HASIL DAN PEMBAHASAN. Tahun

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. Tahun"

Transkripsi

1 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Penyu Hijau (Chelonia mydas) Penyu merupakan satwa khas di daerah Pantai Selatan Kabupaten Tasikmalaya khususnya Pantai Desa Sindangkerta. Jenis penyu yang sering ditemukan sampai saat ini adalah penyu hijau. Akan tetapi menurut informasi hasil wawancara dengan pihak BKSDA dan masyarakat sekitar Desa Sindangkerta, pernah ditemukan juga jenis penyu lain, yaitu penyu lekang (Lepidochelys olivaceae), penyu belimbing (Dermochelys oriaceae) dan penyu sisik (Eretmochelys olivaceae). Keberadaan penyu hijau di KPS dapat dilihat dari jumlah penyu hijau bertelur dan produksi telur penyu hijau pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah penyu hijau bertelur dan produksi penyu hijau di KPS Tahun Jumlah Penyu Bertelur Jumlah Telur (ekor) (butir) Sumber: Resort Konservasi Wilayah Sindangkerta (2008) Jumlah penyu yang mendarat untuk bertelur berdasarkan Tabel 5 setiap tahunnya mengalami fluktuasi. Hal ini tergantung dengan kondisi dan cuaca di KPS. Faktor cuaca yang dapat mempengaruhi penyu hijau bertelur adalah kecepatan angin. Dua spesies penyu yang akan langsung membuat sarang jika faktor kecepatan angin mendukungnya, yaitu Chelonia mydas dan Carreta carreta (Bustard, 1972). Angin yang kencang menyebabkan ombak menjadi besar dan menerbangkan butiran-butiran pasir daerah peneluran serta menerbangkan bendabenda ringan lainnya di sepanjang pantai serta daerah peneluran akan mengeras dan sulit untuk digali (Nuitja, 1992). Hal ini dapat membuat penyu hijau untuk menunda proses bertelurnya, sehingga akan mempengaruhi jumlah penyu bertelur tiap tahunnya. Habitat Habitat penyu hijau di KPS yang dijadikan tempat untuk bertelur adalah hutan pantai dengan panjang 6.3 km dan topografi landai. Klasifikasi iklim di

2 35 KPS menurut Schmidt Ferguson, termasuk tipe iklim B dengan curah hujan ratarata mm/tahun dengan suhu rata-rata C. Jenis vegetasi hutan pantai dari hasil penelitian yang digunakan penyu hijau sebagai tempat bertelur terdiri dari 8 jenis pohon, yaitu pandan laut (Pandanus tectorius), butun (Barringtonia asiatica), katapang (Terminalia cattapa), waru laut (Hibiscus tiliaceus), kuciat (Ficus septica), bintaro (Tournefortia argentia), kicepot (Gonocaryum macrophyllum) dan mengkudu (Morinda citrifolia). Natih et al. (1993) dan Sani (2000) juga menyatakan bahwa jenis vegetasi di KPS terdiri dari jenis-jenis tersebut. Vegetasi yang mendominasi adalah jenis pandan laut (Pandanus tectorius). Demikian juga di Herond Island, Australia (Bustard 1972) dan di Sukamade (Nuitja 1992 dan Sianipar 2007). Hal ini membuktikan bahwa pandan laut sangat disukai oleh penyu hijau sebagai tempat untuk bertelur, karena perakaran pandan laut dapat meningkatkan kelembaban, memberikan kestabilan pada pasir dan tidak mengganggu saat penggalian lubang sarang penyu (Sulfianto 2007). Oleh karena itu hampir semua sarang tempat bertelur yang ditemukan berada di bawah naungan atau di sekitar pandan tersebut. Vegetasi hutan pantai lainnya juga memiliki peranan yang sangat penting terhadap keberadaan penyu hijau. Peranan tersebut yaitu dalam hal kemampuannya yang sederhana untuk mensintesa organik nitrogen yang sangat dibutuhkan bagi metabolisme protein, sumber makanan, alat untuk melindungi diri dari pengaruh sinar matahari, mencegah perubahan suhu yang tajam di sekitarnya, menghindari diri dari musuh, menjamin situasi yang enak untuk tempat tinggal (Nuitja 1992). Lebar pantai peneluran dapat mempengaruhi kesukaan (preference) penyu hijau dalam bertelur. Semakin lebar dan landai kondisi pantai, maka akan semakin sering tempat tersebut dijadikan tempat penelurannya. Lebar pantai peneluran yang dipilih penyu hijau pada umumnya adalah daratan luas dan landai yang terletak di atas bagian pantai dengan kemiringannya 30 derajat (Nuitja 1992). Ukuran lebar pantai tempat peneluran penyu di Sukawayana, Kabupaten Sukabumi antara 19,98-42,7 m (Novitawati 2003), sedangkan di Pulau Mukomuko, Bengkulu antara m (Sinaga 1997) dan di Pulau Perancak, Bali antara m (Deliana 2003). Hal ini menunjukkan bahwa kisaran lebar pantai yang

3 36 dapat dijadikan tempat peneluran penyu antara m. Hasil pengukuran terhadap kisaran lebar dan panjang pantai berdasarkan pasang surut terendah sampai batas vegetasi pantai di KPS dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Lebar dan panjang pantai habitat penyu hijau di KPS No. Lokasi Kisaran lebar Panjang pantai (m) pantai (m) Tidak berkarang Berkarang 1 Katapang Tegal Sereh Panarikan Pamoekan Selokan Wangi Cilutud Pantai yang paling lebar dari data tersebut adalah pantai Cilutud. Akan tetapi pantai peneluran ini walaupun memiliki lebar pantai yang sangat luas, jarang ditemukan penyu hijau bertelur di lokasi tersebut. Hal ini dikarenakan terdapatnya bangunan-bangunan gazebo dan kios-kios kecil penjual makanan untuk pengunjung berada di tengah vegetasi sehingga menyebabkan berkurang dan rusaknya vegetasi hutan pantai tersebut. Oleh karena itu, dalam pengembangan ekowisata hal ini harus dijadikan pertimbangan utama dalam manajemen pengelolaan. Pantai peneluran penyu hijau yang memiliki lebar paling kecil adalah Pantai Selokan Wangi. Pantai ini sejak tahun 1998 dijadikan sebagai pantai tujuan wisata yang dikelola oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya, sehingga pinggiran pantai dibuatkan taman yang disebut taman leungsar. Di taman tersebut dibangun beberapa gazebo dan tembok yang memisahkan antara pinggiran pantai sehingga vegetasi pantai berkurang dan menyebabkan menyempitnya lebar pantai tersebut. Walaupun demikian, daerah pinggir pantai ini merupakan habitat yang menjadi area tempat mencari makan (feeding ground) penyu hijau dikarenakan banyak ditumbuhi oleh tanaman laut atau algae laut dan kondisi perairan yang masih baik, seperti warna air yang masih jernih dan bebas dari sampah. Ukuran lebar pantai yang mengalami penyempitan paling tinggi adalah Pantai Pamoekan, yaitu pada awalnya antara m menjadi m. Hal ini dikarenakan pantai tersebut merupakan pusat kegiatan nelayan dan penyimpanan perahu-perahu nelayan yang hanya memiliki izin dari pihak RKWS secara kesepakatan bersama masyarakat dan belum memiliki izin secara tertulis dari

4 37 pemerintah daerah. Kesepakatan ini bermula dari permintaan masyarakat untuk mengambil ikan di wilayah KPS untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dengan syarat masyarakat tetap menjaga kelestarian penyu hijau dengan cara tidak menangkap penyu hijau tersebut dan menjaga vegetasi sekitar KPS. Karakteristik habitat lainnya adalah tekstur pasir. Tekstur pasir peneluran penyu hijau di KPS dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Tekstur pasir peneluran penyu hijau di KPS Tekstur Ukuran (mm) Persentase (%) Liat 0 0,002 0,16 0,96 Debu 0,002 0,05 0,56 1,93 Pasir sangat halus 0,05 0,1 0,31 2,36 Pasir halus 0,2 0,5 0,61 11,8 Pasir sedang 0,5 1,0 1,03 35,26 Pasir kasar 1,0 2,0 0 1,21 Sumber: Sani (2000) Tekstur pasir di KPS pada tabel 8 terdiri dari 6 kelompok ukuran, yaitu liat, debu dan pasir. Kelompok pasir terdiri dari 4 fraksi, yaitu fraksi sangat halus, halus, sedang dan kasar. Peneluran penyu hijau di Pantai Pangumbahan dan Sukawayana yang merupakan tempat peneluran penyu hijau juga mempunyai fraksi pasir yang terdiri dari fraksi pasir kasar sekali, kasar, sedang, halus dan liat (Hatasura 2004). Hal ini membuktikan bahwa fraksi pasir di KPS cocok sebagai tempat bertelur penyu hijau. Perilaku Perilaku alami penyu hijau di KPS yang dapat diamati adalah perilaku mencari makan pada sore hari dan perilaku bertelur pada malam hari sampai menjelang pagi. Perilaku mencari makan dapat diamati setiap hari, sedangkan perilaku bertelur tergantung pada musimnya. Perilaku penyu hijau tersebut, yaitu: Mencari Makan Penyu hijau pada tahun pertama dari kehidupannya cenderung bersifat karnivora, makanan yang dibutuhkan dalam periode tersebut terutama berupa invertebrata atau zooplankton seperti kepiting, udang, kerang-kerangan dan ikanikan kecil. Setelah setahun pertama, penyu bersifat herbivora dan pakannya berupa rumput laut dan alga. Hal ini juga sama dengan hasil analisis pada perut

