberikan kontribusi positif terhadap upaya pelestarian alam dan lingkungan b. Ekonomi, artinya ekowisata merupakan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan c. Evaluasi kepentingan opini masyarakat, artinya ekowisata mempunyai kepedulian terhadap peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan tersebut, serta ekowisata merupakan suatu upaya peningkatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang dapat memberikan kontribusinya terhadap upaya pelestarian alam dan lingkungan (Sudarto 1999). Ekowisata adalah suatu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan aktivitas melihat, menyaksikan, mempelajari, mengagumi alam, flora dan fauna, sosial-budaya etnis setempat, dan wisatawan yang melakukannya ikut membina kelestarian lingkungan alam di sekitarnya dengan melibatkan penduduk lokal (Yoeti 2000). Ekowisata merupakan suatu konsep pariwisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Secara umum, pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan (BKSDA Jatim 2008). Ekowisata sebagai bentuk wisata yang dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai pertumbuhan yang lestari secara ekonomi karena membantu melindungi dan menjaga lingkungan dan budaya, serta memberikan pesan pendidikan lingkungan bagi pengunjung dan penduduk lokal (Liu 1994). Ekoturisme (ecotourism) identik dengan wisata alam (nature tourism) yang memiliki keterkaitan dengan konservasi. Secara sederhana keterkaitan tersebut dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi dampak positif dan sisi dampak negatif. Sisi dampak positif disebut sebagai benefits (manfaat) atau opportunities (kesempatan), sedangkan sisi dampak negatif disebut sebagai costs (kerugian) atau problems (permasalahan). Manfaat ekoturisme bagi pembangunan meliputi: (1) peningkatan dana bagi kawasan, (2) tersedianya kesempatan kerja dan berusaha bagi penduduk lokal (masayarakat setempat) dan pendidikan lingkungan bagi pengunjung (wisatawan). Kerugian dan permasalahan bagi lingkungan

8 23 ataupun kegiatan konservasi dan pembangunan meliputi: (1) penurunan kualitas lingkungan, (2) guncangan dan ketidakseimbangan dampak ekonomi serta (3) perubahan sosial budaya masyarakat sekitar (Boo 1991 dan Neely et al dalam Sunarminto 2002). Pengembangan Ekowisata Pembangunan pariwisata di Indonesia merupakan salah satu alternatif dalam pembangunan ekonomi. Pengembangan sektor pariwisata saat masih difokuskan pada produk yang bersifat masal (mass-tourism) yang hanya mementingkan nilai ekonominya saja. Sehingga perlu digagas model pariwisata yang bersifat berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan alam dan budaya. Salah satu model tersebut adalah ekowisata (ecotourism). Produk wisata yang bertumpu pada alam ini semakin berkembang sejalan dengan mulai meningkatnya perhatian dan kesadaran manusia terhadap lingkungan, serta kecenderungan untuk kembali ke alam (back to nature) melalui perjalanan ke daerah-daerah alami (Maksum 2008). Pengembangan ekowisata di suatu kawasan erat kaitannya dengan pengembangan objek dan daya tarik wisata alamnya (ODTWA). Menurut Departemen Kehutanan (2006) keseluruhan potensi ODTWA merupakan sumber daya ekonomi yang bernilai tinggi dan sekaligus media pendidikan dan pelestarian lingkungan. Lebih rinci Departemen Kehutanan (2006) menjelaskan pengembangan ODTWA sangat erat kaitannya dengan peningkatan produktivitas sumberdaya hutan dalam konteks pembangunan ekonomi regional maupun nasional, sehingga selalu dihadapkan pada kondisi interaksi berbagai kepentingan yang melibatkan aspek kawasan hutan, pemerintah, aspek masyarakat dan pihak swasta didalamnya. Pengembangan daerah tujuan wisata bagi kegiatan ekowisata, pelaksana dan partisipator harus mengikuti prinsip-prinsip berikut (TIES 2003): 1. Meminimalkan dampak negatif 2. Membangun kesadaran serta menghormati budaya dan lingkungan 3. Memberikan pengalaman positif bagi pengunjung dan masyarakat sekitar 4. Memberikan manfaat finansial secara langsung bagi konservasi 5. Memberikan manfaat finansial bagi masyarakat setempat