5 38 penyu hijau di Peru yang didalamnya ditemukan beberapa tanaman (Macrocystis, Rhodymenia dan Gigartina), moluska dan ikan (Hays dan Brown 1982). KPS yang memiliki berbagai jenis rumput laut (seagrass) dan ganggang laut (seaweeds) sangat berpotensi untuk dijadikan feeding ground (habitat pakan) bagi penyu hijau dewasa, karena makanan utamanya berupa seagrass dan seaweeds yang tumbuh di perairan dangkal. Sehingga penyu hijau tersebut akan selalu ditemukan di pantai tersebut. Hal ini juga dinyatakan oleh Nuitja (1983) bahwa meskipun penyu hijau mempunyai sifat yang migratory contingent, tetapi jika sumber makanan itu cukup tersedia maka ia akan tetap berada di sekitar lokasi tersebut. Perilaku mencari makan pada penyu hijau dewasa di KPS dapat ditemukan setiap sore hari menjelang terbenam matahari sekitar pukul WIB di pinggir pantai Selokan Wangi yang muncul diantara celah-celah hamparan karang. Perilaku ini dapat dilihat dari pinggir pantai dengan atau tanpa menggunakan alat bantu (teropong atau binokuler) dan dapat dijadikan atraksi ekowisata yang menarik karena selain dapat melihat kemunculan penyu hijau yang terkadang terlihat hanya bagian kepala atau seluruh badan penyu tersebut ke atas permukaan air juga dapat menikmati matahari terbenam (sunset) dan keindahan Pantai Sindangkerta. Pantai yang sering dijadikan sebagai feeding ground penyu hijau dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Pantai Selokan Wangi. Bertelur Perilaku bertelur penyu hijau di KPS dapat ditemukan pada malam hari sampai menjelang matahari terbit. Di Pantai Sukamade, penyu hijau mulai merayap ke darat setelah matahari terbenam atau sudah malam hari (Nuitja 1983). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku penyu hijau bertelur pada umumnya pada malam hari. Perilaku penyu hijau bertelur di KPS berdasarkan wawancara dengan

6 39 petugas SMS terdiri dari 7 tahapan, yaitu tahap adaptasi, menggali lubang tubuh (body pit), menggali lubang telur, bertelur, menutup lubang telur, menutup lubang badan dan kembali ke laut. Nuitja (1983) perilaku bertelur terdiri dari fase pengamatan (searching phase), fase menggali (digging phase), fase bertelur (laying phase), fase menutup sarang (phase of the covering nest), fase menimbuni temat berpijak dan membuat samar sarang (filling body pit and concealing nest site) dan kembali ke laut (return to the sea). Penyu hijau yang akan bertelur biasanya muncul ke permukaan laut dan bergerak menuju ke darat dengan perlahan-lahan sambil mengatasi tarikan ombak. Setelah sampai ke daratan, penyu akan menggunakan matanya untuk mengetahui aman atau tidaknya daerah yang akan dijadikan tempat bertelurnya. Karena penyu sangat peka terhadap cahaya, maka penyu hijau memiliki mata yang berfungsi sebagai alat deteksi, sehingga ia dapat mengetahui aman atau tidaknya suatu daerah tempat peneluran. Setelah diketahui bahwa keadaannya aman, maka secara perlahan penyu hijau merayap mendekati daerah peneluran dan tempat yang sesuai untuk pembuatan sarang dan mulai menggali lubang badan (body pit) dengan menggunakan kedua pasang kakinya. Gerakan kaki depan lebih aktif dibandingkan dengan gerakan kaki belakangnya. Hal ini dilakukan untuk dapat menggali pasir lebih dalam dan mencapai kedalaman tertentu sampai didapatkan tempat yang cocok untuk menggali lubang telur. Dalam penggalian lubang ini, penyu hijau masih sensitif terhadap gangguan. Jika penyu merasa kurang aman, penyu akan mencari tempat lain yang lebih aman bahkan dapat kembali lagi ke laut. Salah satu penyebab kembalinya penyu ke laut dan tidak jadinya bertelur menurut Bustard (1968) karena secara tiba-tiba ada lintasan kilat senter manusia atau guntur. Selain itu Nuitja (1983) menambahkan bahwa jika penyu tersebut menemukan pasir yang keras karena bercampur dengan tanah atau kerikil yang tajam. Kegiatan penggalian lubang ini dilakukan selama menit. Natih et al. (1993) menyatakan bahwa proses penggalian lubang pada penyu hijau di KPS, yaitu antara menit dengan rata-rata 17,4 menit. Nuitja (1983) di Pantai Sukamade secara keseluruhan proses penggalian lubangnya dilakukan dalam

7 40 waktu menit. Hal ini menunjukkan bahwa waktu yang digunakan penyu hijau dalam proses penggalian lubangnya tidak lebih dari 20 menit. Penyu hijau setelah selesai melakukan kegiatan penggalian lubang, maka ia akan memutar badannya untuk mencari posisi yang baik untuk tahapan selanjutnya, yaitu menggali lubang telur dengan cara menyendokkan salah satu kaki belakangnya secara bergantian sampai mendapat kedalaman dimana kaki tersebut tidak dapat menyendok pasir. Setelah itu, penyu hijau mulai menggerakan kaki belakangnya untuk menahan badan penyu dan untuk menjaga agar bibir lubang tersebut tidak runtuh, sedangkan kaki yang satunya menutupi bagian bibir lubang sarang lainnya sekaligus membebaskan masuknya kloaka ke dalam lubang telur. Setelah kegiatan tersebut selesai, maka beberapa saat kemudian akan keluar lendir dan disusul keluarnya telur-telur yang dilapisi lendir dengan jumlah telur yang dikeluarkan dari kloaka antara 1-3 butir sekaligus. Jumlah telur penyu hijau dalam satu kali peneluran berkisar antara butir. Setelah penyu hijau mengeluarkan telur-telurnya, maka lubang telur ditutup dengan menggunakan kaki belakang secara bergantian. Setelah tertutupi, sesekali ekornya ikut memadatkan lubang telur dengan menepuk-nepuk bagian atas lubang telur. Lubang telur setelah tertutupi, maka penyu hijau akan menutupi lubang badannnya dengan cara menggerakan kaki kanan ke depan dan kaki kiri belakang dan sebaliknya secara bersamaan. Pasir diambil dari depan lubang badan sambil bergerak maju untuk membuat sarang palsu dan kembali lagi ke laut. Lamanya proses bertelur ini selama ± 2 jam. Oleh karena itu, proses penyu hijau bertelur yang sangat panjang dan menarik ini dapat dijadikan sebagai atraksi untuk kegiatan penelitian, pendidikan maupun ekowisata. Penyebaran Sarang KPS memiliki 6 blok/lokasi yang termasuk ke dalam dua status kawasan yang berbeda, yaitu kawasan Suaka Marga Satwa (SMS) dan kawasan wisata Pantai Sindangkerta. Blok peneluran yang termasuk kawasan SMS adalah Katapang, Tegal Sereh, Panarikan dan Pamoekan, sedangkan yang termasuk kawasan wisata adalah Selokan Wangi dan Cilutud. Lokasi KPS dengan

8 41 pemukiman hanya dibatasi oleh jalan raya yang menghubungkan tiga kabupaten, yaitu Kecamatan Cipatujah (Kabupaten Tasikmalaya), Pangandaran (Kabupaten Ciamis) dan Pameungpeuk (Kabupaten Garut). Jika diukur dari lokasi permukiman penduduk ke vegetasi pantai berjarak sekitar 15 meter. Peta lokasi peneluran penyu hijau dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Peta lokasi peneluran penyu hijau di KPS. Data BKSDA tahun menyatakan bahwa lokasi yang paling sering dijadikan sebagai tempat bertelur penyu hijau adalah Tegal Sereh, karena mempunyai persyaratan semua habitat peneluran penyu hijau, antara lain: pasir yang halus, topografi pantai yang landai, hutan pantai di bagian terestrial cukup lebat dan didominasi oleh pohon pandan laut (Nuitja, 1978; 1982; Nuitja dan Uchida, 1983). Vegetasi pada blok peneluran lainnya sudah jarang karena lokasi ini bersebelahan langsung dengan jalan raya dan perumahan penduduk, sehingga dapat mengurangi jumlah penyu yang mendarat. Keberadaan jalan raya dan penduduk semakin padat menjadi salah satu penyebab jarangnya penyu mendarat karena dengan semakin banyak rumah dan kendaraan yang lewat pada malam hari akan menambah intensitas cahaya dan getaran-getaran pada pantai tersebut, terlebih lagi pada daerah yang vegetasinya kurang rapat. Hal ini dapat mengganggu penyu hijau untuk tidak jadi bertelur, karena penyu hijau memiliki sifat yang sangat sensitif terhadap getaran, suara dan cahaya. Data lokasi peneluran dari tahun dapat dilihat pada Tabel 8.

9 42 Tabel 8 Waktu dan lokasi peneluran penyu hijau di KPS No Bulan Blok peneluran 1 Januari Katapang Tegal Sereh 2 Februari Katapang Tegal Sereh Panarikan 3 Maret Katapang Tegal Sereh Panarikan * Pamoekan* 4 April Katapang Tegal Sereh Panarikan * Pamoekan* 5 Mei Katapang Tegal Sereh Panarikan* Karang Handap* Solokan Wangi* Palawah Butun* Pamoekan* 6 Juni Katapang Tegal Sereh Panarikan* 7 Juli Katapang* Tegal Sereh Panarikan* 8 Agustus Tegal Sereh Panarikan 9 September Katapang* Tegal Sereh Panarikan Pamoekan* Palawahbutun* 10 Oktober Tegal Sereh Pamoekan Panarikan 11 November Tegal Sereh Panarikan Katapang* Pamoekan* Palawahbutun* 12 Desember Panarikan Katapang* Pamoekan* Keterangan : * = Tidak selalu ditemukan setiap tahun Musim Bertelur Penyu hijau di KPS bertelur sepanjang tahun dan mencapai puncaknya pada bulan Oktober sampai Desember. Akan tetapi, Nuitja (1992) menyatakan bahwa puncak musim penyu hijau bertelur di KPS pada bulan Oktober sampai November. Hal ini membuktikan bahwa puncak musim bertelur penyu hijau

10 43 hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya, bahkan mengalami perpanjangan waktu peneluran sampai bulan Desember. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah Penyu Hijau Bertelur per Bulan Jumlah Penyu Bertelur (ekor) Bulan Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Sumber: Resort Konservasi Wilayah Sindangkerta (2008) Musim bertelur penyu juga sangat tergantung dari kondisi lingkungan setempat, seperti kondisi pantai dan ketersedian makanan (Ridla 2007). Selain itu, dipengaruhi juga oleh keadaan malam hari pada saat penyu hijau tersebut naik. Walaupun penyu memiliki naluri untuk bertelur pada malam hari tersebut, tetapi jika situasinya tidak memungkinkan, seperti datangnya angin kencang, hujan, petir dan banyak getaran yang ditimbulkan oleh banyaknya kendaraan yang melewati KPS dan gangguan lainnya, penyu hijau akan kembali ke laut dan tidak jadi bertelur. Oleh karena itu, untuk dikembangkan sebagai atraksi ekowisata perlu pengamatan lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penyu hijau bertelur dan bulan-bulan yang kontinu ditemukannya penyu hijau mendarat untuk bertelur. Minat Pengunjung Data pengunjung yang berhasil dikumpulkan, meliputi karakteristik pengunjung, pengetahuan terhadap keberadaan penyu hijau di KPS, ketertarikan/motivasi pengunjung untuk melihat penyu, persepsi mengenai perlu atau tidaknya pelestarian penyu hijau, persepsi mengenai perlu/tidaknya pengembangan ekowisata, bentuk kegiatan yang diinginkan pengunjung dan harapan pengunjung. Hasil tabulasi ini dapat dilihat pada Lampiran 3.

11 44 Karakteristik Pengunjung Karakteristik pengunjung sangat penting diketahui untuk menentukan bentuk dan kegiatan wisata yang sesuai dengan karakter pengunjung yang datang dan diharapkan datang. Karakter pengunjung diketahui dari hasil penyebaran kuisioner. Adapun karakter pengunjung yang perlu diketahui tersebut antara lain: Usia Pengunjung Pengunjung KPS terdiri dari 60.98% dewasa, 21.95% remaja dan 17.07% anak-anak. Dominasi pengunjung adalah berusia dewasa. Hal ini disebabkan pengunjung yang datang ke lokasi KPS bertepatan dengan mulainya liburan perguruan tinggi. Adanya pengunjung anak-anak dan remaja bertepatan dengan libur akhir pekan. Data usia pengunjung KPS dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Persentase struktur usia pengunjung. Jenis Kelamin Pengunjung Persentase pengunjung berdasarkan jenis kelamin didominasi oleh laki-laki sebanyak 63.41% dan perempuan 63.41%. Adanya dominasi pengunjung laki-laki disebabkan pengunjung bertujuan untuk jalan-jalan mengisi waktu kosong sambil menikmati keindahan pantai sekitar KPS. Persentase jenis kelamin pengunjung dapat dilihat pada Gambar 5.

12 45 Gambar 5 Persentase jenis kelamin pengunjung. Asal Pengunjung Pengunjung sebagian besar berasal dari lingkup Kabupaten Tasikmalaya (68.30%), meliputi Kecamatan Cipatujah, Kecamatan Cikalong, Kecamatan Karangnunggal dan Kecamatan Ciakatomas. Pengunjung lingkup Kota Tasikmalaya (17.07%) berasal dari Kecamatan Cibeureum dan Kawalu. Pengunjung yang berasal dari pusat kota ini ada yang sengaja mengunjungi KPS sambil berkunjung kepada kerabat yang berada di sekitar KPS dan ada juga yang kebetulan melewati KPS atau sekalian sambil berkunjung ke pantai-pantai lainnya yang berada di sekitar KPS. Pengunjung dari luar kabupaten/kota Tasikmalaya (12.20%) berasal dari Bandung dan sekitarnya. Hal ini membuktikan bahwa penyebaran pengunjung KPS tidak cukup luas, sehingga perlu adanya peningkatan pengembangan media informasi mengenai keberadaan KPS. Persentase asal pengunjung dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Persentase asal pengunjung.

13 46 Pendidikan Pengunjung Tingkat pendidikan pengunjung terdiri dari 39.03% Perguruan Tinggi, 26.82% SMA/sederajat, 21.95% SD, 9.76% SMP/sederajat dan 2.44% TK. Pendidikan pengunjung didominasi oleh Perguruan Tinggi disebabkan bertepatan dengan mulainya libur Perguruan Tinggi dan libur akhir pekan. Persentase pendidikan pengunjung dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 Persentase pendidikan pengunjung. Pekerjaan Pengunjung Pekerjaan pengunjung adalah pelajar/mahasiswa sebanyak 39.03%, Pegawai Negeri Sipil (17.07%), wiraswasta dan karyawan/honorer 14.63%, Ibu Rumah Tangga (9.76%), polisi/tni dan petani (2.44%). Mayoritas pengunjung adalah pelajar/mahasiswa disebabkan waktu pengambilan data pengunjung bertepatan dengan mulainya libur Perguruan Tinggi dan libur akhir pekan. Persentase pekerjaan pengunjung dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 Persentase pekerjaan pengunjung.

14 47 Pendapatan Pengunjung Pengunjung KPS sebanyak 51.22% belum memiliki pendapatan. Hal ini dikarenakan pengunjung sebagian besar masih berstatus sebagai mahasiswa/pelajar, sehingga belum memiliki pendapatan sendiri. Dengan demikian dalam rencana pengembangan ekowisata biaya tiket masuk perlu diperhatikan. Pengunjung yang telah memiliki pendapatan sebanyak 48.78% dengan mayoritas berpendapatan lebih dari Rp ,- per bulan (26.83%), selebihnya memiliki penghasilan antara Rp Rp ,- per bulan (14.63%) dan kurang dari Rp ,- per bulan (14.63%). Pengunjung yang berpendapatan lebih dari RP ,- per bulan mayoritas Pegawai Negeri Sipil yang telah memiliki golongan gaji yang cukup tinggi. Sedangkan pengunjung yang berpendapatan di bawah Rp ,- per bulan adalah wiraswasta, karyawan dan pegawai honorer. Hal ini menunjukkan bahwa minat pengunjung terhadap KPS sangat baik karena terdiri dari pengunjung yang belum berpenghasilan sampai pengunjung yang memiliki pendapatan yang cukup. Persentase pendapatan pengunjung ini dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Persentase pendapatan pengunjung. Pengetahuan terhadap Keberadaan Penyu Hijau di KPS Pengetahuan pengunjung terhadap keberadaan penyu hijau di KPS ada yang telah mengetahuinya dan tidak mengetahuinya. Pengunjung yang mengetahui keberadaan penyu hijau sebanyak 73.17%, sedangkan pengunjung yang tidak mengetahui 26.83%. Pengetahuan pengunjung terhadap keberadaan penyu hijau di KPS terdiri dari berbagai sumber informasi. Sumber informasi yang paling

15 48 banyak berasal dari teman/saudara/keluarga (43.90%). Selain itu ada juga yang mengetahui melalui siaran TV (12.20%) dan internet (2.44%). Akan tetapi terdapat pula pengunjung tanpa sumber informasi (14.63%), yaitu pengunjung yang mengetahui keberadaan penyu hijau karena kebetulan pernah melewati KPS dan membaca papan informasi yang ada di sekitar KPS atau melihat langsung tukik yang berada di bak pemeliharaan yang berada di pinggir jalan. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya peningkatan dalam publikasi agar informasi mengenai potensi KPS dapat menyebar luar ke masyarakat. Persentase pengetahuan pengunjung ini dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10 Persentase pengetahuan pengunjung terhadap keberadaan penyu hijau. Ketertarikan/Motivasi Melihat Penyu Hijau Seluruh pengunjung KPS menyatakan bahwa tertarik untuk melihat penyu hijau, dengan sebagian besar alasan penyu merupakan hewan yang lucu, unik dan menarik (48.78%). Alasan lainnya adalah penyu hijau merupakan satwa langka (12.19%) dan untuk ilmu pengetahuan (39.03%). Persentase ketertarikan pengunjung dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 Persentase ketertarikan pengunjung.