9 24 6. Menumbuhkan kepekaan sosial, lingkungan dan politik bagi masyarakat 7. Mendukung hak asasi manusia dan perjanjian buruh. Prinsip-prinsip pengembangan ekowisata, yaitu (BKSDA Jatim 2008) : 1. Memanfaatkan sumberdaya alam hayati dengan tidak merusak sumberdaya alam serta mendorong pihak swasta untuk berperan serta dalam program konservasi; 2. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem; 3. Memberikan keuntungan ekonomi bagi pengelola kawasan, penyelenggara ekowisata dan masyarakat sekitar kawasan taman wisata, serta berdampak luas terhadap perekonomian Pemerintah Kabupaten, Provinsi maupun Nasional; 4. Membangun kemitraan dengan masyarakat sehingga masyarakat dapat terlibat sejak perencanaan sampai pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi dalam pengembangan ekowisata; 5. Menyediakan informasi yang akurat tentang potensi kawasan bagi khalayak. Analisis SWOT Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi, berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Jadi, analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan (Rangkuti 2005). SWOT merupakan suatu bagian integral dari suatu rencana pemasaran dan menjadi bagian dari suatu perencanaan bisnis, dan bagaimana cara melaksanakan oleh satu atau beberapa orang terhadap beberapa faktor yang dianggap sangat penting. SWOT memuat faktor internal (Strengths dan weakness) dan faktor eksternal (opportunities dan threats) yang memberikan empat kemungkinan pengembangan, yaitu pengembangan berdasarkan S-O, W-O, S-T dan W-T (Alto 2006). Analisis SWOT dapat mengetahui isu atau faktor-faktor strategis yang perlu dikembangkan di masa yang akan datang untuk pengembangan sektor

10 25 pariwisata. Teknik analisis SWOT merupakan tahap awal upaya menemukan isu strategis yang nantinya berkaitan dengan penemuan strategi pengembangan sektor pariwisata Santoso dan Tangkilisan (tanpa tahun). Diagram matrik SWOT dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Matriks SWOT Faktor Internal Faktor eksternal Peluang (Opportunity) Menentukan faktor-faktor yang merupakan peluang eksternal Ancaman (Threath) Menentukan faktor-faktor yang merupakan ancaman eksternal Kekuatan (Strengths) Menentukan faktor-faktor yang merupakan kekuatan internal Strategi S-O Menghasilakan strategi yeng menggunkan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi S-T Strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman Kelemahan (Weakness) Menentukan faktor-faktor yang merupakan kelemahan internal Strategi W-O Menghasilkan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Strategi T-W Menghasilkan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman Sumber: Rangkuti (2000) Kekuatan (strengths) adalah unsur dari potensi sumberdaya yang dapat dilindungi dari persaingan dan dapat menciptakan suatu kemajuan di dalam suatu kegiatan/usaha. Kelemahan (weakness) adalah unsur dari potensi sumberdaya yang tidak dapat menciptakan suatu kemajuan di dalam kegiatan/usaha (Hayden dalam Rizal 1995). Peluang (opportunity) adalah unsur lingkungan yang dapat memungkinkan suatu kegiatan/usaha untuk mendapatkan keberhasilan yang tinggi. Ancaman adalah unsur lingkungan yang dapat mengganggu/menghalangi suatu kegiatan/usaha sehingga dapat menggagalkan kegiatan/usaha bila tidak ada tindakan pengelolaan yang tegas segera diambil (Kotler dan Bloom 1987 dalam Rizal 1995).

POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA, KABUPATEN TASIKMALAYA

POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA, KABUPATEN TASIKMALAYA POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA, KABUPATEN TASIKMALAYA (Potential of Green Turtle (Chelonia mydas L.) and its Use as

Lebih terperinci

POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) SEBAGAI DAYA TARIK EKOWISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA KABUPATEN TASIKMALAYA RENI SRIMULYANINGSIH

POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) SEBAGAI DAYA TARIK EKOWISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA KABUPATEN TASIKMALAYA RENI SRIMULYANINGSIH POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) SEBAGAI DAYA TARIK EKOWISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA KABUPATEN TASIKMALAYA RENI SRIMULYANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ciri Umum dan Jenis Penyu Pengenalan terhadap bagian-bagian tubuh penyu (Gambar 1) beserta fungsinya sangat diperlukan agar dapat melakukan identifikasi terhadap jenis penyu dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tahun

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tahun 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Penyu Hijau (Chelonia mydas) Penyu merupakan satwa khas di daerah Pantai Selatan Kabupaten Tasikmalaya khususnya Pantai Desa Sindangkerta. Jenis penyu yang sering ditemukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisik dan Biologi Pantai 4.1.1 Lebar dan Kemiringan Pantai Pantai Pangumbahan Sukabumi yang memiliki panjang pantai sepanjang ±2,3 km dan di Pantai Sindangkerta

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pantai Pantai merupakan suatu kawasan pesisir beserta perairanya dimana daerah tersebut masih terpengaruh baik oleh aktivitas darat maupun laut. Garis pantai merupakan suatu

Lebih terperinci

by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni Sumiarsih 2) Abstract

by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni Sumiarsih 2) Abstract The effects of nest cover types on incubation period and hatching rate of Olive Ridley turtle Lepidochelys olivacea in the Turtle Conservation Unit, Pariaman by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

HAI NAMAKU PENYU Fakta Tentang Penyu Menurut data para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman Jura (145-208 juta tahun yang lalu) atau seusia dengan dinosaurus. Penyu termasuk kelas reptilia yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei deskriptif. Menurut Nasir 1983 dalam Ario 2016, metode survei deskriptif yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengelolaan Pariwisata Pengelolaan merupakan suatu proses yang membantu merumuskan kebijakankebijakan dan pencapaian tujuan. Peran pemerintah dalam pengelolaan pariwisata, seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis 2.1.1. Pengertian dan Konsep Dasar Prahasta (2001) menyebutkan bahwa pengembangan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penyu Hijau Perairan Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu laut di dunia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penyu Hijau Perairan Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu laut di dunia, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyu Hijau Perairan Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu laut di dunia, yang berasal dari dua famili yaitu Cheloniidae dan Dermochelyidae. Salah satu spesies dari

Lebih terperinci

Keywords : Mukomuko, biophysical, turtles

Keywords : Mukomuko, biophysical, turtles STUDI KONDISI BIOFISIK PENYU DI KELURAHAN KOTO JAYA, KECAMATAN KOTA MUKOMUKO, KABUPATEN MUKOMUKO PROPINSI BENGKULU Arik Arianto, Suparno, Harfiandri Damanhuri Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh. Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat berlimpah. Banyak diantara keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung lain. Ciri khas tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan

Lebih terperinci

KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS KALIMANTAN BARAT

KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS KALIMANTAN BARAT HABITAT TEMPAT BERTELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS KALIMANTAN BARAT Habitat of Spawning Green Turtle (Chelonia mydas) in the Amusement Park River

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

Hairul Rohim, Slamet Rifanjani, Erianto Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Jl. Daya Nasional, Pontianak

Hairul Rohim, Slamet Rifanjani, Erianto Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Jl. Daya Nasional, Pontianak STUDI HABITAT TEMPAT BERTELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI KAWASAN TAMBLING WILDLIFE NATURE CONSERVATION (TWNC) TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS) TANGGAMUS PESISIR BARAT Habitat Study The

Lebih terperinci

BAB II ANALISIS SIKLUS REPRODUKSI PENYU HIJAU (CHELONIA MYDAS) DI PANTAI SINDANGKERTA KECAMATAN CIPATUJAH KABUPATEN TASIKMALAYA

BAB II ANALISIS SIKLUS REPRODUKSI PENYU HIJAU (CHELONIA MYDAS) DI PANTAI SINDANGKERTA KECAMATAN CIPATUJAH KABUPATEN TASIKMALAYA BAB II ANALISIS SIKLUS REPRODUKSI PENYU HIJAU (CHELONIA MYDAS) DI PANTAI SINDANGKERTA KECAMATAN CIPATUJAH KABUPATEN TASIKMALAYA A. Definisi Reproduksi Reproduksi sebagai perkawinan antara laki-laki dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG 77 PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG Comparison of Eggs Hatching Success Eretmochelys

Lebih terperinci

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II K-13 Geografi K e l a s XI POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami batas wilayah. 2. Memahami laut dangkal,

Lebih terperinci

No : Hari/tanggal /jam : Nama instansi : Alamat Instansi : Nama responden yang diwawancarai Jabatan

No : Hari/tanggal /jam : Nama instansi : Alamat Instansi : Nama responden yang diwawancarai Jabatan LAMPIRAN 55 Lampiran 1. Kuisioner pengelola dan instansi terkait Kuisioner untuk pengelola dan Instansi terkait Pantai Pangumbahan No : Hari/tanggal /jam : Nama instansi : Alamat Instansi : Nama responden