16 49 Persepsi Mengenai Perlu atau Tidaknya Pelestarian Penyu Hijau Seluruh pengunjung menyutujui adanya pelestarian terhadap penyu hijau tersebut dengan alasan penyu merupakan satwa langka (56.11%). Alasan lainnya adalah agar populasi penyu hijau meningkat (12.19%), penyu sebagai aset daerah (17.07%) dan sebagai ilmu pengetahuan (14.63%). Hal ini menunjukkan bahwa pengunjung KPS sebenarnya telah memiliki kepedulian terhadap keberadaan dan kelestarian penyu hijau di KPS. Persentase persepsi pengunjung tersebut dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12 Persentase persepsi perlu/tidaknya pelestarian penyu hijau. Persepsi Mengenai Perlu atau Tidaknya Pengembangan Ekowisata Seluruh pengunjung di KPS menyetujui adanya pengembangan ekowisata. Sebagian besar alasan adalah agar penyu lestari (60.95%). Alasan lainya adalah agar ramai (14.63%), KPS merupakan lokasi yang strategis (9.78%), KPS mempunyai banyak potensi (4.88%), untuk meningkatkan ekonomi masyarakat (4.88%) dan sebagai media pendidikan untuk pengunjung dan masyarakat (4.88%). Persentase persepsi pengunjung dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Persentase persepsi perlu/tidaknya pengembangan ekowisata.

17 50 Bentuk Kegiatan yang Diinginkan Pengunjung Bentuk kegiatan yang diinginkan terkait keberadaan penyu hijau di KPS sebagian besar menginginkan melihat pemeliharaan tukik (43.90%). Bentuk kegiatan lainnya adalah pelepasan tukik (29.27%), melihat penetasan penyu hijau (12.19%), melihat penyu hijau mencari makan (7.32%) dan melihat penyu hijau bertelur (7.32%). Persentase bentuk kegiatan yang diinginkan pengunjung dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14 Persentase bentuk kegiatan yang diinginkan pengunjung. Harapan Pengunjung Harapan pengunjung secara umum menginginkan adanya penambahan sarana dan parasarana (60.98%), pengadaan souvenir (17.07%) dan pemeliharaan sarana dan prasarana yang ada, termasuk menjaga kebersihan dan kelestariannya (21.95%). Penambahan tersebut, meliputi penyediaan papan interpretasi mengenai keberadaan dan informasi tentang penyu. Pengadaan souvenir yang diinginkan pengunjung berupa souvenir-souvenir yang khas berbentuk penyu dan kerajinan khas masyarakat sekitar KPS. Sedangkan harapan untuk menjaga kebersihan dan kelestarian KPS, yaitu pengunjung dan pengelola dapat bekerjasama untuk bersama-sama menjaga kebersihan dan kelestarian dengan pengelola menyediakan tempat-tempat sampah, papan himbauan atau papan interpretasi mengenai pentingnya menjaga lingkungan agar pengunjung dengan sendirinya memiliki kesadaran untuk tetap menjaga kebersihan dan kelestarian KPS. Harapan pengunjung KPS tersebut dapat dilihat pada Gambar 15.

18 51 Gambar 15 Persentase harapan pengunjung. Masyarakat Sekitar KPS Adat dan Budaya Masyarakat Desa Sindangkerta merupakan masyarakat Sunda asli yang masih mempertahankan sebagian budayanya, seperti prosesi ngalarung jampana untuk memperingati Tahun baru Islam, yaitu 1 Muharam tahun Hijriyah sebagai bukti rasa syukur atas rezeki yang diberikan dan hasil laut yang melimpah, sehingga warga diharuskan agar tetap menjaga kelestarian semua sumberdaya alam yang berada di laut. Saat ini pelaksanaannya bersamaan dengan Upacara Hajat Lembur dan Upacara Mapag tahun yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali tepatnya menjelang tahun baru Masehi, yaitu menjelang 31 Desember. Upacara Hajat Lembur ini merupakan selamatan kampung beserta seluruh isinya, serta Tolak Bala terhadap hal-hal yang belum terjadi. Sedangkan Upacara Mapag Tahun merupakan ungkapan rasa syukur dan ungkapan doa masyarakat agar di tahun berikutnya mendapat kehidupan yang lebih baik. Penyelenggaraan antara kedua upacara ini lebih meriah disertai dengan menampilkan berbagai seni sunda, seperti seni tari (tari tutunggulan), tarik suara, musik (seni calung) dan lain sebagainya dengan dihadari dari berbagai tokoh masyarakat dan pemerintahan desa maupun kabupaten. Upacara ini biasa dilaksanakan di pinggir pantai tempat tujuan wisata. Kedua upacara ini merupakan atraksi yang menarik bagi masyarakat setempat maupun pengunjung. Persepsi Masyarakat Pengetahuan masyarakat mengetahui sumberdaya alam di KPS khususnya penyu hijau berdasarkan wawancara secara langsung sebanyak 15 responden

19 52 manyatakan bahwa keberadaan penyu hijau di KPS telah diketahuinya sejak lama, karena sebagian responden merupakan masyarakat asli Sindangkerta. Menurut informasi masyarakat pada awalnya populasi penyu di kawasan Pantai Sindangkerta sangat banyak sehingga setiap hari ditemukan penyu yang naik untuk bertelur. Jenis penyu yang ditemukan juga ada empat jenis, yaitu penyu hijau, penyu belimbing, penyu sisik dan penyu lekang. Dengan demikian menurut masyarakat saat ini diperlukan adanya pelestarian terhadap penyu hijau karena penyu merupakan satwa langka dan sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia. Sehingga sebagai salah satu bentuk partisipasinya masyarakat biasanya mengikuti patroli bersama pengelola SMS. Walaupun pada awalnya kesadaran masyarakat terhadap kelestarian penyu dinilai sangat kurang. Akibatnya masyarakat hampir setiap malam berpatroli di pinggir pantai, peneluran penyu untuk mengambil telurnya tanpa melaporkan kepada pengelola SMS untuk dikonsumsi maupun untuk di jual untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Akan tetapi saat ini masyarakat dapat bekerjasama dengan petugas SMS untuk berpatroli memantau penyu yang naik untuk bertelur. Dengan demikian masyarakat pun hanya meminta beberapa telur untuk memenuhi kebutuhannya dan sebagian besar telur lainnya bersama-sama mereka tanamkan di bak penetasan. Hal ini dilakukan agar tidak ada kecemburuan sosial antara masyarakat dan pengelola SMS. Selain itu, saat ini masyarakat pun sering mengikuti penyuluhan mengenai konservasi penyu setiap 2-4 kali dalam setahun untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penyuluhan ini diadakan oleh Pemda, Dinas Perikanan maupun oleh BKSDA setempat dengan melibatkan mitra kerja dari masyarakat. Bahkan pihak BKSDA selain mengadakan penyuluhan, pada tahun untuk meningkatkan perekonomian masyarakat telah dilakukan pengembangan ternak domba yang dibagikan secara langsung kepada masyarakat dengan cara membuat kelompok-kelompok tani. Akan tetapi pemberdayaan ini mengalami hambatan dalam pelaksanaannya, sehingga tidak ada kelanjutannya. Hal ini dikarenakan kurangnya koordinasi antara masyarakat dan pihak BKSDA dalam sistem pembagian kelompok tani dan kurangnya informasi mengenai tata cara pengelolaan peternakan domba yang baik, sehingga hewan ternaknya tidak banyak mengalami kematian.

20 53 Pemberdayaan lainnya juga pernah dilakukan melalui pengembangan kerajinan tangan dari daun pandan yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Janur (Jantung Nurani Rakyat). Akan tetapi program pemberdayaan ini sama halnya dengan program peternakan tidak bertahan lama. Hal ini dikarenakan menurut masyarakat kurang menguntungkan karena harga jualnya yang terlalu rendah. Sehingga masyarakat kembali ke mata pencahariannya masing-masing. Oleh karena itu, masyarakat sangat berharap adanya pengembangan ekowisata untuk dapat membantu meningkatkan perekonomiannya. Bentuk kegiatan yang diinginkan oleh masyarakat dalam pengembangan ekowisata tersebut adalah pelibatan masyarakat dalam pengelolaanya seperti menjadi pemandu wisata dan pemberdayaan pembuatan kerajinan untuk mendukung kegiatan ekowisata. Adapun harapan lainnya, masyarakat menginginkan adanya kerjasama antara pihak BKSDA dengan masyarakat lebih ditingkatkan sehingga dapat bersama-sama menjaga dan melestarikan penyu sehingga akan mendukung keberlanjutan kegiatan ekowisata. Kebijakan dan Pengelolaan Kebijakan Landasan hukum yang digunakan dalam pengelolaan KPS terbagi dua, yaitu kebijakan mengenai Suaka Margasatawa Sindangkerta dan kebijakan mengenai pengembangan pariwisata Sindangkerta. Kebijakan tersebut antara lain: 1. UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 2. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: 6964/KPTS- II/2002 tentang Penunjukkan Kawasan Pantai Sindangkerta dan Kawasan Perairan sekitarnya di Desa Sindangkerta, Propinsi Jawa Barat seluas 90 (Sembilan Puluh) Hektar sebagai Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan dengan nama Suaka Margasatwa Sindangkerta. 3. Secara internasional, perlindungan penyu diatur dalam Convention on International Trade of Endangered Species (CITES).