Lebih terperinci

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR @ 2004 Untung Bijaksana Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor September 2004 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng IKAN HARUAN DI PERAIRAN KALIMANTAN

Lebih terperinci

STUDI HABITAT PENElURAN PENYU SISIK (Eretmoche/ys imbricata l) DI PULAU PETElORAN TIMUR DAN BARAT TAMAN NASIONAl KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

STUDI HABITAT PENElURAN PENYU SISIK (Eretmoche/ys imbricata l) DI PULAU PETElORAN TIMUR DAN BARAT TAMAN NASIONAl KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA ----------------~------------------------------------------.--------.----- Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia (1993),1(1): 33-37 STUDI HABITAT PENElURAN PENYU SISIK (Eretmoche/ys imbricata

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pemandangan alam, menyerap, dan menyimpan karbon (Suhendang, 2002).

TINJAUAN PUSTAKA. pemandangan alam, menyerap, dan menyimpan karbon (Suhendang, 2002). TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Hutan Purnawan (2006) dalam Karisma (2010) menyatakan bahwa hutan dengan segala ekosistem yang terkandung didalamnya merupakan cerminan keunikan alam raya secara universal.

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, sekitar 17.508 buah pulau yang membentang sepanjang 5.120 km dari timur ke barat sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l

BAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Derawan terletak di perairan Kabupaten Berau yang merupakan salah satu dari 13 kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Timur. Wilayah Kepulauan Derawan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

Soal ujian semester Ganjil IPA kelas X Ap/Ak. SMK Hang Tuah 2

Soal ujian semester Ganjil IPA kelas X Ap/Ak. SMK Hang Tuah 2 Soal ujian semester Ganjil IPA kelas X Ap/Ak SMK Hang Tuah 2 1. Perbedaan yang ditemukan antar kambing dalam satu kandang disebut... A. Evolusi B. Adaptasi C. Variasi D. Klasifikasi 2. Diantara individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Jenis-jenis Penyu Laut di Dunia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Jenis-jenis Penyu Laut di Dunia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis dan Penyebaran Penyu Laut Penyu laut hidup di lautan sejak 100 juta tahun lalu. Pritchard dan Mortimer (1999) menyatakan bahwa di dunia terdapat delapan jenis penyu laut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan flora

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

KERAGAMAN PENYU DAN KARAKTERISTIK HABITAT PENELURANNYA DI PEKON MUARA TEMBULIH, NGAMBUR, PESISIR BARAT. (Skripsi) Oleh. Brina Wanda Pratiwi

KERAGAMAN PENYU DAN KARAKTERISTIK HABITAT PENELURANNYA DI PEKON MUARA TEMBULIH, NGAMBUR, PESISIR BARAT. (Skripsi) Oleh. Brina Wanda Pratiwi KERAGAMAN PENYU DAN KARAKTERISTIK HABITAT PENELURANNYA DI PEKON MUARA TEMBULIH, NGAMBUR, PESISIR BARAT (Skripsi) Oleh Brina Wanda Pratiwi FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016 ABSTRACT

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

Bab 2: Data dan Analisa

Bab 2: Data dan Analisa Bab 2: Data dan Analisa 2.1 Data dan literatur Data dan literatur untuk mendukung kampanye sosial Studi tur Konservasi Penyu Hijau Indonesia ini diperoleh dari: 1. Internet 2. Buku 3. Artikel 4. Wawancara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas lebih 17.000 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang merupakan terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia.

I. PENDAHULUAN. Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. Menurut para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman purba (145-208 juta tahun yang lalu) atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba dengan luas areal 13.490 hektar merupakan salah satu kawasan konservasi darat di Bengkulu yang memiliki kekayaaan sumber daya dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia,

I. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terletak diantara daratan dan lautan. Hutan ini mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan formasi lainnya. Keunikan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Pantai Tanjung Bara Sangatta, Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimanan Timur selama 3 (tiga) bulan, mulai bulan Januari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perencanaan Lanskap Lanskap dapat diartikan sebagai bentang alam (Laurie, 1975). Lanskap berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat hubungan totalitas

Lebih terperinci

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa)

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa) INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa) TUGAS AKHIR Oleh: LISA AGNESARI L2D000434 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