21 54 4. Surat Keputusan Bupati Tasikmalaya Nomor: 660.1/KEP/165/LH/2000 tentang Penunjukkan Kawasan Konservasi Pantai Sindangkerta Desa Sindangkerta Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya. 5. Surat Keputusan Pemerintah Bupati Tasikmalaya Nomor: 2 tahun 2001 tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin Pemungutan / Pemanfaatan Telur Penyu di Luar Suaka Alam dan kawasan Pelestarian Alam. Pengelolaan KPS dikelola oleh 2 instansi pemerintahan yang berbeda, yaitu Resort Konservasi Wilayah Sindangkerta (RKWS), Seksi Konservasi Wilayah V Garut yang berada di bawah Bidang Konservasi Wilayah III Ciamis, Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat dan Dinas pariwisata Kabupaten Tasikmalaya. Pengelolaan oleh RKWS meliputi, SMS dan daerah-daerah tepi pantai yang menjadi blok lokasi pendaratan dan peneluran penyu hijau, termasuk pantai yang dikelola oleh Dinas pariwisata, yaitu Pantai Selokan Wangi dan Cilutud. Oleh karena itu dalam pengelolannya 2 instansi ini saling bekerjasama dalam melestarikan penyu hijau, seperti tetap memelihara dan menanami kembali vegetasi yang berada di sekitar hutan pantai KPS yang telah dijadikan objek wisata dan mengajak masyarakat serta pengunjung untuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam yang berada di KPS. Jumlah pegawai yang berada di RKWS sebanyak 6 orang yang terdiri dari 5 orang Pegawai Negeri Sipil dan 1 orang pegawai honorer. Pegawai RKWS biasanya untuk memantau ada atau tidak adanya penyu yang mandarat untuk bertelur dilakukan tiap hari dengan disebar di seluruh blok peneluran dan dibantu dengan masyarakat, baik yang termasuk mitra kerja BKSDA. maupun tidak termasuk, karena biasanya masyarakat sekitar jika puncak musim bertelurnya penyu hijau akan bersama-sama untuk menyaksikan proses peneluran tersebut. Sehingga terkadang telur-telur tersebut sebagian diberikan kepada masyarakat dan sebagian lagi dikubur di bak penetasan bersama masyarakat. Bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh petugas SMS terhadap keberadaan penyu hijau adalah:

22 55 Pengambilan Telur Telur penyu yang memiliki nilai ekonomi dan gizi yang cukup tinggi dan laku di pasaran menyebabkan orang-orang berkeinginan untuk mengeksploitasinya. Nilai ekonomi penyu dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Nilai ekonomi penyu laut No. Spesies Telur Daging Karapas Tulang 1 Eretmochelys imbricata A B A A 2 Chelonia mydas A A A A 3 Lepidochelys olivaceae A B C A 4 Dermochelys coriacea B C C B Keterangan: A (Sangat disukai) ; B (Disukai) ; C (Kurang disukai) Sumber: Nuitja (2008) Di KPS terdapat kelompok panyama, yaitu kelompok masyarakat yang sering mencari dan mengumpulkan telur penyu pada malam hari. Sehingga hal ini akan menyebabkan berkurangnya telur untuk menetas. Oleh karena itu, untuk mengamankannya pengelola mengajak masyarakat panyama melakukan pengambilan telur dari dalam sarang untuk dipindahkan ke dalam bak penetasan. Hal ini dilakukan agar masyarakat peduli akan perlunya pelestarian terhadap penyu hijau tersebut. Selain itu, pemindahan telur ke dalam bak penetasan juga agar terhindar dari gangguan hewan pemangsa, seperti biawak, kepiting dan hewan lainnya. Proses pengambilan telur dilakukan setelah penyu yang bertelur kembali ke laut. Proses pengambilan telur sangat mempengaruhi keberhasilan penetasan (Ridla 2007). Adapun proses pemindahannya dilakukan dengan cara mengambil semua telur yang berada dalam sarang satu persatu dengan menggunakan tangan, kemudian dimasukkan ke dalam ember yang telah diisi dengan media pasir. Pemberian media pasir ini bertujuan agar dalam proses pemindahannya kondisi telur tetap seperti dalam sarang alaminya. Setelah itu, telur dimasukkan ke dalam lubang pasir yang telah dibuat dalam bak penetasan dengan kedalaman yang disesuaikan dengan kedalaman sarang alaminya. Kemudian semua telur dalam ember satu per satu dimasukkan ke dalam lubang dan setelah selesai lubang tersebut ditutup dengan pasir. Inkubasi Telur Inkubasi telur dilakukan dalam bak penetasan yang didesain semi alami berukuran 9 x 6 m dengan kedalaman pasir sekitar cm serta dipagari oleh

23 56 anyaman bambu setinggi 2 meter. Kedalaman sarang semi alami ini sengaja dibuat lebih dari 40 cm dikarenakan suhu dalam sarang tersebut dianggap sudah stabil dan tidak terjadi fluktuasi suhu. Pembuatan sarang semi alami ini bertujuan untuk mengamankan telur-telur penyu dari gangguan predator. Upaya untuk mengamankan dan pelestarian telur-telur penyu dalam sarang di Pantai Pangumbahan dilakukan penetasan dengan semi-alami, penetasan semi-alami adalah penetasan telur dengan cara memindahkan telur dari sarang alami ke dalam sarang buatan yang digali di dalam areal bangunan penetasan (Silalahi 1990; Gustian 1997; Ridla 2007). Lokasi bak penetasan di KPS terletak di tengah vegetasi pantai yang bersebrangan dengan pos Resort Konservasi Wilayah Sindangkerta, yaitu di blok peneluran Tegal Sereh. Bak penetasan terbuka tanpa naungan agar penetasan telurnya stabil sesuai dengan penetasan alami. Seperti diketahui bahwa penyu merupakan binatang poikilothermous, yaitu suhu tubuhnya tergantung dari lingkungan sehingga salah satu upaya agar dalam proses penetasan berhasil, suhu di sekitarnya harus stabil. Salah satu cara selain mengatur suhu dalam sarang juga dengan menstabilkan suhu pada permukaan pasir, yaitu dengan mengatur suhu bak penetasan tanpa naungan. Dengan demikian intensitas sinar matahari dapat berpengaruh langsung terhadap bak penetasan, sehingga suhu dalam sarang akan tetap stabil. Di Pantai Pangumbahan, pada sarang yang tanpa naungan telur menetas sebanyak 96-98%, sedangkan pada sarang jarang naungan 94-96% dan pada sarang dengan naungan penuh 90-92% (Ridla 2007). Suhu pada bak penetasan ini sangat berpengaruh terhadap penentuan lama masa inkubasi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11 berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh petugas Suaka Margasatwa Sindangkerta (SMS). Tabel 11 Pengaruh suhu terhadap lamanya penetasan Kondisi Suhu ( C) Lama penetasan (hari) C C Sumber: Resort Konservasi Wilayah Sindangkerta(2008) Lama waktu inkubasi yang dibutuhkan untuk penetasan telur-telur penyu di KPS pada sarang semi alami ini adalah hari. Padahal Ridha (2007) menyatakan bahwa lama masa inkubasi penyu hijau di Pantai Pangumbahan

24 57 adalah hari. Hal ini dikarenakan di KPS pada bak penetasan suhunya kurang stabil, karena masih terhalangnya bak penetasan tersebut oleh vegetasi di sekitarnya yang memiliki tajuk cukup rindang sehingga intensitas cahaya yang masuk terhalangi. Oleh karena itu, masa inkubasinya lebih panjang. Makin panjang masa inkubasi ini, maka makin kecil pula persentasi keberhasilan penetasan telur-telur penyu yang ada di dalam sarang di bawah pasir. Faktor keberhasilan penetasan juga dapat dilihat dari cara pemindahan telur, kualitas telur dan kelembaban sarang. Setiap penyimpanan telur ke dalam bak penetasan, maka jumlah telur tersebut akan dihitung agar dapat diketahui persentase telur yang berhasil menjadi anak penyu (tukik). Keberhasilan penetasan adalah perbandingan antara jumlah tukik yang berhasil muncul ke permukaan dengan jumlah telur yang ditetaskan (Hirth 1971). Selain itu, penetasan telur penyu juga dipengaruhi oleh kedalaman sarang dalam bak penetasan. Seperti halnya beberapa karakteristik pasir di Pantai Pangumbahan pada kedalaman 20 cm, telur yang menetas sebanyak 96% dan pada kedalaman 50 cm sebanyak 100%. Sedangkan di Pantai Sukawayana pada kedalaman 20 cm, telur yang menetas sebanyak 47.33% dan pada kedalaman 50 cm sebanyak 50% (Hatasura 2004). Variasi penetasan selain kedalaman juga disebabkan oleh faktor curah hujan yang mempengaruhi fluktuasi suhu dan kadar air, yang kemudian mempengaruhi keberhasilan penetasan. Rendahnya kadar air sarang menyebabkan keluarnya air dari dalam telur. Sedangkan kadar air lingkungan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan tumbuhnya jamur pada bagian kulit telur dan memungkinkan masuknya bakteri patogen ke dalam telur dan mematikan janin yang sedang berkembang. Faktor lain yang mempengaruhi adalah faktor reproduksi dari indukan. Faktor ini meliputi hal pembuahan oleh jantan, kesehatan organ reproduksi, makanan dan lain-lain. Kematian tukik-tukik saat akan muncul ke permukaan, beberapa faktor diantaranya adalah karena tertinggal akibat terlambat menetas, karena terjepit telur-telur yang tidak menetas, kekurangan oksigen dan lain-lain.

25 58 Pemeliharaan Tukik Pemeliharaan tukik (anak penyu) dilakukan setelah telur-telur tersebut menetas dalam bak penetesan semi-alami yang kemudian dipindahkan ke dalam bak penangkaran/pemeliharaan yang berada di samping pos RKWS. Kondisi bak pemeliharaan ini dapat dilihat pada Gambar 16. (a) Bak pemeliharaan tampak depan (b) Bak pemeliharaan tampak dalam Gambar 16 Kondisi bak pemeliharaan tukik di KPS. Pemeliharaan tukik ini dilakukan hingga tukik-tukik tersebut berumur 2-3 bulan. Pada awal pemeliharaan tukik-tukik yang berumur 1-4 hari, tidak langsung diberi makan dikarenakan tuki-tukik tersebut masih belum mampu untuk mencerna makanan. Selain itu juga bertujuan agar tukik-tukik tersebut mampu beradapatasi di dalam bak pemeliharaan. Nontji (1987) menyatakan bahwa hari pertamanya di air, tukik belum bisa menyelam karena dalam tubuhnya mengandung kuning telur yang belum tercerna seluruhnya. Keberadaan kuning telur tersebut menyebabkan berat jenis tubuh tukik jadi rendah dan hanya dapat berenang di permukaan. Air yang berada dalam bak pemeliharaan di KPS berasal dari air laut yang setiap harinya diganti dan diberi sirkulasi udara agar sisa dari pemberian makanan dan sekresi tukik tereduksi secara terus menerus. Kafuku dan ikeone (1983) dalam Naulita (1990) menyatakan bahwa hal utama yang harus diperhatikan dalam pemeliharaan tukik adalah sirkulasi air. Sirkulasi air yang teratur menyebabkan sisa dari pemberian makanan dan sekresi tukik tereduksi secara terus menerus serta mikroorganisme penyebab penyakit kulit pada tukik menjadi tidak mudah berkembang. Selain pengadaan sirkulasi air, luas tempat pemeliharaan harus diperhatikan agar memberikan ruang gerak yang luas bagi tukik, karena tukik merupakan hewan yang aktif bergerak.

26 59 Pemberian pakan juga mempengaruhi pertumbuhan tukik-tukik yang berada dalam bak penetasan. Pemberian pakan yang dilakukan di KPS berupa pelet hingga berumur satu bulan. Setelah berumur satu bulan kemudian diberi pakan berupa ikan (berbagai jenis ikan) yang dipotong-potong kecil, udang-udang berukuran kecil atau hewan-hewan kecil yang terdapat di sela-sela karang di tepi Pantai Sindangkerta. Hasil penelitian Fitrari (2007) jenis makanan berupa udang air tawar, keong mas dan campuran yang digunakan dapat mempengaruhi secara nyata terhadap laju pertumbuhan panjang dan lebar karapas serta berat tubuh tukik. Akan tetapi makanan berupa cacahan udang air tawar memberikan pola pertumbuhan lebih baik dibandingkan campuran dari keong mas. Oleh karena itu, pemberian pakan pada tukik dalam bak pemeliharaan sebaiknya berupa cacahan udang air tawar sehingga tukik-tukik akan lebih baik pertumbuhannya dan lebih siap untuk dilepaskan ke habitat alaminya. Pemeliharaan ini dilakukan hingga tukik-tukik tersebut telah mencapai umur 2-3 bulan. Pelepasan Tukik Pelepasan tukik di KPS biasanya dilakukan hampir setiap satu bulan sekali. Tukik yang dilepaskan setelah berumur 2-3 bulan berada di bak pemeliharaan. Pelepasan dilakukan di sepanjang tepi Pantai Sindangkerta. Tepi pantai yang sering dilakukan untuk pelepasan tukik adalah tepi pantai blok peneluran Tegal Sereh. Hal ini dikarenakan blok tersebut merupakan lokasi yang strategis dan paling dekat dengan bak pemeliharaan. Sehingga dalam proses pengangkutan tidak terlalu jauh. Pengangkutan tukik dari bak pemeliharaan ke tempat pelepasan biasanya menggunakan ember. Pelepasan tukik ini biasanya dilakukan pada pagi atau sore hari dan gelombang laut dalam keadaan tenang. Hal ini dilakukan agar tukik-tukik yang baru dilepaskan dapat beradaptasi dan tidak terbawa ombak. Selain itu, juga dimaksudkan agar tukik dapat terhindar dari predator. Pelepasan ini juga biasanya selain dilakukan oleh petugas Resort Konservasi Wilayah Sindangkerta juga disaksikan oleh masyarakat sekitar SMS, baik itu yang terlibat dalam mitra kerja BKSDA ataupun masyarakat secara umum. Selain itu, juga terkadang disaksikan oleh anak-anak sekolah sekitar KPS dari tingkat SD, SLTP maupun SLTA.

27 60 Pelibatan masyarakat dalam pelepasan tukik ini dimaksudkan agar masyarakat merasa dilibatkan dalam pengelolaan dan diajak secara langsung dalam upaya pelestarian sumberdaya alam serta agar tidak terjadi kecemburuan sosial antara petugas BKSDA dan masyarakat. Sedangkan pelibatan anak-anak sekolah dimaksudkan agar mereka mendapat pengetahuan tentang penyu dan menanamkan jiwa konservasi sejak dini untuk melestarikan sumberdaya alam yang sudah langka ini. Sehingga untuk kedepannya kegiatan ini sangat berpotensi untuk dijadikan atraksi ekowisata. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang berada di KPS, meliputi sarana dan prasarana penunjang kegiatan pelestarian penyu hijau dan penunjang wisata. Sarana dan prasarana penunjang pelestarian penyu hijau di KPS, terdiri dari pos jaga, bak pemeliharaan dan bak pentasan. Sarana dan prasarana yang terdapat di KPS dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 17. Tabel 12 Sarana dan prasarana yang ada di KPS No. Sarana dan prasarana Jumlah (unit) Lokasi 1 Pos jaga 1 Sebrang jalan SMS 2 Bak Pemeliharaan 3 Samping pos jaga 3 Bak penetasan 1 Blok peneluran Tegal Sereh (a) Pos jaga (b) Bak pemeliharaan (c) Bak penetasan Gambar 17 Sarana dan prasarana di KPS. Sarana dan prasarana penunjang wisata berfungsi untuk menunjang atau memberi kemudahan dan kenyamanan bagi pengunjung, terutama bagi yang berada cukup jauh dengan objek tujuan. Sarana yang berada di KPS, meliputi transportasi dan rumah makan. Prasarana pendukung meliputi kantor pos, jaringan telepon yang cukup baik, puskesmas dan jaringan listrik. Selain itu sarana dan prasarana juga didukung oleh:

28 61 Aksesibilitas Aksesibilitas adalah keadaan atau ketersediaan hubungan dari satu tempat ke tempat lainnya atau kemudahan seseorang atau kendaraan untuk bergerak dari suatu tempat ke tempat lain dengan aman, nyaman, serta kecepatan yang wajar, sehingga dalam objek wisata merupakan syarat yang penting sekali. Kegiatan ekowisata tanpa dihubungkan dengan jaringan transportasi tidak akan mungkin objek ekowisata tersebut dapat dikunjungi oleh pengunjung. Oleh karena itu dibutuhkan jalan sebagai penghubung antara pengunjung, objek ekowisata dengan sarana dan prasarana umum. Akses menuju KPS dapat dicapai melalui jalan darat dengan kondisi jalan yang cukup baik. Jarak dari pusat Kota Tasikmalaya ± 78 km dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua/roda empat dalam waktu sekitar 3-4 jam dan dapat dicapai melalui tiga kecamatan, yaitu: Kecamatan Karangnunggal, Kecamatan Cipatujah dan Kecamatan Cikalong. KPS terletak di pinggir jalan raya yang menghubungkan beberapa objek wisata lainnya, yaitu Cagar Alam Leuweung Sancang (Kabupaten Garut), wisata Pantai Cipatujah dan Sindangkerta (Kecamatan Cipatujah, Tasikmalaya), wisata Pantai Karangtawulan (Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya) dan wisata Pantai Pangandaran (Kabupaten Ciamis). Hal ini menunjukkan bahwa KPS memiliki letak yang strategis dan dapat dijadikan sebuah paket wisata dengan wisata lainnya. Akomodasi Akomodasi merupakan salah satu faktor yang diperlukan dalam kegiatan wisata khususnya bagi pengunjung yang cukup jauh. Hasil pengamatan dan informasi dari petugas, masyarakat dan pemerintahan setempat, akomodasi yang ada meliputi penginapan, rumah makan, gazebo dan camping area. Analisis SWOT Faktor-faktor internal dan eksternal dalam analisis pendekatan SWOT di KPS yang terdiri dari kekuatan (S), kelemahan (W), peluang (O) dan ancaman (T) dapat dilihat pada Tabel 13.

29 62 Tabel 13 Hasil analisis SWOT Faktor Internal Faktor eksternal Peluang (Opportunity) 1. Lokasi strategis 2. Keindahan panorama alam 3. Tingginya minat pengunjung 4. Lingkup pengunjung cukup luas 5. Dukungan masyarakat 6. Budaya masyarakat khas 7. Kerjasama dengan instansi-instansi setempat Ancaman (Threath) 1. Kerusakan ekosistem 2. Kurangnya kesadaran masyarakat dan pengunjung menjaga kelestarian sumberdaya alam 3. Jumlah pengunjung yang tidak dibatasi 4. Pembangunan sarana prasarana penunjang wisata Kekuatan (Strengths) 1. Bentuk yang menarik 2. Merupakan satwa langka 3. Bermanfaat bagi kehidupan 4. Kekhasan perilaku Strategi S-O Peningkatan objek ekowisata berbasis penyu hijau untuk keperluan pendidikan dan penelitian agar pengunjung mengetahui keberadaan, habitat dan perilaku penyu hijau. Strategi S-T Pengenalan secara langsung mengenai bentuk, manfaat, kekhasan perilaku dan informasi mengenai keberadaan penyu hijau yang langka kepada pengunjung dan masyarakat dengan jumlah terbatas sehingga pengunjung dan masyarakat memiliki rasa kepedulian untuk melestarikannya dan ekosistemnya tetap lestari. Kelemahan (Weakness) 1. Peka terhadap suara, getaran dan cahaya 2. Pertumbuhan lambat 3. Spesifikasi habitat Strategi W-O Ekowisata minat khusus, yaitu pengunjung dibatasi agar keberadaan penyu hijau tidak terganggu dan ekosistem tetap lestari. Strategi T-W Peningkatan kerjasama, baik dengan masyarakat maupun stakeholder lainnya yang berada di sekitar KPS agar bersama-sama menjaga, memonitoring dan merehabilitasi kelestarian ekosistem dan sumberdaya alam KPS, khususnya penyu hijau. Strategi pengembangan ekowisata di KPS berupa: a. Peningkatan objek ekowisata Penyu hijau merupakan satwa langka dan mempunyai bentuk dan perilaku yang khas dan menarik serta mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu, dapat dijadikan sebagai objek ekowisata dengan tujuan agar dapat memberikan informasi kepada pengunjung mengenai keberadaan penyu hijau di KPS, karena berdasarkan hasil wawancara masih terdapat pengunjung yang tidak mengetahui keberadaan penyu hijau tersebut. Selain itu, juga untuk memberikan pengetahuan mengenai habitat dan perilaku alami penyu hijau di KPS sehingga secara tidak langsung dapat mengajak pengunjung agar menjaga dan melestarikan keberadaannya.

POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA, KABUPATEN TASIKMALAYA

POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA, KABUPATEN TASIKMALAYA POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA, KABUPATEN TASIKMALAYA (Potential of Green Turtle (Chelonia mydas L.) and its Use as

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisik dan Biologi Pantai 4.1.1 Lebar dan Kemiringan Pantai Pantai Pangumbahan Sukabumi yang memiliki panjang pantai sepanjang ±2,3 km dan di Pantai Sindangkerta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sub kingdom : Metazoa. Sub phylum : Vertebrata Super kelas : Tetrapoda. : Testudinata. Super famili : Chelonioidea

TINJAUAN PUSTAKA. Sub kingdom : Metazoa. Sub phylum : Vertebrata Super kelas : Tetrapoda. : Testudinata. Super famili : Chelonioidea 16 TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Penyu Hijau Morfologi dan Klasifikasi Penyu hijau mempunyai ciri-ciri: karapaks sebagai penutup tubuh merupakan kulit keras yang terdiri dari 4 pasang coastal, 5 vertebral

Lebih terperinci

No : Hari/tanggal /jam : Nama instansi : Alamat Instansi : Nama responden yang diwawancarai Jabatan

No : Hari/tanggal /jam : Nama instansi : Alamat Instansi : Nama responden yang diwawancarai Jabatan LAMPIRAN 55 Lampiran 1. Kuisioner pengelola dan instansi terkait Kuisioner untuk pengelola dan Instansi terkait Pantai Pangumbahan No : Hari/tanggal /jam : Nama instansi : Alamat Instansi : Nama responden

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat berlimpah. Banyak diantara keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

Berikut obyek wisata yang bisa kita nikmati:

Berikut obyek wisata yang bisa kita nikmati: Daya tarik wisata alam Ujung Genteng memang membuat banyak orang penasaran karena keragaman objek wisatanya yang bisa kita nikmati dalam sekali perjalanan, mulai dari pantai berpasir putih, melihat penyu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l

BAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Derawan terletak di perairan Kabupaten Berau yang merupakan salah satu dari 13 kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Timur. Wilayah Kepulauan Derawan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ciri Umum dan Jenis Penyu Pengenalan terhadap bagian-bagian tubuh penyu (Gambar 1) beserta fungsinya sangat diperlukan agar dapat melakukan identifikasi terhadap jenis penyu dengan

Lebih terperinci

POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) SEBAGAI DAYA TARIK EKOWISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA KABUPATEN TASIKMALAYA RENI SRIMULYANINGSIH

POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) SEBAGAI DAYA TARIK EKOWISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA KABUPATEN TASIKMALAYA RENI SRIMULYANINGSIH POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) SEBAGAI DAYA TARIK EKOWISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA KABUPATEN TASIKMALAYA RENI SRIMULYANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG 77 PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG Comparison of Eggs Hatching Success Eretmochelys

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR 6.1 Karakteristik Responden Penentuan karakteristik pengunjung TWA Gunung Pancar diperoleh berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner dari 100

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei deskriptif. Menurut Nasir 1983 dalam Ario 2016, metode survei deskriptif yaitu

Lebih terperinci

by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni Sumiarsih 2) Abstract

by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni Sumiarsih 2) Abstract The effects of nest cover types on incubation period and hatching rate of Olive Ridley turtle Lepidochelys olivacea in the Turtle Conservation Unit, Pariaman by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Desa Lebih terletak di Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali dengan luas wilayah 205 Ha. Desa Lebih termasuk daerah dataran rendah dengan ketinggian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, sekitar 17.508 buah pulau yang membentang sepanjang 5.120 km dari timur ke barat sepanjang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia.

I. PENDAHULUAN. Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. Menurut para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman purba (145-208 juta tahun yang lalu) atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nusantara maupun wisatawan mancanegara. Hal ini dikarenakan. yang dapat dimanfaatkan sebagai kegiatan di bidang pariwisata.

BAB I PENDAHULUAN. nusantara maupun wisatawan mancanegara. Hal ini dikarenakan. yang dapat dimanfaatkan sebagai kegiatan di bidang pariwisata. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak potensi alam baik di daratan maupun di lautan. Keanekaragaman alam, flora, fauna dan, karya cipta manusia yang

Lebih terperinci

BAB II LANGKAH PERTAMA KE NIAS

BAB II LANGKAH PERTAMA KE NIAS BAB II LANGKAH PERTAMA KE NIAS BAB II LANGKAH PERTAMA KE NIAS Langkah kami setelah mencari tahu dan segala informasi tentang Pulau Nias adalah survey langsung ke lokasi site untuk Tugas Akhir ini. Alangkah

Lebih terperinci

Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap

Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap Tri Nurani Mahasiswa S1 Program Studi Biologi Universitas Jenderal Soedirman e-mail: tri3nurani@gmail.com Abstrak Indonesia merupakan negara yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk memotivasi berkembangnya pembangunan daerah. Pemerintah daerah harus berupaya

I. PENDAHULUAN. untuk memotivasi berkembangnya pembangunan daerah. Pemerintah daerah harus berupaya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata merupakan bentuk industri pariwisata yang belakangan ini menjadi tujuan dari sebagian kecil masyarakat. Pengembangan industri pariwisata mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelangi Depok, Pantai Samas, Pantai Goa Cemara, dan Pantai Baru Pandansimo

BAB I PENDAHULUAN. Pelangi Depok, Pantai Samas, Pantai Goa Cemara, dan Pantai Baru Pandansimo 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pesisir Bantul telah menjadi habitat pendaratan penyu, diantaranya Pantai Pelangi Depok, Pantai Samas, Pantai Goa Cemara, dan Pantai Baru Pandansimo yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PULO CANGKIR

TINJAUAN PULO CANGKIR BAB II TINJAUAN PULO CANGKIR II.1 GAMBARAN UMUM PROYEK Judul Proyek : Kawasan Rekreasi Kampung Pulo Cangkir dan Sekitarnya. Tema : Arsitektur Tradisional Sunda. Kecamatan : Kronjo. Kelurahan : Pulo Cangkir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. II/1999 seluas ha yang meliputi ,30 ha kawasan perairan dan

BAB I PENDAHULUAN. II/1999 seluas ha yang meliputi ,30 ha kawasan perairan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) terletak di Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah merupakan Kawasan Pelestarian Alam yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Gambaran Umum Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi Gambaran umum Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi dalam penelitian ini dihat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 14 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODOLOGI Kegiatan penelitian ini dilakukan di Pusat Kota Banda Aceh yang berada di Kecamatan Baiturrahman, tepatnya mencakup tiga kampung, yaitu Kampung Baru,

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Kabupaten Bandung terletak di Provinsi Jawa Barat, dengan ibu kota Soreang. Secara geografis, Kabupaten Bandung berada pada 6 41 7 19 Lintang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai sekitar 80.791,42 km (Soegianto, 1986). Letak Indonesia sangat

Lebih terperinci

IV KONDISI UMUM TAPAK

IV KONDISI UMUM TAPAK IV KONDISI UMUM TAPAK 4.1 Letak, Luas, dan Batas Tapak Secara geografis kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea terletak pada 16 32 BT 16 35 46 BT dan 6 36 LS 6 55 46 LS. Secara administratif terletak di

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 18 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Desa Gorowong Desa Gorowong merupakan salah satu desa yang termasuk dalam Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA 7.1 Kerangka Umum Analytical Network Process (ANP) Prioritas strategi pengembangan TN Karimunjawa ditetapkan berdasarkan pilihan atas variabel-variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS Oleh : Pengendali EkosistemHutan TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN. dapat digunakan ialah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif merupakan

BAB III METODE PERANCANGAN. dapat digunakan ialah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif merupakan BAB III METODE PERANCANGAN Untuk mengembangkan ide rancangan dalam proses perancangan, dibutuhkan sebuah metode yang memudahkan perancang. Salah satu metode yang dapat digunakan ialah metode deskriptif

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Pengembangan kawasan pesisir Barat Kabupaten Bengkulu Selatan sebagai kawasan wisata yang diharapkan dapat menjadi salah satu sektor andalan dan mampu untuk memberikan konstribusi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya banyak yang dihuni oleh manusia, salah satunya adalah Pulau Maratua

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya banyak yang dihuni oleh manusia, salah satunya adalah Pulau Maratua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim yang terdiri dari beberapa gugusan pulau mulai dari yang besar hingga pulau yang kecil. Diantara pulau kecil tersebut beberapa

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 24 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Sejarah Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu merupakan kawasan yang berubah peruntukannya dari kebun percobaan tanaman kayu menjadi taman wisata di Kota Palembang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan menurut fungsi pokoknya dibagi menjadi tiga yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Dephut, 2009). Hutan konservasi sendiri didefinisikan kawasan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di kawasan Kampung Setu Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa-Kotamadya Jakarta Selatan (Gambar 6), dengan luas kawasan ± 165 ha, meliputi

Lebih terperinci

HAI NAMAKU PENYU Fakta Tentang Penyu Menurut data para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman Jura (145-208 juta tahun yang lalu) atau seusia dengan dinosaurus. Penyu termasuk kelas reptilia yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. di Kabupaten Bangka melalui pendekatan sustainable placemaking, maka

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. di Kabupaten Bangka melalui pendekatan sustainable placemaking, maka BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI V. 1. KESIMPULAN Berdasarkan analisis yang dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempegaruhi pengembangan produk wisata bahari dan konservasi penyu di Kabupaten

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Desa Merak Belantung secara administratif termasuk ke dalam Kecamatan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Desa Merak Belantung secara administratif termasuk ke dalam Kecamatan 24 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Desa Merak Belantung secara administratif termasuk ke dalam Kecamatan Kalianda Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Desa Merak Belantung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Taman Wisata Alam Rimbo Panti Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang sangat luas dan terdiri dari lima pulau besar dan belasan ribu pulau kecil. Letak antara satu pulau dengan pulau lainnya

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH BANTUL

BAB III TINJAUAN WILAYAH BANTUL BAB III TINJAUAN WILAYAH BANTUL 3.1. Tinjauan Kabupaten Bantul 3.1.1. Tinjauan Geografis Kabupaten Bantul Kabupaten Bantul merupakan salah satu Kabupaten dari 5 Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata yang akan dikembangkan.

alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata yang akan dikembangkan. 23 1. Potensi Wisata Gunung Sulah Potensi wisata merupakan segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata baik alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata

Lebih terperinci

Penangkaran Penyu di Desa Perancak Kab. Jembrana BAB I PENDAHULUAN

Penangkaran Penyu di Desa Perancak Kab. Jembrana BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan daerah kepulauan yang sebagian besar terdapat pesisir pantai. Kondisi tersebut menjadikan pulau Bali sebagai tempat yang cocok untuk kehidupan penyu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang? 2 kerusakan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran terhadap stabilitas lingkungan. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran? 1.2.2 Apakah yang menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai sumber penerimaan devisa, membuka lapangan kerja sekaligus kesempatan berusaha. Hal ini didukung dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

Pelestarian Habitat Penyu Dari Ancaman Kepunahan Di Turtle Conservation And Education Center (TCEC), Bali

Pelestarian Habitat Penyu Dari Ancaman Kepunahan Di Turtle Conservation And Education Center (TCEC), Bali ISSN 0853-7291 Pelestarian Habitat Penyu Dari Ancaman Kepunahan Di Turtle Conservation And Education Center (TCEC), Bali Raden Ario, Edi Wibowo, Ibnu Pratikto, Surya Fajar Departement Ilmu Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil 27 4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Lokasi penelitian, khususnya ekosistem mangrove masuk dalam wilayah pengelolaan Resort Polisi Hutan (RPH) Tegal-Tangkil, BKPH Ciasem- Pamanukan.

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KECAMATAN TOSARI

V. GAMBARAN UMUM KECAMATAN TOSARI V. GAMBARAN UMUM KECAMATAN TOSARI 5.1. Gambaran Umum Kabupaten Pasuruan Kabupaten Pasuruan adalah salah satu daerah tingkat dua di Propinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Pasuruan. Letak geografi

Lebih terperinci

BAB II DISKIRPSI PERUSAHAAN

BAB II DISKIRPSI PERUSAHAAN BAB II DISKIRPSI PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Objek Wisata Pulau Pari merupakan salah satu kelurahan di kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Pulau ini berada di tengah gugusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang pariwisata, pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pembangunan, pengusahaan obyek

Lebih terperinci

RANCANGAN STRATEGI DAN PROGRAM

RANCANGAN STRATEGI DAN PROGRAM 111 VI. RANCANGAN STRATEGI DAN PROGRAM Rancangan strategi pengembangan pariwisata bahari di Kabupaten Natuna merupakan langkah terakhir setelah dilakukan beberapa langkah analisis, seperti analisis internal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dikembangkan potensinya, baik panorama keindahan alam maupun kekhasan

I. PENDAHULUAN. dikembangkan potensinya, baik panorama keindahan alam maupun kekhasan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam menunjang otonomi daerah, pemerintah berupaya untuk menggali dan menemukan berbagai potensi alam yang tersebar diberbagai daerah untuk dikembangkan potensinya, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. 43 BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan Sragi merupakan sebuah Kecamatan yang ada

Lebih terperinci

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH - 140 - AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN 1. Inventarisasi Hutan 1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam daerah. 2. Penunjukan Kawasan Hutan,

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN II. 1. Umum Ujung Berung Regency merupakan perumahan dengan fasilitas hunian, fasilitas sosial dan umum, area komersil dan taman rekreasi. Proyek pembangunan perumahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang sangat tinggi, sehingga memiliki peranan yang baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cagar lam merupakan sebuah kawasan suaka alam yang berarti terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Cagar lam merupakan sebuah kawasan suaka alam yang berarti terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Peraturan Pemerintah Nomer 28 tahun 2011 pasal 1 nomer 1 tentang pengolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestaian alam yang berbunyi Kawsasan Suaka Alam

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN Oleh : Dony Apdillah, Soeharmoko, dan Arief Pratomo ABSTRAK Tujuan penelitian ini memetakan kawasan habitat penyu meliputi ; lokasi tempat bertelur dan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

KUISIONER PENELITIAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KUISIONER PENELITIAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUISIONER PENELITIAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Nomor Kode : Hari/Tanggal wawancara : Nama Responden : Jenis Kelamin : Tempat tinggal (Kabupaten/Kota)

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oleh manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oleh manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini banyak kerusakan lingkungan yang terjadi akibat perbuatan manusia. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oleh manusia untuk kesejahteraan umat manusia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEM ERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting dan Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kecamatan Jepara Jenis ruang terbuka hijau yang dikembangkan di pusat kota diarahkan untuk mengakomodasi tidak hanya fungsi

Lebih terperinci