Jenis data Indikator Pengamatan Unit Sumber Kegunaan

Jenis data Indikator Pengamatan Unit Sumber Kegunaan 31 BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lanskap wisata TNB, Sulawesi Utara tepatnya di Pulau Bunaken, yang terletak di utara Pulau Sulawesi, Indonesia. Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan salah satu sistem ekologi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

AKTIVITAS PELESTARIAN PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI TAMAN PESISIR PANTAI PENYU PANGUMBAHAN SUKABUMI JAWA BARAT

AKTIVITAS PELESTARIAN PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI TAMAN PESISIR PANTAI PENYU PANGUMBAHAN SUKABUMI JAWA BARAT AKTIVITAS PELESTARIAN PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI TAMAN PESISIR PANTAI PENYU PANGUMBAHAN SUKABUMI JAWA BARAT Mukti Ageng Wicaksono 1, Dewi Elfidasari 1, Ahman Kurniawan 2 1 Program Studi Biologi Fakultas

Lebih terperinci

Maulidil Anshary 1, Tri Rima Setyawati 1, Ari Hepi Yanti 1. korespondensi :

Maulidil Anshary 1, Tri Rima Setyawati 1, Ari Hepi Yanti 1.  korespondensi : Volume: 3 (2): 232 239 Karakteristik Pendaratan Penyu Hijau (Chelonia mydas, Linnaeus 1758) di Pesisir Pantai Tanjung Kemuning Tanjung Api Dan Pantai Belacan Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas DILLLLLL Maulidil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi 3 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Berdasarkan karakter dan ciri morfologi yang dimiliki, tikus rumah (Rattus rattus diardii) digolongkan ke dalam kelas

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian berlangsung selama 3 bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah perairan, perairan tersebut berupa laut, sungai, rawa, dan estuari. Pertemuan antara laut dengan sungai disebut dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

Keanekaragaman dan Ekologi Biawak (Varanus Salvator) di Kawasan Konservasi Pulau Biawak, Idramayu

Keanekaragaman dan Ekologi Biawak (Varanus Salvator) di Kawasan Konservasi Pulau Biawak, Idramayu Keanekaragaman dan Ekologi Biawak (Varanus Salvator) di Kawasan Konservasi Pulau Biawak, Idramayu Oleh Lisa Abstract Pulau Biawak yang terletak di Kabupaten Indramyu, Jawa Barat memilki keunikan dengan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di banyak negara berkembang pada umumnya ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA. Penyu hijau tergolong dalam famili Cheloniidae. Menurut Hirth (1971) dalam

BAB II TINJUAN PUSTAKA. Penyu hijau tergolong dalam famili Cheloniidae. Menurut Hirth (1971) dalam 6 BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Penyu hijau (Chelonia mydas) Penyu hijau tergolong dalam famili Cheloniidae. Menurut Hirth (1971) dalam Prihanta (2007), taksonomi penyu hijau adalah: Kerajaan Filum

Lebih terperinci

Sumatera Utara, 2 Staf Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas

Sumatera Utara,   2 Staf Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas KARAKTERISTIK BIO-FISIK HABITAT PANTAI PENELURAN TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PULAU PENYU PESISIR SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT Bio-Physical Characteristics

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik (perairan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata selama ini terbukti menghasilkan berbagai keuntungan secara ekonomi. Namun bentuk pariwisata yang menghasilkan wisatawan massal telah menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

EKOLOGI TANAMAN. Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) Lanjutan...

EKOLOGI TANAMAN. Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) Lanjutan... EKOLOGI TANAMAN Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) Lanjutan... Ekosistem Perairan / Akuatik Ekosistem air tawar Ekosistem air tawar dibedakan mjd 2, yi : 1. Ekosistem air tenang (lentik), misalnya: danau,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman

Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman Eggs Hatching of Olive Ridley Turtles (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829)

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 3, September 2012: ISSN :

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 3, September 2012: ISSN : Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 3, September 2012: 311-320 ISSN : 2088-3137 HUBUNGAN PERUBAHAN GARIS PANTAI TERHADAP HABITAT BERTELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PANTAI PANGUMBAHAN UJUNG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Tanaman Kakao (Theobroma cacao) merupakan salah satu komoditi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Tanaman Kakao (Theobroma cacao) merupakan salah satu komoditi BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Aspek Agronomi Kakao Tanaman Kakao (Theobroma cacao) merupakan salah satu komoditi Perkebunan Unggulan, hal ini tergambar dari

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci